Jakarta, 13 Juni 2016 Risk-On Kembali Menuju Emerging Market Selain mengantisipasi risiko Brexit, investor kini lebih menyakini bahwa the Fed tidak akan terburu-buru menaikkan suku bunga. Konsensus Bloomberg tidak ada kenaikan Fed fund rate Juni, sementara untuk Juli peluangnya hanya 18%. Hal ini terjadi menyusul pengumuman tambahan kesempatan kerja di Amerika Serikat yang ternyata jauh dari harapan. Nonfarm payroll untuk bulan Mei 2016 hanya bertambah 38.000. Ini angka terendah sejak September 2010 yang jauh dari ekspektasi investor 162.000. Angka penangguran memang turun menjadi 4,7%. Namun angka ini tidak memperhitungkan kelompok masyarakat yang berhenti mencari pekerjaan. Bila dimasukkan, maka angka pengangguran ditaksir mencapai 9,7%. Kecemasan terhadap perlambatan ekonomi memicu investor memburu T-bond sehingga menyebabkan penurunan yield hingga menjadi 1,64% untuk tenor 10 tahun. Kejatuhan yield T-bond ini turut memacu penurunan yield SUN Jepang menjadi -0,17% (ya negatif) untuk tenor yang sama. Sementara itu, indeks saham S&P 500 juga menurun walau tidak lebih buruk dibanding indeks saham di Eropa dan Jepang. Itu sebabnya kita mencermati arus modal asing kembali masuk yang mengangkat harga surat berharga selain nilai tukar. Selama bulan berjalan, indeks dollar (DXY) melemah 1,38%. Boleh dibilang terjadi penguatan rupiah mengingat pada periode yang sama rupiah menguat 2,66% menjadi Rp13.290 per dollar. Seperti terlihat pada peraga dibawah ini, penguatan rupiah disertai dengan pemulihan indeks saham dan harga obligasi walau sepekan lalu terjadi koreksi. Kepemilikan investor asing atas SUN kembali mencapai angka tertinggi Rp635,7 trilyun atau bertambah Rp 77 trilyun sepanjang tahun berjalan. Bandingkan selama tahun 2015 lalu total penambahan hanya mencapai Rp93 trilyun. Kami menilai faktor eksternal diatas lebih dominan mengingat banyak faktor domestik yang belum sepenuhnya tuntas seperti revisi APBN-16 dan skenario tax-amnesty. Seperti kami ulas dua pekan lalu, pemerintah nampak fokus pada pengendalian inflasi makanan terutama harga daging sapi yang banyak digunakan dalam menu Ramadhan. Media nasional kerap mewartawakan kedatangan hewan hidup atau daging sapi kemasan yang diimpor. Petunjuk Kinerja Asset Class Kami sajikan perkembangan kinerja antar kelompok asset selama tahun berjalan hingga akhir pekan lalu. Terlihat pada kolom yang paling kiri bawah, yang sebetulnya terjadi tetap pelemahan dollar index (DXY) sekitar empat persen. Mata uang Lira Brazil (BRL) memimpin penguatan sejalan dengan membaiknya persepsi investor menyusul impeachement terhadap Presiden Dilma Rousseff. Walau dibanding tahun lalu BRL masih melemah sekitar 9%. Sementara penguatan yen merupakan anomali mengingat yield SUN mereka negatif sementara BoJ terus menggelontorkan likuiditas secara masif. Penguatan yen ini sangat melandasi kejatuhan indeks saham Nikkei (NKY) sekitar 13%. Pada kelompok Equity, terlihat Thailand memimpin dengan hampir 11%. Kami menilai kenaikan ini sejalan dengan pertumbuhan real M1 growth yang pernah kami bahas. Dilain sisi dapat dicermati indeks saham China SHCOMP terpuruk dengan minus sekitar 17%. Dari persepektif L-E-V-I-S (liquidity, earning, valuation, interest rate and sentiment), kami menduga kenaikan asset class saham akan terbatas mengingat prospek pemulihan ekonomian global belum merata. Bahkan pekan lalu, World Bank memangkas prospek pertumbuhan ekonomi dunia. Peningkatan harga minyak diduga merupakan kombinasi antara penurunan produksi minyak di Amerika Serikat yang diimbangi oleh keengganan negara OPEC untuk menurunkan produksi. Peningkatan harga emas masih dilandasi oleh pelemahan dollar bukan karena ancaman inflasi atau penguatan negara berkembang utama (India dan China) dan Timur Tengah yang secara tradisional menyukai emas sebagai sarana investasi. Harga komoditas primer seperti karet dan batu bara yang masih tertekan mengindikasikan risiko pendapatan masyarakat di luar Jawa belum membaik. Adik saya menginformasikan harga karet di level petani terus memburuk sekitar Rp4.000 per kilo. Berdasarkan valuasi, IHSG (JCI) terbilang sama dengan Thailand, lebih mahal dibanding Filipina dan Amerika Serikat namun lebih mahal dibanding China. Mencermati total return (TRR sebagai penjumlahan capital gain dan dividen) baik untuk tiga dan lima tahun yang jauh dibawah rata-rata GDP nominal growth (sebagai indiaktor sektor riil) selama sepuluh terakhir, saya memiliki keyakinan peluang naik IHSG masih terbuka. Apalagi bila berbagai proyek infrastruktur pemerintah membuahkan hasil mendorong kegiatan produksi dan distribusi. Sementara itu penurunan suku bunga memicu belanja rumah tangga dan perusahaan. Saya mempertahankan proyeksi IHSG hingga akhir tahun 5300. Tetaplah optimis berinvestasi di pasar modal dengan menyakini reformasi fiskal bermanfaat memperbaiki profil makroekonomi Indonesia. Salam Budi Hikmat Chief Economist and Director for Investor Relation