BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN UTSMAN NAJATI TENTANG KECERDASAN EMOSIONAL DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM Kecerdasan emosional mengajarkan seseorang untuk mengarahkan emosi pada tempatnya, dengan kadar serta cara yang tepat pula. Karena hal ini sangat berpengaruh pada sikap seseorang terhadap orang-orang lain. Produk kecerdasan emosional dapat dikatakan akhlak yang mulia, baik dalam konteks diri sendiri maupun dalam hubungan sosial. Dan ini sangat diperlukan dalam membina relasi antara sesama agar terjalin hubungan harmonis. Hal tersebut selaras dengan salah satu tujuan pendidikan Islam yaitu mempertinggi nilai-nilai akhlak sehingga mencapai pada tingkat akhlakul karimah. Kecerdasan emosional yang dikemukakan Najati erat kaitannya dengan dimensi spiritual dan sosial. direalisasikan dengan Contohnya ungkapan cinta terhadap mengucapkan dengan salam. sesama Di mana salam yang diucapkan merupakan sebuah harapan doa untuk mendapat keselamatan dari Allah Swt. Sedangkan ketika salam mendapat respon, artinya ada kepercayaan dari orang yang diberi salam untuk mendoakan kembali. Sehingga ada semacam kontrak sosial yang tercipta melalui salam. Cinta dan salam melibatkan emosi yang menjadi penghantar bagi kehangatan bagi sebuah interaksi yang mencakup dua pola sekaligus yaitu interaksi vertikal (Habl min Allah) dan interaksi horizontal (Habl min an-Nas). 59 60 A. Relevansi Pengendalian Emosi Marah dengan Pendidikan Islam Pikiran yang jernih sangat dibutuhkan dalam kegiatan belajar mengajar. Oleh karenanya hal yang menjadikan pikiran menjadi kotor dan tertutup harus disingkirkan. Salah satu yang menjadikan pikiran manusia tertutup adalah marah. Ketika suasana dalam proses pembelajaran sudah mulai menjenuhkan, baik guru maupun siswa yang sudah capek dan ingin segera mengakhiri pertemuan pembelajaran yang sedang berlangsung, akan tetapi di sisi lain materi yang seharusnya disampaikan pada pertemuan tersebut belum selesai, maka keinginan untuk segera beristirahat yang terhalang tersebut akan menjadi pemicu kemarahan. Jika telah terjadi hal yang demikian, metode pembelajaran yang digunakan perlu dirubah menjadi tidak membosankan dan membawa kepada suasana rileks. Menurut Najati menciptakan situasi yang tenang/rileks merupakan salah satu cara kita mengurangi emosi marah kita. Kemudian Najati juga mengutip hadits yang menyatakan bahwa dengan mengendalikan marah, maka kita akan selamat dari murka Allah. Maksudnya, marah merupakan emosi yang dapat mengakibatkan tindak kerusakan, oleh karenanya dengan menahan marah berarti kita juga mengontrol diri kita untuk tidak melakukan kerusakan sehingga tidak akan terjadi penyesalan di masa mendatang yang ada tinggalah kenikmatan. Hal ini relevan dengan salah satu tujuan pendidikan Islam yang telah mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. dirumuskan oleh al-Ghazali yaitu 61 B. Relevansi Pengendalian Keserakahan dengan Pendidikan Islam Najati berpendapat bahwa keserakahan bersumber dari ketidak mampuan diri untuk menahan rasa ingin memiliki. Bagi seorang peserta didik, biasanya memiliki kecenderungan untuk menjadi yang nomor satu dalam mendapatkan nilai. Kemudian bercita-cita untuk mendapat pekerjaan dengan gaji yang besar. Dalam kadar yang cukup, hal tersebut sah-sah saja sebagai motivator untuk belajar dengan tekun. Akan tetapi jika keinginan tersebut tidak terkendalikan dan melampaui batas kemampuannya, maka keinginan tersebut dapat menjadi pendorong dalam melakukan tindakan curang seperti mencontek ketika ulangan, membohongi teman sekelas dan lain sebagainya untuk menjadi yang terbaik. Misalnya saja jika seorang siswa kemampuannya hanya sedang-sedang saja kemudian ada teman sekelasnya yang lebih pandai, ia merasa terancam tidak bisa mendapatkan keinginannya menjadi yang terbaik. Sehingga jika dia tidak bisa menjadi lebih baik cara lainnya adalah dengan menjadikan teman sekelasnya menjadi lebih buruk. Misalnya dengan mengajak ngobrol ketika guru sedang menerangkan pelajaran, dan lain sebagainya. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan terjadinya persaingan curang ketika seseorang siswa tersebut di kemudian hari dihadapkan dengan pekerjaan. Hal ini relevan dengan salah satu kode etik peserta didik yang dirumuskan oleh al-Ghazali yaitu mengurangi kecenderungan duniawi. Maksudnya belajar tidak semata-mata ingin mendapatkan pekerjaan, akan tetapi berjihad melawan kebodohan. 62 C. Relevansi Pengendalian Emosi Takut dengan Pendidikan Islam Menurut Najati, emosi takut berguna bagi manusia karena ia mendorongnya untuk menjaga diri dari berbagai bahaya yang mengancam hidupnya. Akan tetapi jika ketakutan itu terlalu berlebihan akan terjadi keresahan dan keguncangan jiwanya, di mana seseorang menjadi ketakutan terhadap hal-hal yang tidak berbahaya baginya, maka ketakukatan itu sendiri yang akan berbalik menjadi bahaya yang mengancam dirinya. Bagi seorang peserta didik, rasa takut yang berlebihan terhadap guru, mata pelajaran, dan tugas-tugas tertentu yang diberikan guru dapat memberikan dampak negatif. Misalnya saja seorang siswa ketika diberikan tugas yang sulit baginya kemudian dia takut tidak bisa mengerjakan, maka dapat menjadikannya menghindari tugas tersebut dengan berbagai cara, misalnya dengan pura-pura sakit, membolos masuk sekolah dan lain sebagainya. Namun jika rasa takut itu dapat dikendalikan dapat menjadi pendorong dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang peserta didik. D. Relevansi Pengendalian Cemburu, Benci dan Iri dengan Pendidikan Islam Dalam interaksi sosial, penempatan emosi secara tepat tanpa merugikan orang lain amatlah penting. Najati telah mengungkapkan bagaimana mengendalikan rasa cemburu, benci, dan iri dengan memberikan batasanbatasan tertentu. Contohnya, seorang diperbolehkan membenci sesuatu sebagaimana sesuatu yang dibenci oleh Allah Swt yakni benci terhadap orangorang yang melanggar hak Allah. Akan tetapi perwujudan kebencian tidak diperbolehkan dengan melakukan tindakan yang mengakibatkan kerusakan. 63 Seperti menyakiti antar sesama baik secara fisik maupun dengan kata-kata yakni memukul, membunuh, mencela, menuduh, mengejek, memfitnah dan lainnya. Jika seseorang dapat mengendalikan hal tersebut maka kesalehan sosial dapat terwujud. Dengan mengarahkan kebencian kepada perilaku tercela, kita akan senantiasa terhindar dari perilaku tercela tersebut, yang ada ialah kita akan melawan perilaku tercela tersebut dengan perilaku terpuji. Ketika dalam interaksi sosial baik dalam dunia pendidikan ataupun yang lainnya kita jumpai seorang yang berperilaku tercela, maka yang kita benci bukanlah orangnya, akan tetapi perilaku tercelanya. Jika kita benci orangnya, dapat memancing perilaku penyerangan fisik terhadap orang tersebut, akan tetapi jika yang kita benci adalah perilakunya maka yang akan kita lakukan adalah menyerang perilaku tercela tersebut dengan perilaku terpuji, karena lawan dari perilaku tercela adalah perilaku terpuji. E. Relevansi Pengendalian Sifat Sombong dan Berbangga Diri dengan Pendidikan Islam Menurut Najati, sombong dan berbangga diri merupakan sikap merasa lebih tinggi dan lebih baik dari orang lain. Sombong dan berbangga diri merupakan perasaan yang buruk dan merupakan sifat akhlak yang tercela. Dengan mengendalikan kesombongan berarti kita telah bersifat tawadhu’ atau rendah hati. Rendah hati ini sesuai dengan rumusan kode etik seorang peserta didik yaitu bersikap tawadhu’, sekalipun ia cerdas, ia juga harus bijak dalam 64 menggunakan kecerdasan itu pada pendidikannya, termasuk bijak kepada teman-temannya yang IQnya lebih rendah. Kode etik peserta didik lainnya adalah harus tunduk pada nasihat pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit terhadap dokternya. Hal ini dapat terwujud jika dalam jiwa seorang peserta didik tersebut bersih dari sifat sombong. Jika kesombongan masih menempel di jiwa, rasa hormat dan tunduk kepada pendidik akan terkurangi karena merasa dirinya hebat dan lebih baik dari orang di sekitarnya. Selain itu, Allah dan Rasulullah mengecam orang yang berperilaku sombong. Dengan tawadhu’ berarti kita telah menghindari murka Allah, secara otomatis yang akan kita dapatkan adalah kenikmatan baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan Islam. F. Relevansi Pengendalian Malu dalam Pendidikan Islam Menurut Najati, malu adalah perasaan manusia yang timbul dari rasa takut melakukan perbuatan tercela atau tidak diterima oleh agama dan akhlak. Karena itu, malu adalah sifat terpuji karena dapat mencegah seseorang dari kesalahan atau melakukan perbuatan keji dan berbuat maksiat. Orang yang tidak punya malu bisa saja melakukan perbuatan tercela atau terjerumus dalam kesalahan dan dosa. Malu merupakan keadaan jiwa yang dimiliki oleh orang-orang yang berakhlak mulia. Mereka membenci kekurangan, kesalahan, kejahatan, dan perbuatan keji serta memegang teguh iman dan takwa dan selalu berusaha 65 mengerjakan perbuatan yang diridhai dan dicintai Allah. Jadi malu termasuk salah satu tanda kesempurnaan iman dan takwa. Jadi malu di sini merupakan salah satu keadaan jiwa yang dimiliki oleh orang yang berhasil mencapai tujuan dari pendidikan Islam. Malu di sini adalah malu yang telah dikendalikan kepada malu melakukan tindakan yang menunjukkan akhlak tercela. sehingga malu mendorong manusia untuk senantiasa melakukan perbuatan terpuji dan menjadikannya berakhlak mulia yang merupakan tujuan dari pendidikan Islam.