MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

advertisement
MAKALAH
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN HERPES SIMPLEKS,
HERPES ZOSTER DAN VARICELLA
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Integumen
Disusun oleh:
Kelompok 2 AJ 1/B18
Agnes Ose Tokan
131511123003
Tri Sulistyawati
131511123005
Dwi Retna Heruningtyas
131511123011
Hardiansyah
131511123021
Agus Saputro
131511123029
Fauzan Rifai
131511123071
Aisyah Nur Izzati
131511123075
Maria Roswita Loin
131511123085
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh herpes simpleks virus
(HSV) tipe I atau tipe II yang ditandai dengan adanya vesikel yang berkelompok di atas
kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah dekat mukokutan (Handoko, 2010).
Varicella adalah suatu penyakit infeksi virus akut dan menular, yang disebabkan oleh
Varicella Zoster Virus dan menyerang kulit serta mukosa, ditandai oleh adanya vesikelvesikel. (Rampengan, 2008). Sedangkan Herpes Zoster adalah radang kulit akut dan
setempat yang merupakan reaktivasi virus varisela-zoster dari infeksi endogen yang
telah menetap dalam bentuk laten setelah infeksi primer oleh virus (Marwali, 2000).
Penyakit herpes simpleks tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun
wanita dengan frekuensi yang tidak berbeda (Siregar, 2005). Sekitar 50 juta penduduk
di Amerika Serikat menderita infeksi HSV pada usia 12 tahun atau lebih (Habif, 2004).
Infeksi primer oleh HSV tipe I biasanya dimulai pada usia anak-anak, sedangkan
infeksi HSV tipe II biasanya terjadi sebanyak 25-50% dari populasi (Sterry, 2006).
Infeksi primer varicella memiliki tingkat kematian 2-3 per 100.000 kasus
dengan case fatality rate pada anak berumur 1-4 tahun dan 5-9 tahun (1 kematian per
100.000 kasus). Menurut Mehta 2006, insiden terbanyak varisela terjadi pada usia 1-6
tahun dan hanya terjadi 10% pada usia lebih dari 14 tahun. Pada usia 1-14 tahun angka
mortalitas varisela adalah 2 per 100.000 kasus. Angka mortalitas pada anak dengan
immunocompromised lebih besar. Kejadian varisela dapat menjadi lebih berat pada
neonatus, tergantung periode infeksi pada ibu
Insiden herpes zoster tersebar merata di seluruh dunia dan dapat muncul
sepanjang tahun karena tidak dipengaruhi oleh musim. Tidak ada perbedaan dalam
morbiditas antara pria dan wanita. Berdasarkan studi di Eropa dan Amerika Utara,
diperkirakan ada sekitar 1,5-3 per 1000 orang per tahun pada segala usia dan kejadian
meningkat tajam pada usia lebih dari 60 tahun yaitu sekitar 7-11 per 1000 orang per
tahun (Gnann dan Whitley, 2002 dalam Finn, Adam 2005.). Insiden herpes zoster
meningkat seiring bertambahnya usia, di mana lebih dari 2/3 kasus terjadi pada usia
lebih dari 50 tahun dan kurang dari 10% di bawah 20 tahun (Schmader & Oxman, 2012
dalam Katsambas, Andreas. 2015).
Gejala yang ditimbulkan dari herpes simpleks berupa perasaan gatal, rasa
terbakar, eritema, malaise, demam dan nyeri otot (Siregar, 2005).sedangkan pada
Varicella, virus Varicela zoster dapat menyebabkan herpes zoster. Kedua penyakit ini
mempunyai manifestasi klinis yang berbeda. Diperkirakan bahwa setelah ada kontak
dengan virus varicella zoster akan terjadi varisela; kemudian setelah penderita varisela
tersebut sembuh, mungkin virus itu tetap ada dalam bentuk laten (tanpa ada manifestasi
klinis) dan kemudian virusvaricella zoster diaktivasi oleh trauma sehingga
menyebabkan herpes zoster (Richar E, 2012).
Pada pasien dengan herpes zoster, tujuan utama terapinya adalah untuk
membatasi berkembangnya penyakit, durasi dan peningkatan rasa sakit dan lesi di
dermatom primer, mencegah penyakit di tempat lain, dan mencegah NPH (Prabhu,
2009).
Hingga kini belum ada imunisasi untuk mencegah infeksi herpes simpleks.
Imunisasi yang ada saat ini adalah imunisasi untuk virus Varicella-Zoster atau cacar air
yang nantinya dapat mencegah herpes zoster. Tindakan prevensi tertular penyakit
herpes dengan menghindari kontak kulit ke kulit dengan orang yang sedang mengalami
infeksi primer herpes, dan tetap menjaga imunitas tubuh. Pengobatan dengan Acyclovir
pada dasarnya bertujuan untuk memperpendek masa serangan terjadi dan mencegah
kekambuhan. Pengobatan yang tepat dan sedini mungkin dipercaya akan menyebabkan
penyakit berlangsung lebih singkat dan rekurensi lebih jarang (Arnold et al., 1990).
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka Herpes Simplek, Varicella dan Herpes Zoster
ini perlu dipelajari khususnya dalam praktek asuhan keperawatan sistem integumen
secara komprehensif.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Setelah proses pembelajaran, diharapkan mahasiswa mampu melakukan asuhan
keperawatan sistem integumen pada klien dengan Herpes Simplek, Varicella dan Herpes
Zoster.
1.2.2 Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu memahami:
a. Anatomi Fisiologi Kulit
b. Definisi Herpes Simplek, Varicella dan Herpes Zoster Klasifikasi Herpes
Simpleks
c. Etiologi Herpes Simplek, Varicella dan Herpes Zoster
d. Patogenesis Herpes Simplek, Varicella dan Herpes Zoster Manifestasi Klinis
Herpes Simpleks
e. WOC Herpes Simplek, Varicella dan Herpes Zoster
f. Pemeriksaan Penunjang Herpes Simplek, Varicella dan Herpes Zoster
g. Penatalaksanaan Herpes Simplek, Varicella dan Herpes Zoster
h. Komplikasi Herpes Simplek, Varicella dan Herpes Zoster
i. Asuhan Keperawatan pada pasien Herpes Simplek, Varicella dan Herpes Zoster.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Fisiologi Kulit
2.1.1 Anatomi Kulit
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan
hidup manusia.Luas kulit orang dewasa sekitar 1.5 m2 dengan berat kira-kira 15% berat
badan (Wasitaatmadja, 2010).
(sumber : gray’s anatomy :256)
Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu: lapisan
epidermis, lapisan dermis, dan lapisan subkutis. Lapisan epidermis terdiri atas:
(1) Stratum korneum (lapisan tanduk) merupakan lapisan kulit yang terluar dan terdiri
atas sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan keratin.
(2) Stratum lusidum merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma
yang telah menjadi protein.
(3) Stratum granulosum (lapisan keratohialin) yaitu dua atau tiga lapis selsel gepeng
dengan sitoplasma butir kasar dan berinti di antaranya.
(4) Stratum spinosum (stratum Malphigi) terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk
poligonal dengan besar yang berbeda akibat adanya proses mitosis.
(5) Stratum basale terbentuk oleh sel-sel berbentuk kubus (kolumnar) yang tersusun
vertikal dan berbaris seperti pagar (palisade).
(sumber : gray’s anatomy : 257)
Lapisan dermis berada di bawah lapisan epidermis dan lebih tebal daripada lapisan
epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastik dan fibrosa padat dengan elemen-elemen
selular dan folikel rambut. Secara garis besar dibagi menjadi dua bagian yaitu:
(1) Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke epidermis yang berisi ujung serabut
saraf dan pembuluh darah.
(2) Pars retikulare, yaitu bagian yang menonjol ke arah subkutan yang berisi serabutserabut penunjang misalnya: serabut kolagen, elastin, dan retikulin.
Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis yang terdiri atas jaringan ikat longgar berisi
sel lemak. Lapisan sel-sel lemak disebut panikulus adiposa yang berfungsi sebagai cadangan
makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan getah bening
(Wasitaatmadja, 2010).
2.1.2 Adnexa Kulit
Adneksa kulit terdiri atas kelenjar-kelenjar kulit, rambut, dan kuku. Kelenjar kulit di
lapisan dermis terdiri atas:
(1) Kelenjar keringat (glandula sudorifera) ada dua jenis yaitu kelenjar ekrin yang kecil
terletak dangkal di dermis dengan sekret yang encer dan kelenjar apokrin yang lebih
besar terletak lebih dalam dengan sekret lebih kental.
(2) Kelenjar palit (glandula sebasea) terletak di seluruh permukaan kulit manusia kecuali
telapak tangan dan kaki. Kelenjar ini disebut juga kelenjar holokrin karena tidak
berlumen dan sekretnya berasal dari dekomposisi sel-sel kelenjar.
Kuku adalah bagian terminal lapisan tanduk (stratum korneum) yang menebal.
Bagian kuku yang terbenam dalam kulit jari disebut akar kuku (nail root), bagian yang
terbuka di atas dasar jaringan lunak kulit pada ujung jari disebut badan kuku (nail plate),
dan yang paling ujung adalah bagian kuku yang bebas. Kuku tumbuh dengan kecepatan
sekitar 1mm per minggu.
Rambut memliki bagian yang terbenam dalam kulit (akar rambut) dan bagian yang
berada di luar kulit (batang rambut). Ada dua tipe rambut, yaitu lanugo merupakan
rambut halus tidak berpigmen pada bayi dan terminal merupakan rambut yang lebih
kasar dengan banyak pigmen serta mempunyai medula pada orang dewasa. Rambut
tumbuh secara siklik, fase anagen (pertumbuhan) berlangsung 2-6 tahun dengan
kecepatan sekitar 0.35mm per hari. Fase telogen (istirahat) berlangsung beberapa bulan.
Di antara kedua fase tersebut terdapat fase katagen (Wasitaatmadja, 2010).
2.1.3 Fisiologi Kulit
1. Fungsi proteksi, menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisik atau mekanis,
gangguan kimiawi, gangguan yang bersifat panas, dan gangguan infeksi luar dengan
adanya bantalan lemak.Menurut Menurut Lazarus (1999) bahwa stres adalah keadaan
internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh atau kondisi lingkungan
dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak terkendali atau melebihi
kemampuan individu untuk mengatasinya.
2. Fungsi absorpsi, kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat
dengan permeabilitas terhadap O2, CO2, dan uap air sehingga kulit ikut ambil bagian
dalam fungsi respirasi. Penyerapan berlangsung melalui celah antar sel, menembus sel
epidermis atau melalui muara saluran kelenjar.
3. Fungsi ekskresi, kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna lagi
atau sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat, dan amonia.
4. Fungsi persepsi, kulit mengandung ujung-ujung saraf sensoris di dermis dan subkutis.
Rangsang panas oleh badan-badan Ruffini di dermis dan subkutis, rangsang dingin
oleh badan-badan Krause di dermis. Badan Meissner di papila dermis dan badan
Merkel Ranvier di epidermis berperan terhadap rabaan. Sedangkan rangsang tekanan
oleh badan Paccini di epidermis.
5. Fungsi pengaturan suhu tubuh, dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan
pembuluh darah kulit.
6. Fungsi pembentukan pigmen.
7. Fungsi keratinisasi.
8. Fungsi pembentukan vitamin D, dengan mengubah 7 dihidroksi kolesterol melalui
pertolongan sinar matahari (Wasitaatmadja, 2010).
2.2 Varicella
2.2.1 Definisi Varicella
Varicella
adalah
suatu
penyakit
infeksi
virus
akut
dan
menular,
yang
disebabkan oleh Varicella Zoster Virus (VZV) dan menyerang kulit serta mukosa,
ditandai oleh adanya vesikel-vesikel. (Rampengan, 2008). Varisela yang mempunyai
sinonim cacar air atau chickenpox adalah infeksi akut primer oleh virus variselazoster yang menyerang kulit dan mukosa yang secara klinis terdapat gejala konstitusi,
kelainan kulit polimorfi terutama dibagian sentral tubuh (Djuanda, 1993).
June M. Thomson mendefinisikan varisela sebagai penyakit yang disebabkan oleh
virus varisela-zoster (V-Z virus) yang sangat menular bersifat akut yang umumnya
menganai anak, yang ditandai oleh demam yang mendadak, malese, dan erupsi kulit
berupa makulopapular untuk beberapa jam yang kemudian berubah menjadi vesikel
selama 3-4 hari dan dapat meninggalkan keropeng (Thomson, 1986)
Varisela atau chickenpox atau yang dikenal dengan cacar air adalah infeksi primer
virus varicella-zoster (VZV) yang umumnya menyerang anak dan merupakan
penyakit yang sangat menular.( Hadinegoro.2010)
(http://www.medicinenet.com/image-collection/varicella_chicken_pox_picture/picture.htm)
2.2.2 Etiologi Varicella
Varicella
disebabkan
oleh
Varicella
Zoster
Virus
(VZV),
termasuk
kelompok Herpes Virus dengan diameter kira-kira 150-200 nm. Inti virus disebut
Capsid, terdiri dari protein dan DNA dengan rantai ganda, yaitu rantai pendek (S) dan
rantai panjang (L) dan membentuk suatu garis dengan berat molekl 100 juta yang
disusun dari 162 capsomir dan sangat infeksius.
Varicella Zoster Virus (VZV) dapat ditemukan dalan cairan vesikel dan
dalam darah penderita Varicella sehingga mudah dibiakkan dalam media yang terdiri
dari Fibroblast paru embrio manusia.
Varicella Zoster Virus (VZV) dapat menyebabkan Varicella dan Herpes
Zoster. Kontak pertama dengan penyakit ini akan menyebabkan Varicella,
sedangkan bila terjadi serangan kembali, yang akan muncul adalah Herpes Zoster,
sehingga Varicella sering disebut sebagai infeksi primer virus ini. (Dumasari.2008)
2.2.3 Patogenesis Varicella
Masa inkubasi varicella 10 - 21 hari pada anak imunokompeten (rata - rata 14 17 hari) dan pada anak yang imunokompromais biasanya lebih singkat yaitu kurang
dari 14 hari. VZV masuk ke dalam tubuh manusia dengan cara inhalasi dari sekresi
pernafasan (droplet infection) ataupun kontak langsung dengan lesi kulit. Droplet
infection dapat terjadi 2 hari sebelum hingga 5 hari setelah timbul lesi dikulit.
VZV masuk ke dalam tubuh manusia melalui mukosa saluran pernafasan bagian
atas, orofaring ataupun conjungtiva. Siklus replikasi virus pertama terjadi pada hari ke
2 - 4 yang berlokasi pada lymph nodes regional kemudian diikuti penyebaran virus
dalam jumlah sedikit melalui darah dan kelenjar limfe, yang mengakibatkan terjadinya
viremia primer (biasanya terjadi pada hari ke 4 - 6 setelah infeksi pertama). Pada
sebagian besar penderita yang terinfeksi, replikasi virus tersebut dapat mengalahkan
mekanisme pertahanan tubuh yang belum matang sehingga akan berlanjut dengan
siklus replikasi virus ke dua yang terjadi di hepar dan limpa, yang mengakibatkan
terjadinya viremia sekunder. Pada fase ini, partikel virus akan menyebar ke seluruh
tubuh
dan
mencapai
epidermis
pada
hari
ke
14-16, yang mengakibatkan
timbulnya lesi dikulit yang khas. Seorang anak yang menderita varicella akan dapat
menularkan kepada yang lain yaitu 2 hari sebelum hingga 5 hari setelah timbulnya lesi
di kulit. (Dumasari.2008)
2.2.4 Pemeriksaan Diagnostik
Untuk pemeriksaan virus varicella zoster (VZV) dapat dilakukan beberapa test yaitu :
a. Tzanck smear
-
Preparat diambil dari discraping dasar vesikel yang masih baru, kemudian
diwarnai dengan pewarnaan yaitu hematoxylin-eosin, Giemsa’s, Wright’s,
toluidine blue ataupun Papanicolaou’s Dengan menggunakan mikroskop
cahaya akan dijumpai multinucleated giant cells.
-
Pemeriksaan ini sensitifitasnya sekitar 84%.
-
Test ini tidak dapat membedakan antara virus varicella zoster dengan
herpes simpleks virus.
b. Direct fluorescent assay (DFA)
-
Preparat diambil dari scraping dasar vesikel tetapi apabila sudah berbentuk krusta
pemeriksaan dengan DFA kurang sensitif.
-
Hasil pemeriksaan cepat.
-
Membutuhkan mikroskop fluorescence.
- Test ini dapat menemukan antigen virus varicella zoster.
- Pemeriksaan ini dapat membedakan antara VZV dengan herpes simpleks virus.
c. Polymerase chain reaction (PCR)
- Pemeriksaan dengan metode ini sangat cepat dan sangat sensitif.
- Dengan metode ini dapat digunakan berbagai jenis preparat seperti scraping
dasar vesikel dan apabila sudah berbentuk krusta dapat juga digunakan
sebagai preparat, dan CSF.
- Sensitifitasnya berkisar 97 - 100%.
- Test ini dapat menemukan nucleic acid dari virus varicella zoster
d. Biopsi kulit
Hasil pemeriksaan histopatologis : tampak vesikel intraepidermal dengan degenerasi
sel epidermal dan acantholysis. Pada dermis bagian atas dijumpai adanya
lymphocytic infiltrate. (Dumasari.2008)
2.2.5 Manifestasi Klinis Varicella
Perjalanan penyakit ini dibagi menjadi 2 stadium, yaitu:
a. Stadium Prodromal:
24 jam sebelum kelainan kulit timbul, terdapat gejala panas yang tidak terlalu tinggi,
perasaan lemah (malaise), sakit kepala, anoreksia, rasa berat pada punggung dan
kadang-kadang disertai batuk kering diikuti eritema
pada
kulit
dapat
berbentuk
scarlatina form atau morbiliform.
Panas biasanya menghilang dalam 4 hari, bilamana panas tubuh menetap perlu
dicurigai adanya komplikasi atau gangguan imunitas.
b. Stadium Erupsi:
Dimulai saat eritema berkembang dengan cepat (dalam beberapa jam) berubah
menjadi macula kecil, kemudian papula yang kemerahan lalu menjadi vesikel. Vesikel
ini biasannya kecil, berisi cairan jernih, tidak umbilicated dengan dasar eritematous,
mudah pecah serta mongering membentuk krusta, bentuk ini sangat khas dan lebih
dikenal sebagai “tetesan embun”/”air mata”.
Lesi kulit mulai nampak di daerah badan dan kemudian menyebar secara
sentrifugal ke bagian perifer seperti muka dan ekstremitas. Dalam perjalanan penyakit
ini akan didapatkan tanda yang khas yaitu terlihat adanya bentuk papula, vesikel,
krusta dalam waktu yang bersamaan, dimana keadaan ini disebut polimorf. Jumlah
lesi pada kulit dapat 250-500, namun kadang-kadang dapat hanya 10 bahkan lebih
sampai 1500. Lesi baru tetap timbul selama 3-5 hari, lesi sering menjadi bentuk
krusta pada hari ke-6 (hari ke-2 sampai ke-12) dan sembuh lengkap pada hari ke16 (hari ke-7 sampai ke-34).
Erupsi
kelamaan
atau
terlambatnya
berubah
menjadi
krusta
dan
penyembuhan, biasanya dijumpai pada penderita dengan gangguan imunitas
seluler. Bila terjadi infeksi sekunder, sekitar lesi akan tampak kemerahan dan bengkak
serta
cairan
vesikel
yang
jernih
berubah
menjadi
pus
disertai
limfadenopati umum. Vesikel tidak hanya terdapat pada kulit, melainkan juga terdapat
pada mukosa mulut, mata, dan faring.
Pada penderita varicella yang disertai dengan difisiensi imunitas (imun
defisiensi) sering menimbulkan gambaran klinik yang khas berupa perdarahan,
bersifat progresif dan menyebar menjadi infeksi sistemik. Demikian pula pada
penderita yang sedang mendapat imunosupresif. Hal ini disebabkan oleh terjadinya
limfopenia (Rampengan.2008).
2.2.6 Komplikasi Varicella
Beberapa komplikasi dapat terjadi pada infeksi varisela, infeksi yang dapat terjadi
diantaranya adalah:
a. Infeksi sekunder dengan bakteri
Infeksi bakteri sekunder biasanya terjadi akibat stafilokokus. Stafilokokus dapat
muncul sebagai impetigo, selulitis, fasiitis, erisipelas furunkel, abses, scarlet fever,
atau sepsis.
b. Varisela Pneumonia
Varisela Pneumonia terutama terjadi pada penderita immunokompromis, dan
kehamilan. Ditandai dengan panas tinggi, Batuk, sesak napas, takipneu, Ronki basah,
sianosis, dan hemoptoe terjadi beberapa hari setelah timbulnya ruam. Pada
pemeriksaan radiologi didapatkan gambaran noduler yang radio-opak pada kedua
paru.
c. Ensefalitis
Komplikasi ini tersering karena adanya gangguan imunitas. Dijumpai 1 pada 1000
kasus varisela dan memberikan gejala ataksia serebelar, biasanya timbul pada hari 3-8
setelah timbulnya ruam.
d. Neurologik
-
Acute postinfeksius cerebellar ataxia
Ataxia sering muncul tiba-tiba, selalu terjadi 2 - 3 minggu setelah timbulnya
varicella. Keadaan ini dapat menetap selama 2 bulan.
Manisfestasinya berupa tidak dapat mempertahankan posisi berdiri hingga tidak
mampu untuk berdiri dan tidak adanya koordinasi dan dysarthria. Insiden berkisar
1 : 4000 kasus varicella
e. Herpes zoster
Komplikasi yang lambat dari varicella yaitu timbulnya herpes zoster, timbul beberapa
bulan hingga tahun setelah terjadinya infeksi primer. Varicella zoster virus menetap
pada ganglion sensoris.
f. Reye syndrome
Ditandai dengan fatty liver dengan encephalophaty. Keadaan ini berhubungan dengan
penggunaan aspirin, tetapi setelah digunakan acetaminophen (antipiretik) secara luas,
kasus reye sindrom mulai jarang ditemukan. (Dumasari.2008)
2.2.7 Penatalaksanaan Varicella
Karena umumnya bersifat ringan, kebanyakan penderita tidak memerlukan terapi
khusus selain istirahat dan pemberian asupan cairan yang cukup. Yang justru sering
menjadi masalah adalah rasa gatal yang menyertai erupsi. Bila tidak ditahan-tahan , jari
kita tentu ingin segera menggaruknya. Masalahnya,bila sampai tergaruk hebat, dapat
timbul jaringan parut pada bekas gelembung yang pecah
Umum
a. Isolasi untuk mencegah penularan.
b. Diet bergizi tinggi (Tinggi Kalori dan Protein).
c. Bila demam tinggi, kompres dengan air hangat.
d. Upayakan agar tidak terjadi infeksi pada kulit, misalnya pemberian antiseptik pada air
mandi
e. Upayakan agar vesikel tidak pecah.

Jangan menggaruk vesikel.

Kuku jangan dibiarkan panjang.

Bila hendak mengeringkan badan, cukup tepal-tepalkan handuk pada kulit, jangan
digosok.
f. Farmakoterapi
1) Antivirus (contoh : Asiklovir, Valasiklovir)

pemberian antivirus dapat mengurangi lama sakit, keparahan dan waktu
penyembuhan akan lebih singkat

antivirus sebaiknya dalam jangka waktu kurang dari 48-72 jam setelah erupsi
dikulit muncul
2) Antipiretik dan untuk menurunkan demam

Parasetamol atau ibuprofen. Jangan berikan golongan salisilat (aspirin)
untuk menghindari terjadinya sindrom Reye
3) Vesikel yang sudah pecah atau sudah terbentuk krusta, dapat diberikan salep
antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.
4) Bila lesi masih dalam bentuk vesikel, dapat diberikan bedak atau losio pengurang
gatal (misalnya losio kalamin).
2.2.8 Pencegahan Varicella
a. Hindari kontak dengan penderita.
b. Tingkatkan daya tahan tubuh.
c. Imunoglobulin Varicella Zoster
Varicella zoster immunoglobulin (VZIG) adalah antibodi IgG terhadap VZV dengan
dosis pemberian satu vial untuk 10 kg berat badan secara intramuskular (IM). VZIG
profilaksis diindikasikan untuk individu beresiko tinggi, termasuk anak-anak
imunodefisiensi, wanita hamil yang pernah mempunyai kontak langsung dengan
penderita varicella, neonatal yang terekspose oleh ibu yang terinfeksi varicella,
setidaknya diberikan dalam waktu tidak lebih dari 96 jam. Antibodi yang diberikan
setelah timbulnya gejala tidak dapat mengurangi keparahan yang terjadi.
(Kurniawan. 2009)
Anak yang belum pernah menderita cacar air harus mendapatkan 2 dosis vaksinasi
cacar air pada usia :
a) Dosis pertama : 12-15 bulan
b) Dosis ke-2 : 4-6 tahun (bisa diberikan lebih cepat jika jarak minimal 3 bulan
setelah dosis pertama)
Bagi yang berusia 13 tahun keatas (yang belum pernah menderita cacar air atau
mendapatkan vaksinasi cacar air) arus mendapatkan dua dosis minimal dalam jarak
waktu 28 hari. (Centers for Disease Control and Prevention)
2.3 Herpes Simplex
2.3.1 Definisi
Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh herpes simpleks virus
(HSV) tipe I atau tipe II yang ditandai dengan adanya vesikel yang berkelompok di atas
kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah dekat mukokutan (Handoko, 2010).
Herpes simpleks adalah infeksi virus yang menyebabkan lesi atau lepuh pada
serviks, vagina, dan genitalia eksterna.( Smeltzer, Suzanne C, 2010). Herpes simpleks
adalah suatu penyakit virus menular dengan afinitas pada kulit,selaput lender, dan sistem
saraf. (Price, 2006)
2.3.2 Etiologi
HSV tipe 1, menyebabkan demam seperti pilek dengan menimbulkan luka di bibir
semacam sariawan. HSV jenis ini ditularkan melalui ciuman mulut atau bertukar alat
makan seperti sendok – garpu (misalnya suap-suapan dengan teman). Virus tipe 1 ini juga
bisa menimbulkan luka di sekitar alat kelamin.
HSV tipe 2; dapat menyebabkan luka di daerah alat vital sehingga suka disebut
genital herpes, yang muncul luka-luka di seputar penis atau vagina. HSV 2 ini juga bisa
menginfeksi bayi yang baru lahir jika dia dilahirkan secara normal dari ibu penderita
herpes. HSV-2 ini umumnya ditularkan melalui hubungan seksual. Virus ini juga sesekali
muncul di mulut. Dalam kasus yang langka, HSV dapat menimbulkan infeksi di bagian
tubuh lainnya seperti di mata dan otak. (Habif.2005)
2.3.3 Patogenesis Herpes Simpleks
Infeksi primer: HSV masuk melalui defek kecil pada kulit atau mukosa dan
bereplikasi lokal lalu menyebar melalui akson ke ganglia sensoris dan terus bereplikasi.
Dengan penyebaran sentrifugal oleh saraf-saraf lainnya menginfeksi daerah yang lebih
luas. Setelah infeksi primer HSV masuk dalam masa laten di ganglia sensoris (Sterry,
2006).
Menurut Habif (2004) infeksi HSV ada dua tahap: infeksi primer, virus menyerang
ganglion saraf; dan tahap kedua, dengan karakteristik kambuhnya penyakit di tempat
yang sama. Pada infeksi primer kebanyakan tanpa gejala dan hanya dapat dideteksi
dengan kenanikan titer antibody IgG. Seperti kebanyakan infeksi virus, keparahan
penyakit meningkat seiring bertambahnya usia. Virus dapat menyebar melalui udara via
droplets, kontak langsung dengan lesi, atau kontak dengan cairan yang mengandung
virus seperti ludah. Gejala yang timbul 3 sampai 7 hari atau lebih setelah kontak yaitu:
kulit yang lembek disertai nyeri, parestesia ringan, atau rasa terbakar akan timbul
sebelum terjadi lesi pada daerah yang terinfeksi. Nyeri lokal, pusing, rasa gatal, dan
demam adalah karakteristik gejala prodormal.
Vesikel pada infeksi primer HSV lebih banyak dan menyebar dibandingkan infeksi
yang rekuren. Setiap vesikel tersebut berukuran sama besar, berlawanan dengan vesikel
pada herpes zoster yang beragam ukurannya. Mukosa membran pada daerah yang lesi
mengeluarkan eksudat yang dapat mengakibatkan terjadinya krusta. Lesi tersebut akan
bertahan selama 2 sampai 4 minggu kecuali terjadi infeksi sekunder dan akan sembuh
tanpa jaringan parut (Habif, 2004).
Virus akan bereplikasi di tempat infeksi primer lalu viron akan ditransportasikan
oleh saraf via retrograde axonal flow ke ganglia dorsal dan masuk masa laten di
ganglion. Trauma kulit lokal (misalnya: paparan sinar ultraviolet, abrasi) atau
perubahan sistemik (misalnya: menstruasi, kelelahan, demam) akan mengaktifasi
kembali virus tersebut yang akan berjalan turun melalui saraf perifer ke tempat yang
telah terinfeksi sehingga terjadi infeksi rekuren. Gejala berupa rasa gatal atau terbakar
terjadi selama 2 sampai 24 jam dan dalam 12 jam lesi tersebut berubah dari kulit yang
eritem menjadi papula hingga terbentuk vesikel berbentuk kubah yang kemudian akan
ruptur menjadi erosi pada daerah mulut dan vagina atau erosi yang ditutupi oleh krusta
pada bibir dan kulit. Krusta tersebut akan meluruh dalam waktu sekitar 8 hari lalu kulit
tersebut akan reepitelisasi dan berwarna merah muda (Habif, 2004).
Infeksi HSV dapat menyebar ke bagian kulit mana saja, misalnya: mengenai jarijari tangan (herpetic whitlow) terutama pada dokter gigi dan perawat yang melakukan
kontak kulit dengan penderita. Tenaga kesehatan yang sering terpapar dengan sekresi
oral merupakan orang yang paling sering terinfeksi (Habif, 2004). Bisa juga mengenai
para pegulat (herpes gladiatorum) maupun olahraga lain yang melakukan kontak tubuh
(misalnya rugby) yang dapat menyebar ke seluruh anggota tim (Sterry, 2006).
2.3.4 Manifestasi Klinis
Infeksi herpes simpleks virus berlangsung dalam tiga tahap: infeksi primer, fase
laten dan infeksi rekuren. Pada infeksi primer herpes simpleks tipe I tempat predileksinya
pada daerah mulut dan hidung pada usia anak-anak. Sedangkan infeksi primer herpes
simpleks virus tipe II tempat predileksinya daerah pinggang ke bawah terutama daerah
genital.Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat sekitar tiga minggu dan
sering disertai gejala sistemik, misalnya demam, malaise dan anoreksia. Kelainan klinis
yang dijumpai berupa vesikel berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa,
berisi cairan jernih dan menjadi seropurulen, dapat menjadi krusta dan dapat mengalami
ulserasi (Handoko, 2010).
Pada fase laten penderita tidak ditemukan kelainan klinis, tetapi herpes simpleks
virus dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis (Handoko, 2010).
Pada tahap infeksi rekuren herpes simpleks virus yang semula tidak aktif di ganglia
dorsalis menjadi aktif oleh mekanisme pacu (misalnya: demam, infeksi, hubungan
seksual) lalu mencapai kulit sehingga menimbulkan gejala klinis yang lebih ringan dan
berlangsung sekitar tujuh sampai sepuluh hari disertai gejala prodormal lokal berupa rasa
panas, gatal dan nyeri. Infeksi rekuren dapat timbul pada tempat yang sama atau tempat
lain di sekitarnya (Handoko, 2010).
2.3.5 Pemeriksaan Diagnostik
Herpes simpleks virus (HSV) dapat ditemukan pada vesikel dan dapat dibiakkan.
Pada keadaan tidak ada lesi dapat diperiksa antibodi HSV dengan tes Tzanck dengan
pewarnaan Giemsa dapat ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi
intranuklear (Handoko, 2010).
Tes Tzanck dapat diselesaikan dalam waktu 30 menit atau kurang.Caranya dengan
membuka vesikel dan korek dengan lembut pada dasar vesikel tersebut lalu letakkan pada
gelas obyek kemudian biarkan mongering sambil difiksasi dengan alkohol atau
dipanaskan.Selanjutnya beri pewarnaan (5% methylene blue, Wright, Giemsa) selama
beberapa detik, cuci dan keringkan, beri minyak emersi dan tutupi dengan gelas penutup.
Jika positif terinfeksi hasilnya berupa keratinosit yang multinuklear dan berukuran besar
berwarna biru (Frankel, 2006).
Identifikasi virus dengan PCR, mikroskop elektron, atau kultur (Sterry, 2006). Tes
serologi menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) spesifik HSV tipe II
dapat membedakan siapa yang telah terinfeksi dan siapa yang berpotensi besar menularkan
infeksi (McPhee, 2007).
2.3.6 Komplikasi
Menurut Hunter (2003) komplikasi herpes simpleks adalah herpes ensefalitis atau
meningitis tanpa ada kelainan kulit dahulu, vesikel yang menyebar luas ke seluruh tubuh,
ekzema herpeticum, jaringan parut, dan eritema multiforme.
2.3.7 Penatalaksanaan
Pada lesi yang dini dapat digunakan obat topikal berupa salap/krim yang
mengandung preparat idoksuridin (stoxil, viruguent, virunguent-P) atau preparat asiklovir
(zovirax).Pengobatan oral preparat asiklovir dengan dosis 5x200mg per hari selama 5 hari
mempersingkat kelangsungan penyakit dan memperpanjang masa rekuren.Pemberian
parenteral asiklovir atau preparat adenine arabinosid (vitarabin) dengan tujuan penyakit
yang lebih berat atau terjadi komplikasi pada organ dalam (Handoko, 2010).
Pada terapi sistemik digunakan asiklovir, valasiklovir, atau famsiklovir. Jika pasien
mengalami rekuren enam kali dalam setahun, pertimbangkan untuk menggunakan
asiklovir 400 mg atau valasiklovir 1000 mg oral setiap hari selama satu tahun. Untuk obat
oles digunakan lotion zinc oxide atau calamine. Pada wanita hamil diberi vaksin HSV
sedangkan pada bayi yang terinfeksi HSV disuntikkan asiklovir intra vena (Sterry, 2006).
2.4 Herpes Zoster
2.4.1 Pengertian
Herpes zooster adalah radang kulit akut dan setempat yang merupakan
reaktivasi virus variselo-zaster dari infeksi endogen yang telah menetap dalam bentuk
laten setelah infeksi primer oleh virus ( Marwali, 2000).
Sedangkan menurut Sjaiful (2002), merupakan penyakit neurodermal ditandai dengan
nyeri radikular unilateral serta erupsi vesikuler berkelompok dengan dasar eritematoso
pada daerah kulit yang dipersarafi oleh saraf kranialis atau spinalis.
Menurut Mansjoer A (2007) Herpes zoster (dampa,cacar ular) adalah penyakit
yang disebabkan infeksi virus varisela-zoster yang menyerang kulit dan mukosa.
Infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah infeksi primer.
Dari tiga pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan, herpes zooster adalah
radang kulit akut dan setempat yang merupakan reaktivasi virus variselo-zaster yang
menyerang kulit dan mukosa ditandai dengan nyeri radikular unilateral serta erupsi
vesikuler berkelompok dengan dasar eritematoso.
2.4.2 Etiologi
Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus varicella zoster. Infeksiositas
virus ini dengan cepat dihancurkan oleh bahan organic, deterjen, enzim proteolitik,
panas dan suasana Ph yang tinggi. Masa inkubasinya 14–21 hari.
a. Faktor Resiko Herpes zoster.
1) Usia lebih dari 50 tahun, infeksi ini sering terjadi pada usia ini akibat daya tahan
tubuhnya melemah. Makin tua usia penderita herpes zoster makin tinggi pula
resiko terserang nyeri.
2) Orang yang mengalami penurunan kekebalan (immunocompromised) seperti
HIV dan leukimia. Adanya lesi pada ODHA merupakan manifestasi pertama
dari immunocompromised.
3) Orang dengan terapi radiasi dan kemoterapi.
4) Orang dengan transplantasi organ mayor seperti transplantasi sumsum tulang.
2.4.3 Patofisiologi
Herpes zoster bermula dari Infeksi primer dari VVZ (virus varisells zoster) ini
pertama kali terjadi di daerah nasofaring. Disini virus mengadakan replikasi dan dilepas
ke darah sehingga terjadi viremia permulaan yang sifatnya terbatas dan asimptomatik.
Keadaan ini diikuti masuknya virus ke dalam Reticulo Endothelial System (RES) yang
kemudian mengadakan replikasi kedua yang sifat viremianya lebih luas dan
simptomatik dengan penyebaran virus ke kulit dan mukosa. Sebagian virus juga
menjalar melalui serat-serat sensoris ke satu atau lebih ganglion sensoris dan berdiam
diri atau laten didalam neuron. Selama antibodi yang beredar didalam darah masih
tinggi, reaktivasi dari virus yang laten ini dapat dinetralisir, tetapi pada saat tertentu
dimana antibodi tersebut turun dibawah titik kritis maka terjadilah reaktivasi dari virus
sehingga terjadi herpes zoster.
2.4.4 Klasifikasi
Menurut lokasi lesinya, herpes zoster dibagi menjadi:
a. Herpes zoster oftalmikus
Herpes zoster oftalmikus merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang ophtalmicus saraf
trigeminus (N.V), ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.Infeksi diawali dengan
nyeri kulit pada satu sisi kepala dan wajah disertai gejala konstitusi seperti lesu,
demam ringan. Gejala prodromal berlangsug 1 sampai 4 hari sebelum kelainan kulit
timbul. Fotofobia, banyak kelar air mata, kelopak mata bengkak dan sukar dibuka.
Gambar 1. Herpes zoster oftalmikus sinistra.
(http://eyewiki.aao.org/Herpes_Zoster_Ophthalmicus)
b. Herpes zoster fasialis
Herpes zoster fasialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian
ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis (N.VII), ditandai erupsi herpetik
unilateral pada kulit.
Gambar 2. Herpes zoster fasialis dekstra.
(http://www.medeco.de/kieferchirurgie-dentalatlas/viruserkrankungen-dermundschleimhaut/)
c. Herpes zoster brakialis
Herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus
brakialis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
Gambar 3. Herpes zoster brakialis sinistra.
(http://www.medicinenet.com/image-collection/herpes_zoster_picture/picture.htm)
d. Herpes zoster torakalis
Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus
torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
Gambar 4. Herpes zoster torakalis sinistra.
(http://www.medicinenet.com/image-collection/herpes_zoster_picture/picture.htm)
e. Herpes zoster lumbalis
Herpes zoster lumbalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus
lumbalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
f. Herpes zoster sakralis
Herpes zoster sakralis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus
sakralis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
Gambar 5. Herpes zoster sakralis dekstra.
(http://dr-suparyanto.blogspot.co.id/2014/03/penyakit-herpes-zoster.html)
2.4.5 Manifestasi Klinik
a. Gejala prodomal
1) Keluhan biasanya diawali dengan gejala prodomal yang berlangsung selama 1 – 4
hari.
2) Gejala yang mempengaruhi tubuh : demam, sakit kepala, fatige, malaise, nusea,
rash, kemerahan, sensitive, sore skin ( penekanan kulit), neri, (rasa terbakar atau
tertusuk), gatal dan kesemutan. Nyeri bersifat segmental dan dapat berlangsung
terus menerus atau hilang timbul. Nyeri juga bisa terjadi selama erupsi kulit.
3) Gejala yang mempengaruhi mata : Berupa kemerahan, sensitive terhadap cahaya,
pembengkakan kelopak mata. Kekeringan mata, pandangan kabur, penurunan
sensasi penglihatan dan lain – lain.
b. Timbul erupsi kulit
1) Kadang terjadi limfadenopati regional
2) Erupsi kulit hampir selalu unilateral dan biasanya terbatas pada daerah yang
dipersarafioleh satu ganglion sensorik. Erupsi dapat terjadi di seluruh bagian tubuh,
yang tersering di daerah ganglion torakalis.
3) Lesi dimulai dengan macula eritroskuamosa, kemudian terbentuk papul–papul dan
dalam waktu 12–24 jam lesi berkembang menjadi vesikel. Pada hari ketiga berubah
menjadi pastul yang akan mengering menjadi krusta dalam 7–10 hari. Krusta dapat
bertahan sampai 2–3 minggu kemudian mengelupas. Pada saat ini nyeri segmental
juga menghilang
4) Lesi baru dapat terus muncul sampai hari ke-4 dan kadang–kadang sampai hari ke7
5) Erupsi kulit yang berat dapat meninggalkan macula hiperpigmentasi dan jaringan
parut (pitted scar)
6) Pada lansia biasanya mengalami lesi yang lebih parah dan mereka lebih sensitive
terhadap nyeri yang dialami.
2.4.6 Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostic pada Herpes zoster. Tes diagnostic ini untuk membedakan dari
impetigo, kontak dermatitis dan herps Zooster :
a. Tzanck Smear : mengidentifikasi virus herpes tetapi tidak dapat membedakan herpes
zoster dan herpes simplex.
b. Kultur dari cairan vesikel dan tes antibody : digunakan untuk membedakan diagnosis
herpes virus
c. Immunofluororescent : mengidentifikasi varicella di sel kulit
d. Pemeriksaan histopatologik
e. Pemerikasaan mikroskop electron
f. Kultur virus
g. Identifikasi anti gen / asam nukleat VVZ (virus varisela zoster)
h. Deteksi antibody terhadap infeksi virus:
1) Virologi:
a) Mikroskop cahaya.
b) Pemeriksaan antigen langsung (imunofluoresensi).
c) PCR,
d) Kultur Virus,
2) Serologi
a) ELISA,
b) Western Blot Test,
c) Biokit HSV-II.
2.4.7 Komplikasi
Herpes zoster tidak menimbulkan komplikasi pada kebanyakan orang. Bila timbul
komplikasi, hal-hal berikut dapat terjadi:
a. Neuralgia pasca herpes. Ini adalah komplikasi yang paling umum. Nyeri saraf
(neuralgia) akibat herpes zoster ini tetap bertahan setelah lepuhan kulit menghilang.
b. Infeksi kulit. Kadang-kadang lepuhan terinfeksi oleh bakteri sehingga kulit
sekitarnya menjadi merah meradang. Jika hal ini terjadi maka Anda mungkin perlu
antibiotik.
c. Masalah mata. Herpes zoster pada mata dapat menyebabkan peradangan sebagian
atau seluruh bagian mata yang mengancam penglihatan.
d. Kelemahan/layuh otot. Kadang-kadang, saraf yang terkena dampak adalah saraf
motorik dan saraf sensorik yang sensitif. Hal ini dapat menimbulkan kelemahan
(palsy) pada otot-otot yang dikontrol oleh saraf.
e. Komplikasi lain. Misalnya, infeksi otak oleh virus varisela-zoster, atau penyebaran
virus ke seluruh tubuh. Ini adalah komplikasi yang sangat serius tapi jarang terjadi.
2.4.8 Penatalaksanaan Medis
Herpes zoster biasanya sembuh sendiri setelah beberapa minggu. Biasanya pengobatan
hanya diperlukan untuk meredakan nyeri dan mengeringkan inflamasi.
a. Pada stadium vesicular diberi bedak salicyl 2% atau bedak kocok kalamin untuk
mencegah vesikel pecah.
b. Bila vesikel pecah dan basah, diberikan kompres terbuka dengan larutan antiseptik
atau kompres dingin dengan larutan burrow 3 x sehari selama 20 menit.
c. Pereda nyeri. Salah satu masalah terbesar herpes zoster adalah rasa nyeri. Nyeri ini
kadang-kadang sangat keras. Parasetamol dapat digunakan untuk meredakan sakit.
Jika tidak cukup membantu, silakan tanyakan kepada dokter Anda untuk
meresepkan analgesik yang lebih kuat.
d. Antivirus. Penggunaan obat antivirus diberikan 72 jam setelah terbentuk ruam akan
mempersingkat durasi terbentuknya ruam dan meringankan rasa sakit. Apabila
gelembung telah pecah, maka penggunaan antivirus tidak efektif lagi.
e. Steroid. Steroid
membantu
mengurangi
peradangan
dan
mempercepat
penyembuhan lepuhan. Namun, penggunaan steroid untuk herpes zoster masih
kontroversial. Steroid juga tidak mencegah neuralgia pasca herpes.
2.5 Konsep Asuhan Keperawatan
2.5.1 Pengkajian
1. Anamnesa
a. Identitas Klien
Dapat terjadi pada semua orang di semua umur; sering terjadi pada remaja dan
dewasa muda. Jenis kelamin; dapat terjadi pada pria dan wanita.
b. Keluhan Utama
Gejala yang sering menyebabkan penderita datang ke tempat pelayanan kesehatan
adalah nyeri pada lesi yang timbul dan gatal-gatal pada daerah yang terkena pada
fase-fase awal.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Penderita merasakan nyeri yang hebat, terutama pada area kulit yang mengalami
peradangan berat dan vesikulasi yang hebat, selain itu juga terdapat lesi/vesikel
perkelompok dan penderita juga mengalami demam.
d. Riwayat Kesehatan Lalu
Tanyakan apakah klien pernah mengalami hal yang sama sebelumnya
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Tanyakan kepada penderita ada atau tidak anggota keluarga atau teman dekat yang
terinfeksi virus ini.
f. Riwayat Psikososial
Klien dengan penyakit kulit, terutama yang lesinya berada pada bagian muka atau
yang dapat dilihat oleh orang, biasanya mengalami gangguan konsep diri.hal itu
meliputi perubahan citra tubuh, ideal diri tubuh, ideal diri, harga diri, penampilan
peran, atau identitas diri.
Reaksi yang mungkin timbul adalah:
1) Menolak untuk menyentuh atau melihat salah satu bagian tubuh.
2) Menarik diri dari kontak social.
3) Kemampuan untuk mengurus diri berkurang.
2. Pemeriksaan Fisik Pada Klien dengan Varicella, herpes simplek, herpes zoster
Keadaan umum klien bergantung pada luas, lokasi timbulnya lesi, dan daya tahan tubuh
klien. pada kondisi awal/saat proses peradangan , dapat terjadi peningkatan suhu tubuh
atau demam dan perubahan tanda-tanda vital yang lain. Pada pengkajian kulit, ditemukan
adanya vesikel-vesikel berkelompok yang nyeri ,edema di sekitar lesi, dan dapat pula
timbul ulkus pada infeksi sekunder. Pada pemeriksaan genitalia pria, daerah yang perlu
diperhatikan adalah bagian glans penis, batang penis, uretra, dan daerah anus. Sedangkan
pada wanita, daerah yang perlu diperhatikan adalah labia mayor dan minor, klitoris,
introitus vagina, dan serviks. Jika timbul lesi, catat jenis, bentuk, ukuran / luas, warna,
dan keadaan lesi. Palpasi kelenjar limfe regional, periksa adanya pembesaran; pada
beberapa kasus dapat terjadi pembesaran kelenjar limfe regional.
Untuk mengetahui adanya nyeri, kita dapat mengkaji respon individu terhadap nyeri akut
secara fisiologis atau melalui respon perilaku. Secara fisiologis,terjadi diaphoresis,
peningkatan denyut jantung, peningkatan pernapasan, dan peningkatan tekanan darah;
pada perilaku, dapat juga dijumpai menangis, merintih, atau marah. Lakukan pengukuran
nyeri dengan menggunakan skala nyeri 0-10 untuk orang dewasa. Untuk anak-anak, pilih
skala yang sesuai dengan usia perkembangannya kita bisa menggunakan skala wajah
untuk mengkaji nyeri sesuai usia; libatkan anak dalam pemilihan.
2.5.2 Diagnosa
1. Hipertermia berhubugan dengan penyakit
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan pigmentasi kulit (timbul
bula, kemerahan)
4. Gangguan citra diri berhubungan dengan penyakit
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia
6. Resiko infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit
7. Ketidakefektifan pola seksual berhubungan dengan takut infeksi menular seksual
2.5.3 Intervensi
No
1
Diagnosa
Hipertermia
berhubugan dengan
penyakit
Tujuan dan Kritera hasil
selama dilakukan tindakan
keperawatan, pasien mampu
mempertahankan
kondisi
normotermi dengan kriteria
hasil:
- Suhu tubuh dalam
rentang normal
- Nadi dan RR dalam
rentang normal
2
Nyeri
akut Selama dilakukan tindakan
berhubungan
keperawatan, nyeri pasien
dengan agen cidera hilang dengan kriteria hasil:
biologis
- Pasien
mampu
mengontrol nyeri
- Melaporkan
nyeri
berkurang
menggunakan
managemen nyeri
- Mampu
mengenali
nyeri (skala, intensitas,
frekuensi)
3
Kerusakan
integritas
kulit
berhubungan
dengan perubahan
pigmentasi
kulit
Selama dilakukan tindakan
keperawatan,
pasien
mampumencapai
penyembuhan pada kulit
dengan kriteria hasil:
Intervensi
a. Monitor suhu pasien
b. Monitor nadi, RR
pasien
c. Monitor
intake
output pasien
d. Berikan penjelasan
tentang
penyebab
demam
atau
peningkatan
suhu
tubuh
e. Beri kompres hangat
di daerah ketiak dan
dahi
f. Kolaborasi dengan
dokter
dalam
pemberian antiviral,
antipiretik
a. Lakukan
pengkajian nyeri
secara
komprehensif
b. Observasi
reaksi
nonverbal
dari
ketidaknyamanan
c. Kontrol lingkungan
yang
dapat
mempengaruhi
nyeri seperti suhu
ruangan,
pencahayaan,
kebisingan
d. Ajarkan
tentang
teknik pernafasan /
relaksasi
e. Kolaborasi
pemberian
analgetik
f. Evaluasi
keefektifan kontrol
nyeri
g. Anjurkan
klien
untuk beristirahat
a. Observasi keaadan
bula pasien
b. Anjurkan
pada
pasien untuk tidak
menggaruk bula
(timbul
kemerahan)
4
bula,
-
Integritas kulit yang
baik bisa dipertahankan
(pigmentasinya)
- Luka atau lesi pda kulit
menunjukan
proses
penyembuhan dengan
adanya
regenerasi
jaringan
Gangguan citra diri Setelah dilakukan tindakan
berhubungan
keperawatan pasien tidak
dengan penyakit
mengalami gangguan citra
tubuh, dengan kriteria hasil :
- body image positif
- Mempertahankan
interaksi sosial
5
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
berhubungan
dengan intake tidak
adekuat
Selama dilakukan tindakan
keperawatan,
kebutuhan
nutrisi pasien terpenuhi
dengan kriteria hasil :
- Tidak ada tanda-tanda
malnutrisi
- Tidak
ada
mual/muntah
6
Resiko
infeksi
berhubungan
dengan gangguan
integritas kulit
Selama dilakukan tindakan
keperawatan,
pasien
terhindar
dari
infeksi
sekunder dengan kriteria
hasil :
- Klien
mampu
mendeskripsikan
proses
penularan
penyakit,
faktor
yang mempengaruhi
c. Jaga
kebersihan
kulit
d. Kolaborasi dengan
dokter
dalam
pemberian
obat
topikal
a. Dorong
klien
mengungkapkan
perasaannya
b. Jelaskan tentang
pengobatan,
perawatan
c. Fasilitasi kontak
individu
dengan
kelompok kecil
d. Beri reinforcement
yang positif
a. Monitor
mual/muntah
b. Observasi dan kaji
intake pasien
c. Anjurkan makan
sedikit-sedikit tapi
sering
d. Hidangkan
makanan
selagi
hangat
e. Kolaborasi dengan
ahli gizi dalam
pemberian
dan
penyusunan menu
favorite klien
f. Kolaborasi dengan
dokter
dalam
pemberian
anti
emetik
dan
penambah
nafsu
makan
a. Tekankan
pentingnya teknik
cuci tangan yang
baik untuk semua
individu
yang
datang
kontak
dengan pasien.
b. Gunakan
skort,
sarung
tangan,
masker dan teknik
-
-
penularan
serta
penatalaksanaannya
Menunjukan
kemampuan untuk
mencegah timbulnya
infeksi baru
Menunjukan
perilaku hidup sehat
c.
d.
e.
7
Ketidakefektifan
pola seksual
berhubungan
dengan takut
infeksi menular
seksual
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan, pola seksual
pasien
kembali
efektif
dengan kriteria hasil :
- Pola seksualitas klien
normal
- Klien terlihat tidak cemas
terhadap
aktifitas
seksualnya
Klien
mampu
menggunakan mekanisme
koping yang efektif
a.
b.
c.
d.
aseptic,
selama
perawatan kulit.
Cukur atau ikat
rambut di sekitar
daerah
yang
terdapat erupsi.
Bersihkan jaringan
nekrotik / yang
lepas
(termasuk
pecahnya lepuh)
Kolaborasi dengan
dokter
dalam
pemberian antiviral
Kaji
tingkat
kecemasan
klien
yang berhubungan
dengan
pola
seksual
Jelaskan pada klien
waktu
untuk
melakukan
hubungan seksual
sesuai kondisinya
Beri
edukasi
tentang
keadaan
klien
apabila
berhubungan
seksual
Anjurkan
pada
pasien
untuk
mengikuti program
pengobatan
dan
perawatan sampai
tuntas
BAB 3
STUDI KASUS HERPEZ ZOSTER
Kasus
Bpk. S berumur 62 tahun, mengalami plenting-plenting di dahi dan kelopak mata kiri sejak 3
hari yang lalu. Mulanya muncul merah dan plenting sedikit di dahi kiri lalu bertambah
banyak sampai ke kelopak mata kiri. Kelopak mata terasa nyeri dan berat jika digerakkan.
Penderita juga merasakankan nyeri dikulit daerah muncul plenting. Sehari sebelumnya
penderita mengeluh tidak enak badan dan demam ringan. Belum pernah berobat untuk
keluhan ini.
3.1 Pengkajian
A. Anamnesis
1. Identitas :
a. Nama
: Bpk. S
b. Umur
: 62 tahun
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Alamat
: Mulyosari
e. Pekerjaan
: Pensiunan Guru
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan Utama
Plenting – plenting dan nyeri pada dahi dan kelopak mata kiri
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 3 hari yang lalu, muncul plenting-plenting di dahi dan kelopak mata kiri.
Mulanya muncul merah dan plenting sedikit di dahi kiri lalu bertambah banyak
sampai ke kelopak mata kiri. Kelopak mata terasa nyeri dan berat jika
digerakkan. Penderita juga merasakankan nyeri dikulit daerah muncul
plenting. Sehari sebelumnya penderita mengeluh tidak enak badan dan demam
ringan. Belum pernah berobat untuk keluhan ini. Pasien minum paracetamol
untuk menurunkan demamnya.
c. Riwayat Penyakit dahulu
Riwayat cacar air waktu kecil tidak diketahui. Tidak pernah menderita
penyakit ini sebelumnya dan tidak pernah di rawat di RS.
d. Riwayat Penyakit keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan serupa.
e. Kebiasaan/ Lingkungan
Penderita mempunyai kebiasaan jalan santai 1 jam setiap hari. Penderita tidak
merokok dan minum alkohol
B. Pemeriksaan Fisik
1. B1 (Breath)
Tidak ada keluhan batuk, pilek, sesak napas.
2. B2 (Blood)
Leukositosis
3. B3 (Brain)
Demam ringan, suhu : 37°C,
4. B4 (Bladder)
Tidak ada keluhan
5. B5 (Bowel)
Tidak ada keluhan
6. B6 (Bone)
Nyeri di daerah munculnya plenting.
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Tzanck Smear : Mengidentifikasi virus herpes tetapi tidak dapat membedakan
herpes zoster dan herpes simplex.
2. Kultur
dari
cairan
vesikel
dan
tes
antibody:
digunakan
membedakan diagnostic herpes virus.
3. Immunoflourorescent: mengidentifikasi varicella di sel kulit.
4. Pemeriksaan histopatologik
5. Kultur virus
6. Identifikasi Antigen / asam nukleat VVZ
3.2 Analisa Data
Data
Etiologi
DS : Pasien mengatakan
Varicela Zoster Virus
Kelopak mata terasa nyeri
dan berat jika digerakkan.
Inflamasi dan neuralgia
Penderita
juga
berat
merasakankan
nyeri
dikulit daerah muncul
Virus aktif ikut serabut
plenting
saraf sensorik
Masalah Keperawatan
Nyeri
untuk
DO : ada Vesikel
bergerombol di sekitar
kelopak
mata
kiri,
berwarna merah, suhu : 37
°C
Neuritis
Pelepasan mediator nyeri
Nyeri
DS : Sejak 3 hari yang
Varicela Zoster Virus
Kerusakan integritas kulit
lalu, muncul plentingplenting di dahi dan Meninggalkan lesi di kulit
kelopak mata kiri.
dan permukaan mukosa
DO : ada Vesikel
ke ujung serabut saraf
bergerombol di sekitar
kelopak
mata
kiri, Kerusakan integritas kulit
berwarna merah
DS : Sejak 3 hari yang
Varicela Zoster Virus
Gangguan citra tubuh
lalu, muncul plentingplenting di dahi dan Meninggalkan lesi di kulit
kelopak mata kiri.
dan permukaan mukosa
DO : ada Vesikel
ke ujung serabut saraf
bergerombol di sekitar
kelopak
mata
kiri,
Gangguan citra tubuh
berwarna merah
3.3 Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri b.d proses inflamasi virus
2. Kerusakan integritas kulit b.d vesikel yang mudah pecah
3. Gangguan body image b.d perubahan penampilan
3.4 Intervensi Keperawatan
Diagnosa
NOC
Nyeri berhubungan dengan  Pain level
proses inflamasi virus
 Pain control
 Comfort level
Kriteria Hasil :
 Mampu
mengontrol nyeri
(tahu
penyebab
nyeri,
mampu
menggunakan
teknik
nonfarmakologi
untuk mengurangi
nyeri,
mencari
bantuan)
 Melaporkan bahwa
nyeri
berkurang
dengan
NIC
Pain Management
a.
Lakukan
pengkajian
nyeri secara komprehensif (
lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi,kualitas dan faktor
pesipitasi)
b.
Observasi reaksi non
verbal dari ketidaknyamanan
c.
Gunakan
komunikasi
terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri klien
d.
Kontrol lingkungan yang
dapat mempengaruhi nyeri
seperti
suhu
ruangan,
pencahayaan, kebisingan
e.
Ajarkan
tentang
teknik pernafasan / relaksasi
f.
Kolaborasi
pemberian
menggunakan
analgetik
manajemen nyeri
g.
Evaluasi
keefektifan
kontrol
nyeri
 Mampu mengenali
Anjurkan klien untuk
nyeri
(
skala h.
beristirahat
intensitas,
frekuensi,
dan i.Kolaborasi dengan dokter jika
keluhan dan tindakan nyeri
tanda nyeri)
 Menyatakan rasa tidak berhasil
nyaman
setelah
nyeri berkurang
Kerusakan integritas kulit  Tissue Integrity :
b.d vesikel yang mudah
Skin&Mucous
pecah
membrane
 Hemodyalisis
Akses
Kriteria Hasil :
 Tidak ada luka/lesi
pada kulit
 Perfusi
jaringan
baik
 Menunjukkan
pemahaman dalam
proses perbaikan
kulit
dan
mencegah
terjadinya sedera
berulang
Gangguan body image b.d  Body Image
perubahan penampilan
 Self Esteem
Kriteria Hasil :
 Body
Image
Positif
 Mampu
mengidentifikasi
kekuatan personal
 Mempertahankan
interaksi sosial
 Mendeskripsikan
secara
faktual
perubahan fungsi
tubuh
a.
b.
c.
d.
Pressure Management
Anjurkan pasien mengenakan
pakaian yang longgar
Jaga kebersihan kulit agar
tetap bersih dan tetap kering
Monitor kulit akan adanya
kemerahan
Mandikan pasien dengan
sabun dan air hangat
Body Image Enchancement
a. Kaji secara verbal dan
non verbal respon klien
terhadap tubuhnya
b. Jelaskan
tentang
pengobatan, perawatan,
kemajuan, dan prognosis
penyakit
c. Dorong
klien
mengungkapkan
perasaannya
d. Fasilitasi kontak dengan
individu lain dalam
kelompok kecil
Lampiran 1. WOC
HSV-1 , HSV-2, Varicella zoster
virus
Transmisi/penularan
melalui : Kontak langsung
dengan individu yang
terkena virus melalui
permukaan kulit dan
mukosa dalam sekresi oral,
genital
Virus masuk melalui
permukaan kulit dan
secret genital
Masuk ke sel epitel
mukosa/permukaan
kulit dan melebur dalam
membran sel
Terjadi Replikasi di
dalam sel
Menghasilkan banyak
Virion
MK :
-
Virion masuk ke dalam
inti sel neuron dan
ganglia sensoris dan
menginfeksi
 MK : ketidakefektifan
pola seksual
Menularkan melalui
permukaan kulit dan
secret mukosa
Sel melepas virus baru
sebelum selnya mati
Sistem imunitas
terangsang dan
merespon
Kerusakan
Integritas Kulit
Resiko infeksi
Gangguan citra
tubuh
Timbul Vesikula dan
Ulkus
Demam, myalgia,
malaise, anorexia
MK : Hipertermia
MK : Nyeri
-
Ketidakseimba
ngan nutrisi
kurang dari
kebutuhan
tubuh
DAFTAR PUSTAKA
Centers for Disease Control and Prevention.
http://www.immunize.org/vis/in_var.pdf
2008.
Vaksinasi
Cacar
Air.
Djuanda, Adhi (1993). Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin, Edisi Kedua, FK Universitas
Indonesia, Jakarta, 1993.
Dumasari, Ramona.2008. Varicella Dan Herpes Zozter. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit
Dan Kelamin. Universitas Sumatra Utara.
Finn, Adam 2005. Hot Topics In Infection And Immunity In Children II. New York: Spinger
Hadinegoro , dkk. 2010. Terapi Asiklovir Pada Anak Dengan Varisela Tanpa Penyulit .
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RS Dr Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta. Sari Pediatri, Vol. 11, No. 6, April 2010
Joanne M. McCloskey Dochterman. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC).
Elsevier. Mosby
Katsambas, Andreas. 2015. European Handbook of Dermatological Treatments. New York:
Spinger
Kurniawan, dkk. 2009. Varicela Zoster Pada Anak. Medicinus · Vol. 3 No. 1 Februari 2009 –
Mei 2009
Mansjoer Arif dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Media Aescula plus. Jakarta.
Mehta. 2006. Pyoderma gangrenosum on varicella lesions. Clinical and Experimental
Dermatology.Volume 32, pages 215–217, 27 November 2006
NANDA.2014. Nursing Diagnoses definitions and clasification 2015-2017 10th edition.
Wiley Blackwell
Prabhu, Smitha. 2009. Chilhood Herpes Zoster : A Clustering Of Ten Cases. Indian Journal
Of Dermatology.Vol : 54 Page 62-64
Rampengan, T.H. 2008. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, Edisi 2, jakarta: EGC.
Richard,E.Berhman,dkk.2012. Ilmu Kesehatan Anak Nelson.Jakarta:EGC.
Siregar., 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta ; EGC.
Sue Moorhead. 2013. NOC. Elsevier. Mosby
Thomson ,June M., et. al. 1986. Clinical Nursing Practice, The C.V. Mosby Company,
Toronto
Wasitaatmadja,S,M. 2010 Anatomi Kulit dan Faal Kulit. ed. 6 Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Download