WHAT IF Allah SWT bukan Tuhan YAHWEH

advertisement
WHAT IF Allah SWT bukan Tuhan YAHWEH
WHAT IF ATHEIS ITU BENAR? Mereka tegas menolak adanya Allah. Bagaimana
Anda dapat mengetahui bahwa Allah memang ada? Apakah mungkin manusia
memiliki pengetahuan tentang Allah atau Tuhan? Atau lebih jauh lagi bagaimana
kita mengetahui siapa Dia, dan apa kehendak dan rencanaNya bagi manusia?
Pertanyaan-pertanyaan ini lahir dari hasrat terdalam dari manusia yang sekaligus
membuktikan bahwa manusia merindukan pengetahuan tentang Allah.
Di bawah ini akan diterangkan sejumlah gejala dan fakta bahwa sekalipun Allah
memang tidak terjangkau oleh pengertian manusia, namun Ia sungguh dapat
dikenal. Secara naluriah seluruh umat manusia di muka bumi ini mempercayai
adanya Penguasa Tertinggi yang berkuasa atas kehidupan manusia. Masing-masing
suku bangsa dengan dialek bahasanya menyebut dengan nama atau istilah yang
mereka pahami. Dan tentu saja dari perspektif native-language-nya tidak menjadi
persoalan. Sebab itu hanya sebatas sebutan dialek bahasa ibu yang mereka miliki.
Seperti misalnya kata Eloah (Aramik-Ibranik), Theos (Yunani), dan Ilah (Arab).
Tetapi persoalan menjadi berbeda ketika kita berbicara dari perspektif
substansiteologisnya dan spirit (ruh) yang mengisi sebutan Nama Penguasa
Tertinggi sebagai wujud kebenaran yang ilahiah. Dalam konteks ini konsep
ketuhanan yang absah perlu segera dirujukkan berdasarkan sumbernya, apakah itu
bersumber dari pewahyuan murni, ataukah dari idea manusia yang membangun
kesosokan Tuhan seperti yang dipersepsikan hanya oleh akal budinya.
Inilah yang mendasari keyakinan setiap agama beserta umatnya bahwa
keberadaan Penguasa Tertinggi dapat dikenal dengan dua cara; lewat apa yang
disebut “pewahyuan umum” dan “pewahyuan khusus”. Pewahyuan umum
menyangkut manifestasi Allah, tanda-tanda adanya Allah yang dapat disaksikan
melalui Fenomena alam semesta yang mendatangkan satu kesadaran yang
mendasar: “Darimana atau siapakah yang menciptakan alam semesta?” Ia tak
dapat datang dari kekosongan. Haruslah ada Sang Pencipta (Al-Kholiq), yaitu Yang
Maha Kuasa yang tidak dicipta yang menciptakan dan memelihara alam semesta
ini. Selain itu, pewahyuan umum juga ditanamkan Sang Pencipta kedalam hati
nurani dan mental setiap manusia, sehingga secara universal mereka selalu terikat
dalam kesamaan moral hakiki (seperti perasaan dosa, keadilan dll), merasa rindu
mencari dan menyembah Dia yang dapat memberikan berkat dan pengharapan
akan kehidupan kekal.
Disamping wahyu umum, Allah juga turunkan wahyu khusus, bukan sekedar
memperkenalkan kuasa, kemuliaan dan hikmat penciptaNya atas alam semesta,
tetapi justru memperkenalkan pribadi, kehendak dan kasihNya yang mau
menyelamatkan umat manusia sebagai puncak pewahyuan, seperti yang
disampaikan dalam kitab-kitab suci seperti Alkitab dan Al-Qur‟an. Wahyu khusus
inilah yang akan membawa wahyu umum kepada sumbernya yang sejati.
1. Mengetahui keberadaan Allah melalui karya ciptaan-Nya. Ciptaan
membuktikan penciptanya. Voltaire berkata, “Bilamana sebuah jam dapat
membuktikan keberadaan seorang pembuat jam, tetapi alam semesta tidak dapat
membuktikan arsiteknya yang agung, maka saya bersedia disebut orang bodoh”.
Semakin banyak orang masa kini ingin menyangkal otoritas Tuhan Allah. Itu
sebabnya mereka terus mencoba untuk meyakinkan diri mereka (dan orang-orang
lain) bahwa sains (ilmu pengetahuan) menolak keberadaan Tuhan dan ajaran
penciptaanNya. Orang-orang hanya percaya bahwa mereka sendirilah yang
bertanggung jawab untuk dirinya dan tidak ada oknum-gaib didalam kosmos ini
yang mengatur kehidupannya.
Berbicara tentang sains penciptaan, kita harus masuk kedalam prinsip dasar dari
Sebab dan Akibat. Yaitu yang disebut PRINSIP KAUSALITAS, “tidak ada Akibat
yang dapat lebih besar dari Sebabnya”. Atau secara populer diartikan bahwa “Dari
yang tidak ada, tak akan terjadi apa yang ada”. Oleh karena itu harus ada Sebab
Pertama dari segala sesuatu yang hadir di alam raya ini yang telah diadakan
olehNya. Jadi Sebab Pertama ini haruslah mempunyai kemampuan dan
pengetahuan, semata-mata karena makhluk-makhluk didunia ini (dan alam raya itu
sendiri) juga mempunyai kemampuan dan kepintaran. Ini adalah Akibat yang harus
mempunyai Sebab yang cukup. Dan pada tingkat kemampuan/pengetahuan yang
sedemikian tinggi, prinsip kausalitas akan merujuk kepada Sebab Pertama yang
disebut Sang Maha Kuasa dan Maha Tahu. Alam raya tidak menciptakan dirinya
disaat manapun. Dan tak ada alam raya yang tak tergantung kepada sesuatu yang
lain.
Jadi pastilah ia diciptakan dimasa dulu oleh Sebab Pertama yang mahahebat, yang
disebut Tuhan Sang Pencipta. Dalam hal ini, baik Quran maupun Alkitab
merujukkan bahwa ada sosok Pencipta Al Kholiq yang dimaksud: karena Sosok ini
tidak dicipta, maka substansi diriNya adalah bukan dari unsurunsur semesta yang
ada, melainkan dari Dzat yang samasekali berbeda. Dzat ini meninggalkan tandatanda ciptaanNya bagi orang yang berakal (Qs. Ali Imran 3:190; al-Ankabut
29:61), yang bisa dibandingkan dengan kitab Mazmur dari Daud (Zabur 14:1;
19:2-4), yaitu 1600 tahun sebelum Muhammad: *“Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tandatanda bagi orang-orang yang berakal”. …“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan
kepada mereka: "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan
matahari dan bulan?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah", maka betapakah
mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)”. *”Orang bebal berkata dalam
hatinya: „tidak ada Allah‟ …(tetapi)…“Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan
cakrawala memberitakan pekerjaan (penciptaan dan pemeliharaan) tangan-Nya;
hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan
itu kepada malam… gema mereka terpencar ke seluruh dunia, dan perkataan
mereka sampai ke ujung bumi”
Jadi manusia menolak Allah bukan karena sains membuktikan hal tersebut,
melainkan semata-mata karena mereka sendiri yang tidak mengingini Sang
Pencipta seperti yang dikatakan dalam Kitab Roma 1:28: “…mereka tidak merasa
perlu untuk mengakui Allah…” Isaac Newton, seorang ahli matematika dan fisika
yang kondang, berkata: “Dalam kekosongan bukti apapun lainnya, maka jari
jempol saja cukup meyakinkan saya tentang keberadaan Tuhan”. Orang banyak
berdebat bahwa jika segala sesuatu ini harus berasal dari sesuatu Sebab, maka
Allah juga harus berasal usul dari sebuah Sebab. Tetapi ini merupakan suatu
kesalahan yang disebut kesalahan dimensional. Prinsip kausalitas tidak berkata
bahwa segala sesuatu – termasuk Sebab Pertama-- memerlukan Penyebab,
melainkan hanya sesuatu yang terbatas dan terukur (finite dan limited) itulah yang
memerlukan Penyebab. Jadi sesuatu yang mempunyai awal haruslah mempunyai
Penyebab.
Sebagai misal “melihat” dan “merasa” adalah dua kategori yang berbeda
dimensinya. Warna bisa dilihat, dan itu tidak ada hubungannya dengan rasa yang
dirasai. Sebuah pertanyaan “Bagaimana sebuah warna hijau itu rasanya?” adalah
pertanyaan yang tidak relevan, tidak ada kaitan karena berbeda dimensinya. Hal
yang sama terjadi untuk pertanyaan “ Siapa yang menciptakan Allah?” Ini
mencampur adukkan dimensi yang terbatas/ terukur (finite) dengan dimensi yang
tidak terbatas/terukur (infinite). Hanya sesuatu yang finite memerlukan sebuah
Sebab; sesuatu yang finite ini mempunyai asal usul dan masuk ke dalam eksistensi
(keberadaan). Sesuatu yang infinite seperti Allah tidak memerlukan dan tidak
mempunyai awal mula. Ia selalu eksis (ada) dan karenanya tidak mempunyai
Penyebab.
Albert Einstein, ilmuwan abadi, melihat bahwa jagat raya itu dalah hasil rancangan
dalam sistim yang teratur, dan karenanya lebih merupakan hasil karya yang bukan
asal ada secara sembarangan. Ia berkata, “tata susunan jagat raya
mengungkapkan suatu intelegensia yang superior yang melampaui semua
inteligensia manusia”.
2. Mengetahui kehadiran Allah melalui batin dan akal budi manusia.
Disamping merasakan kehadiran Allah lewat alam semesta, manusia juga
diperlengkapi Allah untuk mengetahuinya lewat akal budi dan batin terdalam.
Mengapa orang-orang diseluruh dunia semua menuntut dalam batinnya hak-hak
azazi manusia? Siapa bilang bahwa semua manusia harus mendapatkan hak hak
azazinya? Kenapa mereka mempunyai standar moral yang sangat mirip satu
terhadap lainnya? Mengapa terjadi pengelompokan mendasar yang sama terhadap
apa yang baik dan yang buruk? Apakah kerinduan dasar yang sama ini bukan suatu
kesaksian dari diri kita tentang keberadaan dan kehendak Allah yang memang
menanamkan moralitas demikian pada setiap manusia?
Konsep keberadaan Allah selalu ada dalam setiap budaya dan daerah, sekalipun
pada suku-suku terasing yang tak terjangkau. Kejadian-kejadian dalam dunia
dimana dari saat kesaat selalu ada orang yang memuja suatu sosok Allah atau
menampilkan sosok pengganti Allah, juga membuktikan bahwa konsep Allah itu ada
dalam kehidupan. Walau demikian, sebagian manusia tetap tidak mau
mengakuinya. Mereka menindas kebenaran! Kita ingat Bertrand Russell, seorang
matematikawan kaliber dunia dan sekaligus seorang atheis-vokal, penulis buku
yang terkenal, “Why I am not a Christian”. Menjelang kematiannya ia sempat
mengirim sebuah surat kepada seorang temannya. Disitu ia menulis,
“Dalam diri seseorang tampaknya ada sesuatu yang sangat melekat kepada Allah,
yang menolak untuk masuk dalam ikatan duniawi …paling tidak itulah yang saya
harus nyatakan jikalau saya berfikiran bahwa Allah itu memang ada. Ini hal yang
aneh, bukan? Saya peduli akan dunia ini dan akan manusia yang ada didalamnya,
tetapi …apakah semuanya itu? Pasti ada sesuatu yang lebih penting rasanya, walau
saya tidak percaya akan hal itu.”
Atheis sekaliber Bertrand Russell terpaksa mengakui keberadaan Allah sekalipun ia
berontak terhadapNya. Kebenaran sejati tentang keberadaan Allah diungkapkan
oleh akal budi nurani kita sendiri yang merupakan gambar dan cermin Allah yang
menyaksikan Penciptanya. Dalam bahasa Alkitab, ini dikatakan sebagai “ isi hukum
Allah ada tertulis dalam hati manusia yang akan turut membenarkan atau
mengutuk perilaku kita (Roma 2:14-15).
3. Keberadaaan dan pesan-pesan Allah diberitakan melalui wahyu khusus
dalam Kitab-Nya. Telah disinggung diatas bahwa Wahyu Umum cenderung
bersifat impersonal dan tidak memadai untuk mencapai keselamatan. Ia terlalu
samar mengakomodasikan semua bentuk isme-isme yang bisa berakhir pada
distorsi dan konfrontasi sesamanya, seperti mistisisme, panteisme, politeisme,
deisme dll. Hakekat, hukum dan kehendak Allah tidak cukup ditulis hanya semusemu dalam batin manusia, melainkan justru harus dibukakan dalam penyaksian/
pendalilan dari KalamNya yang diujudkan dalam “Sang Wahyu”. Dalam Islam ini
disebut sebagai pendalilan atau hujah naqli. Alasan yang paling utama bahwa kita
tahu adanya Allah adalah karena Alah sendiri yang menyatakan diriNya kepada
manusia. Wahyu Allah sendirilah sebagai syarat mutlak bagi manusia untuk dapat
mengenal tentang Allah. Sebab satu-satunya yang mengetahui tentang Allah
hanyalah Allah sendiri.
Tidak akan ada pertolongan kepada kita dalam pencaharian Sang Pencipta apabila
Allah itu sendiri diam dan bungkam saja. Namun kita bersyukur bahwa Allah tidak
tinggal diam. Dia telah berkomunikasi tentang faktafakta keberadaan dan jati
diriNya kepada kita. Ia telah menceritakan segala sesuatu tentang diriNya, apa-apa
yang diinginkanNya dan apa rencanaNya untuk planet bumi kita ini. Dia telah
mengungkapkan semuanya ini kepada manusia melalui Firman atau KalimatNya
Jadi, setiap orang pada dasarnya telah memiliki pengetahuan alam dan batin dan
pemberitaan khusus tentang Allah, karena Allah telah menyatakannya sendiri
kepada manusia dalam batin, pikiran, karya dan wahyuNya sejak dunia diciptakan,
sehingga tidak ada manusia yang sesungguhnya dapat berdalih lagi tentang
keberadaan Allah (Kitab Roma 1:20). Dengan demikian Allah telah menyatakan
bahwa “Apa yang kita tampak, menyaksikan apa yang tidak tampak”. Allah Dalam
Pewahyuan Islam.
Jikalau kita membaca Al-Qur‟an dengan seksama, tampak bahwa Allah berbicara
dengan para nabiNya lewat pewahyuan tanpa bisa melihat diri Allah. Pembicaraan
atau perintah Allah kepada nabi-nabi sebelum Muhammad semuanya terkesan
bersifat langsung. Bahkan ditegaskan Allah telah berbicara kepada Musa dengan
langsung, muka dengan muka, sehingga dia disebut sebagai Kalimullah (surat
4:164). Namun dalam Islam, Muhammad tidak pernah berbicara langsung dengan
Allahnya, demikian pula sebaliknya Allah tidak berwahyu kepadanya kecuali lewat
perantara malaikat yang disebut Jibril. Dengan demikian, keberadaan Allah SWT
sesungguhnya tidak ter-konfirmasi oleh Allah, melainkan oleh klaim Muhammad
sendiri, yang mengatasnamakan Jibril pula. Dengan kemutlakannya yang
transendental, Allah SWT tidak terikat oleh relativitas tempat dan waktu. Ia berada
diatasya, tidak dipengaruhi yang dulu atau yang akan datang atau lokasi. Ia adalah
selamanya, disemuanya, Yang Awal dan Yang Akhir.
Para Imam telah sepakat bahwa Rahmat Allah Subhanahu wa ta'alla berada di atas
Arasy yang agung (surat 9:129), dan tidak ada seorang pun dari makhluk yang
serupa dengan Dia. Mereka sepakat bahwa tahta ini mempunyai 8.000 pillar,
dengan jarak yang satu dengan lainnya sejauh 3 juta mil. PadaNya ada 99 nama
atau sifat Allah (Asmaaul Husna), sebagian (tidak semua) diambil dari nama-nama
yang digunakan Al Qur'an untuk merujukkan kepada keberadaan Allah. Diantara
namanama tersebut adalah : Al Aziz (Yang Unik dan Kuasa) Al Alim (Maha Tahu) Al
Malikul Mulk (Raja diRaja, Maharaja) Al Hayy (Maha Hidup) Al Muhyii (Maha
Memberi Kehidupan) Nama-nama Allah inilah yang pada umumnya dipakai Muslim
untuk memahami sedikit-sedikit keberadaan (eksistensi) Allah SWT, bukan
substansinya. Karena memang nama/ istilah saja tentu tidak akan memadai untuk
menjelaskan kehakikian Allah yang tak terbatas. Apalagi istilah itu tidak
diperlihatkan atau diikatkan pada contoh-contoh (incidences) konkrit dimana nama
atau sifat Allah tersebut muncul, sehingga. makna dari nama/ sifat tsb hanyalah
bersifat teoritis dan sloganis, mudah dikaurkan kemana-mana yang bukan menjadi
maksudnya.
Misalnya saja nama Al-Ghaffar/ Al-Ghaffur (Sang Pengampun) disebut-sebut Allah
dalam Al-Qur‟anNya sebanyak 111 kali, namun tidak sekalipun Dia mendukungnya
dengan berkata: “Dosamu Aku ampuni”! Ini berlainan dengan Tuhan Yahweh yang
berfirman kepada Abraham: "Jika Kudapati lima puluh orang benar dalam kota
Sodom, Aku akan mengampuni seluruh tempat itu karena mereka" (Kejadian
18:26). Dalam Kitab Yeremia, demikianlah firman TUHAN, “sebab Aku akan
mengampuni kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa mereka." (Jer
31:34). Dan Yesus Almasih, inkarnasi Firman Allah (KalimatNya) berkata kepada
seorang yang lumpuh: "Hai anak-Ku, dosamu sudah diampuni!" (Markus 2:5).
Banyak pihak Muslim tidak tahu bahwa pemilihan nama-nama tersebut adalah
acak, bukan seluruhnya terambil dari wahyu Allah, melainkan hanya 72 nama
pilihan yang dipetik dari dalam Al-Qur‟an yang diulang sebanyak 1286 kali. Itupun
entah kenapa, dengan meninggalkan sejumlah nama Allah yang lain, diantaranya
nama yang justru Allah sendiri ingin perhadapkan diriNya secara frontal dan tegas
kepada musuh-musuhnya yang tukang tipu, yaitu nama “Khairul Maakirrin”
(Penipu-Daya Yang Agung, lihat surat 3:54).
Spesialis Islam, J.W. Redhouse menerbitkan penemuannya ditahun 1880 bahwa
didalam Quran, terdapat total 552 nama yang bisa dikenakan kepada Allah.
Muhammad Ibn al Nawawi menulis: “Sekte dari mazhab Sufi mengemukakan
bahwa Allah bahkan mempunyai 1000 nama”. Sebaliknya terdapat sejumlah namanama diantaranya yang ternyata bisa saling bertolak belakang pemaknaannya, atau
berkonotasi keangkuhan/ kejahatan, seperti Al-Khafid dengan Al-Rafi (Yang
Merendahkan vs. Yang Meninggikan); atau Al-Mutakabbir (Sang Takabur), dan AlMumit (Sang Pembunuh) yang tentu mengerikan. Banyak teolog Islam sadar bahwa
mereka sesungguhnya tidak mempunyai dasar yang shahih untuk “memahami”
SIAPA Allah SWT yang sesungguhnya, jikalau hanya bertumpukan pada angka acak
99 Asmaaul Husna. Namun itu telah menjadi angka baku yang dipaterikan dalam
99 biji tasbih (3x33) yang tidak bisa diapa-apakan lagi.
Menjadi pertanyaan besar, kenapa nama-nama dan gelar dari Allah SWT ini harus
dicari-cari dengan berbelit-belit tanpa pewahyuan, sementara Injil cukup
menggelarkan satu “nama sebutan” yang justru memberikan pemahaman yang
paling komprehensif tentang eksistensi maupun substansi dari Tuhan Yahweh, yaitu
BAPA! Dalam satu nama ini tercakup pemahaman yang paling mendalam tentang
Sang Bapa, yaitu bahwa Father God is love, yang mengenal, menuntun, menolong,
memelihara, dan mencintai kita anak-anak-Nya secara pribadi, disetiap tempat dan
waktu. Dan Ia mau dan peduli menyelamatkan diri anakNya dari penghukuman dan
dari api neraka! Nama atau sebutan ini telah disebutkan dalam Injil dan oleh Yesus
sedikitnya sebanyak 160 kali (!), namun dikosongkan samasekali dalam Al-Qur‟an.
Padahal Yahweh sendiri yang membuktikan bahwa Yesus memang betul
mempunyai BapaNya disurga, dengan berkata langsung kepada para saksi mata:
"Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia."
(Mat.17:5; juga 3:17). Ucapan ini memberi implikasi langsung akan hubungan
khusus Sang BAPA dengan Sang Anak (Yesus), dan dengan kita manusia sebagai
anak-anakNya (lihat Artikel tentang Yesus).
ALLAH ISLAMI ADALAH TUHAN YAHWEH?
Muhammad berkata, “Allahmu dan Allahku satu”. Namun kita mulai disadarkan
bahwa sekalipun Allah Sang Pencipta hanya satu diseluruh jagad raya, dan walau
disebut dengan sebutan nama yang sama bunyinya, namun Dia bukan Tuhan atau
Dewa yang sama substansinya untuk setiap agama atau penyembah. Pepatah juga
ikut berkata, “banyak jalan menuju ke Roma, namun Roma-nya selalu satu”.
Tetapi, sekalipun Tuhan yang sejati hanya satu, tidaklah benar mengatakan bahwa
“aneka” agama-agama sedunia berurusan dengan satu Tuhan yang sama. Sebab
segala allah bangsa-bangsa adalah berhala, tetapi YAHWEH lah yang menjadikan
langit (1 Tawarikh 16:26). Kenapa Yahweh? Karena Dia-lah satu-satunya Tuhan
yang memperkenalkan diriNya sendiri sebagai Yahweh, bukan di buat, diolah,
dianggap, disampaikan oleh atau digulirkan manusia menjadi “Yahweh”. Jadi, tidak
menjadi soal bila disebutkan dalam klaim dan syahadah Islam, “Tiada Tuhan selain
Allah”; tetapi adalah prinsip bilamana kredo tersebut tidak membuktikan bahwa
Allah itu adalah Tuhan yang mencipta, tetapi dicipta, dengan tahta Arasy 8.000
pilar sejauh 24 miliar mil, yang mempunyai 99 nama termulia! Kini kita sorot
hakekatNya.
Pertama-tama, ada pertanyaan mendasar, dari mana munculnya nama “Allah”?
Pembacaan dalam keseluruhan Al-Qur‟an menunjukkan kelainan bahwa nama
“Allah” tidaklah diperkenalkan Muhammad kepada umatNya, melainkan digulirkan
begitu saja masuk kedalam ayat-ayat AlQur‟an. Ini tidak mengherankan karena
kepada Muhammad Allah memang tidak memperkenalkan namaNya sendiri.
Bukankah diatas telah dikatakan bahwa Allah-lah yang harus menyatakan diri
(termasuk nama tentunya) dan kehendakNya sendiri agar dikenal oleh umatNya?
Dan Allah sangat tahu akan hal ini, ketika Ia menjanjikan untuk mengajarkan halhal yang belum diketahui oleh manusia, dan itu dilakukanNya dalam
pewahyuanNya yang paling awal kepada Muhammad digua Hira (Qs.96): “Bacalah,
dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.
Jadi, kenapa dimasa awal Muhammad diutus sebagai NabiNya, dan juga diseluruh
Quran, Dia tidak memperkenalkan nama pribadiNya sebagai “Allah”? Kenapa Allah
sendiripun belum berani memunculkan namaNya dalam surat & wahyu-wahyu
awalnya, sehingga Muhammad walau telah dinyatakan sebagai Rasul Allah -- selalu
masih menyebut “Rabb” bagi Tuhannya? Lihat ada hampir 30 Surat diantara 50
surat-surat yang paling awal diturunkan kepada Muhammad itu tidak menyebut
“Allah”, melainkan “Rabb” atau “Ar-Rahman”, atau tidak menyebut nama apapun
bagi Tuhannya (a.l. Surat 54, 55, 56, 68, 75, 78, 83, 89, 92, 93, 94, 99, 100, 105,
106, 108, 113, 114 dst.) Nama “Allah” justru paling awal dimunculkan oleh Siti
Khadijah, istri pertama Muhammad, ketika mana ia mencoba menenangkan
suaminya yang bingung dan kacau menghadapi Ruh yang di gua Hira itu. Ini tentu
tidak masuk keakal sehat, sebab ketika itu Muhammadpun belum mengumumkan
siapa
nama
pribadi
Tuhannya.
Tetapi
begitulah
tradisi
mengisahkan
“kebenarannya” bahwa ketika itu Khadijah berseru demi meneguhkan hati
suaminya, “Tidak! Demi Allah, Allah tidak akan memperhinakan engkau”.
Bandingkan dengan apa yang Tuhan Yahweh lakukan kepada Musa pada awal
kenabiannya:
Firman Allah kepada Musa: "AKU ADALAH AKU." Lagi firman-Nya: "Beginilah
kaukatakan kepada orang Israel itu: AKULAH AKU telah mengutus aku kepadamu."
Selanjutnya berfirmanlah Allah kepada Musa: "Beginilah kaukatakan kepada orang
Israel: YAHWEH, Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah
Yakub, telah mengutus aku kepadamu: itulah nama-Ku untuk selama-lamanya dan
itulah sebutan-Ku turun-temurun.” (Keluaran 3:14-15, terjemahan Alkitab
Indonesia memakai TUHAN untuk nama Yahweh).
Tuhan Yahweh menyingkapkan diriNya dan sekaligus relasi diriNya dengan umat
Israel. Ia memperkenalkan nama dan posisi diriNya sebagai “AKU ADALAH AKU” (I
AM THAT I AM) yang menunjukkan suatu keabsolutan yang kekal dan permanen
(tidak berubah-ubah). Ketika Tuhan telah memperkenalkan namaNya yang kekal
sebagai Yahweh, dan itu telah berjalan selama 23 abad sebelum Muhammad, maka
darimana datangnya otoritas Muhammad (dan Jibril) yang tiba-tiba merasa perlu
merubahi dan menggantikannya menjadi “Allah”? Nama baru yang ia sendiri tidak
mengintroduksikannya kepada Muslim dalam seluruh pewahyuan, kecuali digulirkan
begitu saja kedalam Al-Qur‟an? Yaitu dengan mengikuti nama al-Ilah (disingkat
menjadi “Allah”) seperti yang sudah dikenal oleh kaum pagan Arab sebagai dewa
mereka? Penggantian ini sungguh mustahil datang dari Tuhan sejati yang sama!
Kedua, Ada dua macam Tuhan: Tuhan yang exist, dan yang di tuhankan dari yang
belum terbukti exist. Ada banyak sekali karakter dan esensi yang unik berbeda
diantara Tuhan orang Kristiani dibandingkan dengan Allah selebihnya. Salah
satunya yang paling khas ialah bahwa Tuhan Alkitab itu HADIR, exist. Allah lain-lain
belum pernah terbukti tampak kehadiranNya ditengah-tengah umatNya, ditengahtengah sejarah manusia. Tentu saja pernyataan ini seolah mengundang
perdebatan.
Namun faktanya adalah Tuhan Kristiani memang satu-satunya Tuhan yang
berbicara langsung dengan manusia (disamping yang tidak langsung, lewat
malaikat atau mimpi). Allah Alkitab berbicara langsung dengan Adam dan Hawa.
Dia berbicara langsung dengan Nuh, dengan Abraham, dengan Ishak, Yakub, dll
nabi Alkitab. Bahkan Allah berbicara langsung dengan Musa yang disaksikan
seluruh bani Israel (Ulangan 4:33). Begitu pula Allah berbicara dengan Yesus,
didengar dan disaksikan khalayak (Matius 3:17, Lukas 9:35). Sebaliknya, kenapa
Allah Islami tidak pernah berbicara langsung dengan Muhammad, melainkan lewat
perantara malaikat saja? Bahkan siapa pula yang pernah menyaksikan suara
malaikat itu kepada sang Nabi? Kenapa bukti dan saksi pewahyuan kepada
Muhammad – Nabi utusan terakhir -- diperlemah dan dikaburkan begitu rupa?
Mendatangkan persoalan krusial, kapan Muhammad sejatinya tahu bahwa Allahnya
adalah Tuhan yang exist, yang hidup, yang mencipta?
Ketiga, sekalipun ada Tuhan diatas segala Tuhan, namun Ia tidak Mahakasih (atau
bertali kasih khusus dengan makhlukNya), apa gunanya Tuhan demikian bagiku
pribadi? Tidak seperti pada agama-agama lain, ketika Alkitab mengatakan bahwa
Allah itu Kasih, itu tidak sekedar mengatakan bahwa Allah melakukan perbuatanperbuatan kasih. Melainkan mengatakan keseluruhan hakekatNya/ ZatNya adalah
kasih, begitu konsisten luar dan dalam, begitu dalam menyatu, begitu
transendental sampai-sampai segala sikap, wujud, ucapan, perbuatan, rancangan
dan ungkapan-ungkapan seluruhnya yang mengalir daripadaNya, tak bisa lain
kecuali dinyatakan dalam kasih yang tidak terukur. Itu berarti bahwa kasih adalah
esensi dan relevansi yang paling absah bagi seorang Tuhan terhadap mahkluk-Nya.
Allah yang Mahakasih adalah Allah yang relational, berhubungan sangat intim dan
peduli dengan setiap mahkluk-Nya. Mahakasih ini adalah sifat Allah yang paling
penting bagi umat manusia, bukan MahakuasaNya, yang sesungguhnya sudah
otomatis tercakup kedalam diri Allah, jikalau Dia Allah Pencipta Semesta (AlKholiq). “Tidak ada secuilpun gunanya bagi saya, seorang allah yang super
mahakuasa, bilamana dia tidak ber-relasi dalam tali kasih dengan saya! Dia tetap
menjadi seorang asing yang tak berguna bagi saya”. “Tidak juga dia berguna untuk
saya ketika allah ini mengklaim bahwa dia maha-pengasih dan penyayang, tetapi
tidak membuktikannya”.
Jadi apakah Allah SWT sungguh Maha kasih? Dan apakah Dia sudah
membuktikannya dengan saksi-saksi? Mengklaim kasih tidak sulit sama sekali.
Malahan klaim itu bisa “dibuktikan” dengan “berpura-pura” kasih, dan itu tentunya
lebih jahat. Yang sulit justru membuktikan ujud kasih-Nya yang hakiki dan tak
terbantahkan, yang bisa ditampakkan kepada mahluk ciptaanNya. Agamaagama
lain merujukkan (lagi-lagi klaim) kasih Allah hanya sampai sebatas pemberianNya
kepada manusia, yaitu sejumlah unsur-unsur pendukung kehidupan seperti udara,
air, embun, sinar matahari dll. Namun alasan ini jauh dari memadai! Itu bukan
khas wujud MahaKasih Allah, melainkan khas wujud tanggung-jawab Allah (yang
baik) atas apa yang sudah diciptakanNya, yang memang harus dipeliharaNya. Maha
kasih harus dibuktikan dengan wujud pengorbanan Allah yang tidak seharusnya
berkorban, dan bukan sekedar tanggung-jawab. Maka itulah yang perlu Anda
jadikan kriteria kebenaran Allah, yaitu: “Allah manakah yang sudah membuktikan
diriNya sebagai Tuhan yang berkorban?” Anda hanya mendapatinya pada Tuhan
Alkitab yang sudah meng-kurbankan “AnakNya” (Firman yang “nuzul”/
diinkarnasikan menjadi Anak Manusia) Yesus Almasih diatas kayu salib, demi
menebus umatNya dari perhambaan dosa? Semuanya disaksikan secara mutawatir
oleh para saksi mata. Ya ibu Maryam dan pengikut-pengikut Yesus, maupun
segenap musuhmusuh, orang-orang awam, serta para serdadu Roma yang
mengeksekusinya!
Ketiga pribadi dalam ke-esaan Allah ini dirujukkan dalam banyak ayatayat Alkitab,
tetapi disini kami cuma mau menampilkan ayat-ayat yang hanya terdapat dalam
Injil Yohanes, yang mana memperlihatkan penyataan DIRI Allah dalam DIRI Yesus
dan Roh Kudus; atau dalam Islam disebut “Kalimat Allah yang disampaikan Allah
kepada Maryam, dan Ruh Allah” (surat 4:171).Yaitu dalam Segala Perkataan-Nya (
Simak betul2 ayat 3:34; 7:16; 8:26,38,40; 14:10,24; 18:80), dan dalam Segala
Perbuatan-Nya (Simak rincian 4:34; 5:17,19-27,30,36; 8:28; 14:10; 17:4,12)!!!
Keempat, Allah dengan wahyu yang menuduh-nuduh tetapi ternyata salah tuduh,
hanyalah menunjukkan bahwa Ia tidak MahaTahu seperti yang seharusnya bagi
seorang Allah. Ini bisa menyangkut aspek dan dimensi apa saja. Tetapi disini
baiklah kita soroti konsep doktinal yang dalam, yaitu tentang konsep ke-esaan
Tuhan, yang sering ditanggapi dengan pemahaman yang sangat dangkal dan salah
oleh pihak Islam. Sekalipun orang-orang Kristiani berkata berulang-ulang bahwa
mereka percaya kepada satu Tuhan, namun sekian kali pula berulang-ulang mereka
dituduh sebagai penyembah politeisme, menyembah tiga Tuhan Trinitas. Alkitab
tidak memuat satu ayat pun yang menyebutkan bahwa ada tiga Allah berpartner.
Tidak juga ada ayat yang mengatakan bahwa Allah memakai tiga topeng yang
berbeda untuk bekerja kedalam drama sejarah. Apa yang Alkitab katakan adalah
satu Allah yang mengungkap-an diriNya dalam tiga pribadi yang berbeda --Bapa,
Anak, dan Roh Kudus, dan bukan tiga entitas Bapa Allah, Ibu Allah (Maryam), yang
menghasilkan Anak Allah (Isa Al-Masih), seperti yang dituduhkan Islam secara
keliru. Keliru oknumnya, keliru Zat-nya, dan keliru kejadiannya (dipahami secara
biologis).
Dimanapun, Alkitab tidak pernah mengajarkan lain dari pada satu Tuhan dalam
satu-satunya Zat keilahian (lihat Kitab Bilangan 6:4, I Timotius 2:5, Yesaya 44:6
dll). Sedangkan istilah “Anak Allah” bukanlah anak-biologis, anak hasil kawinmawin (walad) seperti yang dipahami dalam kedangkalan persepsi Arabia abad ke7, melainkan “nuzul”nya Kalimat Allah menjadi “Sang Anak” (Sonship in Word
incarnated). Dalam kekeliruan wahyu, Muhammad, maaf, Allah sampai bertanya:
“Bagaimana Dia (Allah) mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri?”…
“Mahasuci Allah dari mempunyai anak” (surat 6:101, 4:171). Bahwa Allah itu satu
dalam sifat esensiNya dan kesenyawaanNya, namun juga adalah tiga pribadi, ini
bukan rekayasa/ bikinan misionaris dan maunya antek-antek Kristen, melainkan
memang itulah yang dinyatakan Allah lewat AlkitabNya berkali-kali; Alkitab yang
telah di benarkan dan yang harus diimani oleh Muhammad dan Muslim berpuluh
kali (a.l. Qs.10:94,73; 2:41,91; 3:3; 5:44, 46, 48, 68; 6:92; 29:46; 32:23; 5:31;
43:4; 46:30 dll ). Jadi inilah nasihat kita yang terbaik bagi orang-orang Kristiani,
yaitu tatkala Anda berhadapan dengan tuduhan “Allahmu itu kok tiga Tuhan dalam
Trinitas yang tak ada istilahnya dalam Alkitab?”, maka tolong sampaikan
kepadanya tiga kemungkinan dibawah ini, serta mempertanyakan balik masalah
Tauhid dan Shahadat mereka:
(1) Bila itu merupakan tuduhan pribadi, maka sipenuduh pasti telah disesatkan oleh
informasi yang dangkal dan keliru; dan (2) Bila itu dianggap merupakan tuduhan
dari Kitab Suci agamanya, maka pasti Allah-nyalah yang telah keliru berwahyu! Bila
dipersoalkan istilah Trinitas itu tak dikenal oleh Yesus sendiri dan tak ada istilahnya
di Alkitab, maka kita jawab dengan sederhana bahwa istilah ini hanyalah istilah
teologis demi memudahkan rujukan awam kepada konsep keberadaan Allah yang
unik agar tidak disesatkan oleh slogan pukul-rata: “Allahmu dan Allahku satu”.
Trinitas adalah ke-Esa-an Allah dalam tiga pribadiNya. Konsepnya (dan bukan
istilahnya) bertaburan dalam seluruh Alkitab! Dan tidakkah Muslim juga
mengadopsi suatu doktrin Islam yang tertinggi, TAUHID, tetapi istilahnya justru
tidak muncul dalam Al-Quran sendiri? Dan apakah Muslim juga sadar, bahwa
Kalimat SHAHADAT yang dianggap begitu sakral itu, ternyata malah tidak terdapat
dalam Quran dalam bentuk dua kalimat yang disatukan (artinya, aslinya tidak
diturunkan oleh Allah untuk menjadi shahadat Islam seperti sekarang), melainkan
dipilih dan dirangkaikan oleh Manusiapintar dari dua atau tiga surat yang berbeda,
surat 37 dan 47 terhadap 48! Dengan perkataan lain, Quran surgawi yang
tersimpan dalam Lauhul Mahfudz, tidak bisa ditemukan kalimat Shahadat seperti
yang diikrarkan dalam dunia Islam sepanjang zaman. Itu bukan aslinya dari Sana,
sebab ia kental berbau syrik! Kenapa? Karena Allah SWT tidak pernah berkenan
membiarkan diriNya dipartner-kan dengan siapapun juga, tetapi umat Islam malah
menggabungkan Kalimat shahadat pertama tentang diri Allah (“Tiada Tuhan selain
Allah”) dengan gandengan “wa” (dan) untuk dijejerkan kepada diri RasulNya (dan
“Muhammad adalah Rasul Allah”), sehingga menyodorkan sebuah bentuk
persekutuan Allah dan Muhammad yang menyalahi azaz Tauhid.
Bentuk persekutuan ini banyak dijumpai dalam tradisi yang diriwayatkan manusia.
Namun Hudhayfa menyampaikan apa yang dikatakan Muhammad, “Jangan
seorangpun diantara kamu yang berkata, „Apa yang dikehendaki Allah dan (wa) si
Anu kehendaki.‟ Katakanlah, „Apa yang dikehendaki Allah.‟ Lalu berhenti dan
lanjutkan dengan berkata, „Si Anu kehendaki.‟” Al-Khattabi juga berkata, “Nabi
telah menuntun engkau memperbaiki perilaku dalam menempatkan kehendak Allah
sebelum kehendak orang lain. Beliau memilih “lalu/maka” (thumma) yang
menunjukkan urutan dan perbedaan ketimbang “dan” (wa) yang merujuk kepada
persekutuan dengan Allah.” Kelima, Akankah kita percaya kepada Allah yang
kurang lurus, melainkan berbelit-belit menipu-daya umatNya? Tentu kita menjawab
“Tidak”. Hukum Taurat berkata: “Jangan membunuh, jangan berzina, jangan
mencuri, jangan bersaksi dusta, jangan mengingini istri sesamamu...”, dan ini
dibenarkan oleh Al-Qur‟an secara umum. Tetapi nanti dulu, Allah lewat Al-Qur‟an
dan Hadis juga menyisipkan kondisi-kondisi dimana semuanya itu halal bahkan
perlu dilakukan. Dan inkonsistensi inilah yang paling merisaukan kemanusiaan kita.
Di atas telah dikatakan bahwa salah satu nama Allah yang “dikeluarkan” dari
Asmaaul Husna adalah “Khairul Maakiriin”: “Dan mereka itu membuat tipu daya,
Allah membalas tipu daya mereka, dan Allah sebaik-baik tipu daya” (khairul
maakiriin, surat 3:54). Ayat ini merujuk kepada penipuan sukses yang Allah
lakukan dalam kasus penyaliban Isa Al-Masih, dimana Allah dengan tipuan-nya
yang tersembunyi menggantikan Isa dengan seorang “Isa-isa-an” palsu: “ ... tetapi
(yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan Isa bagi mereka” ...“tetapi
(yang sebenarnya), Allah telah mengangkat angkat Isa kepada Nya” Dua “tetapi”
disini menyatakan bahwa bukan Isa yang (mau atau meminta) diriNya dipalsukan
dan diangkat dari salib secara ghaib. Bukan Isa yang mau menyesatkan atau
“menipu-daya” para pengikutNya (termasuk ibunya, Maryam) melainkan Allah
sendiri, karena Isa sendiri bahkan tidak pernah “menipu” atau berdosa, melainkan
suci dan selalu mengatakan perkataan yang benar (Lihat surat Maryam). Mengingat
hal ini, timbul pertanyaan, apakah Isa Almasih yang tidak pernah menipu daya itu
bisa 100% menyetujui dan menghormati Allah yang ketahuan menipu daya ibunya,
saudara-saudaranya dan murid-muridnya, apalagi dengan mengatas-namakan
wajah Isa-isaan? Sekalipun pembunuhan Isa itu (katakanlah) harus digagalkan oleh
Allah SWT, tetapi kenapakah Allah harus memilih jalur Menipu Daya UmatNya
sedangkan
Allah
dapat
menyelamatkan
Isa
dengan
terang-terangan
mengangkatnya ke Surga, bahkan bisa sekaligus menghajar tua-tua Yahudi dan
serdadu-serdadu Roma dengan sekali sapu? Bukankah Allah yang Maha Kuasa
dahulu kala pernah sekaligus menaklukkan musuh-musuhNya dengan menjadikan
mereka monyet-monyet, yaitu hukuman Allah bagi bani Israel yang tidak
memelihara hari Sabtu (surat 7: 163-166), atau mengancam mengangkat gunung
Thursina untuk ditimpakan ke atas kepala orang durhaka yang menolak Taurat
(surat 7: 171)? Menipu daya hanyalah dilakukan oleh mahkluk yang licik dalam
kekurangan sumber daya selainnya, dan mereka adalah antek-antek Setan, karena
Setan sejak semula sudah digelar sebagai “bapak segala dusta” (Yohanes 8:44).
Apa Allah kekurangan sumber daya dan mau menjadi BAPAKnya dari bapak segala
dusta? Tentu tidak. Maka sarjana Islam buru-buru menafsirkan bahwa “maakir”
(makara) disamping berarti melakukan tipu-daya (yang negatif), juga bisa berarti
“mengatur siasat yang cerdik” yang positif. Tentu saja penipuan adalah bagian dari
siasat, tetapi unsur penipuan tidak terlepas dari konteksnya yang sejati, yaitu
seperti yang dikatakan oleh Al-Tabari (salah satu historian Islam paling terkenal
yang paling awal) bahwa Allah menempatkan rupa wajah Isa (diam-diam) pada
seseorang lain untuk disalibkan sebagai pengganti Isa. Ini dimaksudkan agar orang
lain disesatkan dari fakta dan kebenaran aslinya! Dan itulah persaksian dan
perbuatan dusta yang dilarang dalam Taurat Yahweh. Eh, kok, Allah SWT
melakukannya sendiri? Dengan mengorbankan semua orang Israel dan dunia,
termasuk Isa dan Maryam dan semua pengikutnya hingga Muhammad tiba? Kenapa
para ulama mencoba memlintirkan istilah “makara” seolah Allah SWT tidak menipu
daya? Mereka lupa bahwa Allah sendiri mengakui menipu bahkan menipu
Muhammad dan umatNya sebelumnya. Ini tercermin dalam peristiwa perang Badar.
Disitu, dalam usaha Allah untuk menaikkan moral perang para pejuang Muslim, lalu
Allah memperlihatkan kepada Muhammad lewat mimpi bahwa musuh yang akan
dihadapinya hanyalah sejumlah kecil, padahal jumlah yang sebenarnya 3x jauh
lebih besar yang kalau dikatakan terus terang oleh Allah SWT, akan menciutkan
nyali para pejuang (surat 8: 42). Disini penipu-dayaan Allah telah ditujukan 100%
kepada orang-orang beriman. Ayat-ayat dalam Al-Qur‟an maupun Hadis
menegaskan izin untuk berdusta secara kondisional, bahkan mendorong Muslim
untuk berbuat demikian. Itu yang disebut sebagai prinsip taqiyyah (pendustaan
yang dikuduskan). Dasar dari taqiyyah terambil dari Quran sendiri,
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya
lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari
sesuatu yang ditakuti dari mereka ...” (surat 3:28).
Sumpah demi Allah yang sengaja dilanggar – sumpah dusta -- juga dinyatakan AlQuran sebagai bukan perbuatan dosa serius karena dapat ditebus (kaffarat) dengan
pelbagai opsi material yang mudah, atau cukup berpuasa selama 3 hari:
“…maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang
miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau
memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang
siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama
tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu
bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu...” (surat 5:89)
Namun dalam Hadis, Muhammad sendiri memperluasnya lebih jauh lagi ke ranah
penggantian sumpah dan ranah perang.
“Demi Allah, dan insya Allah, apabila saya mengangkat sumpah dan belakangan
hari ternyata ada sesuatu yang lebih baik, maka saya laksanakan apa yang lebih
baik itu dan menebus sumpahku” (Bukhari 7, vol. 67, no.427). “Nabi berkata,
"Peperangan adalah penipuan." (Bukhari vol 4: 269).
Semua pendustaan ini begitu simpang siur dan kehilangan essensi dan
kesakralannya bagi perkataan maupun perbuatan Allah SWT, sampaisampai
bertabrakan dengan apa yang sudah digariskanNya sebagai sumpah, yaitu “jangan
melanggarnya” dan “jangan dijadikannya sebagai tipuan” (surat 16: 91, 94).
Syukurlah bahwa Tuhan Yahweh menurunkan hukum-hukumNya kebumi menurut
moral Tuhan yang sakral, tidak main-main dengan kata-kata dan sumpah.
Sekalipun Yahweh mempunyai segala kedaulatan, namun ia juga mempunyai Moral
tertinggi, dimana KedaulatanNya tidaklah mengingkari MoralNya. Dengan
perkataan populer, sekalipun Tuhan mempunyai segala wewenang, namun tidak
menjadikanNya sewenang-wenang (arbitrary). Meminjam kata-kata dari Thomas
Aquinas: “Sebuah akibat harus mewakili sebabnya, karena Anda tidak bisa
memberi sesuatu yang tidak Anda punyai”. Maha Kuasa Tuhan selalu menyatu
dengan Maha Benarnya diriNya, dan tidak menempatkannya sebagai alat teror bagi
kekuasaanNya. “Dia tidak dapat menyangkal diriNya” (2 Tim.2:13).
Kita was-was akan satu bahaya yang serius, bahwa sekali Allah bermain lempar
batu-sembunyi tangan dan menipu-dayakan murid-murid Isa (yang disebut sebagai
penolong-penolong Allah) dan juga Maryam dan Isa sendiri (yang disebut
Ayatollah) persis di depan mata, maka Allah yang sama juga mungkin menipu daya
siapa saja yang dikehendakiNya, termasuk Muhammad dan sahabat-sahabatnya
yang sudah ditipuNya. Kita prihatin ada Allah yang suka-suka menyesatkan
makhlukNya, menurut MoralNya sendiri yang tidak dielaborasi lagi: “Allah
menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang
Dia kehendaki” (surat 14:4). Tetapi syukurlah semua prinsip, moral-etika, ucapan
dan karya Tuhan Yahweh adalah sejalan. Tidak ada kesewenang-wenangan, plintir
plintiran dan tipu-daya! Karena “Tuhan Yahweh tidak berdusta” (Titus 1-2) Dan
“Yahweh tidak mungkin berdusta” (Ibrani 6:18) ______ Sungguh masih banyak
sifat, kriteria dan tanda-tanda dimana Allah SWT tidak mungkin dipersandingkan,
apalagi dianggap sama, satu dengan lainnya dengan Yahweh. Anda bisa
menyimaknya lebih rinci lewat pandangan kedua. Selama ini kita terlalu sibuk,
sehingga menerima begitu saja apa yang sudah dikenal, atau “apa kata mayoritas/
mainstream”. Namun demi hidup atau mati, beranilah seperti Musa yang meragu
dan bertanya kepada Tuhan Yahweh-nya, WHAT IF?
Sahut Musa: "Bagaimana jika mereka tidak percaya kepadaku dan … Firman
YAHWEH: "Lemparkanlah (tongkat) itu ke tanah." Dan ketika dilemparkannya ke
tanah, maka tongkat itu menjadi ular… (Keluaran 4:1,3).
Setidaknya beranilah berkritis dan bertanya apakah Dia yang kita sembah selama
ini betul-betul membuktikan kwalifikasi diriNya, dan bahwa: *Allah eksis dan hidup?
Tanyalah, siapa yang membuktikannya? *Apakah Allah memperkenalkan diriNya
dan namaNya secara pantas dan berotoritas, atau hanya sebatas slogan-slogan
teoritis yang disusun manusia tanpa bukti dan substansi? *Apakah rangkuman
hakekatNya berpusatkan pada Kasih yang nyata dan berguna bagi Anda dan saya?
*Apakah Allah perlu membenarkan diriNya dengan pewahyuan yang malah kacau
dan keliru? Khususnya menuduh dangkal atas Trinitas yang tidak dipahamiNya?
*Dan apakah Dia Allah yang lurus, terpercaya yang tidak menyesatkan umatNya,
melainkan sungguh telah berkurban dalam kasihNya untuk menyelamatkan
mereka? Itulah keberadaan sekaligus testing yang paling sederhana untuk
mengenal Khalik kita yang Ada, MahaKasih, dan Benar. Selamatlah dalam taufik
dan hidayatNya.
Download