dampak kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal terhadap

advertisement
DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR
EKSTERNAL TERHADAP DEFORESTASI DAN
DEGRADASI HUTAN ALAM
DISERTASI
SATRIA ASTANA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam
disertasi saya yang berjudul
DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR
EKSTERNAL TERHADAP DEFORESTASI DAN
DEGRADASI HUTAN ALAM
Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya dengan bimbingan Komisi
Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini
belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di
Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah
dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Februari 2012
Satria Astana
NRP. A161040081
ABSTRACT
SATRIA ASTANA. Macroeconomic Policy and External Factors Impact on
Natural Forest Degradation and Deforestation. (BONAR M. SINAGA, as
Chairman, SUDARSONO SOEDOMO and BINTANG C. H. SIMANGUNSONG
as Members of the Advisory Committee).
Through the framework of REDD (Reducing Emissions from Deforestation
and Forest Degradation) in 2009 Indonesia declared a target of reducing CO2
emission by 26% until 2020, and assigned scores for forestry subsector to
contribute 14% lower emission. In forestry subsector, reducing CO2 emission can
be conducted by maintaining and conserving the remaining natural forest area
and/or increasing the existing plantation forest area through reforestating the
degraded forest areas. The natural forest maintenance and conservation policy will
reduce the areal expansion, including of agricultural sectors such as for food and
estate crops and forestry as well and hence their economic contribution to
economic growth. Macroeconomic policy and external factor affect natural forest
degradation and deforestation. The objectives of this research are: (1) to construct
and estimate the econometric model of macroeconomic policy and external factor
impact on natural forest degradation and deforestation, and (2) to evaluate the
natural forest degradation and deforestation impact of the macroeconomic policy
and external factor. The model is estimated using 2SLS method and tested using
relevant statistical tests. The estimated parameters have signs as theoretically
predicted, and the evaluation of the macroeconomic policy and external factor
impact reflect that maintaining and conserving the remaining natural forest is
ineffective if a new permit of its utilization is recognized. In order to reduce the
deforestation of natural forest, it is necessarily to set up policy permitting areal
expansion only within degraded natural forest areas selectively and facilitating
interest rate subsidy as a part of incentive-disincentive system in controlling
deforestation and forest degradation.
Keywords: Econometric Model. Macroeconomic Policy, External Factor, Natural
Forest, Degradation, Deforestation.
RINGKASAN
SATRIA ASTANA. Dampak Kebijakan Makroekonomi dan Faktor Eksternal
terhadap Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam. (BONAR M. SINAGA sebagai
Ketua, SUDARSONO SOEDOMO dan BINTANG C. H. SIMANGUNSONG
sebagai anggota Komisi Pembimbing).
Perubahan iklim global merupakan isu dunia yang kini menjadi perhatian
banyak kalangan baik di dalam negeri maupun di dunia internasional. Selaras
dengan isu tersebut, perhatian masyarakat internasional terhadap perkembangan
masalah deforestasi dan degradasi hutan semakin menguat. Perhatian masyarakat
internasional terlihat dari berkembangnya forum-forum internasional dengan
beragam kebijakan dan program yang pada intinya bertujuan untuk mencegah,
mengurangi dan memperbaiki kerusakan hutan dan lingkungan sebagai upaya
mengurangi, memperlambat dan bahkan menstabilkan laju perubahan iklim global
pada threshold yang aman bagi umat manusia sedunia.
Kenyataan menunjukkan bahwa perekonomian dunia sedang berubah yakni
melangkah menghadapi setidaknya tiga fenomena perubahan. Pertama adalah
fenomena perubahan yang ditandai oleh semakin terintegrasinya pasar modal dan
keuangan serta perdagangan secara global. Kedua adalah fenomena perubahan
yang ditandai oleh lompatan kenaikan harga minyak mentah dunia (MMD).
Ketiga adalah isu perubahan iklim global. Tiga fenomena perubahan tersebut
berinteraksi menentukan besaran harga dan output perekonomian.
Konsekuensinya, masing-masing negara harus melaksanakan langkah-langkah
penyesuaian (adjustment) pada seluruh lini sektor ekonomi.
Dengan kata lain, perekonomian dunia sedang mengalami proses-proses
penyesuaian bukan saja berkaitan dengan pasar dunia yang semakin terintegrasi
dan lompatan kenaikan harga MMD namun juga berkaitan dengan isu perubahan
iklim. Bagaimana dampak perubahan yang terjadi terhadap masa depan
perekonomian belum banyak dipahami. Hal ini menyarankan pentingnya
mempelajari bukan hanya pengaruh kebijakan makroekonomi dan faktor
eksternal seperti suku bunga, nilai tukar, kebijakan tarif dan non-tarif, serta harga
MMD terhadap pertumbuhan ekonomi, namun penting juga mempelajari dampak
pertumbuhan ekonomi terhadap perubahan iklim, termasuk deforestasi dan
degradasi hutan.
Melalui kerangka REDD (Reducing Emission from Deforestation and Forest
Degradation in Developing Countries), Indonesia tahun 2009 mendeklarasikan
target pengurangan sebesar 26% hingga tahun 2020, dan menetapkan subsekor
kehutanan berkontribusi menurunkan emisi 14%. Di subsektor kehutanan,
pengurangan emisi CO2 dapat diwujudkan dengan mempertahankan dan
mengkonservasi hutan alam yang tersisa dan/atau meningkatkan hutan tanaman
yang ada dengan mereboisasi kawasan hutan yang terdegradasi. Target
pengurangan CO2 dengan mempertahankan dan mengkonservasi hutan alam akan
mengurangi ekspansi areal, termasuk ekspansi areal pertanian seperti untuk
pangan, perkebunan dan juga kehutanan, dan karenanya juga akan mengurangi
kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi.
perekonomian belum banyak dipahami. Hal ini menyarankan pentingnya
memahami bukan hanya pengaruh kebijakan makroekonomi dan perubahan faktor
eksternal seperti suku bunga, nilai tukar, kebijakan tarif dan non-tarif, serta harga
MMD terhadap pertumbuhan ekonomi, namun penting juga memahami dampak
pertumbuhan ekonomi terhadap perubahan iklim, termasuk deforestasi dan
degradasi hutan.
Melalui kerangka REDD Indonesia tahun 2009 mendeklarasikan target
pengurangan sebesar 26% hingga tahun 2020, dan menetapkan subsekor
kehutanan berkontribusi menurunkan emisi 14%. Di subsektor kehutanan,
pengurangan emisi CO2 dapat diwujudkan dengan mempertahankan dan
mengkonservasi hutan alam yang tersisa dan/atau meningkatkan hutan tanaman
yang ada dengan mereboisasi kawasan hutan yang terdegradasi. Target
pengurangan CO2 dengan mempertahankan dan mengkonservasi hutan alam akan
mengurangi ekspansi areal, termasuk ekspansi areal pertanian seperti untuk
pangan, perkebunan dan juga kehutanan, dan karenanya juga akan mengurangi
kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi. Ekspansi areal atau deforestasi dan
degradasi hutan alam tidak terlepas dari pengaruh kebijakan makroekonomi dan faktor
eksternal.
Berkaitan dengan faktor eksternal hutan, terdapat pandangan yang
menyatakan bahwa hipotesis kunci penelitian pengaruh eksternal hutan (tropis)
adalah bahwa apa yang terjadi pada hutan lebih disebabkan oleh kejadian di luar
hutan dibanding di dalam hutan sendiri. Dengan kata lain, dampak sektor lain
sering lebih penting dibanding misalnya dampak undang-undang bidang
kehutanan, proyek penanaman pohon secara partisipatif atau program pendidikan
lingkungan. Berbeda dengan pandangan tersebut, penelitian ini lebih mendasarkan
pada pertanyaan: bagaimana memodelkan mekanisme transmisi pengaruh
eksternal hutan dan menganalisis secara simultan dampak deforestasi dan
degradasi hutan yang ditimbulkan? Untuk menghindari kompleksitas
permasalahan, pengaruh eksternal hutan dalam penelitian ini dibatasi terdiri dari:
(1) kebijakan makroekonomi, dan (2) faktor eksternal.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengkonstruksi dan menduga model
ekonometrika dampak kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal terhadap
deforestasi dan degradasi hutan alam, dan (2) mengevaluasi dampak deforestasi
dan degradasi hutan alam kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal. Model
diduga menggunakan metode 2SLS dan diuji menggunakan uji statistik yang
relevan. Parameter dugaan yang diperoleh memiliki tanda sesuai dengan yang
diprediksi teori, dan hasil evaluasi kebijakan dan faktor eksternal
mengindikasikan mempertahankan dan mengkonservasi hutan alam yang tersisa
tidak efektif jika izin baru pemanfaatannya diperbolehkan.
Kata kunci: Model Ekonometrika, Kebijakan Makroekonomi, Faktor Eksternal,
Hutan Alam, Deforestasi, Degradasi. vi ©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini
tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang
wajar Institut Pertanian Bogor
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian
atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa
izin Institut Pertanian Bogor.
DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR
EKSTERNAL TERHADAP DEFORESTASI DAN
DEGRADASI HUTAN ALAM
SATRIA ASTANA
DISERTASI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:
1. Dr. Ir. Muhammad Buce Saleh, MSc
Staf Pengajar Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor
2. Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrohmat, MSc.F. Trop
Staf Pengajar Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka:
1. Dr. Ir. Boen Purnama, MSc
Staf Khusus Bidang Hukum dan Politik Ekonomi Kehutanan, Kementerian Kehutanan
Republik Indonesia
2. Dr. Ir. Kirsfianti Linda Ginoga, MSc
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan,
Kementrian Kehutanan Republik Indonesia
x
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT,
atas segala rahmat dan karunia-Nya, disertasi dengan judul “Dampak Kebijakan
Makroekonomi dan Faktor Eksternal terhadap Deforestasi dan Degradasi Hutan
Alam” dapat penulis selesaikan.
Selama proses penelitian dan penulisan disertasi ini, penulis memperoleh
bimbingan, masukan, dan dukungan dari berbagai pihak. Atas bimbingan,
masukan dan dukungan, terutama dari Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Bonar M.
Sinaga, MA, sebagai Ketua, dan Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, MS serta Dr. Ir.
Bintang C.H. Simangunsong, MS, sebagai Anggota, penulis dengan tulus
menyampaikan terima kasih.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Kepala Badan Litbang
Kehutanan, Dr. Tachir Fathoni, dan Kepala Pusat Litbang Perubahan Iklim dan
Kebijakan Kehutanan, Dr. Kirsfianti L. Ginoga, selaku pimpinan lembaga tempat
penulis bekerja. Kepada Dr. Erwidodo (Duta Besar Indonesia untuk WTO), Dr.
Iman Santoso (Dirjen Bina Usaha Kehutanan), Dr. Hadi Daryanto (Sekjen
Kementerian Kehutanan), Dr. Hadi Pasaribu (Staf Ahli Bidang Ekonomi dan
Perdagangan Internasional, Kementerian Kehutanan), Bapak Budi Santoso (Dirut
PT. Inhutani II), Bapak Is Mugiono (Direktur Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan
Areal Pemanfaatan Hutan, Ditjen Planologi Kehutanan), Bapak Awria Ibrahim
(Direktur Bina Usaha Hutan Alam, Ditjen Bina Usaha Kehutanan), Bapak
Zulfikar Adil (Direktur Eksekutif Badan Revitalisasi Industri Kehutanan), Dr.
Ruandha Agung S. (Staf Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya
Hutan, Ditjen Planologi Kehutanan), dan Bapak Bambang Murdiono, atas
dukungan moril dan materiel secara langsung maupun tidak langsung, penulis
juga menyampaikan terima kasih. Atas dukungan moril dan materiel teman-teman
sekerja di Badan Litbang Kehutanan, Dr. Titiek Setyowati, Deden Djaenudin MSi,
Handoyo MSi, Bayu Subekti, MSi, Rahman Effendi MSc, Sulistyo Siran, MSc,
Tigor Butarbutar, MSc, dan Ibu Indarwati, teman-teman peserta Program Studi
Ilmu Ekonomi Pertanian, Dr. Yan Purba, Dr. Rustam AR, Dr. Roni W dan
Soegiono, MSi, teman-teman auditor Rainforest Alliance, Indu Sapkota, MSc,
Langlang Tata Buana, MSc, dan Wahyu Riva MSi, serta Saudara Kunkun, yang
membantu pengetikan dan pencetakan, penulis juga menyampaikan terima kasih.
Tak lupa kepada istri dan putra-putri tercinta, atas segala dukungan dan
pengorbanannya, penulis juga menyampaikan terima kasih.
Sebagai penutup, penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari
sempurna. Kendati demikian, penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat
sebagai bahan masukan kebijakan pengendalian deforestasi dan degradasi hutan di
Indonesia.
Bogor, Januari 2012
Satria Astana
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ambulu, Jember, Jawa Timur pada tanggal 31 Mei
1958 sebagai putra ke enam dari delapan bersaudara Keluarga H. Muhamad
Yamin (Ayah, Almarhum) dan Hj. Sutriati (Ibu). Penulis menikah dengan
Nursyamsinar Febriani, S.E., pada tahun 1990 dan dikaruniai dua putri dan satu
putra, yaitu: Siti Nursari Ismarini (Riri, 20 tahun, mahasiswi S1 Program Studi
Akuntansi, Universitas Indonesia), Greaty Fitraharani (Hani, 18 tahun, mahasiswi
S1 Program Hubungan Internasional, Universitas Padjajaran), dan Reda Yusuf
Nurmadani (Reda, 13 tahun, kelas dua SMP).
Setelah lulus Sarjana Managemen Hutan dari Fakultas Kehutanan IPB
tahun 1983, penulis langsung bekerja pada Bagian Penelitian Pemasaran dan
Sosial Ekonomi Balai Penelitian Hasil Hutan, Bogor. Tahun 1988-1989, penulis
mengikuti Forest Survey Courses Programme di ITC, Belanda. Tahun 1992
penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi International Agricultural
Marketing, University of Newcastle Upon Tyne, Inggris dan lulus tahun 1994.
Tahun 2000 penulis mengikuti pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu Ekonomi
Pertanian, Program Pascasarjana IPB dan lulus tahun 2003.
Tahun 2004, penulis bekerja sebagai Staf Peneliti pada Pusat Penelitian
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Bogor, dan tahun yang sama terdaftar
sebagai mahasiswa S3 Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Tahun 2006
penulis dinyatakan lulus prakualifikasi I, dan prakualifikasi II tahun 2011. Tahun
2007-2009 penulis menjalankan tugas sebagai Kepala Subdirektorat Industri
Pengolahan Hasil Hutan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Jakarta.
Tahun 2009 sampai sekarang, penulis sebagai Staf Peneliti pada Pusat Penelitian
dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan, Bogor.
DAFTAR ISI
Halaman
I.
II.
III.
DAFTAR TABEL .........................................................................
xxi
DAFTAR GAMBAR .....................................................................
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................
xxv
PENDAHULUAN .........................................................................
1
1.1. Latar Belakang ........................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ................................................................
5
1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................
15
1.4. Manfaat Penelitian ..................................................................
15
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan ...........................................
15
1.6. Kebaruan Penelitian ................................................................
17
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................
19
2.1. Perekonomian Indonesia .........................................................
19
2.2. Peranan Sumberdaya Hutan ....................................................
26
2.3. Pengaruh Kebijakan Makroekonomi ......................................
33
2.4. Pengaruh Kebijakan Perdagangan Internasional ....................
38
2.5. Penelitian Terdahulu Kasus Indonesia ...................................
39
KERANGKA PEMIKIRAN............................................................
41
3.1. Deforestasi ..............................................................................
41
3.2. Degradasi Hutan .....................................................................
47
3.3. Pengaruh Kebijakan Makroekonomi ......................................
50
3.3.1. Pengaruh Kebijakan Fiskal ...........................................
50
3.3.1.1. Pengaruh Penerimaaan Negara ........................
51
3.3.1.2. Pengaruh Pengeluaran Negara .........................
52
3.3.2. Pengaruh Kebijakan Moneter .......................................
54
3.4. Pengaruh Faktor Eksternal ......................................................
56
3.5. Konstruksi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan
58
3.5.1. Blok Makroekonomi .....................................................
58
3.5.2. Blok Deforestasi ...........................................................
64
3.5.2.1. Tingkat Deforestasi Hutan Alam untuk Areal
HTI ..................................................................
68
3.5.2.2. Tingkat Deforestasi untuk Areal Sawit ............
71
3.5.2.3. Tingkat Deforestas untuk Areal Karet ..............
73
3.5.2.4. Tingkat Deforestasi untuk Areal Padi ..............
75
3.5.2.5. Total Tingkat Deforestasi untuk Areal HTI,
IV.
V.
VI.
Sawit, Karet, dan Padi .....................................
76
3.5.3. Blok Degradasi Hutan ...................................................
77
METODE PENELITIAN ...............................................................
81
4.1. Jenis dan Sumber Data ............................................................
81
4.2. Spesifikasi Model ....................................................................
84
4.3. Identifikasi Model ...................................................................
88
4.4. Pendugaan dan Pengujian Model ............................................
88
4.5. Validasi Model ........................................................................
89
4.6. Simulasi Model .......................................................................
92
EVALUASI MODEL ...................................................................
93
5.1. Pendugaan dan Pengujan Model ............................................
93
5.1.1. Blok Makroekonomi ....................................................
93
5.1.2. Blok Deforestasi ...........................................................
95
5.1.3. Blok Degradasi Hutan ..................................................
100
5.2. Validasi Model .......................................................................
103
DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR
EKSTERNAL ................................................................................
109
6.1. Dampak Kebijakan Makroekonomi .......................................
109
6.1.1. Blok Makroekonomi ....................................................
110
6.1.2. Blok Deforestasi ...........................................................
111
6.1.3. Blok Degradasi Hutan ..................................................
114
6.2. Dampak Faktor Eksternal .......................................................
115
6.2.1. Blok Makroekonomi ....................................................
116
6.2.2. Blok Deforestasi ...........................................................
120
6.2.3. Blok Degradasi Hutan ..................................................
123
xviii
VII. SIMPULAN DAN SARAN ..........................................................
127
7.1. Simpulan ................................................................................
127
7.2. Implikasi Kebijakan ...............................................................
128
7.3. Penelitian Lanjutan ................................................................
128
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................
131
LAMPIRAN .................................................................................
139
xix
DAFTAR TABEL
Nomor
1.
Halaman
Luas Lahan Berhutan dalam Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain
di Indonesia Tahun 2006 ..............................................................................
3
2.
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 1996 – 2000 ................................
24
3.
Jenis dan Sumber Data Blok Makroekonomi ..............................................
81
4.
Jenis dan Sumber Data Blok Deforestasi-Areal HTI, Sawit, dan Karet ......
82
5
Jenis dan Sumber Data Blok Deforestasi-Areal Padi ...................................
83
6.
Jenis dan Sumber Data Blok Degradasi Hutan ............................................
83
7.
Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Makroekonomi
Persamaan Konsumsi Rumah Tangga, Penerimaan Pajak, Pengeluaran
Pemerintah dan Investasi Swasta .................................................................
94
Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Makroekonomi
Persamaan Ekspor Bersih, Suku Bunga Nominal, Tingkat Harga Umum,
Nilai Tukar Nominal dan Permintaan Tenaga Kerja ...................................
95
Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Deforestasi
Persamaan Deforestasi untuk Areal HTI .....................................................
97
10. Hasil Pendugaan dan Pengujian Model Parameter Model Blok Deforestasi
Persamaan Deforestasi untuk Areal Sawit ...................................................
98
11. Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Deforestasi
Persamaan Deforestasi untuk Areal Karet ...................................................
99
12. Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Deforestasi
Persamaan Deforestasi untuk Areal Padi .....................................................
100
13. Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Degradasi Hutan
Persamaan Degradasi Hutan Areal HPH .....................................................
102
14. Nilai Root Mean Square Percent Error Simulasi Model Ekonomi
Deforestasi dan Degradasi Hutan .................................................................
104
15. Proporsi Dekomposisi Mean Square Error Simulasi Model Ekonomi
Deforestasi dan Degradasi Hutan .................................................................
107
8.
9.
16. Skenario Dampak Perubahan Kebijakan Makroekonomi terhadap
Perekonomian ...............................................................................................
111
17. Skenario Dampak Perubahan Kebijakan Makroekonomi terhadap
Deforestasi ...................................................................................................
113
18. Skenario Dampak Perubahan Kebijakan Makroekonomi terhadap
Degradasi Hutan ...........................................................................................
115
19. Skenarion Dampak Perubahan Harga Minyak Mentah Dunia terhadap
Perekonomian ................................................................................................
119
20. Skenario Dampak Perubahan Suku Bunga Rujukan Amerika Serikat
terhadap Perekonomian ................................................................................
120
21. Skenario Dampak Perubahan Harga Minyak Mentah Dunia terhadap
Deforestasi Hutan Alam ...............................................................................
122
22. Skenario Dampak Perubahan Suku Bunga Rujukan Amerika Serikat
terhadap Deforestasi Hutan Alam ................................................................
123
23. Skenario Dampak Perubahan Harga Minyak Mentah Dunia terhadap
Degradasi Hutan Alam Areal HPH ..............................................................
124
xxii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.
Perkembangan Harga Minyak Mentah Dunia Tahun 1970 – 2008 .............
7
2.
Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia Tahun 1990 – 2006 ........
9
3.
Perkembangan Laju Deforestasi di Indonesia 1990 – 2006 ........................
10
4.
Perkembangan Luas Areal Hak Pengusahaan Hutan Alam di Indonesia
1990 – 2006 .................................................................................................
12
Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia, Kehutanan, dan Industri
Kayu, dan Hasil Hutan Lainnya Harga Konstan 2000 Periode 2002 – 2007
13
6.
Perkembangan Harga Minyak Indonesia Tahun 1969 – 1983 ....................
20
7.
Perkembangan Produksi Minyak Indonesia Tahun 1969 – 1983 ................
20
8.
Perkembangan Ekspor Migas dan Nonmigas Indonesia Tahun 1980 - 1996
22
9.
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2001 – 2011 ...............................
25
10. Perkembangan Ekspor dan Impor Minyak Tahun 2001 – 2010 ..................
25
11. Kontribusi Nilai Ekspor Migas, Karet, Kayu, dan Minyak Sawit terhadap
Ekspor Nasional Tahun 1966 – 1978 ..........................................................
29
12. Perkembangan Nilai Ekspor Kayu Bulat, Kayu Lapis, dan Kayu Olahan
Tahun 1980 – 1990 ......................................................................................
30
13. Kontribusi Nilai Ekspor Produk Kayu, Pulp, Karet, dan Minyak Sawit
terhadap Ekspor Nasional Tahun 2001 – 2009 ............................................
31
14. Prosed Degradasi dan Deforestasi pada Hutan Alam ..................................
43
15. Hubungan antara Permintaan Pasar Pangan, Karet, Minyak Sawit dan
Pulp dengan Deforestasi ..............................................................................
46
16. Hubungan antara Permintaan Pasar Kayu Lapis, Kayu Gergajian dan Pulp
dengan Degradasi Hutan ..............................................................................
49
17. Struktur dan Komponen Penerimaan Negara ..............................................
52
5.
18. Struktur dan Komponen Pengeluaran Negara .............................................
54
19. Struktur dan Komponen Subsidi Negara .....................................................
55
20. Saluran dan Mekanisme Pengaruh BI Rate terhadap Aktivitas Ekonomi ...
56
21. Pengaruh Penawaran Uang dan Pendapatan Agregat terhadap Suku Bunga
62
22. Keseimbangan Pasar Lahan Hutan Alam ....................................................
67
23. Keseimbangan Pasar Kayu HTI ..................................................................
70
24. Keseimbangan Pasar Buah Sawit ................................................................
73
25. Keseimbangan Pasar Karet ..........................................................................
75
26. Keseimbangan Pasar dan Intervensi Harga Gabah Kering Giling ..............
77
27. Keseimbangan Pasar Kayu Hutan Alam .....................................................
80
28. Diagram Dampak Kebijakan Makroekonomi terhadap Perekonomian .......
109
29. Diagram Dampak Faktor Eksternal terhadap Perekonomian ......................
116
xxiv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
1.
2.
3.
4
5
6
7
8
9
Halaman
Data yang Digunakan untuk Pendugaan Model Ekonomi Deforestasi dan
Degradasi Hutan ...........................................................................................
139
Program Pendugaan Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan
Alam Menggunakan Metode 2SLS, Prosedure SYSLIN, Sofware SAS
versi 9.0 .......................................................................................................
151
Hasil Pendugaan Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam
Menggunakan Metode 2SLS, Prosedure SYSLIN, Software SAS versi 9.0
157
Hasil Pendugaan Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam
Menggunakan Metode 2SLS dan AR(1), Software EViews versi 6..............
189
Program Validasi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam
Menggunakan Metode Newton, Prosedur SYSNLIN, Software SAS versi
9.0 ..................................................................................................................
221
Hasil Validasi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam
Menggunakan Metode Newton, Prosedur SYSNLIN, Software SAS versi
9.0...................................................................................................................
231
Program Simulasi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam
Menggunakan Metode Newton, Prosedur SYSNLIN, Software SAS versi
9.0...................................................................................................................
241
Hasil Simulasi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam
Menggunakan Metode Newton, Prosedur SYSNLIN, Software SAS versi
9.0...................................................................................................................
251
Notasi Peubah yang Digunakan untuk Pengolahan Data ..............................
261
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Perubahan iklim global merupakan isu dunia yang kini menjadi perhatian
banyak kalangan baik di dalam negeri maupun di dunia internasional. Selaras
dengan isu tersebut, perhatian masyarakat internasional terhadap perkembangan
masalah deforestasi dan degradasi hutan semakin menguat. Perhatian masyarakat
internasional terlihat dari berkembangnya forum-forum internasional dengan
beragam kebijakan dan program yang pada intinya bertujuan untuk mencegah,
mengurangi dan memperbaiki kerusakan hutan dan lingkungan sebagai upaya
mengurangi, memperlambat dan bahkan menstabilkan laju perubahan iklim global
pada threshold yang aman bagi umat manusia sedunia.
Menghindari deforestasi dan degradasi hutan merupakan salah satu bagian
untuk mengurangi emisi CO2. Hal ini karena hutan memiliki pengaruh penting pada
iklim (Contreras-Hermosilla et al, 2007). Berkurangnya tutupan hutan secara
langsung mempengaruhi tingkat CO2 (carbon dioxide) di atmosfir, yang diatur
melalui penyerapan alamiah tanaman dan pepohonan. Jika jumlah tanaman dan
pepohonan yang hidup berkurang (akibat deforestasi), maka jumlah CO2 yang
diserap akan berkurang (Ross, 1998 dalam Alimov, 2002).
Berdasarkan
Forest
Resources
Assessment,
Food
and
Agriculture
Organisation (2005), total luas hutan dunia pada tahun 2005 ditaksir berada di
bawah 4 miliar hektar atau 30% dari total luas lahan dunia atau 0.6 ha hutan per
kapita. Deforestasi, terutama akibat konversi hutan untuk lahan pertanian berlanjut
dengan laju yang sangat tinggi sebesar 13 juta ha per tahun. Pada waktu yang
bersamaan, penanaman hutan, restorasi lanskap (landscape restoration) dan ekspansi
alamiah hutan secara signifikan menurunkan kehilangan hutan bersih (net
2
loss of forest area). Kehilangan hutan global pada periode 2000-2005 ditaksir
sebesar 7.3 juta ha per tahun, menurun dari 8.9 juta ha per tahun pada periode 19902000.
Amerika Selatan menderita kehilangan hutan terbesar, yang pada periode
tahun 2000-2005 sekitar 4.3 juta ha per tahun, diikuti oleh Afrika, yang kehilangan
sebesar 4.0 ha per tahun. Negara-negara Amerika Utara, Amerika Tengah dan
Oceania masing-masing kehilangan hutan sekitar 350 000 ha per tahun, sementara
Asia, yang kehilangan hutan sebesar 800 000 ha per ha tahun 1990an, dilaporkan
mengalami penambahan hutan sebanyak 1 juta ha per tahun pada periode 2000 –
2005, terutama akibat aforestasi skala besar di Cina. Luas hutan di Eropa terus
meningkat meskipun pada tingkat yang lebih rendah dibanding tahun 1990an.
Indonesia berada pada urutan ketiga setelah Brasilia dan Zaire dalam
kekayaan hutan tropis, yakni memiliki 10% dari hutan tropis yang tersisa di dunia
(Sunderlin dan Resosudarmo, 1997). Berdasarkan hasil penafsiran citra landsat
liputan 2005/2006 menunjukkan bahwa luas lahan berhutan di Indonesia adalah 98.5
juta ha atau 52.4 %, dan luas lahan tidak berhutan adalah 85.8 juta ha atau 45.7%;
tidak tersedia data (karena tertutup awan) adalah 3.6 juta ha (1.9%). Dari total luas
lahan berhutan tersebut, luas lahan berhutan yang terbesar berada di Papua seluas
33.2 juta ha, kemudian disusul di Kalimantan 30.4 juta ha, dan Sumatra 15.8 juta ha.
Sedangkan luas lahan berhutan terkecil berada di Bali-Nusa seluas 2.5 juta ha,
kemudian disusul di Jawa 3.1 juta ha, Maluku 4.7 juta ha, dan Sulawesi 8.7 juta ha
(Tabel 1).
Dari hasil perhitungan berdasarkan hasil penafsiran citra landsat diketahui
bahwa laju deforestasi pada periode 1990 – 1996 mencapai 1.9 juta ha namun
kemudian meningkat tajam menjadi 3.5 juta ha pada periode 1996 – 2000. Pada
3
periode 2000 – 2003 laju deforestasi menurun tajam menjadi 1.1 juta ha namun
kemudian meningkat kembali menjadi 1.2 juta ha pada periode 2003 – 2006
(Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan, 2008). Perhitungan laju deforestasi
periode 2006 - 2009 sedang dalam penyelesaian namun diperkirakan tidak banyak
berubah jika tidak terdapat perubahan signifikan dalam kebijakan pemanfaatan
sumberdaya hutan. Panayotou (1993) menyatakan permasalahannya adalah
pembuat kebijakan biasanya mempertimbangkan manfaat jangka pendek (shortterm benefits) dari konversi hutan dan bukan biaya jangka panjang (long-term
costs). Permasalahan yang diidentidikasi dan diatasi hanya merupakan symptoms
masalah bukan akar masalah (underlying causes) dan pengabaian biaya dan
manfaat jangka panjang mencegah upaya perumusan kebijakan yang efektif.
Tabel 1. Luas Lahan Berhutan dalam Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain
di Indonesia, 2006
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Pulau/Kepulauan
Sumatra
Jawa
Kalimantan
Sulawesi
Bali-Nusa
Maluku
Papua
Total
Kawasan
Hutan
(juta ha)
14.3
2.2
27.4
7.8
1.4
4.5
32.6
90.2
Luas Lahan Berhutan
Areal
Total
Penggunaan Lain
(juta ha)
(juta ha)
1.5
15.8
1.0
3.2
3.1
30.5
1.0
8.7
1.0
2.5
0.2
4.7
0.6
33.2
8.4
98.6
(%)
16.1
3.2
30.9
8.8
2.5
4.8
33.7
100.0
Sumber: Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan, 2008
Dampak deforestasi dan degradasi hutan terhadap perubahan iklim global
merupakan eksternalitas lintas batas (transboundary externality). Perbedaan utama
antara eksternalitas domestik dan lintas batas adalah eksternalitas domestik dapat
diinternalkan oleh pemerintah yang bersangkutan, karena bukan merupakan kasus
rembesan global (Hanley et al, 1997 dalam Alimov, 2002). Sedangkan eksternalitas
4
lintas batas, sebaliknya, pemerintah dari negara pencemar tidak memiliki insentif
untuk menanggung seluruh biaya pengurangan pencemaran, karena hanya
menikmati sebagian dari manfaat global yang dihasilkan. Jika dilakukan, maka
negara-negara lain akan menjadi free-rider, menikmati manfaat pengurangan
pencemaran oleh pencemar tanpa kontribusi menurunkan. Solusi yang didasarkan
pada prinsip membayar (polluter pays principle) tidak dapat diterapkan tanpa
kekuasaan supranasional (Alimov, 2002). Implikasinya, masalah deforestasi dan
degradasi hutan harus diatasi melalui komunitas internasional.
Sebagai upaya komunitas internasional, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
Bumi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diselenggarakan pada tahun 1992 di Rio
de Janeiro, Brasil. Konferensi ini berhasil mengidentifikasi deforestation,
desertification, ozone depletion, atmospheric CO2 emissions dan biodiversity
sebagai isu lingkungan global serta menghasilkan kerangka kelembagaan UNFCCC
(United Nations Framework Convention on Climate Change). Pada 1995,
konferensi UNFCCC ke 3 diselenggarakan di Kyoto, Jepang. Terkait dengan isu
atmospheric CO2 emissions, dalam konferensi ini COP (Convention on Parties)
negara-negara maju (annex 1) menghasilkan Kyoto Protocol antara lain menetapkan
target pengurangan emisi karbon bagi negara-negara maju melalui CDM (Clean
Development Mechanism).
Pada tahun 2007, konferensi UNFCCCC ke 13 diselenggarakan di Bali,
Indonesia. Terkait dengan isu deforestation dan desertification, dalam konferensi
ini COP negara-negara berkembang (non-annex 1) mengusulkan REDD (Reducing
Emission from Deforestation and Forest Degradation in Developing Countries).
Pada tahun 2009, konferensi ke 15 diselenggarakan di Kopenhagen (Denmark).
Dalam konferensi ini, Indonesia melalui kerangka REDD mendeklarasikan target
5
pengurangan emisi CO2 sebesar 26% hingga tahun 2020, dan menetapkan subsekor
kehutanan berkontribusi menurunkan emisi sebesar 14%.
Upaya mewujudkan target tersebut akan berdampak terhadap peningkatan
kinerja perekonomian, khususnya produksi tanaman pangan, perkebunan,
kehutanan dan pertambangan. Kenyataan menunjukkan peningkatan produksi
tanaman pangan, perkebunan dan kehutanan pada umumnya masih bergantung
pada perluasan areal dibanding peningkatan produktivitas lahan per ha. Khususnya
tanaman pangan (padi), hasil penelitian menunjukkan selama 20 tahun terakhir
produktivitasnya hampir tidak mengalami peningkatan sehingga menjustifikasi
bahwa kenaikan produksi padi disebabkan oleh penambahan areal (Jayawinata,
2005). Sedangkan areal pertambangan yang potensial umumnya berada dalam
kawasan hutan primer, bahkan merupakan kawasan hutan yang dilindungi.
1.2.
Perumusan Masalah
Kenyataan menunjukkan bahwa perekonomian dunia sedang berubah yakni
melangkah menghadapi setidaknya tiga fenomena perubahan. Pertama adalah
fenomena perubahan yang ditandai oleh semakin terintegrasinya pasar modal dan
keuangan serta perdagangan global. Perubahan kondisi moneter internasional
(international monetary changes) ditransmisikan ke dalam perekonomian suatu
negara melalui sistem finansial dan perdagangan internasional. Dalam kasus yang
ekstrim, hubungan ketergantungan tersebut ditunjukkan oleh adanya krisis di suatu
negara merembet ke negara lain. Krisis European Exchange Rate Mechanism
(ERM) tahun 1992-1993, yang dipicu oleh penarikan mata uang Inggris
(Poundsterling) dan Italia (Lira) dari sistem mata uang Euro, diikuti oleh krisis
mata uang dan perbankan di Swedia, Norwegia dan Finlandia (Sugema, 2000).
6
Krisis hutang menjadi krisis mata uang dan kemudian menjadi krisis
perbankan di Meksiko merembat ke Argentina dan Brasilia. Krisis mata uang
Thailand, Baht, merambat menjadi krisis mata uang Rupiah (Indonesia), Ringgit
(Malaysia), Won (Korea Selatan), dan pada tingkat tertentu, peso (Filipina)
(Sugema, 2000). Krisis kredit macet perumahan berisiko tinggi (subprime
mortgage) di Amerika Serikat menyebabkan krisis keuangan global dan
pertumbuhan ekonomi dunia yang negatif (kecuali Cina, India dan Indonesia).
Krisis ekonomi yang terjadi di Yunani tahun 2010 telah merambat ke Portugal, dan
diperkirakan akan menyusul ke Spanyol. Krisis yang terjadi di negara-negara lain
dapat mempengaruhi perekonomian Indonesia jika krisis yang terjadi berpengaruh
signifikan di negara-negara partner utama dagang Indonesia seperti Uni Eropa, dan
pengaruhnya akan semakin besar jika krisis juga merambat ke Amerika Serikat dan
Jepang, yang juga merupakan partner utama dagang Indonesia.
Kedua adalah fenomena perubahan yang ditandai oleh lompatan kenaikan
harga minyak mentah dunia (MMD). Lompatan kenaikan harga MMD disajikan
pada Gambar 1. Pada Gambar 1 terlihat bahwa harga MMD terus mengalami
lompatan kenaikan. Lompatan kenaikan harga MMD yang pertama terjadi pada
pertengahan tahun 1970-an dari sekitar USD 3 per barrel menjadi sekitar USD 10
per barrel. Lompatan kenaikan harga MMD yang kedua terjadi pada awal tahun
1980-an dari sekitar USD 15 per barrel menjadi sekitar USD 40 per barrel. Pada
pertengahan tahun 1980-an, harga MMD mengalami penurunan menjadi sekitar
USD 20 per barrel sebelum meningkat kembali pada awal tahun 1990-an menjadi
sekitar USD 30 per barrel dan menurun menjadi sekitar USD 10 per barrel
menjelang akhir tahun 1990-an. Lompatan ketiga mulai terjadi tahun 2000-an.
Sejak tahun 2000 harga MMD cenderung terus meningkat. Pada awal tahun 2000
7
harga MMD meningkat kembali menjadi sekitar USD 30 per barrel dan sempat
menurun menjadi sekitar USD 20 per barrel sebelum akhirnya terus meningkat
hingga menjadi sekitar USD 90 per barrel pada akhir tahun 2000-an.
Sumber: Energy Information Administration
Gambar 1. Perkembangan Harga Minyak Mentah Dunia, 1970 - 2008
Ketiga adalah isu perubahan iklim global. Isu perubahan iklim dicirikan oleh
empat tuntutan peubahan, yaitu: (1) perbaikan teknologi yang ramah lingkungan,
(2) peningkatan produktivitas lahan, (3) pembatasan pemanfaatan hutan alam,
khususnya di negara-negara berkembang, dan (4) peningkatan perluasan areal hutan
tanaman pada areal-areal yang terdegradasi, atau bahkan konversi lahan nonhutan
menjadi hutan. Tuntutan perbaikan teknologi ramah lingkungan ditekankan untuk
seluruh aktivitas ekonomi. Dalam kasus energi muncul teknologi pemrosesan nabati
sebagai energi pengganti (fosil), intensifikasi pengembangan teknologi pemanfaatan
8
aliran air dan sinar matahari sebagai penghasil energi alternatif. Dalam kasus
pengelolaan hutan alam muncul teknologi ramah lingkungan, RIL (Reduced Impact
Logging).
Tiga fenomena perubahan tersebut berinteraksi menentukan besaran harga
dan output perekonomian. Konsekuensinya, masing-masing negara harus
melaksanakan langkah-langkah penyesuaian (adjustment) pada seluruh lini sektor
ekonomi. Dengan kata lain, perekonomian dunia sedang mengalami proses-proses
penyesuaian bukan saja berkaitan dengan pasar dunia yang semakin terintegrasi dan
lompatan kenaikan harga MMD namun juga berkaitan dengan isu perubahan iklim.
Bagaimana dampak perubahan yang terjadi terhadap masa depan perekonomian
belum banyak dipahami. Hal ini menyarankan pentingnya memahami bukan hanya
pengaruh kebijakan makroekonomi dan perubahan faktor eksternal seperti suku
bunga, nilai tukar, kebijakan tarif dan non-tarif, serta harga MMD terhadap
pertumbuhan ekonomi, namun penting juga memahami dampak pertumbuhan
ekonomi terhadap perubahan iklim, termasuk deforestasi dan degradasi hutan.
Kinerja makroekonomi Indonesia periode 1990 – 2006 dengan krisis
ekonomi yang terjadi pada periode 1997 – 1999 memberikan bukti empiris adanya
keterkaitan antara perubahan faktor eksternal, kinerja makroekonomi, dan
deforestasi dan degradasi hutan.
Gambar 2 menyajikan pertumbuhan Produk
Domestik Bruto (PDB) periode 1990 – 2006. Dari Gambar 2 terlihat bahwa pada
periode 1990 – 1996 ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan tinggi yaitu di
atas 7% per tahun. Namun pada pertengahan tahun 1997 (Juli), krisis moneter
regional menguncang perekonomian Indonesia dan menyebabkan pertumbuhan
ekonomi Indonesia tahun 1997 menurun drastis menjadi 4.7%. Setahun kemudian
yakni tahun 1998, ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan negatif sebesar
9
13.1%. Pada tahun 1999, ekonomi Indonesia mengalami perbaikan dan tumbuh
sebesar 0.8% yang kemudian tahun 2000 meningkat menjadi 4.9%. Pada tahun
2003, ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 4.7% dan kemudian
meningkat menjadi 5.5% tahun 2006.
Sumber: Badan Pusat Statistik
Gambar 2. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia, 1990-2006
Diketahui bahwa pada periode 1990 – 1996 di mana pertumbuhan ekonomi
mencapai 7% (Gambar 2), laju deforestasi mencapai 1.9 juta ha (Gambar 3). Laju
deforestasi kemudian meningkat tajam menjadi 3.5 juta ha pada periode 1996 –
2000 (Gambar 3), yang merupakan periode tahun di mana krisis ekonomi terjadi
(1997 – 1999) (Gambar 2). Namun laju deforestasi kemudian menurun tajam
menjadi 1.1 juta pada periode 2000 – 2003 (Gambar 3). Pada periode 2000 – 2003,
kinerja makroekonomi mengalami perbaikan dan PDB mengalami pertumbuhan
sekitar 4% (Gambar 2). Pada periode 2003 – 2006, laju deforestasi kembali
meningkat menjadi 1.2 juta ha (Gambar 3) dan pertumbuhan ekonomi pada periode
tersebut mencapai sekitar 5% (Gambar 2).
10
Sumber: Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan
Gambar 3. Perkembangan Laju Deforestasi di Indonesia, 1990 - 2006
Perkembangan degradasi hutan akibat tebang pilih ditunjukkan oleh luas
logged over area (LOA) hutan primer. Luas LOA hutan primer bergantung pada
luas konsesi hutan alam yang diusahakan. Semakin luas konsesi hutan alam yang
diusahakan semakin luas LOA yang akan ditimbulkan. Logged over area hutan
primer terdegradasi dengan kategori berat dalam arti potensi hutannya tidak layak
lagi diusahakan umumnya ditinggalkan oleh pemegang konsensi. Pada umumnya
perusahaan hutan alam tidak meninggalkan areal kosensi hutannya selama potensi
hutannya masih layak diusahakan kecuali izinnya dicabut pemerintah karena
melanggar peraturtan.
Dari Gambar 4 diketahui bahwa pada tahun 1990, luas konsesi hutan alam
mencapai 58.8 juta ha dengan produksi kayu bulat sebesar 25.8 juta m3 tapi tahun
1996 menurun menjadi 54.0 juta ha dengan produksi kayu bulat sebesar 25.3 juta
m3. Pada tahun 2000 luas konsensi hutan alam menurun tajam menjadi 39.1 juta
ha dengan produksi kayu bulat sebesar 3.4 juta m3. Penurunan produksi kayu bulat
pada tahun 2000 di samping disebabkan oleh penurunan luas konsesi juga
disebabkan oleh kebijakan softlanding, yang berlaku hingga sekarang. Pada tahun
11
2003 luas konsensi hutan alam kemudian menurun lagi menjadi 27.8 juta dengan
produksi kayu bulat sebesar 3.7 juta m3. Pada tahun 2006 luas konsesi hutan alam
meningkat sedikit dari tahun 2003 menjadi 28.7 juta ha dengan produksi kayu
bulat sebesar 5.4 juta m3. Peningkatan luas konsesi ini menunjukkan terdapat areal
konsesi tidak terkelola yang masih produktif yang kemudian dialihkan kepada
pemegang konsesi yang bersedia mengambilalih pengelolaan hutannya.
Penurunan luas konsesi hutan alam berarti peningkatan luas konsesi tidak
terkelola. Peningkatan luas konsesi tidak terkelola menyebabkan hutan menjadi
open access, yang pada gilirannya menyebabkan hutan semakin terdegradasi. Luas
konsesi tidak terkelola dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu: (1) luas
konsesi tidak terkelola yang masih produktif, dan (2) luas konsesi tidak terkelola
yang tidak produktif atau LOA yang terdegradasi berat. Dengan menggunakan
nilai dasar tahun 1990, dari Gambar 4 diketahui bahwa luas konsesi tidak terkelola
tahun 1996 mencapai 4.8 juta ha tapi kemudian meningkat menjadi 19.7 juta ha
tahun 2000. Periode 1996 – 2000 merupakan periode terjadinya krisis (1997 1999). Pada tahun 2003 luas konsesi tidak terkelola meningkat lagi menjadi 31.0
juta ha dan kemudian menurun menjadi 30.1 juta ha tahun 2006 (Gambar 4).
Selama periode krisis (1997 – 1999) (Gambar 2), terlihat bahwa luas
konsesi hutan menurun tajam atau luas konsensi hutan tidak terkelola meningkat
tajam (Gambar 4). Peningkatan luas konsesi hutan tidak terkelola menyebabkan
luas hutan open access semakin meningkat. Peningkatan luas hutan open access
mendorong peningkatan laju deforestasi (Gambar 3) dan degradasi hutan. Dengan
kata lain, kondisi krisis menurunkan output konsesi hutan dan penurunan
outputnya berkontribusi terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi. Oleh
karenanya pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi lebih tinggi jika tanpa PDB
12
(Produk Domestik Bruto) kehutanan dan industri kayu dan hasil hutan lainnya
(HHL), karena keduanya mengalami pertumbuhan yang negatif, terutama setelah
tahun 2004 (Gambar 5).
Sumber: Direktorat Bina Pengembangan Hutan Alam
Gambar 4. Perkembangan Luas Areal Hak Pengusahaan Hutan Alam di Indonesia,
1990 – 2006
Di subsektor kehutanan, pengurangan emisi CO2 dapat diwujudkan dengan
mempertahankan dan mengkonservasi hutan alam yang tersisa dan/atau
meningkatkan hutan tanaman yang ada dengan mereboisasi kawasan hutan yang
terdegradasi.
Target
pengurangan
CO2
dengan
mempertahankan
dan
mengkonservasi hutan alam akan mengurangi ekspansi areal, termasuk ekspansi
areal pertanian seperti untuk pangan, perkebunan dan juga kehutanan 1 , dan
karenanya juga akan mengurangi kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi.
Kaimowitz dan Angelsen (1998) menyatakan terdapat kesepakatan yang
luas bahwa ekspansi areal penananam (cropped area) serta penggembalaan
(pasture) merupakan sumber utama deforestasi. Ekspansi penggembalaan, terutama
1
Sesuai INPRES No. 10/2011, moratorium izin baru pemanfaatan hutan alam (primer) dikecualikan
untuk permohonan yang telah menperoleh persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan; pelaksanaan
pembangunan nasional yang vital, yaitu: geothermal, minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, lahan
untuk padi dan tebu; perpanjangan izin sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku; dan
restorasi ekosistem.
13
penting di negara-negara Amerika Latin. Tetapi sebaliknya tidak terdapat
kesepakatan yang luas mengenai pembalakan hutan (logging), meskipun
pembalakan hutan kelihatan sebagai sumber langsung deforestasi dalam konteks
tertentu dan memainkan peran tidak langsung dalam konteks yang lain.
Sumber: Badan Pusat Statistik
Gambar 5. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia, Kehutanan dan Industri
Kayu dan Hasil Hutan Lainnya Harga Konstan 2000, 2002 – 2007
Ekspansi areal atau deforestasi dan degradasi hutan alam tidak terlepas dari
pengaruh kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal. Berkaitan dengan faktor
14
eksternal hutan, Wunder dan Verbist (2003) menyatakan bahwa hipotesis kunci
penelitian pengaruh eksternal hutan (tropis) adalah bahwa apa yang terjadi pada
hutan lebih disebabkan oleh kejadian di luar hutan dibanding di dalam hutan
sendiri. Dengan kata lain, dampak sektor lain sering lebih penting dibanding
misalnya dampak undang-undang bidang kehutanan, proyek penanaman pohon
secara partisipatif atau program pendidikan lingkungan. Secara tersirat pandangan
Wunder dan Verbist ini lebih menonjolkan besarnya pengaruh luar sehingga
praktek pengelolaan hutan secara berkelanjutan tidak dapat dipraktekkan secara
konsisten (atau berdampak kecil).
Berbeda dengan Wunder dan Verbist, penelitian ini mendasarkan pada
pertanyaan: bagaimana memodelkan mekanisme transmisi pengaruh eksternal hutan
dan menganalisis secara simultan dampak deforestasi dan degradasi hutan yang
ditimbulkan? Untuk menghindari kompleksitas permasalahan, pengaruh eksternal
hutan dalam penelitian ini dibatasi terdiri dari: (1) kebijakan makroekonomi, dan
(2) faktor eksternal. Perumusan masalah penelitian secara rinci dinyatakan dalam
bentuk dua pertanyaan:
1. Bagaimana dan seberapa besar kebijakan makroekonomi mempengaruhi
deforestasi dan degradasi hutan, serta kebijakan mana yang signifikan
mempengaruhi?
2. Bagaimana dan seberapa besar perubahan faktor eksternal mempengaruhi
deforestasi dan degradasi hutan, serta faktor eksternal mana yang signifikan
mempengaruhi?
15
1.3.
Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan
makroekonomi dan faktor eksternal terhadap deforestasi dan degradasi hutan.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1. Membangun
model
ekonometrika
sistem
persamaan
simultan
yang
mengintegrasikan faktor-faktor makroekonomi dan eksternal ke dalam aspek
mikroekonomi deforestasi dan degradasi hutan.
2. Menganalisis dampak kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal terhadap
deforestasi dan degradasi hutan.
1.4.
Manfaat Penelitian
Secara umum hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan
masukan kebijakan pengendalian deforestasi dan degradasi hutan. Secara khusus
hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan:
1. Kebijakan mitigasi dampak deforestasi dan degradasi hutan kebijakan
makroekonomi dan faktor eksternal.
2. Pengembangan model ekonometrika dampak kebijakan makroekonomi dan
faktor eksternal terhadap deforestasi dan degradasi hutan.
1.5.
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Deforestasi didefinisikan sebagai perubahan kondisi penutupan lahan dari
kelas penutupan lahan kategori hutan (berhutan) menjadi kelas penutupan lahan
kategori nonhutan (tidak berhutan) (Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan
(2008). Namun hutan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah hutan alam,
sehingga hutan tanaman industri (HTI) dimasukkan ke dalam kategori deforestasi.
Dengan demikian areal deforestasi yang dianalisis terdiri dari: (1) areal HTI, (2)
16
areal tanaman padi, yang mewakili perluasan areal tanaman pangan, (3) areal
tanaman karet, dan (4) areal tanaman sawit, yang mewakili areal tanaman
perkebunan.
Degradasi hutan (primer) didefinisikan sebagai perubahan tutupan hutan
alam yang menyebabkan terjadinya pengurangan daya serap CO2, peningkatan
erosi, dan struktur tegakan hutan alam yang (tanpa penataan kembali) tidak dapat
dipanen secara lestari. Degradasi hutan dapat terjadi di semua areal kategori fungsi
hutan, yaitu: hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi. Areal degradasi
hutan yang dianalisis adalah areal degradasi hutan yang terjadi di hutan alam
produksi areal HPH.
Model dibagi ke dalam tiga blok, yaitu: (1) blok makroekonomi, (2) blok
deforestasi, dan (3) blok degradasi hutan. Data untuk pendugaan model adalah data
deret waktu periode 1980 – 2008. Model diduga menggunakan metode 2SLS.
Pendekatan makroekonomi yang digunakan adalah pendekatan sisi permintaan
agregat. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis meliputi: (1) kebijakan moneter,
yakni penawaran uang, dan (2) kebijakan fiskal, yakni pengeluaran pemerintah.
Faktor eksternal yang dianalisis meliputi: (1) perubahan harga minyak mentah
dunia, dan (2) suku bunga dunia (suku bunga rujukan Amerika Serikat, Federal
Fund Rate). Pendapatan dibelanjakan diasumsikan eksogen.
Kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal menentukan keseimbangan
suku bunga dalam blok makroekonomi. Perubahan suku bunga akibat perubahan
kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal secara langsung mempengaruhi
tingkat deforestasi dan degradasi hutan, serta secara tidak langsung melalui
pengaruhnya terhadap harga komoditas dalam blok deforestasi dan blok degradasi
hutan, yang mana nilai tukar dan inflasi diasumsikan eksogen.
17
1.6.
Kebaruan Penelitian
Penelitian dampak kebijakan makroekonomi terhadap sektor pertanian
antara lain pernah dilakukan oleh Sipayung (2000) menggunakan model
ekonometrika persamaan simultan makroekonomi, dan dampak kebijakan
makroekonomi terhadap ketahanan pangan oleh Jayawinata (2005) menggunakan
model ekonometrika yang mengintegrasikan faktor-faktor mikroekonomi dan
makroekoenomi. Penelitian dampak kebijakan makroekonomi terhadap deforestasi
dan degradasi hutan umumnya menggunakan analisis deskriptif, seperti Sedjo
(2005), Strand (2004), dan Sunderlin et al (2003). Wunder (2005) menganalisis
dampak kebijakan makroekonomi terhadap deforestasi menggunakan persamaan
tunggal dan menganalisis dampaknya secara tidak langsung melalui produksi kayu.
Kaimovitz
dan Angelsen (1998) mengklasifikasi model ekonomi
deforestasi yang menggunakan suatu negara sebagai unit analisis ke dalam empat
grup utama, yaitu: (1) model analitis yakni model yang tidak menyebutkan secara
spesifik wilayah atau negara yang dianalisis, (2) model CGE (Computable General
Equilibrium), (3) model komoditas dan perdagangan, dan (4) model regresi multinegara. Dengan demikian, model yang khusus menganalisis kasus suatu negara,
seperti model yang dikembangkan dalam penelitian ini, belum pernah dilakukan.
Penggunaan model CGE untuk menganalisis deforestasi, menurut Kaimovitz dan
Angelsen (1998) memiliki banyak keterbatasan, dan menyarankan penggunaannya
yang terbaik diperlukan ketika alternatif pendekatan tidak dapat ditemukan untuk
menganalisis isunya. Selaras dengan Kaimovitz dan Angelsen (1998), model yang
dibangun dalam penelitian ini diharapkan dapat mengisi upaya mencari alternatif
pendekatan tersebut.
18
Menurut Kaimovitz dan Angelsen (1998), terdapat empat aspek yang
mendorong deforestasi, yaitu: (1) sumber deforestasi (ekspansi areal untuk
penanaman dan penggembalaan), (2) agen deforestasi (a.l. rumah tangga), (3)
parameter keputusan agen (a.l. harga input dan ouput pertanian, upah, dan harga
kayu), dan (4) underlying factors ( a.l. populasi, pendapatan, hutang luar negeri,
perdagangan, dan politik). Rumah tangga paling sering diteliti namun perusahaan
dan pemerintah (birokrasi) sebenarnya dapat dikategorikan juga sebagai agen
deforestasi. Model yang dibangun dalam penelitian ini berkontribusi dalam
menjelaskan keterkaitan empat aspek tersebut.
Model yang dibangun merupakan model ekonometrika persamaan simultan
yang mengintegrasikan faktor-faktor makroekonomi dan eksternal (underlying
factors) ke dalam aspek mikroekonomi deforestasi dan degradasi hutan (sumber dan
perilaku agen deforestasi dan degradasi hutan). Dengan model yang dibangun
dampak deforestasi dan degradasi hutan kebijakan makroekonomi dan faktor
eksternal dapat dianalisis secara simultan. Perubahan kebijakan makroekonomi dan
faktor
eksternal
mempengaruhi
keseimbangan
suku
bunga.
Perubahan
keseimbangan suku bunga selanjutnya mempengaruhi secara langsung deforestasi
dan degradasi hutan, serta keseimbangan harga pasar komoditas, dan akhirnya
menentukan tingkat deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Perekonomian Indonesia
Sebelum tahun 1966, perekonomian Indonesia pada prinsipnya menganut
sistem perekonomian terpimpim.
Dalam pengertian bahwa negara melakukan
pengendalian atas alat-alat produksi, pembatasan kuantitif dan multiple exchange
rates untuk mengatasi masalah neraca pembayaran (balance of payments), dan
mencetak uang untuk membiayai difisit anggaran (Woo et al 1994 dalam Sunaryo,
1996). Kebijakan-kebijakan tersebut, terutama kebijakan pencetakan uang untuk
pembiayaan difisit anggaran menyebabkan laju inflasi mencapai 650% tahun 1965.
Belajar dari pengalaman sebelum tahun 1966, pemerintah mulai tahun 1966
berusaha menstabilkan perekonomian, terutama mengendalikan laju inflasi. Pada
tahun 1971, program stablilisasi perekonomian berhasil menekan laju inflasi
menjadi
hanya
satu
digit.
Sejak
saat
itu
pemerintah
terus
berusaha
mempertahankan inflasi rendah dengan mengadopsi kebijakan anggaran belanja
berimbang, yakni kebijakan yang melarang praktek pembiayaan domestik untuk
mengatasi defisit anggaran dan menggantikan dengan pembiayaan luar negeri.
Gambar 6 menyajikan perkembangan harga minyak mentah Indonesia
periode 1969-1983. Pada Gambar 6 terlihat selama periode 1969 – 1983, harga
minyak mentah Indonesia cenderung meningkat, dan mengalami dua kali lompatan
kenaikan. Lompatan kenaikan harga minyak mentah yang pertama adalah dari
USD 3.8 per barrel tahun 1973 menjadi USD 12.8 per barrel tahun 1974.
Sedangkan lompatan kenaikan harga minyak yang kedua adalah dari USD 18.4 per
barrel tahun 1979 menjadi USD 31.3 per barrel tahun 1980.
20
Sumber: Pangestu, 1986
Gambar 6. Perkembangan Harga Minyak Mentah Indonesia, 1969 - 1983
Perkembangan produksi minyak mentah Indonesia periode 1969-1983
disajikan pada Gambar 7. Pada Gambar 7 terlihat bahwa pada periode 1969-1979,
produksi minyak mentah cenderung mengalami kenaikan. Pada tahun 1969,
produksinya mencapai 270.9 juta barrel, kemudian tahun 1973 meningkat menjadi
488.5 juta barrel. Tahun 1974 produksinya meningkat menjadi 501.8 juta barrel
dan tahun 1979 meningkat menjadi 580.4 juta barrel. Pada periode tahun 19791983, produksinya cenderung menurun. Pada tahun 1980 produksinya menurun
menjadi 577.0 juta barrel dan tahun 1983 menurun lagi menjadi 490.5 juta barrel
(Gambar 7).
Sumber : Pangestu, 1986
Gambar 7. Perkembangan Produksi Minyak Mentah Indonesia, 1969 - 1983
21
Dua kali lompatan kenaikan harga minyak (1974 dan 1980) memberikan
kesempatan pemerintah meningkatkan perekonomian 2 , dan dari penerimaan minyak
memungkinkan pemerintah mempertahankan regim nilai tukar tetap (fixed exchange
rate) (Sunaryo, 1996). Namun di sisi lain, karena harga minyak mentah meningkat
relatif terhadap harga ekspor nonmigas, neraca perdagangan minyak mentah menjadi
surplus. Hal ini menyebabkan kombinasi: apresiasi nilai tukar nominal Rupiah dan
tambahan cadangan devisa (reserve inflows) sehingga karena hal yang belakangan
tidak disterilisasi, menyebabkan inflasi dan penurunan daya saing ekspor nonmigas 3
(Nasution, 1983). Peningkatan ekspor nonmigas ditempuh salah satunya melalui
kebijakan devaluasi Rupiah 50% pada Nopember 1978.
Harga minyak mentah kemudian mengalami penurunan tahun 1983 dan
mencapai titik terendah tahun 1986. Menurut Sunaryo (1996), penurunan penerimaan
minyak memaksa pemerintah mengadopsi strategi diversifikasi ekspor (diversified
export oriented strategy), dan mempertahankan nilai tukar yang kompetitif (managed
floating exchange rate system) untuk menjamin penerimaan ekspor. Hal ini kemudian
diikuti oleh kebijakan mempertahankan inflasi rendah untuk mempertahankan daya
saing, dan sejak tahun 1987 pemerintah menetapkan target inflasi (Sunaryo, 1996).
Menurut Nasution (1983), kebijakan inflasi rendah tidak dilakukan dengan cara
mengatasi secara langsung sumber inflasi, tetapi dengan cara pemberian subsidi
langsung terhadap beragam barang konsumsi dan jasa
serta subsidi secara tidak
langsung melalui kebijakan harga perusahaan-perusahaan pemerintah, termasuk suku
bunga pinjaman bank-bank pemerintah. Kebijakan ini menurut Nasution (1983) telah
2
Menurut Pangestu (1986), hal ini dapat terwujud hanya jika kenaikan penerimaan minyak mentah
dibelanjakan di dalam negeri, sebaliknya tidak dapat meningkatkan perekonomian jika dibelanjakan di
luar negeri untuk impor atau pembayaran utang atau didepositokan pemerintah.
3
Hilangnya daya saing internasional ekspor nonmigas yang berasosiasi dengan oil boom sering
disebut “Dutch disease”. Dalam pengertian yang luas “ the disease” menurunkan terms of trade
barang tradable relatif terhadap barang nontradable, terutama karena peningkatan penawaran agregat
dibelanjakan sebagian besar untuk barang nontradable (Nasution, 1983).
22
menurunkan laju inflasi tetapi dengan korbanan beban biaya tinggi untuk subsidi
dalam anggaran pemerintah.
Strategi diversifikasi ekspor berhasil mendorong ekspor nonmigas. Gambar 8
menyajikan perkembangan ekspor migas dan non-migas Indonesia periode 1980-1996.
Pada Gambar 8 terlihat bahwa pada periode 1980 - 1986 ekspor migas cenderung
menurun, dan ekspor nonmigas cenderung meningkat. Pada tahun 1980, nilai ekspor
migas mencapai USD 17.3 miliar tapi tahun 1983 menurun menjadi USD 14.9 miliar
dan tahun 1986 menurun lagi menjadi USD 7.0 miliar. Sedangkan ekspor nonmigas
pada tahun 1980 mencapai USD 5.6 miliar dan tahun 1983 menurun menjadi USD 5.4
miliar tapi tahun 1986 kemudian meningkat menjadi USD 6.7 miliar. Pada Gambar 8
terlihat sejak tahun 1987, nilai ekspor nonmigas melampaui ekspor migas. Tahun
1987 nilai ekspor migas adalah USD 8.8 miliar, dan ekspor nonmigas, USD 9.5
miliar.
Sumber: BI
Gambar 8. Perkembangan Ekspor Migas dan Nonmigas Indonesia, 1980-1996
Pertumbuhan ekonomi Indonesia periode 1969-1996 mencapai rataan per tahun
sebesar 6.9%. Pertumbuhan ekonomi ini merupakan kontribusi pertumbuhan dari
sektor pertanian dan sektor nonpertanian (industri dan jasa) berturut-turut 3.8% dan
23
8.9% per tahun. Pertumbuhan sektor pertanian yang kurang dari separuh dari
pertumbuhan sektor nonpertanian mengindikasikan telah terjadi perubahan struktur
perekonomian Indonesia. Pangsa sektor pertanian dalam pembentukan PDB (Produk
Domestik Bruto) menurun dramatis dari 40.2% tahun 1969 menjadi hanya 15.8%
tahun 1996, sebaliknya pangsa sektor nonpertanian meningkat dramatis dari 58.8%
menjadi 84.2% (Sipayung, 2000).
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi hingga tahun 1996 ternyata tidak
berlanjut. Hasil analisis Sugema (2000) menyimpulkan bahwa perekonomian
Indonesia sebelum krisis telah berorientasi pada pasar dan berkontribusi terhadap
peningkatan keterbukaan dan kinerja perekonomian, tetapi menghadapi tiga
persoalan, yaitu: (1) defisit neraca berjalan (current account) yang terus menerus, (2)
akumulasi dan struktur hutang luar negeri, dan (3) sektor perbankan yang relatif
lemah. Menurut Sugema, dua masalah yang pertama saling berkaitan dalam
pengertian defisit neraca berjalan yang teus menerus sebagian besar disebabkan oleh
pembayaran bunga hutang luar negeri.
Aliran kapital jangka panjang tidak cukup untuk menutupi defisit sehingga
aliran kapital jangka pendek diperlukan. Hal ini, menurut Sugema, menyebabkan
neraca pembayaran (balance of payment) rentan terhadap penarikan kapital asing
jangka pendek. Dengan kata lain, Indonesia sebelum krisis telah rentan terhadap
krisis kembar (twin crisises): dua masalah yang pertama di satu sisi dapat dipandang
sebagai syarat keharusan dalam arti bahwa berkurangnya kepercayaan sebagian
pemberi pinjaman dan investor asing dapat menekan pasar nilai tukar (foreign
exhange market), dan lemahnya sektor perbankan di sisi lain dapat dipandang sebagai
syarat kecukupan dalam arti peningkatan suku bunga tidak akan efektif atau kredibel
karena dapat mempersulit sektor perbankan (Sugema, 2000).
24
Pada pertengahan bulan Juli 1997 perekonomian Indonesia mengalami krisis
moneter yang kemudian berlanjut menjadi krisis ekonomi. Krisis ekonomi
menyebabkan pertumbuhan ekonomi menurun dramatis. Tabel 2 menyajikan
pertumbuhan ekonomi Indonesia periode 1996-2000. Pada Tabel 2 terlihat bahwa
berdasarkan harga konstan tahun 1993, pertumbuhan ekonomi menurun dari 7.6%
tahun 1996 menjadi 4.7% tahun 1997, dan tahun 1998 mengalami pertumbuhan
negatif 13.1%. Perekonoman Indonesia mulai membaik tahun 2000 dengan
pertumbuhan 4.9%.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca krisis periode 2001-2011 dapat
diperiksa pada Gambar 9. Pada Gambar 9 terlihat bahwa berdasarkan harga konstan
tahun 2000, pertumbuhan ekonomi periode 2001-2006 masih berada di bawah 6%,
dan mulai tahun 2007 baru berada di atas 6%. Penurunan pertumbuhan tahun 2009
menjadi 4.6% disebabkan oleh krisis ekonomi global, yang bersumber dari krisis
finansial di Amerika Serikat. Sejak tahun 2004, pertumbuhan ekonomi tidak lagi
didukung oleh surplus neraca perdagangan minyak. Perkembangan ekspor dan impor
minyak 2001-2010 disajikan pada Gambar 10, yang menunjukkan sejak tahun 2004,
Indonesia telah menjadi net importer minyak.
Tabel 2. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, 1996 – 2000
Tahun
Produk Domestik Bruto*
Nilai (miliar Rupiah)
Pertumbuhan (%)
413 798
7.6
433 246
4.7
376 375
-13.1
379 353
0.8
397 934
4.9
1996
1997
1998
1999
2000
Sumber: BPS
Keterangan:
* berdasarkan harga konstan tahun 1993
25
Sumber: BPS
Gambar 9. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, 2001-2011
Sumber: BI
Gambar 10. Perkembangan Ekspor dan Impor Minyak, 2001-2010
John Hwaksworth (2006), Head of Macroeconomics, PriceWaterHouse
Coopers, memproyeksikan bahwa pada tahun 2050 perekonomian Indonesia akan
termasuk ke dalam kelompok 17 negara terbesar dunia. Gross Domestic Product
Indonesia yang pada tahun 2005 dalam nilai riel mendekati USD 20 000 miliar, pada
tahun 2050 mendekati USD 120 000 miliar atau meningkat sekitar 6 kali lipat. Pada
tahun 2005 hingga 2050 pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam USD oleh
26
Hwaksworth diproyeksikan sebesar 7.3%. Namun Hwaksworth menyadari bahwa
proyeksi jangka panjangnya subject to uncertainties. Hasil analisis sensitivitas
menyarankan bahwa proyeksi GDP jangka panjang untuk emerging market economies
termasuk Indonesia, menurut Hwaksworth, sensitif terhadap asumsi trend tingkat
pendidikan, net investment rate dan catch-up speeds, yang bergantung pada beragam
kebijakan dan faktor-faktor kelembagaan (broad range of policy and institutional
factors).
2.2.
Peranan Sumberdaya Hutan
Statistik Ditjen Bina Usaha Kehutanan (2009) menyebutkan bahwa luas
kawasan hutan di Indonesia berdasarkan Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan
serta Tata Guna Hasil Kesepakatan adalah 137 773 370 ha. Luas kawasan hutan
tersebut dibedakan ke dalam kawasan pelestarian dan hutan lindung seluas 55 388 920
ha (40.2%), dan kawasan hutan produksi seluas 82 384 450 ha (59.8%). Kawasan
pelestarian dan hutan lindung terdiri dari: (1) kawasan suaka margasatwa dan
pelestarian alam seluas 23 510 176 ha (17.1%), (2) taman buru 109 351 ha (0.1%) dan
(3) hutan lindung 31 769 393 ha (23.1%). Kawasan hutan produksi terdiri dari: (1)
hutan produksi (tetap) seluas 37 167 028 ha (45.1%), (2) hutan produksi terbatas 22
449 152 ha (27.3%) dan (3) hutan produksi dapat dikonversi 22 768 270 ha (27.6%).
Sesuai UUD 1945 pasal 33, sumberdaya hutan tersebut harus dimanfaatkan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (secara berkelanjutan).
Sumberdaya hutan memiliki tiga fungsi. Pertama adalah sebagai penghasil
barang dan jasa. Sebagai penghasil barang, sumberdaya hutan menyediakan hasil
hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Sebagai penghasil jasa, ekosistem
hutan mempertahankan, antara lain: penyediaan sumber mata air, pembentukan iklim
mikro, penyerapan CO2 dan pemandangan alam yang unik. Sebagian kalangan kini
27
mulai
memandang
jasa
penyerapan
CO2
sebagai
komoditas
yang
dapat
diperdagangkan.
Kedua adalah sebagai penopang sistem kehidupan sosial ekonomi dan budaya
masyarakat. Komunitas masyarakat lokal yang hidup di sekitar hutan memandang
hutan sebagai sumber mata pencaharian maupun hutan sebagai sarana peribadatan
(Colfer, et al, 2001). Sebagai sumber mata pencaharian, karena hutan bisa menjadi
tempat untuk mencari nafkah dengan memanfaatkan hasil hutan berupa kayu, rotan,
madu dan ikan. Sebagai sarana peribadatan, karena hutan bisa menjadi tempat
peribadatan tertentu.
Ketiga adalah sebagai sistem penyangga kehidupan. Sebagai sistem
penyangga kehidupan, sumberdaya hutan membentuk dan mempertahankan fungsifungsi ekologis (rantai makanan dan kehidupan beragam makhluk hidup, flora dan
fauna) dalam keseimbangan dan berkelanjutan. Dengan demikian hutan dapat
berfungsi sebagai penjaga siklus rantai makanan beragam makhluk hidup, penata
aliran air, pengendali erosi, pencegah banjir, pencegah intrusi air laut, pemelihara
kesuburan tanah, dan pembentuk kondisi udara bersih.
Dari ketiga fungsi tersebut, fungsi yang berkembang hingga kini adalah fungsi
dalam konteks ekonomi, yaitu hutan sebagai penghasil barang. Fungsi-fungsi yang
lain relatif terabaikan namun belakangan fungsi sebagai penghasil jasa, seperti air dan
karbon mulai diperhatikan. Perhatian masyarakat yang lebih menekankan pada hutan
sebagai penghasil barang telah mendorong pemanfaatan hutan alam di luar Jawa.
Pada tahun 1970-an, hutan alam di luar Jawa secara besar-besaran dimanfaatkan
tanpa mengetahui bagaimana teknik meregenerasi hutan kecuali pengetahuan sistem
silvikultur TPI (Tebang Pilih Indonesia), yang hingga kini sulit diterapkan secara
konsisten di lapangan.
28
Kini pemberian izin konsesi berubah dari pemberian Hak Pengusahaan Hutan
(HPH) menjadi Izin Pemungutan Hasil Hutan (IUPHHK). Pemanfaatan kawasan hutan
produksi melalui IUPHHK dibedakan ke dalam tiga bentuk izin usaha: (1) Izin Usaha
Pemungutan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA), (2) Izin Usaha
Pemungutan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman (IUPHHK-HT), dan (3) Izin
Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHH-BK).
Dari kawasan hutan produksi seluas 82.4 ha, pemanfaatan dalam bentuk
IUPHHK kini mencapai 35 377 895.7 ha atau sekitar 49.9 %. Luas areal masingmasing bentuk pemanfaatan adalah (Ditjen BPK, 2009):
1. Areal IUPHHK-HA seluas 25 641 167 ha untuk 306 unit pemegang izin yang
tersebar pada 20 provinsi di luar Pulau Jawa.
2. Areal IUPHHK-HTI (SK Definitif dan SK Sementara) 9 208 506 ha untuk 230 unit
pemegang izin yang tersebar pada 20 provinsi di luar Pulau Jawa.
3. Areal IUPHH-BK seluas 21 620 ha untuk 1 unit pemegang izin yang berada di
Provinsi Riau.
4. Areal pencadangan IUPHHK-HTR seluas
383 402.7 ha yang tersebar di 20
provinsi.
Sejak hutan alam di luar Jawa dimanfaatkan secara besar-besaran
tahun
1970-an,
peranan
sektor
kehutanan
dalam
perekonomian
pada
mulai
dipertimbangkan. Gambar 11 menyajikan kontribusi nilai ekspor migas, karet, kayu
dan minyak sawit terhadap ekspor nasional. Pada Gambar 11 terlihat bahwa pada
tahun 1970 kontribusi ekspor kayu (bulat) mencapai 9.4 % dari ekspor nasional,
menempati urutan ketiga setelah migas (40.3%) dan karet (22.9%). Pada tahun 1972,
kontribusi ekspor kayu terhadap ekspor nasional meningkat menjadi 12.9%, dan
menggantikan posisi karet. Setelah peningkatan tahun 1972, pada tahun-tahun
29
berikutnya terus mengalami penurunan. Pada tahun 1978, kontribusi ekspor kayu
menurun menjadi 8.5% namun posisinya tetap berada di atas karet, karena ekspor karet
(periode 1966-1978) cenderung menurun.
Sumber : Nasution, 1983
Gambar 11. Kontribusi Nilai Ekspor Migas, Karet, Kayu dan Minyak Sawit
terhadap Ekspor Nasional, 1966 - 1978
Gambar 12 menyajikan perekembangan ekspor produk kayu periode 19801990. Pada Gambar 12 terlihat bahwa ekspor kayu bulat menjadi primadona hanya
sampai tahun 1982 dengan nilai USD 0.3 miliar, tetapi kemudian terus menurun.
Penurunan ekspor kayu bulat disebabkan oleh kebijakan larangan ekspor sebagai
bagian dari kebijakan pengembangan industri kayu yang berintikan industri kayu lapis.
Oleh karenanya ekspor kayu lapis terus meningkat. Sebagai terlihat pada Gambar 12,
sejak tahun 1983 ekspor kayu didominasi oleh ekspor kayu lapis.
30
Sumber : BI
Gambar 12. Perkembangan Nilai Ekspor Kayu Bulat, Kayu Lapis dan Kayu Olahan,
1980-1990
Menurut Mangunsong (2004), sejak tahun 1987 kontribusi nilai ekspor
subsektor kehutanan terhadap total ekspor selalu lebih tinggi dibanding kontribusi
nilai ekspor subsektor pertanian. Tetapi posisi tersebut tidak berkelanjutan, karena
kontribusi nilai ekspor pertanian, terutama minyak sawit dan karet cenderung
meningkat. Gambar 13 menyajikan kontribusi nilai ekspor produk kayu, pulp, minyak
sawit dan karet terhadap ekspor nasional periode 2001-2009, yang menunjukkan
kontribusi nilai ekspor produk kayu (tanpa pulp) terus menurun, dan posisinya
digantikan oleh minyak sawit sejak tahun 2004, dan diduduki kembali oleh karet sejak
tahun 2006. Jika kontribusi ekspor produk kayu ditambah pulp, posisinya berada di
bawah minyak sawit sejak tahun 2007, dan tahun 2009 kembali di atas karet.
31
Sumber : BI, Kementan, FAO
Gambar 13. Kontribusi Nilai Ekspor Produk Kayu, Pulp, Karet dan Minyak Sawit
terhadap Ekspor Nasional, 2001 - 2009
Kontribusi subsektor kehutanan (kayu bulat) terhadap PDB relatif kecil
sekitar 1.0% dan jika ditambah dengan nilai tambah industri pengolahan kayu
meningkat menjadi sekitar 2.0%. Rendahnya kontribusi sektor kehutanan di antaranya
karena harga kayu bulat yang terdistorsi, banyaknya produksi yang tidak tercatat
karena illegal logging dan illegal log trading. Namun kontribusi subsektor kehutanan
cenderung menurun, merefleksikan produksi kayu dipanen secara tidak lestari. Sejak
pemanfaatan hutan alam di luar Jawa dimulai pada tahun 1970an, laju kerusakan
sumberdaya hutan terus meningkat. Kenyataan menunjukkan laju kerusakan dan
pengurangan sumberdaya hutan di Indonesia lebih tinggi dibanding laju pemulihan
dan penambahan hutan 4 .
Kerusakan dan pengurangan sumberdaya hutan mengganggu tiga fungsi
pokok sumberdaya hutan. Fungsi sebagai penghasil barang terganggu yang
ditunjukkan oleh menurunnya output atau produksi hasil
4
hutan kayu dan hasil
Sebagai ilustrasi, berdasarkan data yang tercatat di Direktorat Bina Pengusahaan Hutan Alam,
Ditjen Bina Usaha Kehutanan, sampai dengan tahun 2009, jumlah pohon yang ditanam oleh
IUPHHK-HA dengan ststus Badan Usaha Milik Swasta sebanyak 192 771 pohon, sedangkan oleh
IUPHHK-HA dengan status Badan Usaha Milik Negara sebanyak 881 300 pohon.
32
hutan bukan kayu 5 . Fungsi sebagai penghasil jasa terganggu yang ditunjukkan
oleh menurunnya potensi output atau produksi jasa hutan, khususnya dalam
penyediaan air dan wisata serta penyerapan CO2 6 . Fungsi sebagai sumber
penghidupan terganggu yang ditunjukkan oleh semakin menurunnya taraf hidup,
khususnya masyarakat di dalam dan sekitar hutan 7 . Fungsi sebagai sistem penyangga
kehidupan terganggu yang ditunjukkan oleh semakin berkurangnya jenis flora dan
fauna dan bahkan terdapat jenis flora dan fauna yang mulai punah 8 .
Pertumbuhan ekonomi model Solow, sebagaimana digunakan oleh
Hwaksworth, menjelaskan bahwa net investment rate berasal dari saving rate yang
bergantung pada peningkatan dan depresiasi akumulasi kapital. Jika pertumbuhan
ekonomi Indonesia memasukkan peranan industri hasil hutan, maka akumulasi
kapital dapat terus berlangsung selama tersedia sumberdaya hutan yang memadai
(layak diusahakan). Ketika sumberdaya hutan yang tersedia berkurang tentunya
menyebabkan proses akumulasi kapital dari sektor kehutanan akan mengalami
penurunan.
Hwaksworth mengasumsikan depresiasi kapital sebesar 6% per tahun, yang
dapat dipandang relatif rendah. Umumnya negara-negara di dunia termasuk Amerika
Serikat menggunakan angka depresiasi sebesar 10% (Mankiw, 2000). Dengan nilai
depresiasi yang relatif rendah, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia oleh
Hwaksworth sebesar 7.3% per tahun mungkin lebih mudah dicapai meskipun
sumberdaya hutan menurun. Jika benar demikian, hasil proyeksi Hwaksworth pada
5
Sebagai ilustrasi, produksi aktual akyu bulat hutan alam tahun 1990 adalah 39.2 juta m3 tapi tahun
2000 menurun menjadi 22.7 juta m3, dan tahun 2009 menurun lagi menjadi 8.1 juta m3, dan
konsekuensi produksi hasil hutan bukan kayu juga menurun.
6
Deforestasi dan degradasi hutan meningkat antara lain untuk perluasan areal HTI, tanaman sawit,
karet, dan pangan.
7
Kehidupan masyarakat desa hutan umumnya masih di bawah garis kemiskinan.
8
Di antaranya jenis ramin telah dimasukkan ke dalam CITES (Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora), dan sejumlah home range satwa liar musnah akibat
konvesi hutan alam.
33
dasarnya dapat diinterpretasikan bahwa kebijakan fiskal dan moneter untuk menahan
dan/atau meningkatkan pemulihan dan penambahan sumberdaya hutan cenderung
dipandang kurang dan bahkan tidak signifikan.
2.3.
Pengaruh Kebijakan Makroekonomi
Munashinghe (2004) menjelaskan terdapat tiga evolusi pemikiran yang
mendasari hubungan antara makroekonomi dan lingkungan. Pertama adalah pemikiran
bahwa aktivitas ekonomi memerlukan sumberdaya alam, di antaranya pemikiran
Malthus (1798) yang menekankan pemiskinan karena kendala pertanian dan
pertumbuhan penduduk yang eksponensial, dan Ricardo (1817) yang menjelaskan
bagaimana dimisnishing returns to land memerlukan perlindungan pada kekayaan dan
penduduk, serta Hotelling (1931) yang mengembangkan lebih jauh teori exhaustible
resource.
Dalam perkembangannya, menurut Munashinghe, termasuk di antaranya
pemikiran Stiglitz (1974) yang mengembangkan model dengan peubah kapital, tenaga
kerja dan sumberdaya alam sebagai substitusi dalam produksi untuk menunjukkan
bahwa tingkat konsumsi yang lebih tinggi dapat berkelanjutan jika terdapat
peningkatan kemajuan teknologi untuk mengkompensasi penurunan stok sumberdaya
alam; Daly (1991) yang menyatakan bahwa kebijakan makroekonomi yang tepat dapat
menjamin alokasi sumberdaya yang optimal namun tidak dapat menyelesaikan isu-isu
berskala (scale issues) karena ekonomi tumbuh melebihi daya dukung lingkungan; dan
Solow (1993) yang mendefinisikan net national product (NNP) sebagai ukuran
konsumsi maksimum yang dapat berkelanjutan.
Pemikiran kedua adalah pemikiran yang berkaitan dengan analisis Input-Output
(I-O) yang dikembangkan tahun 1930-an oleh Leontieff dan tahun 1970 Leontieff
mendeskripsikan kerangka untuk menganalisis polluting output sektor-sektor
34
produktif, dan dampak kebijakan penurunan eksternalitas dalam sektor-sektor
pengurang polusi. Pemikiran ketiga adalah pemikiran yang telah memasukkan
pertimbangan lingkungan ke dalam model makroekonomi konvensional yang
digunakan untuk penetapan kebijakan mulai dari ekstensi tipe Keynesian IS-LM
dalam analisis comparative statics, sampai ke model yang lebih kompleks,
Computable General Equilibrium (CGE) yang memasukkan peubah lingkungan.
Penelitian pengaruh kebijakan makroekonomi terhadap deforestasi dan
degradasi hutan, khususnya di negara-negara berkembang awalnya dilakukan
berkaitan dengan kebijakan Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia ketika
membantu negara-negara yang mengalami krisis moneter dan ekonomi melalui sebuah
program yang dikenal dengan Structural Adjustment Programme (SAP). Menurut
Sedjo (2005), SAP dirancang untuk memperbaiki kinerja makroekonomi negaranegara yang mengalami masalah serius dalam perdagangan, balance of payment, dan
defisit anggaran (fiscal deficit). Kebijakan-kebijakan yang tipikal direkomendasikan
dalam kerangka SAP adalah memotong anggaran pemerintah, menaikkan pajak,
meliberalisasi pasar dan perdagangan, memberikan bantuan darurat pinjaman dari
sumber asing (diantaranya dari Dana Moneter Internasional), dan memberikan
dukungan anggaran.
Menanggapi kritik dampak lingkungan dari SAP, Young dan Bishop (1995)
menyimpulkan bahwa tidak terdapat jawaban yang sederhana atas pertanyaan apakah
SAP berdampak baik atau buruk pada lingkungan, kompleksitas penyesuaian itu
sendiri menyebabkan tidak mungkin melakukan generalisasi, karena kondisi beragam
dari negara-negara yang melakukan penyesuaian. Sedjo (2005) menyimpulkan dua
hal: (1) meskipun dalam banyak kasus SAP dapat mempengaruhi sektor kehutanan,
dalam kasus yang lain, tidak mempengaruhi, dan (2) ketika SAP berdampak pada
35
sektor kehutanan, dampaknya tidak harus negatif pada nilai-nilai ekosistem dan
lingkungan.
Kaimowitz et al (1999) menyimpulkan bahwa kebijakan penyesuaian (SAP)
di Bolivia berkontribusi terhadap konversi hutan secara besar-besaran untuk
memproduksi soybean yang berorientasi ekspor, dan pada tingkat tertentu, terhadap
degradasi hutan oleh perusahaan pembalakan hutan. Hasil penelitian Sunderlin et al
(2003) di Kamerun menyimpulkan:
1.
Laju deforestasi meningkat signifikan pada dekade setelah krisis dibanding
sebelum krisis.
2.
Main proximate causes adalah pertumbuhan mendadak penduduk pedesaan dan
pergeseran produksi dari cokelat dan kopi ke plantain dan tanaman pangan lain.
3. Main underlying causes or driving forces adalah guncangan makroekonomi
(macroeconomic shocks) dan kebijakan penyesuaian (SAP) yang menyebabkan
pertumbuhan penduduk pedesaan dan perubahan sistem pertanian.
Menggunakan model SVAR (Structural Vector Auto Regression), Soedomo
(2003) menganalisis pengaruh guncangan moneter terhadap dinamika harga tegakan
dan pemanenan kayu di wilayah Pacific Northwest, Amerika Serikat. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa guncangan (shocks) peubah makroekonomi mempengaruhi
dinamika harga tegakan dan pemanenan kayu. Guncangan aggregate price dan
aggregate output menaikkan pemanenan kayu, sementara guncangan money demand
menurunkan pemanenan kayu.
Kaimowitz dan Angelsen (1998) menelaah 150 model ekonomi deforestasi
dan mensintesakan hasil-hasil analisis dari model yang ditelaah. Keduanya
menyatakan terdapat kesepakatan yang luas bahwa ekspansi areal penananam
(cropped area) serta penggembalaan (pasture) merupakan sumber utama deforestasi.
36
Ekspansi penggembalaan, terutama penting di negara-negara Amerika Latin. Tetapi
sebaliknya tidak terdapat kesepakatan yang luas mengenai pembalakan hutan
(logging), meskipun pembalakan hutan kelihatan sebagai sumber langsung deforestasi
dalam konteks tertentu dan memainkan peran tidak langsung dalam konteks yang lain.
Kaimowitz dan Angelsen (1998) menyatakan bahwa model-model analisis
yang dikembangkan belum banyak yang menganalisis bagaimana karakteristik agen
deforestasi mempengaruhi perilakunya dan menyajikan bukti empiris yang lemah dan
bertentangan.
Sebagai contoh, keluarga miskin dapat mendeforestasi lebih besar,
karena memiliki bentang waktu yang pendek (higher discount rate), tapi keluarga
miskin juga dapat mendeforestasi lebih kecil, karena kekurangan kapital untuk
membeli lahan tambahan sebagai input produksi. Dilaporkan bahwa kurva Kuznets
(Kuznets curve) mungkin eksis pada tingkat rumah tangga, yang berarti keluarga
miskin awalnya menebang lebih banyak sehingga pendapatannya meningkat tetapi
kecenderungan ini belum diketahui apakah akan berlanjut atau berbalik arah ketika
mulai mencari waktu luang (leisure) yang lebih.
Kaimowitz dan Angelsen (1998) mengidentifikasi 8 parameter atau peubah
yang sering digunakan untuk menjelaskan keputusan agen deforestasi. Empat
parameter yang pertama adalah: (1) lingkungan fisik, (2) harga komoditas pertanian,
(3) harga komoditas kayu, dan (4) upah dan lapangan kerja luar pertanian (off-farm
employment). Empat parameter yang terakhir adalah: (5) harga input pertanian, (6)
perubahan teknologi pertanian, (7) aksesibilitas, dan (8) regim kepemilikan dan
perilaku strategis. Keputusan agen deforestasi dipengaruhi oleh akar masalah, dan
Kaimowitz dan Angelsen (1998) mengidentifikasi terdapat empat akar masalah yang
sering digunakan untuk menjelaskan deforestasi. Keempat akar masalah tersebut
adalah: (1) tekanan penduduk, (2) pendapatan per kapita, (3) hutang luar negeri,
37
perdagangan dan penyesuaian struktural (structural adjustment), dan (4) masalah
politik.
Strand (2004) mengulas beberapa hasil penelitian mengenai dampak kebijakan
makroekonomi pada sumberdaya alam dan lingkungan. Menurut Strand, hubungan
antara kebijakan dan kondisi makroekonomi di satu sisi dan di sisi lain, lingkungan,
sumberdaya alam dan kesejahteraan penduduk di negara-negara berkembang dan
negara-negara maju baru (new emerging countries), merupakan persoalan yang luas
dan kompleks. Strand menyimpulkan:
1.
Subsidi pada sumberdaya tidak terbarukan, terutama sumberdaya fosil, umumnya
tidak bermanfaat dan dapat menambah tekanan terhadap lingkungan serta
menyebabkan ekstraksi sumberdaya yang terlalu cepat. Namun demikian,
pemberian subsidi dapat distruktur sehingga lingkungan, efisiensi sumberdaya
dan pemeliharaan dapat dipromosikan.
2.
Krisis moneter sering memiliki konsekuensi bagi pengelolaan sumberdaya dan
lingkungan, karena pengaruh pemburukan krisis (worsening effect) dalam banyak
kasus menjadi menggantikan pengaruh pengurangan krisis (dampening effect).
3. Perubahan kebijakan moneter, yang melemahkan nilai tukar (exchange rate) dan
menaikkan suku bunga (interest rate) dapat berimplikasi secara substansial bagi
penggunaan sumberdaya, terutama karena mempromosikan ekspor jangka pendek
(short-run exports) dan ekstraksi berlebihan ketika kepastian penguasaan lahan
tidak terjamin.
4. Investasi pemerintah memiliki potensi untuk memperbaiki secara signifikan
lingkungan dan penggunaan sumberdaya, namun perlu dilakukan dengan cermat.
Satu bidang yang memerlukan investasi adalah pembangunan jalan di areal yang
sebelumnya tidak dapat diakses (inaccessible areas), yang dapat menyebabkan
38
tekanan lebih besar untuk mengekstraksi sumberdaya dan mengkonversi lahan
menjadi penggunaan pertanian.
5.
Foreign direct
investment yang meningkat akibat liberalisasi pasar kapital
(capital markets) dapat menambah tekanan terhadap sumberdaya dan lingkungan,
namun bukti impiris kurang jelas, terutama ketika perusahaan internasional
(international cooperations) mulai memperhatikan masalah lingkungan dengan
semakin serius.
2.4.
Pengaruh Kebijakan Perdagangan Internasional
Menurut Sedjo (2005), penelitian pengaruh kebijakan perdagangan pada hasil
hutan umumnya melihat dari sisi pengaruh secara umum pada perdagangan hasil hutan
apabila kebijakan liberalisasi perdagangan hasil hutan diberlakukan. Sedjo dan Simson
(1999) menyatakan bahwa penurunan tarif yang lebih rendah pada perdagangan hasil
hutan hanya meningkatkan produksi dan perdagangan hasil hutan dunia yang relatif
kecil. Namun hutan tetap mendapat tekanan deforestasi akibat konversi hutan untuk
penambahan lahan pertanian.
Brooks
et
al
(2001)
melaporkan
bahwa
ATL
(Accelerated
Tariff
Liberalization) menaikkan perdagangan hasil hutan dunia maksimum 2 %, pemanenan
kayu dunia sekitar 0.5%, serta produksi dan konsumsi hasil hutan dunia kurang dari
1%. Sedangkan Earley dan Earley (2006) menyatakan bahwa liberalisasi perdagangan
pada komoditas gula menyebabkan loss of biodiversity: banyak negara-negara
penghasil gula (tebu) menggunakan porsi yang besar dari total areal lahannya untuk
memproduksi gula, dan ekspansi produksi dilakukan dengan mengkonversi hutan
tropis yang kaya biodiversity.
39
Ferreira (2004) menunjukkan perdagangan internasional yang semakin
terbuka berasosiasi dengan deforestasi yang semakin rendah di negara-negara
dengan kualitas kelembagaan tinggi (negara-negara maju), tetapi sebaliknya,
deforestasi yang semakin tinggi di negara-negara dengan kualitas kelembagaan
rendah (negara-negara berkembang). Kebanyakan negara-negara berkembang
memiliki
kelemahan
kelembagaan
(institutional
weakness),
terutama
hak
kepemilikan (property rights), dan keterbatasan peraturan peundangan (rule of law).
Dalam kondisi hutan open access, agen bertindak tidak mempertimbangkan
eksternalitas negatif (negative externalities) yang mengenai individu lain. Dalam
kondisi hutan sebagai hak milik, terdapat kelemahan penegakan hak kepemilikan,
misalnya, dalam bentuk expropriation risk, yang diterjemahkan ke dalam discount
rates yang tinggi sehingga menekan investasi hutan, menekan petani meningkatkan
intensitas pemeliharaan hutan dan meningkatkan frekuensi pemanenan pada hutan
yang terbangun (Ferreira (2004).
2.5.
Penelitian Terhahulu Kasus Indonesia
Berdasarkan pada hasil observasi deforestasi oleh petani di Taman Nasional
Kerinci Seblat, Jambi, Wibowo (1999) membangun model deforestasi dengan
persamaan
Fokker-Planck
dan
stochastic
differential
menggunakan
teori
intertemporal consumption. Model yang dibangun bertujuan untuk menunjukkan
secara analitis bagaimana deforestasi dihubungkan (linked) terhadap perilaku
akumulasi kapital (capital accumulation behavior). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa hanya ketika ketidakpastian (uncertainty) tidak cukup besar, akumulasi
kapital menyebabkan petani memiliki kemampuan finansial untuk menebang hutan.
Terlepas dari tingkat ketidakpastian, tanpa akumulasi kapital, petani tidak memiliki
kapital tunai yang cukup untuk menebang hutan.
40
Untuk
menganalisis
bagaimana
optimasi
konsumsi
(consumption
optimization) mempengaruhi perilaku deforestasi, Wibowo mengembangkan
stochastic control model yang dipecahkan dengan Hamilton-Jacobian equation.
Hasilnya menunjukkan bahwa akumulasi kapital tidak selalu menyebabkan petani
memiliki kapasitas finansial untuk menebang hutan. Dalam kasus yang risk-averting,
petani cenderung menabung dan penebangan hutan tidak dilakukan. Dalam kasus
yang risk-taking, petani bersedia mengorbankan konsumsi untuk investasi dalam
penebangan hutan. Dengan demikian, petani yang risk-taking dapat menjadi
ancaman terhadap hutan dibanding petani yang risk-averting. Optimasi konsumsi
ditunjukkan untuk mengurangi kapasitas keuangan petani untuk menebang hutan.
Hal ini karena optimasi meningkatkan konsumsi petani di atas subsisten, sehingga
kekurangan uang untuk biaya penebangan hutan.
Penelitian dampak realokasi pengeluaran pemerintah daerah terhadap
deforestasi dan degradasi dilakukan oleh Novra (2007) juga di Taman Nasional
Kerinci Seblat. Hasil penelitian di antaranya menunjukkan bahwa realokasi
pengeluaran rutin untuk sektor sumberdaya manusia memenuhi kiteria pembangunan
berkelanjutan di antaranya aspek ekologi: mampu mengurangi tekanan terhadap
sumberdaya lahan dan hutan.
Penelitian dampak perdagangan produk berbasis kayu terhadap deforestasi
potensial dilakukan oleh Adi (2007). Dengan menggunakan disagregasi data wilayah
(Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku-Papua), hasil penelitian menunjukkan
bahwa perdagangan produk berbasis kayu cenderung meningkatkan deforestasi
potensial, dan laju deforestasi potensial antara lain dipengaruhi oleh suku bunga dan
produk domestik regional bruto.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
BAB III menjelaskan kerangka pemikiran membangun model ekonomi
deforestasi dan degradasi hutan. Model yang dibangun diharapkan dapat menjelaskan
pengaruh kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal terhadap deforestasi dan
degradasi hutan. Kerangka pemikirannya meliputi: (1) identifikasi deforestasi dan
degradasi hutan, (2) identifikasi transmisi kebijakan dan faktor eksternal terhadap
deforestasi dan degradasi hutan, dan (3) konstruksi model ekonomi deforestasi dan
degradasi hutan.
3.1.
Deforestasi
Deforestasi didefinisikan sebagai perubahan kondisi penutupan lahan dari kelas
penutupan lahan kategori hutan (berhutan) menjadi kelas penutupan lahan kategori
nonhutan (tidak berhutan). Nonhutan atau areal tidak berhutan didefinisikan sebagai
bentuk penutupan lahan berupa: (1) semak/belukar, (2) belukar rawa, (3)
savanna/padang rumput, (4) perkebunan, (5) pertanian lahan kering, (6) pertanian
lahan kering campur semak, (7) transmigrasi, (8) sawah, (9) tambak, (10) tanah
terbuka, (11) pertambangan, (12) pemukiman,
(13) rawa,
dan (14) pelabuhan
udara/laut (Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan, 2008).
Dari ke 14 kategori deforestasi tersebut, savanna/padang rumput (3) dan (rawa (13)
tidak dapat dikategorikan sebagai hasil konversi hutan primer (deforestasi) selama
savanna/padang rumput dan rawa merupakan suatu ekosistem tersendiri yang
berbeda dengan ekosistem hutan primer. Sebaliknya semak/belukar (1), belukar
rawa (2) dan tanah terbuka (10) dapat dikategorikan sebagai deforestasi selama
semak/belukar, belukar rawa dan tanah terbuka merupakan bekas pembalakan hutan
berlebihan, yang menyebabkan hilangnya tutupan hutan namun alih fungsi lahan
42
belum jelas. Demikian pula dengan areal transmigrasi dapat dibedakan ke dalam
lahan pertanian, perkebunan, hutan tanaman dan pemukiman, sehingga alih fungsi
lahan areal transmigrasi juga belum struktur penggunaan yang jelas.
Dengan demikian, areal deforestasi yang memiliki alih fungsi hutan secara jelas
adalah: perkebunan (4), pertanian lahan kering (5), pertanian lahan kering campur
semak (6), sawah (8), tambak (9), pertambangan (11), pemukiman (12), dan
pelabuhan udara/laut (14). Delapan komponen nonhutan ini dapat disederhanakan ke
dalam 6 komponen, yaitu: (1) perkebunan, (2) pertanian, yang mencakup pertanian
lahan kering, pertanian lahan kering campur semak, dan sawah, (3) perikanan
(tambak), (4) pertambangan, (5) pemukiman, dan (6) pelabuhan (udara/laut). Dalam
penelitian pengertian hutan merujuk pada hutan alam sehingga hutan tanaman industri
(HTI) dimasukkan sebagai komponen deforestasi, karena merupakan hasil konversi
hutan alam. Dengan memasukkan areal HTI, terdapat 7 komponen deforestasi yang
memiliki pengertian alih fungsi hutan secara jelas.
Dari tujuh komponen deforestasi tersebut, komponen yang paling sering
didiskusikan adalah komponen pertanian, perkebunan, HTI, dan pertambangan.
Komponen pertanian, khususnya tanaman pangan, dan komponen perkebunan,
terutama karet dan sawit. Untuk penyederhanaan, areal deforestasi yang dianalisis
meliputi: (1) tanaman pangan (padi), (2) tanaman karet, (3) tanaman sawit, dan (4)
HTI (Gambar 14). Total luas keempat komponen deforestasi tersebut adalah 31.8 juta
ha. Komponen terluas adalah areal tanaman padi (11.5 juta ha), kemudian disusul oleh
HTI (9.0 juta ha), dan sawit (7.8 juta ha). Luas tanaman karet adalah 3.5 juta ha.
Deforestasi yang terjadi pada dasarnya disebabkan oleh kebijakan pemerintah
berkaitan dengan pencapaian tujuan-tujuan pembangunan nasional, terutama
pembangunan ekonomi. Dalam pengertian pemerintah bertindak sebagai agen yang
43
menetapkan luasan lahan hutan yang dikonversi untuk penggunaan lain melalui
kebijakan alih fungsi hutan (pelepasan areal) atau pinjam pakai atau tukar menukar.
Hal ini juga tercermin dalam kebijakan yang membagi kawasan hutan (70.5 % dari
luas daratan Indonesia) di samping ditetapkan sebagai hutan konservasi, dan hutan
produksi tetap dan terbatas, ditetapkan juga sebagai hutan produksi konversi.
Pembalakan Hutan Alam Primer
Logged Over Area
(LOA)
Reboisasi
Degradasi Hutan
Degradasi Hutan
Deforestasi
Tanaman
Pangan
Tanaman
Karet
Tanaman
Sawit
Hutan Tanaman
Industri
Gambar 14. Proses Degradasi dan Deforestasi pada Hutan Alam
Penetapan hutan produksi konversi bertujuan untuk memberikan kesempatan
bagi pengembangan sektor-sektor lain yang membutuhkan areal pengembangan.
Kebutuhan areal untuk mewujudkan swasembada dan ketahanan pangan mendorong
pemerintah perlu mencetak areal persawahan, kebijakan makroekonomi yang
berorientasi pada pertumbuhan mendorong pentingnya peningkatan produksi semua
sektor, termasuk perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
Dalam kasus konversi hutan untuk perkebunan dan HTI (Hutan Tanaman
Industri), hasil penelitian Kartodihardjo dan Supriono (2000) menemukan: (1)
44
kebijakan pembangunan HTI melegitimasi dan mendorong kerusakan hutan alam; (2)
subsidi bagi pembangunan HTI sebenarnya tidak diperlukan; (3) pembangunan
perkebunan telah mengkonversi lebih banyak lahan daripada yang dibutuhkan untuk
mendapatkan tambahan keuntungan dari kayu hasil pembukaan lahan; (4) sistem
klasifikasi penggunaan lahan hutan yang tumpang tindih dan tidak kunjung dapat
diselesaikan telah menjadi sumber keuntungan bagi para pengembang melalui
lepasnya hak-hak masyarakat dan semakin memburuknya kehidupan mereka yang
tinggal di dalam dan di sekitar hutan; dan (5) pemecahan masalah ini dihambat oleh
kaku dan kuatnya pendekatan top-down serta tidak adanya pengakuan bagi hak-hak
masyarakat adat terhadap lahan hutan.
Sedjo (1992) dan Vincent (1990) dalam Soedomo (2003) menyimpulkan
bahwa kinerja finansial yang inferior dalam pengelolaan hutan telah dipercayai
menjadi penyebab utama deforestasi di daerah tropis. Kenyataan menunjukkan
konversi hutan (deforestasi) awalnya dimungkinkan pada hutan primer (virgin forest)
namun dalam perkembangannya hanya boleh pada logged over area (LOA). Dalam
kasus konversi hutan dilakukan pada hutan primer, proses menuju areal penggunaan
lain (deforestasi) selalu melalui kondisi LOA (Gambar 14), karena hutan harus
ditebang agar dapat dimanfaatkan untuk penggunaan lain, meskipun tidak jarang
terjadi setelah penebangan selesai kegiatan penggunaan lain tidak pernah
direalisasikan dan areal LOA ditinggalkan tanpa pengelolaan.
Berdasarkan izin yang diberikan oleh pemerintah, LOA dapat dibedakan ke
dalam dua golongan, yaitu: (1) LOA akibat penebangan dengan tujuan komersial
yang dilakukan oleh pemegang konsesi berdasarkan Izin Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA/HPH), dan (2) LOA akibat penebangan
dengan tujuan alih fungsi hutan yang dilakukan oleh kontraktor penebangan
45
berdasarkan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK). Penebangan dengan dasar IPK pada LOA
dapat dibedakan ke dalam dua golongan, yaitu: (1) penebangan pada LOA untuk
tujuan alih fungsi ke areal penggunaan lain, dan (2) penebangan atau pembalakan
pada LOA untuk tujuan konversi menjadi hutan tanaman.
Meskipun pemerintah bertindak sebagai agen yang menetapkan luasan lahan
hutan yang dikonversi untuk penggunaan lain melalui kebijakan alih fungsi hutan
(pelepasan areal) atau pinjam pakai atau tukar menukar, keputusan pemerintah untuk
merespon tekanan pelepasan areal bergantung pada kinerja sektor-sektor ekonomi
yang bersangkutan. Kinerja sektor-sektor ekonomi dipengaruhi oleh penawaran dan
permintaan pasar komoditas masing-masing sektor. Komoditas pangan lebih
berorientasi pada permintaan dalam negeri dibanding ekspor, sementara komoditas
karet, sawit dan pulp lebih berotientasi ekspor. Oleh karenanya peningkatan
kebutuhan areal untuk meningkatkan produksi sebagai upaya memenuhi permintaan
komoditas pangan lebih ditentukan oleh perkembangan permintaan dalam negeri,
sementara untuk komoditas karet, sawit dan pulp lebih ditentukan oleh permintaan
ekspor. Gambar 15 menjelaskan hubungan antara permintaan pasar komoditas
pangan, karet, sawit dan pulp dengan deforestasi. Pada Gambar 15 terlihat bahwa
peningkatan permintaan pasar akan mendorong peningkatan produksi dan
peningkatan produksi akan meningkatkan kebutuhan lahan. Peningkatan kebutuhan
lahan akhirnya akan meningkatkan deforestasi.
46
Logged Over Area
(LOA)
Degradasi Hutan
Degradasi Hutan
Deforestasi
ATPN
ATKR
ATSW
AHTI
QPN
QKR
QBSW
QKHTI
QMSWW
QWC
QWP
DPN
DKR
DMSW
DWP
Keterangan:
A = Luas Areal; Q = Produksi; D = Permintaan; TPN = Tanaman Pangan;
PN=Pangan; TKR = Tanaman Karet; KR = Karet; TSW = Tanaman Sawit; BSW
= Buah Sawit; MSW = Minyak Sawit; HTI = Hutan Tanaman Industri; KHTI =
Kayu HTI; WC = Serpih Kayu; WP = Pulp. Gambar 15. Hubungan antara Permintaan Pasar Pangan, Karet, Minyak Sawit dan
Pulp dengan Deforestasi
Menurut Ferreira (2004) kebanyakan negara-negara berkembang memiliki
kelemahan kelembagaan (institutional weakness), terutama hak kepemilikan
(property rights), dan keterbatasan peraturan peundangan (rule of law). Bahkan dalam
kondisi hutan sebagai hak milik, terdapat kelemahan penegakan hak kepemilikan,
misalnya, dalam bentuk expropriation risk, yang diterjemahkan menjadi discount
rates tinggi sehingga menekan investasi hutan, menekan petani meningkatkan
intensitas pemeliharaan hutan dan meningkatkan frekuensi pemanenan hutan.
47
3.2.
Degradasi Hutan
Pada Gambar 14 terlihat bahwa deforestasi dimulai dari pembalakan hutan
primer (virgin forest). Pembalakan hutan primer menyebabkan hutan tidak menjadi
virgin lagi. Areal bekas tebangan dinamakan logged over area (LOA). Apakah areal
LOA termasuk ke dalam hutan yang terdegradasi atau tidak bergantung pada definisi
yang digunakan. Bagi kalangan yang hanya tertarik pada peranan hutan, khususnya
hutan alam sebagai penyerap karbondioksida, LOA dapat dikategorikan sebagai hutan
yang terdegradasi, karena berkurangnya jumlah pohon menyebabkan berkurangnya
fungsi daya serap hutan terhadap CO2. Jika hutannya dikelola secara berkelanjutan,
maka fungsi penyerap CO2 dapat stabil atau berkelanjutan, karena jumlah pohon yang
ditebang tiap tahun selalu tergantikan.
Intergovernmental Panel on Climate Changes (IPPC), termasuk kalangan
yang lebih menekankan fungsi hutan sebagai pemroses CO2. Intergovernmental Panel
on Climate Changes (IPCC 2003a dalam Murdiyarso et al 2008) mendefinisikan
degradasi hutan sebagai “kehilangan setidaknya Y% stok karbon (dan nilai hutan)
dalam jangka waktu lama (selama setdaknya X tahun) sejak waktu T yang disebabkan
kegiatan manusia dan tidak dianggap sebagai deforestasi (IPCC 2003a dalam
Murdiyarso et al 2008).
Menurut GOFC-GOLD (2008) dalam Murdiyarso et al 2008, kegiatan yang
biasa menjadi penyebab degradasi hutan di daerah tropis meliputi: (1) tebang pilih,
(2) kebakaran hutan terbuka dan dalam skala luas, (3) pengumpulan hasil hutan
nonkayu dan kayu bakar, dan (4) produksi arang, pengembalaan, kebakaran tegakan
bawah dan perladangan berpindah. Namun dua dari 4 faktor tersebut, yaitu faktor
penyebab (1) dan (3) kurang dapat diterima oleh kalangan yang tertarik dengan fungsi
hutan sebagai penghasil barang dan jasa untuk kesejahteraan.
48
Definisi IPPC tersebut lebih menekankan peranan hutan sebagai penyerap
karbondioksida. Terdapat definisi lain yang lebih mengartikan degradasi hutan dari
sisi fungsi hutan sebagai pencegah erosi. Dengan menekankan pada aspek erosi, maka
kondisi LOA yang menimbulkan erosi tinggi dapat dikategorikan sebagai hutan yang
terdegradasi. Selain kedua definisi tersebut, terdapat definisi lain, yaitu yang lebih
menekankan pada aspek kelayakan finansial usaha. Dengan menekankan pada aspek
kelayakan usaha, LOA akan dikategorikan terdegradasi jika potensi hutannya dinilai
terlalu rendah atau tidak memenuhi standar kelayakan finansial usaha. Terkait dengan
definisi ini, terdapat pandangan yang menjelaskan bahwa hutan dikatakan terdegrasi
jika struktur tegakan hutannya tidak dapat dipanen secara lestari. Pemanenan secara
lestari membutuhkan managemen untuk menata struktur tegakannya agar kembali
lestari.
Mengacu pada beberapa definisi atau pengertian tersebut, definisi degradasi
hutan di sini lebih membatasi pengertian degradasi hutan yang terjadi pada hutan
alam produksi, bukan pada hutan tanaman, hutan lindung atau hutan konservasi.
Degradasi hutan diartikan sebagai perubahan kondisi hutan primer akibat penebangan
yang melebihi potensi lestari hutan. Dengan pengertian ini, areal bekas penebangan
(LOA) dikategorikan sebagai hutan terdegradasi, karena kenyataan menunjukkan best
practice pengelolaan hutan alam produksi belum terwujud di lapangan.
Hasil penelitian Ismanto (2010) dengan pendekatan S-P-K (struktur-perilakukinerja) menunjukkan fenomena tersebut. Sebagian besar perusahaan tidak
menempatkan praktek-praktek pengelolaan hutan lestari sebagai prioritas kegiatan;
kurang dari 10 persen perusahaan penerima IUPPHHK (HPH) yang mempunyai
komitmen terhadap pengelolaan hutan. Tingkat kerusakan tegakan tinggal tergolong
cukup tinggi, yang disebabkan oleh perilaku dalam praktek produksi kayu yang tidak
49
sesuai dengan aturan dan rencana; 77.5% perusahaan mempunyai rentabilitas tidak
baik, yang berarti sebagian besar perusahaan melaporkan perusahaannya mengalami
kerugian.
DKL
DKG
DWP
QKL
QKG
QWP
DKHA
DKHA
DKHA
QKHA
AHPH
Reboisasi
Logged Over Area
(LOA)
Degradasi Hutan
Degradasi Hutan
Deforestasi
Keterangan:
A = Luas Areal ; HPH = Hak Pengusahaan Hutan; Q = Produksi; D = Permintaan;
KHA = Kayu Hutan Alam; KL = Kayu Lapis; KG = Kayu Gergajian; WP = Pulp Gambar 16. Hubungan antara Permintaan Pasar Kayu Lapis, Kayu Gergajian dan
Pulp dengan Degradasi Hutan
Gambar 16 menjelaskan hubungan antara permintaan pasar kayu lapis, kayu
olahan dan pulp dengan degradasi hutan. Pada Gambar 16 terlihat bahwa peningkatan
permintaan pasar akan mendorong peningkatan produksi kayu bulat dan peningkatan
produksi kayu bulat akan meningkatkan luas tebangan hutan alam. Peningkatan luas
tebangan hutan alam akhirnya akan meningkatkan LOA, yang berarti meningkatkan
degradasi hutan.
50
3.3.
Pengaruh Kebijakan Makroekonomi
Kebijakan makroekonomi meliputi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.
Kebijakan makroekonomi (fiskal dan moneter) mempengaruhi pertumbuhan sektor–
sektor ekonomi, termasuk tanaman pangan, perkebunan, dan kehutanan. Pertumbuhan
produksi dan perdagangan hasil tanaman pangan, perkebunan dan hasil hutan
tanaman selanjutnya mempengaruhi deforestasi (Gambar 15) dan hasil hutan alam
selanjutnya mempengaruhi degradasi hutan (Gambar 16). Konsekuensinya,
sumberdaya hutan (primer) mendapatkan dua tekanan, yaitu: (1) tekanan permintaan
pasar komoditas kehutanan (kayu lapis, kayu gergajian, pulp), dan tekanan
permintaan pasar komoditas pangan dan perkebunan (karet, sawit), serta komoditas
yang lain (pertambangan) (tidak tercantum dalam gambar).
3.3.1. Pengaruh Kebijakan Fiskal
Dari sisi fiskal, pemerintah mempengaruhi kinerja makroekonomi dengan
instrumen kebijakan pengaturan penerimaan dan pengeluaran anggaran. Kebijakan
fiskal mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan melalui pengaruhnya terhadap
produksi dan perdagangan sektor-sektor ekonomi yang berkontribusi terhadap
deforestasi dan degradasi hutan. Untuk penyederhanaan analisis dilakukan untuk
tanaman pangan: padi; perkebunan: karet dan sawit; dan kehutanan: HTI dan HPH
(Hak Pengusahaan Hutan Alam).
Pengenaan pajak dan bukan pajak di satu sisi, dan pemberian subsidi di sisi
lain, terhadap sektor-sektor ekonomi akan mempengaruhi deforestasi dan degradasi
hutan. Kebijakan fiskal mempengaruhi harga input: suku bunga, harga BBM (bahan
bakar minyak), harga pupuk, dan upah tenaga kerja, serta mempengaruhi harga output
melalui pajak pada harga ekspor dan tarif impor pangan, karet, sawit, dan kayu.
51
3.3.1.1. Pengaruh Penerimaan Negara
Struktur penerimaan negara disajikan pada Gambar 17. Pada Gambar 17
terlihat bahwa dari sisi penerimaan negara, pemerintah dapat mempengaruhi sektorsektor ekonomi, termasuk tanaman pangan, perkebunan, dan kehutanan melalui
instrumen pajak dan bukan pajak. Instrumen pajak dan bukan pajak dapat dikenakan
pada kegiatan produksi, konsumsi, dan perdagangan internasional (ekspor dan impor).
Pengenaan pajak dan bukan pajak akan menekan kinerja sektor-sektor ekonomi, dan
sebaliknya membebaskan pengenaan pajak dan bukan pajak akan merangsang kinerja
sektor-sektor ekonomi, termasuk pangan, perkebunan, dan kehutanan.
Pengaruh penerimaan negara terhadap deforestasi dan degradasi hutan adalah
tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap kinerja sektor-sektor ekonomi,
termasuk tanaman pangan, perkebunan dan kehutanan. Pengaruh penerimaan yang
mungkin dapat diananalisis adalah pengaruh penerimaan pajak dalam negeri, yaitu:
pajak perdagangan internasional, yang meliputi: pajak ekspor dan tarif impor, dan
penerimaan bukan pajak, yang meliputi: PSDH (untuk hutan tanaman dan hutan alam)
dan DR (Dana Reboisasi). Pengaruh penerimaannya dapat dianalisis melalui
pengaruhnya terhadap kegiatan produksi dan perdagangan pangan, karet, sawit, kayu,
dan produk-produk turunannya.
52
Penerimaan Negara
Penerimaan Bukan Pajak
Penerimaan Pajak
Pajak Dalam
Negeri
PPh Pajak Perdagangan
Internasional
Bea Masuk PSDA
Bea Masuk PPN PBB BPHTB Cukai Pajak Lain Nonmigas Perikanan Kehutanan
Bagian Laba
BUMN
Pendapatan
BLU
PNBP Lain
Migas Migas Gas Alam Pertambangan
Umum Panas Bumi
Sumber: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Gambar 17. Struktur dan Komponen Penerimaan Negara
3.3.1.2. Pengaruh Pengeluaran Negara
Struktur pengeluaran negara disajikan pada Gambar 18. Pada Gambar 18
terlihat bahwa dari sisi pengeluaran negara, pemerintah dapat mempengaruhi sektorsektor ekonomi, termasuk tanaman pangan, perkebunan dan kehutanan melalui
kebijakan pengeluaran negara. Pengeluaran yang lebih pada pembayaran hutang dapat
menurunkan subsidi dan/atau belanja pemerintah. Demikian pula pengeluaran yang
lebih pada subsidi dapat mengurangi pembayaran hutang dan/atau belanja
pemerintah. Pengeluaran yang lebih pada belanja pemerintah akan mnurunkan
kemampuan pembayaran hutang dan/atau subsidi. Pemerintah mengatur sedemikian
53
rupa sehingga dicapai sasaran-sasaran pembangunan, yaitu terdapat keseimbangan
yang berarti bagi masing-masing pengeluaran sesuai tujuan pembangunan.
Kebijakan pengeluaran negara secara tidak langsung mempengaruhi deforestasi
dan degradasi hutan alam melalui pengaruhnya terhadap pemberian subsidi dan
belanja pemerintah. Pemberian subsidi BBM berpengaruh pada harga BBM yang
dibutuhkan untuk kegiatan produksi dan transportasi, sedangkan belanja modal antara
lain untuk pembangunan infrastruktur transportasi yang dapat meningkatkan efisiensi
kegiatan-kegiatan ekonomi, termasuk tanaman pangan, perkebunan, dan kehutanan.
Dengan demikian pengaruh kebijakan fiskal dapat dianalisis melalui beragam
instrumen, termasuk instrumen subsidi. Struktur dan komponen subsidi pemerintah
disajikan pada Gambar 19. Pada Gambar 19 terlihat bahwa subsidi energi meliputi:
(1) subsidi BBM dan (2) subsidi listrik. Subsidi nonenergi memiliki 9 komponen.
Empat komponen yang pertama meliputi: (1) pangan, ( 2) pupuk, (3) benih, dan (4)
kredit program. Lima komponen yang terakhir meliputi: (1) PSO (Public Service
Obligation), (2) minyak goreng, (3) pajak, (4) kedelai, dan (5) subsidi lain. Subsidi
pangan, kedelai, minyak goreng dan pajak akan menaikkan konsumsi, khususnya
konsumsi pangan.
Subsidi BBM dan listrik serta pupuk mempengaruhi produksi tanaman
pangan, perkebunan, dan kehutanan. Sedangkan subsidi benih dan kredit program
mempengaruhi produksi, khususnya produksi pangan dan perkebunan, karena
keduanya yang menerima subsidi tersebut. Komponen subsidi yang sering
mendapatkan perhatian publik adalah: (1) subsidi BBM, (3) harga pupuk, (3) suku
bunga (kredit program), dan (4) HPP gabah kering giling.
54
Pengeluaran Negara
Pembayaran Bunga Hutang
Hutang DN
Hutang LN
Belanja Pegawai
Belanja Barang
Belanja Modal
Subsidi
Energi
Nonenergi
Belanja Hibah
Bantuan Sosial
¾ Bencana
¾ Bantuan K/L
Belanja Lain
Sumber: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Gambar 18. Struktur dan Komponen Pengeluaran Negara
3.3.2. Pengaruh Kebijakan Moneter
Dari sisi moneter, otoritas moneter (Bank Sentral Indonesia) mempengaruhi
kinerja makroekonomi melalui instrumen kebijakan pengendalian money supply
(MS). Ketika uang yang beredar di masyarakat untuk bertransaksi (money demand)
berlebihan, yang dikhawatirkan menyebabkan inflasi, Bank Sentral Indonesia (BI)
mengabsorbsi uang beredar yang berlebihan, sehingga kembali sama dengan money
supply dengan menaikkan suku bunga. Sebaliknya ketika masyarakat diperkirakan
membutuhkan uang yang lebih untuk bertransaksi, BI menurunkan suku bunga
dengan meningkatkan money supply.
55
Subsidi
Energi
Nonenergi
PSO
Subsidi BBM
Subsidi Listrik
Pangan
Minyak
Goreng
Pupuk
Pajak
Benih
Kdelai
Kredit Program
Lainnya
Sumber: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Gambar 19. Struktur dan Komponen Subsidi Negara
Menurut Bank Indonesia, tujuan akhir kebijakan moneter adalah menjaga dan
memelihara kestabilan nilai rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi
yang rendah dan stabil. Untuk mencapai tujuan itu Bank Indonesia menetapkan suku
bunga kebijakan BI Rate sebagai instrumen kebijakan utama untuk mempengaruhi
aktivitas
kegiatan
perekonomian
dengan
tujuan
akhir
pencapaian
target
inflasi. Perubahan BI Rate mempengaruhi inflasi melalui berbagai jalur, diantaranya
jalur suku bunga, jalur kredit, jalur nilai tukar, jalur harga aset, dan jalur ekspektasi
(Gambar 20).
Guna memahami pengaruh kebijakan moneter terhadap deforestasi dan
degradasi hutan, jalur suku bunga dan jalur nilai tukar yang lebih ditekankan, karena
akan langsung mempengaruhi suku bunga sebagai harga kapital, dan harga ekspor
dan impor pangan, karet, sawit, pulp dan kayu.
56
Suku Bunga
Deposito & Kredit
Kredit yang
Disalurkan
BI Rate
Konsumsi
Investasi
Harga Aset
(Obligasi & Saham
Nilai Tukar
Ekspekatasi
PDB
Ekspor
Inflasi
Feedback
Sumber: Bank Indonesia
Gambar 20. Saluran dan Mekanisme Pengaruh BI Rate terhadap Aktivitas Ekonomi
Dampak kebijakan moneter terhadap deforestasi, khususnya untuk perluasan
areal tanaman pangan, karet, dan sawit, melalui saluran suku bunga dihipotesiskan
lebih kecil dibanding dampak kebijakan fiskal melalui subsidi kredit program; subsidi
kredit program mengisolasi diri dari pengaruh kebijakan moneter. Namun dampaknya
terhadap deforestasi oleh HTI, dan degradasi hutan mungkin lebih besar. Dampaknya
melalui saluran nilai tukar bergantung pada pengaruhnya terhadap harga ekspor dan
impor.
3.4.
Pengaruh Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang dapat dianalisis meliputi: suku bunga dunia, dan harga
minyak mentah dunia.
Pengaruh harga minyak terhadap perekonomian dapat
dianalisis dari dua sisi, yaitu: sisi supply, dan sisi demand. Dari sisi supply, hasil
analisis antara lain Estrada dan de Cos (2009) menunjukkan bahwa kenaikan
57
(permanen) harga minyak dapat secara signifikan mengurangi output potensial. Dari
sisi demand, antara lain Aliyu (2009) menunjukkan bahwa harga minyak dunia
mempengaruhi PDB (Produk Domestik Bruto) riil di Nigeria. Dari sisi demand,
kenaikan harga minyak dunia mempengaruhi kondisi makroekonomi melalui
beberapa saluran antara lain neraca pembayaran, dan defisit anggaran.
Bagi negara pengimpor, kenaikan harga minyak mentah dunia akan
menyebabkan neraca pembayaran mengalami penurunan, yang pada gilirannya
menyebabkan tekanan pada nilai tukar. Depresiasi nilai tukar akan menyebabkan
impor menjadi lebih mahal, dan ekspor menjadi lebih murah. Penurunan impor di
satu sisi dan kenaikan ekspor di sisi lain, pada akhirnya memperbaiki neraca
pembayaran kembali jika negara yang bersangkutan mengadopsi sistem nilai tukar
mengambang (floatimg exchange rate).
Melalui saluran defisit anggaran, karena kenaikan harga minyak (BBM) akan
menambah tambahan biaya subsidi BBM bagi negara yang mengadopsi kebijakan
subsidi untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri. Indonesia telah sebagai net
importir minyak sejak tahun 2004 (Surjadi, 2006). Sebagai net importer Indonesia
masih mengadopsi kebijakan subsidi untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri.
Pengaruh harga minyak dunia terhadap defisit anggaran dapat ditangkap dengan
peubah subsidi BBM pada pengeluaran negara. Pemberian subsidi, termasuk BBM
ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan keputusan politik berdasarkan kemampuan
penerimaan negara dan aspirasi politik dalam masyarakat.
Pengaruh harga minyak dunia melalui saluran ekspor dan impor dapat
ditangkap dengan memasukkan harga minyak dunia ke dalam perilaku ekspor dan
impor pada tingkat makro, dan pada tingkat mikro pada perilaku ekspor dan impor
sektor deforestasi dan degradasi hutan. Sedangkan pengaruh suku bunga dunia dapat
58
ditangkap dengan memasukkan suku bunga dunia sebagai faktor eksogen yang
mempengaruhi suku bunga pasar dan nilai tukar.
3.5.
Konstruksi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan
Untuk
menghindari
kompleksitas
permasalahan
dan
memudahkan
pemahaman, maka model yang dibangun dibagi ke dalam tiga blok, yaitu: (1) blok
makroekonomi, (2) blok deforestasi, dan (3) blok degradasi hutan.
3.5.1. Blok Makroekonomi
Pendekatan makroekonomi yang digunakan adalah pendekatan sisi permintaan
output agregat. Dari sisi pengeluaran, output agregat atau Produk Domestik Bruto
(Yt) 9 dituliskan:
Yt = Ct + It + Gt + NXt ..………...………….……………………………… (1)
di mana
Yt = output agregat atau Produk Domestik Bruto (PDB)
Ct = Konsumsi rumah tangga
It = Investasi swasta
Gt = Pengeluaran pemerintah
NXt = Ekspor bersih (ekspor minus impor)
Merujuk teori, konsumsi dipengaruhi secara positif oleh pendapatan
dibelanjakan (YDt; YDt=Yt-Tt; Tt=penerimaan pajak), dan negatif oleh suku bunga
riel (Rt), serta positif konsumsi satu tahun sebelumnya (Ct-1). Sedangkan investasi (It)
9
Melalui hubungan secara negatif antara pengeluaran (pendapatan) agregat (Yt) dan suku bunga
dapat diturunkan kurva IS, yang menggambarkan pasar barang. Pada tingkat pendapatan tertentu,
suku bunga yang lebih tinggi menurunkan permintaan barang, dan dalam hampir semua formulasi
model, menurut Romer (2000), suku bunga yang lebih tinggi menurunkan permintaan investasi, dan
dalam banyak kasus juga menurunkan konsumsi, serta dalam perekonomian terbuka dengan nilai
tukar mengambang menyebabkan apresiasi nilai tukar sehingga menurunkan ekspor bersih.
59
dipengaruhi secara negatif oleh suku bunga riel (Rt), positif oleh PDB (Yt), negatif
oleh kondisi krisis (KRISISt) 10 , dan positif oleh investasi satu tahun sebelumnya (It-1).
Fungsi konsumsi dan investasi dituliskan:
Ct = C(YDt, Rt, Ct-1 ) ..………..………..…..………………….………..…… (2)
It = I(Rt, Yt, KRISISt, It-1) .......……………………….……….…..………... (3)
Merujuk Fisher equation, suku bunga riel adalah suku bunga nominal (rt)
dikurangi inflasi (π) dituliskan:
Rt = rt - πt ……………………………………………………………….……(4)
Pengeluaran pemerintah (Gt) dipengaruhi secara positif oleh penerimaan pajak
(Tt) dan pengeluaran pemerintah satu tahun sebelumnya (Gt-1). Untuk menangkap
pengaruh faktor eksternal, harga minyak dunia (oilPt), terhadap pengeluaran
pemerintah, harga minyak dunia dihipotesiskan berpengaruh secara positif, karena
kenaikannya membebani pengeluaran pemerintah. Sedangkan penerimaan pajak (Tt)
dipengaruhi secara positif oleh PDB (Yt), dan negatif oleh suku bunga riel (Rt), serta
positif oleh penerimaan pajak satu tahun sebelumnya (Tt-1).
Fungsi Gt dan Tt dituliskan:
Gt = G(Tt, oilPt, Gt-1) …………………………………………...…………… (5)
Tt = T(Yt, Rt, Tt-1) ……………………………………………………………(6)
Blok makroekonomi bertujuan untuk menjelaskan bagaimana kebijakan
makroekonomi dan faktor eksternal mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan
alam. Pengaruh kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal terhadap degradasi
dan deforestasi hutan alam dapat melalui beberapa saluran. Terdapat empat saluran
transmisi yang umum dipahami, yaitu: (1) saluran suku bunga (interest rate channel),
(2) saluran kredit (credit channels), (3) saluran harga asset (asset channel), dan (4)
10
Peubah dummy di mana 0=tahun-tahun tidak krisis, dan 1=tahun-tahun krisis.
60
saluran nilai tukar (exchange rate channels) (Norrbin, 2000; Ireland, 2006). Dalam
penelitian ini, dua saluran yang dianalisis, yaitu saluran suku bunga, dan saluran nilai
tukar. Suku bunga mempengaruhi secara langsung deforestasi dan degradasi hutan
melalui pengaruhnya terhadap harga kapital, sedangkan nilai tukar secara tidak
langsung melalui pengaruhnya terhadap suku bunga, dan harga input dan output
tradable. Dalam penelitian ini, pengaruh nilai tukar dianalisis dari pengaruhnya
terhadap keseimbangan suku bunga. Perubahan nilai tukar mempengaruhi ekspor
bersih, dan ekspor bersih mempengaruhi PDB, yang akhirnya mempengaruhi suku
bunga.
Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu
penawaran uang, dan kebijakan fiskal, yaitu pengeluaran pemerintah. Pengaruh
penawaran uang terhadap deforestasi dan degradasi hutan alam dianalisis berdasarkan
persamaan suku bunga. Merujuk teori, keseimbangan suku bunga dipengaruhi oleh
penawaran dan permintaan uang. Penawaran uang dikendalikan oleh ototritas moneter
(Bank Indonesia), sehingga pada Gambar 21, penawaran uang digambarkan sebagai
kurva tegak lurus 11 . Sedangkan permintaan uang (untuk bertransaksi) dipengaruhi
secara negatif oleh suku bunga sehingga pada Gambar 21 digambarkan sebagai kurva
yang downward sloping. Titik potong antara kurva penawaran dan permintaan uang
menunjukkan suku bunga keseimbangan (Gambar 21).
Pada Gambar 21, peningkatan penawaran uang ditunjukan oleh bergesernya
kurva MS/P ke kanan dari MS0/P menjadi MS1/P.
Jika permintaan uang tidak
berubah, maka suku bunga (r) akan menurun dari r0 ke r1. Merujuk teori, selain
11
Dengan mengkaitkan dengan high-powered money (H), perilaku penawaran uang (MS) dapat
diturunkan. Fungsi penawaran uang: MS = u(r;k,cr)H (McCallum, 1989) di mana r=suku bunga, k=
faktor proporsi terhadap deposit (k*deposit= required reserve), dan cr=rasio currency terhadap
checkable deposit. Dari fungsi tersebut, kurva MS adalah upward sloping terhadap r. Fungsi
tersebut mendeskripsikan berapa besar uang akan “dipasok” untuk besaran tertentu H, R, k, dan cr
(McCallum, 1989). Untuk menghindari kompleksitas model, dalam penelitian ini penawaran uang
diasumsikan eksogen.
61
dipengaruhi oleh suku bunga, permintaan uang juga dipengaruhi oleh pendapatan atau
PDB (Yt). Pada Gambar 21, peningkatan PDB ditunjukkan oleh bergesernya kurva
permintaan uang ke atas dari L(r0, Y0) menjadi L(r0, Y1). Ketika Y meningkat dari Y0
[L(r0, Y0)] ke Y1 [L(r0, Y1)], maka pada suku bunga r0 akan terjadi excess money
demand, karena MS/P tidak berubah. Keseimbangan suku bunga yang baru [MS/P =
L(r2, Y1)] akan terbentuk pada suku bunga yang lebih tinggi, r2. Dengan kata lain,
kenaikan PDB akan menaikkan suku bunga (dari r0 ke r2) 12 .
Dengan demikian, peningkatan MS/P menurunkan dan peningkatan Yt
menaikkan suku bunga. Pengaruh pengeluaran pemerintah terhadap deforestasi dan
degradasi hutan dianalisis secara tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap Yt 13 .
Perilaku suku bunga nominal (rt) dihipotesiskan dipengaruhi oleh penawaran uang
(MSt), tingkat harga (IHKt), ekspektasi inflasi (πEt), kondisi krisis (KRISISt), regim
nilai tukar (FERt) 14 , suku bunga satu tahun sebelumnya (rt-1). Sedangkan tingkat
harga umum (IHKt) dipengaruhi secara positif oleh produk domestik bruto(Yt), dan
tingkat harga satu tahun sebelumnya (IHKt-1).
Fungsi suku bunga dan tingkat harga dituliskan:
rt = r(MSt ,IHKt, πEt, rt-1) ..………………..……………....…………….…. (7)
IHKt = IHK (Yt, IHKt-1) …………………………………………………… (8)
12
Melalui hubungan secara positif antara suku bunga dan pendapatan agregat (PDB) dapat diturunkan
kurva LM, yang menggambarkan pasar uang (Romer, 2000).
13
Pengaruh pengeluaran pemerintah secara langsung tidak dianalisis. Pengaruh langsung Gt dapat
melalui beragam program pembangunan. Strand (2004) menyatakan bahwa pembangunan jalan di
areal yang sebelumnya tidak dapat diakses (inaccessible areas) dapat menyebabkan tekanan lebih
besar untuk mengekstraksi sumberdaya dan mengkonversi lahan menjadi penggunaan pertanian.
14
Peubah dummy di mana 0 = periode tahun dengan regim nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dan 1
= periode tahun dengan regim nilai tukar mengambang (floating exchange rate) atau mengambang
terkendali.
62
r
MS0/P
MS1/P
r2
r0
r1
L(r2,Y1)
L(r0,Y0)
Nilai Riel Uang
Sumber: Modifikasi dari Suranovic, 2008
Gambar 21. Pengaruh Penawaran Uang dan Pendapatan Agregat terhadap Suku
Bunga
Faktor eksternal yang dianalisis adalah harga minyak mentah dunia (oilP), dan
suku bunga riel rujukan Amerika Serikat, real Fedrate (Federal Fund Rate) (RUS).
Pengaruh perubahan faktor eksternal harga MMD terhadap deforestasi dan degradasi
hutan dianalisis secara tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap ekspor dan
impor. Nilai bersih ekspor (ekspor minus impor) mempengaruhi pertumbuhan
eksonomi, dan pertumbuhan ekonomi kemudian mempengaruhi rt. Perubahan rt (atau
Rt) selanjutnya mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan alam.
Harga komoditas tradable, termasuk harga MMD (oilPt) mempengaruhi nilai
ekspor bersih (NXt). Selain dipengaruhi oleh harga MMD, ekspor bersih juga
dipengaruhi oleh nilai tukar (et). Sedangkan nilai tukar dipengaruhi oleh perbedaan
suku bunga riel di dalam negeri (Rt) dan luar negeri (RUSt) 15 , serta ekspor bersih 16 .
Dengan demikian pengaruh secara tidak langsung perubahan faktor eksternal Fedrate
15
16
RUSt = rUSt – πUSt.
Huang dan Tseng (2010) menyatakan bahwa pengaruh harga minyak dunia terhadap nilai tukar
belum banyak diinvestigasi. Hasil analisis keduanya menunjukkan terdapat indikasi bahwa harga
minyak dunia mempengaruhi nilai tukar mata uang, terutama yang dikaitkan dengan mata uang
USD (dolar Amerika Serikat). Dalam penelitian ini, pengaruh harga minyak dunia terhadap nilai
tukar dianalisis secara tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap ekspor bersih.
63
terhadap deforestasi dan degradasi hutan dapat ditangkap melalui saluran nilai tukar.
Ekspor bersih dihipotesiskan dipengaruhi positif oleh nilai tukar riel (Et) 17 , negatif
oleh Produk Domestik Bruto (Yt), , dan negatif oleh harga MMD (oilPt) 18 , serta positif
oleh ekspor bersih satu tahun sebelumnya. Sedangkan nilai tukar (et) dihipotesiskan
dipengaruhi negatif oleh uncovered interest rate parity (UIPt), negatif oleh nilai
ekspor bersih (NXt), positif oleh kondisi krisis (KRISISt) dan penawaran uang
(RMSt), serta positif oleh nilai tukar satu tahun sebelumnya.
Fungsi NXt dan et, serta persamaan identitas UIPt dituliskan:
NXt = NX (Et,Yt, oilPt, NXt-1) .........................................………..……....... (9)
et = e( UIPt , NXt , KRISISt, MSt, et-1) ....…………….…………..….….. (10)
UIPt = Rt - RUSt …………………………………………………………… (11)
Dengan model yang demikian, dampak kebijakan makroekonomi dan faktor
eksternal terhadap deforestasi dan degradasi hutan alam dapat dianalisis. Pengaruh
kebijakan makroekonomi dan perubahan faktor eksternal dapat diananlisis dengan
memperhatikan pengaruhnya terhadap suku bunga dan nilai tukar. Peubah suku bunga
mempengaruhi secara langsung tingkat deforestasi dan degradasi hutan. Sedangkan
peubah makroekonomi yang lain, termasuk nilai tukar dan faktor eksternal
mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan alam secara tidak langsung. Pengaruh
nilai tukar terhadap deforestasi dan degradasi hutan alam dapat melalui saluran suku
bunga dan dapat juga melalui saluran harga input dan/atau output tradable yang
dihasilkan oleh agen deforestasi dan degradasi hutan 19 .
17
Et = et*IHKt/USCPIt; IHKt = Indeks Harga Konsumen; USCPIt = Indeks Harga Konsumen Amerika
Serikat.
18
Sejak tahun 2004 Indonesia sebagai net impoter minyak.
19
Dalam penelitian ini, pengaruh nilai tukar hanya dianalisis berdasarkan pengaruhnya pada suku
bunga; nilai tukar dalam blok deforestasi dan degradasi hutan diasumsikan eksogen dengan
mengkonversi peubah harga komoditas dalam bentuk Rupiah. Pengaruh nilai tukar secara tidak
langsung terhadap deforestasi dan degradasi hutan disisakan untuk penelitian lanjutan.
64
Dampak deforestasi dan degradasi hutan terhadap jumlah pengangguran tidak
dianalisis dan disisakan untuk penelitian lanjutan namun dampak kebijakan
makroekonomi dan perubahan faktor eksternal terhadap jumlah pengangguran
dianalisis melalui saluran output (Yt). Penawaran tenaga kerja (LSt) atau jumlah
angkatan kerja secara empiris diasumsikan eksogen. Sedangkan permintaan tenaga
kerja (LDt) secara empiris dihipotesiskan dipengaruhi secara negatif oleh upah riel
pekerja (Wt), dan positif oleh PDB (Yt), serta permintaan tenaga kerja satu tahun
sebelumnya (LDt-1). Kenaikan atau penurunan Yt akibat perubahan kebijakan
makroekonomi dan faktor eksternal akan menaikkan atau menurunkan jumlah
pengangguran (ULt).
Fungsi LDt, dan hubungan identitas ULt dituliskan:
LDt = LD (Wt, Yt, LDt-1) …………...………….……..….……………… (12)
ULt = LSt – LDt ………………....………………..……………………… (13)
3.5.2. Blok Deforestasi
Pengertian hutan di sini adalah pengertian hutan alam bukan hutan buatan
(hutan tanaman). Deforestasi didefinisikan sebagai perubahan kondisi penutupan
lahan dari kelas penutupan lahan kategori hutan (berhutan) menjadi kelas penutupan
lahan kategori nonhutan (tidak berhutan) (Pusat Inventarisasi dan Perpetaan
Kehutanan, 2008). Namun batasan deforestasi di sini lebih spesifik, yaitu merujuk
pada hutan alam, sehingga areal HTI (Hutan Tanaman Industri) digolongkan ke
dalam areal deforestasi (hutan alam). Selain HTI, tiga komponen deforestasi lain juga
dikaji, yaitu: (1) tanaman pangan (padi), (2) tanaman karet, (3) dan tanaman sawit.
Dengan batasan tersebut dan teori permintaan input lahan, model permintaan
lahan hutan alam dapat dibangun. Gambar 22 mengilustrasikan keseimbangan pasar
lahan hutan alam. Pada Gambar 22 terlihat bahwa keseimbangan pasar dalam jangka
65
pendek terjadi di titik P dan dalam jangka panjang 20 di titik K. Dalam jangka pendek
penawaran lahan hutan (SLH) diasumsikan eksogen sehingga hanya faktor-faktor
selain harganya yang menggeser kurva permintaan lahan (DLHPD) ke kiri atau ke
kanan menuju keseimbangan 21 . Pergeseran kurva DLHPD ke kiri menunjukkan
penurunan luas areal produksi suatu komoditas dan sebaliknya pergeseran kurva
DLHPD ke kanan menunjukkan peningkatan deforestasi. Jika kegiatan produksi yang
diusahakan adalah produksi kayu hutan alam (melalui HPH), maka pergeseran kurva
DLHPD ke kiri menunjukan degradasi hutan 22 . Dengan pemikiran tersebut spesifikasi
model ekonomi deforestasi perubahan areal HTI, sawit, karet, dan padi, serta
degradasi hutan alam areal HPH dibangun dan diestimasi.
Jika luas penggunaan lahan (deforestasi dan degradasi hutan) dapat dipandang
sebagai persoalan permintaan input produksi, maka persoalan deforestasi dan
degradasi hutan dapat dianalisis menggunakan perilaku ekonomi. Permintaan input
dapat diturunkan dari perilaku perusahaan yang memaksimalkan keuntungan.
Silberberg dan Suen (2001) menjelaskan bahwa jika fungsi produksi (untuk
penyederhanaan menggunakan dua input produksi) dituliskan: y = f( x1, x2)
diinterpretasikan sebagai teknologi yang menghasilkan output maksimum dari
penggunaan dua input produksi x1 seharga w1 dan x2 seharga w2, serta jika harga
20
Keseimbangan jangka panjang menunjukkan suatu kondisi di mana lahan telah dimanfaatkan
seluruhnya untuk kegiatan produksi sehingga perluasan lahan untuk produksi tidak dimungkinkan.
Dalam jangka panjang, penawaran lahan hutan alam (primer) tidak dipengaruhi oleh harga lahan atau
konstan sehingga berbentuk kurva tegak lurus (kurva SLH (Gambar 2). Sebaliknya keseimbangan
jangka pendek menunjukkan belum seluruh lahan hutan dimanfaatkan untuk kegiatan produksi
sehingga perluasan areal untuk produksi masih dimungkinkan. Permintaan lahan (DLH) merupakan
permintaan input produksi suatu komoditas. 21
Harga atau sewa lahan hutan dicerminkan (diturunkan) berdasarkani harga output yang dihasilkan
dari lahan yang diusahakan. Harga output di sini bergantung pada empirical evidence apakah harga
output di tingkat farm gate (dalam kasus non-vertical integrated industry) atau di tingkat mill gate
(dalam kasus vertical integrated industry).
22
Keseimbangan pasar kayu hutan alam lestari mensyaratkan dua asumsi: (1) property rights areal dan
tegakan hutan alam ditegakkan, dan (2) harga kayu hutan alam mencerminkan kelangkaan
sumberdaya yang digunakan.
66
output adalah p dan fungsi tujuannya adalah total penerimaan dikurangi total biaya,
maka pemaksimalan fungsi tujuannya adalah:
π = p f(x1, x2) – w1x1 – w2x2 ….…………………………………………. (a)
First order condition (FOC):
π1
π/ x1 = p f1 – w1 = 0 ..…………………………………………… (b)
π2 = π/ x2 = p f2 – w2 = 0 ..……..……………………………………… (c)
Second order condition (SOC):
f11 < 0; f22 < 0 …………………………………………………….….……(d)
f11 f22 – f212 > 0 …….…………………………………….……….……….(e)
di mana
π = Keuntungan
f1 = Turunan pertama fungsi keuntungan terhadap x1 (marginal product x1)
f11 = Turunan kedua fungsi keuntungan terhadap x1
f2 = Turunan pertama fungsi keuntungan terhadap x2 (marginal product x2)
f22 = Turunan kedua fungsi keuntungan terhadap x2
f12= Turunan pertama dari f1 terhadap x2 (perubahan input x1 mempengaruhi
marginal product x1 dan marginal product x2)
f21= Turunan pertama dari f2 terhadap x1 (perubahan input x2 mempengaruhi
marginal product x2 dan marginal product x1)
67
SLH
PLH
K
PLHPJ
P
PLHPD
DLHPJ
DLHPD
ALHPD
ALHPJ
ALH
Gambar 22. Keseimbangan Pasar Lahan Hutan Alam
Kondisi (a dan b) menyatakan bahwa keuntungan maksimum akan diperoleh
ketika penggunaan input produksi mencapai titik di mana nilai marginal product-nya
(pfi) sama dengan biaya untuk memperoleh tambahan unit input produksi yang
digunakan (wi). Kondisi (c) merupakan kondisi law of dimisnishing return, yang
menyatakan marginal product penggunaan suatu input akan menurun jika jumlah
input yang digunakan bertambah. Kondisi (d) diperlukan, karena kondisi (c) sendiri
tidak cukup untuk menjamin pencapaian posisi keuntungan maksimal; pengaruh lintas
input perlu dipertimbangkan.
Secara lengkap FOC dapat dituliskan:
p f1(x1, x2) – w1 = 0 .………………………………………………..……… (f)
p f2(x1, x2) – w2 = 0 ….…....………………………….…………………… (g)
Persamaan (f) dan (g) merupakan dua persamaan implisit yang memiliki lima
peubah yang tidak diketahui, yaitu: x1, x2, w1, w2, dan p. Berdasarkan kondisi
tersebut, dua dari lima peubah dapat diselesaikan. Hasil penyelesaiannya dituliskan:
x1 = f1*(w1, w2, p) ..………...………….………………………………… (h)
x2 = f2*(w1, w2, p) .. ……...……….……………………………………… (i)
68
Persamaan (h) dan (i) menunjukkan persamaan permintaan input produksi,
yang menyatakan bahwa permintaan input dipengaruhi oleh harganya, harga input
lain dan harga outputnya. Berdasarkan teori permintaan input diturunkan permintaan
lahan hutan yang dinyatakan sebagai tingkat (laju) deforestasi untuk areal HTI, sawit,
karet, dan padi.
3.5.2.1. Tingkat Deforestasi Hutan Alam untuk Areal HTI
Permintaan lahan untuk areal HTI lebih dari 50% digunakan untuk
memproduksi pulp. Oleh karenanya fungsi permintaan input lahan yang digunakan
adalah fungsi permintaan lahan oleh industri terintegrasi (integrated industry).
Sebagai ouput adalah pulp, dan kayu HTI yang dihasilkan merupakan input bagi
industri. Atas dasar fakta ini, tingkat deforestasi hutan alam untuk areal HTI (DFHTIt)
dihipotesiskan dipengaruhi secara positif oleh harga (ekspor) pulp (PXPULPt), dan
P
secara negatif oleh harga kayu HTI (PKHTIt), suku bunga riel (Rt), upah riel (Wt),
harga riel bahan bakar minyak (PBBMt).
Fakta lain menunjukkan bahwa lahan hutan alam diperebutkan, terutama
untuk areal sawit, karet, dan areal konsesi hutan alam 23 . Oleh karena itu tingkat
deforestasi hutan alam untuk areal HTI dihipotesiskan dipengaruhi juga oleh harga
ekspor karet (PXKRt), harga ekspor minyak sawit (PXMSWt), dan harga ekspor kayu
lapis (PXKLt). Harga ekspor minyak sawit dan kayu lapis dihipotesiskan berpengaruh
dengan hubungan fungsional yang negatif, tetapi harga ekspor karet berhubungan
23
Areal hutan alam produksi dibedakan ke dalam tiga kategori, yaitu: hutan produksi tetap, hutan
produksi terbatas, dan hutan dapat dikonversi. Meskipun demikian, fakta di lapangan menunjukkan
persaingan penggunaannya tidak hanya terjadi di masing-masing kategori, tapi juga antar kategori.
Dalam areal hutan produksi tetap dapat ditemukan areal sawit dan/atau karet, yang seharusnya
hanya berlokasi di areal hutan dapat dikonversi, dan sebaliknya areal HPH dapat berada di areal yang
dapat dikonversi yang memiliki potensi kayu per ha yang tinggi. Informasi lahan hutan alam yang
terbatas serta property rights dan penegakan hukum yang lemah merupakan pemicu terjadinya
konflik lahan hutan alam. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa terdapat persaingan penggunaan
lahan hutan alam, terutama untuk areal HPH, HTI, sawit, dan karet di lapangan. 69
positif, karena sejak tahun 1990an, pemerintah mengembangkan HTI-karet.
Kebijakan pemerintah mempercepat pembangunan HTI dari tahun 2004 – 2009
(GPHTIt) juga dihipotesikan mempengaruhi secara positif tingkat deforestasi untuk
areal HTI. Dihipotesiskan luas areal HTI satu tahun sebelumnya (AHTIt-1) akan
mempengaruhi tingkat deforestasi secara negatif atau semakin luas areal HTI satu
tahun sebelumnya semakin kecil tingkat deforestasi yang terjadi dan sebaliknya.
Fungsi DFHTIt dituliskan:
DFHTIt = DF (PXPULPt, PKHTIt, Rt, Wt, PBBMt, PXKRt , PXMSWt , PXKLt, GPHTIt,
AHTIt-1) ...…………………………..…………….…………… (14)
Dalam penelitian ini, harga output yang dihasilkan lahan deforestasi (untuk
areal HTI) dibatasi hanya sampai harga kayu HTI, yang diperlakukan sebagai peubah
endogen. Harga output turunannya (pulp dan kertas) diasumsikan eksogen. Merujuk
teori, harga kayu HTI dipengaruhi oleh penawaran dan permintaannya24 .
Penawarannya (SKHTIt) dipengaruhi secara positif oleh harganya (PKHTIt),
P
negatif oleh suku bunga (Rt), upah (Wt) dan harga BBM (PBBMt), serta secara positif
oleh produktivitas HTI (qHTIt), luas areal HTI (AHTIt), dan penawaran kayu HTI satu
tahun sebelumnya (SKHTIt-1) 25 . Fungsi penawaran kayu HTI (SKHTIt) dituliskan:
SKHTIt = S(PKHTIt, Rt, Wt, PBBMt, qHTIt, AHTIt, QKHTIt-1) .......…….….……… (15)
Sebagai derived demand, permintaan kayu HTI oleh industri pulp (DKHTIt)
dihipotesiskan dipengaruhi oleh harganya, harga ekspor pulp (PXPULPt), suku bunga
(Rt), upah (Wt), harga BBM (PBBMt), dan PDB (Yt), serta permintaan satu tahun
24
Persamaan (h) dan (i) juga berlaku untuk permintaan input industri pengolahan (pulp, kayu lapis,
kayu gergajian, minyak sawit, dan karet). Dengan memasukan permintaan input ke dalam fungsi
produksi [y = f(x1, x2) ] dapat diturunkan fungsi penawaran output, yang menyatakan penawaran
dipengaruhi oleh harga output, harga input, dan faktor-faktor lainnya).
25
Deforestasi berarti peningkatan produksi, sehingga pengaruh deforestasi sebenarnya dapat dideteksi
dengan memasukkan atau menggantikan peubah produkstivitas dan luas areal dengan tingkat
deforestasi, misalnya jika HTI akan ditebang setelah umur 5 tahun, maka dengan asumsi tiap tahun
terjadi deforestasi, pengaruh deforestasi 5 tahun sebelumnya dapat dihipotesiskan akan berpengaruh
secara positif terhadap penawaran kayu HTI. Untuk itu memerlukan data deret waktu yang cukup
panjang.
70
sebelumnya (DKHTIt-1). Faktor-faktor kecuali harga ekspor pulp dan PDB berhubungan
negatif dengan permintaan kayu HTI, sedangkan harga ekspor pulp dan PDB
berhubungan positif. Fungsi permintaan kayu HTI dituliskan:
DKHTIt = D(PKHTIt, Rt, Wt, PBBMt, PXPULPt, Yt, DKHTIt-1) ………..…………… (16)
P
Harga kayu HTI dipengaruhi oleh harga ekspor pulp (PXPULPt), harga kayu
hutan alam (PKHAt), dan penawaran kayu HTI (SKHTIt), serta harga kayu HTI satu
tahun sebelumnya. Keseimbangan pasar kayu HTI (Gambar 23) dan fungsi harga
kayu HTI dituliskan:
SKHTIt = DKHTIt ……………………..…………….…..…………………….. (17)
PKHTIt = P(PXPULPt, PKHAt, SKHTIt, PKHTIt-1) …………………………………. (18)
P
PKHTI
SKHTI
PKHTI0
DKHTI
QKHTI0
QKHTI
Gambar 23. Keseimbangan Pasar Kayu HTI
3.5.2.2. Tingkat Deforestasi untuk Areal Sawit
Indonesia merupakan produsen sawit terbesar setelah Malaysia. Produksi sawit
Indonesia berorientasi pada pasar ekspor, dan impor minyak sawit sangat kecil.
71
Seperti kasus pulp, permintaan lahan hutan alam untuk areal sawit diasumsikan
merupakan permintaan industri terintegrasi minyak sawit26 . Dengan demikian tingkat
deforestasi hutan alam untuk areal sawit (DFSWt) dipengaruhi secara positif oleh harga
ekspor minyak sawit (PXMSWt), dan negatif oleh harga buah sawit (PBSWt), suku bunga
(Rt), upah (Wt), harga BBM (PBBMt) dan luas areal sawit satu tahun sebelumnya
(ATSWt-1). Selain itu DFSWt juga dipengaruhi oleh harga kayu HTI (PKHTIt) dan harga
kayu hutan alam (PKHAt). Harga kayu HTI mempengaruhi secara negatif, karena fakta
persaingan permintaan lahan hutan alam, tetapi harga kayu hutan alam secara positif.
Dalam kondisi property rights yang belum clear and clean serta penegakan hukum
yang lemah, PKHAt yang lebih tinggi memberikan insentif
terhadap rent seeker
pengembangan areal sawit, yaitu: (1) windfall profit atas penebangan kayu, dan (2)
pengurangan biaya landclearing karena penebangan kayu yang dilakukan. Fakta ini
menyebabkan PKHAt berpengaruh positif terhadap tingkat deforestasi hutan alam
untuk areal sawit 27 .
Fungsi DFSWt dituliskan:
DFSWt = DF(PXMSWt, PBSWt, Rt, Wt, PBBMt, PKHTIt , PKHAt, ATSWt-1) ………… (19)
Seperti kayu HTI, harga output yang dihasilkan lahan deforestasi (untuk areal
sawit) dibatasi hanya sampai harga buah sawit, yang diperlakukan sebagai peubah
26
27
Pada tahun 2008, luas areal sawit perkebunan besar adalah 60.9% dari total areal sawit 7.4 juta ha.
Manurung (2001) menyatakan “konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit
terus berlangsung sampai saat ini walaupun di Indonesia sesungguhnya sudah tersedia lahan kritis
dan lahan terlantar dalam skala yang sangat luas (sekitar 30 juta hektar). Para investor lebih suka
untuk membangun perkebunan kelapa sawit pada kawasan hutan konversi karena berpotensi
mendapatkan keuntungan besar berupa kayu IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu) dari areal hutan alam
yang dikonversi. Dalam praktiknya pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada
kawasan hutan konversi, melainkan juga merambah ke kawasan hutan produksi, bahkan di kawasan
konservasi yang memiliki ekosistem yang unik dan mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang
tinggi, sebagai contoh, di areal Taman Nasional Bukit Tigapuluh telah dibangun dua perkebunan
kelapa sawit dengan luas masing-masing 8.000 ha dan 4.000 ha, juga pada kawasan hutan lindung
Register 40 di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, paling sedikit 6000 ha telah dikonversi menjadi
perkebunan kelapa sawit”
72
endogen. Harga output turunannya (minyak sawit dan minyak goreng) diasumsikan
eksogen. Merujuk teori, harga buah sawit dipengaruhi oleh penawaran dan
permintaannya.
Penawaran buah sawit SBSWt dipengaruhi secara positif oleh harganya (PBSWt),
dan negatif oleh suku bunga (Rt), upah (Wt) dan harga BBM (PBBMt), serta secara
positif oleh produktivitas sawit (qBSWt), luas areal (ATSWt), dan penawaran satu tahun
sebelumnya (SBSWt-1). Fungsi penawaran buah sawit dituliskan:
SBSWt = S(PBSWt, Rt, Wt, PBBMt, qBSWt, ATSWt, SBSWt-1) ………..…………. (20)
Sebagai derived demand seperti permintaan lahan, permintaan buah sawit
dipengaruhi negatif oleh harganya (PBSWt), suku bunga (Rt), upah (Wt) dan harga
BBM (PBBMt), dan secara positif oleh harga dalam negeri minyak sawit (PDMSWt) dan
PDB (Yt) serta permintaan buah sawit satu tahun sebelumnya (DBSWt-1). Fungsi
permintaan buah sawit dituliskan:
DBSWt = D(PBSWt, Rt, Wt, PBBMt, PDMSWt, Yt, DBSWt-1) ...……..…………… (21)
Harga buah sawit dipengaruhi oleh harga ekspor minyak sawit, permintaan
buah sawit, dan harga buah sawit satu tahun sebelumnya. Kondisi keseimbangan
pasar buah sawit (Gambar 24) dan fungsi harga buah sawit dituliskan:
SBSWt = DBSWt ...……..……….………………………..………………..….. (22)
PBSWt = P(PXMSWt, DBSWt, PBSWt-1) …………………………………….……. (23)
P
73
PBSW
SBSW
PBSW0
DBSW
QBSW0
QBSW
Gambar 24. Keseimbangan Pasar Buah Sawit
3.5.2.3. Tingkat Deforestasi untuk Areal Karet
Indonesia merupakan produsen karet alam terbesar kedua setelah Thailand.
Produksi karet Indonesia berorientasi pada pasar ekspor. Dari total produksi karet,
93% diekspor dan sisanya diserap oleh industri domestik barang jadi karet (Anwar,
2005). Pelabuhan ekspor karet alam Indonesia yang utama adalah Belawan (Sumatra
Utara) dengan ekspor sebesar 40% dari total, Palembang (Sumatra Selatan) 25%,
Padang (Sumatra Barat) 10%, Pontianak (Kalimantan Barat) 8%, Jambi 6%, dan
Surabaya (Jawa Timur) 5% (Anwar, 2005). Produksi karet lebih dari 60 % berasal
dari produksi karet rakyat.
Tingkat deforestasi hutan alam untuk areal karet (DFKRt) dihipotesiskan
dipengaruhi secara positif oleh harga dalam negeri karet (PDKRt), dan negatif oleh
suku bunga (Rt), upah (Wt), harga BBM (PBBMt) dan luas areal karet satu tahun
sebelumnya (ATKRt-1). Dihipotesiskan harga kayu hutan alam (PKHAt) dan harga ekspor
minyak sawit (PXMSWt) mempengaruhi DFKRt secara negatif, sedangkan harga ekspor
karet (PXKRt) secara positif. Fungsi DFKRt dituliskan:
74
DFKRt = DF(PDKRt, Rt, Wt, PBBMt, PKHAt, PXMSWt, PXKRt, ATSWt-1) ………….. (24)
P
Penawaran karet (SKRt) dipengaruhi secara positif oleh harga karet dalam
negeri (PDKRt), dan negatif oleh suku bunga (Rt), upah pekerja (Wt) dan harga BBM
(PBBMt), serta secara positif oleh produktivitas sawit (qKRt), luas areal (ATKRt) dan
penawaran karet satu tahun sebelumnya (SKRt-1). Fungsi penawaran karet dituliskan:
SKRt = S(PDKRt, Rt, Wt, PBBMt, qKRt, ATKRt, SKRt-1) ..……….…………….… (25)
Permintaan karet dalam negeri (DDKRt) dipengaruhi negatif oleh harganya
(PDKRt), suku bunga (Rt), upah (Wt) dan harga BBM (PBBMt), dan secara positif oleh
PDB (Yt) serta permintaan karet satu tahun sebelumnya (DDKRt-1). Sedangkan
penawaran ekspor karet (SXKRt) dihipotesiskan dipengaruhi oleh secara positif oleh
harga ekspor karet (PXKRt), negatif oleh harga dalam negeri karet, positif oleh PDB
Amerika Serikat (USGDBt), dan positif oleh penawaran ekspor karet satu tahun
sebelumnya (SXKRt-1).
Fungsi permintaan karet dalam negeri dan penawaran ekspor karet masingmasing dituliskan:
DDKRt = D(PDKRt, Rt, Wt, PBBMt, Yt, DDKRt-1) .…………..…………………(26)
SXKRt = S(PXKRt, PDKRt, USGDBt, SXKRt-1) .………………….……………… (27)
Harga dalam negeri karet (PDKRt) dipengaruhi oleh harga ekspor karet,
penawaran ekspor karet, penawaran karet, dan harga karet dalam negeri satu tahun
sebelumnya. Kondisi keseimbangan pasar karet (Gambar 25) dan fungsi harga karet
dituliskan:
SKRt = DDKRt + SXKRt ..…………………………………..…………………. (28)
PDKRt = P(PXKRt, SXKRt, SKRt, PDKRt-1) ……………………………………… (29)
P
75
PKR
QKR
QXKR
PXKR
PDKR0
DDKR
QDKR QDKR0 QXKR
QKR
QXKR
Gambar 25. Keseimbangan Pasar Karet
3.5.2.4. Tingkat Deforestasi untuk Areal Padi
Tingkat deforestasi hutan alam untuk areal padi (DFPDt) dihipotesiskan
dipengaruhi secara positif oleh harga gabah kering giling (PGKGt) dan harga pembelian
pemerintah (PHPPt), serta negatif oleh suku bunga (Rt), upah (Wt), harga BBM (PBBMt)
dan luas areal padi satu tahun sebelumnya (ATPDt-1). Dihipotesiskan juga bahwa harga
kayu hutan alam (PKHAt) mempengaruhi secara negatif DFPDt (karena adanya
persaingan penggunaan lahan hutan), harga kayu HTI (PKHTIt) mempengaruhi secara
positif (karena adanya kebijakan program HTI-Trans), dan jumlah penduduk (POPt)
juga mempengaruhi secara positif. Fungsi DFPDt dituliskan:
DFPDt = DF(PGKGt, PHPPt, Rt, Wt, PBBMt, PKHAt, PKHTIt, POPt, ATPDt-1) ..…… (30)
Penawaran gabah kering giling (SGKGt) dipengaruhi secara positif oleh
harganya (PGKGt) 28 , dan negatif oleh suku bunga (Rt), upah (Wt) dan harga BBM
(PBBMt), serta secara positif oleh produktivitas padi (qPDt), luas areal (ATPDt) dan
28
Karena petani menjual berdasarkan harga gabah kering giling yang berlaku di pasar.
76
penawaran padi satu tahun sebelumnya (SGKGt-1). Fungsi penawaran gabah kering
giling dituliskan:
SGKGt = S(PGKGt, Rt, Wt, PBBMt, qPDt, ATPDt, SGKGt-1)
.…………………… (31)
Permintaan gabah kering giling (DGKGt) dipengaruhi negatif oleh harga
pembelian pemerintah (PHPPt) 29 , suku bunga (Rt), upah (Wt) dan harga BBM (PBBMt),
dan secara positif oleh harga dalam negeri beras (PDBRt) dan PDB (Yt) serta
permintaan gabah kering giling satu tahun sebelumnya (DGKGt-1).
Fungsi DGKGt
dituliskan:
DGKGt = D(PHPPt, Rt, Wt, PBBMt, PDBRt, Yt, DGKGt-1) ....…………………… (32)
Jika tidak terdapat intervensi pemerintah melalui instrumen kebijakan harga
pembelian pemerintah (HPP), harga gabah kering giling ditentukan oleh
keseimbangan pasar. Dengan intervensi harga, pemerintah mengharapkan harga
penjualan petani (PGKGt) sama dengan harga pembelian pemerintah (PHPPt). oleh
karenanya harga gabah kering giling dipengaruhi oleh harga pembelian pemerintah,
penawaran gabah kering giling, dan harga gabah kering giling satu tahun sebelumnya.
Kondisi keseimbangan pasar gabah kering giling (Gambar 26), dan fungsi harga
gabah kering giling berturut-turut dituliskan:
SGKGt = DGKGt ...……………………………………………………………. (33)
PGKGt = P(PHPPt , SGKGt, PGKGt-1) ……………………………………..……. (34)
P
3.5.2.5. Total Tingkat Deforestasi untuk Areal HTI, Sawit, Karet dan Padi
Total tingkat deforestasi hutan alam untuk areal HTI, sawit, karet dan padi
dituliskan:
TDFt = DFHTIt + DFSWt + DFKRt + DFPDt ………………………..………… (35)
29
Karena pembelian gabah kering giling merujuk pada harga pembelian pemerintah (HPPt).
77
PGKG
SGKG
PHPP
PGKG0
DGKG
QGKG0
QHPP
QGKG
Gambar 26. Keseimbangan Pasar dan Intervensi Harga Gabah Kering Giling
3.5.3. Blok Degradasi Hutan
Degradasi hutan alam didefinisikan sebagai hutan alam yang mengalami
degradasi sehingga dari sisi finansial hutan alam (yakni HPH) tidak layak diusahakan,
dari sisi tata air menimbulkan erosi tinggi, dan dari sisi efek gas rumah kaca
(greenhouse effect), menyebabkan penyerapan karbon dioksida banyak berkurang.
Dalam penelitian ini, terjadinya degradasi hutan ditunjukkan oleh pergeseran kurva
DLHP ke kiri (Gambar 22). Dengan kata lain penurunan areal HPH (tanda negatif)
menunjukkan peningkatan degradasi hutan dan sebaliknya peningkatan areal HPH
(tanda positif) menunjukkan penurunan degradasi hutan.
Mengacu teori permintaan input lahan, tingkat degradasi hutan areal HPH
(DGHPHt) dipengaruhi secara positif oleh harga ekspor kayu lapis (PXKLt), dan negatif
oleh harga kayu hutan alam (PKHAt) 30 , suku bunga (Rt), upah (Wt), harga BBM
(PBBMt) dan luas areal HPH satu tahun sebelumnya (AHPHt-1). Tingkat degradasi hutan
areal HPH dihipotesiskan juga dipengaruhi secara negatif oleh penawaran (produksi)
30
Asumsi permintaan lahan hutan alam oleh industri kayu lapis terintegrasi.
78
kayu ilegal (QILLt), harga ekspor minyak sawit (PXMSWt) dan kebijakan pencabutan
izin HPH (GPHPHt).
Fungsi DGHPHt dituliskan:
DGHPHt = DG (PXKLt, PKHAt, Rt, Wt, PBBMt, QILLt, PXMSWt,
GPHPHt, AHPHt-1) ……………………………………………. (36)
Penawaran kayu ilegal (SILLt) dipengaruhi secara positif oleh PKHAt dan
penawaran kayu ilegal satu tahun sebelumnya (SILLt-1), dan negatif oleh Rt, Wt, PBBMt
dan pungutan dana reboisasi (DRt). Penawaran kayu ilegal juga dihipotesiskan
dipengaruhi secara positif oleh produktivitas hutan alam (qHAt), dan secara negatif
oleh penegakan hukum (GPKUMt) (jika tidak terjadi kolusi antara aparat penegak
hukum dengan pelaku illegal logging) atau secara positif (jika terjadi kolusi antara
aparat penegak hukum dengan pelaku illegal logging).
Fungsi penawaran kayu ilegal dituliskan:
SKILLt = S(PKHAt, Rt, Wt, PBBMt, DRt, qHAt, GPKUMt, SKILLt-1) ..…………… (37)
Penawaran kayu hutan alam (legal) (SKHAt) dipengaruhi secara positif oleh
PKHAt dan penawaran kayu hutan alam satu tahun sebelumnya (SKHAt-1), dan negatif
P
oleh Rt, Wt, PBBMt dan Provisi Sumberdaya Alam (PSDHt). Penawaran kayu hutan
alam dihipotesiskan juga dipengaruhi secara positif oleh produktivitas hutan alam
(qHAt) dan luas areal HPH (AHPHt). Fungsi penawaran kayu hutan alam dituliskan:
SKHAt = S(PKHAt, Rt, Wt, PBBMt, PSDHt, qHAt, AHPHt, SKHAt-1) ……………. (38)
Permintaan kayu bulat hutan alam diasumsikan hanya oleh industri kayu
gergajian dan kayu lapis. Industri kayu lapis berorientasi pada pasar ekspor dan
menyerap 55 % dari total produksi kayu hutan alam. Industri kayu gergajian
berorientasi pasar dalam negeri, karena dilarang diekspor dan menyerap 45%. Industri
kayu olahan, yang berorientasi ekspor menggunakan bahan baku kayu gergajian.
79
Kayu bulat hutan alam dilarang untuk diekspor dan ekspor hanya dimungkinkan
untuk kepentingan bantuan sosial kepada negara lain, yang biasanya dalam jumlah
yang kecil, sehingga dalam penelitian ini ekspor kayu bulat diasumsikan eksogen.
Permintaan kayu hutan alam oleh industri kayu gergajian (DKHAKGt)
dipengaruhi secara negatif oleh PKHAt, Rt, Wt, PBBMt, dan secara positif oleh harga
kayu HTI (PKHTIt) 31 , harga dalam negeri kayu gergajian (PDKGt) dan PDB (Yt), serta
permintaan kayu bulat oleh industri kayu gergajian satu tahun sebelumnya
(DKHAKGt-1). Fungsi DKHAKGt dituliskan:
DKHAKGt = D(PKHAt, PKHTIt, Rt, Wt, PBBMt, PDKGt, Yt, DKHAKGt-1)……..…… (39)
Permintaan kayu hutan alam oleh industri kayu lapis (DKHAKLt) dipengaruhi
secara negatif oleh PKHAt, Rt, Wt, PBBMt, dan secara positif oleh harga kayu HTI
(PKHTIt). Permintaan kayu hutan alam oleh industri kayu lapis juga dihipotesiskan
dipengaruhi secara positif oleh harga ekspor kayu lapis (PXKLt) dan PDB (Yt), serta
permintaan kayu bulat oleh industri kayu lapis satu tahun sebelumnya (DKHAKLt-1).
Fungsi DKHAKLt dituliskan:
DKHAKLt = D(PKHAt, PKHTIt, Rt, Wt, PBBMt, PXKLt, Yt, DKHAKLt-1) ..…….……. (40)
Harga kayu hutan alam (PKHAt) dipengaruhi oleh harga ekspor kayu lapis,
penawaran kayu legal dan ilegal, dan harga kayu hutan alam satu tahun sebelumnya.
Kondisi keseimbangan pasar kayu hutan alam (Gambar 27) dan fungsi harga kayu
hutan alam dituliskan:
SKHAt + SKILLt = DKHAKGt + DKHAKLt + SXKBt ..………………..…….….…... (41)
PKHAt = P(PXKLt, SKILLt, SKHAt, PKHAt) ……………………………………… (42)
P
31
Untuk menguji hipotesis apakah antara kayu hutan alam dan kayu HTI terjadi peran susbstitusi.
80
PKHA
SKHA
SKHA + ILL
PKHA0
PKHA+ILL0
DKHAKL + KHAKG
QKHA0
QKHA+ILL0
QKHA
Gambar 27. Keseimbangan Pasar Kayu Hutan Alam
IV. METODE PENELITIAN
4.1.
Jenis dan Sumber Data
Data yang dikumpulkan merupakan data deret waktu periode 1980-2008.
Jenis dan sumber data digolongkan ke dalam tiga blok, yaitu: (1) blok
makroekonomi, (2) blok deforestasi, dan (3) blok degradasi hutan. Tabel 3
menyajikan jenis dan sumber data blok makroekonomi, Tabel 4 dan Tabel 5, jenis
dan sumber data blok deforestasi, dan Tabel 6, jenis dan sumber data blok degradasi
hutan. Data disajikan pada Lampiran 1.
Tabel 3. Jenis dan Sumber Data Blok Makroekonomi
No.
Jenis Data
1 Yt = Produk domestik bruto (PDB) (Rp miliar)
2 Ct = Konsumsi (Rp miliar)
3 It = Investasi (Rp miliar)
4 Gt = Pengeluaran pemerintah (Rp miliar)
5 Tt = Penerimaan pajak (Rp miliat)
6 Xt = Nilai ekspor (Rp miliar )
7 Mt = Nilai impor (Rp miliar)
8 NXt = Ekspor bersih (Rp miliar)
9
10
11
12
13
14
15
MSt = Penawaran uang (Rp miliar)
rt = Suku bunga (%)
et = Nilai tukar (Rp/USD)
Rt = rt - πt (%)
πt = Inflasi (%); diperoleh dari data IHKt
IHKt = Indek Harga Konsumen (tahun 2000 =100)
πEt = Ekspektasi inflasi; diperoleh dari πt
16 DEFt = GDP Deflator (tahun 2000 = 100)
17
18
19
20
21
US
UIPt = Rt - R t
RUSt = rUSt - πUSt
rUSt = US Federal Fund Rate (%)
πUSt (%) diperoleh dari USCPIt
USCPIt = IHK Amerika Serikat (tahun 2000 = 100)
22 USGDPt = PDB Amerika Serikat (USD miliar)
P
Sumber Data
BI
BI
BI
BI
BPS
BI
BI
Hasil Olahan
BI
BI
BI
Hasil Oahan
Hasil Olahan
BPS
Hasil Olahan
BI dan BPS
Hasil Olahan
Hasil Olahan
BEA-USGOV
Hasil Olahan
BEA-USGOV
IFS
22 oil t = Harga minyak mentah dunia (USD/barrel)
23 LDt = Permintaan tenaga kerja (juta orang)
24 LSt = Penawaran tenaga kerja (juta orang)
IEA
BPS
BPS
25 ULt = Jumlah pengangguran (juta orang)
BPS
26 Wt = Upah tenaga kerja (Rp/bulan)
BPS
Keterangan:
BI= Bank Indonesia; BPS=Badan Pusat Statistik; BEA-USGOV=Bureau of Economic
Analysis US Government; IFS=International Financial Statistics; IEA=International Egergy
Agency.
82
Tabel 4. Jenis dan Sumber Data Blok Deforestasi-Areal HTI, Sawit dan Karet
No.
Jenis Data
Deforestasi untuk Areal HTI
1 DFHTIt = Tingkat Deforestasi untuk Areal HTI (ribu ha)
DFHTIt = AHTIt – AHTIt-1
2 AHTIt = Luas areal HTI (ribu ha)
3 Produksi kayu HTI (ribu m3)
4 qHTIt = Produktivitas HTI (m3/ha)
qHTIt = (AHTIt/Umur Tebang)/ Produksi Kayu HTI
5 SKHTIt = Penawaran Kayu HTI (ribu m3)
6 DKHTIt = Permintaan Kayu HTI (ribu m3)
7 PKHTIt = Harga kayu HTI (Rp/m3)
P
XPULP
8 P
t = Harga ekspor pulp (Rp/m3)
9 PBBMt = Harga BBM (Rp/liter)
Deforestasi untuk Areal Sawit
10 DFSWt=Tingkat Deforestasi untuk Areal Sawit (ribu ha)
DFSWt = ATSWt – ATSWt-1
11 ATSWt = Luas areal sawit (ribu ha)
12 qSWt = Produktivitas tanaman sawit (ton/ha)
qSWt = ATSWt/Produksi Buah Sawit (ribu ton)
13 Produksi buah sawit (ribu ton)
14 SBSWt = Penawaran buah sawit (ribu ton)
15 DBSWt = Permintaan buah sawit (ribu ton)
16 PBSWt = Harga buah sawit (Rp/kg)
17 PDMSWt = Harga dalam negeri minyak sawit (Rp/ton)
18 PXMSWt = Harga ekspor minyak sawit (Rp/ton)
Deforestasi untuk Areal Karet
19 DFKRt=Tingkat Deforestasi untuk Areal Karet (ribu ha)
DFKRt = ATKRt – ATKRt-1
20 ATKRt = Luas areal karet (ribu ha)
21 qKRt =Produktivitas karet (ton/ha)
qKRt = ATKRt/ Produksi karet
22 Produksi karet (ribu ton)
23 DDKRt = Permintaan karet dalam negeri (ribu ton)
DDKRt = Produksi karet minus Ekspor karet
24 SXKRt = Ekspor karet (ribu ton)
25 PDKRt = Harga dalam negeri karet (Rp/ton)
26 PXKRt = Harga ekspor karet (Rp/ton)
P
P
P
P
P
P
P
Sumber Data
Hasil Olahan
KEMENHUT
KEMENHUT
Hasil Olahan
Hasil Olahan
Hasil Olahan
INHUTANI II,
Widyantoro (2005)
FAOSTAT
BPS
Hasil Olahan
KEMENTAN
Hasil Olahan
KEMENTAN
Hasil Olahan
Hasil Olahan
KEMENTAN
KEMENTAN
KEMENTAN
Hasil Olahan
KEMENTAN
Hasil Olahan
KEMENTAN
Hasil Olahan
KEMENTAN
KEMENTAN
KEMENTAN
83
Tabel 5. Jenis dan Sumber Data Blok Deforestasi-Areal Padi
No.
Jenis Data
Sumber Data
1 DFPDt=Tingkat Deforestasi untuk Areal Padi (ribu ha)
Hasil Olahan
DFPDt = ATPDt – ATPDt-1
2 ATPDt = Luas areal padi (ribu ha)
BPS/KEMENTAN
3 qPDt =Produktivitas padi (ton/ha)
Hasil Olahan
PD
TPDt
q t = A / Produksi Gabah Kering Giling (GKG)
4 Produksi GKG (ribu ton)
BPS
GKG
5 S t = Penawaran GKG dalam negeri (ribu ton)
Hasil Olahan
6 DGKGt = Permintaan GKG (ribu ton)
Hasil Olahan
7 PGKGt = Harga GKG (Rp/kg)
BPS
HPP
8 P t = Harga pembelian pemerintah (Rp/kg)
BPS
9 PDBRt = Harga dalam negeri beras (Rp/kg)
BPS
10 POPt = Jumlah penduduk (juta jiwa)
BPS
P
P
P
Tabel 6. Jenis dan Sumber Data Blok Degradasi Hutan
No.
Jenis Data
HPH
1 DG t= Degradasi Hutan Areal HPH (ribu ha)
DGHPHt = AHPHt – AHPHt-1
2 AHPHt = Luas areal HPH (ribu ha)
3 qHAt =Produktivitas Areal HPH (m3/ha)
qHAt = (AHPHt/Siklus Tebang)/ Produksi KHA
4 Produksi KHA (ribu m3)
5 SKILLt = Penawaran kayu “ilegal” (ribu m3)
SKILLt = Produksi aktual minus produksi ofisial
6 Produksi ofisial (ribu m3)
7 Produksi aktual (ribu m3)
8 SKHAt = Penawaran KHA (ribu m3)
9 DKHAKGt = Permintaan KHA oleh IKG (ribu m3)
DKHAKGt = (1/0.50)*Produksi kayu gergajian
10 Produksi kayu gergajian (ribu m3)
11 DKHAKLt = Permintaan KHA oleh IKL (ribu m3)
DKHAKLt = (1/0.45)*Produksi kayu lapis
12 Produksi kayu lapis (ribu m3)
13 Ekspor KHA (ribu m3)
14 PKHAt = Harga kayu hutan alam (Rp/m3)
P
15 PDKGt = Harga dalam negeri kayu gergajian (Rp/m3)
P
16 PXKLt = Harga ekspor kayu lapis (Rp/m3)
P
Sumber Data
Hasil Olahan
KEMENHUT
KEMENHUT
Hasil Olahan
KEMENHUT
Hasil Olahan
KEMENHUT
Hasil Olahan
Hasil Olahan
Hasil Olahan
KEMENHUT
Hasil Olahan
KEMENHUT
KEMENHUT
KEMENHUT/
ITTO
KEMENHUT/
ITTO
KEMENHUT/
ITTO
KEMENHUT
KEMENHUT
17 DRt = Dana Reboisasi (Rp/m3)
18 PSDHt = Provisi Sumberdaya Hutan (Rp/m3)
Keterangan:
HPH = Hak Pengusahaan Hutan; KHA = Kayu Hutan Alam; IKG = Industri Kayu
Gergajian; IKL = Industri Kayu Lapis
84
4.2.
Spesifikasi Model
Model dibagi ke dalam tiga blok, yaitu: (1) blok makroekonomi, (2) blok
deforestasi, dan (3) blok degradasi hutan. Hubungan antara blok makroekonomi
dengan blok deforestasi dan degradasi hutan melalui saluran transmisi suku bunga.
Perubahan keseimbangan suku bunga di blok makroekonomi akan mempengaruhi
deforestasi dan degradasi hutan. Sedangkan antara blok deforestasi dengan blok
degradasi hutan melalui saluran harga komoditas. Harga kayu hutan alam
merupakan saluran transmisi pengaruh perubahan keseimbangan pasar kayu hutan
alam di blok degradasi hutan terhadap deforestasi, sedangkan harga komoditas yang
dihasilkan lahan deforestasi merupakan saluran transmisi pengaruh perubahan
keseimbangan pasar komoditas di blok deforestasi terhadap degradasi hutan.
I. Blok Makroekonomi
Ct = a0 + a1(YDt) + a2Rt +
1t .......................................................................
Tt = b0 + b1Yt + b2Rt + b3Tt-1 +
2t
Gt = c0 + c1Tt + c2oilPt + c3Gt-1 +
(1)
..............................................................(2)
......................................................... (3)
3t
It = d0 + d1Rt-2 + d2Yt + d3KRISISt + d4It-1 +
4t
.......................................... (4)
NXt = e0 + e1(et*IHKt/USCPIt) + e2Yt + e3oilPt + c4NXt-1 +
5t
.................... (5)
rt = f0 + f1MSt-1 + f2(IHKt - IHKt-1) + f3πEt + f4KRISISt
+ f5FERt + f6rt-1 +
6t
.......................................................................... (6)
IHKt = g0 + g1Yt-1 + g2IHKt-1+
7t
.............................................................. (7)
et = h0 + h1UIPt + h2NXt-1 + hg3 MSt + h4KRISISt + h5et-1 +
LDt = i0 + i1Wt-1 + i2Yt + i3LDt-1 +
9t
8t
................. (8)
....................................................... (9)
Yt = Ct + It + Gt + NXt ................................................................................ (10)
Rt = rt - πt .................................................................................................... (11)
UIPt = Rt - RUSt .......................................................................................... (12)
85
ULt = LSt – LDt .......................................................................................... (13)
II. Blok Deforestasi
A. Deforestasi untuk Areal HTI
DFHTIt = j0 + j1PXPULPt-2 + j2PKHTJt + j3(Rt-Rt-2) + j4Wt + j5PBBMt + j6PXKRt
P
P
P
+ j7PXMSWt + j8PXKLt + j9GPHTJt + j10AHTIt-1 +
P
P
10t
P
...................(14)
SKHTIt = k0 + k1PKHTIt + k2Rt + k3qHTIt + k4AHTIt + i5SKHTIt-1 +
11t
P
....... (15)
DKHTIt = l0 + l1PLHTIt + l2Rt + l3Wt + l4(PPULPt - PPULPt -1)
P
+ l5(Yt-Yt-1) + l6DKHTIt-1 +
12t
................................................ (16)
SKHTIt = DKHTIt ........................................................................................... (17)
PKHTIt = m0 + m1(PXPULPt-PXPULPt-1) + m2PKHAt + m3SKHTIt-1
P
P
+ m4PKHTIt-1 +
P
13t
...................................................................... (18)
B. Deforestasi untuk Areal Sawit
DFSWt = n0 + n1PXMSWt-2 + n2PBSWt + n3Rt-3 + n4Wt + n5PKHTIt-1 + n6PKHAt-1
P
+ n7ATSWt-1 +
P
14t
P
P
...................................................................... (19)
SBSWt = o0 + o1PBSWt + o2Rt + o3qBSWt + o4ATSWt + o5SBSWt-1 +
P
15t
..... (20)
DBSWt = p0 + p1PBSWt + p2Rt + p3Wt + p4PDMSWt + p5Yt
P
+ p6DBSWt-1 +
P
16t
.......................................................................(21)
SBSWt = DBSWt ............................................................................................ (22)
PBSWt = q0 + q1PXMSWt + q2DBSWt + q3PBSWt-1 +
P
P
P
17t
................................. (23)
C. Deforestasi untuk Areal Karet
DFKRt = r0 + r1PDKRt + r2Rt + r3PKHAt + r4PXMSWt + r5PXKRt
P
+ r6ATKRt-1 +
P
18t
P
P
......................................................................... (24)
SKRt = s0 + s1PDKRt + s2Rt + s3qKRt + s4ATKRt + s5SKRt-1 +
P
DDKRt = t0 + t1PDKRt + t2Rt-1 + t3Wt-1 + t4(Yt – Yt-1)
P
19t
................ (25)
86
+ t6DDKRt-1 +
20t
........................................................................ (26)
SXKRt = u0 + u1PXKRt-1 + u2PDKRt-2 + u3USGDPt-1 + u4SXKRt-1 +
P
21t
P
SKRt = DDKRt + SXKRt
.......... (27)
.............................................................................. (28)
PDKRt = v0 + v1(PXKRt-PXKRt-1) + v2SXKRt + v3SKRt + v4PtDKRt-1 +
22t
P
...... (29)
D. Deforestasi untuk Areal Padi
DFPDt = w0 + w1PGKGt + w2PHPPt + w3Rt + w4PBBMt + w5PKHAt
P
P
P
+ w6PKHTIt + w7POPt + w8ATPDt-1 +
23t
P
P
.................................... (30)
SGKGt = x0 + x1PGKGt + x2Rt + x3PBBMt + x4qPDt + x5SPDt-1 +
P
P
24t
............. (31)
DGKGt = y0 + y1PHPPt-1 + y2Rt + y3PBBMt + y4PDBRt + y5Yt
P
P
+ y6DGKGt-1 +
25t
P
....................................................................... (32)
SGKGt = DGKGt............................................................................................... (33)
PGKGt = z0 + z1(PHPPt - PHPPt-1) +z2SGKGt + z3PGKGt-1 +
P
26t
P
................. (34)
E. Total Deforestasi untuk Areal HTI, Sawit, Karet dan Padi
TDFt = DFHTIt + DFSWt + DFKRt + DFPDt .................................................... (35)
III. Blok Degradasi Hutan
DGHPHt = aa0 + aa1PXKLt + aa2PKHAt + aa3Rt + aa4SKILLt-2 + aa5PXMSWt-1
P
P
P
+ aa6PXKRt-1 + aa7GPHPHt + aa8AHPHt-1 +
P
27t
.......................... (36)
SKILLt = bb0 + bb1PKHAt + bb2Rt + bb3PBBMt + bb4DRt + bb5qHAt
P
P
+ bb6GPKUMt + bb7SILLt-1 +
28t
.................................................. (37)
SKHAt = cc0 + cc1PKHAt-1 + cc2Rt-1 + cc3PSDHt + cc4qHAt
P
+ cc5AHPHt + cc6SKHAt-1 +
29t
.................................................... (38)
DKHAKGt = dd0 + dd1PKHAt + dd2PKHTIt + dd3Rt + dd4Wt + dd5Yt
P
+ dd6DKHAKGt-1 +
P
30t
................................................................. (39)
DKHAKLt = ee0 + ee1PKHAt + ee2PKHTIt + ee3Rt-1 + ee4Wt + ee5PXKLt
P
+ ee6(Yt-Yt-1)+ ee6DKHAKLt-1 +
P
31t
P
........................................................... (40)
87
SKHAt + SKILLt = DKHAKGt + DKHAKLt + SXKHAt .......................................... (41)
PKHAt = ff0 + ff1PXKLt + ff2(SKILLt+SKHAt) + ff3PKHAt-1 +
P
P
P
32t
................ (42)
di mana
ε = error terms
a0, b0, c0, .... , ff0 = intercept
ai, bi, ci, ......., ffi = parameter dugaan; i =1, 2, 3, ...., 32
KRISISt adalah peubah dummy krisis ekonomi: 0=tahun-tahun tidak terjadi
krisis ekonomi dan 1=tahun-tahun terjadi krisis ekonomi.
FERt adalah peubah dummy regim nilai tukar: 0=tahun-tahun dengan sistem
nilai tukar tetap (fixed exhange rate) dan 1 = tahun-tahun dengan sistem
nilai tukar mengambang (floating exchange rate).
GPHTIt adalah peubah dummy kebijakan percepatan pembangunan HTI:
0=tahun-tahun kebijakan yang diberlakukan dan 1=tahun-tahun kebijakan
tidak diberlakukan.
GPHPHt adalah peubah dummy kebijakan pencabutan izin HPH: 0=tahuntahun
kebijakan
diberlakukan
dan
1=tahun-tahun
kebijakan
tidak
diberlakukan.
GPKUMt adalah peubah dummy kebijakan pemberantasan illegal logging:
0=tahun-tahun kebijakan diberlakukan dan 1=tahun-tahun kebijakan tidak
diberlakukan.
Notasi peubah telah dijelaskan dalam Subbab 4.1, dan tanda parameter
dugaan yang diharapkan telah dijelaskan dalam Subbab 3.5. Tetapi untuk
memudahkan dalam pengolahan data dengan software SAS dan Eviews,
notasi peubah yang disajikan dalam spesifikasi model dimodifikasi dengan
tetap menggunakan sebagian notasinya (periksa Lampiran 9).
88
4.3.
Identifikasi Model
Dua syarat yang harus dipenuhi agar model dapat diidentifikasi, yaitu: order
condition dan rank condition (Koutsoyiannis, 1977). Order condition diketahui
menggunakan rumus: K - M ≥ G - 1. Notasi K adalah total variabel dalam model
(endogen dan predetermined). Notasi M adalah total variabel (endogen dan
eksogen) dalam sebuah persamaan yang diidentifikasi. Notasi G adalah total
persamaan atau variabel endogen. Suatu persamaan dalam model dikatakan exactly
identified bila K - M = G - 1. Bila K - M > G - 1, maka persamaan yang
bersangkutan adalah overidentified. Bila K - M < G - 1, maka persamaan
bersangkutan adalah unidentified. Setiap persamaan dalam model tidak boleh
unidentified.
Total variabel dalam model yang dibangun (K) adalah 104 (37 variabel
endogen, dan 67 predetermined variables yang terdiri dari: 25 variabel lagged
endogenous dan 42 variabel eksogen), sedangkan jumlah persamaan atau variabel
endogen (G) adalah 37 (32 struktural, dan 5 identitas). Ini berarti bahwa seluruh
persamaan dalam model adalah overidentified, karena K (104) – M (yang terbanyak
10) > G – 1 (31). Sedangkan rank condition dipenuhi jika dan hanya jika suatu
persamaan dalam sistem persamaan G dapat disusun sekurang-kurangnya satu nonzero determinant order (G-1) dari koefisien peubah yang keluar dari persamaan
bersangkutan dan masuk ke dalam persamaan lain dalam model (Koutsoyiannis,
1977).
4.4.
Pendugaan dan Pengujian Model
Hasil identifikasi model menunjukkan model adalah overidentified, sehingga
pendugaan parameter model yang tepat adalah menggunakan metode 2SLS (twostage least squares). Pengaruh bersama-sama dari peubah penjelas dari setiap
89
persamaan dalam model diuji menggunakan uji F, dan pengaruh individual peubah
penjelasnya diuji menggunakan uji t. Untuk memastikan model terbebas dari
korelasi serial diuji menggunakan Durbin-Watson Statistics dan Durbin-h.
Model diduga menggunakan software SAS versi 9, dan koreksi korelasi
serial error menggunakan software EViews versi 6. Tahap pendugaannya dilakukan
dengan cara: (1) melakukan pendugaan menggunakan software SAS dan (2)
apabila ditemukan serial serial error yang relatif tinggi, yang diketahui dari nilai
Durbin Watson atau Durbin-h, kemudian diduga kembali menggunakan software
EViews dengan memasukan peubah AR(1) (autoregressive). Hasil pendugaannya
kemudian digunakan untuk simulasi setelah model divalidasi. Model divalidasi
menggunakan software SAS, metode Newton, dan prosedur SYSNLIN (system
nonlinear procedure).
4.5.
Validasi Model
Pindyck dan Rubinfeld (1991) menyatakan bahwa dalam model simulasi
multi-equation, model secara utuh akan memiliki struktur dinamis yang lebih kaya
dibanding individu persamaan. Miskipun seluruh individu persamaan telah fit
dengan data dan secara statistik signifikan, dalam model secara utuh, ketika
disimulasikan, belum tentu mampu menelusur kembali data dengan baik. Agar
model secara utuh mampu menelusur kembali data dengan baik, persamaanpersamaan dengan taraf nyata yang tinggi harus diseimbangkan dengan persamaanpersamaan dengan taraf nyata yang lebih rendah.
Validasi model bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh model (secara
utuh) mampu menelusur kembali data dengan baik sehingga model menjadi valid
digunakan untuk simulasi historis atau peramalan (forecasting). Menurut Pindyck
dan Rubinfeld (1991) beberapa kriteria dapat dipakai untuk evaluasi, yaitu: (1)
90
hasil uji statistik terhadap individu persamaan, dan (2) kesesuaian individu peubah
dalam konteks simulasi. Kriteria pertama telah disajikan sebelumnya, sedangkan
kriteria kedua membutuhkan indikator untuk menyimpulkan bahwa model telah
valid untuk simulasi.
Dua indikator yang umum dipakai untuk evaluasi adalah RMSPE (Root
Mean Square Percent Error), dan
Theil’s Inequality Coefficient (koefisien
ketidaksamaan Theils), dituliskan U. Kriteria RMSPE mengukur seberapa jauh
nilai-nilai variabel endogen hasil pendugaan menyimpang secara relatif dari nilainilai aktual (%). Sedangkan kriteria U mengukur penyimpangan nilai-nilai dugaan
yang bermanfaat untuk mengetahui kemampuan model dalam analisis simulasi
peramalan. Kriteria RMSPE dan U berturut-turut dirumuskan sebagai berikut
(Pindyck and Rubinfeld, 1991):
T
RMSPE = [ (1/T ∑ ((Ys-Ya)/Ya)2]0.5
t=1
di mana
Ys = nilai simulasi Yt
Ya = nilai aktual
T = periode tahun observasi dalam simulasi
T
[ (1/T ∑ ((Ys-Ya)2]0.5
t=1
U = -----------------------------------------------------T
T
[ (1/T ∑ ((Ys)2]0.5 + [ (1/T ∑ ((Ys)2]0.5
t=1
t=1
91
Nilai RMSPE dan U yang rendah menunjukkan hasil pendugaan model yang
baik. Nilai U berkisar antara nol dan satu. Tetapi jika model memiliki U=0, maka
model adalah naif. Nilai U dapat diurai ke dalam komponen, yaitu: UM, US dan
UC, yang dirumuskan sebagai berikut (Pindyck and Rubinfeld, 1991):
(Ys - Ya)2
U = ---------------------------(1/T) ∑ (Yts-Yta)2
M
(σs - σa)2
U = ---------------------------(1/T) ∑ (Yts-Yta)2
S
2(1-ρ)σs σa
UC = ---------------------------(1/T) ∑ (Yts-Yta)2
_
_
s
a
ρ = (1/(σs σa T)) ∑ (Yt -Yt ) (Yt -Yta)
s
UM + US + UC =1
di mana
UM= Proporsi bias menunjukkan kesalahan sistematik selama UM mengukur
penyimpangan nilai rata-rata simulasi dan aktual; berapapun nilai U,
nilai UM diharapkan mendekati nol, dan nilai UM yang besar (diatas 0.1
atau 0.2) akan menimbulkan masalah karena ada bias sistematik, dan
revisi model diperlukan.
US= Proporsi variance menunjukkan kemampuan model mengulangi derajat
variabilitas variabel yang menjadi perhatian; jika US besar berarti nilai
aktual memiliki fluktuasi besar sementara nilai simulasi menunjukkan
fluktuasi kecil atau sebaliknya; karena hal ini merupakan masalah,
maka model perlu direvisi.
92
UC= Proporsi covariance mengukur kesalahan tidak sistematik, yaitu
kesalahan sisa setelah deviasi nilai rata-rata dipertimbangkan; karena
tidak rasional mengharapkan prediksi berkorelasi sempurna dengan
nilai aktual, maka kesalahan ini tidak perlu dikuatirkan.
Untuk nilai U > 0, maka ketidaksamaan distribusi yang ideal atas ketiga
sumber penyimpangan adalah: UM = US = 0, UC = 1.
4. 6.
Simulasi Model
Sesuai tujuan penelitian, simulasi model dilakukan untuk menganalisis
dampak kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal terhadap deforestasi dan
degradasi hutan. Kebijakan makroekonomi yang disimulasikan adalah: (1)
kebijakan moneter, yaitu penawaran uang (MSt), dan (2) kebijakan fiskal, yaitu
pengeluaran pemerintah (Gt). Faktor eksternal yang disimulasikan adalah: (1) harga
minyak mentah dunia (oilPt), dan (2) suku bunga rujukan Amerika Serikat (RUSt).
Perubahan penawaran uang yang disimulasikan adalah pertumbuhan rataan
per tahun sebesar 23.12%, dan pengeluaran pemerintah adalah pertumbuhan rataan
per tahun sebesar 17.96%. Sedangkan perubahan harga minyak yang disimulasikan
adalah laju kenaikan harganya rataan per tahun sebesar 7.1% dan rataan lompatan
kenaikan harganya sebesar 200% (tahun 1970-an: 233.3%; USD 3.0 ke USD 10 per
barel; 1980-an: 166.7%; USD 15 ke USD 40 per barel, dan tahun 2000-an: 200%;
USD 30 ke USD 90 per barel). Perubahan suku bunga rujukan Amerika Serikat
yang disimulaisikan adalah perubahan sebesar 1% (ditetapkan), dan perubahan
rataan per tahun sebesar 5%.
V. EVALUASI MODEL
BAB V membahas hasil pendugaan, pengujian dan validasi model.
Pembahasan dibedakan untuk masing-masing blok, yang terdiri dari: (1) blok
makroekonomi, (2) blok deforestasi, dan (3) blok degradasi hutan.
5.1.
Pendugaan dan Pengujian Model
5.1.1. Blok Makroekonomi
Blok makroekonomi memiliki sembilan persamaan perilaku. Empat
persamaan yang pertama adalah: (1) konsumsi rumah tangga (Ct), (2) penerimaan
pajak (Tt), (3) pengeluaran pemerintah (Gt), dan (4) investasi swasta (Tt). Sedangkan
lima persamaan yang terakhir adalah: (5) ekspor bersih (NXt), (6) suku bunga
nominal (rt), (7) tingkat harga umum (Indeks Harga Konsumen), (8) nilai tukar
nominal (et), dan (9) permintaan tenaga kerja (LDt). Hasil pendugaan dan pengujian
parameternya disajikan pada Tabel 7 dan Tabel 8.
Dari kedua tabel tersebut diketahui bahwa seluruh parameter dugaan memiliki
tanda sesuai dengan yang dihipotesiskan (Subbab 3.5). Nilai F-stat dan AdjR2 relatif
tinggi, dan nilai DW tidak terlalu jauh dari 2.0 atau Durbin h tidak melebihi 1.96
(Tabel z: Standardized Normal Distribution). Nilai DW yang terlalu jauh dari 2.0
atau Durbin-h yang > 1.96 mengindikasikan adanya error serial correlation, dan jika
tidak dikoreksi akan menghasilkan parameter dugaan yang tidak efisien (Pindyck dan
Rubinfeld, 1991).
Sebagian besar parameter dugaan memiliki nilai t-stat di atas 2.0 atau nyata
pada taraf 1- 5%. Pada Tabel 7 terlihat dari 16 parameter dugaan termasuk intercept
dan peubah lag endogen, sebanyak 7 parameter memiliki t-stat di atas 2.0. Sedangkan
94
pada Tabel 8 terlihat dari 25 parameter dugaan termasuk intercept dan peubah lag
endogen, sebanyak 10 parameter memiliki t-stat di atas 2.0, dan 7 parameter dengan tstat antara 1.5-2.0, serta 3 parameter dengan t-stat antara 1.3-1.5. Sisanya memiliki tstat di bawah 1.3.
Tabel 7.
Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Makroekonomi
Persamaan Konsumsi Rumah Tangga, Penerimaan Pajak, Pengeluaran
Pemerintah dan Investasi Swasta
Blok Makroekonomi
Hasil Pengujian
Parm
Hasil Dugaan
t-stat
F-stat
AdjR2
DW
D-h
Rho
Ct
a0
-56417.51
-0.92
374.98
0.978
1.78
NA
0.53
a1
0.75
14.40
a2
-1421.59
-1.02
Tt
478.96
0.987
2.03 1.11
0.79
b0
-58992.19
-2.53
b1
0.15
5.21
b2
-156.84
-0.63
b3
0.04
0.22
Gt
139.97
0.957
1.88
NA
0.38
c0
10143.62
0.99
c1
0.42
3.59
c2
127.51
2.09
c3
0.27
1.12
It
12.72
0.701
1.89
NA
0.62
d0
74462.03
0.62
d1
-1654.39
-0.69
d2
0.22
2.16
d3
-183634.0
-2.64
d4
0.04
0.17
Keterangan:
Parm=parameter; peubah endogen dan penjelas telah diterangkan pada Subbab 4.1
dan 4.2.
95
Tabel 8. Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Makroekonomi
Persamaan Ekspor Bersih, Suku Bunga Nominal, Tingkat Harga Umum,
Nilai Tukar Nominal dan Permintaan Tenaga Kerja
Blok Makroekonomi
Hasil Pengujian
Parm Hasil Dugaan
t-stat
F-stat
AdjR2
DW
D-h
Rho
NXt
e0
170114.6
2.72
5.65
0.482
2.04
NA
-0.13
e1
13.57
3.53
e2
-0.18
-3.12
e3
-311.65
-1.38
e4
0.07
0.25
rt
9.90
0.714
1.70 1.22
0.22
f0
12.01
2.59
f1
-1.67E-05
-1.32
f2
1.36
6.81
f3
0.21
1.88
f4
10.89
1.97
f5
-11.67
-1.80
f6
0.11
0.74
IHKt
639.73
0.987
2.01 -0.03
-0.23
g0
-10.81
-1.99
g1
1.82E-05
2.30
g2
0.96
15.93
et
46.35
0.916
1.98 0.11
0.06
h0
274.61
0.34
h1
-84.17
-1.33
h2
-0.01
-1.57
h3
0.001
0.53
h4
1732.82
1.64
h5
0.92
5.54
LDt
334.26
0.982
2.03 -0.08
-0.43
i0
9.57
2.97
i1
-4.01E-07
-0.29
i2
3.66E-06
1.93
i3
0.85
12.74
Keterangan:
Parm=parameter; peubah endogen dan penjelas telah diterangkan pada Subbab 4.1 dan
4.2.
5.1.2. Blok Deforestasi
Blok deforestasi memiliki 17 persamaan perilaku. Tiga persamaan yang
pertama adalah: (1) tingkat deforestasi untuk areal HTI (DFHTIt), (2) penawaran
kayu HTI (SKHTIt), dan (3) permintaan kayu HTI (DKHTIt). Tiga persamaan yang
96
kedua adalah: (4) tingkat deforestasi untuk areal sawit (DFSWt), (5) penawaran buah
sawit (SBSWt), dan (6) permintaan buah sawit (DBSWt). Sedangkan empat persamaan
yang ketiga adalah: (7) tingkat deforestasi untuk areal karet (DFKRt), (8) penawaran
karet (SKRt), (9) permintaan karet dalam negeri (DDKRt), dan (10) penawaran ekspor
karet (SXKRt). Tiga persamaan yang terakhir adalah: (11) tingkat deforestasi untuk
areal padi (DFPDt), (12) penawaran gabah kering giling (SGKGt), dan (13) permintaan
gabah kering giling (DGKGt). Sedangkan empat persamaan yang terakhir adalah: (14)
harga kayu HTI, (15) harga buah sawit, (16) harga karet dalam negeri, dan (17)
harga gabah kering giling.
Hasil pendugaan dan pengujian parameter disajikan pada Tabel 9, Tabel 10,
Tabel 11, dan Tabel 12.
Dari
keempat tabel tersebut diketahui: (1) seluruh
parameter dugaan memiliki tanda sesuai dengan yang dihipotesiskan (Subbab 3.5),
(2) sebagian besar persamaan memiliki nilai F-stat (5.30 – 9014.82) dan AdjR2
(0.589 – 0.998) yang relatif tinggi kecuali persamaan harga karet, (3) sebagian besar
parameter dugaan nyata pada taraf 1-10%, dan (4) sebagian besar mengindikasikan
terbebas dari error serial correlation (nilai DW mendekati 2.0 atau Durbin h di
bawah 1.96).
Dari keempat tabel tersebut juga diketahui persamaan dengan F-stat dan AdjR2
yang relatif rendah adalah persamaan harga karet dalam negeri dan tingkat deforestasi
untuk areal karet (DFKRt) dan untuk areal padi (DFPDt). Persamaan DFKRt memiliki Fstat sebesar 2.35, AdjR2 sebesar 0.274, dan DW sebesar 2.08. Parameter dugaan
persamaan DFPDt memiliki t-stat di atas 2.0 (o2 dan o6) dan antara 1.5 – 2.0 ( o3 dan
o5). Sedangkan persamaan DFPDt memiliki nilai F-stat sebesar 2.18 dan AdjR2 sebesar
0.298. Persamaan DFPDt memiliki nilai DW relatif lebih tinggi (2.30), yang
mengindikasikan parameter dugaannya relatif kurang efisien di banding DFKRt. Empat
97
parameter dugaan persamaan DFPDt memiliki t-stat di atas 2.0 (s1, s5, s6, s7) dan 1.92
(s3).
Tabel 9. Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Deforestasi Persamaan
Deforestasi untuk Areal HTI
Blok Deforestasi
Hasil Pengujian
Parm Hasil Dugaan
t-stat
F-stat
AdjR2
DW
D-h
Rho
HTI
DF t
6.44
0.705
2.25
NA
-0.50
j0
6016.618
2.62
j1
0.000108
1.67
j2
-5.292850
-1.81
j3
-20.05732
-1.73
j4
-0.004082
-3.07
j5
-0.778556
-3.76
j6
0.000131
5.36
j7
-0.000199
-1.71
j8
-0.000330
-3.63
j9
1237.097
3.68
j10
-0.532633
-2.32
SKHTIt
117.62
0.966
2.06 -0.17
-0.12
k0
-6381.58
-2.73
k1
12.87
2.74
k2
-71.09
-1.19
k3
3093.36
5.23
k4
0.84
2.65
k5
0.54
5.63
KHTI
D
48.53
0.930
1.89 0.39
0.06
t
l0
3607.39
1.67
l1
-2.35
-0.62
l2
-274.69
-2.71
l3
-0.004
-1.55
l4
0.0005
1.61
l5
0.026
2.61
l6
0.82
6.49
PKHTIt
122.79
0.961
2.09
-0.28 0.15
m0
18.83
0.32
m1
7.96E-06
1.74
m2
-1.28E-05
-0.35
m3
-0.0008
-0.51
m4
0.94
9.40
Keterangan:
Parm=parameter; peubah endogen dan penjelas telah diterangkan pada Subbab 4.1 dan
4.2
P
98
Tabel 10. Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Deforestasi
Persamaan Deforestasi untuk Areal Sawit
Blok Deforestasi
Hasil Pengujian
Parm Hasil Dugaan
t-stat
F-stat
AdjR2
DW
D-h
Rho
DFSWt
5.30
0.589
2.21
NA
-0.76
n0
609.79
1.37
n1
0.0001
2.83
n2
-0.64
-1.14
n3
-16.22
-2.19
n4
-0.0002
-1.29
n5
-1.47
-2.15
n6
0.001
6.05
n7
-0.22
-3.13
SBSWt
902.90
0.995
2.03 -0.09
0.44
o0
-439
-8.50
o1
0.05
0.009
o2
-4.37
-0.08
o3
4507.69
9.13
o4
9.77
13.40
o5
0.03
0.43
DBSWt
121.86
0.971
2.12
NA
-0.21
p0
-2240.86
-0.20
p1
-23.34
-1.87
p2
-290.57
-1.44
p3
-0.01
-1.57
p4
1.37
0.51
p5
0.02
1.77
p6
0.66
2.75
BSW
P t
8.39
0.542
1.92
NA
-0.06
q0
81.58
1.32
q1
4.08E-05
3.15
q2
0.002
2.58
q3
0.12
0.42
Keterangan:
Parm=parameter; peubah endogen dan penjelas telah diterangkan pada Subbab 4.1
dan 4.2.
P
99
Tabel 11. Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Deforestasi
Persamaan Deforestasi untuk Areal Karet
Blok Deforestasi
Hasil Pengujian
Par
Hasil Dugaan
t-stat
F-stat
AdjR2
DW
D-h
Rho
m
DFKRt
2.35
0.274
2.08
NA
-0.16
r0
606.93
3.47
r1
0.001
0.10
r2
-8.23
-2.49
r3
-9.18E-05
-1.64
r4
-1.15E-05
-0.58
r5
6.06E-06
1.74
r6
-0.16
-2.90
SKRt
9014.82
0.998
2.11
-0.30
0.46
s0
-1304.82 -15.72
s1
0.003
1.39
s2
-0.77
-1.96
s3
3139.82
32.42
s4
0.38
14.83
s5
0.07
2.52
DDKRt
10.72
0.660
2.00 -0.002
-0.28
t0
106.61
1.66
t1
-0.01
-1.04
t2
-5.83
-2.05
t3
0.0004
1.57
t4
0.85
5.71
XKR
S t
132.57
0.963
1.57
NA
0.87
u0
2.39
0.005
u1
1.29E-05
4.20
u2
-0.02
-1.48
u3
0.04
2.57
u4
0.08
0.42
PDKRt
v0
4283.56
1.24
1.11
0.022
1.99
NA
-0.01
v1
7.43E-05
1.39
v2
3.67
0.72
v3
-2.37
-0.59
v4
0.20
0.33
Keterangan:
Parm=parameter; peubah endogen dan penjelas telah diterangkan pada Subbab 4.1
dan 4.2.
P
100
Tabel 12. Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Deforestasi
Persamaan Deforestasi untuk Areal Padi
Blok Deforestasi
Hasil Pengujian
Parm Hasil Dugaan
t-stat
F-stat
AdjR2
DW
D-h
Rho
DFPDt
2.18
0.298
2.30
NA
-0.50
w0
-8932.42
-2.91
w1
0.35
2.23
w2
0.50
1.02
w3
-29.89
-1.92
w4
-0.17
-0.96
w5
-0.0009
-2.50
w6
3.95
2.37
w7
48.56
2.66
w8
-0.18
-1.11
SGKGt
76.92
0.948
2.25 -0.71
-0.24
x0
-14874.88
-1.64
x1
0.51
0.69
x2
-60.47
-0.92
x3
-0.30
-0.40
x4
4012.33
1.81
x5
0.95
16.35
DGKGt
73.79
0.953
1.98
NA
0.41
y0
27606.61
2.21
y1
-0.65
-0.26
y2
-49.54
-0.98
y3
-2.14
-1.94
y4
0.10
0.80
y5
0.01
2.47
y6
0.17
0.47
GKG
P t
8.28
0.538
1.74
NA
0.38
z0
2081.03
0.57
z1
0.18
0.45
z2
-0.03
-0.56
z3
0.39
0.37
Keterangan:
Parm=parameter; peubah endogen dan penjelas telah diterangkan pada Subbab 4.1
dan 4.2.
P
5.1.3. Blok Degradasi Hutan
Blok degradasi hutan memiliki lima persamaan perilaku. Tiga persamaan
yang pertama adalah: (1) tingkat degradasi hutan areal HPH (DGHPHt), (2) penawaran
kayu ilegal (SKILLt), dan (3) penawaran kayu kayu hutan alam (SKHAt). Sedangkan dua
persamaan yang terakhir adalah: (4) permintaan kayu hutan alam oleh industri kayu
101
gergajian (DKHAKGt), dan (5) permintaan kayu hutan alam oleh industri kayu lapis
(DKHAKLt). Hasil pendugaan dan pengujian parameternya disajikan pada Tabel 13.
Dari Tabel 13 diketahui seluruh parameter dugaan memiliki tanda sesuai
dengan yang dihipotesiskan (Subbab 3.5). Kecuali persamaan DGHPHt, nilai F-stat
dan Adj R2 relatif tinggi. Nilai F-stat adalah 8.91 – 80.54, nilai Adj R2, 0.717 –
0.962, dan nilai DW, 1.71 – 2.60. Persamaan dengan nilai DW 2.60 adalah persamaan
DKHAKLt, yang mengindikasikan parameter dugaannya relatif kurang efisien,
sedangkan persamaan dengan nilai DW yang mendekati 2.0 adalah persamaan
DKHAKGt ((2.08). Persamaan DGHPHt meskipun memiliki nilai F-stat (3.48) dan Adj R2
(0.443) relatif rendah, memiliki nilai DW mendekati 2.0.
Dari Tabel 13 diketahui sebagian besar parameter dugaan nyata pada taraf 110%, yang ditunjukkan oleh nilai t-stat di atas 2.0 dan antara 1.5 - 2.0. Sebagai
contoh pada Tabel 13 terlihat persamaan DGHPHt memiliki lima parameter dugaan
dengan nilai t-stat di atas 2.0, yaitu: v1, v2, v3, v4, dan v5, sedangkan persamaan SKILLt
memiliki satu parameter dugaan dengan t-stat di atas 2.53, yaitu w5, dan tiga
parameter dugaan dengan t-stat 1.50 – 1.70, yaitu w2, w3, dan w4. Persamaan SKHAt
memiliki empat parameter dugaan dengan t-stat di atas 2.0, yaitu: x2, x3, x4 dan x5,
sedangkan persamaan DKHAKGt memiliki satu parameter dugaan dengan t-stat sebesar
1.54 (y2) dan 2.14 (y3). Persamaan DKHAKLt memiliki empat parameter dugaan
dengan t-stat di atas 2.0, yaitu: z1, z2, z4 dan z6, serta satu parameter dugaan dengan tstat sebesar 1.68, yaitu z5.
102
Tabel
13. Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Degradasi Hutan
Persamaan Degradasi Hutan Areal HPH
Blok Degradasi Hutan
Parm Hasil Dugaan
DGHPHt
aa0
15298.41
aa1
0.004
aa2
-0.01
aa3
-540.09
aa4
-0.43
aa5
-0.002
aa6
-0.0002
aa7
-1108.18
aa8
-0.14
SKILLt
bb0
3297.06
bb1
0.0008
bb2
-131.76
bb3
-2.98
bb4
-0.02
bb5
435.84
bb6
419.67
bb7
0.40
KHA
S t
cc0
-10537.70
cc1
0.003
cc2
-209.71
cc3
-0.49
cc4
765.91
cc5
0.37
cc6
0.28
DKHAKGt
dd0
-2237.48
dd1
-0.002
dd2
16.07
dd3
-208.46
dd4
-0.0009
dd5
0.001
dd6
0.74
KHAKL
D
t
ee0
897.31
ee1
-0.003
ee2
5.52
ee3
-33.40
ee4
-0.004
ee5
0.0006
ee6
0.01
ee7
0.96
t-stat
Hasil Pengujian
F-stat
AdjR2
DW
3.23
0.445
2.03
D-h
NA
Rho
0.03
1.91
3.62
-2.11
-3.44
-2.10
-1.56
-0.98
-0.52
-1.03
8.91
0.717
1.71
NA
0.23
59.77
0.943
1.77
NA
0.34
41.63
0.907
2.02
-0.30
NA
80.54
0.962
2.60
-1.71
-0.50
0.67
0.35
-1.55
-1.65
-1.70
2.53
0.16
1.68
-1.37
0.90
-2.28
-3.29
3.91
2.69
1.42
-0.33
-0.66
1.54
-2.14
-0.20
0.29
3.99
0.51
-2.66
2.07
-0.65
-2.63
1.68
3.26
13.62
103
Tabel 13. Lanjutan
PKHAt
309719.4
0.13
-15.46
0.55
37.63
0.854
1.94
0.28
ff0
1.54
ff1
4.00
ff2
-3.03
ff3
3.62
Keterangan:
Peubah endogen dan penjelas telah diterangkan pada Subbab 4.1 dan 4.2
P
5.2.
0.08
Validasi Model
Untuk validasi model, pembahasan dilakukan terhadap seluruh blok, yang
terdiri dari: (1) blok makroekonmi, (2) blok deforestasi, dan (3) blok degradasi hutan.
Berdasarkan hasil pengujian model, yang disajikan sebelumnya terlihat bahwa secara
individu masing-masing persamaan umumnya memiliki nilai F, t dan R2 yang relatif
tinggi. Tetapi bagaimana masing-masing persamaan dan peubah-peubah di dalamnya
berinteraksi satu sama lain sehingga model secara utuh mampu menelusur kembali
data, masih perlu diuji. Respesifikasi persamaan harus dilakukan jika belum
memenuhi indikator yang diperlukan. Hasil yang disajikan telah merupakan hasil
respesifikasi. Sedangkan indikator yang digunakan, sebagaimana telah dijelaskan
(Subbab 4.5), terdiri dari: (1) nilai RMSPE, dan (2) koefisien ketidaksamaan Theil.
Nilai RMSPE masing-masing persamaan atau peubah endogen disajikan pada
Tabel 14. Dari Tabel 14 diketahui bahwa dalam blok makroekonomi, terdapat lima
peubah yang memiliki nilai RMSPE yang tinggi, yaitu: (1) peubah suku bunga riel
(R),
(2) paritas suku bunga (UIP),
dan (3) peubah ekspor bersih (NX). Nilai
ketiganya secara berurutan adalah 1464.20%, 3619.60%, dan 205.40%. Sedangkan
dalam blok deforestasi, terdapat lima peubah yang memiliki nilai RMSPE yang juga
tinggi, yaitu: (1) DFSW, (2) DFKR, (3) DDKR, (4) DFPD, dan (5) total deforestasi (TDF).
Nilai
kelimanya
secara
berurutan
adalah
2383.40%,
250.80%,
188.00%,
104
1495803.00%, dan 3224.70%. Dalam blok degradasi hutan terdapat satu peubah
dengan nilai RMSPE yang relatif tinggi, yaitu DKHAKG sebesar 274.30%.
Tabel 14. Nilai Root Mean Square Percent Error Simulasi Model Ekonomi
Deforestasi dan Degradasi Hutan
I.
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Blok Makroekonomi
Peubah Endogen
r
R
UIP
e
T
G
I
NX
C
Y
IHK
LD
UL
II.
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Blok Deforestasi
DFHTI
SKHTI
DKHTI
PKHTI
DFSW
SBSW
DBSW
PBSW
DFKR
SKR
DDKR
SXKR
PDKR
DFPD
SGKG
DGKG
PGKG
TDF
III.
32
33
34
Blok Degradasi Hutan
DGHPH
SKILL
SKHA
P
P
P
P
Root Mean Square Percent Error
50.26
1464.20
3619.60
33.08
14.75
13.83
29.43
205.40
6.47
5.55
9.13
2.22
77.15
NA
NA
NA
19.94
2383.40
31.73
31.73
15.89
250.80
15.10
188.00
13.95
17.36
1495803.00
4.57
4.57
23.72
3224.70
NA
27.40
58.71
105
Tabel 14. Lanjutan
III
35
36
37
Blok Degradasi Hutan
DKHAKG
DKHAKL
PKHA
P
274.30
23.21
13.65
Nilai RMSPE yang tinggi menyarankan pentingnya perlu kehati-hatian dalam
penggunaan peubah-peubah tersebut. Sebagai pertimbangan, dari rumus RMSPE
diketahui bahwa nilai RMSPE yang tinggi menunjukkan adanya penyimpangan nilai
simulasi dari nilai aktualnya yang tinggi. Model yang berisi persamaan atau peubah
endogen dengan nilai RMSPE yang rendah mampu menelusur kembali data dengan
lebih baik dibanding yang memiliki nilai RMSPE yang lebih tinggi.
Melalui rumus RMSPE (Pindyck dan Rubinfeld, 1991):
T
RMSPE = [ (1/T ∑ ((Ys-Ya)/Ya)2]0.5
t=1
di mana
Ys = nilai simulasi tahun t
Ya = nilai aktual tahun t
T = jumlah observasi
diketahui bahwa selisih nilai Ys dan Ya tidak mungkin, tidak dapat diakarkan karena
untuk nilai hasil pengurangan yang negatif telah distandarkan menjadi nilai positif
melalui kuadrat. Namun dari Tabel 14 diketahui bahwa nilai RMSPE untuk tiga
peubah endogen dalam blok deforestasi, yaitu: (1) tingkat deforestasi untuk areal HTI
(DFHTI), (2) penawaran kayu HTI (SKHTI), dan (3) permintaan kayu HTI (DKHTI), dan
satu peubah dalam blok degradasi yakni tingkat degradasi hutan alam areal HPH
(DGHPH) tidak muncul dalam hasil pengolahan (menggunakan SAS versi 9.0) atau
hanya berupa titik.
106
Menurut catatan pada hasil pengolahan disebutkan bahwa percent error
statistics untuk peubah-peubah tersebut ditetapkan sebagai missing values karena nilai
aktualnya sangat kecil atau mendekati nol untuk menghitung percent error pada satu
atau lebih observasi. Dalam kasus HTI hal tersebut dapat dipahami karena data luas
areal HTI tersedia mulai tahun 1989 dan data produksi tersedia enam tahun kemudian
yakni mulai tahun 1995. Sedangkan dalam kasus DGHPH karena konsisten dengan
teori permintaan input lahan, data degradasi hutan menggunakan data tingkat
perubahan areal HPH yang cenderung menurun, sehingga pada tahun tertentu dapat
menghasilkan nilai yang terlalu kecil.
Dijelaskan sebelumnya bahwa dalam model simulasi multi-equation, model
secara utuh akan memiliki struktur dinamis yang lebih kaya dibanding individu
persamaan. Miskipun seluruh individu persamaan telah fit dengan data dan secara
statistik signifikan, dalam model secara utuh, ketika disimulasikan, belum tentu
mampu menelusur kembali data dengan baik (Pindyck dan Rubinfeld, 1991).
Indikator lain yang perlu dipertimbangkan adalah koefisien ketidaksamaan Theil (U).
Menurut Pindyck dan Rubinfeld (1991), nilai koefisien ketidaksamaan Theil harus
mendekati nol.
Dari rumus U diketahui bahwa nilai U akan besar jika nilai simulasi terlalu
menyimpang dari nilai aktual. Nilai simulasi akan menyimpang jauh dari nilai aktual
jika peubah yang bersangkutan kurang mampu menelusur kembali dirinya sendiri
given faktor-faktor yang mempengaruhi. Namun syarat U mendekati nol tidak berlaku
jika proporsi biasnya (UM) di atas 0.1 atau 0.2. Nilai UM mengukur deviasi antara
rataan nilai simulasi dan nilai aktual. Nilai UM di atas 0.1 atau 0.2 mengindikasikan
terdapat bias sistematik, sehingga revisi model perlu dilakukan.
107
Nilai koefisien ketidaksamaan Theil hasil simulasi model disajikan pada
Tabel 15. Dari Tabel 15 diketahui bahwa peubah dalam blok makroekonomi, blok
deforestasi, dan blok degradasi hutan seluruhnya memiliki nilai UM yang relatif
rendah atau mendekatai nol. Selain nilai UM perlu juga mempertimbangkan nilai US.
Nilai US adalah nilai yang mengukur kemampuan model mengulangi derajat
variabilitas variabel aktual. Dari Tabel 15 juga diketahui bahwa nilai US dalam blok
makroekonomi, blok deforestasi, dan blok degradasi hutan juga sebagian besar
tergolong rendah. Dengan demikian, model secara utuh dapat digunakan untuk
simulasi kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal.
Tabel 15.
I.
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
lI.
14
15
16
17
18
19
20
Proporsi Dekomposisi Mean Square Error Simulasi Model Ekonomi
Deforestasi dan Degradasi Hutan
Blok Makroekonomi
Peubah
r
R
UIP
e
T
G
I
NX
C
Y
IHK
LD
UL
Blok Deforestasi
DFHTI
SKHTI
DKHTI
PKHTI
DFSW
SBSW
DBSW
P
Proporsi Dekomposisi Mean Square Error
UM
US
UC
U
0
0
0
0
0
0
0
0.39
0.63
0.73
0.01
0.04
0.07
0
0.61
0.37
0.27
0.99
0.95
0.93
1
0.3142
0.5101
0.5384
0.0933
0.0941
0.0542
0.0548
0.01
0.01
0.98
0.1425
0
0
0.01
0
0
0.25
0.12
0
0
0.01
0.75
0.87
0.99
1
0.99
0.372
0.0302
0.0243
0.0352
0.0102
0
0
0
0.01
0
0.01
0.01
0.07
0.03
0.03
0.58
0
0
0
0.93
0.97
0.97
0.41
1
0.99
0.99
0.4058
0.1508
0.1508
0.0741
0.3852
0.0792
0.0792
108
Table 15. Lanjutan
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
III.
32
33
34
35
36
37
PBSW
DFKR
SKR
DDKR
SXKR
PDKR
DFPD
SGKG
DGKG
PGKG
TDF
P
P
P
Blok Degradasi Hutan
DGHPH
SKILL
SKHA
DKHAKG
DKHAKL
PKHA
P
Proporsi Dekomposisi Mean Square Error
0
0.16
0.84
0.0733
0
0.13
0.87
0.5088
0
0.06
0.94
0.0683
0.09
0.04
0.87
0.3265
0.06
0.09
0.86
0.0563
0.02
0.26
0.72
0.0847
0
0.03
0.97
0.5908
0.02
0.02
0.96
0.0213
0.02
0.02
0.96
0.0213
0
0.22
0.78
0.111
0
0.22
0.78
0.3554
0
0
0
0
0.09
0.02
0.17
0
0.02
0.15
0.39
0.2
0.83
1
0.98
0.85
0.52
0.78
0.6136
0.1102
0.0918
0.2595
0.1057
0.086
VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI
DAN FAKTOR EKSTERNAL
6.1.
Dampak Kebijakan Makroekonomi
Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu
penawaran uang, dan kebijakan fiskal, yaitu pengeluaran pemerintah. Dampak
penawaran uang dan pengeluaran pemerintah disajikan pada Gambar 28. Gambar
28 menunjukkan peningkatan penawaran uang akan menurunkan suku bunga,
sebaliknya peningkatan pengeluaran pemerintah meningkatkan melalui produk
domestik bruto dan tingkat harga umum (indeks harga). Perubahan suku bunga
selanjutnya mempengaruhi perekonomian, deforestasi dan degradasi hutan. Hasil
simulasi dampaknya disajikan untuk masing-masing blok, yang terdiri dari: (1)
blok makroekonomi, (2) blok deforestasi, dan (3) blok degradasi hutan.
(-)
Penawaran
Uang
(+)
Suku Bunga
Nominal
Indeks
Harga
(+)
(+)
(-)
Penerimaan
Pajak
(-)
Suku Bunga
Riel
Rp/USD
(+)
(+)
(-)
Pengeluaran
Pemerintah
Investasi
(+)
(+)
(+)
(-)
Konsumsi
Ekspor Bersih
(-)
(+)
(+)
(+)
Produk
Domestik Bruto
(+)
Gambar 28. Diagram Dampak Kebijakan Makroekonomi terhadap Perekonomian
110
6.1.1. Blok Makroekonomi
Hasil simulasi skenario dampak perubahan kebijakan makroekonomi
disajikan pada Tabel 16. Dari Tabel 16 diketahui bahwa secara empiris model
memprediksi kenaikan penawaran uang (MS) sebesar 23.12% menurunkan suku
bunga nominal (r) sebesar 10.47% 32 , suku bunga riil (R) 53.637%, dan paritas suku
bunga (UIP=R-RUS), 251.76%. Model memprediksi penurunan R menyebabkan
nilai tukar (e) meningkat (terdepresiasi) sebesar 20.30%.
Simulasi model menunjukkan bahwa hasil akhir peningkatan penawaran
uang sebesar 23.12% adalah meningkatkan penerimaan pajak (T), pengeluaran
pemerintah (G) dan investasi (I) berturut-turut sebesar 3.57%, 2.63% dan 2.63%,
serta ekspor bersih (NX) 33 , konsumsi ( C) dan produk domestik bruto (PDB)
berturut-turut 45.16%, 0.28% dan 2.29%. Peningkatan PDB sebesar 2.29%
menyebabkan permintaan tenaga kerja meningkat 0.51%, indeks harga meningkat
0,61%, dan jumlah pengangguran menurun 8.16%.
Sebaliknya sesuai teori peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar
17.56% menaikkan suku bunga nominal (r ) sebesar 3.03%, suku bunga riel (R)
15.53%, dan paritas suku bunga (UIP), 72.92%. Peningkatan R menyebabkan nilai
tukar Rupiah (e) menurun (terapresiasi) sebesar 0.60%. Hasil akhir peningkatan
pengeluaran pemerintah 17.56% adalah meningkatkan T dan I berturut-turut
sebesar 2.01% dan 1.0%, dan sebaliknya menurunkan NX dan C berturut-turut
sebesar 10.89% dan 0.08%. Nilai PDB meningkat 1.39%, yang menyebabkan
permintaan tenaga kerja meningkat 0.36%, indeks harga meningkat 0.37%, dan
jumlah pengangguran menurun 5.74%.
32
Jika output riel tetap, ekspansi moneter jangka pendek menurunkan suku bunga dan nilai tukar overshoot depresiasi jangka
panjangnya, sebaliknya jika output riel merespon permintaan agregat, perubahan suku bunga dan nilai tukar akan tertekan
(Dornbusch,1976). Namun depresiasi mata uang tidak selalu menyebabkan ekspansi output (Amato et al, 2005).
33
Penurunan suku bunga mendepresiasi nilai tukar. Baek et al (2006) menunjukkan tidak terdapat bukti yang kuat berlakunya
teori kurva J dari perdagangan produk pertanian Amerika Serikat dengan Jepang, Kanada dan Meksiko tapi terdapat bukti
yang kuat dari perdagangan produk nonpertanian dengan negara maju (Jepang dan Kanada) dan dari perdagangan dengan
negara berkembang (Meksiko). Rey (2006) menunjukkan hasil yang berbeda mengenai pengaruh volatilitas nilai tukar
terhadap ekspor: empat negara (Algeria, Egypt, Tunisia, and Turkey) berhubungan negatif dan dua negara (Israel and
Morocco) berhubungan positif. Mckenzie (1998) menyatakan dampak volatilitas nilai tukar berbeda antar sektor barang yang
diperdagangkan. Kasus ekspor hasil hutan Amerika Serikat menunjukkan kebijakan mata uang yang stabil dalam jangka
panjang mempromosikan ekspor hasil hutan meskipun dalam jangka pendek beberapa hasil hutan memperoleh manfaat dari
volatilitas nilai tukar jangka pendek (Sun dan Zhang, 2003). Klein dan Shambaugh (2006) menunjukkan pengaruh signifikan
nilai tukar tetap dalam perdagangan bilateral antara a base country dan a pegging country. Dengan kata lain, bukti empiris
menunjukkan nilai tukar mempengaruhi ekspor, yang berarti juga ekspor bersih. Penelitian ini menunjukkan ekspor bersih
juga dipengaruhi oleh PDB dan harga minyak mentah.
111
Tabel 16. Skenario Dampak Perubahan Kebijakan Makroekonomi
Perekonomian
Skenario Dampak Perubahan
Kebijakan Makroekonomi
Blok Makroekonomi
No.
terhadap
Peubah Endogen
1 Suku Bunga Nominal (%)
2 Suku Bunga Riil ( %)
3 Paritas Suku Bunga ( %)
4 Nilai Tukar (Rp/USD)
5 Penerimaan Pajak (Rp miliar)
6 Pengeluaran Pemerintah (Rp miliar)
7 Investasi Swasta (Rp miliar)
8 Ekspor Bersih (Rp miliar)
9 Konsumsi Rumah Tangga (Rp miliar)
10 PDB ( Rp miliar)
11 Indeks Harga Konsumen
12 Permintaan Tenaga Kerja ( juta jiwa)
13 Jumlah Pengangguran (juta jiwa)
Keterangan:
Nilai Dasar
MS
G
Naik
23.12%
Naik
17.96%
14.0
2.7
0.6
6720.1
129024.0
98336.6
330995.0
31354.4
740155.0
1200841.0
75.2
82.3
5.2
(%)
-10.47
-53.63
-251.76
20.30
3.57
2.63
2.63
45.16
0.28
2.29
0.61
0.51
-8.16
(%)
3.03
15.53
72.92
-0.60
2.01
17.96
1.00
-10.89
-0.08
1.39
0.37
0.36
-5.74
MS = Penawaran Uang ; G = Pengeluaran Pemerintah ; PDB = Produk Domestik Bruto
6.1.2. Blok Deforestasi
Dampak
peningkatan
penawaran
uang
(23.12%)
dan
pengeluaran
pemerintah (17.96%) mempengaruhi deforestasi untuk areal HTI, sawit, karet dan
padi. Pengaruh keduanya dapat melalui saluran suku bunga dan saluran nilai tukar.
Saluran suku bunga dapat mempengaruhi secara langsung sebagai harga input
kapital, sedangkan pengaruh nilai tukar secara tidak langsung melalui pengaruhnya
terhadap harga input dan output tradable. Dalam penelitian ini, pengaruh nilai
tukar dianalisis hanya dalam kaitannya dengan suku bunga 34 dan peubah
makroekonomi yang lain.
34
Menurut Frankel (1986), penurunan penawaran uang nominal adalah penurunan penawaran uang riel jangka pendek, yang
menyebabkan kenaikan suku bunga riel sehingga menurunkan harga riel komoditas, dan hasil penelitian Reziti (2005)
menunjukan variabilitas harga produk pertanian berkaitan dengan fluktuasi produk domestik bruto (PDB) riel. Penelitian ini
menganalisis pengaruh langsung perubahan suku bunga riel terhadap penawaran dan permintaan komoditas serta pengaruh
112
Dari pembahasan sebelumnya diketahui bahwa peningkatan penawaran
uang sebesar 23.12% menurunkan suku bunga riel sebesar 53.63%. Sedangkan
peningkatan pengeluaran pemerintah 17.96% meningkatkan suku bunga riel sebesar
15.53%. Bagaimana dampaknya terhadap tingkat deforestasi untuk areal HTI,
sawit, karet dan padi disajikan pada Tabel 17. Dari Tabel 17 diketahui bahwa
secara keseluruhan dampak penurunan suku bunga menyebabkan total deforestasi
(untuk areal HTI, sawit, karet dan padi) meningkat sebesar 9.08%, terutama untuk
areal karet (35.70%) dan padi (35.54%), sedangkan untuk areal HTI dan sawit
menurun.
Tingkat deforestasi untuk areal HTI dan sawit berturut-turut menurun sebesar 0.03
% dan 1.83%. Dari model diketahui bahwa penurunan tingkat deforestasi untuk areal HTI
dan sawit menunjukkan pengaruh penurunan suku bunga lebih lemah dibanding pengaruh
kenaikan harga input kayu HTI untuk kasus areal HTI, dan harga buah sawit untuk kasus
areal sawit. Dalam model, kayu HTI diperlakukan sebagai input produksi pulp, dan buah
sawit sebagai input produksi minyak sawit. Penurunan suku bunga menyebabkan harga
kayu HTI dan sawit meningkat berturut-turut sebesar 0.17% dan 1.39%. Karena pengaruh
penurunan suku bunga terhadap deforestasi areal HTI dan sawit lebih lemah dibanding
pengaruh kenaikan harga input kayu HTI dan sawit, sebagai konsekuensinya tingkat
deforestasi keduanya menurun.
Sebaliknya dari Tabel 17 diketahui bahwa kenaikan suku bunga (15.53%)
sebagai dampak peningkatan pengeluaran pemerintah (17.96%) menurunkan secara
keseluruhan tingkat deforestasi untuk areal HTI, sawit, karet dan padi sebesar
3.27%. Tingkat deforestasi untuk areal HTI yang menurun menunjukkan pengaruh
kenaikan suku bunga lebih kuat dibanding pengaruh penurunan harga kayu HTI
(0.06). Tingkat deforestasi untuk areal sawit yang menurun menunjukkan
langsung PDB riel terhadap permintaan, di samping menganalisis pengaruh langsung suku bunga terhadap tingkat
deforestasi. Pengaruh suku bunga terhadap harga komoditas bergantung pada respon permintaan dan penawaran, sedangkan
pengaruh PDB cenderung secara positif terhadap harga komoditas.
113
penurunannya lebih disebabkan oleh kenaikan suku bunga, dan harga buah sawit
yang meningkat (0.33%). Sedangkan penurunan tingkat deforestasi untuk areal
karet lebih disebabkan oleh pengaruh kenaikan suku bunga, karena harganya
meningkat (0.34%). Tingkat deforestasi padi lebih disebabkan oleh kenaikan suku
bunga dan penurunan harganya (0.40%).
Tabel 17. Skenario Dampak Perubahan Kebijakan Makroekonomi terhadap
Deforestasi
Blok Deforestasi
No.
Peubah Endogen
Skenario Dampak Perubahan
Kebijakan Makroekonomi
MS
G
Nilai Dasar
Naik
Naik
23.1%
18.0%
A Deforestasi untuk Areal HTI
(%)
(%)
1 Tingkat Deforestasi (ribu ha)
291.3
-0.03
-0.17
2
Penawaran Kayu HTI (ribu m3)
3972.5
5.79
-1.64
3
Permintaan Kayu HTI (ribu m3)
3972.5
5.79
-1.64
4 Harga Kayu HTI (Rp ribu /m3)
345.4
0.17
-0.06
B Deforestasi untuk Areal Sawit
1 Tingkat Deforestasi (ribu ha)
257.3
-1.83
-0.04
2 Penawaran Buah Sawit (ribu ton)
29153.6
8.16
1.95
3 Permintaan Buah Sawit (ribu ton)
29153.6
8.16
1.95
4 Harga Buah Sawit (Rp/kg)
330.3
1.39
0.33
C Deforestasi untuk Areal Karet
1 Tingkat Deforestasi (ribu ha)
38.6
35.70
-10.29
2 Penawaran Karet (ribu ton)
1606.3
3.11
-0.67
3 Permintaan Karet DN (ribu ton)
205.1
23.60
-5.07
4 Penawaran Ekspor Karet (ribu ton)
1401.2
0.11
-0.03
5 Harga Karet Dalam Negeri (Rp/kg)
7098.9
-1.58
0.34
D Deforestasi untuk Areal Padi
1 Tingkat Deforestasi (ribu ha)
167.4
35.54
-12.01
2 Penawaran GKG (ribu ton)
48295.8
0.96
0.42
3 Permintaan GKG (ribu ton)
48295.8
0.96
0.42
4 Harga GKG (Rp/kg)
1339.3
-0.91
-0.40
E Total Deforestasi (ribu ha)
754.6
9.08
-3.27
Keterangan:
MS = Penawaran Uang ; G = Pengeluaran Pemerintah ; DN = Dalam Negeri; GKG
= Gabah Kering Giling
114
6.1.3. Blok Degradasi Hutan
Degradasi hutan alam areal HPH disebabkan oleh prasyarat dan prinsip
pengelolaan hutan secara berkelanjutan tidak dipraktekkan di lapangan. Prasyarat
yang dimaksudkan yaitu kejelasan property rights atas hutan yang dikelola, dan
penegakan hukum atas property rights. Prasyarat yang lainnya yaitu harga kayu
hutan alam tidak terdistorsi, dalam pengertian mencerminkan harga keekonomian
kayu. Sedangkan prinsip yang dimaksudkan adalah bagaimana pengelolaan
dilakukan sehingga ekosistem hutan tidak terdegradasi sempurna, misalnya
menerapkan reduce impact logging dalam penebangan. Biaya yang dikeluarkan
untuk mempraktekkan prasyarat dan prinsip pengelolaan tersebut umumnya
diabaikan salah satunya karena suku bunga yang relatif tinggi 35 . Penurunan suku
bunga dihipotesiskan akan menurunkan degradasi hutan areal HPH.
Tabel 18 menyajikan skenario dampak perubahan kebijakan makroekonomi
terhadap degradasi hutan alam areal HPH. Dari Tabel 18 diketahui bahwa
penurunan suku bunga riel dapat menurunkan degradasi. Model memprediksi
penurunan suku bunga riel sebesar 53.637% dapat menurunkan tingkat deforestasi
areal HPH sebesar 109.73% (dari rataan per tahun berkurang 801.0 ribu ha menjadi
rataan per tahun bertambah 77.9 ribu ha). Di sisi lain, penurunan suku bunga akan
menaikkan penawaran kayu ilegal sebesar 2.71%, dan kayu legal 2.10%.
Permintaan kayu oleh industri kayu gergajian meningkat sebesar 102.57%, dan
industri kayu lapis 7.93%. Model memprediksi kenaikan penawaran kayu (legal
dan ilegal) menyebabkan harga kayu hutan alam menurun sebesar 2.84%.
Sebaliknya dari Tabel 18 diketahui bahwa model memprediksi dampak
peningkatan pengeluaran pemerintah (17.96%) yang menyebabkan kenaikan suku
35
Aspek kelembagaan dapat juga berpengaruh namun dalam penelitian ini diasumsikan eksogen. Mendelsohn (1994): poorlydefined property rights menjadi pendorong terjadinya deforestrasi; umumnya dimulai dari degradasi hutan sebelum
deforestasi terjadi. Pelaksanaan otonomi daerah mendorong perambahan hutan yang menyebabkan deforestrasi (Prasetyo
et.al, 2008). Harga nonrenewable resources dapat tidak meningkat jika terdapat inovasi teknologi di sisi permintaan dan
penawaran yang dapat mengkompensasi pengaruh stok (Lin dan Wagner, 2007). Tidak terdapat hubungan jangka panjang
antara harga kayu dan stok (Huhtala et al, 2000). Renewable resources memiliki peran terbatas dalam model-model
pertumbuhan ekonomi (Brown, 2000). Dengan kata lain, biaya untuk pemanfaatan sumberdaya alam cenderung tertekan. 115
bunga sebesar 15.53% dapat menaikkan tingkat degradasi hutan areal HPH sebesar
31.74% (dari rataan per tahun berkurang 801.0 ribu ha meningkat menjadi 1055.20
ribu ha). Di lain pihak, kenaikan suku bunga menurunkan penawaran kayu ilegal
sebesar 0.77%, dan kayu legal 0.58%. Sedangkan permintaan kayu oleh industri
kayu gergajian menurun sebesar 2.80%, dan industri kayu lapis 1.15%. Model
memprediksi penurunan penawaran kayu (legal dan ilegal) menyebabkan harga
kayu hutan alam meningkat sebesar 0.78%.
Tabel 18. Sekenario Dampak Perubahan Kebijakan Makroekonomi terhadap
Degradasi Hutan
Blok Degradasi
No.
Peubah Endogen
1
2
3
Skenario Dampak Perubahan
Kebijakan Makroekonomi
MS
G
Nilai Dasar
Naik
Naik
23.12%
17.96%
(%)
-109.73
2.71
2.10
(%)
31.74
-0.77
-0.58
Degradasi HA Areal Alam HPH( ribu ha)
-801.0
Penawaran Kayu Ilegal (ribu m3)
10601.2
Penawaran Kayu HA (ribu m3)
15488.9
Permintaan Kayu HA oleh IKG (ribu
4 m3)
10040.6
12.57
5 Permintaan Kayu HA oleh IKL (ribu m3)
14677.0
7.93
6 Harga Kayu Hutan Alam (Rp/m3)
698428.0
-2.84
Keterangan:
MS = Penawaran Uang ; G = Pengeluaran Pemerintah; HA=Hutan Alam ;
Industri Kayu Gergajian; IKL = Industri Kayu Lapis.
6.2.
-2.80
-1.15
0.78
IKG =
Dampak Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang dianalisis adalah harga minyak mentah dunia, dan
suku bunga rujukan Amerika Serikat. Dampak faktor eksternal terhadap
perekonomian disajikan pada Gambar 29. Gambar 29 menunjukkan peningkatan
harga minyak mentah dunia akan menaikkan pengeluaran pemerintah, dan
pengeluaran pemerintah selanjutnya mempengaruhi produk domestik bruto (PDB).
Selain mempengaruhi pengeluaran pemerintah, harga minyak mentah dunia juga
116
mempengaruhi
ekspor
bersih.
Sedangkan
suku
bunga
Amerika
Serikat
mempengaruhi perekonomian melalui paritas suku bunga (UIP)36 . Pariras suku
bunga selanjutnya mempengaruhi nilai tukar, dan nilai tukar mempengaruhi ekspor
bersih, yang akhirnya mempengaruhi PDB. Hasil simulasi dampaknya disajikan
untuk masing-masing blok, yang terdiri dari: (1) blok makroekonomi, (2) blok
deforestasi, dan (3) blok degradasi hutan.
Suku Bunga
Amerika
Serikat
Suku Bunga
Nominal
(+)
Indeks
Harga
(+)
(+)
Suku Bunga
Riel
Harga Minyak
Dunia
(-)
(-)
(+)
(+)
Paritas Suku
Bunga
(-)
Pengeluaran
Pemerintah
Rp/USD
(+)
Ekspor Bersih
(-)
(+)
Produk
Domestik Bruto
(+)
Gambar 29. Diagram Dampak Faktor Eksternal terhadap Perekonomian
6.2.1.
Blok Makroekonomi
Simulasi terhadap harga minyak mentah dunia (oilP) dilakukan untuk
menganalisis dampak kenaikan harganya rataan per tahun (1980-2008) sebesar
7.0%, dan rataan lompatan kenaikan harganya sebesar 200% (tahun 1970-an,
233.3%; 1980an, 166.7%, dan 2000an, 200%. Sedangkan simulasi terhadap suku
bunga rujukan Amerika Serikat (RUS) dilakukan untuk menganalisis dampak
36
Koefisien dugaan UIP sering di bawah -3 (Andrews et al, 2004 dalam Amato et al (2005), dan penelitian ini adalah -1.33.
Bukti empiris menunjukkan kontraksi moneter menyebabkan apresiasi, peningkatan risk premium menyebabkan depresiasi
nilai riel (Amato et al, 2005). Selaras Amato et al, penelitian ini menunjukkan ekspansi moneter menyebabkan depresiasi.
117
kenaikannya sebesar 1%, dan kenaikannya berdasarkan rataan per tahun periode
1980-2008 sebesar 5.0%. Dampak kenaikan harga minyak dan suku bunga Amerika
Serikat secara berurutan disajikan pada Tabel 19 dan Tabel 20.
Dari Tabel 19 diketahui bahwa model memprediksi kenaikan oilP sesuai
dengan hipotesis akan menaikan pengeluaran pemerintah dan menurunkan ekspor
bersih. Dengan kenaikan oilP sebesar 7%, pengeluaran pemerintah meningkat
sebesar 0.80% , dan ekspor bersih menurun sebesar 2.63%. Sedangkan lompatan
kenaikan harga minyak sebesar 200%, model memprediksi pengeluaran pemerintah
meningkat sebesar 22.99%, dan ekspor bersih menurun sebesar 75.30%.
Dampak kenaikan oilP cenderung menurunkan suku bunga. Kenaikan harga
minyak sebesar 7% menurunkan suku bunga riel sebesar 0.05%, dan kenaikannya
sebesar 200% menurunkan 1.35%. Hal ini menunjukkan bahwa net effect antara
kenaikan pengeluaran pemerintah dan penurunan ekspor bersih cenderung
menurunkan PDB. Dampak kenaikan harga minyak sebesar 7% terhadap PDB
belum terlihat, namun dampak lompatan kenaikan hanganya sebesar 200%
menyebabkan PDB menurun sebesar 0.09%.
Konsekuensinya,
kenaikan
harga
minyak
mentah
dunia
cenderung
menimbulkan jumlah pengangguran bertambah. Dari Tabel 19 diketahui bahwa
model memprediksi kenaikan harga minyak sebesar 7% menyebabkan jumlah
pengangguran bertambah sebesar 0.05%, dan kenaikannya sebesar 200%
menyebabkan jumlah pengangguran bertambah sebesar 1.51%.
Sedangkan dari Tabel 20 diketahui bahwa model memprediksi kenaikan suku
bunga Amerika Serikat menurunkan paritas suku bunga, dan konsekuensinya nilai
tukar Rupiah meningkat (terdepresiasi). Kenaikannya sebesar 1% menyebabkan
nilai tukar Rupiah terdepresiasi sebesar 0.16%, dan kenaikannya sebesar 5%
118
menyebabkan nilai tukar Rupiah terdepresiasi sebesar 0.78%. Depresiasi nilai tukar
rupiah tersebut menyebabkan ekspor bersih meningkat berturut-turut sebesar 0.23%
dan 1.15%. Suku bunga riel dalam negeri meningkat sebesar 0.09% jika suku bunga
Amerikat Serikat meningkat 1%, dan meningkat 0.47% jika suku bunga Amerikat
Serikat meningkat 5%.
Model memprediksi hasil akhir kenaikan suku bunga Amerika Serikat adalah
penerimaan pajak, pengeluaran pemerintah, investasi, dan
PDB meningkat.
Kenaikan suku bunga rujukan Amerika Serikat sebesar 1% menyebabkan
penerimaan pajak dan pengeluaran pemerintah meningkat sekitar 0.01%, sedangkan
investasi dan PDB juga meningkat sekitar 0.01%. Kenaikan suku bunga rujukan
Amerika Serikat sebesar 5% menyebabkan penerimaan pajak dan pengeluaran
pemerintah meningkat lebih tinggi berturut-turut sekitar 0.06% dan 0.04%,
sedangkan investasi dan PDB meningkat berturut-turut sekitar 0.03% dan 0.04%.
Konsumsi menurun karena pengaruh kenaikan suku bunga lebih kuat
dibanding kenaikan sebagai konsekuensi asumsi pendapatan dibelanjakan yang
eksogen. Indeks harga meningkat sebesar 0.002% jika kenaikan suku bunga
Amerika Serikat meningkat sebesar 1%, dan jika meningkat 5%, indeks harga
meningkat sebesar 0.01%. Permintaan tenaga kerja meningkat sebesar 0.002% jika
kenaikan suku bunga Amerika Serikat meningkat sebesar 1%, dan jika meningkat
sebesar 5%, permintaan tenaga kerja meningkat sebesar 0.01%, yang menyebabkan
jumlah pengangguran berkurang berturut-turut sebesar 0.04% dan 0.18%.
119
Tabel 19. Skenario Dampak Perubahan Harga Minyak Mentah Dunia terhadap
Perekonomian
Blok Makroekonomi
Skenario Dampak Perubahan
Harga Minyak Dunia
oilP
No.
Peubah Endogen
Nilai Dasar
Naik*
7.0%
(%)
-0.01
-0.05
-0.22
1.26
0.00
0.80
0.00
-2.63
0.00
0.00
0.00
0.00
0.05
Naik**
200.0%
(%)
-0.27
-1.36
-6.40
35.94
-0.13
22.99
-0.05
-75.30
0.01
-0.09
-0.03
-0.09
1.51
1 Suku Bunga Nominal (%)
14.0
2 Suku Bunga Riil ( %)
2.7
3 Paritas Suku Bunga ( %)
0.6
4 Nilai Tukar (Rp/USD)
6720.1
5 Penerimaan Pajak (Rp miliar)
129024.0
6 Pengeluaran Pemerintah (Rp miliar)
98336.6
7 Investasi Swasta (Rp miliar)
330995.0
8 Ekspor Bersih (Rp miliar)
31354.4
9 Konsumsi Rumah Tangga (Rp miliar)
740155.0
10 PDB ( Rp miliar)
1200841.0
11 Indeks Harga Konsumen
75.2
12 Permintaan Tenaga Kerja ( juta jiwa)
82.3
13 Jumlah Pengangguran (juta jiwa)
5.2
Keterangan:
* Rataan kenaikan periode 1980-2008; ** Rataan lompatan kenaikan tahun 1970an (233.3% ; USD 3 ke USD 10 per barel), 1980an (166.7%; USD 15 ke USD 40
per barel) dan 2000an (200%; dari USD 30 ke USD 90 per barel). oilP = Harga
Minyak Mentah Dunia
120
Tabel 20. Skenario Dampak Perubahan Suku Bunga Rujukan Amerika Serikat
terhadap Perekonomian
Blok Makroekonomi
Skenario Dampak Perubahan Suku
Bunga Rujukan Amerika Serikat
RUS
No.
Peubah Endogen
Nilai Dasar
Naik
1.0%
Naik
5.0%
(%)
0.019
0.091
-3.258
0.156
0.011
0.009
0.005
0.229
0.000
0.008
0.002
0.002
-0.037
(%)
0.092
0.471
-16.258
0.780
0.057
0.043
0.027
1.146
-0.002
0.039
0.011
0.011
-0.180
1 Suku Bunga Nominal (%)
14.0
2 Suku Bunga Riil ( %)
2.7
3 Paritas Suku Bunga ( %)
0.6
4 Nilai Tukar (Rp/USD)
6720.1
5 Penerimaan Pajak (Rp miliar)
129024.0
6 Pengeluaran Pemerintah (Rp miliar)
98336.6
7 Investasi Swasta (Rp miliar)
330995.0
8 Ekspor Bersih (Rp miliar)
31354.4
9 Konsumsi Rumah Tangga (Rp miliar)
740155.0
10 PDB ( Rp miliar)
1200841.0
11 Indeks Harga Konsumen
75.2
12 Permintaan Tenaga Kerja ( juta jiwa)
82.3
13 Jumlah Pengangguran (juta jiwa)
5.2
Keterangan:
RUS = Suku Bunga Rujukan Amerika Serikat (Federal Fund Rate)
6.2.2. Blok Deforestasi
Dari pembahasan sebelumnya diketahui bahwa kenaikan harga minyak
sebesar 7.0% menurunkan suku bunga riel dalam negeri sebesar 0.05%, dan jika
kenaikannya 200%, menurunkan 1.35%. Sedangkan kenaikan suku bunga Amerika
Serikat sebesar 1% menaikkan suku bunga riil dalam negeri sebesar 0.09%, dan jika
kenaikannya 5% menaikkan 0.47% . Bagaimana dampaknya terhadap deforestasi
disajikan pada Tabel 21 dan Tabel 22.
Dari Tabel 21 dan Tabel 22 dapat diketahui bahwa perubahan suku bunga
riel dalam negeri karena perubahan harga minyak mentah dunia maupun suku
bunga rujukan Amerika Serikat lebih berdampak terhadap tingkat deforestasi untuk
121
areal karet dan padi dibanding untuk areal HTI dan sawit. Sebagai contoh, kenaikan
harga minyak sebesar 7.0% menyebabkan tingkat deforestasi untuk areal HTI dan
sawit meningkat sangat kecil sehingga dapat diabaikan, sementara
tingkat
deforestasi untuk areal karet meningkat sebesar 0.03%, dan padi sebesar 0.06%.
Lompatan kenaikan harga minyak sebesar 200% menyebabkan tingkat deforestasi
untuk areal HTI dan sawit menurun berturut-turut 0.24% dan 0.08%, sementara
untuk areal karet dan padi meningkat berturut-turut 0.94% dan 1.37%.
Penurunan tingkat deforestasi untuk areal HTI disebabkan oleh pengaruh
kenaikan harga kayu HTI (0.03%), sedangkan penurunan untuk areal sawit lebih
disebabkan oleh kenaikan harga kayu HTI (persaingan lahan); sementara harga
buah sawit menurun (0.03%). Peningkatan tingkat deforestasi untuk areal karet
lebih disebabkan oleh pengaruh penurunan suku bunga riel; sementara harganya
menurun (0.2%). Sedangkan peningkatan tingkat deforestasi untuk areal padi
karena penurunan suku bunga riel dan kenaikan harganya (0.03%).
Dari Tabel 22 diketahui bahwa kenaikan suku bunga riel akibat kenaikan
suku bunga Amerika Serikat sebesar 1% menyebabkan tingkat deforestasi untuk
areal karet dan padi menurun sekitar 0.06%, dan kenaikan suku bunga Amerika
Serikat sebesar 5% berturut-turut menurunkan sebesar 0.32% dan 0.36%. Kenaikan
suku bunga Amerika Serikat sebesar 1% tidak menyebabkan tingkat deforestasi
untuk areal HTI dan sawit berubah, dan kenaikannya sebesar 5% hanya
meningkatkan tingkat deforestasi untuk areal HTI yakni 0.03%, karena harganya
tidak meningkat.
122
Tabel 21. Skenario Dampak Perubahan Harga Minyak Mentah Dunia terhadap
Deforestasi Hutan Alam
Blok Deforestasi
No.
Peubah Endogen
Skenario Dampak Perubahan
Harga Minyak Mentah Dunia
oilP
Nilai Dasar
Naik*
Naik**
7.0%
200.0%
A Deforestasi untuk Areal HTI
(%)
1 Tingkat Deforestasi (ribu ha)
291.3
0.000
2 Penawaran Kayu HTI (ribu m3)
3972.5
0.010
3 Permintaan Kayu HTI (ribu m3)
3972.5
0.010
4 Harga Kayu HTI (Rp ribu /m3)
345.4
0.000
B Deforestasi untuk Areal Sawit
1 Tingkat Deforestasi (ribu ha)
257.3
0.000
2 Penawaran Buah Sawit (ribu ton)
29153.6
-0.006
3 Permintaan Buah Sawit (ribu ton)
29153.6
-0.006
4 Harga Buah Sawit (Rp/kg)
330.3
0.000
C Deforestasi untuk Areal Karet
1 Tingkat Deforestasi (ribu ha)
38.6
0.032
2 Penawaran Karet (ribu ton)
1606.3
0.019
3 Permintaan Karet DN (ribu ton)
205.1
0.146
4 Penawaran Ekspor Karet (ribu ton)
1401.2
0.000
5 Harga Karet Dalam Negeri (Rp/kg)
7098.9
-0.007
D Deforestasi untuk Areal Padi
1 Tingkat Deforestasi (ribu ha)
167.4
0.060
2 Penawaran GKG (ribu ton)
48295.8
-0.001
3 Permintaan GKG (ribu ton)
48295.8
-0.001
4 Harga GKG (Rp/kg)
1339.3
0.000
E Total Deforestasi (ribu ha)
754.6
0.000
Keterangan:
* dan ** periksa tabel sebelumnya; oilP = Harga Minyak Mentah Dunia
Dalam Negeri; GKG = Gabah Kering Giling
(%)
-0.240
0.259
0.259
0.029
-0.078
-0.176
-0.176
-0.030
0.941
0.411
3.072
0.021
-0.204
1.374
-0.029
-0.029
0.030
0.225
; DN =
123
Tabel 22. Skenario Dampak Perubahan Suku Bunga Rujukan Amerika Serikat
terhadap Deforestasi Hutan Alam
Blok Deforestasi
No.
Peubah Endogen
Skenario Dampak Perubahan
Suku Bunga Amerika Serikat
RUS
Nilai Dasar
Naik*
Naik**
1.0%
A Deforestasi untuk Areal HTI
(%)
1 Tingkat Deforestasi (ribu ha)
291.3
0.000
2 Penawaran Kayu HTI (ribu m3)
3972.5
-0.010
3 Permintaan Kayu HTI (ribu m3)
3972.5
-0.010
4 Harga Kayu HTI (Rp ribu /m3)
345.4
0.000
B Deforestasi untuk Areal Sawit
1 Tingkat Deforestasi (ribu ha)
257.3
0.000
2 Penawaran Buah Sawit (ribu ton)
29153.6
0.012
3 Permintaan Buah Sawit (ribu ton)
29153.6
0.012
4 Harga Buah Sawit (Rp/kg)
330.3
0.000
C Deforestasi untuk Areal Karet
1 Tingkat Deforestasi (ribu ha)
38.6
-0.063
2 Penawaran Karet (ribu ton)
1606.3
0.000
3 Permintaan Karet DN (ribu ton)
205.1
0.000
4 Penawaran Ekspor Karet (ribu ton)
1401.2
0.000
5 Harga Karet Dalam Negeri (Rp/kg)
7098.9
0.001
D Deforestasi untuk Areal Padi
1 Tingkat Deforestasi (ribu ha)
167.4
-0.060
2 Penawaran GKG (ribu ton)
48295.8
0.002
3 Permintaan GKG (ribu ton)
48295.8
0.002
4 Harga GKG (Rp/kg)
1339.3
0.000
E Total Deforestasi (ribu ha)
754.6
-0.027
Keterangan:
* dan ** periksa tabel sebelumnya; oilP = Harga Minyak Mentah Dunia
Dalam Negeri; GKG = Gabah Kering Giling
5.0%
(%)
0.034
-0.053
-0.053
0.000
0.000
0.058
0.058
0.030
-0.317
-0.019
-0.146
0.000
0.011
-0.358
0.012
0.012
-0.015
-0.106
; DN =
6.2.3. Blok Degradasi Hutan
Dari pembahasan sebelumnya diketahui bahwa kenaikan harga minyak
sebesar 7.0% menurunkan suku bunga riel sebesar 0.05%, dan jika kenaikannya
200%, menurunkan 1.36%. Sedangkan kenaikan suku bunga Amerika Serikat
sebesar 1% menaikkan suku bunga riil sebesar 0.09%, dan jika kenaikannya 5%
124
menaikkan 0.47% . Bagaimana dampaknya terhadap degradasi hutan areal HPH
disajikan pada Tabel 23 dan Tabel 24.
Dari Tabel 23 dan Tabel 24 diketahui bahwa model memprediksi, kenaikan
harga minyak mentah dunia sebesar 7.0% dan 200% menurunkan tingkat degradasi
areal HPH berturut-turut sebesar 0.1 dan 2.9%, sedangkan kenaikan suku bunga
Amerika Serikat sebesar 1% dan 5% menaikkan tingkat degradasi areal HPH
berturut-turut sebesar 0.2% dan 1.0%. Selain suku bunga, hasil observasi lapangan
menunjukkan bahwa sertifikasi hutan yang diminta oleh pasar internasional
mendorong perusahaan HPH menerapkan prasyarat dan prinsip pengelolaan hutan
secara berkelanjutan, terutama yang terintegrasi dengan industri kayu lapis. Saat ini
luas areal hutan di Indonesia (sebagian besar areal HPH) yang telah tersertifikasi
dengan skema internasional mencapai 904.1 ribu ha.
Tabel 23. Skenario Dampak Perubahan Harga Minyak Mentah Dunia terhadap
Degradasi Hutan Alam Areal HPH
Blok Degradasi
No.
Peubah Endogen
Skenario Dampak Perubahan
Harga Minyak Mentah Dunia
oilP
Nilai Dasar
Naik
Naik
7.0%
(%)
-0.100
0.002
0.002
0.022
0.058
-0.004
200.0%
(%)
-2.896
0.076
0.063
0.653
1.679
-0.112
1 Degradasi HA Areal Alam HPH( ribu ha)
-801.0
2 Penawaran Kayu Ilegal (ribu m3)
10601.2
3 Penawaran Kayu HA (ribu m3)
15488.9
4 Permintaan Kayu HA oleh IKG (ribu m3)
10040.6
5 Permintaan Kayu HA oleh IKL (ribu m3)
14677.0
6 Harga Kayu Hutan Alam (Rp/m3)
698428.0
Keterangan:
oilP =Harga Minyak Mentah Dunia; HA=Hutan Alam ; IKG = Industri Kayu
Gergajian; IKL = Industri Kayu Lapis
125
Tabel 24. Skenario Dampak Perubahan Suku Bunga Rujukan Amerika Serikat
terhadap Degradasi Hutan Alam Areal HPH
Blok Degradasi
No.
Peubah Endogen
Skenario Dampak Perubahan
Suku Bunga Amerika Serikat
RUS
Nilai Dasar
Naik
Naik
1.0%
5.0%
(%)
0.187
-0.005
-0.004
-0.019
-0.007
0.005
(%)
0.961
-0.025
-0.019
-0.093
-0.037
0.026
1 Degradasi HA Areal Alam HPH( ribu ha)
-801.0
2 Penawaran Kayu Ilegal (ribu m3)
10601.2
3 Penawaran Kayu HA (ribu m3)
15488.9
4 Permintaan Kayu HA oleh IKG (ribu m3)
10040.6
5 Permintaan Kayu HA oleh IKL (ribu m3)
14677.0
6 Harga Kayu Hutan Alam (Rp/m3)
698428.0
Keterangan:
RUS =Suku Bunga Rujukan Amerika Serikat (Federal Fund Rate); HA=Hutan
Alam ; IKG = Industri Kayu Gergajian; IKL = Industri Kayu Lapis
VII.
7.1.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan pada hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan:
1. Hasil pendugaan dan pengujian model menunjukkan bahwa secara statistik
parameter dugaan model secara umum nyata pada taraf 1-10% sehingga model
ekonometrika yang dibangun dapat digunakan untuk analisis. Sedangkan hasil
validasi model menunjukkan seluruh persamaan memiliki proporsi bias (UM)
yang mendekati nol, dan hanya beberapa peubah yang memiliki nilai RMSPE
relatif tinggi. Secara keseluruhan, model dapat digunakan untuk analisis simulasi
kebijakan, khususnya dampak kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal
terhadap deforestasi dan degradasi hutan.
2. Hasil simulasi skenario dampak perubahan kebijakan makroekonomi dan faktor
eksternal mengindikasikan bahwa suku bunga merupakan saluran signifikan
dalam mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan alam, sehingga peubahpeubah makroekonomi dan faktor eksternal yang mempengaruhi suku bunga
secara tidak langsung mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan alam yang
pengaruhnya tidak dapat dihindari dan dikendalikan.
3. Selain suku bunga, tingkat perubahan deforestasi dan degradasi hutan alam juga
dipengaruhi oleh upah, harga BBM dan harga komoditas yang dihasilkan,
khususnya untuk areal padi juga oleh jumlah penduduk. Penurunan suku bunga
dapat meningkatkan dan kenaikan suku bunga dapat menurunkan tingkat
deforestasi hutan alam. Sebaliknya penurunan suku bunga dapat menurunkan dan
kenaikan suku bunga dapat meningkatkan degradasi hutan areal HPH.
128
7.2. Implikasi Kebijakan
1.
Pengaruh faktor makroekonomi (suku bunga, nilai tukar, pengeluaran pemerintah,
penawaran uang), dan faktor mikroekonomi
(upah, harga BBM, dan harga
komoditas), serta faktor eksternal (harga minyak mentah dunia dan suku bunga
dunia) tidak dapat dihindari dan dikendalikan, sehingga pengendalian tingkat
perubahan deforestasi dan degradasi hutan alam agar efektif perlu peningkatan
yang lebih intensif terhadap penegakan prasyarat-prasyarat dan prinsip-prinsip
pengelolaan hutan secara berkelanjutan.
2.
Upaya mempertahankan dan mengkonservasi hutan alam (primer) yang tersisa
agar efektif perlu pemberhentian izin baru pemanfaatannya, dan untuk
meningkatkan daya serap hutan terhadap CO2 perlu pengembangan hutan
“campuran” dalam areal-areal yang terdeforestasi, serta pelaksanaan reboisasi
dalam areal-areal yang terdegradasi. Upaya menekan deforestasi hutan alam perlu
menetapkan kebijakan pemberian izin perluasan areal hanya pada areal hutan
alam yang terdegradasi secara selektif dan fasilitas subsidi suku bunga sebagai
bagian dari sistem insentif-disinsentif pengendalian deforestasi dan degradasi
hutan.
7.3. Penelitian Lanjutan
1.
Model ekonometrika yang dibangun menggunakan pendekatan sisi permintaan
agregat (demand side approach) sehingga pengaruh kebijakan makroekonomi dan
faktor eksternal bergerak satu arah dalam mempengaruhi deforestasi dan
degradasi hutan. Dampak deforestasi dan degradasi hutan alam terhadap
pertumbuhan ekonomi dan pengangguran tidak dapat secara langsung dianalisis
dalam model. Untuk mengetahui kausalitas peubah makroekonomi dan faktor
129
eksternal dengan deforestasi dan degradasi hutan alam secara simultan perlu
pendekatan sisi permintaan dan penawaran agregat.
2.
Khusus tingkat deforestasi untuk areal HTI, penelitian ini menggunakan data areal
secara agregat dan diasumsikan didominasi oleh output kayu pulp. Penggunaan
data disagregasi areal HTI akan mampu melihat respon masing-masing areal
penggunaan menyadari bahwa HTI dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
komoditas, yaitu: (1) kayu pulp, (2) kayu pertukangan, dan (3) karet. Selain itu,
konteks degradasi hutan yang dianalisis juga hanya degradasi hutan areal HPH,
sehingga model masih perlu dikembangkan dengan memasukkan degradasi hutan
areal hutan lindung dan hutan konservasi (Taman Nasional).
3.
Model ekonometrika yang dibangun belum memainkan peranan nilai tukar dan
inflasi selain suku bunga sebagai saluran transmisi kebijakan dan faktor eksternal
dalam mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan melalui pasar input dan
output tradable. Pengembangan model ekonometrika yang dapat mendeteksi
pengaruh nilai tukar dan inflasi melalui pengaruhnya pada harga input dan output
akan dapat menjelaskan lebih lengkap dampak deforestasi dan degradasi hutan
alam kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal, termasuk di dalamnya
mengendogenkan pendapatan dibelanjakan.
DAFTAR PUSTAKA
Amato, J., A. Filardo, G. Galati, G. von Peter and Feng Zhu. 2005. Research on
Exchange Rates and Monetary Policy: an Overview. BIS Working Papers
No 178. Monetary and Economic Department, Bank for International
Settlements, Basel.
Aliyu, S. U. R. 2009. Impact of Oil Price Shock and Exchange Rate Volatility on
Economic Growth in Nigeria: An Empirical Investigation. Research
Journal of Internatıonal Studıes - Issue 11 (July, 2009). Department of the
Central Bank of Nigeria. Abuja.
Adi, I.S.S. 2007. Analisis Perdagangan Produk Berbasis Kayu Indonesia dan
Dampaknya Terhadap Deforestasi Potensial di Beberapa Wilayah.
Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Anwar, C. 2005. Prospek Karet Alam Indonesia di Pasar Internasional: Suatu
Analisis Integrasi Pasar dan Keragaan Ekspor. Disertasi Doktor. Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Alimov, B.S. 2002. Effects of International Trade and Corruption on Tropical
Deforestation. PhD Dissertation. Univ. of Connecticut, UMI, Ann Arbor.
Baek, J., K. Mulik and W. W. Koo. 2006. The Role of the U.S. Dollar in
International Trade. Agribusiness & Applied Economics Report 585,
August 2006. Center for Agricultural Policy and Trade Studies,
Department of Agribusiness and Applied Economics, North Dakota State
University, Fargo.
Brooks, D.J. J.A Ferrante, J. Haverkamp, I. Bowles, W. Lange, and D. Darr. 2001.
Economic and Environmental Effects of Accelerated Tariff Liberalization
in the Forest Products Sector. Gen. Tech. Rep. PNW-GTR-517. U.S.
Department of Agriculture, Forest Service, Pacific Northwest Research
Station, Portland.
Brown, G.M. 2000. Renewable Natural Resource Management and Use without
Markets. Journal of Economic Literature 38 (December 2000): 875-914.
Contreras-Hermosilla, A., R. Doornbosch and M. Lodge. 2007. The Economics of
Illegal Logging and Associated Trade. Round Table on Sustainable
Development, OECD, Paris.
Coelfer, C. J. P., R. L. Wadley, E. Harwell, and R. Prabhu. 2001. Assessing
Intergenerational Access to Resources: Using Criteria and Indicators in
West Kalimantan, Indonesia in People Managing Forests: The Links
between Human Well-Being and Sustainability, ed. by Coelfer and Byron.
Resources for The Future and CIFOR, Washington, DC.
132 Dornbusch, R. 1976. Expectation and Exchange Rate Dynamics. The Journal of
Political Economy 84 (6): 1161-1176
Ditjen BPK, 2009. Statistik Direktoral Jenderal Bina Produksi Kehutanan 2009.
Direktoral Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Jakarta.
Estrada, A. and Pablo. H. de Cos. 2009. Oil Prices and Their Effect on Potential
Ouput. The Occasional Paper Series, Banco de Espana, Madrid.
Earley, J. and T. Earley. 2006. Specific Environmental Effects of Trade
Liberalization: Sugar. International Food & Agricultural Trade Policy
Council. IPC Issue Brief 20, October 2006, Washington DC.
FAO. 2005. Global Forest Resources Assessment 2005. Progress Towards
Sustainable Forest Management. FAO, Rome.
Ferreira, S. 2004. Deforestation, Property Rights, and International Trade. Land
Economics 80 (2): 174 - 193.
Frankel, J. A. 1986. Expectations and Commodity Price Dynamics: the
Overshooting Model. American Journal of Agricultural Economics 68 (2):
344-348.
Huang, A. Y and Tseng, Y.H. 2010. Is Crude Oil Price Affected by The US
Dollar Exchange Rate? International Research Journal of Finance and
Economics Issue 58 (2010): 109-120.a
Huhtala, A., A. Toppinen and M. Boman. 2000. An Environmental Accountant’s
Dilemma: Can Market Prices Indicate Anything about Scarcity of
Resources? Paper prepared for the European Association of Environmental
and Resource Economists Tenth Annual Conference, June 30 -July 2,
Rethymnon, Crete
Haksworth, John. 2006. The World in 2050: How Big Will the Major Emerging
Market Economies Get and How Can the OECD Compete?
PriceWaterHouseCoopers.
Hall, R. E. and J. B. Taylor. Macro-Economics: Theory, Performance, and
Policy. Second Edition. W.W. Norton & Company, New York.
Ismanto, A. D. 2010. Permasalahan Institusi Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan
Alam Produksi.
Disertasi Doktor.
Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Ireland, N.P. 2005. The Monetary Transmission Mechanism. Working Papers in
Economics. Economic Department, Boston College, Boston.
133
Jayawinata, A. 2005. Dampak Kebijakan Makroekonomi Terhadap Ketahanan
Pangan Nasional. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Kartodihardjo, H. dan A. Supriono. 2000. Dampak Pembangunan Sektoral
terhadap Konversi dan Degradasi Hutan Alam: Kasus Pembangunan HTI
dan Perkebunan di Indonesia. Occasional Paper No. 26 (I), CIFOR, Bogor.
Kaimowitz, D., G. Thiele and P. Pacheco. 1999. The Effects of Structural
Adjustment on Deforestation and Forest Degradation in Lowland Bolivia.
World Development 27 (3): 505 - 520.
Kaimovitz, D. and Angelsen, A. 1998. Economic Model of Tropical
Deforestation: A Review. CIFOR. Bogor.
Klein, M. and J. Shambaugh. 2006. “Fixed Exchange Rates and Trade.” Journal
of International Economics 70 (2006): 359-383.
Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of
Econometric Methods. Second Edition. Macmillan, London.
Lin, C.Y.C and G. Wagner. 2007. Steady-State Growth in A otelling Model of
Resource Extraction. Journal of Environmental Economics and
Management 54 (2007): 68-83.
Mankiw, N. G. 2000. Macroeconomics. Fourth Edition. Worth Publishers, New
York.
Manurung, E. G. T. 2001. Analisis Valuasi Ekonomi Investasi Perkebunan
Kelapa Sawit di Indonesia.
Laporan Teknis, Natural Resources
Management Program, Jakarta.
Mckenzie, M. D. 1998. The Impact of Exchange Rate Volatility on Australian
Trade Flows. Journal of International Financial Markets, Institutions
and Money 8 (1998) 21-38.
McCallum, B. T. 1989. Monetary Economics: Theory and Policy. Macmillan
Publishing Company, New York
Mendelsohn, R. 1994. Property Rights and Tropical Deforestation. Oxford
Economic Papers 46 (1994): 750-756.
Murdiyarso, D., M. Skutsch, M. Guariguara, M. Kanninen, C. Luttrell, P. Verweij
and O. S. Martins. 2008. Moving Ahead with REDD Issues, Options and
Implications: How Do We Measure and Monitor Forest Degradation?
CIFOR, Bogor.
134 Munasinghe, M. 2004. Environmental Macroeconomics: Basic Priciples.
International, Society for Ecological Economics, Munasinghe Institute for
Development, Colombo.
Novra, A. 2007. Dampak Alokasi Pengeluaran Pemerintah Daerah terhadap
Deforestasi Kawasan dan Degradasi Taman Nasional Kerinci Seblat.
Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tidak Diterbitkan.
Norrbin, S. 2000. What Have We Learned From Empirical Tests of The
Monetary Transmission Effect? Paper presented at Swedish Central Bank.
Department of Economics, Florida State University, Tallahassee.
Nasution, A. 1983. Financial Institutions and Policies in Indonesia. Institutes of
Asian Studies, Singapore
Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan. 2005. Rekalkulasi Penutupan Lahan
Indonesia Tahun 2005.
Badan Planologi Kehutanan, Departemen
Kehutanan. Jakarta.
-----------------------------------------------------------.2008. Rekalkulasi Penutupan
Lahan Indonesia Tahun 2005. Badan Planologi Kehutanan, Departemen
Kehutanan. Jakarta.
-----------------------------------------------------------.2008. Penghitungan Deforestasi
Indonesia Tahun 2008.
Badan Planologi Kehutanan, Departemen
Kehutanan. Jakarta.
Pusat Data dan Informasi, Deperin. 2007. Gambaran Sekilas Industri Minyak
Kelapa Sawit. Pusat Data dan Informasi, Departemen Perindustrian,
Jakarta.
Romer, D. 2000. Keynesian Macroeconomics without the LM Curve. The
Journal of Economic Perspectives 14 (2): 149 – 169.
Panayotou, T. 1993. Green Markets: The Economics of Sustainable Development.
ICS Press, San Francisco.
Pindyck, R.S. and D. L. Rubinfeld. 1991. Econometric Models and Economic
Forecasts. Third Edition. McGraw-Hill, New York.
Pangestu, M. E. 1986. The Effects of an Oil Boom on a Small Oil Exporting
Country: The Case of Indonesia. Dissertation. Univ. of California, Davis.
Prasetyo, L.B., S.A. Wibowo, H. Kartodihardjo, F. Tonny, Haryanto, R. Sonaji
and Y. Setiawan. 2008. Land Use and Land-cover Changes of
135
Conservation Area during Transition to Regional Autonomy: Case Study
of Balairaja Wildlife Reserve in Riau Province, Indonesia. Tropics 17 (2):
99-108.
Rey, S. 2006. Effective Exchange Rate Volatility and MENA Countries’ Exports
to the EU. Journal of Economic Development 31 (2): 23-54.
Reziti, I. 2005. The Relationship between Macroeconomic Variables and Relative
Price Variability in Greek Agriculture. International Advance in Economic
Research 11 (2005): 111-119.
Suranovic, S.M. 2008. International Finance: Theory and Policy Analysis.
http://internationalecon.com/Finance/F-overview.php
Sedjo, R.A. 2005. Macroeconomics and Forest Sustainability in the Developing
World. RFF DP 05-47. Resources for the Future. Washington, DC.
Simangunsong, B.C.H. 2004. The Economic Performance of Indonesia’s Forest
Sector in the Period 1980-2002. Briefing Paper. A paper prepared for
GTZ-SMCP in July 2004.
Sipayung, T. 2004. Pengaruh Kebijakan Makroekonomi Terhadap Sektor
Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia. Disertasi Doktor.
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Strand, J. 2004. Macroeconomic Policies, the Environment, Natural Resources,
and Welfare in Developing Countries.
Version: September 2004
Department
of
Economics,
University
of
Oslo,
Oslo. [email protected].
Soedomo, S. 2003. Effects of Monetary Shocks on The Dynamics of Stumpage
Price and Timber Harvest. PhD Dissertation. University of Missouri,
Columbia.
Sunderlin, W. D., O. Ndoye, H. Bikie, N. Laporte, B. Mertens, and J. Pokam.
2003. Economic Crisis, Small Scale Agriculture, and Forest Cover
Changes in Southern Cameroon.Environmental Conservation, 27 (3): 284290.
Silberberg, E. and W. Suen. 2001. The Structure of Economics A Mathematical
Analysis. Third Edition. Irwin McGraw-Hill, Boston.
Sugema, I. 2000. Indonesia’s Deep Economic Crisis: The Role of The Banking
Sector in Its Origins and Propagation. PhD Thesis. The Australian
National University, Canberra.
136 Sedjo, R. A. and R. D. Simpson. 1999. Tariff Liberalization,Wood Trade Flows,
and Global Forests. Discussion Paper 00-05, December 1999. Resources
for the future. Washington, DC.
Sunaryo, T. 1996. The Credibility of the Indonesian Monetery Policy.
Dissertation. School of Economics Univ of the Philippines, Quezon City.
Sunderlin, W. D. and I. A. P. Resosudarmo. 1996. Rate and Causes of
Deforestation in Indonesia: Towards a Resolution of the Ambiguities.
Occasional paper No. 9. CIFOR, Bogor.
Sun, C.Y and D.W. Zhang. 2003. The Effects of Exchange Rate Volatility on U.S.
Forest Commodities Exports. Forest Science 49 (5) 807-814.
Sinaga, B. M. 1989. Econometric Model of the Indonesian Hardwood Products
Industry: A Policy Simulation Analysis. PhD Dissertation. University of
the Philippines, Los Banos.
Wunder, S. 2005. Macroeconomic Change, Competitiveness and Timber
Production: A Five-Country Comparison. World Development, 33 (1): 65
- 86.
Wunder, S. and B. Verbist. 2003. The Impact of Trade and Macroeconomic
Policies on Frontier Deforestation. ASB Lecture Note 13, World
Agroforestry Centre, ICRAF, Bogor.
Wibowo, H.D. 1999. An Economic Analysis of Deforestation Mechanisms in
Indonesia: Empirics and Theory Based on Stochastic Diffential and
Fokker-Planck Equations. PhD Thesis. The University of Quensland,
Brisbane.
Young, C.E.F and J. Bishop. 1995. Adjustment Policies and the Environment: A
Critical Review of the Literature. CREED Working Paper Series No 1,
July 1995. International Institute for Environment and Development,
London.
LAMPIRAN
139
Lampiran 1. Data yang Digunakan untuk Pendugaan Model Ekonomi Deforestasi
dan Degradasi Hutan
Tahun
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Yt
45446.00
58127.00
62476.00
73698.00
89750.30
96996.80
102682.60
124816.90
142104.80
167184.70
195597.20
227450.20
259884.50
329775.80
382219.70
454514.10
532568.00
672625.40
955753.50
1099731.60
1264918.70
1684280.50
1863274.80
2036351.90
2295826.00
2774281.00
3339217.00
3950893.00
4948688.00
Ct
27503.00
32293.00
37924.00
44739.00
54063.50
57201.40
63355.30
71988.90
81045.30
88752.30
106312.30
125035.80
135880.30
192258.40
228119.30
279876.40
332094.40
387170.70
647823.60
813183.30
850818.70
1039655.00
1231964.50
1372078.00
1532888.00
1785596.00
2092656.00
2510504.00
2999957.00
Gt
4688.00
6452.00
7229.00
8077.00
9121.50
10893.90
11328.70
11763.50
12755.80
15697.60
17572.60
20784.60
24731.30
29756.70
31014.00
35584.20
40299.20
42952.00
54415.90
72631.30
90779.70
113416.10
132218.80
163701.40
191056.00
224981.00
288080.00
329760.00
416867.00
Tt
It
2691.00
9485.00
3248.00
17324.00
3813.00
17406.00
4394.00
21669.00
4793.70
23407.70
6329.50
27202.80
8482.30
29033.90
9930.50
39146.00
12344.60
44809.50
16084.40
58830.80
22010.90
70704.90
24919.30
80741.70
30091.50
93225.10
36645.10
97912.80
44565.00 118707.10
49664.00 145117.90
60974.00 263453.10
70040.00 244231.21
91919.00 160327.30
100274.00 125010.90
115800.00 203645.80
179892.00 395041.10
219627.50 384392.80
248469.80 349792.60
280559.00 464619.00
346997.00 648665.00
409055.00 777753.00
491835.00 950926.00
641008.70 1479647.00
140
Lampiran 1. Lanjutan
Xt
13850.00
16177.00
15103.00
20448.00
22998.10
21533.90
20000.90
29874.30
34665.60
42505.00
51953.10
62263.80
76384.40
88230.90
101331.90
119592.50
37533.30
174871.30
506244.80
390560.10
542992.40
642594.60
595514.00
613720.80
739639.00
945122.00
1036316.00
1162974.00
1475119.00
Mt
10080.00
14119.00
15186.00
21235.00
19840.50
19835.20
21036.20
27955.80
31171.40
38601.00
50945.70
61375.70
70336.60
78383.00
96952.60
125656.90
140812.00
176599.80
413058.10
301654.00
423317.90
506426.30
480815.30
462940.90
632376.00
830083.00
855588.00
1003271.00
1422902.00
MSt
7691.00
9716.00
11075.00
14663.00
17937.00
23153.00
27661.00
33885.00
41998.00
58705.00
84630.00
99059.00
119053.00
145202.00
174512.00
222638.00
288632.00
355643.00
577381.00
646205.00
747028.00
844054.00
883908.00
944366.00
1033528.00
1202762.00
1382493.00
1649662.00
1895839.00
DEFt
9.45
11.20
11.77
13.33
14.43
15.20
15.20
17.60
18.95
20.74
22.63
24.61
26.41
31.47
33.91
37.26
40.50
48.85
79.90
91.22
100.00
116.72
123.71
129.11
138.59
158.46
180.78
201.13
237.64
IHKt
12.24
13.74
15.04
16.81
18.18
19.05
20.15
22.02
23.80
25.32
27.30
29.87
32.12
35.23
38.23
41.84
45.17
50.50
89.66
91.45
100.00
112.55
122.68
132.49
138.93
153.46
173.56
184.69
210.29
πt
14.04
12.24
9.48
11.79
8.16
4.75
5.81
9.28
8.06
6.42
7.80
9.42
7.53
9.69
8.51
9.44
7.97
11.79
77.54
2.01
9.35
12.55
9.00
8.00
4.86
10.46
13.10
6.41
13.86
πEt
12.24
9.48
11.79
8.16
4.75
5.81
9.28
8.06
6.42
7.80
9.42
7.53
9.69
8.51
9.44
7.97
11.79
77.54
2.01
9.35
12.55
9.00
8.00
4.86
10.46
13.10
6.41
13.86
2.78
141
Lampiran 1. Lanjutan
Wt
70138.80
73552.50
63847.00
62026.30
48206.50
56030.00
67483.50
78024.50
86961.00
103264.00
138585.00
175480.50
193044.50
215987.00
286660.00
323415.50
334818.00
339826.67
365252.90
390679.13
416105.36
441531.59
488563.21
520813.40
459894.25
510120.03
611385.03
677641.00
761506.06
rt
12.91
16.31
17.29
12.90
19.39
9.95
13.26
14.50
14.93
12.40
14.94
12.64
8.72
9.79
13.64
13.64
13.96
26.98
64.08
7.61
10.58
14.56
14.20
8.95
6.20
7.11
9.26
6.25
8.52
et
799.36
749.59
763.90
1040.67
1052.75
1235.72
2007.25
2340.79
2329.41
2361.55
2704.48
2849.42
2835.25
2898.21
3211.67
3430.82
3426.66
6274.01
11299.40
9724.23
12501.40
13070.00
12154.10
12578.70
14427.50
14049.70
13569.70
9136.20
9679.55
PBBMt
52.50
64.25
85.00
145.00
220.00
242.00
200.00
198.93
201.82
200.78
245.00
300.00
249.54
380.00
380.00
380.00
380.00
380.00
600.00
480.88
550.00
1056.50
1318.75
1668.46
1650.00
2876.92
4300.00
4300.00
5400.00
P
POPt
150.07
153.30
156.54
159.78
161.58
162.66
165.87
169.15
172.49
175.90
179.38
182.35
185.38
188.45
191.58
194.75
197.00
199.28
201.58
203.91
206.26
208.65
211.06
216.95
220.08
218.87
224.00
225.64
228.52
LSt
52.42
56.01
59.60
63.19
61.36
63.83
70.19
72.25
74.60
75.51
77.80
78.46
80.70
81.45
85.78
86.36
90.11
89.60
92.74
94.85
95.65
98.81
100.78
102.32
103.97
105.80
106.30
109.94
112.80
LDt
51.53
54.67
57.80
60.94
60.08
62.46
68.34
70.40
72.52
73.43
75.85
76.42
78.52
79.20
82.04
80.11
85.70
85.41
87.67
88.82
89.84
90.81
91.65
92.22
93.72
94.95
95.18
99.93
102.55
142
Lampiran 1. Lanjutan
ULt
0.89
1.34
1.80
2.25
1.28
1.37
1.86
1.84
2.08
2.08
1.95
2.03
2.19
2.25
3.74
6.25
4.41
4.20
5.06
6.03
5.86
8.01
9.13
10.10
10.25
10.85
11.10
10.01
9.39
AHPHt
49407.00
50789.00
52632.00
60974.00
53374.00
53375.00
55468.00
55468.00
57656.00
57656.00
58881.00
60480.00
61380.00
61700.00
61030.00
56170.00
54090.00
52280.00
51580.00
41840.00
39160.00
36420.00
28080.00
27800.00
27820.00
27270.00
28700.00
23569.00
26160.00
qHAt
19.97
14.43
14.57
13.01
15.60
16.47
17.94
22.15
22.64
24.42
23.31
21.73
22.13
21.97
20.38
21.43
23.26
17.78
15.52
18.20
20.28
17.16
22.47
19.07
16.51
19.56
11.99
13.14
11.39
DGHPHt
4477.50
1382.00
1843.00
8342.00
-7600.00
1.00
2093.00
0.00
2188.00
0.00
1225.00
1599.00
900.00
320.00
-670.00
-4860.00
-2080.00
-1810.00
-700.00
-9740.00
-2680.00
-2740.00
-8340.00
-280.00
20.00
-550.00
1430.00
-5131.00
2591.00
SKHAt
27797.23
15954.43
13376.51
15208.57
15957.64
14551.95
19758.29
27500.00
26310.00
26030.00
25770.00
23810.00
26050.00
25190.00
22250.00
22930.00
25290.00
19720.00
14330.00
10370.00
3400.00
1809.10
3019.84
4104.91
3510.76
5720.52
5586.72
6437.69
4629.02
SKILLt
393.94
4991.69
8538.64
7455.63
7829.85
10572.14
8672.54
7606.93
10991.57
14204.10
13441.92
13739.94
12768.42
13539.33
13284.08
11457.01
10663.98
6840.24
8537.78
11382.22
19295.59
16045.70
15004.93
11039.31
9609.38
9519.93
4242.42
2413.45
3884.53
PKHAt
48760.96
46474.58
44306.20
43708.14
45268.25
50664.52
60217.50
84268.44
100164.63
99185.10
116292.64
131073.32
133256.75
136215.87
160583.50
202418.38
222732.90
392183.97
752736.65
691465.68
949851.37
1061724.46
1055824.24
1006296.00
1514887.50
2388449.00
2849637.00
2165279.79
2255335.05
P
143
Lampiran 1. Lanjutan
SXKHAt
16314.00
6957.00
3524.00
3494.00
2059.00
479.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
298.56
449.84
282.84
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
DRt
2528.00
2546.32
2665.60
3577.16
4120.32
4459.32
5131.40
6610.40
7106.00
26582.10
27749.85
29880.00
30930.00
31650.00
33000.00
34620.00
35745.00
69750.00
120375.00
106500.00
20525.48
22326.90
20961.45
201259.20
230840.00
224795.20
217115.20
146179.23
154872.79
PSDHt
1939.67
1993.73
2175.99
2503.69
2759.46
2756.18
2923.88
3606.19
4507.79
4508.36
4869.88
5524.09
5838.32
5985.01
6621.84
8875.11
8875.11
8823.75
16111.90
32385.49
34209.13
37211.51
34935.76
35875.00
36525.00
36125.00
36125.00
42350.00
42350.00
DKHAKLt
2246.67
3451.11
4755.56
6540.00
8488.89
10408.89
13333.33
15333.33
16666.67
19520.00
20922.22
20274.44
21942.22
22053.33
21857.78
21111.11
21277.78
21333.33
17333.33
17333.33
16666.67
16222.22
16777.78
13579.01
12254.20
12297.22
8470.65
7676.33
7452.18
PXKLt
163868.80
155165.13
163474.60
231028.74
215813.75
249615.44
427544.25
690533.05
761717.07
767503.75
878956.00
940308.60
963985.00
1272314.19
1381018.10
1406636.20
1432343.88
2888415.55
3333323.00
3500722.80
3312871.00
2614000.00
2856213.50
3144675.00
5049625.00
5760377.00
6242062.00
4421921.60
4481631.46
P
DKHAKGt GPHPHt
9630.50
0.00
10538.00
0.00
13635.60
0.00
12630.20
0.00
13239.60
0.00
14236.20
0.00
15097.50
0.00
19773.60
0.00
20634.90
0.00
20714.10
0.00
18289.70
1.00
17275.50
1.00
16876.20
1.00
16676.00
1.00
13676.30
1.00
13275.90
1.00
14676.20
0.00
5226.90
0.00
5534.44
0.00
4120.33
0.00
5579.09
0.00
1349.74
0.00
1246.99
0.00
1565.21
0.00
865.93
0.00
2943.23
0.00
1358.49
0.00
1174.80
0.00
1061.38
0.00
144
Lampiran 1. Lanjutan
AHTIt
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
30.00
30.00
30.00
235.62
235.62
235.62
296.55
2043.24
3179.24
4301.75
4452.61
4557.25
4647.74
4673.25
4751.59
6103.79
6169.09
6521.74
7089.44
7150.20
qHTIt
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
1.74
0.23
0.13
0.11
0.04
0.83
1.20
0.91
1.12
1.20
2.08
3.37
2.91
3.12
DFHTIt
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
30.00
0.00
0.00
205.62
0.00
0.00
60.93
1746.69
1136.00
1122.52
150.86
104.63
90.49
25.51
78.34
1352.20
65.30
352.65
567.70
60.76
SKHTIt
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
514.69
474.27
428.89
480.21
187.83
3783.60
5567.28
4242.53
5325.77
7329.03
12818.20
21981.82
20614.21
22318.89
DKHTIt
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
514.69
474.27
428.89
480.21
187.83
3783.60
5567.28
4242.53
5325.77
7329.03
12818.20
21981.82
20614.21
22318.89
PKHTIt
50.00
55.00
63.00
72.00
83.65
84.60
88.40
93.16
97.91
103.61
108.37
115.02
118.82
119.77
128.33
139.73
142.59
155.89
212.93
180.61
223.38
250.94
233.36
226.42
302.98
323.14
332.46
242.11
290.39
P
PPULPt
233885.79
219323.52
223510.50
304491.00
308025.50
361560.94
587303.91
684894.82
681565.13
1251350.06
1488656.12
1352826.90
1246335.79
1002612.69
1826987.67
1307375.43
1312184.51
2601006.00
4666894.38
3914029.49
6670375.33
4330132.08
3823030.23
4186493.75
5068083.47
5063191.91
5357001.96
3828909.07
5263726.48
P
145
Lampiran 1. Lanjutan
GPHTIt
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
1.00
1.00
1.00
1.00
1.00
ATSWt
294.56
318.97
329.90
405.65
512.02
597.36
606.78
728.66
862.86
973.53
1126.68
1311.00
1467.47
1613.19
1804.15
2024.99
2249.51
2922.30
3560.20
3901.80
4158.08
4713.44
5067.06
5283.56
5284.72
5453.82
6594.91
6766.84
7363.85
qSWt
11.13
11.40
12.22
11.01
10.18
9.46
10.12
9.39
9.03
9.17
9.73
9.21
10.12
9.64
10.10
10.06
9.90
8.47
7.57
7.52
7.65
8.10
8.63
8.98
9.32
9.89
11.96
11.87
10.83
DFSWt
33.62
24.41
10.93
75.75
106.38
85.34
9.42
121.88
134.20
110.67
153.15
184.32
156.47
145.72
190.96
220.84
224.53
672.78
637.90
341.61
256.28
555.36
353.62
216.50
1.17
169.09
1141.10
171.92
597.01
SBSWt
3278.05
3636.64
4031.00
4468.12
5214.50
5651.95
6139.68
6845.70
7787.89
8931.61
10966.42
12080.00
14846.59
15552.04
18218.46
20362.14
22266.63
24765.95
26956.43
29343.59
31820.49
38165.78
43737.93
47458.34
49229.04
53916.43
78867.49
80294.20
79726.31
DBSWt
3278.05
3636.64
4031.00
4468.12
5214.50
5651.95
6139.68
6845.70
7787.89
8931.61
10966.42
12080.00
14846.59
15552.04
18218.46
20362.14
22266.63
24765.95
26956.43
29343.59
31820.49
38165.78
43737.93
47458.34
49229.04
53916.43
78867.49
80294.20
79726.31
PBSWt
25.18
31.25
23.08
32.04
46.22
37.98
38.93
48.64
61.01
53.38
62.26
78.55
79.19
63.24
90.50
145.93
143.51
147.33
462.24
357.52
349.88
295.33
385.88
488.42
573.13
499.20
551.19
889.77
1180.71
P
146
Lampiran 1. Lanjutan
PDMSWt
313255.83
344601.48
241042.10
291852.23
295688.44
415524.00
404214.49
648151.93
937425.43
753623.23
570644.56
892042.30
1055366.05
1052794.78
875092.51
1220505.77
1083088.20
1887703.34
2328137.20
2773123.32
3359615.61
2836365.86
3915261.34
4708731.65
5770598.35
5184791.72
4710246.29
5334666.11
6775952.51
P
PXMSWt
377416.66
405413.50
283578.94
335462.33
469346.74
477613.80
404214.49
648151.93
937425.43
753623.23
570644.56
892042.30
1055366.05
1052794.78
1458487.52
2034176.28
1805147.01
3146172.23
5820343.01
3648846.48
3536437.48
2924088.51
4036351.90
4854362.53
5949070.46
5345146.10
4781975.92
6131800.12
7528836.12
P
ATKRt
2383.81
2440.12
2483.92
2578.00
2711.22
2775.26
2873.58
2849.96
2944.32
3055.96
3141.61
3173.92
3289.22
3405.02
3472.38
3495.90
3518.44
3474.40
3607.30
3595.06
3372.42
3344.77
3318.36
3290.11
3262.27
3279.39
3346.43
3413.72
3424.22
qKR
t
0.43
0.39
0.36
0.39
0.38
0.38
0.39
0.40
0.40
0.40
0.41
0.42
0.43
0.43
0.43
0.45
0.45
0.45
0.46
0.45
0.45
0.48
0.49
0.54
0.63
0.69
0.79
0.81
0.80
DFKRt
-0.22
56.32
43.80
94.08
133.22
64.05
98.32
-23.63
94.37
111.64
85.65
32.31
115.30
115.80
67.36
23.52
22.54
-44.04
132.89
-12.23
-222.64
-27.65
-26.41
-28.25
-27.84
17.12
67.04
67.29
10.50
QKRt
1020.00
963.24
899.21
1006.98
1032.60
1054.97
1113.13
1130.35
1173.30
1209.04
1275.30
1328.17
1398.45
1475.44
1499.42
1573.30
1574.03
1552.59
1661.90
1604.36
1501.43
1607.46
1630.36
1792.35
2065.82
2270.89
2637.23
2755.17
2751.29
DDKRt
43.87
154.51
97.81
68.98
23.00
54.07
154.43
37.55
41.30
57.24
198.00
108.17
130.35
261.14
254.62
249.50
139.73
148.79
20.70
109.82
121.82
154.08
134.37
130.14
191.56
246.30
350.33
347.20
468.13
147
Lampiran 1. Lanjutan
SXKRt
976.13
808.73
801.40
938.00
1009.60
1000.90
958.70
1092.80
1132.00
1151.80
1077.30
1220.00
1268.10
1214.30
1244.80
1323.80
1434.30
1403.80
1641.20
1494.54
1379.61
1453.38
1495.99
1662.21
1874.26
2024.59
2286.90
2407.97
2283.15
PDKRt
780.00
615.70
506.70
865.30
952.30
773.10
1219.20
1479.50
1796.80
1494.40
1402.60
1490.20
1635.10
1635.70
2452.10
3461.60
3093.00
3135.50
6256.00
4579.17
5251.67
10550.00
10750.00
10300.00
10430.00
10750.00
15850.00
16950.00
18550.00
P
PXKRt
407196.38
371015.21
300990.68
548560.85
640326.84
593232.91
1069614.61
1609909.47
2169004.76
1862290.06
2126018.77
2620683.33
3051365.98
3234545.97
5061341.86
8962305.23
8567932.20
16994053.42
16386896.29
5525311.83
8052286.85
7070126.64
8429640.30
11311915.54
16781210.51
17923908.11
25642518.13
18472567.35
25536075.23
P
ATPDt
7824.04
8191.02
7872.60
7986.91
8547.12
8755.72
8888.31
8796.32
8925.38
9364.95
10502.51
10282.51
11103.11
11013.91
10734.97
11439.22
11569.84
11141.59
11613.33
11963.20
11793.48
11499.99
11500.00
11521.17
11922.97
11839.06
11786.43
12147.64
12327.43
qPDt
3.79
4.00
4.27
4.42
4.46
4.46
4.47
4.55
4.67
4.77
4.30
4.35
4.34
4.38
4.35
4.35
4.41
4.43
4.17
4.25
4.40
4.39
4.47
4.54
4.54
4.57
4.62
4.71
4.89
DFPDt
148.93
366.98
-318.42
114.31
560.21
208.60
132.59
-91.99
129.06
439.57
1137.56
-220.00
820.60
-89.20
-278.94
704.25
130.62
-428.25
471.74
349.87
-169.72
-293.49
0.01
21.17
401.81
-83.91
-52.63
361.21
179.79
SGKGt
29653.11
32764.08
33616.00
35302.14
38120.16
39050.51
39730.75
40023.26
41681.52
44670.81
45160.79
44728.92
48187.50
48129.32
46598.38
49697.44
51048.90
49339.09
49236.69
50866.39
51898.85
50460.78
51489.69
52137.60
54088.47
54151.10
54454.94
57157.44
60325.93
148
Lampiran 1. Lanjutan
DGKGt
29653.11
32764.08
33616.00
35302.14
38120.16
39050.51
39730.75
40023.26
41681.52
44670.81
45160.79
44728.92
48187.50
48129.32
46598.38
49697.44
51048.90
49339.09
49236.69
50866.39
51898.85
50460.78
51489.69
52137.60
54088.47
54151.10
54454.94
57157.44
60325.93
PHPPt
105.00
120.00
135.00
145.00
165.00
175.00
175.00
190.00
210.00
250.00
270.00
295.00
330.00
340.00
360.00
400.00
450.00
525.00
800.00
1400.00
1400.00
1500.00
1519.00
1725.00
1740.00
2250.00
2250.00
2250.00
2200.00
P
PGKGt
189.82
212.16
229.61
274.69
284.81
288.59
167.27
184.73
381.62
475.48
466.68
517.47
303.70
284.05
325.83
419.81
432.75
498.27
933.01
1159.43
964.72
1141.22
1255.46
1249.33
1258.31
1567.67
2509.72
2654.51
2767.66
P
PDBRt
198.39
226.19
254.92
304.24
330.97
322.07
345.24
386.86
469.20
469.56
525.17
557.84
603.68
592.25
660.37
776.38
880.00
1064.03
2099.71
2665.58
2424.22
2537.09
2826.06
2785.85
2850.96
3478.87
5500.00
6147.00
6504.00
P
oilPt
31.32
36.00
36.15
32.88
28.87
27.00
14.32
18.05
14.62
13.58
18.91
24.72
16.22
16.77
12.37
16.63
19.61
18.28
11.71
17.13
27.07
22.73
23.57
27.09
34.62
49.87
60.32
69.19
95.62
rUSt
13.36
16.38
12.26
9.09
10.23
8.10
6.81
6.66
7.57
9.22
8.21
5.69
3.52
3.02
3.02
5.84
5.30
5.46
5.35
4.97
6.24
3.89
1.75
1.04
1.29
3.10
4.98
5.08
2.21
USCPIt
47.85
52.79
56.04
57.84
60.34
62.49
63.65
66.03
68.67
71.99
75.88
79.09
81.48
83.89
86.08
88.49
91.09
93.22
94.66
96.73
100.00
102.83
104.46
106.83
109.69
113.41
117.07
120.41
125.03
πUSt
13.50
10.32
6.16
3.21
4.32
3.56
1.86
3.65
4.14
4.82
5.40
4.21
3.01
2.99
2.56
2.83
2.95
2.29
1.56
2.21
3.36
2.85
1.58
2.28
2.66
3.39
3.23
2.83
3.86
Lampiran 1. Lanjutan
USGDPt
12243.00
13594.00
14009.00
15084.00
16629.00
17683.00
18531.00
19504.00
20813.00
22160.00
23185.00
23635.00
24686.00
25616.00
26893.00
27813.00
29062.00
30526.00
31843.00
33486.00
35237.00
36049.00
36935.00
38310.00
40386.00
42612.00
44732.00
46449.00
46883.00
KRISISt
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
1.00
1.00
1.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
FERt
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
1.00
1.00
1.00
1.00
1.00
1.00
1.00
1.00
1.00
1.00
1.00
149
151
Lampiran 2. Program Pendugaan Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi
Hutan Alam Menggunakan Metode 2SLS, Prosedure SYSLIN,
Sofware SAS versi 9.0
DATA OLAH;
SET AST.MIMA1;
“BLOK MAKROEKONOMI”
RY=(Y/DFLA)*100;
LRY=LAG(RY);
PRY=RY-LRY;
RPPJK=(PPJK/DFLA)*100;
LRPPJK=LAG(RPPJK);
RC=(C/DFLA)*100;
RYD=RY-RPPJK;
RG=(G/DFLA)*100;
LRG=LAG(RG);
RI=(I/DFLA)*100;
LRI=LAG(RI);
NX = X - M;
RNX = (NX/DFLA)*100;
LRNX=LAG(RNX);
LR=LAG(R);
RMS=(MS/DFLA)*100;
LRMS=LAG(RMS);
LIHK=LAG(IHK);
PIHK= IHK-LIHK;
LEXR=LAG(EXR);
RR=R-DINF;
LRR=LAG(RR);
L2RR=LAG2(RR);
P2RR=RR-L2RR;
L3RR=LAG3(RR);
REXR = EXR*IHK/USCPI;
LUSCPI=LAG(USCPI);
RFRATE = FEDRATE - (((USCPI-LUSCPI)/LUSCPI)*100);
UIP = RR – RFRATE;
OILP=(WOIL/DFLA)*100;
RW=(W/DFLA)*100;
LRW=LAG(RW);
LEMP=LAG(EMP);
UNEMP=LF-EMP;
LUSGDP=LAG(USGDP);
152
Lampiran 2. Lanjutan
“BLOK DEFORESTASI”
“HTI”
RHEPU=((HEPU*EXR)/DFLA)*100;
L2RHEPU=LAG2(RHEPU);
Lampiran 2. Lanjutan
PRHEPU=RHEPU-LRHEPU);
RHKHTI=(HKHTI/DFLA)*100;
LRHKHTI=LAG(RHKHTI);
RHBBM=(HBBM/DFLA)*100;
LAHTI=LAG(AHTI);
LQKHTI=LAG(QKHTI);
LDKHTI=LAG(DKHTI);
LRHEPU=LAG(RHEPU);
PRHEPU=RHEPU-LRHEPU;
“SAWIT”
RHEMSW=((HEMSW*EXR)/DFLA)*100;
LRHEMSW=LAG(RHEMSW);
RHBSW=(HBSW/DFLA)*100;
LRHBSW=LAG(RHBSW);
LATSW=LAG(ATSW);
LQBSW=LAG(QBSW);
LRHDMSW=LAG(RHDMSW);
LDBSW=LAG(DBSW);
“KARET”
RHDKR=(HDKR/DFLA)*100;
L2RHDKR=LAG2(RHDKR);
RHEKR=((HEKR*EXR)/DFLA)*100;
LRHEKR=LAG(RHEKR);
PRHEKR=RHEKR-LRHEKR;
LATKR=LAG(ATKR);
LQKR=LAG(QKR);
LDDKR=LAG(DDKR);
LQXKR=LAG(QXKR);
“PADI”
RHGKG=(HGKG/DFLA)*100;
LRHGKG=LAG(RHGKG);
RHPP=(HPP/DFLA)*100;
LRHPP=LAG(RHPP);
PRHPP=RHPP-LRHPP;
POP=JUMLAH PENDUDUK;
Lampiran 2. Lanjutan
LATPD=LAG(ATPD);
LQGKG=LAG(QGKG);
RHDBR=LAG(HDBR/DFLA)*100;
LDGKG=LAG(DGKG);
TTDF =TDFHTI + TDFSW + TDFKR + TDFPD;
“BLOK DEGRADASI HUTAN”
RHEKL=((HEKL*EXR)/DFLA)*100;
RHKHA=((HKBHA*EXR)/DFLA)*100;
Lampiran 2. Lanjutan
LRHKHA=LAG(RHKHA);
L2QILL=LAG2(QILL);
LQILL=LAG(QILL);
LAHPH=LAG(AHPH);
RDR=(DR/DFLA)*100;
RPSDH=(PSDH/DFLA)*100;
LQKBHA=LAG(QKBHA);
LDKBKG=LAG(DKBKG);
LDKBKL=LAG(DKBKL);
Q=QILL+QKBHA;
RUN;
/* PERINTAH PENDUGAAN MODEL */
PROC syslin 2sls DATA=OLAH outest=a;
ENDOGENOUS
R RR UIP EXR RPPJK RG RI RNX RC RY IHK EMP UNEMP
TDFHTI QKHTI DKHTI RHKHTI
TDFSW QBSW DBSW RHBSW
TDFKR QKR DDKR QXKR RHDKR
TDFPD QGKG DGKG RHGKG
TTDF
TDGHPH QILL QKBHA DKBKG DKBKL RHKHA ;
INSTRUMENTS
OILP RW RHBBM
RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW
RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD
153
154
Lampiran 2. Lanjutan
RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH
RPSDH RDR QXKB ;
“ Blok Makroekonomi”
Model RC = RYD RR/DW ;
Model RPPJK = RY RR LRPPJK/DW ;
Model RG = RPPJK OILP LRG/DW;
Model RI = L2RR RY KRISIS LRI/DW ;
Model RNX = REXR RY OILP LRNX;
Model R = LRMS PIHK EXPINF KRISIS FER LR/DW ;
Model IHK = LRY LIHK/DW ;
Model EXR = UIP LRNX RMS KRISIS LEXR/DW ;
Model EMP = LRW RY LEMP ;
Identity RY = RC + RI + RG + RNX ;
Identity RR = R-DINF;
Identity UIP = RR -RFRATE ;
Identity UNEMP = LF - EMP;
“ Blok Deforestasi”
Model TDFHTI = L2RHEPU RHKHTI P2RR RW RHBBM RHEKR
RHEMSW RHEKL PPHTI LAHTI/DW;
Model QKHTI = RHKHTI RR PRODHTI AHTI LQKHTI/DW;
Model DKHTI = RHKHTI RR RW PRHEPU PRY LDKHTI/DW;
Model RHKHTI = PRHEPU RHKHA LQKHTI LRHKHTI/DW;
Identity DKHTI = QKHTI;
Model TDFSW = RHEMSW RHBSW L3RR RW LRHKHTI LRHKHA
LATSW/DW ;
Model QBSW = LRHBSW RR PRODSW ATSW LQBSW/DW ;
Model DBSW = RHBSW RR RW RHDMSW RY LDBSW/DW;
Model RHBSW = RHEMSW DBSW LRHBSW/DW;
Identity QBSW = DBSW;
Model TDFKR = RHDKR RR RHKHA RHEMSW RHEKR LATKR/DW ;
Model QKR = RHDKR RR PRODKR ATKR LQKR/DW;
Model DDKR = RHDKR LRR (RY-LRY) LDDKR/DW;
Model QXKR = LRHEKR L2RHDKR LUSGDP LQXKR/DW;
Model RHDKR = PRHEKR QXKR QKR LRHDKR/DW;
Identity QKR = DDKR + QXKR;
Model TDFPD = RHGKG RHPP RR RHBBM RHKHA RHKHTI POP
LATPD;
Model QGKG = RHGKG RR RHBBM PRODPD LQGKG/DW;
155
Lampiran 2. Lanjutan
Model DGKG = LRHPP RR RHBBM RHDBR RY LDGKG/DW;
Model RHGKG = PRHPP QGKG LRHGKG/DW;
Identity QGKG = DGKG;
Identity TTDF = TDFHTI + TDFSW + TDFKR + TDFPD;
“Blok Degradasi Hutan”
Model TDGHPH = RHEKL RHKHA RR L2QILL LRHEMSW LRHEKR
KPIHPH LAHPH/DW;
Model QILL = RHKHA RR RHBBM RDR PRODHA PKUM LQILL/DW ;
Model QKBHA = LRHKHA LRR RPSDH PRODHA AHPH LQKBHA/DW;
Model DKBKG = RHKHA RHKHTI RR RW RY LDKBKG/DW;
Model DKBKL = RHKHA RHKHTI LRR RW RHEKL PRY LDKBKL/DW;
Model RHKHA = RHEKL Q LRHKHA/DW;
Identity QKBHA + QILL = DKBKG + DKBKL + QXKB ;
RUN ;
157
Lampiran 3. Hasil Pendugaan Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan
Alam Menggunakan Metode 2SLS, Prosedure SYSLIN, Software
SAS versi 9.0
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model RC Dependent Variable RC Label Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 2 2.212E12 1.106E12 457.77 <.0001 Error 23 5.557E10 2.4162E9 Corrected Total 25 2.268E12 Root MSE 49154.4390 R‐Square 0.97549 Dependent Mean 742744.166 Adj R‐Sq 0.97336 Coeff Var 6.61795 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐85438.2 35822.04 ‐2.39 0.0257 RYD 1 0.781288 0.029515 26.47 <.0001 RR 1 ‐1760.78 1984.191 ‐0.89 0.3840 Durbin‐Watson 1.052469 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.416751 158
Lampiran 3. Lanjutan
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model RPPJK Dependent Variable RPPJK Label Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 1.078E11 3.595E10 355.85 <.0001 Error 22 2.2224E9 1.0102E8 Corrected Total 25 1.101E11 Root MSE 10050.7067 R‐Square 0.97981 Dependent Mean 129890.758 Adj R‐Sq 0.97705 Coeff Var 7.73782 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐30515.6 9745.479 ‐3.13 0.0049 RY 1 0.088386 0.024595 3.59 0.0016 RR 1 297.9840 434.6253 0.69 0.5001 LRPPJK 1 0.445448 0.178907 2.49 0.0208 Durbin‐Watson 0.874376 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.545132 Lampiran 3. Lanjutan
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model RG Dependent Variable RG Label Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 2.576E10 8.5863E9 170.68 <.0001 Error 22 1.1068E9 50307889 Corrected Total 25 2.687E10 Root MSE 7092.80546 R‐Square 0.95880 Dependent Mean 98172.7635 Adj R‐Sq 0.95319 Coeff Var 7.22482 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 4609.400 6998.157 0.66 0.5169 RPPJK 1 0.339781 0.100765 3.37 0.0027 OILP 1 100.5573 41.08604 2.45 0.0228 LRG 1 0.456354 0.192320 2.37 0.0268 Durbin‐Watson 1.463183 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.239173 159
160
Lampiran 3. Lanjutan
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model RI Dependent Variable RI Label Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 3.339E11 8.348E10 14.85 <.0001 Error 21 1.181E11 5.6221E9 Corrected Total 25 4.52E11 Root MSE 74980.4695 R‐Square 0.73879 Dependent Mean 321683.099 Adj R‐Sq 0.68904 Coeff Var 23.30880 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 67056.85 55317.95 1.21 0.2389 L2RR 1 ‐2666.80 3195.097 ‐0.83 0.4133 RY 1 0.110685 0.047499 2.33 0.0298 KRISIS 1 ‐152416 46348.84 ‐3.29 0.0035 LRI 1 0.492063 0.152838 3.22 0.0041 Durbin‐Watson 1.705528 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.115386 Lampiran 3. Lanjutan
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model RNX Dependent Variable RNX Label Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 8.135E10 2.034E10 7.28 0.0008 Error 21 5.869E10 2.7947E9 Corrected Total 25 1.4E11 Root MSE 52864.8775 R‐Square 0.58090 Dependent Mean 33849.8970 Adj R‐Sq 0.50107 Coeff Var 156.17441 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 173633.9 66164.33 2.62 0.0158 REXR 1 14.09883 3.541466 3.98 0.0007 RY 1 ‐0.18107 0.058541 ‐3.09 0.0055 OILP 1 ‐321.596 254.7716 ‐1.26 0.2207 LRNX 1 ‐0.00045 0.185294 ‐0.00 0.9981 Durbin‐Watson 2.153832 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation ‐0.07775 161
162
Lampiran 3. Lanjutan
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model R Dependent Variable R Label R Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 2427.876 404.6460 11.89 <.0001 Error 19 646.4055 34.02134 Corrected Total 25 3074.281 Root MSE 5.83278 R‐Square 0.78974 Dependent Mean 14.19077 Adj R‐Sq 0.72334 Coeff Var 41.10265 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 11.01951 3.739373 2.95 0.0083 LRMS 1 ‐0.00001 0.000010 ‐1.45 0.1622 PIHK 1 1.328117 0.194529 6.83 <.0001 EXPINF 1 0.223206 0.106271 2.10 0.0493 KRISIS 1 10.84997 5.355263 2.03 0.0570 FER 1 ‐12.1245 5.232919 ‐2.32 0.0318 LR 1 0.140253 0.145632 0.96 0.3476 Durbin‐Watson 1.502834 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.093567 Lampiran 3. Lanjutan
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EXR Dependent Variable EXR Label EXR Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 5.7197E8 1.1439E8 58.50 <.0001 Error 20 39109777 1955489 Corrected Total 25 6.1108E8 Root MSE 1398.38795 R‐Square 0.93600 Dependent Mean 6622.65928 Adj R‐Sq 0.92000 Coeff Var 21.11520 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 284.3159 732.1621 0.39 0.7019 UIP 1 ‐73.2820 62.23908 ‐1.18 0.2528 LRNX 1 ‐0.00964 0.005849 ‐1.65 0.1151 RMS 1 0.001234 0.002313 0.53 0.5995 KRISIS 1 1801.065 994.2221 1.81 0.0851 LEXR 1 0.931677 0.138832 6.71 <.0001 Durbin‐Watson 1.964423 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.013272 163
164
Lampiran 3. Lanjutan
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model EMP Dependent Variable EMP Label EMP Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 3478.275 1159.425 385.58 <.0001 Error 22 66.15400 3.007000 Corrected Total 25 3544.429 Root MSE 1.73407 R‐Square 0.98134 Dependent Mean 82.26003 Adj R‐Sq 0.97879 Coeff Var 2.10804 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 12.12663 4.838827 2.51 0.0201 LRW 1 ‐4.32E‐7 2.088E‐6 ‐0.21 0.8381 RY 1 5.007E‐6 2.742E‐6 1.83 0.0814 LEMP 1 0.799167 0.098480 8.12 <.0001 Durbin‐Watson 2.765881 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation ‐0.3836 Lampiran 3. Lanjutan
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model TDFHTI Dependent Variable TDFHTI Label TDFHTI Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 10 4803280 480328.0 5.95 0.0011 Error 15 1210446 80696.38 Corrected Total 25 6013725 Root MSE 284.07108 R‐Square 0.79872 Dependent Mean 275.00754 Adj R‐Sq 0.66453 Coeff Var 103.29574 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 6935.613 2028.373 3.42 0.0038 L2RHEPU 1 0.000130 0.000071 1.83 0.0879 RHKHTI 1 ‐6.72131 2.680177 ‐2.51 0.0241 PRR2 1 ‐18.0749 10.28242 ‐1.76 0.0992 RW 1 ‐0.00443 0.001322 ‐3.35 0.0044 RHBBM 1 ‐0.79518 0.263443 ‐3.02 0.0086 RHEKR 1 0.000124 0.000028 4.47 0.0004 RHEMSW 1 ‐0.00019 0.000115 ‐1.61 0.1272 RHEKL 1 ‐0.00034 0.000110 ‐3.11 0.0072 PPHTI 1 1430.859 361.3547 3.96 0.0013 LAHTI 1 ‐0.65035 0.207582 ‐3.13 0.0068 Durbin‐Watson 2.571377 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation ‐0.30352 165
166
Lampiran 3. Lanjutan
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model QKHTI Dependent Variable QKHTI Label QKHTI Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 1.2503E9 2.5006E8 147.39 <.0001 Error 20 33930929 1696546 Corrected Total 25 1.2842E9 Root MSE 1302.51542 R‐Square 0.97358 Dependent Mean 4079.50873 Adj R‐Sq 0.96697 Coeff Var 31.92824 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐6539.66 2443.775 ‐2.68 0.0145 RHKHTI 1 13.02495 4.914103 2.65 0.0153 RR 1 ‐58.1816 55.17475 ‐1.05 0.3042 PRODHTI 1 3064.270 573.6662 5.34 <.0001 AHTI 1 0.873631 0.316879 2.76 0.0122 LQKHTI 1 0.539577 0.096994 5.56 <.0001 Durbin‐Watson 2.169606 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation ‐0.08754 Lampiran 3. Lanjutan
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model DKHTI Dependent Variable DKHTI Label DKHTI Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 1.2194E9 2.0324E8 59.60 <.0001 Error 19 64793732 3410196 Corrected Total 25 1.2842E9 Root MSE 1846.67171 R‐Square 0.94955 Dependent Mean 4079.50873 Adj R‐Sq 0.93361 Coeff Var 45.26701 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 3508.862 1929.397 1.82 0.0848 RHKHTI 1 ‐2.15949 3.422643 ‐0.63 0.5356 RR 1 ‐279.684 100.4655 ‐2.78 0.0118 RW 1 ‐0.00406 0.002448 ‐1.66 0.1136 PRHEPU1 1 0.000498 0.000304 1.64 0.1177 EGROWTH 1 0.025414 0.009037 2.81 0.0111 LDKHTI 1 0.827561 0.104093 7.95 <.0001 Durbin‐Watson 1.822172 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.068915 167
168
Lampiran 3. Lanjutan
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model RHKHTI Dependent Variable RHKHTI Label Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 583563.0 145890.7 157.53 <.0001 Error 21 19449.00 926.1427 Corrected Total 25 603012.0 Root MSE 30.43259 R‐Square 0.96775 Dependent Mean 350.81152 Adj R‐Sq 0.96160 Coeff Var 8.67491 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 12.87728 47.06403 0.27 0.7871 PRHEPU1 1 7.366E‐6 4.627E‐6 1.59 0.1263 RHKHA 1 ‐0.00001 0.000032 ‐0.44 0.6678 LQKHTI 1 ‐0.00050 0.001360 ‐0.37 0.7162 LRHKHTI 1 0.953077 0.074089 12.86 <.0001 Durbin‐Watson 1.814317 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.076987 Lampiran 3. Lanjutan
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model TDFSW Dependent Variable TDFSW Label TDFSW Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 7 915131.7 130733.1 3.23 0.0212 Error 18 729203.3 40511.29 Corrected Total 25 1644335 Root MSE 201.27418 R‐Square 0.55654 Dependent Mean 270.53638 Adj R‐Sq 0.38408 Coeff Var 74.39819 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 803.3888 811.9403 0.99 0.3355 RHEMSW 1 0.000089 0.000057 1.56 0.1358 RHBSW 1 ‐0.64083 0.816883 ‐0.78 0.4430 L3RR 1 ‐10.6158 8.379574 ‐1.27 0.2214 RW 1 ‐0.00023 0.000320 ‐0.70 0.4902 LRHKHTI 1 ‐1.66153 1.259095 ‐1.32 0.2035 LRHKHA 1 0.000877 0.000298 2.95 0.0086 LATSW 1 ‐0.18746 0.121500 ‐1.54 0.1403 Durbin‐Watson 2.716435 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation ‐0.46754 169
170
Lampiran 3. Lanjutan
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model QBSW Dependent Variable QBSW Label QBSW Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 1.412E10 2.8239E9 729.60 <.0001 Error 20 77408544 3870427 Corrected Total 25 1.42E10 Root MSE 1967.34014 R‐Square 0.99455 Dependent Mean 28600.5276 Adj R‐Sq 0.99318 Coeff Var 6.87868 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐42682.3 6222.119 ‐6.86 <.0001 LRHBSW 1 3.688968 6.469994 0.57 0.5749 RR 1 ‐5.91076 83.53211 ‐0.07 0.9443 PRODSW 1 4225.291 538.0842 7.85 <.0001 ATSW 1 9.052626 0.882347 10.26 <.0001 LQBSW 1 0.113077 0.094343 1.20 0.2447 Durbin‐Watson 1.234089 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.263544 Lampiran 3. Lanjutan
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model DBSW Dependent Variable DBSW Label DBSW Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 1.389E10 2.3155E9 145.00 <.0001 Error 19 3.0341E8 15968873 Corrected Total 25 1.42E10 Root MSE 3996.10727 R‐Square 0.97863 Dependent Mean 28600.5276 Adj R‐Sq 0.97188 Coeff Var 13.97215 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐3278.60 11346.38 ‐0.29 0.7757 RHBSW 1 ‐22.1345 12.97036 ‐1.71 0.1042 RR 1 ‐265.628 181.6144 ‐1.46 0.1599 RW 1 ‐0.01186 0.006736 ‐1.76 0.0945 RHDMSW 1 1.239352 2.776737 0.45 0.6604 RY 1 0.024577 0.011312 2.17 0.0427 LDBSW 1 0.599280 0.204810 2.93 0.0087 Durbin‐Watson 2.273608 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation ‐0.15467 171
172
Lampiran 3. Lanjutan
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model RHBSW Dependent Variable RHBSW Label Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 111080.2 37026.75 11.66 <.0001 Error 22 69858.48 3175.385 Corrected Total 25 180938.7 Root MSE 56.35056 R‐Square 0.61391 Dependent Mean 329.55246 Adj R‐Sq 0.56126 Coeff Var 17.09912 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 82.20102 55.77476 1.47 0.1547 RHEMSW 1 0.000042 9.851E‐6 4.25 0.0003 DBSW 1 0.001973 0.000530 3.72 0.0012 LRHBSW 1 0.099541 0.153600 0.65 0.5237 Durbin‐Watson 1.966142 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation ‐0.03386 Lampiran 3. Lanjutan
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model TDFKR Dependent Variable TDFKR Label TDFKR Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 71229.74 11871.62 2.84 0.0382 Error 19 79517.88 4185.152 Corrected Total 25 150747.6 Root MSE 64.69275 R‐Square 0.47251 Dependent Mean 36.16519 Adj R‐Sq 0.30593 Coeff Var 178.88125 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 564.9602 193.1292 2.93 0.0087 RHDKR 1 0.003186 0.010399 0.31 0.7626 RR 1 ‐6.79734 3.046732 ‐2.23 0.0379 RHKHA 1 ‐0.00008 0.000057 ‐1.46 0.1614 RHEMSW 1 ‐7.43E‐6 0.000020 ‐0.38 0.7091 RHEKR 1 4.76E‐6 3.557E‐6 1.34 0.1967 LATKR 1 ‐0.15620 0.058559 ‐2.67 0.0152 Durbin‐Watson 2.148629 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation ‐0.11068 173
174
Lampiran 3. Lanjutan
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model QKR Dependent Variable QKR Label QKR Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 6465169 1293034 18546.4 <.0001 Error 20 1394.380 69.71899 Corrected Total 25 6466564 Root MSE 8.34979 R‐Square 0.99978 Dependent Mean 1602.89631 Adj R‐Sq 0.99973 Coeff Var 0.52092 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐1193.11 37.81030 ‐31.56 <.0001 RHDKR 1 0.001453 0.001356 1.07 0.2966 RR 1 ‐0.54461 0.372185 ‐1.46 0.1589 PRODKR 1 3047.342 64.60167 47.17 <.0001 ATKR 1 0.350690 0.012196 28.75 <.0001 LQKR 1 0.101694 0.020668 4.92 <.0001 Durbin‐Watson 1.393567 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.29248 Lampiran 3. Lanjutan
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model DDKR Dependent Variable DDKR Label DDKR Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 220230.7 55057.68 12.84 <.0001 Error 21 90018.65 4286.603 Corrected Total 25 310249.4 Root MSE 65.47215 R‐Square 0.70985 Dependent Mean 161.58819 Adj R‐Sq 0.65458 Coeff Var 40.51791 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 105.5490 72.63240 1.45 0.1610 RHDKR 1 ‐0.00910 0.010847 ‐0.84 0.4111 LRR 1 ‐5.18891 2.820674 ‐1.84 0.0800 EGROWTH 1 0.000370 0.000262 1.41 0.1728 LDDKR 1 0.798310 0.162361 4.92 <.0001 Durbin‐Watson 2.324106 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation ‐0.23458 175
176
Lampiran 3. Lanjutan
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model QXKR Dependent Variable QXKR Label QXKR Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 4216424 1054106 87.72 <.0001 Error 21 252337.5 12016.07 Corrected Total 25 4468762 Root MSE 109.61784 R‐Square 0.94353 Dependent Mean 1441.30812 Adj R‐Sq 0.93278 Coeff Var 7.60544 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 102.2860 114.5276 0.89 0.3819 LRHEKR 1 2.688E‐6 3.212E‐6 0.84 0.4120 L2RHDKR 1 ‐0.00872 0.016459 ‐0.53 0.6020 LUSGDP 1 0.013080 0.007101 1.84 0.0796 LQXKR 1 0.720029 0.168488 4.27 0.0003 Durbin‐Watson 1.334647 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.282351 Lampiran 3. Lanjutan
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model RHDKR Dependent Variable RHDKR Label Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 9753260 2438315 1.46 0.2501 Error 21 35100421 1671449 Corrected Total 25 44853681 Root MSE 1292.84516 R‐Square 0.21745 Dependent Mean 7255.06265 Adj R‐Sq 0.06839 Coeff Var 17.81990 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 4314.834 1394.392 3.09 0.0055 PRHEKR 1 0.000073 0.000052 1.41 0.1729 QXKR 1 3.696375 4.773756 0.77 0.4474 QKR 1 ‐2.37874 3.876247 ‐0.61 0.5460 LRHDKR 1 0.196950 0.200018 0.98 0.3360 Durbin‐Watson 1.991743 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.003387 177
178
Lampiran 3. Lanjutan
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model TDFPD Dependent Variable TDFPD Label TDFPD Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 8 1614942 201867.7 1.89 0.1294 Error 17 1820519 107089.3 Corrected Total 25 3435461 Root MSE 327.24508 R‐Square 0.47008 Dependent Mean 171.33942 Adj R‐Sq 0.22071 Coeff Var 190.99228 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐9198.99 4421.778 ‐2.08 0.0529 RHGKG 1 0.174284 0.207334 0.84 0.4122 RHPP 1 0.601135 0.629978 0.95 0.3533 RR 1 ‐23.3406 15.09199 ‐1.55 0.1404 RHBBM 1 ‐0.29953 0.208340 ‐1.44 0.1687 RHKHA 1 ‐0.00089 0.000462 ‐1.92 0.0713 RHKHTI 1 4.219849 2.283638 1.85 0.0821 POP 1 63.54466 21.98855 2.89 0.0102 LATPD 1 ‐0.40994 0.175085 ‐2.34 0.0317 Durbin‐Watson 2.478531 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation ‐0.25845 Lampiran 3. Lanjutan
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model QGKG Dependent Variable QGKG Label QGKG Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 9.2887E8 1.8577E8 91.77 <.0001 Error 20 40488240 2024412 Corrected Total 25 9.6936E8 Root MSE 1422.81832 R‐Square 0.95823 Dependent Mean 47989.8984 Adj R‐Sq 0.94779 Coeff Var 2.96483 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐16166.6 10033.07 ‐1.61 0.1228 RHGKG 1 0.351790 0.849424 0.41 0.6832 RR 1 ‐55.8235 60.40343 ‐0.92 0.3664 RHBBM 1 ‐0.44924 0.857686 ‐0.52 0.6062 PRODPD 1 4504.244 2416.344 1.86 0.0771 LQGKG 1 0.942387 0.067185 14.03 <.0001 Durbin‐Watson 2.403813 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation ‐0.21291 179
180
Lampiran 3. Lanjutan
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model DGKG Dependent Variable DGKG Label DGKG Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 9.3519E8 1.5587E8 86.67 <.0001 Error 19 34168492 1798342 Corrected Total 25 9.6936E8 Root MSE 1341.02263 R‐Square 0.96475 Dependent Mean 47989.8984 Adj R‐Sq 0.95362 Coeff Var 2.79439 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 15550.00 6964.717 2.23 0.0378 LRHPP 1 ‐1.78842 2.358771 ‐0.76 0.4576 RR 1 ‐27.4545 56.96717 ‐0.48 0.6354 RHBBM 1 ‐0.85523 0.856707 ‐1.00 0.3307 RHDBR 1 0.968472 1.024794 0.95 0.3565 RY 1 0.006241 0.002750 2.27 0.0351 LDGKG 1 0.552955 0.176764 3.13 0.0055 Durbin‐Watson 1.966136 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation ‐0.0409 Lampiran 3. Lanjutan
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model RHGKG Dependent Variable RHGKG Label Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 3044215 1014738 9.78 0.0003 Error 22 2282598 103754.4 Corrected Total 25 5326813 Root MSE 322.10937 R‐Square 0.57149 Dependent Mean 1342.98301 Adj R‐Sq 0.51306 Coeff Var 23.98462 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 1439.380 752.5141 1.91 0.0689 PRHPP 1 0.219112 0.455779 0.48 0.6354 QGKG 1 ‐0.01812 0.012543 ‐1.44 0.1627 LRHGKG 1 0.564356 0.163599 3.45 0.0023 Durbin‐Watson 1.471632 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.254676 181
182
Lampiran 3. Lanjutan
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model TDGHPH Dependent Variable TDGHPH Label TDGHPH Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 7 2.2432E8 32045725 4.21 0.0065 Error 18 1.3695E8 7608610 Corrected Total 25 3.6128E8 Root MSE 2758.37093 R‐Square 0.62091 Dependent Mean ‐1018.1538 Adj R‐Sq 0.47349 Coeff Var ‐270.91887 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 18545.02 6923.911 2.68 0.0153 RHEKL 1 0.003265 0.000915 3.57 0.0022 RHKHA 1 ‐0.01044 0.004276 ‐2.44 0.0252 RR 1 ‐462.195 136.9469 ‐3.37 0.0034 L2QILL 1 ‐0.48485 0.186867 ‐2.59 0.0183 LRHEMSW 1 ‐0.00211 0.000643 ‐3.29 0.0041 KPIHPH 1 ‐506.236 1948.073 ‐0.26 0.7979 LAHPH 1 ‐0.16942 0.119323 ‐1.42 0.1728 Durbin‐Watson 2.006376 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation ‐0.09452 Lampiran 3. Lanjutan
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model QILL Dependent Variable QILL Label QILL Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 7 3.0452E8 43502769 10.23 <.0001 Error 18 76535160 4251953 Corrected Total 25 3.8105E8 Root MSE 2062.02652 R‐Square 0.79915 Dependent Mean 10540.1125 Adj R‐Sq 0.72104 Coeff Var 19.56361 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 3450.205 4001.590 0.86 0.3999 RHKHA 1 0.000506 0.001996 0.25 0.8028 RR 1 ‐152.881 91.51140 ‐1.67 0.1121 RHBBM 1 ‐3.01272 1.534406 ‐1.96 0.0652 RDR 1 ‐0.02144 0.010638 ‐2.02 0.0590 PRODHA 1 408.9038 159.4463 2.56 0.0195 PKUM 1 411.1423 2215.215 0.19 0.8548 LQILL 1 0.459784 0.142001 3.24 0.0046 Durbin‐Watson 1.583423 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.186333 183
184
Lampiran 3. Lanjutan
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model QKBHA Dependent Variable QKBHA Label QKBHA Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 2.075E9 3.4583E8 69.31 <.0001 Error 19 94800826 4989517 Corrected Total 25 2.1698E9 Root MSE 2233.72271 R‐Square 0.95631 Dependent Mean 15355.5772 Adj R‐Sq 0.94251 Coeff Var 14.54665 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐5429.13 7336.647 ‐0.74 0.4683 LRHKHA 1 0.001499 0.003024 0.50 0.6258 LRR 1 ‐196.699 104.7373 ‐1.88 0.0758 RPSDH 1 ‐0.58191 0.126943 ‐4.58 0.0002 PRODHA 1 800.2421 188.2378 4.25 0.0004 AHPH 1 0.280795 0.121106 2.32 0.0317 LQKBHA 1 0.351669 0.150212 2.34 0.0303 Durbin‐Watson 1.645031 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.176983 Lampiran 3. Lanjutan
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model DKBKG Dependent Variable DKBKG Label DKBKG Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 1.2355E9 2.0591E8 41.63 <.0001 Error 19 93986195 4946642 Corrected Total 25 1.3295E9 Root MSE 2224.10473 R‐Square 0.92930 Dependent Mean 9965.32410 Adj R‐Sq 0.90698 Coeff Var 22.31844 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 ‐2234.08 6728.256 ‐0.33 0.7435 RHKHA 1 ‐0.00186 0.002824 ‐0.66 0.5172 RHKHTI 1 16.06287 10.42745 1.54 0.1399 RR 1 ‐208.443 97.54792 ‐2.14 0.0458 RW 1 ‐0.00085 0.004281 ‐0.20 0.8444 RY 1 0.000963 0.003307 0.29 0.7741 LDKBKG 1 0.744575 0.186695 3.99 0.0008 Durbin‐Watson 2.018001 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation ‐0.06749 185
186
Lampiran 3. Lanjutan
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model DKBKL Dependent Variable DKBKL Label DKBKL Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 7 6.4086E8 91551983 74.39 <.0001 Error 18 22152102 1230672 Corrected Total 25 6.6302E8 Root MSE 1109.35671 R‐Square 0.96659 Dependent Mean 15658.7026 Adj R‐Sq 0.95360 Coeff Var 7.08460 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 1246.330 2304.044 0.54 0.5952 RHKHA 1 ‐0.00333 0.001588 ‐2.10 0.0503 RHKHTI 1 4.793018 3.437488 1.39 0.1802 LRR 1 ‐30.6317 55.55324 ‐0.55 0.5881 RW 1 ‐0.00315 0.002623 ‐1.20 0.2455 RHEKL 1 0.000613 0.000432 1.42 0.1729 EGROWTH 1 0.010330 0.004766 2.17 0.0439 LDKBKL 1 0.911707 0.098259 9.28 <.0001 Durbin‐Watson 2.871075 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation ‐0.43969 Lampiran 3. Lanjutan
The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model RHKHA Dependent Variable RHKHA Label Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 2.537E12 8.455E11 52.21 <.0001 Error 22 3.562E11 1.619E10 Corrected Total 25 2.893E12 Root MSE 127252.432 R‐Square 0.87685 Dependent Mean 715581.100 Adj R‐Sq 0.86006 Coeff Var 17.78309 Parameter Estimates Parameter Standard Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Intercept 1 305432.0 168867.6 1.81 0.0842 RHEKL 1 0.130992 0.030631 4.28 0.0003 QL 1 ‐15.6081 4.590326 ‐3.40 0.0026 LRHKHA 1 0.555619 0.125418 4.43 0.0002 Durbin‐Watson 1.833888 Number of Observations 26 First‐Order Autocorrelation 0.071401 187
189
Lampiran 4. Hasil Pendugaan Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan
Alam Menggunakan Metode 2SLS dan AR(1), Software EViews
versi 6
Dependent Variable: RC
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 01:26
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 12 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM
RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW
RHEKR PRODKR
ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD
RHDKG
RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH
RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RYD
RR
AR(1)
-56417.51
0.750511
-1421.586
0.530577
61107.14
0.052134
1392.704
0.204816
-0.923256
14.39593
-1.020737
2.590507
0.3659
0.0000
0.3185
0.0167
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.980819
0.978203
44466.70
374.9822
0.000000
Inverted AR Roots
.53
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
742738.1
301187.2
4.35E+10
1.784833
4.35E+10
190
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: RPPJK
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 01:34
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 18 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM
RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW
RHEKR PRODKR
ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD
RHDKG
RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH
RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RY
RR
RPPJK(-1)
AR(1)
-58992.19
0.153017
-156.8430
0.039132
0.790514
23359.39
0.029391
249.8787
0.178372
0.156965
-2.525417
5.206330
-0.627677
0.219386
5.036250
0.0197
0.0000
0.5370
0.8285
0.0001
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.989158
0.987092
7538.419
478.9633
0.000000
Inverted AR Roots
.79
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
129889.8
66352.70
1.19E+09
1.860860
1.19E+09
191
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: RG
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 01:37
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 8 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH
PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RPPJK
OILP
RG(-1)
AR(1)
10154.85
0.424375
127.4504
0.265881
0.377229
10280.38
0.118110
61.08260
0.236871
0.214909
0.987789
3.593056
2.086526
1.122474
1.755297
0.3345
0.0017
0.0493
0.2743
0.0938
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.963854
0.956969
6800.408
139.9929
0.000000
Inverted AR Roots
.38
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
98171.33
32782.52
9.71E+08
1.879237
9.71E+08
192
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: RI
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 01:39
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 16 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH
PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RR(-1)
RY
KRISIS
RI(-1)
AR(1)
8822.436
2202.201
0.297151
-185378.4
-0.080172
0.704682
158018.0
2472.776
0.139217
67147.78
0.250542
0.220303
0.055832
0.890578
2.134454
-2.760752
-0.319993
3.198698
0.9560
0.3837
0.0454
0.0121
0.7523
0.0045
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.762951
0.703689
73192.71
12.87417
0.000011
Inverted AR Roots
.70
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
321678.7
134460.3
1.07E+11
1.866472
1.07E+11
193
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: RNX
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 01:41
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 20 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH
PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
REXR
RY
OILP
RNX(-1)
AR(1)
170114.6
13.56636
-0.177489
-311.6503
0.069802
-0.134133
62445.35
3.843080
0.056799
226.5882
0.274017
0.334634
2.724216
3.530075
-3.124839
-1.375404
0.254734
-0.400834
0.0131
0.0021
0.0053
0.1842
0.8015
0.6928
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
Inverted AR Roots
0.585477
0.481847
53872.14
5.649654
0.002093
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
-.13
33850.78
74840.23
5.80E+10
2.037577
5.80E+10
194
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: R
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 01:43
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 19 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH
PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RMS(-1)
IHK-IHK(-1)
EXPINF
KRISIS
FER
R(-1)
AR(1)
12.01211
-1.67E-05
1.357908
0.206645
10.88883
-11.67211
0.112403
0.215784
4.639409
1.27E-05
0.199437
0.109854
5.533044
6.478519
0.152622
0.336409
2.589147
-1.318049
6.808720
1.881090
1.967964
-1.801664
0.736479
0.641436
0.0185
0.2040
0.0000
0.0762
0.0647
0.0884
0.4709
0.5293
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.793854
0.713686
5.933662
9.902404
0.000046
Inverted AR Roots
.22
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
14.19077
11.08924
633.7503
1.698624
633.7503
195
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: IHK
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 01:45
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 8 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH
PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RY(-1)
IHK(-1)
AR(1)
-10.80683
1.82E-05
0.963797
-0.226708
5.429008
7.92E-06
0.060507
0.229715
-1.990572
2.302910
15.92877
-0.986912
0.0591
0.0311
0.0000
0.3344
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
Inverted AR Roots
0.988667
0.987121
6.836047
639.7262
0.000000
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
-.23
75.20577
60.23762
1028.094
2.011119
1028.094
196
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: EXR
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 01:47
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 28 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH
PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RR-RFRATE
RNX(-1)
RMS
KRISIS
EXR(-1)
AR(1)
274.6091
-84.16786
-0.009667
0.001464
1732.817
0.916711
0.056605
813.8032
63.08017
0.006165
0.002743
1055.807
0.165690
0.268634
0.337439
-1.334300
-1.567860
0.533609
1.641225
5.532698
0.210713
0.7395
0.1979
0.1334
0.5998
0.1172
0.0000
0.8354
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.936053
0.915859
1434.110
46.35366
0.000000
Inverted AR Roots
.06
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
6622.659
4944.015
39076756
1.979702
39076756
197
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: EMP
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 02:09
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 9 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH
PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RW(-1)
RY
EMP(-1)
AR(1)
9.568721
-4.02E-07
3.66E-06
0.850661
-0.428011
3.221160
1.40E-06
1.90E-06
0.066754
0.201156
2.970583
-0.286667
1.929315
12.74316
-2.127757
0.0073
0.7772
0.0673
0.0000
0.0454
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
Inverted AR Roots
0.984535
0.981589
1.615578
334.2220
0.000000
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
-.43
82.26000
11.90665
54.81191
2.026748
54.81191
198
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: TDFHTI
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 02:12
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 32 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH
PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RHEPU(-2)
RHKHTI
RR-RR(-2)
RW
RHBBM
RHEKR
RHEMSW
RHEKL
PPHTI
AHTI(-1)
AR(1)
6035.801
0.000108
-5.316059
-20.06286
-0.004089
-0.779607
0.000131
-0.000199
-0.000330
1238.447
-0.534241
-0.503551
2288.134
6.48E-05
2.915920
11.54696
0.001328
0.206367
2.44E-05
0.000116
9.07E-05
335.5274
0.229503
0.293967
2.637871
1.664284
-1.823116
-1.737502
-3.079988
-3.777760
5.381578
-1.714179
-3.640916
3.691045
-2.327815
-1.712952
0.0195
0.1183
0.0897
0.1042
0.0081
0.0020
0.0001
0.1085
0.0027
0.0024
0.0354
0.1088
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
Inverted AR Roots
0.835489
0.706231
265.8307
6.463713
0.000844
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
-.50
275.0077
490.4583
989323.6
2.246241
989323.6
199
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: QKHTI
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 02:14
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 10 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH
PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RHKHTI
RR
PRODHTI
AHTI
QKHTI(-1)
AR(1)
-6382.717
12.86902
-71.08063
3093.163
0.835182
0.543789
-0.124159
2342.127
4.691243
59.54558
591.9722
0.315076
0.096619
0.250529
-2.725180
2.743200
-1.193718
5.225184
2.650729
5.628171
-0.495587
0.0134
0.0129
0.2473
0.0000
0.0158
0.0000
0.6259
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
Inverted AR Roots
0.973782
0.965503
1331.184
117.6172
0.000000
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
-.12
4079.508
7167.177
33668950
2.056199
33668950
200
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: DKHTI
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 02:17
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 10 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH
PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RHKHTI
RR
RW
RHEPU-RHEPU(-1)
RY-RY(-1)
DKHTI(-1)
AR(1)
3608.361
-2.351334
-274.5783
-0.004144
0.000490
0.025650
0.819310
0.058621
2160.288
3.807461
101.2935
0.002681
0.000306
0.009848
0.126179
0.274227
1.670315
-0.617560
-2.710721
-1.545602
1.602454
2.604534
6.493244
0.213767
0.1122
0.5446
0.0143
0.1396
0.1265
0.0179
0.0000
0.8331
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.949656
0.930078
1895.205
48.50563
0.000000
Inverted AR Roots
.06
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
4079.508
7167.177
64652421
1.890613
64652421
201
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: RHKHTI
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 05:27
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 17 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH
PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RHEPU-RHEPU(-1)
RHKHA
QKHTI(-1)
RHKHTI(-1)
AR(1)
18.82905
7.96E-06
-1.28E-05
-0.000813
0.936296
0.149277
59.26048
4.57E-06
3.63E-05
0.001594
0.099634
0.251066
0.317734
1.743051
-0.351637
-0.510192
9.397306
0.594572
0.7540
0.0967
0.7288
0.6155
0.0000
0.5588
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.968453
0.960566
30.83768
122.7937
0.000000
Inverted AR Roots
.15
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
350.8008
155.2908
19019.25
2.089928
19019.25
202
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: TDFSW
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 05:32
Sample (adjusted): 1984 2007
Included observations: 24 after adjustments
Convergence achieved after 18 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH
PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RHEMSW
RHBSW
RR(-3)
RW
RHKHTI(1)
RHKHA(-1)
ATSW(-1)
AR(1)
1299.323
6.37E-05
-0.666299
-14.66318
-0.000409
-2.153504
0.000781
-0.231339
-0.615164
558.4231
4.29E-05
0.700386
7.547488
0.000185
0.715569
0.000183
0.055282
0.316925
2.326772
1.486270
-0.951330
-1.942789
-2.217470
-3.009497
4.267935
-4.184733
-1.941040
0.0344
0.1579
0.3565
0.0711
0.0425
0.0088
0.0007
0.0008
0.0713
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
Inverted AR Roots
0.782473
0.666458
147.4430
6.744615
0.000803
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
-.62
265.0504
255.2989
326091.4
2.383251
326091.4
203
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: QBSW
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 05:34
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 9 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH
PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RHBSW(-1)
RR
PRODSW
ATSW
QBSW(-1)
AR(1)
-43932.25
0.046127
-4.367065
4507.706
9.768781
0.031462
0.437517
5171.539
4.875256
56.90550
493.6166
0.729057
0.073341
0.128930
-8.495004
0.009462
-0.076742
9.131999
13.39920
0.428985
3.393446
0.0000
0.9925
0.9396
0.0000
0.0000
0.6728
0.0030
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.996505
0.995401
1615.982
902.9044
0.000000
Inverted AR Roots
.44
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
28600.53
23829.96
49616552
2.031650
49616552
204
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: DBSW
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 05:36
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 29 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH
PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RHBSW
RR
RW
RHDMSW
RY
DBSW(-1)
AR(1)
-2244.330
-23.33792
-290.5991
-0.010632
1.368128
0.022296
0.656246
-0.210059
10964.29
12.47764
201.2895
0.006789
2.667994
0.012563
0.238436
0.320113
-0.204694
-1.870379
-1.443688
-1.566146
0.512793
1.774734
2.752291
-0.656204
0.8401
0.0778
0.1660
0.1347
0.6143
0.0929
0.0131
0.5200
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
Inverted AR Roots
0.979334
0.971298
4037.202
121.8592
0.000000
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
-.21
28600.53
23829.96
2.93E+08
2.120663
2.93E+08
205
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: RHBSW
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 05:37
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 23 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH
PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RHEMSW
DBSW
RHBSW(-1)
AR(1)
81.57648
4.08E-05
0.001926
0.117844
-0.064020
61.58372
1.30E-05
0.000748
0.282326
0.439155
1.324644
3.145477
2.575201
0.417403
-0.145780
0.1995
0.0049
0.0176
0.6806
0.8855
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
Inverted AR Roots
0.615039
0.541713
57.59829
8.387742
0.000331
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
-.06
329.5466
85.08261
69668.82
1.918460
69668.82
206
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: TDFKR
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 05:41
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 60 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH
PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RHDKR
RR
RHKHA
RHEMSW
RHEKR
ATKR(-1)
AR(1)
606.9898
0.001071
-8.231884
-9.19E-05
-1.15E-05
6.06E-06
-0.161324
-0.156100
174.9765
0.010725
3.309290
5.59E-05
1.98E-05
3.47E-06
0.055527
0.268186
3.468978
0.099897
-2.487508
-1.643807
-0.578399
1.745424
-2.905301
-0.582058
0.0027
0.9215
0.0229
0.1176
0.5702
0.0980
0.0094
0.5677
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
Inverted AR Roots
0.477290
0.274014
66.16388
2.347990
0.068486
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
-.16
36.16577
77.65276
78797.87
2.084057
78797.87
207
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: QKR
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 05:42
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 15 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH
PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RHDKR
RR
PRODKR
ATKR
QKR(-1)
AR(1)
-1304.793
0.002636
-0.774980
3139.847
0.380739
0.074069
0.464264
83.00897
0.001899
0.394506
96.83679
0.025667
0.029389
0.183051
-15.71870
1.387992
-1.964431
32.42411
14.83394
2.520243
2.536254
0.0000
0.1812
0.0643
0.0000
0.0000
0.0208
0.0201
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.999649
0.999538
10.93267
9013.983
0.000000
Inverted AR Roots
.46
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
1602.897
508.5886
2270.943
2.110848
2270.943
208
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: DDKR
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 05:44
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 8 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH
PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RHDKR
RR(-1)
RY-RY(-1)
DDKR(-1)
AR(1)
106.6144
-0.010171
-5.828949
0.000375
0.846774
-0.279024
64.11936
0.009810
2.845871
0.000239
0.148328
0.232825
1.662749
-1.036825
-2.048213
1.565200
5.708803
-1.198429
0.1120
0.3122
0.0539
0.1332
0.0000
0.2448
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
Inverted AR Roots
0.728291
0.660364
64.92138
10.72165
0.000041
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
-.28
161.5892
111.3989
84295.72
2.000582
84295.72
209
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: QXKR
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 05:46
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 39 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH
PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RHEKR(-1)
RHDKR(-2)
USGDP(-1)
QXKR(-1)
AR(1)
2.446200
1.29E-05
-0.015124
0.043708
0.082290
0.868631
476.0310
3.08E-06
0.010250
0.016977
0.195526
0.123550
0.005139
4.195720
-1.475592
2.574473
0.420865
7.030623
0.9960
0.0004
0.1556
0.0181
0.6783
0.0000
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.970708
0.963385
80.90096
132.5554
0.000000
Inverted AR Roots
.87
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
1441.308
422.7885
130899.3
1.572986
130899.3
210
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: RHDKR
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 05:48
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 27 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH
PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RHEKR-RHEKR(-1)
QXKR
QKR
RHDKR(-1)
AR(1)
4283.563
7.43E-05
3.674619
-2.365590
0.202657
-0.009185
3456.421
5.34E-05
5.096489
4.026008
0.609432
0.651133
1.239306
1.391605
0.721010
-0.587577
0.332534
-0.014106
0.2296
0.1793
0.4792
0.5634
0.7429
0.9889
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
Inverted AR Roots
0.217611
0.022014
1324.760
1.112546
0.385137
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
-.01
7254.963
1339.587
35099807
1.988991
35099807
211
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: TDFPD
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 05:50
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 13 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH
PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RHGKG
RHPP
RR
RHBBM
RHKHA
RHKHTI
POP
ATPD(-1)
AR(1)
-8932.920
0.348054
0.504327
-29.88638
-0.169423
-0.000891
3.954517
48.54795
-0.174962
-0.498162
3072.219
0.156104
0.494159
15.53437
0.177441
0.000356
1.671473
18.25271
0.157464
0.243087
-2.907645
2.229633
1.020578
-1.923888
-0.954812
-2.502891
2.365888
2.659767
-1.111120
-2.049318
0.0103
0.0404
0.3226
0.0723
0.3539
0.0235
0.0309
0.0171
0.2829
0.0572
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
Inverted AR Roots
0.550498
0.297653
310.6693
2.177214
0.083660
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
-.50
171.3400
370.6999
1544247.
2.300249
1544247.
212
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: QGKG
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 05:52
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 16 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH
PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RHGKG
RR
RHBBM
PRODPD
QGKG(-1)
AR(1)
-14873.69
0.512769
-60.46110
-0.299252
4011.904
0.953313
-0.242427
9044.077
0.745601
65.85190
0.757509
2214.159
0.058288
0.230959
-1.644578
0.687726
-0.918138
-0.395047
1.811931
16.35531
-1.049656
0.1165
0.4999
0.3701
0.6972
0.0858
0.0000
0.3070
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
Inverted AR Roots
0.960461
0.947975
1420.301
76.92236
0.000000
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
-.24
47989.90
6226.908
38327835
2.253956
38327835
213
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: DGKG
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 05:54
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 70 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH
PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RHPP(-1)
RR
RHBBM
RHDBR
RY
DDGKG(-1)
AR(1)
25891.97
-0.844636
-46.39643
-2.003432
1.028758
0.010717
0.226863
0.388088
11312.33
2.481288
50.89384
1.102557
1.257753
0.004429
0.334167
0.298548
2.288827
-0.340402
-0.911632
-1.817078
0.817933
2.419923
0.678891
1.299920
0.0344
0.7375
0.3740
0.0859
0.4241
0.0263
0.5058
0.2100
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.966830
0.953930
1336.533
74.95107
0.000000
Inverted AR Roots
.39
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
47989.90
6226.908
32153751
1.990582
32153751
214
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: RHGKG
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 05:55
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 28 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH
PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RHPP-RHPP(-1)
QGKG
RHGKG(-1)
AR(1)
2081.029
0.177328
-0.026394
0.389236
0.377112
3682.345
0.394348
0.046887
1.055231
1.179523
0.565137
0.449674
-0.562924
0.368863
0.319716
0.5780
0.6576
0.5794
0.7159
0.7523
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.611919
0.537998
313.7295
8.278087
0.000358
Inverted AR Roots
.38
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
1342.950
461.5658
2066951.
1.739309
2066951.
215
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: TDGHPH
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 05:59
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 17 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH
PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RHEKL
RHKHA
RR
QILL(-2)
RHEMSW(-1)
RHEKR(-1)
KPIHPH
AHPH(-1)
AR(1)
15298.41
0.003540
-0.009923
-540.0948
-0.427461
-0.001537
-0.000171
-1108.177
-0.138803
0.034816
8027.945
0.000979
0.004703
157.1706
0.203070
0.000986
0.000175
2115.817
0.134204
0.306848
1.905644
3.616929
-2.109959
-3.436360
-2.104991
-1.558850
-0.979889
-0.523758
-1.034263
0.113463
0.0748
0.0023
0.0510
0.0034
0.0514
0.1386
0.3417
0.6076
0.3164
0.9111
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.645071
0.445424
2830.933
3.231051
0.019734
Inverted AR Roots
.03
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
-1018.154
3801.447
1.28E+08
2.026929
1.28E+08
216
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: QILL
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 06:01
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 38 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH
PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RHKHA
RR
RHBBM
RDR
PRODHA
PKUM
QILL(-1)
AR(1)
3299.569
0.000758
-131.7598
-2.981875
-0.021166
435.8245
421.3484
0.398807
0.234658
4913.800
0.002169
84.83008
1.806944
0.012473
171.9413
2389.805
0.237214
0.380719
0.671490
0.349344
-1.553221
-1.650231
-1.696989
2.534729
0.176311
1.681208
0.616354
0.5109
0.7311
0.1388
0.1172
0.1079
0.0214
0.8621
0.1110
0.5458
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.807518
0.716938
2077.133
8.914991
0.000090
Inverted AR Roots
.23
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
10540.11
3904.124
73346170
1.707106
73346170
217
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: QKBHA
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 06:03
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 49 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH
PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RHKHA(-1)
RR(-1)
RPSDH
PRODHA
AHPH
QKBHA(-1)
AR(1)
-10534.49
0.002809
-209.6630
-0.494871
765.9956
0.368882
0.276694
0.338450
7707.395
0.003117
92.18915
0.150529
195.8429
0.137387
0.194788
0.287735
-1.366804
0.901131
-2.274270
-3.287547
3.911276
2.684988
1.420491
1.176254
0.1885
0.3794
0.0354
0.0041
0.0010
0.0151
0.1726
0.2548
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.958741
0.942695
2230.137
59.75200
0.000000
Inverted AR Roots
.34
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
15355.58
9316.146
89523218
1.775243
89523218
218
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: DKBKG
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 06:06
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 17 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH
PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RHKHA
RHKHTI
RR
RW
RHEKL
RY
DKBKG(-1)
AR(1)
-3460.369
-0.002447
16.68629
-204.6940
-0.002848
0.000228
0.001973
0.791207
-0.201772
6544.107
0.003871
11.03084
120.0788
0.004487
0.000782
0.003465
0.220185
0.279062
-0.528776
-0.632122
1.512695
-1.704664
-0.634741
0.291835
0.569461
3.593372
-0.723037
0.6038
0.5357
0.1487
0.1065
0.5340
0.7739
0.5765
0.0022
0.4795
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
Inverted AR Roots
0.931553
0.899343
2313.608
28.92098
0.000000
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
-.20
9965.324
7292.350
90997295
1.924428
90997295
219
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: DKBKL
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 06:07
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 11 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH
PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RHKHA
RHKHTI
RR(-1)
RW
RHEKL
RY-RY(-1)
DKBKL(-1)
AR(1)
896.1906
-0.003400
5.521699
-33.40403
-0.004355
0.000611
0.011803
0.955339
-0.496897
1751.049
0.001277
2.660897
51.26938
0.001656
0.000364
0.003620
0.070152
0.213445
0.511802
-2.663293
2.075127
-0.651540
-2.629815
1.680755
3.260759
13.61807
-2.327986
0.6154
0.0164
0.0535
0.5234
0.0176
0.1111
0.0046
0.0000
0.0325
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
Inverted AR Roots
0.974294
0.962197
1001.273
80.54134
0.000000
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
-.50
15658.70
5149.819
17043319
2.598196
17043319
220
Lampiran 4. Lanjutan
Dependent Variable: RHKHA
Method: Two-Stage Least Squares
Date: 02/28/12 Time: 06:09
Sample: 1983 2008
Included observations: 26
Convergence achieved after 18 iterations
Instrument list: OILP RW RHBBM RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD RHDKG RHEKL PRODHA AHPH
PKUM KPIHPH RPSDH RDR QXKB
Lagged dependent
variable & regressors
added to instrument list
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
RHEKL
QILL+QKBHA
RHKHA(-1)
AR(1)
309719.4
0.129333
-15.45845
0.551386
0.078756
200654.1
0.032326
5.098633
0.152475
0.254231
1.543549
4.000831
-3.031881
3.616246
0.309783
0.1376
0.0006
0.0063
0.0016
0.7598
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.877557
0.854234
129876.0
37.62707
0.000000
Inverted AR Roots
.08
Mean dependent var
S.D. dependent var
Sum squared resid
Durbin-Watson stat
Second-Stage SSR
715576.6
340174.3
3.54E+11
1.937746
3.54E+11
221
Lampiran 5. Program Validasi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan
Alam Menggunakan Metode Newton, Prosedur SYSNLIN,
Software SAS versi 9.0
DATA OLAH;
SET AST.MIMA1;
“BLOK MAKROEKONOMI”
RY=(Y/DFLA)*100;
LRY=LAG(RY);
PRY=RY-LRY;
RPPJK=(PPJK/DFLA)*100;
LRPPJK=LAG(RPPJK);
RC=(C/DFLA)*100;
RYD=RY-RPPJK;
RG=(G/DFLA)*100;
LRG=LAG(RG);
RI=(I/DFLA)*100;
LRI=LAG(RI);
NX = X - M;
RNX = (NX/DFLA)*100;
LRNX=LAG(RNX);
LR=LAG(R);
RMS=(MS/DFLA)*100;
LRMS=LAG(RMS);
LIHK=LAG(IHK);
PIHK= IHK-LIHK;
LEXR=LAG(EXR);
RR=R-DINF;
LRR=LAG(RR);
L2RR=LAG2(RR);
P2RR=RR-L2RR;
L3RR=LAG3(RR);
REXR = EXR*IHK/USCPI;
LUSCPI=LAG(USCPI);
RFRATE = FEDRATE - (((USCPI-LUSCPI)/LUSCPI)*100);
UIP = RR – RFRATE;
OILP=(WOIL/DFLA)*100;
RW=(W/DFLA)*100;
LRW=LAG(RW);
LEMP=LAG(EMP);
UNEMP=LF-EMP;
LUSGDP=LAG(USGDP);
222
Lampiran 5.
Lanjutan
“BLOK DEFORESTASI”
“HTI”
RHEPU=((HEPU*EXR)/DFLA)*100;
L2RHEPU=LAG2(RHEPU);
PRHEPU=RHEPU-LRHEPU);
RHKHTI=(HKHTI/DFLA)*100;
LRHKHTI=LAG(RHKHTI);
RHBBM=(HBBM/DFLA)*100;
LAHTI=LAG(AHTI);
LQKHTI=LAG(QKHTI);
LDKHTI=LAG(DKHTI);
LRHEPU=LAG(RHEPU);
PRHEPU=RHEPU-LRHEPU;
“SAWIT”
RHEMSW=((HEMSW*EXR)/DFLA)*100;
LRHEMSW=LAG(RHEMSW);
RHBSW=(HBSW/DFLA)*100;
LRHBSW=LAG(RHBSW);
LATSW=LAG(ATSW);
LQBSW=LAG(QBSW);
LRHDMSW=LAG(RHDMSW);
LDBSW=LAG(DBSW);
“KARET”
RHDKR=(HDKR/DFLA)*100;
L2RHDKR=LAG2(RHDKR);
RHEKR=((HEKR*EXR)/DFLA)*100;
LRHEKR=LAG(RHEKR);
PRHEKR=RHEKR-LRHEKR;
LATKR=LAG(ATKR);
LQKR=LAG(QKR);
LDDKR=LAG(DDKR);
LQXKR=LAG(QXKR);
“PADI”
RHGKG=(HGKG/DFLA)*100;
LRHGKG=LAG(RHGKG);
RHPP=(HPP/DFLA)*100;
LRHPP=LAG(RHPP);
PRHPP=RHPP-LRHPP;
LATPD=LAG(ATPD);
Lampiran 5.
Lanjutan
LQGKG=LAG(QGKG);
RHDBR=LAG(HDBR/DFLA)*100;
LDGKG=LAG(DGKG);
TTDF =TDFHTI + TDFSW + TDFKR + TDFPD;
“BLOK DEGRADASI HUTAN”
RHEKL=((HEKL*EXR)/DFLA)*100;
RHKHA=((HKBHA*EXR)/DFLA)*100;
LRHKHA=LAG(RHKHA);
L2QILL=LAG2(QILL);
LQILL=LAG(QILL);
LAHPH=LAG(AHPH);
RDR=(DR/DFLA)*100;
RPSDH=(PSDH/DFLA)*100;
LQKBHA=LAG(QKBHA);
LDKBKG=LAG(DKBKG);
LDKBKL=LAG(DKBKL);
Q=QILL+QKBHA;
RUN;
/* PERINTAH VALIDASI */
PROC MODEL DATA=OLAH THEIL STATS NDEC=2;
ENDOGENOUS
R RR UIP EXR RPPJK RG RI RNX RC RY IHK EMP UNEMP
LRPPJK
LRG
L2RR
LRI
LRNX
LRY
LR
LRMS
LEXR
LEMP
LRW
223
224
Lampiran 5.
Lanjutan
TDFHTI QKHTI DKHTI RHKHTI
L2RHEPU
LAHTI
LQKHTI
LRHEPU
LDKHTI
LRHKHTI
TDFSW QBSW DBSW RHBSW
L3RR
LRHKHTI
LATSW
LRHBSW
LQBSW
LDBSW
TDFKR QKR DDKR QXKR RHDKR
LATKR
LQKR
LRR
LDDKR
LRHEKR
L2RHDKR
LUSGDP
LQXKR
LRHDKR
TDFPD QGKG DGKG RHGKG
LATPD
LQGKG
LRHPP
LDGKG
LRHGKG
TTDF
TDGHPH QILL QKBHA DKBKG DKBKL RHKHA
L2QILL
LRHEMSW
LAHPH
LQILL
LRHKHA
LQKBHA
LDKBKG
LDKBKL ;
Lampiran 5.
225
Lanjutan
INSTRUMENTS
OILP RW RHBBM
RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW
RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD
RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH
RPSDH RDR QXKB ;
PARAMETERS
a0 -56417.51 a1 0.750511 a2 -1421.586
b0 -58992.19 b1 0.153017 b2 -156.8430 b3 0.039132
c0 10143.62 c1 0.424322 c2 127.5101 c3 0.266048
d0 74462.03 d1 -1654.394 d2 0.224192 d3 -183634.0 d4 0.042195
e0 170114.6 e1 13.56636 e2 -0.177489 e3 -311.6503 e4 0.069802
f0 12.01211 f1 -1.67E-05 f2 1.357908 f3 0.206645 f4 10.88883 f5 -11.67211
f6 0.112403
g0 -10.80682 g1 1.82E-05 g2 0.963798
h0 274.6091 h1 -84.16786 h2 -0.009667 h3 0.001464 h4 1732.817 h5 0.916711
i0 9.569870 i1 -4.01E-07 i2 3.66E-06 i3 0.850619
j0 6016.618 j1 0.000108 j2 -5.292850 J3 -20.05732 J4 -0.004082 J5 -0.778556
J6 0.000131 J7 -0.000199 J8-0.000330 J9 1237.097 J10 -0.532633
k0 -6381.576 k1 12.86628 k2 -71.09410 k3 3093.358 k4 0.835054 k5 0.543766
l0 3607.390 l1 -2.353228 l2 -274.6870 l3 -0.004142 l4 0.000491 l5 0.025669
l6 0.819260
m0 18.82956 m1 7.96E-06 m2 -1.28E-05 m3 -0.000813 m4 0.936295
n0 609.7858 n1 0.000102 n2 -0.639404 n3 -16.22272 n4 -0.000218 n5 1.465558 n6 0.001137 n7 -0.222924
o0 -43931.98 o1 0.045690 o2 -4.365651 o3 4507.690 o4 9.768787 o5 0.031463
p0 -2240.855 p1 -23.33913 p2 -290.5749 p3 -0.010631 p4 1.367105 p5 0.022292
p6 0.656303
q0 81.57648 q1 4.08E-05 q2 0.001926 q3 0.117844
r0 606.9273 r1 0.001077 r2 -8.230076 r3 -9.18E-05 r4 -1.15E-05 r5 6.06E-06
r6 -0.161324
s0 -1304.818 s1 0.002637 s2 -0.774956 s3 3139.824 s4 0.380744 s5 0.074075
t0 106.6144 t1 -0.010171 t2 -5.828949 t3 0.000375 t4 0.846774
u0 2.390472 u1 1.29E-05 u2 -0.015125 u3 0.043709 u4 0.082284
v0 4283.563 v1 7.43E-05 v2 3.674619 v3 -2.365590 v4 0.202657
w0 -8932.421 w1 0.348219 w2 0.503538 w3 -29.89181 w4 -0.169767 w5 0.000891 w6 3.953993 w7 48.56133 w8 -0.175141
226
Lampiran 5.
Lanjutan
x0 -14874.88 x1 0.512634 x2 -60.46712 x3 -0.299394 x4 4012.332 x5
0.953306
y0 27606.61 y1 -0.645931 y2 -49.54460 y3 -2.135224 y4 0.997525 y5
0.011510 y6 0.170233
z0 2081.029 z1 0.177328 z2 -0.026394 z3 0.389236
aa0 15298.41 aa1 0.003540 aa2 -0.009923 aa3 -540.0948 aa4 -0.427461
aa5 -0.001537 aa6 -0.000171 aa7 -1108.177 aa8 -0.138803
bb0 3297.057 bb1 0.000758 bb2 -131.7571 bb3 -2.980244 bb4 -0.021163
bb5 435.8382 bb6 419.6691 bb7 0.398822
cc0 -10537.70 cc1 0.002810 cc2 -209.7087 cc3 -0.494821 cc4 765.9082
cc5 0.369004 cc6 0.276578
dd0 -2237.476 dd1 -0.001864 dd2 16.06732 dd3 -208.4581 dd4 -0.000851
dd5 0.000965 dd6 0.744542
ee0 897.3071 ee1 -0.003402 ee2 5.518416 ee3 -33.40311 ee4 -0.004357
ee5 0.000612 ee6 0.011809 ee7 0.955296
ff0 309719.4 ff1 0.129333 ff2 -15.45845 ff3 0.551386 ;
RC = a0 + a1*RYD + a2*RR ;
RPPJK = b0 + b1*RY + b2*RR + b3*LRPPJK;
RG = c0 + c1*RPPJK + c2*OILP + c3*LRG;
RI = d0 + d1*L2RR + d2*RY + d3*KRISIS + d4*LRI ;
RNX = e0 + e1*(EXR*IHK/USCPI) + e2*RY + e3*OILP + e4*LRNX;
R = f0 + f1*LRMS + f2*(IHK-LIHK) + f3*EXPINF + f4*KRISIS + f5*FER +
f6*LR;
IHK = g0 + g1*LRY + g2*LIHK ;
EXR = h0 + h1*UIP + h2*LRNX + h3*RMS + h4*KRISIS + h5*LEXR ;
EMP = i0 + i1*LRW + i2*RY + i3*LEMP;
RY = RC + RI + RG + RNX ;
RR = R-DINF;
UIP = RR -RFRATE ;
UNEMP = LF - EMP;
LRPPJK = LAG(RPPJK);
LRG = LAG(RG);
L2RR=LAG2(RR);
LRI = LAG(RI);
Lampiran 5.
Lanjutan
LRNX = LAG(RNX);
LRY = LAG(RY);
LR = LAG(R);
LRMS=LAG(RMS);
LEXR = LAG(EXR);
LEMP = LAG(EMP);
LRW = LAG(RW);
TDFHTI = j0 + j1*L2RHEPU + j2*RHKHTI + j3*(RR-L2RR) + j4*RW +
j5*RHBBM + j6*RHEKR + j7*RHEMSW + j8*RHEKL + j9*PPHTI +
j10*LAHTI;
QKHTI = k0 + k1*RHKHTI + k2*RR + k3*PRODHTI + k4*AHTI +
k5*LQKHTI;
DKHTI = l0 + l1*RHKHTI + l2*RR + l3*RW + l4*(RHEPU-LRHEPU) +
l5*(RY-LRY) + l6*LDKHTI;
RHKHTI = m0 + m1*(RHEPU-LRHEPU) + m2*RHKHA + m3*LQKHTI +
m4*LRHKHTI;
DKHTI = QKHTI;
TDFSW = n0 + n1*RHEMSW + n2*RHBSW + n3*L3RR + n4*RW +
n5*LRHKHTI + n6*LRHKHA + n7*LATSW ;
QBSW = o0 + o1*LRHBSW + o2*RR + o3*PRODSW + o4*ATSW +
o5*LQBSW ;
DBSW = p0 + p1*RHBSW + p2*RR + p3*RW + p4*RHDMSW + p5*RY +
p6*LDBSW;
RHBSW = q0 + q1*RHEMSW + q2*DBSW + q3*LRHBSW;
QBSW = DBSW;
L3RR = LAG3(RR);
LRHKHTI = LAG(RHKHTI);
LATSW=LAG(ATSW);
LRHBSW=LAG(RHBSW);
LQBSW=LAG(QBSW);
LDBSW = LAG(DBSW);
TDFKR = r0 + r1*RHDKR + r2*RR + r3*RHKHA + r4*RHEMSW +
r5*RHEKR + r6*LATKR ;
QKR = s0 + s1*RHDKR + s2*RR + s3*PRODKR + s4*ATKR + s5*LQKR;
DDKR = t0 + t1*RHDKR + t2*LRR + t3*(RY-LRY) + t4*LDDKR;
QXKR =u0 + u1*LRHEKR + u2*L2RHDKR + u3*LUSGDP + u4*LQXKR;
RHDKR = v0 + v1*(RHEKR-LRHEKR) + v2*QXKR + v3*QKR +
v4*LRHDKR;
QKR = DDKR + QXKR;
227
228
Lampiran 5.
Lanjutan
LATKR = LAG(ATKR);
LQKR = LAG(QKR);
LRR=LAG(RR);
LDDKR = LAG(DDKR);
LRHEKR =LAG(RHEKR);
L2RHDKR = LAG2(RHDKR);
LUSGDP =LAG(USGDP);
LQXKR = LAG(QXKR);
LRHDKR=LAG(RHDKR);
TDFPD = w0 + w1*RHGKG + w2*RHPP + w3*RR + w4*RHBBM +
w5*RHKHA + w6*RHKHTI + w7*POP + w8*LATPD;
QGKG = x0 + x1*RHGKG + x2*RR + x3*RHBBM + x4*PRODPD +
x5*LQGKG;
DGKG = y0 + y1*LRHPP + y2*RR + y3*RHBBM + y4*RHDBR + y5*RY
+ y6*LDGKG;
RHGKG = z0 + z1*(RHPP-LRHPP) + z2*QGKG + z3*LRHGKG;
QGKG = DGKG;
TTDF = TDFHTI + TDFSW + TDFKR + TDFPD;
TDGHPH = aa0 + aa1*RHEKL + aa2*RHKHA + aa3*RR + aa4*L2QILL +
aa5*LRHEMSW + aa6*LRHEKR + aa7*KPIHPH + aa8*LAHPH;
QILL = bb0 + bb1*RHKHA + bb2*RR + bb3*RHBBM + bb4*RDR +
bb5*PRODHA + bb6*PKUM + bb7*LQILL ;
QKBHA = cc0 + cc1*LRHKHA + cc2*LRR + cc3*RPSDH + cc4*PRODHA +
cc5*AHPH + cc6*LQKBHA;
DKBKG = dd0 + dd1*RHKHA + dd2*RHKHTI + dd3*RR + dd4*RW +
dd5*RY + dd6*LDKBKG;
DKBKL = ee0 + ee1*RHKHA + ee2*RHKHTI + ee3* LRR + ee4*RW +
ee5*RHEKL + ee6*(RY-LRY) + ee7*LDKBKL;
RHKHA = ff0 + ff1*RHEKL + ff2*(QILL+QKBHA) + ff3*LRHKHA;
QKBHA + QILL = DKBKG + DKBKL + QXKB ;
L2QILL = LAG2(QILL);
LRHEMSW = LAG(RHEMSW);
LAHPH = LAG(AHPH);
LQILL = LAG(QILL);
LRHKHA = LAG(RHKHA);
LQKBHA = LAG(QKBHA);
LDKBKG = LAG(DKBKG);
LDKBKL = LAG(DKBKL);
Lampiran 5.
Lanjutan
RANGE TAHUN = 1983 TO 2008;
SOLVE
R RR UIP EXR RPPJK RG RI RNX RC RY IHK EMP UNEMP
LRPPJK
LRG
L2RR
LRI
LRNX
LRY
LR
LRMS
LEXR
LEMP
LRW
TDFHTI QKHTI DKHTI RHKHTI
L2RHEPU
LAHTI
LQKHTI
LRHEPU
LDKHTI
LRHKHTI
TDFSW QBSW DBSW RHBSW
L3RR
LRHKHTI
LATSW
LRHBSW
LQBSW
LDBSW
TDFKR QKR DDKR QXKR RHDKR
LATKR
LQKR
LRR
LDDKR
LRHEKR
L2RHDKR
LUSGDP
LQXKR
LRHDKR
229
230
Lampiran 5.
Lanjutan
TDFPD QGKG DGKG RHGKG
LATPD
LQGKG
LRHPP
LDGKG
LRHGKG
TTDF
TDGHPH QILL QKBHA DKBKG DKBKL RHKHA
L2QILL
LRHEMSW
LAHPH
LQILL
LRHKHA
LQKBHA
LDKBKG
LDKBKL /OUTPREDICT ;
RUN ;
231
Lampiran 6. Hasil Validasi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan
Alam Menggunakan Metode Newton, Prosedur SYSNLIN, Software
SAS versi 9.0
The MODEL Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1983 To 2008 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev R 26 26 14.1908 11.0892 14.0273 4.5906 RR 26 26 2.9010 5.5753 2.7375 13.8923 UIP 26 26 0.7466 5.1916 0.5831 14.1443 EXR 26 26 6622.7 4944.0 6720.1 4797.1 REXR 26 26 6956.0 7313.7 6841.0 6921.6 RPPJK 26 26 129891 66351.2 129024 70501.3 RG 26 26 98172.8 32781.6 98336.6 33363.8 RI 26 26 321683 134461 330995 122323 RNX 26 26 33849.9 74842.4 31354.4 48829.4 RC 26 26 742744 301174 740155 283907 RY 26 26 1196450 440139 1200841 442038 IHK 26 26 75.2057 60.2377 75.2200 60.0676 EMP 26 26 82.2600 11.9070 82.3260 11.7369 UNEMP 26 26 5.2146 3.4952 5.1799 3.6401 LRPPJK 26 26 120762 62560.2 120011 67090.0 LRI 26 26 303421 123769 315077 117952 LRG 26 26 93787.1 29496.4 94117.1 30617.3 LRNX 26 26 32977.7 75118.0 30278.4 49229.6 LRY 26 26 1136763 419942 1141836 424138 LR 26 26 14.5281 11.0431 14.1760 4.6327 LRMS 26 26 501474 256026 501474 256026 LEXR 26 26 6279.7 5031.9 6341.8 4866.2 LEMP 26 26 80.5389 12.0893 80.6082 11.9379 LRW 26 26 513077 174259 513077 174259 TDFHTI 26 26 275.0 490.5 291.3 624.5 QKHTI 26 26 4079.5 7167.2 3972.5 7626.5 DKHTI 26 26 4079.5 7167.2 3972.5 7626.5 RHKHTI 26 26 350.8 155.3 345.4 112.3 L2RHEPU 26 26 3928551 1418815 3928551 1418815 LRHEPU 26 26 3926454 1421881 3926454 1421881 LAHTI 26 26 2291.7 2617.0 2291.7 2617.0 LQKHTI 26 26 3221.1 6161.2 3129.4 6720.8 LDKHTI 26 26 3221.1 6161.2 3129.4 6720.8 TDFSW 26 26 270.5 256.5 257.3 247.5 QBSW 26 26 28600.5 23830.0 29153.6 23992.0 DBSW 26 26 28600.5 23830.0 29153.6 23992.0 RHBSW 26 26 329.6 85.0738 330.3 64.8785 L3RR 26 26 3.6736 5.2173 2.8987 13.8732 LRHKHTI 26 26 366.7 152.1 361.0 109.3 LRHKHA 26 26 693551 342976 668269 270331 LATSW 26 26 2704.6 2097.1 2704.6 2097.1 LQBSW 26 26 25689.2 21877.9 26286.9 22240.8 LDBSW 26 26 25689.2 21877.9 26286.9 22240.8 TDFKR 26 26 36.1652 77.6525 38.5953 115.4 QKR 26 26 1602.9 508.6 1606.3 567.5 DDKR 26 26 161.6 111.4 205.1 139.9 QXKR 26 26 1441.3 422.8 1401.2 472.9 RHDKR 26 26 7255.1 1339.5 7098.9 696.4 LATKR 26 26 3195.1 316.1 3195.1 316.1 LQKR 26 26 1531.7 469.5 1543.4 550.8 LDDKR 26 26 147.3 92.7519 196.5 139.3 LQXKR 26 26 1384.3 404.2 1346.8 456.6 232
Lampiran 6. Lanjutan
LRHEKR 26 26 11210039 7149536 11210039 7149536 TDFPD 26 26 171.3 370.7 167.4 466.3 QGKG 26 26 47989.9 6226.9 48295.8 5927.0 DGKG 26 26 47989.9 6226.9 48295.8 5927.0 RHGKG 26 26 1343.0 461.6 1339.3 314.0 LATPD 26 26 10558.2 1395.8 10558.2 1395.8 LQGKG 26 26 46962.6 6313.0 47349.4 6235.1 LDGKG 26 26 46962.6 6313.0 47349.4 6235.1 TTDF 26 26 753.0 683.0 754.6 1075.1 TDGHPH 26 26 ‐1018.2 3801.4 ‐801.0 6445.6 QILL 26 26 10540.1 3904.1 10601.2 3835.7 QKBHA 26 26 15355.6 9316.1 15488.9 8810.3 DKBKG 26 26 9965.3 7292.3 10040.6 4858.6 DKBKL 26 26 15658.7 5149.8 14677.0 3034.8 RHKHA 26 26 715581 340166 698428 280021 L2QILL 26 26 10818.3 3484.2 10915.4 3319.3 LRHEMSW 26 26 3772992 1196814 3772992 1196814 LAHPH 26 26 47879.0 13194.2 47879.0 13194.2 LQILL 26 26 10719.1 3687.4 10830.5 3500.3 LQKBHA 26 26 15692.0 9067.9 15948.0 8347.8 LDKBKG 26 26 10448.9 7092.4 10571.9 4433.0 LDKBKL 26 26 15555.0 5345.2 14497.0 3466.2 Statistics of fit Mean Mean % Mean Abs Mean Abs RMS Variable N Error Error Error % Error Error R 26 ‐0.1635 19.9924 5.3969 38.2020 10.2451 RR 26 ‐0.1635 33.6425 5.3969 519.9 10.2451 UIP 26 ‐0.1635 734.9 5.3969 900.4 10.2451 EXR 26 97.4659 10.6358 1087.9 21.4302 1531.6 REXR 26 ‐115.0 10.0331 1117.4 20.8965 1847.1 RPPJK 26 ‐866.9 ‐0.5342 12639.9 11.6899 15805.2 RG 26 163.8 0.7303 9379.7 10.9507 11347.5 RI 26 9312.0 7.7681 75979.2 24.1748 99698.0 RNX 26 ‐2495.5 ‐18.5602 28409.3 107.4 51350.5 RC 26 ‐2588.8 0.8277 36597.8 5.0568 47991.8 RY 26 4391.5 0.8397 52416.1 4.8204 61968.7 IHK 26 0.0142 0.3446 3.9907 6.1430 6.7296 EMP 26 0.0660 0.1615 1.2723 1.5887 1.6880 UNEMP 26 ‐0.0348 ‐9.2247 1.3020 39.9030 1.6937 LRPPJK 26 ‐750.8 ‐0.4911 12523.7 11.6469 15794.1 LRI 26 11656.5 8.1446 73634.7 23.7983 98978.7 LRG 26 329.9 0.8249 9213.6 10.8560 11315.8 LRNX 26 ‐2699.3 ‐19.4876 28205.6 106.5 51340.0 LRY 26 5073.1 0.8724 51734.4 4.7876 61871.1 LR 26 ‐0.3521 17.7792 5.2084 35.9888 10.1999 LRMS 26 0 0 0 0 0 LEXR 26 62.0199 10.2696 1052.5 21.0640 1520.9 LEMP 26 0.0693 0.1647 1.2690 1.5855 1.6879 LRW 26 0 0 0 0 0 TDFHTI 26 16.3312 . 374.9 . 500.0 QKHTI 26 ‐107.0 . 2026.6 . 2502.3 DKHTI 26 ‐107.0 . 2026.6 . 2502.3 RHKHTI 26 ‐5.3976 4.9456 45.0776 14.8183 55.2139 L2RHEPU 26 0 0 0 0 0 LRHEPU 26 0 0 0 0 0 LAHTI 26 0 . 0 . 0 LQKHTI 26 ‐91.6961 . 2011.3 . 2501.1 LDKHTI 26 ‐91.6961 . 2011.3 . 2501.1 TDFSW 26 ‐13.2776 541.9 204.4 593.8 278.5 QBSW 26 553.1 9.0301 4903.6 25.5098 5890.1 DBSW 26 553.1 9.0301 4903.6 25.5098 5890.1 Lampiran 6. Lanjutan
RHBSW 26 0.7766 2.3905 39.1631 12.3569 49.5883 L3RR 26 ‐0.7749 239.2 4.7855 314.3 10.0545 LRHKHTI 26 ‐5.7238 4.6787 44.7514 14.5514 55.1888 LRHKHA 26 ‐25282.2 0.1246 84684.4 10.3192 125801 LATSW 26 0 0 0 0 0 LQBSW 26 597.7 9.0861 4859.0 25.4538 5885.7 LDBSW 26 597.7 9.0861 4859.0 25.4538 5885.7 TDFKR 26 2.4301 ‐34.1131 69.5260 149.5 103.7 QKR 26 3.4529 ‐0.7689 190.9 12.5704 230.6 DDKR 26 43.5617 65.1492 116.9 127.3 144.2 QXKR 26 ‐40.1088 ‐4.0479 143.9 11.1116 167.5 RHDKR 26 ‐156.2 0.5596 1019.4 14.4287 1229.1 LATKR 26 0 0 0 0 0 LQKR 26 11.7127 ‐0.4687 182.6 12.2702 226.7 LDDKR 26 49.1847 66.3504 111.3 126.1 141.4 LQXKR 26 ‐37.4720 ‐3.9325 141.3 10.9961 166.9 LRHEKR 26 0 0 0 0 0 TDFPD 26 ‐3.9481 293379 402.7 293599 525.1 QGKG 26 305.9 0.8531 1738.8 3.7505 2067.4 DGKG 26 305.9 0.8531 1738.8 3.7505 2067.4 RHGKG 26 ‐3.6843 4.7171 244.0 18.5087 310.0 LATPD 26 0 0 0 0 0 LQGKG 26 386.8 0.9872 1657.9 3.6163 2025.8 LDGKG 26 386.8 0.9872 1657.9 3.6163 2025.8 TTDF 26 1.5356 ‐80.9076 591.0 1070.3 818.8 TDGHPH 26 217.2 . 3812.0 . 6280.3 QILL 26 61.0601 2.9550 1837.8 19.4000 2476.1 QKBHA 26 133.3 12.7602 2380.9 34.3268 3268.0 DKBKG 26 75.2301 108.4 5270.6 154.5 6066.9 DKBKL 26 ‐981.7 ‐0.2401 2885.7 19.1891 3322.3 RHKHA 26 ‐17152.9 0.9811 92813.7 11.1758 132454 L2QILL 26 97.1430 3.6609 1773.3 17.5162 2461.7 LRHEMSW 26 0 0 0 0 0 LAHPH 26 0 0 0 0 0 LQILL 26 111.4 4.2498 1787.5 18.1052 2462.8 LQKBHA 26 256.0 15.4101 2258.3 31.6770 3207.6 LDKBKG 26 123.0 112.9 5222.9 150.0 6062.0 LDKBKL 26 ‐1058.0 ‐1.2634 2809.5 18.1658 3299.5 The MODEL Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1983 To 2008 Statistics of fit RMS % Variable Error R‐Square Label R 50.2578 0.1123 R RR 1464.2 ‐2.512 UIP 3619.6 ‐3.050 EXR 33.0772 0.9002 EXR REXR 30.2444 0.9337 RPPJK 14.7545 0.9410 RG 13.8292 0.8754 RI 29.4348 0.4282 RNX 205.4 0.5104 RC 6.4702 0.9736 RY 5.5535 0.9794 IHK 9.1325 0.9870 IHK EMP 2.2150 0.9791 EMP UNEMP 77.1481 0.7558 UNEMP LRPPJK 14.7528 0.9337 LRI 29.3721 0.3349 LRG 13.8207 0.8469 233
234
Lampiran 6. Lanjutan LRNX 205.3 0.5142 LRY 5.5510 0.9774 LR 48.9744 0.1128 LRMS 0 1.0000 LEXR 33.0244 0.9050 LEMP 2.2149 0.9797 LRW 0 1.0000 TDFHTI . ‐.0809 TDFHTI QKHTI . 0.8732 QKHTI DKHTI . 0.8732 DKHTI RHKHTI 19.9409 0.8686 L2RHEPU 0 1.0000 LRHEPU 0 1.0000 LAHTI . 1.0000 LQKHTI . 0.8286 LDKHTI . 0.8286 TDFSW 2383.4 ‐.2266 TDFSW QBSW 31.7273 0.9365 QBSW DBSW 31.7273 0.9365 DBSW RHBSW 15.8882 0.6467 L3RR 1053.5 ‐2.862 LRHKHTI 19.8943 0.8630 LRHKHA 12.9282 0.8601 LATSW 0 1.0000 LQBSW 31.7260 0.9247 LDBSW 31.7260 0.9247 TDFKR 250.8 ‐.8562 TDFKR QKR 15.1035 0.7862 QKR DDKR 188.0 ‐.7436 DDKR QXKR 13.9520 0.8368 QXKR RHDKR 17.3561 0.1243 LATKR 0 1.0000 LQKR 15.0257 0.7574 LDDKR 187.9 ‐1.416 LQXKR 13.9396 0.8227 LRHEKR 0 1.0000 TDFPD 1495803 ‐1.087 TDFPD QGKG 4.5748 0.8854 QGKG DGKG 4.5748 0.8854 DGKG RHGKG 23.7177 0.5310 LATPD 0 1.0000 LQGKG 4.5234 0.8929 LDGKG 4.5234 0.8929 TTDF 3224.7 ‐.4947 TDGHPH . ‐1.839 TDGHPH QILL 27.3958 0.5817 QILL QKBHA 58.7065 0.8720 QKBHA DKBKG 274.3 0.2802 DKBKG DKBKL 23.2064 0.5671 DKBKL RHKHA 13.6460 0.8423 L2QILL 26.4182 0.4809 LRHEMSW 0 1.0000 LAHPH 0 1.0000 LQILL 26.5884 0.5361 LQKBHA 57.1305 0.8699 LDKBKG 273.4 0.2402 LDKBKL 22.6122 0.6037 Lampiran 6. Lanjutan The MODEL Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1983 To 2008 Theil Forecast Error Statistics Corr Variable N MSE (R) R 26 105.0 0.34 RR 26 105.0 0.74 UIP 26 105.0 0.80 EXR 26 2345875 0.95 REXR 26 3411948 0.97 RPPJK 26 2.498E8 0.97 RG 26 1.2877E8 0.94 RI 26 9.9397E9 0.69 RNX 26 2.6369E9 0.72 RC 26 2.3032E9 0.99 RY 26 3.8401E9 0.99 IHK 26 45.2881 0.99 EMP 26 2.8493 0.99 UNEMP 26 2.8687 0.88 LRPPJK 26 2.4945E8 0.97 LRI 26 9.7968E9 0.66 LRG 26 1.2805E8 0.93 LRNX 26 2.6358E9 0.72 LRY 26 3.828E9 0.99 LR 26 104.0 0.35 LRMS 26 0 . LEXR 26 2313209 0.95 LEMP 26 2.8490 0.99 LRW 26 0 . TDFHTI 26 250018 0.61 QKHTI 26 6261715 0.94 DKHTI 26 6261715 0.94 RHKHTI 26 3048.6 0.96 L2RHEPU 26 0 . LRHEPU 26 0 . LAHTI 26 0 . LQKHTI 26 6255628 0.93 LDKHTI 26 6255628 0.93 TDFSW 26 77574.9 0.37 QBSW 26 34693062 0.97 DBSW 26 34693062 0.97 RHBSW 26 2459.0 0.81 L3RR 26 101.1 0.80 LRHKHTI 26 3045.8 0.96 LRHKHA 26 1.583E10 0.94 LATSW 26 0 . LQBSW 26 34641224 0.96 LDBSW 26 34641224 0.96 TDFKR 26 10762.0 0.46 QKR 26 53187.4 0.91 DDKR 26 20805.8 0.40 QXKR 26 28041.8 0.94 RHDKR 26 1510679 0.39 LATKR 26 0 . LQKR 26 51413.6 0.91 LDDKR 26 19983.8 0.38 LQXKR 26 27861.0 0.93 LRHEKR 26 0 . TDFPD 26 275698 0.20 QGKG 26 4274188 0.94 DGKG 26 4274188 0.94 RHGKG 26 96080.7 0.73 235
236
Lampiran 6. Lanjutan
LATPD 26 0 . LQGKG 26 4103990 0.95 LDGKG 26 4103990 0.95 TTDF 26 670472 0.63 TDGHPH 26 39441668 0.31 QILL 26 6130916 0.79 QKBHA 26 10679809 0.93 DKBKG 26 36806869 0.54 DKBKL 26 11038001 0.81 RHKHA 26 1.754E10 0.92 L2QILL 26 6059890 0.73 LRHEMSW 26 0 . LAHPH 26 0 . LQILL 26 6065143 0.76 LQKBHA 26 10288619 0.93 LDKBKG 26 36747645 0.50 LDKBKL 26 10886794 0.82 The MODEL Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1983 To 2008 Theil Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U R 0.00 0.01 0.99 0.39 0.61 0.5731 0.3142 RR 0.00 0.87 0.13 0.63 0.37 1.6554 0.5101 UIP 0.00 0.91 0.09 0.73 0.27 1.9912 0.5384 EXR 0.00 0.00 0.99 0.01 0.99 0.1866 0.0933 REXR 0.00 0.01 0.99 0.04 0.95 0.1849 0.0941 RPPJK 0.00 0.13 0.86 0.07 0.93 0.1088 0.0542 RG 0.00 0.05 0.95 0.00 1.00 0.1098 0.0548 RI 0.01 0.08 0.91 0.01 0.98 0.2868 0.1425 RNX 0.00 0.01 0.99 0.25 0.75 0.6354 0.3720 RC 0.00 0.08 0.92 0.12 0.87 0.0600 0.0302 RY 0.01 0.01 0.98 0.00 0.99 0.0487 0.0243 IHK 0.00 0.00 1.00 0.00 1.00 0.0704 0.0352 EMP 0.00 0.00 1.00 0.01 0.99 0.0203 0.0102 UNEMP 0.00 0.10 0.90 0.01 0.99 0.2714 0.1352 LRPPJK 0.00 0.15 0.84 0.08 0.92 0.1166 0.0580 LRI 0.01 0.13 0.85 0.00 0.98 0.3029 0.1494 LRG 0.00 0.08 0.92 0.01 0.99 0.1153 0.0575 LRNX 0.00 0.01 0.99 0.24 0.75 0.6361 0.3729 LRY 0.01 0.02 0.97 0.00 0.99 0.0512 0.0255 LR 0.00 0.01 0.99 0.38 0.62 0.5629 0.3090 LRMS . . . . . 0.0000 0.0000 LEXR 0.00 0.00 1.00 0.01 0.99 0.1904 0.0955 LEMP 0.00 0.00 1.00 0.01 0.99 0.0207 0.0104 LRW . . . . . 0.0000 0.0000 TDFHTI 0.00 0.41 0.59 0.07 0.93 0.9025 0.4058 QKHTI 0.00 0.12 0.88 0.03 0.97 0.3079 0.1508 DKHTI 0.00 0.12 0.88 0.03 0.97 0.3079 0.1508 RHKHTI 0.01 0.44 0.55 0.58 0.41 0.1444 0.0741 L2RHEPU . . . . . 0.0000 0.0000 LRHEPU . . . . . 0.0000 0.0000 LAHTI . . . . . 0.0000 0.0000 LQKHTI 0.00 0.16 0.84 0.05 0.95 0.3653 0.1769 LDKHTI 0.00 0.16 0.84 0.05 0.95 0.3653 0.1769 TDFSW 0.00 0.29 0.71 0.00 1.00 0.7540 0.3852 QBSW 0.01 0.02 0.97 0.00 0.99 0.1595 0.0792 DBSW 0.01 0.02 0.97 0.00 0.99 0.1595 0.0792 Lampiran 6. Lanjutan
RHBSW 0.00 0.01 0.99 0.16 0.84 0.1459 0.0733 L3RR 0.01 0.90 0.10 0.71 0.28 1.5964 0.4976 LRHKHTI 0.01 0.43 0.56 0.58 0.41 0.1394 0.0715 LRHKHA 0.04 0.17 0.79 0.32 0.64 0.1632 0.0844 LATSW . . . . . 0.0000 0.0000 LQBSW 0.01 0.04 0.95 0.00 0.99 0.1759 0.0870 LDBSW 0.01 0.04 0.95 0.00 0.99 0.1759 0.0870 TDFKR 0.00 0.57 0.43 0.13 0.87 1.2307 0.5088 QKR 0.00 0.20 0.80 0.06 0.94 0.1374 0.0683 DDKR 0.09 0.42 0.48 0.04 0.87 0.7395 0.3265 QXKR 0.06 0.20 0.74 0.09 0.86 0.1117 0.0563 RHDKR 0.02 0.02 0.97 0.26 0.72 0.1667 0.0847 LATKR . . . . . 0.0000 0.0000 LQKR 0.00 0.29 0.71 0.12 0.87 0.1418 0.0701 LDDKR 0.12 0.52 0.36 0.10 0.77 0.8164 0.3427 LQXKR 0.05 0.22 0.73 0.09 0.85 0.1159 0.0584 LRHEKR . . . . . 0.0000 0.0000 TDFPD 0.00 0.54 0.46 0.03 0.97 1.3066 0.5908 QGKG 0.02 0.00 0.98 0.02 0.96 0.0427 0.0213 DGKG 0.02 0.00 0.98 0.02 0.96 0.0427 0.0213 RHGKG 0.00 0.01 0.99 0.22 0.78 0.2187 0.1110 LATPD . . . . . 0.0000 0.0000 LQGKG 0.04 0.01 0.95 0.00 0.96 0.0428 0.0213 LDGKG 0.04 0.01 0.95 0.00 0.96 0.0428 0.0213 TTDF 0.00 0.60 0.40 0.22 0.78 0.8125 0.3554 TDGHPH 0.00 0.68 0.32 0.17 0.83 1.6253 0.6136 QILL 0.00 0.09 0.91 0.00 1.00 0.2208 0.1102 QKBHA 0.00 0.00 1.00 0.02 0.98 0.1829 0.0918 DKBKG 0.00 0.02 0.98 0.15 0.85 0.4946 0.2595 DKBKL 0.09 0.11 0.80 0.39 0.52 0.2019 0.1057 RHKHA 0.02 0.07 0.92 0.20 0.78 0.1678 0.0860 L2QILL 0.00 0.10 0.90 0.00 0.99 0.2170 0.1083 LRHEMSW . . . . . 0.0000 0.0000 LAHPH . . . . . 0.0000 0.0000 LQILL 0.00 0.08 0.92 0.01 0.99 0.2177 0.1086 LQKBHA 0.01 0.00 0.99 0.05 0.95 0.1778 0.0892 LDKBKG 0.00 0.02 0.98 0.19 0.81 0.4830 0.2528 LDKBKL 0.10 0.08 0.82 0.31 0.59 0.2010 0.1054 237
238
Lampiran 6. Lanjutan
The MODEL Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1983 To 2008 Theil Relative Change Forecast Error Statistics Relative Change Corr Variable N MSE (R) R 26 0.3186 0.36 RR 26 77.3196 0.83 UIP 26 409.4 1.00 EXR 26 0.1411 0.55 REXR 26 0.1345 0.67 RPPJK 26 0.0269 0.50 RG 26 0.0183 0.41 RI 26 0.1104 0.64 RNX 26 18.1767 0.85 RC 26 0.00464 0.52 RY 26 0.00346 0.70 IHK 26 0.0177 0.29 EMP 26 0.000506 0.64 UNEMP 26 0.4653 0.50 LRPPJK 26 0.0268 0.50 LRI 26 0.1098 0.65 LRG 26 0.0183 0.41 LRNX 26 18.1765 0.85 LRY 26 0.00345 0.71 LR 26 0.2949 0.34 LRMS 26 0 . LEXR 26 0.1407 0.56 LEMP 26 0.000506 0.66 LRW 26 0 . TDFHTI 26 . . QKHTI 26 . . DKHTI 26 . . RHKHTI 26 0.0323 0.36 L2RHEPU 26 0 . LRHEPU 26 0 . LAHTI 26 . . LQKHTI 26 . . LDKHTI 26 . . TDFSW 26 397.9 1.00 QBSW 26 0.1271 0.11 DBSW 26 0.1271 0.11 RHBSW 26 0.0249 0.83 L3RR 25 43.0162 0.97 LRHKHTI 26 0.0321 0.37 LRHKHA 26 0.0207 0.77 LATSW 26 0 . LQBSW 26 0.1271 0.08 LDBSW 26 0.1271 0.08 TDFKR 26 11.9242 0.56 QKR 26 0.0245 0.10 DDKR 26 6.2663 0.77 QXKR 26 0.0223 0.23 RHDKR 26 0.0368 0.69 LATKR 26 0 . LQKR 26 0.0243 0.12 LDDKR 26 6.2595 0.78 LQXKR 26 0.0223 0.21 LRHEKR 26 0 . TDFPD 26 3.2459E8 1.00 Lampiran 6. Lanjutan
QGKG 26 0.00222 0.47 DGKG 26 0.00222 0.47 RHGKG 26 0.0517 0.46 LATPD 26 0 . LQGKG 26 0.00217 0.49 LDGKG 26 0.00217 0.49 TTDF 26 990.8 0.92 TDGHPH 26 . . QILL 26 0.1035 0.62 QKBHA 26 0.3998 0.56 DKBKG 26 4.5322 0.34 DKBKL 26 0.0437 0.42 RHKHA 26 0.0221 0.74 L2QILL 26 0.0919 0.99 LRHEMSW 26 0 . LAHPH 26 0 . LQILL 26 0.0922 0.70 LQKBHA 26 0.3904 0.54 LDKBKG 26 4.4893 0.34 LDKBKL 26 0.0412 0.51 The MODEL Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1983 To 2008 Theil Relative Change Forecast Error Statistics MSE Decomposition Proportions Bias Reg Dist Var Covar Inequality Coef Variable (UM) (UR) (UD) (US) (UC) U1 U R 0.04 0.41 0.55 0.02 0.95 1.2329 0.5540 RR 0.00 0.47 0.53 0.22 0.78 0.7366 0.3160 UIP 0.05 0.94 0.01 0.93 0.01 0.6289 0.2397 EXR 0.09 0.58 0.33 0.20 0.71 1.2928 0.4799 REXR 0.05 0.10 0.85 0.01 0.94 0.7151 0.3531 RPPJK 0.00 0.62 0.38 0.18 0.81 1.1064 0.4648 RG 0.00 0.63 0.37 0.16 0.84 1.3430 0.5345 RI 0.07 0.56 0.37 0.21 0.71 1.1879 0.4519 RNX 0.00 0.14 0.86 0.41 0.59 0.5628 0.3418 RC 0.01 0.52 0.46 0.12 0.87 0.8782 0.3833 RY 0.03 0.67 0.30 0.35 0.63 0.8244 0.3378 IHK 0.00 0.05 0.95 0.24 0.76 0.7562 0.4378 EMP 0.00 0.28 0.71 0.02 0.98 0.6722 0.3207 UNEMP 0.00 0.91 0.09 0.61 0.38 2.7057 0.6679 LRPPJK 0.00 0.62 0.38 0.19 0.81 1.1034 0.4635 LRI 0.08 0.56 0.36 0.23 0.69 1.2142 0.4557 LRG 0.00 0.63 0.37 0.16 0.84 1.3434 0.5337 LRNX 0.00 0.14 0.86 0.41 0.59 0.5627 0.3417 LRY 0.03 0.67 0.30 0.35 0.62 0.8339 0.3401 LR 0.02 0.39 0.59 0.01 0.97 1.2004 0.5619 LRMS . . . . . 0.0000 0.0000 LEXR 0.08 0.58 0.33 0.20 0.71 1.2919 0.4799 LEMP 0.00 0.26 0.73 0.02 0.98 0.6441 0.3083 LRW . . . . . 0.0000 0.0000 TDFHTI . . . . . . . QKHTI . . . . . . . DKHTI . . . . . . . RHKHTI 0.05 0.62 0.34 0.15 0.80 1.4784 0.5927 L2RHEPU . . . . . 0.0000 0.0000 LRHEPU . . . . . 0.0000 0.0000 LAHTI . . . . . . . LQKHTI . . . . . . . LDKHTI . . . . . . . TDFSW 0.06 0.93 0.01 0.92 0.02 0.7024 0.2605 239
240
Lampiran 6. Lanjutan
QBSW 0.08 0.86 0.06 0.51 0.42 2.3361 0.6364 DBSW 0.08 0.86 0.06 0.51 0.42 2.3361 0.6364 RHBSW 0.00 0.01 0.99 0.16 0.84 0.5415 0.3027 L3RR 0.03 0.84 0.13 0.77 0.21 0.6324 0.2467 LRHKHTI 0.04 0.61 0.35 0.14 0.82 1.4593 0.5884 LRHKHA 0.00 0.32 0.68 0.07 0.93 0.7497 0.3424 LATSW . . . . . 0.0000 0.0000 LQBSW 0.08 0.87 0.06 0.51 0.41 2.3138 0.6341 LDBSW 0.08 0.87 0.06 0.51 0.41 2.3138 0.6341 TDFKR 0.15 0.03 0.82 0.09 0.76 0.9147 0.5121 QKR 0.00 0.89 0.11 0.42 0.58 2.2956 0.6965 DDKR 0.15 0.77 0.08 0.61 0.24 2.1884 0.5608 QXKR 0.09 0.67 0.24 0.18 0.73 1.7097 0.6589 RHDKR 0.02 0.00 0.98 0.21 0.78 0.7148 0.4293 LATKR . . . . . 0.0000 0.0000 LQKR 0.00 0.88 0.12 0.39 0.61 2.2441 0.6901 LDDKR 0.16 0.77 0.08 0.61 0.24 2.1868 0.5604 LQXKR 0.09 0.68 0.23 0.19 0.73 1.7198 0.6627 LRHEKR . . . . . 0.0000 0.0000 TDFPD 0.04 0.96 0.00 0.96 0.00 30.3869 0.9382 QGKG 0.03 0.62 0.35 0.19 0.78 1.2021 0.4704 DGKG 0.03 0.62 0.35 0.19 0.78 1.2021 0.4704 RHGKG 0.00 0.04 0.96 0.16 0.84 0.9076 0.5523 LATPD . . . . . 0.0000 0.0000 LQGKG 0.05 0.62 0.33 0.20 0.75 1.2252 0.4700 LDGKG 0.05 0.62 0.33 0.20 0.75 1.2252 0.4700 TTDF 0.03 0.06 0.91 0.19 0.78 0.4081 0.2254 TDGHPH . . . . . . . QILL 0.00 0.47 0.52 0.11 0.88 1.0872 0.4593 QKBHA 0.02 0.82 0.15 0.49 0.49 2.1165 0.6041 DKBKG 0.15 0.80 0.06 0.53 0.33 3.9113 0.7635 DKBKL 0.00 0.56 0.44 0.10 0.89 1.3499 0.5574 RHKHA 0.00 0.31 0.69 0.06 0.94 0.7740 0.3542 L2QILL 0.02 0.01 0.97 0.00 0.98 0.1314 0.0654 LRHEMSW . . . . . 0.0000 0.0000 LAHPH . . . . . 0.0000 0.0000 LQILL 0.02 0.48 0.51 0.16 0.83 0.9974 0.4148 LQKBHA 0.04 0.81 0.16 0.46 0.50 2.1156 0.6076 LDKBKG 0.16 0.78 0.06 0.51 0.33 3.8734 0.7620 LDKBKL 0.01 0.49 0.49 0.09 0.89 1.1821 0.5077 NOTE: Percent error statistics for 7 variables were set to missing values because an actual value was too close to zero to compute the percent error at one or more observations. 241
Lampiran 7. Program Simulasi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan
Alam Menggunakan Metode Newton, Prosedur SYSNLIN,
Software SAS versi 9.0
DATA OLAH;
SET AST.MIMA1;
“BLOK MAKROEKONOMI”
RY=(Y/DFLA)*100;
LRY=LAG(RY);
PRY=RY-LRY;
RPPJK=(PPJK/DFLA)*100;
LRPPJK=LAG(RPPJK);
RC=(C/DFLA)*100;
RYD=RY-RPPJK;
RG=(G/DFLA)*100;
LRG=LAG(RG);
RI=(I/DFLA)*100;
LRI=LAG(RI);
NX = X - M;
RNX = (NX/DFLA)*100;
LRNX=LAG(RNX);
LR=LAG(R);
RMS=(MS/DFLA)*100;
LRMS=LAG(RMS);
LIHK=LAG(IHK);
PIHK= IHK-LIHK;
LEXR=LAG(EXR);
RR=R-DINF;
LRR=LAG(RR);
L2RR=LAG2(RR);
P2RR=RR-L2RR;
L3RR=LAG3(RR);
REXR = EXR*IHK/USCPI;
LUSCPI=LAG(USCPI);
RFRATE = FEDRATE - (((USCPI-LUSCPI)/LUSCPI)*100);
UIP = RR – RFRATE;
OILP=(WOIL/DFLA)*100;
RW=(W/DFLA)*100;
LRW=LAG(RW);
LEMP=LAG(EMP);
UNEMP=LF-EMP;
LUSGDP=LAG(USGDP);
242
Lampiran 7.
Lanjutan
“BLOK DEFORESTASI”
“HTI”
RHEPU=((HEPU*EXR)/DFLA)*100;
L2RHEPU=LAG2(RHEPU);
PRHEPU=RHEPU-LRHEPU);
RHKHTI=(HKHTI/DFLA)*100;
LRHKHTI=LAG(RHKHTI);
RHBBM=(HBBM/DFLA)*100;
LAHTI=LAG(AHTI);
LQKHTI=LAG(QKHTI);
LDKHTI=LAG(DKHTI);
LRHEPU=LAG(RHEPU);
PRHEPU=RHEPU-LRHEPU;
“SAWIT”
RHEMSW=((HEMSW*EXR)/DFLA)*100;
LRHEMSW=LAG(RHEMSW);
RHBSW=(HBSW/DFLA)*100;
LRHBSW=LAG(RHBSW);
LATSW=LAG(ATSW);
LQBSW=LAG(QBSW);
LRHDMSW=LAG(RHDMSW);
LDBSW=LAG(DBSW);
“KARET”
RHDKR=(HDKR/DFLA)*100;
L2RHDKR=LAG2(RHDKR);
RHEKR=((HEKR*EXR)/DFLA)*100;
LRHEKR=LAG(RHEKR);
PRHEKR=RHEKR-LRHEKR;
LATKR=LAG(ATKR);
LQKR=LAG(QKR);
LDDKR=LAG(DDKR);
LQXKR=LAG(QXKR);
“PADI”
RHGKG=(HGKG/DFLA)*100;
LRHGKG=LAG(RHGKG);
RHPP=(HPP/DFLA)*100;
LRHPP=LAG(RHPP);
PRHPP=RHPP-LRHPP;
LATPD=LAG(ATPD);
Lampiran 7.
Lanjutan
LQGKG=LAG(QGKG);
RHDBR=LAG(HDBR/DFLA)*100;
LDGKG=LAG(DGKG);
TTDF =TDFHTI + TDFSW + TDFKR + TDFPD;
“BLOK DEGRADASI HUTAN”
RHEKL=((HEKL*EXR)/DFLA)*100;
RHKHA=((HKBHA*EXR)/DFLA)*100;
LRHKHA=LAG(RHKHA);
L2QILL=LAG2(QILL);
LQILL=LAG(QILL);
LAHPH=LAG(AHPH);
RDR=(DR/DFLA)*100;
RPSDH=(PSDH/DFLA)*100;
LQKBHA=LAG(QKBHA);
LDKBKG=LAG(DKBKG);
LDKBKL=LAG(DKBKL);
Q=QILL+QKBHA;
/* SIMULASI KEBIJAKAN & FAKTOR EKSTERNAL*/
/* RMS = RMS*(1 + 0.2312); */
/* RG = RG *(1+0.1796); */
/* OILP = OILP*(1+ 0.07); */
/* OILP = OILP *(1+2.0);*/
/* RFRATE = RFRATE*(1+0.01); */
/* RFRATE = RFRATE*(1+0.05);
RUN;
/* PERINTAH SIMULASI */
/* PROC MODEL DATA=OLAH STATS NDEC=2;*/
ENDOGENOUS
R RR UIP EXR RPPJK RG RI RNX RC RY IHK EMP UNEMP
LRPPJK
LRG
L2RR
LRI
LRNX
LRY
LR
LRMS
LEXR
243
244
Lampiran 7.
Lanjutan
LEMP
LRW
TDFHTI QKHTI DKHTI RHKHTI
L2RHEPU
LAHTI
LQKHTI
LRHEPU
LDKHTI
LRHKHTI
TDFSW QBSW DBSW RHBSW
L3RR
LRHKHTI
LATSW
LRHBSW
LQBSW
LDBSW
TDFKR QKR DDKR QXKR RHDKR
LATKR
LQKR
LRR
LDDKR
LRHEKR
L2RHDKR
LUSGDP
LQXKR
LRHDKR
TDFPD QGKG DGKG RHGKG
LATPD
LQGKG
LRHPP
LDGKG
LRHGKG
TTDF
TDGHPH QILL QKBHA DKBKG DKBKL RHKHA
L2QILL
LRHEMSW
LAHPH
LQILL
LRHKHA
LQKBHA
Lampiran 7.
245
Lanjutan
LDKBKG
LDKBKL ;
INSTRUMENTS
OILP RW RHBBM
RHEPU PRODHTI AHTI PPHTI
RHDMSW RHEMSW PRODSW ATSW
RHEKR PRODKR ATKR
RHPP RHDBR PRODPD ATPD
RHDKG RHEKL PRODHA AHPH PKUM KPIHPH
RPSDH RDR QXKB ;
PARAMETERS
a0 -56417.51 a1 0.750511 a2 -1421.586
b0 -58992.19 b1 0.153017 b2 -156.8430 b3 0.039132
c0 10143.62 c1 0.424322 c2 127.5101 c3 0.266048
d0 74462.03 d1 -1654.394 d2 0.224192 d3 -183634.0 d4 0.042195
e0 170114.6 e1 13.56636 e2 -0.177489 e3 -311.6503 e4 0.069802
f0 12.01211 f1 -1.67E-05 f2 1.357908 f3 0.206645 f4 10.88883 f5 -11.67211
f6 0.112403
g0 -10.80682 g1 1.82E-05 g2 0.963798
h0 274.6091 h1 -84.16786 h2 -0.009667 h3 0.001464 h4 1732.817 h5 0.916711
i0 9.569870 i1 -4.01E-07 i2 3.66E-06 i3 0.850619
j0 6016.618 j1 0.000108 j2 -5.292850 J3 -20.05732 J4 -0.004082 J5 -0.778556
J6 0.000131 J7 -0.000199 J8-0.000330 J9 1237.097 J10 -0.532633
k0 -6381.576 k1 12.86628 k2 -71.09410 k3 3093.358 k4 0.835054 k5 0.543766
l0 3607.390 l1 -2.353228 l2 -274.6870 l3 -0.004142 l4 0.000491 l5 0.025669
l6 0.819260
m0 18.82956 m1 7.96E-06 m2 -1.28E-05 m3 -0.000813 m4 0.936295
n0 609.7858 n1 0.000102 n2 -0.639404 n3 -16.22272 n4 -0.000218 n5 1.465558 n6 0.001137 n7 -0.222924
o0 -43931.98 o1 0.045690 o2 -4.365651 o3 4507.690 o4 9.768787 o5 0.031463
p0 -2240.855 p1 -23.33913 p2 -290.5749 p3 -0.010631 p4 1.367105 p5 0.022292
p6 0.656303
q0 81.57648 q1 4.08E-05 q2 0.001926 q3 0.117844
r0 606.9273 r1 0.001077 r2 -8.230076 r3 -9.18E-05 r4 -1.15E-05 r5 6.06E-06
r6 -0.161324
s0 -1304.818 s1 0.002637 s2 -0.774956 s3 3139.824 s4 0.380744 s5 0.074075
t0 106.6144 t1 -0.010171 t2 -5.828949 t3 0.000375 t4 0.846774
u0 2.390472 u1 1.29E-05 u2 -0.015125 u3 0.043709 u4 0.082284
v0 4283.563 v1 7.43E-05 v2 3.674619 v3 -2.365590 v4 0.202657
246
Lampiran 7.
Lanjutan
w0 -8932.421 w1 0.348219 w2 0.503538 w3 -29.89181 w4 -0.169767 w5 0.000891 w6 3.953993 w7 48.56133 w8 -0.175141
x0 -14874.88 x1 0.512634 x2 -60.46712 x3 -0.299394 x4 4012.332 x5
0.953306
y0 27606.61 y1 -0.645931 y2 -49.54460 y3 -2.135224 y4 0.997525 y5
0.011510 y6 0.170233
z0 2081.029 z1 0.177328 z2 -0.026394 z3 0.389236
aa0 15298.41 aa1 0.003540 aa2 -0.009923 aa3 -540.0948 aa4 -0.427461
aa5 -0.001537 aa6 -0.000171 aa7 -1108.177 aa8 -0.138803
bb0 3297.057 bb1 0.000758 bb2 -131.7571 bb3 -2.980244 bb4 -0.021163
bb5 435.8382 bb6 419.6691 bb7 0.398822
cc0 -10537.70 cc1 0.002810 cc2 -209.7087 cc3 -0.494821 cc4 765.9082
cc5 0.369004 cc6 0.276578
dd0 -2237.476 dd1 -0.001864 dd2 16.06732 dd3 -208.4581 dd4 -0.000851
dd5 0.000965 dd6 0.744542
ee0 897.3071 ee1 -0.003402 ee2 5.518416 ee3 -33.40311 ee4 -0.004357
ee5 0.000612 ee6 0.011809 ee7 0.955296
ff0 309719.4 ff1 0.129333 ff2 -15.45845 ff3 0.551386 ;
RC = a0 + a1*RYD + a2*RR ;
RPPJK = b0 + b1*RY + b2*RR + b3*LRPPJK;
RG = c0 + c1*RPPJK + c2*OILP + c3*LRG;
RI = d0 + d1*L2RR + d2*RY + d3*KRISIS + d4*LRI ;
RNX = e0 + e1*(EXR*IHK/USCPI) + e2*RY + e3*OILP + e4*LRNX;
R = f0 + f1*LRMS + f2*(IHK-LIHK) + f3*EXPINF + f4*KRISIS + f5*FER +
f6*LR;
IHK = g0 + g1*LRY + g2*LIHK ;
EXR = h0 + h1*UIP + h2*LRNX + h3*RMS + h4*KRISIS + h5*LEXR ;
EMP = i0 + i1*LRW + i2*RY + i3*LEMP;
RY = RC + RI + RG + RNX ;
RR = R-DINF;
UIP = RR -RFRATE ;
UNEMP = LF - EMP;
Lampiran 7.
Lanjutan
LRPPJK = LAG(RPPJK);
LRG = LAG(RG);
L2RR=LAG2(RR);
LRI = LAG(RI);
LRNX = LAG(RNX);
LRY = LAG(RY);
LR = LAG(R);
LRMS=LAG(RMS);
LEXR = LAG(EXR);
LEMP = LAG(EMP);
LRW = LAG(RW);
TDFHTI = j0 + j1*L2RHEPU + j2*RHKHTI + j3*(RR-L2RR) + j4*RW +
j5*RHBBM + j6*RHEKR + j7*RHEMSW + j8*RHEKL + j9*PPHTI +
j10*LAHTI;
QKHTI = k0 + k1*RHKHTI + k2*RR + k3*PRODHTI + k4*AHTI +
k5*LQKHTI;
DKHTI = l0 + l1*RHKHTI + l2*RR + l3*RW + l4*(RHEPU-LRHEPU) +
l5*(RY-LRY) + l6*LDKHTI;
RHKHTI = m0 + m1*(RHEPU-LRHEPU) + m2*RHKHA + m3*LQKHTI +
m4*LRHKHTI;
DKHTI = QKHTI;
TDFSW = n0 + n1*RHEMSW + n2*RHBSW + n3*L3RR + n4*RW +
n5*LRHKHTI + n6*LRHKHA + n7*LATSW ;
QBSW = o0 + o1*LRHBSW + o2*RR + o3*PRODSW + o4*ATSW +
o5*LQBSW ;
DBSW = p0 + p1*RHBSW + p2*RR + p3*RW + p4*RHDMSW + p5*RY +
p6*LDBSW;
RHBSW = q0 + q1*RHEMSW + q2*DBSW + q3*LRHBSW;
QBSW = DBSW;
L3RR = LAG3(RR);
LRHKHTI = LAG(RHKHTI);
LATSW=LAG(ATSW);
LRHBSW=LAG(RHBSW);
LQBSW=LAG(QBSW);
LDBSW = LAG(DBSW);
TDFKR = r0 + r1*RHDKR + r2*RR + r3*RHKHA + r4*RHEMSW +
r5*RHEKR + r6*LATKR ;
QKR = s0 + s1*RHDKR + s2*RR + s3*PRODKR + s4*ATKR + s5*LQKR;
DDKR = t0 + t1*RHDKR + t2*LRR + t3*(RY-LRY) + t4*LDDKR;
QXKR =u0 + u1*LRHEKR + u2*L2RHDKR + u3*LUSGDP + u4*LQXKR;
247
248
Lampiran 7.
Lanjutan
RHDKR = v0 + v1*(RHEKR-LRHEKR) + v2*QXKR + v3*QKR +
v4*LRHDKR;
QKR = DDKR + QXKR;
LATKR = LAG(ATKR);
LQKR = LAG(QKR);
LRR=LAG(RR);
LDDKR = LAG(DDKR);
LRHEKR =LAG(RHEKR);
L2RHDKR = LAG2(RHDKR);
LUSGDP =LAG(USGDP);
LQXKR = LAG(QXKR);
LRHDKR=LAG(RHDKR);
TDFPD = w0 + w1*RHGKG + w2*RHPP + w3*RR + w4*RHBBM +
w5*RHKHA + w6*RHKHTI + w7*POP + w8*LATPD;
QGKG = x0 + x1*RHGKG + x2*RR + x3*RHBBM + x4*PRODPD +
x5*LQGKG;
DGKG = y0 + y1*LRHPP + y2*RR + y3*RHBBM + y4*RHDBR + y5*RY
+ y6*LDGKG;
RHGKG = z0 + z1*(RHPP-LRHPP) + z2*QGKG + z3*LRHGKG;
QGKG = DGKG;
TTDF = TDFHTI + TDFSW + TDFKR + TDFPD;
TDGHPH = aa0 + aa1*RHEKL + aa2*RHKHA + aa3*RR + aa4*L2QILL +
aa5*LRHEMSW + aa6*LRHEKR + aa7*KPIHPH + aa8*LAHPH;
QILL = bb0 + bb1*RHKHA + bb2*RR + bb3*RHBBM + bb4*RDR +
bb5*PRODHA + bb6*PKUM + bb7*LQILL ;
QKBHA = cc0 + cc1*LRHKHA + cc2*LRR + cc3*RPSDH + cc4*PRODHA +
cc5*AHPH + cc6*LQKBHA;
DKBKG = dd0 + dd1*RHKHA + dd2*RHKHTI + dd3*RR + dd4*RW +
dd5*RY + dd6*LDKBKG;
DKBKL = ee0 + ee1*RHKHA + ee2*RHKHTI + ee3* LRR + ee4*RW +
ee5*RHEKL + ee6*(RY-LRY) + ee7*LDKBKL;
RHKHA = ff0 + ff1*RHEKL + ff2*(QILL+QKBHA) + ff3*LRHKHA;
QKBHA + QILL = DKBKG + DKBKL + QXKB ;
L2QILL = LAG2(QILL);
LRHEMSW = LAG(RHEMSW);
LAHPH = LAG(AHPH);
LQILL = LAG(QILL);
LRHKHA = LAG(RHKHA);
LQKBHA = LAG(QKBHA);
Lampiran 7.
Lanjutan
LDKBKG = LAG(DKBKG);
LDKBKL = LAG(DKBKL);
RANGE TAHUN = 1983 TO 2008;
SOLVE
R RR UIP EXR RPPJK RG RI RNX RC RY IHK EMP UNEMP
LRPPJK
LRG
L2RR
LRI
LRNX
LRY
LR
LRMS
LEXR
LEMP
LRW
TDFHTI QKHTI DKHTI RHKHTI
L2RHEPU
LAHTI
LQKHTI
LRHEPU
LDKHTI
LRHKHTI
TDFSW QBSW DBSW RHBSW
L3RR
LRHKHTI
LATSW
LRHBSW
LQBSW
LDBSW
TDFKR QKR DDKR QXKR RHDKR
LATKR
LQKR
LRR
LDDKR
LRHEKR
L2RHDKR
LUSGDP
LQXKR
LRHDKR
249
250
Lampiran 7.
Lanjutan
TDFPD QGKG DGKG RHGKG
LATPD
LQGKG
LRHPP
LDGKG
LRHGKG
TTDF
TDGHPH QILL QKBHA DKBKG DKBKL RHKHA
L2QILL
LRHEMSW
LAHPH
LQILL
LRHKHA
LQKBHA
LDKBKG
LDKBKL /OUTPREDICT ;
RUN ;
251
Lampiran 8. Hasil Simulasi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan
Alam Menggunakan
Metode Newton, Prosedur SYSNLIN,
Software SAS versi 9.0
1.
Penawaran Uang meningkat 23.12%
The MODEL Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1983 To 2008 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev R 26 26 14.1908 11.0892 12.5592 4.5055 RR 26 26 2.9010 5.5753 1.2694 14.0715 UIP 26 26 0.7466 5.1916 ‐0.8849 14.2696 EXR 26 26 6622.7 4944.0 8084.1 5474.9 REXR 26 26 6956.0 7313.7 8178.8 8085.1 RPPJK 26 26 129891 66351.2 133634 73886.8 RG 26 26 98172.8 32781.6 100925 35248.0 RI 26 26 321683 134461 339700 126681 RNX 26 26 33849.9 74842.4 45514.9 58335.3 RC 26 26 742744 301174 742242 284588 RY 26 26 1196450 440139 1228382 462805 IHK 26 26 75.2057 60.2377 75.6801 60.4445 EMP 26 26 82.2600 11.9070 82.7487 12.1169 UNEMP 26 26 5.2146 3.4952 4.7573 3.2913 LRC 26 26 706578 292612 704345 271627 LRPPJK 26 26 120762 62560.2 124250 70446.0 LRI 26 26 303421 123769 323133 122282 LRG 26 26 93787.1 29496.4 96492.2 32483.5 LRNX 26 26 32977.7 75118.0 43148.4 58934.4 LRY 26 26 1136763 419942 1167119 444652 LR 26 26 14.5281 11.0431 12.7825 4.5931 LRMS 26 26 501474 256026 617415 315219 LEXR 26 26 6279.7 5031.9 7635.5 5581.6 LEMP 26 26 80.5389 12.0893 80.9865 12.2906 LRW 26 26 513077 174259 513077 174259 LDINF 26 26 11.1214 13.7754 11.1214 13.7754 LOILP 26 26 76.1820 75.5203 76.1820 75.5203 TDFHTI 26 26 275.0 490.5 291.2 628.4 QKHTI 26 26 4079.5 7167.2 4202.5 7692.3 DKHTI 26 26 4079.5 7167.2 4202.5 7692.3 RHKHTI 26 26 350.8 155.3 346.0 111.9 L2RHEPU 26 26 3928551 1418815 3928551 1418815 LRHEPU 26 26 3926454 1421881 3926454 1421881 L2RR 26 26 3.5692 5.3428 1.5726 14.0841 LAHTI 26 26 2291.7 2617.0 2291.7 2617.0 LQKHTI 26 26 3221.1 6161.2 3347.0 6789.8 LDKHTI 26 26 3221.1 6161.2 3347.0 6789.8 TDFSW 26 26 270.5 256.5 252.6 247.7 QBSW 26 26 28600.5 23830.0 31531.9 25465.4 DBSW 26 26 28600.5 23830.0 31531.9 25465.4 RHBSW 26 26 329.6 85.0738 334.9 67.2981 L3RR 26 26 3.6736 5.2173 1.6446 14.0646 LRHKHTI 26 26 366.7 152.1 361.5 108.9 LRHKHA 26 26 693551 342976 649488 262472 LATSW 26 26 2704.6 2097.1 2704.6 2097.1 L2RHBSW 26 26 311.7 78.0536 321.9 69.4249 LRR 26 26 3.4067 5.3912 1.6611 14.1076 LQBSW 26 26 25689.2 21877.9 28488.2 23716.1 LDBSW 26 26 25689.2 21877.9 28488.2 23716.1 TDFKR 26 26 36.1652 77.6525 52.3754 114.6 QKR 26 26 1602.9 508.6 1656.3 599.7 252
Lampiran 8. Lanjutan
DDKR 26 26 161.6 111.4 253.5 163.9 QXKR 26 26 1441.3 422.8 1402.8 474.1 RHDKR 26 26 7255.1 1339.5 6986.7 660.3 LATKR 26 26 3195.1 316.1 3195.1 316.1 LQKR 26 26 1531.7 469.5 1590.0 583.6 LDDKR 26 26 147.3 92.7519 241.6 163.6 LQXKR 26 26 1384.3 404.2 1348.3 457.8 LRHEKR 26 26 11210039 7149536 11210039 7149536 TDFPD 26 26 171.3 370.7 226.9 477.2 QGKG 26 26 47989.9 6226.9 48758.2 6251.2 DGKG 26 26 47989.9 6226.9 48758.2 6251.2 RHGKG 26 26 1343.0 461.6 1327.1 321.6 LATPD 26 26 10558.2 1395.8 10558.2 1395.8 LQGKG 26 26 46962.6 6313.0 47776.2 6552.0 LDGKG 26 26 46962.6 6313.0 47776.2 6552.0 TTDF 26 26 753.0 683.0 823.1 1083.9 TDGHPH 26 26 ‐1018.2 3801.4 77.9329 6453.1 QILL 26 26 10540.1 3904.1 10888.3 3856.2 QKBHA 26 26 15355.6 9316.1 15813.7 8749.2 DKBKG 26 26 9965.3 7292.3 11302.6 4432.7 DKBKL 26 26 15658.7 5149.8 15840.3 3284.9 RHKHA 26 26 715581 340166 678613 272757 L2QILL 26 26 10818.3 3484.2 11174.1 3388.2 LRHEMSW 26 26 3772992 1196814 3772992 1196814 LAHPH 26 26 47879.0 13194.2 47879.0 13194.2 LQILL 26 26 10719.1 3687.4 11103.0 3539.2 LQKBHA 26 26 15692.0 9067.9 16256.7 8294.2 LDKBKG 26 26 10448.9 7092.4 11758.5 4003.2 LDKBKL 26 26 15555.0 5345.2 15564.3 3874.9 2.
Pengeluaran Pemerintah meningkat 17.96%
The MODEL Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1983 To 2008 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev R 26 26 14.1908 11.0892 14.4524 4.7405 RR 26 26 2.9010 5.5753 3.1626 13.9737 UIP 26 26 0.7466 5.1916 1.0083 14.2434 EXR 26 26 6622.7 4944.0 6679.8 4793.1 REXR 26 26 6956.0 7313.7 6824.4 6909.9 RPPJK 26 26 129891 66351.2 131612 70987.1 RI 26 26 321683 134461 334290 123748 RNX 26 26 33849.9 74842.4 27938.5 49573.8 RC 26 26 742744 301174 739551 283778 RY 26 26 1196450 440139 1217584 445418 IHK 26 26 75.2057 60.2377 75.5007 60.0984 EMP 26 26 82.2600 11.9070 82.6235 11.8285 UNEMP 26 26 5.2146 3.4952 4.8825 3.5735 LRC 26 26 706578 292612 701808 270744 LRPPJK 26 26 120762 62560.2 122396 67499.1 LRI 26 26 303421 123769 318109 119319 LRG 26 26 93787.1 29496.4 110631 34793.9 LRNX 26 26 32977.7 75118.0 27137.8 49872.4 LRY 26 26 1136763 419942 1157262 427102 LR 26 26 14.5281 11.0431 14.5670 4.7728 LRMS 26 26 501474 256026 501474 256026 LEXR 26 26 6279.7 5031.9 6303.7 4861.1 LEMP 26 26 80.5389 12.0893 80.8858 12.0348 Lampiran 8. Lanjutan
LRW 26 26 513077 174259 513077 174259 LDINF 26 26 11.1214 13.7754 11.1214 13.7754 LOILP 26 26 76.1820 75.5203 76.1820 75.5203 TDFHTI 26 26 275.0 490.5 290.8 624.6 QKHTI 26 26 4079.5 7167.2 3907.4 7623.5 DKHTI 26 26 4079.5 7167.2 3907.4 7623.5 RHKHTI 26 26 350.8 155.3 345.2 112.4 L2RHEPU 26 26 3928551 1418815 3928551 1418815 LRHEPU 26 26 3926454 1421881 3926454 1421881 L2RR 26 26 3.5692 5.3428 3.2510 13.9440 LAHTI 26 26 2291.7 2617.0 2291.7 2617.0 LQKHTI 26 26 3221.1 6161.2 3069.3 6723.5 LDKHTI 26 26 3221.1 6161.2 3069.3 6723.5 TDFSW 26 26 270.5 256.5 257.2 247.5 QBSW 26 26 28600.5 23830.0 29721.5 24048.5 DBSW 26 26 28600.5 23830.0 29721.5 24048.5 RHBSW 26 26 329.6 85.0738 331.4 64.8871 L3RR 26 26 3.6736 5.2173 3.2277 13.9511 LRHKHTI 26 26 366.7 152.1 360.8 109.4 LRHKHA 26 26 693551 342976 673284 271217 LATSW 26 26 2704.6 2097.1 2704.6 2097.1 L2RHBSW 26 26 311.7 78.0536 319.0 67.0545 LRR 26 26 3.4067 5.3912 3.4456 13.9910 LQBSW 26 26 25689.2 21877.9 26810.6 22270.0 LDBSW 26 26 25689.2 21877.9 26810.6 22270.0 TDFKR 26 26 36.1652 77.6525 34.6236 116.2 QKR 26 26 1602.9 508.6 1595.5 562.4 DDKR 26 26 161.6 111.4 194.7 140.9 QXKR 26 26 1441.3 422.8 1400.8 472.6 RHDKR 26 26 7255.1 1339.5 7123.1 707.8 LATKR 26 26 3195.1 316.1 3195.1 316.1 LQKR 26 26 1531.7 469.5 1533.1 545.1 LDDKR 26 26 147.3 92.7519 186.6 140.1 LQXKR 26 26 1384.3 404.2 1346.5 456.3 LRHEKR 26 26 11210039 7149536 11210039 7149536 TDFPD 26 26 171.3 370.7 147.3 472.0 QGKG 26 26 47989.9 6226.9 48499.4 5942.4 DGKG 26 26 47989.9 6226.9 48499.4 5942.4 RHGKG 26 26 1343.0 461.6 1333.9 314.0 LATPD 26 26 10558.2 1395.8 10558.2 1395.8 LQGKG 26 26 46962.6 6313.0 47537.0 6252.8 LDGKG 26 26 46962.6 6313.0 47537.0 6252.8 TTDF 26 26 753.0 683.0 729.9 1077.2 TDGHPH 26 26 ‐1018.2 3801.4 ‐1055.2 6475.6 QILL 26 26 10540.1 3904.1 10519.3 3860.0 QKBHA 26 26 15355.6 9316.1 15398.3 8782.7 DKBKG 26 26 9965.3 7292.3 9759.7 4960.1 DKBKL 26 26 15658.7 5149.8 14508.3 3002.5 RHKHA 26 26 715581 340166 703860 281028 L2QILL 26 26 10818.3 3484.2 10846.8 3321.3 LRHEMSW 26 26 3772992 1196814 3772992 1196814 LAHPH 26 26 47879.0 13194.2 47879.0 13194.2 LQILL 26 26 10719.1 3687.4 10755.4 3516.0 LQKBHA 26 26 15692.0 9067.9 15865.9 8308.4 LDKBKG 26 26 10448.9 7092.4 10309.4 4533.3 LDKBKL 26 26 15555.0 5345.2 14338.2 3413.8 253
254
Lampiran 8. Lanjutan
3.
Harga Minyak Mentah Dunia meningkat 7.0%
The MODEL Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1983 To 2008 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev R 26 26 14.1908 11.0892 14.0260 4.5902 RR 26 26 2.9010 5.5753 2.7362 13.8879 UIP 26 26 0.7466 5.1916 0.5818 14.1424 EXR 26 26 6622.7 4944.0 6804.5 4768.7 REXR 26 26 6956.0 7313.7 6889.8 6925.6 RPPJK 26 26 129891 66351.2 129018 70586.8 RG 26 26 98172.8 32781.6 99128.1 33027.1 RI 26 26 321683 134461 330989 122377 RNX 26 26 33849.9 74842.4 30529.1 49511.4 RC 26 26 742744 301174 740157 283884 RY 26 26 1196450 440139 1200804 442588 IHK 26 26 75.2057 60.2377 75.2192 60.0763 EMP 26 26 82.2600 11.9070 82.3233 11.7480 UNEMP 26 26 5.2146 3.4952 5.1826 3.6286 LRC 26 26 706578 292612 702366 270831 LRPPJK 26 26 120762 62560.2 120004 67176.8 LRI 26 26 303421 123769 315070 118004 LRG 26 26 93787.1 29496.4 94889.9 30315.7 LRNX 26 26 32977.7 75118.0 29466.0 49887.0 LRY 26 26 1136763 419942 1141792 424691 LR 26 26 14.5281 11.0431 14.1745 4.6323 LRMS 26 26 501474 256026 501474 256026 LEXR 26 26 6279.7 5031.9 6425.1 4844.1 LEMP 26 26 80.5389 12.0893 80.6052 11.9478 LRW 26 26 513077 174259 513077 174259 LDINF 26 26 11.1214 13.7754 11.1214 13.7754 LOILP 26 26 76.1820 75.5203 81.5148 80.8068 TDFHTI 26 26 275.0 490.5 291.3 624.5 QKHTI 26 26 4079.5 7167.2 3972.9 7624.6 DKHTI 26 26 4079.5 7167.2 3972.9 7624.6 RHKHTI 26 26 350.8 155.3 345.4 112.3 L2RHEPU 26 26 3928551 1418815 3928551 1418815 LRHEPU 26 26 3926454 1421881 3926454 1421881 L2RR 26 26 3.5692 5.3428 2.8949 13.8695 LAHTI 26 26 2291.7 2617.0 2291.7 2617.0 LQKHTI 26 26 3221.1 6161.2 3129.8 6718.8 LDKHTI 26 26 3221.1 6161.2 3129.8 6718.8 TDFSW 26 26 270.5 256.5 257.3 247.6 QBSW 26 26 28600.5 23830.0 29151.9 24007.8 DBSW 26 26 28600.5 23830.0 29151.9 24007.8 RHBSW 26 26 329.6 85.0738 330.3 64.9194 L3RR 26 26 3.6736 5.2173 2.8967 13.8689 LRHKHTI 26 26 366.7 152.1 361.0 109.3 LRHKHA 26 26 693551 342976 668237 270522 LATSW 26 26 2704.6 2097.1 2704.6 2097.1 L2RHBSW 26 26 311.7 78.0536 318.0 67.0781 LRR 26 26 3.4067 5.3912 3.0531 13.9068 LQBSW 26 26 25689.2 21877.9 26284.9 22256.9 LDBSW 26 26 25689.2 21877.9 26284.9 22256.9 TDFKR 26 26 36.1652 77.6525 38.6076 115.5 QKR 26 26 1602.9 508.6 1606.6 567.2 DDKR 26 26 161.6 111.4 205.4 139.5 QXKR 26 26 1441.3 422.8 1401.2 472.9 RHDKR 26 26 7255.1 1339.5 7098.4 696.5 Lampiran 8. Lanjutan
LATKR 26 26 3195.1 316.1 3195.1 316.1 LQKR 26 26 1531.7 469.5 1543.6 550.5 LDDKR 26 26 147.3 92.7519 196.8 138.9 LQXKR 26 26 1384.3 404.2 1346.9 456.6 LRHEKR 26 26 11210039 7149536 11210039 7149536 TDFPD 26 26 171.3 370.7 167.5 465.8 QGKG 26 26 47989.9 6226.9 48295.4 5935.0 DGKG 26 26 47989.9 6226.9 48295.4 5935.0 RHGKG 26 26 1343.0 461.6 1339.3 314.2 LATPD 26 26 10558.2 1395.8 10558.2 1395.8 LQGKG 26 26 46962.6 6313.0 47348.9 6242.5 LDGKG 26 26 46962.6 6313.0 47348.9 6242.5 TTDF 26 26 753.0 683.0 754.6 1075.0 TDGHPH 26 26 ‐1018.2 3801.4 ‐800.2 6445.5 QILL 26 26 10540.1 3904.1 10601.4 3834.4 QKBHA 26 26 15355.6 9316.1 15489.2 8812.7 DKBKG 26 26 9965.3 7292.3 10042.8 4866.7 DKBKL 26 26 15658.7 5149.8 14685.5 3047.9 RHKHA 26 26 715581 340166 698401 280217 L2QILL 26 26 10818.3 3484.2 10915.8 3317.5 LRHEMSW 26 26 3772992 1196814 3772992 1196814 LAHPH 26 26 47879.0 13194.2 47879.0 13194.2 LQILL 26 26 10719.1 3687.4 10830.8 3498.7 LQKBHA 26 26 15692.0 9067.9 15948.4 8350.2 LDKBKG 26 26 10448.9 7092.4 10574.5 4440.8 LDKBKL 26 26 15555.0 5345.2 14505.7 3477.9 4.
Lompatan Kenaikan Harga Minyak Mentah Dunia sebesar 200.0%
The MODEL Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1983 To 2008 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev R 26 26 14.1908 11.0892 13.9900 4.6446 RR 26 26 2.9010 5.5753 2.7002 13.7894 UIP 26 26 0.7466 5.1916 0.5458 14.1102 EXR 26 26 6622.7 4944.0 9135.3 4105.3 REXR 26 26 6956.0 7313.7 8234.3 7053.2 RPPJK 26 26 129891 66351.2 128850 73058.1 RG 26 26 98172.8 32781.6 120948 26848.6 RI 26 26 321683 134461 330818 124030 RNX 26 26 33849.9 74842.4 7745.3 76128.6 RC 26 26 742744 301174 740208 283231 RY 26 26 1196450 440139 1199720 458526 IHK 26 26 75.2057 60.2377 75.1962 60.3202 EMP 26 26 82.2600 11.9070 82.2478 12.0566 UNEMP 26 26 5.2146 3.4952 5.2581 3.3129 LRC 26 26 706578 292612 702427 270177 LRPPJK 26 26 120762 62560.2 119808 69685.2 LRI 26 26 303421 123769 314869 119628 LRG 26 26 93787.1 29496.4 116195 25986.0 LRNX 26 26 32977.7 75118.0 7038.9 76118.1 LRY 26 26 1136763 419942 1140530 440734 LR 26 26 14.5281 11.0431 14.1316 4.6885 LRMS 26 26 501474 256026 501474 256026 LEXR 26 26 6279.7 5031.9 8727.9 4391.7 LEMP 26 26 80.5389 12.0893 80.5210 12.2242 LRW 26 26 513077 174259 513077 174259 LDINF 26 26 11.1214 13.7754 11.1214 13.7754 255
256
Lampiran 8. Lanjutan
LOILP 26 26 76.1820 75.5203 228.5 226.6 TDFHTI 26 26 275.0 490.5 290.6 626.0 QKHTI 26 26 4079.5 7167.2 3982.8 7572.8 DKHTI 26 26 4079.5 7167.2 3982.8 7572.8 RHKHTI 26 26 350.8 155.3 345.5 112.4 L2RHEPU 26 26 3928551 1418815 3928551 1418815 LRHEPU 26 26 3926454 1421881 3926454 1421881 L2RR 26 26 3.5692 5.3428 2.8461 13.7705 LAHTI 26 26 2291.7 2617.0 2291.7 2617.0 LQKHTI 26 26 3221.1 6161.2 3141.1 6665.4 LDKHTI 26 26 3221.1 6161.2 3141.1 6665.4 TDFSW 26 26 270.5 256.5 257.1 248.7 QBSW 26 26 28600.5 23830.0 29102.4 24457.8 DBSW 26 26 28600.5 23830.0 29102.4 24457.8 RHBSW 26 26 329.6 85.0738 330.2 66.0651 L3RR 26 26 3.6736 5.2173 2.8414 13.7719 LRHKHTI 26 26 366.7 152.1 361.1 109.4 LRHKHA 26 26 693551 342976 667353 275909 LATSW 26 26 2704.6 2097.1 2704.6 2097.1 L2RHBSW 26 26 311.7 78.0536 317.9 68.1261 LRR 26 26 3.4067 5.3912 3.0102 13.8110 LQBSW 26 26 25689.2 21877.9 26226.9 22714.7 LDBSW 26 26 25689.2 21877.9 26226.9 22714.7 TDFKR 26 26 36.1652 77.6525 38.9584 117.1 QKR 26 26 1602.9 508.6 1612.9 557.3 DDKR 26 26 161.6 111.4 211.4 128.8 QXKR 26 26 1441.3 422.8 1401.5 472.7 RHDKR 26 26 7255.1 1339.5 7084.4 700.3 LATKR 26 26 3195.1 316.1 3195.1 316.1 LQKR 26 26 1531.7 469.5 1550.5 542.2 LDDKR 26 26 147.3 92.7519 203.4 129.1 LQXKR 26 26 1384.3 404.2 1347.2 456.5 LRHEKR 26 26 11210039 7149536 11210039 7149536 TDFPD 26 26 171.3 370.7 169.7 454.6 QGKG 26 26 47989.9 6226.9 48282.0 6163.8 DGKG 26 26 47989.9 6226.9 48282.0 6163.8 RHGKG 26 26 1343.0 461.6 1339.7 320.5 LATPD 26 26 10558.2 1395.8 10558.2 1395.8 LQGKG 26 26 46962.6 6313.0 47333.3 6454.4 LDGKG 26 26 46962.6 6313.0 47333.3 6454.4 TTDF 26 26 753.0 683.0 756.3 1073.4 TDGHPH 26 26 ‐1018.2 3801.4 ‐777.8 6459.0 QILL 26 26 10540.1 3904.1 10609.3 3800.9 QKBHA 26 26 15355.6 9316.1 15498.7 8880.2 DKBKG 26 26 9965.3 7292.3 10106.2 5101.3 DKBKL 26 26 15658.7 5149.8 14923.4 3423.1 RHKHA 26 26 715581 340166 697646 285737 L2QILL 26 26 10818.3 3484.2 10926.3 3270.9 LRHEMSW 26 26 3772992 1196814 3772992 1196814 LAHPH 26 26 47879.0 13194.2 47879.0 13194.2 LQILL 26 26 10719.1 3687.4 10840.0 3458.2 LQKBHA 26 26 15692.0 9067.9 15959.0 8418.7 LDKBKG 26 26 10448.9 7092.4 10647.1 4666.9 LDKBKL 26 26 15555.0 5345.2 14747.8 3816.6 Lampiran 8. Lanjutan
5.
Suku Bunga Rujukan Amerika Serikat Meningkat 1%
The MODEL Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1983 To 2008 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev R 26 26 14.1908 11.0892 14.0299 4.5902 RR 26 26 2.9010 5.5753 2.7400 13.8920 UIP 26 26 0.7466 5.1916 0.5641 14.1484 EXR 26 26 6622.7 4944.0 6730.6 4794.4 REXR 26 26 6956.0 7313.7 6847.1 6922.4 RPPJK 26 26 129891 66351.2 129038 70501.5 RG 26 26 98172.8 32781.6 98345.0 33363.6 RI 26 26 321683 134461 331013 122319 RNX 26 26 33849.9 74842.4 31426.3 48853.4 RC 26 26 742744 301174 740152 283907 RY 26 26 1196450 440139 1200936 442039 IHK 26 26 75.2057 60.2377 75.2217 60.0678 EMP 26 26 82.2600 11.9070 82.3279 11.7377 UNEMP 26 26 5.2146 3.4952 5.1780 3.6392 LRC 26 26 706578 292612 702360 270854 LRPPJK 26 26 120762 62560.2 120025 67091.9 LRI 26 26 303421 123769 315095 117949 LRG 26 26 93787.1 29496.4 94125.3 30617.9 LRNX 26 26 32977.7 75118.0 30349.3 49255.0 LRY 26 26 1136763 419942 1141930 424150 LR 26 26 14.5281 11.0431 14.1785 4.6323 LRMS 26 26 501474 256026 501474 256026 LEXR 26 26 6279.7 5031.9 6352.2 4864.4 LEMP 26 26 80.5389 12.0893 80.6099 11.9388 LRW 26 26 513077 174259 513077 174259 LDINF 26 26 11.1214 13.7754 11.1214 13.7754 LOILP 26 26 76.1820 75.5203 76.1820 75.5203 TDFHTI 26 26 275.0 490.5 291.3 624.5 QKHTI 26 26 4079.5 7167.2 3972.1 7626.4 DKHTI 26 26 4079.5 7167.2 3972.1 7626.4 RHKHTI 26 26 350.8 155.3 345.4 112.3 L2RHEPU 26 26 3928551 1418815 3928551 1418815 LRHEPU 26 26 3926454 1421881 3926454 1421881 L2RR 26 26 3.5692 5.3428 2.8990 13.8735 LAHTI 26 26 2291.7 2617.0 2291.7 2617.0 LQKHTI 26 26 3221.1 6161.2 3129.0 6720.7 LDKHTI 26 26 3221.1 6161.2 3129.0 6720.7 TDFSW 26 26 270.5 256.5 257.3 247.5 QBSW 26 26 28600.5 23830.0 29157.0 23992.3 DBSW 26 26 28600.5 23830.0 29157.0 23992.3 RHBSW 26 26 329.6 85.0738 330.3 64.8795 L3RR 26 26 3.6736 5.2173 2.9011 13.8729 LRHKHTI 26 26 366.7 152.1 361.0 109.3 LRHKHA 26 26 693551 342976 668305 270343 LATSW 26 26 2704.6 2097.1 2704.6 2097.1 L2RHBSW 26 26 311.7 78.0536 318.0 67.0426 LRR 26 26 3.4067 5.3912 3.0571 13.9107 LQBSW 26 26 25689.2 21877.9 26290.2 22241.4 LDBSW 26 26 25689.2 21877.9 26290.2 22241.4 TDFKR 26 26 36.1652 77.6525 38.5709 115.5 QKR 26 26 1602.9 508.6 1606.3 567.5 DDKR 26 26 161.6 111.4 205.1 139.9 QXKR 26 26 1441.3 422.8 1401.2 472.9 257
258
Lampiran 8. Lanjutan
RHDKR 26 26 7255.1 1339.5 7099.0 696.5 LATKR 26 26 3195.1 316.1 3195.1 316.1 LQKR 26 26 1531.7 469.5 1543.3 550.7 LDDKR 26 26 147.3 92.7519 196.5 139.3 LQXKR 26 26 1384.3 404.2 1346.8 456.6 LRHEKR 26 26 11210039 7149536 11210039 7149536 TDFPD 26 26 171.3 370.7 167.3 466.3 QGKG 26 26 47989.9 6226.9 48297.0 5927.1 DGKG 26 26 47989.9 6226.9 48297.0 5927.1 RHGKG 26 26 1343.0 461.6 1339.3 314.0 LATPD 26 26 10558.2 1395.8 10558.2 1395.8 LQGKG 26 26 46962.6 6313.0 47350.6 6235.3 LDGKG 26 26 46962.6 6313.0 47350.6 6235.3 TTDF 26 26 753.0 683.0 754.4 1075.1 TDGHPH 26 26 ‐1018.2 3801.4 ‐802.5 6445.6 QILL 26 26 10540.1 3904.1 10600.7 3835.5 QKBHA 26 26 15355.6 9316.1 15488.3 8810.4 DKBKG 26 26 9965.3 7292.3 10038.7 4859.2 DKBKL 26 26 15658.7 5149.8 14675.9 3034.8 RHKHA 26 26 715581 340166 698465 280030 L2QILL 26 26 10818.3 3484.2 10914.9 3319.1 LRHEMSW 26 26 3772992 1196814 3772992 1196814 LAHPH 26 26 47879.0 13194.2 47879.0 13194.2 LQILL 26 26 10719.1 3687.4 10830.0 3500.1 LQKBHA 26 26 15692.0 9067.9 15947.4 8347.9 LDKBKG 26 26 10448.9 7092.4 10570.1 4433.7 LDKBKL 26 26 15555.0 5345.2 14496.1 3465.9 6. Kenaikan Suku Bunga Rujukan Amerika Serikat Rataan per tahun sebesar
5.0% The MODEL Procedure Dynamic Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1983 To 2008 Descriptive Statistics Actual Predicted Variable N Obs N Mean Std Dev Mean Std Dev R 26 26 14.1908 11.0892 14.0402 4.5887 RR 26 26 2.9010 5.5753 2.7504 13.8911 UIP 26 26 0.7466 5.1916 0.4883 14.1647 EXR 26 26 6622.7 4944.0 6772.5 4783.8 RPPJK 26 26 129891 66351.2 129097 70502.6 RG 26 26 98172.8 32781.6 98378.6 33363.0 RI 26 26 321683 134461 331085 122301 RNX 26 26 33849.9 74842.4 31713.8 48949.3 RC 26 26 742744 301174 740137 283904 RY 26 26 1196450 440139 1201314 442045 IHK 26 26 75.2057 60.2377 75.2285 60.0686 EMP 26 26 82.2600 11.9070 82.3353 11.7410 UNEMP 26 26 5.2146 3.4952 5.1706 3.6359 LRC 26 26 706578 292612 702346 270851 LRPPJK 26 26 120762 62560.2 120083 67099.4 LRI 26 26 303421 123769 315165 117939 LRG 26 26 93787.1 29496.4 94158.3 30620.4 LRNX 26 26 32977.7 75118.0 30633.1 49357.0 LRY 26 26 1136763 419942 1142303 424200 LR 26 26 14.5281 11.0431 14.1885 4.6305 LRMS 26 26 501474 256026 501474 256026 LEXR 26 26 6279.7 5031.9 6393.9 4857.2 LEMP 26 26 80.5389 12.0893 80.6171 11.9426 LRW 26 26 513077 174259 513077 174259 Lampiran 8. Lanjutan
LDINF 26 26 11.1214 13.7754 11.1214 13.7754 LOILP 26 26 76.1820 75.5203 76.1820 75.5203 TDFHTI 26 26 275.0 490.5 291.4 624.5 QKHTI 26 26 4079.5 7167.2 3970.4 7626.1 DKHTI 26 26 4079.5 7167.2 3970.4 7626.1 RHKHTI 26 26 350.8 155.3 345.4 112.3 L2RHEPU 26 26 3928551 1418815 3928551 1418815 LRHEPU 26 26 3926454 1421881 3926454 1421881 L2RR 26 26 3.5692 5.3428 2.9088 13.8725 LAHTI 26 26 2291.7 2617.0 2291.7 2617.0 LQKHTI 26 26 3221.1 6161.2 3127.4 6720.3 LDKHTI 26 26 3221.1 6161.2 3127.4 6720.3 TDFSW 26 26 270.5 256.5 257.3 247.5 QBSW 26 26 28600.5 23830.0 29170.5 23993.4 DBSW 26 26 28600.5 23830.0 29170.5 23993.4 RHBSW 26 26 329.6 85.0738 330.4 64.8837 L3RR 26 26 3.6736 5.2173 2.9108 13.8719 LRHKHTI 26 26 366.7 152.1 361.0 109.3 LRHKHA 26 26 693551 342976 668447 270391 LATSW 26 26 2704.6 2097.1 2704.6 2097.1 L2RHBSW 26 26 311.7 78.0536 318.1 67.0500 LRR 26 26 3.4067 5.3912 3.0671 13.9096 LQBSW 26 26 25689.2 21877.9 26303.4 22243.7 LDBSW 26 26 25689.2 21877.9 26303.4 22243.7 TDFKR 26 26 36.1652 77.6525 38.4730 115.5 QKR 26 26 1602.9 508.6 1606.0 567.2 DDKR 26 26 161.6 111.4 204.8 139.7 QXKR 26 26 1441.3 422.8 1401.2 472.9 RHDKR 26 26 7255.1 1339.5 7099.7 696.9 LATKR 26 26 3195.1 316.1 3195.1 316.1 LQKR 26 26 1531.7 469.5 1543.0 550.5 LDDKR 26 26 147.3 92.7519 196.2 139.1 LQXKR 26 26 1384.3 404.2 1346.8 456.6 LRHEKR 26 26 11210039 7149536 11210039 7149536 TDFPD 26 26 171.3 370.7 166.8 466.1 QGKG 26 26 47989.9 6226.9 48301.6 5927.7 DGKG 26 26 47989.9 6226.9 48301.6 5927.7 RHGKG 26 26 1343.0 461.6 1339.1 314.0 LATPD 26 26 10558.2 1395.8 10558.2 1395.8 LQGKG 26 26 46962.6 6313.0 47355.1 6236.5 LDGKG 26 26 46962.6 6313.0 47355.1 6236.5 TTDF 26 26 753.0 683.0 753.8 1075.1 TDGHPH 26 26 ‐1018.2 3801.4 ‐808.7 6445.5 QILL 26 26 10540.1 3904.1 10598.6 3834.7 QKBHA 26 26 15355.6 9316.1 15486.0 8810.8 DKBKG 26 26 9965.3 7292.3 10031.3 4861.4 DKBKL 26 26 15658.7 5149.8 14671.6 3034.7 RHKHA 26 26 715581 340166 698611 280067 L2QILL 26 26 10818.3 3484.2 10913.0 3318.2 LRHEMSW 26 26 3772992 1196814 3772992 1196814 LAHPH 26 26 47879.0 13194.2 47879.0 13194.2 LQILL 26 26 10719.1 3687.4 10828.0 3499.3 LQKBHA 26 26 15692.0 9067.9 15945.1 8348.4 LDKBKG 26 26 10448.9 7092.4 10563.0 4436.2 LDKBKL 26 26 15555.0 5345.2 14492.4 3464.7 259
261
Lampiran 9.
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
46.
Notasi Peubah yang Digunakan untuk Pengolahan Data
Spesifikasi
Model
rt
Rt
UIPt
et
Tt
Gt
It
NXt
Ct
Yt
IHKt
LDt
ULt
Wt
NXt
MSt
oilPt
πt
DEFL
πEt
Rus
rus
πus
USCPI
USGDP
LSt
DFHTIt
AHTIt
qHTIt
SKHTIt
DKHTIt
PKHTIt
PXPULPt
PBBMt
DFSWt
ATSWt
qSWt
SBSWt
DBSWt
PBSWt
PDMSWt
PXMSWt
DFKRt
ATKRt
qKRt
P
P
P
P
P
P
Pengolahan
Data
R
RR
UIP
EXR
RPPJK
RG
RI
RNX
RC
RY
IHK
EMP
UNEMP
RW
RNX
RMS
OILP
DINF
DFLA
EXPINF
RFRATE
FEDRATE
USINF
USCPI
USGDP
LF
TDFHTI
AHTI
PRODHTI
QKHTI
DKHTI
RHKHTI
RHEPU
RHBBM
TDFSW
ATSW
PRODSW
QBSW
DBSW
RHBSW
RHDMSW
RHEMSW
TDFKR
ATKR
PRODKR
Keterangan
Suku Bunga (%)
Suku Bunga Riil (%)
Paritas Suku Bunga (%)
Nilai Tukar (Rp/USD)
Penerimaan Pajak (Rp miliar)
Pengeluaran Pemerintah (Rp miliar)
Investasi (Rp miliar)
Ekspor Bersih (Rp miliar)
Konsumsi (Rp miliar)
Produk Domestik Bruto (PDB) (Rp miliar)
Indeks Harga Konsumen (Tahun 2000=100)
Permintaan Tenaga Kerja (juta orang)
Jumlah Pengangguran (juta orang)
Upah Tenaga Kerja (Rp/bulan)
Nilai Ekspor (Rp miliar)
Penawaran Uang (Rp miliar)
Harga Minyak Mentah Dunia (USD/barel)
Inflasi Dalam Negeri (%)
GDP Deflator (Tahun 2000=100)
Ekspektasi Inflasi (%)
Suku Bunga Riil Amerika Serikat (%)
Suku Bunga Nominal Amerika Serikat (%)
Inflasi Amerika Seikat (%)
IHK Amerika Serikat (tahun 2000=100)
PDB Amerika Serikat (USD miliar)
Penawaran Tenaga Kerja (juta orang)
Deforestasi untuk Areal HTI (ribu ha)
Luas Areal HTI (ribu ha)
Produktivitas HTI (m3/ha)
Penawaran Kayu HTI (ribu m3)
Permintaan Kayu HTI (ribu m3)
Harga Kayu HTI (Rp/m3)
Harga Ekspor Pulp (Rp/ton)
Harga BBM (Rp/liter)
Deforestasi untuk Areal Sawit (ribu ha)
Luas Areal Tanaman Sawit (ribu ha)
Produktivitas Tanaman Sawit (ton/ha)
Penawaran Buah Sawit (ribu ron)
Permintaan Buah Sawit (ribu ton)
Harga Buah Sawit (Rp/kg)
Harga Minyak Sawit Dalam Negeri (Rp/ton)
Harga Ekspor Minyak Sawit (Rp/ton)
Deforestasi untuk Areal Karet (ribu ha)
Luas Areal Tanaman Karet (ribu ha)
Produktivitas Tanaman Karet (ton/ha)
262 Lampiran 9. Lanjutan
No
47.
48.
49.
50.
51.
52.
53.
54.
56.
57.
58.
59.
60
61.
62
63.
64.
65.
66.
67.
69.
70.
71.
Spesifikasi
Model
DDKRt
SXKRt
PDKRt
PXKRt
DFPDt
ATPDt
qPDt
SGKGt
DGKGt
PGKGt
PHPPt
PDBRt
DGHPHt
AHPHt
qHAt
SKILLt
SKHAt
P
P
P
P
P
DKHAKGt
DKHAKLt
PKHAt
PXKLt
DRt
PSDHt
P
P
Pengolahan
Data
DDKR
QXKR
RHDKR
RHEKR
TDFPD
ATPD
PRODPD
QGKG
DGKG
RHGKG
RHHPP
RHDBR
DGHPH
AHPH
PRODHA
QILL
QKBHA
DKBKG
DKBKL
RHKHA
RHEKL
RDR
RPSDH
Keterangan
Permintaan Karet Dalam Negeri (ribu ton)
Penawaran Ekspor Karet (ribu ton)
Harga Karet Dalam Negeri (Rp/kg)
Harga Ekspor Karet (Rp/ton)
Deforestasi untuk Areal Padi (ribu ha)
Luas Areal Tanaman Padi (ribu ha)
Produktivitas Tanaman Padi (ton/ha)
Penawaran Gabah Kering Giling (ribu ton)
Permintaan Gabah Kering Giling (ribu ton)
Harga Gabah Kering Giling (Rp/kg)
Harga Pembelian Pemerintah (Rp/kg)
Harga Beras Dalam Negeri (Rp/kg)
Degradasi Hutan Areal HPH (ribu ha)
Luas Areal HPH (ribu ha)
Produktivitas Hutan Alam (m3/ha/th)
Penawaran Kayu Ilegal (ribu m3)
Penawaran Kayu Hutan Alam (ribu m3)
Permintaan Kayu Hutan Alam oleh Industri
Kayu Gergajian (ribu m3)
Permintaan Kayu Hutan Alam oleh Industri
Kayu Lapis (ribu m3)
Harga Kayu Hutan Alam (Rp/m3)
Harga Ekspor Kayu Lapis (Rp/m3)
Dana Reboisasi (Rp/m3)
Provisi Sumberdaya Hutan (Rp/m3)
Download