BAB I PENDAHULUAN

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Rangkaian kepulauan Indonesia sangatlah unik berdasarkan posisi geografisnya,
dimana daerahnya membentang dari barat ke timur dan diapit oleh dua benua, yaitu
Benua Asia dan Benua Australia, dan juga diapit oleh dua samudera, yaitu Samudera
Pasifik dan Samudera Hindia. Oleh sebab itu, daerah kepulauan Indonesia sering
disebut juga sebagai daerah posisi silang. Gugusan kepulauan Indonesia ini
menyebabkan suatu sistem perairan yang kompleks dan rumit. Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), pada tahun 2002 berdasarkan hasil
kajian citra satelit menyatakan bahwa jumlah pulau di Indonesia adalah 18.306 buah.
Dengan jumlah pulau yang berjumlah 18.306 ini dapat menyebabkan kompleksnya
perairan Indonesia.1
Di perairan Indonesia terdapat fenomena-fenomena yang sangat penting yang dapat
mempengaruhi iklim dan sirkulasi laut global. Salah satunya adalah Arlindo (Arus
Lintas Indonesia) atau dalam bahasa internasionalnya disebut Indonesian
Throughflow (ITF). Arlindo adalah suatu sistem arus yang menghubungkan
Samudera Pasifik dengan Samudera Hindia. Jalur Arlindo dimulai dari perairan
antara Mindanao dan Halmahera, mengalir masuk melalui Selat Makassar sebagai
jalur utamanya. Setelah itu, sebagian meninggalkan perairan Indonesia melalui Selat
Lombok dan sebagian besar lainnya berbelok melalui Laut Flores, Laut Banda, Selat
Lifamatola, dan memasuki Samudera Hindia.
Peristiwa El Niño yang merupakan bergesernya massa air hangat dari ekuatorial
Pasifik barat ke arah timur sampai pesisir Peru, menurunkan/menaikkan permukaan
laut di barat/timur Pasifik sekitar 10-20 cm. Dampaknya adalah perubahan
kedalaman termoklin baik di sisi barat/timur Pasifik dengan skala mencapai 50 m.
I-1
Dampak El Niño yang terkenal antara lain adalah rusaknya perikanan anchovy di
pesisir Peru karena perubahan kedalaman termoklin ini menggangu kekuatan
upwelling yang terdapat disana. Selain itu, pergeseran massa air hangat ke timur juga
membawa massa udara yang lembab di atasnya, sehingga curah hujan di sisi timur
meningkat menyebabkan terjadinya banjir dan tanah longsor, sementara itu pada sisi
barat
Pasifik
seperti
Indonesia
mengalami
kekeringan,
bahkan
sampai
mengakibatkan kebakaran hutan tropis. 1
Untuk mempelajari kaitan Arlindo dengan fenomena El Niño dan La Niña telah
dipasang 11 mooring oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP)-DKP, serta
institusi-institusi dari luar negeri melalui program INSTANT (Internasional
Nusantara Transport and Stratification) di beberapa
daerah antara lain Selat
Lombok, Selat Timor, Selat Ombai, Selat Makassar, dan Selat Lifamatola. Indikator
penyimpangan cuaca seperti kejadian El Niño dan La Niña dapat diketahui hanya
berdasarkan adanya kenaikan atau penurunan suhu muka laut di Samudera Pasifik.
Indikator lain adalah adanya perbedaan tekanan udara di Tahiti yang berada di Pasifik
dan Darwin di Australia atau sekitar Samudra Hindia bagian barat. Dinamika laut di
perairan Indonesia juga berkorelasi dengan munculnya penyimpangan cuaca global.
Pemanasan/pendinginan suhu muka laut di daerah Niño3 memiliki kaitan erat dengan
terjadinya El Niño dan La Niña, yang kerap kali mengakibatkan kekeringan/curah
hujan tinggi di wilayah Asia, termasuk Indonesia. Pada pola cuaca normal, Arlindo
mengalir dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia. Kekuatan arus laut tersebut pada
saat El Niño akan mengalami penurunan sedangkan pada saat La Niña kekuatan
arusnya akan mengalami peningkatan transpor Arlindo berkaitan dengan fenomena
ENSO (El Niño Southern Oscillation), dimana net transpor pada saat La Niña
membesar dan pada saat terjadinya El Niño net transpor akan mengecil ketika menuju
Samudera Hindia dan hal ini telah terbukti pada tahun-tahun terjadinya El Niño dan
La Niña (Susanto, 1999).
1
http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=87
I-2
Penambatan pengukur arus (mooring) pada beberapa lokasi di Selat Makassar,
Lombok, Ombai, dan Laut Timor menunjukkan bahwa ENSO mempengaruhi
volume, kecepatan arus, dan suhu Arlindo. Penelitian di daerah Selat Makassar dan
Selat Lombok sudah banyak dilakukan, tetapi di jalur timur kepulauan Indonesia,
khususnya termasuk Selat Lifamatola merupakan daerah yang masih jarang diteliti
korelasi/kaitan dinamika arusnya dengan fenomena ENSO. Oleh karena itulah Selat
Lifamatola sangat menarik untuk dikaji.
1. 2
Ruang Lingkup Pembahasan
Ruang lingkup pembahasan meliputi analisis
mengenai sinyal ENSO di Selat
Lifamatola berdasarkan data kecepatan arus mooring INSTANT yang diperoleh
berdasarkan kerja sama riset antara BRKP-DKP dan 4 institusi asing selama 3 tahun
yaitu tahun 2004-2006.
1.3 Maksud dan Tujuan
Tujuan dari pembuatan tugas akhir ini untuk melihat periode dominan dan variabilitas
Arlindo di Selat Lifamatola berdasarkan data deret waktu (time series). Selain itu juga
dihitung nilai korelasi antara Arlindo di Selat Lifamatola dengan fluktuasi Osilasi
Selatan untuk mengetahui hubungan fenomena ENSO terhadap variabilitas Arlindo di
Selat Lifamatola.
I-3
1.4
Sistematika Penulisan
Sistematika Pembahasan dalam Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN, bab ini berisi uraian singkat mengenai latar belakang,
ruang lingkup pembahasan, maksud dan tujuan, serta sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, bab ini berisi definisi tentang ENSO (El Niño
Southern Oscillation), pengertian El Niño, La Niña, Osilasi Selatan dan kaitannya
dengan Arlindo, serta kondisi Oseanografi perairan yang terletak di Selat Lifamatola
dan variabilitas Arlindonya.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN, dalam bab ini dijelaskan tentang metode
low pass filter, metode analisis spektral, serta analisis korelasi silang.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN, Pada bagian hasil dan pembahasan ini
dijelaskan fakta yang diperoleh dari hasil pengolahan data dan analisisnya.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN, berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil
analisis serta saran dari penulis untuk penelitian selanjutnya.
I-4
Download