BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tuberkulosis merupakan penyakit yang menjadi perhatian global. Berbagai upaya pengendalian telah dilakukan untuk menurunkan insidensi dan kematian akibat tuberkulosis, tetapi pada tahun 2014 tuberkulosis masih menyerang 9,6 juta orang dan menyebabkan 1,2 juta kematian. Jumlah kasus baru tuberkulosis paru pada tahun 2014 sebanyak 5,2 juta dan sebanyak 3 juta kasus terkonfimasi bakteriologis. Kasus tuberkulosis paling banyak berada di India yakni 23% dari seluruh penderita di dunia, kemudian China dan Indonesia dengan jumlah kasus yang sama yaitu sebesar 10% dari seluruh penderita di dunia (WHO, 2015). Jumlah kasus tuberkulosis di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2015 jumlah kasus tuberkulosis sebanyak 330.910 kasus, meningkat bila dibandingkan jumlah kasus tuberkulosis pada tahun 2014 yaitu sebesar 324.539 kasus. Jumlah kasus baru tuberkulosis pada tahun 2015 sebanyak 130 per 100.000 penduduk, meningkat dibandingkan jumlah kasus baru tuberkulosis pada tahun 2014 sebesar 129 per 100.000 penduduk. Sedangkan jumlah kasus baru tuberkulosis paru terkonfirmasi bakteriologis pada tahun 2015 sebesar 74 per 100.000 penduduk, menurun dibandingkan tahun 2014 yaitu sebesar 77 per 100.000 penduduk (Kemenkes, 2016). 1 Jumlah kasus baru tuberkulosis di Jawa Tengah sebesar 89,01 per 100.000 penduduk pada tahun 2014, menurun dibandingkan jumlah kasus baru tuberkulosis pada tahun 2013 yaitu sebesar 114 per 100.000 penduduk. Jumlah kasus baru tuberkulosis paru terkonfirmasi bakteriologis pada tahun 2014 di Jawa Tengah sebesar 55,99 per 100.000 penduduk. Angka kesembuhan tuberkulosis (Cure Rate) di Jawa Tengah hanya sebesar 81,84%. Hal ini menunjukkan angka kesembuhan tuberkulosis di Jawa Tengah belum memenuhi target minimal sebesar 85% (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2015). WHO (2015) menyatakan kasus baru tuberkulosis di dunia pada usia di bawah 15 tahun mencapai 1 juta dengan jumlah kematian sebanyak 140.000 setiap tahun. Kemenkes RI (2013) menyatakan bahwa tuberkulosis anak merupakan penyakit tuberkulosis yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun. Kasus tuberkulosis pada anak di Indonesia mengalami peningkatan. Pada tahun 2014 proporsi kasus tuberkulosis pada anak sebesar 7,1%, dan mengalami peningkatan pada tahun 2015 menjadi 8, 59% dari seluruh kasus tuberkulosis pada semua kelompok umur (Kemenkes, 2016). Di Jawa Tengah proporsi kasus tuberkulosis anak di antara kasus baru tuberkulosis paru yang tercatat sebesar 6,63% pada tahun 2014. Hal ini menunjukkan bahwa penularan kasus tuberkulosis paru BTA Positif kepada anak cukup besar. Ada sebanyak 1.386 anak yang tertular tuberkulosis paru BTA positif dewasa yang berhasil ditemukan dan diobati. Rasio antara kasus tuberkulosis anak 2 dengan tuberkulosis paru BTA positif dewasa sebesar 1 banding 12 (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2015). Kasus tuberkulosis paru pada anak di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta sebagian besar terjadi pada usia balita. Menurut Soetjiningsih (2002), balita merupakan anak usia di bawah lima tahun. Kasus tuberkulosis paru anak pada tahun 2013 yakni 93 kasus, dan sebanyak 69 anak berusia balita. Kasus tuberkulosis paru anak meningkat pada tahun 2014 menjadi 106 kasus dan sebanyak 83 anak berusia balita. Kasus tuberkulosis anak pada tahun 2015 yakni 89 kasus, dan sebanyak 67 anak berusia balita. Kasus tuberkulosis paru anak pada tahun 2016 yakni 70 kasus dan sebanyak 49 anak berusia balita (BBKPM, 2016). Balita mempunyai risiko lebih besar untuk tertular tuberkulosis karena imunitas selularnya belum berkembang sempurna (imatur). Risiko sakit tuberkulosis akan berkurang secara bertahap seiring dengan pertambahan usia. Tuberkulosis pada balita dapat menyebabkan hemoptisis berat. Balita penderita tuberkulosis dapat mengalami pendarahan pada saluran nafas bawah yang dapat mengakibatkan kematian karena tersumbatnya jalan nafas (Rahajoe et.al, 2015). Tuberkulosis paru pada balita tidak terlepas dari penderita tuberkulosis dewasa di sekitarnya. Penularan penyakit tuberkulosis kepada balita berasal dari droplet (percikan dahak) penderita tuberkulosis saat batuk. Mycobacterium tuberculosis pada droplet terhirup oleh balita ke dalam saluran pernafasan, kemudian menyebar dari paru-paru ke bagian tubuh vital 3 lainnya (Depkes RI, 2005). Faktor risiko terjadinya infeksi tuberkulosis paru pada balita antara lain kontak dengan penderita tuberkulosis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat dan tingkat pengetahuan orang tua yang rendah (Rahajoe et.al 2015, Ngastiyah 2005). Kemenkes (2013) menyatakan bahwa sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien tuberkulosis paru dewasa dengan BTA sputum positif akan terinfeksi tuberkulosis. Hasil penelitian Wiharsimi (2013) menunjukkan bahwa balita yang memiliki kontak dengan penderita tuberkulosis dalam satu rumah memiliki risiko untuk menderita tuberkulosis paru sebesar 3,230 kali dibandingkan balita yang tidak memiliki kontak serumah dengan penderita tuberkulosis (p value: 0,019). Status ekonomi merupakan salah satu faktor utama berkembangnya kuman Mycobacterium tuberculosis di Indonesia karena berkaitan dengan ketidakmampuan menciptakan lingkungan rumah dan sanitasi yang memenuhi syarat kesehatan. Lingkungan rumah yang tidak sehat meningkatkan risiko penularan tuberkulosis paru (Tjiptoherijanto dan Soesetyo, 2008). Berdasarkan penelitian Ajiz et.al (2009), faktor status ekonomi (p value 0,010; OR=2,458) dan kebiasaan merokok anggota keluarga (p value 0,023; OR=2,613) merupakan faktor risiko kejadian tuberkulosis paru pada balita. Kemenkes (2014) menyatakan lebih dari 43 juta anak Indonesia serumah dengan perokok dan terpapar asap tembakau. Anak yang terpapar asap tembakau dapat mengalami pertumbuhan paru yang lambat, sehingga mudah terkena infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. 4 Sedangkan hasil penelitian Halim et.al (2015) menunjukkan bahwa faktor status ekonomi (p value 0,528) dan kebiasaan merokok anggota keluarga (p value 0,319) tidak berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru pada anak usia 1-5 tahun. Tingkat pengetahuan ibu merupakan faktor penting dalam melindungi balita dari infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Penelitian Kuswantoro (2002) diperoleh hasil bahwa faktor pengetahuan ibu tentang tuberkulosis paru berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru pada balita (p value 0,010; OR= 2,700). Sedangkan menurut Roswendi (2009) faktor pengetahuan ibu tidak berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru pada anak (p value 0,950). Beberapa hasil penelitian di atas memperlihatkan hasil yang inkonsisten, sehingga dimungkinkan adanya perbedaan hasil analisis yang akan diperoleh jika dilakukan di wilayah dan waktu yang berbeda Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor risiko kejadian tuberkulosis paru pada balita yang meliputi riwayat kontak serumah, status ekonomi, paparan asap rokok anggota keluarga, serta tingkat pengetahuan ibu tentang tuberkulosis pada pasien tuberkulosis paru balita di BBKPM Surakarta. 5 B. Rumusan Masalah Apakah riwayat kontak serumah, status ekonomi, paparan asap rokok anggota keluarga, pengetahuan ibu tentang tuberkulosis paru merupakan faktor risiko kejadian tuberkulosis paru pada balita di BBKPM Surakarta? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Menganalisis faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru pada balita di BBKPM Surakarta. 2. Tujuan Khusus a. Mendeskripsikan karakteristik responden dan sampel penelitian. b. Menganalis hubungan antara riwayat kontak serumah dengan kejadian tuberkulosis paru pada balita di BBKPM Surakarta. c. Menganalis hubungan antara status ekonomi dengan kejadian tuberkulosis paru pada balita di BBKPM Surakarta. d. Menganalis hubungan antara paparan asap rokok anggota keluarga dengan kejadian tuberkulosis paru pada balita di BBKPM Surakarta. e. Menganalis hubungan antara pengetahuan ibu tentang tuberkulosis paru dengan kejadian tuberkulosis paru pada balita di BBKPM Surakarta. 6 D. Manfaat Penelitian 1. Bagi BBKPM Surakarta Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit tuberkulosis pada balita, sehingga dapat dijadikan bahan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi serta pengembangan program pencegahan penyakit tuberkulosis di BBKPM Surakarta. 2. Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat khususnya orang tua agar dapat mencegah terjadinya penularan penyakit tuberkulosis kepada balita dengan memperhatikan faktor riwayat kontak serumah, status ekonomi, paparan asap rokok anggota keluarga dan tingkat pengetahuan ibu tentang tuberkulosis paru. 3. Bagi Peneliti Lain Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar dan acuan bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian tentang tuberkulosis paru pada balita secara lebih mendalam. 7