bab ii pendekatan teoritis

advertisement
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1
Kemiskinan
2.1.1
Konsep Kemiskinan
Pada hakikatnya, kemiskinan merupakan persoalan yang selalu ada, dari
dulu, dan mungkin akan selalu ada sampai kapanpun. Belum ada upaya
penanggulangan kemiskinan yang berhasil dengan sempurna. Akan tetapi
memahami konsep kemiskinan tetap penting, yaitu untuk menemukan indikator
kemiskinan dan strategi penanggulangan kemiskinan yang tepat. Kemiskinan
diartikan secara berbeda-beda oleh para pakar kemiskinan. Hal ini dikarenakan
sudut pandang yang berbeda dalam melihat akar dari kemiskinan tersebut.
Menurut Sudibyo (1995), kemiskinan adalah kondisi deprivasi terhadap
sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar, seperti pangan, sandang, papan,
kesehatan, pendidikan dasar, sedangkan kesenjangan adalah ketidakmerataan
akses terhadap sumber ekonomi yang dimiliki. Dari kelima deprivation trap
tersebut, kerentaan dan ketidakberdayaan merupakan penyebab yang perlu
mendapatkan perhatian. Kerentaan dan ketidakberdayaan tersebut mengakibatkan
perbedaan kepemilikan faktor produksi. Perbedaan tersebut dicerminkan oleh
ketidakmerataan akses terhadap sumber daya ekonomi, dan masing-masing pelaku
ekonomi hanya akan memperoleh penghasilan yang sebanding dengan apa yang
dikorbankan dan faktor produksi apa yang dimiliki. Menurut Syahyuti (2006),
miskin adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya
sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompoknya, dan tak mampu
memanfaatkan tenaga, mental, dan pikirannya dalam kelompok tersebut.
Soedjatmoko pada seminar ilmiah HIPIIS 2 menyatakan terdapat dua
hubungan antara kemiskinan dan ketidakadilan. Ketidakadilan pada pemerataan
terhadap pengadaan sumber-sumber daya maupun pelayanan sosial yang
menyebabkan terjadinya kemiskinan mutlak. Adanya ketidakadilan ini juga
berkaitan dengan pola organisasi sosial dan dengan pola pengaturan institusional.
Sedangkan menurut Amartya Sen dalam Syahyuti (2006), “orang menjadi miskin
karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu, bukan karena tidak memiliki
sesuatu”. Maka kunci pemberantasan kemiskinan menurutnya adalah “akses”,
yaitu akses ke lembaga pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.
Dapat dikatakan bahwa kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang
hidup dengan kondisi yang berbeda dengan orang lain dalam hal aset yang
berdampak pada akses mereka terhadap sumber daya yang ada dalam memenuhi
kebutuhan dasar hidupnya. Ketidaksamaan aset dan akses pada sumber daya
tertentu pada tiap kelompok ataupun individu dalam masyarakat menyebabkan
lahirnya ketidakadilan dalam struktur sosial yang akan menghasilkan kesenjangan
dan kecemburuan sosial.
Menurut Syahyuti (2006), kemiskinan dapat diukur secara absolute
ataupun secara relative. Kemiskinan absolute terlihat dari kehidupan di bawah
garis minimum, atau di bawah standar yang diterima secara sosial, dan adanya
kekurangan nutrisi. Sementara kemiskinan relative dilihat dalam perbandingan
dengan segmen masyarakat yang lebih atas. Kemiskinan juga didekati dari sisi
objektif dan subyektif. Sisi objektif merupakan pendekatan tradisional ilmiah
2
Seminar Ilmiah HIPIIS (Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial) yang
berlangsung pada bulan November 1979 di Malang.
didasarkan kepada pendekatan kesejahteraan (the welfare approach), sedangkan
sisi subyektif berasal dari penilaian masyarakat setempat
Kemiskinan dapat dilihat pada level individu, keluarga, komunitas,
maupun negara. Kemiskinan pada level individu dipercaya muncul karena
perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin itu sendiri dalam hidupnya.
Penyebab kemiskinan dapat terjadi karena faktor keluarga dimana si miskin
hidup, faktor kultural (subcultural causes) yang membentuk pola hidup, serta pola
pembelajaran dan prinsip berbagi dari komunitasnya, faktor luar misalnya karena
peran kebijakan pemerintah atau karena struktur ekonomi yang tidak adil, dan
penyebab struktural dimana kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial yang
tidak adil. Pada sebagian kalangan, yang melihatnya sebagai isu politik,
kemiskinan disebabkan karena kebijakan politik yang salah selanjutnya
melahirkan ketidakadilan sosial, dan lemahnya kesempatan untuk memperoleh
pendudukan (Syahyuti, 2006).
2.1.2
Indikator Kemiskinan: Aset dan Penghasilan
Terdapat perbedaan pandangan dalam melihat
kemiskinan
yaitu
berdasarkan kepemilikan aset dan tingkat penghasilan. Menurut Sherraden (2006),
aset merujuk pada jumlah kekayaan yang ada dalam keluarga. Sebaliknya,
penghasilan (income) merujuk pada arus sumber daya dalam sebuah keluarga,
sebuah konsep yang diasosiasikan dengan konsumsi terhadap barang dan jasa atau
pelayanan serta terhadap standar hidup. Alasan utamanya adalah bahwa
penghasilan hanya akan mempertahankan budaya konsumtif, sedangkan aset
dapat mengubah cara berpikir masyarakat dan cara mereka berinteraksi dengan
dunia. Aset akan membuat orang berpikir untuk tujuan-tujuan jangka panjang dan
mewujudkan tujuan-tujuan tersebut menjadi kenyataan. Dengan kata lain,
penghasilan berfungsi untuk mengisi “kebutuhan perut”, sedangkan aset
“merubah pola pikir masyarakat”. Selain itu, menurut Grobakken (2005),
pengurangan tingkat kemiskinan melalui peningkatan aset dasar dapat membuat
penduduk miskin sadar akan kemampuannya, sehingga dapat memimpin hidup
mereka sendiri lewat peningkatkan rasa pemberdayaan yang lebih baik serta
pemenuhan "kebutuhan dasar".
Berdasarkan Sherraden (2006), aset terdiri dari modal investasi yang pada
gilirannya akan menghasilkan laju pemasukan di masa depan. Aset dibagi menjadi
aset nyata (tangible) dan tidak nyata (intangible).
A. Aset-aset yang Nyata (Tangible Asset)
Aset yang nyata adalah sesuatu yang sah dimiliki termasuk di dalamnya
properti fisik sebagaimana hak milik dan berfungsi sama seperti properti fisik,
meliputi:
1. Tabungan uang yang pemasukannya dalam bentuk bunga.
2. Saham, surat tanggungan, dan semua bentuk jaminan finansial yang
bentuk pemasukannya seperti saham, bunga, dan/atau keuntungan modal
(atau kerugiannya).
3. Properti nyata, seperti bangunan atau tanah, dengan pemasukan dalam
bentuk pembayaran sewa beserta keuntungan (juga kerugiannya).
4.
Aset-aset “berat” selain real estate, dengan pemasukan dalam bentuk
keuntungan modal (juga kerugiannya).
5. Mesin, alat-alat dan komponen produksi nyata lainnya, dengan bentuk
keuntungan penjualan dari produk yang dihasilkan (juga kerugiannya).
6. Barang keluarga yang kuat dan tahan lama, dengan keuntungan lewat
meningkatnya efisiensi tugas keluarga.
7. Sumber alam, seperti perkebunan, minyak, mineral dan kayu hutan dengan
keuntungan penjualan panen atau komoditas yang diambil (juga
kerugiannya).
8. Hak cipta dan hak paten dengan keuntungannya dalam bentuk royalti dan
biaya penggunaan lainnya.
B. Aset tidak Nyata (Intangible Asset)
Aset yang tidak nyata lebih bersifat tidak pasti, tidak secara legal diatur
dan seringkali diatur secara tidak jelas oleh karakter individu atau hubungan sosial
dan ekonomi.
1. Akses pada kredit (kapital yang dimiliki oleh orang lain) dengan
keuntungan tergantung dari penggunaan kredit tersebut (layaknya dalam
investasi).
2. Modal manusia (human capital), yang secara umum memiliki intelegensia,
latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, pengetahuan, keterampilan
dan kesehatan, dan juga energi, visi, harapan dan imaginasi, dengan
bentuk pemasukannya adalah gaji dan kompensasi lainnya setelah
melakukan pekerjaan, layanan, dan ide.
3. Modal budaya (cultural capital), dalam bentuk pengetahuan dari subyek
yang secara kultural signifikan, kemampuan untuk menghadapi situasi
sosial dan birokrasi formal, termasuk kosa kata, aksen, cara berpakaian,
penampilan dengan bentuk keuntungan mendapatkan penerimaan dari pola
asosiasi.
4. Modal sosial informal (informal social capital) dalam bentuk keluarga,
teman, koneksi yang kadang disebut dengan “jaringan sosial” dengan
bentuk keuntungan dukungan material, dukungan emosional, informasi
dan akses yang lebih mudah pada pekerjaan, kredit, perumahan dan tipe
aset lainnya.
5. Modal sosial formal, atau modal organisasi yang artinya adalah strukur
atau teknik organisasi formal yang berlaku pada modal nyata,
penanamannya dalam bentuk peningkatan efisiensi keuntungan.
6. Modal politis dengan bentuk partisipasi, kekuatan dan pengaruh dengan
keuntungan peraturan dan keputusan yang menguntungkan serta
diinginkan pada level pemerintahan negara juga lokal.
Menurut Grobakken (2005), tanah merupakan aset yang dapat digunakan
oleh penduduk miskin untuk mendapatkan akses ke aset lainnya. Akses terhadap
tanah dapat memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan dasar lain yang
diperlukan oleh masyarakat. Selain itu, tanah dapat dijual atau digunakan sebagai
jaminan untuk berinvestasi dalam proyek-proyek yang produktif, bisnis atau usaha
yang dapat membantu petani miskin untuk meningkatkan tingkat ekonominya.
Bila diasumsikan panen yang diproduksi mencapai tingkat produktivitas yang
tinggi, hal ini dapat meningkatkan kemampuan petani untuk menyimpan bibit,
uang atau aset lainnya selain pengeluaran biaya hidup sehari-hari.
2.1.3
Penanggulangan Kemiskinan
Menurut Syahyuti (2006), setidaknya ada dua paradigma atau teori besar
(grand theory) mengenai kemiskinan, yaitu: paradigma neo-liberal dan sosial
demokrat. Secara garis besar, para pendukung neo-liberal berargumen bahwa
kemiskinan merupakan persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahankelemahan, atau karena pilihan-pilihan individu yang bersangkutan. Negara hanya
turun tangan apabila keluarga, kelompok-kelompok swadaya, atau lembagalembaga keagamaan tidak mampu lagi menangani. Secara langsung, strategi
penanggulangan kemiskinan harus bersifat “residual” atau sementara. Sebaliknya,
menurut kaum sosial demokrat, kemiskinan bukanlah persoalan individual,
melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan ketidakadilan dan ketimpangan
dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap
berbagai
sumber-sumber
kemasyarakatan.
Pencapaian
kebebasan
hanya
dimungkinkan jika setiap orang memiliki atau mampu menjangkau sumbersumber, seperti pendidikan, kesehatan yang baik dan penghasilan yang cukup.
Negara harus berperan dalam menjamin bahwa setiap orang dapat berpartisipasi
dalam
transaksi-transaksi
kemasyarakatan
yang
memungkinkan
mereka
menentukan pilihan-pilihannya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Untuk
itu, strategi kemiskinan haruslah bersifat institusional atau melembaga (Syahyuti,
2006).
Dalam UU No.5 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
(Propenas), terdapat empat strategi penanggulangan kemiskinan, yaitu:
1.
Penciptaan kesempatan (create opportunity) melalui pemulihan ekonomi
makro, pembangunan, dan peningkatan pelayanan umum.
2.
Pemberdayaan masyarakat (people empowerment) dengan peningkatan
akses kepada sumber daya ekonomi dan politik.
3.
Peningkatan kemampuan (increasing capacity) melalui pendidikan dan
perumahan.
4.
Perlindungan sosial (social protection) untuk mereka yang menderita cacat
fisik, fakir miskin, keluarga terisolir, terkena PHK, dan korban konflik
sosial.
Pada proses perumusan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan,
kurangnya akses pertanahan juga diidentifikasi sebagai salah satu permasalahan
yang dihadapi oleh orang miskin. Berbagai hasil kajian yang telah dilakukan,
menunjukkan bahwa bagi orang miskin tanah menjadi aset yang sangat berharga
dan seringkali menjadi satu-satunya sumber penghidupan. Ini terjadi terutama
pada masyarakat yang hidup di daerah pertanian, hutan dan perkebunan (Godril
dalam, Yuwono 2005).
Pilot project PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) telah berjalan
di tahun anggran 2007, umumnya terdiri dari dua bentuk yakni pendaftran tanah
perorangan atas tanah-tanah yang dahulu pernah ditegaskan sebagai tanah obyek
landreform, dan penyelesain konflik antara petani dengan perkebunan swasta
dengan cara sebagian tanah diredistribusi secara perorangan pada petani dan
sebagian lagi diberikan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) pada perusahan
perkebunan. Kedua bentuk ini sama sekali tidak dapat dianggap bentuk yang
dapat diandalkan (adequate solution) untuk menghadapi masalah-masalah agraria
(agrarian questions), yang secara fenomenal ditandai oleh kemiskinan dan
keterbelakangan agraria yang kronis, kesenjangan atau ketidakadilan kepemilikan
aset yang tajam, pengangguran terbuka dan terselubung yang besar, kerusakan
lingkungan yang mengguncang, kekurangan bahan makanan, konflik agraria yang
meledak-ledak, ketidakmampuan rakyat pedesan memiliki tabungan (domestic
capital) dan mengembangkan teknologi untuk memperbaiki produksi, dan
kondisi-kondisi keberlangsungan hidupnya (Fauzi, 2008).
2.2
Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Perkebunan
Perkebunan sering disebut “pabrik” pertanian karena proses produksi
output komoditas perkebunan melalui perpaduan aneka faktor produksi (input)
(tanah, tenaga kerja, dan modal serta manajemen) laksana sebuah pabrik saja.
Tanah dan tenaga kerja yang murah adalah unsur pokok sistem perkebunan
(Mubyarto, 1992). Hal ini menyebabkan perkebunan berusaha menekan upah
buruhnya seminimal mungkin yang menyebabkan buruh perkebunan hidup dalam
kemiskinan karena upah yang diberikan oleh perkebunan tidak mencukupi untuk
kebutuhan mereka sehari-hari.
Tingkat upah buruh3, yang berlaku secara umum adalah Rp 7.000,00 per
“beduk” untuk tenaga kerja pria dan Rp 6.000,00 untuk tenaga kerja wanita.
Sebedug adalah kerja dari pukul 07.00 sampai dengan pukul 12.00 dengan waktu
istirahat selama satu jam. Kegiatan memanen pucuk teh biasanya dikerjakan oleh
tenaga kerja wanita, karena dipandang hasil kerjanya lebih bersih, lebih rapih dan
telaten. Sistem pengupahannya dengan cara penimbangan hasil petikan yakni
seharga Rp 250,00 per kilogram. Seorang pemetik teh yang terampil bisa
3
Penelitian dilakukan di Perkebunan Ciwangi, yaitu salah satu perkebunan swasta di Cianjur
memperoleh upah kerja sekitar Rp 18.000,00 sampai dengan Rp 20.000,00 per
hari (Herlina, 2002).
Selain upah, kemiskinan di perkebunan terkait juga dengan akses yang
berbeda antara buruh dan kelompok manajemen perkebunan. Menurut Mubyarto
(1992), perbedaan antara kelompok manjemen dan buruh tidak hanya terletak
pada kekuasaan dalam pengambilan kekuasaan tetapi juga dalam hal gaji dan
fasilitas lain yang menyangkut kesejahteraan sosial mereka masing-masing.
Perbedaan dalam mengakses fasilitas dan juga gaji menyebabkan masyarakat
miskin di pedesaan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya seperti masyarakat
lainnya dalam desa tersebut. Kemiskinan di perkebunan ini bersifat struktural,
karena terjadi ketimpangan akses ekonomi, kesehatan dan pelayanan lainnya
antara kelompok buruh dengan kelompok manajemen.
Kemiskinan yang bersifat struktural tersebut memaksa pekerja perkebunan
mencari tambahan penghasilan di luar pekerjaan di perkebunan (Mubyarto, 1992).
Dalam Herlina (2002) yang meneliti di desa perkebunan teh di Desa Sukajembar,
Kabupaten Cianjur, pekerjaan yang banyak ditekuni oleh masyarakat adalah usaha
perkebunan tehPer. Sebagian lagi berusaha tani padi dan holtikultura. Tanaman
holtikultura yang banyak dibudidayakan adalah tomat, sayur putih (sampo),
bakung, cabe dan kacang panjang. Namun pengelolaan usaha tani padat modal ini
tidak dilakukan secara optimal, karena kurangnya pengetahuan teknik bercocok
tanam serta akses terhadap modal yang rendah. Selain usaha tani dan buruh tani,
terdapat
beberapa
aktivitas
perekonomian
sebagai
sumber
penghasilan
masyarakat, di antaranya berdagang kebutuhan sehari-hari, tengkulak hasil
pertanian, industri pengolahan teh dan pembuatan gula aren, serta sebagai jasa
angkutan.
Hubungan masing-masing tingkat kepegawaian tersebut dipisah dengan
tegas dan kaku oleh status dan sistem upah. Status dan sistem upah yang ada di
perkebunan menyebabkan timbulnya stratifikasi sosial di daerah perkebunan yang
sesuai dengan jabatannya dalam perkebunan. Menurut Mubyarto (1992)
perbedaan dalam kehidupan sosial ekonomi terjadi pula antara kelompok staf dan
non-staf perkebunan dengan masyarakat sekeliling perkebunan. Rumah-rumah
yang besar dengan fasilitas yang lengkap yang ada dalam perkebunan serta
kehidupan yang serba mewah sangat kontras dengan kehidupan yang sangat paspasan dari masyarakat yang ada di perkebunan. Dalam situasi tersebut tidak dapat
dihindari lagi munculnya rasa kecemburuan sosial di kalangan masyarakat
perkebunan itu sendiri maupun di kalangan masyarakat yang ada di sekitarnya.
2.3
Masalah-Masalah Agraria di Perkebunan
Secara etimologis, istilah ”agraria” berasal dari sebuah kata dalam bahasa
Latin, ”ager”, yang artinya: (a) lapangan; (b) pedusunan (sebagai lawan
perkotaan); (c) wilayah; (d) tanah negara. Kata-kata ”pedusunan”, ”bukit”,
”wilayah” dan lain-lain itu jelas menunjukkan arti yang lebih luas, karena di
dalamnya tercakup segala sesuatu yang terwadahi olehnya (Wiradi, 2000).
Menurut Syahyuti (2006) dari pengertian etimologis ini tampak bahwa
yang dicakup oleh istilah agraria bukanlah sekadar ”tanah” atau ”pertanian” saja.
Kata-kata ”pedusunan”, ”bukit” dan ”wilayah” jelas menunjukkan arti yang lebih
luas karena di dalamnya tercakup segala sesuatu yang terwadahi olehnya. Di
”pedusunan” terdapat berbagai macam tumbuhan, air, sungai, mungkin juga
tambang, perumahan, dan masyarakat manusia.
Menurut Syahyuti (2006), istilah agraria tidak seperti yang dibayangkan
oleh kebanyakan orang pada umumnya, yang hanya menyangkut tanah saja,
melainkan mencakup banyak hal, baik fisik maupun non-fisik. Hubungan antara
aspek landreform dan aspek non-landreform, masalah yang dihadapi dan aktivitas
pembaruan agraria yang dapat dilakukan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Struktur Permasalahan Agraria di Indonesia
Aspek dan Faktor-faktor
pembentuknya
Aspek Landreform
Dibentuk oleh faktor tatanan
hukum (negara dan ada),
tekanan demografis, kondisi
ekonomi (mis.lapangan kerja
non-pertanian), kelembagaan
lokal, dan lain-lain
Aspek Non-Land reform
Dibentuk oleh faktor
geografi, topografi,
kesuburan tanah,
infrastruktur, kondisi
ekonomi lokal-global,
tekanan demografis,
ketersediaan teknologi,
ketersediaan kredit,
keuntungan usaha pertanian,
dan lain-lain.
Sumber: Syahyuti (2006)
Masalah yang dihadapi
saat ini
1. Konflik penguasaan
dan pemilikan secara
vertikal dan horizontal.
2. Inkosistensi hukum
(antara UUPA dan
“turunannya”)
3. Ketimpangan
penguasaan dan
pemilikan
4. Penguasaan yang
sempit oleh petani,
sehingga tidak
ekonomis
5. Ketidaklengkapan dan
inkosistensi data
1. Degradasi tanah akibat
pemanfaatan berlebih
atau karena
ketidaktepatan secara
teknis
2. Konflik penggunaan/
pemanfaatan secara
vertikal dan horizontal
3. Tanah semakin
menjadi komoditas
pasar dengan maraknya
jual-beli tanah
Aktivitas pembaharuan agraria
yang relevan
1. Penetapan objek tanah
landreform
2. Penetapan petani penerima
3. Penetapan harga tanah dan cara
pembayaran
4. Pendistribusian tanah kepada
penerima
5. Perbaikan penguasaan,
(mis.perbaikan sistem
penyakapan)
6. Penertiban tanah guntay
(absentee)
1. Berbagai bentuk pengelolaan
dan penguasaan tanah
2. Pembangunan infrastruktur
3. Peningkatan produkvifitas
tanah
4. Perbaikan sistem pajak tanah
5. Pemberian kredit usaha tani
6. Penyuluhan dan penelitian
7. Penyediaan pasar pertanian
8. Pengembangan keorganisasian
petani
Aspek fisik dapat berupa tanah, baik yang digunakan sebagai perumahan,
perkebunan, pertanian, daerah hutan ataupun pertambangan. Aspek non-fisik
terdiri dari hubungan-hubungan yang terkait dengan tanah tersebut, baik hukum
yang
berlaku
atas
kepemilikan tanah
tersebut,
struktur
agraria
yang
mempengaruhi akses setiap subyeknya terhadap sumber-sumber agraria dan
berpengaruh besar terhadap keadilan dan tingkat kesejahteraan masing-masing
subyek agraria, maupun politik yang mempengaruhi pasar dari hasil tanah tersebut
(bidang pertanian).
2.3.1
Ketimpangan Penguasaan dan Pemilikan
Pada masyarakat di desa perkebunan, pemilikan atau penguasaan lahan
sangat penting sebagai pembuka peluang untuk meningkatkan produksi dan
memaksimalkan keuntungan. Petani di sini berperan sebagai manajer yang dalam
dirinya lekat kekayaan lahan sebagai merupakan sumberdaya ekonomi sekaligus
lambang status sosial di pedesaan. Ada perasaan bangga yang mengikat kuat dan
memotivasi untuk berusaha (Herlina, 2002).
Selain itu, penguasaan dan pemilikan pada masyarakat perkebunan
menjadi penting dikarenakan buruh perkebunan membutuhkan tanah untuk diolah
sebagai tambahan penghasilan dari upah rendah yang mereka dapatkan dari
perkebunan. Berdasarkan kajian Wijarnako (2005) upah rata-rata buruh petik pada
perkebunan teh yaitu Rp 100.000,00 sampai dengan Rp 250.000,00 per bulan.
Ketimpangan penguasaan dan pemilikan yang terjadi di desa perkebunan
yang melahirkan sengketa agraria, menurut Wijarnako (2005), bersumber dari
dominasi sistem pengelolaan tanah dan kekayaan alam termasuk perkebunan,
yang datang atau berasal dari negara, yang secara sepihak memberikan porsi
kesempatan begitu besar pada pemilik-pemilik modal dalam mengelola sumber
agraria. Isu kesenjangan ekonomi antara pihak perkebunan dengan desa
perkebunan sekitarnya merupakan akibat dari tindakan eksploitasi terhadap
sumber daya dan memanfaatkannya secara sepihak demi peningkatan produksi.
Pemilik modal dalam perkebunan yang menekankan pada keuntungan
semata membuat posisi masyarakat di desa perkebunan terdominasi. Pemberian
harga sewa tanah yang mahal membuat masyarakat di desa perkebunan yang
memiliki akses kepada penguasaan dan pemilikan tanah di desa perkebunan
adalah masyarakat yang memiliki posisi dalam perkebunan, karena mereka
memiliki modal yang berasal dari upah dari perkebunan untuk membayar sewa
dan memenuhi kebutuhan dengan mengolah tanah tersebut. Sementara itu buruh
perkebunan yang membutuhkan tanah untuk tambahan penghasilan tidak dapat
menikmati akses dari tanah karena keterbatasan modal. Buruh hanya menjadi
petani yang tidak memiliki tanah, sedangkan akumulasi pemilikan dan
penguasaan tanah hanya terletak pada masyarakat yang memiliki modal
(Wijarnako, 2005).
2.3.2
Penguasaan yang Sempit oleh Petani
Sempitnya penguasaan oleh petani di desa perkebunan dikarenakan
sebagian besar wilayah pertanian yang digunakan merupakan Hak Guna Usaha
yang dikuasai perkebunan. Berdasarkan studi Alfiasari (2004), lahan yang
digunakan oleh masyarakat desa perkebunan untuk budidaya pertanian adalah
lahan-lahan yang tidak digunakan oleh perkebunan. Lahan-lahan yang tidak
digunakan ini merupakan lahan-lahan di lereng-lereng gunung yang tidak
digunakan karena kemiringannya tidak cocok untuk tanaman teh. Pada lahan
pertanian masyarakat, tanaman yang biasanya ditanami antara lain, padi, pisang,
singkong, cabe, tomat, kacang panjang, dan bawang daun. Hasil sawah dan ladang
biasanya mereka pergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Untuk dikomersialkan banyak hambatannya, baik dari kuantitas produksi yang
sedikit serta sarana transportasi yang masih sulit.
Menurut Mubyarto (1992), konsekuensi dari fenomena ini terlihat pada
rendahnya tingkat produktivitas maupun kualitas dari hasil produksi perkebunan
rakyat. Hal ini merupakan implikasi dari kesulitan petani dalam menerapkan
kultur teknis yang benar, yang memerlukan pengetahuan dan ketrampilan tinggi
serta dukungan modal yang besar.
2.3.3
Kerusakan Lingkungan
Menurut Godril dalam Yuwono (2005), persoalan sumber daya alam juga
dihadapi oleh masyarakat miskin dan berpengaruh terhadap kualitas kehidupan
mereka: yaitu persoalan air, terjadinya degradasi lingkungan di daerah pesisir
pantai yang merusak terumbu karang, terjadinya polusi, tingginya biaya saprodi,
banyaknya hama, jauhnya pasar atau buruknya akses ke pasar, terjadinya banjir
dan longsor, sulitnya bagi masyarakat miskin untuk meminjam modal di lembaga
keuangan karena adanya persyaratan dimana harus memiliki agunan (yang tidak
bisa dipenuhi petani dan nelayan miskin) yang prosedurnya berbelit-belit,
mekanisasi pertanian berdampak terhadap hilangnya ruang pekerjaan bagi petani
miskin, juga program peningkatan keterampilan kebanyakan ditujukan kepada
masyarakat desa secara umum dan tidak spesifik pada merek yang miskin
akibatnya.
Terdesak oleh keadaan, lapisan bawah terpaksa melakukan pekerjaan apa
saja yang dapat memperpanjang hidupnya, termasuk menebang pohon di hutan
lindung atau menambang di bawah bumu maupun di bawah permukaan laut.
Akibatnya, tanah menjadi tandus atau kemudian terjadi tanah longsor, banjir,
pendangkalan sungai, hancurnya terumbu karang, dan perusakan lingkungan
lainnya (Tjondronegoro, 2008a).
Masalah-masalah agraria dapat diselesaikan dengan reforma agraria. Akan
tetapi pendekatan dan cara penyelesaian untuk masing-masing permasalahan
tidaklah sama, dan tidak semua hal yang tercakup dalam reforma agraria harus
dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan agraria di tiap daerah. Landreform
yang merupakan bagian dari agraria reform dapat dilakukan di daerah yang
mempunyai permasalahan kemiskinan yang terkait dengan banyaknya jumlah
petani gurem yang tidak mempunyai lahan, sedangkan open access agraria untuk
mengatasi ketidakadilan dalam penguasaan sumber-sumber agraria, dan gabungan
dari keduanya dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan
agraria.
2.4
Reforma Agraria
2.4.1
Konsep Reforma Agraria
Reforma sgraria hakekat maknanya adalah penataan kembali (atau
pembaruan) struktur pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah/wilayah, demi
kepentingan petani kecil, penyakap dan buruh tani tak bertanah. Dalam pasal 2
Tap MPR IX/2001, Pembaharuan Agraria didefinisikan sebagai ”suatu proses
yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan,
pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria...” (Wiradi, 2000).
Ben Cousin (2007) dalam Noer Fauzi (2008) membuat enam golongan
land reform berdasarkan pada landasan teoritik yang mendasarinya:
1. Pendekatan neo-liberal terobsesi pada efisiensi produksi, sehingga
mengagendakan kebijakan-kebijakan yang mempromosikan penggunaan
optimal dari tanah, tenaga kerja dan modal tanah, dimana “kekuatan pasar”
adalah sandaran pokok untuk pembentuk kekayaan dan kesejahteraan.
2. Pendekatan neo-populis yang mengasumsikan bahwa bentuk dan skala
produksi merupakan pokok terpenting dalam berbagai kebijakan dan
program. Umumnya mereka percaya adanya hubungan berkebalikan
(inverse relationship) antara skala dan efisiensi. Usaha ekonomi skala
kecil lebih produktif dan efisien dari pada usaha ekonomi skala besar.
3. Pendekatan sustainable livelihood mengutamakan beragam sumber
penghasilan orang miskin (the multiple livelihood sources of poor people),
dan menghindari pemahaman yang sempit hanya pada aktivitas pertanian
saja atau pada lokasi pedesaan saja.
4. Pendekatan welfarist menjadikan ketersediaan makanan di unit rumah
tangga (household food security) dan pengurangan ancaman-ancaman
terhadap ketersediaan makanan ini sebagai maksud utama dari program
land reform.
5. Pendekatan radical populist mengedepankan keharusan perubahan struktur
agraria baik di wilayah, nasional maupun internasional, baik berupa
redistribusi sumber daya maupun badan usaha, yang diukur dengan
kepemilikan tanah dan kekayaan lain maupun penghasilan kelompok
miskin yang dipersatukan dalam berbagai pengelompokan yang dibagi
berdasar gender, etnik maupun kedudukan sosial atau geografi lainnya.
6. Pendekatan marxist yang mengevaluasi praktek land reform dengan
memperluas konsep
efisiensi produksi,
keberlanjutan hidup
atau
kesejahteraan keluarga petani, atau perubahan struktur agraria ke dalam
fokus perubahan bentuk-bentuk eksploitasi kelas maupun gender yang
mendasari bentuk-bentuk organisasi produksi, distribusi hingga akumulasi
kekayaan
Menurut Tjondronegoro (2008), syarat sektor industri sebagai sektor
penting dalam proses pembangunan dan modernisasi yang harus memajukan
pertanian yaitu:
1. Realokasi sumber daya di sektor pertanian yang bukan saja merangsang
produksi tetapi merubah struktur masyarakat pedesaan dari yang feodal
atau setengah feodal ke struktur yang lebih demokratis, artinya juga
lembaga-lembaga yang menghambat emansipasi petani kecil disisihkan
dan diganti dengan orang lain.
2. Realokasi sumber daya tadi sekaligus juga mengurangi jumlah tenaga
kerja di sekitar pertanian yang menganggur atau tidak dimanfaatkan
(underutilized). Setelah sumber daya tanah sebagai faktor produksi diatas
lebih efisien dan berimbang dengan tenaga kerja, kelebihannya disalurkan
ke industri pengolah pertanian, pembangunan prasarana dan lain-lain
usaha pembangunan yang bersifat padat karya.
3. Kelebihan dari peningkatan produksi pertanian yang merupakan
“tabungan” dapat ditanam sebagai modal dalam sektor industri. Dalam
rangka ini memang produksi pangan bukan saja mencukupi tetapi
melampaui kebutuhan penduduk. Surplus lain di sektor pertanian yang
menghasilkan devisa dapat mempercepat proses industrialisasi.
4. Perusahaan, pemerintah dan wiraswasta sudah mampu dikelola oleh
pengusaha-pengusaha di dalam negeri secara efisien. Tidak perlu
diperjelas lebih lanjut bahwa gejala-gejala birokrasi yang menghambat
korupsi dan sebagainya pada tahap ini sudah dapat diatasi dengan cukup
baik dan tidak lagi menjerat jalannya perusahaan.
2.4.2
Reforma Akses Agraria
Menurut Syahyuti (2006), reforma agraria terdiri dari dua pokok
permasalahan yaitu ”penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, dan ”penggunaan
dan pemanfaatan” di sisi lainnya. Landreform adalah penataan ulang struktur
penguasaan dan pemilikan tanah. Sementara, komponen ”non-landreform” adalah
bentuk-bentuk dan cara mengolah tanah (dalam pengertian ”soil”), yaitu dengan
menerapkan teknologi baru, perbaikan infrasturuktur, bantuan kredit, dukungan
penyuluhan pertanian, pengembangan pasar komoditas pertanian, dan lain-lain.
Sedangkan menurut Fauzi (2008), reforma agraria adalah politik redistribusi asset
produktif bagi kaum miskin di pedesaan, yang pada gilirannya, setelah diberikan
suatu asistensi modal, pendidikan dan teknologi, maka akan sampai juga pada
pembentukan modal didalam pedesaan. Selain itu, menurut Tjondronegoro
(2008), konsolidasi tanah karena itu bukan semata-mata perubahan fisik tata
ruang, tetapi sebenarnya juga memerlukan pengaturan kembali peran sosioekonomi penghuni golongan lemah.
Sehingga dapat dikatakan landreform dan reforma agraria adalah dua hal
yang berbeda. Akan tetapi orang sering salah mengartikan dengan menyatakan
landreform adalah reforma agraria, padahal landreform hanya sebagian kecil dari
reforma agraria, karena reforma agraria adalah landreform ditambah dengan halhal lain yang membuat redistribusi tanah tersebut menjadi hal yang lebih
bermanfaat dibandingkan hanya sebagai bagi-bagi tanah saja. Landreform tanpa
akses reform akan membuat petani yang telah mendapatkan tanah tetap menjadi
miskin karena ketidakberdayaaan mereka dalam mengolah dan memanfaatkan
lahan tersebut, bahkan petani mungkin akan menjual kembali lahan tersebut.
Sehingga yang dibicarakan dalam reforma agraria tidak hanya penggunaan dan
pemanfaatannya saja tanpa membahas hal yang paling dibutuhkan oleh
masyarakat (Syahyuti, 2006).
Menurut Wiradi (2006), pengalaman sejarah memberi pelajaran bahwa
suatu pembaruan agraria yang hanya berhenti pada masalah redistribusi tanah
ternyata justru menyebabkan produksi menurun untuk beberapa tahun. Hal ini
disebabkan karena infrastruktur yang menunjang pembaruan itu semula belum
dipikirkan sejak awal. Karena itu kemudian disadari bahwa program-program
penunjang itu harus menjadi satu paket dengan program pembaruan secara
keseluruhan, termasuk ke dalamnya program-program pasca redistribusi (antara
lain: perkreditan, penyuluhan, pendidikan, dan latihan, teknologi, pemasaran, dan
lain-lain).
Faktor-faktor
yang sering hilang dalam reforma agraria adalah
infrastruktur, akses terhadap air, akses terhadap pasar, dan bantuan teknis
ekstensif untuk pemilik tanah. Hal ini adalah faktor yang sama pentingnya dengan
memberi tanah kepada masyarakat dan jika tidak dilakukan akan membuat
masyarakat menjual kembali tanahnya dan kembali tidak mempunyai tanah
(Grobakken, 2005). Menurut Tjondronegoro (2008) redistribusi harus dibarengi
dengan tindakan-tindakan penunjang seperti mengembangkan sistem kredit untuk
petani kecil, penyatuan usaha ke dalam koperasi, perlindungan terhadap petani
dengan hukum, tetapi juga dengan subsidi bila perlu dan lain-lain usaha, bahkan
termasuk mendirikan organisasi petani-petani kecil agar usaha pemerintah dapat
didukung dengan kekuatan sosial politik dari golongan yang berkepentingan
(interest group).
2.4.3
Dampak Reforma Agraria
Menurut Wiradi (2006)4, dampak positif dari reforma agraria secara umum
adalah:
1. Aspek hukum: akan tercipta kepastian hukum mengenai hak-hak rakyat
terutama kaum tani,
2. Aspek sosial: akan tercipta suatu struktur sosial yang dirasakan lebih adil,
3. Aspek psikologis: kedua hal tersebut pada gilirannya akan menimbulkan
socialeuphoria dan familly security sehingga para petani termotivasi untuk
mengelola usahataninya dengan lebih baik,
4
Http://rumahkiri.net/index.php. Gunawan Wiradi. Dampak
Perekonomian Negara. 2002. Di unduh pada tanggal 22 Maret 2008.
Land
Reform
Terhadap
4. Aspek politik: semua itu akhirnya dapat meredam keresahan sehingga
gejolak kekerasan dapat terhindari. Terciptalah stabilitas yang genuine,
bukan stabilitas semu akibat represi (seperti masa Orde Baru).
5. Semuanya itu akhirnya bermuara kepada ketahanan ekonomi.
Sedangkan dampaknya terhadap perekonomian masyarakat/nasional5:
1. Dalam beberapa kasus, memang untuk beberapa tahun produksi pertanian
menurun (misalnya, di Taiwan), namun sesudah itu meningkat pesat.
Sejumlah besar rakyat desa yang semula tunakisma atau buruh tani lalu
menjadi petani pemilik penggarap, mula-mula canggung. Namun dalam
jangka panjang mereka malahan berkembang menjadi pengelola usahatani
yang rasional dan bertanggung jawab (justru karena bangga atas terjadinya
perubahan status).
2. Anak-anak dari para petani pemilik tanah luas (yang kemudian tanahnya
dipotong oleh “land reform”) terpaksa tidak lagi bisa menikmati kekayaan
orang tuanya yang berasal dari tanah luas itu, dan tidak lagi bisa
meneruskan profesi orang tuanya. Namun mereka justru beralih ke profesi
lain (melalui pendidikan tinggi, yang biayanya dimungkinkan oleh sisasisa kekayaan orang tuanya), dan menjadi tenaga-tenaga ahli yang
kompeten. Dalam jangka panjang, hal ini sangat menyumbang bagi
perkembangan perekonomian negaranya. (Contoh: Meksiko, Mesir, dan
negara-negara di sektiar Timur Tengah).
5
Mosher, A.T., 1976. Thinking About Rural Development. New York: Agricultural
Development Council, Inc.
3. Pemilik/Penguasa tanah luas yang sebagian tanahnya terpangkas oleh
‘land reform’ itu kemudian mengalihkan investasinya ke luar desa, yang
pada gilirannya menopang proses industrialisasi.
2.5
Kerangka Pemikiran
Permasalahan kemiskinan di pedesaan dibagi menjadi dua yaitu masalah
agraria dan non-agraria. Masalah agraria meliputi masalah pertanian yang terdapat
di
desa
tersebut,
sedangkan
masalah
non-agraria
meliputi
masalah
ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, kependudukan, komunikasi dan peranan
wanita. Masalah agraria paling ditonjolkan pada penelitian ini, dikarenakan dalam
konteks pembangunan pedesaan, masalah agraria merupakan bagian paling
penting untuk masyarakat pedesaan yang sebagian besar penduduknya
menopangkan hidup pada sektor pertanian.
Berdasarkan Syahyuti (2006) ada empat permasalahan agraria di Indonesia
secara umum, yaitu ketidakkonsistenan hukum dan perundang-undangan6, serta
degradasi sumber daya alam7. Khusus untuk pertanian, permasalahan agraria yang
dihadapi adalah penguasaan yang sempit dan cenderung semakin kecil, konflik
penguasaan, lahan kritis dan marjinal tingginya alih fungsi lahan pertanian ke
nonpertanian, sulitnya mewujudkan konsolidasi usahatani, dan semakin besarnya
ketimpangan penguasaan lahan antar petani.
6
Salah satu konflik yang ramai adalah konflik penguasaan antara petani dengan pihak swasta.
Keterlibatan swasta besar dimulai dari lahirnya Undang-Undang Agraria 1870 (Agrarische Wet)
yang mengundang pihak swasta kolonial menanamkan modalnya terutama dalam bidang
perkebunan.
7
Permasalahan ini tercantum dalam Tap MPR Bo.IX/2001 tentang pembaruan agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Reforma agraria adalah salah satu program penanggulangan kemiskinan
yang dilakukan oleh pemerintah. Reforma agraria terbagi menjadi dua titik berat,
yaitu aspek landreform dan aspek non-landreform atau yang disebut juga reforma
akses agraria. Kedua aspek ini dilakukan sesuai dengan urgensi masing-masing.
Pada desa perkebunan, aspek yang harus dilakukan pertama kali adalah aspek
non-landreform. Dengan peningkatan akses masyarakat terhadap pengolahan
tanah mereka sendiri, diharapkan masyarakat dapat semakin mengembangkan
dirinya sendiri, meningkatkan produktifitas dari lahannya dan yang terpenting
adalah masyarakat dapat mengetahui permasalahan agraria yang mereka hadapi
dan cara mengatasinya. Sehingga bila aspek landreform dilakukan, masyarakat
sudah siap, dan tidak menjual kembali tanah yang mereka dapatkan, ataupun
membiarkan lahan tersebut dikelola oleh orang lain karena ketudaktahuan mereka
dalam menggunakan lahan tersebut. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat
dilihat pada Gambar 1.
Masalah Agraria
Kemiskinan di
Desa Perkebunan
Ø Kontur wilayah perkebunan
dan keseburan tanah
Ø Hubungan petani dengan
perkebunan dan TNGH
Ø Penguasaan yang sempit oleh
petani
Ø Kerusakan lingkungan
Ø Sulitnya askes transportasi
Ø Tidak adanya penyuluhan
Ø Tidak adanya penyaluran
kerdit
Ø Tidak adanya koperasi
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Reforma Akses Agraria
Ø Pembangunan Infrastruktur
Ø Peningkatan produktifitas
tanah
Ø Pemberian kredit usaha tani
Ø Penyuluhan dan
Download