2 2.1 TINJAUAN PUSTAKA Minyak Jarak Pagar Minyak jarak pagar dihasilkan dari bagian daging biji tanaman jarak pagar. Kandungan rata-rata minyak yang terdapat dalam biji berkisar antara 20 sampai 35% dari berat kering biji. Beberapa faktor yang menentukan rendemen minyak jarak pagar adalah varietas, kualitas benih, agroklimat, tingkat kesuburan tanah dan metode pemeliharaan yang dilakukan. Minyak jarak pagar termasuk minyak nabati yang tersusun atas molekul trigliserida yang merupakan hasil persenyawaan gliserol dengan asam lemak (Hambali et al. 2006) Sifat fisikokimia minyak jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Sifat fisikokimia minyak jarak pagar Sifat fisikokimia Titik nyala Densitas (15oC) Viskositas (30oC) Residu karbon Kandungan debu sulfat Titik tuang Kadar air Kandungan belerang Bilangan asam Bilangan iod Bilangan Penyabunan Komponen asam lemak Palmitat Stearat Oleat Linoleat Lainnya Satuan o C g/cm3 nm2/s %(m/m) %(m/m) o C ppm ppm mg KOH/g g Iod / 100 g minyak mg KOH/ g lemak % Nilai 236 0,9177 49,15 0,34 0,007 -2,5 935,00 < 1,00 4,75 96,50 195,00 14,20 6,90 43,10 34,30 1,40 Sumber: Hambali et al. (2006) Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa komposisi terbesar penyusun minyak jarak pagar adalah asam oleat (43,1%), kemudian asam linoleat (34,3%) dan asam palmitat (14,2%). Asam oleat merupakan asam lemak yang terdiri dari rantai C16 dengan satu ikatan rangkap. Menurut Ketaren (1996), banyaknya jumlah atom C dan ikatan rangkap dalam asam lemak menentukan sifat fisikokimia dari asam lemak tersebut. Minyak jarak pagar memiliki keunggulan dibandingkan minyak 6 nabati lainnya sebagai bahan baku pembuatan biodiesel karena sifat racun yang dimilikinya menjadikan penggunaan minyak jarak pagar tidak bersinggungan dengan kepentingan pangan. Biswas et al. (2009) menyebutkan beberapa keunggulan penggunaan minyak jarak pagar sebagai bahan baku pembuatan biodiesel adalah periode panennya yang relatif singkat karena jarak pagar merupakan tanaman perdu, pengumpulan biji yang tidak dipengaruhi oleh musim tanam pertanian, tahan terhadap hama dan tidak dimakan oleh binatang ternak, hasil samping produksi biodiesel yang masih memiliki kegunaan seperti pupuk bio dan gliserol serta kemampuannya untuk tetap bertahan hidup bahkan di lingkungan yang minim nutrisi sekalipun. 2.2 Proses Produksi Biodiesel Jarak Pagar Biodiesel atau metil ester merupakan salah satu jenis bahan bakar yang bersifat terbarukan karena bersumberkan dari sumber daya hayati, seperti minyak nabati. Minyak nabati memiliki potensi sebagai sumber bahan bakar yang terbarukan, sekaligus sebagai alternatif bahan bakar minyak yang berbasis petroleum atau minyak bumi (Korus et al. 2000). Pemilihan bahan baku minyak nabati dan lemak hewani sangat tergantung pada kondisi geografis dan potensi bahan baku yang dimiliki oleh suatu daerah (Knothe 2005). Selain menggunakan minyak yang diperoleh dari proses ekstraksi, biodiesel juga dapat diproduksi menggunakan minyak yang sudah digunakan seperti minyak goreng bekas seperti yang telah dilakukan oleh Hasibuan et al. (2009). Biodiesel memiliki beberapa kelebihan dibanding bahan bakar diesel petroleum (Haryanto 2007). Kelebihan tersebut antara lain (1) merupakan bahan bakar yang tidak beracun dan dapat dibiodegradasi, (2) mempunyai bilangan setana yang tinggi, (3) mengurangi emisi karbon monoksida, hidrokarbon dan NOx dan (4) terdapat dalam fase cair. Ramesh et al. (2007) menambahkan bahwa penggunaan biodiesel memiliki keuntungan antara lain emisi biodiesel bebas sulfur, meningkatkan pendapatan petani, mengurangi beban impor akan bahan bakar, serta karakteristik biodiesel tidak berbeda jauh dengan solar. Biodiesel dapat diproduksi melalui proses esterifikasi dan transesterifikasi tergantung pada bahan baku yang digunakan. Reaksi esterifikasi dilakukan untuk 7 menghasilkan ester dari asam lemak dengan menggunakan pereaksi alkohol dalam suasana asam, sedangkan reaksi transesterifikasi dilakukan untuk mengkonversi trigliserida menjadi alkil ester dengan pereaksi alkohol dalam suasana basa. Pada penggunaan minyak nabati sebagai bahan baku pembuatan biodiesel, jumlah kandungan asam lemak bebas minyak nabati yang digunakan akan menentukan tahapan proses pembuatan biodiesel. Knothe et al. (2005) menyatakan bahwa minyak nabati dengan jumlah asam lemak bebas dibawah 5% masih memungkinkan untuk ditransesterifikasi dengan menggunakan katalis basa. Akan tetapi untuk minyak nabati dengan kandungan asam lemak bebas lebih dari 5%, maka sabun yang terbentuk sebagai hasil reaksi antara asam lemak dan basa akan menghambat reaksi transesterifikasi, sehingga biodiesel tidak terbentuk dengan baik. Walaupun demikian, Nakpong dan Wootthikanokkhan (2010) menyatakan bahwa sebagian peneliti membatasi proses produksi biodiesel yang memungkinkan hanya dengan reaksi transesterifikasi adalah minyak nabati yang kandungan asam lemak bebasnya dibawah 1%. Proses produksi biodiesel yang hanya melibatkan proses transesterifikasi saja biasa disebut sebagai proses produksi biodiesel satu tahap. Diagram alir proses produksi biodiesel satu tahap dapat dilihat pada Gambar 1. MinyakJarak Etanol (30%) + KOH (3%) b/b Pencampuran Reaktor Transesterifikasi (Suhu 65 oC, pengadukan 50 – 100 rpm) Tangki Pengendapan (2 – 3,5 jam) Gliserol Biodiesel Kasar Tangki Pencucian Air basa Pengeringan (110 oC, 15 menit) Biodiesel Gambar 1 Diagram alir proses produksi biodiesel jarak pagar satu tahap (Belewu et al. 2010). 8 Minyak jarak pagar merupakan minyak yang kadar asam lemak bebasnya dapat meningkat dengan cepat dalam waktu yang relatif singkat, sehingga proses pembuatan biodiesel dari minyak jarak pagar biasanya dilakukan melalui dua tahap proses yaitu esterifikasi dan transesterifikasi. Proses produksi biodiesel dari minyak jarak pagar secara dua tahap menurut Berchmans dan Hirata (2007) dapat dilihat pada Gambar 2. FFA + MinyakJarak Metanol (225% FFA) + H2SO4 (1%) b/b Pemanasan Reaktor Esterifikasi (Suhu 50 oC) Tangki Pengendapan (2 – 3,5 jam) Sisa alkohol Fatty Acid Methyl Esters (FAME) + Minyak Jarak FAME + MinyakJarak Etanol (30%) + NaOH (3%) b/b Pencampuran Reaktor Transesterifikasi (Suhu 65 oC, pengadukan 400 rpm, 2 jam) Tangki Pengendapan (2 – 12 jam) Gliserol Metil Ester Kasar Tangki Pencucian Air basa Pengeringan (110 oC, 15 menit) Biodiesel (Metil Ester) Gambar 2 Proses produksi biodiesel dua tahap Reaksi esterifikasi dan transesterifikasi ini tidak lain adalah reaksi yang hampir sama dengan reaksi hidrolisis tetapi menggunakan alkohol. Reaksi ini 9 bersifat reversibel dan menghasilkan alkil ester dan gliserol. Alkohol berlebih digunakan untuk memicu reaksi pembentukan produk (Khan 2002). Transesterifikasi bertujuan untuk menurunkan viskositas minyak jarak dan meningkatkan daya pembakaran, sehingga dapat digunakan sesuai standar minyak diesel untuk kendaraan bermotor. Sumber alkohol yang digunakan dapat bermacam-macam. Apabila direaksikan dengan metanol, maka akan didapat metil ester, apabila direaksikan dengan etanol akan didapat etil ester. Metanol lebih banyak digunakan sebagai sumber alkohol karena rantainya lebih pendek, lebih polar, dan harganya lebih murah dibandingkan dengan alkohol lainnya (Ma dan Hanna 2001). Selain metanol, jenis alkohol lain yang dapat digunakan adalah etanol dan butanol. Walaupun demikian, penelitian yang dilakukan oleh Hossain et al. (2010) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada level α 5% antara penggunaan metanol, etanol dan butanol. Metanol mampu menghasilkan rendemen biodiesel tertinggi yaitu 49,5%, sedangkan etanol dan butanol berturutturut menghasilkan 23,5% dan 19,5%. Katalis basa merupakan katalis yang paling sering digunakan dalam produksi biodiesel karena beberapa hal, yaitu dapat bekerja pada suhu dan tekanan relatif rendah (60oC, 20 Psi), menghasilkan derajat konversi yang tinggi (98%) serta berlangsungnya konversi menjadi metil ester tanpa menjadi senyawa intermediet terlebih dahulu (Ejikeme et al. 2010). Setelah dilakukan reaksi esterifikasi dan transesterifikasi, fraksi gliserol kemudian dipisahkan dari metil ester berdasarkan perbedaan kelarutan. Gliserol bersifat polar dan memiliki berat jenis yang lebih besar dibandingkan dengan metil ester atau biodiesel, sehingga ketika diendapkan gliserol akan berada di bawah metil ester. Metil ester tidak dapat langsung digunakan, karena harus dimurnikan terlebih dahulu untuk menghilangkan sisa gliserol, air, sisa metanol, katalis, dan bahan pengotor lainnya. Proses pemurnian dapat dilakukan dengan water washing dan dry washing. Water washing merupakan pemurnian yang dilakukan dengan menggunakan air untuk melarutkan sisa katalis, sisa gliserol serta pengotor lainnnya, sedangkan dry washing memisahkan pengotor biodiesel dengan cara menyerap dan menahannya pada saringan yang biasanya terbuat dari resin. 10 2.3 Gliserol Gliserol (1,2,3 propanatriol) merupakan cairan bening tidak berwarna yang memiliki kelarutan yang baik terhadap air. Karakteristik gliserol ditampilkan pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2 Karakteristik gliserol Parameter Nilai / Karakteristik Nomor registrasi CAS 56-81-5 Rumus formula C3H8O3 Bobot molekul (mol-1) 92,1 Fasa Cair Warna Tidak berwarna sumber : Spectral Database for Organic Compounds (2010) Visualisasi molekul dan rumus struktur gliserol dapat dilihat pada Gambar 3 di bawah ini. Gambar 3 Visualisasi molekul dan rumus struktur gliserol Gliserol merupakan salah satu hasil samping produksi biodiesel yang mempunyai jumlah yang paling banyak dibandingkan dengan hasil samping lainnya. Jumlah gliserol yang dihasilkan dari setiap produksi biodiesel kurang lebih 10 % dari total produksi biodiesel (Dasari et al. 2005). Selama ini gliserol hasil samping produksi biodiesel masih bernilai ekonomis rendah, karena kemurniannya masih belum memenuhi standar. Gliserol hasil samping produksi biodiesel belum dapat dimanfaatkan, baik dalam bidang farmasi maupun makanan sebagaimana lazimnya gliserol paling banyak digunakan. Pachauri dan He (2006) melaporkan berbagai penelitian yang dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah gliserol hasil samping produksi biodiesel menjadi beberapa produk turunan seperti 1-3 propanadiol, 1-2 propanadiol, dihidroksiaseton, asam suksinat, hidrogen, poligliserol, poliester dan polihidroksialkonat. 11 Proses pemurnian gliserol harus dilakukan untuk meningkatkan derajat kemurnian gliserol sebelum digunakan. Yong et al. (2001) melakukan pemurnian gliserol yang diperoleh dari industri metil ester minyak inti sawit melalui proses destilasi sederhana pada suhu 120oC – 126oC, tekanan 4,0 x 10-1 - 4.0 x 10-2 mbar dan kemudian didinginkan pada suhu 8oC. Proses pemurnian ini berhasil meningkatkan kemurnian gliserol dari 50,4% menjadi 96,6%. Adanya penggunaan panas pada proses destilasi metode tersebut menyebabkan meningkatnya biaya pemurnian gliserol yang tidak sebanding dengan nilai ekonomi yang diperoleh. Proses peningkatan kemurnian gliserol yang lebih sederhana dan relatif lebih murah dilakukan oleh Farobie (2009) dengan cara mereaksikan gliserol kasar dengan sejumlah asam fosfat sampai terbentuk endapan garam kalium fosfat. Tujuan utama proses ini adalah untuk menetralkan sisa katalis basa (KOH) dengan asam fosfat. Proses ini berhasil meningkatkan kemurnian gliserol dari 50% menjadi 80%. Proses ini juga menghasilkan produk samping berupa garam kalium fosfat yang dapat digunakan sebagai pupuk. Selain garam kalium fosfat, produk lain yang dihasilkan pada saat pemurnian gliserol dengan menggunakan metode ini adalah asam lemak. Selain diproduksi melalui transesterifikasi minyak dan lemak, gliserol juga diproduksi melalui proses produksi dari alil klorida, propene oksida, proses fermentasi dari gula dan proses hidrogenasi karbohidrat. Beberapa proses non komersial lainnya yang memungkinkan terbentuknya gliserol adalah photoproduction dari biomassa, sintetis hidrogenasi katalitik karbon dioksida, serta proses produksi gliserol sintetis dari molase yang terhenti sejak tahun 1969. Gliserol yang dihasilkan baik dari proses transesterifikasi minyak dan lemak maupun yang disintesis dengan berbagai proses tersebut di atas merupakan bahan baku utama dan pendukung yang digunakan dalam berbagai industri. National Biodiesel Board (2010) menyatakan bahwa gliserol paling banyak digunakan di enam bidang industri yaitu industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetika, rokok, kertas dan percetakan serta industri tekstil. Gliserol digunakan baik sebagai bahan baku proses, bahan antara dan sebagai bahan tambahan yang berfungsi untuk meningkatkan kualitas suatu produk. Rincian penggunaan gliserol di berbagai macam industri dapat dilihat pada Tabel 3. 12 Tabel 3 Macam-macam penggunaan gliserol di industri Bidang Industri Makanan dan Fungsi Pelembab, pemanis dan Produk Minuman ringan, permen, kue, minuman pengawet intermediet pelapis daging dan keju, makanan hewan peliharaan, margarin, salad, makanan beku dan kemasan makanan. Farmasi Pelembut, media Kapsul, obat infeksi, anestesi, obat batuk, pelega tenggorokan, obat kulit, antiseptik dan antibiotik. Kosmetika dan Pelembab, pelembut toiletris Pasta gigi, krim dan lotion kulit, lotion cukur, deodorant, make up, lipstik dan maskara. Kertas dan Pelembut, mencegah Kertas minyak, kemasan pencetakan penyusutan makanan, kertas cetakan tinta Tekstil Pemasti ukuran, Kain, serat dan benang pelunak, Lain—lain Pelumas, pelicin, Kemasan resin, plastik, karet, pelapis, menambah busa, dinamit, komponen radio fleksibilitas, dan lampu neon. Sumber : National Biodiesel Board, 2010 2.4 Debu Batubara Batubara (coal) adalah bahan bakar yang berasal dari endapan sedimen tumbuhan purba yang hidup 100-400 juta tahun yang lalu. Batubara mengandung sejumlah tertentu karbon, nitrogen, oksigen dan belerang yang bersatu dengan elemen lainnya termasuk mineral-mineral (ASTM D 121-00, 2000). Batubara merupakan padatan yang rapuh, mudah terbakar, yang dibentuk oleh dekomposisi dan perubahan vegetasi dengan pemadatan, suhu dan tekanan. Penampakan batubara berbeda-beda tergantung karakteristiknya. Warna batubara bervariasi dari coklat sampai hitam dan biasanya bertingkat. Tanaman purba yang menjadi 13 batubara diidentifikasi mayoritas berasal dari lumut dan tumbuhan tingkat rendah (Speight 2005). Komposisi kimia batubara sangat dipengaruhi oleh jenis batubara itu sendiri. International Energy Agency (2009) mengklasifikasikan batubara berdasarkan kandungan sedimen terbakar ke dalam empat kelompok yaitu Anthracite, Bituminous, Sub-bituminous dan Lignite/Brown coal. Walaupun demikian, secara garis besar IEA mengikuti The International Coal Classification of the Economic Commission for Europe (UN/ECE) dalam membagi batubara menjadi dua golongan besar yaitu hard coal – yaitu batubara yang memiliki jumlah kalori lebih besar dari 5 700 kcal/kg (23,9 GJ/t) dan brown coal – batu bara yang memiliki nilai kalori lebih rendah dari 5 700 kcal/kg (23,9 GJ/t). Rumus struktur batubara dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4 Rumus struktur batubara (Hambly 1998) Karakteristik batubara berbeda-beda sesuai dengan lingkungan dan formasi batuan asalnya. Batubara dikelompokkan berdasarkan kandungan energinya menjadi beberapa kelompok antara lain antrasitik, bituminous, sub bituminous dan lignitik (ASTM D 388-99, 2002). Masalah lingkungan yang berkaitan dengan penggunaan batubara sebagai sumber energi adalah timbulnya pencemaran pada saat transportasi dan pada saat 14 pembakaran. Pencemaran udara pada saat transportasi batubara berupa paparan debu batubara, sedangkan pada proses pembakaran, pencemaran yang terjadi berupa emisi buangan yang banyak mengandung oksida asam seperti nitrogen monooksida (NO). NO merupakan salah satu penyebab utama terjadinya hujan asam. Hujan asam dianggap sebagai salah satu perusakan terparah yang diakibatkan manusia terhadap bumi (Monk 2004) Pencemaran debu batubara disebabkan oleh terbentuknya partikel-partikel yang sangat kecil dan mudah tertiup angin dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Pencemaran batubara pada kondisi yang ekstrim sangat berbahaya terhadap kesehatan. Tiga jenis efek yang ditimbulkan oleh pencemaran debu batubara terhadap kesehatan menurut Federal Coal Mine Health and Safety Act (1969) adalah gangguan pernapasan, penyakit epidemi seperti Coal Workers Pneumoconiosis (CWP) dan Progressive Massive Fibrosis (PMF), serta gangguan mekanisme seluler (United States Department of Labor 2006). Epidemi yang paling umum yaitu CWP, dapat mengakibatkan kerusakan paru-paru yang sangat parah (Pinho 2004). Kerusakan paru-paru tersebut dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 Foto kerusakan paru-paru (CWP) akibat polusi debu batubara (Connor 2011) Pengaruh pencemaran debu batubara terhadap kesehatan dan lingkungan tidak berbeda jauh dengan pengaruh pencemaran debu batubara terhadap manusia. Pencemaran debu batubara bersamaan dengan aktivitas pembakaran batubara 15 berkontribusi terhadap pencemaran lingkungan perairan, udara dan daratan. Penebalan lapisan debu batubara pada daun tanaman di sekitar lokasi pencemaran akan menyebabkan terganggunya aktivitas fotosintesis tanaman tersebut (Naidoo dan Chirkoot 2004). Selain itu, debu batubara di udara juga dapat menyebabkan berubahnya pH air hujan. 2.5 Coal Dust Suppressant (CDS) Coal Dust Suppressant (CDS) merupakan senyawa kimia yang digunakan untuk mencegah penyebaran debu batubara pada saat batubara dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain (Dohner 1988). Selain itu, CDS juga dapat digunakan pada penanganan debu batubara yang timbul dari aktivitas transportasi truk-truk pengangkut batubara di lokasi sekitar penimbunan batubara (stockpile). Prinsip kerja utama CDS dalam mencegah pembentukan debu batubara adalah dengan memperbesar ukuran partikel, memperberat bobot partikel dan mengikat partikel debu batubara satu sama lain. Polimer pada komponen CDS akan membentuk lapisan film yang membungkus granula CDS menjadi lebih berat dan lebih besar ukurannya, sehingga relatif tidak mudah terbang. Gliserol berfungsi sebagai agen pembasah yang menahan kelembaban partikel debu batubara, sehingga tidak mudah lepas dan saling terikat dengan partikel yang lain. Surfaktan nonionik pada formula CDS berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan air, sehingga derajat kebasahan batubara menjadi meningkat terhadap air (Talamoni 2010). Beberapa bahan telah digunakan sebagai bahan baku formulasi CDS. Talamoni (2010) menggunakan Poly Vinil Alkohol (PVA) sebagai komponen yang dominan diantara komponen CDS lainnya dengan persentase mencapai 40% dari total komponen di dalam formula. Gliserin ditambahkan pada kisaran 7% sebagai plasticizer dan sekaligus wetting agent sekunder. Pullen et al. (1994) menggunakan surfaktan anionik untuk meningkatkan kebasahan batubara terhadap air. Beberapa bahan lain yang ditambahkan sebagai komponen minor CDS adalah minyak bekas, Alkyl-phenyl poly-ethoxy ether, resin, magnesium klorida, dan lainlain. 16