Studi Seroprevalensi Mycoplasma gallisepticum

advertisement
12
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian serologis Mycoplasma gallisepticum di Kecamatan Cipunegara
menggunakan 291 sampel darah ayam kampung. Pengambilan sampel dilakukan
dengan metode purposive. Sampel tersebut diambil dari 5 desa yang merupakan
wilayah yang paling dekat dengan sentra peternakan ayam komersil. Jumlah
sampel yang diambil dari tiap desa berbeda-beda. Desa Tanjung didapatkan
sebanyak 146 sampel, Desa Jati sebanyak 43 sampel, Desa Pada Mulya sebanyak
12 sampel, Desa Parigi Mulya sebanyak 56 sampel, dan Desa Wanasari sebanyak
34 sampel. Sehingga didapatkan total sampel sebanyak 291 (Tabel 1). Jumlah
sampel yang diambil merupakan jumlah proporsional yang didapatkan dari
perhitungan berdasarkan populasi ayam kampung yang dipelihara secara
tradisional (sektor 4) di masing-masing desa.
Tabel 1 Hasil pengujian prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum
Nama Desa
Jumlah
Positif Negatif
Sampel
Tanjung
Persentase
Persentase
Positif (%)
Negatif (%)
146
42
104
28,77
71,23
Jati
Pada
Mulya
Parigi
Mulya
43
15
28
34,88
65,12
12
3
9
25,00
75,00
56
15
41
26,78
73,21
Wanasari
Total
Sampel
34
8
26
23,53
76,47
291
83
208
28,52
71,48
Pengujian serologis menunjukkan hasil bahwa dari 291 sampel, 83 sampel
(28.52%) menunjukkan hasil positif terhadap Mycoplasma gallisepticum.
Sedangkan 208 sampel (71.48%) menunjukkan hasil negatif (Tabel 1). Jika
dilakukan perbandingan terhadap prevalensi serologis mycoplasmosis antar desa,
maka didapatkan bahwa Desa Jati memilki persentase yang lebih besar
13
dibandingkan dengan desa lainnya, yaitu sebesar 34.88%. Sedangkan desa yang
lainnya relatif hampir sama besar. Tanjung sebesar 28.77% , Pada Mulya sebesar
25%, Parigi Mulya sebesar 26.78%, dan Wanasari sebesar 23.53% (Tabel 1).
Tidak
berwarna=
negatif
Warna
biru=
positif
Gambar 2 Serum yang diuji ELISA di dalam microplate.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa prevalensi serologis Mycoplasma
gallisepticum di Kecamatan Cipunegara cukup tinggi. Pengujian ini dilakukan
pada sampel darah ayam kampung dari peternakan sektor 4 yang merupakan
peternakan skala rumah tangga. Ayam-ayam pada sektor ini umumnya hanya
mendapatkan vaksinasi terhadap Newcastle Disease (ND) dan jarang atau hampir
tidak pernah mendapatkan vaksin terhadap penyakit lain termasuk CRD. Apabila
hasil uji menunjukkan positif terhadap Mycoplasma gallisepticum, artinya
kemungkinan
besar
ayam-ayam
tersebut
telah
terpapar
Mycoplasma
gallisepticum. Menurut Bradbury (2006) gejala klinis penyakit ini lebih sering
terlihat pada ayam muda umur 4 sampai 9 minggu. Apabila penyakit menyerang
ayam usia relatif tua, maka gejala klinis jarang terlihat. Sehingga keberadaan
penyakitpun sulit untuk diketahui.
Chronic
Respiratory
Disease
memiliki
banyak diagnosa
banding,
diantaranya yaitu Newcastle Disease, Avian Influenza, Infectious Bronchitis dan
sebagainya. Sehingga dibutuhkan pengujian laboratorium untuk meneguhkan
diagnosa di samping dengan memperhatikan gejala klinis yang terjadi dan lesion
14
patologis yang ditemukan (OIE 2008). Salah satu uji serologis yang sering
digunakan adalah uji ELISA.
Sampel darah ayam kampung yang digunakan diambil dari peternakan
sektor 4, yaitu peternakan tradisional yang dipelihara oleh masyarakat setempat.
Sampel darah ayam diambil di 5 desa dari 10 desa di kecamatan Cipunagara.
Berdasarkan data Pemkab Subang (2010b) desa-desa di kecamatan ini yaitu
Simper, Kosambi, Jati, Tanjung, Parigi Mulya, Pada Mulya, Wanasari,
Manyingsal, Sidamulya, dan Sidajaya. Sampel yang diambil berasal dari wilayah
desa yang berdekatan langsung dengan area peternakan sektor 1, 2, dan 3.
Positif
Negatif
Gambar 3 Hasil pengujian serologis ayam kampung Kecamatan Cipunegara.
Angka prevalensi Mycoplasma gallisepticum di kelima desa Kecamatan
Cipunegara ini relatif tinggi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Sato (1996), yang menyebutkan bahwa angka prevalensi mycoplasmosis di
Indonesia dengan menggunakan sampel dari 7 breeding farm, rata-rata
menunjukkan hasil pada rentang 0% sampai 74% positif mycoplasmosis. Selain
itu, survei serologis terhadap infeksi Mycoplasma gallisepticum juga telah
dilakukan pada bebek di daerah Indramayu, Sumedang, dan Cirebon. Hasil
tersebut menunjukkan angka prevalensi sebesar 17.4% di Indramayu, 7.7% di
Sumedang, dan 4.1% di Cirebon (Soeripto 1988).
Infeksi Mycoplasma gallisepticum telah dilaporkan sebagai masalah yang
signifikan pada flok-flok ayam di negara-negara lainnya di Asia, diantaranya yaitu
Jepang, Banglades, India, China, Korea, Malaysia, Philipina, Vietnam, Thailand,
15
dan Israel (Levisohn et al. 2000; Sato 1996). Penelitian infeksi Mycoplasma
gallisepticum juga dilakukan di beberapa negara di Asia. Salah satu diantaranya
adalah Korea. Penelitian ini telah dilakukan semenjak tahun 1967 pada flok-flok
ayam dengan pengujian secara serologis dan isolasi Mycoplasma gallisepticum
dari ayam-ayam yang terinfeksi secara alami. Pada tahun 1977, tingkat insidensi
mycoplasmosis pada 20 flok breeder dari 6 wilayah di Korea menunjukkan hasil
yang berada pada rentang 20% sampai 67% positif mycoplasmosis, dengan ratarata 47,4%. Penelitian infeksi Mycoplasma gallisepticum di Malaysia dilakukan
pada tahun 1976 dengan hasil lebih kurang 50% dari 224 peternakan ayam
terinfeksi avian mycoplasmosis. Kemudian dilakukan survei serologis terhadap
prevalensi Mycoplasma gallisepticum pada tahun 1987 sampai 1989 di 79
peternakan unggas dari 6 wilayah terpilih di Malaysia. Dari penelitian tersebut
didapatkan hasil sebesar 17,2% sampel positif Mycoplasma gallisepticum (Sato
1996).
Tingkat infeksi Mycoplasma gallisepticum di Philipina tidak jauh berbeda
dengan negara asia lainnya. Sekitar 75 000 kasus CRD dilaporkan terjadi di
industri ternak di Bureau. Infeksi ini juga dilaporkan terjadi di pulau Ruson pada
tahun 1958 dan 1971. Pada tahun 1977 dilakukan pengujian serologis pada 156
sampel ayam dari 9 flok yang terdapat di pulau Palawan. Hasil uji menunjukkan
persentase ayam yang positif Mycoplasma gallisepticum adalah sebesar 35.9%.
Tetapi hasil ini relatif lebih rendah dibandingkan hasil pengujian yang dilakukan
di China Taipei. Kemudian dilakukan pengujian serologis selama 3 tahun
berturut-turut dari tahun 1990 sampai tahun 1992 pada flok unggas di China
Taipei. Pengujian tersebut menunjukkan hasil positif sebesar 52.7% pada tahun
1990, 81.65% pada tahun 1991, dan 79% pada tahun 1992. Diantara 18 flok yang
diuji, 16 flok menunjukkan hasil yang positif mengandung antibodi Mycoplasma
gallisepticum pada tahun 1990. Dan 11 dari 12 flok breeder yang diuji pada tahun
1991 menunjukkan hasil yang positif (Sato 1996).
Penelitian prevalensi serologis Mycoplasma gallisepticum juga telah
dilakukan di Banglades. Pada 2005 penelitian dilakukan pada peternakan breeder
di wilayah Banglades. Hasil pengujian menunjukkan hasil angka prevalensi
serologis sebesar 58.90% positif infeksi Mycoplasma gallisepticum dari 382
16
sampel serum yang diuji (Sarkar et al. 2005). Pada tahun 2006, dilakukan
penelitian yang sama untuk mengetahui prevalensi serologis Mycoplasma
gallisepticum dengan menggunakan 400 sampel serum yang terdiri atas 200
sampel serum ayam petelur dan 200 sampel serum ayam pedaging. Hasil
pengujian menunjukkan angka prevalensi serologis total sebesar 58% (Barua et al.
2006). ). Hasil ini relatif hampir sama dengan hasil pengujian pada tahun 2007 di
wilayah Rajashi, Banglades yang menunjukkan hasil sebesar 55.13% (Hossain et
al. 2007). Jika dibandingkan ketiga hasil tersebut, maka dapat dilihat bahwa
ketiganya memiliki nilai yang hampir sama, yaitu 50%. Angka ini cukup tinggi
untuk tingkat prevalensi suatu penyakit. Hal inilah yang mendorong negara
Banglades untuk lebih memperhatikan pergerakan kejadian penyakit ini. Karena
penyakit ini dianggap salah satu masalah penting di peternakan unggas di
Banglades (Hossain et al. 2007).
Masyarakat Indonesia selalu berpendapat bahwa ayam kampung relatif lebih
tahan terhadap penyakit dibandingkan dengan ayam ras. Namun demikian, bukan
berarti bahwa masalah pengendalian penyakit dapat diabaikan begitu saja. Hal ini
dapat mempengaruhi laju populasi dan produktivitas ayam kampung, disamping
akan menurunkan berat badan ayam kampung pedaging (Suryana 2008). Beberapa
faktor yang dapat memicu berkembangnya penyakit pada ayam antara lain
lingkungan kandang yang kotor, kekurangan vitamin, keracunan pakan dan
minuman yang kotor, cacat, dan sifat kanibal. Sanitasi kandang merupakan faktor
lain yang perlu diperhatikan, terutama pada musim hujan.
Angka prevalensi serologis infeksi Mycopasma gallisepticum pada ayam
kampung tidak dapat diabaikan begitu saja. Karena dapat menyebabkan kerugian
ekonomi yang sangat besar. Menurut Soeripto (2009) estimasi kerugian ekonomi
yang disebabkan oleh Chronic Respiratory Disease mencapai milyaran rupiah
pertahun di Indonesia sedangkan di Amerika kerugiannya mencapai ratusan juta
dollar pertahun. Di samping itu, jika penyakit benar-benar telah berada di
lingkungan peternakan sektor 4 (peternakan tradisional), ayam yang terinfeksi
dikhawatirkan akan menjadi sumber penularan bagi ayam-ayam lain di peternakan
sektor 4 maupun ayam-ayam di peternakan sektor lainnya. Lokasi peternakan
sektor 4 terletak berdekatan dengan peternakan sektor lainnya dan sistem
17
pemeliharaannya sebagian besar masih bersifat tradisional-ekstensif. Ayam-ayam
tersebut dilepas secara bebas di lingkungan. Sehingga perlu dilakukan tindakantindakan pencegahan. Menurut Suryana 2008, ada dua cara untuk mengatasi
penyakit pada ayam buras, yaitu dengan program pengendalian dan pembasmian.
Program pengendalian meliputi: 1) menjauhkan ternak dari kemungkinan tertular
penyakit yang berbahaya, 2) meningkatkan daya tahan tubuh ternak dengan
vaksinasi, pengelolaan dan pengawasan yang baik, dan 3) melakukan diagnosis
dini secara cepat dan tepat. Program pembasmian penyakit dapat dilakukan
melalui: 1) test and slaughter, yaitu apabila ternak dicurigai positif menderita
penyakit pulorum, CRD atau lainnya harus dimusnahkan, 2) test and treatment,
bila diketahui ada penyakit dilakukan pengobatan, dan 3) stamping out, yaitu bila
terjadi kasus penyakit menular dan menyerang seluruh ayam di peternakan, maka
ayam, kandang, dan peralatan harus dimusnahkan.
Menurut
Hadi
(2001)
salah
satu
usaha
untuk
mencegah
dan
mengendalikan penyakit pada ayam adalah melalui program biosecurity. Program
ini dipandang sebagai cara termurah dan efektif. Bahkan tidak satupun program
pengendalian penyakit dapat berjalan baik tanpa disertai program biosecutity. Asal
kata biosecurity yaitu bio artinya hidup dan security artinya perlindungan atau
pengamanan. Jadi biosecurity adalah sejenis program yang dirancang untuk
melindungi kehidupan. Dalam arti yang sederhana kalau untuk peternakan ayam
adalah membuat kuman atau agen penyakit jauh dari tubuh ayam dan menjaga
ayam jauh dari kuman. Pelaksanaan program biosecurity meliputi kontrol lalu
lintas hewan, vaksinasi, pencucian kandang ayam, kontrol terhadap pakan, kontrol
air, kontrol limbah (sisa-sisa produksi) dan ayam mati.
Salah satu cara pengendalian yang dianggap mampu menekan kejadian
mycoplasmosis pada ayam adalah dengan cara vaksinasi. Salah satu vaksin yang
pernah diuji lapang dapat mencegah infeksi Mycoplasma gallisepticum pada
ayam, adalah vaksin inaktif Mycoli. Vaksin ini memilki efektifitas yang baik
untuk perlindungan terhadap infeksi Mycoplasma gallisepticum dari luar,
meningkatkan berat badan, dan meningkatkan efisiensi pakan (Soeripto 2006).
Menurut Soeripto (2009) salah satu vaksin yang baru ditemukan adalah vaksin
Mutan MGTS 11, yang merupakan isolat Mycoplasma gallisepticum yang telah
18
diproses dengan kondisi tertentu. Menurut Withear (1996) baik vaksin aktif
maupun inaktif Mycoplasma gallisepticum dapat digunakan untuk menekan
kejadian mycoplasmosis. Pada umumnya hampir semua vaksin bertujuan untuk
mencegah penurunan produksi telur, menghindari kerugian akibat tindakan
eradikasi, dan mencegah transmisi penyakit ke ayam sehat lainnya (CFSPH 2007).
Tetapi vaksin aktif MGTS-11 dinilai lebih efektif dibandingkan dengan vaksin
inaktif karena vaksin ini memiliki daya proteksi yang lebih baik, bersifat avirulen,
dan daya sebar ke unggas lainnya yang rendah (Kleven 2005).
Salah satu program pengobatan yang dapat dilakukan adalah dengan
pemberian antibiotik. Beberapa antibiotik yang sering digunakan antara lain, yaitu
makrolida, tetrasiklin, dan fluoroquinolon. Tetapi bakteri ini resisten terhadap
antibiotik yang memiliki target pada dinding sel (Songer 2005).
Download