kajian awal pemanfaatan beberapa ikan laut dalam di

advertisement
KAJIAN AWAL PEMANFAATAN BEBERAPA IKAN
LAUT DALAM DI PERAIRAN BARAT SUMATERA
SEBAGAI SUMBER PANGAN DAN OBAT-OBATAN
Oleh :
ARIN DAMAYANTI
C34101072
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2005
RINGKASAN
ARIN DAMAYANTI (C34101072). Kajian Awal Pemanfaatan Beberapa
Ikan Laut Dalam di Perairan Barat Sumatera sebagai Sumber Pangan dan
Obat-obatan. Dibimbing oleh: SUGENG HERI SUSENO
Pemanfaatan ikan pelagis di perairan selat Malaka dan laut Jawa telah
mencapai tingkat lebih dari 100% atau dengan kata lain telah terjadi over fishing.
Oleh karena itu perlu dilakukan alternatif penangkapan (fishing ground) baru
untuk mengganti dan mempertahankan hasil tangkapan dalam pemenuhan gizi
masyarakat, yaitu laut dalam. Kandungan gizi dan senyawa bioaktif yang
menyebabkan ikan laut dalam dapat berfungsi sebagai obat-obat masih belum
diketahui. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui kandungan
gizi, kandungan hormon steroid dan antibakteri dari ikan laut dalam.
Untuk menentukan kandungan gizi ikan laut dalam dilakukan uji
proksimat dan asam amino, sedangkan penentuan potensi ikan laut dalam sebagai
obat-obatan dilakukan uji hormon steroid, antibakteri dan toksisitas.
Dari hasil analisis proksimat terhadap kandungan gizi beberapa ikan laut
dalam, adalah kandungan protein berkisar 23,0-24,8 %, kadar lemak berkisar
2,1-4,1 %, kadar air berkisar 70,1-72,1 % dan kadar abu berkisar 1,7-2,4%.
Ikan laut dalam memiliki 17 asam amino penting yang diperlukan tubuh.
Sembilan diantaranya adalah asam amino essensial (Arginin, Histidin, Isoleusin,
Leusin, Lisin, Metionin, Fenilalanin, Triptofan, Valin), dan delapan lainnya
adalah asam amino non essensial (Asam Glutamat, Asam Aspartat, Sistein,
Glutamin, Glisin, Prolin, Serin, Alanin).
Pada uji Liebermann Burchad, ikan laut dalam menunjukkan hasil positif
terhadap pendugaan adanya steroid. Hasil ini diperkuat dengan uji Infrared yang
menunjukkan adanya kemiripan gugus fungsi ikan laut dalam dengan steroid
standar.
Berdasarkan uji antibakteri, hanya ekstrak dari ikan Beryx splendens yang
dapat menghambat kedua bakteri uji, Escherichia coli dan Staphylococcus aureus.
Ekstrak kloroform dapat menghambat pertumbuhan kedua bakteri uji, sedangkan
ekstrak metanol dan etil asetat tidak menghambat pertumbuhan bakteri uji. Zona
hambat ekstrak kloroform 50 ppm dari ikan Beryx splendens terhadap bakteri
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli masing-masing sebesar 2,5 dan 0,5
mm. Sedangkan zona hambat ekstrak kloroform 700 ppm sebesar 11,5 dan 3,5
mm. Aktivitas antibakteri ekstrak kloroform bersifat bakteristatik.
Tingkat toksisitas ditentukan berdasarkan LC50. Nilai LC50 menunjukkan
bahwa ekstrak kasar metanol memiliki kadar toksisitas yang sedang, karena
berada dalam kisaran bahan yang memiliki toksisitas sedang (LC50 : 1.000-10.000
µg/ml).
KAJIAN AWAL PEMANFAATAN BEBERAPA IKAN
LAUT DALAM DI PERAIRAN BARAT SUMATERA
SEBAGAI SUMBER PANGAN DAN OBAT-OBATAN
SKRIPSI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan dan Ilmu Kelautan pada
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
ARIN DAMAYANTI
C34101072
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2005
SKRIPSI
Judul Penelitian
: KAJIAN AWAL PEMANFAATAN BEBERAPA IKAN
LAUT DALAM DI PERAIRAN BARAT SUMATERA
SEBAGAI SUMBER PANGAN DAN OBAT-OBATAN
Nama
: Arin Damayanti
Nrp
: C34101072
Menyetujui,
Pembimbing
Sugeng Heri Suseno, Spi,Msi.
NIP 132 234 941
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Kadarwan Soewardi, MSc.
NIP 130 805 031
Tanggal Lulus: 10 Oktober 2005
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah swt atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian ini dapat menjadi penuntun bagi
penulis dalam rangka menyelesaikan tugas akhir dan merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana. Penelitian yang dilaksanakan berjudul ”Kajian
Awal Pemanfaatan Ikan Laut Dalam di Perairan Barat Sumatera Sebagai Sumber
Pangan dan Obat-obatan”.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dosen pembimbing
Bapak Sugeng Heri Suseno,SPi, MSi yang telah memberikan bimbingan dalam
penelitian ini, Ibu Desniar,Spi, Msi dan Ibu Ir.Nurjanah, MS selaku Dosen penguji
atas kritik dan masukan yang sangat membantu. Ucapan terima kasih juga kepada
Ayah dan Ibu tercinta serta anggota kelurga yang lain, karena doa dan usaha
mereka penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih pada para sahabat
seperti Intan, Ima, Titis, Mira, Yanti, Hani serta novi yang selalu mensupport
untuk bersemangat, Fanni dan Aqi, Ikwah FPIK yang tiada kenal menyerah
dalam berjuang karena Allah, anak-anak MATRIX 38, THP 38, anak-anak Citra
lslami, teman-teman di Darul fikri dan yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Saya berharap semoga karya ilmiah ini diridhoi oleh Allah serta
memberikan manfaat bagi seluruh umat manusia.
Bogor, Oktober 2005
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pontianak, 15 Februari 1983 dari ayah Surip
Djunaedi dan ibu Karsiyem. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara.
Penulis sekolah dasar di SD Negeri 2, Pontianak dan sekolah menengah pertama
di SMP Negeri 3, Pontianak. Kemudian penulis melanjutkan sekolah menengah
umum di SMU Negeri 1 Pontianak.
Penulis masuk ke Institut Pertanian Bogor pada tahun 2001 melalui jalur
Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri.
Penulis memilih Program Studi
Teknologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Selama sebagai mahasiswa di IPB, penulis pernah menjadi asisten mata
kuliah Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional dan asisten Pendidikan
Agama Islam.
Selain di bidang non akademik, penulis juga pernah aktif di
berbagai organisasi, seperti Himasilkan, Fish Processing Club dan FKM-C.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ....................................................................................
iv
DAFTAR ISI ...................................................................................................
vi
DAFTAR TABEL...........................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
ix
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ....................................................................................
1
1.2. Tujuan Penelitian.................................................................................
2
1.3. Waktu dan Tempat ..............................................................................
2
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembagian Zonasi Laut Dalam ...........................................................
3
2.2. Karakteristik Laut Dalam ....................................................................
4
2.3. Identifikasi Ikan Laut Dalam ..............................................................
6
2.4. Kandungan Nutrisi Ikan Laut Dalam .......................................................
10
2.5. Analisis asam amino dengan High
Ferformance Liquid
Cromatography (HPLC) ...........................................................................
12
2.6. Steroid .................................................................................................
13
2.6.1.
2.6.2.
2.6.3.
2.6.4.
2.6.5.
Struktur steroid ..........................................................................
Steroid yang terdapat di alam ...................................................
Aktivitas steroid ........................................................................
Identifikasi steroid.....................................................................
Uji infra merah ..........................................................................
13
14
14
14
15
2.7. Antimikroba ........................................................................................
15
2.7.1. Ekstraksi senyawa antimikroba ..................................................
2.7.2. Bakteri uji ...................................................................................
16
17
2.8. Uji Toksisitas......................................................................................
18
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Bahan dan Alat .....................................................................................
20
3.2 Prosedur Penelitian...............................................................................
20
3.2.1 Penelitian tahap pertama .............................................................
3.2.1.1. Uji proksimat..................................................................
3.2.1.2. Uji asam amino ..............................................................
20
21
23
3.2.2. Penelitian tahap kedua................................................................
24
3.2.2.1. Uji hormon steroid .........................................................
3.2.2.2. Uji antibakteri.................................................................
3.2.2.3. Uji toksisitas ...................................................................
24
27
30
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Penelitian Tahap Pertama....................................................................
32
4.1.1. Uji proksimat.............................................................................
4.1.2. Uji asam amino..........................................................................
32
37
4.2. Penelitian Tahap Kedua.......................................................................
40
4.2.1. Uji hormon steroid .....................................................................
4.2.1.1. Ekstraksi senyawa hormon steroid................................
4.2.1.2. Uji liebermann burchad .................................................
4.2.1.3. Uji infra merah ..............................................................
4.2.2. Uji Antibakteri............................................................................
4.2.2.1. Ekstraksi senyawa antibakteri .......................................
4.2.2.2. Uji aktivitas antibakteri .................................................
4.2.3. Uji toksisitas ...............................................................................
40
40
42
44
55
55
57
62
5. KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
74
LAMPIRAN ....................................................................................................
80
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Zona-zona fauna laut dalam .......................................................................
4
2. Karakteristik lingkungan laut (daerah beriklim sedang dan tropika) .........
6
3. Hasil analisis proksimat pada ikan laut dalam (%) ....................................
32
4. Kandungan zat gizi pada ikan mas dan kembung ......................................
34
5. Hasil analisis asam amino pada ikan laut dalam (%) .................................
38
6. Rendemen hasil ekstraksi senyawa steroid ikan laut dalam.......................
41
7. Hasil analisis hormon steroid pada ikan laut dalam ..................................
42
8. Ikatan-ikatan penting absorpsi infra red (ir) ..............................................
45
9. Ikatan-ikatan penting absorpsi infra red (ir) ikan Diretmoides
pauciradiatus..............................................................................................
47
10. Ikatan-ikatan penting absorpsi infra red (ir) ikan Benthodesmus tenuis..
48
11. Ikatan-ikatan penting absorpsi infra red (ir) ikan Beryx splendens .........
49
12. Ikatan-ikatan penting absorpsi infra red (ir) ikan Hoplothethus
crassipinus..................................................................................................
50
13. Ikatan-ikatan penting absorpsi infra red (ir) ikan Hoplothethus sp .........
51
14. Ikatan-ikatan penting absorpsi infra red (ir) ikan Ophidiidae..................
52
15. Ikatan-ikatan penting absorpsi infra red (ir) ikan Ostracoberyu
dorygenis ....................................................................................................
53
16. Ikatan-ikatan penting absorpsi infra red (ir) ikan Godamus colleti.........
54
17. Rendemen hasil ekstraksi senyawa antibakteri ikan laut dalam ................
56
18. Hasil uji antibakteri pada ikan laut dalam dengan konsentrasi 50 ppm ....
58
19. Hasil uji toksisitas pada ikan laut dalam dengan Artemia Salina leach ....
63
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Klasifikasi lingkungan laut Hedgpeth (1957) ............................................
4
2. Struktur konformasi steroid........................................................................
13
3. Ekstraksi senyawa steroid ikan laut dalam.................................................
26
4 Ekstraksi senyawa anti bakteri ikan laut dalam .........................................
28
5. Histogram persentase protein dalam ikan laut dalam.................................
33
6. Histogram persentase kadar lemak ikan laut dalam ...................................
35
7. Histogram persentase kadar air ikan laut dalam.........................................
36
8. Histogram persentase kadar abu ikan laut dalam .......................................
37
9. Keberadaan hormon steroid pada pelarut kloroform.................................
43
10. Grafik spektrum infra merah pada standar (Norethindrone asetat)............
44
11. Aktivitas ekstrak ikan laut dalam terhadap bakteri S.aureus konsentrasi
50 ppm........................................................................................................
12. Aktivitas ekstrak ikan laut dalam terhadap bakteri E.coli konsentrasi
50 ppm........................................................................................................
13. Aktivitas ekstrak ikan laut dalam terhadap bakteri S.aureus dan E.coli
konsentrasi 700 ppm...................................................................................
14. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak ikan
Dietmoides pauciradiatus ..........................................................................
15. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak ikan
Benthodesmus tenuis ..................................................................................
16. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak ikan Beryx
splendens ....................................................................................................
17. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak ikan
Hoplosthethus crassipinus..........................................................................
18. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak ikan
Hoplosthethus sp ........................................................................................
19. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak ikan
Ophidiidae ..................................................................................................
20. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak ikan
Ostracoberyu dorygenis .............................................................................
21. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak ikan
Godamus colleti..........................................................................................
59
60
61
64
65
66
67
68
69
70
71
LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Contoh perhitungan senyawa asam amino pada uji asam amino ...............
81
2. Hasil uji asam amino ikan standar sampel .................................................
82
3. Hasil uji asam amino ikan Dietmoides pauciradiatus................................
83
4. Hasil uji asam amino ikan Benthodesmus tenuis .......................................
84
5. Hasil uji asam amino ikan Beryx splendens ..............................................
85
6. Hasil uji asam amino ikan Hoplosthethus crassipinus...............................
86
7. Hasil uji asam amino ikan Hoplosthethus sp .............................................
87
8. Hasil uji asam amino ikan Ophidiidae .......................................................
88
9. Hasil uji asam amino ikan Ostracoberyu dorygenis ..................................
89
10. Hasil uji asam amino ikan Godamus colleti...............................................
90
11. Hasil uji asam amino ikan Myctophidae ....................................................
91
12. Hasil uji asam amino ikan Hyteroglypne japonica ....................................
92
13. Contoh perhitungan persen rendemen........................................................
93
14. Contoh perhitungan konsentrasi ekstrak pada uji aktivitas antibakteri......
94
15. Contoh perhitungan konsentrasi ekstrak pada uji toksisitas dengan
Artemia salina Leach .................................................................................
95
16. Grafik spektrum panjang gelombang infra merah ikan Dietmoides
pauciradiatus..............................................................................................
96
17. Grafik spektrum panjang gelombang infra merah ikan Benthodesmus
tenuis ..........................................................................................................
97
18. Grafik spektrum panjang gelombang infra merah ikan Beryx splendens...
98
19. Grafik spektrum panjang gelombang infra merah ikan Hoplosthethus
crassipinus..................................................................................................
99
20. Grafik spektrum panjang gelombang infra merah ikan Hoplosthethus sp . 100
21. Grafik spektrum panjang gelombang infra merah ikan Ophidiidae ........... 101
22. Grafik spektrum panjang gelombang infra merah ikan Ostracoberyu
dorygenis ................................................................................................... 102
23. Grafik spektrum panjang gelombang infra merah ikan Godamus colleti .. 103
24. Ikan laut dalam yang diteliti....................................................................... 104
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pemanfaatan ikan pelagis menurut data estimasi potensi, produksi dan
tingkat pemanfaatan sumber daya ikan pelagis di Indonesia tahun 2001, di
perairan selat Malaka dan laut Jawa telah mencapai tingkat lebih dari 100% atau
dengan kata lain telah terjadi over fishing (BRKP 2001). Oleh karena itu perlu
dilakukan alternatif penangkapan (fishing ground) baru untuk mengganti dan
mempertahankan hasil tangkapan dalam pemenuhan gizi masyarakat, dimana laut
dalam memiliki potensi untuk menjadi alternatif fishing ground baru.
Ikan laut dalam seperti famili Ophidiidae telah dipasarkan secara komersil
untuk dikonsumsi di beberapa bagian negara seperti Amerika Serikat, Jepang,
Amerika Selatan dan Eropa dalam bentuk filet segar tanpa tulang dan tanpa kulit
atau filet beku, dengan rasa yang manis dan warna daging putih (Perkins 1992).
Di Australia, pemanfaatan ikan laut dalam sebagai ikan konsumsi seperti ikan
Beryx splendens sudah sangat optimal bahkan sudah melebihi kapasitas
penangkapan (over fishing) (Info fish 2004), sedangkan ikan-ikan laut dalam di
perairan Indonesia kurang terasa pemanfaatannya, penyebab utamanya adalah
kurangnya informasi ekologi tentang laut dalam tersebut. Hal ini disebabkan ciri
ekosistem laut yang dinamis dan kegiatan survei tidak dilakukan terus menerus
dan berkesinambungan terhadap ikan laut dalam (Nybakken 1988).
Pemanfaatan ikan laut dalam di luar negeri sudah dioptimalkan dalam
bidang obat-obatan.
Salah satunya ikan hiu (Centrophorus atromarginatus
gaman) yang hidup pada kedalaman 500 ~ 1.000 meter dimanfaatkan hatinya
sebagai squalene, dalam pencegahan infeksi dan penyakit. Selain itu, tulang rawan
ikan hiu berfungsi sebagai anti kanker (Miller 1913). Di dalam negeri, khususnya
di daerah Banten, pemanfaatan ikan laut dalam masih dalam taraf tradisional
(Suman 2005). Ikan laut dalam khususnya ikan Satyrrichtys welchii digunakan
oleh masyarakat pesisir Banten sebagai obat kuat dengan cara membakar dan
dilarutkan dengan air untuk dikonsumsi sebagai minuman (Suman 2005).
Penelitian tentang kandungan gizi ikan-ikan laut dalam di perairan
Indonesia hingga sekarang masih belum dilakukan, sedangkan kandungan obat
kuat yang terdapat pada ikan laut dalam yang diduga karena adanya senyawasenyawa bioaktif didalamnya masih belum diketahui (Suman 2005). Oleh karena
itu perlu dikaji kandungan gizi dan penemuan bahan obat-obatan baru dari ikanikan laut dalam.
1.2. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui kandungan gizi, identifikasi
kandungan hormon steroid serta untuk mendapatkan informasi mengenai bahan
farmasi (obat-obatan) dari ikan laut dalam.
1.3. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2004-Juli 2005 di
Laboratorium Kimia Pangan, Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Departemen
Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Laboratorium
Bioteknologi Hewan Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Institut Pertanian Bogor serta
Badan Penelitian Hasil Pertanian di Cimanggu, Bogor.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembagian Zonasi Laut Dalam
Yang dimaksud laut dalam adalah bagian dari lingkungan bahari yang
terletak di bawah kedalaman yang dapat diterangi sinar matahari di laut terbuka
dan lebih dalam dari paparan benua (>200 m) (Nybakken 1988).
Beberapa pembagian daerah (zonasi) laut dalam telah diajukan oleh
banyak ilmuwan, namun sampai saat ini belum ada yang dapat diterima secara
universal. Penyebab utamanya adalah kurangnya informasi ekologi tentang laut
dalam tersebut. Pembagian daerah laut dalam pada umumnya dilakukan dengan
membagi kolom air secara sederhana berdasarkan perubahan kedalaman,
perubahan suhu, atau keduanya. Juga ada yang mencirikan berdasarkan salinitas
atau berdasarkan intensitas cahaya. Cara lainnya yang biasa digunakan adalah
membagi laut dalam menjadi beberapa zona berdasarkan kelimpahan, penyebaran
(distribusi), dan asosiasi spesies (Nybakken 1988).
Berdasarkan asosiasi makhluk hidup terhadap lingkungan, membagi laut
dalam menjadi dua zona, yaitu zona bentik (berasosiasi dengan dasar) dan zona
pelagis (berasosiasi dengan kolom air). Pencirian zona tersebut juga dihubungkan
dengan intensitas cahaya. Ada dua ciri zonasi laut yaitu fotik (ada cahaya) dan
zona afotik (tidak ada cahaya) (Nybakken 1988).
Pencirian zona tersebut
selengkapnya disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Klasifikasi lingkungan laut (Hedgpeth 1957 yang diacu oleh
Nybakken 1988)
Pembagian zona dari Gambar 1 kemudian dijelaskan kedalam Tabel
pengklasifikasian lingkungan laut. Klasifikasi zona-zona tersebut disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Zona-zona fauna laut dalam
Cahaya
Ada (fotik)
Zona Pelagis
Epipelagis atau
Kisaran
Zona Bentik
Kisaran
Kedalaman
Kedalaman
(m)
(m)
0-200
eufotik
Paparan
0-200
benua atau
sublitoral
Tidak ada
Mesopelagis
200-1000
(Afotik)
Batipelgis (?)
1000-4000
Abisal pelagis (?)
4000-6000
Hadal pelagis
6000-10000
Batial
200-4000
Abisal
4000-6000
Hadal
6000-10000
Sumber : Hedgpeth, 1957 yang diacu dalam Nybakken, 1988
Catatan : (?) = Berubah-ubah.
2.2. Karakteristik Laut Dalam
Berdasarkan penelitian yang intensif dan lama dari para ilmuwan terhadap
kondisi lingkungan laut dalam, secara umum dapat disimpulkan bahwa pada
kedalaman berapapun di laut dalam, faktor-faktor kimia dan fisika lingkungan
hidup laut dalam bersifat sangat konstan selama periode waktu yang panjang
(Webber dan Thurman 1991). Gambaran karakteristik dari berbagai lingkungan
laut disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik lingkungan laut (daerah beriklim subtropis dan
tropika)
Zona
Epipelagis
Karakteristik
Intensitas
cahaya
Mesopelagis
Batipelagis dan
Bentik
Bentik dalam (air
sepanjang dasar)
(0-100 atau
(100 atau 200
lebih dalam
dangkal
200 m)
sampai 1000 m)
(sekitar 1000 m
(air di atas
sampai dasar)
dasar)
Cukup untuk
Zona twiligth
fotosintesis
Secara esensial
Ada bagian
Secara esensial
tidak ada cahaya
yang dapat
tidak ada cahaya
cahaya
dari atas
Terjadi
Sedikit atau tidak
Sedikit atau tidak
Terjadi
Tidak ada
produktivitas
ada produktivitas
ada produktivitas
produktivitas
produktivitas
primer
primer, organisme
primer,
primer
primer kecuali
Persediaan
migrasi ke atas
organisme
kemosintesis;
makanan
untuk makanan
migrasi ke atas
oganisme
atau menunggu
untuk makanan
menunggu
makanan jatuh
atau menunggu
makanan jatuh dari
makanan jatuh
atasnya
Biasanya
Biasanya sekitar
o
Suhu
Biasanya antara
o
Biasanya antara
sekitar 30 C
15oC dan –2oC;
sampai 10oC;
biasanya turun
sampai
biasanya turun
kadang-
sampai 1oC atau
sekitar 10oC
sampai 1oC atau
kadang
kurang di bawah
kurang di bawah
mendekati 0oC
4000 m
4000 m
15-5 C
o
Biasanya
5 C dan –2 C;
sekitar 28 C
o
o
di musim
dingin
Biasanya
Biasanya sekitar
Biasanya sekitar
Biasanya
Biasanya sekitar
sekitar
35-34,5‰;air
35-34.5‰;dan
antara 40‰
35-34,5‰; dan
37-32‰
tengah dari
sekitar 34,52‰
dan 30‰
34.52‰ di bawah
lintang tinggi
di bawah 4000 m
dengan runoff
4000 m
Salinitas
memiliki salinas
air tawar
lebih kecil
Kandungan
oksigen
Biasanya
Biasanya sekitar
Biasanya sekitar
Biasanya
Biasanya sekitar 6-
sekitar 7-3,5‰
5-4‰, dengan
6-5‰
sekitar 7-
4‰, dengan
nilai lebih kecil
3.5‰, dengan
mendekati kondisi
dari 1 pada
beberapa
anoksik pada
oksigen minimum
supersaturasi
daerah oksigen
dan daerah
minimum dan di
anoksik
basin terisolasi
Kandungan
Biasanya
Biasanya sekitar
Biasanya sekitar
Biasanya
Biasanya rendah di
nutrisi (pospat
sekitar 0-30
30-90 mg/m3
90 mg/m3
tinggi di
sedimen bentik
di lingkungan
3
mg/m ; tinggi
tinggi di daerah
sedimen
dalam, tapi tinggi
pelagis
di daerah
upwelling
bentik
di bawah daerah
dangkal
upwelling
dan
karbon
upwelling
organik untuk
lingkungan
bentik)
Sumber : Pipkin et al. (1987)
2.3. Identifikasi Ikan Laut Dalam
Ikan laut dalam merupakan ikan yang berada di bagian dari lingkungan
bahari yang terletak di bawah kedalaman yang dapat diterangi sinar matahari di
laut terbuka dan lebih dalam dari paparan benua (>200 m) (Nybakken 1988).
Klasifikasi ikan laut dalam berdasarkan famili:
1) Myctophidae
Myctophidae adalah ikan laut dalam yang melimpah sekali pada semua
lautan dan menunjukkan adanya migrasi vertikal ke lapisan atas pada malam hari.
Ikan ini makan di lapisan atas dan dimakan di lapisan bawah, bertindak sebagai
suatu penghubung atau perantara pada sirkulasi makanan dari lapisan atas yang
kaya ke lapisan bawah yang miskin makanan (Gloerfelt, Kailola 1984).
Famili Myctophidae disebut sebagai ikan lentera yang mempunyai badan
dan kepala yang pipih. Mata berkembang baik dan berukuran besar. Mulut besar,
terminal atau subterminal dengan rahang memanjang hingga di bawah batas
posterior mata. Gigi sangat beragam, tapi tidak ada gigi yang seperti taring. Sirip
dorsal tunggal terletak tepat di depan permukaan sirip anal dan memiliki sirip
adipose pada bagian dorsalnya. Semua spesies memiliki sekumpulan fotofor pada
kepala dan badan, serta organ cahaya lain muncul pada kepala dan ekor. Susunan
fotofor dan organ cahaya diperlihatkan pada spesies tertentu dan menjadi salah
satu karakteristik yang penting dalam identifikasi.
Pada pemunculan organ
cahaya, yang paling menarik perhatian adalah kelenjar suprakaudal yang disebut
juga “pemburu buritan” (stern chaser). Diperkirakan bahwa organ ini mungkin
digunakan sebagai mekanisme bertahan, diaktifkan untuk mengeluarkan cahaya
pada saat pemangsa menyerang, kemudian dipadamkan untuk memberi
kesempatan ikan melarikan diri sebelum penyerangan disempurnakan.
Nama fotofor seharusnya hanya diterapkan pada suatu struktur yang
spesifik yang dibentuk dari dua sisik yang dimodifikasi: satu terdiri atas sebuah
“cungkup” dengan sel yang tipis dan bertumpuk mendatar, yang lain membentuk
suatu lensa bikonveks pada bagian atas “cungkup”. Cahaya kebiru-biruan yang
dipancarkan oleh fotofor berasal dari suatu reaksi kimia di dalam sel, ini
tergantung pada daerah absorpsi maksimum dari pigmen visual ikan pada ikanikan laut dalam. Nama Inggrisnya Lanternfishes (Gloerfelt dan Kailola 1984).
2) Ophidiidae
Seperti “ikan putih” laut lainnya, kingklip (Ophidiidae) memiliki rasa agak
manis, aromanya mild. Tekstur dagingnya kenyal, berwarna putih, keras dan
padat, kadang-kadang menggantikan lophiidae, tetapi lebih lembut dengan jonjot
lepas yang besar. Di pasar dapat dijumpai dalam bentuk filet segar tanpa tulang
dan tanpa kulit atau filet beku. Berat keseluruhan rata-rata 20 kg walaupun ikan
ini dapat tumbuh dengan panjang 6 kaki dan berat 100 kg (Perkins 1992).
Di Eropa, kingklip dipasarkan sebagai cusk eel. Di Selandia Baru disebut
ling dan di Amerika Selatan disebut congrio. Di Jepang disebut kingu. Kingklip
terutama dipasarkan dalam jumlah eceran dan jarang terlihat di restoran, karena
kualitasnya yang bagus dan daging yang bertekstur khas. Kingklip emas, merah
dan hitam dipasarkan secara internasional, tetapi di Amerika Serikat lebih
menyukai yang berwarna emas dan merah (Perkins 1992).
Tidak ditemukan
adanya bahaya bagi kesehatan, apabila ditangani dengan baik. Ditemukan pada
kedalaman 800 m (Wheeler 1975).
3) Macrouridae
Grenadir (Macrouridae) memiliki rasa yang mild (ringan) dan aroma yang
harum gurih, sama dengan ikan cod tetapi lebih manis. Di pasaran bebas jarang
dijumpai dalam bentuk filet beku tanpa kulit.
Dagingnya berwarna putih.
Beratnya berkisar antara 7-11 kg dengan panjang berkisar antara 0,6-0,76 meter.
Ditemukan pada kedalaman 600 m (Perkins 1992).
Sisik grenadir keras.
Kanada telah menanamkan modalnya untuk
mengembangkan peralatan pengolahan untuk mengakomodasi keunikan yang
dimiliki grenadir. Mereka menemukan bahwa proses pembuatan filet bukanlah
suatu persoalan setelah perontok sisik menanggalkan “baju zirah” ikan tersebut
(Perkins 1992).
Walaupun belum ada perikanan yang langsung mengusahakan grenadir, di
Kanada spesies ini naik dan datang sebagai hasil samping jaring insang dasar dari
perikanan ikan turbot di Greenland.
Ikan ini memberikan gambaran yang
menjanjikan sebagai ikan berwarna putih dengan rasa ringan dan dapat
dipasarkan.
Jika ditangani dengan benar, grenadir tidak berbahaya bagi
kesehatan. Pembekuan grenadir yang hati-hati dapat memberikan daging yang
kualitasnya bagus (Perkins 1992).
4) Trichiuridae
Ikan Benthodesmus tenuis merupakan famili trichiuridae yang termasuk
famili kecil dari ikan-ikan laut yang berasal dari laut tropika di seluruh dunia.
Umumnya habitat mereka di permukaan atau kolom air, beberapa ditemukan di
kedalaman 914 m.
Tiga puluh atau lima puluh spesies dari famili ini bertubuh panjang,
langsing dan pipih, dengan kepala elongate dan kulit dilapisi midabe dagger
seperti gigi. Sirip dorsal di belakang kepala dan sirip tersusun hingga ke seluruh
tulang belakang. Sirip anal tidak berkembang.
Banyak spesies memiliki sirip
ekor yang kecil, dengan bagian tubuh berujung dalam bentuk titik. Sirip pektoral
berkurang.
Kebanyakan dari
Trichiurid yang dikenal secara luas sebagai
scabbardfishes, cutlassfishes, hairtails, atau frostfish, memiliki cakupan wilayah
yang luas. Beberapa dieksploitasi secara lokal sebagai makanan dan memiliki
kualitas daging yang baik (Wheeler 1975).
5) Berycidae
Ikan Beryx splendens merupakan famili dari ikan-ikan laut dalam yang
terdistribusi di seluruh dunia. Beberapa spesies ditemukan pada perairan yang
dangkal dan pertengahan perairan pada laut dalam. Umumnya memiliki tubuh
yang besar, dengan kepala elongate, mata besar dan mulut yang kuat. Kepala dan
tubuh dilapisi dengan sisik yang kuat.
Kebanyakan spesies jarang memiliki
punggung yang menonjol dan sisik-sisik keras di kepala. Hal ini secara terpisah
dapat dijumpai pada yang muda.
bersinar dan
Sirip-siripnya memiliki banyak duri yang
bagian pektoral yang memiliki banyak duri, mempunyai sisik
anterior yang keras. Banyak ikan-ikan berycoid memiliki warna yang merah
bersinar. Ditemukan pada kedalaman 183-732 m (Wheeler 1975).
6) Trachichthydae
Ikan Hoplotethus sp. merupakan famili dari ikan-ikan laut yang jarang
kemunculan dan keberadaannya di seluruh dunia. Beberapa adalah ikan laut
dalam yang ditemukan hanya di laut terbuka, tetapi beberapa ditemukan pada
daerah dangkal dekat pantai. Semuanya memiliki tubuh yang besar, kepala besar
dengan banyak sisik. Sirip-sirip pektoral terletak di depan perut dan punya satu
sisik tajam yang besar. Sirip dorsal dan anal mengandung sisik yang tajam dan
bersinar. Sisik tubuh biasanya besar dan berujung bundar serta bersinar pada
perut. Ditemukan pada kedalaman 366-914 m (Wheeler 1975).
7) Centrolophidae
Ikan Hyperoglyphe japonica merupakan famili centrolophidae yang
ditemukan pada laut-laut bertemperatur dingin di utara Hermiphere.
Telah
banyak dtemukan (dengan nama-nama ilmiah berbeda) di Atlantik Utara (Tristan
dan Cunha),
Afrika Selatan, selatan Australia
dan New Zealand.
Berbeda
dengan ikan dewasa, pengetahuan tentang keberadaan ikan yang muda jarang
ditemui. Hidup pada kedalaman 824 m dan tertangkap dengan trawl dasar dan
longline. Dagingnya sangat lezat dan spesies ini mewakili dengan baik penelitian
makanan yang tidak dimanfaatkan. Ikan ini telah dimanfaatkan di Utara Pasifik.
Ikan ini tersamarkan dengan mulut yang besar dan lingkaran pada bagian atas dari
kepala. Warna ikan biru baja bersinar (Wheeler 1975).
8) Diretmidae
Ikan Deretmoides pauciradiatus merupakan famili diretmidae yang
memiliki genus tunggal dan kemungkinan dua spesies. Spesies dideskripsikan
sebagai ikan yang langka, tapi terdistribusi di Atlantik dan daerah laut dalam.
Tubuh besar dengan bentuk hampir seperti lingkaran, kepala ditutupi dengan sisik
yang kokoh. Sirip pektoral terbentuk dengan 5 duri dan 1 duri panjang, memiliki
helaian yang kokoh seperti sisik. Mata
dan mulut besar, berbentuk obligat.
Banyak tertangkap di daerah utara Atlantik. Hidup pada kedalaman 640-5000 m
(Wheeler 1975).
9) Serranidae
Ikan Ostracoberyx dorygenis merupakan famili ikan laut tropikal,
walaupun beberapa spesies yang lain ditemukan di laut dingin. Habitat ikan ini
pada dasar perairan, walaupun beberapa merupakan spesies aktif yang bergerak
yang hampir semuanya pada perairan dekat pantai. Umumnya bertubuh besar
dengan kepala besar dan mulut yang lebar, memiliki dua sirip dorsal dan yang
pertama tersusun dari sisik yang kuat.
Memiliki 3 sisik kuat di sirip anal.
Kebanyakan memiliki badan yang berskala kecil, dan linea lateralis berlanjut dari
kepala hingga ekor.
Banyak serranid yang hermaprodit.
Beberapa spesies
memiliki telur-telur dan sperma yang berkembang dalam ikan yang sama, dan
pada satu spesies terjadi fertilisasi. Biasanya ikan berkelamin betina ketika muda
dan berubah menjadi jantan ketika lebih dewasa. Ditemukan pada kedalaman
240-2000 m di laut Florida (Wheeler 1975).
2.4. Kandungan Nutrisi Ikan Laut Dalam
Sumber pendukung kehidupan yang berubah-ubah dan sangat kritis di laut
dalam adalah pakan. Keberadaan pakan menjadi faktor penting yang membatasi
jumlah spesies, kelimpahan dan biomassa di laut dalam. Ada dua sumber utama
energi di laut dalam. Pertama cahaya matahari dan fotosintesis di zona eufotik.
Sumber kedua adalah molekul organik yang diproduksi secara kemosintesis.
Dibandingkan fotosintesis, kemosintesis lebih terbatas (Webber, Thurman 1991).
Semua organisme yang hidup di bawah zona fotosintetik harus bergantung pada
pakan yang jatuh dari zona di atasnya. Pakan berarti energi yang tersimpan pada
materi organik, karena energi semacam itu harus dapat dimanfaatkan oleh bakteri
heterotrof pada saat asimilasi yang akan menyediakan materi organik terlarut bagi
organisme lainnya (Bruun 1957, Nybakken 1988 yang diacu oleh Sumich 1992).
Penelitian menunjukkan bahwa 30-40% bahan organik yang tersedia di
dasar laut dalam diabsorbsi oleh bakteri bentik, yang kemudian dikonsumsi oleh
hewan yang lebih besar (Zobell 1954 yang diacu oleh Sumich 1992). Komponen
utama materi organik adalah kitin dari eksoskeleton krustasea yang hanya bisa
didekomposisi dan dimanfaatkan oleh bakteri. Bakteri ini terutama mengandung
protein dan lemak yang akhirnya dapat menyediakan sumber pakan penting bagi
hewan-hewan laut dalam (Bruun 1957).
Walaupun di laut dalam tidak berlangsung proses produksi primer, namun
terdapat penghubung antara produksi primer pada zona eufotik dengan zona di
bawahnya. Penghubung tersebut adalah ikan lentera yang melakukan migrasi
vertikal di sekitar lapisan pemberai dalam (deep scattering layer) (Marshall 1971;
Gloerfelt, Kailola 1984; Nybakken 1988). Sumber pakan di laut dalam selain
adanya migrasi vertikal, juga merupakan jatuhan vegetasi daratan, pelet, tinja,
kitin dari krustasea, ikan, cumi-cumi dan mamalia besar (Nybakken 1988 yang
diacu oleh Sumich 1992).
Sumber pakan potensial yang lain adalah bahan organik yang larut atau
berbentuk koloid dan bahan yang berasal dari plankton dalam bentuk gelatin
(”salju bahari”). Sumber pakan untuk hewan laut dalam yang berasal dari
permukaan, bisa berupa: (1) ”hujan” plankton atau partikel organik lainnya yang
jatuh ke bawah; (2) jatuhan bangkai hewan besar atau potongan tumbuhan yang
dengan cepat dapat tenggelam ke dasar sebelum habis terurai oleh bakteri
pemakan bangkai; (3) bakteri, yang merupakan pakan organik yang potensial bagi
biota; dan (4) bahan organik terlarut (Nontji 1987).
Alasan utama memanfaatkan ikan laut dalam adalah kandungan nutrisinya.
Nutrisi diartikan secara lebih luas sebagai bahan yang bukan hanya untuk
dimakan, tetapi juga dimanfaatkan untuk keperluan lain seperti obat (kedokteran)
atau industri. Meskipun di beberapa negara, eksploitasi ikan laut dalam sudah
dimulai, namun tingkat pemanfaatannya masih rendah. Bahkan ada yang
menyebutkan bahwa ikan laut dalam bukan ikan ekonomis penting. Alasannya
adalah mereka terlalu kecil atau terlalu besar ukurannya, banyak tulang, atau
memiliki rasa yang terlalu tajam untuk dikonsumsi oleh manusia. Sebagian besar
ikan yang tidak diminta oleh industri perikanan adalah ikan oseanik dan banyak
yang hidup di laut dalam (Davis 1991).
Barangkali alasan Davis tidak seluruhnya benar, karena tidak semua ikan
laut dalam dapat dikatakan sama. Terlihat adanya suatu pasar untuk jenis bahan
kimia dan obat dari organisme penghuni dasar (ocean-dwelling), tetapi tidak
disebutkan jenis bahan kimia tersebut. Disebutkan pula ada tiga jenis ikan yaitu
grenadir (brotulida), roughi dan black scabbard yang betul-betul dapat dimakan,
walaupun bentuknya mungkin
tidak indah.
Saat ini ketiganya belum dapat
dimanfaatkan walaupun tersedia banyak. Adanya harapan bahwa jika cukup
konsumen potensial yang terdidik untuk menerima ikan ini sebagai pangan, kita
dapat tanpa ragu untuk memanfaatkannya dalam kuantitas komersil. Oleh karena
itu disarankan menggunakan teknologi baru untuk mendapatkan lebih banyak dari
daging ikan tangkapan, yaitu dengan alat pemisah daging hingga sampai 5%.
Cara ini mungkin dapat dipakai pada spesies “baru” yang sangat bertulang yaitu
ikan grenadir dari laut dalam (Barton 1977).
2.5. Analisis Asam Amino dengan High Ferformance Liquid Cromatography
(HPLC)
Kandungan asam amino protein dapat ditentukan melalui analisis asam
amino. Salah satu analisis asam amino adalah dengan kromatografi partisi caircair atau sering disebut dengan metode High Performance Liquid Cromatography
(HPLC). Keuntungan menggunakan HPLC adalah daya ulangnya lebih baik,
waktu yang dibutuhkan singkat, dari data kelarutan hasilnya telah dapat
diramalkan, koefisien distribusinya konstan dalam kisaran konsentrasi yang agak
luas dan mampu memisahkan senyawa yang sangat serupa dengan baik (Adnan
1997).
Kromatografi partisi cair-cair memiliki fase stasioner (fase diam) dan fase
mobil (fase gerak) yang berupa cairan atau pelarut yang tidak bercampur. Pelarut
yang lebih polar biasanya digunakan sebagai fase stasioner. Secara umum dapat
dikatakan bahwa kromatografi adalah suatu proses migrasi differensial dimana
komponen-komponen sampel ditahan secara selektif oleh fase diam (Sudarmadji
et al. 1989). Pemisahan dengan partisi dipengaruhi terutama oleh perbedaan
polaritas solut yang dipisahkan. Hal ini disebabkan karena polaritas merupakan
faktor yang menentukan daya larut dan terjadinya adsorpsi solut. Proses partisi
sangat tergantung dari daya larut solut dalam dua macam cairan, oleh karena itu
sangat peka terhadap perbedaan berat molekul solut (Adnan 1989).
Sebelum dilakukan analisis asam amino dengan kromatografi terlebih
dahulu dilakukan pembuatan hidrolisat protein yang bertujuan untk memutuskan
ikatan peptidanya dengan hidrolisis asam atau hidrolisis basa. Hidrolisis asam
yang umum digunakan yaitu HCL 6 N, menyebabkan kerusakan triptofan dan
sedikit kerusakan juga terjadi pada serin dan treonin. Hidrolisis basa biasanya
menggunakan NaOH 2-4 N dan tidak merusak triptofan tetapi menyebabkan
deaminasi asam amino lain (Nur, Adijuwana 1992).
2.6. Steroid
2.6.1. Struktur steroid
Secara kimia hormon diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu hormon
peptida, hormon amina, eikosanoid dan hormon steroid (Bhagavan 1992). Semua
hormon
steroid
berasal
dari
kolesterol
dan
berstruktur
inti
perhidrosiklopentanofenantren yang terbagi atas tiga cincin sikloheksana (Devlin
1993).
Steroid banyak terdapat di alam tetapi dalam jumlah yang terbatas dan
mempunyai aktivitas biologis, mempunyai karakteristik tertentu yaitu:
1. Subsitusi oksigen pada atom C-3, suatu sifat khas steroid alam.
2. Subsitusi gugus metil angular pada atom C-10 dan C-13 yang dikenal
dengan atom C-18 dan C-19 berturut-turut, kecuali pada senyawa steroid
dengan cincin A berbentuk benzenoid seperti pada kelompok estrogen.
3. Kemungkinan subsitusi gugus alifatik (R) pada atom C-17. Subsitusi ini
memberikan dasar pembagian senyawa steroid.
Gambar 2. Struktur konformasi steroid
2.6.2. Steroid yang terdapat di alam
Di alam senyawa steroid terdapat pada hewan, tanaman tingkat tinggi,
bahkan terdapat pula pada beberapa tanaman tingkat rendah seperti jamur (fungi).
Pada hewan dapat dijumpai antara lain sebagai hormon korteks adrenal
(contohnya kortikosteron), asam empedu (contohnya asam kolat), dan hormon
kelamin (contohnya androgen dan estrogen) (Harborne 1973).
Hormon steroid dibentuk dari jaringan tertentu di dalam tubuh dan dibagi
ke dalam dua kelas yaitu hormon adrenal dan hormon seks (testosteron, estrogen
dan progesteron. Antara ketiga hormon seks ini saling berhubungan, testosteron
berperan dalam pengaturan perilaku seksual jantan, sedangkan estrogen dan
progesteron berperan dalam pengaturan perilaku seksual betina (Devlin 1993).
Kolesterol adalah steroid yang mengandung 27 atom karbon dan memiliki
titik lebur 150-1510C (Poedjiadi 1994). Waktu paruh hormon-hormon steroid
alamiah di dalam tubuh hewan sangat singkat. Oleh karena itu beberapa steroid
termasuk testosteron, dengan berbagai modifikasi struktur biokimianya telah
disintesis untuk dipakai dalam berbagai keperluan. (Aldrich 1993).
2.6.3. Aktivitas steroid
Senyawa-senyawa steroid telah banyak dimanfaatkan sebagai obat.
Berdasarkan efek farmakologisnya senyawa steroid antara lain terdiri dari :
a. Anti radang dan anti reumatoid, yaitu: Cortison, corticosteron,
hidrocortison, preduison, dan triamicinolon.
b. Diuretika, anti diuretika dan anestika lokal, yaitu: aldosteron, Natrium
hidroksidion dan spironolakton.
c. Kontraseptik, yaitu turunan progesteron dan turunan estron.
2.6.4. Uji steroid
Identifikasi steroid dapat dilakukan dengan cara reaksi warna, yang
terpenting adalah reaksi Liebermann Burchard. Pada reaksi ini steroid akan
membentuk senyawa berwarna merah (dalam lapisan asam sulfat) dan berwarna
hijau (dalam lapisan kloroform) (Cook 1958 yang diacu Riris 1994). Kelebihan
dari uji Liebermann Burchard, reaksi yang terbentuk terjadi dengan cepat, tidak
memerlukan waktu yang lama dan digunakan untuk mengestimasi steroid semi
kuantitatif . Kelemahan dari uji ini adalah uji ini tidak hanya digunakan untuk
menentukan kolesterol tetapi juga digunakan untuk menentukan sterol lain seperti
stigmasterol dan ergosterol, serta tidak dapat menentukan struktur kimia dari
steroid, serta tidak dapat digunakan untuk menentukan steroid secara kuantitatif
(Dence 1980).
2.6.5. Uji infra merah
Untuk mengidentifikasi steroid, Uji infrared (IR) dan uji ultra violet (UV)
spektrometri merupakan uji yang paling berguna. Perbedaan antara IR dan UV
spektrometri ditunjukkan dari range panjang gelombang radiasi yang diberikan.
Pada spektrometer IR konvensional, panjang gelombang berjarak 2500-16.000
nm, sedangkan UV spektrometer jarak panjang gelombang biasanya berkisar 200400 nm. UV spektrum menunjukkan struktur elektronik dari molekul, dan IR
spektrum menunjukkan karakteristik vibrasi dari ikatan kimia dalam molekul.
Infrared spektrum menyediakan informasi mengenai tipe dari gugus fungsi
yang terdapat dalam steroid. Pelarut yang biasa digunakan dalam IR spektrometri
untuk penentuan steroid adalah kloroform, karbon tetraklorid, dan karbon disulfid.
Spektrum ditunjukkan sebagai plot dari persen transmitan terhadap panjang
gelombang kemudian diartikan dalam unit dari cm-1.
Arti dari cm-1 adalah
panjang gelombang dalam cm persatuan unit (Dence 1980).
2.7 Antimikroba
Zat antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat
menghambat pertumbuhan atau aktivitas mikroba. Zat antimikroba khusus untuk
menghambat bakteri disebut antibakteri, dapat bersifat bakterisidal (membunuh
bakteri) dan bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri). Zat yang
menghambat kapang disebut antikapang (Fardiaz 1992). Senyawa antimikroba
adalah jenis obat yang digunakan dengan tujuan untuk membasmi mikroba
(Branen, Davidson 1993).
Senyawa yang mempunyai aktivitas antimikroba terbagi menjadi dua yaitu
antimikroba sintetis, seperti sodium bemzoat, senyawa fenol, asam-asam organik,
asam lemak rantai medium dan esternya, sorbat, sulfur dioksida dan sulfit, nitrit,
senyawa kolagen dan surfaktan, dimetil dikarbonat dan dietil bikarbonat, serta
antimikroba alami yang berasal dari hewani, tanaman maupun mikroorganisme,
misalnya bakteriosin (Branen, Davidson 1993).
Efektivitas
antimikroba
dengan
cara
mengontrol
pertumbuhan
mikroorganisme maupun secara langsung memusnahkan seluruh atau sebagian
mikroorganisme (Branen, Davidson 1993). Mekanisme zat antimikroba dalam
membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroba antara lain: (1) merusak
dinding sel bakteri sehingga mengakibatkan lisis atau menghambat pembentukan
dinding sel pada sel yang sedang tumbuh, (2) mengubah permeabilitas membran
sitoplasma yang menyebabkan kebocoran nutrien dari dalam sel, misalnya yang
disebabkan oleh senyawa fenolik, (3) menyebabkan denaturasi sel, misalnya oleh
alkohol dan (4) menghambat kerja enzim didalam sel (Pelczar Reid 1977).
Beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas antimikroba adalah: (1)
jenis, jumlah, umur dan latar balakang kehidupan mikroba, (2) konsentrasi zat
antimikroba, (3) suhu dan waktu kontak dan (4) sifat fisikokimia substrat (pH,
kadar air, tegangan permukaan, jenis dan zat terlarut) (Frazier, Westhoff 1978).
2.7.1. Ekstraksi senyawa antimikroba
Ekstraksi merupakan suatu proses yang secara selektif mengambil zat
terlarut dari campuran dengan bantuan pelarut. Teknik ekstraksi didasarkan pada
kenyataan bahwa jika suatu zat dapat larut dalam dua fase yang tak tercampur,
maka zat itu dapat dialihkan dari satu fase ke fase yang lain dengan mengocoknya
bersama-sama. Zat terlarut yang diekstraksi dapat berada dalam medium padat
atau cair. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi dapat bersifat polar seperti
alkohol atau yang non polar seperti heksana dan kloroform. Pemilihan pelarut
yang digunakan tergantung pada sifat zat yang dilarutkan, karena setiap zat
memiliki daya kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berlainan
(Achmadi 1992).
Beberapa pertimbangan dalam memilih pelarut (Achmadi 1992), yaitu:
1. Pelarut polar akan melarutkan senyawa polar dan pelarut non polar akan
melarutkan senyawa non polar.
2. Pelarut organik cenderung melarutkan zat terlarut organik
3. Air cenderung melarutkan senyawa anorganik dan garam dari asam maupun
basa organik.
4. Asam-asam organik yang larut dalam pelarut organik dapat diekstraksi ke
dalam air dengan menggunakan basa (NaOH, Na2CO3 dan NaHCO3).
Beberapa zat terutama bahan alam dapat dipisahkan dari padatannya
dengan ekstraksi sederhana. Teknik paling sederhana untuk mengekstraksi bahan
padatan ialah dengan mencampurkannya dalam larutan pengekstraksi, dibantu
dengan pengadukan menggunakan alat pengaduk, lalu dipisahkan melalui
penyaringan biasa atau vakum (Achmadi 1992).
2.7.2. Bakteri uji
Pada penelitian ini digunakan 2 spesies bakteri uji yang telah diketahui
bersifat patogen terhadap manusia.
Bakteri uji yang digunakan adalah dari
kelompok bakteri gram negatif yaitu Eschericia coli serta bakteri kelompok gram
positif yaitu Staphylococcus aureus.
1) Eschericia coli
Escherichia coli pada umumnya merupakan mikroba yang secara normal
terdapat pada saluran pencernaan manusia dan hewan. Habitat pada umumnya
adalah tanah, lingkungan akuatik, makanan, air seni, dan tinja. Karena sifatnya
yang patogen, bakteri ini dapat menyebabkan beberapa penyakit pada manusia,
antara lain : menyebabkan infeksi primer pada usus (misalnya diare pada anak),
infeksi pada saluran kemih, pneumonia, abses, dan meningitis pada bayi yang
baru lahir. Bakteri ini berbentuk batang atau koma, bersifat anaerob fakultatif dan
tergolong sebagai bakteri gram negatif.
Escherichia coli
termasuk famili
Enterobacteriaceae, berukuran panjang 2,0-6,0 µm dan lebar 1,1-1,5 µm serta
tunggal atau berpasangan. Nilai pH optimum untuk pertumbuhannya adalah 7,07,5 serta kisaran suhu pertumbuhannya 10-40 oC, dengan suhu optimum 37 oC dan
aw optimum 0,96 (Fardiaz 1992). Bakteri ini sensitif terhadap antibiotik jenis
sulfonamid, kloramfenikol, kanamisin dan penisilin (Tortora et al. 1989).
2) Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus termasuk ke dalam bakteri gram positif anaerob
fakultatif.
Bentuknya tunggal, berpasangan atau bergerombol.
0,5-1,5 µm, tidak berkapsul dan berspora.
Diameternya
Dinding selnya mengandung dua
komponen utama, peptidoglikan dan asam teikoat.
Metabolisme secara
fermentatif dan respiratif (Pelczar, Chan 1988). Bakteri ini sering ditemukan di
tanah, air tawar, kulit dan selaput lendir pada binatang berdarah panas termasuk
manusia. Patogenis dari bakteri ini antara lain dapat menyebabkan infeksi kulit,
infeksi paru-paru, meningitis dan diare.
2.8 Uji Toksisitas
Toksisitas adalah kemampuan suatu zat untuk menyebabkan keracunan
(Koesman 1983). Toksikan adalah materi atau agen yang mampu menghasilkan
efek merugikan pada sistem biologi yang menyebabkan kematian
(Canadian
Executing Agency 1992 yang diacu oleh Ferdiansyah 2000). Toksisitas suatu
bahan dapat ditentukan dengan menganalisa besarnya (persen) kematian
organisme uji (Boyd 1990).
Beberapa parameter yang mempengaruhi toksisitas diantaranya adalah
temperatur, oksigen terlarut, pH, kesadahan, salinitas dan bahan organik (Sprague
1990). Toksisitas suatu bahan pencemar akan meningkat dengan meningkatnya
temperatur (Herman 1972) dan mempercepat terwujudnya gejala keracunan
(Metelev et al. 1983).
Uji
toksisitas
diperlukan
untuk
mengevaluasi,
memonitor
dan
memprediksi bahaya dari zat racun bagi organisme lingkungan (Trevors 2000
yang diacu oleh Marni 2001). Banyak metode yang digunakan untuk menguji
tingkat toksisitas dari suatu bahan. Metode yang digunakan pada penelitian ini
yaitu uji toksisitas menggunakan Artemia salina.
Uji toksisitas dengan Artemia salina digunakan sebagai langkah awal
untuk identifikasi racun jamur, toksisitas dari ekstrak tumbuhan, identifikasi
adanya logam berat, racun sianobakter, pestisida dan untuk uji sitotoksisitas yang
berhubungan dengan gigi dan mulut (Carballo et al. 2002).
Artemia yang digunakan dalam bentuk telur istirahat yang disebut dengan
kista. Kista yang berkualitas baik akan menetas sekitar 18-24 jam. Umumnya
Artemia tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25-30oC, kadar garam antara 3050 ppt dan pH air laut untuk budidayanya berkisar antara 7,5-8,8 (Isnansetyo,
Kurniastuty 1995 yang diacu oleh Marni 2001).
Uji toksisitas dengan menggunakan kultur Artemia (Michael et al. 1956
yang diacu oleh Carballo et al. 2002). Teknik ini didasarkan pada kemampuan
bahan untuk membunuh kultur Artemia yang telah dibiakkan dalam air laut
dengan kadar salinitas tertentu (Carballo et al. 2002).
Tingkat toksisitas ditentukan dengan nilai LC50 menunjukkan konsentrasi
dari bahan kimia di lingkungan (air atau udara) yang mampu membunuh 50%
dari binatang uji pada suatu waktu tertentu (CCOHS 1999). Nilai LC50 yang
diperoleh menunjukkan kategori toksisitas dari suatu bahan.
Kamrin (1997) membagi bahan toksik yang menyebabkan 50% kematian
organisme uji dalam beberapa grup yaitu: (1) Toksisitas sangat tinggi, jika bahan
tersebut mematikan organisme uji pada konsentrasi <100 µ/l; (2) toksisitas tinggi,
jika konsentrasi yang mematikan adalah 100 µ/l hingga 1.000 µ/l; (3) toksisitas
sedang jika 1.000 µ/l hingga 10.000 µ/l; (4) toksisitas rendah jika 10.000 µ/l
hingga 100.000 µ/l; (5) tidak toksik jika >100.000 µ/l.
3. METODOLOGI
3.1. Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan adalah beberapa ikan laut dalam yaitu:
Dietmoides pauciradiatus dengan berat 190 gram dan panjang 24 cm, Ophidiidae
dengan berat 60 gram dan panjang 24 cm, Benthodesmus tenuis dengan berat 60
gram dan panjang 40 cm, Ostracoberyx dorygenis dengan berat 50 gram dan
panjang 13 cm, Beryx splendens dengan berat 110 gram dan panjang 14 cm,
Gadomus colleti dengan berat 70 gram dan panjang 29,5 cm, Hoplosthethus
crassipinus dengan berat 210 gram dan panjang 23,5 cm, Myctophidae dengan
berat 25 gram dan panjang 14,8 cm, Hoplothethus sp dengan berat 1090 gram dan
panjang 34,5 cm, Hyteroglypne japonica dengan berat 20 gram dan panjang
15 cm yang diperoleh dari perairan di Barat Sumatera, Samudera Hindia. Bakteri
Escherichia coli dan Staphylococcus aureus digunakan sebagai bakteri uji untuk
bahan antimikroba dan Artemia salina sebagai organisme uji untuk bahan
toksisitas.
Sedangkan bahan pembantu yang digunakan pada penelitian ini adalah
bahan kimia untuk pelarut uji yaitu aseton, metanol, etil asetat, kloroform dan
medium pertumbuhan bakteri (lauria broth dan lauria agar), tablet kjelteb,
larutan H2SO4, CH3COOH, NaOH, H3BO4, HCL, Buffer Kalium Karbonat,
indikator metil merah, pelarut lemak heksana, es, dan kapas bebas lemak.
Alat-alat yang digunakan adalah erlenmeyer 250 ml, labu destruksi,
inkubator shaker, destruktor, destilator, titrameter, gelas piala, labu lemak, oven,
desikator, selongsong soxhlet, tanur listrik, timbangan analitik, spektrofotometer,
blender, kain kasa, kertas saring, erlenmeyer, sudip, corong pemisah, paper disc,
petri dish, freezer, waterbath, sentrifuse, clean banch, autoclave, rotary vacum,
tabung reaksi, labu evaporator, sintered glass, Infrared spektrofotometer,
membran filter 0,045 µm dan HPLC.
3.2. Prosedur Penelitian
3.2.1. Penelitian tahap pertama
Untuk menentukan kandungan
gizi dari beberapa ikan laut dalam,
pada tahap ini dilakukan pengujian beberapa ikan laut dalam dengan
menggunakan uji proksimat dan analisis asam amino.
3.2.1.1. Uji proksimat
Analisa yang dilakukan meliputi kadar protein, lemak, air dan abu.
a. Kadar Air (Apriyantono dkk 1989)
Cawan porselin dikeringkan pada suhu 102-105oC selama kurang lebih 1012 jam. Kemudian cawan diletakkan dalam desikator (± 30 menit), ditimbang (A
gram). Lalu cawan ditimbang dengan contoh yang sudah dihomogenkan (B gram),
dengan kertas sampel contoh sebanyak 5 gram. Setelah itu dikeringkan dalam
oven pada suhu 102-105oC selama kurang lebih 3-5 jam. Cawan diletakkan ke
dalam desikator dan ditimbang ( C gram).
% KadarAir =
Perhitungan:
B−C
× 100 %
B−A
Keterangan: A = Cawan porselin (gr)
B = Cawan berisi sampel (gr)
C = Cawan berisi sampel kering (gr)
b. Kadar Abu (Apriyantono dkk 1989)
Cawan porselin dipijarkan sampai merah dalam tungku pengabuan
bersuhu sekitar 650oC selama 1 jam. Setelah suhu tungku turun menjadi sekitar
200oC, cawan didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (A
gram). Lalu cawan berisi sampel sebesar 5 gram ditimbang (B gram) dan
dimasukkan ke dalam tungku pengabuan dan diatur suhu secara bertahap hingga
suhu 650oC dilakukan pengabuan hingga abu berwarna putih. Setelah tungku
pengabuan turun menjadi sekitar 200oC. Cawan didinginkan selama 30 menit dan
ditimbang beratnya (C gram).
Perhitungan:
% Abu =
Keterangan:
C−A
× 100%
B−A
A = Cawan porselin (gram) C = Cawan berisi abu (gram)
B = Cawan porselin berisi sampel (gram)
c. Kadar Protein (Apriyantono dkk 1989)
a). Destruksi
Sampel ditimbang sebanyak 0,3 gram dan dimasukkan ke dalam tabung
Kjelteb. Dimasukkan satu buah tablet Kjelteb ke dalam tabung tersebut, tablet
Kjelteb disini berfungsi sebagai katalisator. Adapun reaksi yang terjadi:
Komponen Nitrogen Organik
H2SO4
CO2 + H2O + (NH4)2SO4
Katalis
(Kjeltab)
Bahan katalis yang sering digunakan antara lain merkuri (Hg), Ag atau
Selenium (Se). Tablet Kjeltab tersebut terdiri dari campuran unsur K2SO4 dan Se.
Kemudian dilakukan destruksi hingga warna larutan berubah menjadi bening.
b). Destilasi
Labu hasil destruksi didinginkan dan dimasukkan ke dalam labu
penyuling, kemudian diencerkan dengan 200 ml air yang tidak mengandung
nitrogen dan ditambahkan beberapa butir batu didih serta 100 ml NaOH agar
larutan menjadi basa. Labu penyuling dipasang dengan cepat diatas alat
penyuling. Proses ini berlangsung sampai semua nitrogen tertangkap oleh H2SO4
yang ada di dalam Erlenmeyer atau bila 2/3 bagian dari cairan dalam labu telah
menguap.
c). Titrasi
HCl dimasukkan ke dalam buret, lalu dilakukan titrasi hingga warna
larutan pada erlenmeyer berubah menjadi merah muda, kemudian dicatat volume
HCl yang digunakan:
%N =
14,01 × ( A − B) × C
D
% Protein = % Nitrogen x faktor konversi (6,25)
Keterangan: A = ml titrasi
B = ml titrasi blanko
C = Molaritas asam standar
D = mg sampel
d. Kadar Lemak (Apriyantono dkk 1989)
Sampel atau contoh yang sudah disampelkan ditimbang sebanyak 3 gram
(W1), lalu dibungkus dengan kertas saring dengan bagian atas dan bawah diberi
kapas bebas lemak lalu disiapkan labu lemak yang sudah diketahui beratnya (W2)
dan disambung dengan tabung Soxhlet. Selongsong dimasukkan ekstraktor tabung
Soxhlet, lalu disiram dengan pelarut lemak (Petroleum benzene). Setelah itu
dilakukan ekstraksi selama 16 jam pada suhu sekitar 40oC. Setelah ekstraksi
selesai, dikeluarkan selongsong yang berisi sampel. Pelarut lemak yang ada dalam
labu lemak didestilasi sehingga semua pelarut lemak menguap, kemudian labu
lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 3-5 jam.
Labu lemak yang sudah didinginkan ditimbang dalam desikator sampai
berat konstan (W3).
% Lemak =
W 3 −W 2
× 100%
W1
Keterangan : W1 = Sampel (gr)
W2 = Labu lemak (gr)
W3 = Labu lemak berisi ekstrak (gr)
e. Kadar Karbohidrat (Winarno 1992)
Kadar karbohidrat diperoleh dengan menghitung selisih dari empat
komponen yaitu kadar air, protein, lemak dan abu. Perhitungannya
sebagai
berikut:
% Karbohidrat =
100% - (% air + % lemak + % protein + % Abu)
3.2.1.2. Uji asam amino (Nur et al. 1992)
Ikan laut dalam dianalisis lebih lanjut dengan metode High Performance
Liquid Cromatography (HPLC). Sebelum dianalisis, sampel dihidrolisis dengan
asam yaitu dengan cara 10 gram sampel ditimbang dalam tabung reaksi bertutup
lalu ditambahkan 1,5 ml HCL 6N. Sampel diendapkan dalam larutan
HCl,
kemudian dialiri gas N2 yang berfungsi untuk mencegah oksidasi. Tabung lalu
dimasukkan ke oven dan dipanaskan dengan suhu 1050C selama 24 jam.
Hasil hidrolisis dipindahkan kedalam labu evaporator dan disaring dengan
Sintered Glass sambil dibilas dengan air High Pure (HP) secukupnya. Hasil
penyaringan dikeringkan dengan pompa vakum selama 10 menit, lalu
ditambahkan 10 ml HCl 0,01 N ke dalam sampel dan disaring kembali dengan
membran filter berukuran 0,045 µm.
Sekitar 12,5 µm sampel diinjeksikan ke dalam tabung vial dan
ditambahkan 12,5 µl buffer kalium borat pH 10,4 (perbandingan 1:1), lalu
dicampur hingga homogen. Campuran tersebut diambil lima mikroliter dan
dimasukkan ke tabung vial yang lain, lalu ditambahkan 25 µl pereaksi OPA,
biarkan selama satu menit agar proses derivatisasi sempurna. Sekitar lima
mikroliter sampel diinjeksikan ke dalam kolom
HPLC dan ditunggu sampai
pemisahan semua asam amino selasai. Waktu yang diperlukan sekitar 25 menit.
Pengerjaan pada tahap penambahan pereaksi OPA sampai pemisahan asam amino
selesai dilakukan secara otomatis. Persentasi asam amino dalam 100 gram ikan
laut dalam dapat dihitung dengan rumus:
luas area contoh
% asam amino =
luas area standar
x konsentrasi standar x 10 ml x BMA x 100
bobot sampel
Ket: BMA = berat molekul asam amino
3.2.2. Penelitian tahap kedua
Untuk mendapatkan informasi mengenai kandungan hormon steroid dan
farmasi dari ikan laut dalam, dilakukan uji hormon steroid, uji antimikroba dan uji
toksisitas.
3.2.2.1. Uji hormon steroid
1) Ekstraksi steroid (Touchstone dan Kasparow 1970 yang diacu oleh Riris
1994).
Sebanyak 20 gram ikan laut dalam yang telah dihomogenkan dengan
blender, ditambahkan 45 ml aseton dingin, kemudian disimpan selama 24 jam
dalam kamar dingin bersuhu 40C, selanjutnya disentrifus pada 5000 rpm selama
10 menit. Endapan yang diperoleh dipisahkan dari fase cairnya. Fase cairnya
kemudian diuapkan dalam penangas air pada suhu 400C. Residu yang diperoleh
dipartisi atau diekstraksi 2 kali dalam larutan etil asetat, kloroform dan air (1:1:1)
dengan menggunakan corong pisah sehingga terbentuk dua lapisan. Larutan
pengekstrak (lapisan bawah, kloroform dan lapisan atas, etil asetat) diuapkan
dalam penangas air pada suhu 400C sampai kering. Ekstrak ini yang kemudian
digunakan untuk identifikasi steroid. Proses ekstraksi steroid disajikan pada
Gambar 3.
2) Identifikasi steroid
Identifikasi steroid dilakukan dengan uji Liebermann Burchad dan uji
Infrared.
a. Uji Liebermann Burchad (Cook 1958 yang diacu oleh Riris 1994).
Uji ini dilakukan dengan cara penambahan beberapa tetes asam asetat
anhidrat dan 0,5 ml kloroform pada sedikit ekstrak ikan laut dalam, lalu diaduk.
Selanjutnya ditambahkan satu tetes asam sulfat pekat. Timbulnya warna hijau
menunjukkan bahwa ekstrak tersebut memberikan hasil yang positif atas
keberadaan golongan sterol.
b. Uji Infra Merah (Florey 1975 yang diacu oleh Prijanto 1984).
Metode spektrofotometri infra merah dilakukan sebagai pelengkap data
dan sebagai metode perbandingan. Hormon steroid diukur serapan infra merahnya
dalam serbuk kalium bromida kering yang dicetak menjadi tablet tipis dan tembus
cahaya.
Tiap gugus fungsi akan memberikan serapan masing-masing yang
berbeda nyata.
20 gr Sampel
(daging dan
kulit ikan)
Penghancuran
Penghomogenan
Ektraksi 24 jam
(Maserasi dengan Aseton)
Sentrifusi
Penyaringan
filtrat
residu
Evaporasi
Ekstrak
Kasar I
Lapisan
Lapisan
kloroform
etil asetat dan aquades
Evaporasi
Evaporasi
Ekstrak kasar
II
Gambar 3.
Partisi
(Pencampuran dengan pelarut
kloroform, etil asetat, aquades)
Ekstrak kasar
III
Diagram alir proses ekstraksi steroid ikan laut dalam
(Touchstone dan Kasparow 1970 yang diacu oleh Riris
1994).
3.2.2.2. Uji antibakteri
1) Ekstraksi senyawa antibakteri ikan laut dalam (Quinn 1988 yang diacu
oleh Darusman dkk 1995)
Untuk mengisolasi komponen antibakteri dari ikan laut dalam, perlu
dilakukan ekstraksi. Sebelum proses dimulai, ikan laut dalam yang baru dipanen
dibersihkan dengan air tawar, disortir dari kotoran, kemudian dipisahkan antara isi
perut dengan daging dan kulit.
Daging dari ikan laut dalam dipotong kecil-kecil dengan pisau, kemudian
dihancurkan dengan mortar dan ditimbang.
Masing-masing bahan dicampur dengan pelarut pertama yaitu kloroform
dan dilakukan maserasi pertama selama 24 jam untuk memastikan senyawa
antibakteri yang terkandung dalam ikan keluar dan terlarut dalam pelarut. Selama
ekstraksi, bagian atas wadah ditutup dengan kertas aluminium foil untuk
mencegah kemungkinan menguapnya kandungan senyawa volatil dalam bahan.
Ekstrak disaring dengan kertas saring whatman 42. Penyaringan ini dimaksudkan
untuk memperoleh filtrat pertama yang terbebas dari ampas dan kotoran. Ampas
pertama dimaserasi lagi dengan etil asetat, disaring, dan diperoleh filtrat kedua.
Selanjutnya ampas kedua dimaserasi lagi dengan metanol selama 24 jam dan
disaring sampai didapat filtrat ketiga.
Selanjutnya filtrat 1,2 dan 3 disentrifusi selama 15 menit dengan
kecepatan 5000 rpm. Endapan yang terbentuk dipisahkan dari supernatan dan
dibuang. Filtrat yang dihasilkan kemudian dievaporasi dengan rotary vacum pada
suhu 370C. Pemekatan dengan cara evaporasi ini diharapkan dapat menguapkan
semua pelarut yang terikat dengan bahan. Kemudian filtrat yang telah pekat
tersebut dibentuk padatan. Hasil yang diperoleh dari proses ekstraksi di atas
disebut ekstrak kasar. Diagram alir proses ekstraksi zat antibakteri ikan laut dalam
dapat dilihat pada Gambar 4.
Daging dan kulit ikan
Penghancuran
Penimbangan
Ektraksi 24 jam
(Maserasi dengan kloroform)
Penyaringan
Filtrat
Residu
Evaporasi
Ektraksi 24 jam
(Maserasi dengan etil asetat)
Ekstrak I
Penyaringan
Filtrat
Evaporasi
Residu
Ektraksi 24 jam
(Maserasi dengan metanol)
Ekstrak II
Penyaringan
Ampas
Filtrat
Evaporasi
Ekstrak III
Gambar 4. Diagram alir proses ekstraksi senyawa bioaktif ikan laut dalam
(Quinn 1988 yang diacu oleh Darusman et al. 1995)
2) Uji zat antibakteri dari ikan laut dalam (Sherley 1998).
Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap pengujian aktivitas zat
antibakteri adalah sebagai berikut :
a. Persiapan bakteri uji
Biakan masing-masing bakteri uji diremajakan dalam media cair (lauria
broth). Komposisi lauria broth (tripton 1 gram, yeast extract 0,5 gram dan NaCl
1,5 gram) dilarutkan dalam 100 ml akuades dengan pH 7,0. Media tersebut
dihomogenkan dengan menggunakan hotplate pada suhu 100oC sampai mendidih
dan dipipet 10 ml ke dalam tabung reaksi yang kemudian ditutup dengan
menggunakan kapas dan kasa steril. Media tersebut kemudian disterilisasi pada
121oC selama 15 menit dalam keadaan terbungkus plastik. Media didinginkan
pada suhu ruang.
Dengan menggunakan jarum ose, biakan diambil satu ose
secara aseptik dimasukkan ke dalam media cair, di shaker pada suhu 37 oC dengan
kecepatan agitasi 90 rpm Setelah mencapai fase log (berdasarkan penelitian tahap
pengkulturan bakteri uji), masing-masing bakteri uji siap dipakai.
b. Persiapan ekstrak ikan laut dalam
Masing-masing ekstrak dari bagian daging dan kulit dilarutkan dalam
pelarut uji yaitu metanol, etil asetat, dan kloroform dengan konsentrasi masingmasing 50 ppm dan 700 ppm. Untuk kontrol positif digunakan kloramfenikol
dengan konsentrasi 4 ppm dan untuk kontrol negatif digunakan masing-masing
pelarut uji. Kemudian dengan menggunakan pipet mikro ekstrak yang telah
dicampur dengan pelarut diteteskan sebanyak 20µl pada
paper disc yang
berdiameter 6 mm.
c. Pengujian aktivitas ekstrak ikan laut dalam (Bauer et al. 1966 yang diacu
oleh Jamal et al. 2003)
Pengujian aktifitas antibakteri dilakukan dengan metode difusi agar.
Suspensi masing-masing bakteri uji diambil sebanyak 20µl dengan OD550
nm
berkisar antara 0,683-0,697 dan dilarutkan ke media Lauria agar. Lauria agar
(Tripton 1 gram, yeast extract 0,5 gram, NaCl 1,5 gram dan agar 1,8 gram)
dilarutkan dalam 100 ml akuades dengan pH 7,0. Media tersebut dihomogenkan
dengan menggunakan hotplate pada suhu 100oC sampai mendidih dan dipipet 15
ml ke dalam tabung reaksi sebanyak enam buah. Tabung reaksi ditutup dengan
menggunakan kapas dan kasa steril. Kasa steril digunakan untuk mengikat kapas
agar tetap menyatu. Media tersebut kemudian disterilisasi pada 121oC selama 15
menit dalam keadaan terbungkus plastik. Media didinginkan pada suhu ruang.
Kemudian ke dalam tiga tabung reaksi berisi media dimasukan bakteri E. coli dan
tiga tabung reaksi lainnya bakteri S.aureus masing-masing sebanyak 20µl.
Setelah itu masing-masing tabung dihomogenkan dengan vortex kemudian
dituangkan ke dalam cawan petri, digoyang secara perlahan hingga merata.
Selanjutnya agar disimpan dalam refrigerator dengan posisi terbalik dalam
beberapa saat untuk menunggu pembuatan ekstrak dalam paper disc. Kemudian
di atas media agar diletakkan paper disc yang telah berisi ekstrak.
Agar diinkubasikan selama 12-18 jam pada temperatur 370C pada posisi
terbalik. Setelah inkubasi aktivitas antibakteri dapat diamati, diameter daerah
penghambatan yang terbentuk pada cawan petri diukur dengan cara mengukur
diameter hambatan yang terbentuk di sekeliling paper disc dikurangi diameter
paper disc, yaitu 6 mm.
3.2.2.3. Uji toksisitas dengan artemia salina leach (Michael et al. 1956 yang
diacu oleh Carballo et al. 2002).
Metode ini terdiri atas dua tahap, yaitu proses penetasan Artemia yang
masih dalam bentuk kista dan uji toksisitas.
1) Penetasan artemia
Artemia yang digunakan masih dalam bentuk telur istirahat yang disebut
kista sehingga diperlukan proses penetasan terhadap kista Artemia tersebut.
Sebanyak 0,625 gram kista kering dikultur dalam wadah yang berisi air laut
sebanyak 250 ml, salinitas 30 ppt dengan pH air laut 7,5. kultur Artemia tersebut
kemudian diaerasi dan diberi pencahayaan yang cukup dan dikultur selama 24
jam.
2) Uji toksisitas
Artemia yang telah berumur 24 jam diambil sebanyak 15 ekor dengan
pipet tetes, kemudian dimasukkan ke dalam wadah-wadah yang berisi campuran
air laut (salinitas 30 ppt) dan ekstrak ikan laut dalam sebanyak 20 ml dengan
konsentrasi 5µg/ml, 25 µg/ml, 50 µg/ml. Pada wadah lain dimasukkan air laut
salinitas 30 ppt dan Artemia sebanyak 15 ekor sebagai kontrol. Sampel-sampel
tersebut selanjutnya diberi pencahayaan yang cukup. Pengamatan dilakukan
setelah 24 jam dengan cara menghitung jumlah Artemia yang mati. Tingkat
toksisitas ditentukan berdasarkan nilai LC50.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Penelitian Tahap Pertama
4.1.1. Uji proksimat
Analisis proksimat yang dilakukan terhadap ikan laut dalam bertujuan
untuk mengetahui komposisi gizi dari ikan laut dalam tersebut dan untuk
mengetahui ikan laut dalam yang mempunyai kandungan gizi terbaik.
Hasil
analisis proksimat dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil analisis proksimat pada ikan laut dalam (%)
No
Jenis Ikan
Hasil Analisis
Air
Abu
Lemak
Protein
karbohidrat
1 Dietmoides pauciradiatus
70,4
1,9
2,9
23,1
1,7
2 Benthodesmus tenuis
70,9
2,0
2,6
24,5
0
3 Beryx splendens
72,0
1,9
2,1
23,0
1
4 Hoplosthethus crassipinus
70,4
2,1
4,1
23,4
0
5 Hoplothethus sp
70,1
2,4
2,7
24,8
0
6 Ophidiidae
71,2
2,1
2,9
23,2
0
7 Ostracoberyu dorygenis
70,6
2,2
3,6
23,6
0
8 Godamus colleti
71,9
1,7
2,1
23,1
1,2
9 Myctophidae
72,1
2,1
1,9
23,4
0,5
10 Hyteroglypne japonica
72,1
2,2
2,4
23,3
0
Tabel 3 menunjukkan adanya perbedaan kandungan gizi untuk masingmasing ikan laut dalam. Perbedaan kandungan gizi ikan laut dalam dapat terjadi
karena ikan-ikan yang diuji adalah ikan yang berbeda spesies, berbeda pola
makan, jenis kelamin dan umur (Zaitsev et al. 1969). Hasil analisis proksimat
disajikan dalam Gambar 5-8.
Persentase Kadar Protein Ikan Laut Dalam
Keterangan :
25
Kadar
Protein (%)
A1 : Dietmoides pauciradiatus
20
A2 : Benthodesmus tenuis
15
A4 : Hoplosthethus crassipinus
A3 : Beryx splendens
A5 : Hoplothethus sp
10
A6 : Ophidiidae
5
0
A7 : Ostracoberyu dorygenis
A9 : Godamus colleti
A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A9 A10 A11
Jenis
IkanDalam
Laut Dalam
Ikan
Laut
A10 : Myctophidae sp
A11 : Hyteroglypne japonica
Gambar 5. Histogram persentase protein dalam ikan laut dalam
Ikan mengandung protein yang berkualitas tinggi. Protein ikan tersusun
dari asam-asam amino yang dibutuhkan tubuh untuk pertumbuhan. Selain itu
protein ikan amat mudah dicerna dan diabsorpsi. Daging ikan mempunyai seratserat protein lebih pendek daripada serat-serat protein daging sapi atau ayam.
Protein sebagai unit pembangun tubuh memberikan arti yang sangat
penting dalam metabolisme yang terjadi di dalam tubuh. Pengujian terhadap
protein ikan laut dalam dilakukan atas dasar ikan mengandung protein lebih
banyak dibandingkan dengan unsur–unsur makro lain yang terdapat pada ikan,
atau dengan kata lain kaya akan protein.
Pada Gambar 5 terlihat bahwa kandungan protein ikan laut dalam ratarata berada diatas kisaran 20%. Ikan Hoplosthethus sp memiliki kandungan
protein sebesar 24,8%, merupakan protein yang paling tinggi diantara ikan-ikan
laut dalam lain yang diteliti. Perbedaan protein diantara ikan laut dalam tidak
menunjukkan perbedaan yang berarti karena berada pada kisaran 23-24,8%.
Kandungan gizi ikan laut dalam kemudian dibandingkan dengan
kandungan gizi ikan air tawar dan ikan pelagis, yaitu ikan Mas dan ikan
Kembung. Komposisi kandungan gizi dari ikan Mas dan ikan Kembung disajikan
pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan zat gizi pada ikan mas dan kembung
Kandungan Zat Gizi pada Ikan Mas dan Kembung
ZAT GIZI
(per 100 gram ikan)
Konsentrasi pada Jenis Ikan
Mas
Kembung
Air (%)
80,0
76,0
Protein (%)
16,0
22,0
Lemak (%)
2,0
1,0
Abu (%)
2,2
1,7
Sumber: (Simorangkir 1984)
Tabel 4 menunjukkan kandungan zat gizi pada ikan air tawar dan ikan
pelagis. Ikan Mas memiliki kadar protein 16%, ikan Kembung 22%, sedangkan
ikan laut dalam memiliki kandungan protein rata-rata berkisar antara 23-24,8%.
Protein tinggi yang dimiliki ikan-ikan pada umumnya dikarenakan protein dalam
tubuh ikan berfungsi sebagai komponen struktural dan sebagai sumber energi.
Kandungan protein tergantung komposisi asam amino dan habitat dimana ikan
berasal. Ikan Mas dan ikan Kembung memiliki kandungan protein yang lebih
rendah dari ikan-ikan laut dalam yang diteliti, hal ini dikarenakan mineral mikro
(trace element) yang berasal dari laut terdapat di dalam protein yang terkandung
dalam daging dan jeroan ikan (Kuhnau 1962 yang diacu dalam Suyani 2002).
Pada Gambar 5 terlihat bahwa kandungan protein ikan laut dalam rata-rata
berada diatas kisaran 20% yaitu kisaran 23-24%. Ikan Hoplotethus sp. memiliki
kandungan protein sebesar 24,8%, merupakan protein yang paling tinggi diantara
protein ikan laut dalam yang lain. Perbedaan konsentrasi protein ikan-ikan laut
dalam yang diteliti karena merupakan ikan yang berbeda spesies dan tingkat
kedalaman hidup di laut. Ikan Hoplotethus sp. merupakan ikan yang hidup pada
kedalaman 366-914 m. Menurut Wheleer (1975) ikan Hoplotethus sp. sering
ditemukan pada daerah dekat pantai. Hal ini mengindikasikan kebiasaan makan
ikan ini adalah karnivora, karena ikan yang bermigrasi keatas untuk mencari
makan merupakan ikan-ikan pemangsa (Karleskint 1998). Tidak hanya ikan
Hoplotethus sp yang biasa ditemukan di daerah dangkal dekat pantai atau di
permukaan air, ikan-ikan laut dalam lainnya yang diteliti ternyata sering
ditemukan pada wilayah tersebut. Walaupun memiliki habitat di kedalaman antara
200-1000 m, akan tetapi ikan-ikan laut dalam yang diteliti melakukan migrasi
vertikal keatas (Wheleer 1975).
Persentase Kadar Lemak Ikan laut Dalam
Keterangan :
5
A1 : Dietmoides pauciradiatus
4
kadar
lemak (%)
A2 : Benthodesmus tenuis
A3 : Beryx splendens
3
A4 : Hoplosthethus crassipinus
2
A5 : Hoplothethus sp
1
A6 : Ophidiidae
0
A7 : Ostracoberyu dorygenis
A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A9A10A11
Jenis Ikan
Laut
Dalam
Ikan
Laut
Dalam
A9 : Godamus colleti
A10 : Myctophidae sp
A11 : Hyteroglypne japonica
Gambar 6. Histogram persentase kadar lemak ikan laut dalam
Kadar lemak ikan laut dalam rata-rata diatas kadar lemak ikan pelagis
maupun ikan air tawar. Pada Gambar 6 terlihat kadar lemak ikan Mas sebesar 2%,
dan ikan Kembung sebesar 1%, sedangkan ikan laut dalam berkisar antara
1,9-4,1%. Kadar lemak ikan laut dalam maupun kadar lemak ikan Mas dan ikan
Kembung masih dalam batas kadar lemak rendah (Stansby Olcott 1963).
Kondisi laut dalam yang memiliki suhu ekstrim dibawah 10oC, yaitu
sekitar 3-5oC, mengakibatkan ikan-ikan laut dalam menyesuaikan suhu tubuh
dengan lingkungannya (Karleskint 1998). Dengan demikian ikan-ikan laut dalam
memiliki suhu tubuh yang rendah. Suhu tubuh yang rendah ditunjang dengan
lambatnya proses metabolisme mengakibatkan timbunan lemak yang ada pada
ikan laut dalam akan lama terdegradasi, ini yang menyebabkan ikan laut dalam
memiliki kadar lemak yang sedikit diatas kadar lemak ikan pelagis maupun ikan
air tawar lainnya.
Persentase Kadar Air Ikan Laut Dalam
kadar
air (%)
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Keterangan :
A1 : Dietmoides pauciradiatus
A2 : Benthodesmus tenuis
A3 : Beryx splendens
A4 : Hoplosthethus crassipinus
A5 : Hoplothethus sp
A6 : Ophidiidae
A7 : Ostracoberyu dorygenis
A9 : Godamus colleti
A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A9A10A11
Jenis
IkanIkan
laut Laut
dalamDalam
A10 : Myctophidae sp
A11 : Hyteroglypne japonica
Gambar 7. Histogram persentase kadar air ikan laut dalam
Salinitas adalah keadaan dari konsentrasi terlarutnya garam anorganik
dalam air laut, konsentrasi ini biasanya 3% dari berat air laut. Garam-garam
anorganik yang terdapat dalam air laut adalah kloride, sulfat, bikarbonat,
bromida,borat, flourida, sodium, magnesium, kalsium, potassium dan strontium.
Membran dari makhluk hidup hampir selalu permeabel terhadap air, tetapi tidak
selalu permeabel terhadap larutan.
Semua organisme harus menjaga
keseimbangan dari air dan larutan dalam tubuh mereka (menjaga homeostatis)
dengan tujuan untuk menjaga sel mereka tetap hidup. Ketika larutan tidak dapat
melintasi membran sel untuk mencapai keseimbangan dari kedua sisi, air secara
otomatis akan melintasi membran untuk mencapai keseimbangan. Perpindahan
dari air melintasi membran untuk merespon perbedaan konsentrasi larutan disebut
osmosis (Karleskint 1998).
Laut dalam memiliki salinitas tinggi, lebih dari 34,20/00. Kondisi perairan
yang tinggi kelarutan garam an organik dapat mengakibatkan terjadinya peristiwa
hipotonik air pada ikan, yaitu keluarnya air dari dalam tubuh ikan menuju larutan
garam. Untuk menjaga agar kondisi tubuh tetap isotonik, organisme laut dalam
beradaptasi dengan melakukan osmoregulasi dengan meminum air laut sebanyakbanyaknya dan sedikit mengeluarkan urin, sehingga air laut diserap oleh faring
dan insang untuk kemudian masuk ke dalam tubuh ikan sebagai air. Keadaan
seperti ini menyebabkan kadar air ikan laut dalam yaitu kisaran 70,1-72,1% lebih
sedikit dibandingkan ikan air tawar dengan ikan pelagis lainnya dengan kadar
80% dan 76%.
Persentase Kadar Abu Ikan Laut Dalam
Keterangan :
A1 : Dietmoides pauciradiatus
2,5
kadar
abu (%)
A2 : Benthodesmus tenuis
2
A3 : Beryx splendens
1,5
A5 : Hoplothethus sp
A4 : Hoplosthethus crassipinus
A6 : Ophidiidae
1
A7 : Ostracoberyu dorygenis
0,5
0
A9 : Godamus colleti
A10 : Myctophidae sp
A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A9 A10A11
A11 : Hyteroglypne japonica
Jenis
Dalam
IkanIkan
lautLaut
dalam
Gambar 8. Histogram persentase kadar abu ikan laut dalam
Selain mengandung air dan bahan organik, ikan sebagai bahan makanan
juga mengandung zat anorganik yang diukur sebagai abu. Dalam penentuan kadar
abu, bahan organik dalam makanan akan terbakar, sedangkan bahan anorganik
tidak. Sisa pembakaran tersebut yang biasa disebut abu, terdiri atas bahan mineral
seperti: fosfor, kalsium, khlor, magnesium, belerang, sulfida.
Air laut
mengandung kadar garam mineral terutama natrium, kalsium dan magnesium.
Abu hasil analisa tidak semuanya mineral murni, tetapi masih seringkali
tercampur
bahan anorganik lainnya, atau
beberapa hilang saat pembakaran.
Meski demikian kadar abu dapat menjadi indikator banyaknya mineral yang
terkandung dalam bahan pangan (Winarno 1992).
Kadar abu ikan laut dalam dengan kisaran 1,7-2,4% tidak jauh berbeda
dengan kadar abu ikan Mas yaitu 2,2% dan ikan Kembung dengan kisaran 1,7%.
4.1.2. Uji asam amino
Kualitas protein dapat ditentukan dengan melihat kandungan asam amino
penyusunnya. Tidak semua protein mempunyai nilai gizi yang sama karena
perbedaan jumlah dan jenis asam amino yang terkandung dalam tiap protein.
Apabila suatu protein mengandung semua asam amino yang penting dalam jumlah
yang diperlukan tubuh, maka protein ini disebut protein “lengkap” dan bila
mengalami kekurangan salah satu saja asam amino esensialnya maka ia
digolongkan dalam protein yang “tidak lengkap” (Harper et al. 1988). Hasil uji
asam amino dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil analisis asam amino pada ikan laut dalam (%)
No Hasil Analisis
Kode Sampel
A1
A2
A3
A4
A5
A6
A7
A9
A10
A11
1 Asam Aspartat 0,308 0,526 0,348 0,308 0,449 0,467 0,501 0,320 0,289 0,649
2 Asam Glutamat 0,530 0,650 0,692 0,530 0,678 0,795 0,745 0,662 0,515 0,815
3 Serin
0,184 0,208 0,220 0,184 0,339 0,310 0,316 0,284 0,232 0,416
4 Glisin
0,130 0,108 0,150 0,130 0,121 0,171 0,166 0,168 0,156 0,309
5 Histidin
0,146 0,170 0,232 0,146 0,126 0,158 0,158 0,160 0,182 0,284
6 Arginin
0,532 0,470 0,572 0,532 0,461 0,647 0,495 0,508 0,525 0,780
7 Threonin
0,360 0,254 0,328 0,360 0,273 0,247 0,304 0,336 0,241 0,503
8 Alanin
0,380 0,456 0,534 0,380 0,376 0,339 0,355 0,462 0,359 0,512
9 Prolin
0,604 0,408 0,500 0,604 0,506 0,478 0,415 0,574 0,431 0,579
10 Tirosin
0,270 0,384 0,680 0,270 0,550 0,495 0,471 0,518 0,568 0,474
11 Valin
0,420 0,388 0,414 0,420 0,261 0,603 0,363 0,412 0,570 0,534
12 Methionin
0,172 0,212 0,194 0,172 0,175 0,191 0,288 0,186 0,302 0,298
13 Sistein
0,250 0,194 0,238 0,250 0,213 0,494 0,249 0,244 0,152 0,192
14 Isoleusin
0,278 0,220 0,278 0,278 0,245 0,201 0,431 0,300 0,235 0,776
15 Leusin
0,680 0,960 1,068 0,680 1,036 1,174 0,856 0,970 0,812 1,109
16 Fenilalanin
0,260 0,968 0,924 0,260 0,730 0,630 0,437 1,032 0,613 0,899
17 Lisin
0,230 0,360 0,248 0,230 0,161 0,250 0,125 0,236 0,217 0,449
Keterangan :
A1 : Dietmoides pauciradiatus
A2 : Benthodesmus tenuis
A3 : Beryx splendens
A4 : Hoplosthethus crassipinus
A5 : Hoplothethus sp
A6 : Ophidiidae
A7 : Ostracoberyu dorygenis
A9 : Godamus colleti
A10 : Myctophidae sp
A11 : Hyteroglypne japonica
Ikan laut dalam memiliki 17 asam amino penting yang diperlukan tubuh.
Sembilan diantaranya adalah asam amino essensial (Arginin, Histidin, Isoleusin,
Leusin, Lisin, Metionin, Fenilalanin, Triptofan, Valin), dan delapan lainnya
adalah asam amino non essensial (Asam Glutamat, Asam Aspartat, Sistein,
Glutamin, Glisin, Prolin, Serin, Alanin).
Pada ikan Dietmoides pauciradiatus, asam amino yang memiliki kuantitas
yang tinggi adalah Leusin dan Prolin.
Ikan
Benthodesmus tenuis memiliki
kandungan asam amino tertinggi pada Leusin dan Phenilalanin. Ikan Beryx
splendens kandungan Leusin dan
Phenilalanin merupakan asam amino yang
tertinggi. Untuk ikan Hoplosthethus crassipinus kandungan asam amino tertinggi
terdapat pada Prolin dan Leusin. Sedangkan untuk ikan Hoplothethus sp
kandungan asam amino tertinggi terdapat pada Leusin dan Phenilalanin. Ikan
Ophidiidae memiliki kandungan Glutamat dan Leusin yang tinggi sama seperti
Ikan Ostracoberyu dorygenis. Ikan Gadomus colleti, ikan Myctophidae sp serta
ikan Hyteroglypne japonica memiliki kandungan asam amino Leusin dan
Phenilalanin yang tinggi.
Dari semua ikan laut dalam yang dianalis kandungan asam aminonya,
dapat diketahui bahwa Leusin mendominasi dari segi kuantitas untuk ikan yang
diuji. Leusin merupakan asam amino essensial, yang termasuk dalam golongan
ketogenik, yaitu dapat menghasilkan senyawa keton di dalam hati. Dengan
terbentuknya keton di dalam hati akan memberikan rasa yang manis pada daging
ikan. Asam amino lain yang juga termasuk golongan ini adalah lisin dan triptofan
(Lehninger 1994). Fungsi asam amino ini sebagai komponen biokimia penting
yang diperlukan tubuh, sebagian besar digunakan untuk produksi energi,
stimulans kepada otak bagian atas dan membantu tubuh untuk lebih siaga
(Anonim 2005).
Ostracoberyu dorygenis dan famili ophidiidae memiliki kandungan asam
glutamat yang dominan, begitu pula dengan ikan-ikan laut dalam lainnya
walaupun kandungan asam glutamat tidak mendominasi.
Kandungan asam
glutamat akan memberikan rasa yang mild (“ringan“) dan aroma yang harum
gurih, sama dengan ikan cod tetapi lebih manis, karena asam glutamat merupakan
asam amino yang dapat diubah menjadi glukosa dan glikogen oleh lintas
metabolisme yang disebut sebagai senyawa glukogenik (Lehninger 1994). Hal ini
sesuai dengan pernyataan bahwa seperti ikan putih lainnya , kingklip (Ophidiidae)
memiliki rasa yang mild, aromanya agak manis (Perkins 1992). Asam amino lain
yang juga merupakan golongan glukogenik adalah alanin, arginin, asparagin,
asam aspartat, sistein, glutamin, glisin, histidin, metionin, prolin, serin, treonin,
tripofan, valin.
Asam amino prolin tertinggi terdapat pada ikan Dietmoides
pauciradiatus dan ikan Hoplothethus crassipinus.
Asam amino yang merupakan gabungan dari golongan ketogenik dan
glukogenik adalah Fenilalanin dan Tirosin.
Asam amino Fenilalanin dengan
konsentrasi tertinggi terdapat pada ikan Benthodesmus tenuis, Beryx splendens,
Godamus colleti, Myctophidae sp, Hoplothethus sp, Hyteroglypne japonica
4.2. Penelitian Tahap Kedua
4.2.1. Hormon steroid
4.2.1.1. Ekstraksi senyawa hormon steroid
Metode yang digunakan untuk ekstraksi hormon steroid adalah metode
Touchstone dan Kasparow (1970) dalam Riris (1994). Pelarut yang digunakan
adalah aseton, kloroform, etil asetat dan air. Partisi dua kali dengan tiga pelarut
dilakukan untuk melarutkan
senyawa pada pelarut, serta memisahkan jenis
pelarut satu dengan pelarut lainnya.
Tahapan ekstraksi dari metode ini terdiri dari penghancuran sampel,
maserasi, sentrifuse, penyaringan, partisi dan evaporasi. Penghancuran bertujuan
memperkecil ukuran partikel sehingga meningkatkan kontak antara bahan dengan
pelarutnya. Semakin kecil ukuran partikel bahan maka semakin mudah kontak
dengan pelarut sehingga diharapkan semakin banyak senyawa bioaktif yang dapat
terekstrak.
Maserasi adalah proses perendaman sampel dengan pelarut sampel dengan
waktu tertentu sehingga senyawa dalam sampel larut dalam pelarut tersebut.
Maserasi dilakukan di ruang pendingin suhu 40C selama 24 jam.
Penyaringan bertujuan memisahkan sampel dengan senyawa bioaktif yang
larut dalam pelarut. Evaporasi dilakukan untuk menguapkan pelarut sehingga
ekstrak dapat terpisah dengan pelarutnya. Evaporasi dilakukan pada suhu 30-400C
untuk mengurangi peluang kerusakan senyawa aktif pada suhu tinggi.
Berat sampel yang digunakan dalam ekstraksi adalah 20 gram ikan laut
dalam yang dihancurkan menggunakan mortar. Volume pelarut yang digunakan
sebanyak 45 ml. Rendemen hasil ekstraksi ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Rendemen hasil ekstraksi senyawa steroid ikan laut dalam.
Rendemen hasil ekstraksi senyawa steroid ikan laut dalam
Ekstrak Pelarut Ekstrak
A1
A2
A3
A4
A5
A6
A7
A9
Berat awal
Volume
Berat
sampel (g) pelarut (ml) rendemen (g)
Rendemen
Kloroform
20
45
0,3520
1,76
Etil Asetat
20
45
0,2321
1,16
Kloroform
20
45
0,2282
1,14
Etil Asetat
20
45
0,0612
0,31
Kloroform
20
45
1,0844
5,42
Etil Asetat
20
45
0,0279
0,14
Kloroform
20
45
1,0877
5,44
Etil Asetat
20
45
3,5421
17,71
Kloroform
20
45
0,3616
1,81
Etil Asetat
20
45
0,0702
0,35
Kloroform
20
45
0,1783
0,89
Etil Asetat
20
45
0,4500
2,25
Kloroform
20
45
0,2460
1,23
Etil Asetat
20
45
1,4035
7,02
Kloroform
20
45
0,1637
0,82
20
45
0,1408
0,70
Etil Asetat
Keterangan :
A1 : Dietmoides pauciradiatus
A2 : Benthodesmus tenuis
A3 : Beryx splendens
A4 : Hoplosthethus crassipinus
A5 : Hoplothethus sp
Berat
Total
0,5841
0,2894
1,1123
4,6298
0,4318
0,6283
1,6495
0,3045
A6 : Ophidiidae
A7 : Ostracoberyu dorygenis
A9 : Godamus colleti
A10 : Myctophidae sp
A11 : Hyteroglypne japonica
Tabel 6 mengindikasikan bahwa ekstraksi menggunakan metode
Touchstone dan Kasparow (1970) yang diacu oleh Riris (1994) menghasilkan
jumlah ekstrak tertinggi 50% dari ekstraksi menggunakan pelarut kloroform
diikuti oleh etil asetat. Ekstrak ikan laut dalam 50% bersifat non polar, karena
kloroform merupakan pelarut non polar. Hasil proses ekstraksi dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu kondisi alamiah bahan alam, metode ekstraksi yang
digunakan, ukuran partikel sampel serta kondisi dan lama penyimpanan (Shahidi,
Naczk 1995).
4.2.1.2. Uji Liebermann Burchad
Hormon steroid adalah hormon yang mengandung
inti steroid.
Aphrosidiach adalah bahan atau ramuan yang dapat berfungsi meningkatkan
gairah bercinta (libido). Hormon steroid merupakan salah satu zat yang memiliki
fungsi sebagi aphrosidiach.
Uji Liebermann Burchard digunakan untuk menganalisa kolesterol,
dimana sampel dilarutkan dalam kloroform dan dicampur dengan asam sulfat
serta asam asetat glasial. Hasil yang positif ditunjukkan dengan adanya perubahan
dari merah ke violet, biru hingga hijau dalam beberapa menit. Tes ini tidak
spesifik untuk kolesterol saja, sterol lain seperti stigmasterol dan ergosterol akan
memberikan respon positif (Dence 1980). Hasil analisis hormon steroid pada
ekstrak ikan laut dalam disajikan pada tabel 7.
Tabel 7. Hasil analisis hormon steroid pada ikan laut dalam
NO
NAMA IKAN
Hasil Uji
Hasil Uji
(Dalam Pelarut
(Dalam Pelarut
Etil Asetat)
Kloroform)
1
Dietmoides pauciradiatus
(-)
(+)
2
Benthodesmus tenuis
(-)
(+)
3
Beryx splendens
(-)
(+)
4
Hoplosthethus crassipinus
(-)
(+)
5
Hoplothethus sp
(-)
(+)
6
Ophidiidae
(-)
(+)
7
Ostracoberyu dorygenis
(-)
(+)
8
Godamus colleti
(-)
(+)
Keterangan :
(+) : Terjadi perubahan reaksi menjadi warna hijau
(-) : Tidak terjadi perubahan reaksi
Hasil pada Tabel 7 menunjukkan bahwa ekstrak ikan laut dalam memiliki
kandungan kolesterol. Hal ini dapat terlihat pada uji Liebermann Burchad,
ekstrak kloroform memberikan hasil yang positif, yaitu berubahnya warna ekstrak
menjadi hijau. Ikan-ikan yang menunjukkan reaksi terlihat pada semua ikan
yaitu: Dietmoides pauciradiatus, Benthodesmus tenuis, Beryx splendens
Hoplosthethus crassipinus, Hoplothethus sp, Ophidiidae, Ostracoberyu dorygenis
dan Godamus colleti. Perubahan warna menjadi warna hijau menunjukkan
keberadaan kolesterol serta golongan sterol yaitu stigma sterol dan ergosterol.
Warna dalam komponen organik mengindikasikan keberadaaan dua atau lebih
karbon-karbon rantai ganda terkonjugasi (Dence 1980). Sedangkan ekstrak etil
asetat tidak menunjukkan perubahan warna. Keberadaan steroid pada ekstrak
kloroform ditunjukkan pada Gambar 9.
A1
A2
A3
A4
A5
A6
A7
A9
Gambar 9. Keberadaan hormon steroid pada pelarut kloroform
Keterangan :
A1 : Diretmoides pauciradiatus
A2 : Benthodesmus tenuis
A3 : Beryx splendens
A4 : Hoplosthethus crassipinus
A5
A6
A7
A9
: Hoplothethus sp
: Ophidiidae
: Ostracoberyu dorygenis
: Godamus colleti
Steroid merupakan padatan kristal berwarna putih.
Steroid dapat
berbentuk jarum kecil, lembaran, lempengan atau partikel amorf tergantung
pelarut yang digunakan dalam kristalisasi, dan keterampilan serta keberuntungan
ahli kimia. Karena steroid mempunyai 17 atom karbon atau lebih maka golongan
senyawa ini cenderung tidak larut dalam air (Wilson, Gilsvold 1982) sehingga
pelarut etil asetat yang dicampur dengan air memungkinkan tidak terekstraknya
senyawa steroid, karena semua senyawa steroid terlarut dalam pelarut kloroform.
Uji Liebermann Burchard merupakan uji yang
digunakan untuk
mengestimasi steroid semi kuantitatif, dan test ini tidak spesifik dalam
menentukan steroid, serta tidak dapat menentukan struktur kimia dari kolesterol
(Dence 1980). Oleh karena itu untuk mengidentifikasi steroid berdasarkan tipe
dari gugus fungsi maka dilanjutkan dengan uji infra merah.
4.2.2.2. Uji infra merah
Untuk mengidentifikasi steroid, uji infrared (IR) dan uji ultra violet (UV)
spektrometri merupakan uji yang paling berguna. Perbedaan antara IR dan UV
spektrometri ditunjukkan dari range panjang gelombang radiasi yang diberikan.
Pada spektrometer IR konvensional, panjang gelombang berjarak 2500-16.000
nm, sedangkan UV spektrometer jarak panjang gelombang biasanya berkisar 200400 nm. UV spektrum menunjukkan struktur elektronik dari molekul, dan IR
spektrum menunjukkan karakteristik vibrasi dari ikatan kimia dalam molekul.
Infrared spektrum menyediakan informasi mengenai tipe dari gugus fungsi
yang terdapat dalam steroid. Pelarut yang biasa dipergunakan dalam IR
spektrometri untuk penentuan steroid adalah kloroform, karbon tetraklorid, dan
karbon disulfid.
Spektrum ditunjukkan sebagai plot dari persen transmitan terhadap
panjang gelombang kemudian diartikan dalam unit dari cm-1. Arti dari cm-1
adalah panjang gelombang dalam cm persatuan unit.
Tipe-tipe gugus fungsi yang menunjukkan kekhasan sebagai gugus fungsi
yang ada di dalam steroid disajikan pada Gambar 10 dalam bentuk grafik.
`
Gambar 10. Grafik spektrum infra merah pada standar (Norethindrone
asetat)
Puncak-puncak yang dapat diterjemahkan sebagai gugus-gugus fungsi
steroid kemudian disajikan dalam bentuk tabel yang dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Ikatan-ikatan penting absorpsi infrared (IR) standar.
Grup
O-H
CON-H
a
N-H
Posisi (cm-1)
Keterangan
3200-3600
Posisi tergantung pada banyak faktor
2500-3200
Asam karbosilik, luas
3300-3500 (sol),
Dua ikatan untuk amida petama
3100-3300 (s)
Satu ikatan untuk amida kedua
3350+150
Dua ikatan untuk amine pertama, satu
ikatan untuk amine kedua
≡C-H
Dekat 3300
Intensitas medium
C-H
3000-3100
Olefin atau Aromatik
2850-2950
CH, CH2, atau CH3 jenuh
C≡C
2120
Pergantian tunggal alkin, lemah
-N=C=N-
2100-2150
Sangat kuat
-CH=N=N
2000-2130
Sangat kuat
C=O
1750,1800-1825
Asam Anhidril, dua ikatan
1735-1780
Kedua lakton γ dan lakton δ
1715-1740
Ester-ester,cincin lima keton, aldehid tidak
terkonjugasi
1700-1725
Sebuah Siklik tidak terkonjugasi, dan enam
cincin keton enam sisi.
1680-1725
Aldehid terkonjugasi, Asam karbosiklik
1660-1695
Sebuah siklik terkonjugasi, dan cincin keton
enam sisi
C=C
NO2
1630-1680
Amida
1620-1680
Terisolasi
1575-1630
Terkonjugasi
1490-1620
Aromatik, lebih dari satu ikatan
1540-1560
Dua ikatan, kuat
1350-1390
C-N
1260-1330
Amin aromatik utama
C-O
1260-1330
Asetat,
1210-1310
Arakil eter, dua ikatan
1010-1050
1180-1260
Fenol
dekat 1150
Alkohol ketiga
1085-1140
Eter alifatik
dekat 1050
Alkohol utama
1035-1065
Alkohol kedua siklik sama
970-1035
Alkohol kedua Siklik axial
Keterangan : sol (larutan), s = (solid) . Sumber : Dence 1980
Pada Tabel 8 puncak-puncak absorpsi infra merah yang mudah untuk
diamati adalah enam cincin keton terkonjugasi pada 1670 cm-1, asetilenik C-H
dekat 3000 cm-1, olefinik C-H dan C-H jenuh mendekati dan dibawah 3000 cm-1.
Dari Tabel 8 terlihat bahwa ikatan rangkap C• C muncul sebagai puncak
yang lemah dengan spektrum dekat 2100 cm-1, dan C=C vibrasi adalah puncak
dengan intensitas medium diatas 1600 cm-1. Kerancuan antara puncak Karbonil
dan puncak sikloheksan pada 1670 cm-1 biasanya tidak terjadi karena puncak
karbonil biasanya satu dari puncak-puncak yang terkuat dalam spektrum. Ikatan
kuat pada 1250 cm-1 respon kepada ikatan C-O dari hubungan pada cincin D.
(Dence 1980).
Ekstrak ikan-ikan laut dalam yang diteliti diuji menggunakan infrared
spektrofotometri. Hasil uji yang berbentuk grafik (pada Lampiran 16-23)
kemudian dibandingkan dengan grafik standar sehingga diperoleh beberapa
kesamaan gugus fungsi dari ekstrak ikan laut dalam dengan standar. Kesamaankesamaan gugus-gugus fungsi pada grafik ekstrak ikan-ikan laut dalam dan
standar disajikan dalam bentuk Tabel 9-16.
Tabel 9. Ikatan-ikatan penting absorpsi infrared (IR) ikan Diretmoides
pauciradiatus
Grup
O-H
Posisi (cm-1)
Keterangan
3200-3600
Posisi tergantung pada banyak faktor
2500-3200
Asam karbosilik, luas
3000-3100
Olefin atau Aromatik
2850-2950
CH, CH2, atau CH3 jenuh
C≡C
2120
Pergantian tunggal alkin, lemah
-CH=N=N
2000-2130
Sangat kuat
C=O
1715-1740
Ester-ester,cincin lima keton, aldehid tidak
C-H
terkonjugasi
C=C
C-O
1620-1680
Terisolasi
1575-1630
Terkonjugasi
1210-1310
Arakil eter, dua ikatan
1180-1260
Fenol
dekat 1150
Alkohol ketiga
1085-1140
Eter alifatik
Keterangan : sol (larutan), s = (solid) .
Sumber : Dence 1980
Dari Tabel 9 dapat terlihat bahwa ikan Diretmoides pauciradiatus
menunjukkan hasil yang positif terhadap keberadaan hormon steroid. Ini dapat
dilihat dengan ditemukannya ikatan-ikatan penting yang mirip dengan ikatanikatan penting dari absorpsi infra merah standar. Semua puncak yang
menunjukkan kedekatan terhadap keberadaan steroid yang terdapat pada Tabel 8
terdapat pada ikan Diretmoides pauciradiatus kecuali tidak terdapat ikatan NO2.
Tabel 10.
Grup
Ikatan-ikatan penting
Benthodesmus tenuis
absorpsi
Posisi (cm-1)
infrared (IR) ikan
Keterangan
O-H
3200-3600
Posisi tergantung pada banyak faktor
C-H
3000-3100
Olefin atau Aromatik
2850-2950
CH, CH2, atau CH3 jenuh
C≡C
2120
Pergantian tunggal alkin, lemah
-CH=N=N
2000-2130
Sangat kuat
C=O
1715-1740
Ester-ester,cincin lima keton, aldehid tidak
terkonjugasi
C=C
1620-1680
Terisolasi
1575-1630
Terkonjugasi
NO2
1350-1390
Dua ikatan, kuat
C-O
1210-1310
Arakil eter, dua ikatan
1180-1260
Fenol
dekat 1150
Alkohol ketiga
1085-1140
Eter alifatik
Keterangan : sol (larutan), s = (solid) .
Sumber : Dence 1980
Pada Tabel 10 dapat terlihat bahwa ikan Benthodesmus tenuis
menunjukkan hasil yang positif terhadap keberadaan hormon steroid. Ini dapat
dilihat dengan ditemukannya ikatan-ikatan penting yang mirip dengan ikatanikatan penting dari absorpsi infra merah standar. Semua puncak yang
menunjukkan kedekatan terhadap keberadaan steroid yang terdapat pada Tabel 8
terdapat pada ikan Benthodesmus tenuis.
Tabel 11.
Grup
Ikatan-ikatan
penting
Beryx splendens
absorpsi
Posisi (cm-1)
infrared (IR) ikan
Keterangan
O-H
3200-3600
Posisi tergantung pada banyak faktor
C-H
3000-3100
Olefin atau Aromatik
2850-2950
CH, CH2, atau CH3 jenuh
C≡C
2120
Pergantian tunggal alkin, lemah
C=O
1700-1725
Sebuah Siklik tidak terkonjugasi, dan enam
cincin keton enam sisi.
C=C
1620-1680
Terisolasi
1575-1630
Terkonjugasi
NO2
1350-1390
Dua ikatan, kuat
C-O
1210-1310
Arakil eter, dua ikatan
1180-1260
Fenol
dekat 1150
Alkohol ketiga
1085-1140
Eter alifatik
Keterangan : sol (larutan), s = (solid) .
Sumber : Dence 1980
Pada Tabel 11 dapat terlihat bahwa ikan Beryx splendens menunjukkan
hasil yang positif terhadap keberadaan hormon steroid. Ini dapat dilihat dengan
ditemukannya ikatan-ikatan penting yang mirip dengan ikatan-ikatan penting dari
absorpsi infra merah standar. Semua puncak yang menunjukkan kedekatan
terhadap keberadaan steroid yang terdapat pada Tabel 8 terdapat pada ikan Beryx
splendens serta memberikan hasil yang positif terhadap keberadaan sikloheksan
pada grafik di Lampiran 18.
Tabel 12.
Grup
Ikatan-ikatan
penting
Hoplothethus crassipinus
absorpsi
Posisi (cm-1)
infrared (IR)
ikan
Keterangan
O-H
3200-3600
Posisi tergantung pada banyak faktor
C-H
3000-3100
Olefin atau Aromatik
2850-2950
CH, CH2, atau CH3 jenuh
-CH=N=N
2000-2130
Sangat kuat
C≡C
2120
Pergantian tunggal alkin, lemah
C=O
1715-1740
Ester-ester,cincin lima keton, aldehid tidak
terkonjugasi
C=C
1620-1680
Terisolasi
1575-1630
Terkonjugasi
NO2
1350-1390
Dua ikatan, kuat
C-O
1210-1310
Arakil eter, dua ikatan
1180-1260
Fenol
dekat 1150
Alkohol ketiga
1085-1140
Eter alifatik
Keterangan : sol (larutan), s = (solid) .
Sumber : Dence 1980
Pada Tabel 12 dapat terlihat bahwa ikan Hoplothethus crassipinus
menunjukkan hasil yang positif terhadap keberadaan hormon steroid. Ini dapat
dilihat dengan ditemukannya ikatan-ikatan penting yang mirip dengan ikatanikatan penting dari absorpsi infra merah standar. Semua puncak yang
menunjukkan kedekatan terhadap keberadaan steroid yang terdapat pada Tabel 8
terdapat pada ikan Hoplothethus crassipinus.
Tabel 13. Ikatan-ikatan penting
Hoplothethus sp
absorpsi
Posisi (cm-1)
Grup
infrared
(IR)
ikan
Keterangan
O-H
3200-3600
Posisi tergantung pada banyak faktor
C-H
3000-3100
Olefin atau Aromatik
2850-2950
CH, CH2, atau CH3 jenuh
C≡C
2120
Pergantian tunggal alkin, lemah
-CH=N=N
2000-2130
Sangat kuat
C=O
1715-1740
Ester-ester,cincin lima keton, aldehid tidak
terkonjugasi
C=C
1620-1680
Terisolasi
1575-1630
Terkonjugasi
NO2
1350-1390
Dua ikatan, kuat
C-O
1210-1310
Arakil eter, dua ikatan
1180-1260
Fenol
dekat 1150
Alkohol ketiga
1085-1140
Eter alifatik
Keterangan : sol (larutan), s = (solid) .
Sumber : Dence 1980
Pada Tabel 13 dapat terlihat bahwa ikan Hoplothethus sp. menunjukkan
hasil yang positif terhadap keberadaan hormon steroid. Ini dapat dilihat dengan
ditemukannya ikatan-ikatan penting yang mirip dengan ikatan-ikatan penting dari
absorpsi infra merah standar. Semua puncak yang menunjukkan kedekatan
terhadap keberadaan steroid yang terdapat pada Tabel 8 terdapat pada ikan
Hoplothethus sp.
Tabel 14. Ikatan-ikatan penting absorpsi infrared (IR) ikan Ophidiidae
Grup
Posisi (cm-1)
Keterangan
O-H
3200-3600
Posisi tergantung pada banyak faktor
C-H
3000-3100
Olefin atau Aromatik
2850-2950
CH, CH2, atau CH3 jenuh
C≡C
2120
Pergantian tunggal alkin, lemah
-CH=N=N
2000-2130
Sangat kuat
C=O
1715-1740
Ester-ester,cincin lima keton, aldehid tidak
terkonjugasi
C=C
1620-1680
Terisolasi
1575-1630
Terkonjugasi
NO2
1350-1390
Dua ikatan, kuat
C-O
1210-1310
Arakil eter, dua ikatan
1180-1260
Fenol
dekat 1150
Alkohol ketiga
1085-1140
Eter alifatik
Keterangan : sol (larutan), s = (solid) .
Sumber : Dence 1980
Pada Tabel 14 dapat terlihat bahwa ikan Ophidiidae menunjukkan hasil
yang positif terhadap keberadaan hormon steroid. Ini dapat dilihat dengan
ditemukannya ikatan-ikatan penting yang mirip dengan ikatan-ikatan penting dari
absorpsi infra merah standar. Semua puncak yang menunjukkan kedekatan
terhadap keberadaan steroid yang terdapat pada Tabel 8 terdapat pada ikan
Ophidiidae.
Tabel 15.
Grup
Ikatan-ikatan penting absorpsi
Ostracoberyu dorygenis
Posisi (cm-1)
infra red (IR) ikan
Keterangan
O-H
3200-3600
Posisi tergantung pada banyak faktor
C-H
3000-3100
Olefin atau Aromatik
2850-2950
CH, CH2, atau CH3 jenuh
C≡C
2120
Pergantian tunggal alkin, lemah
C=O
1700-1725
Sebuah Siklik tidak terkonjugasi, dan enam
cincin keton enam sisi.
C=C
1620-1680
Terisolasi
1575-1630
Terkonjugasi
NO2
1350-1390
Dua ikatan, kuat
C-O
1210-1310
Arakil eter, dua ikatan
1180-1260
Fenol
dekat 1150
Alkohol ketiga
1085-1140
Eter alifatik
Keterangan : sol (larutan), s = (solid) .
Sumber : Dence 1980
Pada Tabel 15 dapat terlihat bahwa ikan Ostracoberyu dorygenis
menunjukkan hasil yang positif terhadap keberadaan hormon steroid. Ini dapat
dilihat dengan ditemukannya ikatan-ikatan penting yang mirip dengan ikatanikatan penting dari absorpsi infra merah standar. Semua puncak yang
menunjukkan kedekatan terhadap keberadaan steroid yang terdapat pada Tabel 8.
terdapat pada ikan Ostracoberyu dorygenis serta memberikan hasil yang positif
terhadap keberadaan sikloheksan pada grafik di Lampiran 22.
Tabel 16.
Ikatan-ikatan penting
Godamus colleti
absorpsi infrared (IR)
Posisi (cm-1)
Grup
ikan
Keterangan
O-H
3200-3600
Posisi tergantung pada banyak faktor
C-H
3000-3100
Olefin atau Aromatik
2850-2950
CH, CH2, atau CH3 jenuh
C≡C
2120
Pergantian tunggal alkin, lemah
C=O
1700-1725
Sebuah Siklik tidak terkonjugasi, dan enam
cincin keton enam sisi.
C=C
1620-1680
Terisolasi
1575-1630
Terkonjugasi
NO2
1350-1390
Dua ikatan, kuat
C-O
1210-1310
Arakil eter, dua ikatan
1180-1260
Fenol
dekat 1150
Alkohol ketiga
1085-1140
Eter alifatik
Keterangan : sol (larutan), s = (solid) .
Sumber : Dence 1980
Pada Tabel 16 dapat terlihat bahwa ikan Godamus colleti menunjukkan
hasil yang positif terhadap keberadaan hormon steroid. Ini dapat dilihat dengan
ditemukannya ikatan-ikatan penting yang mirip dengan ikatan-ikatan penting dari
absorpsi infra merah standar. Semua puncak yang menunjukkan kedekatan
terhadap keberadaan steroid yang terdapat pada Tabel 8 terdapat pada ikan
Godamus colleti
serta memberikan hasil yang positif terhadap keberadaan
sikloheksan pada grafik.
Grafik infra merah pada Lampiran 16-23 menunjukkan bahwa ikan laut dalam
memberikan hasil yang positif terhadap keberadaan steroid. Ini dapat terlihat pada
Tabel 9-16 dengan ditemukannya ikatan-ikatan penting yang mirip dengan ikatanikatan penting dari absorpsi infra merah standar. Semua puncak yang
menunjukkan kedekatan terhadap keberadaan steroid terdapat pada grafik kecuali
pada ikan Diretmoides pauciradiatus tidak terdapat ikatan NO2. Sedangkan ikan
Beryx splendens dan Ostracoberyu dorygenis serta Godamus colleti, memberikan
hasil yang positif terhadap keberadaan sikloheksan pada grafik. Ini menunjukkan
adanya korelasi yang positif antara uji Liebermann Burchad dengan uji Infrared.
4.2.2. Uji antibakteri
4.2.2.1. Ekstraksi senyawa antibakteri
Ekstraksi ikan laut dalam bertujuan untuk memisahkan senyawa bioaktif
ikan (biasanya dari senyawa tunggal atau kelompok senyawa). Ekstraksi dapat
dilakukan dengan beberapa metode tergantung pada jenis ikan dan senyawa yang
akan diekstraksi. Salah satu metode yang dapat digunakan yaitu ekstraksi dengan
pelarut. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi hendaknya mempunyai
sifat-sifat: 1) dapat melarutkan senyawa yang diekstraksi, 2) mudah dipisahkan
setelah proses ekstraksi, 3) kemurnian terjadi, 4) tidak toksik (Harbone 1973).
Suatu senyawa dapat terekstrak dengan suatu pelarut tergantung dari sifat
senyawa tersebut. Senyawa non polar akan larut dalam pelarut non polar, senyawa
semi polar akan larut dalam senyawa semi polar dan senyawa polar dapat larut
dalam senyawa polar. Pada tahap awal biasanya dilakukan ekstraksi bertingkat
dengan pelarut kurang polar hingga polar.
Tahapan ekstraksi dari metode ini terdiri dari penghancuran sampel,
maserasi, penyaringan dan evaporasi. Penghancuran bertujuan memperkecil
ukuran partikel sehingga meningkatkan kontak antara bahan dengan pelarutnya.
Semakin kecil ukuran partikel bahan maka semakin mudah kontak dengan pelarut
sehingga diharapkan semakin banyak senyawa bioaktif yang dapat terekstrak.
Metode ekstraksi senyawa antibakteri yang digunakan dalam penelitian
adalah metode Quinn (1988) yang diacu oleh Darusman et al. (1995) yang
dimodifikasi. Pelarut yang digunakan adalah kloroform, etil asetat dan metanol.
Ekstraksi bertingkat dilakukan karena belum diketahui sifat senyawa yang
terdapat dalam ikan laut dalam, sehingga digunakan pelarut non polar hingga
polar. Kloroform mewakili pelarut non polar, etil asetat mewakili pelarut semi
polar dan metanol mewakili pelarut polar. Tujuan yang diharapkan adalah dapat
diketahui sifat senyawa yang memiliki aktivitas antibakteri.
ekstraksi ikan laut dalam disajikan dalam Tabel 17.
Rendemen hasil
Tabel 17. Rendemen hasil ekstraksi senyawa antibakteri ikan laut dalam.
Rendemen hasil ekstraksi ikan laut dalam
Ekstrak Pelarut Ekstrak
A1
A2
A3
A4
A5
A6
A7
A9
Berat awal
Volume
sampel (g) pelarut (ml)
Berat
Ekstrak (g)
Rendemen
Kloroform
20
45
0,3520
1,76
Etil Asetat
20
45
0,2321
1,16
Metanol
20
45
0,1397
0,70
Kloroform
20
45
0,2282
1,14
Etil Asetat
20
45
0,0612
0,31
Metanol
20
45
0,5806
2,90
Kloroform
20
45
1,0844
5,42
Etil Asetat
20
45
0,0279
0,14
Metanol
20
45
0,1098
0,55
Kloroform
20
45
1,0877
5,44
Etil Asetat
20
45
3,5421
17,71
Metanol
20
45
0,0333
0,17
Kloroform
20
45
0,3616
1,81
Etil Asetat
20
45
0,0702
0,35
Metanol
20
45
0,1629
0,81
Kloroform
20
45
0,1783
0,89
Etil Asetat
20
45
0,4500
2,25
Metanol
20
45
0,0821
0,41
Kloroform
20
45
0,2460
1,23
Etil Asetat
20
45
1,4035
7,02
Metanol
20
45
0,0094
0,05
Kloroform
20
45
0,1637
0,82
Etil Asetat
20
45
0,1408
0,70
Metanol
20
45
0,0843
0,42
Keterangan :
A1 : Dietmoides pauciradiatus
A2 : Benthodesmus tenuis
A3 : Beryx splendens
A4 : Hoplosthethus crassipinus
A5 : Hoplothethus sp
Berat
Total
0,7238
0,8700
1,2221
4,6631
0,5947
0,7104
1,6589
0,3888
A6 : Ophidiidae
A7 : Ostracoberyu dorygenis
A9 : Godamus colleti
A10 : Myctophidae sp
A11 : Hyteroglypne japonica
Tabel 17 menunjukkan bahwa 50% jumlah ekstrak tertinggi dihasilkan
dari ekstraksi menggunakan pelarut kloroform diikuti oleh etil asetat dan pelarut
metanol. Konsentrasi ekstrak dari ikan laut dalam 50% bersifat non polar, karena
kloroform merupakan pelarut non polar. Hasil proses ekstraksi dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu kondisi alamiah bahan alam, metode ekstraksi yang
digunakan, ukuran partikel sampel serta kondisi dan lama penyimpanan (Shahidi
Naczk 1995 yang diacu oleh Khusniya 2004).
Hasil dari proses ekstraksi bertingkat menghasilkan warna ekstrak yang
berbeda-beda. Warna-warna tersebut dapat dilihat secara visual. Ekstraksi dengan
pelarut kloroform menghasilkan warna kuning-jingga, ekstraksi dengan pelarut
etil asetat menghasilkan warna jingga-coklat dan ekstraksi dengan pelarut metanol
menghasilkan ekstrak berwarna jingga-merah. Pelarut diatas akan menghancurkan
membran sel dan akan melarutkan pigmen yang terkandung dalam bahan
(Shahidi, Naczk 1995 yang diacu oleh Khusniya 2004).
Warna yang dihasilkan diduga berasal dari pigmen yang terkandung dalam
kulit. Pigmen-pigmen yang menghasilkan warna pada kulit ikan berasal dari
karetonoid. Ini didukung oleh pernyataan bahwa ikan berwarna cerah karena
karetonoid dalam kulit mereka (Goodwin 1952 yang diacu oleh Heat, Reineccius
1986).
4.2.2.2. Uji aktivitas antibakteri
Uji aktivitas antibakteri bertujuan untuk melihat ada tidaknya aktivitas
antibakteri pada ikan laut dalam. Uji dilakukan dengan melarutkan 3,25 mg
ekstrak dalam 100 µl pelarutnya dan digunakan 20 µl dalam setiap paper disc.
Contoh perhitungan ditunjukkan pada Lampiran 14.
Uji aktivitas antibakteri dilakukan terhadap dua bakteri uji yaitu S. aureus
dan E. coli. Optical density (OD600nm) bakteri yang digunakan masing-masing
0,683 dan 0,697 yang diperoleh dari inkubasi 18 jam pada suhu 370C.
Berdasarkan hasil uji, tidak semua ekstrak kasar dapat menghambat pertumbuhan
bakteri uji. Hanya ekstrak dari ikan Beryx splendens yang dapat menghambat
kedua bakteri uji yang ditandai terbentuknya zona bening disekitar paper disc
pada media agar. Aktivitas delapan
ekstrak terhadap kedua bakteri uji
ditunjukkan pada Gambar 10. Besarnya hambatan ketiga ekstrak terhadap bakteri
uji ditunjukkan pada Tabel 18.
Tabel 18.
Hasil uji antibakteri pada ikan laut dalam dengan konsentrasi
50 ppm.
Bakteri E. coli
No
Ekstrak Ikan
Laut Dalam
1
2
3
4
5
6
7
8
Zona Hambat (mm)
Kloro
Etil
form
Asetat
-
-
-
11
-
-
-
2
-
-
-
11
-
-
-
2
0,5
-
-
11
2,5
-
-
2
-
-
-
11
-
-
-
2
-
-
-
11
-
-
-
2
-
-
-
11
-
-
-
2
-
-
-
11
-
-
-
2
-
-
-
11
-
-
-
2
Dietmoides
pauciradiatus
Benthodesmus
tenuis
Beryx
splendens
Bakteri S.aureus
Hoplosthethus
crassipinus
Hoplothethus
sp
Ophidiidae
Ostracoberyu
dorygenis
Godamus
colleti
Metanol
Kloram
Kloro
Etil
fenikol
form
Asetat
Metanol
Kloram
fenikol
Tabel 18 menunjukkan bahwa ekstrak kloroform ikan Beryx splendens
dapat menghambat pertumbuhan kedua bakteri uji, sedangkan ekstrak metanol
dan etil asetat tidak menghambat pertumbuhan bakteri uji. Adanya zona hambat
yang terbentuk dari ekstrak kloroform ikan Beryx splendens dipengaruhi oleh
komponen biotik yang terekstrak.
Zona hambat eksrak kloroform dari ikan Beryx splendens terhadap bakteri
S.aureus dan E.coli masing-masing sebesar 2,5 dan 0,5 mm. Ukuran zona hambat
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu mikroorganisme uji (strain bakteri uji,
fisiologi sel) medium kultur, metode uji (Parish, Davidson 1993) dan kecepatan
difusi zat (Barry 1986 yang diacu oleh Davidson, Branen 1993). Diameter zona
hambat dari ikan
Gambar 11.
Beryx splendens pada bakteri S.aureus disajikan pada
Pelarut Metanol
Pelarut Kloroform
Pelarut Etil asetat
Gambar 11. Aktivitas ekstrak ikan laut dalam terhadap bakteri
Staphylococcus aureus konsentrasi 50 ppm
Keterangan :
A1 : Dietmoides pauciradiatus
A2 : Benthodesmus tenuis
A3 : Beryx splendens
A4 : Hoplosthethus crassipinus
Kf : Kontrol positif (kloramfenikol)
A6 : Ophidiidae
A7 : Ostracoberyu dorygenis
A9 : Godamus colleti
A5 : Hoplothethus sp
M,EA,K : kontrol negatif (pelarut)
Gambar 11 menunjukkan zona hambat ikan Beryx splendens terhadap
pertumbuhan bakteri S.aureus kurang dari 6,5 mm. Zona hambat yang kurang
dari 6,5 mm menunjukkan bahwa ekstrak ikan Beryx splendens tidak memberikan
hambatan terhadap bakteri, karena diameter hambatan terkecil untuk senyawa uji
> 6,5 mm (Utama 2002). Hal ini didukung oleh pernyataan yang mengatakan
apabila diameter penghambatan yang terbentuk > 6 mm, maka bakteri tersebut
dikategorikan sensitif terhadap bahan antibakteri yang diujikan, tapi jika diameter
yang terbentuk < 6 mm, maka bakteri tersebut dikategorikan resisten terhadap
senyawa antibakteri yang diujikan (Bell 1984).
Zona hambat pada bakteri E. coli juga menunjukkan hambatan ekstrak
ikan Beryx splendens kurang dari 6,5 mm, sehingga dapat dikatakan ekstrak dari
pelarut kloroform konsentrasi 50 ppm tidak sensitif dalam menghambat
pertumbuhan bakteri
E. coli dan S.aureus. Aktivitas antibakteri ekstrak ikan
laut dalam terhadap bakteri E.coli disajikan pada Gambar 12.
Pelarut Etil asetat
Pelarut Metanol
Pelarut kloroform
Gambar 12. Aktivitas ekstrak ikan laut dalam terhadap bakteri E.coli
konsentrasi 50 ppm
Keterangan :
A1 : Dietmoides pauciradiatus
A2 : Benthodesmus tenuis
A3 : Beryx splendens
A4 : Hoplosthethus crassipinus
Kf : Kontrol positif (kloramfenikol)
A6 : Ophidiidae
A7 : Ostracoberyu dorygenis
A9 : Godamus colleti
A5 : Hoplothethus sp
M,EA,K : kontrol negatif (pelarut)
Gambar 11 dan 12 menunjukkan zona hambat kontrol positif konsentrasi 4
ppm pada bakteri S.aureus dan E. coli sebesar 11 dan 2 mm. Zona hambat yang
kecil yaitu kurang dari 6,5 mm karena bakteri E. coli merupakan bakteri gram
negatif, dimana kelompok bakteri ini resisten terhadap antibiotik. Ketahanan ini
disebabkan oleh struktur dinding bakteri gram negatif
yang lebih kompleks
(berlapis tiga) jika dibandingkan dengan bakteri gram positif (berlapis satu),
sehingga dapat dilihat zona hambat pertumbuhan bakteri E. coli lebih kecil jika
dibandingkan dengan bakteri S.aureus (bakteri gram positif).
Bakteri gram
negatif resisten terhadap gangguan fisik.
Kloramfenikol merupakan antibakteri amino glycoside yang menghambat
sintesis protein secara kuat dengan cara menghambat aktivitas peptydil
transferase yang selanjutnya berakibat terhadap sintesis protein sel itu sendiri.
Dengan sifat tersebut maka kloramfenikol paling banyak digunakan untuk
menangani infeksi (Atlas 1984).
Penggunaan konsentrasi didasarkan pada standar yang digunakan oleh
NCI (National Cancer Institute) USA sebesar 20 µg/ml untuk ekstrak kasar,
sedangkan pada ekstrak murni konsentrasi yang digunakan 4 µg/ml (Suhartini
2003). Konsentrasi 50 ppm ekstrak ikan Beryx splendens menunjukkan hasil yang
kurang sensitif dalam menghambat pertumbuhan bakteri S.aureus dan E.coli.
Konsentrasi ekstrak kemudian ditingkatkan menjadi 700 ppm untuk mengetahui
aktivitas
antibakteri ekstrak tersebut. Hasil
uji
antibakteri
ekstrak ikan
Beryx splendens konsentrasi 700 ppm disajikan pada Gambar 13.
Bakteri E.coli
Bakteri Staphylococcus aureus
Gambar 13. Aktivitas ekstrak ikan laut dalam terhadap bakteri
Staphylococcus aureus dan E. coli konsentrasi 700 ppm
Keterangan :
A3 : Ekstrak ikan Beryx splendens dalam pelarut kloroform
Kf : Kontrol positif (kloramfenikol)
Zona hambat ekstrak Beryx splendes
konsentrasi 700 ppm terhadap
bakteri uji sebesar 3,5 mm untuk bakteri E.coli dan 11,5 mm untuk bakteri
S.aureus. Sedangkan zona hambat kontrol positif sebesar 0 mm terhadap bakteri
E.coli dan 22 mm untuk bakteri S.aureus.
Zona hambat ekstrak ikan Beryx
splendens terhadap bakteri E.coli yang kurang dari 6,5 mm menunjukkan bahwa
ekstrak ikan Beryx splendens tidak memberikan hambatan terhadap bakteri E.coli,
karena menurut Utama (2002) diameter hambatan terkecil untuk senyawa uji > 6,5
mm. Hal ini didukung oleh pernyataan Bell (1984) yang mengatakan apabila
diameter yang terbentuk < 6 mm, maka bakteri tersebut dikategorikan resisten
terhadap senyawa antibakteri yang diujikan. Sedangkan diameter penghambatan
yang terbentuk > 6 mm pada bakteri S.aureus menandakan bakteri tersebut
dikategorikan sensitif terhadap bahan antibakteri yang diujikan (Bell 1984).
Perbedaan zona hambat
kontrol positif
dengan
ekstrak
ikan
Beryx splendens diduga karena pengaruh kecepatan difusi zat. Perbedaan zona
hambat antara kontrol positif dan ekstrak yang begitu besar diduga karena ekstrak
yang dihasilkan oleh ikan Beryx splendens masih berupa ekstrak kasar sedangkan
kloramfenikol merupakan ekstrak murni. Ekstrak perlu dimurnikan untuk
mendapatkan aktivitas antibakteri yang lebih baik.
Aktivitas antibakteri ekstrak kloroform
ikan Beryx splendens bersifat
bakteristatik karena dapat dilihat setelah inkubasi selama 24 jam zona bening
yang terbentuk semakin kecil dan semakin banyak bakteri disekitar paper disc.
Studi lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui mekanisme kerja antibakteri dari
ekstrak kloroform ikan Beryx splendens.
Ekstrak ikan Beryx splendens memberikan hasil yang positif terhadap
keberadaan zat antibiotik ikan tersebut. Ikan Beryx splendens ditemukan pada
kedalaman laut sekitar 183-732 m dengan warna kulit oranye-merah bersinar
(Wheeler 1975). Warna cerah kulit ikan ini memungkinkan adanya hubungan
simbiosis antara ikan ini dengan bakteri laut yang memiliki kandungan senyawa
antibiotik.
4.2.3. Uji toksisitas dengan Artemia salina Leach
Uji toksisitas dilakukan untuk mengetahui tingkat toksisitas dari ikan laut
dalam yang diteliti. Uji ini penting sebagai data pendukung untuk menentukan
toksisitas dari ikan laut dalam. Pengujian dilakukan dengan menggunakan
Artemia salina Leach (Michael et al.1956 yang diacu oleh Carballo et al. 2002).
ekstrak yang dipilih pada uji toksisitas adalah ekstrak metanol.
Uji ini merupakan metode paling sederhana sebagai langkah awal untuk
menentukan toksisitas ekstrak dari bahan alam. Berdasarkan metode ini perlu
dilakukan pengkulturan Artemia sebelum dilakukan uji toksisitas karena Artemia
yang digunakan masih dalam bentuk telur istirahat. Tujuannya adalah
mendapatkan kista yang berkualitas baik sebelum dilakukan uji toksisistas
(Isnansetyo, Kurniastuty 1995).
Pengujian toksisitas dilakukan dengan mengambil 15 ekor Artemia yang
baru menetas untuk ditumbuhkan dalam 30 ml campuran air laut dan ekstrak
dengan konsentrasi 5 µg/ml, 25 µg/ml, 50 µg/ml. Konsentrasi 50 µg/ml
didapatkan dengan melarutkan
0,050 gram ekstrak ke dalam 1 ml akuades,
kemudian diambil sebanyak 20 µl dan dilarutkan dalam 20 ml air laut, begitu
pula seterusnya. Contoh perhitungan konsentrasi ekstrak ditunjukkan pada
Lampiran 4. Sebagai kontrol digunakan 20 ml air laut tanpa ekstrak yang
merupakan medium hidup dari Artemia. Tingkat toksisitas ditentukan berdasarkan
LC50. Tabel 19 menunjukkan hasil pengujian toksisitas dengan Artemia salina
Leach.
Tabel 19. Hasil uji toksisitas pada ikan laut dalam dengan artemia salina
Leach
Sampel
Konsentrasi
Ikan Laut
Ekstrak kasar
Dalam
Metanol
A1
A2
A3
A4
A5
A6
A7
A9
Jumlah Artemia yang mati (ekor)
Ulangan 1
Ulangan 2
Rata-rata
0 jam
72 jam
0 jam
72 jam
5 ppm
0
3
0
2
3
25 ppm
0
4
0
4
4
50 ppm
0
5
0
6
6
5 ppm
0
3
0
2
3
25 ppm
0
5
0
4
5
50 ppm
0
6
0
5
6
5 ppm
0
3
0
3
3
25 ppm
0
5
0
4
5
50 ppm
0
6
0
5
6
5 ppm
0
2
0
3
5
25 ppm
0
4
0
4
4
50 ppm
0
5
0
5
5
5 ppm
0
3
0
2
3
25 ppm
0
3
0
3
3
50 ppm
0
6
0
5
6
5 ppm
0
3
0
2
3
25 ppm
0
4
0
3
4
50 ppm
0
6
0
4
5
5 ppm
0
2
0
1
2
25 ppm
0
3
0
2
3
50 ppm
0
4
0
4
4
5 ppm
0
2
0
2
2
25 ppm
0
3
0
3
3
50 ppm
0
5
0
6
6
Keterangan :
A1 : Dietmoides pauciradiatus A4 : Hoplosthethus crassipinus A6 : Ophidiidae
A2 : Benthodesmus tenuis
A5 : Hoplothethus sp
A7 : Ostracoberyu dorygenis
A3 : Beryx splendens
Hasil pengujian toksisitas dengan menggunakan Artemia salina dibuat
dalam bentuk grafik regresi linier kematian Artemia pada konsentrasi 0, 5, 25 dan
50 ppm, dengan memasukkan persamaan Y = ax + b. Hasil yang menunjukkan
LC50 Artemia pada berbagai konsentrasi disajikan pada Gambar 14-21.
jumlah Artemia mati
(ekor)
Grafik kematian Artemia Salina Pada berbagai Konsentrasi
7
6
5
4
3
2
1
0
y = 1,9x - 1,5
2
R = 0,9627
0 ppm
5 ppm
25 ppm
50 ppm
Konsentrasi ekstrak Dietmoides pauciradiatus metanol (ppm)
Gambar 14. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak
ikan Diretmoides pauciradiatus
Hasil pengujian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak
Diretmoides pauciradiatus menyebabkan jumlah kematian Artemia bertambah.
Konsentrasi 50 µg/ml menyebabkan jumlah kematian terbesar dari Artemia, yaitu
Artemia yang mati sebanyak 6 ekor (rata-rata dua kali ulangan). Konsentrasi 5
µg/ml dan 25 µg/ml masing-masing menyebabkan kematian terhadap Artemia
sebanyak 3 dan 4 ekor.
Berdasarkan Gambar 14 maka dapat diperoleh persamaan regresinya, yaitu
y = 1,9x – 1,5; parameter Y menunjukkan rata-rata jumlah Artemia yang mati dan
parameter X menunjukkan konsentrasi ekstrak metanol (µg/ml). LC50 ditentukan
dengan memasukkan nilai 8 (jumlah 50% Artemia yang mati) sebagai Y, maka
akan diperoleh nilai X sebesar 5.000 µg/L. Nilai X yang diperoleh merupakan
LC50 dari ekstrak kasar metanol. yang berarti ekstrak kasar metanol daging ikan
memiliki kadar toksisitas sedang.
jumlah Artemia mati
(ekor)
Grafik kematian Artemia Salina Pada berbagai Konsentrasi
7
6
5
4
3
2
1
0
y = 2x - 1,5
2
R = 0,9524
0 ppm
5 ppm
25 ppm
50 ppm
Konsentrasi ekstrak Benthodesmus tenuis metanol (ppm)
Gambar 15. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak
ikan Benthodesmus tenuis.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak
Benthodesmus tenuis menyebabkan jumlah kematian Artemia bertambah.
Konsentrasi 50 µg/ml menyebabkan jumlah kematian terbesar dari Artemia, yaitu
Artemia yang mati sebanyak 6 ekor (rata-rata dua kali ulangan). Konsentrasi 5
µg/ml dan 25 µg/ml masing-masing menyebabkan kematian terhadap Artemia
sebanyak 3 dan 5 ekor.
Berdasarkan Gambar 15 maka dapat diperoleh persamaan regresinya, yaitu
y = 2x – 1,5; parameter Y menunjukkan rata-rata jumlah Artemia yang mati dan
parameter X menunjukkan konsentrasi ekstrak metanol (µg/ml). LC50 ditentukan
dengan memasukkan nilai 8 (jumlah 50% Artemia yang mati) sebagai Y, maka
akan diperoleh nilai X sebesar 4.750 µg/L. Nilai X yang diperoleh merupakan
LC50 dari ekstrak kasar metanol yang berarti ekstrak kasar metanol daging ikan
memiliki kadar toksisitas sedang.
Jumlah Artemia mati
(ekor)
Grafik kematian Artemia Salina Pada berbagai Konsentrasi
7
6
5
4
3
2
1
0
y = 2x - 1,5
2
R = 0,9524
0 ppm
5 ppm
25 ppm
50 ppm
Konsentrasi ekstrak Beryx splendens metanol (ppm)
Gambar 16. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak
ikan Beryx splendens.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak
Beryx splendens menyebabkan jumlah kematian Artemia bertambah. Konsentrasi
50 µg/ml menyebabkan jumlah kematian terbesar dari Artemia, yaitu Artemia
yang mati sebanyak 6 ekor (rata-rata dua kali ulangan). Konsentrasi 5 µg/ml dan
25 µg/ml masing-masing menyebabkan kematian terhadap Artemia sebanyak 3
dan 5 ekor.
Berdasarkan Gambar 16
maka dapat diperoleh persamaan regresinya,
yaitu y = 2x – 1,5; parameter Y menunjukkan rata-rata jumlah Artemia yang mati
dan parameter X menunjukkan konsentrasi ekstrak metanol (µg/ml). LC50
ditentukan dengan memasukkan nilai 8 (jumlah 50% Artemia yang mati) sebagai
Y, maka akan diperoleh nilai X sebesar 4.750 µg/L. Nilai X yang diperoleh
merupakan LC50 dari ekstrak kasar metanol yang berarti ekstrak kasar metanol
daging ikan memiliki kadar toksisitas sedang.
Grafik kematian Artemia Salina Pada berbagai Konsentrasi
Jumlah Artemia mati
(ekor)
6
5
4
3
y = 1,4x
2
R = 0,5765
2
1
0
0 ppm
5 ppm
25 ppm
50 ppm
Konsentrasi ekstrak Hoplosthethus crassipinus metanol (ppm)
Gambar 17. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak
ikan Hoplosthethus crassipinus.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak
Hoplosthethus crassipinus menyebabkan jumlah kematian Artemia bertambah.
Konsentrasi 50 µg/ml dan 5 µg/ml menyebabkan jumlah kematian terbesar dari
Artemia, yaitu Artemia yang mati sebanyak 5 ekor (rata-rata dua kali ulangan).
Konsentrasi 25 µg/ml menyebabkan kematian terhadap Artemia sebanyak 4 ekor.
Berdasarkan Gambar 17 maka dapat diperoleh persamaan regresinya, yaitu
y = 1,4x; parameter Y menunjukkan rata-rata jumlah Artemia yang mati dan
parameter X menunjukkan konsentrasi ekstrak metanol (µg/ml). LC50 ditentukan
dengan memasukkan nilai 8 (jumlah 50% Artemia yang mati) sebagai Y, maka
akan diperoleh nilai X sebesar 5.714 µg/L. Nilai X yang diperoleh merupakan
LC50 dari ekstrak kasar metanol yang berarti ekstrak kasar metanol daging ikan
memiliki kadar toksisitas sedang.
Jumlah Artemia mati
(ekor)
Grafik kematian Artemia Salina Pada berbagai Konsentrasi
7
6
5
4
3
2
1
0
y = 1,8x - 1,5
2
R = 0,9
0 ppm
5 ppm
25 ppm
50 ppm
Konsentrasi ekstrak Hoplothethus sp metanol (ppm)
Gambar 18. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak
ikan Hoplosthethus sp
Hasil pengujian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak
Hoplothethus sp menyebabkan jumlah kematian Artemia bertambah. Konsentrasi
50 µg/ml menyebabkan jumlah kematian terbesar dari Artemia, yaitu Artemia
yang mati sebanyak 6 ekor (rata-rata dua kali ulangan). Konsentrasi 5 µg/ml dan
25 µg/ml masing-masing menyebabkan kematian terhadap Artemia sebanyak 3
ekor.
Berdasarkan Gambar 18 maka dapat diperoleh persamaan regresinya,
yaitu y = 1,8x – 1,5; parameter Y menunjukkan rata-rata jumlah Artemia yang
mati dan parameter X menunjukkan konsentrasi ekstrak metanol (µg/ml). LC50
ditentukan dengan memasukkan nilai 8 (jumlah 50% Artemia yang mati) sebagai
Y, maka akan diperoleh nilai X sebesar 5.277 µg/L. Nilai X yang diperoleh
merupakan LC50 dari ekstrak kasar metanol yang berarti ekstrak kasar metanol
daging ikan memiliki kadar toksisitas sedang.
Grafik kematian Artemia Salina Pada berbagai Konsentrasi
Jumlah Artemia mati
(ekor)
6
5
4
3
2
y = 1,6x - 1
2
R = 0,9143
1
0
0 ppm
5 ppm
25 ppm
50 ppm
Konsentrasi ekstrak Ophidiidae metanol (ppm)
Gambar 19. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak
ikan Ophidiidae
Hasil pengujian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak ikan
Ophidiidae menyebabkan jumlah kematian Artemia bertambah. Konsentrasi 50
µg/ml menyebabkan jumlah kematian terbesar dari Artemia, yaitu Artemia yang
mati sebanyak 5 ekor (rata-rata dua kali ulangan). Konsentrasi 5 µg/ml dan 25
µg/ml masing-masing menyebabkan kematian terhadap Artemia sebanyak 3 dan 4
ekor.
Berdasarkan Gambar 19 maka dapat diperoleh persamaan regresinya, yaitu
y = 1,6x - 1; parameter Y menunjukkan rata-rata jumlah Artemia yang mati dan
parameter X menunjukkan konsentrasi ekstrak metanol (µg/ml). LC50 ditentukan
dengan memasukkan nilai 8 (jumlah 50% Artemia yang mati) sebagai Y, maka
akan diperoleh nilai X sebesar 5.625 µg/L. Nilai X yang diperoleh merupakan
LC50 dari ekstrak kasar metanol yang berarti ekstrak kasar metanol daging ikan
memiliki kadar toksisitas sedang.
Grafik kematian Artemia Salina Pada berbagai Konsentrasi
Jumlah Artemia mati
(ekor)
5
4
3
y = 1,3x - 1
2
R = 0,9657
2
1
0
0 ppm
5 ppm
25 ppm
50 ppm
Konsentrasi ekstrak Ostracoberyu dorygenis metanol (ppm)
Gambar 20. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak
ikan Ostracoberyu dorygenis
Hasil pengujian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak
Hasil
pengujian
menunjukkan
bahwa
peningkatan
konsentrasi
ekstrak
Ostracoberyu dorygenis menyebabkan jumlah kematian Artemia bertambah.
Konsentrasi 50 µg/ml menyebabkan jumlah kematian terbesar dari Artemia, yaitu
Artemia yang mati sebanyak 4 ekor (rata-rata dua kali ulangan). Konsentrasi 5
µg/ml dan 25 µg/ml masing-masing menyebabkan kematian terhadap Artemia
sebanyak 2 dan 3 ekor.
Berdasarkan Gambar 20 maka dapat diperoleh persamaan regresinya, yaitu
y = 1,3x - 1; parameter Y menunjukkan rata-rata jumlah Artemia yang mati dan
parameter X menunjukkan konsentrasi ekstrak metanol (µg/ml). LC50 ditentukan
dengan memasukkan nilai 8 (jumlah 50% Artemia yang mati) sebagai Y, maka
akan diperoleh nilai X sebesar 6.923 µg/L. Nilai X yang diperoleh merupakan
LC50 dari ekstrak kasar metanol yang berarti ekstrak kasar metanol daging ikan
memiliki kadar toksisitas sedang.
Jumlah Artemia mati
(ekor)
Grafik kematian Artemia Salina Pada berbagai Konsentrasi
7
6
5
4
3
2
y = 1,9x - 2
R2 = 0,9627
1
0
0 ppm
5 ppm
25 ppm
50 ppm
Konsentrasi ekstrak Godamus colleti metanol (ppm)
Gambar 21. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak
ikan Godamus colleti
Hasil pengujian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak
Hasil pengujian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak Godamus
colleti menyebabkan jumlah kematian Artemia bertambah. Konsentrasi 50 µg/ml
menyebabkan jumlah kematian terbesar dari Artemia, yaitu Artemia yang mati
sebanyak 4 ekor (rata-rata dua kali ulangan). Konsentrasi 5 µg/ml dan 25 µg/ml
masing-masing menyebabkan kematian terhadap Artemia sebanyak 2 dan 3 ekor.
Berdasarkan Gambar 21 maka dapat diperoleh persamaan regresinya, yaitu
y = 1,9x - 2; parameter Y menunjukkan rata-rata jumlah Artemia yang mati dan
parameter X menunjukkan konsentrasi ekstrak metanol (µg/ml). LC50 ditentukan
dengan memasukkan nilai 8 (jumlah 50% Artemia yang mati) sebagai Y, maka
akan diperoleh nilai X sebesar 5.263 µg/ml. Nilai X yang diperoleh merupakan
LC50 dari ekstrak kasar metanol.
Nilai LC50 menunjukkan bahwa ekstrak kasar metanol ikan-ikan laut
dalam yang diteliti memiliki kadar toksisitas yang sedang, karena berada dalam
kisaran bahan yang memiliki toksisitas sedang (LC50
:
1.000-10.000 µg/ml)
(Kamrin 1997).
Bioaktivitas hewan sangat dipengaruhi oleh kandungan senyawa kimia
yang terdapat didalamnya. Perbedaan kandungan senyawa kimia yang ada
menunjukan perbedaan aktifitas farmakologis dari tanaman yang bersangkutan.
Selain dipengaruhi oleh jenis senyawa kimia, metoda yang digunakan untuk
melakukan uji bioaktivitas juga memegang peranan penting dalam memberikan
hasil yang ingin diketahui dari aktifitas hewan tersebut (Lisdawati 2002).
Penelitian yang telah dilakukan hingga saat ini menyatakan bahwa
toksisitas berkaitan erat dengan kandungan senyawa kimia yang terkandung
didalamnya (Lisdawati 2002).
Batas aktifitas biologi adalah dengan nilai LC50<1000 µg/L (Meyer 1982).
Berdasarkan hasil uji toksisitas tahap awal ini dapat dikatakan ekstrak kasar
metanol memiliki tingkat toksisitas dibawah batas aktifitas biologi, dengan kata
lain masih dapat dimanfaatkan untuk dikonsumsi secara aman.
V. KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Hasil analisis proksimat terhadap kandungan gizi ikan laut dalam adalah
kandungan protein, kandungan lemak kandungan air dan kandungan abu masingmasing rata-rata 23,0-24,8%, 2,1-4,1 %, 70,1-72,1 % dan 1,7-2,4%. Ikan
Hoplosthethus sp memiliki kandungan protein lebih tinggi dari ikan laut dalam
lainnya yaitu sebesar 24,8%.
Ikan laut dalam memiliki 17 asam amino penting yang diperlukan tubuh.
Sembilan diantaranya adalah asam amino essensial (Arginin, Histidin, Isoleusin,
Leusin, Lisin, Metionin, Fenilalanin, Triptofan, Valin), dan delapan lainnya
adalah asam amino non essensial (Asam Glutamat, Asam Aspartat, Sistein,
Glutamin, Glisin, Prolin, Serin, Alanin).
Dari semua ikan laut dalam yang
dianalis kandungan asam aminonya, dapat terlihat bahwa Leusin mendominasi
dari segi kuantitas untuk setiap ikan.
Pada uji Liebermann Burchad, ikan laut dalam menunjukkan hasil positif
terhadap pendugaan adanya steroid. Hasil ini diperkuat dengan uji Infrared yang
menunjukkan adanya kemiripan gugus fungsi ikan laut dalam dengan steroid
standar.
Ekstrak ikan Beryx splendens dari pelarut kloroform menunjukkan hasil
yang positif dalam menghambat pertumbuhan bakteri E.coli dan Staphylococcus
aureus.
Zona hambat eksrak kloroform 50 ppm dari ikan Beryx spelndens
terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan E.coli masing-masing sebesar 2,5 dan
0,5 mm. Sedangkan zona hambat ekstrak kloroform 700 ppm sebesar 11,5 dan
3,5 mm. Aktivitas antibakteri ekstrak kloroform bersifat bakteristatik.
Ikan laut dalam
rata-rata memiliki tingkatan toksisitas yang sedang,
dengan nilai diantara 1.000-10.000 µg/L.
5.2 Saran
Perlu diadakan penelitian lanjutan mengenai kandungan asam lemak tak
jenuh dari ikan laut dalam.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi SS. 1992. Teknik Kimia Organik, Bogor.Jurusan Kimia. Fakultas Matem
atika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.
Adnan M. 1997. Teknik Kromatografi dalam Analisis Bahan Pangan Pertanian.
Yogyakarta. Penerbit ANDI,
Aidil M. 1998. Mempelajari sifat daya hantar listrik terhadap tingkat kesegaran
ikan. [Skripsi]. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut
Pertanian Bogor.
Aldrich. 1993. Katalog Handbook of Fine Chemical. 1992-1993
Anonim. 2004. Red fish. http://www.infofish.com [Maret 2005].
Anonim.
2005. Amino
[Februari 2005].
Acids.
http://www.realtime.net/anr/aminoacd.html.
Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedamawati, Budiyanto S. 1989.
Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar
Universitas, Institut Pertanian Bogor.
Atlas RM. 1984. Microbioloy Fundamentals and Aplication. London, New York:
Macmillan Publishing Company and Cillier Macmillan Publisher.
Bangun AP, Sarwono B. 2002. Khasiat dan Manfaat Mengkudu. Bogor. Agro
Media Pustaka.
Barry AL. 1986. Procedure for testing antimicrobial agents in agar media :
theoritical consideration. Di dalam : Lorian V, Editor. Antibiotics in
Laboratory. Baltimore: The Williams and Wilkins Co.
Barton R. 1977. The Oceans. Di dalam Fleming NC, editor. The Undersea. New
York : Mcmillan Publishing Co. Inc.
Bell SM. 1984. Antibiotic Sensitifity Testing by The CDS Methods.New Shout
Wales. The Prince of Wales Hospital.
Bhagavan NV. 1992. Medical Biochemistry. Boston. London. Jones and Bartlett
Publishers.
Boyd, C.E.1990. Water Quality in Pond for Aquaculture. Alabama. Alabama
Agricultural Experiment Station. Auburn University
Branen LA, Davidson PM. 1993. Antimicrobial in Foods. New York. Marcell
Dekker, Inc.
[BRKP] Balai Riset Kelautan dan Perikanan. 2001. Pengkajian Stok Ikan di
Perairan Indonesia. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan.
Brock TD, Madigan. 1991. Biology of Microorganism. New York. Prentice Hall
International.
Brunn A. 1957. Deep-sea Abyssal Depths. Di dalam: Hedgpeth, J.W., editor. The
Treatise on Marine Ecology and Paleoecology. Memoir 67. Geol. Soc.
Of Amer. Washington D.C: America-Commite of Division of Earth
Science, National Research Council. National Academy of Sciencies.
Bab 22, hlm. 641-672
Carballo JL, Hernandez-Inda ZL, Perez P, Garcia-Gravalos MD. 2002. A
comparison between two brine shrimp assay to detect in vitro
cytotoxicity in marine natural product. J BMC Biotechnology 2(17):
1-5
[CCOHS] Canadian Center for Occupational Health and Safety. 1999. What does
LD50 and LC50 mean. www.cchos.ca/chemicals/LD50.html.
[3 Desember 2004].
Clucas I J. 1985. Fish Handling. Preservation and Processing in The Tropics.
Part 1. London. Tropical Development Research Institut.
Darusman LK, Sajuthi D, Komar, Pamungkas J. 1995. Naskah Seminar :
Ekstraksi komponen bioaktif sebagai obat dari kerang-kerangan, bunga
karang dan ganggang laut dari perairan pulau Pari Kepulauan Seribu.
Buletin Kimia. Bogor: FMIPA, Institut Pertanian Bogor.
Davidson PM, Branen AL. 1993. Antimicrobial in Foods. Ed ke-2. New York:
Marcell Dekker, Inc.
Davis RAJr. 1991. Oceanograpgy, An Introduction to The Marine Enviroment.
USA: Wm.C. Brown Publishers.
Dence JB. 1980. Steroids and Peptides. New York. A John Wiley and Sons, Inc.
Devlin TM. 1993. The Text Book of Biochemistry. With clinical Correlation.
Third Edition. New York, Chicester, Brisbane, Toronto, Singapore
Whiley Liss, A John Wiley and Sons Inc. Publication. 1185pp.
Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan, Bogor. Pusat Antar Universitas. Institut
Pertanian Bogor.
Fatah AM. 1992. Buku Teks Wilson dan Gisuold Kimia Farmasi dan Medisinal
Organik (Terjemahan). Edisi ke tujuh Bagian dua. Semarang. IKIP
Semarang Press.
Fennels MJ. and Scanes C.G.. 1992a. Inhibition of growth in chickens by
testosterone. Poultry Science. 71 (3): 539-547.
Fennels MJ. Radecki SV, Proudman JA. and Scanes CG. 1996. The suppresire
effect of testosterone in growth in young chickens appear to be mediated
via a peripheral androgen receptor; Studies of the anti androgen. ICI
176,334. Poultry Science 75: 763-766.
Ferdiansyah. 2000. Toiksisitas dan daya anestesi minyak cengkeh terhadap benih
ikan patin (Pangasius sp). [Skripsi]. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Florey K. 1975. Analitycal Profiles of Drug Substances, Vol .4, New York.
Academic Press, hal.297.
Frazier WC dan Westhoff DC. 1978. Food Microbiology. New Delhi. Mc.
Graw – Hill Publisher Co. Limited.
Ganong. 1983. Fisiologi Kedokteran. Jakarta. EGC.
Gloerfelt TT, Kailola PJ. 1984. Trawled Fishes of Southern Indonesia and
Northwestern Australian. The Directorate General of Fiosheries,
Indonesia.Harborne, JB. 1973. Phytochemical Methods. London:
Chapman and Hall Ltd.
Goodwin TW. 1952. Comparative Biochemistry of Caretonoids. London.
Chapman and Hall.
Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta. Penerbit
Liberty.
Harborne JB. 1973. Phytochemical Methods. London. Chapman and Hall.
Harper LJ, Deaton BJ dan Driskel JA. 1988. Pangan, Gizi, dan Pertanian.
Sutardjo, penerjemah. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Jakarta.
Terjemahan.
Hartono A. 1999. Biokimia (Terjemahan). Edisi ke-24. Penerbit Buku Kedokteran.
EGC. Jakarta. John ORR. 1981. Hongkong Nudibranch. Published by
the Urban Council Hongkong.
Heat, HB dan Reineccius G. 1986. Produk Alami Lautan. Westport Connecticut.
Art Publ. Co. Inc
Hedgpeth JW. 1957. Clasification of Marine Enviroment. Di dalam: Hedgpeth,
J.W., editor. 1963. The Treatise on Marine Ecology and Paleoecology.
Vol 1. Ecology. Washington D. C: America-Commite of Division of
Earth Science, National Research Council. National Academy of
Sciencies.
Herman RL. 1972. "The Principles of Teraphy in Fish Deseases”. Deseases of
Fish. Symposia of The Zoological Society of London. Number 30. New
York. In: Mawdesley LE, Thomas. Academic Press. P 141-151.
Ilyas S. 1983. Teknologi Refrigerasi
Hasil Perikanan. Jilid 1: Teknik
Pendinginan Ikan. Jakarta. CV. Paripurna.
Isnansetyo AK. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton.
Yogyakarta: Kanisius.
Jamal B. 2003. Keadaan limnologi kolam tadah hujan pada budidaya ikan gurame
(Ophronemus gouramy). [Skripsi]. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Kamrin MA. 1997. Pesticide Profile : Toxicity, Enviromental, Impact and Fate.
Boca Raton: Lewis Publisher.
Karleskin GJr. 1998. Introduction To Marine Biology. United State of Amerika.
Harcourt Brace Company.
Khusniya T. 2004. Penapisan senyawa antibakteri dan antioksidan dari kulit
batang sentigi (Pemphis acidula). [Skripsi]. Bogor. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Koesman, JH. 1983. Pengantar Umum Toksisitas. Yogyakarta. UGM Press.
97 Hal.
Lehninger AL. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Jilid 2. Thenawidjaja M,
penerjemah. Jakarta. Penerbit Erlangga. Terjemahan.
Lisdawati
V.
2002.
Buah
mahkota
dewa.
http://www.mahkotadewa.com/KLINIK/Vivi.htm. [8 Agustus 2005].
Marni NA. 2001. Toksisitas daun kirinyuh (Chromolaena odorata) terhadap ikan
gurame (Osphronemus gouramy). [Skripsi]. Bogor. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Marshall NB. 1971. Exploration in The Life of Fishs. Massachusetts: Harvard
University Press. Cambridge.
McConnaughey BH, Zottoli R. 1983. Introduction to Marine Biology 2. London.
The C.V. Mosby Company.
Metelev VV, Kahaev AL, Dzasokllova NG. 1983. Water Toxicology. New Delhi.
American Publishing. 203 p.
Michael AS, Thompson CG, Abramovitz M. 1956. Artemia salina as a Test
Organism for Bioassay. Science 123 : 464.
Miller H. 1913. Rahasia Di Laut
[8 Desember 2004]
Dalam. http://desslosqualene.tripod.com/.
Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta. PT.
Penebar Swadaya.
Mustofa AF. 1982. Buku Teks Wilson dan Gilsvold Kimia Farmasi dan Medisinal
Organik. Semarang. IKIP Semarang Press.
Nontji A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta. Penerbit Jambatan.
Nur MA, Adijuwana H. 1989. Teknik Pemisahan dalam Analisis Biologi. Bogor.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi. Pusat antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertaniaan Bogor.
Nur MA, Adijuwana H dan Kosasih. 1992. Penuntun Praktikum: Teknik
Laboratorium. Bogor. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu
Hayat. Institut Pertanian Bogor.
Nybakken JW. 1988. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. Eidman M,
penerjemah. Jakarta. Penerbit Gramedia. Terjemahan dari Marine
Biology: (An Ecological Approach).
Parish ME, Davidson PM. 1993. Method for Evaluation. Di dalam: Davidson
PM, Branen AL, Editor. Atimicrobial in Food. Edisi ke-2. New York:
Marcel Dekker, Inc. Hlm 597-612.
Parin N, Paxton J. 1990. Australia’s East Coast Gemfish. Vol. 49. No. 5.
Australia: Australian Fisheries.
Pelczar MJ. dan Reid RD. 1977. Microbiology. Tokyo. Mc. Graw – Hill Book Co,
Inc. Kogusha Co. Ltd.
Pelczar MJ, Chan ECS. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jilid 2. Hadioetomo RS,
Imas , Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah. Jakarta: Universitas
Indonesia Press. Terjemahan dari Elements of Microbiology.
Perkins C. 1992. Seafood Handbook, The Andvanced, Selling The Benefit; Taste,
Nutrition and Safety. USA: Rockland, Maine.
Pipkin BW et al. 1987. Laboratory Exercise in Oceanography, 2nd Ed. New
York : W. H. Freeman and Company.
Poedjiadi A. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta. Penerbit Universitas
Indonesia.
Prijanto D. 1984. Identifikasi hormon steroid dalam obat kontrasepsi oral.
[Skripsi]. Jakarta. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan.
Universitas Indonesia.
Rath NC, Huff WE, Balong JM and Bayyari GR.1996. Effect of Gonad Steroid
on Bone and Other Physiological Parameters of Male Broiler Chickens.
Poultry Science. 75: 4.
Riris ID.1994. Steroid dalam kerang hijau. Tesis. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Schelegel HG, Schmidt K. 1994. Mikrobiologi Umum. Yogyakarta : Gajah Mada
Press.
Shahidi
F, Naczk M. 1995. Food Phenolic. Lancester-Basel :
Publishing Co.Inc.
Technomic
Sigma. 2000. Biochemichals Organic Compounds for Research and Diagnostic
Reagents. Sigma Chemical Company.
Simorangkir JH. 1984. Studi Spektra Inframerah Monosakarida.
http://167.205.4.4/go.php ? id =jbptitbpp-gdl-s2-2004-johannesho-1734.
[Agustus 2005].
Sprague JB. 1990. Aquatic Toxicology. Method for Fish Biology. In: Carl B.
Schreck and Peter B. Moyle (Eds). USA.American Fisheries Society. P
493-528.
Standsby ME, Olcott HS. 1963. Compotion of fish. Di dalam: M.E. Stansby,
editor. Industrial Fishery Technology. New York: Reinhold Publising
Company.
Sudarmadji S, Haryono B dan Suhardi. 1989 Analisa Bahan Makanan dan
Pertanian. Yogyakarta. Penerbit Liberty Yogyakarta Bekerja Sama
dengan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Universitas Gadjah
Mada.
Suhartini S. 2003. Penapisan awal Caulerpa racemosa, Sesuvium portulacastrum,
Xylocarpus granatum dan Ulva lactuna sebagai antimikroba [Skripsi].
Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Suman A. 2005. Potensi Steroid Pada Ikan Laut Dalam. http://. Kompas.com/.
[Juni 2005]
Sumich JL. 1992. An Introduction to Biology of Marine Life, 5th Ed. USA : Wm.
C. Brown Publishers.
Suyani. 2002. Mempelajari efektivitas khitosan dan menghambat kemunduran
mutu suatu kerusakan yang diakibatkan oleh pertumbuhan kapang pada
ikan teri kering. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Institut Pertanian Bogor.
Tortora GJ, Funke BR, Case CL. 1989. Microbiology and Introduction. Ed ke-3.
California: The Benjamin/Cumming Publisher Company, Inc.
Utama EP. 2002. Senyawa antibakteri dari ekstrak etil asetat kulit batang pelawan.
[Skripsi]. Bogor. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Institut Pertanian Bogor.
Webber HH, dan HV. Thurman. 1991. Marine Biology, 2nd Ed. USA : Harper
Collins Publishers.
Wheeler A. 1975. Fishes of The World. An Illustrated Dictionary. New York.
Mac Millan Publishing Co.Inc.
Wilson BR, Gilsvold HJ. 1982. Endrocrinology. New York. CIBA Foundation.
Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Zaitsev V et al. 1969. Fish Curing and Processing. Moscow: MIR Publishing.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Contoh perhitungan senyawa asam amino pada uji asam amino.
Berat Molekul Asam Amino (µg/µmol)
Jenis Asam Amino
Asam Aspartat
Asam Glutamat
Serin
Histidin
Glisin
Treonin
Arginin
Alanin
Tirosin
Metionin
Valin
Fenilalanin
Isoleusin
Leusin
Lisin
Berat Molekul
133,10
147,10
105,09
155,16
75,05
119,12
174,20
89,09
181,19
144,21
117,15
165,19
131,17
131,17
146,19
Persentase asam amino A1 (Ikan Dietmoides pauciradiatus)
Luas area contoh
× 2,5µg x BM x 10 x 100
Luas area s tan dar
=
Bobot sampel 0,25 g
Luas area contoh
× 2,5µg x BM x 10 x 100
Luas area s tan dar
=
Bobot sampel 250.000 µg
52376
× 2,5 x133.1x10 x100
173077
=
= 0,402 (Asam Aspartat)
250.000
76035
× 2,5 x147.1x10 x100
= 206822
= 0,540 (Asam Glutamat)
250.000
Lampiran 2. Hasil uji asam amino standar sampel
Puncak jenis-jenis asam amino
Luas Area Sampel
Lampiran 3. Hasil uji asam amino ikan Diretmoides pauciradiatus
Puncak jenis-jenis asam amino
Luas Area Sampel
Lampiran 4. hasil uji asam amino ikan Benthodesmus tenuis
Puncak jenis-jenis asam amino
Luas Area Sampel
Lampiran 5. Hasil uji asam amino ikan Beryx splendens
Puncak jenis-jenis asam amino
Luas Area Sampel
Lampiran 6. Hasil uji asam amino ikan Hoplothethus crassipinus
Puncak jenis-jenis asam amino
Luas Area Sampel
Lampiran 7. Hasil uji asam amino ikan Hoplothethus sp.
Puncak jenis-jenis asam amino
Luas Area Sampel
Lampiran 8. Hasil uji asam amino ikan Ophidiidae
Puncak jenis-jenis asam amino
Luas Area Sampel
Lampiran 9. Hasil uji asam amino ikan Ostracoberyu dorygenis
Puncak jenis-jenis asam amino
Luas Area Sampel
Lampiran 10. Hasil uji asam amino ikan Godamus colleti
Puncak jenis-jenis asam amino
Luas Area Sampel
Lampiran 11. Hasil uji asam amino ikan Myctophidae sp.
Puncak jenis-jenis asam amino
Luas Area Sampel
Lampiran 12. Hasil uji asam amino ikan Hyteroglypne japonica
Puncak jenis-jenis asam amino
Luas Area Sampel
Lampiran 13. Contoh perhitungan persen rendemen
¬ Persen rendemen Ekstraksi Senyawa Antibakteri Ikan Laut Dalam
Rendemen (%) =
Rendemen (%) =
Rendemen (%) =
Massa ekstrak kasar (gram)
Massa sampel (gram)
0,3520 gram
20,00 gram
x 100%
x 100%
1,76
¬ Persen rendemen Ekstraksi Senyawa Steroid Ikan Laut Dalam
Rendemen (%) =
Rendemen (%) =
Rendemen (%) =
Massa ekstrak kasar (gram)
Massa sampel (gram)
0,2282 gram
20,0000 gram
1,14
x 100%
x 100%
Lampiran 14.
Contoh perhitungan konsentrasi ekstrak pada uji aktivitas
antibakeri.
Perhitungan konsentrasi ekstrak pada uji aktivitas antibakteri
Diketahui : Konsentrasi ekstrak (s) : 50 µg/ml
Volume ekstrak pada paper disc (p) : 20 µl.
Volume pelarut (untuk melarutkan ekstrak) (q) : 0,1 ml = 100 µl
Volume media agar (Bacto agar) (r) : 15 ml = 15000 µl
Ditanya : Berat Ekstrak yang dibutuhkan (x) : ………………?
Jawab
: Konsentrasi ekstrak ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :
x 
 xp 
q 
Konsentrasi ekstrak (s) = 
r
50 µg/ml


6 µg
 x( g ) x10

g

x20µl 


100




=
15ml
= 3250 µg = 3,25 mg = 0,00325 g.
Jadi untuk mendapatkan ekstrak dengan konsentrasi 50 µg/ml
diperlukan berat ekstrak sebesar 0,00325 g.
maka
Lampiran 15. Contoh perhitungan konsentrasi ekstrak pada uji toksisitas
dengan Artemia salina Leach.
Perhitungan konsentrasi ekstrak
Diketahui : Konsentrasi ekstrak (s1) : 5 µg/ml
Konsentrasi ekstrak (s2) : 25 µg/ml
Konsentrasi ekstrak (s3) : 50 µg/ml
Volume ekstrak yang ditambahkan ke dalam air laut (p) : 20 µl
Volume pelarut (untuk melarutkan ekstrak) (q) : 1 ml = 1000 µl
Volume air laut (l) : 20 ml = 20000 µl
Ditanya : Berat Ekstrak yang dibutuhkan untuk masing-masing konsentrasi
ekstrak (xn) : ………………?
Jawab
: Berat ekstrak yang dibutuhkan untuk mendapatkan konsentrasi
5 µg/ml……….? Konsentrasi ekstrak ditentukan dengan persamaan
sebagai berikut :
x 
 xp
q 
Konsentrasi ekstrak (s1) =
l
5 µg/ml


6 µg
 x( g ) x10

g

x 20µl 


1000



= 
20ml
= 5000 µg = 5 mg = 0,005 g.
Jadi untuk mendapatkan ekstrak dengan konsentrasi 5 µg/ml
diperlukan berat ekstrak sebesar 0,005 g.
maka
Lampoiran 16. Grafik spektrum panjang gelombang infrared ikan Dietmoides pauciradiatus
C=C
C-H
C-O
CH=N=N
C-H
C-O
C-O
C-H
C=C
O
O-H
O-H
96
A1 : Dietmoides pauciradiatus
Lampoiran 17. Grafik spektrum panjang gelombang infrared ikan Benthodesmus tenuis
C-H
C-H
C=C
CH=N=N
C-O
NO2
C=C
O
O-H
C-O
C-O
C-O
O-H
97
A2 : Benthodesmus tenuis
Lampoiran 18. Grafik spektrum panjang gelombang infrared ikan Beryx splendens
C-H
C-H
C=C
NO2
C-O
C=C
C-O
O-H
C-H
O-H
C-O
98
A3 : Beryx splendens
C=O
Lampoiran 19. Grafik spektrum panjang gelombang infrared ikan Hoplosthethus crassipinus
C=C
C-H
C-H
NO2
C-O
O
C=C
O-H
C-H
C-O
C-O
A4 : Hoplosthethus crassipinus
99
Lampoiran 20. Grafik spektrum panjang gelombang infrared ikan Hoplosthethus sp
C=C
CH=N=N
NO2
C-O
O
C-H
C=C
C-O
C-H
O-H
C-O
O-H
C-H
A5 : Hoplothethus sp
100
Lampoiran 21. Grafik spektrum panjang gelombang infrared ikan Ophidiidae
C=C
CH=N=N
NO2
C-O
C-H
C=C
C-O
C-H
C-O
O-H
O-H
C-H
C=O
A6 : Ophidiidae
101
Lampoiran 22. Grafik spektrum panjang gelombang infrared ikan Ostracoberyx dorygenis
C=C
NO2
C-O
C-H
C=C
C-O
C-H
C-O
O-H
C-H
102
A7 : Ostracoberyx dorygenis
C=O
Lampoiran 23. Grafik spektrum panjang gelombang infrared ikan Godamus colleti
NO2
C-O
C-H
C=C
C-O
C-H
O-H
C-O
O-H
C-H
103
A9 : Godamus colleti
C=O
Lampiran 24. Ikan-ikan laut dalam yang diteliti
Hoplosthethus crassipinus
Benthodesmus tenuis
Beryx splendens
Hoplothethus sp.
104
Ophidiidae
Dietmoides pauciradiatus
Hyteroglypne japonica
Godamus colleti
Myctophidae
105
Ostracoberyx dorygenis
Download