KAJIAN AWAL PEMANFAATAN BEBERAPA IKAN LAUT DALAM DI PERAIRAN BARAT SUMATERA SEBAGAI SUMBER PANGAN DAN OBAT-OBATAN Oleh : ARIN DAMAYANTI C34101072 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 RINGKASAN ARIN DAMAYANTI (C34101072). Kajian Awal Pemanfaatan Beberapa Ikan Laut Dalam di Perairan Barat Sumatera sebagai Sumber Pangan dan Obat-obatan. Dibimbing oleh: SUGENG HERI SUSENO Pemanfaatan ikan pelagis di perairan selat Malaka dan laut Jawa telah mencapai tingkat lebih dari 100% atau dengan kata lain telah terjadi over fishing. Oleh karena itu perlu dilakukan alternatif penangkapan (fishing ground) baru untuk mengganti dan mempertahankan hasil tangkapan dalam pemenuhan gizi masyarakat, yaitu laut dalam. Kandungan gizi dan senyawa bioaktif yang menyebabkan ikan laut dalam dapat berfungsi sebagai obat-obat masih belum diketahui. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui kandungan gizi, kandungan hormon steroid dan antibakteri dari ikan laut dalam. Untuk menentukan kandungan gizi ikan laut dalam dilakukan uji proksimat dan asam amino, sedangkan penentuan potensi ikan laut dalam sebagai obat-obatan dilakukan uji hormon steroid, antibakteri dan toksisitas. Dari hasil analisis proksimat terhadap kandungan gizi beberapa ikan laut dalam, adalah kandungan protein berkisar 23,0-24,8 %, kadar lemak berkisar 2,1-4,1 %, kadar air berkisar 70,1-72,1 % dan kadar abu berkisar 1,7-2,4%. Ikan laut dalam memiliki 17 asam amino penting yang diperlukan tubuh. Sembilan diantaranya adalah asam amino essensial (Arginin, Histidin, Isoleusin, Leusin, Lisin, Metionin, Fenilalanin, Triptofan, Valin), dan delapan lainnya adalah asam amino non essensial (Asam Glutamat, Asam Aspartat, Sistein, Glutamin, Glisin, Prolin, Serin, Alanin). Pada uji Liebermann Burchad, ikan laut dalam menunjukkan hasil positif terhadap pendugaan adanya steroid. Hasil ini diperkuat dengan uji Infrared yang menunjukkan adanya kemiripan gugus fungsi ikan laut dalam dengan steroid standar. Berdasarkan uji antibakteri, hanya ekstrak dari ikan Beryx splendens yang dapat menghambat kedua bakteri uji, Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Ekstrak kloroform dapat menghambat pertumbuhan kedua bakteri uji, sedangkan ekstrak metanol dan etil asetat tidak menghambat pertumbuhan bakteri uji. Zona hambat ekstrak kloroform 50 ppm dari ikan Beryx splendens terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli masing-masing sebesar 2,5 dan 0,5 mm. Sedangkan zona hambat ekstrak kloroform 700 ppm sebesar 11,5 dan 3,5 mm. Aktivitas antibakteri ekstrak kloroform bersifat bakteristatik. Tingkat toksisitas ditentukan berdasarkan LC50. Nilai LC50 menunjukkan bahwa ekstrak kasar metanol memiliki kadar toksisitas yang sedang, karena berada dalam kisaran bahan yang memiliki toksisitas sedang (LC50 : 1.000-10.000 µg/ml). KAJIAN AWAL PEMANFAATAN BEBERAPA IKAN LAUT DALAM DI PERAIRAN BARAT SUMATERA SEBAGAI SUMBER PANGAN DAN OBAT-OBATAN SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan dan Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Oleh : ARIN DAMAYANTI C34101072 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 SKRIPSI Judul Penelitian : KAJIAN AWAL PEMANFAATAN BEBERAPA IKAN LAUT DALAM DI PERAIRAN BARAT SUMATERA SEBAGAI SUMBER PANGAN DAN OBAT-OBATAN Nama : Arin Damayanti Nrp : C34101072 Menyetujui, Pembimbing Sugeng Heri Suseno, Spi,Msi. NIP 132 234 941 Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Dr. Ir. Kadarwan Soewardi, MSc. NIP 130 805 031 Tanggal Lulus: 10 Oktober 2005 KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah swt atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Penelitian ini dapat menjadi penuntun bagi penulis dalam rangka menyelesaikan tugas akhir dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana. Penelitian yang dilaksanakan berjudul ”Kajian Awal Pemanfaatan Ikan Laut Dalam di Perairan Barat Sumatera Sebagai Sumber Pangan dan Obat-obatan”. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dosen pembimbing Bapak Sugeng Heri Suseno,SPi, MSi yang telah memberikan bimbingan dalam penelitian ini, Ibu Desniar,Spi, Msi dan Ibu Ir.Nurjanah, MS selaku Dosen penguji atas kritik dan masukan yang sangat membantu. Ucapan terima kasih juga kepada Ayah dan Ibu tercinta serta anggota kelurga yang lain, karena doa dan usaha mereka penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih pada para sahabat seperti Intan, Ima, Titis, Mira, Yanti, Hani serta novi yang selalu mensupport untuk bersemangat, Fanni dan Aqi, Ikwah FPIK yang tiada kenal menyerah dalam berjuang karena Allah, anak-anak MATRIX 38, THP 38, anak-anak Citra lslami, teman-teman di Darul fikri dan yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Saya berharap semoga karya ilmiah ini diridhoi oleh Allah serta memberikan manfaat bagi seluruh umat manusia. Bogor, Oktober 2005 Penulis RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pontianak, 15 Februari 1983 dari ayah Surip Djunaedi dan ibu Karsiyem. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara. Penulis sekolah dasar di SD Negeri 2, Pontianak dan sekolah menengah pertama di SMP Negeri 3, Pontianak. Kemudian penulis melanjutkan sekolah menengah umum di SMU Negeri 1 Pontianak. Penulis masuk ke Institut Pertanian Bogor pada tahun 2001 melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Penulis memilih Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama sebagai mahasiswa di IPB, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional dan asisten Pendidikan Agama Islam. Selain di bidang non akademik, penulis juga pernah aktif di berbagai organisasi, seperti Himasilkan, Fish Processing Club dan FKM-C. DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .................................................................................... iv DAFTAR ISI ................................................................................................... vi DAFTAR TABEL........................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ix 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1 1.2. Tujuan Penelitian................................................................................. 2 1.3. Waktu dan Tempat .............................................................................. 2 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembagian Zonasi Laut Dalam ........................................................... 3 2.2. Karakteristik Laut Dalam .................................................................... 4 2.3. Identifikasi Ikan Laut Dalam .............................................................. 6 2.4. Kandungan Nutrisi Ikan Laut Dalam ....................................................... 10 2.5. Analisis asam amino dengan High Ferformance Liquid Cromatography (HPLC) ........................................................................... 12 2.6. Steroid ................................................................................................. 13 2.6.1. 2.6.2. 2.6.3. 2.6.4. 2.6.5. Struktur steroid .......................................................................... Steroid yang terdapat di alam ................................................... Aktivitas steroid ........................................................................ Identifikasi steroid..................................................................... Uji infra merah .......................................................................... 13 14 14 14 15 2.7. Antimikroba ........................................................................................ 15 2.7.1. Ekstraksi senyawa antimikroba .................................................. 2.7.2. Bakteri uji ................................................................................... 16 17 2.8. Uji Toksisitas...................................................................................... 18 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Bahan dan Alat ..................................................................................... 20 3.2 Prosedur Penelitian............................................................................... 20 3.2.1 Penelitian tahap pertama ............................................................. 3.2.1.1. Uji proksimat.................................................................. 3.2.1.2. Uji asam amino .............................................................. 20 21 23 3.2.2. Penelitian tahap kedua................................................................ 24 3.2.2.1. Uji hormon steroid ......................................................... 3.2.2.2. Uji antibakteri................................................................. 3.2.2.3. Uji toksisitas ................................................................... 24 27 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penelitian Tahap Pertama.................................................................... 32 4.1.1. Uji proksimat............................................................................. 4.1.2. Uji asam amino.......................................................................... 32 37 4.2. Penelitian Tahap Kedua....................................................................... 40 4.2.1. Uji hormon steroid ..................................................................... 4.2.1.1. Ekstraksi senyawa hormon steroid................................ 4.2.1.2. Uji liebermann burchad ................................................. 4.2.1.3. Uji infra merah .............................................................. 4.2.2. Uji Antibakteri............................................................................ 4.2.2.1. Ekstraksi senyawa antibakteri ....................................... 4.2.2.2. Uji aktivitas antibakteri ................................................. 4.2.3. Uji toksisitas ............................................................................... 40 40 42 44 55 55 57 62 5. KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 74 LAMPIRAN .................................................................................................... 80 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Zona-zona fauna laut dalam ....................................................................... 4 2. Karakteristik lingkungan laut (daerah beriklim sedang dan tropika) ......... 6 3. Hasil analisis proksimat pada ikan laut dalam (%) .................................... 32 4. Kandungan zat gizi pada ikan mas dan kembung ...................................... 34 5. Hasil analisis asam amino pada ikan laut dalam (%) ................................. 38 6. Rendemen hasil ekstraksi senyawa steroid ikan laut dalam....................... 41 7. Hasil analisis hormon steroid pada ikan laut dalam .................................. 42 8. Ikatan-ikatan penting absorpsi infra red (ir) .............................................. 45 9. Ikatan-ikatan penting absorpsi infra red (ir) ikan Diretmoides pauciradiatus.............................................................................................. 47 10. Ikatan-ikatan penting absorpsi infra red (ir) ikan Benthodesmus tenuis.. 48 11. Ikatan-ikatan penting absorpsi infra red (ir) ikan Beryx splendens ......... 49 12. Ikatan-ikatan penting absorpsi infra red (ir) ikan Hoplothethus crassipinus.................................................................................................. 50 13. Ikatan-ikatan penting absorpsi infra red (ir) ikan Hoplothethus sp ......... 51 14. Ikatan-ikatan penting absorpsi infra red (ir) ikan Ophidiidae.................. 52 15. Ikatan-ikatan penting absorpsi infra red (ir) ikan Ostracoberyu dorygenis .................................................................................................... 53 16. Ikatan-ikatan penting absorpsi infra red (ir) ikan Godamus colleti......... 54 17. Rendemen hasil ekstraksi senyawa antibakteri ikan laut dalam ................ 56 18. Hasil uji antibakteri pada ikan laut dalam dengan konsentrasi 50 ppm .... 58 19. Hasil uji toksisitas pada ikan laut dalam dengan Artemia Salina leach .... 63 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Klasifikasi lingkungan laut Hedgpeth (1957) ............................................ 4 2. Struktur konformasi steroid........................................................................ 13 3. Ekstraksi senyawa steroid ikan laut dalam................................................. 26 4 Ekstraksi senyawa anti bakteri ikan laut dalam ......................................... 28 5. Histogram persentase protein dalam ikan laut dalam................................. 33 6. Histogram persentase kadar lemak ikan laut dalam ................................... 35 7. Histogram persentase kadar air ikan laut dalam......................................... 36 8. Histogram persentase kadar abu ikan laut dalam ....................................... 37 9. Keberadaan hormon steroid pada pelarut kloroform................................. 43 10. Grafik spektrum infra merah pada standar (Norethindrone asetat)............ 44 11. Aktivitas ekstrak ikan laut dalam terhadap bakteri S.aureus konsentrasi 50 ppm........................................................................................................ 12. Aktivitas ekstrak ikan laut dalam terhadap bakteri E.coli konsentrasi 50 ppm........................................................................................................ 13. Aktivitas ekstrak ikan laut dalam terhadap bakteri S.aureus dan E.coli konsentrasi 700 ppm................................................................................... 14. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak ikan Dietmoides pauciradiatus .......................................................................... 15. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak ikan Benthodesmus tenuis .................................................................................. 16. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak ikan Beryx splendens .................................................................................................... 17. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak ikan Hoplosthethus crassipinus.......................................................................... 18. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak ikan Hoplosthethus sp ........................................................................................ 19. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak ikan Ophidiidae .................................................................................................. 20. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak ikan Ostracoberyu dorygenis ............................................................................. 21. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak ikan Godamus colleti.......................................................................................... 59 60 61 64 65 66 67 68 69 70 71 LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Contoh perhitungan senyawa asam amino pada uji asam amino ............... 81 2. Hasil uji asam amino ikan standar sampel ................................................. 82 3. Hasil uji asam amino ikan Dietmoides pauciradiatus................................ 83 4. Hasil uji asam amino ikan Benthodesmus tenuis ....................................... 84 5. Hasil uji asam amino ikan Beryx splendens .............................................. 85 6. Hasil uji asam amino ikan Hoplosthethus crassipinus............................... 86 7. Hasil uji asam amino ikan Hoplosthethus sp ............................................. 87 8. Hasil uji asam amino ikan Ophidiidae ....................................................... 88 9. Hasil uji asam amino ikan Ostracoberyu dorygenis .................................. 89 10. Hasil uji asam amino ikan Godamus colleti............................................... 90 11. Hasil uji asam amino ikan Myctophidae .................................................... 91 12. Hasil uji asam amino ikan Hyteroglypne japonica .................................... 92 13. Contoh perhitungan persen rendemen........................................................ 93 14. Contoh perhitungan konsentrasi ekstrak pada uji aktivitas antibakteri...... 94 15. Contoh perhitungan konsentrasi ekstrak pada uji toksisitas dengan Artemia salina Leach ................................................................................. 95 16. Grafik spektrum panjang gelombang infra merah ikan Dietmoides pauciradiatus.............................................................................................. 96 17. Grafik spektrum panjang gelombang infra merah ikan Benthodesmus tenuis .......................................................................................................... 97 18. Grafik spektrum panjang gelombang infra merah ikan Beryx splendens... 98 19. Grafik spektrum panjang gelombang infra merah ikan Hoplosthethus crassipinus.................................................................................................. 99 20. Grafik spektrum panjang gelombang infra merah ikan Hoplosthethus sp . 100 21. Grafik spektrum panjang gelombang infra merah ikan Ophidiidae ........... 101 22. Grafik spektrum panjang gelombang infra merah ikan Ostracoberyu dorygenis ................................................................................................... 102 23. Grafik spektrum panjang gelombang infra merah ikan Godamus colleti .. 103 24. Ikan laut dalam yang diteliti....................................................................... 104 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan ikan pelagis menurut data estimasi potensi, produksi dan tingkat pemanfaatan sumber daya ikan pelagis di Indonesia tahun 2001, di perairan selat Malaka dan laut Jawa telah mencapai tingkat lebih dari 100% atau dengan kata lain telah terjadi over fishing (BRKP 2001). Oleh karena itu perlu dilakukan alternatif penangkapan (fishing ground) baru untuk mengganti dan mempertahankan hasil tangkapan dalam pemenuhan gizi masyarakat, dimana laut dalam memiliki potensi untuk menjadi alternatif fishing ground baru. Ikan laut dalam seperti famili Ophidiidae telah dipasarkan secara komersil untuk dikonsumsi di beberapa bagian negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Amerika Selatan dan Eropa dalam bentuk filet segar tanpa tulang dan tanpa kulit atau filet beku, dengan rasa yang manis dan warna daging putih (Perkins 1992). Di Australia, pemanfaatan ikan laut dalam sebagai ikan konsumsi seperti ikan Beryx splendens sudah sangat optimal bahkan sudah melebihi kapasitas penangkapan (over fishing) (Info fish 2004), sedangkan ikan-ikan laut dalam di perairan Indonesia kurang terasa pemanfaatannya, penyebab utamanya adalah kurangnya informasi ekologi tentang laut dalam tersebut. Hal ini disebabkan ciri ekosistem laut yang dinamis dan kegiatan survei tidak dilakukan terus menerus dan berkesinambungan terhadap ikan laut dalam (Nybakken 1988). Pemanfaatan ikan laut dalam di luar negeri sudah dioptimalkan dalam bidang obat-obatan. Salah satunya ikan hiu (Centrophorus atromarginatus gaman) yang hidup pada kedalaman 500 ~ 1.000 meter dimanfaatkan hatinya sebagai squalene, dalam pencegahan infeksi dan penyakit. Selain itu, tulang rawan ikan hiu berfungsi sebagai anti kanker (Miller 1913). Di dalam negeri, khususnya di daerah Banten, pemanfaatan ikan laut dalam masih dalam taraf tradisional (Suman 2005). Ikan laut dalam khususnya ikan Satyrrichtys welchii digunakan oleh masyarakat pesisir Banten sebagai obat kuat dengan cara membakar dan dilarutkan dengan air untuk dikonsumsi sebagai minuman (Suman 2005). Penelitian tentang kandungan gizi ikan-ikan laut dalam di perairan Indonesia hingga sekarang masih belum dilakukan, sedangkan kandungan obat kuat yang terdapat pada ikan laut dalam yang diduga karena adanya senyawasenyawa bioaktif didalamnya masih belum diketahui (Suman 2005). Oleh karena itu perlu dikaji kandungan gizi dan penemuan bahan obat-obatan baru dari ikanikan laut dalam. 1.2. Tujuan Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui kandungan gizi, identifikasi kandungan hormon steroid serta untuk mendapatkan informasi mengenai bahan farmasi (obat-obatan) dari ikan laut dalam. 1.3. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2004-Juli 2005 di Laboratorium Kimia Pangan, Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Laboratorium Bioteknologi Hewan Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Institut Pertanian Bogor serta Badan Penelitian Hasil Pertanian di Cimanggu, Bogor. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembagian Zonasi Laut Dalam Yang dimaksud laut dalam adalah bagian dari lingkungan bahari yang terletak di bawah kedalaman yang dapat diterangi sinar matahari di laut terbuka dan lebih dalam dari paparan benua (>200 m) (Nybakken 1988). Beberapa pembagian daerah (zonasi) laut dalam telah diajukan oleh banyak ilmuwan, namun sampai saat ini belum ada yang dapat diterima secara universal. Penyebab utamanya adalah kurangnya informasi ekologi tentang laut dalam tersebut. Pembagian daerah laut dalam pada umumnya dilakukan dengan membagi kolom air secara sederhana berdasarkan perubahan kedalaman, perubahan suhu, atau keduanya. Juga ada yang mencirikan berdasarkan salinitas atau berdasarkan intensitas cahaya. Cara lainnya yang biasa digunakan adalah membagi laut dalam menjadi beberapa zona berdasarkan kelimpahan, penyebaran (distribusi), dan asosiasi spesies (Nybakken 1988). Berdasarkan asosiasi makhluk hidup terhadap lingkungan, membagi laut dalam menjadi dua zona, yaitu zona bentik (berasosiasi dengan dasar) dan zona pelagis (berasosiasi dengan kolom air). Pencirian zona tersebut juga dihubungkan dengan intensitas cahaya. Ada dua ciri zonasi laut yaitu fotik (ada cahaya) dan zona afotik (tidak ada cahaya) (Nybakken 1988). Pencirian zona tersebut selengkapnya disajikan pada Gambar 1. Gambar 1. Klasifikasi lingkungan laut (Hedgpeth 1957 yang diacu oleh Nybakken 1988) Pembagian zona dari Gambar 1 kemudian dijelaskan kedalam Tabel pengklasifikasian lingkungan laut. Klasifikasi zona-zona tersebut disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Zona-zona fauna laut dalam Cahaya Ada (fotik) Zona Pelagis Epipelagis atau Kisaran Zona Bentik Kisaran Kedalaman Kedalaman (m) (m) 0-200 eufotik Paparan 0-200 benua atau sublitoral Tidak ada Mesopelagis 200-1000 (Afotik) Batipelgis (?) 1000-4000 Abisal pelagis (?) 4000-6000 Hadal pelagis 6000-10000 Batial 200-4000 Abisal 4000-6000 Hadal 6000-10000 Sumber : Hedgpeth, 1957 yang diacu dalam Nybakken, 1988 Catatan : (?) = Berubah-ubah. 2.2. Karakteristik Laut Dalam Berdasarkan penelitian yang intensif dan lama dari para ilmuwan terhadap kondisi lingkungan laut dalam, secara umum dapat disimpulkan bahwa pada kedalaman berapapun di laut dalam, faktor-faktor kimia dan fisika lingkungan hidup laut dalam bersifat sangat konstan selama periode waktu yang panjang (Webber dan Thurman 1991). Gambaran karakteristik dari berbagai lingkungan laut disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Karakteristik lingkungan laut (daerah beriklim subtropis dan tropika) Zona Epipelagis Karakteristik Intensitas cahaya Mesopelagis Batipelagis dan Bentik Bentik dalam (air sepanjang dasar) (0-100 atau (100 atau 200 lebih dalam dangkal 200 m) sampai 1000 m) (sekitar 1000 m (air di atas sampai dasar) dasar) Cukup untuk Zona twiligth fotosintesis Secara esensial Ada bagian Secara esensial tidak ada cahaya yang dapat tidak ada cahaya cahaya dari atas Terjadi Sedikit atau tidak Sedikit atau tidak Terjadi Tidak ada produktivitas ada produktivitas ada produktivitas produktivitas produktivitas primer primer, organisme primer, primer primer kecuali Persediaan migrasi ke atas organisme kemosintesis; makanan untuk makanan migrasi ke atas oganisme atau menunggu untuk makanan menunggu makanan jatuh atau menunggu makanan jatuh dari makanan jatuh atasnya Biasanya Biasanya sekitar o Suhu Biasanya antara o Biasanya antara sekitar 30 C 15oC dan –2oC; sampai 10oC; biasanya turun sampai biasanya turun kadang- sampai 1oC atau sekitar 10oC sampai 1oC atau kadang kurang di bawah kurang di bawah mendekati 0oC 4000 m 4000 m 15-5 C o Biasanya 5 C dan –2 C; sekitar 28 C o o di musim dingin Biasanya Biasanya sekitar Biasanya sekitar Biasanya Biasanya sekitar sekitar 35-34,5‰;air 35-34.5‰;dan antara 40‰ 35-34,5‰; dan 37-32‰ tengah dari sekitar 34,52‰ dan 30‰ 34.52‰ di bawah lintang tinggi di bawah 4000 m dengan runoff 4000 m Salinitas memiliki salinas air tawar lebih kecil Kandungan oksigen Biasanya Biasanya sekitar Biasanya sekitar Biasanya Biasanya sekitar 6- sekitar 7-3,5‰ 5-4‰, dengan 6-5‰ sekitar 7- 4‰, dengan nilai lebih kecil 3.5‰, dengan mendekati kondisi dari 1 pada beberapa anoksik pada oksigen minimum supersaturasi daerah oksigen dan daerah minimum dan di anoksik basin terisolasi Kandungan Biasanya Biasanya sekitar Biasanya sekitar Biasanya Biasanya rendah di nutrisi (pospat sekitar 0-30 30-90 mg/m3 90 mg/m3 tinggi di sedimen bentik di lingkungan 3 mg/m ; tinggi tinggi di daerah sedimen dalam, tapi tinggi pelagis di daerah upwelling bentik di bawah daerah dangkal upwelling dan karbon upwelling organik untuk lingkungan bentik) Sumber : Pipkin et al. (1987) 2.3. Identifikasi Ikan Laut Dalam Ikan laut dalam merupakan ikan yang berada di bagian dari lingkungan bahari yang terletak di bawah kedalaman yang dapat diterangi sinar matahari di laut terbuka dan lebih dalam dari paparan benua (>200 m) (Nybakken 1988). Klasifikasi ikan laut dalam berdasarkan famili: 1) Myctophidae Myctophidae adalah ikan laut dalam yang melimpah sekali pada semua lautan dan menunjukkan adanya migrasi vertikal ke lapisan atas pada malam hari. Ikan ini makan di lapisan atas dan dimakan di lapisan bawah, bertindak sebagai suatu penghubung atau perantara pada sirkulasi makanan dari lapisan atas yang kaya ke lapisan bawah yang miskin makanan (Gloerfelt, Kailola 1984). Famili Myctophidae disebut sebagai ikan lentera yang mempunyai badan dan kepala yang pipih. Mata berkembang baik dan berukuran besar. Mulut besar, terminal atau subterminal dengan rahang memanjang hingga di bawah batas posterior mata. Gigi sangat beragam, tapi tidak ada gigi yang seperti taring. Sirip dorsal tunggal terletak tepat di depan permukaan sirip anal dan memiliki sirip adipose pada bagian dorsalnya. Semua spesies memiliki sekumpulan fotofor pada kepala dan badan, serta organ cahaya lain muncul pada kepala dan ekor. Susunan fotofor dan organ cahaya diperlihatkan pada spesies tertentu dan menjadi salah satu karakteristik yang penting dalam identifikasi. Pada pemunculan organ cahaya, yang paling menarik perhatian adalah kelenjar suprakaudal yang disebut juga “pemburu buritan” (stern chaser). Diperkirakan bahwa organ ini mungkin digunakan sebagai mekanisme bertahan, diaktifkan untuk mengeluarkan cahaya pada saat pemangsa menyerang, kemudian dipadamkan untuk memberi kesempatan ikan melarikan diri sebelum penyerangan disempurnakan. Nama fotofor seharusnya hanya diterapkan pada suatu struktur yang spesifik yang dibentuk dari dua sisik yang dimodifikasi: satu terdiri atas sebuah “cungkup” dengan sel yang tipis dan bertumpuk mendatar, yang lain membentuk suatu lensa bikonveks pada bagian atas “cungkup”. Cahaya kebiru-biruan yang dipancarkan oleh fotofor berasal dari suatu reaksi kimia di dalam sel, ini tergantung pada daerah absorpsi maksimum dari pigmen visual ikan pada ikanikan laut dalam. Nama Inggrisnya Lanternfishes (Gloerfelt dan Kailola 1984). 2) Ophidiidae Seperti “ikan putih” laut lainnya, kingklip (Ophidiidae) memiliki rasa agak manis, aromanya mild. Tekstur dagingnya kenyal, berwarna putih, keras dan padat, kadang-kadang menggantikan lophiidae, tetapi lebih lembut dengan jonjot lepas yang besar. Di pasar dapat dijumpai dalam bentuk filet segar tanpa tulang dan tanpa kulit atau filet beku. Berat keseluruhan rata-rata 20 kg walaupun ikan ini dapat tumbuh dengan panjang 6 kaki dan berat 100 kg (Perkins 1992). Di Eropa, kingklip dipasarkan sebagai cusk eel. Di Selandia Baru disebut ling dan di Amerika Selatan disebut congrio. Di Jepang disebut kingu. Kingklip terutama dipasarkan dalam jumlah eceran dan jarang terlihat di restoran, karena kualitasnya yang bagus dan daging yang bertekstur khas. Kingklip emas, merah dan hitam dipasarkan secara internasional, tetapi di Amerika Serikat lebih menyukai yang berwarna emas dan merah (Perkins 1992). Tidak ditemukan adanya bahaya bagi kesehatan, apabila ditangani dengan baik. Ditemukan pada kedalaman 800 m (Wheeler 1975). 3) Macrouridae Grenadir (Macrouridae) memiliki rasa yang mild (ringan) dan aroma yang harum gurih, sama dengan ikan cod tetapi lebih manis. Di pasaran bebas jarang dijumpai dalam bentuk filet beku tanpa kulit. Dagingnya berwarna putih. Beratnya berkisar antara 7-11 kg dengan panjang berkisar antara 0,6-0,76 meter. Ditemukan pada kedalaman 600 m (Perkins 1992). Sisik grenadir keras. Kanada telah menanamkan modalnya untuk mengembangkan peralatan pengolahan untuk mengakomodasi keunikan yang dimiliki grenadir. Mereka menemukan bahwa proses pembuatan filet bukanlah suatu persoalan setelah perontok sisik menanggalkan “baju zirah” ikan tersebut (Perkins 1992). Walaupun belum ada perikanan yang langsung mengusahakan grenadir, di Kanada spesies ini naik dan datang sebagai hasil samping jaring insang dasar dari perikanan ikan turbot di Greenland. Ikan ini memberikan gambaran yang menjanjikan sebagai ikan berwarna putih dengan rasa ringan dan dapat dipasarkan. Jika ditangani dengan benar, grenadir tidak berbahaya bagi kesehatan. Pembekuan grenadir yang hati-hati dapat memberikan daging yang kualitasnya bagus (Perkins 1992). 4) Trichiuridae Ikan Benthodesmus tenuis merupakan famili trichiuridae yang termasuk famili kecil dari ikan-ikan laut yang berasal dari laut tropika di seluruh dunia. Umumnya habitat mereka di permukaan atau kolom air, beberapa ditemukan di kedalaman 914 m. Tiga puluh atau lima puluh spesies dari famili ini bertubuh panjang, langsing dan pipih, dengan kepala elongate dan kulit dilapisi midabe dagger seperti gigi. Sirip dorsal di belakang kepala dan sirip tersusun hingga ke seluruh tulang belakang. Sirip anal tidak berkembang. Banyak spesies memiliki sirip ekor yang kecil, dengan bagian tubuh berujung dalam bentuk titik. Sirip pektoral berkurang. Kebanyakan dari Trichiurid yang dikenal secara luas sebagai scabbardfishes, cutlassfishes, hairtails, atau frostfish, memiliki cakupan wilayah yang luas. Beberapa dieksploitasi secara lokal sebagai makanan dan memiliki kualitas daging yang baik (Wheeler 1975). 5) Berycidae Ikan Beryx splendens merupakan famili dari ikan-ikan laut dalam yang terdistribusi di seluruh dunia. Beberapa spesies ditemukan pada perairan yang dangkal dan pertengahan perairan pada laut dalam. Umumnya memiliki tubuh yang besar, dengan kepala elongate, mata besar dan mulut yang kuat. Kepala dan tubuh dilapisi dengan sisik yang kuat. Kebanyakan spesies jarang memiliki punggung yang menonjol dan sisik-sisik keras di kepala. Hal ini secara terpisah dapat dijumpai pada yang muda. bersinar dan Sirip-siripnya memiliki banyak duri yang bagian pektoral yang memiliki banyak duri, mempunyai sisik anterior yang keras. Banyak ikan-ikan berycoid memiliki warna yang merah bersinar. Ditemukan pada kedalaman 183-732 m (Wheeler 1975). 6) Trachichthydae Ikan Hoplotethus sp. merupakan famili dari ikan-ikan laut yang jarang kemunculan dan keberadaannya di seluruh dunia. Beberapa adalah ikan laut dalam yang ditemukan hanya di laut terbuka, tetapi beberapa ditemukan pada daerah dangkal dekat pantai. Semuanya memiliki tubuh yang besar, kepala besar dengan banyak sisik. Sirip-sirip pektoral terletak di depan perut dan punya satu sisik tajam yang besar. Sirip dorsal dan anal mengandung sisik yang tajam dan bersinar. Sisik tubuh biasanya besar dan berujung bundar serta bersinar pada perut. Ditemukan pada kedalaman 366-914 m (Wheeler 1975). 7) Centrolophidae Ikan Hyperoglyphe japonica merupakan famili centrolophidae yang ditemukan pada laut-laut bertemperatur dingin di utara Hermiphere. Telah banyak dtemukan (dengan nama-nama ilmiah berbeda) di Atlantik Utara (Tristan dan Cunha), Afrika Selatan, selatan Australia dan New Zealand. Berbeda dengan ikan dewasa, pengetahuan tentang keberadaan ikan yang muda jarang ditemui. Hidup pada kedalaman 824 m dan tertangkap dengan trawl dasar dan longline. Dagingnya sangat lezat dan spesies ini mewakili dengan baik penelitian makanan yang tidak dimanfaatkan. Ikan ini telah dimanfaatkan di Utara Pasifik. Ikan ini tersamarkan dengan mulut yang besar dan lingkaran pada bagian atas dari kepala. Warna ikan biru baja bersinar (Wheeler 1975). 8) Diretmidae Ikan Deretmoides pauciradiatus merupakan famili diretmidae yang memiliki genus tunggal dan kemungkinan dua spesies. Spesies dideskripsikan sebagai ikan yang langka, tapi terdistribusi di Atlantik dan daerah laut dalam. Tubuh besar dengan bentuk hampir seperti lingkaran, kepala ditutupi dengan sisik yang kokoh. Sirip pektoral terbentuk dengan 5 duri dan 1 duri panjang, memiliki helaian yang kokoh seperti sisik. Mata dan mulut besar, berbentuk obligat. Banyak tertangkap di daerah utara Atlantik. Hidup pada kedalaman 640-5000 m (Wheeler 1975). 9) Serranidae Ikan Ostracoberyx dorygenis merupakan famili ikan laut tropikal, walaupun beberapa spesies yang lain ditemukan di laut dingin. Habitat ikan ini pada dasar perairan, walaupun beberapa merupakan spesies aktif yang bergerak yang hampir semuanya pada perairan dekat pantai. Umumnya bertubuh besar dengan kepala besar dan mulut yang lebar, memiliki dua sirip dorsal dan yang pertama tersusun dari sisik yang kuat. Memiliki 3 sisik kuat di sirip anal. Kebanyakan memiliki badan yang berskala kecil, dan linea lateralis berlanjut dari kepala hingga ekor. Banyak serranid yang hermaprodit. Beberapa spesies memiliki telur-telur dan sperma yang berkembang dalam ikan yang sama, dan pada satu spesies terjadi fertilisasi. Biasanya ikan berkelamin betina ketika muda dan berubah menjadi jantan ketika lebih dewasa. Ditemukan pada kedalaman 240-2000 m di laut Florida (Wheeler 1975). 2.4. Kandungan Nutrisi Ikan Laut Dalam Sumber pendukung kehidupan yang berubah-ubah dan sangat kritis di laut dalam adalah pakan. Keberadaan pakan menjadi faktor penting yang membatasi jumlah spesies, kelimpahan dan biomassa di laut dalam. Ada dua sumber utama energi di laut dalam. Pertama cahaya matahari dan fotosintesis di zona eufotik. Sumber kedua adalah molekul organik yang diproduksi secara kemosintesis. Dibandingkan fotosintesis, kemosintesis lebih terbatas (Webber, Thurman 1991). Semua organisme yang hidup di bawah zona fotosintetik harus bergantung pada pakan yang jatuh dari zona di atasnya. Pakan berarti energi yang tersimpan pada materi organik, karena energi semacam itu harus dapat dimanfaatkan oleh bakteri heterotrof pada saat asimilasi yang akan menyediakan materi organik terlarut bagi organisme lainnya (Bruun 1957, Nybakken 1988 yang diacu oleh Sumich 1992). Penelitian menunjukkan bahwa 30-40% bahan organik yang tersedia di dasar laut dalam diabsorbsi oleh bakteri bentik, yang kemudian dikonsumsi oleh hewan yang lebih besar (Zobell 1954 yang diacu oleh Sumich 1992). Komponen utama materi organik adalah kitin dari eksoskeleton krustasea yang hanya bisa didekomposisi dan dimanfaatkan oleh bakteri. Bakteri ini terutama mengandung protein dan lemak yang akhirnya dapat menyediakan sumber pakan penting bagi hewan-hewan laut dalam (Bruun 1957). Walaupun di laut dalam tidak berlangsung proses produksi primer, namun terdapat penghubung antara produksi primer pada zona eufotik dengan zona di bawahnya. Penghubung tersebut adalah ikan lentera yang melakukan migrasi vertikal di sekitar lapisan pemberai dalam (deep scattering layer) (Marshall 1971; Gloerfelt, Kailola 1984; Nybakken 1988). Sumber pakan di laut dalam selain adanya migrasi vertikal, juga merupakan jatuhan vegetasi daratan, pelet, tinja, kitin dari krustasea, ikan, cumi-cumi dan mamalia besar (Nybakken 1988 yang diacu oleh Sumich 1992). Sumber pakan potensial yang lain adalah bahan organik yang larut atau berbentuk koloid dan bahan yang berasal dari plankton dalam bentuk gelatin (”salju bahari”). Sumber pakan untuk hewan laut dalam yang berasal dari permukaan, bisa berupa: (1) ”hujan” plankton atau partikel organik lainnya yang jatuh ke bawah; (2) jatuhan bangkai hewan besar atau potongan tumbuhan yang dengan cepat dapat tenggelam ke dasar sebelum habis terurai oleh bakteri pemakan bangkai; (3) bakteri, yang merupakan pakan organik yang potensial bagi biota; dan (4) bahan organik terlarut (Nontji 1987). Alasan utama memanfaatkan ikan laut dalam adalah kandungan nutrisinya. Nutrisi diartikan secara lebih luas sebagai bahan yang bukan hanya untuk dimakan, tetapi juga dimanfaatkan untuk keperluan lain seperti obat (kedokteran) atau industri. Meskipun di beberapa negara, eksploitasi ikan laut dalam sudah dimulai, namun tingkat pemanfaatannya masih rendah. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa ikan laut dalam bukan ikan ekonomis penting. Alasannya adalah mereka terlalu kecil atau terlalu besar ukurannya, banyak tulang, atau memiliki rasa yang terlalu tajam untuk dikonsumsi oleh manusia. Sebagian besar ikan yang tidak diminta oleh industri perikanan adalah ikan oseanik dan banyak yang hidup di laut dalam (Davis 1991). Barangkali alasan Davis tidak seluruhnya benar, karena tidak semua ikan laut dalam dapat dikatakan sama. Terlihat adanya suatu pasar untuk jenis bahan kimia dan obat dari organisme penghuni dasar (ocean-dwelling), tetapi tidak disebutkan jenis bahan kimia tersebut. Disebutkan pula ada tiga jenis ikan yaitu grenadir (brotulida), roughi dan black scabbard yang betul-betul dapat dimakan, walaupun bentuknya mungkin tidak indah. Saat ini ketiganya belum dapat dimanfaatkan walaupun tersedia banyak. Adanya harapan bahwa jika cukup konsumen potensial yang terdidik untuk menerima ikan ini sebagai pangan, kita dapat tanpa ragu untuk memanfaatkannya dalam kuantitas komersil. Oleh karena itu disarankan menggunakan teknologi baru untuk mendapatkan lebih banyak dari daging ikan tangkapan, yaitu dengan alat pemisah daging hingga sampai 5%. Cara ini mungkin dapat dipakai pada spesies “baru” yang sangat bertulang yaitu ikan grenadir dari laut dalam (Barton 1977). 2.5. Analisis Asam Amino dengan High Ferformance Liquid Cromatography (HPLC) Kandungan asam amino protein dapat ditentukan melalui analisis asam amino. Salah satu analisis asam amino adalah dengan kromatografi partisi caircair atau sering disebut dengan metode High Performance Liquid Cromatography (HPLC). Keuntungan menggunakan HPLC adalah daya ulangnya lebih baik, waktu yang dibutuhkan singkat, dari data kelarutan hasilnya telah dapat diramalkan, koefisien distribusinya konstan dalam kisaran konsentrasi yang agak luas dan mampu memisahkan senyawa yang sangat serupa dengan baik (Adnan 1997). Kromatografi partisi cair-cair memiliki fase stasioner (fase diam) dan fase mobil (fase gerak) yang berupa cairan atau pelarut yang tidak bercampur. Pelarut yang lebih polar biasanya digunakan sebagai fase stasioner. Secara umum dapat dikatakan bahwa kromatografi adalah suatu proses migrasi differensial dimana komponen-komponen sampel ditahan secara selektif oleh fase diam (Sudarmadji et al. 1989). Pemisahan dengan partisi dipengaruhi terutama oleh perbedaan polaritas solut yang dipisahkan. Hal ini disebabkan karena polaritas merupakan faktor yang menentukan daya larut dan terjadinya adsorpsi solut. Proses partisi sangat tergantung dari daya larut solut dalam dua macam cairan, oleh karena itu sangat peka terhadap perbedaan berat molekul solut (Adnan 1989). Sebelum dilakukan analisis asam amino dengan kromatografi terlebih dahulu dilakukan pembuatan hidrolisat protein yang bertujuan untk memutuskan ikatan peptidanya dengan hidrolisis asam atau hidrolisis basa. Hidrolisis asam yang umum digunakan yaitu HCL 6 N, menyebabkan kerusakan triptofan dan sedikit kerusakan juga terjadi pada serin dan treonin. Hidrolisis basa biasanya menggunakan NaOH 2-4 N dan tidak merusak triptofan tetapi menyebabkan deaminasi asam amino lain (Nur, Adijuwana 1992). 2.6. Steroid 2.6.1. Struktur steroid Secara kimia hormon diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu hormon peptida, hormon amina, eikosanoid dan hormon steroid (Bhagavan 1992). Semua hormon steroid berasal dari kolesterol dan berstruktur inti perhidrosiklopentanofenantren yang terbagi atas tiga cincin sikloheksana (Devlin 1993). Steroid banyak terdapat di alam tetapi dalam jumlah yang terbatas dan mempunyai aktivitas biologis, mempunyai karakteristik tertentu yaitu: 1. Subsitusi oksigen pada atom C-3, suatu sifat khas steroid alam. 2. Subsitusi gugus metil angular pada atom C-10 dan C-13 yang dikenal dengan atom C-18 dan C-19 berturut-turut, kecuali pada senyawa steroid dengan cincin A berbentuk benzenoid seperti pada kelompok estrogen. 3. Kemungkinan subsitusi gugus alifatik (R) pada atom C-17. Subsitusi ini memberikan dasar pembagian senyawa steroid. Gambar 2. Struktur konformasi steroid 2.6.2. Steroid yang terdapat di alam Di alam senyawa steroid terdapat pada hewan, tanaman tingkat tinggi, bahkan terdapat pula pada beberapa tanaman tingkat rendah seperti jamur (fungi). Pada hewan dapat dijumpai antara lain sebagai hormon korteks adrenal (contohnya kortikosteron), asam empedu (contohnya asam kolat), dan hormon kelamin (contohnya androgen dan estrogen) (Harborne 1973). Hormon steroid dibentuk dari jaringan tertentu di dalam tubuh dan dibagi ke dalam dua kelas yaitu hormon adrenal dan hormon seks (testosteron, estrogen dan progesteron. Antara ketiga hormon seks ini saling berhubungan, testosteron berperan dalam pengaturan perilaku seksual jantan, sedangkan estrogen dan progesteron berperan dalam pengaturan perilaku seksual betina (Devlin 1993). Kolesterol adalah steroid yang mengandung 27 atom karbon dan memiliki titik lebur 150-1510C (Poedjiadi 1994). Waktu paruh hormon-hormon steroid alamiah di dalam tubuh hewan sangat singkat. Oleh karena itu beberapa steroid termasuk testosteron, dengan berbagai modifikasi struktur biokimianya telah disintesis untuk dipakai dalam berbagai keperluan. (Aldrich 1993). 2.6.3. Aktivitas steroid Senyawa-senyawa steroid telah banyak dimanfaatkan sebagai obat. Berdasarkan efek farmakologisnya senyawa steroid antara lain terdiri dari : a. Anti radang dan anti reumatoid, yaitu: Cortison, corticosteron, hidrocortison, preduison, dan triamicinolon. b. Diuretika, anti diuretika dan anestika lokal, yaitu: aldosteron, Natrium hidroksidion dan spironolakton. c. Kontraseptik, yaitu turunan progesteron dan turunan estron. 2.6.4. Uji steroid Identifikasi steroid dapat dilakukan dengan cara reaksi warna, yang terpenting adalah reaksi Liebermann Burchard. Pada reaksi ini steroid akan membentuk senyawa berwarna merah (dalam lapisan asam sulfat) dan berwarna hijau (dalam lapisan kloroform) (Cook 1958 yang diacu Riris 1994). Kelebihan dari uji Liebermann Burchard, reaksi yang terbentuk terjadi dengan cepat, tidak memerlukan waktu yang lama dan digunakan untuk mengestimasi steroid semi kuantitatif . Kelemahan dari uji ini adalah uji ini tidak hanya digunakan untuk menentukan kolesterol tetapi juga digunakan untuk menentukan sterol lain seperti stigmasterol dan ergosterol, serta tidak dapat menentukan struktur kimia dari steroid, serta tidak dapat digunakan untuk menentukan steroid secara kuantitatif (Dence 1980). 2.6.5. Uji infra merah Untuk mengidentifikasi steroid, Uji infrared (IR) dan uji ultra violet (UV) spektrometri merupakan uji yang paling berguna. Perbedaan antara IR dan UV spektrometri ditunjukkan dari range panjang gelombang radiasi yang diberikan. Pada spektrometer IR konvensional, panjang gelombang berjarak 2500-16.000 nm, sedangkan UV spektrometer jarak panjang gelombang biasanya berkisar 200400 nm. UV spektrum menunjukkan struktur elektronik dari molekul, dan IR spektrum menunjukkan karakteristik vibrasi dari ikatan kimia dalam molekul. Infrared spektrum menyediakan informasi mengenai tipe dari gugus fungsi yang terdapat dalam steroid. Pelarut yang biasa digunakan dalam IR spektrometri untuk penentuan steroid adalah kloroform, karbon tetraklorid, dan karbon disulfid. Spektrum ditunjukkan sebagai plot dari persen transmitan terhadap panjang gelombang kemudian diartikan dalam unit dari cm-1. Arti dari cm-1 adalah panjang gelombang dalam cm persatuan unit (Dence 1980). 2.7 Antimikroba Zat antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat menghambat pertumbuhan atau aktivitas mikroba. Zat antimikroba khusus untuk menghambat bakteri disebut antibakteri, dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri) dan bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri). Zat yang menghambat kapang disebut antikapang (Fardiaz 1992). Senyawa antimikroba adalah jenis obat yang digunakan dengan tujuan untuk membasmi mikroba (Branen, Davidson 1993). Senyawa yang mempunyai aktivitas antimikroba terbagi menjadi dua yaitu antimikroba sintetis, seperti sodium bemzoat, senyawa fenol, asam-asam organik, asam lemak rantai medium dan esternya, sorbat, sulfur dioksida dan sulfit, nitrit, senyawa kolagen dan surfaktan, dimetil dikarbonat dan dietil bikarbonat, serta antimikroba alami yang berasal dari hewani, tanaman maupun mikroorganisme, misalnya bakteriosin (Branen, Davidson 1993). Efektivitas antimikroba dengan cara mengontrol pertumbuhan mikroorganisme maupun secara langsung memusnahkan seluruh atau sebagian mikroorganisme (Branen, Davidson 1993). Mekanisme zat antimikroba dalam membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroba antara lain: (1) merusak dinding sel bakteri sehingga mengakibatkan lisis atau menghambat pembentukan dinding sel pada sel yang sedang tumbuh, (2) mengubah permeabilitas membran sitoplasma yang menyebabkan kebocoran nutrien dari dalam sel, misalnya yang disebabkan oleh senyawa fenolik, (3) menyebabkan denaturasi sel, misalnya oleh alkohol dan (4) menghambat kerja enzim didalam sel (Pelczar Reid 1977). Beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas antimikroba adalah: (1) jenis, jumlah, umur dan latar balakang kehidupan mikroba, (2) konsentrasi zat antimikroba, (3) suhu dan waktu kontak dan (4) sifat fisikokimia substrat (pH, kadar air, tegangan permukaan, jenis dan zat terlarut) (Frazier, Westhoff 1978). 2.7.1. Ekstraksi senyawa antimikroba Ekstraksi merupakan suatu proses yang secara selektif mengambil zat terlarut dari campuran dengan bantuan pelarut. Teknik ekstraksi didasarkan pada kenyataan bahwa jika suatu zat dapat larut dalam dua fase yang tak tercampur, maka zat itu dapat dialihkan dari satu fase ke fase yang lain dengan mengocoknya bersama-sama. Zat terlarut yang diekstraksi dapat berada dalam medium padat atau cair. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi dapat bersifat polar seperti alkohol atau yang non polar seperti heksana dan kloroform. Pemilihan pelarut yang digunakan tergantung pada sifat zat yang dilarutkan, karena setiap zat memiliki daya kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berlainan (Achmadi 1992). Beberapa pertimbangan dalam memilih pelarut (Achmadi 1992), yaitu: 1. Pelarut polar akan melarutkan senyawa polar dan pelarut non polar akan melarutkan senyawa non polar. 2. Pelarut organik cenderung melarutkan zat terlarut organik 3. Air cenderung melarutkan senyawa anorganik dan garam dari asam maupun basa organik. 4. Asam-asam organik yang larut dalam pelarut organik dapat diekstraksi ke dalam air dengan menggunakan basa (NaOH, Na2CO3 dan NaHCO3). Beberapa zat terutama bahan alam dapat dipisahkan dari padatannya dengan ekstraksi sederhana. Teknik paling sederhana untuk mengekstraksi bahan padatan ialah dengan mencampurkannya dalam larutan pengekstraksi, dibantu dengan pengadukan menggunakan alat pengaduk, lalu dipisahkan melalui penyaringan biasa atau vakum (Achmadi 1992). 2.7.2. Bakteri uji Pada penelitian ini digunakan 2 spesies bakteri uji yang telah diketahui bersifat patogen terhadap manusia. Bakteri uji yang digunakan adalah dari kelompok bakteri gram negatif yaitu Eschericia coli serta bakteri kelompok gram positif yaitu Staphylococcus aureus. 1) Eschericia coli Escherichia coli pada umumnya merupakan mikroba yang secara normal terdapat pada saluran pencernaan manusia dan hewan. Habitat pada umumnya adalah tanah, lingkungan akuatik, makanan, air seni, dan tinja. Karena sifatnya yang patogen, bakteri ini dapat menyebabkan beberapa penyakit pada manusia, antara lain : menyebabkan infeksi primer pada usus (misalnya diare pada anak), infeksi pada saluran kemih, pneumonia, abses, dan meningitis pada bayi yang baru lahir. Bakteri ini berbentuk batang atau koma, bersifat anaerob fakultatif dan tergolong sebagai bakteri gram negatif. Escherichia coli termasuk famili Enterobacteriaceae, berukuran panjang 2,0-6,0 µm dan lebar 1,1-1,5 µm serta tunggal atau berpasangan. Nilai pH optimum untuk pertumbuhannya adalah 7,07,5 serta kisaran suhu pertumbuhannya 10-40 oC, dengan suhu optimum 37 oC dan aw optimum 0,96 (Fardiaz 1992). Bakteri ini sensitif terhadap antibiotik jenis sulfonamid, kloramfenikol, kanamisin dan penisilin (Tortora et al. 1989). 2) Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus termasuk ke dalam bakteri gram positif anaerob fakultatif. Bentuknya tunggal, berpasangan atau bergerombol. 0,5-1,5 µm, tidak berkapsul dan berspora. Diameternya Dinding selnya mengandung dua komponen utama, peptidoglikan dan asam teikoat. Metabolisme secara fermentatif dan respiratif (Pelczar, Chan 1988). Bakteri ini sering ditemukan di tanah, air tawar, kulit dan selaput lendir pada binatang berdarah panas termasuk manusia. Patogenis dari bakteri ini antara lain dapat menyebabkan infeksi kulit, infeksi paru-paru, meningitis dan diare. 2.8 Uji Toksisitas Toksisitas adalah kemampuan suatu zat untuk menyebabkan keracunan (Koesman 1983). Toksikan adalah materi atau agen yang mampu menghasilkan efek merugikan pada sistem biologi yang menyebabkan kematian (Canadian Executing Agency 1992 yang diacu oleh Ferdiansyah 2000). Toksisitas suatu bahan dapat ditentukan dengan menganalisa besarnya (persen) kematian organisme uji (Boyd 1990). Beberapa parameter yang mempengaruhi toksisitas diantaranya adalah temperatur, oksigen terlarut, pH, kesadahan, salinitas dan bahan organik (Sprague 1990). Toksisitas suatu bahan pencemar akan meningkat dengan meningkatnya temperatur (Herman 1972) dan mempercepat terwujudnya gejala keracunan (Metelev et al. 1983). Uji toksisitas diperlukan untuk mengevaluasi, memonitor dan memprediksi bahaya dari zat racun bagi organisme lingkungan (Trevors 2000 yang diacu oleh Marni 2001). Banyak metode yang digunakan untuk menguji tingkat toksisitas dari suatu bahan. Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu uji toksisitas menggunakan Artemia salina. Uji toksisitas dengan Artemia salina digunakan sebagai langkah awal untuk identifikasi racun jamur, toksisitas dari ekstrak tumbuhan, identifikasi adanya logam berat, racun sianobakter, pestisida dan untuk uji sitotoksisitas yang berhubungan dengan gigi dan mulut (Carballo et al. 2002). Artemia yang digunakan dalam bentuk telur istirahat yang disebut dengan kista. Kista yang berkualitas baik akan menetas sekitar 18-24 jam. Umumnya Artemia tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25-30oC, kadar garam antara 3050 ppt dan pH air laut untuk budidayanya berkisar antara 7,5-8,8 (Isnansetyo, Kurniastuty 1995 yang diacu oleh Marni 2001). Uji toksisitas dengan menggunakan kultur Artemia (Michael et al. 1956 yang diacu oleh Carballo et al. 2002). Teknik ini didasarkan pada kemampuan bahan untuk membunuh kultur Artemia yang telah dibiakkan dalam air laut dengan kadar salinitas tertentu (Carballo et al. 2002). Tingkat toksisitas ditentukan dengan nilai LC50 menunjukkan konsentrasi dari bahan kimia di lingkungan (air atau udara) yang mampu membunuh 50% dari binatang uji pada suatu waktu tertentu (CCOHS 1999). Nilai LC50 yang diperoleh menunjukkan kategori toksisitas dari suatu bahan. Kamrin (1997) membagi bahan toksik yang menyebabkan 50% kematian organisme uji dalam beberapa grup yaitu: (1) Toksisitas sangat tinggi, jika bahan tersebut mematikan organisme uji pada konsentrasi <100 µ/l; (2) toksisitas tinggi, jika konsentrasi yang mematikan adalah 100 µ/l hingga 1.000 µ/l; (3) toksisitas sedang jika 1.000 µ/l hingga 10.000 µ/l; (4) toksisitas rendah jika 10.000 µ/l hingga 100.000 µ/l; (5) tidak toksik jika >100.000 µ/l. 3. METODOLOGI 3.1. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan adalah beberapa ikan laut dalam yaitu: Dietmoides pauciradiatus dengan berat 190 gram dan panjang 24 cm, Ophidiidae dengan berat 60 gram dan panjang 24 cm, Benthodesmus tenuis dengan berat 60 gram dan panjang 40 cm, Ostracoberyx dorygenis dengan berat 50 gram dan panjang 13 cm, Beryx splendens dengan berat 110 gram dan panjang 14 cm, Gadomus colleti dengan berat 70 gram dan panjang 29,5 cm, Hoplosthethus crassipinus dengan berat 210 gram dan panjang 23,5 cm, Myctophidae dengan berat 25 gram dan panjang 14,8 cm, Hoplothethus sp dengan berat 1090 gram dan panjang 34,5 cm, Hyteroglypne japonica dengan berat 20 gram dan panjang 15 cm yang diperoleh dari perairan di Barat Sumatera, Samudera Hindia. Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus digunakan sebagai bakteri uji untuk bahan antimikroba dan Artemia salina sebagai organisme uji untuk bahan toksisitas. Sedangkan bahan pembantu yang digunakan pada penelitian ini adalah bahan kimia untuk pelarut uji yaitu aseton, metanol, etil asetat, kloroform dan medium pertumbuhan bakteri (lauria broth dan lauria agar), tablet kjelteb, larutan H2SO4, CH3COOH, NaOH, H3BO4, HCL, Buffer Kalium Karbonat, indikator metil merah, pelarut lemak heksana, es, dan kapas bebas lemak. Alat-alat yang digunakan adalah erlenmeyer 250 ml, labu destruksi, inkubator shaker, destruktor, destilator, titrameter, gelas piala, labu lemak, oven, desikator, selongsong soxhlet, tanur listrik, timbangan analitik, spektrofotometer, blender, kain kasa, kertas saring, erlenmeyer, sudip, corong pemisah, paper disc, petri dish, freezer, waterbath, sentrifuse, clean banch, autoclave, rotary vacum, tabung reaksi, labu evaporator, sintered glass, Infrared spektrofotometer, membran filter 0,045 µm dan HPLC. 3.2. Prosedur Penelitian 3.2.1. Penelitian tahap pertama Untuk menentukan kandungan gizi dari beberapa ikan laut dalam, pada tahap ini dilakukan pengujian beberapa ikan laut dalam dengan menggunakan uji proksimat dan analisis asam amino. 3.2.1.1. Uji proksimat Analisa yang dilakukan meliputi kadar protein, lemak, air dan abu. a. Kadar Air (Apriyantono dkk 1989) Cawan porselin dikeringkan pada suhu 102-105oC selama kurang lebih 1012 jam. Kemudian cawan diletakkan dalam desikator (± 30 menit), ditimbang (A gram). Lalu cawan ditimbang dengan contoh yang sudah dihomogenkan (B gram), dengan kertas sampel contoh sebanyak 5 gram. Setelah itu dikeringkan dalam oven pada suhu 102-105oC selama kurang lebih 3-5 jam. Cawan diletakkan ke dalam desikator dan ditimbang ( C gram). % KadarAir = Perhitungan: B−C × 100 % B−A Keterangan: A = Cawan porselin (gr) B = Cawan berisi sampel (gr) C = Cawan berisi sampel kering (gr) b. Kadar Abu (Apriyantono dkk 1989) Cawan porselin dipijarkan sampai merah dalam tungku pengabuan bersuhu sekitar 650oC selama 1 jam. Setelah suhu tungku turun menjadi sekitar 200oC, cawan didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang (A gram). Lalu cawan berisi sampel sebesar 5 gram ditimbang (B gram) dan dimasukkan ke dalam tungku pengabuan dan diatur suhu secara bertahap hingga suhu 650oC dilakukan pengabuan hingga abu berwarna putih. Setelah tungku pengabuan turun menjadi sekitar 200oC. Cawan didinginkan selama 30 menit dan ditimbang beratnya (C gram). Perhitungan: % Abu = Keterangan: C−A × 100% B−A A = Cawan porselin (gram) C = Cawan berisi abu (gram) B = Cawan porselin berisi sampel (gram) c. Kadar Protein (Apriyantono dkk 1989) a). Destruksi Sampel ditimbang sebanyak 0,3 gram dan dimasukkan ke dalam tabung Kjelteb. Dimasukkan satu buah tablet Kjelteb ke dalam tabung tersebut, tablet Kjelteb disini berfungsi sebagai katalisator. Adapun reaksi yang terjadi: Komponen Nitrogen Organik H2SO4 CO2 + H2O + (NH4)2SO4 Katalis (Kjeltab) Bahan katalis yang sering digunakan antara lain merkuri (Hg), Ag atau Selenium (Se). Tablet Kjeltab tersebut terdiri dari campuran unsur K2SO4 dan Se. Kemudian dilakukan destruksi hingga warna larutan berubah menjadi bening. b). Destilasi Labu hasil destruksi didinginkan dan dimasukkan ke dalam labu penyuling, kemudian diencerkan dengan 200 ml air yang tidak mengandung nitrogen dan ditambahkan beberapa butir batu didih serta 100 ml NaOH agar larutan menjadi basa. Labu penyuling dipasang dengan cepat diatas alat penyuling. Proses ini berlangsung sampai semua nitrogen tertangkap oleh H2SO4 yang ada di dalam Erlenmeyer atau bila 2/3 bagian dari cairan dalam labu telah menguap. c). Titrasi HCl dimasukkan ke dalam buret, lalu dilakukan titrasi hingga warna larutan pada erlenmeyer berubah menjadi merah muda, kemudian dicatat volume HCl yang digunakan: %N = 14,01 × ( A − B) × C D % Protein = % Nitrogen x faktor konversi (6,25) Keterangan: A = ml titrasi B = ml titrasi blanko C = Molaritas asam standar D = mg sampel d. Kadar Lemak (Apriyantono dkk 1989) Sampel atau contoh yang sudah disampelkan ditimbang sebanyak 3 gram (W1), lalu dibungkus dengan kertas saring dengan bagian atas dan bawah diberi kapas bebas lemak lalu disiapkan labu lemak yang sudah diketahui beratnya (W2) dan disambung dengan tabung Soxhlet. Selongsong dimasukkan ekstraktor tabung Soxhlet, lalu disiram dengan pelarut lemak (Petroleum benzene). Setelah itu dilakukan ekstraksi selama 16 jam pada suhu sekitar 40oC. Setelah ekstraksi selesai, dikeluarkan selongsong yang berisi sampel. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi sehingga semua pelarut lemak menguap, kemudian labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 3-5 jam. Labu lemak yang sudah didinginkan ditimbang dalam desikator sampai berat konstan (W3). % Lemak = W 3 −W 2 × 100% W1 Keterangan : W1 = Sampel (gr) W2 = Labu lemak (gr) W3 = Labu lemak berisi ekstrak (gr) e. Kadar Karbohidrat (Winarno 1992) Kadar karbohidrat diperoleh dengan menghitung selisih dari empat komponen yaitu kadar air, protein, lemak dan abu. Perhitungannya sebagai berikut: % Karbohidrat = 100% - (% air + % lemak + % protein + % Abu) 3.2.1.2. Uji asam amino (Nur et al. 1992) Ikan laut dalam dianalisis lebih lanjut dengan metode High Performance Liquid Cromatography (HPLC). Sebelum dianalisis, sampel dihidrolisis dengan asam yaitu dengan cara 10 gram sampel ditimbang dalam tabung reaksi bertutup lalu ditambahkan 1,5 ml HCL 6N. Sampel diendapkan dalam larutan HCl, kemudian dialiri gas N2 yang berfungsi untuk mencegah oksidasi. Tabung lalu dimasukkan ke oven dan dipanaskan dengan suhu 1050C selama 24 jam. Hasil hidrolisis dipindahkan kedalam labu evaporator dan disaring dengan Sintered Glass sambil dibilas dengan air High Pure (HP) secukupnya. Hasil penyaringan dikeringkan dengan pompa vakum selama 10 menit, lalu ditambahkan 10 ml HCl 0,01 N ke dalam sampel dan disaring kembali dengan membran filter berukuran 0,045 µm. Sekitar 12,5 µm sampel diinjeksikan ke dalam tabung vial dan ditambahkan 12,5 µl buffer kalium borat pH 10,4 (perbandingan 1:1), lalu dicampur hingga homogen. Campuran tersebut diambil lima mikroliter dan dimasukkan ke tabung vial yang lain, lalu ditambahkan 25 µl pereaksi OPA, biarkan selama satu menit agar proses derivatisasi sempurna. Sekitar lima mikroliter sampel diinjeksikan ke dalam kolom HPLC dan ditunggu sampai pemisahan semua asam amino selasai. Waktu yang diperlukan sekitar 25 menit. Pengerjaan pada tahap penambahan pereaksi OPA sampai pemisahan asam amino selesai dilakukan secara otomatis. Persentasi asam amino dalam 100 gram ikan laut dalam dapat dihitung dengan rumus: luas area contoh % asam amino = luas area standar x konsentrasi standar x 10 ml x BMA x 100 bobot sampel Ket: BMA = berat molekul asam amino 3.2.2. Penelitian tahap kedua Untuk mendapatkan informasi mengenai kandungan hormon steroid dan farmasi dari ikan laut dalam, dilakukan uji hormon steroid, uji antimikroba dan uji toksisitas. 3.2.2.1. Uji hormon steroid 1) Ekstraksi steroid (Touchstone dan Kasparow 1970 yang diacu oleh Riris 1994). Sebanyak 20 gram ikan laut dalam yang telah dihomogenkan dengan blender, ditambahkan 45 ml aseton dingin, kemudian disimpan selama 24 jam dalam kamar dingin bersuhu 40C, selanjutnya disentrifus pada 5000 rpm selama 10 menit. Endapan yang diperoleh dipisahkan dari fase cairnya. Fase cairnya kemudian diuapkan dalam penangas air pada suhu 400C. Residu yang diperoleh dipartisi atau diekstraksi 2 kali dalam larutan etil asetat, kloroform dan air (1:1:1) dengan menggunakan corong pisah sehingga terbentuk dua lapisan. Larutan pengekstrak (lapisan bawah, kloroform dan lapisan atas, etil asetat) diuapkan dalam penangas air pada suhu 400C sampai kering. Ekstrak ini yang kemudian digunakan untuk identifikasi steroid. Proses ekstraksi steroid disajikan pada Gambar 3. 2) Identifikasi steroid Identifikasi steroid dilakukan dengan uji Liebermann Burchad dan uji Infrared. a. Uji Liebermann Burchad (Cook 1958 yang diacu oleh Riris 1994). Uji ini dilakukan dengan cara penambahan beberapa tetes asam asetat anhidrat dan 0,5 ml kloroform pada sedikit ekstrak ikan laut dalam, lalu diaduk. Selanjutnya ditambahkan satu tetes asam sulfat pekat. Timbulnya warna hijau menunjukkan bahwa ekstrak tersebut memberikan hasil yang positif atas keberadaan golongan sterol. b. Uji Infra Merah (Florey 1975 yang diacu oleh Prijanto 1984). Metode spektrofotometri infra merah dilakukan sebagai pelengkap data dan sebagai metode perbandingan. Hormon steroid diukur serapan infra merahnya dalam serbuk kalium bromida kering yang dicetak menjadi tablet tipis dan tembus cahaya. Tiap gugus fungsi akan memberikan serapan masing-masing yang berbeda nyata. 20 gr Sampel (daging dan kulit ikan) Penghancuran Penghomogenan Ektraksi 24 jam (Maserasi dengan Aseton) Sentrifusi Penyaringan filtrat residu Evaporasi Ekstrak Kasar I Lapisan Lapisan kloroform etil asetat dan aquades Evaporasi Evaporasi Ekstrak kasar II Gambar 3. Partisi (Pencampuran dengan pelarut kloroform, etil asetat, aquades) Ekstrak kasar III Diagram alir proses ekstraksi steroid ikan laut dalam (Touchstone dan Kasparow 1970 yang diacu oleh Riris 1994). 3.2.2.2. Uji antibakteri 1) Ekstraksi senyawa antibakteri ikan laut dalam (Quinn 1988 yang diacu oleh Darusman dkk 1995) Untuk mengisolasi komponen antibakteri dari ikan laut dalam, perlu dilakukan ekstraksi. Sebelum proses dimulai, ikan laut dalam yang baru dipanen dibersihkan dengan air tawar, disortir dari kotoran, kemudian dipisahkan antara isi perut dengan daging dan kulit. Daging dari ikan laut dalam dipotong kecil-kecil dengan pisau, kemudian dihancurkan dengan mortar dan ditimbang. Masing-masing bahan dicampur dengan pelarut pertama yaitu kloroform dan dilakukan maserasi pertama selama 24 jam untuk memastikan senyawa antibakteri yang terkandung dalam ikan keluar dan terlarut dalam pelarut. Selama ekstraksi, bagian atas wadah ditutup dengan kertas aluminium foil untuk mencegah kemungkinan menguapnya kandungan senyawa volatil dalam bahan. Ekstrak disaring dengan kertas saring whatman 42. Penyaringan ini dimaksudkan untuk memperoleh filtrat pertama yang terbebas dari ampas dan kotoran. Ampas pertama dimaserasi lagi dengan etil asetat, disaring, dan diperoleh filtrat kedua. Selanjutnya ampas kedua dimaserasi lagi dengan metanol selama 24 jam dan disaring sampai didapat filtrat ketiga. Selanjutnya filtrat 1,2 dan 3 disentrifusi selama 15 menit dengan kecepatan 5000 rpm. Endapan yang terbentuk dipisahkan dari supernatan dan dibuang. Filtrat yang dihasilkan kemudian dievaporasi dengan rotary vacum pada suhu 370C. Pemekatan dengan cara evaporasi ini diharapkan dapat menguapkan semua pelarut yang terikat dengan bahan. Kemudian filtrat yang telah pekat tersebut dibentuk padatan. Hasil yang diperoleh dari proses ekstraksi di atas disebut ekstrak kasar. Diagram alir proses ekstraksi zat antibakteri ikan laut dalam dapat dilihat pada Gambar 4. Daging dan kulit ikan Penghancuran Penimbangan Ektraksi 24 jam (Maserasi dengan kloroform) Penyaringan Filtrat Residu Evaporasi Ektraksi 24 jam (Maserasi dengan etil asetat) Ekstrak I Penyaringan Filtrat Evaporasi Residu Ektraksi 24 jam (Maserasi dengan metanol) Ekstrak II Penyaringan Ampas Filtrat Evaporasi Ekstrak III Gambar 4. Diagram alir proses ekstraksi senyawa bioaktif ikan laut dalam (Quinn 1988 yang diacu oleh Darusman et al. 1995) 2) Uji zat antibakteri dari ikan laut dalam (Sherley 1998). Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap pengujian aktivitas zat antibakteri adalah sebagai berikut : a. Persiapan bakteri uji Biakan masing-masing bakteri uji diremajakan dalam media cair (lauria broth). Komposisi lauria broth (tripton 1 gram, yeast extract 0,5 gram dan NaCl 1,5 gram) dilarutkan dalam 100 ml akuades dengan pH 7,0. Media tersebut dihomogenkan dengan menggunakan hotplate pada suhu 100oC sampai mendidih dan dipipet 10 ml ke dalam tabung reaksi yang kemudian ditutup dengan menggunakan kapas dan kasa steril. Media tersebut kemudian disterilisasi pada 121oC selama 15 menit dalam keadaan terbungkus plastik. Media didinginkan pada suhu ruang. Dengan menggunakan jarum ose, biakan diambil satu ose secara aseptik dimasukkan ke dalam media cair, di shaker pada suhu 37 oC dengan kecepatan agitasi 90 rpm Setelah mencapai fase log (berdasarkan penelitian tahap pengkulturan bakteri uji), masing-masing bakteri uji siap dipakai. b. Persiapan ekstrak ikan laut dalam Masing-masing ekstrak dari bagian daging dan kulit dilarutkan dalam pelarut uji yaitu metanol, etil asetat, dan kloroform dengan konsentrasi masingmasing 50 ppm dan 700 ppm. Untuk kontrol positif digunakan kloramfenikol dengan konsentrasi 4 ppm dan untuk kontrol negatif digunakan masing-masing pelarut uji. Kemudian dengan menggunakan pipet mikro ekstrak yang telah dicampur dengan pelarut diteteskan sebanyak 20µl pada paper disc yang berdiameter 6 mm. c. Pengujian aktivitas ekstrak ikan laut dalam (Bauer et al. 1966 yang diacu oleh Jamal et al. 2003) Pengujian aktifitas antibakteri dilakukan dengan metode difusi agar. Suspensi masing-masing bakteri uji diambil sebanyak 20µl dengan OD550 nm berkisar antara 0,683-0,697 dan dilarutkan ke media Lauria agar. Lauria agar (Tripton 1 gram, yeast extract 0,5 gram, NaCl 1,5 gram dan agar 1,8 gram) dilarutkan dalam 100 ml akuades dengan pH 7,0. Media tersebut dihomogenkan dengan menggunakan hotplate pada suhu 100oC sampai mendidih dan dipipet 15 ml ke dalam tabung reaksi sebanyak enam buah. Tabung reaksi ditutup dengan menggunakan kapas dan kasa steril. Kasa steril digunakan untuk mengikat kapas agar tetap menyatu. Media tersebut kemudian disterilisasi pada 121oC selama 15 menit dalam keadaan terbungkus plastik. Media didinginkan pada suhu ruang. Kemudian ke dalam tiga tabung reaksi berisi media dimasukan bakteri E. coli dan tiga tabung reaksi lainnya bakteri S.aureus masing-masing sebanyak 20µl. Setelah itu masing-masing tabung dihomogenkan dengan vortex kemudian dituangkan ke dalam cawan petri, digoyang secara perlahan hingga merata. Selanjutnya agar disimpan dalam refrigerator dengan posisi terbalik dalam beberapa saat untuk menunggu pembuatan ekstrak dalam paper disc. Kemudian di atas media agar diletakkan paper disc yang telah berisi ekstrak. Agar diinkubasikan selama 12-18 jam pada temperatur 370C pada posisi terbalik. Setelah inkubasi aktivitas antibakteri dapat diamati, diameter daerah penghambatan yang terbentuk pada cawan petri diukur dengan cara mengukur diameter hambatan yang terbentuk di sekeliling paper disc dikurangi diameter paper disc, yaitu 6 mm. 3.2.2.3. Uji toksisitas dengan artemia salina leach (Michael et al. 1956 yang diacu oleh Carballo et al. 2002). Metode ini terdiri atas dua tahap, yaitu proses penetasan Artemia yang masih dalam bentuk kista dan uji toksisitas. 1) Penetasan artemia Artemia yang digunakan masih dalam bentuk telur istirahat yang disebut kista sehingga diperlukan proses penetasan terhadap kista Artemia tersebut. Sebanyak 0,625 gram kista kering dikultur dalam wadah yang berisi air laut sebanyak 250 ml, salinitas 30 ppt dengan pH air laut 7,5. kultur Artemia tersebut kemudian diaerasi dan diberi pencahayaan yang cukup dan dikultur selama 24 jam. 2) Uji toksisitas Artemia yang telah berumur 24 jam diambil sebanyak 15 ekor dengan pipet tetes, kemudian dimasukkan ke dalam wadah-wadah yang berisi campuran air laut (salinitas 30 ppt) dan ekstrak ikan laut dalam sebanyak 20 ml dengan konsentrasi 5µg/ml, 25 µg/ml, 50 µg/ml. Pada wadah lain dimasukkan air laut salinitas 30 ppt dan Artemia sebanyak 15 ekor sebagai kontrol. Sampel-sampel tersebut selanjutnya diberi pencahayaan yang cukup. Pengamatan dilakukan setelah 24 jam dengan cara menghitung jumlah Artemia yang mati. Tingkat toksisitas ditentukan berdasarkan nilai LC50. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penelitian Tahap Pertama 4.1.1. Uji proksimat Analisis proksimat yang dilakukan terhadap ikan laut dalam bertujuan untuk mengetahui komposisi gizi dari ikan laut dalam tersebut dan untuk mengetahui ikan laut dalam yang mempunyai kandungan gizi terbaik. Hasil analisis proksimat dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil analisis proksimat pada ikan laut dalam (%) No Jenis Ikan Hasil Analisis Air Abu Lemak Protein karbohidrat 1 Dietmoides pauciradiatus 70,4 1,9 2,9 23,1 1,7 2 Benthodesmus tenuis 70,9 2,0 2,6 24,5 0 3 Beryx splendens 72,0 1,9 2,1 23,0 1 4 Hoplosthethus crassipinus 70,4 2,1 4,1 23,4 0 5 Hoplothethus sp 70,1 2,4 2,7 24,8 0 6 Ophidiidae 71,2 2,1 2,9 23,2 0 7 Ostracoberyu dorygenis 70,6 2,2 3,6 23,6 0 8 Godamus colleti 71,9 1,7 2,1 23,1 1,2 9 Myctophidae 72,1 2,1 1,9 23,4 0,5 10 Hyteroglypne japonica 72,1 2,2 2,4 23,3 0 Tabel 3 menunjukkan adanya perbedaan kandungan gizi untuk masingmasing ikan laut dalam. Perbedaan kandungan gizi ikan laut dalam dapat terjadi karena ikan-ikan yang diuji adalah ikan yang berbeda spesies, berbeda pola makan, jenis kelamin dan umur (Zaitsev et al. 1969). Hasil analisis proksimat disajikan dalam Gambar 5-8. Persentase Kadar Protein Ikan Laut Dalam Keterangan : 25 Kadar Protein (%) A1 : Dietmoides pauciradiatus 20 A2 : Benthodesmus tenuis 15 A4 : Hoplosthethus crassipinus A3 : Beryx splendens A5 : Hoplothethus sp 10 A6 : Ophidiidae 5 0 A7 : Ostracoberyu dorygenis A9 : Godamus colleti A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A9 A10 A11 Jenis IkanDalam Laut Dalam Ikan Laut A10 : Myctophidae sp A11 : Hyteroglypne japonica Gambar 5. Histogram persentase protein dalam ikan laut dalam Ikan mengandung protein yang berkualitas tinggi. Protein ikan tersusun dari asam-asam amino yang dibutuhkan tubuh untuk pertumbuhan. Selain itu protein ikan amat mudah dicerna dan diabsorpsi. Daging ikan mempunyai seratserat protein lebih pendek daripada serat-serat protein daging sapi atau ayam. Protein sebagai unit pembangun tubuh memberikan arti yang sangat penting dalam metabolisme yang terjadi di dalam tubuh. Pengujian terhadap protein ikan laut dalam dilakukan atas dasar ikan mengandung protein lebih banyak dibandingkan dengan unsur–unsur makro lain yang terdapat pada ikan, atau dengan kata lain kaya akan protein. Pada Gambar 5 terlihat bahwa kandungan protein ikan laut dalam ratarata berada diatas kisaran 20%. Ikan Hoplosthethus sp memiliki kandungan protein sebesar 24,8%, merupakan protein yang paling tinggi diantara ikan-ikan laut dalam lain yang diteliti. Perbedaan protein diantara ikan laut dalam tidak menunjukkan perbedaan yang berarti karena berada pada kisaran 23-24,8%. Kandungan gizi ikan laut dalam kemudian dibandingkan dengan kandungan gizi ikan air tawar dan ikan pelagis, yaitu ikan Mas dan ikan Kembung. Komposisi kandungan gizi dari ikan Mas dan ikan Kembung disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan zat gizi pada ikan mas dan kembung Kandungan Zat Gizi pada Ikan Mas dan Kembung ZAT GIZI (per 100 gram ikan) Konsentrasi pada Jenis Ikan Mas Kembung Air (%) 80,0 76,0 Protein (%) 16,0 22,0 Lemak (%) 2,0 1,0 Abu (%) 2,2 1,7 Sumber: (Simorangkir 1984) Tabel 4 menunjukkan kandungan zat gizi pada ikan air tawar dan ikan pelagis. Ikan Mas memiliki kadar protein 16%, ikan Kembung 22%, sedangkan ikan laut dalam memiliki kandungan protein rata-rata berkisar antara 23-24,8%. Protein tinggi yang dimiliki ikan-ikan pada umumnya dikarenakan protein dalam tubuh ikan berfungsi sebagai komponen struktural dan sebagai sumber energi. Kandungan protein tergantung komposisi asam amino dan habitat dimana ikan berasal. Ikan Mas dan ikan Kembung memiliki kandungan protein yang lebih rendah dari ikan-ikan laut dalam yang diteliti, hal ini dikarenakan mineral mikro (trace element) yang berasal dari laut terdapat di dalam protein yang terkandung dalam daging dan jeroan ikan (Kuhnau 1962 yang diacu dalam Suyani 2002). Pada Gambar 5 terlihat bahwa kandungan protein ikan laut dalam rata-rata berada diatas kisaran 20% yaitu kisaran 23-24%. Ikan Hoplotethus sp. memiliki kandungan protein sebesar 24,8%, merupakan protein yang paling tinggi diantara protein ikan laut dalam yang lain. Perbedaan konsentrasi protein ikan-ikan laut dalam yang diteliti karena merupakan ikan yang berbeda spesies dan tingkat kedalaman hidup di laut. Ikan Hoplotethus sp. merupakan ikan yang hidup pada kedalaman 366-914 m. Menurut Wheleer (1975) ikan Hoplotethus sp. sering ditemukan pada daerah dekat pantai. Hal ini mengindikasikan kebiasaan makan ikan ini adalah karnivora, karena ikan yang bermigrasi keatas untuk mencari makan merupakan ikan-ikan pemangsa (Karleskint 1998). Tidak hanya ikan Hoplotethus sp yang biasa ditemukan di daerah dangkal dekat pantai atau di permukaan air, ikan-ikan laut dalam lainnya yang diteliti ternyata sering ditemukan pada wilayah tersebut. Walaupun memiliki habitat di kedalaman antara 200-1000 m, akan tetapi ikan-ikan laut dalam yang diteliti melakukan migrasi vertikal keatas (Wheleer 1975). Persentase Kadar Lemak Ikan laut Dalam Keterangan : 5 A1 : Dietmoides pauciradiatus 4 kadar lemak (%) A2 : Benthodesmus tenuis A3 : Beryx splendens 3 A4 : Hoplosthethus crassipinus 2 A5 : Hoplothethus sp 1 A6 : Ophidiidae 0 A7 : Ostracoberyu dorygenis A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A9A10A11 Jenis Ikan Laut Dalam Ikan Laut Dalam A9 : Godamus colleti A10 : Myctophidae sp A11 : Hyteroglypne japonica Gambar 6. Histogram persentase kadar lemak ikan laut dalam Kadar lemak ikan laut dalam rata-rata diatas kadar lemak ikan pelagis maupun ikan air tawar. Pada Gambar 6 terlihat kadar lemak ikan Mas sebesar 2%, dan ikan Kembung sebesar 1%, sedangkan ikan laut dalam berkisar antara 1,9-4,1%. Kadar lemak ikan laut dalam maupun kadar lemak ikan Mas dan ikan Kembung masih dalam batas kadar lemak rendah (Stansby Olcott 1963). Kondisi laut dalam yang memiliki suhu ekstrim dibawah 10oC, yaitu sekitar 3-5oC, mengakibatkan ikan-ikan laut dalam menyesuaikan suhu tubuh dengan lingkungannya (Karleskint 1998). Dengan demikian ikan-ikan laut dalam memiliki suhu tubuh yang rendah. Suhu tubuh yang rendah ditunjang dengan lambatnya proses metabolisme mengakibatkan timbunan lemak yang ada pada ikan laut dalam akan lama terdegradasi, ini yang menyebabkan ikan laut dalam memiliki kadar lemak yang sedikit diatas kadar lemak ikan pelagis maupun ikan air tawar lainnya. Persentase Kadar Air Ikan Laut Dalam kadar air (%) 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Keterangan : A1 : Dietmoides pauciradiatus A2 : Benthodesmus tenuis A3 : Beryx splendens A4 : Hoplosthethus crassipinus A5 : Hoplothethus sp A6 : Ophidiidae A7 : Ostracoberyu dorygenis A9 : Godamus colleti A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A9A10A11 Jenis IkanIkan laut Laut dalamDalam A10 : Myctophidae sp A11 : Hyteroglypne japonica Gambar 7. Histogram persentase kadar air ikan laut dalam Salinitas adalah keadaan dari konsentrasi terlarutnya garam anorganik dalam air laut, konsentrasi ini biasanya 3% dari berat air laut. Garam-garam anorganik yang terdapat dalam air laut adalah kloride, sulfat, bikarbonat, bromida,borat, flourida, sodium, magnesium, kalsium, potassium dan strontium. Membran dari makhluk hidup hampir selalu permeabel terhadap air, tetapi tidak selalu permeabel terhadap larutan. Semua organisme harus menjaga keseimbangan dari air dan larutan dalam tubuh mereka (menjaga homeostatis) dengan tujuan untuk menjaga sel mereka tetap hidup. Ketika larutan tidak dapat melintasi membran sel untuk mencapai keseimbangan dari kedua sisi, air secara otomatis akan melintasi membran untuk mencapai keseimbangan. Perpindahan dari air melintasi membran untuk merespon perbedaan konsentrasi larutan disebut osmosis (Karleskint 1998). Laut dalam memiliki salinitas tinggi, lebih dari 34,20/00. Kondisi perairan yang tinggi kelarutan garam an organik dapat mengakibatkan terjadinya peristiwa hipotonik air pada ikan, yaitu keluarnya air dari dalam tubuh ikan menuju larutan garam. Untuk menjaga agar kondisi tubuh tetap isotonik, organisme laut dalam beradaptasi dengan melakukan osmoregulasi dengan meminum air laut sebanyakbanyaknya dan sedikit mengeluarkan urin, sehingga air laut diserap oleh faring dan insang untuk kemudian masuk ke dalam tubuh ikan sebagai air. Keadaan seperti ini menyebabkan kadar air ikan laut dalam yaitu kisaran 70,1-72,1% lebih sedikit dibandingkan ikan air tawar dengan ikan pelagis lainnya dengan kadar 80% dan 76%. Persentase Kadar Abu Ikan Laut Dalam Keterangan : A1 : Dietmoides pauciradiatus 2,5 kadar abu (%) A2 : Benthodesmus tenuis 2 A3 : Beryx splendens 1,5 A5 : Hoplothethus sp A4 : Hoplosthethus crassipinus A6 : Ophidiidae 1 A7 : Ostracoberyu dorygenis 0,5 0 A9 : Godamus colleti A10 : Myctophidae sp A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A9 A10A11 A11 : Hyteroglypne japonica Jenis Dalam IkanIkan lautLaut dalam Gambar 8. Histogram persentase kadar abu ikan laut dalam Selain mengandung air dan bahan organik, ikan sebagai bahan makanan juga mengandung zat anorganik yang diukur sebagai abu. Dalam penentuan kadar abu, bahan organik dalam makanan akan terbakar, sedangkan bahan anorganik tidak. Sisa pembakaran tersebut yang biasa disebut abu, terdiri atas bahan mineral seperti: fosfor, kalsium, khlor, magnesium, belerang, sulfida. Air laut mengandung kadar garam mineral terutama natrium, kalsium dan magnesium. Abu hasil analisa tidak semuanya mineral murni, tetapi masih seringkali tercampur bahan anorganik lainnya, atau beberapa hilang saat pembakaran. Meski demikian kadar abu dapat menjadi indikator banyaknya mineral yang terkandung dalam bahan pangan (Winarno 1992). Kadar abu ikan laut dalam dengan kisaran 1,7-2,4% tidak jauh berbeda dengan kadar abu ikan Mas yaitu 2,2% dan ikan Kembung dengan kisaran 1,7%. 4.1.2. Uji asam amino Kualitas protein dapat ditentukan dengan melihat kandungan asam amino penyusunnya. Tidak semua protein mempunyai nilai gizi yang sama karena perbedaan jumlah dan jenis asam amino yang terkandung dalam tiap protein. Apabila suatu protein mengandung semua asam amino yang penting dalam jumlah yang diperlukan tubuh, maka protein ini disebut protein “lengkap” dan bila mengalami kekurangan salah satu saja asam amino esensialnya maka ia digolongkan dalam protein yang “tidak lengkap” (Harper et al. 1988). Hasil uji asam amino dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil analisis asam amino pada ikan laut dalam (%) No Hasil Analisis Kode Sampel A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A9 A10 A11 1 Asam Aspartat 0,308 0,526 0,348 0,308 0,449 0,467 0,501 0,320 0,289 0,649 2 Asam Glutamat 0,530 0,650 0,692 0,530 0,678 0,795 0,745 0,662 0,515 0,815 3 Serin 0,184 0,208 0,220 0,184 0,339 0,310 0,316 0,284 0,232 0,416 4 Glisin 0,130 0,108 0,150 0,130 0,121 0,171 0,166 0,168 0,156 0,309 5 Histidin 0,146 0,170 0,232 0,146 0,126 0,158 0,158 0,160 0,182 0,284 6 Arginin 0,532 0,470 0,572 0,532 0,461 0,647 0,495 0,508 0,525 0,780 7 Threonin 0,360 0,254 0,328 0,360 0,273 0,247 0,304 0,336 0,241 0,503 8 Alanin 0,380 0,456 0,534 0,380 0,376 0,339 0,355 0,462 0,359 0,512 9 Prolin 0,604 0,408 0,500 0,604 0,506 0,478 0,415 0,574 0,431 0,579 10 Tirosin 0,270 0,384 0,680 0,270 0,550 0,495 0,471 0,518 0,568 0,474 11 Valin 0,420 0,388 0,414 0,420 0,261 0,603 0,363 0,412 0,570 0,534 12 Methionin 0,172 0,212 0,194 0,172 0,175 0,191 0,288 0,186 0,302 0,298 13 Sistein 0,250 0,194 0,238 0,250 0,213 0,494 0,249 0,244 0,152 0,192 14 Isoleusin 0,278 0,220 0,278 0,278 0,245 0,201 0,431 0,300 0,235 0,776 15 Leusin 0,680 0,960 1,068 0,680 1,036 1,174 0,856 0,970 0,812 1,109 16 Fenilalanin 0,260 0,968 0,924 0,260 0,730 0,630 0,437 1,032 0,613 0,899 17 Lisin 0,230 0,360 0,248 0,230 0,161 0,250 0,125 0,236 0,217 0,449 Keterangan : A1 : Dietmoides pauciradiatus A2 : Benthodesmus tenuis A3 : Beryx splendens A4 : Hoplosthethus crassipinus A5 : Hoplothethus sp A6 : Ophidiidae A7 : Ostracoberyu dorygenis A9 : Godamus colleti A10 : Myctophidae sp A11 : Hyteroglypne japonica Ikan laut dalam memiliki 17 asam amino penting yang diperlukan tubuh. Sembilan diantaranya adalah asam amino essensial (Arginin, Histidin, Isoleusin, Leusin, Lisin, Metionin, Fenilalanin, Triptofan, Valin), dan delapan lainnya adalah asam amino non essensial (Asam Glutamat, Asam Aspartat, Sistein, Glutamin, Glisin, Prolin, Serin, Alanin). Pada ikan Dietmoides pauciradiatus, asam amino yang memiliki kuantitas yang tinggi adalah Leusin dan Prolin. Ikan Benthodesmus tenuis memiliki kandungan asam amino tertinggi pada Leusin dan Phenilalanin. Ikan Beryx splendens kandungan Leusin dan Phenilalanin merupakan asam amino yang tertinggi. Untuk ikan Hoplosthethus crassipinus kandungan asam amino tertinggi terdapat pada Prolin dan Leusin. Sedangkan untuk ikan Hoplothethus sp kandungan asam amino tertinggi terdapat pada Leusin dan Phenilalanin. Ikan Ophidiidae memiliki kandungan Glutamat dan Leusin yang tinggi sama seperti Ikan Ostracoberyu dorygenis. Ikan Gadomus colleti, ikan Myctophidae sp serta ikan Hyteroglypne japonica memiliki kandungan asam amino Leusin dan Phenilalanin yang tinggi. Dari semua ikan laut dalam yang dianalis kandungan asam aminonya, dapat diketahui bahwa Leusin mendominasi dari segi kuantitas untuk ikan yang diuji. Leusin merupakan asam amino essensial, yang termasuk dalam golongan ketogenik, yaitu dapat menghasilkan senyawa keton di dalam hati. Dengan terbentuknya keton di dalam hati akan memberikan rasa yang manis pada daging ikan. Asam amino lain yang juga termasuk golongan ini adalah lisin dan triptofan (Lehninger 1994). Fungsi asam amino ini sebagai komponen biokimia penting yang diperlukan tubuh, sebagian besar digunakan untuk produksi energi, stimulans kepada otak bagian atas dan membantu tubuh untuk lebih siaga (Anonim 2005). Ostracoberyu dorygenis dan famili ophidiidae memiliki kandungan asam glutamat yang dominan, begitu pula dengan ikan-ikan laut dalam lainnya walaupun kandungan asam glutamat tidak mendominasi. Kandungan asam glutamat akan memberikan rasa yang mild (“ringan“) dan aroma yang harum gurih, sama dengan ikan cod tetapi lebih manis, karena asam glutamat merupakan asam amino yang dapat diubah menjadi glukosa dan glikogen oleh lintas metabolisme yang disebut sebagai senyawa glukogenik (Lehninger 1994). Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa seperti ikan putih lainnya , kingklip (Ophidiidae) memiliki rasa yang mild, aromanya agak manis (Perkins 1992). Asam amino lain yang juga merupakan golongan glukogenik adalah alanin, arginin, asparagin, asam aspartat, sistein, glutamin, glisin, histidin, metionin, prolin, serin, treonin, tripofan, valin. Asam amino prolin tertinggi terdapat pada ikan Dietmoides pauciradiatus dan ikan Hoplothethus crassipinus. Asam amino yang merupakan gabungan dari golongan ketogenik dan glukogenik adalah Fenilalanin dan Tirosin. Asam amino Fenilalanin dengan konsentrasi tertinggi terdapat pada ikan Benthodesmus tenuis, Beryx splendens, Godamus colleti, Myctophidae sp, Hoplothethus sp, Hyteroglypne japonica 4.2. Penelitian Tahap Kedua 4.2.1. Hormon steroid 4.2.1.1. Ekstraksi senyawa hormon steroid Metode yang digunakan untuk ekstraksi hormon steroid adalah metode Touchstone dan Kasparow (1970) dalam Riris (1994). Pelarut yang digunakan adalah aseton, kloroform, etil asetat dan air. Partisi dua kali dengan tiga pelarut dilakukan untuk melarutkan senyawa pada pelarut, serta memisahkan jenis pelarut satu dengan pelarut lainnya. Tahapan ekstraksi dari metode ini terdiri dari penghancuran sampel, maserasi, sentrifuse, penyaringan, partisi dan evaporasi. Penghancuran bertujuan memperkecil ukuran partikel sehingga meningkatkan kontak antara bahan dengan pelarutnya. Semakin kecil ukuran partikel bahan maka semakin mudah kontak dengan pelarut sehingga diharapkan semakin banyak senyawa bioaktif yang dapat terekstrak. Maserasi adalah proses perendaman sampel dengan pelarut sampel dengan waktu tertentu sehingga senyawa dalam sampel larut dalam pelarut tersebut. Maserasi dilakukan di ruang pendingin suhu 40C selama 24 jam. Penyaringan bertujuan memisahkan sampel dengan senyawa bioaktif yang larut dalam pelarut. Evaporasi dilakukan untuk menguapkan pelarut sehingga ekstrak dapat terpisah dengan pelarutnya. Evaporasi dilakukan pada suhu 30-400C untuk mengurangi peluang kerusakan senyawa aktif pada suhu tinggi. Berat sampel yang digunakan dalam ekstraksi adalah 20 gram ikan laut dalam yang dihancurkan menggunakan mortar. Volume pelarut yang digunakan sebanyak 45 ml. Rendemen hasil ekstraksi ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6. Rendemen hasil ekstraksi senyawa steroid ikan laut dalam. Rendemen hasil ekstraksi senyawa steroid ikan laut dalam Ekstrak Pelarut Ekstrak A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A9 Berat awal Volume Berat sampel (g) pelarut (ml) rendemen (g) Rendemen Kloroform 20 45 0,3520 1,76 Etil Asetat 20 45 0,2321 1,16 Kloroform 20 45 0,2282 1,14 Etil Asetat 20 45 0,0612 0,31 Kloroform 20 45 1,0844 5,42 Etil Asetat 20 45 0,0279 0,14 Kloroform 20 45 1,0877 5,44 Etil Asetat 20 45 3,5421 17,71 Kloroform 20 45 0,3616 1,81 Etil Asetat 20 45 0,0702 0,35 Kloroform 20 45 0,1783 0,89 Etil Asetat 20 45 0,4500 2,25 Kloroform 20 45 0,2460 1,23 Etil Asetat 20 45 1,4035 7,02 Kloroform 20 45 0,1637 0,82 20 45 0,1408 0,70 Etil Asetat Keterangan : A1 : Dietmoides pauciradiatus A2 : Benthodesmus tenuis A3 : Beryx splendens A4 : Hoplosthethus crassipinus A5 : Hoplothethus sp Berat Total 0,5841 0,2894 1,1123 4,6298 0,4318 0,6283 1,6495 0,3045 A6 : Ophidiidae A7 : Ostracoberyu dorygenis A9 : Godamus colleti A10 : Myctophidae sp A11 : Hyteroglypne japonica Tabel 6 mengindikasikan bahwa ekstraksi menggunakan metode Touchstone dan Kasparow (1970) yang diacu oleh Riris (1994) menghasilkan jumlah ekstrak tertinggi 50% dari ekstraksi menggunakan pelarut kloroform diikuti oleh etil asetat. Ekstrak ikan laut dalam 50% bersifat non polar, karena kloroform merupakan pelarut non polar. Hasil proses ekstraksi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kondisi alamiah bahan alam, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel serta kondisi dan lama penyimpanan (Shahidi, Naczk 1995). 4.2.1.2. Uji Liebermann Burchad Hormon steroid adalah hormon yang mengandung inti steroid. Aphrosidiach adalah bahan atau ramuan yang dapat berfungsi meningkatkan gairah bercinta (libido). Hormon steroid merupakan salah satu zat yang memiliki fungsi sebagi aphrosidiach. Uji Liebermann Burchard digunakan untuk menganalisa kolesterol, dimana sampel dilarutkan dalam kloroform dan dicampur dengan asam sulfat serta asam asetat glasial. Hasil yang positif ditunjukkan dengan adanya perubahan dari merah ke violet, biru hingga hijau dalam beberapa menit. Tes ini tidak spesifik untuk kolesterol saja, sterol lain seperti stigmasterol dan ergosterol akan memberikan respon positif (Dence 1980). Hasil analisis hormon steroid pada ekstrak ikan laut dalam disajikan pada tabel 7. Tabel 7. Hasil analisis hormon steroid pada ikan laut dalam NO NAMA IKAN Hasil Uji Hasil Uji (Dalam Pelarut (Dalam Pelarut Etil Asetat) Kloroform) 1 Dietmoides pauciradiatus (-) (+) 2 Benthodesmus tenuis (-) (+) 3 Beryx splendens (-) (+) 4 Hoplosthethus crassipinus (-) (+) 5 Hoplothethus sp (-) (+) 6 Ophidiidae (-) (+) 7 Ostracoberyu dorygenis (-) (+) 8 Godamus colleti (-) (+) Keterangan : (+) : Terjadi perubahan reaksi menjadi warna hijau (-) : Tidak terjadi perubahan reaksi Hasil pada Tabel 7 menunjukkan bahwa ekstrak ikan laut dalam memiliki kandungan kolesterol. Hal ini dapat terlihat pada uji Liebermann Burchad, ekstrak kloroform memberikan hasil yang positif, yaitu berubahnya warna ekstrak menjadi hijau. Ikan-ikan yang menunjukkan reaksi terlihat pada semua ikan yaitu: Dietmoides pauciradiatus, Benthodesmus tenuis, Beryx splendens Hoplosthethus crassipinus, Hoplothethus sp, Ophidiidae, Ostracoberyu dorygenis dan Godamus colleti. Perubahan warna menjadi warna hijau menunjukkan keberadaan kolesterol serta golongan sterol yaitu stigma sterol dan ergosterol. Warna dalam komponen organik mengindikasikan keberadaaan dua atau lebih karbon-karbon rantai ganda terkonjugasi (Dence 1980). Sedangkan ekstrak etil asetat tidak menunjukkan perubahan warna. Keberadaan steroid pada ekstrak kloroform ditunjukkan pada Gambar 9. A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A9 Gambar 9. Keberadaan hormon steroid pada pelarut kloroform Keterangan : A1 : Diretmoides pauciradiatus A2 : Benthodesmus tenuis A3 : Beryx splendens A4 : Hoplosthethus crassipinus A5 A6 A7 A9 : Hoplothethus sp : Ophidiidae : Ostracoberyu dorygenis : Godamus colleti Steroid merupakan padatan kristal berwarna putih. Steroid dapat berbentuk jarum kecil, lembaran, lempengan atau partikel amorf tergantung pelarut yang digunakan dalam kristalisasi, dan keterampilan serta keberuntungan ahli kimia. Karena steroid mempunyai 17 atom karbon atau lebih maka golongan senyawa ini cenderung tidak larut dalam air (Wilson, Gilsvold 1982) sehingga pelarut etil asetat yang dicampur dengan air memungkinkan tidak terekstraknya senyawa steroid, karena semua senyawa steroid terlarut dalam pelarut kloroform. Uji Liebermann Burchard merupakan uji yang digunakan untuk mengestimasi steroid semi kuantitatif, dan test ini tidak spesifik dalam menentukan steroid, serta tidak dapat menentukan struktur kimia dari kolesterol (Dence 1980). Oleh karena itu untuk mengidentifikasi steroid berdasarkan tipe dari gugus fungsi maka dilanjutkan dengan uji infra merah. 4.2.2.2. Uji infra merah Untuk mengidentifikasi steroid, uji infrared (IR) dan uji ultra violet (UV) spektrometri merupakan uji yang paling berguna. Perbedaan antara IR dan UV spektrometri ditunjukkan dari range panjang gelombang radiasi yang diberikan. Pada spektrometer IR konvensional, panjang gelombang berjarak 2500-16.000 nm, sedangkan UV spektrometer jarak panjang gelombang biasanya berkisar 200400 nm. UV spektrum menunjukkan struktur elektronik dari molekul, dan IR spektrum menunjukkan karakteristik vibrasi dari ikatan kimia dalam molekul. Infrared spektrum menyediakan informasi mengenai tipe dari gugus fungsi yang terdapat dalam steroid. Pelarut yang biasa dipergunakan dalam IR spektrometri untuk penentuan steroid adalah kloroform, karbon tetraklorid, dan karbon disulfid. Spektrum ditunjukkan sebagai plot dari persen transmitan terhadap panjang gelombang kemudian diartikan dalam unit dari cm-1. Arti dari cm-1 adalah panjang gelombang dalam cm persatuan unit. Tipe-tipe gugus fungsi yang menunjukkan kekhasan sebagai gugus fungsi yang ada di dalam steroid disajikan pada Gambar 10 dalam bentuk grafik. ` Gambar 10. Grafik spektrum infra merah pada standar (Norethindrone asetat) Puncak-puncak yang dapat diterjemahkan sebagai gugus-gugus fungsi steroid kemudian disajikan dalam bentuk tabel yang dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Ikatan-ikatan penting absorpsi infrared (IR) standar. Grup O-H CON-H a N-H Posisi (cm-1) Keterangan 3200-3600 Posisi tergantung pada banyak faktor 2500-3200 Asam karbosilik, luas 3300-3500 (sol), Dua ikatan untuk amida petama 3100-3300 (s) Satu ikatan untuk amida kedua 3350+150 Dua ikatan untuk amine pertama, satu ikatan untuk amine kedua ≡C-H Dekat 3300 Intensitas medium C-H 3000-3100 Olefin atau Aromatik 2850-2950 CH, CH2, atau CH3 jenuh C≡C 2120 Pergantian tunggal alkin, lemah -N=C=N- 2100-2150 Sangat kuat -CH=N=N 2000-2130 Sangat kuat C=O 1750,1800-1825 Asam Anhidril, dua ikatan 1735-1780 Kedua lakton γ dan lakton δ 1715-1740 Ester-ester,cincin lima keton, aldehid tidak terkonjugasi 1700-1725 Sebuah Siklik tidak terkonjugasi, dan enam cincin keton enam sisi. 1680-1725 Aldehid terkonjugasi, Asam karbosiklik 1660-1695 Sebuah siklik terkonjugasi, dan cincin keton enam sisi C=C NO2 1630-1680 Amida 1620-1680 Terisolasi 1575-1630 Terkonjugasi 1490-1620 Aromatik, lebih dari satu ikatan 1540-1560 Dua ikatan, kuat 1350-1390 C-N 1260-1330 Amin aromatik utama C-O 1260-1330 Asetat, 1210-1310 Arakil eter, dua ikatan 1010-1050 1180-1260 Fenol dekat 1150 Alkohol ketiga 1085-1140 Eter alifatik dekat 1050 Alkohol utama 1035-1065 Alkohol kedua siklik sama 970-1035 Alkohol kedua Siklik axial Keterangan : sol (larutan), s = (solid) . Sumber : Dence 1980 Pada Tabel 8 puncak-puncak absorpsi infra merah yang mudah untuk diamati adalah enam cincin keton terkonjugasi pada 1670 cm-1, asetilenik C-H dekat 3000 cm-1, olefinik C-H dan C-H jenuh mendekati dan dibawah 3000 cm-1. Dari Tabel 8 terlihat bahwa ikatan rangkap C• C muncul sebagai puncak yang lemah dengan spektrum dekat 2100 cm-1, dan C=C vibrasi adalah puncak dengan intensitas medium diatas 1600 cm-1. Kerancuan antara puncak Karbonil dan puncak sikloheksan pada 1670 cm-1 biasanya tidak terjadi karena puncak karbonil biasanya satu dari puncak-puncak yang terkuat dalam spektrum. Ikatan kuat pada 1250 cm-1 respon kepada ikatan C-O dari hubungan pada cincin D. (Dence 1980). Ekstrak ikan-ikan laut dalam yang diteliti diuji menggunakan infrared spektrofotometri. Hasil uji yang berbentuk grafik (pada Lampiran 16-23) kemudian dibandingkan dengan grafik standar sehingga diperoleh beberapa kesamaan gugus fungsi dari ekstrak ikan laut dalam dengan standar. Kesamaankesamaan gugus-gugus fungsi pada grafik ekstrak ikan-ikan laut dalam dan standar disajikan dalam bentuk Tabel 9-16. Tabel 9. Ikatan-ikatan penting absorpsi infrared (IR) ikan Diretmoides pauciradiatus Grup O-H Posisi (cm-1) Keterangan 3200-3600 Posisi tergantung pada banyak faktor 2500-3200 Asam karbosilik, luas 3000-3100 Olefin atau Aromatik 2850-2950 CH, CH2, atau CH3 jenuh C≡C 2120 Pergantian tunggal alkin, lemah -CH=N=N 2000-2130 Sangat kuat C=O 1715-1740 Ester-ester,cincin lima keton, aldehid tidak C-H terkonjugasi C=C C-O 1620-1680 Terisolasi 1575-1630 Terkonjugasi 1210-1310 Arakil eter, dua ikatan 1180-1260 Fenol dekat 1150 Alkohol ketiga 1085-1140 Eter alifatik Keterangan : sol (larutan), s = (solid) . Sumber : Dence 1980 Dari Tabel 9 dapat terlihat bahwa ikan Diretmoides pauciradiatus menunjukkan hasil yang positif terhadap keberadaan hormon steroid. Ini dapat dilihat dengan ditemukannya ikatan-ikatan penting yang mirip dengan ikatanikatan penting dari absorpsi infra merah standar. Semua puncak yang menunjukkan kedekatan terhadap keberadaan steroid yang terdapat pada Tabel 8 terdapat pada ikan Diretmoides pauciradiatus kecuali tidak terdapat ikatan NO2. Tabel 10. Grup Ikatan-ikatan penting Benthodesmus tenuis absorpsi Posisi (cm-1) infrared (IR) ikan Keterangan O-H 3200-3600 Posisi tergantung pada banyak faktor C-H 3000-3100 Olefin atau Aromatik 2850-2950 CH, CH2, atau CH3 jenuh C≡C 2120 Pergantian tunggal alkin, lemah -CH=N=N 2000-2130 Sangat kuat C=O 1715-1740 Ester-ester,cincin lima keton, aldehid tidak terkonjugasi C=C 1620-1680 Terisolasi 1575-1630 Terkonjugasi NO2 1350-1390 Dua ikatan, kuat C-O 1210-1310 Arakil eter, dua ikatan 1180-1260 Fenol dekat 1150 Alkohol ketiga 1085-1140 Eter alifatik Keterangan : sol (larutan), s = (solid) . Sumber : Dence 1980 Pada Tabel 10 dapat terlihat bahwa ikan Benthodesmus tenuis menunjukkan hasil yang positif terhadap keberadaan hormon steroid. Ini dapat dilihat dengan ditemukannya ikatan-ikatan penting yang mirip dengan ikatanikatan penting dari absorpsi infra merah standar. Semua puncak yang menunjukkan kedekatan terhadap keberadaan steroid yang terdapat pada Tabel 8 terdapat pada ikan Benthodesmus tenuis. Tabel 11. Grup Ikatan-ikatan penting Beryx splendens absorpsi Posisi (cm-1) infrared (IR) ikan Keterangan O-H 3200-3600 Posisi tergantung pada banyak faktor C-H 3000-3100 Olefin atau Aromatik 2850-2950 CH, CH2, atau CH3 jenuh C≡C 2120 Pergantian tunggal alkin, lemah C=O 1700-1725 Sebuah Siklik tidak terkonjugasi, dan enam cincin keton enam sisi. C=C 1620-1680 Terisolasi 1575-1630 Terkonjugasi NO2 1350-1390 Dua ikatan, kuat C-O 1210-1310 Arakil eter, dua ikatan 1180-1260 Fenol dekat 1150 Alkohol ketiga 1085-1140 Eter alifatik Keterangan : sol (larutan), s = (solid) . Sumber : Dence 1980 Pada Tabel 11 dapat terlihat bahwa ikan Beryx splendens menunjukkan hasil yang positif terhadap keberadaan hormon steroid. Ini dapat dilihat dengan ditemukannya ikatan-ikatan penting yang mirip dengan ikatan-ikatan penting dari absorpsi infra merah standar. Semua puncak yang menunjukkan kedekatan terhadap keberadaan steroid yang terdapat pada Tabel 8 terdapat pada ikan Beryx splendens serta memberikan hasil yang positif terhadap keberadaan sikloheksan pada grafik di Lampiran 18. Tabel 12. Grup Ikatan-ikatan penting Hoplothethus crassipinus absorpsi Posisi (cm-1) infrared (IR) ikan Keterangan O-H 3200-3600 Posisi tergantung pada banyak faktor C-H 3000-3100 Olefin atau Aromatik 2850-2950 CH, CH2, atau CH3 jenuh -CH=N=N 2000-2130 Sangat kuat C≡C 2120 Pergantian tunggal alkin, lemah C=O 1715-1740 Ester-ester,cincin lima keton, aldehid tidak terkonjugasi C=C 1620-1680 Terisolasi 1575-1630 Terkonjugasi NO2 1350-1390 Dua ikatan, kuat C-O 1210-1310 Arakil eter, dua ikatan 1180-1260 Fenol dekat 1150 Alkohol ketiga 1085-1140 Eter alifatik Keterangan : sol (larutan), s = (solid) . Sumber : Dence 1980 Pada Tabel 12 dapat terlihat bahwa ikan Hoplothethus crassipinus menunjukkan hasil yang positif terhadap keberadaan hormon steroid. Ini dapat dilihat dengan ditemukannya ikatan-ikatan penting yang mirip dengan ikatanikatan penting dari absorpsi infra merah standar. Semua puncak yang menunjukkan kedekatan terhadap keberadaan steroid yang terdapat pada Tabel 8 terdapat pada ikan Hoplothethus crassipinus. Tabel 13. Ikatan-ikatan penting Hoplothethus sp absorpsi Posisi (cm-1) Grup infrared (IR) ikan Keterangan O-H 3200-3600 Posisi tergantung pada banyak faktor C-H 3000-3100 Olefin atau Aromatik 2850-2950 CH, CH2, atau CH3 jenuh C≡C 2120 Pergantian tunggal alkin, lemah -CH=N=N 2000-2130 Sangat kuat C=O 1715-1740 Ester-ester,cincin lima keton, aldehid tidak terkonjugasi C=C 1620-1680 Terisolasi 1575-1630 Terkonjugasi NO2 1350-1390 Dua ikatan, kuat C-O 1210-1310 Arakil eter, dua ikatan 1180-1260 Fenol dekat 1150 Alkohol ketiga 1085-1140 Eter alifatik Keterangan : sol (larutan), s = (solid) . Sumber : Dence 1980 Pada Tabel 13 dapat terlihat bahwa ikan Hoplothethus sp. menunjukkan hasil yang positif terhadap keberadaan hormon steroid. Ini dapat dilihat dengan ditemukannya ikatan-ikatan penting yang mirip dengan ikatan-ikatan penting dari absorpsi infra merah standar. Semua puncak yang menunjukkan kedekatan terhadap keberadaan steroid yang terdapat pada Tabel 8 terdapat pada ikan Hoplothethus sp. Tabel 14. Ikatan-ikatan penting absorpsi infrared (IR) ikan Ophidiidae Grup Posisi (cm-1) Keterangan O-H 3200-3600 Posisi tergantung pada banyak faktor C-H 3000-3100 Olefin atau Aromatik 2850-2950 CH, CH2, atau CH3 jenuh C≡C 2120 Pergantian tunggal alkin, lemah -CH=N=N 2000-2130 Sangat kuat C=O 1715-1740 Ester-ester,cincin lima keton, aldehid tidak terkonjugasi C=C 1620-1680 Terisolasi 1575-1630 Terkonjugasi NO2 1350-1390 Dua ikatan, kuat C-O 1210-1310 Arakil eter, dua ikatan 1180-1260 Fenol dekat 1150 Alkohol ketiga 1085-1140 Eter alifatik Keterangan : sol (larutan), s = (solid) . Sumber : Dence 1980 Pada Tabel 14 dapat terlihat bahwa ikan Ophidiidae menunjukkan hasil yang positif terhadap keberadaan hormon steroid. Ini dapat dilihat dengan ditemukannya ikatan-ikatan penting yang mirip dengan ikatan-ikatan penting dari absorpsi infra merah standar. Semua puncak yang menunjukkan kedekatan terhadap keberadaan steroid yang terdapat pada Tabel 8 terdapat pada ikan Ophidiidae. Tabel 15. Grup Ikatan-ikatan penting absorpsi Ostracoberyu dorygenis Posisi (cm-1) infra red (IR) ikan Keterangan O-H 3200-3600 Posisi tergantung pada banyak faktor C-H 3000-3100 Olefin atau Aromatik 2850-2950 CH, CH2, atau CH3 jenuh C≡C 2120 Pergantian tunggal alkin, lemah C=O 1700-1725 Sebuah Siklik tidak terkonjugasi, dan enam cincin keton enam sisi. C=C 1620-1680 Terisolasi 1575-1630 Terkonjugasi NO2 1350-1390 Dua ikatan, kuat C-O 1210-1310 Arakil eter, dua ikatan 1180-1260 Fenol dekat 1150 Alkohol ketiga 1085-1140 Eter alifatik Keterangan : sol (larutan), s = (solid) . Sumber : Dence 1980 Pada Tabel 15 dapat terlihat bahwa ikan Ostracoberyu dorygenis menunjukkan hasil yang positif terhadap keberadaan hormon steroid. Ini dapat dilihat dengan ditemukannya ikatan-ikatan penting yang mirip dengan ikatanikatan penting dari absorpsi infra merah standar. Semua puncak yang menunjukkan kedekatan terhadap keberadaan steroid yang terdapat pada Tabel 8. terdapat pada ikan Ostracoberyu dorygenis serta memberikan hasil yang positif terhadap keberadaan sikloheksan pada grafik di Lampiran 22. Tabel 16. Ikatan-ikatan penting Godamus colleti absorpsi infrared (IR) Posisi (cm-1) Grup ikan Keterangan O-H 3200-3600 Posisi tergantung pada banyak faktor C-H 3000-3100 Olefin atau Aromatik 2850-2950 CH, CH2, atau CH3 jenuh C≡C 2120 Pergantian tunggal alkin, lemah C=O 1700-1725 Sebuah Siklik tidak terkonjugasi, dan enam cincin keton enam sisi. C=C 1620-1680 Terisolasi 1575-1630 Terkonjugasi NO2 1350-1390 Dua ikatan, kuat C-O 1210-1310 Arakil eter, dua ikatan 1180-1260 Fenol dekat 1150 Alkohol ketiga 1085-1140 Eter alifatik Keterangan : sol (larutan), s = (solid) . Sumber : Dence 1980 Pada Tabel 16 dapat terlihat bahwa ikan Godamus colleti menunjukkan hasil yang positif terhadap keberadaan hormon steroid. Ini dapat dilihat dengan ditemukannya ikatan-ikatan penting yang mirip dengan ikatan-ikatan penting dari absorpsi infra merah standar. Semua puncak yang menunjukkan kedekatan terhadap keberadaan steroid yang terdapat pada Tabel 8 terdapat pada ikan Godamus colleti serta memberikan hasil yang positif terhadap keberadaan sikloheksan pada grafik. Grafik infra merah pada Lampiran 16-23 menunjukkan bahwa ikan laut dalam memberikan hasil yang positif terhadap keberadaan steroid. Ini dapat terlihat pada Tabel 9-16 dengan ditemukannya ikatan-ikatan penting yang mirip dengan ikatanikatan penting dari absorpsi infra merah standar. Semua puncak yang menunjukkan kedekatan terhadap keberadaan steroid terdapat pada grafik kecuali pada ikan Diretmoides pauciradiatus tidak terdapat ikatan NO2. Sedangkan ikan Beryx splendens dan Ostracoberyu dorygenis serta Godamus colleti, memberikan hasil yang positif terhadap keberadaan sikloheksan pada grafik. Ini menunjukkan adanya korelasi yang positif antara uji Liebermann Burchad dengan uji Infrared. 4.2.2. Uji antibakteri 4.2.2.1. Ekstraksi senyawa antibakteri Ekstraksi ikan laut dalam bertujuan untuk memisahkan senyawa bioaktif ikan (biasanya dari senyawa tunggal atau kelompok senyawa). Ekstraksi dapat dilakukan dengan beberapa metode tergantung pada jenis ikan dan senyawa yang akan diekstraksi. Salah satu metode yang dapat digunakan yaitu ekstraksi dengan pelarut. Pelarut yang digunakan untuk ekstraksi hendaknya mempunyai sifat-sifat: 1) dapat melarutkan senyawa yang diekstraksi, 2) mudah dipisahkan setelah proses ekstraksi, 3) kemurnian terjadi, 4) tidak toksik (Harbone 1973). Suatu senyawa dapat terekstrak dengan suatu pelarut tergantung dari sifat senyawa tersebut. Senyawa non polar akan larut dalam pelarut non polar, senyawa semi polar akan larut dalam senyawa semi polar dan senyawa polar dapat larut dalam senyawa polar. Pada tahap awal biasanya dilakukan ekstraksi bertingkat dengan pelarut kurang polar hingga polar. Tahapan ekstraksi dari metode ini terdiri dari penghancuran sampel, maserasi, penyaringan dan evaporasi. Penghancuran bertujuan memperkecil ukuran partikel sehingga meningkatkan kontak antara bahan dengan pelarutnya. Semakin kecil ukuran partikel bahan maka semakin mudah kontak dengan pelarut sehingga diharapkan semakin banyak senyawa bioaktif yang dapat terekstrak. Metode ekstraksi senyawa antibakteri yang digunakan dalam penelitian adalah metode Quinn (1988) yang diacu oleh Darusman et al. (1995) yang dimodifikasi. Pelarut yang digunakan adalah kloroform, etil asetat dan metanol. Ekstraksi bertingkat dilakukan karena belum diketahui sifat senyawa yang terdapat dalam ikan laut dalam, sehingga digunakan pelarut non polar hingga polar. Kloroform mewakili pelarut non polar, etil asetat mewakili pelarut semi polar dan metanol mewakili pelarut polar. Tujuan yang diharapkan adalah dapat diketahui sifat senyawa yang memiliki aktivitas antibakteri. ekstraksi ikan laut dalam disajikan dalam Tabel 17. Rendemen hasil Tabel 17. Rendemen hasil ekstraksi senyawa antibakteri ikan laut dalam. Rendemen hasil ekstraksi ikan laut dalam Ekstrak Pelarut Ekstrak A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A9 Berat awal Volume sampel (g) pelarut (ml) Berat Ekstrak (g) Rendemen Kloroform 20 45 0,3520 1,76 Etil Asetat 20 45 0,2321 1,16 Metanol 20 45 0,1397 0,70 Kloroform 20 45 0,2282 1,14 Etil Asetat 20 45 0,0612 0,31 Metanol 20 45 0,5806 2,90 Kloroform 20 45 1,0844 5,42 Etil Asetat 20 45 0,0279 0,14 Metanol 20 45 0,1098 0,55 Kloroform 20 45 1,0877 5,44 Etil Asetat 20 45 3,5421 17,71 Metanol 20 45 0,0333 0,17 Kloroform 20 45 0,3616 1,81 Etil Asetat 20 45 0,0702 0,35 Metanol 20 45 0,1629 0,81 Kloroform 20 45 0,1783 0,89 Etil Asetat 20 45 0,4500 2,25 Metanol 20 45 0,0821 0,41 Kloroform 20 45 0,2460 1,23 Etil Asetat 20 45 1,4035 7,02 Metanol 20 45 0,0094 0,05 Kloroform 20 45 0,1637 0,82 Etil Asetat 20 45 0,1408 0,70 Metanol 20 45 0,0843 0,42 Keterangan : A1 : Dietmoides pauciradiatus A2 : Benthodesmus tenuis A3 : Beryx splendens A4 : Hoplosthethus crassipinus A5 : Hoplothethus sp Berat Total 0,7238 0,8700 1,2221 4,6631 0,5947 0,7104 1,6589 0,3888 A6 : Ophidiidae A7 : Ostracoberyu dorygenis A9 : Godamus colleti A10 : Myctophidae sp A11 : Hyteroglypne japonica Tabel 17 menunjukkan bahwa 50% jumlah ekstrak tertinggi dihasilkan dari ekstraksi menggunakan pelarut kloroform diikuti oleh etil asetat dan pelarut metanol. Konsentrasi ekstrak dari ikan laut dalam 50% bersifat non polar, karena kloroform merupakan pelarut non polar. Hasil proses ekstraksi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kondisi alamiah bahan alam, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel serta kondisi dan lama penyimpanan (Shahidi Naczk 1995 yang diacu oleh Khusniya 2004). Hasil dari proses ekstraksi bertingkat menghasilkan warna ekstrak yang berbeda-beda. Warna-warna tersebut dapat dilihat secara visual. Ekstraksi dengan pelarut kloroform menghasilkan warna kuning-jingga, ekstraksi dengan pelarut etil asetat menghasilkan warna jingga-coklat dan ekstraksi dengan pelarut metanol menghasilkan ekstrak berwarna jingga-merah. Pelarut diatas akan menghancurkan membran sel dan akan melarutkan pigmen yang terkandung dalam bahan (Shahidi, Naczk 1995 yang diacu oleh Khusniya 2004). Warna yang dihasilkan diduga berasal dari pigmen yang terkandung dalam kulit. Pigmen-pigmen yang menghasilkan warna pada kulit ikan berasal dari karetonoid. Ini didukung oleh pernyataan bahwa ikan berwarna cerah karena karetonoid dalam kulit mereka (Goodwin 1952 yang diacu oleh Heat, Reineccius 1986). 4.2.2.2. Uji aktivitas antibakteri Uji aktivitas antibakteri bertujuan untuk melihat ada tidaknya aktivitas antibakteri pada ikan laut dalam. Uji dilakukan dengan melarutkan 3,25 mg ekstrak dalam 100 µl pelarutnya dan digunakan 20 µl dalam setiap paper disc. Contoh perhitungan ditunjukkan pada Lampiran 14. Uji aktivitas antibakteri dilakukan terhadap dua bakteri uji yaitu S. aureus dan E. coli. Optical density (OD600nm) bakteri yang digunakan masing-masing 0,683 dan 0,697 yang diperoleh dari inkubasi 18 jam pada suhu 370C. Berdasarkan hasil uji, tidak semua ekstrak kasar dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji. Hanya ekstrak dari ikan Beryx splendens yang dapat menghambat kedua bakteri uji yang ditandai terbentuknya zona bening disekitar paper disc pada media agar. Aktivitas delapan ekstrak terhadap kedua bakteri uji ditunjukkan pada Gambar 10. Besarnya hambatan ketiga ekstrak terhadap bakteri uji ditunjukkan pada Tabel 18. Tabel 18. Hasil uji antibakteri pada ikan laut dalam dengan konsentrasi 50 ppm. Bakteri E. coli No Ekstrak Ikan Laut Dalam 1 2 3 4 5 6 7 8 Zona Hambat (mm) Kloro Etil form Asetat - - - 11 - - - 2 - - - 11 - - - 2 0,5 - - 11 2,5 - - 2 - - - 11 - - - 2 - - - 11 - - - 2 - - - 11 - - - 2 - - - 11 - - - 2 - - - 11 - - - 2 Dietmoides pauciradiatus Benthodesmus tenuis Beryx splendens Bakteri S.aureus Hoplosthethus crassipinus Hoplothethus sp Ophidiidae Ostracoberyu dorygenis Godamus colleti Metanol Kloram Kloro Etil fenikol form Asetat Metanol Kloram fenikol Tabel 18 menunjukkan bahwa ekstrak kloroform ikan Beryx splendens dapat menghambat pertumbuhan kedua bakteri uji, sedangkan ekstrak metanol dan etil asetat tidak menghambat pertumbuhan bakteri uji. Adanya zona hambat yang terbentuk dari ekstrak kloroform ikan Beryx splendens dipengaruhi oleh komponen biotik yang terekstrak. Zona hambat eksrak kloroform dari ikan Beryx splendens terhadap bakteri S.aureus dan E.coli masing-masing sebesar 2,5 dan 0,5 mm. Ukuran zona hambat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu mikroorganisme uji (strain bakteri uji, fisiologi sel) medium kultur, metode uji (Parish, Davidson 1993) dan kecepatan difusi zat (Barry 1986 yang diacu oleh Davidson, Branen 1993). Diameter zona hambat dari ikan Gambar 11. Beryx splendens pada bakteri S.aureus disajikan pada Pelarut Metanol Pelarut Kloroform Pelarut Etil asetat Gambar 11. Aktivitas ekstrak ikan laut dalam terhadap bakteri Staphylococcus aureus konsentrasi 50 ppm Keterangan : A1 : Dietmoides pauciradiatus A2 : Benthodesmus tenuis A3 : Beryx splendens A4 : Hoplosthethus crassipinus Kf : Kontrol positif (kloramfenikol) A6 : Ophidiidae A7 : Ostracoberyu dorygenis A9 : Godamus colleti A5 : Hoplothethus sp M,EA,K : kontrol negatif (pelarut) Gambar 11 menunjukkan zona hambat ikan Beryx splendens terhadap pertumbuhan bakteri S.aureus kurang dari 6,5 mm. Zona hambat yang kurang dari 6,5 mm menunjukkan bahwa ekstrak ikan Beryx splendens tidak memberikan hambatan terhadap bakteri, karena diameter hambatan terkecil untuk senyawa uji > 6,5 mm (Utama 2002). Hal ini didukung oleh pernyataan yang mengatakan apabila diameter penghambatan yang terbentuk > 6 mm, maka bakteri tersebut dikategorikan sensitif terhadap bahan antibakteri yang diujikan, tapi jika diameter yang terbentuk < 6 mm, maka bakteri tersebut dikategorikan resisten terhadap senyawa antibakteri yang diujikan (Bell 1984). Zona hambat pada bakteri E. coli juga menunjukkan hambatan ekstrak ikan Beryx splendens kurang dari 6,5 mm, sehingga dapat dikatakan ekstrak dari pelarut kloroform konsentrasi 50 ppm tidak sensitif dalam menghambat pertumbuhan bakteri E. coli dan S.aureus. Aktivitas antibakteri ekstrak ikan laut dalam terhadap bakteri E.coli disajikan pada Gambar 12. Pelarut Etil asetat Pelarut Metanol Pelarut kloroform Gambar 12. Aktivitas ekstrak ikan laut dalam terhadap bakteri E.coli konsentrasi 50 ppm Keterangan : A1 : Dietmoides pauciradiatus A2 : Benthodesmus tenuis A3 : Beryx splendens A4 : Hoplosthethus crassipinus Kf : Kontrol positif (kloramfenikol) A6 : Ophidiidae A7 : Ostracoberyu dorygenis A9 : Godamus colleti A5 : Hoplothethus sp M,EA,K : kontrol negatif (pelarut) Gambar 11 dan 12 menunjukkan zona hambat kontrol positif konsentrasi 4 ppm pada bakteri S.aureus dan E. coli sebesar 11 dan 2 mm. Zona hambat yang kecil yaitu kurang dari 6,5 mm karena bakteri E. coli merupakan bakteri gram negatif, dimana kelompok bakteri ini resisten terhadap antibiotik. Ketahanan ini disebabkan oleh struktur dinding bakteri gram negatif yang lebih kompleks (berlapis tiga) jika dibandingkan dengan bakteri gram positif (berlapis satu), sehingga dapat dilihat zona hambat pertumbuhan bakteri E. coli lebih kecil jika dibandingkan dengan bakteri S.aureus (bakteri gram positif). Bakteri gram negatif resisten terhadap gangguan fisik. Kloramfenikol merupakan antibakteri amino glycoside yang menghambat sintesis protein secara kuat dengan cara menghambat aktivitas peptydil transferase yang selanjutnya berakibat terhadap sintesis protein sel itu sendiri. Dengan sifat tersebut maka kloramfenikol paling banyak digunakan untuk menangani infeksi (Atlas 1984). Penggunaan konsentrasi didasarkan pada standar yang digunakan oleh NCI (National Cancer Institute) USA sebesar 20 µg/ml untuk ekstrak kasar, sedangkan pada ekstrak murni konsentrasi yang digunakan 4 µg/ml (Suhartini 2003). Konsentrasi 50 ppm ekstrak ikan Beryx splendens menunjukkan hasil yang kurang sensitif dalam menghambat pertumbuhan bakteri S.aureus dan E.coli. Konsentrasi ekstrak kemudian ditingkatkan menjadi 700 ppm untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak tersebut. Hasil uji antibakteri ekstrak ikan Beryx splendens konsentrasi 700 ppm disajikan pada Gambar 13. Bakteri E.coli Bakteri Staphylococcus aureus Gambar 13. Aktivitas ekstrak ikan laut dalam terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan E. coli konsentrasi 700 ppm Keterangan : A3 : Ekstrak ikan Beryx splendens dalam pelarut kloroform Kf : Kontrol positif (kloramfenikol) Zona hambat ekstrak Beryx splendes konsentrasi 700 ppm terhadap bakteri uji sebesar 3,5 mm untuk bakteri E.coli dan 11,5 mm untuk bakteri S.aureus. Sedangkan zona hambat kontrol positif sebesar 0 mm terhadap bakteri E.coli dan 22 mm untuk bakteri S.aureus. Zona hambat ekstrak ikan Beryx splendens terhadap bakteri E.coli yang kurang dari 6,5 mm menunjukkan bahwa ekstrak ikan Beryx splendens tidak memberikan hambatan terhadap bakteri E.coli, karena menurut Utama (2002) diameter hambatan terkecil untuk senyawa uji > 6,5 mm. Hal ini didukung oleh pernyataan Bell (1984) yang mengatakan apabila diameter yang terbentuk < 6 mm, maka bakteri tersebut dikategorikan resisten terhadap senyawa antibakteri yang diujikan. Sedangkan diameter penghambatan yang terbentuk > 6 mm pada bakteri S.aureus menandakan bakteri tersebut dikategorikan sensitif terhadap bahan antibakteri yang diujikan (Bell 1984). Perbedaan zona hambat kontrol positif dengan ekstrak ikan Beryx splendens diduga karena pengaruh kecepatan difusi zat. Perbedaan zona hambat antara kontrol positif dan ekstrak yang begitu besar diduga karena ekstrak yang dihasilkan oleh ikan Beryx splendens masih berupa ekstrak kasar sedangkan kloramfenikol merupakan ekstrak murni. Ekstrak perlu dimurnikan untuk mendapatkan aktivitas antibakteri yang lebih baik. Aktivitas antibakteri ekstrak kloroform ikan Beryx splendens bersifat bakteristatik karena dapat dilihat setelah inkubasi selama 24 jam zona bening yang terbentuk semakin kecil dan semakin banyak bakteri disekitar paper disc. Studi lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui mekanisme kerja antibakteri dari ekstrak kloroform ikan Beryx splendens. Ekstrak ikan Beryx splendens memberikan hasil yang positif terhadap keberadaan zat antibiotik ikan tersebut. Ikan Beryx splendens ditemukan pada kedalaman laut sekitar 183-732 m dengan warna kulit oranye-merah bersinar (Wheeler 1975). Warna cerah kulit ikan ini memungkinkan adanya hubungan simbiosis antara ikan ini dengan bakteri laut yang memiliki kandungan senyawa antibiotik. 4.2.3. Uji toksisitas dengan Artemia salina Leach Uji toksisitas dilakukan untuk mengetahui tingkat toksisitas dari ikan laut dalam yang diteliti. Uji ini penting sebagai data pendukung untuk menentukan toksisitas dari ikan laut dalam. Pengujian dilakukan dengan menggunakan Artemia salina Leach (Michael et al.1956 yang diacu oleh Carballo et al. 2002). ekstrak yang dipilih pada uji toksisitas adalah ekstrak metanol. Uji ini merupakan metode paling sederhana sebagai langkah awal untuk menentukan toksisitas ekstrak dari bahan alam. Berdasarkan metode ini perlu dilakukan pengkulturan Artemia sebelum dilakukan uji toksisitas karena Artemia yang digunakan masih dalam bentuk telur istirahat. Tujuannya adalah mendapatkan kista yang berkualitas baik sebelum dilakukan uji toksisistas (Isnansetyo, Kurniastuty 1995). Pengujian toksisitas dilakukan dengan mengambil 15 ekor Artemia yang baru menetas untuk ditumbuhkan dalam 30 ml campuran air laut dan ekstrak dengan konsentrasi 5 µg/ml, 25 µg/ml, 50 µg/ml. Konsentrasi 50 µg/ml didapatkan dengan melarutkan 0,050 gram ekstrak ke dalam 1 ml akuades, kemudian diambil sebanyak 20 µl dan dilarutkan dalam 20 ml air laut, begitu pula seterusnya. Contoh perhitungan konsentrasi ekstrak ditunjukkan pada Lampiran 4. Sebagai kontrol digunakan 20 ml air laut tanpa ekstrak yang merupakan medium hidup dari Artemia. Tingkat toksisitas ditentukan berdasarkan LC50. Tabel 19 menunjukkan hasil pengujian toksisitas dengan Artemia salina Leach. Tabel 19. Hasil uji toksisitas pada ikan laut dalam dengan artemia salina Leach Sampel Konsentrasi Ikan Laut Ekstrak kasar Dalam Metanol A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A9 Jumlah Artemia yang mati (ekor) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata 0 jam 72 jam 0 jam 72 jam 5 ppm 0 3 0 2 3 25 ppm 0 4 0 4 4 50 ppm 0 5 0 6 6 5 ppm 0 3 0 2 3 25 ppm 0 5 0 4 5 50 ppm 0 6 0 5 6 5 ppm 0 3 0 3 3 25 ppm 0 5 0 4 5 50 ppm 0 6 0 5 6 5 ppm 0 2 0 3 5 25 ppm 0 4 0 4 4 50 ppm 0 5 0 5 5 5 ppm 0 3 0 2 3 25 ppm 0 3 0 3 3 50 ppm 0 6 0 5 6 5 ppm 0 3 0 2 3 25 ppm 0 4 0 3 4 50 ppm 0 6 0 4 5 5 ppm 0 2 0 1 2 25 ppm 0 3 0 2 3 50 ppm 0 4 0 4 4 5 ppm 0 2 0 2 2 25 ppm 0 3 0 3 3 50 ppm 0 5 0 6 6 Keterangan : A1 : Dietmoides pauciradiatus A4 : Hoplosthethus crassipinus A6 : Ophidiidae A2 : Benthodesmus tenuis A5 : Hoplothethus sp A7 : Ostracoberyu dorygenis A3 : Beryx splendens Hasil pengujian toksisitas dengan menggunakan Artemia salina dibuat dalam bentuk grafik regresi linier kematian Artemia pada konsentrasi 0, 5, 25 dan 50 ppm, dengan memasukkan persamaan Y = ax + b. Hasil yang menunjukkan LC50 Artemia pada berbagai konsentrasi disajikan pada Gambar 14-21. jumlah Artemia mati (ekor) Grafik kematian Artemia Salina Pada berbagai Konsentrasi 7 6 5 4 3 2 1 0 y = 1,9x - 1,5 2 R = 0,9627 0 ppm 5 ppm 25 ppm 50 ppm Konsentrasi ekstrak Dietmoides pauciradiatus metanol (ppm) Gambar 14. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak ikan Diretmoides pauciradiatus Hasil pengujian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak Diretmoides pauciradiatus menyebabkan jumlah kematian Artemia bertambah. Konsentrasi 50 µg/ml menyebabkan jumlah kematian terbesar dari Artemia, yaitu Artemia yang mati sebanyak 6 ekor (rata-rata dua kali ulangan). Konsentrasi 5 µg/ml dan 25 µg/ml masing-masing menyebabkan kematian terhadap Artemia sebanyak 3 dan 4 ekor. Berdasarkan Gambar 14 maka dapat diperoleh persamaan regresinya, yaitu y = 1,9x – 1,5; parameter Y menunjukkan rata-rata jumlah Artemia yang mati dan parameter X menunjukkan konsentrasi ekstrak metanol (µg/ml). LC50 ditentukan dengan memasukkan nilai 8 (jumlah 50% Artemia yang mati) sebagai Y, maka akan diperoleh nilai X sebesar 5.000 µg/L. Nilai X yang diperoleh merupakan LC50 dari ekstrak kasar metanol. yang berarti ekstrak kasar metanol daging ikan memiliki kadar toksisitas sedang. jumlah Artemia mati (ekor) Grafik kematian Artemia Salina Pada berbagai Konsentrasi 7 6 5 4 3 2 1 0 y = 2x - 1,5 2 R = 0,9524 0 ppm 5 ppm 25 ppm 50 ppm Konsentrasi ekstrak Benthodesmus tenuis metanol (ppm) Gambar 15. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak ikan Benthodesmus tenuis. Hasil pengujian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak Benthodesmus tenuis menyebabkan jumlah kematian Artemia bertambah. Konsentrasi 50 µg/ml menyebabkan jumlah kematian terbesar dari Artemia, yaitu Artemia yang mati sebanyak 6 ekor (rata-rata dua kali ulangan). Konsentrasi 5 µg/ml dan 25 µg/ml masing-masing menyebabkan kematian terhadap Artemia sebanyak 3 dan 5 ekor. Berdasarkan Gambar 15 maka dapat diperoleh persamaan regresinya, yaitu y = 2x – 1,5; parameter Y menunjukkan rata-rata jumlah Artemia yang mati dan parameter X menunjukkan konsentrasi ekstrak metanol (µg/ml). LC50 ditentukan dengan memasukkan nilai 8 (jumlah 50% Artemia yang mati) sebagai Y, maka akan diperoleh nilai X sebesar 4.750 µg/L. Nilai X yang diperoleh merupakan LC50 dari ekstrak kasar metanol yang berarti ekstrak kasar metanol daging ikan memiliki kadar toksisitas sedang. Jumlah Artemia mati (ekor) Grafik kematian Artemia Salina Pada berbagai Konsentrasi 7 6 5 4 3 2 1 0 y = 2x - 1,5 2 R = 0,9524 0 ppm 5 ppm 25 ppm 50 ppm Konsentrasi ekstrak Beryx splendens metanol (ppm) Gambar 16. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak ikan Beryx splendens. Hasil pengujian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak Beryx splendens menyebabkan jumlah kematian Artemia bertambah. Konsentrasi 50 µg/ml menyebabkan jumlah kematian terbesar dari Artemia, yaitu Artemia yang mati sebanyak 6 ekor (rata-rata dua kali ulangan). Konsentrasi 5 µg/ml dan 25 µg/ml masing-masing menyebabkan kematian terhadap Artemia sebanyak 3 dan 5 ekor. Berdasarkan Gambar 16 maka dapat diperoleh persamaan regresinya, yaitu y = 2x – 1,5; parameter Y menunjukkan rata-rata jumlah Artemia yang mati dan parameter X menunjukkan konsentrasi ekstrak metanol (µg/ml). LC50 ditentukan dengan memasukkan nilai 8 (jumlah 50% Artemia yang mati) sebagai Y, maka akan diperoleh nilai X sebesar 4.750 µg/L. Nilai X yang diperoleh merupakan LC50 dari ekstrak kasar metanol yang berarti ekstrak kasar metanol daging ikan memiliki kadar toksisitas sedang. Grafik kematian Artemia Salina Pada berbagai Konsentrasi Jumlah Artemia mati (ekor) 6 5 4 3 y = 1,4x 2 R = 0,5765 2 1 0 0 ppm 5 ppm 25 ppm 50 ppm Konsentrasi ekstrak Hoplosthethus crassipinus metanol (ppm) Gambar 17. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak ikan Hoplosthethus crassipinus. Hasil pengujian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak Hoplosthethus crassipinus menyebabkan jumlah kematian Artemia bertambah. Konsentrasi 50 µg/ml dan 5 µg/ml menyebabkan jumlah kematian terbesar dari Artemia, yaitu Artemia yang mati sebanyak 5 ekor (rata-rata dua kali ulangan). Konsentrasi 25 µg/ml menyebabkan kematian terhadap Artemia sebanyak 4 ekor. Berdasarkan Gambar 17 maka dapat diperoleh persamaan regresinya, yaitu y = 1,4x; parameter Y menunjukkan rata-rata jumlah Artemia yang mati dan parameter X menunjukkan konsentrasi ekstrak metanol (µg/ml). LC50 ditentukan dengan memasukkan nilai 8 (jumlah 50% Artemia yang mati) sebagai Y, maka akan diperoleh nilai X sebesar 5.714 µg/L. Nilai X yang diperoleh merupakan LC50 dari ekstrak kasar metanol yang berarti ekstrak kasar metanol daging ikan memiliki kadar toksisitas sedang. Jumlah Artemia mati (ekor) Grafik kematian Artemia Salina Pada berbagai Konsentrasi 7 6 5 4 3 2 1 0 y = 1,8x - 1,5 2 R = 0,9 0 ppm 5 ppm 25 ppm 50 ppm Konsentrasi ekstrak Hoplothethus sp metanol (ppm) Gambar 18. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak ikan Hoplosthethus sp Hasil pengujian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak Hoplothethus sp menyebabkan jumlah kematian Artemia bertambah. Konsentrasi 50 µg/ml menyebabkan jumlah kematian terbesar dari Artemia, yaitu Artemia yang mati sebanyak 6 ekor (rata-rata dua kali ulangan). Konsentrasi 5 µg/ml dan 25 µg/ml masing-masing menyebabkan kematian terhadap Artemia sebanyak 3 ekor. Berdasarkan Gambar 18 maka dapat diperoleh persamaan regresinya, yaitu y = 1,8x – 1,5; parameter Y menunjukkan rata-rata jumlah Artemia yang mati dan parameter X menunjukkan konsentrasi ekstrak metanol (µg/ml). LC50 ditentukan dengan memasukkan nilai 8 (jumlah 50% Artemia yang mati) sebagai Y, maka akan diperoleh nilai X sebesar 5.277 µg/L. Nilai X yang diperoleh merupakan LC50 dari ekstrak kasar metanol yang berarti ekstrak kasar metanol daging ikan memiliki kadar toksisitas sedang. Grafik kematian Artemia Salina Pada berbagai Konsentrasi Jumlah Artemia mati (ekor) 6 5 4 3 2 y = 1,6x - 1 2 R = 0,9143 1 0 0 ppm 5 ppm 25 ppm 50 ppm Konsentrasi ekstrak Ophidiidae metanol (ppm) Gambar 19. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak ikan Ophidiidae Hasil pengujian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak ikan Ophidiidae menyebabkan jumlah kematian Artemia bertambah. Konsentrasi 50 µg/ml menyebabkan jumlah kematian terbesar dari Artemia, yaitu Artemia yang mati sebanyak 5 ekor (rata-rata dua kali ulangan). Konsentrasi 5 µg/ml dan 25 µg/ml masing-masing menyebabkan kematian terhadap Artemia sebanyak 3 dan 4 ekor. Berdasarkan Gambar 19 maka dapat diperoleh persamaan regresinya, yaitu y = 1,6x - 1; parameter Y menunjukkan rata-rata jumlah Artemia yang mati dan parameter X menunjukkan konsentrasi ekstrak metanol (µg/ml). LC50 ditentukan dengan memasukkan nilai 8 (jumlah 50% Artemia yang mati) sebagai Y, maka akan diperoleh nilai X sebesar 5.625 µg/L. Nilai X yang diperoleh merupakan LC50 dari ekstrak kasar metanol yang berarti ekstrak kasar metanol daging ikan memiliki kadar toksisitas sedang. Grafik kematian Artemia Salina Pada berbagai Konsentrasi Jumlah Artemia mati (ekor) 5 4 3 y = 1,3x - 1 2 R = 0,9657 2 1 0 0 ppm 5 ppm 25 ppm 50 ppm Konsentrasi ekstrak Ostracoberyu dorygenis metanol (ppm) Gambar 20. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak ikan Ostracoberyu dorygenis Hasil pengujian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak Hasil pengujian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak Ostracoberyu dorygenis menyebabkan jumlah kematian Artemia bertambah. Konsentrasi 50 µg/ml menyebabkan jumlah kematian terbesar dari Artemia, yaitu Artemia yang mati sebanyak 4 ekor (rata-rata dua kali ulangan). Konsentrasi 5 µg/ml dan 25 µg/ml masing-masing menyebabkan kematian terhadap Artemia sebanyak 2 dan 3 ekor. Berdasarkan Gambar 20 maka dapat diperoleh persamaan regresinya, yaitu y = 1,3x - 1; parameter Y menunjukkan rata-rata jumlah Artemia yang mati dan parameter X menunjukkan konsentrasi ekstrak metanol (µg/ml). LC50 ditentukan dengan memasukkan nilai 8 (jumlah 50% Artemia yang mati) sebagai Y, maka akan diperoleh nilai X sebesar 6.923 µg/L. Nilai X yang diperoleh merupakan LC50 dari ekstrak kasar metanol yang berarti ekstrak kasar metanol daging ikan memiliki kadar toksisitas sedang. Jumlah Artemia mati (ekor) Grafik kematian Artemia Salina Pada berbagai Konsentrasi 7 6 5 4 3 2 y = 1,9x - 2 R2 = 0,9627 1 0 0 ppm 5 ppm 25 ppm 50 ppm Konsentrasi ekstrak Godamus colleti metanol (ppm) Gambar 21. Grafik kematian Artemia pada berbagai konsentrasi ekstrak ikan Godamus colleti Hasil pengujian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak Hasil pengujian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak Godamus colleti menyebabkan jumlah kematian Artemia bertambah. Konsentrasi 50 µg/ml menyebabkan jumlah kematian terbesar dari Artemia, yaitu Artemia yang mati sebanyak 4 ekor (rata-rata dua kali ulangan). Konsentrasi 5 µg/ml dan 25 µg/ml masing-masing menyebabkan kematian terhadap Artemia sebanyak 2 dan 3 ekor. Berdasarkan Gambar 21 maka dapat diperoleh persamaan regresinya, yaitu y = 1,9x - 2; parameter Y menunjukkan rata-rata jumlah Artemia yang mati dan parameter X menunjukkan konsentrasi ekstrak metanol (µg/ml). LC50 ditentukan dengan memasukkan nilai 8 (jumlah 50% Artemia yang mati) sebagai Y, maka akan diperoleh nilai X sebesar 5.263 µg/ml. Nilai X yang diperoleh merupakan LC50 dari ekstrak kasar metanol. Nilai LC50 menunjukkan bahwa ekstrak kasar metanol ikan-ikan laut dalam yang diteliti memiliki kadar toksisitas yang sedang, karena berada dalam kisaran bahan yang memiliki toksisitas sedang (LC50 : 1.000-10.000 µg/ml) (Kamrin 1997). Bioaktivitas hewan sangat dipengaruhi oleh kandungan senyawa kimia yang terdapat didalamnya. Perbedaan kandungan senyawa kimia yang ada menunjukan perbedaan aktifitas farmakologis dari tanaman yang bersangkutan. Selain dipengaruhi oleh jenis senyawa kimia, metoda yang digunakan untuk melakukan uji bioaktivitas juga memegang peranan penting dalam memberikan hasil yang ingin diketahui dari aktifitas hewan tersebut (Lisdawati 2002). Penelitian yang telah dilakukan hingga saat ini menyatakan bahwa toksisitas berkaitan erat dengan kandungan senyawa kimia yang terkandung didalamnya (Lisdawati 2002). Batas aktifitas biologi adalah dengan nilai LC50<1000 µg/L (Meyer 1982). Berdasarkan hasil uji toksisitas tahap awal ini dapat dikatakan ekstrak kasar metanol memiliki tingkat toksisitas dibawah batas aktifitas biologi, dengan kata lain masih dapat dimanfaatkan untuk dikonsumsi secara aman. V. KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan Hasil analisis proksimat terhadap kandungan gizi ikan laut dalam adalah kandungan protein, kandungan lemak kandungan air dan kandungan abu masingmasing rata-rata 23,0-24,8%, 2,1-4,1 %, 70,1-72,1 % dan 1,7-2,4%. Ikan Hoplosthethus sp memiliki kandungan protein lebih tinggi dari ikan laut dalam lainnya yaitu sebesar 24,8%. Ikan laut dalam memiliki 17 asam amino penting yang diperlukan tubuh. Sembilan diantaranya adalah asam amino essensial (Arginin, Histidin, Isoleusin, Leusin, Lisin, Metionin, Fenilalanin, Triptofan, Valin), dan delapan lainnya adalah asam amino non essensial (Asam Glutamat, Asam Aspartat, Sistein, Glutamin, Glisin, Prolin, Serin, Alanin). Dari semua ikan laut dalam yang dianalis kandungan asam aminonya, dapat terlihat bahwa Leusin mendominasi dari segi kuantitas untuk setiap ikan. Pada uji Liebermann Burchad, ikan laut dalam menunjukkan hasil positif terhadap pendugaan adanya steroid. Hasil ini diperkuat dengan uji Infrared yang menunjukkan adanya kemiripan gugus fungsi ikan laut dalam dengan steroid standar. Ekstrak ikan Beryx splendens dari pelarut kloroform menunjukkan hasil yang positif dalam menghambat pertumbuhan bakteri E.coli dan Staphylococcus aureus. Zona hambat eksrak kloroform 50 ppm dari ikan Beryx spelndens terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan E.coli masing-masing sebesar 2,5 dan 0,5 mm. Sedangkan zona hambat ekstrak kloroform 700 ppm sebesar 11,5 dan 3,5 mm. Aktivitas antibakteri ekstrak kloroform bersifat bakteristatik. Ikan laut dalam rata-rata memiliki tingkatan toksisitas yang sedang, dengan nilai diantara 1.000-10.000 µg/L. 5.2 Saran Perlu diadakan penelitian lanjutan mengenai kandungan asam lemak tak jenuh dari ikan laut dalam. DAFTAR PUSTAKA Achmadi SS. 1992. Teknik Kimia Organik, Bogor.Jurusan Kimia. Fakultas Matem atika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Adnan M. 1997. Teknik Kromatografi dalam Analisis Bahan Pangan Pertanian. Yogyakarta. Penerbit ANDI, Aidil M. 1998. Mempelajari sifat daya hantar listrik terhadap tingkat kesegaran ikan. [Skripsi]. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Aldrich. 1993. Katalog Handbook of Fine Chemical. 1992-1993 Anonim. 2004. Red fish. http://www.infofish.com [Maret 2005]. Anonim. 2005. Amino [Februari 2005]. Acids. http://www.realtime.net/anr/aminoacd.html. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedamawati, Budiyanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Atlas RM. 1984. Microbioloy Fundamentals and Aplication. London, New York: Macmillan Publishing Company and Cillier Macmillan Publisher. Bangun AP, Sarwono B. 2002. Khasiat dan Manfaat Mengkudu. Bogor. Agro Media Pustaka. Barry AL. 1986. Procedure for testing antimicrobial agents in agar media : theoritical consideration. Di dalam : Lorian V, Editor. Antibiotics in Laboratory. Baltimore: The Williams and Wilkins Co. Barton R. 1977. The Oceans. Di dalam Fleming NC, editor. The Undersea. New York : Mcmillan Publishing Co. Inc. Bell SM. 1984. Antibiotic Sensitifity Testing by The CDS Methods.New Shout Wales. The Prince of Wales Hospital. Bhagavan NV. 1992. Medical Biochemistry. Boston. London. Jones and Bartlett Publishers. Boyd, C.E.1990. Water Quality in Pond for Aquaculture. Alabama. Alabama Agricultural Experiment Station. Auburn University Branen LA, Davidson PM. 1993. Antimicrobial in Foods. New York. Marcell Dekker, Inc. [BRKP] Balai Riset Kelautan dan Perikanan. 2001. Pengkajian Stok Ikan di Perairan Indonesia. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. Brock TD, Madigan. 1991. Biology of Microorganism. New York. Prentice Hall International. Brunn A. 1957. Deep-sea Abyssal Depths. Di dalam: Hedgpeth, J.W., editor. The Treatise on Marine Ecology and Paleoecology. Memoir 67. Geol. Soc. Of Amer. Washington D.C: America-Commite of Division of Earth Science, National Research Council. National Academy of Sciencies. Bab 22, hlm. 641-672 Carballo JL, Hernandez-Inda ZL, Perez P, Garcia-Gravalos MD. 2002. A comparison between two brine shrimp assay to detect in vitro cytotoxicity in marine natural product. J BMC Biotechnology 2(17): 1-5 [CCOHS] Canadian Center for Occupational Health and Safety. 1999. What does LD50 and LC50 mean. www.cchos.ca/chemicals/LD50.html. [3 Desember 2004]. Clucas I J. 1985. Fish Handling. Preservation and Processing in The Tropics. Part 1. London. Tropical Development Research Institut. Darusman LK, Sajuthi D, Komar, Pamungkas J. 1995. Naskah Seminar : Ekstraksi komponen bioaktif sebagai obat dari kerang-kerangan, bunga karang dan ganggang laut dari perairan pulau Pari Kepulauan Seribu. Buletin Kimia. Bogor: FMIPA, Institut Pertanian Bogor. Davidson PM, Branen AL. 1993. Antimicrobial in Foods. Ed ke-2. New York: Marcell Dekker, Inc. Davis RAJr. 1991. Oceanograpgy, An Introduction to The Marine Enviroment. USA: Wm.C. Brown Publishers. Dence JB. 1980. Steroids and Peptides. New York. A John Wiley and Sons, Inc. Devlin TM. 1993. The Text Book of Biochemistry. With clinical Correlation. Third Edition. New York, Chicester, Brisbane, Toronto, Singapore Whiley Liss, A John Wiley and Sons Inc. Publication. 1185pp. Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan, Bogor. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Fatah AM. 1992. Buku Teks Wilson dan Gisuold Kimia Farmasi dan Medisinal Organik (Terjemahan). Edisi ke tujuh Bagian dua. Semarang. IKIP Semarang Press. Fennels MJ. and Scanes C.G.. 1992a. Inhibition of growth in chickens by testosterone. Poultry Science. 71 (3): 539-547. Fennels MJ. Radecki SV, Proudman JA. and Scanes CG. 1996. The suppresire effect of testosterone in growth in young chickens appear to be mediated via a peripheral androgen receptor; Studies of the anti androgen. ICI 176,334. Poultry Science 75: 763-766. Ferdiansyah. 2000. Toiksisitas dan daya anestesi minyak cengkeh terhadap benih ikan patin (Pangasius sp). [Skripsi]. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Florey K. 1975. Analitycal Profiles of Drug Substances, Vol .4, New York. Academic Press, hal.297. Frazier WC dan Westhoff DC. 1978. Food Microbiology. New Delhi. Mc. Graw – Hill Publisher Co. Limited. Ganong. 1983. Fisiologi Kedokteran. Jakarta. EGC. Gloerfelt TT, Kailola PJ. 1984. Trawled Fishes of Southern Indonesia and Northwestern Australian. The Directorate General of Fiosheries, Indonesia.Harborne, JB. 1973. Phytochemical Methods. London: Chapman and Hall Ltd. Goodwin TW. 1952. Comparative Biochemistry of Caretonoids. London. Chapman and Hall. Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta. Penerbit Liberty. Harborne JB. 1973. Phytochemical Methods. London. Chapman and Hall. Harper LJ, Deaton BJ dan Driskel JA. 1988. Pangan, Gizi, dan Pertanian. Sutardjo, penerjemah. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Jakarta. Terjemahan. Hartono A. 1999. Biokimia (Terjemahan). Edisi ke-24. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta. John ORR. 1981. Hongkong Nudibranch. Published by the Urban Council Hongkong. Heat, HB dan Reineccius G. 1986. Produk Alami Lautan. Westport Connecticut. Art Publ. Co. Inc Hedgpeth JW. 1957. Clasification of Marine Enviroment. Di dalam: Hedgpeth, J.W., editor. 1963. The Treatise on Marine Ecology and Paleoecology. Vol 1. Ecology. Washington D. C: America-Commite of Division of Earth Science, National Research Council. National Academy of Sciencies. Herman RL. 1972. "The Principles of Teraphy in Fish Deseases”. Deseases of Fish. Symposia of The Zoological Society of London. Number 30. New York. In: Mawdesley LE, Thomas. Academic Press. P 141-151. Ilyas S. 1983. Teknologi Refrigerasi Hasil Perikanan. Jilid 1: Teknik Pendinginan Ikan. Jakarta. CV. Paripurna. Isnansetyo AK. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton. Yogyakarta: Kanisius. Jamal B. 2003. Keadaan limnologi kolam tadah hujan pada budidaya ikan gurame (Ophronemus gouramy). [Skripsi]. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Kamrin MA. 1997. Pesticide Profile : Toxicity, Enviromental, Impact and Fate. Boca Raton: Lewis Publisher. Karleskin GJr. 1998. Introduction To Marine Biology. United State of Amerika. Harcourt Brace Company. Khusniya T. 2004. Penapisan senyawa antibakteri dan antioksidan dari kulit batang sentigi (Pemphis acidula). [Skripsi]. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Koesman, JH. 1983. Pengantar Umum Toksisitas. Yogyakarta. UGM Press. 97 Hal. Lehninger AL. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Jilid 2. Thenawidjaja M, penerjemah. Jakarta. Penerbit Erlangga. Terjemahan. Lisdawati V. 2002. Buah mahkota dewa. http://www.mahkotadewa.com/KLINIK/Vivi.htm. [8 Agustus 2005]. Marni NA. 2001. Toksisitas daun kirinyuh (Chromolaena odorata) terhadap ikan gurame (Osphronemus gouramy). [Skripsi]. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Marshall NB. 1971. Exploration in The Life of Fishs. Massachusetts: Harvard University Press. Cambridge. McConnaughey BH, Zottoli R. 1983. Introduction to Marine Biology 2. London. The C.V. Mosby Company. Metelev VV, Kahaev AL, Dzasokllova NG. 1983. Water Toxicology. New Delhi. American Publishing. 203 p. Michael AS, Thompson CG, Abramovitz M. 1956. Artemia salina as a Test Organism for Bioassay. Science 123 : 464. Miller H. 1913. Rahasia Di Laut [8 Desember 2004] Dalam. http://desslosqualene.tripod.com/. Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta. PT. Penebar Swadaya. Mustofa AF. 1982. Buku Teks Wilson dan Gilsvold Kimia Farmasi dan Medisinal Organik. Semarang. IKIP Semarang Press. Nontji A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta. Penerbit Jambatan. Nur MA, Adijuwana H. 1989. Teknik Pemisahan dalam Analisis Biologi. Bogor. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertaniaan Bogor. Nur MA, Adijuwana H dan Kosasih. 1992. Penuntun Praktikum: Teknik Laboratorium. Bogor. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Nybakken JW. 1988. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. Eidman M, penerjemah. Jakarta. Penerbit Gramedia. Terjemahan dari Marine Biology: (An Ecological Approach). Parish ME, Davidson PM. 1993. Method for Evaluation. Di dalam: Davidson PM, Branen AL, Editor. Atimicrobial in Food. Edisi ke-2. New York: Marcel Dekker, Inc. Hlm 597-612. Parin N, Paxton J. 1990. Australia’s East Coast Gemfish. Vol. 49. No. 5. Australia: Australian Fisheries. Pelczar MJ. dan Reid RD. 1977. Microbiology. Tokyo. Mc. Graw – Hill Book Co, Inc. Kogusha Co. Ltd. Pelczar MJ, Chan ECS. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jilid 2. Hadioetomo RS, Imas , Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari Elements of Microbiology. Perkins C. 1992. Seafood Handbook, The Andvanced, Selling The Benefit; Taste, Nutrition and Safety. USA: Rockland, Maine. Pipkin BW et al. 1987. Laboratory Exercise in Oceanography, 2nd Ed. New York : W. H. Freeman and Company. Poedjiadi A. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta. Penerbit Universitas Indonesia. Prijanto D. 1984. Identifikasi hormon steroid dalam obat kontrasepsi oral. [Skripsi]. Jakarta. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan. Universitas Indonesia. Rath NC, Huff WE, Balong JM and Bayyari GR.1996. Effect of Gonad Steroid on Bone and Other Physiological Parameters of Male Broiler Chickens. Poultry Science. 75: 4. Riris ID.1994. Steroid dalam kerang hijau. Tesis. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Schelegel HG, Schmidt K. 1994. Mikrobiologi Umum. Yogyakarta : Gajah Mada Press. Shahidi F, Naczk M. 1995. Food Phenolic. Lancester-Basel : Publishing Co.Inc. Technomic Sigma. 2000. Biochemichals Organic Compounds for Research and Diagnostic Reagents. Sigma Chemical Company. Simorangkir JH. 1984. Studi Spektra Inframerah Monosakarida. http://167.205.4.4/go.php ? id =jbptitbpp-gdl-s2-2004-johannesho-1734. [Agustus 2005]. Sprague JB. 1990. Aquatic Toxicology. Method for Fish Biology. In: Carl B. Schreck and Peter B. Moyle (Eds). USA.American Fisheries Society. P 493-528. Standsby ME, Olcott HS. 1963. Compotion of fish. Di dalam: M.E. Stansby, editor. Industrial Fishery Technology. New York: Reinhold Publising Company. Sudarmadji S, Haryono B dan Suhardi. 1989 Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta. Penerbit Liberty Yogyakarta Bekerja Sama dengan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada. Suhartini S. 2003. Penapisan awal Caulerpa racemosa, Sesuvium portulacastrum, Xylocarpus granatum dan Ulva lactuna sebagai antimikroba [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Suman A. 2005. Potensi Steroid Pada Ikan Laut Dalam. http://. Kompas.com/. [Juni 2005] Sumich JL. 1992. An Introduction to Biology of Marine Life, 5th Ed. USA : Wm. C. Brown Publishers. Suyani. 2002. Mempelajari efektivitas khitosan dan menghambat kemunduran mutu suatu kerusakan yang diakibatkan oleh pertumbuhan kapang pada ikan teri kering. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Tortora GJ, Funke BR, Case CL. 1989. Microbiology and Introduction. Ed ke-3. California: The Benjamin/Cumming Publisher Company, Inc. Utama EP. 2002. Senyawa antibakteri dari ekstrak etil asetat kulit batang pelawan. [Skripsi]. Bogor. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Webber HH, dan HV. Thurman. 1991. Marine Biology, 2nd Ed. USA : Harper Collins Publishers. Wheeler A. 1975. Fishes of The World. An Illustrated Dictionary. New York. Mac Millan Publishing Co.Inc. Wilson BR, Gilsvold HJ. 1982. Endrocrinology. New York. CIBA Foundation. Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Zaitsev V et al. 1969. Fish Curing and Processing. Moscow: MIR Publishing. LAMPIRAN Lampiran 1. Contoh perhitungan senyawa asam amino pada uji asam amino. Berat Molekul Asam Amino (µg/µmol) Jenis Asam Amino Asam Aspartat Asam Glutamat Serin Histidin Glisin Treonin Arginin Alanin Tirosin Metionin Valin Fenilalanin Isoleusin Leusin Lisin Berat Molekul 133,10 147,10 105,09 155,16 75,05 119,12 174,20 89,09 181,19 144,21 117,15 165,19 131,17 131,17 146,19 Persentase asam amino A1 (Ikan Dietmoides pauciradiatus) Luas area contoh × 2,5µg x BM x 10 x 100 Luas area s tan dar = Bobot sampel 0,25 g Luas area contoh × 2,5µg x BM x 10 x 100 Luas area s tan dar = Bobot sampel 250.000 µg 52376 × 2,5 x133.1x10 x100 173077 = = 0,402 (Asam Aspartat) 250.000 76035 × 2,5 x147.1x10 x100 = 206822 = 0,540 (Asam Glutamat) 250.000 Lampiran 2. Hasil uji asam amino standar sampel Puncak jenis-jenis asam amino Luas Area Sampel Lampiran 3. Hasil uji asam amino ikan Diretmoides pauciradiatus Puncak jenis-jenis asam amino Luas Area Sampel Lampiran 4. hasil uji asam amino ikan Benthodesmus tenuis Puncak jenis-jenis asam amino Luas Area Sampel Lampiran 5. Hasil uji asam amino ikan Beryx splendens Puncak jenis-jenis asam amino Luas Area Sampel Lampiran 6. Hasil uji asam amino ikan Hoplothethus crassipinus Puncak jenis-jenis asam amino Luas Area Sampel Lampiran 7. Hasil uji asam amino ikan Hoplothethus sp. Puncak jenis-jenis asam amino Luas Area Sampel Lampiran 8. Hasil uji asam amino ikan Ophidiidae Puncak jenis-jenis asam amino Luas Area Sampel Lampiran 9. Hasil uji asam amino ikan Ostracoberyu dorygenis Puncak jenis-jenis asam amino Luas Area Sampel Lampiran 10. Hasil uji asam amino ikan Godamus colleti Puncak jenis-jenis asam amino Luas Area Sampel Lampiran 11. Hasil uji asam amino ikan Myctophidae sp. Puncak jenis-jenis asam amino Luas Area Sampel Lampiran 12. Hasil uji asam amino ikan Hyteroglypne japonica Puncak jenis-jenis asam amino Luas Area Sampel Lampiran 13. Contoh perhitungan persen rendemen ¬ Persen rendemen Ekstraksi Senyawa Antibakteri Ikan Laut Dalam Rendemen (%) = Rendemen (%) = Rendemen (%) = Massa ekstrak kasar (gram) Massa sampel (gram) 0,3520 gram 20,00 gram x 100% x 100% 1,76 ¬ Persen rendemen Ekstraksi Senyawa Steroid Ikan Laut Dalam Rendemen (%) = Rendemen (%) = Rendemen (%) = Massa ekstrak kasar (gram) Massa sampel (gram) 0,2282 gram 20,0000 gram 1,14 x 100% x 100% Lampiran 14. Contoh perhitungan konsentrasi ekstrak pada uji aktivitas antibakeri. Perhitungan konsentrasi ekstrak pada uji aktivitas antibakteri Diketahui : Konsentrasi ekstrak (s) : 50 µg/ml Volume ekstrak pada paper disc (p) : 20 µl. Volume pelarut (untuk melarutkan ekstrak) (q) : 0,1 ml = 100 µl Volume media agar (Bacto agar) (r) : 15 ml = 15000 µl Ditanya : Berat Ekstrak yang dibutuhkan (x) : ………………? Jawab : Konsentrasi ekstrak ditentukan dengan persamaan sebagai berikut : x xp q Konsentrasi ekstrak (s) = r 50 µg/ml 6 µg x( g ) x10 g x20µl 100 = 15ml = 3250 µg = 3,25 mg = 0,00325 g. Jadi untuk mendapatkan ekstrak dengan konsentrasi 50 µg/ml diperlukan berat ekstrak sebesar 0,00325 g. maka Lampiran 15. Contoh perhitungan konsentrasi ekstrak pada uji toksisitas dengan Artemia salina Leach. Perhitungan konsentrasi ekstrak Diketahui : Konsentrasi ekstrak (s1) : 5 µg/ml Konsentrasi ekstrak (s2) : 25 µg/ml Konsentrasi ekstrak (s3) : 50 µg/ml Volume ekstrak yang ditambahkan ke dalam air laut (p) : 20 µl Volume pelarut (untuk melarutkan ekstrak) (q) : 1 ml = 1000 µl Volume air laut (l) : 20 ml = 20000 µl Ditanya : Berat Ekstrak yang dibutuhkan untuk masing-masing konsentrasi ekstrak (xn) : ………………? Jawab : Berat ekstrak yang dibutuhkan untuk mendapatkan konsentrasi 5 µg/ml……….? Konsentrasi ekstrak ditentukan dengan persamaan sebagai berikut : x xp q Konsentrasi ekstrak (s1) = l 5 µg/ml 6 µg x( g ) x10 g x 20µl 1000 = 20ml = 5000 µg = 5 mg = 0,005 g. Jadi untuk mendapatkan ekstrak dengan konsentrasi 5 µg/ml diperlukan berat ekstrak sebesar 0,005 g. maka Lampoiran 16. Grafik spektrum panjang gelombang infrared ikan Dietmoides pauciradiatus C=C C-H C-O CH=N=N C-H C-O C-O C-H C=C O O-H O-H 96 A1 : Dietmoides pauciradiatus Lampoiran 17. Grafik spektrum panjang gelombang infrared ikan Benthodesmus tenuis C-H C-H C=C CH=N=N C-O NO2 C=C O O-H C-O C-O C-O O-H 97 A2 : Benthodesmus tenuis Lampoiran 18. Grafik spektrum panjang gelombang infrared ikan Beryx splendens C-H C-H C=C NO2 C-O C=C C-O O-H C-H O-H C-O 98 A3 : Beryx splendens C=O Lampoiran 19. Grafik spektrum panjang gelombang infrared ikan Hoplosthethus crassipinus C=C C-H C-H NO2 C-O O C=C O-H C-H C-O C-O A4 : Hoplosthethus crassipinus 99 Lampoiran 20. Grafik spektrum panjang gelombang infrared ikan Hoplosthethus sp C=C CH=N=N NO2 C-O O C-H C=C C-O C-H O-H C-O O-H C-H A5 : Hoplothethus sp 100 Lampoiran 21. Grafik spektrum panjang gelombang infrared ikan Ophidiidae C=C CH=N=N NO2 C-O C-H C=C C-O C-H C-O O-H O-H C-H C=O A6 : Ophidiidae 101 Lampoiran 22. Grafik spektrum panjang gelombang infrared ikan Ostracoberyx dorygenis C=C NO2 C-O C-H C=C C-O C-H C-O O-H C-H 102 A7 : Ostracoberyx dorygenis C=O Lampoiran 23. Grafik spektrum panjang gelombang infrared ikan Godamus colleti NO2 C-O C-H C=C C-O C-H O-H C-O O-H C-H 103 A9 : Godamus colleti C=O Lampiran 24. Ikan-ikan laut dalam yang diteliti Hoplosthethus crassipinus Benthodesmus tenuis Beryx splendens Hoplothethus sp. 104 Ophidiidae Dietmoides pauciradiatus Hyteroglypne japonica Godamus colleti Myctophidae 105 Ostracoberyx dorygenis