BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan jiwa

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi sehat emosional, psikologi, dan
sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan, perilaku dan
koping yang efektif, konsep diri yang positif, dan kestabilan emosi. Upaya
kesehatan jiwa dapat dilakukan perorangan, lingkungan keluarga, lingkungan
sekolah, lingkungan pekerjaan, lingkungan masyarakat yang didukung sarana
pelayanan kesehatan jiwa dan sarana lain seperti keluarga dan lingkungan sosial.
Lingkungan tersebut selain menunjang upaya kesehatan jiwa juga merupakan
stressor yang dapat mempengaruhi kondisi jiwa seseorang, pada tingkat tertentu
dapat menyebabkan seseorang jatuh dalam kondisi gangguan jiwa (Videbeck,
2008).
Menurut Maramis (2009), masalah kesehatan jiwa tidak menyebabkan
kematian
secara
langsung,
namun
akan
menyebabkan
penderitaan
yang
berkepanjangan baik bagi individu, keluarga, masyarakat dan negara karena
penderitanya menjadi tidak produktif dan bergantung pada orang lain. Masalah
kesehatan jiwa juga menimbulkan dampak sosial antara lain meningkatnya angka
kekerasan, kriminalitas, bunuh diri, penganiayaan anak, perceraian, kenakalan
remaja, penyalahgunaan zat, HIV/AIDS, perjudian, pengangguran dan lain-lain.
1
2
Oleh karena itu masalah kesehatan jiwa perlu ditangani secara serius (Depkes RI,
2006).
Menurut Depkes RI (2005) dari studi Bank Dunia tahun 1995 di beberapa
Negara menunjukkan bahwa hari produktif yang hilang sebesar 8,1 % dari Global
Burden of Disease disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa. Angka ini lebih tinggi
dari dampak yang disebabkan oleh penyakit TBC(7,2%), kanker (5,8%), penyakit
jantung (4,4%) maupun malaria (2,6%). Menurut National Institute of Mental
Health gangguan jiwa mencapai 13% dari penyakit secara keseluruhan dan
diperkirakan akan berkembang menjadi 25% di tahun 2030 (WHO, 2009).
WHO (2001), menyatakan bahwa 12 % dari disability-adjusted life years
(DALYs) disebabkan oleh masalah kesehatan jiwa, dan diperkirakan akan menjadi
15% pada tahun 2020. Angka ini lebih besar dari penyakit dengan penyebab
lainnya (fisik). Meskipun tidak tercatat sebagai penyebab kematian maupun
kesakitan utama di Indonesia, bukan berarti kesehatan jiwa tidak ada atau
kecil masalahnya. Kurang tersedianya data merupakan masalah kesehatan jiwa
disebabkan kesehatan jiwa belum mendapat perhatian.
Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia sebesar 6,0
persen. Provinsi dengan prevalensi ganguan mental emosional tertinggi di Indonesia
adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Nusa
Tenggara Timur (Riskesdas, 2013).
Setelah melakukan studi pendahuluan pada tanggal 6 Mei 2014 di
Puskesmas Jetis II Bantul dan Puskesmas Kasihan II Bantul melalui wawancara dan
3
telaah pustaka, peneliti mendapatkan data bahwa kasus gangguan jiwa menempati
urutan kedelapan dari 10 besar penyakit kunjungan pasien di Puskesmas Jetis II
Bantul pada tahun 2012, dimana rata-rata kasus gangguan jiwa dengan diagnosa
medis schizophrenia. Tercatat bahwa masyarakat di wilayah puskesmas Jetis II
Bantul yang mengalami gangguan jiwa sebanyak 91 orang dari 10.596 penduduk
Desa Canden dan 80 orang dari 11.079 penduduk Desa Patalan. Sehingga total
pasien dengan gangguan jiwa di Puskesmas Jetis II Bantul saat ini sebanyak 171
orang.
Selain itu, di Puskesmas Kasihan II Bantul juga memiliki jumlah pasien jiwa
yang cukup tinggi yaitu total 139 orang. Namun, pasien dengan gangguan jiwa yang
masih berobat rutin ke puskesmas hingga saat ini hanya sekitar 40-50 pasien saja.
Sama seperti Puskemas Jetis II Bantul, di Puskesmas Kasihan II juga sudah dirintis
Desa Siaga Sehat Jiwa.
Fokus kesehatan jiwa bukan lagi hanya menangani orang sakit, melainkan
pada peningkatan kualitas hidup. Menurut WHO (1995) cit. Bobes et al. (2007)
kualitas hidup adalah persepsi individu mengenai posisi kehidupannya dalam suatu
sistem nilai dan budaya dimana mereka tinggal dan berhubungan dengan tujuan,
harapan, standar dan perhatian mereka. Kualitas hidup merupakan indikator penting
untuk menilai keberhasilan intervensi pelayanan kesehatan baik dari segi
pencegahan maupun pengobatan (Suharmiati, 2003 cit. Sudiani, 2004). Menurut
WHO (1994) seseorang dapat dinilai memiliki kualitas hidup yang lebih tinggi
4
apabila ia dapat berperan serta dalam kehidupan komunitasnya dan berpartisipasi
dalam berbagai interaksi sosial.
Sekembalinya dari rumah sakit, pasien adalah bagian dari masyarakat yang
berkewajiban menjalankan fungsi sosialnya (Ambari, 2010). Pasien dengan
gangguan jiwa yang telah atau sedang menjalani pengobatan dan telah kembali ke
masyarakat seringkali mengalami kemunduran fungsi sosialnya. Hal tersebut terjadi
karena beberapa hal, diantaranya perasaan malu terhadap penyakitnya, hilangnya
rasa percaya diri, muncul pikiran menganggap tidak penting dan tidak ada gunanya
berinteraksi dengan orang lain sehingga menurunkan motivasi pasien untuk
berinteraksi dengan orang lain (Nyumirah, 2012).
Menurut Stuart & Sundeen (2006), individu dengan masalah kesehatan jiwa
harus diarahkan pada respon perilaku dan interaksi sosial yang optimal melalui
asuhan keperawatan yang komprehensif dan terus menerus disertai dengan terapiterapi modalitas seperti Terapi Kelompok. Terapi Kelompok yang dimaksud disini
adalah Terapi Aktivitas Kelompok merupakan salah satu terapi modalitas yang
dilakukan perawat kepada sekelompok pasien yang mempunyai masalah
keperawatan yang sama. Aktivitas digunakan sebagai bentuk terapi dan kelompok
digunakan sebagai target asuhan. Di dalam kelompok tersebut akan terjadi dinamika
interaksi yang saling bergantung, saling membutuhkan dan menjadi laboratorium
tempat klien berlatih perilaku baru yang adaptif untuk memperbaiki perilaku yang
maladaptif (Keliat, 2013).
5
Sejak tahun 2000, paradigma pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia
mengalami perubahan dari kesehatan jiwa berbasis rujukan (institusional rumah
sakit) menuju kesehatan jiwa berbasis komunitas di pelayanan primer (Wasniyati,
2013). Menurut Anthony (1993) dalam artikel yang berjudul Recovery from Mental
Illness : the Guiding Vision of the mental health Service System in the 1990s
menyebutkan bahwsa konsep pelayanan kesehatan jiwa berbasis komunitas ini akan
dapat mengidentifikasi komponen-komponen penting yang dibutuhkan oleh
masyarakat dalam memberikan dukungan dan pelayanan yang adekuat kepada
individu yang mengalami masalah kesehatan jiwa. Pelayanan kesehatan jiwa yang
terintegrasi ke dalam pelayanan kesehatan primer menghasilkan perbaikan gejala,
peningkatan fungsi, peningkatan kualitas hidup.
Penelitian tentang TAK hingga saat ini sudah banyak dilakukan di beberapa
rumah sakit di Indonesia, seperti penelitian Kurnia tahun 2013, penelitian
Rahmawati tahun 2007, dengan hasil TAK memberi dampak positif bagi pasien
gangguan jiwa. Sedangkan di puskesmas, pelaksanaan program atau terapi tersebut
masih jarang dilakukan, karena belum semua puskesmas memiliki program Desa
Siaga Sehat Jiwa. Selain itu, belum banyak program DSSJ yang berhubungan
dengan peningkatan kemampuan pasien jiwa, sehingga pasien gangguan jiwa yang
telah dinyatakan sembuh dan kembali ke masyarakat tidak mempunyai kesempatan
untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuannya, serta kondisi sosialnya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang keefektivitasan Terapi Aktivitas Kelompok terhadap aspek social
6
belonging dalam kualitas hidup pasien gangguan jiwa di Desa Siaga Sehat Jiwa
wilayah Puskesmas Bantul Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah yang dapat dirumuskan
oleh peneliti yaitu apakah Terapi Aktivitas Kelompok efektif terhadap perubahan
nilai aspek social belonging dalam kualitas hidup pasien gangguan jiwa di Desa
Siaga Sehat Jiwa wilayah Puskesmas Kabupaten Bantul Yogyakarta.
C. Tujuan penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui efektivitas Terapi Aktivitas Kelompok terhadap aspek
social belonging dalam kualitas hidup pasien gangguan jiwa di Desa Siaga Sehat
Jiwa wilayah Puskesmas Kabupaten Bantul Yogyakarta.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui nilai aspek social belonging pasien gangguan jiwa di
wilayah puskesmas kabupaten Bantul pada kelompok kontrol sebelum dan
sesudah mendapat Terapi Aktivitas Kelompok.
b. Untuk mengetahui nilai aspek social belonging pasien gangguan jiwa di
wilayah puskesmas kabupaten Bantul pada kelompok intervensi sebelum dan
setelah Terapi Aktivitas Kelompok.
7
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
a. Manfaat untuk ilmu pengetahuan adalah dapat mengembangkan pengetahuan
tentang Terapi Aktivitas Kelompok dan efektivitasnya terhadap aspek social
belonging pasien dengan gangguan jiwa di masyarakat.
b. Manfaat untuk penelitian adalah menambah wacana baru dalam penelitian
tentang keperawatan jiwa dan komunitas, serta menambah informasi ilmiah
tentang terapi aktivitas kelompok dan aspek social belonging pasien dengan
gangguan jiwa di masyarakat.
2. Manfaat Praktis
a. Manfaat untuk pasien dan keluarga adalah dapat memberikan pemahaman
tentang kefeektivitasan terapi aktivitas kelompok terhadap aspek social
belonging paien gangguan jiwa di masyarakat.
b. Manfaat untuk tenaga kesehatan adalah sebagai sumber informasi dan bahan
acuan dalam meningkatkan kualitas asuhan keperawatan bagi pasien gangguan
jiwa di
masyarakat
terutama terhadap aspek
social
belonging
dan
keefektivitasan terapi aktivitas kelompok.
c. Manfaat untuk puskesmas adalah sebagai sumber informasi dalam penentuan
kebijakan bagi pasien gangguan jiwa di masyarakat sehingga Puskesmas dapat
memperbaiki pelayanan keperawatan terhadap aspek social belonging pasien
gangguan jiwa.
8
E. Keaslian Penelitian
Penelitian yang pernah dilakukan yang berkaitan dengan penelitian ini adalah :
1. Sri Nyumirah (2007) dengan judul “Peningkatan Kemampuan Interaksi Sosial
(Kognitif, Afektif, dan Perilaku) Melalui Penerapan Terapi Perilaku Kognitif
di RSJ Dr Amino Gondohutomo Semarang”. Penelitian ini menggunakan jenis
penelitian quasi experiment pre-post test without control. Hasil penelitian
menunjukkan ada pengaruh terapi perilaku kognitif terhadap kemampuan
interaksi (kognitif, afektif, dan perilaku) pada klien isolasi sosial. Ada
peningkatan kemampuan interaksi sosial setelah dilakukan terapi perilaku
kognitif.
Persamaan dengan penelitian ini ada pada jenis penelitian yaitu quasi
eksperimen. Perbedaannya adalah intervensi yang dilakukan dalam penelitian
ini adalah terapi perilaku kognitif, sedangkan intervensi dalam penelitian yang
akan dilakukan adalah terapi aktivitas kelompok. Selain itu penelitian ini
menggunakan setting di rumah sakit, sedangkan penelitian yang akan
dilakukan menggunakan setting di puskesmas/komunitas.
2. Ni Made Rika Rahmawati. (2007) dengan judul “Pengaruh Pelaksanaan
Terapi Aktifitas Kelompok Sosialisasi (TAKS) Rentang Respon Sosial Klien
Dengan Kerusakan Interaksi Sosial di Ruang P2A Grhasia Propinsi DIY” jenis
penelitian ini adalah pre-eksperimen yang menggunakan one-group PretestPosttest Design dengan metode sampling non-probability, jenis purposif
9
sampling. Hasilnya adalah TAKS memberikan pengaruh terhadap perubahan
rentang respon sosial ke arah yang adaptif pada klien dengan kerusakan
Interaksi Sosial di ruang P2A RS Grhasia Provinsi DIY. Persamaan penelitian
adalah intervensi yang diberikan yaitu Terapi Aktivitas Kelompok.
Perbedaanya adalah pada penelitian ini menggunakan metode penelitian preeksperimen dengan one-group Pretest-Posttest Design, sedangkan penelitian
yang akan dilakukan menggunakan jenis penelitian kuasi-eksperimen dengan
pretest-posttes with control group. Selain itu pada penelitian ini menggunakan
setting di rumah sakit, sedangkan penelitian yang akan dilakukan
menggunakan setting puskesmas/komunitas.
3. Umi Pertiwi Kesumaningrum. (2009) dengan judul “Hubungan Kualitas
Pelaksanaan Terapi Aktivitas Kelompok Dengan Tingkat Kepuasan Pasien
Gangguan Jiwa di RS Grhasia Propinsi DIY” jenis penelitian ini adalah
deskriptif korelasional yang menggunakan rancangan cross sectional dengan
metode sampling menggunakan purposive sampling. Hasilnya adalah ada
hubungan bermakna pada kualitas pelaksanaan terapi aktivitas kelompok
dengan tingkat kepuasan pasien gangguan jiwa. Persamaan penelitian ini pada
variabelnya yaitu Terapi Aktivitas Kelompok dan pasien gangguan jiwa.
Perbedaannya adalah jenis penelitian yang digunakan, pada penelitian ini
menggunakan jenis penelitian deskriptif sedangkan penelitian yang akan
dilakukan menggunakan jenis penelitian kuasi-eksperimen.
10
4. Ji-Min Seo, Sukhee Ahn, Eun Kyung Byun, and Chul Kweon Kim.(2007)
dengan judul “Social Skills Training as Nursing Intervention to Improve the
Social Skills and Self-Esteem of Inpatients with Chronic Schizophrenia”,
penelitian ini menggunakan jenis kuasi-eksperimen dengan kelompok kontrol
dan intervensi. Hasilnya adalah Pelatihan Ketrampilan Sosial efektif dalam
meningkatkan kemampuan bersosialisasi dan harga diri pasien dengan
Shizophrenia kronik. Persamaan dengan penelitian ini adalah jenis penelitian
yaitu penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuasi-eksperimen dengan
grup kontrol dan intervensi.
Perbedaannya adalah intervensi yang digunakan dalam penelitian ini
berupa Pelatihan Ketrampilan Sosial, sedangkan intervensi pada penelitian
yang akan dilakukan berupa Terapi Aktivitas Kelompok. Selain itu, subyek
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pasien dengan
Schizophrenia Kronik, sedangkan subyek pada penelitian yang akan dilakukan
adalah pasien dengan gangguan jiwa tanpa spesifik diagnosa tetapi berada
pada tahap maintenance dan health promotion.
Download