BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi saluran pernafasan adalah penyebab utama morbiditas dan
mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir empat juta orang meninggal akibat
infeksi saluran nafas setiap tahun, 98%-nya disebabkan oleh infeksi saluran
pernapasan bawah. Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak – anak, dan
orang lanjut usia, terutama di negara – negara dengan pendapatan per kapita
rendah dan menengah. Infeksi saluran nafas juga merupakan salah satu penyebab
utama konsultasi atau rawat inap di fasilitas pelayanan kesehatan terutama pada
bagian perawatan anak (WHO, 2007).
Pneumonia merupakan penyakit infeksi pada saluran pernafasan yang
setiap tahun angka kejadiannya terus bertambah. Di Amerika Serikat tercatat,
sekitar 2 – 3 juta kasus CAP (Community Acquired Pneumonia) terjadi setiap
tahunnya. Hasilnya, dalam 10 juta kasus perawatan oleh dokter, dengan jumlah
sebanyak 500.000 pasien dirawat di Rumah Sakit, sebanyak 45.000 pasien
meninggal. Sehingga dari sini diketahui angka rata – rata kematian akibat
pneumonia tiap tahunnya adalah 10 – 14% (Cynthia and Steven, 2002).
Bronkitis akut merupakan penyakit infeksi pada saluran pernafasan yang
setiap tahun angkanya bertambah di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat
penyakit bronkitis menempati peringkat kesepeluh penyebab terbanyak pada
1
pasien yang menjalani perawatan medis di rumah sakit. Kejadian paling banyak
terjadi pada orang dewasa (Wenzel and Fowler, 2006).
Infeksi saluran pernafasan bawah melibatkan pneumonia dan bronkitis
akut. Bronkitis merupakan inflamasi pada bronkus, bronkiali, dan trakhea (saluran
udara ke paru – paru) dan pneumonia merupakan inflamasi pada alveoli paru
(NICE, 2008).
Ditinjau dari prevalensinya, di Indonesia dari 10 penyakit terbanyak pada
rawat jalan, penyakit saluran pernafasan menempati urutan pertama pada tahun
1999, menjadi kedua pada tahun 2007 dan menjadi pertama pada tahun 2008.
Berdasarkan hasil survey kesehatan nasional 2001 diketahui bahwa infeksi
pernafasan (pneumonia) menjadi kematian tertinggi (22,8%) dan penyakit infeksi
saluran pernafasan bawah merupakan salah satu infeksi yang penyebab kematian
bayi kedua setelah perinatal (Depkes RI, 2009).
Efektivitas pengobatan antibiotik dalam mengurangi risiko komplikasi
pneumonia telah divalidasi dalam beberapa penelitian. Penggunaan antibiotik
pada bronkitis akut yang disebabkan oleh virus umumnya tidak disarankan,
sedangkan pada bakteri diberbolehkan. Antibiotik diindikasikan pada pasien
dengan demam menetap, batuk lebih dari 4 – 6 hari, dahak yang purulen karena
dicurigai adanya keterlibatan bakteri saluran napas seperti S. pneumoniae, H.
influenzae penggunaan antibiotik dipertimbangkan (Clarke et al., 2006; Evertsen
et al., 2010; Glover and Reed, 2008).
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menyebabkan berbagai
masalah, diantaranya meluasnya resistensi, timbulnya kejadian superinfeksi yang
2
sulit diobati, meningkatkan beban ekonomi pelayanan kesehatan, efek samping
yang lebih toksik dan kematian (Johnston, 2012). Selain penentuan diagnosis yang
tepat sangat diperlukan agar penggunaan obatnya juga bisa rasional yaitu: tepat
indikasi, tepat penderita, tepat obat, tepat dosis, dan waspada terhadap efek
samping obat (Dwiprahasto, 1995).
Permasalahan resistensi bakteri juga telah menjadi masalah yang
berkembang di seluruh dunia sehingga WHO mengeluarkan pernyataan mengenai
pentingnya mengkaji faktor-faktor yang terkait dengan masalah tersebut dan
strategi untuk mengendalikan kejadian resistensi. Salah satu cara untuk
mengendalikan kejadian resistensi bakteri adalah dengan penggunaan antibiotik
secara rasional (Bronzwaer et al., 2002).
Upaya untuk memaksimalkan penggunaan antibiotik yang rasional
merupakan salah satu tanggung jawab penting dari pelayanan farmasi. Hal yang
dapat dilakukan diantaranya adalah menetapkan dan melaksanakan (bersama
dengan staf medis) suatu program evaluasi penggunaan antibiotik yang konkuren
dan prospektif terus menerus untuk mengkaji serta menyempurnakan mutu terapi
antimikroba (Siregar, 2005). Beberapa penelitian membuktikan bahwa apoteker
mempunyai peran penting dalam meningkatkan kualitas penggunaan antibiotika
(Denus et al., 2002).
Pola penggunaan antibiotik di rumah sakit biasanya masih berdasarkan
pada pengalaman klinik dan empirik, belum berdasarkan pada pola kuman dan
sensitivitas dari antibiotik. Hal ini menyebabkan pengobatan tidak efektif serta
tidak efisien dan lebih jauh lagi dapat meningkatkan resistensi bakteri terhadap
3
antibiotika, kekambuhan atau relaps dan waktu penyembuhan lama (Dwiprahasto,
1995). Beberapa dampak negatif penggunaan antibiotik meliputi pertumbuhan
kuman yang resisten, efek samping yang potensial berbahaya untuk pasien yang
tergolong sosio ekonomi lemah (Nelwan, 2002). Oleh karena itu perlu dilakukan
evaluasi terhadap penggunaan antibiotik di klinik maupun rumah sakit.
Dari penelusuran awal yang dilakukan terhadap pasien rawat jalan di Balai
Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta dengan diagnosa infeksi saluran
nafas bawah (pneumonia dan bronkitis akut) setiap tahunnya dengan jumlah
prevalensi yang tinggi. Kasus pasien di instalasi rawat jalan pada bulan Oktober
2013 yaitu pneumonia ditemukan 106 kasus dan brokitis akut ditemukan 236
kasus, dengan berbagai jenis antibiotik yang digunakan.
Semakin
banyaknya
penggunaan
antibiotik
dapat
mengakibatkan
pengobatan menjadi tidak rasional seperti berkembangnya mikroorganisme yang
resisten, efek samping yang berbahaya bagi pasien, dan biaya pengobatan yang
tinggi. Di Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta, belum pernah dilakukan
penelitian mengenai evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien infeksi saluran
nafas bawah.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan suatu penelitian
untuk memperoleh pola mengenai penggunaan antibiotik, mengevaluasi
penggunaan antibiotik terhadap outcome terapi pada pasien infeksi saluran nafas
bawah (pneumonia dan bronkitis akut) di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat
Surakarta. Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat menjadi masukan dan
pertimbangan untuk mengevaluasi Standar Pelayanan Medis penyakit infeksi
4
saluran nafas bawah akut di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta
yang ada dalam rangka meningkatkan therapeutic outcome.
B. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang hendak dicari jawabannya melalui
penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pola penggunaan antibiotik pada pasien infeksi saluran nafas
bawah (pneumonia dan bronkitis akut) di Balai Besar Kesehatan Paru
Masyarakat Surakarta?
2. Bagaimana pengaruh kesesuaian guideline pada penggunaan antibiotik
terhadap outcome terapi (sembuh atau belum sembuh) pada pasien infeksi
saluran nafas bawah (pneumonia dan bronkitis akut) di Balai Besar
Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta?
C. Tujuan Penelitian
1.
Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola
penggunaan antibiotik dan pengaruh kesesuaian guideline pada penggunaan
antibiotik terhadap outcome terapi pada pasien infeksi saluran nafas bawah
(pneumonia dan bronkitis akut) di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat
Surakarta.
5
2.
Tujuan Khusus
a. Mengetahui pola penggunaan antibiotik pada penatalaksanaan infeksi
saluran nafas bawah di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta.
b. Mengetahui pengaruh kesesuaian guideline penggunaan antibiotik meliputi
jenis antibiotik, dosis, aturan pakai, dan lama pemberian terhadap outcome
terapi pada pasien infeksi saluran nafas bawah yang berobat rawat jalan di
Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta berdasarkan Standar
Pelayanan Medik (SPM) Balai Besar Kesehatan Paru, pedoman infeksi
saluran pernafasan Depkes RI 2005, Dipiro 2008, IDSA 2007.
D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut:
1. Sebagai masukan bagi Rumah Sakit untuk mengevaluasi Standar
Pelayanan Medis infeksi saluran nafas bawah (pneumonia dan bronkitis
akut) untuk meningkatkan keberhasilan terapi pasien.
2. Memberikan informasi gambaran penggunaan antibiotik pada pasien
pneumonia dan bronkitis akut di Balai Besar Kesehatan Paru Surakarta.
3. Bagi tenaga kesehatan Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta
dari hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan peran aktifnya
dalam melakukan pemantauan dan evaluasi penggunaan antibiotik guna
mengendalikan dan menurunkan potensi terjadinya resistensi.
6
4. Sebagai masukan untuk pengembangan penelitian selanjutnya berkaitan
dengan pengobatan penyakit infeksi saluran nafas bawah baik di
komunitas maupun Rumah Sakit.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai evaluasi terhadap penggunaan antibiotik pada pasien
rawat jalan dengan infeksi saluran nafas bawah (pneumonia dan brokitis akut) di
Balai Besar Kesehatan Paru Surakarta belum pernah dilakukan oleh peneliti
lainnya. Penelitian yang pernah dilakukan di tempat lain dilaporkan oleh beberapa
peneliti lainnya.
Tabel 1. Beberapa penelitian tentang terapi antibiotik infeksi saluran nafas bawah
(pneumonia dan bronkitis akut)
Nama
penulis,
tahun
Prasetya,
(2006)
Subhan,
(2007)
Judul
Evaluasi Penggunaan
Antibiotika Pada Pasien
Rawat Inap Dengan Infeksi
Saluran Pernafasan Bawah
Di RSPanti Rapih
Yogyakarta Periode
Januari-Juni 2005
Evaluasi Pengunaan
Antibiotik Pada Pasien
Pneumonia Rawat Inap Di
RS Panti Rapih Yogyakarta
Periode Januari 2004November 2006
Metode dan
Subyek
Penelitian
Non eksperimen,
rancangan
deskriptif
evaluatif secara
retrospektif
Retrospektif.
Subyek sebanyak
62 pasien (49
inklusi dan 13
eksklusi)
Kesimpulan
• ISPA bawah yang paling banyak
ditemukan
adalah
60
(45%),
Bronkopneumonia 50 (38%), Pneumonia
12 (9%) dan Bronkiektasis 10 (8%).
• Efektifitas
penggunaan
antibiotika
berdasarkan respon klinis pasien sembuh
BPLP 45%, membaik 35%, APS 4%,
belum sembuh atau tetap BLPL 2%, APS
8% dan meninggal dunia 5%. Efektivitas
penggunaan antibiotik lini kedua golongan
sefalosporin memberikan respon klinis
sembuh 44%, golongan kuinolon 33%,
sedangkan antibiotik lini pertama yaitu
golongan
penisilin
dan
makrolida
memberikan respon klinis sembuh lebih
tinggi yaitu 73% dan 45%.
• Keberhasilan terapi diketahui saat keluar
RS: sebanyak 57,1% (28 pasien)
dinyatakan sembuh dengan perbaikan
parameter klinis, sebanyak 40,8% (20
pasien) belum sembuh dan sebanyak 2%
(1pasien) dinyatakan meninggal dunia.
7
Nama
penulis,
tahun
Khairuddin,
(2009)
Parno,
(2008)
Judul
Kajian Rasionalitas
penggunaan antibiotik pada
kasus pneumonia rawat
inap pada bangsal penyakit
dalam di RSUP Dr. Kariadi
Semarang tahun 2008
Kajian Rasionalitas
Penggunaan Antibiotik
Pada Kasus Pneumonia
yang dirawat Pada Bangsal
Penyakit Dalam Di RSUP
Dr Kariadi Semrang Tahun
2008
Metode dan
Subyek
Penelitian
Penelitian
observasional
dengan desain
penelitian
deskriptif analitik
dengan
retrospektif.
Subyek 94 pasien
Penelitian
observasional ini
menggunakan
desain penelitian
deskriptif analitik.
Pengumpulan
data dilakukan
secara
retrospektif.
Subyek sebanyak
94 pasien
Kesimpulan
• Ketepatan indikasi pemberian antibiotik
adalah 100% rasional. Ketepatan jenis
antibiotik pada pasien pneumonia adalah
100% rasional. Ketepatan dosis dan
frekuensi pemberian antibiotik 1,06% tidak
rasional, sedangakan 98,93% adalah
rasional. Ketepatan cara pemberian
antibiotik adalah 100% rasional.
• Ketepatan indikasi pemberian antibiotik
adalah
100%
rasional.
Ketepatan
jenisantibiotik pada pasien pneumonia
adalah 100% rasional. Ketepatan dosis dan
frekuensi pemberian antibiotik 1,06% tidak
rasional, sedangakan 98,93% adalah
rasional. Ketepatan cara/rute pemberian
antibiotik adalah 100% rasional.
Penelitian sebelumnya, sudah memberikan sumbangsih yang cukup besar
bagi pengembangan dan peningkatan efektivitas infeksi saluran nafas bawah.
Namun terdapat perbedaan dari penelitian sebelumnya dalam hal lokasi penelitian
(Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta), metode yang digunakan
(cross-sectional prospektif) dan analisa data dari hasil penelitian (Chi-square).
8
Download