PERFORMA PERDAGANGAN BILATERAL INDONESIA-PER ANALISIS KERAGAAN DAN FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERDAGANGAN BILATERAL INDONESIA-CHILI HI ALIRAN PERDAGANGAN SAWITRI NURKHOTIMAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 RJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Keragaan dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perdagangan Bilateral Indonesia-Chili adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2015 Sawitri Nurkhotimah NRP H151137274 Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait. RINGKASAN SAWITRI NURKHOTIMAH. Analisis Keragaan dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perdagangan Bilateral Indonesia-Chili. Dibimbing oleh LUKYTAWATY ANGGRAENI dan YETI LIS PURNAMADEWI. Secara konseptual perdagangan internasional terjadi karena adanya skala ekonomi dan spesialisasi. Sebagai upaya meningkatkan kinerja ekspor dan perluasan akses pasar ke negara-negara non tradisional, saat ini pemerintah Indonesia tengah mengkaji untuk meningkatkan level kerjasama perdagangan bilateral dengan negara Chili. Kecenderungan untuk mengadakan perdagangan bebas oleh negara-negara di dunia di berbagai kawasan untuk membuka peluang dan mengatasi hambatan perdagangan. Kerjasama dan perdagangan IndonesiaChili diharapkan dapat membuka potensi yang jauh lebih besar dalam perdagangan kedua negara. Chili sebagai pintu gerbang perdagangan untuk kawasan Amerika Selatan dengan zona perdagangan bebas ZOFRI (Zona Iquaque) sehingga bisa melakukan re-ekspor di kawasan tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis keragaan perdagangan bilateral Indonesia-Chili, mengidentifikasi komoditi unggulan ekspor IndonesiaChili yang mempunyai daya saing dan derajat integrasinya, serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan bilateral Indonesia-Chili. Keragaan perdagangan dianalisis secara deskriptif, dimana pertumbuhan ekspor Indonesia ke Chili lebih rendah dibandingkan pertumbuhan impor dari Chili, dengan komoditi yang diperdagangkan adalah non migas. Kedua negara menganut strategi outward looking, dimana kedua negara mengandalkan sektor perdagangan luar negeri sebagai salah satu motor penggerak pembangunan negara. Hasil estimasi nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Intra-Industry Trade (IIT) kedua negara menunjukkan komoditi unggulan ekspor dan impor Indonesia berdaya saing tinggi namun secara keseluruhan berada pada derajat integrasi satu arah (no integration). Berdasarkan nilai RCA dan indeks IIT maka komoditi unggulan terpilih untuk komoditi ekspor Indonesia ke Chili yaitu Nanas, Karet alam (TSNR), Teh hitam, Alas kaki olah raga, Surface-active prep, Video recording. Sedangkan komoditi unggulan terpilih untuk impor Indonesia adalah Minyak dan lemak ikan, anggur, katoda tembaga, bubur kertas,, dan tepung dan pellet ikan. Pada model ekspor Indonesia ke Chili, terdapat empat variabel bebas yang berpengaruh signifikansi terhadap ekspor Indonesia ke Chili sesuai dengan tanda yang diharapkan, yaitu GDP per kapita Chili dengan tanda positif, tarif Chili dengan tanda negatif, tanda negatif untuk dummy Sanitary and Phytosanitary Measure (SPS) Chili dan tanda positif untuk dummy Technical Barriers to Trade (TBT) Chili. Pada model impor terdapat dua variabel bebas yang signifikan mempengaruhi impor Indonesia dari Chili yaitu nilai tukar rill dengan tanda positif dan tanda negatif untuk dummy Sanitary and Phytosanitary Measure (SPS) Indonesia. Kedua model berpengaruh dengan kegiatan perdagangan tahun sebelumnya. Berdasarkan hasil tersebut maka perlu adanya dukungan dan fasilitasi pemerintah kepada pelaku usaha dalam rangka memenuhi persyaratan terkait kebijakan SPS sehingga komoditi yang diekspor sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh kedua negara. Pentingnya fasilitasi dalam kegiatan promosi dan pameran dagang karena komoditi unggulan Indonesia memiliki daya saing tinggi namun nilai ekspornya rendah, sedangkan tingkat integrasi satu arah dapat ditingkatkan dengan meningkatkan investasi. Selain itu, pemerintah diharapkan lebih fokus kepada pembentukan kerjasama yang mengarah pada PTA (Preferential Trade Agreement) sebagai upaya penurunan/penghapusan tarif untuk komoditi unggulan terpilih Indonesia yang berdaya saing di pasar Chili, karena Chili masih menerapkan tingkat tarif rata-rata enam persen. Hasil penelitian ini menjadi penting untuk pemerintah dalam menetapkan kebijakan dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kerjasama perdagangan. Kata kunci: RCA, IIT, Panel Data, Perdagangan Bilateral Indonesia-Chili SUMMARY SAWITRI NURKHOTIMAH. The Performance Analysis and the Factors Affecting the Bilateral Trade Indonesia-Chile. Supervise by LUKYTAWATY ANGGRAENI and YETI LIS PURNAMADEWI. Conceptually, international trade occurs because economies of scale and specialization. To improve the performance of exports and expansion of market access to non-traditional countries, the Indonesian government is currently reviewing to increase the level of bilateral trade cooperation with Chile. The tendency to hold free trade by the countries in the world is to seize opportunities and overcome trade barriers. The cooperation between Indonesia and Chile is expected to unlock the potential that is greater in the trade for both countries. Chile is country as a trade gateway to South America with a free trade zone ZOFRI (Zone Iquaque) so that it can carry out the re-export to the region. The purpose of this study was to analyze the performance of bilateral trade between Indonesia and Chile, identifying commodities exports for Chile and Indonesia that has competitiveness and the degree of integration, as well as to analyze the factors that affect the flow of bilateral trade between Indonesia and Chile. Performance of trades analyzed descriptively, where the growth of Indonesia's exports to Chile is lower than the growth of imports from Chile, with the commodities being traded is a non-oil. Both countries have principles outward looking, its mean trading with the other country is plays an important role in economic growth for this countries. The results of Revealed Comparative Advantage (RCA) and Intra-Industry Trade (IIT) showed that export and import potential commodities has a highly competitive but no integration. Based on the result of RCA and IIT index, potential commodities for export Indonesia to Chile are Pineapples, Natural Rubber, Black tea, Sports footwear, Surface-active prep, Video recording. On the other side potential commodities for import Indonesia from Chile are Fish fats & oils, Grapes, Copper, Wood pulp unbleached, Wood pulp bleached,, and Flour of fish. In the model of Indonesia's exports to Chile, there are four independent variables that affect the significance of the Indonesian exports to Chile that equal to the expected sign, the GDP per capita Chile with positif sign, Chilean rates with negative sign, negative sign for dummy Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS) Chile and positive sign for dummy Technical Barriers to Trade (TBT) Chile. On the import model, there are two independent variables that significantly affect Indonesia's imports from Chile that the real exchange rate with positive sign and negative sign for dummy Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS) Indonesia. Both models are influential with the previous year's trade activities. Based on these results, government support and facilitation is needeed for stakeholder of businesses in order to meet the requirements related to SPS that commodities are exported in accordance with the standards set by the two countries. Necessary also in the form of trade facilitation and promotion of trade fairs due to commodity Indonesia have high competitiveness, but the value of exports is low. Related to the degree of integration may be one way to increase investment facilitation. In addition, the government is expected to be more focused on the establishment of cooperation that led to the PTA (Preferential Trade Agreement) as an effort to decrease/elimination of tariffs for commodities that has elected Indonesia's competitiveness in the Chilean market, as Chile still apply an average tariff rate of six percent. These results are important to take a trade policy formulation in order to enhance its economic growth and trade cooperation. Keywords: Revealed Comparative Advantage, Intra-Industry Trade, Panel Data, Bilateral Trade © Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB ANALISIS KERAGAAN DAN FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERDAGANGAN BILATERAL INDONESIA-CHILI MAKSIMUM TIGA BARIS, LIMA BELAS KATA TIDAK TERMASUK KATA DEPAN DAN KATA SAMBUNG NAMA SAWITRI NURKHOTIMAH PENULIS Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 SCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Muhammad Firdaus, SP, MSi PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian adalah perdagangan bilateral dalam kerangka perdagangan internasional, dengan judul Analisis Keragaan dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perdagangan Bilateral Indonesia-Chili. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si dan Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran demi penyempurnaan tesis ini dari awal sampai selesai. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi beserta pengelola Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB dan semua dosen yang telah mengajar penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kementerian Perdagangan Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana IPB. Karya ini penulis persembahkan untuk keluarga kecil tercinta, suami Romi Bagus Setia, ananda Raisha Kirana Setia dan Adinda Tsurayya. Terima kasih tanpa batas atas segenap keridhoan, do‟a, dukungan, kasih sayang dan pengertiannya selama ini. Kepada orang tua dan keluarga atas do‟a tulus serta dukungannya. Tidak lupa rekan-rekan kuliah kelas Kementerian Perdagangan S2 IPB Batch 1 dan 2 yang telah membantu dan memberikan semangat hingga selesainya tesis ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Bogor, September 2015 Sawitri Nurkhotimah I iii DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN viii xi xii xii xii 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 1 1 6 7 7 8 2 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teori Tinjauan Empiris Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian 8 8 19 21 22 3 METODE Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Data Spesifikasi Model Definisi Operasional 4 KERAGAAN PERDAGANGAN BILATERAL INDONESIA-CHILI Gambaran Umum Perekonomian Indonesia dan Chili Gambaran Umum Keragaan Perdagangan Indonesia-Chili ke Dunia Gambaran Umum Keragaan Perdagangan Bilateral Indonesia-Chili 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Daya Saing Komoditi Unggulan Indonesia-Chili Analisis Tingkat Integrasi Perdagangan Indonesia-Chili Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aliran Perdagangan Bilateral Indonesia-Chili 6 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran 23 23 23 25 26 27 27 29 31 34 34 36 37 42 42 42 DAFTAR PUSTAKA 43 LAMPIRAN 47 RIWAYAT HIDUP 53 iv DAFTAR TABEL 1 Pangsa pasar ekspor Indonesia dalam perdagangan Internasional tahun 2009-2013 2 Kontribusi negara-negara kawasan Amerika Selatan terhadap total ekspor Indonesia tahun 2009-2013 (%) 3 Perbandingan makroekonomi Indonesia-Chili tahun 2013 4 Jenis dan sumber data 5 Klasifikasi dari nilai IIT 6 Performa perdagangan bilateral Indonesia-Chili tahun 2001-2013 7 Sepuluh komoditi terbesar ekspor dan impor Indonesia tahun 2013 dan share terhadap total ekspor impor tahun 2013 8 Kontribusi enam eksportir terhadap total impor Chili terhadap enam komoditi ekspor terpilih Indonesia tahun 2013 9 Hasil RCA dan IIT komoditi unggulan 10 Estimasi parameter dan signifikansi (p-value) variabel penjelas yang diduga mempengaruhi ekspor Indonesia ke Chili 2001-2013 11 Estimasi parameter dan signifikansi (p-value) variabel penjelas yang diduga mempengaruhi impor Indonesia dari Chili 2001-2013 1 3 4 23 24 32 33 35 37 38 40 DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Negara tujuan ekspor non-migas Indonesia tahun 2014 Kurva perdagangan internasional Ekspansi moneter dalam sistem nilai tukar mengambang Dampak pemberlakuan tarif Kerangka pemikiran penelitian Perbandingan GDP perkapita Indonesia dan Chili Nilai tukar dan inflasi Chili Nilai tukar dan inflasi Indonesia Pertumbuhan ekspor impor Indonesia ke dunia tahun 2001-2013 10 Pertumbuhan ekspor impor Chili ke dunia tahun 2001-2013 11 Kinerja ekspor enam komoditi terpilih Indonesia tahun 2009-2013 2 11 16 18 22 27 28 28 30 30 35 DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 Uji asumsi Hasil estimasi model ekspor Hasil estimasi model impor Daftar tarif rata-rata Indonesia dan Chili 47 50 51 52 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan perdagangan internasional mengarah pada bentuk perdagangan yang lebih bebas yang disertai dengan berbagai bentuk kerjasama bilateral, regional dan multilateral. Perdagangan bebas (liberalisasi) yang terus diupayakan oleh berbagai negara didasari oleh argumen bahwa perdagangan yang lebih bebas akan memberikan manfaat bagi negara-negara yang terlibat perdagangan dan serta meningkatkan kesejahteraan yang lebih besar dibandingkan tidak ada perdagangan. Selain meningkatkan distribusi kesejahteraan antar negara, perdagangan bebas juga akan meningkatkan kuantitas perdagangan dunia dan meningkatkan efisiensi ekonomi (Hadi 2000). Salah satu tujuan utama perjanjian perdagangan internasional adalah berupaya mengurangi atau menghilangkan hambatan perdagangan. Kegiatan perdagangan internasional suatu negara adalah dengan meningkatkan ekspor serta mengendalikan impor dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Selama ini tingkat konsumsi sebagai penyumbang utama struktur pendapatan nasional Indonesia, diharapkan dengan perdagangan internasional mampu meningkatkan pendapatan nasional Indonesia dari sisi net ekspor, hal ini berdasarkan prinsip looking forward yang dianut, yakni mengandalkan perdagangan luar negeri sebagai motor penggerak perekonomian. Peningkatan volume ekspor akan berpengaruh terhadap penerimaan devisa dan pengembangan teknologi suatu negara sehingga akan menarik investasi baik dari luar maupun dalam negeri. Pengendalian impor secara umum bertujuan untuk melindungi pasar dan produksi dalam negeri agar mampu bersaing dalam pasar internasional. Ekspor dan impor sangat penting untuk membentuk dan mengendalikan neraca perdagangan (Balance of Payment) di suatu negara. Impor harus dibiayai dengan nilai yang sama dari ekspor untuk mempertahankan keseimbangan neraca perdagangan. Kunci keberhasilan suatu perjanjian perdagangan bilateral tergantung pada skala ekonomi, sistem ekonomi, kebijakan dan komitmen perdagangan masing-masing negara, bebas hambatan yang diberlakukan masing-masing negara, serta komplementaritas dan persaingan ekonomi kedua negara (Kwon 2001). Tabel 1 Pangsa pasar ekspor Indonesia dalam perdagangan internasional tahun 2009-2013 Tahun Ekspor Indonesia (US $ Milyar) Ekspor Dunia (US $ Milyar) Pangsa Pasar Indonesia (%) 2009 2010 2011 2012 2013 Trend (%) 116,509.99 157,779.10 203,496.62 190,031.84 182,551.75 11.45 12,310,033.19 15,050,924.29 18,055,465.16 18,003,055.01 17,974,395.14 9.81 0.95 1.05 1.13 1.06 1.02 1.53 Sumber: diolah dari Trademap 2014 2 Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa dalam periode tahun 2009-2013 peluang Indonesia dalam pasar dunia terbuka cukup besar dengan trend eskpor Indonesia ke dunia sebesar 11.45% dan semakin meningkatnya permintaan dunia dengan trend sebesar 9.81%. Berdasarkan data perdagangan internasional tersebut dapat dilihat bahwa trend pangsa pasar Indonesia sebesar 1.53%. Kondisi ini berdasarkan perbandingan besarnya total ekspor Indonesia dengan total ekspor dunia. Perdagangan internasional memberikan implikasi yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi dunia. Selama ini realisasi perdagangan bilateral Indonesia sangat didominasi oleh lima mitra dagang utama (Gambar 1). Dalam rangka meningkatkan produk ekspor non migas yang akan memacu kinerja perdagangan, Indonesia tengah berusaha meningkatkan penetrasi pasar baru dan diversifikasi pasar nontradisional, salah satunya dengan upaya kerjasama perdagangan menuju perdagangan bebas dengan Chili. Hal ini juga berdasarkan rekomendasi hasil Studi Kelayakan Perjanjian Perdagangan Bebas dalam Joint Study Group (JSG) pada tahun 2002 dan selesai pada pertemuan ketiga di Bali tahun 2009 (http://www.sice.oas.org/). Senada dengan pernyataan Menteri Perdagangan dalam misi dagang Indonesia ke Amerika Latin yang menargetkan pertumbuhan ekspor ke pasar nontradisional mencapai hingga 25%. Dirjen Kerjasama Perdagangan Internasional (KPI) Kementerian Perdagangan, menyatakan bahwa perjanjian kerjasama ini adalah upaya untuk meningkatkan pangsa pasar barang dan jasa serta investasi Indonesia di Amerika Tengah dan Selatan http://ditjenkpi.kemendag.go.id/). Gambar 1 Negara tujuan ekspor non-migas Indonesia tahun 2014 Sumber: Kementerian Perdagangan Chili adalah negara yang termasuk dalam kawasan Amerika Selatan, dimana merupakan salah satu kawasan yang cukup dinamis dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi selama beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2011 pertumbuhan ekonomi Amerika Selatan mencapai 4.34%, hal ini terutama didorong oleh pertumbuhan ekonomi Panama, Peru, Chili, Kolombia dan Bolivia yang terus mengalami pertumbuhan ekonomi antara lima sampai sepuluh persen. Pada tahun 2012 Chili menempati urutan ketiga dalam pertumbuhan ekonomi di kawasan Amerika Selatan yakni mencapai 5,5%, setelah Panama (9,5%) dan Peru (7%). 3 Potensi kerjasama di bidang ekonomi di kawasan Amerika Selatan cukup besar namun belum termanfaatkan dengan baik oleh Indonesia. Kondisi ini dikarenakan belum ada satupun kerjasama bilateral Indonesia dengan negaranegara di kawasan Amerika Selatan. Chili adalah negara pertama yang melakukan inisiasi perdagangan dengan Indonesia, kemudian disusul Peru yang baru saja menyelesaikan studi kelayakan kerjasama pada tahun 2014 yang dimulai sejak tahun 2006. Volume ekspor Indonesia ke negara-negara Amerika Selatan untuk periode tahun 2013 mencapai US $ 2.53 milyar atau 1,38% dari total ekspor Indonesia. Sedangkan total ekspor Indonesia ke dunia pada tahun 2013 mencapai US$. 182.551.754 ribu. Pada Tabel 2 menunjukkan kontribusi ekspor Indonesia ke kawasan Amerika Selatan terhadap total ekspor selama tahun 2009-2013. Pada tahun 2013 2 kontribusi negara-negara kawasan Amerika Selatan terhadap total ekspor Indonesia tahun 2013 sebesar 1.39% kondisi lebih baik dibandingkan pada tahun 2012 yang hanya 1.34%. Berdasarkan data kontribusi tersebut diperkirakan pada tahun 2015 Chili menempati urutan keempat terbesar terhadap total ekspor Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa Chili mempunyai peluang yang cukup besar sebagai negara tujuan ekspor dalam rangka diversifikasi pasar Indonesia dimana pada tahun 2013 nilai total ekspor Indonesia ke Chili sebesar US$ 170.767 ribu. Tabel 2 Kontribusi negara-negara kawasan Amerika Selatan terhadap total ekspor Indonesia tahun 2009-2013 (%) 2009 2010 2011 2012 2013 Forecast 2015 Brazil 0.7625 0.9686 0.8525 0.7821 0.8296 0.8181 Argentina 0.1365 0.1782 0.1742 0.1645 0.1836 0.1996 Colombia 0.0726 0.0751 0.0685 0.0898 0.0723 0.0813 Chili 0.1431 0.1221 0.1051 0.0923 0.0935 0.0596 Ecuador 0.0323 0.0429 0.0443 0.0426 0.0446 0.0511 Venezuela 0.0329 0.041 0.0625 0.0505 0.0339 0.0488 Peru 0.1836 0.0597 0.0796 0.0841 0.0978 0.0421 Uruguay 0.0107 0.0193 0.0219 0.0201 0.0162 0.0224 Paraguay 0.0118 0.0157 0.0096 0.0096 0.0096 0.0071 Bolivia 0.0031 0.0023 0.0028 0.0039 0.0025 0.0031 Suriname 0.0041 0.003 0.0023 0.0037 0.0032 0.0028 Guyana 0.0009 0.0006 0.0008 0.0015 0.0013 0.0017 Amerika Selatan 1.3941 1.5285 Sumber : diolah dari Trademap 2014 1.4241 1.3447 1.3881 1.3375 Negara Hubungan diplomatik Indonesia-Chili berlangsung sejak lama dan untuk memperkuat hubungan yang sudah ada maka kedua kepala negara sepakat melakukan studi kelayakan kerjasama perdagangan mengingat pentingnya posisi kedua negara di Asia Tenggara dan wilayah Amerika Latin dengan Joint Study Group Free Trade Agreement (JSG) Indonesia dan Chili dimulai pada tahun 2002 yang berakhir pada tahun 2009, lebih awal dari yang direncanakan selesai pada tahun 2010. Pada tahun 2013 dalam konferensi APEC, kedua negara melakukan perundingan dalam Indonesia-Chili Comprehensive Economic Partnership (ICCEPA) dengan pengesahan Term of Reference (TOR) IC-CEPA untuk 4 perdagangan barang, yang nantinya disusul bidang jasa dan investasi. Hal ini sebagai tindak lanjut kesepakatan kedua kepala negara dalam KTT APEC 2012. Pada bulan Mei 2014 tercapai langkah maju dengan negosiasi pertama dalam perundingan ke-1 Trade in Goods (TIGs) di Santiago, guna membahas Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif atau Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) dalam upaya mencapai kesepakatan kerja sama di bidang perdagangan dan investasi. Perundingan petama ini sebagai peletakan landasan untuk perundingan substantive (request and offer). Semangat menemukan peluang untuk meningkatkan perdagangan kedua negara yang mendasari upaya kerja sama bilateral ini, dimana potensi perdagangan mencapai US$ 400 juta, dengan nilai ekspor Indonesia ke Chili berpotensi naik US$ 93,8 juta, sementara impor Indonesia dari Chili meningkat US$ 91,4 juta (JSG 2009). Pemilihan Chili sebagai mitra dagang oleh Indonesia didasarkan pada pertimbangan bahwa Chili merupakan negara dengan perekonomian terbuka yang aktif mengadakan perjanjian perdagangan bebas, baik secara multilateral, regional maupun bilateral dengan negara-negara di dunia. Chili sebagai anggota WTO dan tercatat sebagai anggota Asia Pacific Economic Cooperation (APEC). Chili juga bergabung dalam blok perdagangan Amerika Selatan the Southern Common Market (MERCOSUR) dan anggota aliansi “Trans Pacific Strategic Economic Partnership Agreement”. Adapun secara bilateral, Chili telah mengadakan perjanjian perdagangan bebas dengan beberapa negara di kawasan Amerika Latin (Kolombia, Venezuela, Equador, Costa Rika), Kanada, Meksiko, Amerika Serikat, Korea Selatan, China, Jepang, Malaysia, Vietnam, Thailand dan perjanjian regional dengan Uni Eropa dan negara-negara CAMS (Costa Rica, El Savador, Honduras, Guatemala, Nikaragua). Berdasarkan data tahun 2013 seluruh penduduk kawasan Amerika Selatan berjumlah sekitar 91 juta jiwa, sedangkan Chili jumlah penduduknya sekitar 17 juta sehingga menjadi negara yang tergantung pada impor. Jumlah penduduk Chili terus meningkat dengan pertumbuhan mencapai 0.9% dalam lima tahun terakhir. Chili disebut sebagai pintu masuk, karena dengan infrastruktur yang mapan dan keberadaan dua daerah bebas pajak, yaitu ZOFRI (Zona Franca Iquique dan Zona Franca Punta Arenas) merupakan pintu masuk bagi Indonesia untuk meningkatkan perdagangan dengan negara tetangga di wilayah Amerika Latin, seperti Peru, Bolivia, Argentina, Brazil, Paraguay dan Uruguay. Secara geografis, posisi Chili menjadi pasar potensial, karena sangat strategis untuk re-ekspor ke pasar lain di kawasan Amerika Selatan, hal ini menjadi potensi yang lebih besar dan menguntungkan bagi Indonesia karena mempermudah masuknya produk Indonesia ke Amerika Latin dan Chili pada khususnya. Tabel 3 Perbandingan makroekonomi Indonesia-Chili tahun 2013 Faktor Satuan Chili Indonesia GDP US $ Triliun 277.196 894.9 GDP Per Kapita (PPP) US $ 15791 5477 GDP Growth % 4.1 5.78 Inflasi % 1.8 4.61 Populasi Juta 17.62 251.1 Total Ekspor US $ Triliun 81.411 199.1 Total Impor US $ Triliun 70.619 185 Sumber: World Bank 2014 5 Perbandingan data makroekonomi kedua negara pada Tabel 3 menunjukkan bahwa dari sisi GDP perkapita Chili lebih besar daripada Indonesia. GDP perkapita yang tinggi merupakan signal adanya potensi pasar yang mengindikasikan tingkat daya beli yang tinggi. Dalam lima tahun terakhir GDP perkapita Chili menunjukkan trend yang terus naik. Kebijakan pasar bebas dan terbuka telah menjadikan Chili sebagai negara yang relatif stabil perekonomiannya di kawasan Amerika Selatan. Pada tahun 2006 Chili mencapai GDP per kapita tertinggi di Amerika Latin. Hal ini harus dapat dimanfaatkan oleh Indonesia sebagai pangsa pasar baru tujuan ekspor, dimana mengharuskan Indonesia mempunyai daya saing dalam komoditi ekspornya. Melihat peta persaingan Indonesia di pasar Chili, mitra dagang utama Chili adalah Amerika Serikat dengan persentase sebesar 23%, kemudian China sebesar 18%, dan yang ketiga terbesar adalah Brasil dengan persentase sebesar 6.4%. Untuk jajaran negara ASEAN, Thailand merupakan negara pesaing Indonesia yang harus diperhitungkan dimana pada tahun 2011 total ekspor Thailand ke Chili bernilai US$ 619 juta jika dibandingkan dengan tahun 2010 naik 15.7 % atau US$ 45.2 juta hal ini menjadikan Thailand adalah negara ASEAN terbesar yang memasok produknya ke pasar Chili, menempati urutan ke20 terbesar dengan persentase 0.92%. Indonesia berada pada posisi kedua, sedangkan Malaysia dan Vietnam masing-masing berada pada posisi ketiga dan keempat dengan perolehan masing- masing devisa sebesar US$ 155.1 juta dan 149.9 juta. Disusul Singapura dengan ekspornya bernilai US$ 68.2 juta dan Philipina US$ 44.7 juta (ITPC Chili, 2012). Negara pesaing Indonesia semakin berkembang dan eksis dipasar Chili, bukan hanya FTA yang dilakukan oleh negara pesaing di Chili, namun promosi besar-besaran mereka lakukan di Chili. Secara periodik setiap tahun pesaing Indonesia seperti China, Thailand, Malaysia, Taiwan, India membawa misi dagang dan mengadakan pertemuan bisnis sebagai upaya promosi produk-produk baru maupun untuk mempertahankan pasar yang telah ada agar tetap eksis di Chili. Dalam rangka memperkuat perdagangan antara Indonesia dan Chili pada tahun 2009 Kementerian Perdagangan Indonesia telah resmi membuka Indonesia Trade Promotion Center (ITPC) di Santiago yang bertujuan untuk mempromosikan produk-produk andalan ekspor Indonesia dan membantu masalah-masalah yang dihadapi para pengusaha Chile yang melakukan hubungan dagang dengan para pengusaha Indonesia. Kegiatan perdagangan didominasi komoditi non migas untuk kedua negara. Komoditi ekspor utama Indonesia ke Chili pada tahun 2013 adalah footwear, upper of leather, sebesar US $ 27.003 ribu, sedangkan komoditi utama impor Indonesia adalah tembaga (Iron ores & concentrates; including roasted iron pyrites) yang merupakan komoditas unggulan ekspor Chili yang belum dapat disubstitusikan oleh negara lain dengan nilai US $ 108.290 ribu. Produk-produk ekspor utama Indonesia di pasar Chili masih menghadapi tingkat tarif sebesar 6% serta Pajak Pertambahan Nilai (PPn) sebesar 10% (Trademap 2014). Selain tarif, kebijakan untuk melindungi produk dalam negeri dengan pemberlakuan Non-Tarrif Measure Barrier (NTM), antara lain dengan ketentuan Sanitary and Phytosanitary Measure (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT). Indonesia diharapkan bersiap dan mampu mengantisipasi berbagai dampak demi mewujudkan kerjasama yang lebih besar serta mampu 6 menguntungkan Indonesia yaitu berupa FTA (Free Trade Agreement) ataupun PTA (Preferential Trade Agreement). Perumusan Masalah Chili adalah negara pertama di bagian Amerika Latin yang mengimplementasikan dan/atau mengadopsi kebijakan ekonomi berdasarkan kompetisi/daya saing dan prinsip-prinsip pasar dengan membangun sistem ekonomi. Tercatat dalam Global Competitiveness Report pada tahun 2013-2014 menempati rangking ke-34 sebagai negara yang paling kompetitif di dunia dan yang pertama di Amerika Latin. Kebijakan ekonomi domestik Chili fokus pada reformasi makroekonomi, stabilitas fiskal, merombak sistem dana pensiun nasional, privatisasi kepemilikan nasional, reformasi pasar capital, dan revisi hukum ketenagakerjaan. Bidang perdagangan, Chili mempunyai tujuan kebebasan dan keterbukaan kebijakan perdagangan dengan struktur ekonomi dan industri yang maju dengan tingkat assesibility yang tinggi ke pasar dunia serta berorientasi tinggi pada ekspor. Pembangunan pondasi struktur ekonomi yang terbuka ini, akan menjadikan Chili seperti negara Singapura di Amerika Latin. Dalam lima tahun terakhir periode tahun 2009-2013, neraca perdagangan menunjukkan Indonesia mengalami defisit terhadap Chili dimana trend ekspor Indonesia -0.46% dengan total ekspor US $ 919,431 ribu, sedangkan trend impor sebesar 0.84% dengan total impor US $ 1,318,418 ribu (Kementerian Perdagangan, 2014). Hal ini dikarenakan impor tembaga sebagai bahan baku industri di Indonesia masih sangat tergantung impor dari Chili dan belum bisa disubstitusi dari negara lain. Meskipun Indonesia sebagai salah satu negara penghasil tembaga, namun hanya mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri sebesar 30% dan sisanya adalah impor. Defisit perdagangan untuk Indonesia mengindikasikan bahwa perdagangan yang selama ini terjadi belum memberikan benefit untuk Indonesia, sehingga menarik untuk dikaji apakah terjadi kesesuaian komoditi ekspor dan impor antara Indonesia dan Chili. Kebijakan perdagangan Indonesia juga belum efektif terkait komoditi unggulan ekspor dan untuk mengembangkannya. Berdasarkan fakta perdagangan yang terjadi, menarik untuk diteliti bagaimana potensi kinerja perdagangan Indonesia dengan Chili dalam rangka pembentukan perdagangan bebas menuju perdagangan dua arah yang adil. Secara umum tujuan Indonesia dalam hubungan kerjasama ini adalah untuk meningkatkan kinerja ekspor dengan impor bahan baku yang lebih murah, sedangkan Chili bertujuan agar produk holtikultura dapat masuk di pasar Indonesia, karena pangsa pasar di Indonesia yang sangat besar. Ekspor Indonesia harus bersaing dengan negara lain yang telah lebih dahulu memasuki pasar Chili, sehingga perlu menganalisis daya saing perdagangan bilateral Indonesia dengan Chili. Untuk itu perlu diketahui komoditas apa saja yang mempunyai daya saing di pasar Chili, sehingga dapat menjadi acuan Indonesia dalam melakukan negosiasi untuk memperluas pasar dan membuka akses pasar baru dengan menjadikan Chili sebagai salah satu negara tujuan ekspor utama produk-produk unggulan Indonesia. Komoditi unggulan ekspor Indonesia tidak sepenuhnya mampu bersaing dengan negara lain dalam pasar internasional. Berdasarkan penelitian terdahulu 7 Jalil (2012) dalam perdagangan Indonesia ke Uni Eropa yang menyimpulkan terdapat 10 komoditi dengan nilai ekspor tertinggi namun hanya produk minyak sawit, karet, kopi, alas kaki serta produk elektronik yang masuk dalam program pemerintah dalam meningkatkan target ekspor. Klasifikasi kelompok 10 komoditi utama yakni tekstil dan produk tekstil, elektronik, karet dan produk karet, sawit, produk hasil hutan, alas kaki, otomotif, udang, kakao, kopi. Sedangkan kelompok 10 komoditi potensial adalah kulit dan produk kulit, peralatan medis, tanaman obat, makanan olahan, minyak atsiri, ikan dan produk perikanan, kerajinan, perhiasan, rempah-rempah, peralatan kantor (Kementerian Perdagangan, 2014). Oleh karena itu, Indonesia harus bersiap dan bersaing mencari celah pasar untuk meningkatkan ekspor baik komoditi unggulan dan komoditi potensial. Secara unilateral Chili telah mengurangi tarif impor. Pemerintah Chili memberlakukan tingkat tarif umum, dimana diberlakukan persentase yang sama untuk semua produk. Sejak tahun 1999, tingkat tarif telah diturunkan dengan satu poin persen per tahun. Rata-rata tarif pada 8% dan turun menjadi 6% pada tahun 2003. Chili adalah salah satu dari beberapa negara berkembang yang berjanji untuk tidak goyah mendukung WTO’ s General Agreement on Trade in Services (GATS) dan Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS). Untuk meningkatkan kinerja ekspor Indonesia dan juga mengatasi hambatan-hambatan perdagangan Indonesia-Chili, pemerintah Indonesia tengah melakukan negosiasi untuk pembentukan FTA (Free Trade Agreement) ataupun PTA (Preferential Trade Agreement) agar tercapai. Pencapaian kesepakatan kerjasama Indonesia-Chili masih dalam negosiasi, namun diharapkan Indonesia mampu mengantisipasi berbagai dampak serta mempersiapkan diri dalam menghadapi FTA Indonesia-Chili yang mungkin segera terwujud. Rumusan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah keragaan perdagangan bilateral antara Indonesia dan Chili. 2. Apakah komoditi unggulan ekspor serta bagaimana tingkat daya saing dan derajat integrasi perdagangan bilateral Indonesia-Chili. 3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi aliran perdagangan bilateral Indonesia-Chili. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengkaji keragaan perdagangan dalam perdagangan bilateral Indonesia-Chili. 2. Mengidentifikasi komoditi ekspor unggulan serta daya saing dan derajat integrasi perdagangan bilateral Indonesia-Chili. 3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan bilateral Indonesia-Chili. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kondisi perdagangan bilateral Indonesia-Chili serta komoditas potensial yang dapat menjadi daya saing ekspor Indonesia ke Chili dan sebaliknya. Selain itu, juga dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan bilateral Indonesia-Chili. 8 Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan oleh pengambil kebijakan sebagai alternatif kebijakan nasional untuk meningkatkan daya saing dalam rangka meninngkatkan kinerja ekspor sekaligus mempersiapkan faktor-faktor yang mempengaruhi aliran dan keterkaitan perdagangan Indonesia-Chili. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti lain sebagai salah satu referensi yang dapat mendukung suatu penelitian yang lebih mendalam mengenai keterkaitan perdagangan, baik bilateral, multilateral ataupun regional. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan berdasarkan ruang lingkup yang ditentukan agar dapat mencapai hasil yang diharapkan. Ruang lingkup penelitian ini yaitu : 1. Analisis deskriptif untuk melihat gambaran keragaan perdagangan yang meliputi kinerja perdagangan bilateral Indonesia-Chili. 2. Analisis perdagangan Indonesia dan Chili dan menggunakan data time series 2009-2013 terkait keunggulan komparatif serta daya saing kedua negara dengan nilai RCA rata-rata. 3. Menganalisis komoditi ekspor Indonesia ke Chili dan impor Indonesia dari Chili untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan bilateral Indonesia-Chili dengan menggunakan data tahun 2001-2013 dengan kode Harmonize System (HS) 6 digit. 2 TINJAUAN PUSTAKA Liberalisasi Perdagangan Liberalisasi perdagangan salah satunya dikemukakan oleh Shafaeddin (2005) dalam United Nation Conference on Trade and Development, bahwa liberalisasi perdagangan adalah setiap tindakan yang akan membuat rezim perdagangan yang lebih netral, lebih dekat dengan sistem perdagangan bebas dari intervensi pemerintah. Liberalisasi perdagangan terjadi karena semakin bebasnya pergerakan arus barang dan jasa serta arus modal antar negara karena fenomena ekonomi global. Liberalisasi perdagangan telah menyebabkan perkembangan dan re-orientasi sektor industri sesuai dengan keunggulan komparatif. Singkatnya, tidak ada keraguan bahwa liberalisasi perdagangan sangat penting ketika suatu industri mencapai tingkat kematangan tertentu, asalkan dilakukan secara selektif dan bertahap. Peran liberalisasi perdagangan dapat dilihat dari fungsinya yang memfasilitasi dan mempromosikan globalisasi sebagai proses substansi dari berkembangnya teknologi dan ekonomi yang melihat pada keterbukaan dan keintegrasian di seluruh dunia ke dalam satu sistem ekonomi. Semenjak seluruh negara memerlukan perdagangan eksternal, dan negara-negara di Asia yang biasanya tergantung pada pertumbuhan „export-led‟, hubungan perdagangan internasional dan negosiasi menyediakan tempat yang cocok untuk membawa tekanan yang dihadapi pemerintah dalam membuka perekonomiannya (Keet, 1999). Liberalisasi perdagangan menjadikan negara-negara menganut sistem perekonomian terbuka (open economy) yaitu suatu negara memiliki kesempatan 9 mengkonsumsi lebih besar dari kemampuannya berproduksi karena terdapat perbedaan harga relative dalam proses produksi yang mendorong spesialisasi. Perbedaan harga relative disebabkan perbedaan penguasaan sumber daya. Liberalisasi perdagangan diperkirakan akan dapat mendorong peningkatan arus perdagangan barang dan jasa serta arus investasi antar negara terutama jika didukung oleh perdagangan yang lebih fair dan adil. Karena itulah penganut paham liberalis sangat berkeyakinan bahwa liberalisasi perdagangan dunia akan dapat meningkatkan kemakmuran bagi semua negara yang terlibat. Pentingnya peran liberalisasi perdagangan sebagai faktor pertumbuhan ekonomi di negaranegara berkembang dinyatakan oleh Berg dalam “World Economic Outlook” (2002), dimana menggunakan cross-country econometric work, country case study dan industry and firm-level analysis, menjelaskan bahwa perdagangan bebas di negara-negara berkembang mempunyai peran yang signifikan dalam pertumbuhan perekonomian, peningkatan produkstifitas dan pendapatan per kapita. Free Trade Area (FTA) dan Integrasi Ekonomi Kegiatan ekonomi internasional memiliki kecenderungan untuk membentuk organisasi perdagangan multinasional. Organisasi ini dibentuk dari kumpulan negara berdekatan yang mempunyai kebijakan perdagangan bersama untuk menghadapi negara lain dalam bidang tarif dan akses pasar. Alasan umum pembentukan grup ini adalah menjamin pertumbuhan ekonomi dan bermanfaat bagi negara anggota. Contoh organisasi yang terkenal sekarang antara lain European Union (EU) dan North American Free Trade Agreement (NAFTA). Pengaruh keberadaan dan pertumbuhan organisasi multinasional ini secara tidak langsung bagi negara peserta adalah untuk menjaga persaingan secara global. Secara luas, pengelompokan regional dibentuk sebagai usaha pemerintah untuk meningkatkan integrasi ekonomi global. FTA adalah salah satu bentuk respon dari kehadiran globalisasi, kegagalan sistem perdagangan multilateral dan liberalisasi yang berimplikasi pada pengurangan dan penghapusan berbagai hambatan perdagangan baik hambatan tarif maupun hambatan non tarif. Akan tetapi masing-masing negara anggota bebas menentukan tingkat tarif individu dengan negara yang bukan anggota. FTA berimplikasi pada pengurangan dan penghapusan berbagai hambatan dalam kegiatan perdagangan baik hambatan tarif (tarrief barrier) maupun hambatan non tarif (non-tarrif barier=NTB). Dengan kata lain, ”internal tariff” antara negara anggota menjadi 0 persen, sedangkan masing-masing negara memiliki “external tariff” yang berbeda. Menurut Salvatore (1997), integrasi ekonomi adalah suatu kebijakan komersial yang secara diskriminatif mengurangi atau bahkan menghapus hambatan-hambatan perdagangan hanya kepada para negara anggota kesepakatan. Kesepakatan penurunan atau penghapusan hambatan perdagangan hanya akan berlaku bagi negara-negara yang saling sepakat dan tidak berlaku atau diterapkan bagi negara-negara di luar itu. Contohnya AFTA (ASEAN Free Trade Area) yang diawali dengan CEPT (Common Effective Preferential Tariff) yang mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1993 serta ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) yang telah diberlakukan 1 Januari 2010. Tambunan (2001) menyatakan bahwa tujuan utama dari membentuk integrasi regional atau kerja sama perdagangan bebas adalah untuk meningkatkan 10 perdagangan dan kerja sama dalam bidang ekonomi, seperti industri dan investasi antar negara anggota, yang pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan di wilayah tersebut. Dua indikator ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat apakah tujuan tersebut tercapai adalah laju peningkatan volume perdagangan antar negara anggota (intra-trade) dan laju pertumbuhan PDB, baik masing-masing negara anggota secara individu atau PDB regional (jumlah kenaikan PDB dari semua negara anggota) setelah terbentuknya integrasi ekonomi antar negara. Berdasarkan teori tahapan integrasi regional dari Bela Balassa (1960) maka proses tahapan kerja sama ekonomi dan integrasi regional adalah sebagai berikut: 1. TPA atau Trade Preferency Arrangement, bentuk kerja sama ekonomi regional yang masing-masing anggotanya memberikan preferensi dalam bentuk tarif dan nontarif untuk produk orisinal masing-masing negara anggota. 2. FTA atau Free Trade Area, suatu bentuk kerja sama ekonomi regional yang perdagangan produk-produk orisinal negara-negara anggotanya tidak dipungut bea masuk atau bebas bea masuk. Free Trade Area (FTA) adalah kerjasama formal antara dua atau lebih negara untuk mengurangi hambatan tarif dan non tarif diantara negara anggota. FTA atau Free Trade Area adalah suatu bentuk kerjasama ekonomi regional yang memperdagangkan produk-produk orisinal negara-negara anggotanya tidak dipungut bea masuk atau bebas bea masuk. 3. CU atau Customs Union, bentuk kerja sama ekonomi regional dengan “internal tariff” untuk produk-produk orisinal dari/ ke masing-masing negara anggota yang besarnya 0% atau dibebaskan dari bea masuk, dan “external tariff” untuk produk yang berasal dari negara bukan anggota untuk seluruh negara anggota adalah sama. Custom Union. Anggota Custom Union tidak hanya mampu mengurangi atau menghilangkan tarif antara anggota, tapi juga mereka mempunyai tarif eksternal bersama terhadap negara yang bukan anggota Custom Union. Hal ini mencegah negara yang bukan anggota mengekspor ke negara anggota yang mempunyai tarif eksternal rendah. 4. CM atau Common Market, suatu bentuk kerja sama ekonomi regional yang memiliki kebebasan bergerak untuk faktor produksi, khususnya tenaga kerja (SDM) dari/ ke masing-masing anggota. Common Market. Jika kerja sama meningkat di antara negara Custom Union, maka dapat terbentuk Common Market. Common Market menghilangkan semua tarif dan hambatan lain dalam perdagangan antara anggota, mengadopsi seperangkat tarif eksternal bersama pada negara bukan anggota, dan menghilangkan batasan-batasan pada aliran modal dan tenaga kerja antar negara anggota. 5. EU atau Economic Union, bentuk kerja sama ekonomi regional yang memiliki kesatuan atau persamaan peraturan dalam bidang perpajakan, tenaga kerja, jaminan sosial, dan lain-lain. Economic Union karena juga melakukan harmonisasi kebijakan ekonomi negara anggota, seperti pajak, kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. 6. MU atau Monetary Union, bentuk kerja sama ekonomi regional yang memiliki kesatuan/ persamaan mata uang. Monetary Union. Monetary 11 Union berada pada level integrasi keempat dengan satu mata uang bersama antar negara. Contohnya Negara anggota European Union menggunakan mata uang bersama, Euro. Teori Perdagangan Internasional Konsep perdagangan bebas untuk pertama kali diperkenalkan oleh Adam Smith pada awal abad ke-19. Perdagangan internasional dapat didefinisikan sebagai transaksi dagang antara subyek ekonomi negara yang satu dengan subyek ekonomi negara lain, baik mengenai barang ataupun jasa. Hampir tidak ada satu negarapun yang tidak melakukan hubungan dengan negara lain (Dumairy 1997). Dalam perdagangan domestik para pelaku ekonomi bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari aktivitas ekonomi yang dilakukannya. Demikian halnya dengan perdagangan internasional. Setiap negara yang melakukan perdagangan bertujuan mencari keuntungan dari perdagangan tersebut. Adapun subyek ekonomi yang dimaksud adalah penduduk yang terdiri dari warga negara biasa, perusahaan ekspor, perusahaan impor, perusahaan industri, perusahaan negara ataupun departemen pemerintah yang dapat dilihat dari neraca perdagangan (Sobri, 2001). Alasan utama terjadinya perdagangan internasional seperti yang dikemukakan oleh Krugman (2000), yaitu: 1. Negara-negara berdagang karena mereka mempunyai hasil produksi yang berbeda satu sama lain. 2. Negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi (economics of scale). Berdasarkan pengertian dan tujuan dari terbentuknya FTA, maka pembentukan kawasan perdagangan bebas akan memberikan pengaruh kepada ekspor dan impor negara-negara tersebut. Kegiatan ini dapat terjadi karena adanya perbedaan permintaan dan penawaran akibat adanya spesialisasi serta adanya perbedaan tingkat harga antar negara-negara tersebut. P P DA P DB ES SB SA PB X P* M PA ED QA Indonesia Q Q* Perdagangan Internasional Q QB Q Chili Gambar 2 Kurva perdagangan internasional Sumber : Salvatore 1997 Secara grafis kegiatan perdagangan internasional dapat dilihat pada Gambar 2. Secara teoritis proses perdagangan internasional terjadi jika Indonesia mengekspor suatu komoditi sebesar X ke negara lain yakni Chili apabila harga 12 domestik negara Indonesia (sebelum terjadinya perdagangan internasional) relatif lebih rendah yakni sebesar PA bila dibandingkan dengan harga domestik Chili. Struktur harga yang terjadi di Indonesia lebih rendah karena produksi domestiknya lebih besar daripada konsumsi domestiknya sebesar QA sehingga di Indonesia terjadi excesssupply sebesar X disebabkan Indonesia mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif sehingga mampu berspesialisasi pada komoditi tersebut, dan jumlah inilah yang akan diekspor. Dengan demikian, Indonesia mempunyai kesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara lain. Dilain pihak, di Chili terjadi kekurangan supply dimana konsumsi domestiknya sebesar QB lebih besar daripada produksi domestiknya (excess demand) sehingga harga yang terjadi di Chili lebih tinggi sebesar PB. Chili akan membeli/impor komoditi tersebut dari negara lain yang relatif lebih murah sebesar M. Jika kemudian terjadi komunikasi antara Indonesia dengan Chili, maka akan terjadi perdagangan antar keduanya dengan harga yang diterima oleh kedua negara sama yakni pada titik ekuilibrium harga sebesar P* dengan jumlah sebanyak Q*. Perdagangan internasional seharusnya akan meningkatkan kesejahteraan negara-negara yang melakukan perdagangan bebas, karena melalui perdagangan bebas akan terjadi peningkatan efisiensi penggunaan sumberdaya domestik dan akses pasar ke negara lain (Stephenson 1994). Namun demikian, secara umum terdapat beberapa variabel ekonomi dunia yang meningkat seperti investasi global barang-barang kapital, volume perdagangan dunia, dan indeks harga perdagangan dunia. Peningkatan arus perdagangan sebagai akibat dibukanya tarif seluasluasnya mengakibatkan peningkatan aliran barang-barang kapital untuk investasi volume perdagangan dunia. Peningkatan investasi global ternyata diikuti dengan tingkat pengembalian kapital yang negatif sehingga secara keseluruhan akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan dunia. Teori Keunggulan Komparatif Teori keunggulan komparatif (theory of comparative advantages) merupakan penyempurnaan dari teori keunggulan absolut Adam Smith yang dikemukakan oleh David Ricardo (1817). David Ricardo dalam Salvatore (2007) mengatakan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara mampu memproduksi barang dan jasa dengan biaya yang lebih murah daripada negara lain. Hal ini dikenal sebagai Hukum Keunggulan Komparatif (Law of Comparative Advantage). Keunggulan komparatif dibedakan atas cost comparative advantage (labor efficiency) dan production comparative advantage (labor productivity). Menurut Salvator (2007) Asumsi Teori Keunggulan Komparatif yang mendasari adalah: a. Hanya terdapat dua negara dan dua komoditi b. Perdagangan bersifat bebas c. Terdapat mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam negara namun tidak ada mobilitas antara dua negara. d. Biaya produksi konstan e. Tidak terdapat biaya transportasi f. Tidak ada perubahan teknologi Dalam teori cost comparative advantage (labor efficiency), suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan 13 spesialisasi produksi dan mengekspor barang di mana negara tersebut dapat berproduksi lebih efisien serta mengimpor barang di mana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak efisien. Dengan kata lain, cost comparative menekankan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara memproduksi suatu barang yang membutuhkan sedikit jumlah jam tenaga kerja dibandingkan negara lain sehingga terjadi efisiensi produksi. Berdasarkan analisis production comparative advantage (labor productivity) dapat dikatakan bahwa suatu negara akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang di mana negara tersebut berproduksi lebih produktif serta mengimpor barang di mana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak produktif. Production comparative menekankan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika seorang tenaga kerja di suatu negara dapat memproduksi lebih banyak suatu barang/jasa dibandingkan negara lain sehingga tidak memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak. Dengan demikian keuntungan perdagangan diperoleh jika negara melakukan spesialisasi pada barang yang memiliki cost comparative advantage dan production advantage. Atau dengan mengekspor barang yang keunggulan komparatifnya tinggi dan mengimpor barang yang keunggulan komparatifnya rendah. Teori Keunggulan Kompetitif Keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur daya saing suatu aktivitas dan keuntungan privat berdasarkan harga pasar dan nilai tukar uang resmi yang berlaku atau dengan kata lain melakukan analisa finansial terhadap aktivitas tersebut. Konsep keunggulan kompetitif didasarkan pada asumsi bahwa perekonomian yang tidak mengalami distorsi sama sekali yang sulit ditemukan dalam dunia nyata. Teori keunggulan kompetitif adalah teori yang menjelaskan bahwa untuk dapat meraih sukses internasionalnya maka suatu negara harus dapat memperkuat industri dalam negerinya. Menurut Porter (1990) menyatakan ada empat atribut utama yang menentukan mengapa industri tertentu dalam suatu negara dapat mencapai sukses internasional, keempat atribut tersebut meliputi: kondisi faktor produksi, kondisi permintaan dan tuntutan mutu dalam negeri, eksistensi industri pendukung , dan kondisi persaingan strategi dan struktur perusahaan dalam negeri Negara yang sukses dalam skala internasional pada umumnya didukung oleh kondisi faktor yang baik, permintaan dan tuntutan mutu dalam negara yang tinggi, industri hulu / hilir yang maju dan persaingan domestik yang ketat. Keunggulan kompetitif yang hanya didukung oleh satu atau dua atribut saja biasanya tidak akan dapat bertahan, sebab keempat atribut saling berinteraksi positif dalam negara yang sukses. Porter (1990) mendefinisikan industri sebuah negara sukses secara internasional jika memiliki keunggulan kompetitif relatif terhadap para pesaing terbaik di seluruh dunia. Sebagai indikator ia memilih keberadaan ekspor yang besar dan bertahan lama dan/atau investasi asing di luar wilayah yang signifikan berdasarkan pada keterampilan dan aktiva yang diciptakan di negara asal. Jika suatu negara mempunyai keunggulan dalam hal faktor biaya atau mutu faktor yang digunakan untuk menghasilkan suatu produk, maka negara itu akan menjadi tempat produksi dan ekspor akan mengalir ke negara lain. Disamping itu Teori 14 Keunggulan Kompetitif yang dikemukakan Porter juga mengatakan bahwa salah satu faktor yang turut mempengaruhi perdagangan internasional suatu negara dapat unggul dibanding negara lain adalah pemerintah. Suatu komoditi mungkin saja mempunyai keunggulan komparatif sekaligus keunggulan kompetitif. Hal ini menunjukkan bahwa komoditi tersebut sangat menguntungkan untuk diproduksi. Di samping itu, ada juga komoditi yang mempunyai keunggulan komparatif tetapi tidak memiliki keunggulan kompetitif, sehingga dapat diperkirakan ada distorsi pasar yang tidak menguntungkan produksi komoditi tersebut. Oleh karena itu, pemerintah perlu kiranya untuk melakukan deregulasi terhadap faktor-faktor yang dapat menghambat produksi komoditi tersebut. Teori Heckhser Ohlin (H-O) Teori klasik Ricardo tersebut selanjutnya dikembangkan oleh HeckscherOhlin (H-O) dengan The Theory of Factor Proportions (1949 – 1977). Model HO mengatakan bahwa walaupun tingkat teknologi yang dimiliki sama, perdagangan internasional akan tetap terjadi bila ada perbedaan kepemilikan faktor produksi (factor endowment) diantara masing-masing negara. Satu negara dengan kepemilikan kapital berlebih akan berspesialisasi dan mengekspor komoditi padat kapital (capital-intensive goods), dan sebaliknya negara dengan kepemilikan tenaga kerja berlebih akan memproduksi dan mengekspor komoditi padat tenaga kerja (labor-intensive goods). Perbedaan opportunity cost tersebut dapat menimbulkan terjadinya perdagangan internasional. Negara-negara yang memiliki faktor produksi relatif banyak/murah dalam memproduksinya akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barangnya. Sebaliknya, masingmasing negara akan mengimpor barang tertentu jika negara tersebut memiliki faktor produksi yang relatif langka/mahal dalam memproduksinya (Salvatore, 1997). Teori H-O disebut juga teori faktor proporsional (factor proportion) atau teori ketersediaan faktor (factor endowment). Menurut teori ini perdagangan internasional terutama digerakkan oleh perbedaan sumber daya yang melimpah di dalam suatu negara. Teori ini menekankan pada saling keterkaitan antara perbedaan proporsi faktor-faktor produksi antar negara dan perbedaan proporsi penggunaannya dalam memproduksi barang-barang, dengan cara pandang dari sisi penawaran. Teori Perdagangan Internasional Pasca Teori H-O Perkembangan berikutnya dalam teori perdagangan internasional adalah munculnya teori oleh seorang ekonom Swedia bernama Staffan Burenstam Linder pada tahun 1961 yang disebut The Linder Theory. Perbedaan yang mencolok bila dibandingkan dengan teori H-O adalah bahwa Linder melihat komposisi perdagangan internasional dari sisi permintaan (demand side) dan hanya menekankan pada barang-barang manufaktur. Teori ini menyatakan tetap terjadi antar negara yang memiliki keunggulan komparatif yang relatif sama, namun perdagangan intra industri lebih didasarkan pada diferensiasi produk dan economies of scale serta mencakup perdagangan dua arah dalam industri yang sama. Pertukaran antar produk manufaktur dengan produk manufaktur lain disebut perdagangan intra 15 industri (intra industry trade). Sedangkan pertukaran antara produk manufaktur dan makanan disebut perdagangan antar industri (inter industry trade). Perdagangan intra industri menjadi penting ketika hambatan tarif dan non tarif dihapuskan pada arus perdagangan antar negara. Perdagangan intra industri memberikan keuntungan (gain) yang lebih besar, diantaranya adalah konsumen mempunyai lebih banyak pilihan dengan adanya differensiasi produk dan harga yang lebih murah karena meningkatnya economies of scale. Perdagangan intra industri dimungkinkan karena adanya skala ekonomis yang berarti biaya produksi rata-rata menjadi lebih murah. Dengan demikian, output dapat lebih tinggi dibandingkan bila tidak ada perdagangan intra industri. Skala ekonomis dan spesialisasi dalam suatu industri tertentu akan mendorong inovasi dalam perusahaan. Inovasi akan membuat biaya produksi menjadi lebih rendah. Teori Permintaan dan Penawaran Secara teoritis ekspor suatu barang dipengaruhi oleh suatu penawaran (supply) dan permintaan (demand). Dalam teori perdagangan internasional disebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor dapat dilihat dari sisi permintaan dan sisi penawaran (Krugman dan Obsfield, 2000; Salvator , 2004). Dari sisi permintaan, ekspor dipengaruhi oleh harga ekspor, nilai tukar riil, pendapatan dunia dan kebijakan devaluasi. Sedangkan dari sisi penawaran, ekspor dipengaruhi oleh harga ekspor, harga dometik, nilai tukar riil, kapasitas produksi yang bisa diproksi melalui investasi , impor bahan baku dan kebijakan deregulasi. Ekspor merupakan bentuk yang paling sederhana dalam system perdagangan internasional dan merupakan suatu srategi dalam memasarkan produksi ke luar negeri. Faktor-faktor seperti pendapatan negara yang dituju dan populasi penduduk merupakan dasar pertimbangan dalam pengembangan ekspor (Kotler dan Amstrong, 1996). Penjelasan lebih lanjut mengenai variabel-variabel yang biasanya digunakan dalam menganalisis permintaan ekspor impor pada bagian berikut. Nilai Ekspor dan Impor Ekspor adalah proses transportasi atau menjual barang atau komoditi dari suatu negara ke negara lain. Ekspor terjadi terutama karena kebutuhan akan barang dan jasa sudah tercukupi di dalam negeri atau karena barang dan jasa tersebut memiliki daya saing baik dalam harga maupun mutu dengan produk sejenis di pasar internasional. Impor adalah kondisi sebaliknya, dimana permintaan lebih besar dari pada ketersediaan suatu barang, sehingga membeli dari negara lain. Dengan demikian ekspor merupakan komponen penting dalam pertumbuhan perekonomian suatu negara dimana memberikan pemasukan devisa bagi negara yang bersangkutan yang kemudian akan digunakan untuk membiayai kebutuhan impor maupun pembiayaan program pembangunan di dalam negeri. Gross Domestic Product (GDP) GDP sering digunakan sebagai ukuran seberapa baik keadaan atau performa suatu perekonomian. GDP adalah produk nasional yang diwujudkan oleh factor-faktor produksi di dalam negeri (baik milik warga negara maupun orang asing) dalam suatu negara. Dari pengertian tersebut maka GDP merupakan 16 ukuran mengenai besarnya kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa dalam suatu tahun tertentu (Blanchard, 2004). Aliran perdagangan bilateral antar dua negara dapat diasumsikan proporsional dengan tingkat GDP. Hal ini berdasarkan fakta bahwa semakin tinggi pendapatan ekonomi memiliki kecenderungan adanya diferensiasi produk dan spesialisasi sehingga perdagangan lebih banyak dilakukan (Fujimura dan Edmons 2006). Menurut Bergstrand (1989), dalam mengestimasi ekspor perdagangan bilateral untuk produk yang spesifik maka variabel GDP per kapita digunakan dalam model gravity. Semakin besar GDP suatu negara maka semakin besar jenis barang yang ditawarkan dalam perdagangan sehingga volume dalam perdagangan bilateral diasumsikan akan semakin besar. Dipilihnya GDP per kapita sebagai variabel independen yang terpisah dari GDP digunakan sebagai indikator tingkat perkembangan. Permintaan impor negara berkembang lebih bervariasi dan biasanya terkait dengan barang-barang superior. Perbedaaan GDP per kapita antara negara eksportir dan negara importir menjadi salah satu variabel yang digunakan untuk menjelaskan aliran perdagangan. Variabel perbedaaan GDP per kapita tersebut untuk melihat hipotesis HeckscherOhlin atau hipotesis Linder yang lebih mendominasi dalam perdagangan antara negara (Rahman 2009 ; Zarzoso dan Lehman 2003). Hipotesis Heckscher-Ohlin Nilai Tukar Kurs (exchange rate) diantara dua negara adalah harga dimana penduduk kedua negara saling melakukan perdagangan. Para ekonom membedakan antara dua kurs, yaitu kurs nominal dan kurs riil. Jika kita mengacu pada kurs diantara dua negara maka biasanya kita mengartikan kurs nominal dengan definisi sebagai harga relatif dari mata uang negara (Mankiw 2000). Sedangkan nilai tukar riil adalah nilai tukar nominal yang sudah dikoreksi dengan harga relatif yaitu hargaharga di dalam negeri dibandingkan dengan harga-harga di luar negeri. Peningkatan atau perbaikan nilai tukar perdagangan disuatu negara biasanya dianggap menguntungkan bagi negara itu sendiri, karena harga yang diperolehnya dari ekspornya akan meningkat secara relatif terhadap harga-harga yang harus dibayarnya untuk memperoleh produk-produk impor (Salvatore 1997). Gambar 3 Ekspansi moneter dalam sistem nilai tukar mengambang Sumber : Mankiw 2000 Pada Gambar 3 menjelaskan dalam sistem kurs mengambang, depresiasi atau apresiasi nilai mata uang akan mengakibatkan perubahan terhadap ekspor 17 maupun impor. Pergeseran kurva dari LM1 ke LM2 adalah kebijakan moneter dengan meningkatnya money supply, yang mengakibatkan menurunkan nilai tukar (depresiasi). Jika kurs mengalami depresiasi, yaitu nilai mata uang dalam negeri secara relatif terhadap mata uang asing menurun, volume ekspor akan menaik. Dengan kata lain, apabila nilai kurs dollar menguat, maka volume ekspor juga akan meningkat (Sukirno, 2004). Kebijakan Perdagangan Internasional Menurut Hady (2000), kebijakan perdagangan internasional diartikan sebagai tindakan dan peraturan yang dijalankan suatu negara, baik secara langsung dan tidak langsung, yang akan mempengaruhi struktur, komposisi, dan arah perdagangan internasional dari/ke negara tersebut. Peran dan kebijakan ekonomi negara-negara maju dalam perekonomian dunia sangat berpengaruh terhadap perkembangan perekonomian negara-negara berkembang. Hal ini disebabkan negara-negara maju dan negara industry utama menjadi pasar tujuan ekspor komoditi bagi negara berkembang termasuk Indonesia. Kebijakan ekonomi negara maju akan sangat berdampak terhadap ekspor negara berkembang. Dalam Todaro (2000) hambatan utama perkembangan ekspor negara berkembang, baik komoditi primer maupun produk manufaktur adalah adanya berbagai macam hambatan perdagangan yang dikenakan oleh pemerintahan negara maju terhadap barang-barang ekspor utama negara berkembang. Adapun kebijakan perdagangan internasional diantaranya: 1. Kebijakan ekspor Kebijakan perdagangan internasional di bidang ekspor dikelompokkan menjadi dua macam kebijakan, yaitu: 1) Kebijakan ekspor dalam negeri, berupa kebijakan perpajakan, fasilitas kredit perbankan yang murah, pemberian subsidi ekspor, dan sebagainya. 2) Kebijakan ekspor luar negeri, berupa pembentukan International Trade Promotion Center (ITPC), pemanfaatan General System of Preferency (GSP), menjadi anggota Commodity Association of Producer seperti OPEC, dan sebagainya. 2. Kebijakan Impor Kebijakan perdagangan internasional di bidang impor dikelompokkan menjadi dua macam kebijakan, yaitu: 1) Kebijakan tariff barrier. Kebijakan ini berupa pembebasan bea masuk/tarif rendah antara 0% - 5% untuk bahan kebutuhan pokok vital seperti beras, mesin-mesin vital; tarif sedang antara > 5% - 20% untuk barang setengah jadi dan barang belum cukup diproduksi di dalam negeri; tarif tinggi diatas 20% untuk barang-barang mewah. Konsep tarif bea masuk adalah suatu pembebanan terhadap barang impor berdasarkan klasifikasi barang yang disusun oleh International Convention in the Harmonized Commodity and Coding System dari World Custom Organization (WCO). Tarif bea masuk merupakan salah satu instrument fiskal yang mengatur: a. Penetapan besaran pembebanan tarif bea masuk impor berdasarkan klasifikasi barang; 18 b. Pemberlakuan tata niaga impor yang mencakup larangan impor dan atau pemberian fasilitas khusus kepada importir tertentu yang dapat mengimpor barang yang diatur tata niaganya. Efek kebijakan ini terlihat langsung pada kenaikan harga barang. Dengan pengenaan bea masuk yang besar, pendapatan negara akan meningkat sekaligus membatasi permintaan konsumen terhadap produk impor dan mendorong konsumen menggunakan produk domestik. Dampak dari kebijakan tarif dapat digambarkan pada Gambar 4. Dx adalah kurva permintaan dan Sx melambangkan kurva penawaran komoditi X. Jika negara A sama sekali tidak mengadakan hubungan perdagangan internasional maka negara A akan mengalami keseimbangan di titik E yang merupakan titik perpotongan antara Dx dan Sx. Selanjutnya jika negara A melakukan hubungan perdagangan internasional maka ia akan menikmati harga yang jauh lebih murah (P1) sehingga konsumsi meningkat (X4). Kemudian jika negara A memberlakukan tarif ad valorem yang menyebabkan harga yang harus dipikul konsumen A meningkat (P2) dan akan menurunkan konsumsi penduduknya (X3) sedangkan dari sisi produksi dari dalam negeri akan meningkat dari X1 menjadi X2. Pemerintah mendapatkan pemasukan sebesar AB + CD (Salvatore, 1997). Gambar 4 Dampak pemberlakuan tarif Sumber : Salvatore 1997 2) Kebijakan non tariff barrier (NTB) Sesuai dengan kesepakatan WTO (World Trade Organization) yang tertuang dalam GATT (General Agreement on Tariff and Trade) pada tahun 1994 dimana negara anggota WTO menyetujui dilaksanakannya perdagangan bebas untuk negara maju dimulai pada tahun 2010 dan negara berkembang tahun 2020. Hambatan non tariff adalah campur tangan pemerintah dalam rangka melindungi kepentingan ekonomi nasional, industri dalam negeri, dan lapangan kerja serta menjaga stabilitas ekonomi nasional. Hambatan non tarif lebih sulit untuk diprediksi karena bisa mengandung rintangan dengan angka yang besar selain tarif seperti kebijakan, peraturan, prosedur yang mengubah perdagangan. NTB terdiri atas beberapa bagian yaitu: a. Pembatasan spesifik, terdiri dari larangan impor secara mutlak pembatasan impor atau quota system; peraturan atau ketentuan teknis untuk impor produk tertentu; peraturan kesehatan atau karantina, peraturan pertahanan dan keamanan negara; peraturan 19 kebudayaan, perizinan impor/import licenses; embargo; dan hambatan pemasaran seperti VER (Voluntary Export Restraint), OMA (Orderly Marketing Agreement). b. Peraturan Bea Cukai (Custom Administration Rules), terdiri dari tatalaksana impor tertentu; penetapan harga pabean; penetapan forres rate (kurs valas) dan pengawasan devisa; consultan formalities; packaging/labelling regulation; documentation hended; quality and testing standard; pungutan administrasi (fees); dan tariff classification. c. Partisipasi pemerintah, terdiri dari kebijakan pengadaan pemerintah; subsidi dan insentif ekspor; countervailing duties; domestic assistance programs; dan trade-diverting. d. Import charges, terdiri dari import deposits ; supplementary duties ; dan variable levies. berupa pembatasan spesifik seperti larangan impor secara mutlak, pembatasan impor atau quota system; peraturan bea cukai; government participation; import charges. Tinjauan Empiris Haider et al. (2011) dengan judul Estimation of Import and Export Demand Functions Using Bilateral Trade Data: The Case of Pakistan. Studi ini untuk melihat dinamika perdagangan Pakistan dari tahun 1973-2008 dengan mengestimasi elastistas ekspor dan impor dalam perdagangan Pakistan dengan mitra dagangnya. Metode yang digunakan adalah metode regresi OLS. Hasil regresi menunjukkan bahwa pendapatan (GDP) dan nilai tukar adalah faktor penentu dalam ekspor dan impor. Ekspor Pakistan terkointegrasi dengan Jepang dan Amerika, sementara impornya terkointegrasi dengan UAE dan Amerika. Untuk ekspor dan impor terkointegrasi dengan Banglades dan Sri Lanka, tetapi tidak dengan India dan China. Penelitian yang menganalisis feasibility study Free Trade Agreement (FTA) India dan Jepang yang dilakukan oleh Kalirajan dan Bhattacarya (2007) yaitu dengan cara mengukur trade intensity indices untuk mengetahui dampak FTA dengan berbagai hambatan perdagangan dan simulasi dampak FTA terhadap arus perdagangan India dan Jepang dengan analisis gravity model. Hasil analisis menunjukkan bahwa GDP, populasi dan nilai tukar berpengaruh positif sedangkan jarak dan tarif berpengaruh negatif terhadap perdagangan bilateral India-Japan. Kedua negara dapat meningkatkan ekspor mereka sekitar 36-40 persen dengan menghilangkan hambatan perdagangan. Hasil secara keseluruhan bahwa India akan mengalami kerugian pada saat short run. Setiap pengurangan tarif di pasar India secara signifikan akan meningkatkan ekspor Jepang, karena India masih menerapkan tingkat tarif yang tinggi. Subhani et al. (2010) dengan judul Determinants and Barriers to Bilateral Trade: A Study On Developing Economies. Mengkaji faktor pendukung pertumbuhan perdagangan dunia, salah satunya pengurangan hambatan perdagangan untuk negara berkembang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi, impor dan transportasi biaya, jarak, tarif yang dikenakan oleh mitra dagang, FDI dan kependudukan negara perdagangan adalah penentu dan secara signifikan mempengaruhi ekspor negara berkembang. Di sisi lain, yang berdampak besar pada impor negara-negara berkembang adalah biaya transportasi, 20 jarak, populasi mitra dagang, FDI kedua negara perdagangan dan pengiriman uang dari mitra dagang. Atmo (2009) menganalisis hubungan perdagangan bilateral IndonesiaIndia dengan alat analisis estimasi OLS dan data time series tahun 1980-2006 setelah perjanjian kerjasama antara ASEAN dan India pada tahun 2001. Dimana variabel GDP berpengaruh positif untuk ekspor dan impor kedua negara, nilai tukar positif untuk ekspor dan negatif untuk impor, tarif berpengaruh negatif untuk pertumbuhan perdagangan Indonesia dan India, variabel kerjasama diantara kedua negara berpengaruh negatif untuk ekspor dan positif untuk impor. Hasil penelitian Yuniarti (2007) menyatakan determinan perdagangan global Indonesia dengan sampel 10 mitra dagang menunjukkan pendapatan nasional mitra dagang baik eksportir maupun importir, populasi importir, dan kesamaan ukuran ekonomi berpengaruh positif terhadap perdagangan bilateral. Jarak mitra dagang berpengaruh negatif dan perbedaan faktor endowment dan keanggotaan dalam perdagangan tidak berpengaruh terhadap perdagangan bilateral. Siwi (2013) meneliti hubungan perdagangan bilateral Indonesia-China dalam kerangka ACFTA dimana berdasarkan pada neraca perdagangan yang menunjukan defisit untuk Indonesia dan anggapan membawa dampak negatif bagi perekonomian Indonesia, namun tetap dilaksanakan Indonesia. Kesimpulan penelitian ACFTA menciptakan interaksi perdagangan bebas antara Indonesia dengan China (bilateral free trade) dengan prinsip perdagangan bebas yang semakin memudahkan kegiatan ekspor impor kedua negara dengan pemberlakuan tarif khusus mengenai ekspor dan impor barang yang melintasi masing-masing negara. Khan et al. (2013) melakukan analisis empiris perdagangan bilateral Pakistan menggunakan gravity model. Hasil yang didapat GDP dan GDP Per Kapita berpengaruh positif terhadap volume perdagangan, tetapi jarak dan variabel dummy untuk kesamaan budaya menunjukkan hubungan negatif terhadap volume perdagangan. Hasil penelitian juga menemukan bahwa Jepang, Turki, Malaysia, India, dan Iran mempunyai potensi perdagangan yang besar dengan Pakistan. Dalam penelitian Cheong et al. (2013) terkait efek kebijakan perdagangan tarif dan non tarif dalam kerangka kerjasama Preferential Trade Agreement (PTA) dimana menyatakan bahwa dampak pengurangan tarif dan non tarif akan meningkatkan margin negara anggota dan margin produk perdagangannya. Hal ini sejalan dengan tujuan awal dibentuknya PTA yakni mengurangi tarif. Margin perdagangan lebih cepat direspon dengan penurunan tarif, karena lebih mudah dan jelas diterapkan daripada non tarif. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa nontarif mempunyai efek yang berbeda karena posisi tawar yang berbeda untuk tiap negara. Disdier et al. (2008) meneliti dampak regulasi dari perdagangan sektor pertanian terkait dengan hambatan non tarif SPS dan TBT dengan menggunakan model Gravity. Hasilnya menyimpulkan bahwa SPS dan TBT secara signifikan mengurangi ekspor negara-negara berkembang ke negara-negara OECD tapi tidak mempengaruhi arus perdagangan antara negara anggota OECD. Terkait hambatan non-tarif, Boza (2013) mengkonfirmasi bahwa seiring diturunkannya hambatan tarif, namun meningkatkan hambatan non-tarif, yakni technical barriers to trade (TBT) dan sanitary and phytosanitary measures (SPS) terhadap aliran perdagangan ekspor impor produk makanan dan pertanian. Secara umum hasil 21 penelitian menyimpulkan bahwa hambatan perdagangan SPS/TBT mempunyai dua sisi, yakni berpengaruh negatif dengan meningkatkan biaya, namun disisi lain memberikan keuntungan dengan meningkatkan permintaan karena kualitas dan mutu komoditi yang terjaga baik. Kerangka Pemikiran Liberalisasi perdagangan mendorong banyak negara untuk membuka kerjasama perdagangan dengan negara lain baik bilateral, regional maupun multilateral dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dalam perdagangan. Kerjasama perdagangan juga untuk memperluas dan memperkuat hubungan ekonomi dengan negara lain. Demikian juga dengan Indonesia, dalam membangun perekonomian nasional banyak membuka kerjasama perdagangan dengan negara-negara di dunia, salah satunya dengan Chili. Hubungan bilateral Indonesia-Chili sudah berlangsung dari tahun 1964. Kedutaan Besar Republik Indonesia di Santiago dibuka tahun 1991. Sebagai upaya untuk meningkatkan hubungan bilateral, kedua negara telah menandatangani “Memorandum of Understanding Between of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Chile on the Establishment of Bilateral Consultacions” di Santiago tanggal 25 Maret 2002 yang masih terus berlaku hingga saat ini. Hubungan Indonesia-Chili di bidang ekonomi terus berupaya meningkatkan level kerjasama bilateral yang lebih tinggi dengan disepakatinya Joint Study Group (JSG) Indonesia-Chili pada tahun 2002-2009. Dalam upaya meningkatkan hubungan kedua negara, pada bulan Maret 2009 Kementerian Perdagangan RI secara resmi telah membuka ITPC Santiago. Keberadaan ITPC Santiago sangat membantu KBRI Santiago dalam mempromosikan produkproduk andalan ekspor Indonesia dan membantu masalah yang dihadapi para pengusaha Chile yang melakukan hubungan dagang dengan para pengusaha Indonesia. Kerjasama terus dijalin dalam meningkatkan perdagangan antara Indonesia dan Chile Tahun 2013 tahap pra negosiasi IC-CEPA dengan penandatanganan Term of References (TOR) dan tahun 2014 negosiasi pertama Trade in Goods (TIGs) untuk mencapai kesepakatan perdagangan bebas kedua negara, dengan disepakati perdagangan barang, sedangkan untuk jasa dan investasi pada tahap selanjutnya. Dalam perundingan ini mencakup tawar menawar atas kesepakatan yang akan terjalin dengan tetap mengacu pada aturan WTO. Penelitian ini akan meneliti kinerja perdagangan dan faktor penentu keberhasilan perdagangan bilateral Indonesia-Chili karena melihat prospek Chili sebagai mitra dagang yang potensial, sehingga Indonesia harus mempersiapkan diri akan terwujudnya kesepakatan perdagangan bebas tersebut. Salah satu yang harus diperhatikan yaitu bagaimana Indonesia memaksimalkan serta mengembangkan nilai perdagangan dengan meningkatkan ekspor ke Chili dengan mempersiapkan produk dan sektor terkait yang menunjang infrastruktur ekspor. Dalam penelitian ini, kinerja perdagangan dapat dianalisis melalui tingkat daya saing serta derajat integrasi perdagangan komoditi-komoditi ekspor unggulan Indonesia-Chili. Selanjutnya menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan Indonesia-Chili dengan hambatan perdagangan baik tarif dan non-tarif yang diterapkan oleh kedua negara. Sehingga pada akhirnya diharapkan 22 dapat menjadikan suatu referensi bagi pemerintah dalam mengembangkan kebijakan ekspor komoditi-komoditi unggulan Indonesia ke pasar Chili. Hubungan Perdagangan Indonesia-Chili Keragaan Perdagangan Bilateral Indonesia-Chili Daya saing dan integrasi komoditi ekspor unggulan Indonesia-Chili Metode RCA Metode IIT Aliran Perdagangan Indonesia-Chili Analisis faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan Indonesia-Chili Rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan ekspor Indonesia ke Chili Gambar 5 Kerangka pemikiran penelitian Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian dan studi penelitian terdahulu, maka dalam penelitian ini dapat diajukan beberapa hipotesis penelitian bagi variabel-variabel penelitian, yaitu: 1. GDP perkapita Indonesia dan Chili berpengaruh positif terhadap aliran perdagangan Indonesia dan Chili. 2. Nilai tukar riil (Rp/Peso) berpengaruh positif terhadap ekspor Indonesia ke Chili. 3. Nilai tukar riil (Rp/Peso) berpengaruh negatif terhadap impor Indonesia dari Chili. 4. Tarif memiliki hubungan negatif dengan aliran perdagangan Indonesia dan Chili. 5. Hambatan non-tarif SPS memiliki hubungan negatif dengan aliran perdagangan Indonesia dan Chili. 6. Hambatan non-tarif TBT memiliki hubungan negatif dengan aliran perdagangan Indonesia dan Chili. 23 3 METODE Jenis dan Sumber Data Seluruh data yang digunakan dalam kajian ini merupakan data sekunder. Sumber data aliran perdagangan antara Indonesia dan Chili berasal dari Trademap. Penggunaan HS enam digit dilakukan untuk memudahkan perincian jenis komoditi penelitian. Data makro didapatkan dari CIA World Fact Book, Trademap, Kementerian Perdagangan dan lain-lain. Pada penelitian ini yang menjadi data panel adalah komoditi ekspor dan impor terpilih yang diteliti dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2013. Tabel 4 Jenis dan sumber data No Data 1 Data perdagangan ekspor-impor (US$) 2 GDP, GDP riil, GDP per kapita (US$) 3 Nilai tukar 4 Tarif 5 Non tarif Sumber Trademap World Bank WDI WTO WTO Metode Analisis Data Dalam penelitian ini menggunakan dua metode yakni analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Tujuan penelitian yang pertama yakni analisis kinerja perdagangan Indonesia-Chili dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif. Analisis ini menggunakan data perdagangan Indonesia yaitu data ekspor Indonesia ke Chili serta impor Indonesia dari Chili yang bersumber dari data perdagangan (Trademap) dengan kode HS enam digit. Analisis kuantitatif untuk menjelaskan tujuan penelitian yang kedua dengan menggunakan data perdagangan, akan dianalisis tingkat daya saingnya menggunakan nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) serta tingkat integrasi perdagangannya menggunakan indeks Intra-Industry Trade (IIT). Sedangkan untuk melihat aliran perdagangan bilateral Indonesia-Chili dengan menggunakan analisis ekonometrika. Analisis Revealed Comparative Advantage (RCA) Nilai RCA adalah indikator yang bisa menunjukkan perubahan keunggulan komparatif atau perubahan tingkat daya saing industri suatu negara di pasar global (Kuncoro 1997). Nilai RCA menunjukkan keunggulan komparatif atau daya saing ekspor dari suatu negara dalam suatu komoditas terhadap dunia (Tambunan 2001). Dalam kasus penelitian ini, tingkat daya saing yang akan digunakan merupakan daya saing komoditi unggulan kedua negara, Indonesia dan Chili. Sehingga penelitian ini akan tetap menggunakan rumus RCA dengan modifikasi sebagai berikut: …(3.1) 24 Dimana Xkj : Nilai ekspor komoditas k ke negara j Xj : Nilai ekspor total negara j Xkw : Nilai ekspor komoditas k dunia ke negara j Xw : Nilai ekspor total dunia Jika nilai RCA suatu negara untuk komoditas tertentu adalah lebih besar dari satu (1), maka negara bersangkutan memiliki keunggulan komparatif di atas rata-rata dunia untuk komoditas tersebut. Sebaliknya, bila lebih kecil dari satu (1),berarti keunggulan komparatif untuk komoditi tersebut tergolong rendah, dibawah rata-rata dunia. Semakin besar nilai RCA, semakin tinggi pula tingkat keunggulan komparatifnya. Analisis Intra-Industry Trade (IIT) Selanjutnya penentuan komoditas unggulan sebagai objek penelitian dilakukan dengan melihat nilai indeks IIT. Pengukuran IIT dalam penelitian ini dilakukan dengan menghitung nilai IIT index komoditas ekspor dan impor. Terdapat beberapa cara untuk menghitung IIT index. Cara yang paling umum digunakan adalah melalui Grubel-Lloyd Index yang dirumuskan sebagai berikut: …(3.2) Dimana: i j k : Perdagangan intra-industri produk k antara negara Indonesia dan Chili : Ekspor produk k dari negara Indonesia ke negara Chili : Impor produk k oleh negara Indonesia dari negara Chili : Negara yang melaporkan nilai perdagangan : Negara mitra dagang : Jenis produk Tanda Σ menunjukkan jumlah dari produk atau komoditas pada kode HS 6 digit. Dalam penelitian ini, indeks yang akan diukur berhubungan dengan setiap arus perdagangan bilateral antara Indonesia dengan Chili. Hasil dari IIT index akan digunakan sebagai indikator dari integrasi yang terjadi dalam sektor unggulan dan potensial. Derajat integrasi ditentukan menurut klasifikasi rentang nilai IIT yang tertera pada tabel 5. Tabel 5 Klasifikasi dari nilai IIT Intra Industri Trade Klasifikasi 0.00 No integration (one way trade) >0.00 – 24.99 Weak integration 25.00 – 49.99 Mild Integration 50.00 – 74.99 Moderately strong integration 75.00 – 99.99 Strong integration Sumber: Austria 2004 25 Analisis Ekonometrika Adanya keterbatasan time series data sehingga dalam analisis aliran perdagangan bilateral Indonesia dan Chili menggunakan data panel statis dengan metode Pooled Least Square (PLS). Metode kuadrat terkecil biasa yang diterapkan dalam data yang berbentuk pool merupakan pendekatan yang paling sederhana dalam pengolahan data panel. Misalkan terdapat persamaan berikut ini : Yit = α + βj xjit + εit untuk i = 1, 2, ..., N dan t = 1, 2, ..., T …(3.3) Dimana N adalah jumlah unit cross section (individu) dan T adalah jumlah periode waktunya. Dengan mengasumsikan komponen error dalam pengolahan kuadrat terkecil biasa, kita dapat melakukan proses estimasi secara terpisah untuk setiap unit cross section. Untuk periode t = 1, akan diperoleh persamaan regresi cross section sebagai berikut: Yi1 = α + βj xjit + εi1 untuk i = 1, 2, ..., N …(3.4) Yang akan berimplikasi diperolehnya sebanyak T persamaan yang sama. Begitu juga sebaliknya, kita juga akan dapat memperoleh persamaan deret waktu (time series) sebanyak N persamaan untuk setiap T observasi dengan α dan β konstan sehingga akan dapat diperoleh dalam bentuk regresi yang lebih besar dengan melibatkan sebanyak NT observasi. Akan tetapi dengan demikian tidak dapat melihat perbedaan antar individu maupun antar waktu. Terdapat beberapa pertimbangan dalam menentukan kesesuaian model dalam menjelaskan hubungan antar variabel dalam suatu penelitian. Selain harus memenuhi kriteria model yang baik secara statistik, aspek substansial dari hubungan antar variabel berdasarkan teori empiris juga penting untuk diperhatikan. Secara substansi perlu dilihat kesesuaian antara tanda dan nilai estimasi yang dihasilkan dari model yang terbentuk dengan teori ekonomi dan logika yang mendasarinya. Secara statistik, kriteria yang diperhatikan antara lain nilai koefisien determinasi. Nilai koefisien determinasi terletak antara nol sampai satu. Jika nilai R2 bernilai nol atau mendekati nol maka dikatakan kemampuan variabel bebas untuk menjelaskan variasi pada variabel terikatnya sangat terbatas dan sebaliknya jika nilai R2 mendekati satu berarti variabel bebas mampu memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variabel terikatnya, atau dapat dikatakan model yang terbentuk semakin baik. Spesifikasi Model Untuk menjawab masalah dalam penelitian ini, spesifikasi model dalam penelitian ini didasarkan penelitian Haider et.al (2011) dan Kalirajaan dan Bhattacharya (2007) dengan penyesuaian variabel dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Model Ekspor Indonesia ke Chili: Ln Eksporit = α0 + α1 ln GDPit + α2 ln REXRit + α3 Tit + α4 DSPSit + α5 DTBTit + εit ; (α1, α2 > 0 ; α3, α4, α5 <0) …(3.5) 26 2. Model Impor Indonesia dari Chili: Ln Imporit = β0 + β1 ln GDPit + β2 ln REXRit + β3 Tit +β 4 DSPSit + β5 DTBTit +εit ; (β 1, β 2 > 0 ; β 3, β 4, β 5 <0) Dimana: Eksporit Imporit GDPit REXRit Tit DSPSit DTBTit α0, β0 α1, α2, α3, α4,α5, β1, β2, β3, β4, β5 εit k i (1, 2,...,6) t (1, 2,…, 13) …(3.6) = Ekspor Indonesia ke Chili komoditi i tahun ke t (US $) = Impor Indonesia dari Chili komoditi i tahun ke t (US $) = Gross Domestic Product Per Kapita (US $) = Nilai tukar riil Indonesia (Rupiah/Peso) = Rata-rata tarif (%) = Variabel dummy untuk non-tariff measures yang berupa kebijakan SPS negara pengimpor pada negara pengekspor terhadap komoditi i pada tahun t. Bernilai 1 jika terdapat non-tariff measures jenis SPS, dan bernilai 0 jika sebaliknya; = Variabel dummy untuk non-tariff measures yang berupa kebijakan TBT negara pengimpor negara pengimpor pada negara pengekspor terhadap komoditi i pada tahun t. Bernilai 1 jika terdapat non-tariff measures jenis TBT, dan bernilai 0 jika sebaliknya; = Intersep = Parameter yang diestimasi = Parameter yang diestimasi = Error term = Jenis produk/komoditi = komoditi = tahun Definisi Variabel Operasional Definisi operasional variabel yang digunakan dalam model penelitian ini antara lain: 1. Ekspor dan impor merupakan nilai perdagangan suatu negara ke negara mitra dagangnya. 2. GDP suatu negara (GDP), diukur dari nilai GDP per kapita atas dasar harga konstan. 3. Real Exchange Rate (REXR) merupakan nilai tukar riil negara pengekspor dan negara pengimpor yang diperoleh dari : REXRit = ( )X( ) 4. Tarif (T) merupakan pajak atau cukai yang dikenakan untuk komoditi yang diperdagangkan lintas batas teritorial, tarif yang digunakan adalah rata-rata tariff yang diberlakukan oleh negara importir bagi masing-masing produk ekspor. 27 5. Dummy SPS (DSPSit) merupakan variabel dummy yang menjelaskan pemberlakuan non-tariff measures jenis SPS. Bernilai 1 jika diberlakukan minimal satu kebijakan SPS, dan bernilai 0 jika sebaliknya. 6. Dummy TBT (DTBTit) merupakan variabel dummy yang menjelaskan pemberlakuan non-tariff measures jenis TBT. Bernilai 1 jika diberlakukan minimal satu kebijakan TBT, dan bernilai 0 jika sebaliknya. 4 KERAGAAN PERDAGANGAN BILATERAL INDONESIA-CHILI Gambaran Umum Perekonomian Indonesia dan Chili Chili secara geografis terletak di Barat Daya Benua Amerika, yang wilayahnya berbatasan langsung dengan Peru dan Bolivia di sebelah Utara, di sebelah timur berbatasan dengan Argentina, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kutub Selatan dan di sebelah barat berbatasan dengan Laut Atlantik. Chili mempunyai jumlah penduduk 17.62 juta jiwa, dengan bahasa resminya adalah Spanyol. GDP perkapita Chili terus menunjukkan peningkatan, artinya menunjukkan pertumbuhan ekonomi dan merupakan potensi yang besar sebagai pasar baru tujuan ekspor Indonesia dimana pada tahun 2013 mencapai US $ 15,791 sedangkan pada tahun yang sama GDP per kapita Indonesia sebesar US $ 3,475. Pertumbuhan ekonomi Chili dan Indonesia bisa dilihat dari tingkat pertumbuhan GDP perkapita. Pada Gambar 6 adalah perbandingan GDP kedua negara. Gambar 6 Perbandingan GDP perkapita Indonesia dan Chili Sumber : WDI 2014 Mata uang resmi Chili adalah Peso dengan kurs tahun 2013 adalah US$ 1 sama dengan Ch$ 495.27. Sejak tahun 1990, Chili telah berusaha untuk membuat perubahan dalam rangka meningkatkan perekonomian, dan sekarang Chili telah berhasil menjadi salah satu negara dengan perkonomian yang stabil dan menonjol di kawasan Amerika Selatan. Chili terus menjaga tingkat pertumbuhan ekonominya, mengurangi tingkat kemiskinan, pemerintahan yang terbuka dan dan menjadi negara yang demokratis. Chili mengandalkan dari kegiatan perdagangan barang, baik barang manufaktur maupun hasil pertanian, pertambangan dan jasa. 28 Dalam pembangunan ekonomi, Indonesia dan Chili adalah negara yang menganut strategi outward looking, dimana kedua negara mengandalkan sektor perdagangan luar negeri sebagai salah satu motor penggerak pembangunan negara. Pertumbuhan ekonomi Chili juga dipengaruhi oleh nilai tukar mata uang domestik terhadap dollar Amerika, karena seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa perdagangan luar negeri adalah motor penggerak perekonomian Chili, sehingga nilai tukar sangat berpengaruh dalam mempertahankan stabilitas ekonomi negara Chili dan Indonesia. Sedangkan tingkat inflasi tertinggi pada tahun 2008 mencapai 8.7% dan pada tahun 2013 mencapai sebesar 1.8%. Fluktuasi nilai tukar dan inflasi Chili pada tahun 20012013 secara terperinci pada Gambar 7 berikut. Peso/US $ 800 10 9 700 8 600 7 500 6 400 5 4 300 3 200 2 100 1 0 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Nilai Tukar 634.9 688.9 691.4 609.5 559.7 530.2 522.4 522.4 560.8 510.2 483.6 486.4 495.2 Inflasi 3.569 2.489 2.810 1.054 3.052 3.392 4.407 8.716 0.353 1.409 3.341 3.006 1.793 Gambar 7 Nilai tukar dan inflasi Chili Sumber : WTO Seperti halnya Chili, kegiatan perdagangan luar negeri adalah salah satu motor penggerak pembangunan ekonomi Indonesia, sehingga fluktuasi nilai tukar berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Fluktuasi nilai tukar Rupiah terhadap dollar Amerika baik depresiasi atau apresiasi nilai mata uang akan mengakibatkan perubahan terhadap ekspor maupun impor. Jika kurs mengalami depresiasi, yaitu nilai mata uang dalam negeri secara relatif terhadap mata uang asing menurun, volume ekspor akan menaik. Dengan kata lain, apabila nilai kurs dollar menguat, maka volume ekspor juga akan meningkat (Sukirno, 2004). Pada Gambar 8 terlihat fluktuasi nilai tukar dan tingkat inflasi Indonesia. Rp/US $ 12,000 8 7 10,000 6 8,000 5 6,000 4 3 4,000 2 2,000 1 0 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Nilai Tukar 10,26 9,311 8,577 8,938 9,704 9,159 9,141 9,698 10,38 9,090 8,770 9,386 10,46 Inflasi 7.016 6.825 6.650 6.158 5.981 5.539 4.608 4.785 4.61 4.420 4.152 3.786 3.650 Gambar 8 Nilai tukar dan inflasi Indonesia Sumber : WTO % 29 Chili merupakan negara dengan kebijakan penetrasi pasar yang sangat dinamis. Dalam perdagangan internasional, Chili menerapkan trade barrier untuk melindungi industri dalam negerinya, yaitu kebijakan tarif dan non-tarif. Tarif bea masuk yang diterapkan Chili telah diturunkan secara progresif sebesar 1% per tahun sejak tahun 1998. Pada tahun 2003, bea masuk impor untuk produk-produk utama akan diturunkan dari 9% menjadi 6% tanpa perjanjian perdagangan bebas. Disamping itu Chile memiliki Perjanjian Pembebasan Tarif Terbatas dengan India, Kuba dan Venezuela serta Perjanjian Penghapusan Pajak Berganda dengan 25 negara. Chili mengatur lisensi ekspor dan impor, tetapi lebih sebagai aturan tertulis dari pada tindakan nyata. Hanya bagi produk-produk pertanian dan produk sensitif yang dilakukan pembatasan, sehingga tidak sulit bagi investor untuk melakukan usaha di Chili. Untuk hambatan non-tarif berupa lisensi impor, kuota impor, standard dan labeling requirement, khususnya bagi produk makanan dan pertanian. Chili adalah salah satu negara yang sangat memperhatikan standar kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan. Hambatan perdagangan non tarif yang diterapkan Chili mengacu pada aturan WTO, yakni hambatan Sanitary and Phytosanitary Measure (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT). Instansi lokal yang mempunyai kewenangan regulasi teknis antara lain Menteri Kesehatan, Menteri Pertanian dan National Standard Institute (INN). Sedangkan yang bertanggung jawab untuk kesehatan pangan adalah Kementerian Kesehatan melalui Chilean Institute of Public Health (ISP) dan Metropolitan Environmental Health Service (SESMA). Instansi ini mempunyai kewenangan menyetujui kandungan, pengemasan, label, sertifikasi, regristrasi terhadap produk pangan, bahan kimia dan alat-alat kecantikan. Indonesia juga menerapkan hambatan perdagangan dalam upaya melindungi pasar dalam negeri berupa tarif dan non tarif. Kebijakan tarif Indonesia sudah mengikuti konvensi WTO dimana tarif terus dikurangi bahkan dihapus demi mewujudkan perdagangan yang bebas hambatan, sehingga Indonesia juga menerapkan standar atas barang impor Indonesia. Hambatan non tarif Sanitary and Phytosanitary Measure (SPS) dengan aturan lebih kepada sisi kesehatan manusia, hewan, lingkungan. Indonesia menerapkan hambatan ini dengan aturan adanya standar yang wajib dipenuhi dengan SNI, misalnya terpenuhinya aturan Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP), mengenai pengelolaan pangan terkait bahan, produk dan proses, dimana komposisi dan batas bahan yang boleh ditambahkan dalam pangan. Sedangkan untuk hambatan Technical Barriers to Trade (TBT) semua komoditi impor Indonesia wajib memenuhi beberapa ketentuan antara lain labelling, garansi, dan penggunaan Bahasa Indonesia dalam keterangan dalam produk. Gambaran Umum Keragaan Perdagangan Indonesia-Chili ke Dunia Dalam perdagangan dunia, Indonesia tercatat menempati urutan ke-69 dan Chili menempati urutan ke-72 dalam Economic Complexity Index (ECI) yang merupakan indeks pembangunan ekonomi yang berbasis obyek/produk, dimana menunjukkan kapabilitas sebuah negara. Kegiatan ekspor memberikan kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi Chili, khususnya ekspor primary product yaitu produk-produk hasil pertanian dan mata dagang yang lain yang dijual tanpa proses pengolahan dan produk alami yang telah diolah seperti tembaga, buah segar, produk kehutanan dan perikanan. 30 Komoditi ekspor unggulan Chili ke dunia adalah tembaga, bijih besi, tembaga mentah, anggur, wine, dan bubur kertas. Sedangkan Indonesia komoditi ungula ekspor ke dunia adalah batu bara, minyak sawit, karet, minyak kelapa (VCO), sabun, timah mentah, dan minyak mentah. Mitra dagang Indonesia untuk tujuan ekspor Indonesia adalah RRC (14%), Jepang (11%), Amerika Serikat (10%), India (9%), dan Singapura (7%) sedangkan negara pengimpor terbesar adalah China (16%), Singapura (14%), Jepang (11%), Korea Selatan (6.9%), dan Malaysia (6.1%). Mitra dagang sebagai tujuan ekspor Chili adalah China (23%), Amerika Serikat (12%), Jepang (11%), Korea Selatan (5.9%), dan Brazil (5.4%), sedangkan negara pengimpor untuk Chili adalah Amerika Serikat (23%), China (18%), Brazil (6.4%), Argentina (5.8%), dan Jerman (4.5%). Gambar 9 Pertumbuhan ekspor dan impor Indonesia ke dunia tahun 2001-2013 Sumber : diolah dari Trademap 2014 Pada Gambar 6 menunjukkan pertumbuhan perdagangan dari tahun 20012013 di pasar dunia, dimana pertumbuhan ekspor tertinggi tercatat pada tahun 2010 dengan nilai US $ 157.77 milyar dan terendah pada tahun 2009 sebesar US $ 116.5 milyar. Untuk pertumbuhan impor Indonesia mencapai tingkat tertinggi pada tahun 2004 senilai US $ 46.52 milyar dan terendah pada tahun 2009 sebesar US $ 96.82 milyar. Kondisi perdagangan Chili dalam perdagangan dunia mencapai tingkat tertinggi pertumbuhan ekspor pada tahun 2004 dengan nilai US $ 33.02 milyar dan terendah pada tahun 2009 sebesar US $ 55.45 milyar. Sedangkan untuk pertumbuhan impor Chili dari pasar dunia tertinggi pada tahun 2010 senilai US $ 59.28 milyar dan terendah pada tahun 2009 sebesar US $ 42.80 milyar. Secara terperinci pada Gambar 7. Gambar 10 Pertumbuhan ekspor dan impor Chili ke dunia tahun 2001-2013 Sumber : diolah dari Trademap 2014 31 Gambaran Umum Keragaan Perdagangan Bilateral Indonesia dan Chili Hubungan bilateral Indonesia-Chili dimulai pada pertengahan abad 19, sekitar tahun 1970-an. Dalam rangka meningkatkan hubungan perdagangan maka kedua negara memiliki beberapa perjanjian antara lain pada tahun 1987 menjalin kerjasama teknik, persetujuan kerjasama perdagangan pada tahun 1992, persetujuan perlindungan invesasi pada tahun 1999 dan pada 1997 terjalin Nota Kesepakatan Kerjasama Bidang Perbankan. Hubungan Bilateral Indonesia-Chili terus menunjukkan peningkatan, didukung oleh kebijakan luar negeri kedua negara yang memiliki visi yang sama, yaitu penghormatan terhadap keutuhan dan integritas sebuah negara yang berdaulat dan terhadap kepemimpinan yang sah dan demokrasi, pengembangan demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, partisipasi aktif pada forum internasional dan regional masing-masing dalam rangka meningkatkan perdamaian dunia dan pembangunan ekonomi, lingkungan hidup, perlindungan terhadap warganegara yang berada di luar negeri. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Wehner (2007) mengkaji tentang percepatan FTA Jepang dan Chili, dimana FTA tercapai dengan cepat selama sepuluh bulan dengan strategi negosiasi yang saling menguntungkan. Jepang berkepentingan dengan sektor bisnis (automobile) dengan penghapusan tarif. Sedangkan sektor pertanian yang menjadi keunggulan komparatif Chili, kesepakatannya bersifat fleksibel. Chili mengandalkan dari kegiatan perdagangan barang baik barang manufaktur maupun hasil pertanian, pertambangan dan jasa. Tahun 1990-an hubungan perdagangan menunjukkan peningkatan, namun pada tahun 1998-2000 volume perdagangan menurun dikarenakan dampak krisis dunia. Pada tahun 2001-2013 kondisi perdagangan kedua negara fluktuatif. Saat ini sudah banyak negara yang sudah mengadakan perjanjian perdagangan baik secara bilateral maupun regional dalam rangka mengamankan pasar ekspornya, mengurangi sengketa perdagangan dan meningkatkan daya saing ekspor di pasar Internasional. Indonesia dan Chili tergabung dalam World Trade Organization (WTO) dalam rangka menghilangkan hambatan perdagangan, terutama tarif. Hubungan kerjasama bilateral Indonesia Chili sangat baik, dan kedua negara sepakat untuk meningkatkan kerjasama perdagangan pada level yang lebih tinggi dengan upaya mewujudkan kerjasama perdagangan bebas sebagai media peningkatan perdagangan untuk kedua negara. Selain itu kerjasama perdagangan bebas sebagai entry point bagi Chili di kawasan Asia, dan Indonesia di Kawasan Amerika Selatan. Pada saat ini Chili menempati urutan ke-51 sebagai negara tujuan ekspor Indonesia dan urutan ke-38 sebagai negara pengimpor untuk Indonesia. Komoditi Indonesia yang banyak dibutuhkan dan diimpor oleh masyarakat Chili adalah batu bara, kain dan pakaian, sepatu dan tas, peralatan elektronik dan listrik, komponen dan suku cadang kendaraan bermotor, bahan makanan (rempahrempah, rumput laut, teh, kopi, coklat, mentega dan minyak kelapa sawit, sari buah tropis, tembakau, dsb), peralatan rumah tangga dan muebel, alat-alat tulis dan kertas, mainan anak-anak dan peralatan olah raga, dsb. Sedangkan produk dari Chili yang banyak diekspor ke Indonesia adalah tembaga, biji besi, bubur kayu/selulosa, buah-buahan segar sub tropis (apel, kiwi, anggur, dsb), minuman anggur, ikan salmon, minyak ikan, susu bubuk, dsb. Pada Tabel 6 menunjukkan total perdagangan Indonesia dengan Chili tahun 2013 sebesar US $ 412.015 ribu atau naik sebesar 7,86% dibanding tahun 32 2012 sebesar US $ 381.987,5 ribu. Ekspor non migas Indonesia ke Chili pada tahun 2013 menunjukkan penurunan sebesar 2.6% menjadi US $ 170.766,8 ribu dari US $ 175.346,5 ribu pada tahun 2012. Sedangkan untuk impor non migas Indonesia dari Chili tahun 2013 naik 16.7% yakni US $ 241.248,2 ribu, dibanding tahun 2012 sebesar US $ 206.640,9 ribu. Untuk neraca perdagangan menunjukkan defisit untuk Indonesia dimana tahun 2013 defisit sebesar US $ 70,481 ribu. Berdasarkan data yang ada bisa dilihat bahwa tingkat rata-rata pertumbuhan ekspor Indonesia lebih kecil yakni sebesar 7.75% dibandingkan tingkat pertumbuhan impor Indonesia dari Chili yakni sebesar 18.33%. Tabel 6 Performa perdagangan bilateral Indonesia-Chili tahun 2001-2013 Sumber: Trademap 2014 Jumlah produk yang diekspor Indonesia ke Chili berkisar 331 produk dan yang diimpor Indonesia dari Chili berkisar 160 produk, dengan total perdagangan mencapai US $ 412.015 ribu. Perdagangan antara Indonesia dan Chili yang telah dilakukan selama ini didominasi oleh ekspor impor non-migas. Neraca perdagangan selama periode 2009-2013 menunjukkan bahwa hanya pada tahun 2009 terdapat ekspor non-migas Indonesia ke Chili senilai US $ 22.950,5 ribu. Neraca perdagangan non migas Indonesia dengan Chili selama 5 (lima) tahun terakhir menunjukkan defisit bagi Indonesia. Tahun 2013 tercatat defisit sebesar US$ 70.481,3 ribu sedangkan pada tahun 2012 tercatat defisit US$ 31.294,4 ribu. Sumber defisit neraca perdagangan Indonesia dengan Chili karena besarnya impor bahan baku, terutama tembaga. Chili sebagai negara terbesar penghasil dan eksportir tembaga yakni mencapai 34% dari total pasar tembaga di dunia (http://prokum.esdm.go.id/). Harga tembaga menopang tingkat pertumbuhan ekonomi Chili yang mencapai 5.5% pada tahun 2011. Berdasarkan data dari Trademap nilai impor tahun 2013 tercatat US $ 49,779ribu. Indonesia sebagai penghasil tembaga, namun hanya sekitar 30% yang mampu dipenuhi, karena hanya ada satu perusahaan yakni PT Smelting-Gresik sebagai pabrik pemurnian tembaga yakni katoda tembaga di Indonesia, sehingga sisanya dipenuhi dari impor. 33 Tabel 7 Sepuluh komoditi terbesar ekspor dan impor Indonesia tahun 2013 dan share terhadap total ekspor dan imporke dunia tahun 2013 HS 6 Keterangan Nilai Share (US $ 000) (%) Ekspor Indonesia '640319 Alas kaki olah raga dengan sol luar dari karet, plastik, kulit samak atau kulit komposisi dan bagian atas sepatu dari kulit samak. 22,058 12.92 '841810 Kombinasi lemari pendingin-pembeku, dilengkapi dengan pintu luar terpisah 17,001 9.96 '640219 Alas kaki lainnya dengan sol luar dan bagian atas dari karet atau plastik. 7,661 4.49 '870323 Mobil dan kendaraan bermotor lainnya terutama dirancang untuk pengangkutan orang dengan kapasitas silinder melebihi 1.000 cc tetapi tidak melebihi 1.500 cc 7,448 4.36 '390760 Polyethylene terephthalate 7,131 4.18 '121221 Rumput laut dan ganggang lainnya layak untuk dikonsumsi manusia 6,426 3.76 '640419 Alas kaki dengan sol luar dari karet, plastik, kulit samak atau kulit komposisi dan bagian atasnya dari bahan tekstil. 5,743 3.36 '640411 Alas kaki olah raga; sepatu tenis, sepatu bola basket, sepatu senam, sepatu latihan dan sejenisnya 4,861 2.85 '340220 Bahan aktif permukaan organik (selain sabun) preparat pencuci dan preparat pembersih disiapkan untuk penjualan eceran 4,844 2.84 '640399 Alas kaki dengan sol luar dari karet, plastik, kulit samak atau kulit komposisi dan bagian atas sepatu dari kulit samak. 4,651 2.72 ------- Lainnya 87,824 48.57 108,290 44.89 Impor Indonesia '260111 Bijih besi dan konsentratnya, termasuk pirit besi panggang tidak diaglomerasi '740311 Katoda tembaga dan bagian dari katoda 49,779 20.63 '470321 Pulp kayu kimia, soda atau sulfat, selain dissolving grade semi kelantang atau dikelantang; pohon jenis konifera 16,830 6.98 '470311 Pulp kayu kimia, soda atau sulfat, selain dissolving grade tidak dikelantang; pohon jenis konifera 10,155 4.21 '470329 Pulp kayu kimia, soda atau sulfat, selain dissolving grade semi kelantang atau dikelantang; pohon bukan jenis konifera 9,152 3.79 '150420 Lemak dan minyak serta fraksinya, dari ikan, selain minyak hati ikan 7,952 3.3 '310490 Pupuk mineral atau kimia, mengandung kalium dikemas > 10kg 6,769 2.81 '080610 Anggur segar 6,716 2.78 '440710 Kayu digergaji atau dibelah memanjang, diiris atau dikuliti, diketam, diampelas atau end-jointed maupun tidak, dengan ketebalan melebihi 6 mm; pohon jenis konifera 4,663 1.93 '170290 Gula termasuk gula invert 3,910 1.62 ------- Lainnya 224,216 0.7 Sumber : Trademap 2014 34 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Daya Saing Komoditi Unggulan Indonesia-Chili Penelitian ini meneliti komoditi-komoditi unggulan ekspor dan impor dalam perdagangan Indonesia-Chili. Penetapannya dilakukan dengan mensortir komoditi berdasarkan nilai ekspor dan impor terbesar tahun 2013 dan memiliki konsistensi perdagangan dari tahun 2001-2013 sebagai komoditi unggulan. Analisis daya saing komoditi unggulan yang diperdagangkan secara bilateral Indonesia-Chili dilakukan dengan menggunakan pendekatan RCA. Metode ini pertama kali dikenalkan oleh Bela Balassa yang awalnya mengajukan postulasi perdagangan internasional didasarkan pada nisbah atau rasio ekspor impordigunakan atas dasar. RCA berdasarkan suatu konsep bahwa perdagangan antar wilayah sebenarnya menunjukkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh suatu wilayah. Variabel yang diukur yaitu kinerja ekspor komoditi unggulan ekspor Indonesia ke Chili terhadap total ekspor Indonesia ke Chili yang kemudian dibandingkan dengan pangsa pasar komoditi tersebut dalam perdagangan dunia ke pasar Chili, demikian juga untuk menghitung RCA dari sisi nilai ekspor Chili ke Indonesia. Nilai RCA yang diperoleh menggambarkan kinerja komoditi unggulan ekspor kedua negara, Indonesia dan Chili dengan kisaran nilai antara nol sampai tak hingga. RCA dapat didefinisikan bahwa jika pangsa komoditi unggulan ekspor Indonesia ke Chili di dalam total ekspor suatu negara lebih besar dibandingkan pangsa pasar ekspor komoditi tersebut di dalam total ekspor komoditi dunia, artinya negara tersebut mempunyai keunggulan komparatif untuk komoditi tersebut. Semakin tinggi nilai RCA menunjukkan semakin tinggi keunggulan komparatif negara tersebut. Hasil estimasi nilai RCA pada tahun 2009-2013 menunjukkan bahwa sebanyak 129 komoditi ekspor Indonesia yang bernilai lebih dari satu, artinya komoditi-komoditi tersebut memiliki daya saing yang baik dalam pasar dunia. Civan dan Serin (2008) menggunakan analisis RCA dengan menyimpulkan bahwa Turki mempunyai keunggulan komparatif yang tinggi untuk komoditi jus buah dan minyak zaitun di pasar Eropa. Demikian juga dengan Yunus et al. (2010) mengkaji perubahan pola perdagangan terkait spesialisasi ekspor Malaysia ke Singapura, dengan metode Revealed Comparative Advantage (RCA) menyimpulkan daya saing Malaysia bergeser dari industri berbasis agro menjadi industri untuk produk setengah jadi, terutama besi, baja dan seng. Daya saing yang baik ini merupakan nilai lebih Indonesia dalam memajukan perekonomiannya. Penetapan komoditi unggulan dengan menyeleksi komoditi yang mempunyai nilai RCA yang terbesar pada periode tahun 20012013 dengan data yang konsisten dalam selang waktu penelitian. Hasil analisis RCA menunjukkan bahwa komoditi ekspor Indonesia ke Chili hanya beberapa yang termasuk kelompok komoditi utama dan komoditi potensial ekspor versi pemerintah. Melihat lebih jauh profil komoditi pilihan ekspor Indonesia yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan nilai RCA secara terperinci pada Gambar 11. 35 US $ 350 Sports footwear 300 Surface-active prep 250 200 Video recording 150 Natural rubber 100 Black tea (fermented) 50 0 Pineapples nes 2009 2010 2011 2012 2013 Gambar 11 Kinerja ekspor enam komoditi terpilih Indonesia tahun 2009-2013 Sumber: diolah Trademap 2014 Komoditi unggulan ekspor Indonesia, seperti minyak sawit dan minyak kelapa/kopra masih berdaya saing lemah, dengan nilai ekspor yang rendah untuk pasar Chili. Disini dapat terlihat bahwa masih terdapat peluang yang cukup besar bagi Indonesia untuk meningkatkan lagi ekspor produk yang lebih berdaya saing tinggi. Pada Tabel 8 menunjukkan peta persaingan negara eksportir terbesar ke Chili terkait komoditi ekspor terpilih Indonesia. Tabel 8 Kontribusi enam eksportir terhadap total impor Chili terhadap enam komoditi ekspor terpilih Indonesia tahun 2013 Sumber : diolah dari data Trademap 2015 Kontribusi negara eksportir ke Chili dalam penelitian ini adalah tiga terbesar dunia dan tiga terbesar Asia Tenggara. Dapat dilihat bahwa dari enam komoditi ekspor terpilih, Indonesia menempati urutan pertama untuk tiga komoditi yaitu alas kaki olah raga, karet alam (TSNR), teh hitam. Sedangkan untuk komoditi nanas dikuasai oleh Thailand, sedangkan Amerika menempati urutan pertama untuk komoditi bahan aktif permukaan organik, disiapkan untuk penjualan eceran maupun tidak (selain sabun) dan China untuk komoditi video perekam atau pereproduksi. Sebelum tahun 2013 untuk komoditi batubara (Coal Briquettes) menjadi komoditi ekspor yang potensial Indonesia ke Chili dan menjadi komoditi unggulan impor Chili dengan volume ekspor yang tinggi, dimana pada tahun 2012 sebesar US $ 12. 467 ribu, namun pada tahun 2013 tidak ada aktifitas ekspor mineral Indonesia ke Chili. Hal ini terkait dengan regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai implementasi dari UU No 4 Tahun 2009 tentang 36 Mineral dan Batu Bara yang diturunkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Analisis Tingkat Integrasi Perdagangan Indonesia-Chili Tingkat integrasi diukur melalui pendekatan analisis Intra Industry Trade (IIT). IIT merupakan indikator dari integrasi yang terjadi dalam suatu sektor yang dianalisis. Nilai IIT berfungsi untuk mengukur besarnya perdagangan intraindustri yang terjadi di suatu negara atau wilayah. Selain itu, nilai perdagangan intra industri juga dapat digunakan untuk mengukur seberapa dalam integrasi yang terjadi antar negara atau sektor tertentu karena nilai tersebut merefleksikan adanya peningkatan dalam division of labor yang dikombinasikan dengan penurunan dalam biaya transaksi (Austria 2004). Grubel dan Lloyd (1975), menekankan bahwa negara-negara yang memiliki kesamaan batasan dan telah diturunkan atau dihilangkan hambatan perdagangan satu dengan yang lain, relatif akan memiliki tingkat perdagangan intra-industri yang tinggi. Selain itu, tingkat perdagangan intra-industri akan berkorelasi positif dengan intensitas perdagangan, karena volume perdagangan dengan mitra dagang meningkat, artinya banyak peluang produk diperdagangkan. Sejalan dengan penelitian Koçyiğit dan Sen (2008) mengkaji intra industri Turki dengan Uni Eropa, sebagai mitra dagang utama, dimana menyimpulkan secara signifikan perdagangan bergerak menuju intra industri, meskipun share IIT dalam total perdagangan Turki lebih rendah dengan UE dibandingkan dengan ke seluruh dunia, namun pertumbuhan IIT antara Turki dan Uni Eropa menunjukkan bahwa basis industri Turki secara dramatis berubah dari produk teknologi rendah menjadi industri teknologi tinggi, khususnya adanya perjanjian Bea Masuk tahun 2006. Grimwade (2000) menyatakan bahwa intra industry trade lebih tinggi pada sektor manufaktur karena produksi dilakukan dengan mempertimbangkan economies of scale. Suatu negara dapat melaksanakan ekspor suatu komoditi tertentu dan pada saat yang sama juga melakukan impor komoditi tersebut. Nilai IIT yang tinggi menunjukkan adanya keterkaitan perdagangan antara kedua negara yang bersifat dua arah (two way trade). Adanya nilai IIT yang rendah menunjukkan rendahnya keterkaitan perdagangan antara kedua negara tersebut sehingga perdagangan hanya bersifat searah atau hanya dilakukan oleh salah satu negara saja yang aktif melakukan kegiatan ekspor atau impor ke negara lain yang bersangkutan. Dalam penelitian ini, pengukuran nilai IIT dilakukan terhadap nilai nominal arus perdagangan bilateral antara Indonesia dan Chili. Hasil penghitungan nilai IIT akan digunakan sebagai indikator dari integrasi yang terjadi pada komoditas unggulan. Derajat atau tingkatan integrasi ditentukan berdasarkan klasifikasi rentang nilai IIT yang digunakan pada penelitian Austria (2004). Hasil analisis tingkat integrasi komoditi-komoditi unggulan ekspor impor Indonesia sebagian besar menunjukkan bahwa perdagangan intra industri antara Indonesia dengan Chili seluruh nilai IIT berada pada derajat integrasi satu arah (no integration). Hal ini terlihat dari hasil perhitungan nilai IIT yang tertera pada Tabel 9. 37 Tabel 9 Hasil RCA dan IIT komoditi unggulan Keterangan Espor Indonesia HS Komoditi '640319 Alas kaki dengan sol luar dari karet, plastik, kulit samak atau kulit komposisi dan bagian atas sepatu dari kulit samak '200820 Nanas '400122 Karet Alam - Technically specified natural rubber (TSNR) '090240 Teh hitam (difermentasi) dan teh difermentasi sebagian, dikemas langsung dalam kemasan tidak melebihi 3 kg '340220 Bahan aktif permukaan organik, disiapkan untuk penjualan eceran maupun tidak (selain sabun) '852190 Aparatus perekam atau pereproduksi video, digabung dengan video tuner maupun tidak Impor Indonesia '150420 Lemak dan minyak serta fraksinya, dari ikan, selain minyak hati ikan: '470311 Pulp kayu kimia, soda atau sulfat, selain dissolving grade Tidak dikelantang: '470321 Pulp kayu kimia, soda atau sulfat, selain dissolving grade Semi kelantang atau dikelantang: '080610 Anggur segar '230120 Tepung, tepung kasar dan pelet, dari daging atau sisanya, dari ikan atau krustasea, moluska atau invertebrata air lainnya, tidak layak untuk dikonsumsi manusia; '740311 Katoda tembaga dan tidak ditempa RCA IIT 240.38 0.00 50.49 0.00 37.88 0.00 9.42 0.00 8.83 0.00 7.09 0.00 127.17 0.00 93.57 0.00 51.24 0.00 41.96 0.00 37.81 0.00 35.40 0.00 Sumber : diolah dari data sekunder 2014 Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Aliran Perdagangan Bilateral Indonesia-Chili Model regresi data panel digunakan untuk menganalisis pengaruh variabel-variabel ekonomi dan non ekonomi lainnya terhadap aliran perdagangan komoditi ekspor impor terpilih Indonesia. Variabel independen yang digunakan dalam analisis aliran perdagangan ini adalah GDP riil negara tujuan ekspor (GDP), nilai tukar riil Indonesia terhadap negara tujuan ekspor (RER), Tarif bea masuk ke negara tujuan ekspor (Tarif), dan menggunakan dummy SPS dan Dummy TBT negara tujuan ekspor. Sedangkan variabel dependennya adalah volume ekspor komoditi terpilih Indonesia ke pasar Chili dan volume impor terpilih Indonesia dari Chili. 38 Hasil Estimasi Model Hasil estimasi koefisien-koefisien variabel persamaan yang menggunakan model ekspor dan impor tersebut dilakukan dengan program software Eviews 8 dan menggunakan metode Pooled Least Square (PLS) seperti yang telah diuraikan pada metode penelitian. Keputusan penggunaan metode panel data didasarkan pada keterbatasan sampel dalam penelitian ini, dimana nilai aliran perdagangan Indonesia ke Chili dalam jangka waktu tiga belas tahun. 1. Hasil Model Regresi Data Panel Nilai Ekspor Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan komoditi ekspor unggulan Indonesia ke Chili menggunakan data panel statis dengan data tahun 2001-2013 untuk enam komoditi terpilih. Aliran perdagangan untuk ekspor Indonesia mengacu pada permintaan Chili atas komoditi/produk Indonesia. Tabel 10 Estimasi parameter dan signifikansi (p-value) variabel penjelas yang diduga mempengaruhi ekspor Indonesia ke Chili 2001-2013 Variabel Koefisien Probabilitas GDP (GDP Perkapita Chili) 2.326366 0.0004*** RER (Nilai Tukar Riil) 0.094148 0.1234 TARIF (Tarif Chili) -1.088134 0.0215** DSPS (Dummy SPS) -1.920904 0.0000*** DTBT (Dummy TBT) 1.007474 0.0000*** AR(1) 0.631243 0.0000*** C (Konstanta) -7.060190 0.1787 R Squared 0.941869 Keterangan : Signifikansi pada taraf nyata ***1%, **5%, *10% Estimasi parameter dalam penelitian ini dengan menurunkan satu lag untuk mengatasi permasalahan heteroskedastisitas dalam model. Untuk model ekspor menunjukkan nilai koefisien determinasi R2 sebesar 0.9418 yang artinya sebesar 94.18 persen variabel dependen dapat dijelaskan oleh keragaman variabel independen yang digunakan dalam model, sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Berdasarkan hasil estimasi tersebut, dapat diketahui variabel independen yang berpengaruh signifikan terhadap ekspor Indonesia, yaitu GDP per kapita Chili, tarif Chili, dummy SPS Chili dan dummy TBT Chili. GDP per kapita Chili Hasil estimasi memperlihatkan bahwa variabel GDP per kapita Chili memberikan pengaruh yang signifikan terhadap ekspor Indonesia dengan selang kepercayaan 1% yang ditunjukkan oleh nilai koefisien 2.32 dengan tanda positif. Hal ini berarti bahwa peningkatan GDP per kapita Chili akan meningkatkan ekspor unggulan Indonesia sebesar 2.32 persen, ceteris paribus. Peningkatan GDP per kapita suatu negara akan secara otomatis meningkatkan daya beli masyarakat di negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi Chili yang terus naik dimana bisa dilihat dari GDP perkapita Chili terus meningkat, hal ini mengindikasikan bahwa daya beli masyarakat Chili yang semakin meningkat, sehingga menyebabkan ekspor Indonesia ke Chili akan semakin tinggi pula. Anamana dan Atta-Quaysonb (2009) menyatakan bahwa suatu negara cenderung untuk berdagang dengan 39 negara yang mempunyai GDP perkapita lebih besar. Kesimpulan yang sama dalam penelitian yang dilakukan Khan et al. (2013) dimana GDP perkapita negara Pakistan dan mitra dagangnya berpengaruh signifikan dan positif terhadap aliran perdagangan bilateral. Tarif Chili Hasil estimasi memperlihatkan bahwa variabel tarif memberikan pengaruh yang signifikan untuk model ekspor dengan ditunjukan oleh nilai koefisien sebesar -1.088 dengan probabilitas kurang 0.05. Hal ini berarti setiap peningkatan tarif impor sebesar satu persen maka akan menurunkan volume ekspor sebesar 1.088 persen. Terkait tarif Chili meskipun Chili telah menurunkan tingkat tarif rata-rata bea masuk sejak tahun 2003, namun tarif yang dikenakan masih sebesar enam persen. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kalirajaan dan Bhattacharya (2007) yang menjelaskan bahwa semakin tinggi tarif yang diterapkan oleh negara pengimpor membuat terjadinya penurunan pada ekspor ke negara tersebut. Dummy SPS Chili Hasil estimasi variabel dummy Sanitary and Phytosanitary Measure (SPS) memberikan pengaruh yang signifikan dengan tanda negatif, dengan koefisien sebesar -1.92 dimana probalilitasnya kurang dari 0.01 (selang kepercayaan 1%). Hal ini menginterpretasikan bahwa saat pemberlakuan hambatan perdagangan SPS Chili akan menyebabkan perbedaan ekspor Indonesia dengan selisih sebesar 1.92 dibandingkan tidak diterapkan hambatan SPS. Tanda negatif mengindikasikan bahwa volume ekspor Indonesia ke Chili akan berkurang dengan penerapan hambatan SPS tersebut, ceteris paribus,. Hambatan perdagangan SPS lebih kepada aspek kesehatan, untuk melindungi kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan dengan menerapkan ketentuan-ketentuan untuk mengelola resiko yang berhubungan dengan impor. Ketentuan tersebut biasanya dalam bentuk persyaratan karantina atau keamanan pangan yang dapat diklasifikasikan sebagai sanitasi (terkait dengan kehidupan atau kesehatan manusia atau hewan) atau fitosanitasi (terkait dengan kehidupan atau kesehatan tumbuhan). Chili adalah salah satu negara yang konsern terhadap kesehatan, baik hewan, manusia dan lingkungan. Sehingga semua komoditi yang dikonsumsi manusia dan hewan wajib dilakukan uji kesehatan oleh instansi kesehatan Chili (Health Service Officer) di pelabuhan masuk untuk diambil sampel dan uji. Oleh karena itu komoditi ekspor Indonesia terutama untuk konsumsi yakni nanas dan the hitam wajib memenuhi syarat kesehatan yang diterapkan oleh negara Chili sebelum dijual ke konsumen. Sedangkan komoditi impor untuk kosmetik, obat dan bio-kimia yakni Surface-active prep wajib melakukan registrasi di Institut Kesehatan Publik (Instituto de Salu Publica) dengan label dan persyaratan khusus. Semua importir harus mendapatkan ijin dari instansi terkait sebelum produk dipasarkan. Kesimpulan yang sama dengan penelitian Disdier et al. (2008), dimana hambatan perdagangan non-tariff (SPS) mengurangi tingkat ekspor negara berkembang ke negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Boza (2013) juga menyebutkan bahwa hambatan SPS akan menyebabkan kerugian negara eksportir karena akan meningkatkan biaya produksi, terutama untuk produk baru yang akan dipasarkan di negara tujuan. 40 Dummy TBT Chili Hasil estimasi parameter menunjukkan bahwa dummy Technical Barriers to Trade (TBT) berpengaruh signifikan terhadap ekspor komoditi terpilih Indonesia ke Chili yang ditunjukkan oleh nilai probabilitas kurang dari 0.001 (selang kepercayaan 1%), dengan koefisien 1.00 dengan tanda positif. Pemberlakuan hambatan TBT akan menyebabkan perbedaan impor Indonesia dengan selisih sebesar satu persen dibandingkan tidak ada hambatan perdagangan, tanda positif artinya pemberlakuan hambatan perdagangan TBT Chili akan meningkatkan ekspor Indonesia ke Chili, ceteris paribus. Argumen ini didukung oleh penelitian Boza (2013) bahwa hambatan perdagangan mempunyai dua sisi, selain merugikan namun disatu sisi memberikan benefit lebih baik karena kualitas dan mutu yang lebih baik. Bentuk hambatan TBT Chili antara lain mewajibkan semua produk menunjukkan surat Keterangan Asal (Country of Origin). Pelabelan juga harus dicantumkan dalam bahasa Spanyol terkait nama importir, kualitas, berat bersih, ukuran, kandungan, dan komposisi suatu komoditi. Begitu juga untuk komoditi ekspor unggulan Indonesia yang masuk ke pasar Chili harus memenuhi persyaratan ini. Variabel nilai tukar riil Indonesia (Rupiah) terhadap mata uang Chili (Peso), sejalan dengan penelitian yang dilakukan Tenreyro (2007) terkait nilai tukar, menyatakan bahwa bahwa nilai tukar tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap ekspor. 2. Hasil Model Regresi Data Panel Nilai Impor Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan komoditi impor Indonesia dari Chili menggunakan data panel statis dengan data tahun 2001-2013 untuk lima komoditi terpilih. Aliran perdagangan untuk impor Indonesia mengacu pada permintaan Indonesia atas komoditi/produk Chili. Pada model impor pendekatan Poolled Least Square (PLS). Seperti dalam model ekspor, estimasi parameter model impor juga menurunkan satu lag untuk mengatasi permasalahan heteroskedastisitas dalam model. Untuk model impor, menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.7679 yang artinya sebesar 76.79 persen variabel dependen dapat dijelaskan oleh keragaman variabel independen yang digunakan dalam model, sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Tabel 11 Estimasi parameter dan signifikansi (p-value) variabel penjelas yang diduga mempengaruhi impor Indonesia dari Chili 2001-2013 Variabel Koefisien Probabilitas GDP (GDP Perkapita Indonesia) -0.029481 0.8945 RER (Nilai Tukar Riil) 0.169904 0.0000*** TARIF (Tarif Indonesia) 0.097408 0.1590 DSPS (Dummy SPS) -1.978407 0.0003*** DTBT (Dummy TBT) -0.126067 0.3299 AR(1) 0.496928 0.0000*** C (Konstanta) 11.52120 0.0000 R Squared 0.767993 Keterangan: Signifikansi pada taraf nyata ***1%, **5%, *10% 41 Berdasarkan hasil estimasi tersebut, dapat diketahui variabel independen yang berpengaruh signifikan terhadap impor Indonesia, yaitu nilai tukar riil dan dummy SPS Indonesia. Nilai Tukar riil Berdasarkan hasil estimasi, nilai tukar riil Indonesia (Rupiah) terhadap mata uang Chili (Peso) berpengaruh signifikan terhadap impor Indonesia dari Chili ditunjukkan oleh nilai probabilitas kurang dari 0.01 (selang kepercayaan 1%). Koefisien nilai tukar riil sebesar 0.169 dengan tanda positif, dimana ketika apresiasi nilai tukar Rupiah sebesar satu persen, maka akan meningkatkan impor Indonesia dari Chili sebesar 0.169 persen, ceteris paribus. Nur M et.al (2007) dalam penelitiannya menyimpulkan menguatnya/apresiasi nilai tukar di negara pengimpor akan menyebabkan pelamahan/depresiasi negara pengekspor, sehingga harga barang impor akan lebih murah dan meningkatkan pembelian negara importir. Hal ini sesuai dengan penelitian Uzunos dan Akcay (2009) bahwa apresiasi nilai tukar Turkish lira-US dollar berpengaruh signifikan dan positif terhadap impor tepung di Turki dengan selang kepercayaan 0.01 persen. Dummy SPS Indonesia Hasil estimasi variabel dummy Sanitary and Phytosanitary Measure (SPS) berpengaruh signifikan dengan tanda negatif, dengan koefisien sebesar -1.97 dimana probalilitasnya kurang dari 0.05 (selang kepercayaan 5%). Hal ini menginterpretasikan bahwa pemberlakuan hambatan perdagangan SPS Indonesia memberikan perbedaan dengan selisih sebesar 1.97 dibandingkan tanpa pemberlakuan hambatan. Tanda negatif artinya dengan hambatan SPS akan menyebabkan berkurangnya impor Indonesia dari Chili, ceteris paribus. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Disdier et.al (2008). Indonesia menerapkan berbagai regulasi tekait dengan kesehatan baik manusia, hewan dan lingkungan. Salah satunya SNI 01-4852-1998: Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP), mengenai pengelolaan pangan terkait bahan, produk dan proses. Indonesia juga mempunyai regulasi terkait karantina dan batas maximum residu. Komoditi impor Indonesia dari Chili yakni minyak dan lemak ikan, bubur kertas, anggur, tepung ikan dan pelet ikan wajib memenuhi persyaratan uji kesehatan sebelum dijual di Indonesia. Hasil estimasi parameter model impor memperlihatkan bahwa variabel GDP per kapita Indonesia, Tarif Indonesia dan dummy Technical Barriers to Trade (TBT) tidak berpengaruh signifikan terhadap impor Indonesia dimana nilai probabilitas lebih besar dari 0.05 (selang kepercayaan 5%). Penelitian Hyachint et al. (2013) menyimpulkan GDP tidak mempengaruhi permintaan impor komoditi non-oil untuk Nigeria. Sedangkan untuk variabel Tarif Indonesia karena sebagian besar rata-rata tarif bea masuk Indonesia dibawah 10% bahkan nol persen, sama dengan penelitian Almeida et al. (2012) dimana tarif tidak mempengaruhi impor kopi dalam perdagangan internasional. Terkait hambatan non-tarif TBT wajib memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI), terutama sejak tahun 2010 yang mewajibkan semua komoditi impor terdaftar memenuhi ketentuan label dan informasi produk dengan Bahasa Indonesia. Persyaratan ini berlaku juga terhadap semua komoditi impor dari Chili. Berdasarkan hasil estimasi parameter, kedua model menunjukkan terdapat pengaruh dengan tahun sebelumnya, dimana ditunjukkan dengan AR (1) yang signifikan. 42 6 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Keragaan perdagangan bilateral Indonesia-Chili berdasarkan neraca perdagangan lima tahun terakhir menunjukkan defisit untuk Indonesia dengan trend sebesar -4.27%. Keragaan ekonomi menunjukkan potensi ekspor Indonesia dimana GDP perkapita Chili yang terus meningkat, hambatan tarif yang terus diturunkan meskipun hambatan non-tarif juga diterapkan di Chili. 2. Komoditi unggulan berdasarkan nilai ekspor dan impor tertinggi. Komoditi unggulan ekspor Indonesia ke Chili yaitu alas kaki olah raga, karet alam (TSNR), nanas, teh hitam, Surface-active prep dan video recording. Sedangkan komoditi unggulan impor Indonesia adalah katoda tembaga, bubur kertas, anggur segar, tepung dan pelet ikan, minyak dan lemak ikan. Meskipun mempunyai tingkat daya saing ekspor yang tinggi namun menunjukkan bahwa perdagangan intra industri kedua negara secara umum berada pada derajat integrasi satu arah (no integration). Hasil tersebut mengindikasikan bahwa hubungan perdagangan Indonesia dengan Chili lebih kearah perdagangan barang mentah. 3. Faktor yang signifikan mempengaruhi ekspor Indonesia ke Chili adalah GDP per kapita Chili dengan tanda positif, Tarif Chili dengan tanda negatif, dummy SPS Chili dengan tanda negatif dan dummy TBT Chili dengan tanda positif, sedangkan faktor yang signifikan mempengaruhi impor dari Chili adalah variabel nilai tukar riil bertanda positif dan dummy SPS Indonesia dengan tanda negatif. Saran 1. 2. 3. 4. Beberapa hal yang dapat disarankan berdasarkan uraian pada penelitian ini adalah: Dalam upaya negosiasi perjanjian peningkatan kerjasama bilateral IndonesiaChili, hambatan perdagangan non-tariff Sanitary and Phytosanitary Measure (SPS) berpengaruh terhadap perdagangan kedua negara. Oleh karena itu perlu adanya dukungan dan fasilitasi pemerintah kepada pelaku usaha dalam rangka memenuhi persyaratan terkait SPS sehingga komoditi yang diekspor sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh kedua negara. Perlu dilakukan fasilitasi perdagangan dikarenakan komoditi unggulan Indonesia memiliki daya saing tinggi namun nilai ekspor yang rendah dengan aktif melakukan promosi dan misi dagang. Terkait tingkat integrasi satu arah fasilitasi dapat berupa meningkatkan investasi. Pemerintah melakukan strategi pembentukan kerjasama perdagangan yang mengarah pada PTA (Preferential Trade Agreement) sebagai upaya penurunan/penghapusan tarif untuk komoditi unggulan terpilih Indonesia yang mempunyai daya saing di pasar Chili, karena Chili masih menerapkan tingkat tarif rata-rata enam persen. Impor Indonesia sensitive dengan nilai tukar artinya sangat berpengaruh pada perubahan harga, namun tingginya ketergantungan impor bahan baku Indonesia dari Chili yakni katoda tembaga sehingga perlu adanya 43 pengembangan industri dalam negeri dalam pengolahan tembaga agar mampu memenuhi kebutuhan industri dalam negeri. 5. Peneliti hanya berdasarkan nilai total ekspor dan impor Indonesia terhadap komoditi unggulan, sehingga diharapkan untuk penelitian selanjutnya untuk melihat lebih dalam faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan bilateral Indonesia-Chili menggunakan data per komoditi. DAFTAR PUSTAKA Agustina E. 2012. Evaluasi Perdagangan Bilateral Indonesia-China: Studi pada Enam Komoditi Ekspor-Impor Terpilih. Universitas Indonesia. Depok. Almeida F, Gomes M, da Silva O. 2012. Non-Tariff Measures in International Coffee Trade. http://ageconsearch.umn.edu/. [diakses Juni 2015]. Annaman K.A, Atta-Quayson A. 2009. Determinants Of Bilateral Trade Between Ghana And Other Members Of The Economic Community Of West African States. IIUM Journal of Economics and Management 17 (2): 231259. Atmo C. 2009. Analisis Hubungan Perdagangan Bilateral Indonesia-India. Universitas Indonesia. Depok. Austria M.S. 2004. The Patern of intra-ASEAN Trade in the Pririty Goods Sectors. Final Main report, 3/006e: 1-176. Baltagi, B.H. 2001. Econometric Analysis of Panel Data. (2nd Edition). West Sussex: John Wiley & Sons, LTD. Boza S. 2013. Assessing the Impact of Sanitary, Phytosanitary and Technical Requirements on Food and Agricultural Trade: What Does Current Research Tell Us?. SECO / WTI Academic Cooperation Project. Working Paper Series 2. Cheong J, Kwak D,Tang K. 2014. The Trade Effects of Tariffs and Non-Tariff Changes of Preferential Trade Agreements. School of Economics. University of Queensland. http://business.curtin.edu.au/. [diakses Juni 2014]. Disdier A.C, Fontagne L, Mimouni M. 2008. The Impact of Regulations on Agricultural Trade: Evidence from SPS and TBT Agreements. American Journal of Agricultural Economics 90(2):336-350. Gerber J. 2002. International Economics. United States of America : Pearson Education, Inc. Grimwade N. 2000. Intra Industry Trade and Specialization. Chapter 3 in International Trade New Pattern of Trade, Production and Investment. 2nd edition. TJ International Ltd. Great Britain. Grubel H dan Lloyd P. 1975. Intra Industry Trade: The Theory and Measurement of International Trade with Differentiated Products. London: Macmillan. Gujarati D. 2004. Basic Econometrics, 4th Edition. The McGraw-Hill Companies. Hady H. 2000. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional. Ghalia Indonesia. Jakarta. Haider J, Afzal M, Riaz F. 2011. Estimation of Import and Export Demand Functions Using Bilateral Trade data: The Case of Pakistan. BEH - 44 Business and Economic Horizons 6(3):40-53. ISSN: 1804-1205. www.academicpublishingplatforms.com/. [diakses Oktober 2014]. Hyacinth I, Alwell N, Marius I. 2013. Determinants of Nigeria‟s Non-Oil Import Demand. South-Eastern Europe Journal of Economics 1:79-100. [ITPC] Indonesian Trade Promotion Center Chile. http://itpcsantiago.cl/. [diakses Oktober 2014]. Jalil N. 2012. Identifikasi, Analisis Daya Saing, dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Aliran Perdagangan Komoditi Unggulan Ekspor Indonesia ke Uni Eropa. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kalirajaan K, Bhattacharya S. 2007. Free Trade Arrangement Between India and Japan: An Exploratory Analysis. ASARC Working Paper. Keet D. 1999. Globalization, the World Trade Organization and the Implications for Developing Countries. Law, Democracy, and Development Journal. Southern African Legal Information Institute. Kementerian Perdagangan. Statistik Perdagangan 2014. www.kemendag.go.id. [diakses Februari 2015]. _____________________ . Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional. [ diakses Agustus 2015]. Khan S, Haq I, Khan D. 2013. An Empirical Analysis of Pakistan‟s Bilateral Trade: A Gravity Model Approach. The Romanian Economic Journal 16 (48): 103-120. Kindleberger C and Lindert P. 1978. International Economics Six Edition. Richard D. Irwin, Inc. Homewood. Illinois. Koçyiğit A, Şen A. 2008. The Extent of Intra-Industry Trade between Turkey and the European Union: The Impact of Customs Union. Journal of Economic and Social Research 9(2): 61-84. Krugman O. 2000. International Economics Theory and Policy, Massachosetts : An imprint of Addison Wesley Longman, Inc. Kuncoro M. 1997. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah dan Kebijakan. Unit Penerbit dan Percetakan, Akademi Manajemen Perusahaan YKPN. Yogyakarta. Kwon O. 2001. Australia-Korea Economic Cooperation in the 21th Century: Challenges and Prospects. Brisbane: Australian Centre for Korean Studies. Griffith University. Natalia, D. 2008. Analysis of Bilateral Free Trade Agreement between IndonesiaIndia. Universitas Indonesia. Depok. Nugroho, A. 2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Ekspor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia ke China Menghadapi Era CAFTA (Studi Kasus pada Tekstil Yarn tahun 1989-2008). Universitas Diponegoro. Semarang. Nur M, Wijeweera, Dollery B. 2007. Estimation of the Export Demand Function Using Bilateral Trade data: The case of Bangladesh. South Asia Economic Journal. 249-264. Mankiw, G. 2006. Makroekonomi Edisi 6. Erlangga. Jakarta. Porter, M.E. 1990. "The Competitive Advantage of Nations". Free Press. New York. Salvatore D. 1997. International Economics. New Jersey: Prentice Hall-Gale. 45 Sarwoko. 2009. Perdagangan Bilateral Indonesia dengan Negara-Negara Patner Dagang Utama dengan Menggunakan Model Gravity. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Serin V, Civan A. 2008. Revealed Comparative Advantage and Competitiveness: A Case Study for Turkey towards the EU. Journal of Economic and Social Research 10(2): 25-41. Shafaeddin SM. 2005. Trade Liberalization and Economic Reform in Developing Countries : Structural Change or De-industrialization?. Discussion Paper No. 179. United Nations Conference on Trade and Development. Siwi, A. 2013. Bilateral Free Trade: Hubungan Perdagangan Indonesia-China dalam Kerangka ACFTA. Universitas Airlangga. Surabaya. Stephenson, S.M. 1994. The Uruguay Round and Its Benefit to Indonesia. Ministry of Trade Republic of Indonesia. Jakarta. Sobri. 2001. Ekonomi Internasional (Teori, Masalah & Kebijakannya). BPFE. Yogyakarta. Subhani M, Osman A, Khokhar R. 2010. Determinants and Barriers to Bilateral Trade: A Study On Developing Economies. MPRA Paper No. 26179. http://mpra.ub.uni-muenchen.de/26179/. [diakses Oktober 2014]. Tambunan T. 2001. Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran: Teori dan Temuan Empiris. Pustaka LP3ES. Tenreyro S. 2007. On the Trade Impact of Exchange Rate Volatility. Journal of Development Economics 82 (2): 485-508. Todaro M.P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, edisi tujuh. Airlangga. Jakarta. TradeMap. 2014. Trade Statistics for International Business Development. http:/trademap.org/. [diakses Juni 2015]. Uzunos M, Akcay Y. 2013. Factors Affecting the Import Demand of Wheat in Turkey. Bulgarian Journal of Agricultural Science 15 (1): 60-6. Agricultural Academy. [WDI] World Development Indicator. http:/data.worldbank.org/. [diakses Mei 2015]. Wehner, L. 2007. The Free Trade Agreement Negotiations between Japan and Chile: Causes for Reaching a Rapid Agreement. Journal of Current Japanese Affairs : 5-36. Japan Aktuell. [WTO] World Trade Organization. http:/i.tip.wto.org/. [diakses Mei 2015]. Yücel M, Çıplak U, Aydın M. 2004. Export Supply and Import Demand Models for the Turkish Economy. Research Department Working Paper No. 04/09. The Central Bank of the Republic of Turkey. Ankara. Turki. Yuniarti, D. 2007. Analisis Determinan Perdagangan Bilateral Indonesia: Pendekatan Gravity Model. Jurnal Ekonomi Pembangunan: Kajian Ekonomi Negara Berkembang 12 (2): 99-109. Yunus M.M, Mohamed Z, Mahyideen J.M, Saidon R. 2010. Revealed Comparative Advantage of Malaysian manufacturing: Malaysia and Singapore. Prosiding Perkem V (1): 278 – 288 ISSN: 2231-962X. Negeri Sembilan, 15-17 Oktober 2010. http://atlas.media.mit.edu [diakses Juni 2015]. http://www.sice.oas.org/ [diakses Agustus 2015]. http://prokum.esdm.go.id/ [diakses Agustus 2015]. 46 47 Lampiran 1 Uji Multikolinieritas Model Ekspor Variables GDP perkapita Chili GDP perkapita Chili (US $) Real Exchange Rate 1 Real Exchange Rate -0,1008 -0,1008 1 Tarif Chili Tarif Chili Dummy SPS Chili Dummy TBT Chili -0,5357 0,0000 0,3971 -0,0727 0,0000 -0,0665 -0,5357 -0,0727 1 0,0000 -0,2460 Dummy SPS Chili 0,0000 0,0000 0,0000 1 0,3835 Dummy TBT Chili 0,3971 -0,0665 -0,2460 0,3835 1 Model Impor Variables Tarif Indonesia 1 Real Exchange Rate -0,1969 0,0879 0,0000 0,7831 -0,1969 1 0,0127 0,0000 -0,2127 Tarif Indonesia 0,0879 0,0127 1 -0,2760 -0,0725 Dummy SPS Ind 0,0000 0,0000 -0,2760 1 0,2626 Dummy TBT Ind 0,7831 -0,2127 -0,0725 0,2626 1 GDP Per Kapita Ind (US $) Real Exchange Rate GDP Perkapita Ind Dummy SPS Ind Dummy TBT Ind 48 Lampiran 2 Uji Heteroskedastisitas (Uji White) Model Ekspor Dependent Variable: RESID^2 Method: Panel Least Squares Date: 05/22/15 Time: 23:26 Sample (adjusted): 2002 2013 Periods included: 12 Cross-sections included: 6 Total panel (balanced) observations: 72 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C LOG(GDP) LOG(RATE) TARIF SPS TBT 34.70666 -2.257800 0.316546 -2.284657 0.211967 1.798449 21.04264 1.446928 0.567544 1.893821 0.944993 1.656320 1.649349 -1.560409 0.557748 -1.206375 0.224306 1.085810 0.1038 0.1234 0.5789 0.2320 0.8232 0.2815 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) 0.063505 -0.007442 3.692648 899.9530 -193.0879 0.895104 0.489664 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat 1.067822 3.678984 5.530220 5.719942 5.605749 1.806247 Model Impor Dependent Variable: RESID^2 Method: Panel Least Squares Date: 05/26/15 Time: 13:00 Sample (adjusted): 2002 2013 Periods included: 12 Cross-sections included: 6 Total panel (balanced) observations: 72 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C LOG(GDP) LOG(RATE) TARIF SPS TBT -3.972812 0.859346 0.067801 0.087326 -1.508317 -0.850203 4.491854 0.607850 0.245099 0.077218 0.550764 0.648130 -0.884448 1.413747 0.276626 1.130906 -2.738590 -1.311778 0.3797 0.1621 0.7829 0.2622 0.0079 0.1941 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) 0.237953 0.180222 1.534839 155.4783 -129.8778 4.121759 0.002560 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat 1.073772 1.695176 3.774384 3.964106 3.849913 2.103938 49 Lampiran 3 Uji Autokorelasi Model Ekspor Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) 0.941869 0.936504 1.052470 72.00000 -61.86681 175.5288 0.000000 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat 15.03506 10.77984 1.912967 2.134309 2.001084 2.081962 Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid 0.588581 83.99758 Inverted AR Roots .63 Mean dependent var Durbin-Watson stat 7.386219 2.081003 Model Impor Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) 0.767993 0.746577 1.052470 72.00000 -65.43512 35.86063 0.000000 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat 31.76627 24.78997 2.012087 2.233429 2.100204 2.175327 Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid 0.365659 93.89484 Inverted AR Roots .50 Mean dependent var Durbin-Watson stat 8.560139 1.268118 50 Lampiran 4 Hasil Estimasi Model Ekspor Dependent Variable: LOG(EKSPOR) Method: Panel EGLS (Cross-section SUR) Date: 07/06/15 Time: 09:15 Sample (adjusted): 2002 2013 Periods included: 12 Cross-sections included: 6 Total panel (balanced) observations: 72 Simultaneous weighting matrix & coefficient iteration Convergence achieved after 33 iterations Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LOG(GDP) LOG(RATE) TARIF SPS TBT C AR(1) 2.326366 0.094148 -1.088134 -1.920904 1.007474 -7.060190 0.631243 0.619144 0.060309 0.461818 0.223134 0.141875 5.193425 0.051868 3.757393 1.561108 -2.356196 -8.608745 7.101128 -1.359448 12.17007 0.0004 0.1234 0.0215 0.0000 0.0000 0.1787 0.0000 Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) 0.941869 0.936504 1.052470 72.00000 -61.86681 175.5288 0.000000 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat 15.03506 10.77984 1.912967 2.134309 2.001084 2.081962 Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid 0.588581 83.99758 Inverted AR Roots .63 Mean dependent var Durbin-Watson stat 7.386219 2.081003 51 Lampiran 5 Hasil Estimasi Model Impor Dependent Variable: LOG(IMPOR) Method: Panel EGLS (Cross-section SUR) Date: 07/06/15 Time: 09:20 Sample (adjusted): 2002 2013 Periods included: 12 Cross-sections included: 6 Total panel (balanced) observations: 72 Simultaneous weighting matrix & coefficient iteration Convergence achieved after 20 iterations Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LOG(GDP) LOG(RATE) TARIF SPS TBT C AR(1) -0.029481 0.169904 0.097408 -1.978407 -0.126067 11.52120 0.496928 0.221525 0.029099 0.068361 0.516201 0.128420 1.767784 0.059701 -0.133084 5.838854 1.424899 -3.832627 -0.981674 6.517316 8.323551 0.8945 0.0000 0.1590 0.0003 0.3299 0.0000 0.0000 Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) 0.767993 0.746577 1.052470 72.00000 -65.43512 35.86063 0.000000 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat 31.76627 24.78997 2.012087 2.233429 2.100204 2.175327 Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid 0.365659 93.89484 Inverted AR Roots .50 Mean dependent var Durbin-Watson stat 8.560139 1.268118 52 Lampiran 6 Daftar Tarif Rata-Rata Indonesia (dalam persen) HS/Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 '150420 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 '470311 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 '470321 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 '080610 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 '230120 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 '740311 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Lampiran 7 Daftar Tarif Rata-Rata Chili (dalam persen) HS/Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 '640319 8 7 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 '200820 8 7 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 '400122 8 7 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 '090240 8 7 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 '340220 8 7 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 '852190 8 7 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 53 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Blitar pada tanggal 26 April 1982 sebagai anak dari pasangan H. Teguh Achmadi dan Hj. Suparti. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Manajemen, Fakultas Ilmu Sosial dan Manajemen, Universitas Negeri Yogyakarta dan lulus pada tahun 2005. Kesempatan melanjutkan studi program master pada Program Studi Ilmu Ekonomi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh melalui Beasiswa Kementerian Perdagangan dalam program kerja sama antara kementerian Perdagangan Republik Indonesia dan IPB pada tahun 2013. Pada tahun 2009 sampai sekarang penulis bekerja sebagai staf di Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan. Penulis menikah dengan Romi Bagus Setia, saat ini dikarunia dua putri yaitu Raisha Kirana Setia dan Adinda Tsurayya.