Templat tesis dan disertasi

advertisement
PERFORMA PERDAGANGAN BILATERAL INDONESIA-PER
ANALISIS KERAGAAN DAN FAKTOR – FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI PERDAGANGAN BILATERAL
INDONESIA-CHILI
HI ALIRAN PERDAGANGAN
SAWITRI NURKHOTIMAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
RJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Keragaan dan
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perdagangan Bilateral Indonesia-Chili adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Sawitri Nurkhotimah
NRP H151137274
 Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
RINGKASAN
SAWITRI NURKHOTIMAH. Analisis Keragaan dan Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Perdagangan Bilateral Indonesia-Chili. Dibimbing oleh
LUKYTAWATY ANGGRAENI dan YETI LIS PURNAMADEWI.
Secara konseptual perdagangan internasional terjadi karena adanya skala
ekonomi dan spesialisasi. Sebagai upaya meningkatkan kinerja ekspor dan
perluasan akses pasar ke negara-negara non tradisional, saat ini pemerintah
Indonesia tengah mengkaji untuk meningkatkan level kerjasama perdagangan
bilateral dengan negara Chili. Kecenderungan untuk mengadakan perdagangan
bebas oleh negara-negara di dunia di berbagai kawasan untuk membuka peluang
dan mengatasi hambatan perdagangan. Kerjasama dan perdagangan IndonesiaChili diharapkan dapat membuka potensi yang jauh lebih besar dalam
perdagangan kedua negara. Chili sebagai pintu gerbang perdagangan untuk
kawasan Amerika Selatan dengan zona perdagangan bebas ZOFRI (Zona
Iquaque) sehingga bisa melakukan re-ekspor di kawasan tersebut.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis keragaan perdagangan
bilateral Indonesia-Chili, mengidentifikasi komoditi unggulan ekspor IndonesiaChili yang mempunyai daya saing dan derajat integrasinya, serta menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan bilateral Indonesia-Chili.
Keragaan perdagangan dianalisis secara deskriptif, dimana pertumbuhan ekspor
Indonesia ke Chili lebih rendah dibandingkan pertumbuhan impor dari Chili,
dengan komoditi yang diperdagangkan adalah non migas. Kedua negara menganut
strategi outward looking, dimana kedua negara mengandalkan sektor perdagangan
luar negeri sebagai salah satu motor penggerak pembangunan negara. Hasil
estimasi nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Intra-Industry Trade
(IIT) kedua negara menunjukkan komoditi unggulan ekspor dan impor Indonesia
berdaya saing tinggi namun secara keseluruhan berada pada derajat integrasi satu
arah (no integration).
Berdasarkan nilai RCA dan indeks IIT maka komoditi unggulan terpilih
untuk komoditi ekspor Indonesia ke Chili yaitu Nanas, Karet alam (TSNR), Teh
hitam, Alas kaki olah raga, Surface-active prep, Video recording. Sedangkan
komoditi unggulan terpilih untuk impor Indonesia adalah Minyak dan lemak ikan,
anggur, katoda tembaga, bubur kertas,, dan tepung dan pellet ikan.
Pada model ekspor Indonesia ke Chili, terdapat empat variabel bebas yang
berpengaruh signifikansi terhadap ekspor Indonesia ke Chili sesuai dengan tanda
yang diharapkan, yaitu GDP per kapita Chili dengan tanda positif, tarif Chili
dengan tanda negatif, tanda negatif untuk dummy Sanitary and Phytosanitary
Measure (SPS) Chili dan tanda positif untuk dummy Technical Barriers to Trade
(TBT) Chili. Pada model impor terdapat dua variabel bebas yang signifikan
mempengaruhi impor Indonesia dari Chili yaitu nilai tukar rill dengan tanda
positif dan tanda negatif untuk dummy Sanitary and Phytosanitary Measure (SPS)
Indonesia. Kedua model berpengaruh dengan kegiatan perdagangan tahun
sebelumnya.
Berdasarkan hasil tersebut maka perlu adanya dukungan dan fasilitasi
pemerintah kepada pelaku usaha dalam rangka memenuhi persyaratan terkait
kebijakan SPS sehingga komoditi yang diekspor sesuai dengan standar yang
ditetapkan oleh kedua negara. Pentingnya fasilitasi dalam kegiatan promosi dan
pameran dagang karena komoditi unggulan Indonesia memiliki daya saing tinggi
namun nilai ekspornya rendah, sedangkan tingkat integrasi satu arah dapat
ditingkatkan dengan meningkatkan investasi. Selain itu, pemerintah diharapkan
lebih fokus kepada pembentukan kerjasama yang mengarah pada PTA
(Preferential Trade Agreement) sebagai upaya penurunan/penghapusan tarif untuk
komoditi unggulan terpilih Indonesia yang berdaya saing di pasar Chili, karena
Chili masih menerapkan tingkat tarif rata-rata enam persen. Hasil penelitian ini
menjadi penting untuk pemerintah dalam menetapkan kebijakan dalam rangka
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kerjasama perdagangan.
Kata kunci: RCA, IIT, Panel Data, Perdagangan Bilateral Indonesia-Chili
SUMMARY
SAWITRI NURKHOTIMAH. The Performance Analysis and the Factors
Affecting the Bilateral Trade Indonesia-Chile. Supervise by LUKYTAWATY
ANGGRAENI and YETI LIS PURNAMADEWI.
Conceptually, international trade occurs because economies of scale and
specialization. To improve the performance of exports and expansion of market
access to non-traditional countries, the Indonesian government is currently
reviewing to increase the level of bilateral trade cooperation with Chile. The
tendency to hold free trade by the countries in the world is to seize opportunities
and overcome trade barriers. The cooperation between Indonesia and Chile is
expected to unlock the potential that is greater in the trade for both countries.
Chile is country as a trade gateway to South America with a free trade zone
ZOFRI (Zone Iquaque) so that it can carry out the re-export to the region.
The purpose of this study was to analyze the performance of bilateral trade
between Indonesia and Chile, identifying commodities exports for Chile and
Indonesia that has competitiveness and the degree of integration, as well as to
analyze the factors that affect the flow of bilateral trade between Indonesia and
Chile. Performance of trades analyzed descriptively, where the growth of
Indonesia's exports to Chile is lower than the growth of imports from Chile, with
the commodities being traded is a non-oil. Both countries have principles outward
looking, its mean trading with the other country is plays an important role in
economic growth for this countries. The results of Revealed Comparative
Advantage (RCA) and Intra-Industry Trade (IIT) showed that export and import
potential commodities has a highly competitive but no integration.
Based on the result of RCA and IIT index, potential commodities for
export Indonesia to Chile are Pineapples, Natural Rubber, Black tea, Sports
footwear, Surface-active prep, Video recording. On the other side potential
commodities for import Indonesia from Chile are Fish fats & oils, Grapes,
Copper, Wood pulp unbleached, Wood pulp bleached,, and Flour of fish.
In the model of Indonesia's exports to Chile, there are four independent
variables that affect the significance of the Indonesian exports to Chile that equal
to the expected sign, the GDP per capita Chile with positif sign, Chilean rates with
negative sign, negative sign for dummy Sanitary and Phytosanitary Measures
(SPS) Chile and positive sign for dummy Technical Barriers to Trade (TBT)
Chile. On the import model, there are two independent variables that significantly
affect Indonesia's imports from Chile that the real exchange rate with positive sign
and negative sign for dummy Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS)
Indonesia. Both models are influential with the previous year's trade activities.
Based on these results, government support and facilitation is needeed for
stakeholder of businesses in order to meet the requirements related to SPS that
commodities are exported in accordance with the standards set by the two
countries. Necessary also in the form of trade facilitation and promotion of trade
fairs due to commodity Indonesia have high competitiveness, but the value of
exports is low. Related to the degree of integration may be one way to increase
investment facilitation. In addition, the government is expected to be more
focused on the establishment of cooperation that led to the PTA (Preferential
Trade Agreement) as an effort to decrease/elimination of tariffs for commodities
that has elected Indonesia's competitiveness in the Chilean market, as Chile still
apply an average tariff rate of six percent. These results are important to take a
trade policy formulation in order to enhance its economic growth and trade
cooperation.
Keywords: Revealed Comparative Advantage, Intra-Industry Trade, Panel Data,
Bilateral Trade
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS KERAGAAN DAN FAKTOR – FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI PERDAGANGAN BILATERAL
INDONESIA-CHILI
MAKSIMUM TIGA BARIS,
LIMA BELAS KATA TIDAK TERMASUK KATA
DEPAN DAN KATA SAMBUNG
NAMA SAWITRI NURKHOTIMAH PENULIS
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015 SCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Muhammad Firdaus, SP, MSi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian adalah perdagangan bilateral dalam kerangka
perdagangan internasional, dengan judul Analisis Keragaan dan Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Perdagangan Bilateral Indonesia-Chili.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, M.Si
dan Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr selaku pembimbing yang telah
banyak memberi saran demi penyempurnaan tesis ini dari awal sampai selesai.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Ketua
Program Studi Ilmu Ekonomi beserta pengelola Program Magister pada Program
Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB dan semua dosen yang
telah mengajar penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia yang telah memberikan
kesempatan pada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada
Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana IPB. Karya ini penulis
persembahkan untuk keluarga kecil tercinta, suami Romi Bagus Setia, ananda
Raisha Kirana Setia dan Adinda Tsurayya. Terima kasih tanpa batas atas segenap
keridhoan, do‟a, dukungan, kasih sayang dan pengertiannya selama ini. Kepada
orang tua dan keluarga atas do‟a tulus serta dukungannya. Tidak lupa rekan-rekan
kuliah kelas Kementerian Perdagangan S2 IPB Batch 1 dan 2 yang telah
membantu dan memberikan semangat hingga selesainya tesis ini. Semoga karya
ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, September 2015
Sawitri Nurkhotimah
I
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
viii
xi
xii
xii
xii
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
6
7
7
8
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Tinjauan Empiris
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
8
8
19
21
22
3 METODE
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis Data
Spesifikasi Model
Definisi Operasional
4 KERAGAAN PERDAGANGAN BILATERAL INDONESIA-CHILI
Gambaran Umum Perekonomian Indonesia dan Chili
Gambaran Umum Keragaan Perdagangan Indonesia-Chili ke Dunia
Gambaran Umum Keragaan Perdagangan Bilateral Indonesia-Chili
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Daya Saing Komoditi Unggulan Indonesia-Chili
Analisis Tingkat Integrasi Perdagangan Indonesia-Chili
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aliran Perdagangan
Bilateral Indonesia-Chili
6 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
23
23
23
25
26
27
27
29
31
34
34
36
37
42
42
42
DAFTAR PUSTAKA
43
LAMPIRAN
47
RIWAYAT HIDUP
53
iv
DAFTAR TABEL
1
Pangsa pasar ekspor Indonesia dalam perdagangan
Internasional tahun 2009-2013
2 Kontribusi negara-negara kawasan Amerika Selatan terhadap
total ekspor Indonesia tahun 2009-2013 (%)
3 Perbandingan makroekonomi Indonesia-Chili tahun 2013
4 Jenis dan sumber data
5 Klasifikasi dari nilai IIT
6 Performa perdagangan bilateral Indonesia-Chili tahun
2001-2013
7 Sepuluh komoditi terbesar ekspor dan impor Indonesia
tahun 2013 dan share terhadap total ekspor impor tahun 2013
8 Kontribusi enam eksportir terhadap total impor Chili terhadap
enam komoditi ekspor terpilih Indonesia tahun 2013
9 Hasil RCA dan IIT komoditi unggulan
10 Estimasi parameter dan signifikansi (p-value) variabel penjelas
yang diduga mempengaruhi ekspor Indonesia ke Chili
2001-2013
11 Estimasi parameter dan signifikansi (p-value) variabel penjelas
yang diduga mempengaruhi impor Indonesia dari Chili
2001-2013
1
3
4
23
24
32
33
35
37
38
40
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Negara tujuan ekspor non-migas Indonesia tahun 2014
Kurva perdagangan internasional
Ekspansi moneter dalam sistem nilai tukar mengambang
Dampak pemberlakuan tarif
Kerangka pemikiran penelitian
Perbandingan GDP perkapita Indonesia dan Chili
Nilai tukar dan inflasi Chili
Nilai tukar dan inflasi Indonesia
Pertumbuhan ekspor impor Indonesia ke dunia
tahun 2001-2013
10 Pertumbuhan ekspor impor Chili ke dunia tahun 2001-2013
11 Kinerja ekspor enam komoditi terpilih Indonesia
tahun 2009-2013
2
11
16
18
22
27
28
28
30
30
35
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
Uji asumsi
Hasil estimasi model ekspor
Hasil estimasi model impor
Daftar tarif rata-rata Indonesia dan Chili
47
50
51
52
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan perdagangan internasional mengarah pada bentuk
perdagangan yang lebih bebas yang disertai dengan berbagai bentuk kerjasama
bilateral, regional dan multilateral. Perdagangan bebas (liberalisasi) yang terus
diupayakan oleh berbagai negara didasari oleh argumen bahwa perdagangan yang
lebih bebas akan memberikan manfaat bagi negara-negara yang terlibat
perdagangan dan serta meningkatkan kesejahteraan yang lebih besar dibandingkan
tidak ada perdagangan. Selain meningkatkan distribusi kesejahteraan antar negara,
perdagangan bebas juga akan meningkatkan kuantitas perdagangan dunia dan
meningkatkan efisiensi ekonomi (Hadi 2000). Salah satu tujuan utama perjanjian
perdagangan internasional adalah berupaya mengurangi atau menghilangkan
hambatan perdagangan.
Kegiatan perdagangan internasional suatu negara adalah dengan
meningkatkan ekspor serta mengendalikan impor dalam rangka meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Selama ini tingkat konsumsi sebagai penyumbang utama
struktur pendapatan nasional Indonesia, diharapkan dengan perdagangan
internasional mampu meningkatkan pendapatan nasional Indonesia dari sisi net
ekspor, hal ini berdasarkan prinsip looking forward yang dianut, yakni
mengandalkan perdagangan luar negeri sebagai motor penggerak perekonomian.
Peningkatan volume ekspor akan berpengaruh terhadap penerimaan devisa dan
pengembangan teknologi suatu negara sehingga akan menarik investasi baik dari
luar maupun dalam negeri. Pengendalian impor secara umum bertujuan untuk
melindungi pasar dan produksi dalam negeri agar mampu bersaing dalam pasar
internasional. Ekspor dan impor sangat penting untuk membentuk dan
mengendalikan neraca perdagangan (Balance of Payment) di suatu negara. Impor
harus dibiayai dengan nilai yang sama dari ekspor untuk mempertahankan
keseimbangan neraca perdagangan. Kunci keberhasilan suatu perjanjian
perdagangan bilateral tergantung pada skala ekonomi, sistem ekonomi, kebijakan
dan komitmen perdagangan masing-masing negara, bebas hambatan yang
diberlakukan masing-masing negara, serta komplementaritas dan persaingan
ekonomi kedua negara (Kwon 2001).
Tabel 1 Pangsa pasar ekspor Indonesia dalam perdagangan internasional tahun
2009-2013
Tahun
Ekspor Indonesia
(US $ Milyar)
Ekspor Dunia
(US $ Milyar)
Pangsa Pasar
Indonesia (%)
2009
2010
2011
2012
2013
Trend (%)
116,509.99
157,779.10
203,496.62
190,031.84
182,551.75
11.45
12,310,033.19
15,050,924.29
18,055,465.16
18,003,055.01
17,974,395.14
9.81
0.95
1.05
1.13
1.06
1.02
1.53
Sumber: diolah dari Trademap 2014
2
Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa dalam periode tahun 2009-2013
peluang Indonesia dalam pasar dunia terbuka cukup besar dengan trend eskpor
Indonesia ke dunia sebesar 11.45% dan semakin meningkatnya permintaan dunia
dengan trend sebesar 9.81%. Berdasarkan data perdagangan internasional tersebut
dapat dilihat bahwa trend pangsa pasar Indonesia sebesar 1.53%. Kondisi ini
berdasarkan perbandingan besarnya total ekspor Indonesia dengan total ekspor
dunia. Perdagangan internasional memberikan implikasi yang positif terhadap
pertumbuhan ekonomi dunia.
Selama ini realisasi perdagangan bilateral Indonesia sangat didominasi
oleh lima mitra dagang utama (Gambar 1). Dalam rangka meningkatkan produk
ekspor non migas yang akan memacu kinerja perdagangan, Indonesia tengah
berusaha meningkatkan penetrasi pasar baru dan diversifikasi pasar nontradisional, salah satunya dengan upaya kerjasama perdagangan menuju
perdagangan bebas dengan Chili. Hal ini juga berdasarkan rekomendasi hasil
Studi Kelayakan Perjanjian Perdagangan Bebas dalam Joint Study Group (JSG)
pada tahun 2002 dan selesai pada pertemuan ketiga di Bali tahun 2009
(http://www.sice.oas.org/). Senada dengan pernyataan Menteri Perdagangan
dalam misi dagang Indonesia ke Amerika Latin yang menargetkan pertumbuhan
ekspor ke pasar nontradisional mencapai hingga 25%. Dirjen Kerjasama
Perdagangan Internasional (KPI) Kementerian Perdagangan, menyatakan bahwa
perjanjian kerjasama ini adalah upaya untuk meningkatkan pangsa pasar barang
dan jasa serta investasi Indonesia di Amerika Tengah dan Selatan
http://ditjenkpi.kemendag.go.id/).
Gambar 1 Negara tujuan ekspor non-migas Indonesia tahun 2014
Sumber: Kementerian Perdagangan
Chili adalah negara yang termasuk dalam kawasan Amerika Selatan,
dimana merupakan salah satu kawasan yang cukup dinamis dengan pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi selama beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2011
pertumbuhan ekonomi Amerika Selatan mencapai 4.34%, hal ini terutama
didorong oleh pertumbuhan ekonomi Panama, Peru, Chili, Kolombia dan Bolivia
yang terus mengalami pertumbuhan ekonomi antara lima sampai sepuluh persen.
Pada tahun 2012 Chili menempati urutan ketiga dalam pertumbuhan ekonomi di
kawasan Amerika Selatan yakni mencapai 5,5%, setelah Panama (9,5%) dan Peru
(7%).
3
Potensi kerjasama di bidang ekonomi di kawasan Amerika Selatan cukup
besar namun belum termanfaatkan dengan baik oleh Indonesia. Kondisi ini
dikarenakan belum ada satupun kerjasama bilateral Indonesia dengan negaranegara di kawasan Amerika Selatan. Chili adalah negara pertama yang melakukan
inisiasi perdagangan dengan Indonesia, kemudian disusul Peru yang baru saja
menyelesaikan studi kelayakan kerjasama pada tahun 2014 yang dimulai sejak
tahun 2006. Volume ekspor Indonesia ke negara-negara Amerika Selatan untuk
periode tahun 2013 mencapai US $ 2.53 milyar atau 1,38% dari total ekspor
Indonesia. Sedangkan total ekspor Indonesia ke dunia pada tahun 2013 mencapai
US$. 182.551.754 ribu. Pada Tabel 2 menunjukkan kontribusi ekspor Indonesia
ke kawasan Amerika Selatan terhadap total ekspor selama tahun 2009-2013. Pada
tahun 2013 2 kontribusi negara-negara kawasan Amerika Selatan terhadap total
ekspor Indonesia tahun 2013 sebesar 1.39% kondisi lebih baik dibandingkan pada
tahun 2012 yang hanya 1.34%. Berdasarkan data kontribusi tersebut diperkirakan
pada tahun 2015 Chili menempati urutan keempat terbesar terhadap total ekspor
Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa Chili mempunyai peluang yang cukup
besar sebagai negara tujuan ekspor dalam rangka diversifikasi pasar Indonesia
dimana pada tahun 2013 nilai total ekspor Indonesia ke Chili sebesar US$
170.767 ribu.
Tabel 2 Kontribusi negara-negara kawasan Amerika Selatan terhadap total ekspor
Indonesia tahun 2009-2013 (%)
2009
2010
2011
2012
2013
Forecast
2015
Brazil
0.7625
0.9686
0.8525
0.7821
0.8296
0.8181
Argentina
0.1365
0.1782
0.1742
0.1645
0.1836
0.1996
Colombia
0.0726
0.0751
0.0685
0.0898
0.0723
0.0813
Chili
0.1431
0.1221
0.1051
0.0923
0.0935
0.0596
Ecuador
0.0323
0.0429
0.0443
0.0426
0.0446
0.0511
Venezuela
0.0329
0.041
0.0625
0.0505
0.0339
0.0488
Peru
0.1836
0.0597
0.0796
0.0841
0.0978
0.0421
Uruguay
0.0107
0.0193
0.0219
0.0201
0.0162
0.0224
Paraguay
0.0118
0.0157
0.0096
0.0096
0.0096
0.0071
Bolivia
0.0031
0.0023
0.0028
0.0039
0.0025
0.0031
Suriname
0.0041
0.003
0.0023
0.0037
0.0032
0.0028
Guyana
0.0009
0.0006
0.0008
0.0015
0.0013
0.0017
Amerika Selatan
1.3941
1.5285
Sumber : diolah dari Trademap 2014
1.4241
1.3447
1.3881
1.3375
Negara
Hubungan diplomatik Indonesia-Chili berlangsung sejak lama dan untuk
memperkuat hubungan yang sudah ada maka kedua kepala negara sepakat
melakukan studi kelayakan kerjasama perdagangan mengingat pentingnya posisi
kedua negara di Asia Tenggara dan wilayah Amerika Latin dengan Joint Study
Group Free Trade Agreement (JSG) Indonesia dan Chili dimulai pada tahun 2002
yang berakhir pada tahun 2009, lebih awal dari yang direncanakan selesai pada
tahun 2010. Pada tahun 2013 dalam konferensi APEC, kedua negara melakukan
perundingan dalam Indonesia-Chili Comprehensive Economic Partnership (ICCEPA) dengan pengesahan Term of Reference (TOR) IC-CEPA untuk
4
perdagangan barang, yang nantinya disusul bidang jasa dan investasi. Hal ini
sebagai tindak lanjut kesepakatan kedua kepala negara dalam KTT APEC 2012.
Pada bulan Mei 2014 tercapai langkah maju dengan negosiasi pertama dalam
perundingan ke-1 Trade in Goods (TIGs) di Santiago, guna membahas
Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif atau Comprehensive Economic
Partnership Agreement (CEPA) dalam upaya mencapai kesepakatan kerja sama di
bidang perdagangan dan investasi. Perundingan petama ini sebagai peletakan
landasan untuk perundingan substantive (request and offer). Semangat
menemukan peluang untuk meningkatkan perdagangan kedua negara yang
mendasari upaya kerja sama bilateral ini, dimana potensi perdagangan mencapai
US$ 400 juta, dengan nilai ekspor Indonesia ke Chili berpotensi naik US$ 93,8
juta, sementara impor Indonesia dari Chili meningkat US$ 91,4 juta (JSG 2009).
Pemilihan Chili sebagai mitra dagang oleh Indonesia didasarkan pada
pertimbangan bahwa Chili merupakan negara dengan perekonomian terbuka yang
aktif mengadakan perjanjian perdagangan bebas, baik secara multilateral, regional
maupun bilateral dengan negara-negara di dunia. Chili sebagai anggota WTO dan
tercatat sebagai anggota Asia Pacific Economic Cooperation (APEC). Chili juga
bergabung dalam blok perdagangan Amerika Selatan the Southern Common
Market (MERCOSUR) dan anggota aliansi “Trans Pacific Strategic Economic
Partnership Agreement”. Adapun secara bilateral, Chili telah mengadakan
perjanjian perdagangan bebas dengan beberapa negara di kawasan Amerika Latin
(Kolombia, Venezuela, Equador, Costa Rika), Kanada, Meksiko, Amerika Serikat,
Korea Selatan, China, Jepang, Malaysia, Vietnam, Thailand dan perjanjian
regional dengan Uni Eropa dan negara-negara CAMS (Costa Rica, El Savador,
Honduras, Guatemala, Nikaragua).
Berdasarkan data tahun 2013 seluruh penduduk kawasan Amerika Selatan
berjumlah sekitar 91 juta jiwa, sedangkan Chili jumlah penduduknya sekitar 17
juta sehingga menjadi negara yang tergantung pada impor. Jumlah penduduk Chili
terus meningkat dengan pertumbuhan mencapai 0.9% dalam lima tahun terakhir.
Chili disebut sebagai pintu masuk, karena dengan infrastruktur yang mapan dan
keberadaan dua daerah bebas pajak, yaitu ZOFRI (Zona Franca Iquique dan Zona
Franca Punta Arenas) merupakan pintu masuk bagi Indonesia untuk
meningkatkan perdagangan dengan negara tetangga di wilayah Amerika Latin,
seperti Peru, Bolivia, Argentina, Brazil, Paraguay dan Uruguay. Secara geografis,
posisi Chili menjadi pasar potensial, karena sangat strategis untuk re-ekspor ke
pasar lain di kawasan Amerika Selatan, hal ini menjadi potensi yang lebih besar
dan menguntungkan bagi Indonesia karena mempermudah masuknya produk
Indonesia ke Amerika Latin dan Chili pada khususnya.
Tabel 3 Perbandingan makroekonomi Indonesia-Chili tahun 2013
Faktor
Satuan
Chili
Indonesia
GDP
US $ Triliun
277.196
894.9
GDP Per Kapita (PPP)
US $
15791
5477
GDP Growth
%
4.1
5.78
Inflasi
%
1.8
4.61
Populasi
Juta
17.62
251.1
Total Ekspor
US $ Triliun
81.411
199.1
Total Impor
US $ Triliun
70.619
185
Sumber: World Bank 2014
5
Perbandingan data makroekonomi kedua negara pada Tabel 3
menunjukkan bahwa dari sisi GDP perkapita Chili lebih besar daripada Indonesia.
GDP perkapita yang tinggi merupakan signal adanya potensi pasar yang
mengindikasikan tingkat daya beli yang tinggi. Dalam lima tahun terakhir GDP
perkapita Chili menunjukkan trend yang terus naik. Kebijakan pasar bebas dan
terbuka telah menjadikan Chili sebagai negara yang relatif stabil
perekonomiannya di kawasan Amerika Selatan. Pada tahun 2006 Chili mencapai
GDP per kapita tertinggi di Amerika Latin. Hal ini harus dapat dimanfaatkan oleh
Indonesia sebagai pangsa pasar baru tujuan ekspor, dimana mengharuskan
Indonesia mempunyai daya saing dalam komoditi ekspornya.
Melihat peta persaingan Indonesia di pasar Chili, mitra dagang utama
Chili adalah Amerika Serikat dengan persentase sebesar 23%, kemudian
China sebesar 18%, dan yang ketiga terbesar adalah Brasil dengan persentase
sebesar 6.4%. Untuk jajaran negara ASEAN, Thailand merupakan negara pesaing
Indonesia yang harus diperhitungkan dimana pada tahun 2011 total ekspor
Thailand ke Chili bernilai US$ 619 juta jika dibandingkan dengan tahun 2010
naik 15.7 % atau US$ 45.2 juta hal ini menjadikan Thailand adalah negara
ASEAN terbesar yang memasok produknya ke pasar Chili, menempati urutan ke20 terbesar dengan persentase 0.92%. Indonesia berada pada posisi kedua,
sedangkan Malaysia dan Vietnam masing-masing berada pada posisi ketiga dan
keempat dengan perolehan masing- masing devisa sebesar US$ 155.1 juta dan
149.9 juta. Disusul Singapura dengan ekspornya bernilai US$ 68.2 juta dan
Philipina US$ 44.7 juta (ITPC Chili, 2012).
Negara pesaing Indonesia semakin berkembang dan eksis dipasar Chili,
bukan hanya FTA yang dilakukan oleh negara pesaing di Chili, namun promosi
besar-besaran mereka lakukan di Chili. Secara periodik setiap tahun pesaing
Indonesia seperti China, Thailand, Malaysia, Taiwan, India membawa misi
dagang dan mengadakan pertemuan bisnis sebagai upaya promosi produk-produk
baru maupun untuk mempertahankan pasar yang telah ada agar tetap eksis di Chili.
Dalam rangka memperkuat perdagangan antara Indonesia dan Chili pada tahun
2009 Kementerian Perdagangan Indonesia telah resmi membuka Indonesia Trade
Promotion Center (ITPC) di Santiago yang bertujuan untuk mempromosikan
produk-produk andalan ekspor Indonesia dan membantu masalah-masalah yang
dihadapi para pengusaha Chile yang melakukan hubungan dagang dengan para
pengusaha Indonesia.
Kegiatan perdagangan didominasi komoditi non migas untuk kedua negara.
Komoditi ekspor utama Indonesia ke Chili pada tahun 2013 adalah footwear,
upper of leather, sebesar US $ 27.003 ribu, sedangkan komoditi utama impor
Indonesia adalah tembaga (Iron ores & concentrates; including roasted iron
pyrites) yang merupakan komoditas unggulan ekspor Chili yang belum dapat
disubstitusikan oleh negara lain dengan nilai US $ 108.290 ribu.
Produk-produk ekspor utama Indonesia di pasar Chili masih menghadapi
tingkat tarif sebesar 6% serta Pajak Pertambahan Nilai (PPn) sebesar 10%
(Trademap 2014). Selain tarif, kebijakan untuk melindungi produk dalam negeri
dengan pemberlakuan Non-Tarrif Measure Barrier (NTM), antara lain dengan
ketentuan Sanitary and Phytosanitary Measure (SPS) dan Technical Barriers to
Trade (TBT). Indonesia diharapkan bersiap dan mampu mengantisipasi berbagai
dampak demi mewujudkan kerjasama yang lebih besar serta mampu
6
menguntungkan Indonesia yaitu berupa FTA (Free Trade Agreement) ataupun
PTA (Preferential Trade Agreement).
Perumusan Masalah
Chili adalah negara pertama di bagian Amerika Latin yang
mengimplementasikan dan/atau mengadopsi kebijakan ekonomi berdasarkan
kompetisi/daya saing dan prinsip-prinsip pasar dengan membangun sistem
ekonomi. Tercatat dalam Global Competitiveness Report pada tahun 2013-2014
menempati rangking ke-34 sebagai negara yang paling kompetitif di dunia dan
yang pertama di Amerika Latin. Kebijakan ekonomi domestik Chili fokus pada
reformasi makroekonomi, stabilitas fiskal, merombak sistem dana pensiun
nasional, privatisasi kepemilikan nasional, reformasi pasar capital, dan revisi
hukum ketenagakerjaan. Bidang perdagangan, Chili mempunyai tujuan kebebasan
dan keterbukaan kebijakan perdagangan dengan struktur ekonomi dan industri
yang maju dengan tingkat assesibility yang tinggi ke pasar dunia serta berorientasi
tinggi pada ekspor. Pembangunan pondasi struktur ekonomi yang terbuka ini,
akan menjadikan Chili seperti negara Singapura di Amerika Latin.
Dalam lima tahun terakhir periode tahun 2009-2013, neraca perdagangan
menunjukkan Indonesia mengalami defisit terhadap Chili dimana trend ekspor
Indonesia -0.46% dengan total ekspor US $ 919,431 ribu, sedangkan trend impor
sebesar 0.84% dengan total impor US $ 1,318,418 ribu (Kementerian
Perdagangan, 2014). Hal ini dikarenakan impor tembaga sebagai bahan baku
industri di Indonesia masih sangat tergantung impor dari Chili dan belum bisa
disubstitusi dari negara lain. Meskipun Indonesia sebagai salah satu negara
penghasil tembaga, namun hanya mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri
sebesar 30% dan sisanya adalah impor. Defisit perdagangan untuk Indonesia
mengindikasikan bahwa perdagangan yang selama ini terjadi belum memberikan
benefit untuk Indonesia, sehingga menarik untuk dikaji apakah terjadi kesesuaian
komoditi ekspor dan impor antara Indonesia dan Chili. Kebijakan perdagangan
Indonesia juga belum efektif terkait komoditi unggulan ekspor dan untuk
mengembangkannya.
Berdasarkan fakta perdagangan yang terjadi, menarik untuk diteliti
bagaimana potensi kinerja perdagangan Indonesia dengan Chili dalam rangka
pembentukan perdagangan bebas menuju perdagangan dua arah yang adil. Secara
umum tujuan Indonesia dalam hubungan kerjasama ini adalah untuk
meningkatkan kinerja ekspor dengan impor bahan baku yang lebih murah,
sedangkan Chili bertujuan agar produk holtikultura dapat masuk di pasar
Indonesia, karena pangsa pasar di Indonesia yang sangat besar. Ekspor Indonesia
harus bersaing dengan negara lain yang telah lebih dahulu memasuki pasar Chili,
sehingga perlu menganalisis daya saing perdagangan bilateral Indonesia dengan
Chili. Untuk itu perlu diketahui komoditas apa saja yang mempunyai daya saing
di pasar Chili, sehingga dapat menjadi acuan Indonesia dalam melakukan
negosiasi untuk memperluas pasar dan membuka akses pasar baru dengan
menjadikan Chili sebagai salah satu negara tujuan ekspor utama produk-produk
unggulan Indonesia.
Komoditi unggulan ekspor Indonesia tidak sepenuhnya mampu bersaing
dengan negara lain dalam pasar internasional. Berdasarkan penelitian terdahulu
7
Jalil (2012) dalam perdagangan Indonesia ke Uni Eropa yang menyimpulkan
terdapat 10 komoditi dengan nilai ekspor tertinggi namun hanya produk minyak
sawit, karet, kopi, alas kaki serta produk elektronik yang masuk dalam program
pemerintah dalam meningkatkan target ekspor. Klasifikasi kelompok 10 komoditi
utama yakni tekstil dan produk tekstil, elektronik, karet dan produk karet, sawit,
produk hasil hutan, alas kaki, otomotif, udang, kakao, kopi. Sedangkan kelompok
10 komoditi potensial adalah kulit dan produk kulit, peralatan medis, tanaman
obat, makanan olahan, minyak atsiri, ikan dan produk perikanan, kerajinan,
perhiasan, rempah-rempah, peralatan kantor (Kementerian Perdagangan, 2014).
Oleh karena itu, Indonesia harus bersiap dan bersaing mencari celah pasar untuk
meningkatkan ekspor baik komoditi unggulan dan komoditi potensial.
Secara unilateral Chili telah mengurangi tarif impor. Pemerintah Chili
memberlakukan tingkat tarif umum, dimana diberlakukan persentase yang sama
untuk semua produk. Sejak tahun 1999, tingkat tarif telah diturunkan dengan satu
poin persen per tahun. Rata-rata tarif pada 8% dan turun menjadi 6% pada tahun
2003. Chili adalah salah satu dari beberapa negara berkembang yang berjanji
untuk tidak goyah mendukung WTO’ s General Agreement on Trade in Services
(GATS) dan Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights
(TRIPS).
Untuk meningkatkan kinerja ekspor Indonesia dan juga mengatasi
hambatan-hambatan perdagangan Indonesia-Chili, pemerintah Indonesia tengah
melakukan negosiasi untuk pembentukan FTA (Free Trade Agreement) ataupun
PTA (Preferential Trade Agreement) agar tercapai. Pencapaian kesepakatan
kerjasama Indonesia-Chili masih dalam negosiasi, namun diharapkan Indonesia
mampu mengantisipasi berbagai dampak serta mempersiapkan diri dalam
menghadapi FTA Indonesia-Chili yang mungkin segera terwujud. Rumusan
permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah keragaan perdagangan bilateral antara Indonesia dan Chili.
2. Apakah komoditi unggulan ekspor serta bagaimana tingkat daya saing dan
derajat integrasi perdagangan bilateral Indonesia-Chili.
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi aliran perdagangan bilateral
Indonesia-Chili.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengkaji keragaan perdagangan dalam perdagangan bilateral Indonesia-Chili.
2. Mengidentifikasi komoditi ekspor unggulan serta daya saing dan derajat
integrasi perdagangan bilateral Indonesia-Chili.
3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan bilateral
Indonesia-Chili.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
kondisi perdagangan bilateral Indonesia-Chili serta komoditas potensial yang
dapat menjadi daya saing ekspor Indonesia ke Chili dan sebaliknya. Selain itu,
juga dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan
bilateral Indonesia-Chili.
8
Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan oleh pengambil kebijakan
sebagai alternatif kebijakan nasional untuk meningkatkan daya saing dalam
rangka meninngkatkan kinerja ekspor sekaligus mempersiapkan faktor-faktor
yang mempengaruhi aliran dan keterkaitan perdagangan Indonesia-Chili. Selain
itu, penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti lain sebagai
salah satu referensi yang dapat mendukung suatu penelitian yang lebih mendalam
mengenai keterkaitan perdagangan, baik bilateral, multilateral ataupun regional.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan berdasarkan ruang lingkup yang ditentukan agar
dapat mencapai hasil yang diharapkan. Ruang lingkup penelitian ini yaitu :
1. Analisis deskriptif untuk melihat gambaran keragaan perdagangan yang
meliputi kinerja perdagangan bilateral Indonesia-Chili.
2. Analisis perdagangan Indonesia dan Chili dan menggunakan data time series
2009-2013 terkait keunggulan komparatif serta daya saing kedua negara
dengan nilai RCA rata-rata.
3. Menganalisis komoditi ekspor Indonesia ke Chili dan impor Indonesia dari
Chili untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan bilateral
Indonesia-Chili dengan menggunakan data tahun 2001-2013 dengan kode
Harmonize System (HS) 6 digit.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Liberalisasi Perdagangan
Liberalisasi perdagangan salah satunya dikemukakan oleh Shafaeddin
(2005) dalam United Nation Conference on Trade and Development, bahwa
liberalisasi perdagangan adalah setiap tindakan yang akan membuat rezim
perdagangan yang lebih netral, lebih dekat dengan sistem perdagangan bebas dari
intervensi pemerintah. Liberalisasi perdagangan terjadi karena semakin bebasnya
pergerakan arus barang dan jasa serta arus modal antar negara karena fenomena
ekonomi global. Liberalisasi perdagangan telah menyebabkan perkembangan dan
re-orientasi sektor industri sesuai dengan keunggulan komparatif. Singkatnya,
tidak ada keraguan bahwa liberalisasi perdagangan sangat penting ketika suatu
industri mencapai tingkat kematangan tertentu, asalkan dilakukan secara selektif
dan bertahap.
Peran liberalisasi perdagangan dapat dilihat dari fungsinya yang
memfasilitasi dan mempromosikan globalisasi sebagai proses substansi dari
berkembangnya teknologi dan ekonomi yang melihat pada keterbukaan dan
keintegrasian di seluruh dunia ke dalam satu sistem ekonomi. Semenjak seluruh
negara memerlukan perdagangan eksternal, dan negara-negara di Asia yang
biasanya tergantung pada pertumbuhan „export-led‟, hubungan perdagangan
internasional dan negosiasi menyediakan tempat yang cocok untuk membawa
tekanan yang dihadapi pemerintah dalam membuka perekonomiannya (Keet,
1999). Liberalisasi perdagangan menjadikan negara-negara menganut sistem
perekonomian terbuka (open economy) yaitu suatu negara memiliki kesempatan
9
mengkonsumsi lebih besar dari kemampuannya berproduksi karena terdapat
perbedaan harga relative dalam proses produksi yang mendorong spesialisasi.
Perbedaan harga relative disebabkan perbedaan penguasaan sumber daya.
Liberalisasi perdagangan diperkirakan akan dapat mendorong peningkatan
arus perdagangan barang dan jasa serta arus investasi antar negara terutama jika
didukung oleh perdagangan yang lebih fair dan adil. Karena itulah penganut
paham liberalis sangat berkeyakinan bahwa liberalisasi perdagangan dunia akan
dapat meningkatkan kemakmuran bagi semua negara yang terlibat. Pentingnya
peran liberalisasi perdagangan sebagai faktor pertumbuhan ekonomi di negaranegara berkembang dinyatakan oleh Berg dalam “World Economic Outlook”
(2002), dimana menggunakan cross-country econometric work, country case
study dan industry and firm-level analysis, menjelaskan bahwa perdagangan bebas
di negara-negara berkembang mempunyai peran yang signifikan dalam
pertumbuhan perekonomian, peningkatan produkstifitas dan pendapatan per
kapita.
Free Trade Area (FTA) dan Integrasi Ekonomi
Kegiatan ekonomi internasional memiliki kecenderungan untuk membentuk
organisasi perdagangan multinasional. Organisasi ini dibentuk dari kumpulan
negara berdekatan yang mempunyai kebijakan perdagangan bersama untuk
menghadapi negara lain dalam bidang tarif dan akses pasar. Alasan umum
pembentukan grup ini adalah menjamin pertumbuhan ekonomi dan bermanfaat
bagi negara anggota. Contoh organisasi yang terkenal sekarang antara lain
European Union (EU) dan North American Free Trade Agreement (NAFTA).
Pengaruh keberadaan dan pertumbuhan organisasi multinasional ini secara tidak
langsung bagi negara peserta adalah untuk menjaga persaingan secara global.
Secara luas, pengelompokan regional dibentuk sebagai usaha pemerintah untuk
meningkatkan integrasi ekonomi global.
FTA adalah salah satu bentuk respon dari kehadiran globalisasi, kegagalan
sistem perdagangan multilateral dan liberalisasi yang berimplikasi pada
pengurangan dan penghapusan berbagai hambatan perdagangan baik hambatan
tarif maupun hambatan non tarif. Akan tetapi masing-masing negara anggota
bebas menentukan tingkat tarif individu dengan negara yang bukan anggota. FTA
berimplikasi pada pengurangan dan penghapusan berbagai hambatan dalam
kegiatan perdagangan baik hambatan tarif (tarrief barrier) maupun hambatan non
tarif (non-tarrif barier=NTB). Dengan kata lain, ”internal tariff” antara negara
anggota menjadi 0 persen, sedangkan masing-masing negara memiliki “external
tariff” yang berbeda. Menurut Salvatore (1997), integrasi ekonomi adalah suatu
kebijakan komersial yang secara diskriminatif mengurangi atau bahkan
menghapus hambatan-hambatan perdagangan hanya kepada para negara anggota
kesepakatan. Kesepakatan penurunan atau penghapusan hambatan perdagangan
hanya akan berlaku bagi negara-negara yang saling sepakat dan tidak berlaku atau
diterapkan bagi negara-negara di luar itu. Contohnya AFTA (ASEAN Free Trade
Area) yang diawali dengan CEPT (Common Effective Preferential Tariff) yang
mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1993 serta ACFTA (ASEAN-China
Free Trade Area) yang telah diberlakukan 1 Januari 2010.
Tambunan (2001) menyatakan bahwa tujuan utama dari membentuk
integrasi regional atau kerja sama perdagangan bebas adalah untuk meningkatkan
10
perdagangan dan kerja sama dalam bidang ekonomi, seperti industri dan investasi
antar negara anggota, yang pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi
dan kesejahteraan di wilayah tersebut. Dua indikator ekonomi makro yang dapat
digunakan untuk melihat apakah tujuan tersebut tercapai adalah laju peningkatan
volume perdagangan antar negara anggota (intra-trade) dan laju pertumbuhan
PDB, baik masing-masing negara anggota secara individu atau PDB regional
(jumlah kenaikan PDB dari semua negara anggota) setelah terbentuknya integrasi
ekonomi antar negara.
Berdasarkan teori tahapan integrasi regional dari Bela Balassa (1960) maka
proses tahapan kerja sama ekonomi dan integrasi regional adalah sebagai berikut:
1. TPA atau Trade Preferency Arrangement, bentuk kerja sama ekonomi
regional yang masing-masing anggotanya memberikan preferensi dalam
bentuk tarif dan nontarif untuk produk orisinal masing-masing negara
anggota.
2. FTA atau Free Trade Area, suatu bentuk kerja sama ekonomi regional
yang perdagangan produk-produk orisinal negara-negara anggotanya tidak
dipungut bea masuk atau bebas bea masuk. Free Trade Area (FTA) adalah
kerjasama formal antara dua atau lebih negara untuk mengurangi
hambatan tarif dan non tarif diantara negara anggota. FTA atau Free Trade
Area adalah suatu bentuk kerjasama ekonomi regional yang
memperdagangkan produk-produk orisinal negara-negara anggotanya
tidak dipungut bea masuk atau bebas bea masuk.
3. CU atau Customs Union, bentuk kerja sama ekonomi regional dengan
“internal tariff” untuk produk-produk orisinal dari/ ke masing-masing
negara anggota yang besarnya 0% atau dibebaskan dari bea masuk, dan
“external tariff” untuk produk yang berasal dari negara bukan anggota
untuk seluruh negara anggota adalah sama. Custom Union. Anggota
Custom Union tidak hanya mampu mengurangi atau menghilangkan tarif
antara anggota, tapi juga mereka mempunyai tarif eksternal bersama
terhadap negara yang bukan anggota Custom Union. Hal ini mencegah
negara yang bukan anggota mengekspor ke negara anggota yang
mempunyai tarif eksternal rendah.
4. CM atau Common Market, suatu bentuk kerja sama ekonomi regional
yang memiliki kebebasan bergerak untuk faktor produksi, khususnya
tenaga kerja (SDM) dari/ ke masing-masing anggota. Common Market.
Jika kerja sama meningkat di antara negara Custom Union, maka dapat
terbentuk Common Market. Common Market menghilangkan semua tarif
dan hambatan lain dalam perdagangan antara anggota, mengadopsi
seperangkat tarif eksternal bersama pada negara bukan anggota, dan
menghilangkan batasan-batasan pada aliran modal dan tenaga kerja antar
negara anggota.
5. EU atau Economic Union, bentuk kerja sama ekonomi regional yang
memiliki kesatuan atau persamaan peraturan dalam bidang perpajakan,
tenaga kerja, jaminan sosial, dan lain-lain. Economic Union karena juga
melakukan harmonisasi kebijakan ekonomi negara anggota, seperti pajak,
kebijakan moneter dan kebijakan fiskal.
6. MU atau Monetary Union, bentuk kerja sama ekonomi regional yang
memiliki kesatuan/ persamaan mata uang. Monetary Union. Monetary
11
Union berada pada level integrasi keempat dengan satu mata uang bersama
antar negara. Contohnya Negara anggota European Union menggunakan
mata uang bersama, Euro.
Teori Perdagangan Internasional
Konsep perdagangan bebas untuk pertama kali diperkenalkan oleh Adam
Smith pada awal abad ke-19. Perdagangan internasional dapat didefinisikan
sebagai transaksi dagang antara subyek ekonomi negara yang satu dengan subyek
ekonomi negara lain, baik mengenai barang ataupun jasa. Hampir tidak ada satu
negarapun yang tidak melakukan hubungan dengan negara lain (Dumairy 1997).
Dalam perdagangan domestik para pelaku ekonomi bertujuan untuk memperoleh
keuntungan dari aktivitas ekonomi yang dilakukannya. Demikian halnya dengan
perdagangan internasional. Setiap negara yang melakukan perdagangan bertujuan
mencari keuntungan dari perdagangan tersebut. Adapun subyek ekonomi yang
dimaksud adalah penduduk yang terdiri dari warga negara biasa, perusahaan
ekspor, perusahaan impor, perusahaan industri, perusahaan negara ataupun
departemen pemerintah yang dapat dilihat dari neraca perdagangan (Sobri, 2001).
Alasan utama terjadinya perdagangan internasional seperti yang
dikemukakan oleh Krugman (2000), yaitu:
1. Negara-negara berdagang karena mereka mempunyai hasil produksi yang
berbeda satu sama lain.
2. Negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai skala
ekonomi (economics of scale).
Berdasarkan pengertian dan tujuan dari terbentuknya FTA, maka
pembentukan kawasan perdagangan bebas akan memberikan pengaruh kepada
ekspor dan impor negara-negara tersebut. Kegiatan ini dapat terjadi karena adanya
perbedaan permintaan dan penawaran akibat adanya spesialisasi serta adanya
perbedaan tingkat harga antar negara-negara tersebut.
P
P
DA
P DB
ES
SB
SA
PB
X
P*
M
PA
ED
QA
Indonesia
Q
Q*
Perdagangan
Internasional
Q
QB
Q
Chili
Gambar 2 Kurva perdagangan internasional
Sumber : Salvatore 1997
Secara grafis kegiatan perdagangan internasional dapat dilihat pada
Gambar 2. Secara teoritis proses perdagangan internasional terjadi jika Indonesia
mengekspor suatu komoditi sebesar X ke negara lain yakni Chili apabila harga
12
domestik negara Indonesia (sebelum terjadinya perdagangan internasional) relatif
lebih rendah yakni sebesar PA bila dibandingkan dengan harga domestik Chili.
Struktur harga yang terjadi di Indonesia lebih rendah karena produksi
domestiknya lebih besar daripada konsumsi domestiknya sebesar QA sehingga di
Indonesia terjadi excesssupply sebesar X disebabkan Indonesia mempunyai
keunggulan komparatif dan kompetitif sehingga mampu berspesialisasi pada
komoditi tersebut, dan jumlah inilah yang akan diekspor. Dengan demikian,
Indonesia mempunyai kesempatan menjual kelebihan produksinya ke negara lain.
Dilain pihak, di Chili terjadi kekurangan supply dimana konsumsi domestiknya
sebesar QB lebih besar daripada produksi domestiknya (excess demand) sehingga
harga yang terjadi di Chili lebih tinggi sebesar PB. Chili akan membeli/impor
komoditi tersebut dari negara lain yang relatif lebih murah sebesar M. Jika
kemudian terjadi komunikasi antara Indonesia dengan Chili, maka akan terjadi
perdagangan antar keduanya dengan harga yang diterima oleh kedua negara sama
yakni pada titik ekuilibrium harga sebesar P* dengan jumlah sebanyak Q*.
Perdagangan internasional seharusnya akan meningkatkan kesejahteraan
negara-negara yang melakukan perdagangan bebas, karena melalui perdagangan
bebas akan terjadi peningkatan efisiensi penggunaan sumberdaya domestik dan
akses pasar ke negara lain (Stephenson 1994). Namun demikian, secara umum
terdapat beberapa variabel ekonomi dunia yang meningkat seperti investasi global
barang-barang kapital, volume perdagangan dunia, dan indeks harga perdagangan
dunia. Peningkatan arus perdagangan sebagai akibat dibukanya tarif seluasluasnya mengakibatkan peningkatan aliran barang-barang kapital untuk investasi
volume perdagangan dunia. Peningkatan investasi global ternyata diikuti dengan
tingkat pengembalian kapital yang negatif sehingga secara keseluruhan akan
mempengaruhi tingkat kesejahteraan dunia.
Teori Keunggulan Komparatif
Teori keunggulan komparatif (theory of comparative advantages)
merupakan penyempurnaan dari teori keunggulan absolut Adam Smith yang
dikemukakan oleh David Ricardo (1817). David Ricardo dalam Salvatore (2007)
mengatakan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara mampu
memproduksi barang dan jasa dengan biaya yang lebih murah daripada negara
lain. Hal ini dikenal sebagai Hukum Keunggulan Komparatif (Law of
Comparative Advantage). Keunggulan komparatif dibedakan atas cost
comparative advantage (labor efficiency) dan production comparative advantage
(labor productivity).
Menurut Salvator (2007) Asumsi Teori Keunggulan Komparatif yang
mendasari adalah:
a. Hanya terdapat dua negara dan dua komoditi
b. Perdagangan bersifat bebas
c. Terdapat mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam negara namun
tidak ada mobilitas antara dua negara.
d. Biaya produksi konstan
e. Tidak terdapat biaya transportasi
f. Tidak ada perubahan teknologi
Dalam teori cost comparative advantage (labor efficiency), suatu negara
akan memperoleh manfaat dari perdagangan internasional jika melakukan
13
spesialisasi produksi dan mengekspor barang di mana negara tersebut dapat
berproduksi lebih efisien serta mengimpor barang di mana negara tersebut
berproduksi relatif kurang atau tidak efisien. Dengan kata lain, cost comparative
menekankan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara
memproduksi suatu barang yang membutuhkan sedikit jumlah jam tenaga kerja
dibandingkan negara lain sehingga terjadi efisiensi produksi.
Berdasarkan analisis production comparative advantage (labor
productivity) dapat dikatakan bahwa suatu negara akan memperoleh manfaat dari
perdagangan internasional jika melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor
barang di mana negara tersebut berproduksi lebih produktif serta mengimpor
barang di mana negara tersebut berproduksi relatif kurang atau tidak produktif.
Production comparative menekankan bahwa keunggulan komparatif akan tercapai
jika seorang tenaga kerja di suatu negara dapat memproduksi lebih banyak suatu
barang/jasa dibandingkan negara lain sehingga tidak memerlukan tenaga kerja
yang lebih banyak. Dengan demikian keuntungan perdagangan diperoleh jika
negara melakukan spesialisasi pada barang yang memiliki cost comparative
advantage dan production advantage. Atau dengan mengekspor barang yang
keunggulan komparatifnya tinggi dan mengimpor barang yang keunggulan
komparatifnya rendah.
Teori Keunggulan Kompetitif
Keunggulan kompetitif digunakan untuk mengukur daya saing suatu
aktivitas dan keuntungan privat berdasarkan harga pasar dan nilai tukar uang
resmi yang berlaku atau dengan kata lain melakukan analisa finansial terhadap
aktivitas tersebut. Konsep keunggulan kompetitif didasarkan pada asumsi bahwa
perekonomian yang tidak mengalami distorsi sama sekali yang sulit ditemukan
dalam dunia nyata.
Teori keunggulan kompetitif adalah teori yang menjelaskan bahwa untuk
dapat meraih sukses internasionalnya maka suatu negara harus dapat memperkuat
industri dalam negerinya. Menurut Porter (1990) menyatakan ada empat atribut
utama yang menentukan mengapa industri tertentu dalam suatu negara dapat
mencapai sukses internasional, keempat atribut tersebut meliputi: kondisi faktor
produksi, kondisi permintaan dan tuntutan mutu dalam negeri, eksistensi industri
pendukung , dan kondisi persaingan strategi dan struktur perusahaan dalam negeri
Negara yang sukses dalam skala internasional pada umumnya didukung
oleh kondisi faktor yang baik, permintaan dan tuntutan mutu dalam negara yang
tinggi, industri hulu / hilir yang maju dan persaingan domestik yang ketat.
Keunggulan kompetitif yang hanya didukung oleh satu atau dua atribut saja
biasanya tidak akan dapat bertahan, sebab keempat atribut saling berinteraksi
positif dalam negara yang sukses.
Porter (1990) mendefinisikan industri sebuah negara sukses secara
internasional jika memiliki keunggulan kompetitif relatif terhadap para pesaing
terbaik di seluruh dunia. Sebagai indikator ia memilih keberadaan ekspor yang
besar dan bertahan lama dan/atau investasi asing di luar wilayah yang signifikan
berdasarkan pada keterampilan dan aktiva yang diciptakan di negara asal. Jika
suatu negara mempunyai keunggulan dalam hal faktor biaya atau mutu faktor
yang digunakan untuk menghasilkan suatu produk, maka negara itu akan menjadi
tempat produksi dan ekspor akan mengalir ke negara lain. Disamping itu Teori
14
Keunggulan Kompetitif yang dikemukakan Porter juga mengatakan bahwa salah
satu faktor yang turut mempengaruhi perdagangan internasional suatu negara
dapat unggul dibanding negara lain adalah pemerintah.
Suatu komoditi mungkin saja mempunyai keunggulan komparatif
sekaligus keunggulan kompetitif. Hal ini menunjukkan bahwa komoditi tersebut
sangat menguntungkan untuk diproduksi. Di samping itu, ada juga komoditi yang
mempunyai keunggulan komparatif tetapi tidak memiliki keunggulan kompetitif,
sehingga dapat diperkirakan ada distorsi pasar yang tidak menguntungkan
produksi komoditi tersebut. Oleh karena itu, pemerintah perlu kiranya untuk
melakukan deregulasi terhadap faktor-faktor yang dapat menghambat produksi
komoditi tersebut.
Teori Heckhser Ohlin (H-O)
Teori klasik Ricardo tersebut selanjutnya dikembangkan oleh HeckscherOhlin (H-O) dengan The Theory of Factor Proportions (1949 – 1977). Model HO mengatakan bahwa walaupun tingkat teknologi yang dimiliki sama,
perdagangan internasional akan tetap terjadi bila ada perbedaan kepemilikan
faktor produksi (factor endowment) diantara masing-masing negara. Satu negara
dengan kepemilikan kapital berlebih akan berspesialisasi dan mengekspor
komoditi padat kapital (capital-intensive goods), dan sebaliknya negara dengan
kepemilikan tenaga kerja berlebih akan memproduksi dan mengekspor komoditi
padat tenaga kerja (labor-intensive goods). Perbedaan opportunity cost tersebut
dapat menimbulkan terjadinya perdagangan internasional. Negara-negara yang
memiliki faktor produksi relatif banyak/murah dalam memproduksinya akan
melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barangnya. Sebaliknya, masingmasing negara akan mengimpor barang tertentu jika negara tersebut memiliki
faktor produksi yang relatif langka/mahal dalam memproduksinya (Salvatore,
1997).
Teori H-O disebut juga teori faktor proporsional (factor proportion) atau
teori ketersediaan faktor (factor endowment). Menurut teori ini perdagangan
internasional terutama digerakkan oleh perbedaan sumber daya yang melimpah di
dalam suatu negara. Teori ini menekankan pada saling keterkaitan antara
perbedaan proporsi faktor-faktor produksi antar negara dan perbedaan proporsi
penggunaannya dalam memproduksi barang-barang, dengan cara pandang dari sisi
penawaran.
Teori Perdagangan Internasional Pasca Teori H-O
Perkembangan berikutnya dalam teori perdagangan internasional adalah
munculnya teori oleh seorang ekonom Swedia bernama Staffan Burenstam Linder
pada tahun 1961 yang disebut The Linder Theory. Perbedaan yang mencolok bila
dibandingkan dengan teori H-O adalah bahwa Linder melihat komposisi
perdagangan internasional dari sisi permintaan (demand side) dan hanya
menekankan pada barang-barang manufaktur. Teori ini menyatakan tetap terjadi
antar negara yang memiliki keunggulan komparatif yang relatif sama, namun
perdagangan intra industri lebih didasarkan pada diferensiasi produk dan economies
of scale serta mencakup perdagangan dua arah dalam industri yang sama. Pertukaran
antar produk manufaktur dengan produk manufaktur lain disebut perdagangan intra
15
industri (intra industry trade). Sedangkan pertukaran antara produk manufaktur dan
makanan disebut perdagangan antar industri (inter industry trade).
Perdagangan intra industri menjadi penting ketika hambatan tarif dan non tarif
dihapuskan pada arus perdagangan antar negara. Perdagangan intra industri
memberikan keuntungan (gain) yang lebih besar, diantaranya adalah konsumen
mempunyai lebih banyak pilihan dengan adanya differensiasi produk dan harga yang
lebih murah karena meningkatnya economies of scale. Perdagangan intra industri
dimungkinkan karena adanya skala ekonomis yang berarti biaya produksi rata-rata
menjadi lebih murah. Dengan demikian, output dapat lebih tinggi dibandingkan bila
tidak ada perdagangan intra industri. Skala ekonomis dan spesialisasi dalam suatu
industri tertentu akan mendorong inovasi dalam perusahaan. Inovasi akan membuat
biaya produksi menjadi lebih rendah.
Teori Permintaan dan Penawaran
Secara teoritis ekspor suatu barang dipengaruhi oleh suatu penawaran
(supply) dan permintaan (demand). Dalam teori perdagangan internasional
disebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor dapat dilihat dari sisi
permintaan dan sisi penawaran (Krugman dan Obsfield, 2000; Salvator , 2004).
Dari sisi permintaan, ekspor dipengaruhi oleh harga ekspor, nilai tukar riil,
pendapatan dunia dan kebijakan devaluasi. Sedangkan dari sisi penawaran,
ekspor dipengaruhi oleh harga ekspor, harga dometik, nilai tukar riil, kapasitas
produksi yang bisa diproksi melalui investasi , impor bahan baku dan kebijakan
deregulasi.
Ekspor merupakan bentuk yang paling sederhana dalam system
perdagangan internasional dan merupakan suatu srategi dalam memasarkan
produksi ke luar negeri. Faktor-faktor seperti pendapatan negara yang dituju dan
populasi penduduk merupakan dasar pertimbangan dalam pengembangan ekspor
(Kotler dan Amstrong, 1996). Penjelasan lebih lanjut mengenai variabel-variabel
yang biasanya digunakan dalam menganalisis permintaan ekspor impor pada
bagian berikut.
Nilai Ekspor dan Impor
Ekspor adalah proses transportasi atau menjual barang atau komoditi dari
suatu negara ke negara lain. Ekspor terjadi terutama karena kebutuhan akan
barang dan jasa sudah tercukupi di dalam negeri atau karena barang dan jasa
tersebut memiliki daya saing baik dalam harga maupun mutu dengan produk
sejenis di pasar internasional. Impor adalah kondisi sebaliknya, dimana
permintaan lebih besar dari pada ketersediaan suatu barang, sehingga membeli
dari negara lain. Dengan demikian ekspor merupakan komponen penting dalam
pertumbuhan perekonomian suatu negara dimana memberikan pemasukan devisa
bagi negara yang bersangkutan yang kemudian akan digunakan untuk membiayai
kebutuhan impor maupun pembiayaan program pembangunan di dalam negeri.
Gross Domestic Product (GDP)
GDP sering digunakan sebagai ukuran seberapa baik keadaan atau
performa suatu perekonomian. GDP adalah produk nasional yang diwujudkan
oleh factor-faktor produksi di dalam negeri (baik milik warga negara maupun
orang asing) dalam suatu negara. Dari pengertian tersebut maka GDP merupakan
16
ukuran mengenai besarnya kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang
dan jasa dalam suatu tahun tertentu (Blanchard, 2004).
Aliran perdagangan bilateral antar dua negara dapat diasumsikan
proporsional dengan tingkat GDP. Hal ini berdasarkan fakta bahwa semakin tinggi
pendapatan ekonomi memiliki kecenderungan adanya diferensiasi produk dan
spesialisasi sehingga perdagangan lebih banyak dilakukan (Fujimura dan Edmons
2006). Menurut Bergstrand (1989), dalam mengestimasi ekspor perdagangan
bilateral untuk produk yang spesifik maka variabel GDP per kapita digunakan
dalam model gravity.
Semakin besar GDP suatu negara maka semakin besar jenis barang yang
ditawarkan dalam perdagangan sehingga volume dalam perdagangan bilateral
diasumsikan akan semakin besar. Dipilihnya GDP per kapita sebagai variabel
independen yang terpisah dari GDP digunakan sebagai indikator tingkat
perkembangan. Permintaan impor negara berkembang lebih bervariasi dan
biasanya terkait dengan barang-barang superior.
Perbedaaan GDP per kapita antara negara eksportir dan negara importir
menjadi salah satu variabel yang digunakan untuk menjelaskan aliran perdagangan.
Variabel perbedaaan GDP per kapita tersebut untuk melihat hipotesis HeckscherOhlin atau hipotesis Linder yang lebih mendominasi dalam perdagangan antara
negara (Rahman 2009 ; Zarzoso dan Lehman 2003). Hipotesis Heckscher-Ohlin
Nilai Tukar
Kurs (exchange rate) diantara dua negara adalah harga dimana penduduk
kedua negara saling melakukan perdagangan. Para ekonom membedakan antara
dua kurs, yaitu kurs nominal dan kurs riil. Jika kita mengacu pada kurs diantara
dua negara maka biasanya kita mengartikan kurs nominal dengan definisi sebagai
harga relatif dari mata uang negara (Mankiw 2000). Sedangkan nilai tukar riil
adalah nilai tukar nominal yang sudah dikoreksi dengan harga relatif yaitu hargaharga di dalam negeri dibandingkan dengan harga-harga di luar negeri.
Peningkatan atau perbaikan nilai tukar perdagangan disuatu negara biasanya
dianggap menguntungkan bagi negara itu sendiri, karena harga yang diperolehnya
dari ekspornya akan meningkat secara relatif terhadap harga-harga yang harus
dibayarnya untuk memperoleh produk-produk impor (Salvatore 1997).
Gambar 3 Ekspansi moneter dalam sistem nilai tukar mengambang
Sumber : Mankiw 2000
Pada Gambar 3 menjelaskan dalam sistem kurs mengambang, depresiasi
atau apresiasi nilai mata uang akan mengakibatkan perubahan terhadap ekspor
17
maupun impor. Pergeseran kurva dari LM1 ke LM2 adalah kebijakan moneter
dengan meningkatnya money supply, yang mengakibatkan menurunkan nilai tukar
(depresiasi). Jika kurs mengalami depresiasi, yaitu nilai mata uang dalam negeri
secara relatif terhadap mata uang asing menurun, volume ekspor akan menaik.
Dengan kata lain, apabila nilai kurs dollar menguat, maka volume ekspor juga
akan meningkat (Sukirno, 2004).
Kebijakan Perdagangan Internasional
Menurut Hady (2000), kebijakan perdagangan internasional diartikan
sebagai tindakan dan peraturan yang dijalankan suatu negara, baik secara
langsung dan tidak langsung, yang akan mempengaruhi struktur, komposisi, dan
arah perdagangan internasional dari/ke negara tersebut. Peran dan kebijakan
ekonomi negara-negara maju dalam perekonomian dunia sangat berpengaruh
terhadap perkembangan perekonomian negara-negara berkembang. Hal ini
disebabkan negara-negara maju dan negara industry utama menjadi pasar tujuan
ekspor komoditi bagi negara berkembang termasuk Indonesia. Kebijakan ekonomi
negara maju akan sangat berdampak terhadap ekspor negara berkembang. Dalam
Todaro (2000) hambatan utama perkembangan ekspor negara berkembang, baik
komoditi primer maupun produk manufaktur adalah adanya berbagai macam
hambatan perdagangan yang dikenakan oleh pemerintahan negara maju terhadap
barang-barang ekspor utama negara berkembang.
Adapun kebijakan perdagangan internasional diantaranya:
1. Kebijakan ekspor
Kebijakan perdagangan internasional di bidang ekspor dikelompokkan
menjadi dua macam kebijakan, yaitu:
1) Kebijakan ekspor dalam negeri, berupa kebijakan perpajakan, fasilitas
kredit perbankan yang murah, pemberian subsidi ekspor, dan sebagainya.
2) Kebijakan ekspor luar negeri, berupa pembentukan International Trade
Promotion Center (ITPC), pemanfaatan General System of Preferency
(GSP), menjadi anggota Commodity Association of Producer seperti
OPEC, dan sebagainya.
2. Kebijakan Impor
Kebijakan perdagangan internasional di bidang impor dikelompokkan menjadi
dua macam kebijakan, yaitu:
1) Kebijakan tariff barrier.
Kebijakan ini berupa pembebasan bea masuk/tarif rendah antara
0% - 5% untuk bahan kebutuhan pokok vital seperti beras, mesin-mesin
vital; tarif sedang antara > 5% - 20% untuk barang setengah jadi dan
barang belum cukup diproduksi di dalam negeri; tarif tinggi diatas 20%
untuk barang-barang mewah. Konsep tarif bea masuk adalah suatu
pembebanan terhadap barang impor berdasarkan klasifikasi barang yang
disusun oleh International Convention in the Harmonized Commodity and
Coding System dari World Custom Organization (WCO).
Tarif bea masuk merupakan salah satu instrument fiskal yang mengatur:
a. Penetapan besaran pembebanan tarif bea masuk impor berdasarkan
klasifikasi barang;
18
b. Pemberlakuan tata niaga impor yang mencakup larangan impor dan
atau pemberian fasilitas khusus kepada importir tertentu yang dapat
mengimpor barang yang diatur tata niaganya.
Efek kebijakan ini terlihat langsung pada kenaikan harga
barang. Dengan pengenaan bea masuk yang besar, pendapatan negara
akan meningkat sekaligus membatasi permintaan konsumen terhadap
produk impor dan mendorong konsumen menggunakan produk domestik.
Dampak dari kebijakan tarif dapat digambarkan pada Gambar 4. Dx adalah
kurva permintaan dan Sx melambangkan kurva penawaran komoditi X.
Jika negara A sama sekali tidak mengadakan hubungan perdagangan
internasional maka negara A akan mengalami keseimbangan di titik E
yang merupakan titik perpotongan antara Dx dan Sx. Selanjutnya jika
negara A melakukan hubungan perdagangan internasional maka ia akan
menikmati harga yang jauh lebih murah (P1) sehingga konsumsi
meningkat (X4). Kemudian jika negara A memberlakukan tarif ad valorem
yang menyebabkan harga yang harus dipikul konsumen A meningkat (P2)
dan akan menurunkan konsumsi penduduknya (X3) sedangkan dari sisi
produksi dari dalam negeri akan meningkat dari X1 menjadi X2.
Pemerintah mendapatkan pemasukan sebesar AB + CD (Salvatore, 1997).
Gambar 4 Dampak pemberlakuan tarif
Sumber : Salvatore 1997
2) Kebijakan non tariff barrier (NTB)
Sesuai dengan kesepakatan WTO (World Trade Organization)
yang tertuang dalam GATT (General Agreement on Tariff and Trade)
pada tahun 1994 dimana negara anggota WTO menyetujui
dilaksanakannya perdagangan bebas untuk negara maju dimulai pada
tahun 2010 dan negara berkembang tahun 2020. Hambatan non tariff
adalah campur tangan pemerintah dalam rangka melindungi
kepentingan ekonomi nasional, industri dalam negeri, dan lapangan
kerja serta menjaga stabilitas ekonomi nasional. Hambatan non tarif
lebih sulit untuk diprediksi karena bisa mengandung rintangan dengan
angka yang besar selain tarif seperti kebijakan, peraturan, prosedur
yang mengubah perdagangan.
NTB terdiri atas beberapa bagian yaitu:
a. Pembatasan spesifik, terdiri dari larangan impor secara mutlak
pembatasan impor atau quota system; peraturan atau ketentuan
teknis untuk impor produk tertentu; peraturan kesehatan atau
karantina, peraturan pertahanan dan keamanan negara; peraturan
19
kebudayaan, perizinan impor/import licenses; embargo; dan
hambatan pemasaran seperti VER (Voluntary Export Restraint),
OMA (Orderly Marketing Agreement).
b. Peraturan Bea Cukai (Custom Administration Rules), terdiri dari
tatalaksana impor tertentu; penetapan harga pabean; penetapan
forres rate (kurs valas) dan pengawasan devisa; consultan
formalities; packaging/labelling regulation; documentation
hended; quality and testing standard; pungutan administrasi (fees);
dan tariff classification.
c. Partisipasi pemerintah, terdiri dari kebijakan pengadaan
pemerintah; subsidi dan insentif ekspor; countervailing duties;
domestic assistance programs; dan trade-diverting.
d. Import charges, terdiri dari import deposits ; supplementary duties
; dan variable levies. berupa pembatasan spesifik seperti larangan
impor secara mutlak, pembatasan impor atau quota system;
peraturan bea cukai; government participation; import charges.
Tinjauan Empiris
Haider et al. (2011) dengan judul Estimation of Import and Export
Demand Functions Using Bilateral Trade Data: The Case of Pakistan. Studi ini
untuk melihat dinamika perdagangan Pakistan dari tahun 1973-2008 dengan
mengestimasi elastistas ekspor dan impor dalam perdagangan Pakistan dengan
mitra dagangnya. Metode yang digunakan adalah metode regresi OLS. Hasil
regresi menunjukkan bahwa pendapatan (GDP) dan nilai tukar adalah faktor
penentu dalam ekspor dan impor. Ekspor Pakistan terkointegrasi dengan Jepang
dan Amerika, sementara impornya terkointegrasi dengan UAE dan Amerika.
Untuk ekspor dan impor terkointegrasi dengan Banglades dan Sri Lanka, tetapi
tidak dengan India dan China.
Penelitian yang menganalisis feasibility study Free Trade Agreement
(FTA) India dan Jepang yang dilakukan oleh Kalirajan dan Bhattacarya (2007)
yaitu dengan cara mengukur trade intensity indices untuk mengetahui dampak
FTA dengan berbagai hambatan perdagangan dan simulasi dampak FTA terhadap
arus perdagangan India dan Jepang dengan analisis gravity model. Hasil analisis
menunjukkan bahwa GDP, populasi dan nilai tukar berpengaruh positif sedangkan
jarak dan tarif berpengaruh negatif terhadap perdagangan bilateral India-Japan.
Kedua negara dapat meningkatkan ekspor mereka sekitar 36-40 persen dengan
menghilangkan hambatan perdagangan. Hasil secara keseluruhan bahwa India
akan mengalami kerugian pada saat short run. Setiap pengurangan tarif di pasar
India secara signifikan akan meningkatkan ekspor Jepang, karena India masih
menerapkan tingkat tarif yang tinggi.
Subhani et al. (2010) dengan judul Determinants and Barriers to Bilateral
Trade: A Study On Developing Economies. Mengkaji faktor pendukung
pertumbuhan perdagangan dunia, salah satunya pengurangan hambatan
perdagangan untuk negara berkembang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
populasi, impor dan transportasi biaya, jarak, tarif yang dikenakan oleh mitra
dagang, FDI dan kependudukan negara perdagangan adalah penentu dan secara
signifikan mempengaruhi ekspor negara berkembang. Di sisi lain, yang
berdampak besar pada impor negara-negara berkembang adalah biaya transportasi,
20
jarak, populasi mitra dagang, FDI kedua negara perdagangan dan pengiriman
uang dari mitra dagang.
Atmo (2009) menganalisis hubungan perdagangan bilateral IndonesiaIndia dengan alat analisis estimasi OLS dan data time series tahun 1980-2006
setelah perjanjian kerjasama antara ASEAN dan India pada tahun 2001. Dimana
variabel GDP berpengaruh positif untuk ekspor dan impor kedua negara, nilai
tukar positif untuk ekspor dan negatif untuk impor, tarif berpengaruh negatif
untuk pertumbuhan perdagangan Indonesia dan India, variabel kerjasama diantara
kedua negara berpengaruh negatif untuk ekspor dan positif untuk impor. Hasil
penelitian Yuniarti (2007) menyatakan determinan perdagangan global Indonesia
dengan sampel 10 mitra dagang menunjukkan pendapatan nasional mitra dagang
baik eksportir maupun importir, populasi importir, dan kesamaan ukuran ekonomi
berpengaruh positif terhadap perdagangan bilateral. Jarak mitra dagang
berpengaruh negatif dan perbedaan faktor endowment dan keanggotaan dalam
perdagangan tidak berpengaruh terhadap perdagangan bilateral.
Siwi (2013) meneliti hubungan perdagangan bilateral Indonesia-China
dalam kerangka ACFTA dimana berdasarkan pada neraca perdagangan yang
menunjukan defisit untuk Indonesia dan anggapan membawa dampak negatif bagi
perekonomian Indonesia, namun tetap dilaksanakan Indonesia. Kesimpulan
penelitian ACFTA menciptakan interaksi perdagangan bebas antara Indonesia
dengan China (bilateral free trade) dengan prinsip perdagangan bebas yang
semakin memudahkan kegiatan ekspor impor kedua negara dengan pemberlakuan
tarif khusus mengenai ekspor dan impor barang yang melintasi masing-masing negara.
Khan et al. (2013) melakukan analisis empiris perdagangan bilateral
Pakistan menggunakan gravity model. Hasil yang didapat GDP dan GDP Per
Kapita berpengaruh positif terhadap volume perdagangan, tetapi jarak dan
variabel dummy untuk kesamaan budaya menunjukkan hubungan negatif terhadap
volume perdagangan. Hasil penelitian juga menemukan bahwa Jepang, Turki,
Malaysia, India, dan Iran mempunyai potensi perdagangan yang besar dengan
Pakistan.
Dalam penelitian Cheong et al. (2013) terkait efek kebijakan perdagangan
tarif dan non tarif dalam kerangka kerjasama Preferential Trade Agreement (PTA)
dimana menyatakan bahwa dampak pengurangan tarif dan non tarif akan
meningkatkan margin negara anggota dan margin produk perdagangannya. Hal ini
sejalan dengan tujuan awal dibentuknya PTA yakni mengurangi tarif. Margin
perdagangan lebih cepat direspon dengan penurunan tarif, karena lebih mudah dan
jelas diterapkan daripada non tarif. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa nontarif mempunyai efek yang berbeda karena posisi tawar yang berbeda untuk tiap
negara.
Disdier et al. (2008) meneliti dampak regulasi dari perdagangan sektor
pertanian terkait dengan hambatan non tarif SPS dan TBT dengan menggunakan
model Gravity. Hasilnya menyimpulkan bahwa SPS dan TBT secara signifikan
mengurangi ekspor negara-negara berkembang ke negara-negara OECD tapi tidak
mempengaruhi arus perdagangan antara negara anggota OECD. Terkait hambatan
non-tarif, Boza (2013) mengkonfirmasi bahwa seiring diturunkannya hambatan
tarif, namun meningkatkan hambatan non-tarif, yakni technical barriers to trade
(TBT) dan sanitary and phytosanitary measures (SPS) terhadap aliran
perdagangan ekspor impor produk makanan dan pertanian. Secara umum hasil
21
penelitian menyimpulkan bahwa hambatan perdagangan SPS/TBT mempunyai
dua sisi, yakni berpengaruh negatif dengan meningkatkan biaya, namun disisi lain
memberikan keuntungan dengan meningkatkan permintaan karena kualitas dan
mutu komoditi yang terjaga baik.
Kerangka Pemikiran
Liberalisasi perdagangan mendorong banyak negara untuk membuka
kerjasama perdagangan dengan negara lain baik bilateral, regional maupun
multilateral dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang lebih besar dalam
perdagangan. Kerjasama perdagangan juga untuk memperluas dan memperkuat
hubungan ekonomi dengan negara lain. Demikian juga dengan Indonesia, dalam
membangun perekonomian nasional banyak membuka kerjasama perdagangan
dengan negara-negara di dunia, salah satunya dengan Chili.
Hubungan bilateral Indonesia-Chili sudah berlangsung dari tahun 1964.
Kedutaan Besar Republik Indonesia di Santiago dibuka tahun 1991. Sebagai
upaya untuk meningkatkan hubungan bilateral, kedua negara telah
menandatangani “Memorandum of Understanding Between of the Republic of
Indonesia and the Government of the Republic of Chile on the Establishment of
Bilateral Consultacions” di Santiago tanggal 25 Maret 2002 yang masih terus
berlaku hingga saat ini.
Hubungan Indonesia-Chili di bidang ekonomi terus berupaya
meningkatkan level kerjasama bilateral yang lebih tinggi dengan disepakatinya
Joint Study Group (JSG) Indonesia-Chili pada tahun 2002-2009. Dalam upaya
meningkatkan hubungan kedua negara, pada bulan Maret 2009 Kementerian
Perdagangan RI secara resmi telah membuka ITPC Santiago. Keberadaan ITPC
Santiago sangat membantu KBRI Santiago dalam mempromosikan produkproduk
andalan ekspor Indonesia dan membantu masalah yang dihadapi para pengusaha
Chile yang melakukan hubungan dagang dengan para pengusaha Indonesia.
Kerjasama terus dijalin dalam meningkatkan perdagangan antara Indonesia dan
Chile Tahun 2013 tahap pra negosiasi IC-CEPA dengan penandatanganan Term of
References (TOR) dan tahun 2014 negosiasi pertama Trade in Goods (TIGs)
untuk mencapai kesepakatan perdagangan bebas kedua negara, dengan disepakati
perdagangan barang, sedangkan untuk jasa dan investasi pada tahap selanjutnya.
Dalam perundingan ini mencakup tawar menawar atas kesepakatan yang akan
terjalin dengan tetap mengacu pada aturan WTO.
Penelitian ini akan meneliti kinerja perdagangan dan faktor penentu
keberhasilan perdagangan bilateral Indonesia-Chili karena melihat prospek Chili
sebagai mitra dagang yang potensial, sehingga Indonesia harus mempersiapkan
diri akan terwujudnya kesepakatan perdagangan bebas tersebut. Salah satu yang
harus diperhatikan yaitu bagaimana Indonesia memaksimalkan serta
mengembangkan nilai perdagangan dengan meningkatkan ekspor ke Chili dengan
mempersiapkan produk dan sektor terkait yang menunjang infrastruktur ekspor.
Dalam penelitian ini, kinerja perdagangan dapat dianalisis melalui tingkat daya
saing serta derajat integrasi perdagangan komoditi-komoditi ekspor unggulan
Indonesia-Chili. Selanjutnya menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
aliran perdagangan Indonesia-Chili dengan hambatan perdagangan baik tarif dan
non-tarif yang diterapkan oleh kedua negara. Sehingga pada akhirnya diharapkan
22
dapat menjadikan suatu referensi bagi pemerintah dalam mengembangkan
kebijakan ekspor komoditi-komoditi unggulan Indonesia ke pasar Chili.
Hubungan Perdagangan Indonesia-Chili
Keragaan Perdagangan Bilateral Indonesia-Chili
Daya saing dan integrasi komoditi
ekspor unggulan Indonesia-Chili
Metode
RCA
Metode
IIT
Aliran Perdagangan
Indonesia-Chili
Analisis faktor yang
mempengaruhi aliran
perdagangan Indonesia-Chili
Rekomendasi kebijakan untuk
meningkatkan ekspor
Indonesia ke Chili
Gambar 5 Kerangka pemikiran penelitian
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian dan studi penelitian terdahulu, maka dalam penelitian
ini dapat diajukan beberapa hipotesis penelitian bagi variabel-variabel penelitian,
yaitu:
1. GDP perkapita Indonesia dan Chili berpengaruh positif terhadap aliran
perdagangan Indonesia dan Chili.
2. Nilai tukar riil (Rp/Peso) berpengaruh positif terhadap ekspor Indonesia
ke Chili.
3. Nilai tukar riil (Rp/Peso) berpengaruh negatif terhadap impor Indonesia
dari Chili.
4. Tarif memiliki hubungan negatif dengan aliran perdagangan Indonesia
dan Chili.
5. Hambatan non-tarif SPS memiliki hubungan negatif dengan aliran
perdagangan Indonesia dan Chili.
6. Hambatan non-tarif TBT memiliki hubungan negatif dengan aliran
perdagangan Indonesia dan Chili.
23
3
METODE
Jenis dan Sumber Data
Seluruh data yang digunakan dalam kajian ini merupakan data sekunder.
Sumber data aliran perdagangan antara Indonesia dan Chili berasal dari Trademap.
Penggunaan HS enam digit dilakukan untuk memudahkan perincian jenis
komoditi penelitian. Data makro didapatkan dari CIA World Fact Book,
Trademap, Kementerian Perdagangan dan lain-lain. Pada penelitian ini yang
menjadi data panel adalah komoditi ekspor dan impor terpilih yang diteliti dari
tahun 2001 sampai dengan tahun 2013.
Tabel 4 Jenis dan sumber data
No Data
1
Data perdagangan ekspor-impor (US$)
2
GDP, GDP riil, GDP per kapita (US$)
3
Nilai tukar
4
Tarif
5
Non tarif
Sumber
Trademap
World Bank
WDI
WTO
WTO
Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini menggunakan dua metode yakni analisis deskriptif
dan analisis kuantitatif. Tujuan penelitian yang pertama yakni analisis kinerja
perdagangan Indonesia-Chili dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif.
Analisis ini menggunakan data perdagangan Indonesia yaitu data ekspor Indonesia
ke Chili serta impor Indonesia dari Chili yang bersumber dari data perdagangan
(Trademap) dengan kode HS enam digit.
Analisis kuantitatif untuk menjelaskan tujuan penelitian yang kedua
dengan menggunakan data perdagangan, akan dianalisis tingkat daya saingnya
menggunakan nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) serta tingkat
integrasi perdagangannya menggunakan indeks Intra-Industry Trade (IIT).
Sedangkan untuk melihat aliran perdagangan bilateral Indonesia-Chili dengan
menggunakan analisis ekonometrika.
Analisis Revealed Comparative Advantage (RCA)
Nilai RCA adalah indikator yang bisa menunjukkan perubahan
keunggulan komparatif atau perubahan tingkat daya saing industri suatu negara di
pasar global (Kuncoro 1997). Nilai RCA menunjukkan keunggulan komparatif
atau daya saing ekspor dari suatu negara dalam suatu komoditas terhadap dunia
(Tambunan 2001). Dalam kasus penelitian ini, tingkat daya saing yang akan
digunakan merupakan daya saing komoditi unggulan kedua negara, Indonesia dan
Chili. Sehingga penelitian ini akan tetap menggunakan rumus RCA dengan
modifikasi sebagai berikut:
…(3.1)
24
Dimana
Xkj
: Nilai ekspor komoditas k ke negara j
Xj
: Nilai ekspor total negara j
Xkw
: Nilai ekspor komoditas k dunia ke negara j
Xw
: Nilai ekspor total dunia
Jika nilai RCA suatu negara untuk komoditas tertentu adalah lebih besar
dari satu (1), maka negara bersangkutan memiliki keunggulan komparatif di atas
rata-rata dunia untuk komoditas tersebut. Sebaliknya, bila lebih kecil dari satu
(1),berarti keunggulan komparatif untuk komoditi tersebut tergolong rendah,
dibawah rata-rata dunia. Semakin besar nilai RCA, semakin tinggi pula tingkat
keunggulan komparatifnya.
Analisis Intra-Industry Trade (IIT)
Selanjutnya penentuan komoditas unggulan sebagai objek penelitian
dilakukan dengan melihat nilai indeks IIT. Pengukuran IIT dalam penelitian ini
dilakukan dengan menghitung nilai IIT index komoditas ekspor dan impor.
Terdapat beberapa cara untuk menghitung IIT index. Cara yang paling umum
digunakan adalah melalui Grubel-Lloyd Index yang dirumuskan sebagai berikut:
…(3.2)
Dimana:
i
j
k
: Perdagangan intra-industri produk k antara negara Indonesia
dan Chili
: Ekspor produk k dari negara Indonesia ke negara Chili
: Impor produk k oleh negara Indonesia dari negara Chili
: Negara yang melaporkan nilai perdagangan
: Negara mitra dagang
: Jenis produk
Tanda Σ menunjukkan jumlah dari produk atau komoditas pada kode HS 6
digit. Dalam penelitian ini, indeks yang akan diukur berhubungan dengan setiap
arus perdagangan bilateral antara Indonesia dengan Chili. Hasil dari IIT index
akan digunakan sebagai indikator dari integrasi yang terjadi dalam sektor
unggulan dan potensial. Derajat integrasi ditentukan menurut klasifikasi rentang
nilai IIT yang tertera pada tabel 5.
Tabel 5 Klasifikasi dari nilai IIT
Intra Industri Trade
Klasifikasi
0.00
No integration (one way trade)
>0.00 – 24.99
Weak integration
25.00 – 49.99
Mild Integration
50.00 – 74.99
Moderately strong integration
75.00 – 99.99
Strong integration
Sumber: Austria 2004
25
Analisis Ekonometrika
Adanya keterbatasan time series data sehingga dalam analisis aliran
perdagangan bilateral Indonesia dan Chili menggunakan data panel statis dengan
metode Pooled Least Square (PLS). Metode kuadrat terkecil biasa yang
diterapkan dalam data yang berbentuk pool merupakan pendekatan yang paling
sederhana dalam pengolahan data panel. Misalkan terdapat persamaan berikut ini :
Yit = α + βj xjit + εit untuk i = 1, 2, ..., N dan t = 1, 2, ..., T
…(3.3)
Dimana N adalah jumlah unit cross section (individu) dan T adalah jumlah
periode waktunya. Dengan mengasumsikan komponen error dalam pengolahan
kuadrat terkecil biasa, kita dapat melakukan proses estimasi secara terpisah untuk
setiap unit cross section. Untuk periode t = 1, akan diperoleh persamaan regresi
cross section sebagai berikut:
Yi1 = α + βj xjit + εi1 untuk i = 1, 2, ..., N
…(3.4)
Yang akan berimplikasi diperolehnya sebanyak T persamaan yang sama. Begitu
juga sebaliknya, kita juga akan dapat memperoleh persamaan deret waktu (time
series) sebanyak N persamaan untuk setiap T observasi dengan α dan β konstan
sehingga akan dapat diperoleh dalam bentuk regresi yang lebih besar dengan
melibatkan sebanyak NT observasi. Akan tetapi dengan demikian tidak dapat
melihat perbedaan antar individu maupun antar waktu.
Terdapat beberapa pertimbangan dalam menentukan kesesuaian model
dalam menjelaskan hubungan antar variabel dalam suatu penelitian. Selain harus
memenuhi kriteria model yang baik secara statistik, aspek substansial dari
hubungan antar variabel berdasarkan teori empiris juga penting untuk
diperhatikan. Secara substansi perlu dilihat kesesuaian antara tanda dan nilai
estimasi yang dihasilkan dari model yang terbentuk dengan teori ekonomi dan
logika yang mendasarinya. Secara statistik, kriteria yang diperhatikan antara lain
nilai koefisien determinasi. Nilai koefisien determinasi terletak antara nol sampai
satu. Jika nilai R2 bernilai nol atau mendekati nol maka dikatakan kemampuan
variabel bebas untuk menjelaskan variasi pada variabel terikatnya sangat terbatas
dan sebaliknya jika nilai R2 mendekati satu berarti variabel bebas mampu
memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi
variabel terikatnya, atau dapat dikatakan model yang terbentuk semakin baik.
Spesifikasi Model
Untuk menjawab masalah dalam penelitian ini, spesifikasi model dalam
penelitian ini didasarkan penelitian Haider et.al (2011) dan Kalirajaan dan
Bhattacharya (2007) dengan penyesuaian variabel dalam penelitian ini sebagai
berikut:
1. Model Ekspor Indonesia ke Chili:
Ln Eksporit = α0 + α1 ln GDPit + α2 ln REXRit + α3 Tit + α4 DSPSit +
α5 DTBTit + εit ;
(α1, α2 > 0 ; α3, α4, α5 <0)
…(3.5)
26
2. Model Impor Indonesia dari Chili:
Ln Imporit = β0 + β1 ln GDPit + β2 ln REXRit + β3 Tit +β 4 DSPSit +
β5 DTBTit +εit ;
(β 1, β 2 > 0 ; β 3, β 4, β 5 <0)
Dimana:
Eksporit
Imporit
GDPit
REXRit
Tit
DSPSit
DTBTit
α0, β0
α1, α2, α3, α4,α5,
β1, β2, β3, β4, β5
εit
k
i (1, 2,...,6)
t (1, 2,…, 13)
…(3.6)
= Ekspor Indonesia ke Chili komoditi i tahun ke t (US $)
= Impor Indonesia dari Chili komoditi i tahun ke t (US $)
= Gross Domestic Product Per Kapita (US $)
= Nilai tukar riil Indonesia (Rupiah/Peso)
= Rata-rata tarif (%)
= Variabel dummy untuk non-tariff measures yang berupa
kebijakan SPS negara pengimpor pada negara
pengekspor terhadap komoditi i pada tahun t. Bernilai 1
jika terdapat non-tariff measures jenis SPS, dan bernilai
0 jika sebaliknya;
= Variabel dummy untuk non-tariff measures yang berupa
kebijakan TBT negara pengimpor negara pengimpor
pada negara pengekspor terhadap komoditi i pada tahun
t. Bernilai 1 jika terdapat non-tariff measures jenis TBT,
dan bernilai 0 jika sebaliknya;
= Intersep
= Parameter yang diestimasi
= Parameter yang diestimasi
= Error term
= Jenis produk/komoditi
= komoditi
= tahun
Definisi Variabel Operasional
Definisi operasional variabel yang digunakan dalam model penelitian ini
antara lain:
1. Ekspor dan impor merupakan nilai perdagangan suatu negara ke negara
mitra dagangnya.
2. GDP suatu negara (GDP), diukur dari nilai GDP per kapita atas dasar
harga konstan.
3. Real Exchange Rate (REXR) merupakan nilai tukar riil negara pengekspor
dan negara pengimpor yang diperoleh dari :
REXRit = (
)X(
)
4. Tarif (T) merupakan pajak atau cukai yang dikenakan untuk komoditi yang
diperdagangkan lintas batas teritorial, tarif yang digunakan adalah rata-rata
tariff yang diberlakukan oleh negara importir bagi masing-masing produk
ekspor.
27
5. Dummy SPS (DSPSit) merupakan variabel dummy yang menjelaskan
pemberlakuan non-tariff measures jenis SPS. Bernilai 1 jika diberlakukan
minimal satu kebijakan SPS, dan bernilai 0 jika sebaliknya.
6. Dummy TBT (DTBTit) merupakan variabel dummy yang menjelaskan
pemberlakuan non-tariff measures jenis TBT. Bernilai 1 jika diberlakukan
minimal satu kebijakan TBT, dan bernilai 0 jika sebaliknya.
4 KERAGAAN PERDAGANGAN BILATERAL
INDONESIA-CHILI
Gambaran Umum Perekonomian Indonesia dan Chili
Chili secara geografis terletak di Barat Daya Benua Amerika, yang
wilayahnya berbatasan langsung dengan Peru dan Bolivia di sebelah Utara, di
sebelah timur berbatasan dengan Argentina, di sebelah Selatan berbatasan dengan
Kutub Selatan dan di sebelah barat berbatasan dengan Laut Atlantik. Chili
mempunyai jumlah penduduk 17.62 juta jiwa, dengan bahasa resminya adalah
Spanyol. GDP perkapita Chili terus menunjukkan peningkatan, artinya
menunjukkan pertumbuhan ekonomi dan merupakan potensi yang besar sebagai
pasar baru tujuan ekspor Indonesia dimana pada tahun 2013 mencapai US
$ 15,791 sedangkan pada tahun yang sama GDP per kapita Indonesia sebesar US
$ 3,475. Pertumbuhan ekonomi Chili dan Indonesia bisa dilihat dari tingkat
pertumbuhan GDP perkapita. Pada Gambar 6 adalah perbandingan GDP kedua
negara.
Gambar 6 Perbandingan GDP perkapita Indonesia dan Chili
Sumber : WDI 2014
Mata uang resmi Chili adalah Peso dengan kurs tahun 2013 adalah US$ 1
sama dengan Ch$ 495.27. Sejak tahun 1990, Chili telah berusaha untuk membuat
perubahan dalam rangka meningkatkan perekonomian, dan sekarang Chili telah
berhasil menjadi salah satu negara dengan perkonomian yang stabil dan menonjol
di kawasan Amerika Selatan. Chili terus menjaga tingkat pertumbuhan
ekonominya, mengurangi tingkat kemiskinan, pemerintahan yang terbuka dan dan
menjadi negara yang demokratis. Chili mengandalkan dari kegiatan perdagangan
barang, baik barang manufaktur maupun hasil pertanian, pertambangan dan jasa.
28
Dalam pembangunan ekonomi, Indonesia dan Chili adalah negara yang menganut
strategi outward looking, dimana kedua negara mengandalkan sektor perdagangan
luar negeri sebagai salah satu motor penggerak pembangunan negara.
Pertumbuhan ekonomi Chili juga dipengaruhi oleh nilai tukar mata uang
domestik terhadap dollar Amerika, karena seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa perdagangan luar negeri adalah motor penggerak
perekonomian Chili, sehingga nilai tukar sangat berpengaruh dalam
mempertahankan stabilitas ekonomi negara Chili dan Indonesia. Sedangkan
tingkat inflasi tertinggi pada tahun 2008 mencapai 8.7% dan pada tahun 2013
mencapai sebesar 1.8%. Fluktuasi nilai tukar dan inflasi Chili pada tahun 20012013 secara terperinci pada Gambar 7 berikut.
Peso/US $
800
10
9
700
8
600
7
500
6
400
5
4
300
3
200
2
100
1
0
0
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Nilai Tukar
634.9
688.9
691.4
609.5
559.7
530.2
522.4
522.4
560.8
510.2
483.6
486.4
495.2
Inflasi
3.569
2.489
2.810
1.054
3.052
3.392
4.407
8.716
0.353
1.409
3.341
3.006
1.793
Gambar 7 Nilai tukar dan inflasi Chili
Sumber : WTO
Seperti halnya Chili, kegiatan perdagangan luar negeri adalah salah satu
motor penggerak pembangunan ekonomi Indonesia, sehingga fluktuasi nilai tukar
berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Fluktuasi nilai tukar
Rupiah terhadap dollar Amerika baik depresiasi atau apresiasi nilai mata uang
akan mengakibatkan perubahan terhadap ekspor maupun impor. Jika kurs
mengalami depresiasi, yaitu nilai mata uang dalam negeri secara relatif terhadap
mata uang asing menurun, volume ekspor akan menaik. Dengan kata lain, apabila
nilai kurs dollar menguat, maka volume ekspor juga akan meningkat (Sukirno,
2004). Pada Gambar 8 terlihat fluktuasi nilai tukar dan tingkat inflasi Indonesia.
Rp/US $
12,000
8
7
10,000
6
8,000
5
6,000
4
3
4,000
2
2,000
1
0
0
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
Nilai Tukar
10,26
9,311
8,577
8,938
9,704
9,159
9,141
9,698
10,38
9,090
8,770
9,386
10,46
Inflasi
7.016
6.825
6.650
6.158
5.981
5.539
4.608
4.785
4.61
4.420
4.152
3.786
3.650
Gambar 8 Nilai tukar dan inflasi Indonesia
Sumber : WTO
%
29
Chili merupakan negara dengan kebijakan penetrasi pasar yang sangat
dinamis. Dalam perdagangan internasional, Chili menerapkan trade barrier untuk
melindungi industri dalam negerinya, yaitu kebijakan tarif dan non-tarif. Tarif bea
masuk yang diterapkan Chili telah diturunkan secara progresif sebesar 1% per
tahun sejak tahun 1998. Pada tahun 2003, bea masuk impor untuk produk-produk
utama akan diturunkan dari 9% menjadi 6% tanpa perjanjian perdagangan bebas.
Disamping itu Chile memiliki Perjanjian Pembebasan Tarif Terbatas dengan India,
Kuba dan Venezuela serta Perjanjian Penghapusan Pajak Berganda dengan 25
negara. Chili mengatur lisensi ekspor dan impor, tetapi lebih sebagai aturan
tertulis dari pada tindakan nyata. Hanya bagi produk-produk pertanian dan produk
sensitif yang dilakukan pembatasan, sehingga tidak sulit bagi investor untuk
melakukan usaha di Chili. Untuk hambatan non-tarif berupa lisensi impor, kuota
impor, standard dan labeling requirement, khususnya bagi produk makanan dan
pertanian. Chili adalah salah satu negara yang sangat memperhatikan standar
kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan. Hambatan perdagangan non tarif
yang diterapkan Chili mengacu pada aturan WTO, yakni hambatan Sanitary and
Phytosanitary Measure (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT). Instansi
lokal yang mempunyai kewenangan regulasi teknis antara lain Menteri Kesehatan,
Menteri Pertanian dan National Standard Institute (INN). Sedangkan yang
bertanggung jawab untuk kesehatan pangan adalah Kementerian Kesehatan
melalui Chilean Institute of Public Health (ISP) dan Metropolitan Environmental
Health Service (SESMA). Instansi ini mempunyai kewenangan menyetujui
kandungan, pengemasan, label, sertifikasi, regristrasi terhadap produk pangan,
bahan kimia dan alat-alat kecantikan.
Indonesia juga menerapkan hambatan perdagangan dalam upaya
melindungi pasar dalam negeri berupa tarif dan non tarif. Kebijakan tarif
Indonesia sudah mengikuti konvensi WTO dimana tarif terus dikurangi bahkan
dihapus demi mewujudkan perdagangan yang bebas hambatan, sehingga
Indonesia juga menerapkan standar atas barang impor Indonesia. Hambatan non
tarif Sanitary and Phytosanitary Measure (SPS) dengan aturan lebih kepada sisi
kesehatan manusia, hewan, lingkungan. Indonesia menerapkan hambatan ini
dengan aturan adanya standar yang wajib dipenuhi dengan SNI, misalnya
terpenuhinya aturan Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis
(HACCP), mengenai pengelolaan pangan terkait bahan, produk dan proses,
dimana komposisi dan batas bahan yang boleh ditambahkan dalam pangan.
Sedangkan untuk hambatan Technical Barriers to Trade (TBT) semua komoditi
impor Indonesia wajib memenuhi beberapa ketentuan antara lain labelling,
garansi, dan penggunaan Bahasa Indonesia dalam keterangan dalam produk.
Gambaran Umum Keragaan Perdagangan Indonesia-Chili ke Dunia
Dalam perdagangan dunia, Indonesia tercatat menempati urutan ke-69 dan
Chili menempati urutan ke-72 dalam Economic Complexity Index (ECI) yang
merupakan indeks pembangunan ekonomi yang berbasis obyek/produk, dimana
menunjukkan kapabilitas sebuah negara. Kegiatan ekspor memberikan kontribusi
yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi Chili, khususnya ekspor primary
product yaitu produk-produk hasil pertanian dan mata dagang yang lain yang
dijual tanpa proses pengolahan dan produk alami yang telah diolah seperti
tembaga, buah segar, produk kehutanan dan perikanan.
30
Komoditi ekspor unggulan Chili ke dunia adalah tembaga, bijih besi,
tembaga mentah, anggur, wine, dan bubur kertas. Sedangkan Indonesia komoditi
ungula ekspor ke dunia adalah batu bara, minyak sawit, karet, minyak kelapa
(VCO), sabun, timah mentah, dan minyak mentah. Mitra dagang Indonesia untuk
tujuan ekspor Indonesia adalah RRC (14%), Jepang (11%), Amerika Serikat
(10%), India (9%), dan Singapura (7%) sedangkan negara pengimpor terbesar
adalah China (16%), Singapura (14%), Jepang (11%), Korea Selatan (6.9%), dan
Malaysia (6.1%). Mitra dagang sebagai tujuan ekspor Chili adalah China (23%),
Amerika Serikat (12%), Jepang (11%), Korea Selatan (5.9%), dan Brazil (5.4%),
sedangkan negara pengimpor untuk Chili adalah Amerika Serikat (23%), China
(18%), Brazil (6.4%), Argentina (5.8%), dan Jerman (4.5%).
Gambar 9 Pertumbuhan ekspor dan impor Indonesia ke dunia tahun 2001-2013
Sumber : diolah dari Trademap 2014
Pada Gambar 6 menunjukkan pertumbuhan perdagangan dari tahun 20012013 di pasar dunia, dimana pertumbuhan ekspor tertinggi tercatat pada tahun
2010 dengan nilai US $ 157.77 milyar dan terendah pada tahun 2009 sebesar US
$ 116.5 milyar. Untuk pertumbuhan impor Indonesia mencapai tingkat tertinggi
pada tahun 2004 senilai US $ 46.52 milyar dan terendah pada tahun 2009 sebesar
US $ 96.82 milyar. Kondisi perdagangan Chili dalam perdagangan dunia
mencapai tingkat tertinggi pertumbuhan ekspor pada tahun 2004 dengan nilai US
$ 33.02 milyar dan terendah pada tahun 2009 sebesar US $ 55.45 milyar.
Sedangkan untuk pertumbuhan impor Chili dari pasar dunia tertinggi pada tahun
2010 senilai US $ 59.28 milyar dan terendah pada tahun 2009 sebesar US $ 42.80
milyar. Secara terperinci pada Gambar 7.
Gambar 10 Pertumbuhan ekspor dan impor Chili ke dunia tahun 2001-2013
Sumber : diolah dari Trademap 2014
31
Gambaran Umum Keragaan Perdagangan Bilateral Indonesia dan Chili
Hubungan bilateral Indonesia-Chili dimulai pada pertengahan abad 19,
sekitar tahun 1970-an. Dalam rangka meningkatkan hubungan perdagangan maka
kedua negara memiliki beberapa perjanjian antara lain pada tahun 1987 menjalin
kerjasama teknik, persetujuan kerjasama perdagangan pada tahun 1992,
persetujuan perlindungan invesasi pada tahun 1999 dan pada 1997 terjalin Nota
Kesepakatan Kerjasama Bidang Perbankan. Hubungan Bilateral Indonesia-Chili
terus menunjukkan peningkatan, didukung oleh kebijakan luar negeri kedua
negara yang memiliki visi yang sama, yaitu penghormatan terhadap keutuhan dan
integritas sebuah negara yang berdaulat dan terhadap kepemimpinan yang sah dan
demokrasi, pengembangan demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia, partisipasi aktif pada forum internasional dan regional masing-masing
dalam rangka meningkatkan perdamaian dunia dan pembangunan ekonomi,
lingkungan hidup, perlindungan terhadap warganegara yang berada di luar negeri.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Wehner (2007) mengkaji tentang
percepatan FTA Jepang dan Chili, dimana FTA tercapai dengan cepat selama
sepuluh bulan dengan strategi negosiasi yang saling menguntungkan. Jepang
berkepentingan dengan sektor bisnis (automobile) dengan penghapusan tarif.
Sedangkan sektor pertanian yang menjadi keunggulan komparatif Chili,
kesepakatannya bersifat fleksibel. Chili mengandalkan dari kegiatan perdagangan
barang baik barang manufaktur maupun hasil pertanian, pertambangan dan jasa.
Tahun 1990-an hubungan perdagangan menunjukkan peningkatan, namun pada
tahun 1998-2000 volume perdagangan menurun dikarenakan dampak krisis dunia.
Pada tahun 2001-2013 kondisi perdagangan kedua negara fluktuatif.
Saat ini sudah banyak negara yang sudah mengadakan perjanjian
perdagangan baik secara bilateral maupun regional dalam rangka mengamankan
pasar ekspornya, mengurangi sengketa perdagangan dan meningkatkan daya saing
ekspor di pasar Internasional. Indonesia dan Chili tergabung dalam World Trade
Organization (WTO) dalam rangka menghilangkan hambatan perdagangan,
terutama tarif. Hubungan kerjasama bilateral Indonesia Chili sangat baik, dan
kedua negara sepakat untuk meningkatkan kerjasama perdagangan pada level
yang lebih tinggi dengan upaya mewujudkan kerjasama perdagangan bebas
sebagai media peningkatan perdagangan untuk kedua negara. Selain itu kerjasama
perdagangan bebas sebagai entry point bagi Chili di kawasan Asia, dan Indonesia
di Kawasan Amerika Selatan. Pada saat ini Chili menempati urutan ke-51 sebagai
negara tujuan ekspor Indonesia dan urutan ke-38 sebagai negara pengimpor untuk
Indonesia.
Komoditi Indonesia yang banyak dibutuhkan dan diimpor oleh masyarakat
Chili adalah batu bara, kain dan pakaian, sepatu dan tas, peralatan elektronik dan
listrik, komponen dan suku cadang kendaraan bermotor, bahan makanan (rempahrempah, rumput laut, teh, kopi, coklat, mentega dan minyak kelapa sawit, sari
buah tropis, tembakau, dsb), peralatan rumah tangga dan muebel, alat-alat tulis
dan kertas, mainan anak-anak dan peralatan olah raga, dsb. Sedangkan produk
dari Chili yang banyak diekspor ke Indonesia adalah tembaga, biji besi, bubur
kayu/selulosa, buah-buahan segar sub tropis (apel, kiwi, anggur, dsb), minuman
anggur, ikan salmon, minyak ikan, susu bubuk, dsb.
Pada Tabel 6 menunjukkan total perdagangan Indonesia dengan Chili
tahun 2013 sebesar US $ 412.015 ribu atau naik sebesar 7,86% dibanding tahun
32
2012 sebesar US $ 381.987,5 ribu. Ekspor non migas Indonesia ke Chili pada
tahun 2013 menunjukkan penurunan sebesar 2.6% menjadi US $ 170.766,8 ribu
dari US $ 175.346,5 ribu pada tahun 2012. Sedangkan untuk impor non migas
Indonesia dari Chili tahun 2013 naik 16.7% yakni US $ 241.248,2 ribu, dibanding
tahun 2012 sebesar US $ 206.640,9 ribu. Untuk neraca perdagangan menunjukkan
defisit untuk Indonesia dimana tahun 2013 defisit sebesar US $ 70,481 ribu.
Berdasarkan data yang ada bisa dilihat bahwa tingkat rata-rata pertumbuhan
ekspor Indonesia lebih kecil yakni sebesar 7.75% dibandingkan tingkat
pertumbuhan impor Indonesia dari Chili yakni sebesar 18.33%.
Tabel 6 Performa perdagangan bilateral Indonesia-Chili tahun 2001-2013
Sumber: Trademap 2014
Jumlah produk yang diekspor Indonesia ke Chili berkisar 331 produk dan
yang diimpor Indonesia dari Chili berkisar 160 produk, dengan total perdagangan
mencapai US $ 412.015 ribu. Perdagangan antara Indonesia dan Chili yang telah
dilakukan selama ini didominasi oleh ekspor impor non-migas. Neraca
perdagangan selama periode 2009-2013 menunjukkan bahwa hanya pada tahun
2009 terdapat ekspor non-migas Indonesia ke Chili senilai US $ 22.950,5 ribu.
Neraca perdagangan non migas Indonesia dengan Chili selama 5 (lima) tahun
terakhir menunjukkan defisit bagi Indonesia. Tahun 2013 tercatat defisit sebesar
US$ 70.481,3 ribu sedangkan pada tahun 2012 tercatat defisit US$ 31.294,4 ribu.
Sumber defisit neraca perdagangan Indonesia dengan Chili karena besarnya
impor bahan baku, terutama tembaga. Chili sebagai negara terbesar penghasil dan
eksportir tembaga yakni mencapai 34% dari total pasar tembaga di dunia
(http://prokum.esdm.go.id/). Harga tembaga menopang tingkat pertumbuhan
ekonomi Chili yang mencapai 5.5% pada tahun 2011. Berdasarkan data dari
Trademap nilai impor tahun 2013 tercatat US $ 49,779ribu. Indonesia sebagai
penghasil tembaga, namun hanya sekitar 30% yang mampu dipenuhi, karena
hanya ada satu perusahaan yakni PT Smelting-Gresik sebagai pabrik pemurnian
tembaga yakni katoda tembaga di Indonesia, sehingga sisanya dipenuhi dari impor.
33
Tabel 7 Sepuluh komoditi terbesar ekspor dan impor Indonesia tahun 2013 dan
share terhadap total ekspor dan imporke dunia tahun 2013
HS 6
Keterangan
Nilai
Share
(US $ 000)
(%)
Ekspor Indonesia
'640319
Alas kaki olah raga dengan sol luar dari karet, plastik, kulit samak
atau kulit komposisi dan bagian atas sepatu dari kulit samak.
22,058
12.92
'841810
Kombinasi lemari pendingin-pembeku, dilengkapi dengan pintu luar
terpisah
17,001
9.96
'640219
Alas kaki lainnya dengan sol luar dan bagian atas dari karet atau
plastik.
7,661
4.49
'870323
Mobil dan kendaraan bermotor lainnya terutama dirancang untuk
pengangkutan orang dengan kapasitas silinder melebihi 1.000 cc tetapi
tidak melebihi 1.500 cc
7,448
4.36
'390760
Polyethylene terephthalate
7,131
4.18
'121221
Rumput laut dan ganggang lainnya layak untuk dikonsumsi manusia
6,426
3.76
'640419
Alas kaki dengan sol luar dari karet, plastik, kulit samak atau kulit
komposisi dan bagian atasnya dari bahan tekstil.
5,743
3.36
'640411
Alas kaki olah raga; sepatu tenis, sepatu bola basket, sepatu senam,
sepatu latihan dan sejenisnya
4,861
2.85
'340220
Bahan aktif permukaan organik (selain sabun) preparat pencuci dan
preparat pembersih disiapkan untuk penjualan eceran
4,844
2.84
'640399
Alas kaki dengan sol luar dari karet, plastik, kulit samak atau kulit
komposisi dan bagian atas sepatu dari kulit samak.
4,651
2.72
-------
Lainnya
87,824
48.57
108,290
44.89
Impor Indonesia
'260111
Bijih besi dan konsentratnya, termasuk pirit besi panggang tidak
diaglomerasi
'740311
Katoda tembaga dan bagian dari katoda
49,779
20.63
'470321
Pulp kayu kimia, soda atau sulfat, selain dissolving grade semi
kelantang atau dikelantang; pohon jenis konifera
16,830
6.98
'470311
Pulp kayu kimia, soda atau sulfat, selain dissolving grade tidak
dikelantang; pohon jenis konifera
10,155
4.21
'470329
Pulp kayu kimia, soda atau sulfat, selain dissolving grade semi
kelantang atau dikelantang; pohon bukan jenis konifera
9,152
3.79
'150420
Lemak dan minyak serta fraksinya, dari ikan, selain minyak hati ikan
7,952
3.3
'310490
Pupuk mineral atau kimia, mengandung kalium dikemas > 10kg
6,769
2.81
'080610
Anggur segar
6,716
2.78
'440710
Kayu digergaji atau dibelah memanjang, diiris atau dikuliti, diketam,
diampelas atau end-jointed maupun tidak, dengan ketebalan melebihi
6 mm; pohon jenis konifera
4,663
1.93
'170290
Gula termasuk gula invert
3,910
1.62
-------
Lainnya
224,216
0.7
Sumber : Trademap 2014
34
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Daya Saing Komoditi Unggulan Indonesia-Chili
Penelitian ini meneliti komoditi-komoditi unggulan ekspor dan impor
dalam perdagangan Indonesia-Chili. Penetapannya dilakukan dengan mensortir
komoditi berdasarkan nilai ekspor dan impor terbesar tahun 2013 dan memiliki
konsistensi perdagangan dari tahun 2001-2013 sebagai komoditi unggulan.
Analisis daya saing komoditi unggulan yang diperdagangkan secara bilateral
Indonesia-Chili dilakukan dengan menggunakan pendekatan RCA. Metode ini
pertama kali dikenalkan oleh Bela Balassa yang awalnya mengajukan postulasi
perdagangan internasional didasarkan pada nisbah atau rasio ekspor
impordigunakan atas dasar. RCA berdasarkan suatu konsep bahwa perdagangan
antar wilayah sebenarnya menunjukkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh
suatu wilayah. Variabel yang diukur yaitu kinerja ekspor komoditi unggulan
ekspor Indonesia ke Chili terhadap total ekspor Indonesia ke Chili yang kemudian
dibandingkan dengan pangsa pasar komoditi tersebut dalam perdagangan dunia ke
pasar Chili, demikian juga untuk menghitung RCA dari sisi nilai ekspor Chili ke
Indonesia.
Nilai RCA yang diperoleh menggambarkan kinerja komoditi unggulan
ekspor kedua negara, Indonesia dan Chili dengan kisaran nilai antara nol sampai
tak hingga. RCA dapat didefinisikan bahwa jika pangsa komoditi unggulan ekspor
Indonesia ke Chili di dalam total ekspor suatu negara lebih besar dibandingkan
pangsa pasar ekspor komoditi tersebut di dalam total ekspor komoditi dunia,
artinya negara tersebut mempunyai keunggulan komparatif untuk komoditi
tersebut. Semakin tinggi nilai RCA menunjukkan semakin tinggi keunggulan
komparatif negara tersebut.
Hasil estimasi nilai RCA pada tahun 2009-2013 menunjukkan bahwa
sebanyak 129 komoditi ekspor Indonesia yang bernilai lebih dari satu, artinya
komoditi-komoditi tersebut memiliki daya saing yang baik dalam pasar dunia.
Civan dan Serin (2008) menggunakan analisis RCA dengan menyimpulkan bahwa
Turki mempunyai keunggulan komparatif yang tinggi untuk komoditi jus buah
dan minyak zaitun di pasar Eropa. Demikian juga dengan Yunus et al. (2010)
mengkaji perubahan pola perdagangan terkait spesialisasi ekspor Malaysia ke
Singapura, dengan metode Revealed Comparative Advantage (RCA)
menyimpulkan daya saing Malaysia bergeser dari industri berbasis agro menjadi
industri untuk produk setengah jadi, terutama besi, baja dan seng.
Daya saing yang baik ini merupakan nilai lebih Indonesia dalam
memajukan perekonomiannya. Penetapan komoditi unggulan dengan menyeleksi
komoditi yang mempunyai nilai RCA yang terbesar pada periode tahun 20012013 dengan data yang konsisten dalam selang waktu penelitian. Hasil analisis
RCA menunjukkan bahwa komoditi ekspor Indonesia ke Chili hanya beberapa
yang termasuk kelompok komoditi utama dan komoditi potensial ekspor versi
pemerintah. Melihat lebih jauh profil komoditi pilihan ekspor Indonesia yang
digunakan dalam penelitian ini berdasarkan nilai RCA secara terperinci pada
Gambar 11.
35
US $
350
Sports footwear
300
Surface-active prep
250
200
Video recording
150
Natural rubber
100
Black tea
(fermented)
50
0
Pineapples nes
2009
2010
2011
2012
2013
Gambar 11 Kinerja ekspor enam komoditi terpilih Indonesia tahun 2009-2013
Sumber: diolah Trademap 2014
Komoditi unggulan ekspor Indonesia, seperti minyak sawit dan minyak
kelapa/kopra masih berdaya saing lemah, dengan nilai ekspor yang rendah untuk
pasar Chili. Disini dapat terlihat bahwa masih terdapat peluang yang cukup besar
bagi Indonesia untuk meningkatkan lagi ekspor produk yang lebih berdaya saing
tinggi. Pada Tabel 8 menunjukkan peta persaingan negara eksportir terbesar ke
Chili terkait komoditi ekspor terpilih Indonesia.
Tabel 8 Kontribusi enam eksportir terhadap total impor Chili terhadap enam
komoditi ekspor terpilih Indonesia tahun 2013
Sumber : diolah dari data Trademap 2015
Kontribusi negara eksportir ke Chili dalam penelitian ini adalah tiga
terbesar dunia dan tiga terbesar Asia Tenggara. Dapat dilihat bahwa dari enam
komoditi ekspor terpilih, Indonesia menempati urutan pertama untuk tiga
komoditi yaitu alas kaki olah raga, karet alam (TSNR), teh hitam. Sedangkan
untuk komoditi nanas dikuasai oleh Thailand, sedangkan Amerika menempati
urutan pertama untuk komoditi bahan aktif permukaan organik, disiapkan untuk
penjualan eceran maupun tidak (selain sabun) dan China untuk komoditi video
perekam atau pereproduksi.
Sebelum tahun 2013 untuk komoditi batubara (Coal Briquettes) menjadi
komoditi ekspor yang potensial Indonesia ke Chili dan menjadi komoditi
unggulan impor Chili dengan volume ekspor yang tinggi, dimana pada tahun 2012
sebesar US $ 12. 467 ribu, namun pada tahun 2013 tidak ada aktifitas ekspor
mineral Indonesia ke Chili. Hal ini terkait dengan regulasi yang ditetapkan oleh
pemerintah Indonesia sebagai implementasi dari UU No 4 Tahun 2009 tentang
36
Mineral dan Batu Bara yang diturunkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 1 tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor
23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara.
Analisis Tingkat Integrasi Perdagangan Indonesia-Chili
Tingkat integrasi diukur melalui pendekatan analisis Intra Industry Trade
(IIT). IIT merupakan indikator dari integrasi yang terjadi dalam suatu sektor yang
dianalisis. Nilai IIT berfungsi untuk mengukur besarnya perdagangan intraindustri yang terjadi di suatu negara atau wilayah. Selain itu, nilai perdagangan
intra industri juga dapat digunakan untuk mengukur seberapa dalam integrasi
yang terjadi antar negara atau sektor tertentu karena nilai tersebut merefleksikan
adanya peningkatan dalam division of labor yang dikombinasikan dengan
penurunan dalam biaya transaksi (Austria 2004). Grubel dan Lloyd (1975),
menekankan bahwa negara-negara yang memiliki kesamaan batasan dan telah
diturunkan atau dihilangkan hambatan perdagangan satu dengan yang lain, relatif
akan memiliki tingkat perdagangan intra-industri yang tinggi. Selain itu, tingkat
perdagangan intra-industri akan berkorelasi positif dengan intensitas perdagangan,
karena volume perdagangan dengan mitra dagang meningkat, artinya banyak
peluang produk diperdagangkan.
Sejalan dengan penelitian Koçyiğit dan Sen (2008) mengkaji intra industri
Turki dengan Uni Eropa, sebagai mitra dagang utama, dimana menyimpulkan
secara signifikan perdagangan bergerak menuju intra industri, meskipun share IIT
dalam total perdagangan Turki lebih rendah dengan UE dibandingkan dengan ke
seluruh dunia, namun pertumbuhan IIT antara Turki dan Uni Eropa menunjukkan
bahwa basis industri Turki secara dramatis berubah dari produk teknologi rendah
menjadi industri teknologi tinggi, khususnya adanya perjanjian Bea Masuk tahun
2006. Grimwade (2000) menyatakan bahwa intra industry trade lebih tinggi pada
sektor manufaktur karena produksi dilakukan dengan mempertimbangkan
economies of scale.
Suatu negara dapat melaksanakan ekspor suatu komoditi tertentu dan pada
saat yang sama juga melakukan impor komoditi tersebut. Nilai IIT yang tinggi
menunjukkan adanya keterkaitan perdagangan antara kedua negara yang bersifat
dua arah (two way trade). Adanya nilai IIT yang rendah menunjukkan rendahnya
keterkaitan perdagangan antara kedua negara tersebut sehingga perdagangan
hanya bersifat searah atau hanya dilakukan oleh salah satu negara saja yang aktif
melakukan kegiatan ekspor atau impor ke negara lain yang bersangkutan. Dalam
penelitian ini, pengukuran nilai IIT dilakukan terhadap nilai nominal arus
perdagangan bilateral antara Indonesia dan Chili. Hasil penghitungan nilai IIT
akan digunakan sebagai indikator dari integrasi yang terjadi pada komoditas
unggulan. Derajat atau tingkatan integrasi ditentukan berdasarkan klasifikasi
rentang nilai IIT yang digunakan pada penelitian Austria (2004). Hasil analisis
tingkat integrasi komoditi-komoditi unggulan ekspor impor Indonesia sebagian
besar menunjukkan bahwa perdagangan intra industri antara Indonesia dengan
Chili seluruh nilai IIT berada pada derajat integrasi satu arah (no integration). Hal
ini terlihat dari hasil perhitungan nilai IIT yang tertera pada Tabel 9.
37
Tabel 9 Hasil RCA dan IIT komoditi unggulan
Keterangan
Espor Indonesia
HS
Komoditi
'640319 Alas kaki dengan sol luar dari karet,
plastik, kulit samak atau kulit komposisi
dan bagian atas sepatu dari kulit samak
'200820 Nanas
'400122 Karet Alam - Technically specified
natural rubber (TSNR)
'090240 Teh hitam (difermentasi) dan teh
difermentasi sebagian, dikemas langsung
dalam kemasan tidak melebihi 3 kg
'340220 Bahan aktif permukaan organik,
disiapkan untuk penjualan eceran maupun
tidak (selain sabun)
'852190 Aparatus perekam atau pereproduksi
video, digabung dengan video tuner
maupun tidak
Impor Indonesia '150420 Lemak dan minyak serta fraksinya, dari
ikan, selain minyak hati ikan:
'470311 Pulp kayu kimia, soda atau sulfat, selain
dissolving grade Tidak dikelantang:
'470321 Pulp kayu kimia, soda atau sulfat, selain
dissolving grade Semi kelantang atau
dikelantang:
'080610 Anggur segar
'230120 Tepung, tepung kasar dan pelet, dari
daging atau sisanya, dari ikan atau
krustasea, moluska atau invertebrata air
lainnya, tidak layak untuk dikonsumsi
manusia;
'740311 Katoda tembaga dan tidak ditempa
RCA IIT
240.38 0.00
50.49 0.00
37.88 0.00
9.42 0.00
8.83 0.00
7.09 0.00
127.17 0.00
93.57 0.00
51.24 0.00
41.96 0.00
37.81 0.00
35.40 0.00
Sumber : diolah dari data sekunder 2014
Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Aliran Perdagangan Bilateral
Indonesia-Chili
Model regresi data panel digunakan untuk menganalisis pengaruh
variabel-variabel ekonomi dan non ekonomi lainnya terhadap aliran perdagangan
komoditi ekspor impor terpilih Indonesia. Variabel independen yang digunakan
dalam analisis aliran perdagangan ini adalah GDP riil negara tujuan ekspor (GDP),
nilai tukar riil Indonesia terhadap negara tujuan ekspor (RER), Tarif bea masuk ke
negara tujuan ekspor (Tarif), dan menggunakan dummy SPS dan Dummy TBT
negara tujuan ekspor. Sedangkan variabel dependennya adalah volume ekspor
komoditi terpilih Indonesia ke pasar Chili dan volume impor terpilih Indonesia
dari Chili.
38
Hasil Estimasi Model
Hasil estimasi koefisien-koefisien variabel persamaan yang menggunakan
model ekspor dan impor tersebut dilakukan dengan program software Eviews 8
dan menggunakan metode Pooled Least Square (PLS) seperti yang telah diuraikan
pada metode penelitian. Keputusan penggunaan metode panel data didasarkan
pada keterbatasan sampel dalam penelitian ini, dimana nilai aliran perdagangan
Indonesia ke Chili dalam jangka waktu tiga belas tahun.
1. Hasil Model Regresi Data Panel Nilai Ekspor
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan komoditi ekspor
unggulan Indonesia ke Chili menggunakan data panel statis dengan data tahun
2001-2013 untuk enam komoditi terpilih. Aliran perdagangan untuk ekspor
Indonesia mengacu pada permintaan Chili atas komoditi/produk Indonesia.
Tabel 10 Estimasi parameter dan signifikansi (p-value) variabel penjelas yang
diduga mempengaruhi ekspor Indonesia ke Chili 2001-2013
Variabel
Koefisien
Probabilitas
GDP (GDP Perkapita Chili)
2.326366
0.0004***
RER (Nilai Tukar Riil)
0.094148
0.1234
TARIF (Tarif Chili)
-1.088134
0.0215**
DSPS (Dummy SPS)
-1.920904
0.0000***
DTBT (Dummy TBT)
1.007474
0.0000***
AR(1)
0.631243
0.0000***
C (Konstanta)
-7.060190
0.1787
R Squared
0.941869
Keterangan : Signifikansi pada taraf nyata ***1%, **5%, *10%
Estimasi parameter dalam penelitian ini dengan menurunkan satu lag
untuk mengatasi permasalahan heteroskedastisitas dalam model. Untuk model
ekspor menunjukkan nilai koefisien determinasi R2 sebesar 0.9418 yang artinya
sebesar 94.18 persen variabel dependen dapat dijelaskan oleh keragaman variabel
independen yang digunakan dalam model, sisanya dijelaskan oleh variabel lain
diluar model. Berdasarkan hasil estimasi tersebut, dapat diketahui variabel
independen yang berpengaruh signifikan terhadap ekspor Indonesia, yaitu GDP
per kapita Chili, tarif Chili, dummy SPS Chili dan dummy TBT Chili.
GDP per kapita Chili
Hasil estimasi memperlihatkan bahwa variabel GDP per kapita Chili
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap ekspor Indonesia dengan selang
kepercayaan 1% yang ditunjukkan oleh nilai koefisien 2.32 dengan tanda positif.
Hal ini berarti bahwa peningkatan GDP per kapita Chili akan meningkatkan
ekspor unggulan Indonesia sebesar 2.32 persen, ceteris paribus. Peningkatan GDP
per kapita suatu negara akan secara otomatis meningkatkan daya beli masyarakat
di negara tersebut. Pertumbuhan ekonomi Chili yang terus naik dimana bisa
dilihat dari GDP perkapita Chili terus meningkat, hal ini mengindikasikan bahwa
daya beli masyarakat Chili yang semakin meningkat, sehingga menyebabkan
ekspor Indonesia ke Chili akan semakin tinggi pula. Anamana dan Atta-Quaysonb
(2009) menyatakan bahwa suatu negara cenderung untuk berdagang dengan
39
negara yang mempunyai GDP perkapita lebih besar. Kesimpulan yang sama
dalam penelitian yang dilakukan Khan et al. (2013) dimana GDP perkapita negara
Pakistan dan mitra dagangnya berpengaruh signifikan dan positif terhadap aliran
perdagangan bilateral.
Tarif Chili
Hasil estimasi memperlihatkan bahwa variabel tarif memberikan pengaruh
yang signifikan untuk model ekspor dengan ditunjukan oleh nilai koefisien
sebesar -1.088 dengan probabilitas kurang 0.05. Hal ini berarti setiap peningkatan
tarif impor sebesar satu persen maka akan menurunkan volume ekspor sebesar
1.088 persen. Terkait tarif Chili meskipun Chili telah menurunkan tingkat tarif
rata-rata bea masuk sejak tahun 2003, namun tarif yang dikenakan masih sebesar
enam persen. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kalirajaan dan
Bhattacharya (2007) yang menjelaskan bahwa semakin tinggi tarif yang
diterapkan oleh negara pengimpor membuat terjadinya penurunan pada ekspor ke
negara tersebut.
Dummy SPS Chili
Hasil estimasi variabel dummy Sanitary and Phytosanitary Measure (SPS)
memberikan pengaruh yang signifikan dengan tanda negatif, dengan koefisien
sebesar -1.92 dimana probalilitasnya kurang dari 0.01 (selang kepercayaan 1%).
Hal ini menginterpretasikan bahwa saat pemberlakuan hambatan perdagangan
SPS Chili akan menyebabkan perbedaan ekspor Indonesia dengan selisih sebesar
1.92 dibandingkan tidak diterapkan hambatan SPS. Tanda negatif
mengindikasikan bahwa volume ekspor Indonesia ke Chili akan berkurang dengan
penerapan hambatan SPS tersebut, ceteris paribus,. Hambatan perdagangan SPS
lebih kepada aspek kesehatan, untuk melindungi kehidupan manusia, hewan, dan
tumbuhan dengan menerapkan ketentuan-ketentuan untuk mengelola resiko yang
berhubungan dengan impor. Ketentuan tersebut biasanya dalam bentuk
persyaratan karantina atau keamanan pangan yang dapat diklasifikasikan sebagai
sanitasi (terkait dengan kehidupan atau kesehatan manusia atau hewan) atau
fitosanitasi (terkait dengan kehidupan atau kesehatan tumbuhan).
Chili adalah salah satu negara yang konsern terhadap kesehatan, baik
hewan, manusia dan lingkungan. Sehingga semua komoditi yang dikonsumsi
manusia dan hewan wajib dilakukan uji kesehatan oleh instansi kesehatan Chili
(Health Service Officer) di pelabuhan masuk untuk diambil sampel dan uji. Oleh
karena itu komoditi ekspor Indonesia terutama untuk konsumsi yakni nanas dan
the hitam wajib memenuhi syarat kesehatan yang diterapkan oleh negara Chili
sebelum dijual ke konsumen. Sedangkan komoditi impor untuk kosmetik, obat
dan bio-kimia yakni Surface-active prep wajib melakukan registrasi di Institut
Kesehatan Publik (Instituto de Salu Publica) dengan label dan persyaratan khusus.
Semua importir harus mendapatkan ijin dari instansi terkait sebelum produk
dipasarkan. Kesimpulan yang sama dengan penelitian Disdier et al. (2008),
dimana hambatan perdagangan non-tariff (SPS) mengurangi tingkat ekspor negara
berkembang ke negara-negara Organisation for Economic Co-operation and
Development (OECD). Boza (2013) juga menyebutkan bahwa hambatan SPS akan
menyebabkan kerugian negara eksportir karena akan meningkatkan biaya
produksi, terutama untuk produk baru yang akan dipasarkan di negara tujuan.
40
Dummy TBT Chili
Hasil estimasi parameter menunjukkan bahwa dummy Technical Barriers
to Trade (TBT) berpengaruh signifikan terhadap ekspor komoditi terpilih
Indonesia ke Chili yang ditunjukkan oleh nilai probabilitas kurang dari 0.001
(selang kepercayaan 1%), dengan koefisien 1.00 dengan tanda positif.
Pemberlakuan hambatan TBT akan menyebabkan perbedaan impor Indonesia
dengan selisih sebesar satu persen dibandingkan tidak ada hambatan perdagangan,
tanda positif artinya pemberlakuan hambatan perdagangan TBT Chili akan
meningkatkan ekspor Indonesia ke Chili, ceteris paribus. Argumen ini didukung
oleh penelitian Boza (2013) bahwa hambatan perdagangan mempunyai dua sisi,
selain merugikan namun disatu sisi memberikan benefit lebih baik karena kualitas
dan mutu yang lebih baik. Bentuk hambatan TBT Chili antara lain mewajibkan
semua produk menunjukkan surat Keterangan Asal (Country of Origin). Pelabelan
juga harus dicantumkan dalam bahasa Spanyol terkait nama importir, kualitas,
berat bersih, ukuran, kandungan, dan komposisi suatu komoditi. Begitu juga
untuk komoditi ekspor unggulan Indonesia yang masuk ke pasar Chili harus
memenuhi persyaratan ini.
Variabel nilai tukar riil Indonesia (Rupiah) terhadap mata uang Chili
(Peso), sejalan dengan penelitian yang dilakukan Tenreyro (2007) terkait nilai
tukar, menyatakan bahwa bahwa nilai tukar tidak memiliki pengaruh signifikan
terhadap ekspor.
2. Hasil Model Regresi Data Panel Nilai Impor
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan komoditi impor
Indonesia dari Chili menggunakan data panel statis dengan data tahun 2001-2013
untuk lima komoditi terpilih. Aliran perdagangan untuk impor Indonesia mengacu
pada permintaan Indonesia atas komoditi/produk Chili. Pada model impor
pendekatan Poolled Least Square (PLS).
Seperti dalam model ekspor, estimasi parameter model impor juga
menurunkan satu lag untuk mengatasi permasalahan heteroskedastisitas dalam
model. Untuk model impor, menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar
0.7679 yang artinya sebesar 76.79 persen variabel dependen dapat dijelaskan oleh
keragaman variabel independen yang digunakan dalam model, sisanya dijelaskan
oleh variabel lain diluar model.
Tabel 11 Estimasi parameter dan signifikansi (p-value) variabel penjelas yang
diduga mempengaruhi impor Indonesia dari Chili 2001-2013
Variabel
Koefisien
Probabilitas
GDP (GDP Perkapita Indonesia)
-0.029481
0.8945
RER (Nilai Tukar Riil)
0.169904
0.0000***
TARIF (Tarif Indonesia)
0.097408
0.1590
DSPS (Dummy SPS)
-1.978407
0.0003***
DTBT (Dummy TBT)
-0.126067
0.3299
AR(1)
0.496928
0.0000***
C (Konstanta)
11.52120
0.0000
R Squared
0.767993
Keterangan: Signifikansi pada taraf nyata ***1%, **5%, *10%
41
Berdasarkan hasil estimasi tersebut, dapat diketahui variabel independen
yang berpengaruh signifikan terhadap impor Indonesia, yaitu nilai tukar riil dan
dummy SPS Indonesia.
Nilai Tukar riil
Berdasarkan hasil estimasi, nilai tukar riil Indonesia (Rupiah) terhadap
mata uang Chili (Peso) berpengaruh signifikan terhadap impor Indonesia dari
Chili ditunjukkan oleh nilai probabilitas kurang dari 0.01 (selang kepercayaan
1%). Koefisien nilai tukar riil sebesar 0.169 dengan tanda positif, dimana ketika
apresiasi nilai tukar Rupiah sebesar satu persen, maka akan meningkatkan impor
Indonesia dari Chili sebesar 0.169 persen, ceteris paribus. Nur M et.al (2007)
dalam penelitiannya menyimpulkan menguatnya/apresiasi nilai tukar di negara
pengimpor akan menyebabkan pelamahan/depresiasi negara pengekspor, sehingga
harga barang impor akan lebih murah dan meningkatkan pembelian negara
importir. Hal ini sesuai dengan penelitian Uzunos dan Akcay (2009) bahwa
apresiasi nilai tukar Turkish lira-US dollar berpengaruh signifikan dan positif
terhadap impor tepung di Turki dengan selang kepercayaan 0.01 persen.
Dummy SPS Indonesia
Hasil estimasi variabel dummy Sanitary and Phytosanitary Measure (SPS)
berpengaruh signifikan dengan tanda negatif, dengan koefisien sebesar -1.97
dimana probalilitasnya kurang dari 0.05 (selang kepercayaan 5%). Hal ini
menginterpretasikan bahwa pemberlakuan hambatan perdagangan SPS Indonesia
memberikan perbedaan dengan selisih sebesar 1.97 dibandingkan tanpa
pemberlakuan hambatan. Tanda negatif artinya dengan hambatan SPS akan
menyebabkan berkurangnya impor Indonesia dari Chili, ceteris paribus. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian Disdier et.al (2008). Indonesia
menerapkan berbagai regulasi tekait dengan kesehatan baik manusia, hewan dan
lingkungan. Salah satunya SNI 01-4852-1998: Sistem Analisa Bahaya dan
Pengendalian Titik Kritis (HACCP), mengenai pengelolaan pangan terkait bahan,
produk dan proses. Indonesia juga mempunyai regulasi terkait karantina dan batas
maximum residu. Komoditi impor Indonesia dari Chili yakni minyak dan lemak
ikan, bubur kertas, anggur, tepung ikan dan pelet ikan wajib memenuhi
persyaratan uji kesehatan sebelum dijual di Indonesia.
Hasil estimasi parameter model impor memperlihatkan bahwa variabel
GDP per kapita Indonesia, Tarif Indonesia dan dummy Technical Barriers to
Trade (TBT) tidak berpengaruh signifikan terhadap impor Indonesia dimana nilai
probabilitas lebih besar dari 0.05 (selang kepercayaan 5%). Penelitian Hyachint et
al. (2013) menyimpulkan GDP tidak mempengaruhi permintaan impor komoditi
non-oil untuk Nigeria. Sedangkan untuk variabel Tarif Indonesia karena sebagian
besar rata-rata tarif bea masuk Indonesia dibawah 10% bahkan nol persen, sama
dengan penelitian Almeida et al. (2012) dimana tarif tidak mempengaruhi impor
kopi dalam perdagangan internasional. Terkait hambatan non-tarif TBT wajib
memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI), terutama sejak tahun 2010 yang
mewajibkan semua komoditi impor terdaftar memenuhi ketentuan label dan
informasi produk dengan Bahasa Indonesia. Persyaratan ini berlaku juga terhadap
semua komoditi impor dari Chili. Berdasarkan hasil estimasi parameter, kedua
model menunjukkan terdapat pengaruh dengan tahun sebelumnya, dimana
ditunjukkan dengan AR (1) yang signifikan.
42
6 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Keragaan perdagangan bilateral Indonesia-Chili berdasarkan neraca
perdagangan lima tahun terakhir menunjukkan defisit untuk Indonesia dengan
trend sebesar -4.27%. Keragaan ekonomi menunjukkan potensi ekspor
Indonesia dimana GDP perkapita Chili yang terus meningkat, hambatan tarif
yang terus diturunkan meskipun hambatan non-tarif juga diterapkan di Chili.
2. Komoditi unggulan berdasarkan nilai ekspor dan impor tertinggi. Komoditi
unggulan ekspor Indonesia ke Chili yaitu alas kaki olah raga, karet alam
(TSNR), nanas, teh hitam, Surface-active prep dan video recording. Sedangkan
komoditi unggulan impor Indonesia adalah katoda tembaga, bubur kertas, anggur
segar, tepung dan pelet ikan, minyak dan lemak ikan. Meskipun mempunyai
tingkat daya saing ekspor yang tinggi namun menunjukkan bahwa
perdagangan intra industri kedua negara secara umum berada pada derajat
integrasi satu arah (no integration). Hasil tersebut mengindikasikan bahwa
hubungan perdagangan Indonesia dengan Chili lebih kearah perdagangan
barang mentah.
3. Faktor yang signifikan mempengaruhi ekspor Indonesia ke Chili adalah GDP
per kapita Chili dengan tanda positif, Tarif Chili dengan tanda negatif, dummy
SPS Chili dengan tanda negatif dan dummy TBT Chili dengan tanda positif,
sedangkan faktor yang signifikan mempengaruhi impor dari Chili adalah
variabel nilai tukar riil bertanda positif dan dummy SPS Indonesia dengan
tanda negatif.
Saran
1.
2.
3.
4.
Beberapa hal yang dapat disarankan berdasarkan uraian pada
penelitian ini adalah:
Dalam upaya negosiasi perjanjian peningkatan kerjasama bilateral IndonesiaChili, hambatan perdagangan non-tariff Sanitary and Phytosanitary Measure
(SPS) berpengaruh terhadap perdagangan kedua negara. Oleh karena itu perlu
adanya dukungan dan fasilitasi pemerintah kepada pelaku usaha dalam rangka
memenuhi persyaratan terkait SPS sehingga komoditi yang diekspor sesuai
dengan standar yang ditetapkan oleh kedua negara.
Perlu dilakukan fasilitasi perdagangan dikarenakan komoditi unggulan
Indonesia memiliki daya saing tinggi namun nilai ekspor yang rendah dengan
aktif melakukan promosi dan misi dagang. Terkait tingkat integrasi satu arah
fasilitasi dapat berupa meningkatkan investasi.
Pemerintah melakukan strategi pembentukan kerjasama perdagangan yang
mengarah pada PTA (Preferential Trade Agreement) sebagai upaya
penurunan/penghapusan tarif untuk komoditi unggulan terpilih Indonesia yang
mempunyai daya saing di pasar Chili, karena Chili masih menerapkan tingkat
tarif rata-rata enam persen.
Impor Indonesia sensitive dengan nilai tukar artinya sangat berpengaruh pada
perubahan harga, namun tingginya ketergantungan impor bahan baku
Indonesia dari Chili yakni katoda tembaga sehingga perlu adanya
43
pengembangan industri dalam negeri dalam pengolahan tembaga agar mampu
memenuhi kebutuhan industri dalam negeri.
5. Peneliti hanya berdasarkan nilai total ekspor dan impor Indonesia terhadap
komoditi unggulan, sehingga diharapkan untuk penelitian selanjutnya untuk
melihat lebih dalam faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan bilateral
Indonesia-Chili menggunakan data per komoditi.
DAFTAR PUSTAKA
Agustina E. 2012. Evaluasi Perdagangan Bilateral Indonesia-China: Studi pada
Enam Komoditi Ekspor-Impor Terpilih. Universitas Indonesia. Depok.
Almeida F, Gomes M, da Silva O. 2012. Non-Tariff Measures in International
Coffee Trade. http://ageconsearch.umn.edu/. [diakses Juni 2015].
Annaman K.A, Atta-Quayson A. 2009. Determinants Of Bilateral Trade Between
Ghana And Other Members Of The Economic Community Of West
African States. IIUM Journal of Economics and Management 17 (2): 231259.
Atmo C. 2009. Analisis Hubungan Perdagangan Bilateral Indonesia-India.
Universitas Indonesia. Depok.
Austria M.S. 2004. The Patern of intra-ASEAN Trade in the Pririty Goods Sectors.
Final Main report, 3/006e: 1-176.
Baltagi, B.H. 2001. Econometric Analysis of Panel Data. (2nd Edition). West
Sussex: John Wiley & Sons, LTD.
Boza S. 2013. Assessing the Impact of Sanitary, Phytosanitary and Technical
Requirements on Food and Agricultural Trade: What Does Current
Research Tell Us?. SECO / WTI Academic Cooperation Project. Working
Paper Series 2.
Cheong J, Kwak D,Tang K. 2014. The Trade Effects of Tariffs and Non-Tariff
Changes of Preferential Trade Agreements. School of Economics.
University of Queensland. http://business.curtin.edu.au/. [diakses Juni
2014].
Disdier A.C, Fontagne L, Mimouni M. 2008. The Impact of Regulations on
Agricultural Trade: Evidence from SPS and TBT Agreements. American
Journal of Agricultural Economics 90(2):336-350.
Gerber J. 2002. International Economics. United States of America : Pearson
Education, Inc.
Grimwade N. 2000. Intra Industry Trade and Specialization. Chapter 3 in
International Trade New Pattern of Trade, Production and Investment. 2nd
edition. TJ International Ltd. Great Britain.
Grubel H dan Lloyd P. 1975. Intra Industry Trade: The Theory and Measurement
of International Trade with Differentiated Products. London: Macmillan.
Gujarati D. 2004. Basic Econometrics, 4th Edition. The McGraw-Hill Companies.
Hady H. 2000. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan Perdagangan
Internasional. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Haider J, Afzal M, Riaz F. 2011. Estimation of Import and Export Demand
Functions Using Bilateral Trade data: The Case of Pakistan. BEH -
44
Business and Economic Horizons 6(3):40-53. ISSN: 1804-1205.
www.academicpublishingplatforms.com/. [diakses Oktober 2014].
Hyacinth I, Alwell N, Marius I. 2013. Determinants of Nigeria‟s Non-Oil Import
Demand. South-Eastern Europe Journal of Economics 1:79-100.
[ITPC] Indonesian Trade Promotion Center Chile. http://itpcsantiago.cl/. [diakses
Oktober 2014].
Jalil N. 2012. Identifikasi, Analisis Daya Saing, dan Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Aliran Perdagangan Komoditi Unggulan Ekspor Indonesia
ke Uni Eropa. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Kalirajaan K, Bhattacharya S. 2007. Free Trade Arrangement Between India and
Japan: An Exploratory Analysis. ASARC Working Paper.
Keet D. 1999. Globalization, the World Trade Organization and the Implications
for Developing Countries. Law, Democracy, and Development Journal.
Southern African Legal Information Institute.
Kementerian Perdagangan. Statistik Perdagangan 2014. www.kemendag.go.id.
[diakses Februari 2015].
_____________________ . Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan
Internasional. [ diakses Agustus 2015].
Khan S, Haq I, Khan D. 2013. An Empirical Analysis of Pakistan‟s Bilateral
Trade: A Gravity Model Approach. The Romanian Economic Journal 16
(48): 103-120.
Kindleberger C and Lindert P. 1978. International Economics Six Edition.
Richard D. Irwin, Inc. Homewood. Illinois.
Koçyiğit A, Şen A. 2008. The Extent of Intra-Industry Trade between Turkey and
the European Union: The Impact of Customs Union. Journal of Economic
and Social Research 9(2): 61-84.
Krugman O. 2000. International Economics Theory and Policy, Massachosetts :
An imprint of Addison Wesley Longman, Inc.
Kuncoro M. 1997. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah dan Kebijakan. Unit
Penerbit dan Percetakan, Akademi Manajemen Perusahaan YKPN.
Yogyakarta.
Kwon O. 2001. Australia-Korea Economic Cooperation in the 21th Century:
Challenges and Prospects. Brisbane: Australian Centre for Korean Studies.
Griffith University.
Natalia, D. 2008. Analysis of Bilateral Free Trade Agreement between IndonesiaIndia. Universitas Indonesia. Depok.
Nugroho, A. 2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Volume Ekspor Tekstil
dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia ke China Menghadapi Era CAFTA
(Studi Kasus pada Tekstil Yarn tahun 1989-2008). Universitas Diponegoro.
Semarang.
Nur M, Wijeweera, Dollery B. 2007. Estimation of the Export Demand Function
Using Bilateral Trade data: The case of Bangladesh. South Asia Economic
Journal. 249-264.
Mankiw, G. 2006. Makroekonomi Edisi 6. Erlangga. Jakarta.
Porter, M.E. 1990. "The Competitive Advantage of Nations". Free Press. New
York.
Salvatore D. 1997. International Economics. New Jersey: Prentice Hall-Gale.
45
Sarwoko. 2009. Perdagangan Bilateral Indonesia dengan Negara-Negara Patner
Dagang Utama dengan Menggunakan Model Gravity. Universitas Gajah
Mada. Yogyakarta.
Serin V, Civan A. 2008. Revealed Comparative Advantage and Competitiveness:
A Case Study for Turkey towards the EU. Journal of Economic and
Social Research 10(2): 25-41.
Shafaeddin SM. 2005. Trade Liberalization and Economic Reform in Developing
Countries : Structural Change or De-industrialization?. Discussion Paper
No. 179. United Nations Conference on Trade and Development.
Siwi, A. 2013. Bilateral Free Trade: Hubungan Perdagangan Indonesia-China
dalam Kerangka ACFTA. Universitas Airlangga. Surabaya.
Stephenson, S.M. 1994. The Uruguay Round and Its Benefit to Indonesia.
Ministry of Trade Republic of Indonesia. Jakarta.
Sobri. 2001. Ekonomi Internasional (Teori, Masalah & Kebijakannya). BPFE.
Yogyakarta.
Subhani M, Osman A, Khokhar R. 2010. Determinants and Barriers to Bilateral
Trade: A Study On Developing Economies. MPRA Paper No. 26179.
http://mpra.ub.uni-muenchen.de/26179/. [diakses Oktober 2014].
Tambunan T. 2001. Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran: Teori
dan Temuan Empiris. Pustaka LP3ES.
Tenreyro S. 2007. On the Trade Impact of Exchange Rate Volatility. Journal of
Development Economics 82 (2): 485-508.
Todaro M.P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, edisi tujuh.
Airlangga. Jakarta.
TradeMap. 2014. Trade Statistics for International Business Development.
http:/trademap.org/. [diakses Juni 2015].
Uzunos M, Akcay Y. 2013. Factors Affecting the Import Demand of Wheat in
Turkey. Bulgarian Journal of Agricultural Science 15 (1): 60-6.
Agricultural Academy.
[WDI] World Development Indicator. http:/data.worldbank.org/. [diakses Mei
2015].
Wehner, L. 2007. The Free Trade Agreement Negotiations between Japan and
Chile: Causes for Reaching a Rapid Agreement. Journal of
Current Japanese Affairs : 5-36. Japan Aktuell.
[WTO] World Trade Organization. http:/i.tip.wto.org/. [diakses Mei 2015].
Yücel M, Çıplak U, Aydın M. 2004. Export Supply and Import Demand Models
for the Turkish Economy. Research Department Working Paper No. 04/09.
The Central Bank of the Republic of Turkey. Ankara. Turki.
Yuniarti, D. 2007. Analisis Determinan Perdagangan Bilateral Indonesia:
Pendekatan Gravity Model. Jurnal Ekonomi Pembangunan: Kajian
Ekonomi Negara Berkembang 12 (2): 99-109.
Yunus M.M, Mohamed Z, Mahyideen J.M, Saidon R. 2010. Revealed
Comparative Advantage of Malaysian manufacturing: Malaysia and
Singapore. Prosiding Perkem V (1): 278 – 288 ISSN: 2231-962X. Negeri
Sembilan, 15-17 Oktober 2010.
http://atlas.media.mit.edu [diakses Juni 2015].
http://www.sice.oas.org/ [diakses Agustus 2015].
http://prokum.esdm.go.id/ [diakses Agustus 2015].
46
47
Lampiran 1 Uji Multikolinieritas
Model Ekspor
Variables
GDP
perkapita
Chili
GDP perkapita Chili
(US $)
Real Exchange Rate
1
Real
Exchange
Rate
-0,1008
-0,1008
1
Tarif Chili
Tarif Chili
Dummy
SPS Chili
Dummy
TBT Chili
-0,5357
0,0000
0,3971
-0,0727
0,0000
-0,0665
-0,5357
-0,0727
1
0,0000
-0,2460
Dummy SPS Chili
0,0000
0,0000
0,0000
1
0,3835
Dummy TBT Chili
0,3971
-0,0665
-0,2460
0,3835
1
Model Impor
Variables
Tarif
Indonesia
1
Real
Exchange
Rate
-0,1969
0,0879
0,0000
0,7831
-0,1969
1
0,0127
0,0000
-0,2127
Tarif Indonesia
0,0879
0,0127
1
-0,2760
-0,0725
Dummy SPS Ind
0,0000
0,0000
-0,2760
1
0,2626
Dummy TBT Ind
0,7831
-0,2127
-0,0725
0,2626
1
GDP Per Kapita Ind
(US $)
Real Exchange Rate
GDP
Perkapita Ind
Dummy
SPS Ind
Dummy
TBT Ind
48
Lampiran 2 Uji Heteroskedastisitas (Uji White)
Model Ekspor
Dependent Variable: RESID^2
Method: Panel Least Squares
Date: 05/22/15 Time: 23:26
Sample (adjusted): 2002 2013
Periods included: 12
Cross-sections included: 6
Total panel (balanced) observations: 72
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
LOG(GDP)
LOG(RATE)
TARIF
SPS
TBT
34.70666
-2.257800
0.316546
-2.284657
0.211967
1.798449
21.04264
1.446928
0.567544
1.893821
0.944993
1.656320
1.649349
-1.560409
0.557748
-1.206375
0.224306
1.085810
0.1038
0.1234
0.5789
0.2320
0.8232
0.2815
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.063505
-0.007442
3.692648
899.9530
-193.0879
0.895104
0.489664
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat
1.067822
3.678984
5.530220
5.719942
5.605749
1.806247
Model Impor
Dependent Variable: RESID^2
Method: Panel Least Squares
Date: 05/26/15 Time: 13:00
Sample (adjusted): 2002 2013
Periods included: 12
Cross-sections included: 6
Total panel (balanced) observations: 72
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C
LOG(GDP)
LOG(RATE)
TARIF
SPS
TBT
-3.972812
0.859346
0.067801
0.087326
-1.508317
-0.850203
4.491854
0.607850
0.245099
0.077218
0.550764
0.648130
-0.884448
1.413747
0.276626
1.130906
-2.738590
-1.311778
0.3797
0.1621
0.7829
0.2622
0.0079
0.1941
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.237953
0.180222
1.534839
155.4783
-129.8778
4.121759
0.002560
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat
1.073772
1.695176
3.774384
3.964106
3.849913
2.103938
49
Lampiran 3 Uji Autokorelasi
Model Ekspor
Weighted Statistics
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.941869
0.936504
1.052470
72.00000
-61.86681
175.5288
0.000000
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat
15.03506
10.77984
1.912967
2.134309
2.001084
2.081962
Unweighted Statistics
R-squared
Sum squared resid
0.588581
83.99758
Inverted AR Roots
.63
Mean dependent var
Durbin-Watson stat
7.386219
2.081003
Model Impor
Weighted Statistics
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.767993
0.746577
1.052470
72.00000
-65.43512
35.86063
0.000000
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat
31.76627
24.78997
2.012087
2.233429
2.100204
2.175327
Unweighted Statistics
R-squared
Sum squared resid
0.365659
93.89484
Inverted AR Roots
.50
Mean dependent var
Durbin-Watson stat
8.560139
1.268118
50
Lampiran 4 Hasil Estimasi Model Ekspor
Dependent Variable: LOG(EKSPOR)
Method: Panel EGLS (Cross-section SUR)
Date: 07/06/15 Time: 09:15
Sample (adjusted): 2002 2013
Periods included: 12
Cross-sections included: 6
Total panel (balanced) observations: 72
Simultaneous weighting matrix & coefficient iteration
Convergence achieved after 33 iterations
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LOG(GDP)
LOG(RATE)
TARIF
SPS
TBT
C
AR(1)
2.326366
0.094148
-1.088134
-1.920904
1.007474
-7.060190
0.631243
0.619144
0.060309
0.461818
0.223134
0.141875
5.193425
0.051868
3.757393
1.561108
-2.356196
-8.608745
7.101128
-1.359448
12.17007
0.0004
0.1234
0.0215
0.0000
0.0000
0.1787
0.0000
Weighted Statistics
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.941869
0.936504
1.052470
72.00000
-61.86681
175.5288
0.000000
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat
15.03506
10.77984
1.912967
2.134309
2.001084
2.081962
Unweighted Statistics
R-squared
Sum squared resid
0.588581
83.99758
Inverted AR Roots
.63
Mean dependent var
Durbin-Watson stat
7.386219
2.081003
51
Lampiran 5 Hasil Estimasi Model Impor
Dependent Variable: LOG(IMPOR)
Method: Panel EGLS (Cross-section SUR)
Date: 07/06/15 Time: 09:20
Sample (adjusted): 2002 2013
Periods included: 12
Cross-sections included: 6
Total panel (balanced) observations: 72
Simultaneous weighting matrix & coefficient iteration
Convergence achieved after 20 iterations
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LOG(GDP)
LOG(RATE)
TARIF
SPS
TBT
C
AR(1)
-0.029481
0.169904
0.097408
-1.978407
-0.126067
11.52120
0.496928
0.221525
0.029099
0.068361
0.516201
0.128420
1.767784
0.059701
-0.133084
5.838854
1.424899
-3.832627
-0.981674
6.517316
8.323551
0.8945
0.0000
0.1590
0.0003
0.3299
0.0000
0.0000
Weighted Statistics
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.767993
0.746577
1.052470
72.00000
-65.43512
35.86063
0.000000
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
Hannan-Quinn criter.
Durbin-Watson stat
31.76627
24.78997
2.012087
2.233429
2.100204
2.175327
Unweighted Statistics
R-squared
Sum squared resid
0.365659
93.89484
Inverted AR Roots
.50
Mean dependent var
Durbin-Watson stat
8.560139
1.268118
52
Lampiran 6 Daftar Tarif Rata-Rata Indonesia
(dalam persen)
HS/Tahun
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
'150420
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
'470311
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
'470321
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
'080610
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
5
'230120
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
'740311
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Lampiran 7 Daftar Tarif Rata-Rata Chili
(dalam persen)
HS/Tahun
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
'640319
8
7
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
'200820
8
7
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
'400122
8
7
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
'090240
8
7
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
'340220
8
7
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
'852190
8
7
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
6
53
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Blitar pada tanggal 26 April 1982 sebagai anak dari
pasangan H. Teguh Achmadi dan Hj. Suparti. Penulis adalah anak kedua dari tiga
bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Manajemen, Fakultas Ilmu
Sosial dan Manajemen, Universitas Negeri Yogyakarta dan lulus pada tahun 2005.
Kesempatan melanjutkan studi program master pada Program Studi Ilmu Ekonomi,
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh melalui Beasiswa
Kementerian Perdagangan dalam program kerja sama antara kementerian
Perdagangan Republik Indonesia dan IPB pada tahun 2013.
Pada tahun 2009 sampai sekarang penulis bekerja sebagai staf di Direktorat
Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan. Penulis menikah
dengan Romi Bagus Setia, saat ini dikarunia dua putri yaitu Raisha Kirana Setia dan
Adinda Tsurayya.
Download