BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Perak (Ag) merupakan logam putih mengkilap yang dapat ditempa. Perak memiliki konduktivitas termal dan listrik yang tinggi, sehingga banyak digunakan sebagai konduktor serta komponen listrik dan elektronik (Etris, 1997). Perak termasuk logam mulia karena tidak mengalami peristiwa korosi, sehingga bernilai ekonomis cukup tinggi dan banyak dimanfaatkan dalam industri kerajinan perak dan perhiasan (Etris, 1997; Butterman dan Hilliard, 2005). Perak dalam bentuk garam AgBr bersifat fotosensitif sehingga banyak digunakan dalam proses fotografi (Cappel, 1997). Luasnya penggunaan perak menyebabkan semakin banyak industri terkait yang berkembang, sehingga semakin banyak pula limbah yang dihasilkan. Limbah yang mengandung perak jika dibuang langsung ke lingkungan dapat mengontaminasi makanan maupun minuman. Makanan dan minuman yang tercemar perak dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan jika dikonsumsi. Garam perak secara perlahan diserap oleh jaringan tubuh manusia dan akumulasinya dalam tubuh dapat menyebabkan perubahan pigmen kulit (argyria). Ion logam perak juga dapat menyebabkan efek toksik bagi tubuh, seperti kerusakan hati dan ginjal, iritasi mata dan kulit, serta pernapasan (Chen dan Schluesener, 2008). Di perairan, perak dapat menyebabkan efek toksik pada sel mamalia (Braydich-Stole dkk., 2005), dan perak sangat toksik bagi ikan (Hogstrand dan Wood, 1996), alga, beberapa tanaman, serta jamur (Eisler dkk., 1996). Pemanfaatan organisme air ini sebagai bahan makanan akan membahayakan kesehatan manusia karena akan terjadi akumulasi logam perak dalam tubuh manusia. Mengingat bahaya yang ditimbulkan oleh kontaminasi logam perak, maka pembuangan limbah tidak boleh langsung dilakukan tanpa pengolahan. Metode konvensional yang telah diuji untuk menangani limbah yang mengandung ion perak antara lain pengendapan kimia (Kuswati dkk., 2003) dan adsorpsi (Lasko dan Hurst, 1999). Penanganan limbah perak dengan metode 1 2 pengendapan kimia cukup sederhana dan murah, tetapi kurang efektif, khususnya ketika ion logam dalam limbah rendah, serta kurang ramah lingkungan karena menggunakan pereaksi kimia yang dapat menghasilkan limbah baru. Metode adsorpsi dilaporkan efektif dalam menangani limbah perak, sederhana, dan murah tetapi menimbulkan limbah padat baru berupa adsorben yang telah jenuh oleh ion logam (Volesky, 2001). Metode penanganan limbah yang mengandung ion perak yang relatif baru dan menarik perhatian saat ini adalah metode fotokatalitik reduksi. Metode fotokatalitik reduksi adalah reduksi yang diinduksi oleh sinar ultraviolet dengan adanya bahan semikonduktor yang bertindak sebagai fotokatalis (Chen dan Ray., 2001). Semikonduktor yang paling banyak digunakan sebagai fotokatalis adalah TiO2, karena TiO2 memiliki kestabilan sifat fisika dan kimia, nontoksik, murah, serta memiliki energi celah pita yang cukup tinggi (Sharma dkk., 2008; Asahi dkk., 2001). Pada umumnya, penggunaan fotokatalis TiO2 berbentuk serbuk karena lebih praktis. Penggunaan TiO2 serbuk dilaporkan menunjukkan hasil yang efektif dalam menghilangkan kontaminan dalam air dan udara (Byrne dkk., 1998), akan tetapi menimbulkan masalah dalam aplikasi karena sulitnya dilakukan pemisahan fotokatalis dari larutan (Yener dan Helvaci, 2015). Di samping itu, serbuk TiO2 juga dapat “hilang” dalam cairan karena sangat halus, sehingga fotokatalisis berlangsung kurang efektif. Peningkatan efektivitas fotoreduksi terkatalisis TiO2 dapat dilakukan dengan meningkatkan massa serbuk TiO2, namun serbuk yang terlalu banyak dapat meningkatkan kekeruhan sehingga menghalangi sinar yang masuk. Akibatnya efektivitas reaksi menjadi rendah. Serbuk TiO2 dalam jumlah besar juga dapat mengalami aglomerasi menjadi partikel yang lebih besar, sehingga luas permukaan menjadi kecil yang berakibat pada penurunan efektivitas fotokatalitik (Zhu dkk., 2002). Masalah yang muncul pada penggunaan fotokatalis serbuk dapat diatasi dengan meningkatkan luas permukaan TiO2, yaitu dengan menambahkan fotokatalis TiO2 pada bahan pendukung (matriks) seperti karbon teraktivasi (Yuefeng dkk., 2009), zeolit (Ko dkk., 2009; Peter dkk., 2013), dan silika (SiO2) 3 (Mahyar dkk., 2010; Klankaw dkk., 2012; Yener dan Helvaci, 2015). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pengembanan fotokatalis selain dapat mencegah “hilang”nya fotokatalis dari cairan karena partikelnya menjadi lebih berat, juga dapat meningkatkan efektivitas fotokatalitik bahan tersebut. Peningkatan efektivitas terjadi karena fotokatalis terdispersi secara merata pada padatan pendukung sehingga memiliki luas permukaan yang besar. Di antara bahan matriks yang telah dikemukakan, silika (SiO2) adalah yang paling menarik karena inert, transparan terhadap sinar ultraviolet, hidrofobik, tidak mengembang dalam pelarut organik, dan memiliki luas permukaan besar dan stabilitas termal yang tinggi (Bhatia, 2000; Bellardita dkk., 2010). Pembuatan fotokatalis TiO2-SiO2 dapat dilakukan dengan menggunakan prekursor titanium seperti titanium tetraklorida (TiCl4) dan titaniumtetraisopropoxide (TTIP), sedangkan silika dapat berasal dari prekursor seperti tetraethylorthosilicate (TEOS) dan tetramethylorthosilicate (TMOS). Penggunaan prekursor garam titanium cair, TEOS dan TMOS relatif mahal (Dorcheh dan Abbasi., 2008; Razali dkk., 2013). Penggunaan prekursor garam titanium cair dapat digantikan dengan TiO2 serbuk. Selain dari hasil sintetis, SiO2 pada dasarnya juga dapat diperoleh dari abu vulkanik yang mengandung SiO2 relatif tinggi, misalnya abu vulkanik Gunung Kelud yang dilaporkan mengandung SiO2 sebesar 55,19% (Sukarman dan Dariah, 2014). Abu vulkanik merupakan material yang dikeluarkan dari perut bumi dan ditemukan melimpah saat terjadi erupsi gunung berapi. Besarnya kadar SiO2 yang terdapat dalam abu vulkanik Gunung Kelud memberikan potensi pada material tersebut untuk dapat dimanfaatkan sebagai sumber SiO2. Pembentukan fotokatalis TiO2-SiO2 telah banyak dibahas pada penelitianpenelitian sebelumnya, namun penggunaan SiO2 dari abu vulkanik belum dipelajari secara intensif. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan preparasi fotokatalis TiO2-SiO2 dengan menggunakan natrium silikat yang berasal dari abu vulkanik Gunung Kelud sebagai sumber SiO2. Efektivitas fotokatalitik dari fotokatalis TiO2-SiO2 diuji pada fotoreduksi ion Ag(I) di bawah sinar UV. Kajian ini dilakukan dengan mempelajari pengaruh berbagai variabel bebas, seperti 4 waktu pengadukan pada pelarutan SiO2 dari abu vulkanik, pengaruh kadar TiO2 dalam fotokatalis TiO2-SiO2, massa fotokatalis TiO2-SiO2, dan waktu penyinaran terhadap efektivitas fotoreduksi ion Ag(I) terkatalisis TiO2-SiO2. I.2 Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah mempelajari pembuatan fotokatalis TiO2-SiO2 dengan menggunakan Na2SiO3 sebagai sumber silika yang berasal dari abu vulkanik, yang dimanfaatkan untuk fotoreduksi limbah yang mengandung ion Ag(I). Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mempelajari pengaruh waktu pengadukan terhadap hasil pelarutan silika dari abu vulkanik Gunung Kelud dengan larutan NaOH 2. Mempelajari pengaruh kadar TiO2 dalam fotokatalis TiO2-SiO2 terhadap karakterisasi dan efektivitas fotokatalis TiO2-SiO2 pada fotoreduksi ion Ag(I) 3. Mempelajari pengaruh massa fotokatalis TiO2-SiO2 terhadap efektivitas fotoreduksi ion Ag(I) terkatalisis TiO2-SiO2 4. Mempelajari pengaruh waktu penyinaran terhadap efektivitas fotoreduksi ion Ag(I) terkatalisis TiO2-SiO2 I.3 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah tersusunnya prosedur penanganan limbah yang mengandung ion Ag(I) dari lingkungan perairan melalui metode fotoreduksi dengan memanfaatkan abu vulkanik sebagai sumber silika pada pembuatan larutan natrium silikat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang kimia analitik.