BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anestesi spinal merupakan teknik anestesi regional yang paling sederhana dan paling efektif. Anestesi spinal dilakukan dengan memasukkan obat anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid sehingga bercampur dengan liquor cerebrospinalis (LCS) untuk mendapatkan analgesia setinggi dermatom tertentu (Butterworth, et. al., 2013). Anestesi spinal berkaitan dengan komplikasi potensial yaitu hipotensi dan bradikardi. Frekuensi kejadian hipotensi berkisar antara 16% sampai 33% sedangkan bradikardi sebesar 10% pasien. Kedua komplikasi di atas terjadi dengan beberapa faktor risiko yang salah satunya adalah ketinggian blok melebihi T5. Ketinggian blok pada anestesi spinal tergantung pada dosis, volume, dan konsentrasi. Teknik anestesi spinal dengan low dose anestesi lokal dapat dijadikan pilihan untuk menghindari komplikasi tersebut di atas. Pada dosis bupivacaine 0,5% hiperbarik 10 mg angka kejadian hipotensi sekitar 30% pasien sehingga dipilih low dose (7,5 mg) bupivacaine 0,5% hiperbarik (Labbene, et. al., 2007). Penggunaan bupivacaine dikatakan low dose bila dipakai ≤ 8 mg dan conventional dose bila > 8 mg (Arzola and Wieczorek, 2011). Durasi blok anestesi lokal bergantung pada sifat fisikokimianya dan dose related. Teknik anestesi spinal kontinu dengan pemasangan kateter di ruang subarachnoid dapat memperpanjang distribusi atau durasi blok anestesi (Salinas, 2009). Teknik ini memiliki keterbatasan di antaranya risiko infeksi dan sacral pooling anestesi lokal yang dapat menyebabkan sindrom kauda equina. Untuk mengatasi kekurangan tersebut di atas, obat anestesi lokal dapat diberikan adjuvan dengan tujuan untuk memperpanjang blok sensorik tanpa memperpanjang blok motorik dengan efek otonom yang minimal (Bernards, 2009). 1 Salah satu adjuvan yang dapat diberikan adalah opioid. Opioid bekerja sebagai ligan pada reseptor opioid dengan tiga area berbeda untuk menghasilkan analgesia, yaitu : 1. Opioid memiliki akses langsung ke kornu dorsalis medulla spinalis. 2. Opioid ditranspor supraspinal ketika bercampur dengan aliran LCS dengan memodulasi jalur inhibisi descenden. 3. Sejumlah kecil opioid berdifusi ke dalam ruang epidural dengan absorpsi sistemik menghasilkan analgesia sentral (Khangure, 2011). Fentanyl bersifat lipofilik dengan onset cepat dengan sedikit kecenderungan menyebar ke ventrikel keempat dengan efek samping depresi napas bila diberikan intratekal. Fentanyl meningkatkan analgesia intraoperatif dan menjadi alternatif yang lebih baik dibandingkan morphine. Fentanyl merupakan phenylpiperidine derivative lipofilik yang poten. Fentanyl memiliki onset cepat (5 menit intratekal, 10 menit epidural) dengan durasi 2-4 jam intratekal dan epidural. Fentanyl tidak memiliki metabolit aktif dan 800 kali lebih larut lemak dibandingkan morphine. Dosis yang diindikasikan untuk pemberian intratekal adalah 10 – 25 µg (Khangure, 2011). Dengan dosis adjuvan tersebut, didapatkan durasi efektif analgesia mencapai 174 – 264 menit dan efek samping nausea sekitar 30% (Ozyilkan, et. al., 2013; Biswas, et. al., 2002; Hassani, et. al., 2013). Sufentanil memiliki onset lebih cepat dibandingkan dengan fentanyl (2-3 menit intratekal, 4-6 menit epidural) dengan durasi 1-3 jam intratekal dan epidural (Khangure, 2011). Sufentanil 1600 kali lebih larut lemak dibandingkan dengan morphine. Pada pemberian intravena, sufentanil 5-10 kali lebih kuat dibanding fentanyl (Maciejewski, 2012). Pada pemberian adjuvan sufentanil dosis 2,5 – 10 µg, didapatkan lama efektif analgesia mencapai 214 – 370 menit dengan efek samping nausea sekitar 15% (Lee, et. al., 2011; Gupta, et. al., 2013; Doger, et. al., 2014). Bupivacaine 0,5% 15 mg intratekal memiliki durasi analgesia 2 168,93±23,03 menit dan dengan penambahan fentanyl 25 µg durasi analgesia mencapai 257,53±16,54 menit, serta dengan sufentanil 5 µg didapatkan durasi analgesia 283,23±31,15 menit (Waigankar and Patil, 2012). Pada pemberian adjuvan fentanyl masih didapatkan pasien yang memerlukan suplemen analgesia intraoperatif (Kim, et. al., 2009).Sifat fisikokimia opioid bergantung pada solubilitas lipid, opioid dengan solubilitas lipid lebih tinggi akan lebih cepat penetrasinya dan absorpsinya. Sufentanil memiliki onset dua kali fentanyl (Singh, 2008). Sufentanil merupakan ligan yang superior sehingga dengan dosis equianalgetik, durasi yang dihasilkan lebih lama dibandingkan dengan fentanyl (Goma, Flores, and Wizar, 2014). Anestesi spinal untuk operasi TURP (transurethral resection of prostate) sering digunakan karena simtom over hidrasi, sindrom TURP dan perforasi buli dapat dideteksi dini. Sebagian besar pasien yang menjalani operasi TURP adalah geriatri dan dengan penyakit penyerta kardiovaskuler dan respirasi. Level T9 merupakan level yang optimal (Jaffe, et. al., 2009). Level sensorik T10 memberikan anestesi yang sempurna untuk semua prosedur endoskopi urologi (Butterworth, 2013). Anestesi spinal dengan level dermatom T9 atau T10 menghasilkan anestesi yang adekuat dan mencegah refleks obturator (Smith, et. al., 2013). Prosedur dilakukan selama 30-90 menit bergantung pada besar ukuran prostat dan pengalaman operator (Donnell, 2009). Opioid dan anestesi lokal diberikan intratekal dengan efek sinergistik yang poten, memperbaiki kualitas analgesia intraoperatif dan pascaoperasi. Kombinasi dua agen ini menjadikan pengurangan dosis masing-masing sehingga dapat mengurangi efek samping masing-masing obat tersebut dan menguntungkan bagi pasien geriatri (Ackaboy, 2010; Akan, 2013). Berdasarkan beberapa penelitian diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pengurangan dosis obat anestesi lokal dengan penambahan opioid dapat menghasilkan blok sensorik yang adekuat dan lama blok motorik dapat dipersingkat. Dari pertimbangan tersebut 3 penulis bermaksud untuk melakukan penelitian tentang perbandingan lama blok sensorik dan motorik pada anestesi spinal dengan bupivacaine 0,5% hiperbarik 7,5 mg dengan penambahan fentanyl 25 µg dan sufentanil 2,5 µg. B. Rumusan Masalah Pasien yang menjalani operasi TUR sebagian besar geriatri dengan kecenderungan penyakit kardiorespirasi. Pada umumnya tindakan operasi tidak lebih dari 60 menit. Penelitian ditujukan untuk mendapatkan blok sensorik yang adekuat tanpa memperpanjang blok motorik. Salah satunya dengan menggunakan dosis rendah bupivacaine dengan penambahan fentanyl. Sufentanil 5-10 kali lebih poten daripada fentanyl. Pada penelitian tersebut di atas, penggunaan adjuvan fentanyl masih didapatkan lama blok sensorik yang tidak adekuat sehingga dengan adjuvan sufentanil diharapkan lama blok sensorik yang lebih panjang tanpa pemanjangan blok motorik. C. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut, penulis mengajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut : Apakah anestesi spinal dengan bupivacaine 0,5% hiperbarik 7,5 mg ditambah adjuvan sufentanil 2,5 µg memberikan lama blok sensorik yang lebih panjang dan lama blok motorik yang sama dibanding adjuvan fentanyl 25 µg pada operasi TUR. D. Tujuan Penelitian Mengetahui lama blok sensorik dan motorik anestesi spinal dengan menggunakan bupivacaine 0,5% hiperbarik 7,5 mg ditambah fentanyl 25 µg dan sufentanil 2,5 µg pada operasi TUR. E. Manfaat Penelitian 4 1. Hasil penelitian ini diharapkan mendapatkan lama blok sensorik yang adekuat dengan tanpa pemanjangan blok motorik pada anestesi spinal untuk operasi TUR. 2. Sebagai sumber informasi dan referensi bagi penelitian selanjutnya terutama dalam lingkungan anestesiologi dan terapi intensif. 3. Sebagai kelengkapan sumber data bagi pihak RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dan kontribusi bagi kemajuan ilmu kedokteran pada umumnya. F. Keaslian Penelitian Penelitian ini berdasar pada beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang membandingkan obat lokal anestesi yang ditambahkan fentanyl dan sufentanil dibandingkan dengan obat lokal anestesi bupivacaine yang tidak ditambahkan fentanyl dan sufentanil pada anestesi spinal. Penelitian yang membandingkan lama blok sensorik dan motorik antara bupivacaine hiperbarik 0,5 % 7,5 mg dengan penambahan fentanyl 25 µg dan sufentanil 2,5 µg pada operasi urologi dengan prosedur reseksi transuretra ini belum pernah dilakukan di lingkungan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dan RS jejaring (RS dr. Soeradji Tirtonegoro dan RSKB Diponegoro). Adapun penelitian yang dilakukan di luar RSUP Dr. Sardjito tertera pada tabel sebagai berikut : 5 Tabel 1. Keaslian Penelitian Peneliti Tahun Desain Intervensi Labbene et. al. 2007 Randomized prospective Grup 1: Bupivacaine 0,5% 5 mg hiperbarik + fentanyl 25 µg Grup 2: Bupivacaine 0,5% 7,5 mg hiperbarik + fentanyl 25 µg Grup 3 : Bupivacaine 0,5% 10 mg hiperbarik + fentanyl 25 µg Cuvas et. al. Kim et. al. Doger et. al. Kurniawan, N. 2010 2010 2013 2013 Randomized Double Blind Randomized Double Blind Randomized Double Blind Randomized Double Blind Grup 1: 2,5 mL levobupivacaine 0,5% Grup2: 2,2 mL levobupivacaine 0,5% + fentanyl 15 µg Grup 1 :bupivacaine 0,5% (0,8 mL) (4 mg) dalam dekstrose 8% + fentanyl 0,5 mL (25 µg) + normal saline 0,3 mL, jadi bupivacaine 0,25% (1,6 mL) intratekal Grup 2 :bupivacaine 0,8 mL + sufentanil 0,1 mL (5 µg) + normal saline 0,7 mL, jadi bupivacaine 0,25% (1,6 mL) intratekal Grup 1 : bupivacaine 0,5 % 10 mg Grup 2 : bupivacaine 0,5 % 7,5 mg + sufentanil 5 µg Grup 1 : bupivacaine 0,5% hiperbarik 10mg Grup 2 : bupivacaine 0,5% hiperbarik 5mg + fentanyl 25mcg 6 Jumlah Sampel 60 laki laki dengan operasi urologi TURP 40 pasien laki-laki pada operasi urologi 70 pasien pada operasi urologi 40 pasien pada operasi urologi 70 pasien pada operasi urologi TUR Kesimpulan Rata rata regresi ke T12 Grup 1 adalah 53 ± 13 menit Grup 2 adalah 69 ± 20 menit Grup 3 adalah 94 ± 14 menit Lama blok motorik paling pendek pada grup 1 Pemberian ephedrine paling banyak pada kelompok 3 - ketinggian blok pada grup 1 paling tinggi mencapai T6 dan pada grup 2 mencapai T9 - Durasi blok motorik paling cepat pada grup 2 - waktu regeresi ke S1 Grup 1 adalah 376 menit Grup 2 adalah 337 menit -median peak level blok sensoris lebih tinggi pada grup 2 -waktu memerlukan analgetik pertama kali lebih lama pada grup 2 Keterangan p < 0,05 p < 0,05 p < 0,05 p = 0,001 p = 0,001 p > 0,05 p = 0,049 p = 0,025 -waktu memerlukan analgetik pertama kali lebih lama pada grup 2 -blok motorik lebih tinggi pada grup 1 p < 0,05 -lama kerja blok sensorik grup 1 lebih singkat dibanding grup 2 -lama kerja blok motorik grup 1 lebih singkat dibanding grup 2 P < 0,05 p < 0,05 P < 0,05