analisis proses berpikir relasional siswa sekolah dasar

advertisement
ANALISIS PROSES BERPIKIR RELASIONAL SISWA SEKOLAH
DASAR MEMBUAT PERENCANAAN PENYELESAIAN
MASALAH MATEMATIKA
(KASUS SISWA BERKEMAMPUAN MATEMATIKA RENDAH)
Baiduri, I Ketut Budayasa, Agung Lukito, dan Akbar Sutawijaya
Mahasiswa S3 Pendidikan Matematika Unesa, Dosen Pendidikan Matematika
Universitas Muhammadiyah Malang, Dosen Pendidikan Matematika Pasca Sarjana
Unesa, Dosen Pendidikan Matematika Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang
E-mail: [email protected]
ABSTRAK: Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menganalisis berpikir relasional siswa sekolah
dasar kelas lima dengan kemampuan matematika rendah membuat perencanaan penyelesaian
masalah. Dua siswa dipilih menjadi subjek, masing-masing satu laki-laki dan satu perempuan.
Instrumen yang digunakan terdiri dari instrumen utama, yaitu peneliti sendiri dan instrumen
pedukung terdiri dari soal kemampuan matematika yang digunakan untuk mengkategorikan
kemampuan matematika siswa, soal tugas penyelesaian masalah dan pedoman wawancara yang
digunakan untuk memperoleh data proses berpikir relasional siswa sekolah dasar membuat
perenacanaan penyelesaian masalah. Tugas penyelesaian masalah yang digunakan adalah soal
matematika tipe menemukan dalam bentuk cerita yang terkait dengan aritmetika di sekolah dasar.
Semua data tentang proses berpikir siswa direkam dengan menggunakan video recorder. Untuk
memperoleh data yang kredibel dilakukan dengan melakukan pengamatan terus menerus/konsisten
dan pantang menyerah (meningkatkan ketekunan), triangulasi waktu dan member check. Data yang
diperoleh tersebut dianalisis dengan model alir yang terdiri tiga alur kegiatan yang terjadi secara
bersamaan yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan yaitu proses berpikir
relasional siswa sekolah dasar dengan tingkat kemampuan matematika rendah membuat
perencanaan penyelesaian masalah matematika. Adanya kesamaan proses berpikir relasional
antara siswa perempuan dan laki-laki dalam membuat perencanaan penyelesaian masalah
matematika, yaitu dengan membangun relasi di dalam dan diantara pemahaman terhadap masalah
dan pengetahuan yang sudah dimiliki. Relasi yang dibangun oleh siswa perempuan dalam
memahami masalah lebih kaya dari pada yang dibangun oleh siswa laki-laki. Siswa perempuan
merelasikannya dengan apa yang diketahui, yaitu bilangan-bilangan dan petunjuk untuk
menjawab. Sedangan siswa laki-laki merelasikannya dengan apa yang diketahui, yaitu bilanganbilangan yang ada di soal. Pengetahuan yang sudah dimiliki berkaitan dengan pemilihan operasi
hitung dan relasi yang akan digunakan. Selanjutnya ada relasi yang terjadi antara bilanganbilangan yang digunakan dan petunjuk dengan pemilihan operasi hitung dan relasi. Pada pemilihan
operasi pembagian direlasikan dengan inversnya, yaitu perkalian. Ketika pembuatan rencana siswa
laki-laki dan perempuan menyebutkan informasi yang digunakan, alasan dan tujuan melakukan
operasi hitung, meskipun alasan melakukan operasi pembagian untuk menjawab pertanyaan nomor
dua kurang tepat. Ini berarti disamping membangun relasi mereka juga memberikan rasionalitas
dalam memilih informasi dan operasi hitung yang digunakan dalam pembuatan rencana
penyelesaian masalah.
Kata kunci: Berpikir relasional, siswa SD, membuat perencanaan, penyelesaian masalah
matematika, kemampuan matematika rendah
310
311, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
Kemampuan berpikir secara matematika dan menggunakannya dalam
penyelesaian masalah merupakan tujuan
penting dari sekolah. Berpikir secara
matematika ini akan mendukung sain,
teknologi, kehidupan ekonomi dan
pengembangan ekonomi. Berpikir secara
matematika dalam konteks yang luas
merupakan hal penting, karena sama
dengan membekali siswa kecakapan
menggunakan
matematika
dalam
kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai
dengan semangat Permendiknas No 22
Tahun 2006 (Depdiknas, 2006) yang
menyatakan bahwa pelajaran matematika
di sekolah bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan yang diantaranya
adalah:
a) Menyelesaikan masalah yang meliputi
kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi
yang diperoleh.
b) Memiliki sikap menghargai kegunaan
matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian,
dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya
diri dalam penyelesaian masalah.
Formulasi tujuan pelajaran matematika di atas menunjukkan pentingnya
para siswa difasilitasi dan dikembangkan
kemampuan untuk menyelesaikan masalah
selama proses pembelajaran matematika di
kelas dan belajar untuk memahami, tidak
hanya terampil dalam hal komputasi.
Pentingnya penyelesaian masalah selain
dinyatakan dalam kurikulum pelajaran
matematika tahun 2006, juga diungkapkan
oleh NCTM (National Council of Teachers
of Mathematics) dalam Principles and
Standards for School Mathematics
(NCTM, 2000): ”Solving problems is not
only a goal of learning mathematics but
also a major of doing so ... . By learning
problem solving in mathmatics, students
should acquire ways of thinking, habits of
persistence and curiosity and confidence in
unfamiliar situations ....” Hal ini berarti
penyelesaian masalah bukan hanya tujuan
pembelajaran matematika, akan tetapi
dengan penyelesaian masalah siswa memperoleh cara perpikir, kebiasaan-kebiasaan
untuk tekun, keingintahuan yang besar dan
percaya diri dalam situasi apapun.
Pimta dkk (2009) menyatakan
bahwa penyelesaian masalah merupakan
jantung pembelajaran matematika karena
keterampilan penyelesaian masalah tidak
hanya
dalam
mempelajari
materi
matematika, akan tetapi juga merupakan
metode
pengembangan
keterampilan
berpikir yang baik. Ini berarti keterampilan
dan kemampuan penyelesaian masalah
matematika perlu diajarkan kepada siswa
mulai tingkat dasar. Melalui penyelesaian
masalah matematika siswa dapat mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan
penyelesaian masalah dalam kehidupan
sehari-hari yang lebih umum. Oleh
karenanya kemampuan dan keterampilan
penyelesaian masalah matematika selalu
menjadi perhatian guru matematika di
sekolah mulai dari tingkat dasar. Lebih
jauh lagi, salah satu aspek penting yang
harus diketahui oleh guru dalam
pembelajaran matematika, khususnya
penyelesaian masalah matematika adalah
disamping guru memperhatikan kondisi
kelas, sebaiknya juga mengetahui proses
berpikir siswa pada saat melakukan
penyelesaian masalah. Dengan mengetahui
proses berpikir siswa, guru akan
mengetahui penyebab kesalahan yang
dilakukan oleh siswa, kesulitan siswa dan
bagian-bagian yang belum dipahami,
sehingga guru dapat memberi bimbingan
sesuai dengan permasalahan yang dihadapi
oleh siswa.
Polya (1973) dan Posamentier, Jaye
dan Krulik (2007) mengatakan bahwa
penyelesaian masalah dalam matematika
Baiduri, dkk, Analisis Proses Berpikir Relasional Siswa, 312
terdiri atas empat langkah pokok, yaitu (1)
memahami/membaca masalah (understand
the problem /read the problem); (2)
menyusun rencana atau memilih strategi
(devise a plan/ select a strategy); (3)
melaksanakan
rencana/menyelesaikan
masalah (carry out a plan/solve the
problem); dan (4) memeriksa kembali
(look back). Ini berarti memahami atau
membaca masalah merupakan langkah
pertama dalam penyelesaian masalah
matematika dan hal yang krusial.
Pemahaman terhadap masalah dapat dilihat
ketika membuat rencana penyelesaian.
Pada pembuatan rencana juga terdeskripsi
apa yang akan dilakukan dalam
menyelesaikan masalah. Dengan demikian
perencanaan rencana menggambarkan
langkah sebelumnya (memahami masalah)
dan langkah sesudahnya (melaksanakan
rencana). Penyelesaian masalah bukan
aktivitas yang seragam dan menoton.
Permasalahan juga tidak selalu sama,
tergantung konten, bentuk atau prosesnya.
Ini mengisyaratkan bahwa kecakapan
menyelesaikan masalah tergantung dari
banyak faktor, diantaranya variasi masalah,
cara menyajikan masalah ke penyelesai
masalah dan perbedaan individu.
Hejný, Jirotková & Kratochvilová
(2006) menyatakan pendekatan dalam
menyelesaikan masalah dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu meta-strategi
prosedural (procedural meta-strategy) dan
meta-strategi konseptual (conceptual metastrategy). Lebih jauh mereka menyatakan
perbedaan utama antara kedua jenis
strategi
adalah
bahwa
metastrategi
prosedural
didasarkan
pada
siswa
mengaktifkan beberapa prosedur dalam
pikirannya setelah mengidentifikasi daerah
di mana masalah berada, sedangkan metastrategi konseptual, siswa menciptakan
sebuah
gambaran
masalah
dalam
pikirannya secara keseluruhan, menganalisis untuk menemukan struktur inti, dan
mencari beberapa elemen penting atau
hubungan untuk membangun sebuah
strategi penyelesaian. Sementara proses
meta-strategi prosedural menyebabkan
siswa menjadi lebih terampil dalam
masalah dari jenis yang diberikan, metastrategi konseptual membawa mereka ke
tingkat yang lebih tinggi dalam memahami
permasalahan.
Siswa
menyelesaikan
masalah
menggunakan pendekatan meta-strategi
konseptual dikatakan menggunakan berpikir relasional yaitu berpikir yang
memanfaatkan hubungan antara unsurunsur dalam kalimat dan hubungan
struktur aritmetika (Molina, Castro dan
Mason, 2008; Stephens, 2006)
atau
menganalisis ekspresi (Molina dan Ambrose,
2008) atau berpikir struktural atau berpikir
secara aljabar (Stephens, 2004). Carlo dkk
(2010) dan Stephens (2006) menyatakan
berpikir relasional merupakan lawan
berpikir prosedural. Lebih jauh Carlo dkk
(2010) mengatakan berpikir relasional
hampir sama seperti apa yang dikatakan
Skemp (1976) tentang pemahaman
relasional, yaitu mengetahui apa yang
dikerjakan dan mengapa hal itu dilakukan.
Dalam aritmetika, berpikir relasional
tergantung dari pada siswa dapat melihat
dan menggunakan berbagai kemungkinan
variasi diantara bilangan dalam sebuah
kalimat bilangan atau permasalahan yang
diberikan (Stephens, 2006). Ini berarti
siswa dikatakan berpikir relasional ketika
mereka melakukan pendekatan pada kalimatkalimat bilangan dengan fokus pada
hubungan aritmetik menggantikan komputasi.
Berpikir relasional merupakan hal
yang penting dalam matematik karena
banyak ide-ide dasar matematika memuat
relasi antara representasi yang berbeda dari
bilangan dan operasi diantara bilangan, dan
antara objek matematika yang lain (Molina,
Castro dan Ambrose, 2005) serta sebuah
313, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
fondasi yang baik untuk mempelajari
aljabar formal (Molina dan Ambrose, 2008).
Oleh
karenanya
sangat
penting
mengembangkan berpikir relasional pada
siswa sedini mungkin, yakni siswa
pendidikan dasar. Berdasarkan beberapa
pengertian di atas, yang dimaksud berpikir
relasional dalam tulisan ini adalah berpikir
membangun hubungan dengan memanfaatkan unsur-unsur informasi yang
diberikan/konteks, pengetahuan yang
dimiliki sebelumnya maupun pengetahuan
tentang sifat-sifat/struktur matematika
untuk membuat perencanaan penyelesaian
masalah matematika. Masalah matematika
adalah masalah tipe menemukan yang
berupa soal cerita yang terkait dengan
aritmetika dalam kehidupan sehari-hari di
sekolah dasar yang harus diselesaikan.
Penelitian-penelitian yang telah
dilakukan (Molina, Castro dan Mason,
2008; Stephens dan Wang, 2008; Stephens,
2008; Stephens, 2006; Molina, Castro dan
Ambrose, 2005; Carpenter,
Franke,
Madison,
Levi, & Zeringue,
2005)
melihat berpikir relasional pada saat siswa
mengerjakan penyelesaiannya, tahap ke
tiga dari empat tahapan penyelesaian
masalah yang diusulkan oleh Polya (1973)
dan Posamentier dkk (2007), belum pada
tahapan
yang
lain
dan
tidak
memperhatikan kemampuan matematika.
Selain itu gaya berpikir siswa sangat
dipengaruhi oleh kemampuan yang dia
miliki
(Albaili,
1997).
Sedangkan
kemampuan matematika siswa laki-laki
dan perempuan berbeda (Jensen, 2008;
Beaton dkk, 1999). Berdasarkan kenyataan
ini, tulisan ini menganalisis proses berpikir
relasional siswa sekolah dasar berkemampuan matematika rendah dalam
membuat
perencanaan
penyelesaian
masalah matematika.
Dipilihnya siswa berkemampuan
rendah dimaksudkan untuk membantu
mereka dalam membuat perencanaan
penyelesaian masalah matematika pada
khususnya dan penyelesaian masalah pada
umumnya. Kondisi siswa seperti ini sering
kita temui dalam kelas di sekolah.
Sedangkan dipilihnya pada tahapan
membuat rencana, karena dalam membuat
rencana
tergambarkan
pemahaman
terhadap masalah dan kegiatan yang akan
dilakukan dalam melaksanakan rencana
(menyelesaikan masalah) (Polya, 1973 dan
Posamentier dkk, 2007).
KAJIAN TEORI
a) Masalah Matematika dan
Penyelesaiannya
Posamentier dan Krulik (1998)
menyatakan bahwa ”a problem is a
situation that confronts a person, that
requires resolution, and for which the path
to the solution is not immediately known”.
Ini berarti masalah adalah situasi yang
dihadapi seseorang (termasuk siswa), yang
membutuhkan resolusi, dan jalan menuju
solusi ini tidak segera diketahui. Hal ini
senada dengan Polya (1973). Ini berarti
masalah terjadi karena adanya kesenjangan
antara keadaan saat ini dengan tujuan yang
diinginkan. Suatu kesenjangan akan merupakan masalah hanya jika seseorang tidak
mempunyai aturan tertentu yang segera
dapat dipergunakan
untuk mengatasi
kesenjangan tersebut. Jika seseorang sudah
menemukan aturan tertentu untuk mengatasi
kesenjangan yang dihadapinya, maka orang
tersebut dikatakan sudah dapat menyelesaikan masalah, atau sudah mendapatkan
penyelesaian masalah. Dengan demikian
masalah memang sangat bergantung kepada
individu tertentu
dan waktu tertentu.
Artinya, suatu kesenjangan merupakan suatu
masalah bagi
seseorang, tetapi bukan
merupakan suatu masalah bagi orang yang
lain. Bagi orang tertentu, kesenjangan pada
saat ini merupakan masalah, tapi di saat lain,
sudah bukan masalah lagi, karena orang
Baiduri, dkk, Analisis Proses Berpikir Relasional Siswa, 314
tersebut sudah segera dapat mengatasinya
dengan belajar dari pengalaman yang lalu.
Pada
pendidikan
matematika,
sebagian besar ahli pendidikan matematika
menyatakan bahwa masalah merupakan
pertanyaan atau soal matematika yang
harus dijawab atau direspon. Namun,
dinyatakan juga bahwa tidak semua
pertanyaan matematika otomatis akan
menjadi masalah. Suatu pertanyaan akan
menjadi masalah hanya jika pertanyaan itu
menunjukkan adanya suatu tantangan
(challenge) yang tidak dapat dipecahkan
oleh suatu prosedur rutin yang sudah
diketahui si pelaku. Suatu pertanyaan akan
merupakan suatu masalah apabila tidak
terdapat aturan/hukum tertentu yang segera
dapat digunakan untuk menjawab atau
menyelesaikannya. Hal ini berarti bahwa
suatu soal matematika akan menjadi
masalah apabila tidak segera ditemukan
petunjuk penyelesaian masalah berdasarkan data yang terdapat dalam soal.
Selanjutnya Polya (1973) mengemukakan
bahwa terdapat dua macam masalah dalam
matematika sebagai berikut.
a) Masalah mencari/menemukan (problem
to find), yaitu mencari, menentukan,
atau mendapatkan nilai atau objek
tertentu yang tidak diketahui dalam soal
dan memenuhi kondisi atau syarat yang
sesuai dengan soal, dapat berupa
masalah teoritis atau praktis, abstrak
atau kongkrit, termasuk teka-teki.
Bagian utama masalah ini adalah: 1)
apa yang dicari? 2) apa data diketahui?,
3) bagaimana syaratnya? Ketiga bagian
utama tersebut merupakan landasan
untuk dapat menyelesaikan masalah
jenis pertama tersebut.
b) Masalah membuktikan (problem to
prove), yaitu prosedur untuk menentukan apakah suatu pernyataan benar
atau tidak benar. Soal membuktikan
terdiri atas bagian hipotesis dan
kesimpulan. Pembuktian dilakukan
dengan membuat atau memproses
pernyataan yang logis dari hipotesis
menuju kesimpulan, sedangkan untuk
membuktikan bahwa suatu pernyataan
tidak benar, cukup diberikan contoh
penyangkalnya sehingga pernyataan
tersebut menjadi tidak benar.
Masalah menemukan merupakan
jenis masalah yang perlu diberikan kepada
siswa untuk melatih pemikiran mereka
tentang proses bagaimana suatu konsep
atau prinsip ditemukan. Selanjutnya Polya
(1973) mengatakan bahwa masalah
menemukan
lebih
penting
dalam
matematika elementer, sedangkan masalah
membuktikan lebih penting dalam
matematika lanjut. Masalah dalam
matematika biasanya berupa soal. Akan
tetapi tidak semua soal merupakan
masalah. Soal matematika merupakan
masalah jika soalnya bukan soal rutin
(Hudoyo, 2005) atau soal tidak standar
(McNeil dkk, 2006).
Berdasarkan beberapa pengertian di
atas, yang dimaksud masalah matematika
dalam tulisan ini adalah masalah tipe
menemukan yang berupa soal cerita yang
terkait dengan aritmetika di sekolah dasar
dalam kehidupan sehari-hari yang harus
diselesaikan.
Penyelesaian masalah matematika
adalah suatu proses penemuan suatu
respon yang tepat terhadap suatu situasi
yang benar-benar unik dan baru bagi
siswa. Hudoyo (2003) mengemukakan
bahwa penyelesaian masalah sebagai
proses penerimaan masalah dan berusaha
menyelesaikan masalah itu. Sedangkan
langkah-langkah yang mesti dilakukan
sesorang untuk menyelesaikan masalah
adalah: 1) memahami apa yang hendak
dicari, 2) mengestimasi jawab, 3) mencari
semua hal yang diketahui sebagai bahan
untuk rencana penyelesaian, 4) memilih
metode, rumus-rumus dan hubungan
berdasarkan rencana, 5) memanipulasi
315, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
simbol-simbol
dengan
teknik-teknik
matematika, 6) menemukan jawab, mengeneralisasi, dan 7) mengaplikasikan generalisasi yang diperoleh ke situasi baru.
Polya
(1973)
mendefinisikan
penyelesaian masalah sebagai usaha
mencari jalan keluar dari suatu kesulitan,
mencapai suatu tujuan yang tidak dengan
segera dapat dipahami ( "... finding a way
out of difficulty, a way around an obstacle,
attaining an aim that was not immediately
understandable”). Lebih lanjut Polya
menjelaskan bahwa penyelesaian masalah
merupakan suatu proses psikologis yang
melibatkan tidak hanya sekedar aplikasi
dalil-dalil atau teorema-teorema yang
dipelajari.
Menurut
Polya
(1973)
penyelesaian masalah dalam matematika
terdiri atas empat langkah pokok, yaitu (1)
memahami masalah (understand the
problem);
(2)
menyusun/memikirkan
rencana (devise a plan); (3) melaksanakan
rencana (carry out a plan); dan (4)
memeriksa kembali (look back). Senada
dengan Polya, Posamentier, Jaye dan
Krulik (2007) menggunakan empat
langkah dalam penyelesaian masalah, yaitu
(1) membaca masalah (read the problem),
(2) memilih startegi (select a strategy), (3)
menyelesaikan
masalah
(solve
the
problem), dan (4) memeriksa kembali
(look back).
Berdasarkan
beberapa
langkahlangkah penyelesaian masalah matematika
yang dikemukakan di atas, dalam tulisan ini
pembuatan rencana penyelesaian masalah
adalah tahap kedua penyelesaian masalah
matematika Polya (1973) dan Posamentier
dkk (2007).
b) Berpikir Relasional
Berpikir relasional memiliki peran
sentral dalam kognisi manusia. Berpikir
relasional adalah suatu sistem berpikir
yang berpusat pada hubungan yang
mengelilingi objek dan objek berikutnya.
Berpikir relasional mempertimbangkan
segala sesuatu dalam hal interaksi objekobjek dengan hal-hal lain. Sebagai contoh,
pemikir relasional akan "melihat" bentuk
kepala ketika melihat sepasang kacamata,
dan mereka akan "melihat" bentuk arus
udara ketika melihat burung terbang.
Berpikir relasional berkaitan dengan
affordances (semua kemungkinan tindakan
laten di lingkungan) karena metode
berpikir yang memungkinkan seseorang
menjadi sadar untuk melakukan suatu
tindakan (Doumas dan Hummel, 2005).
Berpikir relasional termasuk kemampuan
kita untuk memahami analogi antara objek
atau peristiwa yang tampaknya berbeda
dan menerapkan aturan abstrak dalam
situasi baru (Doumas dan Hummel, 2005).
Berpikir relasional mempertimbangkan
informasi tambahan secara simultan, dan
mencari
pola
identifikasi
koneksi
berikutnya. Hal ini sering dikaitkan dengan
intuisi dan karakteristik matematika
terapan, pemrograman berorientasi objek,
dan bidang interdisipliner. Dengan
demikian berpikir relasional merupakan
berpikir dengan membangun hubungan
berbagai objek/konteks sehingga saling
terkait.
Untuk memahami berpikir relasional
pada matematika, para peneliti melakukan
pendekatan dengan memberikan soal
matematika. Ketika mengerjakan kalimat
benar/salah tentang bilangan seperti 257 –
34 = 257 – 30 – 4 atau 27 + 48 – 48 = 25
yang didesain berdasarkan pada sifat-sifat
aritmetik, secara umum ada dua pendekatan
yang digunakan; 1) melakukan komputasi
pada kedua ruas dan membandingkan kedua
hasil tersebut, 2) melihat ke seluruh
kalimat, memaknai strukturnya, dan
memanfaatkan hubungan antara unsurunsurnya maupun pengetahuan tentang
struktur aritmetika untuk menyelesaikan
masalah tersebut (Carpenter, Franke, & Levi.
2003).
Baiduri, dkk, Analisis Proses Berpikir Relasional Siswa, 316
Begitu juga ketika menyelesaikan
persamaan
1
x

x=
4 x 1
5
+
x 
1
 
 , siswa dapat melanjutkan
 4 x 1
dengan operasi pada variabel dan bilanganbilangan
pada
setiap
sisi
serta
mengelompokan variabel atau mereka
mungkin memperhatikan struktur dan
menyatakan
bahwa
persamaan
ini
ekuivalen x = - 5 dengan memperhatikan
bahwa ungkapan
1
x
diulang pada

4 x 1
kedua ruas (Hoch & Dreyfus, 2004).
Pendekatan pertama disebut meta-strategi
prosedural (procedural meta-strategy) dan
pendekatan kedua disebut meta-strategi
konseptual
(conceptual
meta-strategy)
(Hejnyá dkk., 2006).
Perbedaan utama antara kedua jenis
strategi adalah bahwa meta-strategi
prosedural
didasarkan
pada
siswa
mengaktifkan beberapa prosedur dalam
pikirannya setelah mengidentifikasi daerah
di mana masalah berada, sedangkan metastrategi konseptual, siswa menciptakan
sebuah
gambaran
masalah
dalam
pikirannya secara keseluruhan, menganalisis untuk menemukan struktur inti, dan
mencari beberapa elemen penting atau
hubungan untuk membangun sebuah
strategi penyelesaian. Sementara proses
meta strategi prosedural menyebabkan
siswa menjadi lebih terampil dalam
masalah dari jenis yang diberikan, meta
strategi konseptual membawa mereka ke
tingkat yang lebih tinggi dalam memahami
permasalahan (Hejnyá dkk., 2006).
Ketika
siswa
menyelesaikan
masalah dengan menggunakan metastrategi
konseptual,
maka
mereka
dikatakan menggunakan berpikir relasional yaitu berpikir yang memanfaatkan
hubungan antara unsur-unsur dalam
kalimat dan hubungan struktur aritmetika
(Molina, Castro dan Mason, 2008;
Stephens, 2006) atau menganalisis ekspresi
(Molina dan Ambrose, 2008) atau berpikir
struktural atau berpikir secara aljabar
(Stephens, 2004). Carlo dkk (2010) dan
Stephens (2006) menyatakan berpikir
relasional merupakan lawan berpikir
prosedural. Lebih jauh Carlo dkk (2010)
mengatakan berpikir relasional hampir
sama seperti apa yang dikatakan Skemp
(1976) tentang pemahaman relasional,
yaitu mengetahui apa yang dikerjakan dan
mengapa.
Dalam aritmetika, berpikir relasional
tergantung dari pada siswa dapat melihat
dan menggunakan berbagai kemungkinan
variasi diantara bilangan dalam sebuah
kalimat bilangan atau permasalahan yang
diberikan (Stephens, 2006). Ini berarti
siswa dikatakan berpikir relasional ketika
mereka melakukan pendekatan pada kalimatkalimat bilangan dengan fokus pada
hubungan
aritmetik
menggantikan
komputasi. Hal senada juga disampaikan
oleh Carpenter dkk (2005)
”relational thinking involve using
fundamental properties of number
and operations to transform
mathematical expresions rather
than simply calculating an answer
following a prescribed sequence of
prosedure”.
Berpikir
relasional
melibatkan
penggunaan sifat-sifat dasar bilangan dan
operasi
untuk
mengubah
ekspresi
matematika dari pada menghitung jawaban
yang
mengikuti
barisan
prosedur.
Pernyataan serupa oleh Koehler (2004)
(dalam Molina, 2008) yang menyatakan
bahwa berpikir relasional dikaitkan dengan
banyak hubungan yang berbeda yang
dilakukan anak dalam mengenali dan
membangun antara dan di dalam bilangan,
ekspresi dan operasi. Ini berarti berpikir
relasional melibatkan penggunaan sifat
dasar operasi dan kesamaan untuk
317, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
menganalisis masalah dalam konteks
struktur tujuan dan kemudian menyederhanakan masalah menuju tujuan tersebut.
Penggunaan sifat dasar untuk menghasilkan struktur tujuan dan mengubah
ekspresi dapat eksplisit atau implisit dalam
logika penalaran siswa. Sebagai contoh 47
+ 73 = (40 + 7) + (70 + 3) = (40 + 70) + (7
+ 3) = 110 + 10 = 120.
Carpenter dkk ( 2003) dan
Stephens, AC (2006) menyatakan bahwa
siswa dikatakan berpikir relasional jika: 1)
Siswa melihat tanda sama dengan sebagai
simbol relasi. 2) Siswa dapat fokus pada
struktur ekspresi dan 3) Siswa dapat
memberikan
rasionalitas penggunaan
strategi untuk menyelesaikan masalah
kalimat bilangan yang melibatkan operasi.
Ini berarti siswa yang menyelesaikan
permasalahan dengan menggunakan pemikiran relasional memanfaatkan pemahaman
bilangan
mereka
untuk
mempertimbangkan ekspresi aritmetika
dari perspektif struktural bukan sekadar
prosedural. Bila menggunakan berpikir
relasional, kalimat-kalimat yang ada
dianggap sebagai keseluruhan, bukan
sebagai proses untuk mengerjakan langkah
demi langkah (prosedural).
Pengertian
tentang
berpikir
relasional dalam matematika yang telah
dikemukakan di atas selalu dikaitkan
dengan
melaksanakan rencana, tahap
ketiga penyelesaian masalah menurut
Polya (1973). Menurut Kinard & Kozulin
(2008) berpikir relasional berada pada
level tertinggi, level 3 (berpikir relasional
abstrak) pada fungsi kognitif berpikir
matematis rigor. Hal ini dikarenakan
berpikir relasional mempertimbangkan
proposisi matematika yang menyajikan
hubungan antara dua objek matematika, A
dan B, dengan proposisi matematika kedua
yang menyajikan hubungan antara konsep
A dan C dan kemudian menyimpulkan
hubungan antara B dan C. Hejnyá dkk
(2006) memberikan karateristik prosedur
penyelesaian masalah pada berpikir
relasional sebagai berikut: 1) Membuat
gambaran dalam pikiran tentang masalah
secara keseluruhan. 2) Menganalisis untuk
menemukan struktur inti masalah. 3)
Mencari elemen kunci atau hubungan
dalam masalah, hal ini menyangkut
wawasan hubungan antara unsur-unsur
yang diberikan dan yang tidak diketahui.
4) Setelah elemen kunci atau hubungan
kunci ditemukan, mengkonstruksi strategi
penyelesaian dan 5) Proses di atas
mengarah penyelesai masalah menuju
tingkat yang lebih tinggi dalam memahami
masalah tersebut. Molina dkk (2005)
mengatakan bahwa seseorang berpikir
relasional atau menggunakan pemikiran
relasional ketika ia memeriksa dua atau
lebih ide-ide matematika atau benda, ia
mencari alternatif hubungan antara idea tau
benda tersebut dan menganalisis atau
menggunakan hubungan tersebut dalam
rangka menyelesaikan masalah, membuat
keputusan, atau mempelajari lebih lanjut
tentang situasi atau konsep yang
digunakan.
Berdasarkan dari beberapa penjelasan di atas, dalam penelitian ini berpikir
relasional adalah berpikir membangun
hubungan dengan memanfaatkan unsurunsur informasi yang diberikan (konteks)
maupun pengetahuan tentang sifatsifat/struktur matematika untuk membuat
perencanaan
penyelesaikan
masalah
matematika.
METODE
a) Subjek Penelitian
Subjek yang dipilih adalah siswa SD
kelas V dengan usia berkisar antara 11
tahun sampai 12 tahun. Selanjutnya subjek
diminta menyelesaikan soal tes kemampuan matematika (TKM) yang sudah
divalidasi. Hasil tes dinilai dengan
menggunakan skor dari 0 sampai dengan
Baiduri, dkk, Analisis Proses Berpikir Relasional Siswa, 318
100 dikelompokan menjadi tiga kategori.
Skor tes (x) kurang dari 55 dikategorikan
berkemampuan rendah, skor tes 55 ≤ x <
80 dikategorikan berkemampuan sedang
dan skor tes, x ≥ 80 dikategorikan
berkemampuan
tinggi.
Hasil
tes
memperlihatkan siswa dengan kategori
berkemampuan rendah yang sangat
dominan, yaitu sebanyak 16 siswa
(51,61%), dengan 5 siswa laki-laki dan 11
perempuan dari 31 siswa. Selanjutnya
dipilih sebanyak dua siswa, satu laki-laki
(SLB) dan satu perempuan (SPB) yang
skornya sama, yaitu 40 yang akan
dijadikan subjek penelitian.
b) Instrumen
Instrumen dalam penelitan ini terdiri
dari instrumen utama, yaitu peneliti sendiri
dan instrumen pendukung yang meliputi
alat perekam audio visual, tes kemampuan
matematika (TKM), tugas penyelesaian
masalah matematika (TPM) dan pedoman
wawancara. Tes Kemampuan Matematika
(TKM) disusun dengan mengadopsi soalsoal UAN/UN atau ujian bersama SD yang
berbentuk pilihan ganda menjadi soal
uraian yang sesuai dengan standar isi
kurikulum matematika tahun 2006 untuk
kelas V, khususnya materi semester ganjil.
Lembar soal yang sudah disusun divalidasi
oleh guru matematika SD yang sudah
memiliki
sertifikat
pendidik,
ahli
pendidikan matematika dan ahli evaluasi
dalam hal konten soal dan bahasa yang
digunakan. Berdasarkan hasil validasi
tersebut, maka lembar soal siap digunakan.
Sebagaimana penyusunan TKM,
maka dalam penyusunan TPM juga
didahului dengan mempelajari standar isi
kurikulum matematika tahun 2006 untuk
kelas V dan instrumen soal yang
digunakan peneliti terdahulu dalam
mengeksplorasi berpikir relasional siswa.
Pada penelitian ini merujuk pada
instrumen yang dikembangkan oleh
Stephens (2008) serta Stephens dan Wang
(2008). Selanjutnya peneliti meminta izin
kepada Stephens untuk menggunakan soal
yang dia kembangkan, akan tetapi soalnya
dalam bentuk cerita. Atas izin dan saran
beliau soal bentuk tersebut dikembangkan
lagi, baik yang berkaitan dengan data yang
diberikan
maupun
pertanyaannya.
Sehingga diperoleh TPM yang selanjutnya
divalidasi oleh guru matematika SD yang
sudah memiliki sertifikat pendidik, ahli
pendidikan matematika dan ahli evaluasi
yang berekaitan dengan konten soal dan
bahasa yang digunakan. Berdasarkan hasil
validasi tersebut, selanjutnya dilakukan
keterbacaan soal secara informal kepada
dua siswa SD kelas V; laki-laki dan
perempuan. Hasilnya, kedua siswa tersebut
dapat menyebutkan apa yang diketahui dan
apa yang ditanyakan, yang merupakan dua
hal penting pada soal bentuk menemukan
(Polya, 1973). Pada penelitian ini
dikembangkan dua jenis TPM yang setara,
yang masing-masing disebut TPM I dan
TPM II.
Tugas penyelesaian masalah (TPM) I
Di warungnya, Ibu Dewi menjual permen
yang diletakkan di dalam tiga toples
yang berwarna merah, hijau dan biru.
Tiap-tiap toples berisi permen dua rasa
dengan bentuk dan ukuran yang sama.
Toples merah berisi 81 permen rasa
strawberi dan 47 rasa jeruk. Toples hijau
berisi 23 permen rasa kopi dan sisanya
rasa susu. Toples biru berisi 46 permen
rasa nanas dan sisanya rasa melon.
Banyak permen di dalam toples merah
dua kali banyak permen di dalam toples
hijau. Banyak permen di dalam toples
biru tidak lebih dari banyak permen di
dalam toples hijau. Berapa banyak
permen rasa susu di dalam toples hijau?
Berapa banyak permen rasa melon yang
mungkin di dalam toples biru?
Tugas penyelesaian masalah (TPM) II
Di warungnya, Ibu Dewi menjual permen
yang diletakkan di dalam tiga toples
319, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
yang berwarna merah, hijau dan biru.
Tiap-tiap toples berisi permen dua rasa
dengan bentuk dan ukuran yang sama.
Toples merah berisi 80 permen rasa
strawberi dan 44 rasa jeruk. Toples hijau
berisi 39 permen rasa kopi dan sisanya
rasa susu. Toples biru berisi 56 permen
rasa nanas dan sisanya rasa melon.
Banyak permen di dalam toples merah
dua kali banyak permen di dalam toples
hijau. Banyak permen di dalam toples
biru tidak lebih dari banyak permen di
dalam toples hijau. Berapa banyak
permen rasa susu di dalam toples hijau?
Berapa banyak permen rasa melon yang
mungkin di dalam toples biru?
Pengembangan pedoman wawancara
dilakukan dalam upaya membantu
menggali proses berpikir relasional subjek.
Pedoman ini merujuk pada memahami
masalah tahapan pertama penyelesaian
masalah matematika oleh Polya. Pedoman
wawancara divalidasi oleh guru matematika SD yang sudah memiliki sertifikat
pendidik, ahli pendidikan matematika dan
ahli evaluasi yang berkaitan dengan konten
dan bahasa yang digunakan.
c) Data dan Kredibilitas Data
Mekanisme pengumpulan data, baik
pada tugas pemecahan masalah I maupun
II dimulai dengan meminta subjek
membaca tugas penyelesaian masalah yang
dilanjutkan dengan wawancara yang
mendalam. Data-data tersebut direkam
dengan menggunakan video recorder.
Selanjutnya untuk menjamin kredibilitas
data yang diperoleh peneliti dengan
melakukan pengamatan terus menerus/
konsisten
dan
pantang
menyerah
(meningkatkan ketekunan), triangulasi
waktu dan membercheck (Moleong, 2011;
Sugiyono, 2011).
d) Analisis Data
Berdasarkan data yang sudah
kredibel, selanjutnya dilakukan analisis
dengan model alir yang terdiri tiga alur
kegiatan yang terjadi secara bersamaan
yaitu: reduksi data, penyajian data, dan
penarikan
kesimpulan
(Miles
&
Huberman, 1992), yaitu proses berpikir
relasional siswa sekolah dasar dengan
tingkat kemampuan matematika rendah
dalam memahami masalah matematika.
HASIL DAN PEMBAHASAN
a) Hasil Penelitian
Proses berpikir relational siswa
perempuan (SPB) dalam membuat
perencanaan
penyelesaian
masalah
matematika dengan membangun relasi di
dalam dan diantara pemahaman terhadap
masalah dan pengetahuan yang sudah
dimiliki. Kedua unsur ini disebut sebagai
unsur inti dalam membuat perencanaan.
Perihal pemahaman terhadap masalah
berkaitan dengan apa yang diketahui, yaitu
bilangan-bilangan dan petunjuk untuk
menjawab. Sedangkan pengetahuan yang
sudah dimiliki berkaitan dengan pemilihan
operasi hitung dan relasi yang akan
digunakan. Selanjutnya ada relasi yang
terjadi antara bilangan-bilangan yang
digunakan dan petunjuk dengan pemilihan
operasi hitung dan relasi. Pada pemilihan
operasi pembagian direlasikan dengan
inversnya,
yaitu
perkalian.
Ketika
pembuatan rencana SPB menyebutkan
informasi yang digunakan, alasan dan
tujuan
melakukan
operasi
hitung,
meskipun alasan melakukan operasi
pembagian untuk menjawab pertanyaan
nomor dua kurang tepat. Ini berarti
disamping membangun relasi SPB juga
memberikan rasionalitas dalam memilih
informasi dan operasi hitung yang
digunakan dalam pembuatan rencana
penyelesaian masalah.
Baiduri, dkk, Analisis Proses Berpikir Relasional Siswa, 320
Proses berpikir relational siswa lakilaki (SLB) dalam membuat perencanaan
penyelesaian masalah matematika dengan
membangun relasi di dalam dan diantara
pemahaman terhadap masalah dan
pengetahuan yang sudah dimiliki. Kedua
unsur ini disebut sebagai unsur inti dalam
membuat perencanaan.
Perihal pemahaman terhadap masalah berkaitan dengan
apa yang diketahui, yaitu bilanganbilangan yang ada di soal. Sedangkan
pengetahuan yang sudah dimiliki berkaitan
dengan pemilihan operasi hitung dan relasi
yang akan digunakan. Selanjutnya ada
relasi yang terjadi antara bilangan-bilangan
yang digunakan dan petunjuk dengan
pemilihan operasi hitung dan relasi. Pada
pemilihan operasi pembagian direlasikan
dengan inversnya, yaitu perkalian. Ketika
pembuatan rencana SPB menyebutkan
informasi yang digunakan, alasan dan
tujuan
melakukan
operasi
hitung,
meskipun alasan melakukan operasi
pembagian untuk menjawab pertanyaan
nomor dua kurang tepat. Ini berarti
disamping membangun relasi SPB juga
memberikan rasionalitas dalam memilih
informasi dan operasi hitung yang
digunakan dalam pembuatan rencana
penyelesaian masalah.
b) Pembahasan
Proses berpikir relasional SPB dan
SLB
dalam
membuat
perencanaan
penyelesaian masalah matematika dengan
membangun relasi di dalam dan diantara
pemahaman terhadap masalah dan
pengetahuan yang sudah dimiliki. Ini
berarti berpikir relasional antara siswa
laki-laki dan perempuan dalam membuat
rencana penyelesaian mengitegrasikan
informasi yang diperoleh dari soal
(memanfaatkan apa yang diketahui) dan
pengetahuan
yang
sudah
dimiliki
sebelumnya (memilih operasi hitung dan
relasi). Pemahaman seperti ini dalam
perspektif pemahaman bacaan termasuk
tingkat ketiga/tertinggi, yaitu model situasi
(Kintsch, 1988 dalam Österholm, 2006;
Van Dijk dan Kintsch, 1983).
Perihal pemahaman terhadap masalah siswa perempuan merelasikanya
dengan apa yang diketahui, yaitu bilanganbilangan dan petunjuk untuk menjawab.
Sedangan siswa laki-laki merelasikannya
dengan apa yang diketahui, yaitu bilanganbilangan yang ada di soal. Ini berarti relasi
yang dibangun oleh siswa perempuan
dalam memahami masalah lebih kaya dari
pada yang dibangun oleh siswa laki-laki.
Hal ini sesuai dengan pendapat bahwa
anak perempuan tampil relatif lebih baik
daripada anak laki-laki dalam item soal
uraian (Bolger & Kellaghan, 1990). Alasan
adanya kemungkinan perbedaan an antara
jenis kelamin adalah fakta bahwa item soal
uraian membutuhkan kemampuan verbal
(Murphy, 1982).
SPB dan SLB telah melakukan
berbagai relasi membuat perencanaan
penyelesaian masalah, akan tetapi jika
dianalogikan dengan Stephens dan Wang
(2008), maka berpikir relasional mereka
termasuk pada tipe konsolidasi, yaitu dapat
menyebutkan informasi yang digunakan,
alasan dan tujuan melakukan operasi
hitung berdasarkan informasi yang
digunakan, akan tetapi masih ada alasan
melakukan operasi kurang tepat yaitu
alasan melakukan operasi pembagian
untuk menjawab pertanyaan nomor dua.
PENUTUP
Adanya kesamaan proses berpikir
relasional antara siswa perempuan dan
laki-laki dalam membuat perencanaan
penyelesaian masalah matematika, yaitu
dengan membangun relasi di dalam dan
diantara pemahaman terhadap masalah dan
pengetahuan yang sudah dimiliki, yang
selanjutnya disebut sebagai unsur intinya.
321, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
Demikian juga relasi yang terjadi di dalam
dan diantara unsur inti.
Membuat rencana penyelesaian
merupakan tahap kedua dalam penyelesaian masalah matematika (Polya, 1973
dan Posamentier dkk, 2007). Tahapan ini
dapat digunakan untuk melihat apa yang
dipahami terhadap soal dan aktivitas yang
akan dilakukan tahapan berikutnya,
melaksanakan rencana. Oleh karenanya
penting bagi guru matematika untuk
memfasilitasi siswa dalam membuat
perencanaan penyelesaian masalah yang
diantaranya
mengembangkan
proses
berpikir relasional. Penelitian ini terbatas
pada pembuatan rencana penyelesaian
masalah matematika dan terbatas pada
siswa SD yang kemampuan matematikanya rendah atau kurang, oleh
karenanya perlu dikaji juga proses berpikir
relasional pada tahapan yang lain,
memahami masalah, melaksanakan rencana atau memeriksa kembali pada siswa SD
yang berkemampuan tinggi atau sedang
pada siswa ditingkat dasar atau pada
tingkat menengah atau perguruan tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Albaili, M.A. 1997. “Differences in
Thinking Styles among Low-,
Average,and
High-Achieving
College Students”. Educational
Psychology. 17(1) hal 171 – 177.
Beaton, A.E., Mullis, I.V.S., Martin, M.O.,
Gonzalez, E.J., Kelly, D.L. & Smith,
T.A.
1999.
Mathematics
achievement in the middle school
years: IEA's Third International
Mathematics and Science StudyRepeat (TIMSS-R). Boston College,
USA.
Bolger, N. & Kellaghan, T. 1990.
“Methods of measurement and
gender differences in scholastic
achievement”. Journal of Educational Measurement, 31, 275-293.
Carlo, M., Anne, C., Paul, P.W., Paola, V.
2010. “Equality Relation and
Structural Properties”. Proceedings
of CERME 6, January 28thFebruary 1st 2009, Lyon France
www.map.fr/publication/editionelectronique/cerme6/wg4-16.marchini-et-al. pdf, diakses 27 Oktober
2010
Carpenter, T.P., Franke, M.L., & Levi, L.
2003. Thinking mathematically:
Integrating arithmetic and algebra
in elementary school, Posrtmouth:
Heinemann
Carpenter, T.P., Franke, M.L., Madison,
Levi, L., & Zeringue, J.K., 2005.
Algebra in Elementary Schooll:
Developing Relational Thinking,
ZDM, Vol. 37(1), pp. 53 – 59.
Depdiknas, 2006. Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan. Kompetensi
Dasar Pelajaran Matematika untuk
Sekolah Dasar (SD)/Madrasah
Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah
Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah
Atas (SMA)/Madrasah Aliah (MA).
Jakarta: Pusat Kurikulum, Balitbangdiknas, Jakarta.
Doumas. L. A. A. and Hummel. J.E. 2005.
”Approaches to Modeling Human
Mental
Representations:
What
Works, What Doesn’t, and Why”. In
Holyoak. K.J. and Morrison. R.G
(Ed). The Cambridge Handbook of
Thinking and Reasoning. Cambridge. University press.
Baiduri, dkk, Analisis Proses Berpikir Relasional Siswa, 322
Hejný, M., Jirotková, D. & Kratochvilová,
D.
2006.
”Early
conceptual
thinking”. In Novotná, J., Moraová,
H., Krátká, M. & Stheliková, N.
(Eds.),
Proceedings
30th
Conferences of the International
Group for the Psychology of
Mathematics Education, Vol. 3, pp.
289-296. Prague: PME.
Hudojo, Herman. 2005. Kapita Selekta
Pembelajaran Matematika. Malang:
Universitas Negeri Malang.
Jensen, Eric.2008. Brain- Based Learning:
Pembelajaran Berbasis Kemampuan
Otak Cara Baru Dalam Pengajaran
dan Pelatihan.Yogyakarta. Pustaka
Pelajar.
Jonassen,
D.H.
&
Tessmer,
M.
(1996/1997). “An outcomes-based
taxonomy for instructional systems
design, evaluation, and research”.
Training Research Journal, 2, 1146.
McNeil,N.M., Grandau, L., Knuth, E.J.,
Alibali, M.W., Stephens, A.C. 2006.
“Middle-School Students’ Understanding of the Equal Sign: The
Books They Read Can’t Help”.
Cognition and Instruction, 24(3),
367 – 385.
Miles, M. B. & Huberman, A.M. 1992.
Analaisis Data Kualitatif: Buku
Sumber Tentang Metode-metode Baru.
Terjemahan oleh: Tjetjep Rohendi
Rohedi. Jakarta: UI Press.
Moleong, Lexy. J. 2011. Metodologi
Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi).
Bandung PT. Remaja Rosdakarya.
Molina, M., Castro, E. Ambrose, R. 2005.
“Enriching Arithmetic Learning by
Promoting Relational Thinking”.
The International Journal of
Learning, 12(5), 265 – 270.
Molina, M., Castro, E., & Mason, J. 2008.
“Elementary
school
students’
approaches to solving true/false
number sentences”. PNA 2 (2), 75 –
86,
http://www.pna.es/Numeros/
pdf/Molina2008Elementary.pdf,
diakses, 15 Nopember 2009
Molina, M., & Ambrose, R. 2008. “From
an operational to a relational
conception of the equal sign: Thirds
grades’
developing
algebraic
thinking”. Focus on Learning
Problems in Mathematics, 30 (1), 61
– 80
Murphy, R.J.L. (1982). “Sex differences in
objective test performance”. British
Journal of Psychology, 52, 213-219.
National Council of Teachers of
Mathematics, 2000, Principles and
standards for school mathematics,
Reston, VA: Author
Pimta, S., Tayruakham, S., Nuangchalerm,
P. 2009. “Factor Influencing
Mathematics
Problem
Solving
Ability of Sixth Grade Students”.
Journal of Social Sciences, 5 (4):
381-385.
Polya, G. 1973. How to Solve it. 2nd Ed.
Princeton University Press, ISBN
0-691-08097-6
Posamentier, A.S., Krulik, S. 1998.
Problem-solving
strategies
for
efficient and elegant solutions: A
Resource for the Mathematics
Teacher. Corwin Press, Inc.
California USA.
Posamentier, A.S., Jaye, D., Krulik, S.
2007. Exemplary Practices for
Secaondary
Math
Teachers.
Association for Supervision and
Curiculum Development. Alexandria, Virgina USA.
Skemp,
R.R.
1976.
“Relational
understanding and Instrumental
understanding”.
Mathematics
Teaching.
Solso, Robert L. 1995. Cognitive
Psychology. Boston. Allyn and
Bacon.
323, KNPM V, Himpunan Matematika Indonesia, Juni 2013
Stephens, M. 2008. “Some key junctures in
relational thinking”. In M. Goos, R.
Brown and K. Makar (Eds.),
Navigating current and charting
directions (Proceedings of the 31th
annual
conference
of
the
Mathematics Education Group of
Australia, pp. 491 – 498). Brisbane:
MERGA.
Stephens, M. and Wang, X., 2008. “Some
key junctures in relational thinking”.
Journal of Mathematics Education,
Vol. 17 (5), hal. 36 – 40 .
Stephens, M. 2006. “Describing and
exploring the power of relational
thinking”. In P. Grootenboer, R.
Zevenbergen, & M. Chinnappan
(eds.), Identities, Cultures and
Learning Spaces, Proceeding of the
29th annual conference of the
Mathematics Education Research
Group of Australasia, pp. 479-486.
Canberra:
MERGA.
http://
www.merga.net.au/documents/
RP552006.pdf, diakses 15 Nopember 2009.
Stephens, M, 2004. Researching relational
thinking, Japan: University of Tsukuba
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian
Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.
Bandung : Alfabeta.
Van Dijk, T. A., & Kintsch, W. 1983.
Strategies of discourse comprehension. New York: Academic
Press.
Österholm, M,. 2006. Charactherizing
reading comprehension of mathematical texts, Educational Studies in
Mathematics (63), 3, 325 – 346.
Download