BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Analgetika, didefinisikan menurut Purwanto dan Susilowati (2000) adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif untuk mengurangi rasa sakit. Analgetika bekerja dengan meningkatkan nilai ambang persepsi rasa sakit. Berdasarkan mekanisme kerja farmakologisnya, analgetika dibagi menjadi dua golongan umum, yaitu analgetika narkotik dan analgetika non narkotik. Dari dua golongan umum ini, analgetik digolongkan lagi berdasarkan struktur kimianya. Analgetika narkotik, dikelompokkan ke dalam turunan morfin, turunan fenilpiperidin (meperidin), turunan difenilpropilamin (metadon), dan turunan lain-lain, sedangkan untuk analgetika non narkotik, dibagi menjadi dua kelompok, yaitu analgetika-antipiretika dan obat anti radang bukan steroid (Non Steroidal Anti Inflammatory Drug, NSAID). Dari masingmasing kelompok ini, dikelompokkan lagi berdasarkan struktur kimia spesifiknya, salah satu contohnya adalah turunan asam salisilat dari kelompok NSAID. Purwanto dan Susilowati (2000) menjelaskan, asam salisilat merupakan senyawa golongan asam karboksilat yang digunakan pertama kali sebagai analgesik. Karena sifatnya yang sangat iritatif, penggunaannya secara oral dihindari. Telah banyak dilakukan berbagai modifikasi terhadap struktur asam salisilat untuk memperkecil efek samping dan untuk meningkatkan aktivitas dari senyawa ini disamping untuk menghasilkan senyawa-senyawa yang dapat digunakan secara per oral. Turunan asam salisilat diperoleh dengan memodifikasi struktur, melalui pengubahan gugus 1 karboksil, substitusi pada gugus hidroksil, modifikasi pada gugus karboksilat dan hidroksil, serta memasukkan gugus hidroksil atau gugus lain pada cincin aromatik, atau mengubah gugus fungsional. Dijelaskan lebih lanjut oleh Purwanto dan Susilowati (2000), tujuan dari modifikasi turunan asam salisilat adalah untuk meningkatkan aktivitas analgesik dan menurunkan efek samping yang dapat ditimbulkan. Asam asetilsalisilat, atau yang lebih dikenal dengan nama asetosal, merupakan salah satu contohnya. Asam asetilsalisilat adalah salah satu obat yang paling sering digunakan untuk meredakan nyeri ringan sampai sedang yang sebabnya beragam, tetapi tidak efektif untuk nyeri organ dalam (visceral pain), seperti infarktus, miokardium, atau kolik batu ginjal, atau empedu (Furst and Munster, 2002). Efek samping asam asetilsalisilat dapat mengiritasi lambung. Iritasi lambung yang akut kemungkinan berhubungan dengan gugus karboksilat yang bersifat asam sedangkan iritasi kronik kemungkinan disebabkan oleh penghambatan pembentukan prostaglandin E1 dan E2, yaitu suatu senyawa yang dapat meningkatkan vasodilatasi mukosa lambung. Di samping itu, efek samping yang lain dari asam asetilsalisilat adalah terjadinya Sindrom Reye, suatu penyakit mematikan yang mengganggu fungsi otak, hati dan liver (Purwanto dan Susilowati, 2000). Pada beberapa orang dengan penyakit asma, urtikaria kronis, atau rhinitis kronis, penggunaan obat ini dapat mengakibatkan alergi. Asam asetilsalisilat juga bersifat hepatotoksik, khususnya pada pasien-pasien juvenile idiopathic arthritis atau pasien dengan gangguan kelainan jaringan lainnya (Sweetman, 2009). Dalam penelitian sebelumnya, Pratiwi (2009), telah memodifikasi struktur turunan asam salisilat, yaitu dengan penambahan gugus 3klorometilbenzoil klorida. Tujuan modifikasi struktur ini adalah untuk menghasilkan senyawa analgesik baru yang lebih poten sebagai analgesik, 2 serta dapat meminimalkan efek samping dari asam asetilsalisilat yang paling sering timbul, yaitu iritasi mukosa lambung. Hasil reaksi antara asam salisilat dengan 3-klorometilbenzoil klorida adalah senyawa asam 3klorometilbenzoil salisilat, atau yang dikenal dengan nama IUPAC senyawa asam 2-(3-(klorometil)benzoiloksi)benzoat. Hasil uji aktivitas analgesik senyawa asam 2-(3-(klorometil)benzoiloksi)benzoat, menunjukkan harga Effective Dose 50 (ED50) sebesar 14,05 mg/kgBB, lebih kecil dibandingkan dengan harga ED50 asam asetilsalisilat, yaitu sebesar 20,83 mg/kgBB. Hal ini dapat menjelaskan bahwa senyawa asam 2-(3-(klorometil)benzoiloksi) benzoat lebih aktif dan potensial sebagai analgesik, dibandingkan dengan senyawa asam asetilsalisilat. Natalia (2012), dalam penelitiannya, telah memodelkan beberapa turunan senyawa asam asetilsalisilat yang berinteraksi dengan reseptor siklooksigenase-2 menggunakan program Glide (lisensi Schrodinger). Hasil penelitian tersebut, menunjukkan nilai Glide Score (GScore) senyawa asam 2-(3-(klorometil)benzoiloksi)benzoat sebesar -9,48. Nilai tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan senyawa analgetika paten lain yang sudah banyak beredar, seperti asam asetilsalisilat (GScore sebesar -5,88), dan celecoxib (GScore sebesar -9,47). Nilai GScore merupakan sistem penilaian empiris yang mendekati energi bebas pengikatan ligan, dan digunakan untuk menentukan peringkat pose ligan yang berbeda. Semakin kecil nilai GScore, maka semakin stabil ikatan obat dan reseptor yang terbentuk. Stabilnya ikatan obat dengan reseptor tersebut, akan menghasilkan efek farmakologi yang lebih baik (Friesner et al., 2004). Dewi (2012), telah melakukan penelitian uji toksisitas akut, untuk mengetahui efek samping penggunaan senyawa asam 2-(3-(klorometil) benzoiloksi)benzoat dosis besar, yang diujikan pada mencit, dengan metode uji penelitian yang mengacu pada OECD 425. Hasil penelitian tersebut 3 menunjukan nilai Lethal Dose 50 (LD50) senyawa asam 2-(3-(klorometil) benzoiloksi)benzoat sebesar 2000 mg/kgBB. Secara keseluruhan, mencit mampu bertahan hidup hingga akhir percobaan dengan waktu yang telah ditentukan dan terdapat kerusakan pada beberapa organ mencit, terutama organ lambung, pada pengamatan uji makroskopis. Oleh karena itu, penelitian ini dilanjutkan untuk memperoleh data toksisitas akut senyawa asam 2-(3-(klorometil)-benzoiloksi)benzoat pada hewan rodentia lain, selain mencit yaitu tikus, sebagai tahap lanjut dalam mengembangkan senyawa baru analgesik dengan efek lebih baik, serta tidak toksik bila dibandingkan dengan senyawa asam asetilsalisilat. 1.2 Rumusan Masalah 1.1.1 Bagaimana pengaruh pemberian dosis 2000 mg/kgBB dari senyawa asam 2-(3-(klorometil)benzoiloksi)benzoat terhadap perubahan aktivitas pada tikus putih jantan? 1.1.2 Bagaimana pengaruh pemberian dosis 2000 mg/kgBB dari senyawa asam 2-(3-(klorometil)benzoiloksi)benzoat terhadap perubahan indeks organ pada tikus putih jantan? 1.1.3 Berapakah nilai LD50 dari senyawa asam 2-(3- (klorometil)benzoiloksi)benzoat pada tikus putih jantan? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Mengetahui pengaruh dari (klorometil)benzoiloksi)benzoat senyawa asam 2-(3- dengan dosis 2000 mg/kgBB terhadap perubahan aktivitas pada tikus putih jantan. 1.3.2 Mengetahui pengaruh dari (klorometil)benzoiloksi)benzoat senyawa asam 2-(3- dengan dosis 2000 4 mg/kgBB terhadap perubahan indeks organ pada tikus putih jantan. 1.3.3 Mengetahui harga LD50 dari senyawa asam 2-(3(klorometil)benzoiloksi)benzoat terhadap tikus putih jantan. 1.4 Hipotesis Penelitian 1.4.1 Senyawa dengan asam dosis 2-(3-(klorometil)benzoiloksi)benzoat 2000 mg/kgBB tidak menimbulkan perubahan aktivitas pada tikus putih jantan. 1.4.2 Senyawa dengan asam dosis 2-(3-(klorometil)benzoiloksi)benzoat 2000 mg/kgBB tidak menimbulkan perubahan indeks organ pada tikus putih jantan. 1.4.3 Senyawa asam 2-(3-(klorometil)benzoiloksi)benzoat memiliki nilai LD50 lebih kecil dari 2000 mg/kgBB. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini diharapkan dapat melengkapi data terkait dengan senyawa asam 2-(3-(klorometil)benzoiloksi)benzoat yang telah disintesis oleh peneliti sebelumnya sehingga hasil penelitian diharapkan dapat mengacu pada pengembangan senyawa analgesik baru yang efektif dan aman. 5