BAB I - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Optimisme
1. Definisi Optimisme
Sikap optimis disebut dengan optimisme. Optimisme adalah kepercayaan
bahwa kejadian di masa depan akan memiliki hasil yang positif (Scheier dkk.,
2000).
Terdapat dua pandangan utama mengenai optimisme, “the explanatory
style”dan “the dispositional optimism view,” yang juga disebut sebagai “the
direct belief view” (Caver, 2002):
1. Explanatory Style
Explanatory Style merupakan pandangan yang melihat bahwa dalam
menentukan kepercayaan seseorang, ditentukan berdasarkan pengalaman masa
lampau. Pandangan ini didasarkan pada person's attributional style (Scheier,
Carver, & Bridges, 2000).
Attributional style dibentuk oleh cara kita
mempersepsikan, menjelaskan pengalaman masa lampau. Jika persepsi atau
penjelasan yang dipegang adalah negatif maka kita akan mengharapkan hasil
yang negatif pada masa depan. Perasaan learned helplessness berlebihan dan
kita percaya bahwa kita tidak dapat merubah pandangan kita terhadap dunia.
Attributional style secara khusus diukur dengan dengan menggunakan
Attributional Style Questionnaire (ASQ). Dengan ASQ, individu merespon
terhadap apa penyebab yang mereka yakini munculnya kejadian yang berbeda.
Universitas Sumatera Utara
Respon mereka dirating berdasarkan persepsi mereka terhadap penyebab
(internal vs external, stable vs unstable, global vs specific) (Seligman, 1988).
Masalah dengan menggunakan attributional theory dalam memahami
optimisme adalah bahwa hal tersebut dapat menjadi sangat kompleks dan
bersifat subjektif didasarkan pada self report pengalaman masa lampau
(Scheier et al., 2000).
Berdasarkan explanatory style, individu yang percaya pengalaman
masa lampaunya positif dan ingatan-ingatan negatif adalah di luar kontrol
mereka (faktor eksternal) dikatakan bahwa mereka mereka memiliki positive
explanatory style atau orang yang optimistic. Sedangkan orang yang
menyalahkan diri sendiri terhadap kemalangan (faktor internal) dan percaya
bahwa mereka tidak akan pernah mendapat sesuatu dikatakan memiliki
negative explanatory style atau orang yang pessimistic.
2. Dispositional Optimism or Direct Belief Model
Konstruk ini berusaha untuk mempelajari optimisme melalui
kepercayaan langsung individu mengenai kejadian masa depan. Pendekatan ini
lebih fokus pada kepercayaan optimistik mengenai masa depan, dibanding
dengan attributional theory yang berusaha memahami mengapa individu
optimis atau pesimis dan bagaimana mereka bisa menjadi seperti itu
Scheier & Carver (2002) menyatakan bahwa optimisme adalah
kecenderungan disposisional individu untuk memiliki ekspektasi positif secara
menyeluruh meskipun individu menghadapi kemalangan atau kesulitan dalam
kehidupan.
Universitas Sumatera Utara
Optimisme merupakan sikap selalu memiliki harapan baik dalam
segala
hal
serta
kecenderungan
untuk
mengharapkan
hasil
yang
menyenangkan. Dengan kata lain optimisme adalah cara berpikir atau
paradigma berpikir positif (Carver & Scheier 1993). Orang yang optimis adalah
orang yang memiliki ekspektasi yang baik pada masa depan dalam
kehidupannya. Masa depan mencakup tujuan dan harapan-harapan yang baik
dan positif mencakup seluruh aspek kehidupannya (Scheier & Carver, dalam
Snyder, 2002)
Konsep optimisme dan pesimisme fokus kepada ekspektasi individu
terhadap masa depan. Konsep ini memiliki ikatan dengan teori psikologi
mengenai motivasi, yang disebut dengan expectancy-value theories. Beberapa
teori juga menyatakan optimisme dan pesimisme mempengaruhi perilaku dan
emosi seseorang.
Expectancy-value theories, yaitu teori yang dimulai dengan ide bahwa
perilaku ditujukan untuk pencapaian tujuan (goal) yang dinginkan (Carver &
Scheier, 1998). Goal adalah tindakan, state akhir, atau nilai yang individu
lihat sebagai sesuatu yang diinginkan atau tidak diinginkan. Individu akan
akan mencoba mencocokkan
perilaku, mencocokkan dengan diri mereka
sendiri terhadap apa yang mereka lihat yang mereka inginkan, dan mereka
akan mencoba untuk menghindari yang tidak mereka inginkan. Konsep utama
lainnya adalah expectancies: perasaan percaya diri atau ragu-ragu mengenai
kemampuan meraih
tujuan (goal). Hanya dengan kepercayaan diri yang
cukup yang individu berusaha mencapai tujuan. Optimisme akan mengarahkan
Universitas Sumatera Utara
individu untuk selalu memiliki hasil yang baik dan menyenangkan akan masa
depannya.
Dari prinsip ini, muncul beberapa prediksi mengenai orang yang
optimis dan orang yang pesimis. Ketika berhadapan dengan sebuah tantangan,
orang yang optimis lebih percaya diri dan persisten, meskipun progresnya sulit
dan lambat. Orang yang pesimis lebih ragu-ragu dan tidak percaya diri.
Perbedaan juga jelas terlihat dalam menghadapi kesengsaraan. Orang yang
optimis percaya bahwa kesengsaraan dapat ditangani dengan berhasil. Orang
yang pesimis menganggap sebagai bencana. Hal ini dapat mengarahkan pada
perbedaan tingkah laku yang berhubungan dengan resiko kesehatan,
mengambil pencegahan pada lingkungan yang beresiko, kegigihan dalam
mencoba mengatasi ancaman kesehatan. Hal ini juga dapat mengarahkan pada
perbedaan respon coping apa yang individu lakukan ketika berhadapan dengan
ancaman seperti diagnosa kanker (Carver et al., 1993; Stanton & Snider, 1993)
Selain respon perilaku, individu juga mengalami pengalaman emosi
pada kejadian dalam kehidupan. Kesulitan-kesulitan merangsang beberapa
perasaan, perasaan yang
merefleksikan baik distres dan tantangan.
Keseimbangan antara perasaan-perasaan tersebut berbeda antara orang yang
optimis dan pesimis. Karena orang yang optimis mengharapkan good
outcome, mereka cenderung mengalami perpaduan emosi yang lebih positif.
Karena orang yang pesimis mengharapkan bad outcome, mereka mengalami
perasaan-perasaan yang lebih negatif –kecemasan, kesedihan, keputusasaan
(Scheier, 2001)
Universitas Sumatera Utara
Penelitian juga menunjukkan, optimisme memiliki efek moderasi
terhadap bagaimana individu menghadapi situasi baru atau sulit. Ketika
berhadapan dengan situasi sulit, orang yang optimis akan lebih memiliki
reaksi emosi dan harapan yang positif, mereka berharap akan memperoleh
hasil yang positif meskipun hal tersebut sulit, mereka cenderung menunjukkan
sikap percaya diri dan persisten. Orang yang optimis juga cenderung untuk
menganggap kesulitan dapat ditangani dengan berhasil dengan suatu cara atau
cara lain dan mereka lebih melakukan active dan problem-focused coping
strategy dari pada menghindar atau menarik diri (Carver & Scheier, 1985;
Chemers, Hu, & Garcia, 2001; Scheier et al., 1986).
Optimisme
hampir
mirip
dengan
beberapa
konstruk,
tetapi
sesungguhnya berbeda. Dua konstruk yang memiliki hubungan dekat adalah
sense of control (Thompson, 2002) dan sense of personal efficacy (Bandura,
1997).
Konsep-konsep
ini
memiliki
nada
yang
sama
kuat
dalam
mengharapkan hasil yang diinginkan, seperti optimisme. Tetapi perbedaannya
terletak pada asumsi yang dibuat (atau tidak dibuat) mengenai bagaimana hasil
yang diinginkan tersebut diekspektasikan terjadi. Self efficacy adalah konsep
dimana self sebagai agen penyebab adalah yang terpenting. Jika individu
memiliki high self-efficacy expectancies, mereka kiranya percaya usaha
personal mereka (atau personal skill) adalah yang menentukan hasil.
Contohnya, seandainya kamu percaya kamu memiliki ketabahan personal
untuk mengatasi efek samping chemotherapy, kamu akan lebih berjuang keras
untuk mengatasinya. Sama halnya dengan konsep control. Ketika individu
Universitas Sumatera Utara
melihat diri mereka sendiri terkontrol, mereka percaya bahwa hasil yang baik
akan terjadi lewat usaha personal mereka.
Sebaliknya, optimisme mengambil pandangan yang lebih luas atas
penyebab potensial yang menjadi kekuatan. Individu dapat menjadi optimistis
karena mereka berbakat sekali, karena mereka pekerja keras, karena mereka
diberkahi, karena mereka beruntung, karena mereka memiliki teman yang
tepat, atau kombinasi yang lain atau faktor lain yang menghasilkan hasil yang
baik (Murphy et al., 2000). Contohnya, seseorang dapat menjadi optimistis,
dapat mengatasi efek samping chemotherapy salah satu karena ketabahannya
personalnya atau karena tim medisnya memiliki trik yang berguna mengatasi
efek samping. Yang terakhir dapat menjadi optimistis, tetapi bukan karena
peran self sebagai agen hasil.
Konstruk yang lain yang mirip dengan optimism adalah hope (Snyder,
1994, 2002). Hope dikatakan memiliki dua bagian. Bagian pertama adalah
persepsi individu pada kehadiran pathways yang dibutuhkan individu untuk
mencapai tujuannya. Kedua adalah tingkat percaya diri individu dalam
kemampuannya menggunakan pathways untuk mencapai tujuan. Jadi, hope
memiliki karakterikstik keduanya yaitu will (confidence) dan the ways
(pathways). Dimensi percaya diri (confidence) sama dengan yang di
optimisme, dengan lebih dulu menekankan pada agen personal. Komponen
pathway adalah sebuah kualitas dimana konsep optimisme tidak beralamat.
Dapat dilihat terlebih dahulu, bahwa seseorang yang melihat beberapa jalan
Universitas Sumatera Utara
untuk hasil spesifik yang diharapkan akan terus mencoba cara yang tersisa jika
salah satu cara tidak bisa.
Dicatat juga bahwa pesimisme juga mirip dengan konstruk neurotism
(Smith, Pope, Rhodewalt, & Poulton, 1989). Neorotism (emotional instability)
didefinisikan sebagai kecenderungan untuk cemas, mengalami emosi yang
tidak menyenangkan, dan pesimistik.
Dari penjelasan dua konsep mengenai optimisme tersebut, dalam
penelitian ini, konsep optimisme yang digunakan adalah optimisme disposissional
yaitu kecenderungan disposisional individu untuk memiliki ekspektasi positif
secara menyeluruh meskipun individu menghadapi kemalangan atau kesulitan
dalam kehidupan. Rasa optimis yang muncul dari dalam diri seseorang
ditunjukkan dengan adanya sikap selalu memiliki harapan baik dalam segala hal
serta kecenderungan untuk mengharapkan hasil yang menyenangkan. Dengan kata
lain optimisme adalah cara berpikir atau paradigma berpikir positif (Carver &
Scheier 1993). Orang yang optimis adalah orang yang memiliki ekspektasi yang
baik pada masa depan dalam kehidupannya. Masa depan mencakup tujuan dan
harapan-harapan yang baik dan positif mencakup seluruh aspek kehidupannya
(Scheier & Carver, dalam Snyder, 2002). Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian
untuk melihat optimisme individu terhadap masa depannya daripada menjelaskan
penyebab individu menjadi optimis.
Universitas Sumatera Utara
2 Ciri-ciri Optimisme
Menurut Ginnis (dalam Shofia F., 2009) orang optimis mempunyai ciriciri khas, yaitu :
a. Jarang terkejut oleh kesulitan. Hal ini dikarenakan orang yang optimis
berani menerima kenyataan dan mempunyai penghargaan yang besar pada
hari esok.
b. Mencari pemecahan sebagian permasalahan. Orang optimis berpandangan
bahwa tugas apa saja, tidak peduli sebesar apapun masalahnya bisa
ditangani kalau kita memecahkan bagian-bagian dari yang cukup kecil.
Mereka membagi pekerjaan menjadi kepingan-kepingan yang bisa
ditangani.
c. Merasa yakin bahwa mampu mengendalikan atas masa depan mereka.
Individu merasa yakin bahwa dirinya mempunyai kekuasaan yang besar
sekali terhadap keadaan yang mengelilinginya. Keyakinan bahwa individu
menguasai keadaan ini membantu mereka bertahan lebih lama setelah lainlainnya menyerah.
d. Memungkinkan terjadinya pembaharuan secara teratur. Orang yang
menjaga optimisnya dan merawat antusiasmenya dalam waktu bertahuntahun adalah individu yang mengambil tindakan secara sadar dan tidak
sadar untuk melawan entropy (dorongan atau keinginan) pribadi, untuk
memastikan bahwa sistem tidak meninggalkan mereka.
e. Menghentikan pemikiran yang negatif. Optimis bukan hanya menyela arus
pemikirannya yang negatif dan menggantikannya dengan pemikiran yang
Universitas Sumatera Utara
lebih logis, mereka juga berusaha melihat banyak hal sedapat mungkin
dari segi pandangan yang menguntungkan.
f. Meningkatkan kekuatan apresiasi. Yang kita ketahui bahwa dunia ini,
dengan semua kesalahannya adalah dunia besar yang penuh dengan hal-hal
baik untuk dirasakan dan dinikmati.
g. Menggunakan imajinasi untuk melatih sukses. Optimis akan mengubah
pandangannya hanya dengan mengubah penggunaan imajinasinya. Mereka
belajar mengubah kekhawatiran menjadi bayangan yang positif.
h. Selalu gembira bahkan ketika tidak bisa merasa bahagia. Optimis
berpandangan bahwa dengan perilaku ceria akan lebih merasa optimis.
i.
Merasa yakin bahwa memiliki kemampuan yang hampir tidak terbatas
untuk diukur. Optimis tidak peduli berapapun umurnya, individu
mempunyai keyakinan yang sangat kokoh karena apa yang terbaik dari
dirinya belum tercapai.
j.
Suka bertukar berita baik. Optimis berpandangan, apa yang kita bicarakan
dengan orang lain mempunyai pengaruh yang penting terhadap suasana
hati kita.
k. Membina cinta dalam kehidupan. Optimis saling mencintai sesama
mereka. Individu mempunyai hubungan yang sangat erat. Individu
memperhatikan orang-orang yang sedang berada dalam kesulitan, dan
menyentuh banyak arti kemampuan. Kemampuan untuk mengagumi dan
menikmati banyak hal pada diri orang lain merupakan daya yang sangat
kuat yang membantu mereka memperoleh optimisme.
Universitas Sumatera Utara
l.
Menerima apa yang tidak bisa diubah. Optimis berpandangan orang yang
paling bahagia dan paling sukses adalah yang ringan kaki, yang berhasrat
mempelajari cara baru, yang menyesuaikan diri dengan sistem baru setelah
sistem lama tidak berjalan. Ketika orang lain membuat frustrasi dan
mereka melihat orang-orang ini tidak akan berubah, mereka menerima
orang-orang itu apa adanya dan bersikap santai. Mereka berprinsip
“Ubahlah apa yang bisa anda ubah dan terimalah apa yang tidak bisa anda
ubah”.
Menurut Murdoko (dalam Shofia F., 2009)) bahwa ciri-ciri orang optimis
ada 6 (enam), yaitu :
1. Memiliki visi pribadi
Visi pribadi seseorang akan memiliki cita-cita ideal. Pasalnya, dengan
mempunyai visi pribadi seseorang akan memiliki semangat untuk menjalani
kehidupan tanpa harus banyak mengeluh ataupun merenungi apa yang telah
terjadi dan apa yang akan terjadi nanti. Dengan visi pribadi, individu akan
mempunyai tenaga penggerak yang akan membuat kehidupan dinamis dan
berusaha untuk mewujudkan keinginan-keinginan. Artinya, akan muncul
harapan bahwa apa yang akan dilakukan itu membuahkan hasil. Dan yang
lebih penting dengan visi pribadi, individu berpikir jauh ke depan (terutama
mengenai tujuan hidup).
2. Bertindak konkret
Orang yang optimis tidak akan pernah merasa puas jika yang diinginkan
cuma sebatas kata-kata. Artinya, betul-betul mempunyai keinginan untuk
Universitas Sumatera Utara
melakukan suatu tindakan konkret. Sehingga secara riil menghadapi
tantangan yang mungkin timbul.
3. Berpikir realistis
Seorang optimis akan selalu menggunakan pemikiran yang realistis dan
rasional dalam menghadapi persoalan. Jika individu ingin menanamkan
optimisme, maka harus membuang jauh-jauh perasaan dan emosi (feeling)
yang tidak ada dasarnya. Dengan demikian, segala tindakan apapun perilaku
didasarkan pada kemampuan untuk menggunakan akal sehat secara rasional.
Sehingga apapun yang akan terjadi betul-betul sudah diperhitungkan
sebelumnya. Individu
yang optimis tingkah lakunya selalu dapat
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, berpikir realistis merupakan sarana
untuk tidak mudah diombangambingkan oleh perasaan, karena dengan
menggunakan
perasaan,
maka
objektivitas
akan
berubah
menjadi
informantivitas.
4. Menjalin hubungan sosial
Kehidupan sosial pada dasarnya dapat dijadikan sebagai salah satu cara
mengukur ataupun menilai sejauhmana seseorang mampu menjadikan orang
disekitarnya sebagai partner di dalam menjalani hidup. Orang yang optimis
tidak akan merasa terancam oleh kehadiran orang-orang di sekitar. Seorang
yang optimis akan menilai bahwa menjalin hubungan sosial akan membuat
seseorang merasa dikuatkan, karena merasa punya banyak teman dan
sahabat yang akan membantu.
5. Berpikir proaktif
Universitas Sumatera Utara
Artinya seseorang harus berani melakukan antisipasi sebelum suatu
persoalan muncul, sehingga dituntut memiliki analisa yang tinggi. Karena
tanpa adanya analisa mengenai kemungkinan terjadinya sesuatu, maka yang
muncul adalah perilaku menunggu, pasif dan baru bertindak saat itu terjadi.
6. Berani melakukan trial and error
Dengan optimisme, kegagalan yang terjadi akan dipahami sebagai hal yang
wajar, bahkan tertantang dan menganggap kegagalan sebagai pemicu untuk
kembali bangkit. Artinya memiliki kemampuan untuk mencoba dan
mencoba lagi tanpa rasa bosan sampai mampu mencapai keberhasilan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri-ciri orang
optimis
adalah
jarang
merasa
terkejut,
mencari
pemecahan
sebagian
permasalahan, merasa yakin mempunyai pengendalian atas masa depan mereka,
memungkinkan terjadinya pembaharuan secara teratur, menghentikan arus
pemikiran negatif, meningkatkan kekuatan apresiasi, menggunakan imajinasi
untuk meraih sukses, selalu gembira bahkan ketika kita tidak bisa merasa bahagia,
berkeyakinan memiliki kemampuan yang hampir tidak terbatas untuk diukur, suka
bertukar sesuatu yang menyenangkan, membina bentuk cinta dalam kehidupan
dan mampu menerima kenyataan hidup. Selain itu orang yang optimis juga
memiliki visi pribadi, menjamin hubungan sosial, berpikir proaktif dan berani
melakukan trial and error. Orang yang mempunyai rasa optimis yang besar akan
lebih siap dalam menghadapi masa depannya karena merasa lebih mampu dalam
memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi dengan ketekunan dan
kemampuan berpikir dan sikap tidak mudah menyerah maupun putus asa.
Universitas Sumatera Utara
Sehingga hal tersebut akan mempengaruhi pola pikirnya dan sangat berpengaruh
sebagai faktor penunjang kesuksesannya.
3. Manfaat Optimisme
Whelen dkk (1997) melaporkan bahwa optimisme memberikan pengaruh
positif terhadap kesehatan, penyesuaian diri setelah operasi kanker, operasi
jantung koroner, penyesuaian di sekolah dan dapat menurunkan depresi serta
ketergantungan alkohol. Optimisme dalam jangka panjang juga bermanfaat bagi
kesejahteraan dan kesehatan fisik dan mental, karena membuat individu lebih
dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan sosial, pekerjaan, perkawinan,
mengurangi depresi dan lebih dapat menikmati kepuasan hidup serta merasa
bahagia (Weinstein, 1980 ; Marshall dan Lang, 1990 ; Scheier dkk, 1994).
Sementara itu Mc Clelland (1961) menunjukkan bukti bahwa optimisme akan
lebih memberikan banyak keuntungan dari pada pesimisme. Keuntungan tersebut
antara lain hidup lebih bertahan lama, kesehatan lebih baik, menggunakan waktu
lebih bersemangat dan berenergi, berusaha keras mencapai tujuan, lebih
berprestasi dalam potensinya, mengerjakan sesuatu menjadi lebih baik seperti
dalam hubungan sosial, pendidikan, pekerjaan dan olah raga. Berdasarkan
beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh ahli-ahli tersebut di atas dapat
dikatakan bahwa optimisme sangat diperlukan oleh individu dalam berbagai
bidang kehidupan.
Dalam bidang kesehatan optimisme mampu meningkatkan kesehatan
tubuh, sistem kekebalan, kebiasaan hidup sehat, membuat hidup lebih lama, serta
Universitas Sumatera Utara
dapat mengurangi depresi, infeksi dalam tubuh dan mempengaruhi terhadap
penyakit. Dalam bidang sosial, optimisme dapat meningkatkan kepercayaan diri,
harga diri,
mengurangi sikap pesimis,
membuat
individu
lebih dapat
menyesuaikan diri dalam kehidupan sosial serta dapat menikmati kepuasan hidup
dan merasa bahagia. Disamping itu dengan adanya optimisme akan membuat
orang lebih sukses di sekolah, pekerjaan, manggunakan waktu lebih bersemangat,
lebih berprestasi dalam potensinya.
4 Optimisme pada ODHA
Optimisme pada Orang Dengan HIV/AIDS artinya bagaimana mereka
dengan semua kondisi, ancaman, tantangan, kemalangan yang mereka hadapi,
tetap memiliki ekspektasi hasil yang baik untuk masa depannya.
Secara umum, dilihat bahwa orang dengan HIV/AIDS cenderung untuk
lebih pesimis dalam menjalani kehidupannya, terkhusus di awal saat didiagnosa
penderita HIV/AIDS. Tidak jarang orang dengan HIV/AIDS perilaku negatif yang
justru semakin memperburuk keadaanya. Hal ini terjadi ketika individu memiliki
sikap pesimis dimana coping yang biasa dilakukan adalah dengan denial dan
avoidance. Sedangkan ODHA yang optimis dalam health related behavior
melakukan hal yang lebih positif. Mereka memandang bahwa segala sesuatunya
belum berakhir, dan hasil akhirnya akan baik. Mereka cenderung melakukan
active dan adaptive method seperti mencari informasi dan social support. Mereka
lebih dapat menerima keadaannya dan juga mencari straregi terhadap setiap
masalah yang muncul sehingga penelitian memperlihatkan sikap optimisme
Universitas Sumatera Utara
tersebut memperlambat penurunan CD4 nya, dan tingkat kematian pun akan
berkurang (Bower, dkk., 1997, dalam Taylor, 2009).
B. Social Support
1. Pengertian Social Support
Social support merupakan salah satu istilah yang digunakan untuk
menerangkan bagaimana hubungan sosial menyumbang manfaat bagi kesehatan
mental atau kesehatan fisik individu. Rook (dalam Smet, 1994) berpendapat social
support sebagai satu diantara fungsi pertalian atau ikatan sosial. Ikatan-ikatan
sosial menggambarkan tingkat dan kualitas umum dari hubungan interpersonal.
Senada dengan hal tersebut, Taylor mendefinisikan social support sebagai
informasi dari orang lain bahwa ia dicintai dan diperhatikan, memiliki harga diri
dan bernilai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban
bersama. Social support adalah perasaan nyaman, diperhatikan, dihargai, atau
menerima pertolongan dari orang atau kelompok lain (Wills & Fegan, dkk., dalam
Sarafino, 2006).
Beberapa ahli juga memberikan definisi social support. Sarason, dkk.,
(dalam Namora, 2009) menyatakan social support adalah keberadaan, kesediaan,
kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan, menghargai, dan menyayangi
kita. Gottlieb (dalam Namora, 2009) menyatakan social support adalah informasi
verbal atau non verbal, saran, bantuan nyata, atau tingkah laku diberikan oleh
orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam lingkungan sosialnya atau yang
berupa kehadiran dalam hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional
Universitas Sumatera Utara
atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Sedangkan Thoits dan Peggy
(dalam namora, 2009) menyatakan social support merupakan fungsi dari berbagai
ungkapan perilaku supportif kepada seseorang individu yang diberikan oleh orang
yang dianggap bermakna bagi individu yang menerimanya (significant others).
Cohen dan Wills (dalam Bishop, 1994) mendefinisikan social support
sebagai pertolongan dan dukungan yang diperoleh seseorang dari interaksinya
dengan orang lain. Social support timbul oleh adanya persepsi bahwa terdapat
orang-orang yang akan membantu apabila terjadi suatu keadaan atau peristiwa
yang dipandang akan menimbulkan masalah dan bantuan tersebut dirasakan dapat
menaikkan perasaan positif serta mengangkat harga diri. Kondisi atau keadaan
psikologis ini dapat mempengaruhi respon-respon dan perilaku individu sehingga
berpengaruh terhadap kesejahteraan individu secara umum.
Beberapa pengertian tersebut menunjukkan bahwa segala sesuatu yang ada
di lingkungan dapat menjadi social support. Senada dengan pendapat tersebut,
Cobb (dalam Gottlieb 1983) menyatakan, setiap informasi apapun dari lingkungan
sosial yang menimbulkan persepsi individu bahwa individu menerima efek positif,
penegasan, atau bantuan menandakan suatu ungkapan dari adanya social support.
Adanya perasaan didukung oleh lingkungan membuat segala sesuatu menjadi
lebih mudah terutama pada waktu menghadapi peristiwa yang menekan. Cobb
menekankan orientasi subyektif yang memperlihatkan bahwa social support
terdiri atas informasi yang menuntun orang meyakini bahwa ia diurus dan
disayangi.
Universitas Sumatera Utara
Social support diasumsikan sebagai persepsi seseorang terhadap dukungan
yang berasal dari orang lain, seperti teman dan keluarga dan juga pandangan yang
kompleks secara alami mengenai sejarah dari hubungan individu yang memberi
dukungan dan konteks lingkungannya (Hobfoll, dalam Friedlander, 2007)
Dari pengertian-pengertian tersebut di atas social support dapat
disimpulkan sebagai kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang
diperoleh dan dirasakan
seseorang dari interaksinya dengan orang lain. Dan
berdasarkan defenisi tersebut dapat dilihat bahwa sumber social support berasal
dari orang lain yang berinteraksi dengan individu sehingga individu tersebut dapat
merasakan kenyamanan fisik dan psikologis. Orang lain yang dimaksud terdiri
dari pasangan hidup, orang tua, saudara anak, kerabat, teman, rekan kerja, pihak
medis dan anggota kelompok masyarakat.
2. Bentuk-Bentuk Social support
House (dalam Smet, 1994) membedakan social support ke dalam empat
bentuk, yaitu :
a. Dukungan emosional : mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian
terhadap orang yang bersangkutan
b. Dukungan penghargaan : terjadi melalui ungkapan penghargaan positif untuk
orang tersebut, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan
individu.
c. Dukungan instrumental : mencakup bantuan langsung, seperti memberikan
bantuan berupa uang, barang, dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
d. Dukungan informatif : mencakup pemberian nasehat, petunjuk-petunjuk, saran
ataupun umpan balik.
Wills & Fegan (dalam Sarafino, 2006) mengemukakan 4 bentuk-bentuk
social support, yaitu:
a. Emotional or esteem supporrt
Jenis dukungan ini melibatkan rasa empati, peduli terhadap sesorang sehingga
memberikan perasaan nyaman, perhatian, dan penerimaan secara positif, dan
memberikan semangat kepada orang yang dihadapi. Taylor (2009)
berpendapat dengan menyediakan kenyamanan dan menjamin dengan
mendalam perasaan dan sehingga sesorang yang menerima dukungan ini akan
merasa dicintai dan dihargai.
b. Tangible/ instrumental Support
Dukungan jenis ini meliputi bantuan yang diberikan secara langsung atau
nyata, sebagaimana orang yang memberikan atau meminjamkan uang atau
langsung menolong teman sekerjanya yang sedang mengalami stres. Menurut
Taylor (2009), Tangible support ini termasuk berupa dukungan material,
seperti pelayanan, bantuan finansial, atau benda-benda yang dibutuhkan.
Dimatteo (1991), menyatakan tangible support sebagai bentuk-bentuk yang
lebih nyata seperti meminjamkan uang, berbelanja, dan merawat anak.
c. Informational Support
Jenis dukungan ini adalah dengan memberikan nasehat, arahan, sugesti atau
feedback mengenai bagaimana orang melakukan sesuatu. Dukungan ini dapat
dilakukan dengan memberi informasi yang dibutuhkan oleh seseorang.
Universitas Sumatera Utara
Adanya informasi akan membantu individu memahami situasi yang stressful
lebih baik dan dapat menetapkan sumber dan strategi coping yang harus
dilakukan untuk mengatasinya.
d. Companionship Support
Dukungan jenis ini merupakan kesediaan untuk meluangkan waktu dengan
orang lain dengan memberikan perasaan keanggotaan dalam suatu kelompok
orang yang tertarik untuk saling berbagi dan kegiatan sosial. Hal ini dapat
mengurangi stres dengan terpenuhinya kebutuhan affiliation dan berhubungan
dengan orang lain, dengan menolong seseorang yang terganggu dari
kekhawatiran akan masalah yang ia miliki, atau memfasilitasi perasaan yang
positif (Cohen dan Wills dalam Orford, 1992)
Berdasarkan bentuk-bentuk social support yang telah disampaikan oleh
beberapa ahli di atas, maka yang akan digunakan adalah bentuk social support
menurut Sarafino (2006) yaitu, emotional or esteem support, tangible/
instrumental support, informational support dan companionship support.
3. Cara Pengukuran Social Support
Menurut Sarason, B.R, dkk, (1987), ada tiga bentuk pengukuran social
support, yaitu :
a. Social Embeddedness
Pada pengukuran dengan cara ini, social support yang diterima individu
diukur dari jumlah hubungan atau interaksi yang dijalin individu dengan
orang-orang disekitarnya. Individu yang memiliki hubungan yang lebih
Universitas Sumatera Utara
banyak dinilai memiliki social support yang besar. Dengan demikian, bentuk
pengukuran ini tidak memandang kualitas interaksi yang terjalin.
b. Enacted Social Support
Ciri khas dari bentuk pengukuran ini adalah bahwa social support yang
diterima seseorang didasarkan pada frekuensi tingkah laku dukungan yang
diterima individu. Jadi konkretnya, berapa jumlah orang yang mendukung,
berapa banyak dukungan tersebut diberikan, menjadi ukurannya. Seperti
halnya bentuk pengukuran yang pertama, bentuk pengukuran ini juga tidak
melihat social support dari sudut persepsi individu penerima dukungan.
c. Perceived Social Support
Procidano (dalam McCaskill, J.W.& Lakey, Brian, 1992) secara singkat
menyebutkan bahwa perceived support adalah evalusi subjektif dari kualitas
dukungan yang diterima atau didapatkan. Bentuk pengukuran ini didasarkan
pada kualitas social support yang diterima, sebagaimana yang dipersepsikan
individu penerima dukungan. Semakin kuat seseorang merasakan dukungan,
semakin kuat kualitas dukungan yang diterima. Sehingga, dapat terjadi
seseorang mempersepsikan social support yang diterimanya kurang, padahal
individu tersebut memiliki jaringan sosial yang banyak. Sebaliknya, individu
bisa mempersepsikan social support yang diterima lebih besar daripada yang
sebenarnya diberikan oleh sumbernya. Bentuk pengukuran dengan melihat
enacted social support dan embedded social support memiliki keterbatasan.
Individu yang dihadapkan pada kesulitan hidup yang lebih besar tentu akan
dilihat menerima social support yang lebih besar daripada individu dengan
Universitas Sumatera Utara
kesulitan yang relatif lebih kecil. Mereka yang mampu menghadapi situasi
yang sulit akan menjadi penerima social support yang lebih kecil. Hal tersebut
tidak dapat mencerminkan kecukupan kualitas dukungan yang diterima oleh
tiap individu.
Berbeda dengan kedua pengukuran tersebut, pengukuran dengan berdasarkan
pada perceived social support menganggap bahwa dukungan yang dirasakan
individu memang benar-benar ditemukan dalam diri mereka. Pengukuran
dengan cara ini lebih mampu mengindikasikan penyesuaian yang baik pada
diri individu (Sarason, B.R, dkk., 1987). Penelitian Sarason (1987)
menunjukkan bahwa perceived social support cenderung memiliki hubungan
yang lebih kuat dengan pengukuran perbedaan individu dalam kelekatan,
kecemasan sosial, social desirability, rasa malu, dan kesepian. penilaian
dukungan oleh individu penerima juga mempengaruhi. Sejalan dengan hal ini,
Sarafino (1997) mengemukakan bahwa efektivitas dukungan tergantung dari
penilaian individu. Dukungan akan menjadi efektif apabila dukungan tersebut
dinilai adekuat oleh individu penerima.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dalam penelitian ini digunakan bentuk
pengukuran social support dengan melihat penerimaan dari social support oleh
individu (perceived social support). Berdasarkan penjelasan di atas, dapat
disimpulkan social support sebagai evaluasi subjektif individu mengenai
kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diterima dari hasil
interaksinya dengan orang lain.
Universitas Sumatera Utara
4. Aspek-aspek Social Support
Sarason, dkk (1983) menyebutkan ada dua aspek yang terlibat dalam
pengukuran social support ini, yaitu:
1. Persepsi bahwa ada sejumlah orang yang cukup yang dapat diandalkan
individu saat membutuhkan. Aspek ini terkait dengan kuantitas social support
yang diterima individu.
2. Derajat kepuasan terhadap dukungan yang didapatkan. Derajat kepuasan
berhubungan dengan kualitas social support yang dirasakan oleh individu.
5. Dampak Social Support
Seperti yang dikemukakan diatas, social support dapat memberikan
kenyamanan fisik dan psikologis kepada individu. Hal ini dapat dilihat dari
bagaimana social support dapat mempengaruhi kesehatan individu, salah satunya
adalah kejadian dan efek dari stres. Lieberman (1992) mengemukakan bahwa
secara teori social support dapat menurunkan kecenderungan munculnya kejadian
yang dapat mengakibatkan stres.
Selain itu, adanya social support yang diterima oleh individu yang sedang
mengalami atau menghadapi stres maka hal ini akan dapat mempertahankan daya
tahan tubuh dan meningkatkan kesehatan individu (Baron & Byrne, 2000).
Kondisi ini dijelaskan oleh Sarafino (2006) bahwa berinteraksi dengan orang lain
dapat memodifikasi atau mengubah persepsi individu mengenai kejadian tersebut,
dan ini akan mengurangi potensi munculnya stres baru atau stres yang
berkepanjangan.
Universitas Sumatera Utara
Farah Nurbani (2009) dalam penelitiannya menemukan bagaimana
dampak social support terhadap psikologis dan kesehatan Orang dengan
HIV/AIDS. Dukungan sosial mempengaruhi psikologis individu, dimana individu
menjadi tetap percaya diri dalam berhubungan dengan orang lain, tidak merasa
rendah diri, tidak mudah putus asa, tidak minder, merasa dirinya berarti, tidak
merasa cemas, tetap bersemangat, merasa ikhlas dengan kondisi yang dialami dan
merasa lebih tenang dalam menghadapi sesuatu masalah. Dampak positif terhadap
psikologis ini jugalah yang mempengaruhi kesehatan individu menjadikannya
tidak stres dan mampu untuk melakukan perilaku sehat dan menjaga
kesehatannya.
Sarafino (2006) dan Taylor (2009) mengemukakan dua teori untuk
menjelaskan bagaimana social support mempengaruhi kesehatan, yaitu:
1. Buffering Hypotesis
Social support akan mempengaruhi kesehatan dengan berfungsi sebagai
pelindung dari stres. Social support melindungi seseorang untuk melawan
efek-efek negatif dari stres tinggi. Buffering effect bekerja dengan dua cara,
yaitu: pertama saat seseorang bertemu dengan stresor yang kuat, dan yang
kedua adalah social support dapat memodifikasi respon-respon seseorang
sesudah munculnya stresor
2. Direct effect hypotesis
Mempertahankan social support dapat memberikan keuntungan pada
kesehatan sesorang, baik ada atau tidak dalam stres. Tingginya social support
dapat mendorong seseorang untuk membangun gaya hidup sehat. Individu
Universitas Sumatera Utara
dengan adanya social support dapat merasakan, karena orang lain
memperhatikannya dan membutuhkannya, mereka akan rajin berolah raga,
makan teratur, dan tidak merokok atau meminum alkohol.
Teori ini sangat penting untuk dipahami oleh orang yang akan
memberikan social support, karena tidak selamanya social support dapat
memberikan keuntungan bagi kesehatan. Dalam Sarafino (2006) disebutkan
beberapa contoh efek negatif yang timbul dari social support, antara lain:
1. dukungan yang tersedia tidak dianggap sebagai sesuatu yang membantu. Hal
ini dapat terjadi karena dukungan yang diberikan tidak cukup, individu merasa
tidak perlu dibantu atau terlalu khawatir secara emosional sehingga tidak
meperhatikan dukungan yang diberikan
2. dukungan yang diberikan tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan individu
3. sumber dukungan memberikan contoh yang buruk pada individu seperti
melakukan atau menyarankan perilaku tidak sehat
4. terlalu menjaga atau tidak mendukung individu dalam melakukan sesuatu
yang diinginkannya.
Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa, hal ini terjadi karena satu
hal, meskipun social support tersedia untuk seseorang namun ia tidak merasa
bahwa itu adalah sebuah dukungan (Dunkle-Scheter, dkk, dalam Sarafino 2006).
Social support bukan sekedar tersedia bagi individu yang membutuhkan,
tetapi yang terpenting adalah persepsi akan keberadaan (avalibility) dan ketepatan
(adequency) dari dukungan (Cohen dan Wills, dalam Namora, 2009).
Universitas Sumatera Utara
6. Social Support pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)
Sama seperti penderita penyakit lain, ODHA juga membutuhkan social
support. ODHA membutuhkan dukungan, baik dukungan emosional, informasi,
instrumental dan juga pendampingan. Dukungan emosional bagi Orang Dengan
HIV/AIDS sangat diperlukan terkhusus ketika individu pertama kali mengetahui
dirinya terinfeksi HIV. Pandangan bahwa penyakit ini dapat mengakibatkan
kematian semakin mempengaruhi kesehatan individu. Respon yang biasa muncul
adalah ketakutan akan kematian, penolakan, marah, menutup diri (diam), dan
stres, (DiMatteo, 1991). Selain itu diliputi juga dengan perasaan tidak berharga,
cemas, depresi, rasa bersalah dan pemikiran atau perilaku bunuh diri. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa, dukungan emosional diterima oleh ODHA
dengan mendapatkan perhatian, semangat, atau bantuan emosional dari
lingkungan terdekat ODHA (Farah Nurbani, 2009)
Demikian halnya dengan dukungan informasi, ODHA membutuhkan
informasi untuk dapat memahami mengenai penyakit yang dideritanya, sehingga
dengan pemahaman tersebut, ODHA dapat mengetahui dan bertindak untuk
melawan penyakitnya. Informasi dapat berupa nasehat dan informasi terkait
dengan HIV/AIDS diperoleh dari orang-orang terdekat, dokter, dan juga dari
berbagai media termasuk internet (Taylor, 2009).
Dukungan instrumental berupa bantuan secara langsung dengan pemberian
dukungan finansial dan membantu pekerjaan sehari-hari biasanya diterima ODHA
dari keluarga ketika mereka jatuh sakit (Farah Nurbani, 2009)
Universitas Sumatera Utara
Companionship support dirasakan oleh ODHA dengan keterlibatannya
dalam suatu keanggotaan kelompok tertentu. Dimana dalam kelompok tersebut
individu bisa saling berbagai pengalaman, harapan dan saling menguatkan. Hal ini
dilihat dari keterlibatan ODHA dalam Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) (Farah
Nurbani, 2009)
C. Hubungan antara Social Support dengan Optimisme Pada Orang Dengan
HIV/AIDS
Penelitian
memperlihatkan
bukti
yang
kuat
bahwa
optimisme
meningkatkan baik kesehatan mental dan kesehatan fisik khususnya dalam
menghadapi situasi yang stresful (Scheier, Carver, & Bridges, 2001). Dua cara
utama dari optimisme terhadap kesehatan dinamakan adaptive coping dan social
support (Peterson & Bossio, 2001; Scheier & Carver, 1987). Orang yang optimis
lebih menggunakan active ways of coping, seperti problem-focused coping dan
information-seeking, terutama pada situasi yang dapat dikontrol. Dalam situasi
yang tidak terkontrol orang yang optimis lebih menerima situasi tersebut dan
melepaskan diri dari tugas yang tidak terselesaikan. Kemudian orang yang optimis
terlihat mencocokkan strategi mereka dengan situasi yang menekan, yang
esensialnya mengacu pada adaptive coping (Scheier, Weintraub, & Carver,1986;
Solberg Nes & Segerstrom, 2006)
Social support sebagai mekanisme kedua yang memediasi hubungan
antara optimisme dan kesehatan. Hal tersebut secara teoritis dikatakan bahwa
orang yang optimis lebih attractive secara social, dan konsekuensinya mereka
Universitas Sumatera Utara
lebih terintegrasi dengan jaringan social yang dapat mendukung, dan menerima
respon yang baik dan menyenangkan dari lingkungan social mereka (Scheier &
Carver, 1987). Studi menunjukkan hubungan yang positif pada social support
yang dirasakan, seperti tersedianya orang-orang yang membantu (Brissette,
Scheier, & Carver, 2002; Fontaine & Seal, 1997; Trunzo & Pinto, 2003), juga
menerima dukungan social seperti sejumlah interaksi yang membantu (Aspinwall
& Taylor, 1992).
Penelitian mengenai dukungan yang dirasakan menyatakan bahwa
perceive support dipengaruhi oleh variabel kepribadian dan salah satunya adalah
optimisme. Mekanisme social support yang dirasakan berhubungan dengan
positive affect, coping self-efficacy, and adaptive coping yang diassosiasikan
dengan disposisi optimisme (Chang, 2001; Cozarelli, 1993; Scheier et al., 2001).
Beberapa penelitian yang menunjukkan adanya hubungan ini adalah seperti
penelitian pada air crash rescue workers (Dougall, Hyman, Hayward, McFeeley,
& Baum, 2001), Laki-laki yang kehilangan (Park & Folkman, 1997), and dan
mahasiswa baru yang memiliki dan merasakan social support akan memediasi
optimisme mereka terhadap depresi (Sarason, Levine, Basham, & Sarason, 1983)
Studi dari Abend dan Williamson (2002) menguji pasien kanker payudara
merasa menarik secara fisik sebagai fungsi dari tingkat optimisme mereka dan
hubungan interpersonalnya. Wanita yang optimis merasa lebih menarik secara
fisik dan hal ini dimediasi oleh persetujuandari pasangan mereka dan persepsinya
terhadap social support.
Universitas Sumatera Utara
Bukti tersebut mengindikasikan bahwa social support menjadi mediator
terhadap optimisme dan penyesuaian hubungan (Boland and Cappeliez, dkk.,
1997, dalam Optimism, social support, and adjustment in African American
women with breast cancer), sebagaimana juga optimisme disposisional dapat
menarik perhatian orang dan membuat individu membangun lebih banyak relasi
dan meningkatkan social support pada kondisi yang stres (Brissette et al. 2002;
Dougall et al. 2001 dalam Optimism, social support, and adjustment in African
American women with breast cancer). Oleh karena itulah peneliti hendak menguji
hubungan antara social support dengan optimisme pada orang dengan HIV/AIDS
dan secara khusus hendak menguji hubungan antara bentuk-bentuk social support
dengan tingkat optimisme pada ODHA.
D. Hipotesis Penelitian
Ada hubungan positif antara social support dengan optimisme pada orang
dengan HIV/AIDS (ODHA). Dan ada hubungan positif antara bentuk-bentuk
social support dengan optimisme pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Universitas Sumatera Utara
E. PARADIGMA BERPIKIR
HIV/AIDS
Fisik
Psikologis
Stigma
ODHA
Kehidupan tertekan
Social support
Optimisme
Bentuk-bentuk Social support:
1. Emotional or esteem support
2. Tangible/instrumental Support
3. Informational Support
4. Companionship Support
Apakah ada hubungan antara social support
dengan optimisme pada ODHA?
Universitas Sumatera Utara
Download