Jakarta, 18 Mei 2015 Diskusi Dengan ECB Memanfaatkan libur ‘terjepit’ panjang pekan lalu, kami melakukan lawatan ke Eropa termasuk untuk berdiskusi dengan sejumlah petinggi ECB di Frankfurt. Kami diterima oleh Massimo Rostagno, direktur perencanaan kebijakan moneter ECB, dan Roberto Motto yang bertugas dalam pelaksanaan operasi moneter ECB. Mereka mengapresiasi kedatangan delegasi Indonesia sebab menganggap Indonesia khususnya dan Asia secara umum memiliki kedudukan yang semakin penting dalam pemulihan ekonomi global. Memasuki sesi diskusi, kami menanyakan rasionalitas, mekanisme, time frame, indikasi keberhasilan dan batasan operasi quantative easing yang tengah dilakukan oleh ECB termasuk persiapan mitigasi sekira ada member (terus terang yang dimaksud adalah Yunani) yang berisiko keluar dari European Union. Menurut Rostagno, kebijakan moneter non-konvensional quantitative easing dilakukan untuk mengatasi berbagai kerusakan (impairments) sistem moneter dan perekonomian paska krisis keuangan global 2008. Sejak bulan Maret 2015, ECB melakukan pembelian asset sovereign, natioan agency, super national, corporate bond EU asser-back securities senilai 60 milyar euro sebulan hingga September 2016. Tujuan utama berbagai langkah kebijakan moneter adalah price stability dimana tingkat inflasi dijaga hingga dibawah dua persen. Mencermati inflasi yang terus melambat, dapat dipastikan langkah ECB sebetulnya upaya stimulus untuk mencegah deflasi seperti yang dilakukan oleh Jepang. Ketika kami menanyakan bagaimana upaya untuk mencegah fenomena “too much liquidity but too little credit” seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan Jepang, Rostagno menilai langkah ECB membuahkan hasil yang lebih cepat dari yang semula diduga. Konsensus Bloomberg memproyeksikan pertumbuhan kawasan Uni Eropa sebesar 1,4% tahun ini dan 1,7% tahun 2016. Selain melakukan asset purchases dan memberikan re-financing dalam jangka panjang bagi sistem perbankan (LTRO), ECB menetapkan suku bunga discount windows yang negatif. Maksudnya bank harus membayar dana yang ditempatkan kepada ECB. Rostagno menyarankan kami untuk mencermati pertumbuhan statistik agregate moneter M3. Statistik ini lebih luas ketimbang M2 (M1 plus deposit yang secara tidak langsung menunjukkan aktivitas kredit) dengan menambahkan pasar uang, repo dan obligasi jangka pendek dibawah 2 tahun. Untuk verifikasi atas pernyataaan Rostagno, melalui peraga berikut ditampilkan pertumbuhan M2 dan perubahan consumer confidence untuk mencermati dampak terhadap sektor riil. Terlihat pertumbuhan tahunan M3 hingga Maret 2014 yang berkisar 4,6%. Sementara itu indeks keyakinan konsumen kembali terangkat selama setahun terakhir setelah sempat kembali menurun dibanding periode 2013. Sangat bisa jadi perkembangan positif ini melandasi equity rally di Eropa, khususnya Jerman, sepanjang tahun berjalan. Kami juga menanyakan apakah pelemahan drastis euro selama setahun terakhir merupakan ‘desirable impact’ yang ECB rancang. Rostagno berkilah bahwa walaupun menganggap posisi euro penting, namun tujuan kebijakan moneter tetap berpusat pada price stability. Kami menilai pelemahan rupiah merupakan konsensensi langsung dari penciptaan likuiditas melalui QE yang bersesuaian dengan kesenjangan growth potential antara Amerika Serikat dan Uni Eropa. Namun, seperti terlihat pada update Bloomberg Surpise Index untuk AS, pelemahan euro (dengan kata lain penguatan dollar) yang terlalu kuat dan cepat, malah merugikan ekonomi Amerika Serikat. Terlihat data terakhir pekan lalu kembali mengindikasikan realisasi yang lebih rendah dibanding harapan. Sebagai akibatnya semua kelompok indikator berwarna merah atau lebih rendah dari harapan. Sementara dalam diskusi dengan Roberto Motto, sebagai anggota pelaksaan operasi moneter ECB, kami menyoroti bond yield Jerman yang pernah menyentuh teritori negatif namun spread yield yang sangat lebar antara Yunani dan Jerman. Kami menanyakan apakah ECB tidak membeli obligasi Yunani. Roberto mengatakan bahwan ECB terbuka melakukan pembelian semua obligasi pemerintah dan korporasi berdenominasi euro untuk tenor 2 hingga 30 tahun yang memilki kolateral tertentu. Dengan yield yang negatif alias harganya mahal, menurut Motto, ECB dapat terus membeli obligasi Jerman selama tidak melebihi -0,2% yang menjadi acuan discount windows ECB kepada perbankan. Baik Massimo Rostagno dan Roberto Motto mengungkap bahwa langkah ECB terbatas kepada operasi moneter. Persoalan perbedaan yield antara negara lebih terkait otoritas fiskal masing-masing negara yang harus berani melakukan reformasi. Dalam kunjungan menuju sejumlah tempat wisata utama di Eropa, seperti Heidelberg Jerman, Vienna Austria dan Interlaken Swiss, terlihat jelas dominasi turis Asia asal China dan India (Chindia) yang agresif berbelanja. Tidak heran bila di Jungfraujoch – top of Euro – dijumpai makanan India dan marketing officer yang fasih berbahasa Mandarin. IHSG Terus Alami Technical Rebound Kembali ke tanah air, kami cermati IHSG dan indeks SUN terus mengalami technical rebound setelah kejatuhan yang dalam dua pekan terakhir. IHSG kini berada pada posisi 5227 sama seperti pada awal tahun. Kurva yield SUN mengalami pergeseran mingguan kebawah. Sangat bisa jadi investor menduga Bank Indonesia akan menurunkan suku bunga menyusul update data perdagangan internasional yang mengindikasikan pelemahan ekonomi akan terus berlangsung pada triwulan kedua. Hal ini dapat dicermati dari penurunan tajam impor yang melandasi surplus neraca perdagangan. Kami cermati pelemahan rupiah kurang sejalan dengan pelemahan dollar selama lebih dari sebulan terakhir. Pelemahan ini berisiko terus memperlambat ekonomi. Kami harap Bank Indonesia bereaksi dengan menurunkan suku bunga untuk kembali menggerakkan ekonomi. Sebab walau suatu saat the Fed menormalisasi suku bunga, investor asing akan lebih memilih perekonomian yang bertumbuh. Salam Budi Hikmat Chief Economist and Director for Investor Relation