Document

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Melitus
2.1.1 Definisi
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
yang ditandai dengan hiperglikemia kronik dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein, yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, disfungsi insulin atau keduanya. Hiperglikemia kronik pada DM
berhubungan
dengan
kerusakan
jangka
panjang,
disfungsi
atau
kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung,
dan pembuluh darah (WHO, 1999; Purnamasari, 2009; Amod et al., 2012;
ADA, 2014).
2.1.2 Klasifikasi
DM dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori klinis, yaitu
(PERKENI, 2011; ADA, 2014);
1. Diabetes melitus tipe 1, ditandai dengan adanya defisiensi insulin
absolut akibat destruksi sel β pankreas yang dapat disebabkan oleh
autoimun maupun idiopatik.
2. Diabetes melitus tipe 2, ditandai dengan adanya defisiensi insulin
relatif atau resistensi insulin.
3. Diabetes melitus tipe lain.
4. Diabetes melitus pada kehamilan (gestasional).
2.1.3 Gejala klinis dan diagnosis DM
PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar
(Tabel 2.1) berdasarkan ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM
terdiri dari poliuri, polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan tanpa
sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya lemas,
kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi
dan pruritus vulva. Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan
glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan
1
Universitas Sumatera Utara
2
diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka
diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal.
Tabel 2.1 Kriteria diagnosis Diabetes Melitus
No
Kriteria Diagnosis
1
Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1
mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat
pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.
Atau, Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7,0
mmol/L)
Puasa diartikan pasien tidak mendapatkan kalori tambahan
sedikitnya 8 jam.
Glukosa plasma 2 jam pada TIGO (Test Toleransi Glukosa Oral)
≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban
glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang
dilarutkan ke dalam air
2
3
Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam setelah pembebanan dibagi
menjadi 3 yaitu (Purnamasari, 2009) :
1. < 140 mg/dl  Normal
2. 140 - <200 mg/dl Toleransi Glukosa Terganggu
3. ≥ 200 mg/dl  DM
2.2 Anatomi dan Histologi Koklea
Koklea merupakan saluran tulang yang menyerupai cangkang siput
dan bergulung 2,5 sampai 3 kali putaran, panjangnya kurang lebih 35 mm
dengan sumbu panjang dari arah anterior ke posterior. Pusat koklea
disebut modiolus, dan terletak di depan vestibulum. Koklea bersama
dengan organ vestibuler berada dalam tulang temporal, dan merupakan
salah satu tulang paling keras dalam tubuh manusia. Koklea bersama
organ vestibuler sering disebut dengan labirin (Moller, 2006; Pawlowsky,
2004; Weber & Khariwala, 2014).
Koklea terdiri dari tiga ruang yaitu skala vestibuli, skala media, dan
skala timpani. Skala media mempunyai penampang segitiga. Dasar
Universitas Sumatera Utara
3
segitiga tersebut dikenal dengan nama membran basilaris yang menjadi
dasar dari organ korti (Gambar 2.1) (Moller, 2006; Weber & Khariwala,
2014).
Gambar 2.1 Anatomi Koklea dan Organ Korti
Koklea pada telinga dalam mengandung sel-sel yang berperan
terhadap persepsi suara. Koklea terdiri dari labirin tulang, dimana
didalamnya terdapat labirin membran. Termasuk di dalam labirin tulang
adalah kapsul otik yang merupakan batas luar dari koklea dan modiolus
yaitu tabung tulang yang membentuk sumbu pusat koklea dan
mengandung serat saraf auditori dan sel-sel ganglionnya. Stria vaskularis
dan ligamentum spiralis terdapat dekat dengan tulang sepanjang dinding
lateral koklea. Organ Corti, yang mengandung sel rambut (3 sel rambut
luar dan 1 sel rambut dalam) sebagai sel sensoris dan sel penyokong,
berbentuk spiral pada membran basilaris (Nagashima et al., 2005).
Di dalam organ Corti terdapat sel-sel Hensen, sel-sel Deiters, sel-sel
pilar, sel-sel batas dalam, sel-sel rambut luar serta sel-sel rambut dalam,
sulkus dalam dan limbus spiralis yang berisi sel-sel interdental dan
membran tektorial (Gambar 2.1). Medial dari lamina spiralis pars osseus
Universitas Sumatera Utara
4
terdapat kanalis Rosental yang berisi ganglion spiralis dan berhubungan
dengan modiolus (Moller, 2003; Guyton & Hall, 2006; Gillespie, 2006).
Skala vestibuli dan skala timpani adalah labirin tulang dari koklea yang
berisi cairan
perilimfe. Skala vestibuli dan skala timpani saling
berhubungan di helikotrema pada apeks koklea. Pada bagian basis koklea
skala vestibuli berakhir di foramen ovale dan skala timpani pada foramen
rotundum. Skala media yang berisikan cairan endolimfe berada di antara
skala vestibuli dan skala timpani (Lonsbury, Martin & Luebke, 2003;
Moller, 2003; Guyton & Hall, 2006).
Cairan perilimfe memiliki komposisi ion yang mirip dengan cairan
cerebrospinalis (CSF) dan juga mirip dengan cairan ekstraseluler, dengan
konsentrasi natrium (Na+) tinggi dan kalium (K+) rendah. Sedangkan pada
endolimfe, memiliki komposisi ion yang hampir sama dengan cairan
intraseluler yaitu konsentrasi natrium (Na+) rendah dan kalium (K+) yang
tinggi (Tabel 2.2.) (Lonsbury, Martin & Luebke, 2003; Gillespie, 2006).
Tabel 2.2 Komposisi Cairan Koklea
Komponen
Endolimfe
Skala Vestibuli
Skala Timpani
Na (mM)
1.3
141
148
K (mM)
157
6
4.2
0.023
0.6
1.3
HCO3 (mM)
31
21
21
Cl (mM)
132
121
119
Protein (mg/dl)
38
242
178
pH
7.4
7.3
7.3
Ca (mM)
Stria vaskularis terdiri dari 3 lapisan sel yaitu sel marginal, sel
intermediet dan sel basal. Sel-sel stria vaskularis merupakan satu-satunya
sel yang berhubungan dengan pembuluh darah di koklea. Stria vaskularis
bertanggung jawab dalam menjaga konsentrasi ion kalium dalam cairan
endolimfe tetap tinggi dan menjaga potensial endolimfe skala media positif
tetap tinggi (Pawlowsky, 2004; Gillespie, 2006).
Universitas Sumatera Utara
5
Membran basilaris adalah struktur fibrosa yang berlapis-lapis dari
lamina spiral pars osseus ke ligamentum spiralis. Elastisitas membran
basilaris bervariasi di sepanjang koklea dari kekakuan dan kelebarannya.
Membran basilaris tampak kaku dan sempit di daerah basis koklea dan
tampak lebih fleksibel dan luas di daerah apeks koklea (Gambar 2.3)
(Moller, 2003; Pawlowsky, 2004; Gillespie, 2006).
Gambar 2.2 Lebar Membran Basilaris dari Basal ke Apeks
Organ Corti merupakan rumah dari sel sensoris pendengaran
(Pawlowsky, 2004). Organ Corti terletak di sepanjang membran basilaris,
dan menonjol dari basis ke apeks koklea (Despopoulos & Silbernagl,
2008). Ukuran organ Corti bervariasi secara bertahap dari basis koklea ke
apeks koklea. Organ Corti di basal lebih kecil sedangkan organ Corti di
apeks koklea lebih besar (Guyton & Hall, 2006). Organ Corti terdapat selsel yang terdiri dari sel sensoris (sel rambut dalam dan sel rambut luar),
sel pendukung (sel Deiters, sel Phalangeal dalam), ujung saraf aferen
(ganglion spiral tipe 1 dan 2) dan eferen (olivokoklear medial dan lateral),
sel pilar dalam dan luar dan sel Hensen (Moller, 2003; Guyton & Hall,
2006; Gillespie, 2006).
Universitas Sumatera Utara
6
Gambar 2.3. Model Membran Basilaris dengan Organ Corti
Sel rambut merupakan sel sensoris yang menghasilkan impuls saraf
dalam menanggapi getaran membran basilaris. Di organ Corti terdapat 1
deret sel rambut dalam dan 3 deret sel rambut luar. Ada sekitar 4.000 sel
rambut dalam dan 12.000 sel rambut luar (Pawlowsky, 2004; Gillespie,
2006). Bentuk dari sel rambut dalam seperti botol dan ujung sarafnya
berbentuk piala yang menyelubunginya, sedangkan bentuk dari sel rambut
luar seperti silinder dan ujung sarafnya hanya pada basis sel (Gambar 2.4)
(Moller, 2003; Pawlowsky, 2004).
Badan sel dari kedua sel rambut ini berisikan banyak vesikula dan
mitokondria dan di dinding lateralnya terdapat semacam protein membran
yang dikenal sebagai prestin sebagai motor sel. Selain itu pada bahan sel
rambut luar terdapat endoplasmic reticulum (ER) yang terorganisasi dan
khusus di sepanjang dinding lateralnya yaitu apical cistern, Hensen body,
subsurface cistern dan subsynaptic cistern (Moller, 2003; Gillespie. 2006;
Probst, Greves & Iro, 2006).
Universitas Sumatera Utara
7
Gambar 2.4 Skema Potong Lintang Sel Rambut Luar (A)
dan Sel Rambut Dalam (B)
Sel rambut dalam dan luar ini memegang peranan penting pada
perubahan energi mekanik menjadi energi listrik. Fungsi sel rambut dalam
sebagai mekanoreseptor utama yang mengirimkan sinyal saraf ke neuron
pendengaran ganglion spiral dan pusat pendengaran, sedangkan fungsi
sel rambut luar adalah meningkatkan atau mempertajam puncak
gelombang berjalan dengan meningkatkan aktivitas membran basilaris
pada frekuensi tertentu. Peningkatan gerakan ini disebut cochlear
amplifier yang memberikan kemampuan sangat baik pada telinga untuk
menyeleksi frekuensi, telinga menjadi sensitif dan mampu mendeteksi
suara yang lemah (Gillespie, 2006).
Ujung dari sel rambut terdapat berkas serabut aktin yang membentuk
pipa dan masuk ke dalam lapisan kutikuler stereosilia (Gambar 2.5)
(Pawlowsky, 2004). Stereosilia dari sel rambut dalam tidak melekat pada
membran tektorial dan berbentuk huruf U sedangkan stereosilia dari sel
rambut luar kuat melekat pada membran tektorial atasnya dan berbentuk
huruf W (Gambar 2.5) (Pawlowsky, 2004).
Universitas Sumatera Utara
8
Gambar 2.5 Sel Rambut Luar dan Dalam Dilihat dengan
Mikroskop Elektron
Pada bagian ujung dari stereosilia terdapat filamen aktin yang terpilin,
filamen tersebut nantinya akan dikenal sebagai tip link (Gillespie, 2006).
Tip link menghubungkan ujung stereosilia dengan ujung stereosilia yang
lain. Bagian basal dari sel rambut diliputi oleh dendrit dari neuron
ganglionik spiralis yang terletak pada bagian modiolus (Gillespie, 2006).
Selain sel rambut dalam dan luar, komponen utama organ Corti yang
lain adalah 3 lapis penyokong (sel Deiters, Hensen, Claudius). Membran
tektorial dan kompleks lamina retikularis lempeng kutikular (Pawlowsky,
2004). Sel-sel pendukung yang mengelilingi sel rambut luar adalah sel
Deiters dan sel pilar luar. Sel pilar luar berada di sisi modiolar dari sel
rambut luar baris pertama dan diantara sel rambut luar baris pertama
dengan kedua. Sel Deiters berada diantara sel rambut luar baris dua
dengan tiga dan di sisi lateral dari sel rambut luar baris tiga. Gabungan
dari sel rambut luar dengan sel Deiters dan sel pilar luar menciptakan
sebuah penghalang yang kuat antara endolimfe dan perilimfe (Moller,
2003; Pawlowsky, 2004; Moller, 2005; Gillespie, 2006).
Membran tektoria adalah struktur seperti gel yang terdiri dari kolagen,
protein dan glukosaminoglikan. Membran tektoria terletak di dekat
Universitas Sumatera Utara
9
permukaan lamina retikuler dari organ Corti. Membran tektoria kontak
langsung dengan sel rambut luar. Sedangkan untuk sel rambut dalam
tidak berkontak secara langsung dengan membran tektorial (Moller, 2003).
2.3 Fisiologi Pendengaran
Getaran suara dihantarkan lewat liang telinga dan telinga tengah ke
telinga
dalam
melalui
footplate
dari
stapes,
menimbulkan
suatu
gelombang yang berjalan di sepanjang cairan koklea yang akan
menggerakkan membran basilaris dan organ Corti. Puncak gelombang
yang berjalan di sepanjang membran basilaris yang panjangnya 35 mm
tersebut, ditentukan oleh frekuensi gelombang suara. Hal ini berakibat
melengkungnya stereosilia, dengan demikian menimbulkan depolarisasi
sel rambut dan menciptakan potensial aksi pada serabut-serabut saraf
pendengaran yang melekat padanya. Di sinilah gelombang suara mekanis
diubah menjadi energi elektrokimia agar dapat ditransmisikan melalui
saraf kranialis ke-8 (Moller, 2006; Gacek, 2009).
Serabut-serabut saraf koklearis berjalan menuju inti koklearis dorsalis
dan ventralis. Sebagian besar serabut inti melintasi garis tengah dan
berjalan naik menuju kolikulus inferior kontralateral, namun sebagian
serabut tetap berjalan ipsilateral menuju kompleks olivarius superior.
Penyilangan selanjutnya pada inti lemniskus lateralis dan kolikulus inferior.
Dari kolikulus inferior jaras pendengaran berlanjut ke korpus genikulatum
dan kemudian ke korteks pendengaran (area 39-40) pada lobus
temporalis (Weber & Khariwala,2014; Gacek, 2009).
2.4 Gangguan Pendengaran pada Diabetes Melitus
Hubungan antara DM dengan gangguan pendengaran telah diteliti
sejak berabad yang lalu. Dilaporkan bahwa gangguan pendengaran yang
berkaitan dengan DM mencapai 93%. Gangguan pendengaran pada DM
digambarkan memiliki karakteristik progresif, bilateral, sensorineural
dengan onset bersifat gradual yang secara dominan mengenai frekuensi
tinggi (Cullen & Cinnamond, 1993; Maia & de Campos, 2005; Aladag et
al., 2009; Malucelli et.al, 2012).
Universitas Sumatera Utara
10
Gangguan pendengaran sensorineural pada penderita DM dikaitkan
dengan mikroangiopati pada telinga dalam, degenerasi neuronal dan
diabetik ensefalopati, meskipun temuan mengenai hal tersebut masih
sering diperdebatkan dan inkonsisten. Gangguan pendengaran pada
penderita DM dapat juga merupakan akibat dari kekacauan metabolisme
glukosa serta peningkatan stres oksidatif (Kakarlapudi, Sawyer &
Staecker, 2003; Aladag et al., 2009).
Angiopati diabetik memiliki karakteristik berupa proliferasi endotelial,
akumulasi glukoprotein pada lapisan intima pembuluh darah, dan
penebalan membran basal kapiler serta pembuluh - pembuluh darah kecil.
Selain itu juga dijumpai penebalan dan fibrosis dinding kapiler serta
penyempitan lumen arteri auditorius interna (Maia & de Campos, 2005;
Malucelli et.al., 2012). Penelitian mengenai hal ini sudah dilakukan, baik
pada hewan coba maupun pada manusia. Penelitian oleh Fukushima et.al
(2006) yang mempelajari tulang temporal manusia penderita DM
menunjukkan adanya penebalan membran basilaris dan stria vaskularis,
terutama pada dinding pembuluh darah stria vaskularis bagian basal
selain itu juga didapati hilangnya sel rambut luar yang signifikan.
Penelitian pada hewan coba baik menggunakan obat diabetogenik
seperti alloxan dan streptozotocin, atau dengan pankreatektomi total atau
subtotal menghasilkan hal yang relatif sama berupa penebalan dinding
pembuluh darah modiolus (Costa, 1967), penebalan dinding pembuluh
darah stria vaskularis (Smith et al., 1995), dan hilangnya sel rambut luar
(Raynor et al., 1995; Triana et al., 1991).
Telah dilaporkan bahwa gangguan metabolisme glukosa dan insulin
mempengaruhi mikrosirkulasi. Diketahui bahwa agar telinga bagian dalam
berfungsi dengan baik harus ada keseimbangan yang baik antara tingkat
insulin dan glukosa. Pasien DM memiliki glukosa dalam darah, tetapi tidak
bisa masuk sel-sel telinga bagian dalam karena kurangnya insulin
sehingga menghasilkan gangguan fungsional. Hal ini mungkin merupakan
faktor etiologi penting dalam kerusakan labirin. Mekanisme utama yang
mendasari adalah gangguan transportasi nutrisi melalui dinding kapiler
Universitas Sumatera Utara
11
yang menebal, pengurangan aliran darah karena penyempitan pembuluh
darah,
dan
degenerasi
sekunder
saraf
vestibulokoklear
yang
menyebabkan neuropati (Malucelli et.al., 2012).
Angiopati terjadi terutama di stria vaskularis dan pada ligamentum
spiralis. Studi pada tikus yang di DM-kan menunjukkan bahwa gangguan
pendengaran disebabkan terutama oleh pengurangan jumlah sel ganglion
spiral dan yang kedua oleh edema di stria vaskularis. Beberapa penulis,
juga berpendapat bahwa
gangguan pendengaran terjadi karena
keterlibatan jalur pendengaran sentral dan bukan karena angiopati koklea.
Adanya
atrofi
neuron
ganglion
spiralis
dan
demielinasi
saraf
vestibulocochlear juga didapatkan pada pasien diabetes. Hal ini
menunjukkan bahwa demielinisasi juga merupakan bentuk cedera awal
pada saraf perifer penderita DM. Pengamatan melalui mikroskop
menunjukkan demielinasi nervus auditorius akibat degenerasi selubung
myelin dengan perubahan minor pada akson dan fibrosis perineurium;
atrofi parah pada ganglion spiral dengan hilangnya sel di koklea, dan
pengurangan pada jumlah serabut saraf pada lamina spiralis. Temuan
lainnya berupa pengurangan jumlah sel ganglion dalam nukleus dorsal
dan ventral koklea, kehilangan sel ganglion pada nukleus olivarius
superior, kolikulus inferior, dan korpus genikulatum medial. Tak ada
perubahan langsung yang berkaitan dengan DM terlihat pada sentral
pendengaran di lobus temporal (Malucelli et.al., 2012).
Fukushima et al. (2006) meneliti efek DM terhadap koklea manusia dan
menyimpulkan
bahwa
pasien
DM
tipe
1
mungkin
mengalami
mikroangiopati koklea dan degenerasi dinding lateral koklea serta sel-sel
rambut. Metabolisme glukosa secara signifikan mempengaruhi telinga
dalam. Baik kadar gula yang rendah maupun tinggi dapat mempengaruhi
fungsi telinga dalam. Pasien dengan gangguan metabolisme glukosa
mungkin memiliki gejala gangguan pendengaran, vestibular, atau
campuran keduanya.
Telinga dalam memperlihatkan aktivitas metabolik yang intens, tetapi
tidak memiliki kemampuan untuk menyimpan energi. Oleh sebab itu
Universitas Sumatera Utara
12
perubahan kecil kadar gula mempengaruhi fungsi telinga dalam.
Gangguan metabolisme telinga dalam, baik akibat pelepasan insulin oleh
pankreas
atau
perubahan
reseptor
membran
sel,
cenderung
mengakibatkan pergeseran kalium dari endolimfe ke perilimfe dan
sebaliknya pada natrium, dimana mekanisme tersebut memicu timbulnya
vertigo, tinitus, dan gangguan pendengaran (Raynor et al., 1995; Triana et
al., 1991).
Penurunan pendengaran terutama terjadi pada frekuensi tinggi. Hal ini
kemungkinan berkaitan dengan kurangnya glikogen jaringan sebagai
sumber energi pada penderita DM. Proses transduksi pada organ korti
membutuhkan energi (ATP) yang bersumber dari glikogen (Tan, Chow &
Metz, 2002).
Faktor yang menyebabkan penurunan pendengaran pada frekuensi
tinggi yang terjadi pada penderita DM tipe-2 adalah sebagai berikut
(Kakarlapudi, Sawyer & Staecker, 2003):
1. Sel-sel rambut luar mengandung glikogen lebih banyak dari pada
sel-sel rambut dalam, dan jumlahnya di bagian basal lebih sedikit
dibandingkan di bagian apeks
2. Sel-sel rambut di daerah basal lebih panjang sehingga untuk dapat
meneruskan rangsangan ke serabut-serabut saraf memerlukan
energi lebih besar.
3. Potensial endolimfatik pada bagian basal lebih tinggi sehingga
memerlukan energi lebih banyak.
4. Skala timpani pada bagian basal lebih besar sehingga kebutuhan
akan sumber energi eksternal (glukosa) dan oksigen lebih besar.
Meskipun sel sel rambut dapat menggunakan substrat selain glukosa
(seperti glutamate, piruvat, atau fumarat) untuk mempertahankan
potensial endolimfatik, namun glukosa merupakan substrat yang paling
efektif.
2.5 Respon Stres Oksidatif Seluler
Radikal bebas adalah partikel dari suatu molekul atau atom yang
mengandung gugusan elektron yang tidak berpasangan dan bersifat
Universitas Sumatera Utara
13
sangat reaktif serta cenderung melepaskan atau menerima elektron dari
jaringan sekitarnya (Sarma, Mallick & Ghosh, 2010). Di dalam tubuh
organisme, pembentukan radikal bebas dapat berasal dari metabolisme
molekul oksigen. Reaksi-reaksi metabolisme pada umumnya merupakan
reaksi oksidasi reduksi. Oksidasi adalah reaksi yang melepaskan elektron,
sedangkan reduksi adalah reaksi yang menerima elektron (Sies, 1997).
Selain proses metabolisme, radikal bebas juga dapat berasal dari faktor
eksternal lainnya (Gambar 2.6).
Gambar 2.6. Sumber Radikal Bebas
Dalam metabolisme aerobik, radikal bebas terpenting yang terdapat
dalam tubuh adalah derivat oksigen atau oksiradikal atau yang disebut
juga dengan Reactive Oxygen Species (ROS). Oksigen memiliki sifat yang
unik, yakni lebih mudah bereaksi dengan melepaskan 1 elektron daripada
2 elektron. Oksigen dapat direduksi sempurna menjadi air dalam
mitokondria melalui 4 tahap reaksi penambahan 1 elektron sebagai berikut
(Granot & Kohen, 2004):
O2 + e -
 O2•-
(radikal anion superoksida)
 H2O2
(hidrogen peroksida)
H2O2 + e + H
 H2O + OH•
(radikal hidroksil)
2H• + e- + H+
 H2O
(air)
O2•- + e- + 2H+
-
+
Apabila oksigen hanya tereduksi sebagian, maka terbentuklah radikal
bebas dari oksigen. Radikal-radikal bebas tersebut diantaranya adalah
Universitas Sumatera Utara
14
radikal anion superoksida (O2•-), hidrogen peroksida (H2O2), radikal
hidroksil (OH•), radikal peroksil (ROO•-), dan lain-lain (Evans & Halliwell,
1999).
Ion-ion logam diketahui dapat mengkatalis reaksi pembentukan radikal
bebas. Ion-ion logam tersebut misalnya Fe, Cu, Mn, Cr, Ni, V, Zn dan Al.
Proses oksidasi yang dikatalisasi oleh ion-ion logam melalui 2 mekanisme
yaitu reaksi ion-ion logam dengan hidroperoksida atau dengan molekul
lipid (Reische, et al., 2008).
ROS dimetabolisme melalui reaksi reduksi-oksidasi seluler dan
dibentuk secara alamiah sebagai produk sampingan dalam proses
metabolik aerobik normal serta dinetralisir oleh scavenger enzimatik
berupa antioksidan endogen alamiah dalam tubuh, meliputi superoxide
dismutase (SOD), catalase (CAT) dan glutathione peroxidase (GPx), yang
berguna sebagai mekanisme proteksi terhadap produksi ROS (Evans &
Halliwell, 1999). Berbagai molekul ROS serta reaksi pembentukan dan
detoksifikasinya dapat dilihat pada gambar 2.7 berikut:
Gambar 2.7 Molekul ROS serta Reaksi Formasi dan Detoksifikasinya
Dalam keadaan normal, ROS berada dalam keadaan seimbang
dengan antioksidan endogen alamiah tubuh. Ketidakseimbangan antara
kadar antioksidan dan ROS maupun ketidakmampuan antioksidan untuk
menghambat produksi ROS berlebih akan menyebabkan terjadinya stres
oksidatif yang mampu merusak sel (Sies, 1997). ROS dihasilkan dalam
keadaan metabolik normal dengan konsentrasi yang relatif rendah, yang
Universitas Sumatera Utara
15
berguna sebagai molekul sinyalisasi untuk fungsi seluler normal guna
mengendalikan homeostasis sel dan jaringan, pembelahan, migrasi dan
kontraksi sel serta produksi mediator-mediator (Evans & Halliwell, 1999;
Le Prell, et al., 2007; Poirrier, et al., 2010; Uchida, et al., 2011; Rewerska,
et al., 2013).
Radikal bebas dianggap berkontribusi terhadap kejadian berbagai
penyakit
termasuk
penyakit
Alzheimer
(Christen,
2000),
penyakit
Parkinson (Wood-Kaczmar, Gandhi & Wood, 2006), diabetes (Giugliano,
Ceriello & Paolisso, 1996; Davi, Falco & Patrono, 2005), artritis reumatoid
(Hitchon & El-Gabalawy, 2004), dan penyakit motor neuron neurogeneratif
(Cookson & Shaw, 1999).
Radikal bebas yang menyebabkan kerusakan oksidatif pada DNA
diketahui dapat menyebabkan terjadinya kanker. Beberapa enzim
antioksidan seperti SOD, CAT, GPx, GR, GST, dan lain-lain mampu
melindungi DNA dari stres oksidatif. Terdapatnya polimorfisme pada
enzim-enzim ini berhubungan dengan kerusakan DNA dan kemudian
risiko individu terhadap kerentanan terjadinya kanker (Khan, et al., 2010).
Mekanisme
pertahanan
lini
pertama
terhadap
ROS
adalah
menghilangkan ROS atau mengubahnya menjadi radikal bebas yang
kurang toksik. Hal ini diperankan oleh enzim SOD yang mampu mengubah
radikal anion superoksida (O2•-) menjadi hidrogen peroksida (H2O2)
dengan proses dismutasi. Dismutasi merupakan istilah yang mengacu
kepada tipe reaksi khusus dimana 2 reaksi yang sama namun berlawanan
terjadi pada 2 molekul yang terpisah. Enzim SOD mampu mengambil 2
molekul radikal anion superoksida (O2•-) lalu melepaskan elektron ekstra
pada salah 1 molekul dan menempatkannya pada molekul lainnya,
sehingga jumlah elektron yang dimiliki oleh salah 1 molekul menjadi
berkurang lalu membentuk molekul oksigen normal, sedangkan molekul
lainnya memiliki elektron ekstra. Molekul yang memiliki elektron ekstra
kemudian secara cepat mengambil 2 ion hidrogen untuk membentuk
hidrogen peroksida (H2O2) (Evans & Halliwell, 1999; Goodsell, 2007).
Selanjutnya, hidrogen peroksida (H2O2) akan diubah menjadi molekul air
Universitas Sumatera Utara
16
(H2O) dan oksigen (O2) oleh CAT. Enzim GPx akan turut membantu CAT
dalam mengkonversi hidrogen peroksida (H2O2) dan glutathione tereduksi
(GSH) menjadi molekul air (H2O) serta glutathione teroksidasi (GSSG).
Proses konversi yang dilakukan oleh CAT dan GPx ini dianggap sebagai
mekanisme pertahanan lini kedua. Guna menyelesaikan siklus reaksinya,
glutathione reductase (GR) kemudian akan mereduksi glutathione
teroksidasi (GSSG) dengan bantuan NADPH dan ion hidrogen menjadi
glutathione tereduksi (GSH) dan NADP+. Rangkaian reaksi tersebut di
atas dapat dilihat pada reaksi kimia dan Gambar 2.12 di bawah ini:
SOD :
2O2•- + 2H+
 O2 + H2O2
CAT :
2H2O2
 O2 + H2O
GPx
:
H2O2 + 2GSH
 2H2O + GSSG
GR
:
GSSG + NADPH + H+
 GSH + NADP+
2.5.1 Superoxide Dismutase (SOD)
SOD merupakan salah satu enzim antioksidan yang dihasilkan oleh
tubuh, ditemukan hampir pada semua sel aerobik dan cairan ekstraseluler,
yang merupakan enzim antioksidan endogen terbanyak di dalam tubuh
dan sebagian besar terdapat pada organ hati. SOD termasuk ke dalam
famili enzim metalloenzyme dengan ramifikasi (percabangan) yang
meluas, memiliki gugus prostetik yang berbeda-beda, lokasi intraseluler
yang bervariasi dan heterogenitas jaringan yang besar (Cayuela, 1995;
Nurhayati, Kisnanto & Syaifudin, 2011; Johnson & Giulivi, 2005).
SOD merupakan kelas enzim yang berkaitan erat dengan katalisis
pemecahan 2 molekul radikal anion superoksida (O2•-) menjadi hidrogen
peroksida (H2O2) dan oksigen (O2) dengan kecepatan 104 kali lebih tinggi
dibandingkan proses dismutasi spontan pada pH fisiologis (Bannister,
Bannister & Rotilio, 1987; Cayuela, 1995; Tarhan & Tuzmen, 1998; Zelko,
Mariani & Folz, 2002).
SOD pertama kali diisolasi oleh Mann dan Keilin pada tahun 1938 yang
melakukan pemurnian terhadap protein yang terdapat pada darah dan
organ hati sapi. Protein tersebut berupa copper-binding protein dengan
Universitas Sumatera Utara
17
fungsi yang tidak diketahui dan disebut sebagai eritrocuprein atau
hemocuprein atau sitocuprein. Temuan radikal anion superoksida (O 2•-)
sebagai substrat SOD pertama kali diteliti oleh Linus Pauling pada tahun
1930-an. Kemudian, Brewer (1967) menamakan SOD dengan indofenol
oksidase atau trazolium oksidase saat melakukan analisis protein SOD
dengan gel pati menggunakan teknik fenazin-tetrazolium. Reaksi kimia
dan peranan katalitik SOD terhadap proses dismutasi radikal anion
superoksida (O2•-) menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dan oksigen (O2)
pertama kali ditemukan oleh Joe McCord dan Irwin Fridovich pada tahun
1969 (McCord & Fridovich, 1988; Lucchetti-Miganeh, et al., 2011).
Pengukuran kandungan enzim antioksidan SOD merupakan cara untuk
mengetahui kondisi pertahanan sel terhadap radikal bebas. Aktivitas SOD
bervariasi pada beberapa organ. Aktivitas SOD tertinggi terdapat pada
organ hati, diikuti kelenjar adrenal, ginjal, darah, limpa, pankreas, otak,
paru-paru, usus, ovarium, dan timus. Selain itu, SOD memiliki kecepatan
efisiensi katalitik terbesar dibandingkan enzim-enzim lainnya (Halliwell &
Gutteridge, 1999).
Enzim SOD murni dalam fase kromatografi kolom mempunyai 9
macam asam amino esensial yang dapat ditentukan komposisinya
menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (HPLC). Fraksi yang murni
mempunyai kadar tirosin dan lisin yang tinggi (163 µmol/ml atau 14.64%
dari total asam amino yang terdeteksi). Namun, asam amino serin, glisin,
alanin, prolin, metionin, sistein, isoleusin dan fenilalanin tidak terdeteksi.
Komposisi asam amino ini dapat berbeda dengan perbedaan sumber
SOD maupun asupan yang diterima oleh sumber, karena asam amino
yang terbentuk di dalam sel hidup sesuai dengan nutrisi yang terdapat
pada sel tersebut. Penurunan aktivitas enzim SOD lebih dari 47% terjadi
pada suhu di atas 50oC. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak enzim SOD
hanya dapat dipergunakan pada suhu dingin untuk menjaga stabilitas
SOD yang terkandung di dalamnya. Enzim SOD paling stabil pada pH 7.5
(Tripanji, Suharyanto & Wijayanti, 2009).
Universitas Sumatera Utara
18
SOD memiliki banyak isoform yang diklasifikasikan berdasarkan
kofaktor ion logam sisi aktif yang mempengaruhi aktivitasnya dan
distribusinya dalam tubuh, yaitu seperti tembaga (Cu), seng (Zn), mangan
(Mn), besi (Fe) atau nikel (Ni). Perbandingan persentase logam dalam
ekstrak murni dapat menunjukkan jenis kofaktor ion logam yang dominan
dalam SOD (Bannister, Bannister & Rotilio, 1987).
Saat ini, 3 isoform SOD yang berbeda telah diidentifikasi pada
mamalia, dan struktur genom, cDNA, dan proteinnya telah dideskripsikan,
yakni (Zelko, Mariani & Folz, 2002; Miller, 2004; Landis & Tower, 2005;
Nozik-Grayck, Suliman & Piantadosi, 2005; Culotta, Yang & O'Halloran,
2006; Kirsh, 2006; Winarsi, 2007; Miao & St. Clair, 2009; Miller, 2012):
1. Copper/zinc superoxide dismutase [Cu/Zn-SOD (SOD1)]
Cu/Zn-SOD (SOD1) merupakan enzim SOD pertama yang ditemukan
dan berbentuk homodimer, terdapat dalam sitoplasma, kompartemen
nukleus, lisosom dan ruang mitokondria bagian luar serta mengandung
ion logam Cu2+ dan Zn2+ pada sisi aktifnya. Ion logam Cu2+ berperan
aktif secara katalitik, sedangkan ion logam Zn2+ berperan di dalam
menjaga stabilitas enzim tersebut. Cu/Zn-SOD (SOD1) memiliki massa
molekul sekitar 32.000 Da (struktur kimia dapat dilihat pada Gambar
2.13).
2. Manganese superoxide dismutase [Mn-SOD (SOD2)]
Mn-SOD (SOD2) merupakan enzim SOD kedua yang ditemukan dan
berbentuk homotetramer dan mengandung leader peptide yang mampu
mengarahkan enzim ini secara khusus ke ruang mitokondria bagian
dalam dan peroksisom, serta mengandung ion logam Mn 2+ pada sisi
aktifnya. Mn-SOD (SOD2) memiliki massa molekul sekitar 23.000 Da
(struktur kimia dapat dilihat pada Gambar 2.14).
3. Extracelular superoxide dismutase [EC-SOD (SOD3)]
EC-SOD (SOD3) pertama kali ditemukan oleh Marklund, et al. (1982),
merupakan suatu glikoprotein hidrofobik berbentuk homotetramer dan
mengandung signal peptide yang mampu mengarahkan enzim ini
secara khusus ke ruang ekstraselular (plasma, getah bening, cairan
Universitas Sumatera Utara
19
asites, cairan sinovial, cairan serebrospinal, dan lain-lain), matriks
selular hati, plasenta dan paru, dengan struktur yang mirip dengan
Cu/Zn-SOD karena mengandung ion logam Cu2+ serta Zn2+ pada sisi
aktifnya. EC-SOD (SOD3) memiliki massa molekul sekitar 135.000 Da
dengan afinitas yang tinggi untuk heparin, heparin sulfat lainnya dan
kolagen tipe I, serta bersifat sensitif terhadap senyawa sianida.
Gambar 2.8 Struktur Kimia Cu/Zn-SOD (SOD1)
Gambar 2.9 Struktur Kimia Mn-SOD (SOD2)
Selain itu, terdapat 2 isoform SOD lainnya, yaitu iron superoxide
dismutase (Fe-SOD) yang mengandung logam Fe pada sisi aktifnya serta
Universitas Sumatera Utara
20
nickel superoxide dismutase (Ni-SOD) yang mengandung logam Ni pada
sisi aktifnya. Namun, Fe-SOD ditemukan pada organisme prokariotik dan
bagian dari kloroplas tumbuhan tingkat tinggi, sedangkan Ni-SOD
ditemukan
pada
organisme
prokariotik
dan
beberapa
spesies
Streptomyces (Zelko, Mariani & Folz, 2002; Miller, 2004; Landis & Tower,
2005; Nozik-Grayck, Suliman & Piantadosi, 2005; Kirsh, 2006; Winarsi,
2007).
Proses dismutasi yang dikatalisis oleh SOD sebagai mekanisme
pertahanan lini pertama terhadap radikal anion superoksida (O 2•-) dapat
dilihat pada reaksi di bawah ini:
M(n+1)+-SOD + O2•-
 Mn+-SOD + O2
Mn+-SOD + O2•- + 2H+
 M(n+1)+-SOD + H2O2
Keterangan:
M dapat berupa ion logam Cu (n = 2); Mn (n = 2); Fe (n = 2); Ni (n = 2)
Mekanisme yang terjadi pada reaksi yang dikatalisis oleh SOD di atas
disebut juga sebagai ping-pong mechanism atau double displacement
reaction. Ciri khas dari reaksi ini adalah terdapatnya substituted enzyme
intermediate dimana enzim tersebut mengalami modifikasi secara
sementara. Dalam reaksi yang dikatalisis oleh SOD, 1 molekul radikal
anion superoksida (O2•-) akan berikatan dengan enzim M(n+1)+-SOD lalu
memodifikasi enzim tersebut dengan cara mentransfer gugus kimianya
terhadap sisi aktif enzim dan kemudian menghasilkan produk pertama.
Selanjutnya, enzim yang telah termodifikasi tersebut akan mengadakan
reaksi terhadap 1 molekul radikal anion superoksida (O2•-) lain sehingga
menghasilkan kembali (meregenerasi) enzim dengan keadaan seperti
sebelumnya beserta dengan produk kedua. Dalam hal ini, M (n+1)+-SOD
berikatan dengan 1 molekul radikal anion superoksida (O2•-) sehingga
M(n+1)+-SOD
mengalami
modifikasi
ion
menjadi
Mn+-SOD
dan
menghasilkan oksigen (O2) sebagai produk pertama. Kemudian Mn+-SOD
Universitas Sumatera Utara
21
akan berikatan dengan 1 molekul radikal anion superoksida (O2•-) lain
sehingga akan bereaksi dan menghasilkan kembali (meregenerasi) enzim
M(n+1)+-SOD beserta dengan molekul air (H2O2) sebagai produk kedua
(Bravo, et al., 2001; Akerman & Muller, 2003; Miller, 2004; Yang, et al.,
2004; Patel, 2009).
2.6 Pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS) pada DM
Keadaan hiperglikemia yang berkepanjangan sampai saat ini diakui
sebagai faktor utama yang berperan dalam patogenesis terjadinya
berbagai komplikasi DM. Hiperglikemia menginduksi sejumlah besar
perubahan
dalam
menyebabkan
jaringan
pembuluh
darah,
yang
aterosklerosis.
Beberapa
mekanisme
berpotensi
utama
yang
mencakup sebagian besar perubahan patologis yang diamati dalam
pembuluh darah penderita DM (Gambar 2.8) yaitu (1) glikosilasi
nonenzimatik protein dan lipid, (2) aktivasi protein kinase C (PKC), (3)
peningkatan fluks melalui jalur heksosamin (4) peningkatan stres oksidatif,
dan (5) peradangan (Aronson, 2008; Vincent et.al, 2004).
Gambar 2.10 Aktivasi Signaling Berbagai Mekanisme Dalam Sel Akibat
Hiperglikemia
Universitas Sumatera Utara
22
Stres oksidatif secara luas dianggap sebagai mekanisme yang
mendasari terjadinya aterosklerosis. Kerusakan oksidatif terhadap protein
dinding arteri dapat terjadi bahkan pada paparan hiperglikemia jangka
pendek. Di antara gejala sisa hiperglikemia, stres oksidatif diperkirakan
merupakan mekanisme potensial yang dapat mempercepat terjadinya
aterosklerosis. Terdapat hubungan yang erat antara stres oksidatif yang
diinduksi hiperglikemia dengan mekanisme kerusakan vaskuler akibat
hiperglikemia melalui jalur yang lain seperti pembentukan advanced
glycosilation end products (AGEPs), aktivasi PKC, dan peningkatan fluks
melalui jalur hexosamine (Gambar 2.9) (Aronson, 2008; Vincent et.al,
2004).
Gambar 2.11 Hubungan Antara Pembentukan Oksidan, Aktivitas
Antioksidan dan Stres Oksidatif pada DM
Hiperglikemia dapat meningkatkan stres oksidatif melalui beberapa
jalur. Mekanisme utamanya adalah produksi berlebihan anion superoksida
(O2-) melalui rantai transpor elektron mitokondria. Pembentukan fisiologis
spesies O2 (terutama superoksida radikal) terjadi selama shuttling transfer
elektron oleh sitokrom dalam rantai transpor elektron. Hiperglikemia
menyebabkan peningkatan produksi donor elektron (NADH dan FADH 2)
Universitas Sumatera Utara
23
oleh siklus trikarboksilat. Hal ini mengakibatkan tingginya potensial
membran mitokondria melalui pompa proton melintasi membran dalam
mitokondria. Akibatnya, gradien tegangan yang melintasi membran
mitokondria meningkat sampai ambang batas kritis tercapai, dan transpor
elektron diblokir. Hal ini meningkatkan waktu paruh koenzim Q
(ubiquinone) radikal bebas intermediet, yang mereduksi O 2 menjadi
superoksida, dan secara nyata meningkatkan produksi superoksida
(Aronson, 2008).
Beberapa zat produk advanced glycosylation end products (AGEPs)
seperti N(6) – Carboxymethyllysine (CML) dan pentosidin terbentuk dalam
reaksi protein dengan glukosa hanya dalam kondisi oksidatif. Dengan
demikian, beberapa AGEs yang dihasilkan oleh gabungan proses glikasi
dan oksidasi disebut produk glikooksidasi. Setiap struktur AGEPs memiliki
mekanisme pembentukannya sendiri dan ketergantungannya sendiri
terhadap stres oksidatif. Namun, karena produk glikooksidasi pada protein
bersifat ireversibel, disimpulkan bahwa zat tersebut dapat menjadi
biomarker akumulasi stres oksidatif pada jaringan. Memang terdapat
korelasi kuat antara tingkat produk glikooksidasi dalam kolagen kulit
dengan tingkat keparahan komplikasi diabetes yang mengenai retina,
ginjal, dan pembuluh darah penyakit (Aronson, 2008).
Mekanisme potensial lain yang berkontribusi terhadap stres oksidatif
melibatkan transisi metal-catalyzed autoksidasi glukosa bebas. Melalui
mekanisme ini, glukosa sendiri memulai reaksi autooksidasi dan produksi
radikal bebas yang menghasilkan anion superoksida (O2-) dan hydrogen
peroksida (H2O2). Reaksi ini sering dikatalisis oleh logam transisi, tetapi
bahkan dengan katalis, reaksi berlangsung sangat lambat. Kemudian
interaksi antara epitop AGE dan reseptor AGE di permukaan sel
meregulasi gen respon terhadap stres oksidatif dan melepaskan radikal
oksigen.
Dengan
demikian,
hiperglikemia
secara
bersamaan
meningkatkan baik pembentukan AGEs dan stres oksidatif maupun
interaksi antara glikasi, dan oksidasi kimiawi dapat saling meningkatkan
masing-masing proses tersebut. Selain itu, stres oksidatif yang dihasilkan
Universitas Sumatera Utara
24
akibat hiperglikemia dapat menyebabkan aktivasi DAG-PKC dalam
jaringan pembuluh darah (Aronson, 2008).
Hal yang juga penting adalah bahwa semua mekanisme disfungsi
seluler akibat hiperglikemia tampaknya berhubungan dan semakin
meningkat dengan adanya stres oksidatif. Nishikawa et al. telah
menunjukkan bahwa over produksi superoksida mitokondria akibat
hiperglikemia dapat meningkatkan pembentukan AGEPs, aktivasi PKC,
dan aktivitas jalur hexosamine. Penghambatan produksi superoksida
melalui overekspresi mangan dismutase (yang dengan cepat mengubah
superoksida
kelebihan
menjadi
superoksida
H2O2)
atau
akibat
uncoupling
hiperglikemia.
protein-1
Secara
mencegah
bersamaan,
peningkatan pembentukan AGEPs intraseluler, aktivasi PKC, dan
peningkatan pembentukan hexosamin dapat dicegah. Dengan demikian,
beberapa mekanisme berkaitan hiperglikemia yang tampaknya tidak saling
berhubungan, yang berkontribusi terhadap komplikasi vaskular diabetes,
mungkin timbul dari satu proses yaitu kelebihan produksi molekul radikal
bebas superoksida (Aronson, 2008).
Ada juga bukti yang mendukung pentingnya spesies reaktif oksigen
dalam mendorong dan mempertahankan disfungsi sel endotelial pada
diabetes. Overproduksi superoksida pada sel endotel mengurangi
bioaktivitas NO karena superoksida bereaksi cepat dengan NO,
menghasilkan radikal oksidatif peroksinitrit. Stres oksidatif terkait diabetes
juga menginduksi kerusakan DNA rantai tunggal, menyebabkan aktivasi
enzim poli nuklear (ADP-ribosa) polimerase (PARP). Hasil dari proses ini
adalah menipisnya sumber energi endotel, termasuk NADPH. Inhibitor
PARP dapat mempertahankan responsivitas pembuluh darah yang
normal, meskipun pada kondisi hiperglikemia parah (Aronson, 2008).
Hidrogen peroksida (H2O2) merupakan produk produk reduksi parsial
dari O2, yang dihasilkan sebagai produk sampingan dari berbagai proses
biologis
(D'Autreaux dan Toledano, 2007;. Giorgio et al, 2007; Rhee,
2006). Sebagai contoh, reduksi satu elektron O2 yang terjadi sebagai
akibat dari kebocoran elektron dari mitokondria atau oksigenasi molekul
Universitas Sumatera Utara
25
organik dengan enzim sitokrom P450 pada awalnya menghasilkan anion
superoksida (O2-•), yang kemudian secara spontan atau enzimatik
(melalui superoksida dismutase) dikonversi ke H2O2. Hidrogen peroksida
kemudian direduksi lebih lanjut menjadi radikal hidroksil (OH•) melalui
reaksi Fenton dengan adanya ion Cu2+ atau Fe2+. Hidrogen peroksida,
merupakan anion superoksida dan radikal hidroksil yang secara umum
dikenal sebagai spesies oksigen reaktif (ROS). Secara umum, ROS
beracun bagi sel-sel karena kecenderungannya untuk menyebabkan
kerusakan makromolekul. Meskipun H2O2 adalah oksidan ringan dan
paling kurang reaktif dibandingkan ROS yang lainnya, semua sel aerob
dilengkapi dengan berbagai enzim untuk mengeliminasi H2O2 karena H2O2
sangat mudah dikonversi menjadi radikal hidroksil yang sangat reaktif
radikal melalui reaksi Fenton.
2.7 Curcuminoid
Curcuminoid adalah kelompok senyawa fenolik yang terkandung dalam
rimpang tanaman famili Zingiberaceae antara lain: Curcuma longa syn.
Curcuma domestica Val. (kunyit) dan Curcuma xanthorrhiza (temulawak).
Kunyit pertama kali diklasifikasikan secara taksonomi oleh seorang
ilmuwan asal Swedia bernama Carl Linnaeus pada tahun 1753 sebagai
berikut:
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledoneae
Bangsa
: Zingiberales
Suku
: Zingiberaceae
Marga
: Curcuma
Spesies
: Curcuma longa Linnaeus
(Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan, 2001).
Universitas Sumatera Utara
26
2.7.1 Sifat kimia dan fisik curcuminoid
Kandungan utama dari curcuminoid adalah curcumin yang memberikan
warna kuning. Nama kimia untuk curcumin adalah diferuloylmethane atau
1,6-heptadiene-3,5-dione-1,7-bis
(4-hidroksi-3-metoksifenil)-(1E,
6E)
dengan rumus molekul C21H20O6 dan Nilai pKa-nya adalah 8.54. Curcumin
mengandung 60-70% karbohidrat, 8.6% protein, 5-10% lemak, 2-7% serat,
3-5% curcuminoid (50-70% curcumin) dan lebih dari 5% minyak esensial
dan resin, sisanya mengandung mineral seperti magnesium, besi,
mangan, kalsium, natrium, kalium, timbal, seng, kobalt, aluminium dan
bismuth. Kandungan curcumin di dalam kunyit berkisar 3-4% (Eigner &
Schulz, 1999; Joe, Vijaykumar & Lokesh, 2004). Komposisi curcuminoid
sekitar 70% curcumin (curcumin I), 17% demethoxycurcumin (curcumin II),
3% bis-demethoxycurcumin (curcumin III) dan sisanya (10%) disebut
dengan cyclocurcumin (curcumin IV) yang memiliki sedikit atau tanpa
aktivitas biologis. Curcumin tidak dapat larut dalam air dan eter, tetapi
larut dalam etil asetat, etanol, metanol, aseton, asam asetat glasial,
dimetilsulfoksida dan benzene. Beberapa peneliti telah membuktikan
sensitivitas
curcumin
terhadap
cahaya,
dan
sebagai
hasilnya
menyarankan bahwa sampel biologis yang mengandung curcumin harus
dilindungi dari cahaya. Masalah stabilitas lainnya terjadi ketika curcumin
ditempatkan dalam sistem penyangga fosfat dengan pH 7.2. Dalam
kondisi ini, sebagian besar curcumin (>90%) berdegradasi dalam waktu 30
menit dari penempatan (Araujo & Leon, 2001; Joe, Vijaykumar & Lokesh,
2004; Chattopadhyay, et al., 2004; Sharma, Gescher & Steward, 2005;
Aggarwal & Shishodia, 2006; Trujillo, et al., 2013; Yadav, et al., 2013;
Prasad, et al., 2014).
Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa curcumin aman dan tidak
toksik bila dikonsumsi oleh manusia. Jumlah curcumin yang aman
dikonsumsi oleh manusia adalah 100 mg/hari sedangkan untuk tikus 5
g/hari (Commandeur & Vermeulen, 1996).
Model struktur curcuminoid dari kunyit dapat dilihat pada Gambar 2.8 di
bawah ini:
Universitas Sumatera Utara
27
Gambar 2.12. Struktur Molekul Komponen Curcuminoid
2.7.2 Target molekuler curcuminoid
Berbagai studi telah berhasil memperlihatkan peranan curcumin dalam
memodulasi sejumlah target molekuler, meliputi faktor pertumbuhan,
reseptor faktor pertumbuhan, faktor transkripsi, sitokin, enzim, dan gen
pengatur apoptosis (Gambar 2.22). Meskipun belum diketahui reseptor
asli untuk curcumin, sejumlah molekul tempat melekatnya curcumin telah
teridentifikasi, diantaranya serum albumin, 5-LOX, xanthine oxidase,
thioredoxin reductase, zat besi, COX-2, IKK, p-glycoprotein, GST, PKA,
PKC, cPK, PhK, autophosphorylation-activated protein kinase, pp60c-src
tyrosine kinase, Ca2+-dependent protein kinase (CDPK), Ca2+-ATPase
retikulum sarkoplasma, reseptor aryl hydrocarbon, sitokrom p450 rat river,
Topo II isomerase, reseptor inositol 1,4,5-triphosphate, dan glutathione
(Aggarwal & Shishodia, 2006; Karunagaran, Joseph & Kumar, 2007).
Universitas Sumatera Utara
28
Gambar 2.13. Target Molekuler Curcumin
2.7.3 Target penyakit curcumin
Curcumin mempunyai potensi yang baik untuk berbagai penyakit. Pada
fase I percobaan klinik mengindikasikan sebanyak 12 g curcumin perhari
selama 3 bulan dapat ditoleransi oleh tubuh manusia. Dosis optimum
curcumin
untuk
pengobatan
suatu
penyakit
belum
jelas.
Data
menunjukkan bahwa curcumin memiliki bioavailabilitas yang rendah
(Aggarwal, et al., 2006).
Pada sebuah penelitian preklinis menunjukkan curcumin dosis tunggal
1.380-3.500 mg/kgBB (3.7-9.5 mmol/kgBB) tidak menimbulkan efek
samping pada tikus kecuali feses yang berwarna. Dalam sebuah
penelitian yang dipublikasi, dinyatakan bahwa dosis tunggal curcumin di
atas 5.000 mg/kgBB (13.6 mmol/kgBB) tidak mempunyai efek secara klinis
ataupun efek terhadap berat relatif organ pada tikus jantan maupun betina
(Chemoprevention Branch and Agent Development Committee, 1996).
Penelitian pada tikus selama 90 hari, dimana tikus diberikan curcumin
dengan dosis 1.140, 1.515, 1.995, 2.630 dan 3.500 mg/kgBB/hari (3.1-9.5
mmol/kgBB/hari) memiliki efek klinis feses berwarna dan bulu kekuningan.
Pada tikus jantan, dijumpai penurunan jumlah retikulosit pada semua grup
kecuali pada grup 1.515 mg/kgBB/hari dan dijumpai peningkatan Mean
Corpuscular Hemoglobin (MCH) pada 2 grup (grup dosis 1.995 dan 2.630
Universitas Sumatera Utara
29
mg/kgBB/hari) tidak signifikan secara biologis (Chemoprevention Branch
and Agent Development Committee, 1996).
Penelitian mengenai curcumin menunjukkan bahwa toksisitas curcumin
tidak signifikan. Pada tikus yang diberi curcumin pada makanannya
dengan dosis 0.1-2.0% (0.1-2.7 mmol/kgBB/hari) selama 8 minggu, tidak
ada efek pada nafsu makan, peningkatan berat badan, hematologi, kimia
serum, atau perubahan histologi saluran pencernaan, hati, limpa dan
ginjal yang diperiksa. Penelitian yang serupa, tikus diberikan curcumin
hingga 1.000 mg/kgBB/hari per oral selama 3 bulan dan tidak ada efek
samping
pada
histopatologi
pertumbuhan,
(Chemoprevention
perilaku,
Branch
parameter
and
biokimia
Agent
dan
Development
Committee, 1996).
Laporan ulkus lambung pada tikus yang diberi curcumin sebagai anti
inflamasi (ED50 / Effective Dose = 50 mg/kgBB/hari selama 6 hari),
curcumin food grade mampu melindungi lambung dari ulkus melalui
penurunan
asam
lambung
atau
peningkatan
sekresi
musin
(Chemoprevention Branch and Agent Development Committee, 1996).
Penelitian pada tikus yang diberi curcumin 600 dan 1.600 mg/kgBB
pada usia kehamilan 6-15 hari tidak menimbulkan efek terhadap
implantasi, resorpsi dan tidak menimbulkan kematian pada embrio, tidak
menimbulkan abnormalitas tulang dan organ dalam. Penelitian jangka
panjang pada lebih dari tiga generasi tikus, tidak ada menunjukkan efek
teratogenik atau gangguan pada reproduksi (Chemoprevention Branch
and Agent Development Committee, 1996).
Berbagai
penelitian
yang
memeriksa
efek
curcumin
sebagai
antioksidan menggunakan dosis curcumin yang beragam. Khan &
Mahboob (2014) yang meneliti peranan antioksidan curcumin pada tikus
yang diinduksi dislipidemia menggunakan curcumin 200 mg/kgbb tikus
dan mendapatkan hasil yang signifikan. Pada tikus yang diberikan
curcumin menunjukkan adanya peningkatan kadar dan aktivitas CAT,
SOD dan GSH, serta penurunan kadar MDA pada berbagai jaringan yang
diambil dari hepar, jantung dan aorta. Wongeakin et al (2014) yang
Universitas Sumatera Utara
30
meneliti peranan curcumin terhadap disfungsi endotelial akibat ROS pada
tikus yang diinduksi DM menggunakan dosis curcumin sebesar 300
mg/kgbb, dan mendapatkan hasil yang signifikan dalam hal penurunan
produksi ROS pada tikus yang mendapatkan curcumin dibandingkan
dengan tikus kontrol.
Dosis curcumin sebagai anti kanker yaitu sampai 10 g/hari (Aggarwal,
Kumar & Bharti, 2003). Dosis curcumin sebagai terapi kanker kolorektal
yaitu 2.2 g/hari (ekstrak curcuma). Kanker kolorektal stadium akhir
diberikan dosis antara 0.45 dan 3.6 g/hari selama empat bulan (Jurenka,
2009; Burgos-Moron, et al., 2010).
Dosis curcumin sebagai anti inflamasi sebanyak 400-600 mg tiga kali
sehari (Alter, 2010). Dosis curcumin sebagai anti inflamasi pada tikus 100,
250, 500 dan 1000 mg/kgBB. Daya anti radang minyak atsiri kunyit
(senyawa mirip curcumin) 1.2 ml/kgBB secara oral (Salasia, et al., 2002).
Ekstrak etanol kunyit dengan berbagai dosis memperlihatkan efek anti
inflamasi pada tikus yang diinduksi dengan karagen dimana pada dosis
tinggi (1000 mg/kgBB) dapat menekan edema sebesar 78.37%. Pada
penelitian tersebut menunjukkan semakin tingginya dosis ekstrak etanol
kunyit, jumlah zat aktif yang terkandung di dalamnya semakin tinggi
sehingga kemampuannya di dalam menginhibisi edema semakin besar
(Rustam, Atmasari & Yanwirasti, 2007).
Konsentrasi perasan air kunyit 30% paling efektif dalam memperbaiki
kerusakan sel hati pada mencit (Kardena & Winaya, 2011).
Penelitian dengan mengkombinasikan antibiotik dan curcumin pada
sedian piringan diffusion assay dengan dosis curcumin 500 µg setiap
piringan menghasilkan peningkatan aktivitas dari antibiotik Cefixime,
Cefotaxime, Vancomycin dan Tetrasiklin (Moghaddam, et al., 2009).
Curcumin dapat secara bebas melalui membran sel karena sifat
lipofilisitasnya. Namun, disebutkan juga bahwa curcumin memiliki
kelarutan pada air yang sangat rendah, yaitu hanya 0.6 µg/ml,
dimetabolisme dengan cepat di hati dan dinding usus, serta rentan
terhadap degradasi pada kondisi basa. Karakteristik ini menjadi penyebab
Universitas Sumatera Utara
31
rendahnya bioavailibilitas curcumin, sehingga konsentrasinya dalam darah
menjadi kurang optimal untuk mencapai efek terapeutik yang diharapkan
(Naksuriya, et al., 2014). Nilai paruh waktu (T½) curcumin pada pemberian
intravena (10 mg/kgBB) pada tikus dilaporkan sekitar 28.1 ± 5.6 jam dan
pada pemberian oral (500 mg/kgBB) yaitu sekitar 44.5 ± 7.5 jam (Anand,
et al., 2007).
2.8. Penggunaan Streptozotocin untuk Membuat Hewan Coba Model
Diabetes Melitus
Streptozotocin (STZ) atau streptozosin dengan nama kimia 2-Deoxy-2 [[(methylnitrosoamino) - carbonyl] amino] – D – glucopyranose (Gambar
2.17) berasal dari Streptomyces achromogenes, merupakan antibiotik
spektrum luas yang juga memiliki sifat antineoplastik. STZ bersifat toksik
dan menyebabkan proses autoimun terhadap sel β pankreas, sehingga
banyak dimanfaatkan untuk membuat hewan coba model diabetes
melitus. Secara klinis STZ digunakan pada pengobatan karsinoma
pankreas (Deeds et al., 2011; Abeeleh et al., 2009; Akbarzadeh et al.,
2007).
Gambar 2.17 Struktur Kimia Streptozotocin
Mekanisme kerja STZ pada sel β pankreas telah dipelajari selama
bertahun-tahun. Secara umum dianggap bahwa STZ diangkut melalui
transporter glukosa GLUT2 pada membran sel, dan menyebabkan alkilasi
DNA dan kematian sel β pankreas (Deeds et al., 2011).
Universitas Sumatera Utara
32
Penggunaan STZ sangat bervariasi dan memberikan hasil yang
berbeda-beda, baik dalam hal mortalitas maupun keparahan DM yang
dihasilkan. Selain itu, sensitivitas STZ juga sangat bervariasi pada tiaptiap hewan coba yang digunakan. Berbagai metode dan dosis STZ telah
dicoba dan disebutkan dalam literatur, tergantung kepada tingkat
keparahan diabetes yang diinginkan sesuai protokol eksperimen tertentu.
Penggunaan dosis dapat dibagi menjadi 3, yaitu dosis rendah dengan
pemberian berulang, dosis sedang sekali pemberian, dan dosis tingggi
sekali pemberian. Induksi dengan injeksi tunggal baik secara intravena
maupun intraperitoneal dianggap sebagai teknik yang paling banyak
digunakan (Deeds et al., 2011).
Dosis yang digunakan untuk menginduksi DM tipe 1 untuk intravena
adalah 40-60 mg/kg, sedangkan dosis intraperitoneal adalah lebih dari 40
mg/kg BB. STZ juga dapat diberikan secara berulang, untuk menginduksi
DM tipe 1 yang diperantarai aktivasi sistem imun. Untuk menginduksi DM
tipe 2, STZ diberikan intravena atau intraperitoneal dengan dosis 100
mg/kg BB pada tikus yang berumur 2 hari kelahiran, pada 8-10 minggu
tikus tersebut mengalami gangguan respon terhadap glukosa dan
sensitivitas sel β terhadap glukosa. Di lain pihak, sel α dan δ tidak
dipengaruhi secara signifikan oleh pemberian streptozotosin pada
neonatal tersebut sehingga tidak membawa dampak pada perubahan
glukagon dan somatostatin. Patofisiologis tersebut identik pada DM tipe II
(Szkudelski, 2001; Jackerott et al., 2006; Tormo et al., 2006).
STZ menembus sel β Langerhans melalui tansporter glukosa GLUT 2.
Aksi STZ intraseluler menghasikan perubahan DNA sel β pankreas.
Alkilasi DNA oleh STZ melalui gugus nitrosourea mengakibatkan
kerusakan pada sel β pankreas. STZ merupakan donor NO (nitric oxide)
yang mempunyai kontribusi terhadap kerusakan sel tersebut melalui
peningkatan aktivitas guanilil siklase dan pembentukan cGMP. NO
dihasilkan sewaktu STZ mengalami metabolisme dalam sel. Selain itu,
STZ juga mampu membangkitkan oksigen reaktif yang mempunyai peran
tinggi dalam kerusakan sel β pankreas. Pembentukan anion superoksida
Universitas Sumatera Utara
33
karena aksi STZ dalam mitokondria. Produksi ATP mitokondria yang
terbatas
selanjutnya
mengakibatkan
pengurangan
secarea
drastis
nukleotida sel β pankreas (Szkudelski, 2001).
Peningkatan defosforilasi ATP akan memacu peningkatan substrat
untuk enzim xantin oksidase (sel β pankreas mempunyai aktivitas tinggi
terhadap enzim ini), lebih lanjut meningkatkan produksi asam urat. Xantin
oksidase mengkatalisis reaksi pembentukan anion superoksida aktif. Dari
pembangkitan anion superoksida, terbentuk hidrogen peroksida dan
radikal superoksida. NO dan oksigen reaktif tersebut adalah penyebab
utama kerusakan sel β pankreas (Szkudelski, 2001).
Kerusakan DNA akibat STZ dapat mengaktivasi poli ADP-ribosilasi
yang kemudian mengakibatkan penekanan NAD+ seluler, selanjutnya
penurunan jumlah ATP, dan akhirnya terjadi penghambatan sekresi dan
sintesis insulin. Selain itu, kalsium berlebih yang kemungkinan dapat
menginduksi nekrosis, tidak mempunyai peran yang signifikan pada
nekrosis yang diinduksi STZ (Szkudelski, 2001).
Universitas Sumatera Utara
34
2.9 KERANGKA KONSEP
Injeksi Streptozotocin
Hiperglikemia
Curcuminoid
2-
Glikolisis >>>
Fe
Peroksidasi
lipid
3-
Fe
SOD
OH-
H2O2
2O2O2
MDA
CAT
2H2O + O2
Keterangan:
Dalam
keadaan
= Variabel yang diperiksa
hiperglikemik
terjadi
stress
oksidatif
akibat
autooksidasi dan glikolisis. ROS utama yang dihasilkan secara intraseluler
adalah superoxide anion (O2•-) yang akan dikonversi menjadi hydrogen
peroxide (H2O2) oleh proses dismutasi spontan ataupun reaksi yang
dikatalisis oleh antioksidan endogen primer utama yang disebut enzim
superoxide dismutase (SOD). H2O2 kemudian akan ditransformasi oleh
antioksidan endogen primer lainnya seperti enzim catalase (CAT) menjadi
molekul air dan oksigen. Enzim CAT berfungsi untuk mencegah akumulasi
H2O2 berlebih sehingga produksi hydroxil radical (OH•) yang dapat
memicu terjadinya peroksidasi lipid mampu dihambat sehubungan dengan
tidak terdapatnya sistem pertahanan enzim yang mampu menghidrolisis
OH• yang terbentuk. OH• dapat menyebabkan terjadinya oksidasi lipid,
Universitas Sumatera Utara
35
protein dan DNA dan pada akhirnya menyebabkan kerusakan terhadap
struktur sel dengan hasil sampingan berupa malondialdehid (MDA)
(Kwiecien, et al., 2002; Liu, et al., 2002; Devasagayam, et al., 2003;
Turrens, 2003; Weydert & Cullen, 2010).
Enzim CAT dan GPx berfungsi untuk mencegah akumulasi H 2O2
berlebih sehingga produksi hydroxil radical (OH•) yang dapat memicu
terjadinya lipid mampu dihambat sehubungan dengan tidak terdapatnya
sistem pertahanan enzim yang mampu menghidrolisis OH• yang
terbentuk. Curcuminoid mampu menginduksi peningkatan aktivitas seluruh
enzim antioksidan endogen dengan cara meningkatkan ekspresi gen
enzim tersebut sehingga produksinya menjadi bertambah dan dapat
bereaksi dengan radikal bebas lalu mengubahnya menjadi produk yang
lebih stabil.
Pada keadaan stress oksidatif, produksi O2•- yang terbentuk akan
berlebihan, begitu juga dengan produksi H2O2, sehingga enzim tidak dapat
menetralkan semua H2O2 yang terbentuk. Akibatnya, H2O2 secara spontan
akan direduksi oleh ion-ion logam transisi bebas seperti Fe2+ dan Cu2+
menghasilkan OH• melalui reaksi Fenton dan Haber-Weiss. Curcuminoid
mampu mencegah reduksi spontan H2O2 dengan berkompetisi terhadap
ion-ion logam transisi bebas sehingga reaksi Fenton dan Haber-Weiss
yang dapat menghasilkan OH• dapat dicegah, akibatnya proses
peroksidasi lipid dapat dicegah.
2.10 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah, landasan teori dan kerangka
konseptual tersebut disusun hipotesis penelitian sebagai berikut:
Curcuminoid dapat meningkatkan ekspresi SOD pada fibroblas koklea
Rattus norvegicus model diabetes melitus.
Universitas Sumatera Utara
Download