BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Superkonduktor Superkonduktor merupakan material yang memiliki hambatan listrik bernilai nol (ρ=0) pada temperatur yang sangat rendah. Temperatur dimana hambatan listrik bernilai nol disebut dengan temperatur kritis (Tc). Hubungan temperatur dan resistivitas untuk superkonduktor dan logam ditunjukkan seperti pada gambar 1. (Wiendartun, 2008). Hambatan Logam 0K Superkonduktor Tc Temperatur Gambar 1. Grafik Hubungan Temperatur dan Hambatan pada Logam dan Superkonduktor (Callister & Rethwisch, 2007) Hambatan jenis pada logam mengalami penurunan yang linear jika didinginkan hingga mendekati temperatur mutlak, sedangkan resistivitas pada superkonduktor juga mengalami penurunan, namun pada temperatur mendekati temperatur mutlak terjadi penurunan resistivitas yang drastis hingga bernilai nol (Callister & Rethwisch, 2007). Fenomena turunnya hambatan listrik suatu zat padat menjadi nol jika temperaturnya diturunkan hingga temperatur tertentu dikenal sebagai superkonduktivitas (Hidayat, 1991). 2.2 Sejarah dan Perkembangan Superkonduktor Sifat superkonduktor suatu bahan pertama kali ditemukan oleh seorang fisikawan Belanda, Heike Kamerlingh Onnes tahun 1911. Onnes berhasil mencairkan helium dengan cara mendinginkan sampai 4 K atau -269°C. Sejak saat itu Onnes mulai mempelajari sifat-sifat listrik dari logam pada temperatur yang sangat dingin. Universitas Sumatera Utara 6 Pada waktu itu telah diketahui hambatan suatu logam akan turun (bahkan hilang sama sekali) ketika logam tersebut didinginkan jauh dibawah temperatur ruang (temperatur yang sangat dingin) atau lebih rendah dari temperatur kritis logam tersebut, tetapi belum ada yang dapat mengetahui berapa batas bawah hambatan yang dicapai ketika temperatur logam mendekati 0 K atau nol mutlak (Wiendartun, 2010). Beberapa ilmuwan pada waktu itu seperti William Kelvin memperkirakan bahwa ketika dicapai temperatur nol mutlak (0 K) maka elektron akan berhenti mengalir (arus statis). Ilmuwan yang lain termasuk Onnes memperkirakan bahwa hambatan akan menghilang pada keadaan tersebut. Sehingga untuk mengetahui hal yang terjadi sebenarnya, Onnes mengalirkan arus pada kawat merkuri murni kemudian mengukur hambatannya sambil menurunkan temperaturnya. Pada temperatur 4,2 K Onnes mendapatkan bahwa hambatannya tiba-tiba menjadi hilang. Tanpa adanya hambatan arus mengalir melalui kawat merkuri terus-menerus. Sehingga arus dapat mengalir tanpa kehilangan energi. Kemudian fenomena ini oleh Onnes diberi nama superkonduktivitas (Ismunandar & Sen, 2004). Superkonduktor kini telah banyak digunakan dalam berbagai bidang. Penggunaan superkonduktor dibidang transportasi memanfaatkan efek Meissner, yaitu pengangkatan magnet oleh superkonduktor. Hal ini diterapkan pada kereta api super cepat di Jepang yang diberi nama The Yamanashi MLX01 MagLev train. Kereta api ini melayang diatas magnet superkonduktor. Dengan melayang, maka gesekan antara roda dengan rel dapat dihilangkan dan akibatnya kereta dapat berjalan dengan sangat cepat sekitar 550 km/jam. Di dalam bidang kedokteran, bahan-bahan yang bersifat superkonduktor dipakai pada peralatan MRI (Magnetic Resonance Imager) untuk mendeteksi sistem tubuh manusia. Penggunaan bahan superkonduktor dapat menyebabkan ukuran peralatan semakin kecil, seperti penggunaan komputer dimana kerangka utama dapat dikecilkan hingga ukuran tas tangan. Bahan-bahan superkonduktor kemungkinan akan menggantikan pemakaian dan penggunaan bahan-bahan konduktor listrik biasa dan ia akan menjadi bahan yang paling penting di masa depan (Susanti, 2010). Universitas Sumatera Utara 7 2.3 Jenis – Jenis Superkonduktor Superkonduktor dapat dibedakan berdasarkan medan magnet kritis dan temperatur kritis. Berdasarkan medan magnet kritisnya superkonduktor dibagi menjadi 2 jenis, yaitu superkonduktor tipe I dan superkonduktor tipe II. Sedangkan superkonduktor berdasarkan temperatur kritis, yaitu superkonduktor temperatur tinggi (High Temperature Superconductor – HTS) dan superkonduktor temperatur rendah (Low Temperatur Superconductor – LTS). 2.3.1 Superkonduktor Tipe I Superkonduktor tipe I menurut teori BCS (Bardeen, Cooper, dan Schrieffer) dijelaskan menggunakan pasangan elektron (yang sering disebut pasangan Cooper). Pasangan elektron bergerak sepanjang terowongan penarik yang dibentuk ion-ion logam yang bermuatan positif. Akibat dari pembentukan pasangan dan tarikan ini arus listrik akan bergerak dengan merata dan akan terjadi superkonduktivitas. Superkonduktor yang berkelakuan seperti ini disebut superkonduktor tipe I yang secara fisik ditandai dengan efek Meissner, yakni gejala penolakan medan magnet luar (asalkan kuat medannya tidak terlalu tinggi) oleh superkonduktor. Bila kuat medan melebihi batas kritis, gejala superkonduktivitasnya akan menghilang. (Amalia, 2013). 2.3.2 Superkonduktor Tipe II Superkonduktor tipe II mempunyai dua nilai medan magnet kritis Hc 1 (di bawah) dan Hc2 (diatas). Selain itu, superkonduktor tipe II memiliki tiga keadaan seperti ditunjukkan pada gambar 2. MEISSNER STATE H < Hc1 MIXED STATE Hc1 < H < Hc2 NORMAL STATE H > Hc2 Gambar 2. Fluks Magnet pada Jangkauan Kritis (Widodo & Darminto, 2010) Universitas Sumatera Utara 8 Keadaan bahan superkonduktor tipe II berdasarkan gambar 2, ketika H < Hc1 bahan superkonduktor tipe II berada dalam keadaan Meissner, yaitu fluks magnetik ditolak sempurna hingga medan magnet kritis dengan resistivitas (ρ) adalah nol dan induksi magnetik (B) adalah nol. Selain itu ketika Hc1 < H < Hc2 maka superkonduktor berada dalam keadaan campuran, yaitu sebagian fluks magnetik menerobos spesimen superkonduktor. Ketika H > Hc2 bahan superkonduktor berada dalam keadaan normal, yaitu fluks magnetik dapat menembus bahan superkonduktor seluruhnya (ρ ≠ 0 dan B ≠ 0) (Cyrot & Pavuna, 1992) 2.3.3 Superkonduktor Temperatur Tinggi Superkonduktor temperatur tinggi (High Temperature Superconductor – HTS) merupakan superkonduktor yang memiliki temperatur kritis diatas temperatur nitrogen cair (77 K), sehingga sebagai pendinginnya dapat digunakan nitrogen cair untuk memunculkan sifat superkonduktivitasnya (Wiendartun, 2008). Adapun contoh superkonduktor temperatur tinggi yaitu YBa2Cu3O7-x dengan Tc = 92 K. 2.3.4 Superkonduktor Temperatur Rendah Superkonduktor temperatur rendah (Low Temperature Superconductor – LTS) merupakan superkonduktor yang memiliki temperatur kritis di bawah temperatur nitrogen cair (77 K), sehingga sebagai pendinginnya dapat digunakan helium cair untuk memunculkan sifat superkonduktivitasnya (Kamihara et al., 2008). Adapun contoh superkonduktor temperatur rendah adalah Hg (Tc = 4,2 K), Pb (Tc = 7,2 K) dan niobium nitride (Tc = 16 K). 2.4 Karakteristik Superkonduktor Material superkonduktor memiliki beberapa karakteristik yaitu memiliki medan magnet kritis (Hc), rapat arus kritis (Jc) yang berbeda dengan material konduktor dan memiliki temperatur kritis (Tc). 2.4.1 Medan Magnet Kritis (Hc) Sifat lain dari superkonduktor yaitu bersifat diamagnetisme sempurna. Jika sebuah superkonduktor ditempatkan pada medan magnet, maka tidak akan ada Universitas Sumatera Utara 9 medan magnet dalam superkonduktor. Hal ini terjadi karena superkonduktor menghasilkan medan magnet dalam bahan yang berlawanan arah dengan medan magnet luar yang diberikan. Efek yang sama dapat diamati jika medan magnet diberikan pada bahan dalam temperatur normal kemudian didinginkan sampai menjadi superkonduktor. Pada temperatur kritis, medan magnet akan ditolak. Efek ini dinamakan Efek Meissner (Pikatan, 1989). B T > Tc B T < Tc Gambar 3. Efek Meissner (Mundy & Cross, 2006) 2.4.2 Rapat Arus Kritis (Jc) Pada bahan superkonduktor terdapat kisi, basis serta elektron bebas. Namun, atom-atomnya diam dan susunannya teratur disebabkan temperatur mendekati temperatur mutlak. Jika terjadi interaksi antara elektron dengan inti atom karena medan magnet, elektron dapat melewatinya tanpa hambatan dari atom kisi seperti yang ditunjukkan pada gambar 4. + + Elektron melewati inti atom bermuatan positif disebabkan distorsi dari kisi + + + + Gambar 4. Keadaan Kisi Atom pada Superkonduktor (Wiendartun, 2008) Universitas Sumatera Utara 10 2.4.3 Temperatur Kritis (Tc) Temperatur dimana terjadi perubahan sifat konduktivitas menjadi superkonduktor disebut dengan temperatur kritis (Tc). Temperatur kritis terbagi menjadi 2, yaitu temperatur kritis pada Tconset dan temperatur kritis pada Tc0. Kondisi temperatur kritis superkonduktor saat mengalami penurunan resistivitas yang drastis disebut Tconset. Sedangkan, kondisi temperatur kritis superkonduktor saat penurunan resistivitas yang drastis hingga mencapai nol disebut Tc0 (Ismunandar, 2004). Suatu bahan dikatakan sebagai bahan superkonduktor apabila menunjukkan sifat khusus, yaitu konduktivitas sempurna dengan resistivitas (ρ) adalah nol. ρ (Ohm.m) Tc Tc0 onset T (K) Gambar 5. Grafik Resistivitas terhadap Temperatur (Amirani, 2016) Berdasarkan gambar 5, menunjukkan kurva resistivitas terhadap temperatur kritis. Kurva ini menunjukkan ketika temperatur kritis superkonduktor turun pada titik Tconset maka material mengalami penurunan resistivitas secara drastis hingga mencapai temperatur Tc0 yang menunjukkan resistivitas nol. (Amirani, 2016). 2.5 Magnesium Diboride (MgB2) Pada tahun 1953, Jones et al dan Russell et al melaporkan pembentukan fasa MgB2 dengan interaksi antara Mg dan amorf B pada atmosfer hidrogen atau argon. Atom Boron memiliki ukuran yang cocok dan struktur elektonik untuk membentuk ikatan B-B langsung yang dapat membentuk berbagai macam ikatan boron lainnya. Ada lebih dari 50 senyawa diboride dengan struktur yang berbeda (Buzea & Yamashita, 2001). Universitas Sumatera Utara 11 Diagram sejarah penemuan superkonduktor konvensional, dimana titik-titik mendistribusikan erat bersama kesesuaian kurva. Oleh karena itu, tidak diherankan bahwa superkonduktivitas dari MgB2 telah diungkapkan hingga 2001 dan superkonduktor dengan temperatur transisi diatas titik didih nitrogen cair, mungkin dapat ditemukan setelah 2060 yang dapat dilihat pada gambar 6. 50 Superconducting Metals and alloys MgB2 Tc (K) 40 Tc = 6583.7 – 7.0723 Year + 0.0019 Year2 Tc = 77 K in 2060 (predicted by this fit) 30 Nb3Ge NbAlGe Nb3Sn 20 NbN Nb 10 Pb Hg 0 1900 1920 1940 1960 1980 2000 Tahun Gambar 6. Grafik Perkembangan Superkonduktor Konvensional terhadap Temperatur Kritis (Tc) (Luiz, 2010) MgB2 merupakan material superkonduktor (terdiri dari dua unsur logam yang mempunyai perilaku superkonduktor) dengan temperatur kritis ~ 39 K (diatas helium cair), dengan rapat arus kritis yang tinggi sebesar 106-107 A/cm2 dan medan magnet 0 pada temperatur rendah. Stuktur kristal MgB 2 adalah Hexagonal Closed Pack (HCP), termasuk dalam sistem kristal heksagonal dengan golongan ruang P6/mmm (Nagamatsu et al., 2001). Mg B a c a Gambar 7. Struktur Kristal MgB2 (Buzea, 2001) Universitas Sumatera Utara 12 Bila dibandingkan dengan superkonduktor temperatur rendah (LTS) dan superkonduktor oksida tembaga temperatur tinggi (HTS), karakteristik MgB2 memiliki temperatur kritis lebih tinggi dari pada temperatur rendah (LTS). Atom boron membentuk grafit seperti sarang lebah dan atom Mg terletak pada poros segienam (Eltsev et al., 2002; Masui et al., 2003). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kim et al., mengungkapkan perbedaan yang siginifikan dalam temperatur penguraian fasa magnesium diboride dibandingkan dengan temperatur pada literatur. Penguraian fasa MgB2, MgB4 dan MgB7 yang awalnya diperkirakan masing-masing berada pada temperatur 1550°C, 1830°C dan 2150°C. Untuk reaksi penguraian fasa boride: 2MgB2 ⇒MgB4 + Mg (g) dan 7MgB4 ⇒ 4MgB7 + 3 Mg(g), batas tertinggi dan terendah untuk temperatur penguraian pada literatur untuk MgB2 sebesar 850°C ≤ Tdecomp (MgB2) ≤ 1550°C dan untuk MgB4 sebesar 1020°C ≤ Tdecomp (MgB4) ≤ 1827°C. Sehingga menurut hasil penelitian memperkirakan temperatur penguraian MgB2 sebesar 1174°C, MgB4 sebesar 1273°C dan MgB7 sebesar 2509°C, dapat dilihat pada gambar 8. (Kim et al., 2008). 3000 G+L 2500 MgB7 +L G + MgB7 2000 Mg(G) + MgB4 Mg(G) + MgB2 1500 1000 Mg(L) + MgB2 MgB2 + MgB4 500 Mg(S) + MgB2 MgB4+ MgB7 MgB7 + β-B 0 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 Gambar 8. Diagram Fasa MgB2 (Kim et al., 2008) 2.6 Serbuk dalam Tabung Tertutup / Powder In Sealed Tube (PIST) Pembuatan PIST bertujuan agar partikel sampel campuran tersusun rapat dan padat sehingga tidak terjadi reaksi antara udara dan sampel yang mengindikasikan adanya perlakuan lain yang tidak diinginkan, dan apabila diberi perlakuan panas (sintering) akan terjadi proses difusi atom dan terbentuk ikatan yang kuat antar partikel. Proses ini dapat menghindari pori yang timbul dari reaksi kimia dan Universitas Sumatera Utara 13 membantu dalam membentuk densitas inti yang relatif tinggi. Cara ini meminimalisasi oksidasi dan pengurangan sampel di dalam tabung Fe dari sintesis dan merupakan metode paling sederhana dibandingkan dengan inert gas dan vacuum furnaces (Li et al., 2016; Varghese et al., 2009). Dalam proses PIST digunakan Stainless steel yang merupakan baja paduan yang mengandung sedikitnya 11,5% krom berdasarkan beratnya. Stainless steel memiliki sifat tidak mudah terkorosi. Stainless steel berbeda dari baja biasa dari kandungan kromnya. Stainless steel memiliki persentase jumlah krom yang memadahi sehingga akan membentuk suatu lapisan pasif kromium oksida yang akan mencegah terjadinya korosi lebih lanjut. Baja paduan SS 304 tube merupakan jenis baja tahan karat austenitic stainless steel yang memiliki komposisi 0.042%C, 1.19%Mn, 0.034%P, 0.006%S, 0.049%Si, 18.24%Cr, 8.15%Ni, dan sisanya Fe. Beberapa sifat mekanik yang dimiliki baja karbon tipe 304 ini antara lain: kekuatan tarik 646 Mpa, yield strength 270 Mpa, elongation 50%, kekerasan 82 HRB. Stainless steel tipe 304 merupakan jenis baja tahan karat yang serbaguna dan paling banyak digunakan. Komposisi kimia, kekuatan mekanik, kemampuan las dan ketahanan korosinya sangat baik dengan harga yang relatif terjangkau. Stainless steel tipe 304 ini banyak digunakan dalam dunia industri maupun skala kecil. Penggunaannya antara lain untuk: tanki dan container untuk berbagai macam cairan dan padatan, peralatan pertambangan, kimia, makanan, dan industri farmasi (Sumarji, 2011). 2.7 Differential Thermal Analysis / Thermal Gravimetric Analysis Differential Thermal Analysis (DTA) merupakan analisis termal yang mengukur perbedaan temperatur antara sampel yang akan diukur dan material inert sebagai referensi. Sampel dan material referensi dipanaskan dalam satu dapur yang berisi lingkungan gas yang telah distandarisasi. Perbedaan temperatur yang terjadi direkam selama proses pemanasan dan pendinginan. Lalu ditampilkan dalam bentuk kurva entalpi. Kurva DTA dapat menangkap transformasi saat penyerapan ataupun pelepasan panas. DTA membantu memahami hasil XRD, analisis kimia dan mikroskopis. Kurva DTA merupakan kurva perbedaan temperatur antara sampel dengan referensi terhadap waktu (Klancnik et al., 2010). Analisis DTA-TGA Universitas Sumatera Utara 14 dilakukan untuk mengetahui karakteristik termal sampel secara fisis berdasarkan termodinamika, meliputi reaksi eksotermis dan endotermis (Tahta et al., 2012). Analisis termal untuk karakterisasi solid diilustrasikan pada gambar 9 : Solids Amorphus Crystalline Glass transition Polymorphism ∆H ∆L ∆Cp, ∆L Phase transition Crystallization ∆H, ∆Cp ∆L Softening ∆L ∆H ∆L Decomposition Decomposition ∆m, ∆H ∆L Glass-Ceramics, Polymers ∆m, ∆H ∆L Liquid Crystal Gambar 9. Ilustrasi Analisis Termal pada Solid (Tahta et al., 2012) Terdapat banyak fasa perubahan yang dapat terjadi ketika suatu solid dipanaskan. Setiap fasa tersebut memberikan respon berbeda ketika dilakukan pemanasan. Ketika dipanaskan fasa kristalin mengalami perubahan fasa kemudian terdekomposisi. Sementara fasa amorfus mengalami perubahan menjadi fasa glass sebelum terdekomposisi. Respon ini merupakan pengaruh dari pelepasan atau penyerapan energi panas (entalpi). T Sampel Referensi Heat Sink Termokopel Tungku ∆T Gambar 10. Skematis Komponen DTA (Tahta et al., 2012) Universitas Sumatera Utara 15 DTA mengukur perbedaan temperatur antara sampel dan material referensi, yang kemudian dikonversi menjadi perubahan entalpi. Perhitungan entalpi DTA dilakukan menggunakan metode perubahan massa. Material referensi merupakan material atau substance yang secara termal inert dan tidak mengalami perubahan fasa pada rentang temperatur tertentu. Material referensi, misalnya safir atau alumina, digunakan untuk mengestimasi faktor konversi. Material inert yang digunakan tidak mengalami perubahan struktur dengan perubahan panas selain panas laten. Jika terdeteksi bahwa tidak terdapat perbedaan temperatur antara sampel dan material referensi berarti sampel tidak mengalami perubahan kimiawi ataupun fisik. Jika terdapat perubahan temperatur, maka sampel dapat teridentifikasi dikarenakan kurva DTA berfungsi selayaknya finger print bagi material. 0.2 + (5) 0.0 ∆T ( oC ) DTA SIGNAL EXOTHERM 0 ENDOTHERM (4) -0.2 (1) (6) (2) -0.4 (3) FURNACE TEMPERATURE -0.6 0 100 200 300 400 500 o Temperature C Gambar 11. Kurva DTA (Tahta et al., 2012) Kurva endotermik biasanya menandakan adanya perubahan fisik. Sementara kurva eksotermik menandakan adanya perubahan (reaksi) kimia. Kurva endotermik yang tajam menandakan adanya perubahan kristalinitas. Kurva endotermik yang lebar menandakan adanya reaksi dehidrasi (Yang & Roy, 1996). Prinsip dasar TG adalah perubahan temperatur yang menyebabkan terjadinya perubahan berat. Apabila temperatur sampel (Ts) lebih besar dari temperatur pembanding (Tr) yang terjadi adalah reaksi pertambahan berat (+TG). Apabila temperatur sampel (Ts) lebih kecil dari pada temperatur pembanding (Tr) maka yang terjadi adalah reaksi pengurangan berat (-TG) (Safira, 2016). Universitas Sumatera Utara 16 Berdasarkan penelitian dari Aksu, 2013, menjelaskan bahwa kedua puncak eksotermik dan endotermik bergeser ke temperatur yang lebih tinggi dengan kenaikan laju pemanasan seperti yang diharapkan. Hasil pengukuran mengenai eksperimen termal dalam hal ini, menunjukkan bahwa sensitivitas dan prosedur kalibrasi sangat penting dalam jenis penelitian ini. Tingkat pemanasan memainkan peranan penting dalam pembentukan MgB2, sehingga saat temperatur reaksi bergeser ke temperatur yang lebih tinggi maka laju pemanasan meningkat karena durasi reaksi antara atom Mg dan B tidak cukup pada temperatur yang lebih rendah. Hasil kurva DTA/TGA dapat dilihat pada gambar 12 (Aksu, 2013). Gambar 12. Kurva DSC Untuk Bubuk Campur Mg:B (1:2), Laju Pemanasan 5, 7,5, 10 dan 150C/min. Pada Grafik Menunjukkan Kurva Turunan dari Kurva DSC (Aksu, 2013) Berdasarkan hasil penelitian Kadam et al, dari plot DTA/TGA campuran bubuk kelebihan Mg dan MgB2 diamati bahwa saat temperatur mulai naik dari temperatur kamar, bubuk kehilangan beratnya dalam tiga langkah yang berbeda sekitar 6000C. Langkah pertama adalah dari temperatur kamar sampai 1000C, penurunan berat ini dikaitkan dengan hilangnya kelembaban teradsopsi (terserapnya bubuk). Langkah kedua, kehilangan berat pada temperatur kisaran 100-4000C disebabkan oleh hilangnya residu larutan organik dalam bubuk yang diendapkan. Namun, langkah yang ketiga pada kisaran temperatur 4000C sampai sekitar 5000C, diamati sangat sedikit hilangnya campuran dan dikaitkan dengan penguapan bubuk Mg dalam rezim ini (Kadam et al, 2009). Universitas Sumatera Utara 17 2.8 Teknik Perlakuan Panas (Heat Treatment) Perlakuan panas merupakan proses pemanasan dan pendinginan bahan yang terkontrol dengan maksud merubah sifat fisik untuk tujuan tertentu. Perlakuan panas terdiri dari beberapa tipe. Salah satunya berupa sintering. Sintering digunakan untuk meningkatkan kerapatan sampel sesuai dengan struktur mikro dan komposisi fase yang diinginkan (Saputra, 2010). Temperatur sintering biasanya dilakukan di bawah titik leleh bahan dasarnya. Melalui proses ini terjadi perubahan struktur mikro seperti pengurangan jumlah dan ukuran pori, pertumbuhan butir (grain growth), peningkatan densitas dan penyusutan (shrinkage). Faktor yang menentukan proses dan mekanisme sintering adalah jenis bahan, komposisi bahan dan bahan pengotor (Reynen & Bastius, 1986). Mekanisme perpindahan materi (difusi) selama sintering dapat berlangsung melalui difusi volume, difusi permukaan, difusi batas butir, difusi secara penguapan dan kondensasi. Tiap-tiap difusi akan memberikan efek terhadap perubahan sifat fisis bahan setelah sintering, antara lain perubahan densitas, porositas, penyusutan, dan pembesaran butir. Dengan adanya difusi, maka terjadi kontak antara partikel dan terjadi suatu ikatan yang kuat diantara partikel-partikel. Selain itu terjadi juga rekonstruksi susunan partikel yang dapat menghilangkan atau mengurangi pori-pori yang berada diantara partikel. Umumnya peningkatan densitas, pengurangan dan penyusutan disebabkan karena adanya difusi volume dan difusi antar butir (Ristic, 1989). Sintering dilakukan dengan pemanasan cuplikan yang telah dicetak berbentuk pelet pada temperatur tinggi tertentu. Penurunan temperatur dari temperatur sintering secara teratur dan perlahan dilakukan untuk proses pengurangan tekanan internal, menstabilkan bentuk dimensi dan memperhalus ukuran butir. Dengan demikian tahapan annealing tidak perlu dilakukan (Margono, 1997). Terdapat tiga tahapan sintering, yaitu: 1. Tahap awal Secara mikrostruktural pada keadaan awal terdapat pemuaian, belum terjadi proses sintering dan susunan patikel tidak berubah. Selama sintering tahap awal terjadi penyusunan kembali (rearrangement), yaitu sedikit gerakan atau rotasi partikel untuk mempertinggi jumlah kontak antar partikel dan pembentukan kaitan antar butir (neck). Universitas Sumatera Utara 18 2. Tahap kedua Pada tahap kedua ukuran kaitan antar butir tumbuh dan porositasnya menurun dikarenakan partikel-partikel saling mendekat. Pada tahap ini mulai terjadi pertumbuhan butir (grain growth), terbentuk pori yang berbentuk pipa, jarak antar butir semakin dekat dan terjadi penyusutan. 3. Tahap akhir Pada tahap ini pori yang berbentuk pipa akhirnya menjadi pori yang bulat, ukuran butir meningkat dan laju penyusutan pori lebih kecil (Oktara et al., 2007). Tahap awal Tahap kedua Tahap akhir Gambar 13. Pertumbuhan Ikatan Mikrostruktur Antar Partikel Selama Proses Sintering (Subekti, 2011) 2.9 X-Ray Diffraction (XRD) Sinar-X ditemukan oleh Wilhelm Conrad Roentgen pada tahun 1895. Roentgen menemukan sejenis radiasi yang keluar dari sebuah tabung muatan (discharge tube) yang karena misteriusnya diberi nama sinar-X. Sinar-X pada tabung muatan ini terbentuk dengan cara pemberian beda tegangan pada elektroda-elektroda tabung yang menghasilkan sinar elektron yang ditumbukkan ke bahan tertentu (Nisa, 2016). Teknik difraksi X-Ray Diffraction (XRD) sangat penting untuk mengetahui sifat-sifat bahan seperti logam, paduan logam, keramik, polimer, dan sebagainya. Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi fase-fase pada sampel, ukuran butir, tekstur dan struktur kristal. Informasi yang dapat diperoleh berupa posisi puncakpuncak difraksi, intensitas dan bentuk puncak difraksi. Posisi spasial dari sinar-X yang didifraksikan oleh sampel mengandung semua informasi geometri dari kristal. Intensitas sinar-X berhubungan dengan jenis atom dan susunannya dalam kristal. Ketajaman sinar-X yang didifraksikan Universitas Sumatera Utara 19 merupakan ukuran dari kesempurnaan kristal. Setiap bahan memiliki pola difraksi tertentu dengan intensitas dan sudut difraksi (2θ) yang berbeda-beda. Suatu kristal dapat mendifraksikan sinar-X karena panjang gelombang sinar-X berada di sekitar jarak antar bidang kristal. Sinar-X yang digunakan untuk difraksi memiliki panjang gelombang dalam range 0,3 - 2,5 Å. Difraksi terjadi jika interaksi antara sinar-X dengan kisi pada bidang kristal menghasilkan interferensi konstruktif berupa puncakpuncak intensitas. Interferensi konstruktif terjadi jika panjang gelombang dan sudut difraksi memenuhi hukum Bragg (Van Vlack, 1991). Hukum Bragg memenuhi persamaan berikut: 𝑛𝜆 = 2𝑑ℎ𝑘𝑙 sin 𝜃 Dengan: (2.1) 𝜆 = panjang gelombang sinar x 𝑑ℎ𝑘𝑙 = jarak antar kisi kristal 𝜃 = sudut datang sinar n = orde difraksi (1,2,3 dan seterusnya) (Triaminingnsih, 1998). Pada tahun 2004, Yan et al melaporkan bahwa sampel disintering pada 6000C memiliki MgB4 dan kemurnian fasa MgO dan sampel disintering di atas 6500C memiliki lebih kemurnian MgO sebagai kenaikan temperatur. Sampel yang dibuat pada suhu 6500C adalah fasa tunggal dengan sedikit kotoran MgO. Hasilnya menunjukkan bahwa perbedaan antara Mg dan B tidak cukup apabila temperatur proses di bawah 6500C. Pola XRD MgB2 bulk sintesis dengan temperatur berbeda dapat dilihat pada gambar 14. Gambar 14. Pola XRD MgB2 Bulk Sintesis dengan Temperatur Berbeda (Yan et al., 2004) Universitas Sumatera Utara 20 Pada tahun 2013, Aksu melaporkan pola difraksi sinar-X dari sampel yang disintering pada temperatur yang berbeda untuk menentukan pembentukan dari fasa MgB2. Aksu melaporkan bahwa bahwa sintesis MgB2 dengan temperatur sintering 5000C, 5500C dan 6000C masih memperlihatkan fasa Mg yang dominan dan disertai dengan jumlah kecil fasa MgO dan MgB2. Namun keberadaan MgO dan puncak Mg, MgB2 secara bertahap menjadi fasa dominan untuk sampel yang dihasilkan pada temperatur yang lebih tinggi dari 6000C. Untuk sampel yang dihasilkan pada temperatur lebih tinggi dari 7500C, fasa Mg tidak terdeteksi pada gelombang MgB2 yang terbentuk struktur kristal heksagonal dengan kelompok ruang P6/mmm. Pembentukan optimal fasa MgB2 pada temperatur diatas 8000C-9000C yang dapat dilihat dalam pola XRD pada gambar 15. Gambar 15. Pola XRD dari Sampel MgB2 yang Disintering pada Sembilan Temperatur Selama 1 Jam (Aksu, 2013) Universitas Sumatera Utara 21 2.10 Scanning Electron Microscope-Energy Dispersive X-Ray (SEM-EDX) Scanning Electron Microscope (SEM) adalah jenis mikroskop elektron yang menggunakan elektron untuk menghasilkan citra dalam bentuk gambar dari sampel dengan scanning sinar elektron yang terfokus. Berkas elektron umumnya di scan dalam pola scan raster, dan posisi balok ini dikombinasikan dengan sinyal terdeteksi untuk menghasilkan gambar (Yahya et al., 2017). SEM didesain untuk menyelidiki permukaan dari objek solid secara langsung yang memiliki perbesaran 10 - 3000000x, depth of field 0.4 - 4 mm dan resolusi sebesar 1 - 10 nm. Fungsi utama SEM antara lain dapat digunakan untuk mengetahui informasi mengenai: a. Topografi, yaitu ciri-ciri permukaan dan teksturnya (kekerasan, sifat memantulkan cahaya, dan sebagainya). b. Morfologi, yaitu bentuk dan ukuran dari partikel penyusun objek (kekuatan, cacat pada Integrated Circuit (IC), chip, dan sebagainya). c. Komposisi, yaitu data kuantitatif unsur dan senyawa yang terkandung di dalam objek (titik lebur, kereaktifan, kekerasan, dan sebagainya). d. Kristalografi, yaitu informasi mengenai bagaimana susunan dari butirbutir di dalam objek yang diamati (konduktifitas, sifat elektrik, kekuatan, dan sebagainya) (Prasetyo, 2012). Prinsip kerja SEM adalah menembak permukaan benda dengan berkas elektron berenergi tinggi. Secara lengkap skema SEM dijelaskan pada gambar 16. Gambar 16. Skema SEM (Atteberry, 2009) Universitas Sumatera Utara 22 Berdasarkan gambar 16, elektron dihasikan oleh sebuah sumber elektron yang disebut electron gun dan dipercepat oleh anoda. Vacuum chamber dibutuhkan agar berkas elektron yang dihasilkan oleh electron gun akan menemukan interferensi konstan dari partikel udara di atmosfer, sehingga tidak akan merusak permukaan spesimen. Elektron tersebut ditembakkan ke arah sampel yang difokuskan oleh condenser lens. Scanning coils mengarahkan sinar elektron yang terfokus memindai (scan) ke seluruh sampel. Ketika elektron mengenai sampel yang diletakkan pada sample chamber, maka sampel akan mengeluarkan elektron baru. Selanjutnya elektron tersebut diperkuat dan besar amplitudonya ditampilkan pada layar monitor Cathode Ray Tube (CRT) dengan pola gelap-terang. Pada layar CRT gambar struktur sampel diperbesar dan bisa dilihat (Rahmat, 2011). Interaksi elektron dengan atom sampel akan menghasilkan berbagai macam sinyal termasuk diantaranya Secondary Electron (SE) dan Back Scattered Electron (BSE) (Qulub, 2011). Pada tahun 2004, Yan et al melaporkan bahwa reaksi keadaan padat antara partikel Mg dan partikel B tidak dapat menginduksi porositas dalam jumlah besar setelah pembentukan MgB2. Temperatur sintering memiliki efek yang luar biasa pada kepadatan MgB2 dan menunjukkan bahwa kabel MgB2 dan pita perekat dengan kerapatan tinggi dapat dibuat pada temperatur 8000C, yang dapat dilihat pada gambar 17. Gambar 17. Morfologi SEM MgB2 pada Temperatur 8000C (Yan et al., 2004) Berdasarkan gambar 17, bahwa kondisi dinamis termal pada 8000C atau yang tinggi akan mendorong peningkatan ukuran butiran MgB2 (Yan et al., 2004). Pada Universitas Sumatera Utara 23 tahun 2007, Yan et al melakukan penelitian morfologi dari dua MgB2 bulks yang disiapkan mulai dari Mg + B (sampel I) atau MgB4 + Mg (sampel II) dan campurancampuran telah diselidiki oleh Scanning Electron Microscope. Mikrostruktur dari sampel I menunjukkan sebuah porositas lebih besar dibandingkan dengan sampel II. Di sisi lain, ternyata rata-rata ukuran butir sampel II lebih kecil dari pada sampel I, mungkin karena pertumbuhan kristal dan penggabungan butir selama perlakuan panas menjelang akhir. Mikrostruktur dari sampel II menjadi lebih padat dan lebih ringkas dibandingkan dengan sampel I. Pada sampel II, residu MgB4 + Mg yang tidak bereaksi, partikel MgO, dan kristal MgB2 diidentifikasi oleh Energy Spektroskopi Dispersive (EDS): tampaknya, ini menunjukkan perbedaan morfologi dan dapat dengan mudah dibedakan; masing-masing MgB2 terbentuk menjadi padat karena adanya campuran MgB4 dan Mg yang dapat dilihat pada gambar 18. Gambar 18. Hasil Uji SEM dari Dua MgB2 Bulk yang Disiapkan Mulai dari Mg + B (a, c) dan MgB4 + Mg (b,d) (Yan et al., 2007) Energy Dispersive X-Ray (EDX) menggunakan spektrum sinar-X yang diemisikan oleh sampel padat dengan sinar elektron terfokus untuk mendapatkan analisis kimia suatu area. Analisis kualitatif EDX meliputi identifikasi garis dalam spektrum. Sedangkan analisis kuantitatif berupa penentuan konsentrasi unsur melalui Universitas Sumatera Utara 24 pengukuran intensitas garis untuk setiap unsur dalam sampel dan untuk unsur-unsur yang sama dalam standar kalibrasi dari komposisi yang diketahui. Dengan scanning sinar dalam raster dan menampilkan intensitas garis sinar X dipilih, gambar distribusi unsur atau map dapat dihasilkan. SEM juga dapat digunakan untuk mapping unsur jika ditambahkan spektrometer X-ray (Nisa, 2016). 2.11 Cryogenic Magnet Cryogenic magnet adalah teknologi vakum dan pemampatan/ekspansi gas yang berdasarkan pada prinsip Four-Point Probe (FFP) berguna dalam menurunkan temperatur gas Helium, sehingga dalam menciptakan kondisi temperatur super rendah jauh lebih sederhana. Metode pengukuran four-point probe adalah salah satu metode untuk mengukur resistivitas (Callister & Rethwisch, 2007; Schuetze et al. 2004). dc power supply Ammeter A Digital Voltmeter V Voltage Probes Current Ptobe 1 2 3 4 Current Probe Gambar 19. Skema Pengukuran Resistivity Memakai Metode Four Point Probe (Imaduddin et al., 2014) Aliran arus pada FPP membentuk pola setengah bola sehingga luas yang dialiri arus adalah A = 2 𝜋𝑟 2 , dan untuk memperoleh resistivitas sampel digunakan persamaan sebagai berikut: 𝜌=R Dengan: 𝐴 (2.2) 𝑙 𝜌 = Resistivitas (Ohm.m) A = Luas Penampang (m2) 𝑙 = Panjang sampel (m) R = Resistansi (Ohm) (Schuetze et al., 2004) Universitas Sumatera Utara