Virus Korupsi ala Pendidikan Eufrasia Kartika H

advertisement
Dialektika Edisi 07 Tahun 2011
ISSN 1858-3857
Virus Korupsi ala Pendidikan
Eufrasia Kartika H
Headline korupsi yang mewarnai Lembaga Politik Indonesia, ternyata menularkan virusnya
di Lembaga Pendidikan. Begitu banyak perilaku koruptif yang menciderai Pendidikan
Indonesia. Jika dunia pendidikan yang menjadi tumpuan terahir utuk membentuk moralitas
peserta didik sudah terjangkit virus korupsi. Lantas bagaimana perilaku lulusannya nanti?
Wakil Walikota FX Hadi Rudyatmo dalam wawancara dengan solopos (Senin, 31 Januari
2011) mengatakan bahwa Beliau berharap sekolah- sekolah terutama sekolah di Solo jangan
hanya berorientasi pada tingginya tingkat kelulusan siswa. Melainkan kualitas pendidikan
tetap menjadi prioritas utama.
Pernyataan beliau mengisyaratkan bila hingga saat ini
sekolah- sekolah di Indonesia terutama sekolah di Solo masih terbelenggu dalam mencetak
generasi penerus bangsa berdasarkan jumlah angka kelulusan.
Virus Korupsi
Ketika Para siswa setingkat SMA hingga SD akan mengikuti ujian nasional. Hari-hari mereka
dilewati dengan mengerjakan try out dan beberapa latihan ujian. Semua soal yang di berikan
kepada mereka hanya mengukur pada aspek kognitif semata. Mereka dituntut untuk mampu
lulus dengan hanya bermodalkan sebatang pensil dan penghapus untuk menjawab pilihan
ganda. Waktu bertahun-tahun yang mereka habiskan untuk mengemban tugas belajar hanya
ditentukan berdasarkan hitungan hari. Bahkan lebih parahnya lagi aspek utama penunjang
kelulusan siswa hanya dinyatakan melalui sebuah nilai.
Siswa yang dianggap berhasil adalah siswa yang mendapatkan nilai terbaik dalam kelulusan.
Sedangkan mereka yang tidak lulus menunjukkan belum berhasilnya berproses dalam
Pendidikan Indonesia. Hal ini kontan memicu ketakutan para siswa, mereka melakukan
berbagai hal demi mendapatkan kata “LULUS” dalam ijazahnya. Tak hanya para siswa guru
pun sebagai orang yang bertanggung jawab dalam penciptaan karakter siswa juga kian
mencari strategi demi meluluskan anak didiknya.
Alhasil berbagai cara dilakukan oleh keduanya dimana menunjukkan indikasi perilaku
koruptif dalam berpendidikan. Misalnya : siswa menyontek saat UAN dan pengawas ujian
yang melihat akan diam saja, siswa membeli soal bocoran UAN dan guru pengampu
membeberkan seluruh jawaban dari soal tersebut, atau yang lebih parah lagi guru
membacakan semua jawaban saat pelaksanaan UAN di depan semua muridnya.
Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret
Page - 1
Dialektika Edisi 07 Tahun 2011
ISSN 1858-3857
Lain halnya dengan peserta didik setingkat universitas, Mahasiswa terus digembleng
berbagai macam penelitian guna menciptakan daya analisis ilmiah. Namun, di sisi lain
mereka di tawari kenikmatan duniawi dalam mengerjakannya yakni
praktek jual beli
skripsi, disertasi, atau bahkan thesis. Mereka terlena dengan hasil yang cepat kilat, sehingga
mereka sesegera mungkin dapat menikmati gelar sarjana dalam namanya. Universitas
seakan-akan berubah menjadi wahana kekuasaan dalam memperebutkan gelar. Apabila
gelar sudah berada dalam genggaman berarti visi-misi sebagai agen perubahan bangsa telah
selesai.
Kejadian di atas menjukkan peran lembaga pendidikan sebagai wadah pencetak anak
bangsa pun kian merosot. Lembaga pendidikan justru menjadi mesin : berlomba-lomba
meluluskan para murid
atau mahasiswanya, mengestimasi keuntungan serta kerugian
dalam keuangan yang berujung pada bisnis semata. Kiranya lembaga pendidikan makin
keluar dari filosofi pendidikan itu sendiri.
Pendidikan Indonesia berangkat dari sejarah yang sama dengan barat, khususnya Eropa.
Gagasan pendidikan sebagai dasar pengetahuaan dan bernegara yang masih jauh dari
Masyarakat Indonesia, disederhanakan polanya sejak Politik Etis pada akhir abad ke- 19
hingga ke -20. Tujuan utama Pendidikan Indonesia pada masa lalu adalah untuk
mewujudkan cita-cita ideal yang menguap. Kedudukan pendidikan, pada masa kolonial
hanya sebatas pembentukam elit lokal di sejumlah daerah.
Berakar dari sejarah itulah pendidikan hanya dijadikan symbol status sosial yang tak
terpisahkan, karena tetap ditujukan kepada kelompok tertentu, yaitu priyayi. Begitu
mudahnya mereka yang menyandang status upper class merasakan nikmatnya pendidikan
masa lalu. Meski dalam skala terbatas dan minim ketimbang anak-anak kolonial itu sendiri.
Lantas, mereka yang termasuk dalam kaum pribumi hanya sanggup bekerja demi
memuaskan dahaga laparnya. Kondisi yang demikian, tetap dipertahkan hingga sekarang.
Keinginan ideal untuk merasakan kesetaraan dan kebersamaan dalam dunia pendidikan
makin jauh dari angan-angan. Hingga berujung pada munculnya perilaku koruptif di dalam
lingkungan itu sendiri.
Pendidikan
memang
sangat
menunjang
kehidupan
manusia.
Jangan
kita
keliru
mempersepsikan bahwa pendidikan selalu terkait dengan lembaga formal yang berfasilitas
serba modern dan mengedepankan nilai akademis semata. Atau yang lebih parah lagi,
Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret
Page - 2
Dialektika Edisi 07 Tahun 2011
ISSN 1858-3857
menjadikan selembar ijazah sebagai tolak ukur keberhasilan sebuah pendidikan. Prespektif
yang demikian akan menjauhkan kita untuk menjadi bangsa yang sukses.
Esensi berharga dalam pendidikan adalah bagaimana kita semua belajar dan berproses
menjadi pribadi yang utuh, masyarakat yang hebat, dan mengasah kepekaan kita dalam
mengelola integritas dan kebersamaan bersama orang lain. Mendapat nilai baik dan
penghargaan dalam dunia pendidikan memang dirasa diperlukan. Tapi, yang dirasa penulis
lebih penting adalah proses dalam pencapaian semua hal itu. Melalui adanya sebuah proses
akan menempa pribadi kita untuk mengkritisi segala hal.
Iklim belajar yang demikian perlu diterapkan dalam setiap lembaga pendidikan di Indonesia.
Bersama-sama merubah pandangan akan pentingnya meraih gelar, atau mendapat nilai
bagus dengan menciptakan suasana interaksi dan dialog sehat dalam lingkungan pendidikan.
Lembaga pendidikan kita jadikan wadah untuk mencetak anak bangsa berkharakter bukan
lagi mesin yang hanya mencetak manusia-manusia penyabet gelar.
Dengan demikian, mari kita wujudkan iklim pendidikan yang mengedepankan sebuah proses
bagi siapa saja. Karena sebenarnya ukuran keberhasilan sebuah pendidikan adalah proses
itu sendiri. Proses yang panjang dan diyakini akan mengarah pada suatu keberhasilan, tentu
saja akan mewujudkan kualitas pendidikan yang bermakana bagi kita semua.
Sosiologi FISIP Universitas Sebelas Maret
Page - 3
Download