Menyoal Kebijakan Stabilisasi Rupiah

advertisement
11/10/2008
Menyoal Kebijakan Stabilisasi Rupiah∗
Oleh Sunarsip
Ekonom Kepala The Indonesia Economic Intelligence
Minggu lalu, Bank Indonesia (BI) mengumumkan bahwa posisi cadangan devisa (cadev) kita
tinggal US$50,58 miliar atau berkurang US$6,53 miliar dibandingkan pada awal Oktober lalu yang
mencapai US$57,11 miliar. BI juga mengumumkan untuk tetap mempertahankan BI Rate di posisi
9,5% dalam rangka mengamankan inflasi akibat depresiasi Rupiah (Bisnis, 7 November). Ironinya,
sehari setelah pengumuman itu, Rupiah justru melemah dan berada di level Rp11.000-an per US$.
Terkait dengan penurunan cadev, BI menyatakan bahwa hal itu dipicu oleh penurunan harga
minyak mentah sehingga ekspor migas terkoreksi. Sayangnya, BPS baru akan mengeluarkan data
ekspor bulan Oktober pada awal Desember nanti, sehingga kita belum tahu seberapa besar dampak
penurunan harga minyak terhadap ekspor migas kita. Namun, satu hal yang perlu diketahui bahwa
penurunan cadev jelas bukan semata-mata karena turunnya nilai ekspor. Penulis melihat bahwa
turunnya cadev juga sebagai akibat dari kegiatan intervensi BI ke pasar untuk menstabilkan Rupiah.
Dengan kenyataan bahwa kurs Rupiah tak kunjung menguat, tampaknya BI perlu melihat kembali
kebijakan stabilisasi Rupiah yang dilakukannya saat ini.
Peran Moneter dan Fiskal
Indonesia menganut sistem devisa bebas dan sistem nilai tukar mengambang (free floating
exchange rate). Konsekuensinya, setiap terjadi gejolak eksternal, Indonesia pun akan ikut dalam arus
tersebut. Kita menyaksikan bahwa setahun ini, bursa kita (bursa efek dan komoditas) terus bergerak
(naik turun) mengikuti apa yang terjadi di luar, khususnya di Amerika Serikat (AS). Ketika harga saham
dan komoditas di bursa New York bergerak naik secara tidak rasional, kondisi ini pun direspon secara
tidak rasional pula oleh bursa kita. Kalau mau jujur, ketika bursa efek mengalami bullish karena
ditopang oleh kenaikan secara tajam indeks saham sektor pertambangan, sesungguhnya tidak sedikit
kenaikan indeks tersebut adalah bubble. Makanya, ketika pasar keuangan global turun dratis, bursa
efek kita juga mengalami koreksi yang sangat tajam.
Tidak hanya bursa efek, sebagai instrumen transmisi ekonomi, nilai mata uang juga bergerak
naik turun sesuai dengan arah pasar. Ketika pelaku pasar melihat bahwa krisis keuangan global ini
akan berpengaruh terhadap kinerja perekonomian negara partner, mata uang negara partner juga akan
terkoreksi. Sehingga tidak mengherankan, ketika prospek ekonomi AS dan global tidak kunjung
membaik, kurs Rupiah juga mengalami korreksi, seperti yang ditunjukkan oleh depresiasi kurs Rupiah
saat ini. Dalam situasi seperti ini, Batiz (1985) mengatakan bahwa gejolak eksternal semestinya
diredam melalui kebijakan penyesuaian kurs, sehingga suku bunga di dalam negeri tidak perlu
bergejolak. Bila kini BI merespon krisis saat ini dengan kebijakan suku bunga tinggi, tentu menjadi
pertanyaan: apakah kebijakan ini akan efektif meredam dampak krisis keuangan global ini?
Dalam rejim ekonomi yang memberlakukan liberalisasi keuangan, konsekuensi yang harus
ditanggung ketika terjadi krisis memang menjadi berat dan cenderung costly. Kebijakan stabilisasi
Rupiah tidak bisa dilakukan hanya mengandalkan instrumen moneter, baik itu melalui intervensi pasar
maupun kebijakan suku bunga. Intervensi pasar, misalnya, bila tidak tepat penerapannya (misalnya
diterapkan pada saat sentimen pasar sedang tidak baik) justru bisa menimbulkan efek psikologis yang
tidak baik bagi kinerja Rupiah itu sendiri. Terutama, bila posisi cadangan devisa sedang tertekan. Oleh
karena itu, intervensi pasar hanya efektif dilakukan ketika sentimen pasar sedang positif sehingga
semakin memperkuat tekanan ke arah penguatan kurs Rupiah. Selain itu, effektifitas intervensi juga
tergantung adanya dukungan kebijakan di sektor lain.
-1-
11/10/2008
Selain sisi moneter, penguatan kurs Rupiah juga perlu membutuhkan dukungan dari sisi fiskal.
Dari sisi fiskal, upaya stabilisasi Rupiah terutama dilakukan dengan menggunakan instrumen di sisi
belanja dan pembiayaan APBN. Sebagai contoh, saat ini pembiayaan defisit APBN banyak dilakukan
melalui penerbitan Surat Utang Negara (SUN). Penerbitan SUN, tidak hanya berguna bagi pembiayaan
defisit APBN, namun juga untuk memperkuat neraca pembayaran dan meningkatkan pasokan devisa.
Tingginya devisa akan positif bagi penguatan kurs Rupiah. Namun demikian, penerbitan SUN yang
kurang terukur, justru bisa menimbulkan crowding out effect seperti krisis likuiditas.
Dalam kondisi pasar sedang jatuh, peluang untuk menerbitkan SUN kini menjadi semakin kecil.
Dengan demikian, upaya menambah pasokan devisa melalui SUN juga tertutup. Dalam kondisi seperti
ini, penulis mengusulkan agar melakukan inventarisasi terhadap sejumlah komitmen pinjaman yang
sudah dibuat untuk segera direalisasikan pencairannya. Sama dengan penerbitan SUN, tujuan dari
langkah ini adalah untuk menambah pasokan devisa dalam rangka meningkatkan kepercayaan pasar.
Kontrol Modal
Beberapa pihak menyebut bahwa efek dari krisis keuangan global ini terhadap perekonomian
Indonesia bisa lebih besar dari yang dirasakan sekarang. Ini mengingat, krisis saat ini terjadi di pusat
ekonomi dunia (AS) yang tentunya dapat memberikan efek secara berantai. Terlebih lagi, proyeksi
menyebutkan bahwa prospek ekonomi AS akan sangat berat. IMF dalam update proyeksi ekonomi
bulan November ini menyebutkan bahwa pada tahun 2009, AS diperkirakan mengalami pertumbuhan
negatif -0,7%, padahal proyeksi bulan Oktober lalu AS masih mengalami pertumbuhan positif 0,1%.
Dengan proyeksi ini, perekonomian dunia pada tahun 2009 diperkirakan hanya 2,2%, dari semula 3%.
Dengan proyeksi seperti ini, tampaknya peluang bagi penguatan kurs Rupiah menjadi semakin
berat. Dengan kemungkinan ini, penting bagi pemerintah dan BI untuk menempuh kebijakan yang
berbeda dengan mekanisme yang berlaku dalam sistem keuangan bebas. Penulis melihat bahwa
pilihan untuk berpaling pada kebijakan kontrol modal menjadi hal yang paling realistis. Mengapa?
Pertama, kita memiliki keterbatasan cadangan devisa. Langkah stabilisasi Rupiah melalui
intervensi pasar tidak akan efektif dan justru akan semakin menguras cadangan devisa. Penerapan
kontrol modal untuk ativitas investasi jangka pendek, justru dapat melindungi neraca pembayaran kita
serta mempertahankan cadangan devisa kita.
Kedua, di tengah krisis ekonomi saat ini, justru yang dibutuhkan adalah adanya stimulus, bukan
sebaliknya pengetatan likuiditas. IMF sendiri, dalam laporan terbarunya tersebut juga menganjurkan
agar negara-negara menciptakan beragam stimulus ekonomi. Kebijakan suku bunga tinggi dalam
rangka memperkuat Rupiah dan menahan laju inflasi, selain terbukti tidak efektif, juga costly terutama
bagi industri. Penerapan kontrol modal justru efektif untuk mempertahankan suku bunga di dalam
negeri sehingga dapat mengurangi domestic debt servicing cost dan menjaga laju inflasi.
Perlu disadari bahwa liberalisasi arus modal, bukan berarti transaksi modal tidak perlu
diregulasi. Terlebih lagi, arus modal cross-border memiliki beragam risiko yang perlu diantisipasi
seperti risiko kurs, suku bunga, likuiditas, dan country risk. Oleh karenanya, pemberlakuan
pembatasan pada jenis transaksi modal tertentu dapat dilakukan, yang secara tidak langsung berarti
telah ”memaksa” pelaku pasar ikut bertanggung jawab menjaga kestabilan ekonomi kita. Tidak seperti
sekarang, semua tanggung jawab stabilitas seolah hanya berada di pundak Pemerintah dan BI. ***
∗
Bisnis Indonesia, Senin, 10 November 2008
-2-
Download