Pengaruh Suplemen Hormon 20-Hidroksiekdison

advertisement
TlNJAUAN PUSTAKA
Sistematika dan Morfologi
Sistematika kepiting bakau yang juga dikenal sebagai kepiting lumpur
menurut Motoh (1977), Warner (1977) dan Moosa et al. (1985) adalah
sebagai berikut :
Filum
: Arthropods
Klas
: Crustacea
Ordo
: Decapoda
Famili
: Portunidae
Genus : Scylla De Haan, 1833 dan
Spesies : Scylla senata (Forskal, 1775)
Genus Scylla memiliki ciri-ciri panjang pasangan kaki jalan lebih
pendek daripada sapit, pasangan kaki terakhir berbentuk dayung. Karapaks
melebar ke arah anterolateral. Ruas dasar dari sungut (antena) biasanya
lebar, sudut anteroeksternal kerap kali berlobi dan flagel berada pada orbit
mata (Gambar 2).
Lebih jauh Motoh (1977) mengemukakan bahwa di dalam genus
Scylla terdapat tiga spesies masing-masing S. serrata, S. tranquebarica dan
S. oceanica serta satu varietas yakni S. serrata varietas paramamosain.
Untuk dapat membedakan keempatnya, Estampador (1949) dalam Moosa
et a1 . (1985) mempergunakan warna sebagai salah satu faktor pembeda
utama. Scylla
oceanica
dan
S. tranquebarica
mempunyai warna
mata
antena
I
I
I
.
I
I
&
i
abdomen
I
m
-
lebar kaapaks
daerah subhepar
sternum toraks .
rongga mulut
daerph
pterigostamlas
daerah bawah insang
massa telur .
(B)
t
Gambar 2. Morfologi kepiting yang bertelur dilihat dari arah dorsal (A)
dan ventral (B)
dasar hijau buah zaitun, sedangkan S. serrata dan S. serrata var.
paramamosain memiliki warna dasar hijau merah kecoklatan atau coklat
keunguan sampai keabu-abuan. Keempat jenis kepiting tersebut juga dapat
ditemukan di Indonesia (Moosa et al., 1985). Namun demikian, beberapa
peneliti mengemukakan bahwa perebedaan-perbedaan tersebut hanyalah
sebagai
variasi
individu
dalam
penyesuaiannya
terhadap
habitat.
Stephenson dan Campbell (1960) mengganggap bahwa keempat jenis
kepiting yang dikemukakan Estampador (1949 dalam Moosa et a/., 1985)
dan Motoh (1977) hanyalah merupakan satu jenis saja.
Untuk dapat membedakan antara kepiting jantan dan kepiting betina,
ditentukan dengan cara mengamati ruas-ruas pada abdomennya. Menurut
Moosa et al., (1985) pada kepiting jantan ruas-ruas abdomennya sempit,
sedangkan pada kepiting betina lebih lebar.
Daur Hidup
Estampador (1949 dalam Kasry, 1984) membagi perkembangan
kepiting bakau dalam tiga tahap yakni embrionik, larva dan pasca larva.
Telur akan menetas setelah tujuh belas hari dalam pemijahan, sedangkan
embrio tetap berkembang walaupun induknya telah mati (Ong, 1966 dalam
Hill, 1974). Sedangkan menurut Motoh (1977) perkembangan kepiting bakau
mulai dari telur sampai mencapai ukuran dewasa mengalami beberapa
tingkat perkembangan yaitu zoea, megalopa, kepiting muda dan kepiting
dewasa.
Kepiting bakau akan melangsungkan sebagian besar hidupnya pada
daerah estuaria dan daerah rawa mangrove (Macnae, 1968 dalam Hill,
1974). Setelah matang gonad kepiting bakau melakukan migrasi ke laut
untuk melepaskan telumya (Arriola, 1940).
Pakan dan Kebiasaan Makan
Menurut Arriola (1940) kebiasaan makan kepiting bakau adalah
pemakan bangkai (scavenge0 dan pemakan sesamanya (kanibal). Larva
kepiting memakan zooplankton, sedangkan pada tingkat kepiting muda
memakan ikan-ikan kecil, udang dan sejenisnya. Selain itu, menurut
Williams (1978) kepiting muda juga
menyukai moluska terutama
kekerangan.
Kepiting bakau aktif mencari pakan pada malam hari, terutama pada
periode bulan gelap. Aktivitasnya mencari pakan lebih dari satu kali dalam
semalam, terbukti dari frekuensi pengisian lambung kepiting bakau yang
dapat berlangsung beberapa kali (Hill 1976 dan Rajinder et a1 ., 1976 dalam
Hendriks, 1983). Berbeda dengan ha1 tersebut menurut Wedjatmiko dan
Yukasano (1990) kepiting bakau mencari pakan setiap saat dan nafsu
makan terbesar terjadi pada pukul 06.00-12.00.
Menurut Chen (1976), Lavina (1977) dan Anonim (1985) kepiting
bakau mempunyai sifat tidak memilih-milih pakan, dapat memakan segala
jenis pakan seperti isi perut dan daging ikan, isi perut hewan, siput, kulit
kodok, daging kerang-kerangan, sampah dapur, atau sisa-sisa pakan
lainnya. Selanjutnya Chen (1976) menjelaskan bahwa kepiting pada fase
megalopa bersifat karnivora dan setelah dewasa bersifat
omnivorous
scavenger. Ransum ikan rucah utuh yang diberikan pada kepiting bakau
langsung diterkam dengan sapitnya dan dicabik-cabik dengan rahangnya
yang kuat. Pakan yang hancur ketika dicabik-cabik tidak semua dapat
langsung ditelan sehingga beberapa bagian buyar ke dalam air dan
mengendap ke dasar wadah (Sulaeman dan Hanafi, 1992).
Pakan Buatan
Untuk mematangkan ovarium kepiting bakau, Salam
et a/. (1990)
memberikan hati sapi yang kandungan kolesterolnya tinggi sebagai sumber
pakan. Kebutuhan kolesterol untuk udang windu dalam pakan adalah 0,5
persen (Sikong, 1982). Sedangkan menurut Lim dan Persyn (1989)
kebutuhan udang windu akan kolesterol berkisar antara 0,5-1,25 persen.
Pemberian protein yang mengandung asam amino esensial
diperlukan untuk pertumbuhan jaringan dan organ. Lemak merupakan
komponen utama dari kuning telur dekapoda-krustasea dan berperan dalam
metabolisme yang berhubungan dengan aktivitas ganti kulit (Ezhilarasi dan
Subramoniam, 1984). Karbohidrat bagi udang selain sumber energi juga
berfungsi sebagai bahan baku untuk sintesis kitin (Pascual, 1980).
Primavera (1978) memberikan pakan buatan sebanyak lima persen
dari bobot tubuh untuk perawatan induk udang windu dengan komposisi
terdiri dari 90 persen cumi-cumi, lima persen annelida laut dan lima persen
pakan formula. Millamena et a/. (1986) menggunakan pakan buatan dengan
kandungan protein 52,80 persen dan lemak 12,14 persen. Bahan baku
untuk formulasi pakan digunakan daging cumi-cumi, daging kepala udang
dan daging ikan. Pemberian kombinasi pakan ikan lemuru dan kerang taut
dengan perbandingan 1:1 dapat lebih cepat memacu pematangan ovarium
induk kepiting bakau jika dibandingkan dengan kombinasi ikan rucah, cumicumi dan kerang, ikan lemuru serta kombinasi ikan lemuru dan cumi-cumi
(Rusdi, 1993). Penambahan tepung udang, tepung cumi-cumi atau kerang
hijau dapat meningkatkan daya pikat pakan yang diberikan kepada udang
windu (Murdinah, 1989).
Bahan pengikat terbaik untuk pembuatan pakan adalah karboksimetil
selulosa (CMC) dan tapioka masing-masing sebanyak lima persen dari
bobot formula pakan dengan lama pemanasan 45 menit (Murdinah, 1989).
Ukuran pelet disesuaikan dengan berat udang yang dipelihara. Pelet
berdiameter 1,O-1,5 mm diberikan kepada udang dengan berat 1-10g dan
diameter 1,5-2,5 mm untuk berat 10-50 g. Udang dengan berat lebih dari 50
g sebaiknya diberikan pelet berdiameter 2,5-3,O mm (Poernomo, 1985).
Pemberian pakan buatan dengan kandungan protein 34 sampai dengan 42
persen dan energi 2,9 sampai dengan 4,4 kkal per gram ransum untuk
udang
(P.
merguiensis)
dapat
menghasilkan
pertumbuhan
dan
kelangsungan hidup tertinggi (Sedgwick, 1979).
Pada
udang
perkembangan telur,
windu
yang
diablasi,
terutama
pada
masa
jumlah pakan yang diberikan dapat mencapai 30
persen dari bobot badan per hari (Nurdjana, 1979). Jumlah pakan yang
diberikan harus dalam jumlah yang cukup agar dapat dihindari timbulnya
sifat kanibalisme. Sehubungan dengan ha1 tersebut Gani (1988) dalam
penelitiannya menghasilkan pertumbuhan terbaik pada perlakuan kepiting
betina yang diberi pakan usus ayam sebanyak 30 persen dari bobot badan
dengan frekuensi pemberian pakan sekali sehari yakni pada malam hari.
Sedangkan hasil penelitian Bonga (1992) menunjukkan pemberian ikan teri
rebus menghasilkan pertumbuhan yang lebih tinggi dari perlakuan usus
ayam dan ikan teri segar.
Sistem Neurosekretori Tangkai Mata
Peran mata dalam reproduksi krustasea dipengaruhi oleh cahaya.
Menurut Primavera (1985) aspek cahaya yang umumnya mempengaruhi
reproduksi krustasea adalah intensitas, periode panjang hari (fotoperiod) dan
warna cahaya. Penelitian sistem endokrin pada krustasea telah dilakukan
secara terpisah pada tahun 1928 oleh Perkins yang mengamati
Palaemonetes dan
Keller yang
mengamati udang jenis
Crangon
menghasilkan keterangan yang sama bahwa perubahan warna yang terjadi
pada krustasea dikendalikan oleh bahan kimia yang mengikuti sirkulasi
hemolimfa (Carlisle dan Knowles, 1959).
Menurut Carlisle dan Passano (1953), organ-X merupakan sumber
penghasil bahan-bahan sekresi yang terdapat pada kelenjar sinus. Organ-X
terdiri dari sekelompok badan sel syaraf penghasil hormon. Organ-X
Brachyura terletak pada bagian dorsalateral tangkai mata, antena medula
eksterna dan medula interna. Organ-X kelompok Natantia terletak dekat kulit
luar dan biasanya pada bagian distal dari medula terminalis (Welsh, 1961).
Menurut Highnam dan Hill (1969) ditemukan perbedaan struktur sel
neurosekretori tangkai mata pada masing-masing kelompok krustasea
(Gambar 3). Organ-X Lysmata seticaudata terletak pada medula terminalis.
Palaemon setratus memiliki dua organ->(yang masing-masing terletak pada
medula eksterna dan medula terminalis. Gecarcinus lateralis juga memiliki
dua organ-X tetapi masing-masing terletak pada medula intema dan medula
terminalis.
Organ-X dan kelenjar sinus membentuk sistem neurosekretori yaitu
suatu sistem yang terdiri dari kompleks pars ganglionaris organ-X, saluran
kelenjar sinus dan kelenjar sinus. Kelenjar sinus merupakan tempat
pertemuan dari berbagai neurofibra neurosekretori dengan vasa sinusoidea
yang membentuk organ neurohemal (Carlisle dan Passano, 1953).
Menurut Adiyodi dan Adiyodi (1970) secara alami keadaan lingkungan
merupakan sumber rangsangan pertama yang mempengaruhi bekerjanya
susunan syaraf pusat. Jika keadaan belum memungkinkan perkembangan
sel telur, susunan syaraf pusat memerintahkan organ->( yang terletak pada
tangkai mata untuk menghasilkan GIH. Hormon GIH sebelum dilepaskan ke
organ sasaran terlebih dahulu disimpan dalam kelenjar sinus yang juga
terletak pada tangkai mata.
Fungsi GIH adalah secara langsung
menghambat perkembangan kelenjar androgen pada individu jantan atau
ovarium pada individu betina sehingga spermatozoa atau ovum terhambat
perkembangannya.
Selain itu, mempengaruhi perkembangan ovarium
secara tidak langsung dengan menghambat aktivitas organ-Y yang terletak
t
xoc
(8)
Lpmoto
~ccicoudotr
(b)
Poloemon
ae~totur
(c)
Gccorclnvr
loterolir
*.
Gambar 3. Set neurosekretori tangkai mata pada beberapa kelompok
krustasea (Highnam dan Hill, 1969) (dps : asesori spot
pigmen, nt : neurofibra neurosekretori dari otak ke kelenjar
sinus, lg : lamina ganglionaris, me : medula eksterna,
megx : medula eksterna ganglionik organ->(, mi : medula
interna, mt : meduia terminalis, sg : keienjar sinus, xsgt :
saluran kelenjar sinus dan kelenjar sinus, spx : pori sensori
organ->( dan xoc: penghubung organ->()
pada bagian kepala.
Jika organ-Y bekerja akan dihasilkan GSH yang
merangsang pembentukan spermatozoa pada individu jantan atau ovum
pada individu betina.
Organ mandibula lobster (Homams americanus) menghasilkan metil
farnesoat (MF) yang berperan sebagai aktivator organ-Y. Sintesis MF berada
dibawah kendali kelenjar sinus dengan cara meningkatkan kadar siklik GMP
(cGMP) pada organ mandibula. Siklik GMP adalah kurir kedua bagi kelenjar
sinus untuk menghambat sintesis MF oleh organ mandibula. Pada lobster
tidak ditemukan pengaruh dari siklik AMP (CAMP) (Tsukimura et a/. ,1993).
Metil farnesoat pada krustasea memiliki struktur dan peran yang sama
dengan hormon juvenil Ill yang dihasilkan oleh serangga (Borst dan Laufer,
1990). Selanjutnya, Tamone dan Chang (1993) mengemukakan bahwa MF
pada kepiting berperan sebagai stimulator dalam sekresi ekdisteroid.
Reseptor immunoreaktif ekdisteroid (RiE) pada lobster diidentifikasi
terletak pada otot ekstensor kaki jalan dan jaringan neuron tangkai mata.
Letak reseptor pada sel neuron tangkai mata berhubungan dengan organ->(
dan kelenjar sinus. Keberadaan RiE pada organ->( dan kelenjar sinus
menghasilkan mekanisme balikan (feedback mechanism) diantara organ-Y
dan organ->( yang berperan di dalam regulasi hormon ganti kulit. Aksi
seluler ekdisteroid dilakukan melalui rangsangan sintesis protein untuk
sediaan ekdisis (El Haj et a1.,1994). Konsentrasi ekdisteroid pada tangkai
mata ditemukan lebih tinggi daripada yang terdapat di dalam hemolimfa.
Menurut Yano dan Wyban (1992) pematangan ovarium Penaeus
vannamei dapat dilakukan dengan pemberian ekstrak otak lobster. Otak
lobster diduga dapat menstimulasi pelepasan GSH dari ganglion toraks P.
vannamei atau dikenal dengan gonad stimulating hormone-realising
hormone (GSH-RH). Lebih jauh dapat dibuktikan bahwa sekresi GSH-RH
hanya terjadi pada fase vitelogenesis.
Sirkulasi Hemolimfa
Sirkulasi hemolimfa pada kepiting, seperti halnya sirkulasi darah pada
organisme lain pada umumnya, berperan dalam transportasi hasil-hasil
metabolisme, distribusi hormon dan zat-zat lain yang mengatur fungsi sel.
Pada kepiting, hemolimfa dipompakan oleh jantung melalui arteri-arteri
sistem terbuka (haemocoelic) ke seluruh bagian tubuh sampai pada pangkal
kaki jalan (pereiopod). Dan jaringan, darah kembali ke jantung melalui sinus
infrabranchial dan afferent branchial
yang mengalirkan hemolimfa ke
jantung melalui lamela insang (Warner, 1977). Skema sirkulasi hemolimfa
kepiting disajikan pada Gambar 4.
lnformasi tentang mekanisme pengaliran hemolimfa kembali ke
jantung pada krustasea belum banyak diketahui. Sirkulasi darah dari bagian
posterior ke jantung pada serangga disebabkan oleh tekanan yang tinggi
pada pembuluh darah. Tekanan pembuluh darah ditimbulkan oleh tekanan
gas yang tinggi pada ruang abdomen yang menyebabkan penyempitan
pembuluh darah pada bagian posterior (Chapman, 1982).
C
arteri sefala
arteri melandas
sinus infrabrankial
-
-
-
4
Gambar 4. Diagram sistem sirkulasi hemolimfa kepiting (Warner, 1977)
Mekanisme Ganti Kulit
Tubuh kepiting dan krustasea pada umumnya disokong oleh lapisan
kutikula keras yang berperan sebagai rangka luar atau eksoskeleton.
Lapisan kutikula yang keras terdapat pada bagian luar tubuh dan otot
melekat pada bagian dalamnya (Warner, 1977).
Permukaan kepiting terdiri dari empat lapisan kutikula dan satu sel
lapisan epidermis yang terletak pada bagian dasar, sebagaimana yang
disajikan pada Gambar 5 (Carlisle dan Francis, 1959; Warner, 1977; Aiken,
1980; Chapman, 1982 dan Lockwood, 1989).
Pertumbuhan krustasea didahului oleh proses pelepasan kulit
(karapaks). Pertumbuhan tidak mungkin terjadi pada saat badan masih
terbungkus oleh kulit yang keras (Schaefer, 1968 dalam Villaluz et a/.,
1977 dan Kasry, 1984). Frekuensi ganti kulit dan penambahan ukuran setiap
ganti kulit, sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh suhu, cahaya, nutrisi,
interaksi antara organisme, habitat, kepadatan, musim, fase perkembangan
reproduksi serta potensi genetik.
Ganti kulit adalah semua rangkaian proses yang meliputi persiapan
untuk pergantian kutikula tua, pengelupasan, pembentukan kutikula baru,
peningkatan ukuran dan pembentukan jaringan (Carlisle dan Francis, 1959;
Passano, 1960; Chapman, 1982 dan Lockwood, 1989).
Krustasea seperti halnya pada serangga (Carslisle dan Francis , 1959
dan Chapman, 1982), proses ganti kulit dimulai dengan pembelahan sel-sel
epidermis secara mitosis menjadi berbentuk padat, rapat dan kolumnar
(Gambar 5). Akibat pembelahan sel-sel epidermis, terjadi tegangan pada
permukaan sel-sel epidermis dan kutikula terpisah dari cairan epidermis.
Cairan ganti kulit disekresi ke ruang antara kutikula dan epidermis sampai
kutikula baru sempuma. Pada tahap
pertama, cairan ganti kulit yang
mengandung enzim proteinase dan kitinase, mencerna semua endokutikula
dari kutikula lama dan menyisihkan hanya satu lapis selaput tipis yang
disebut selaput ekdisis. Hasil reaksi enzimatik terhadap kutikula tua yakni
N-asetilglukosamin (GlcNAc) akan digunakan untuk pembentukan kitin
selama persiapan ganti kulit kepiting Cancer pagurus (Regnault, 1996).
Pada fase persiapan ekdisis dilakukan penyerapan air dan udara
yang menyebabkan mengembangnya saluran pencernaan sehingga tekanan
hemolimfa meningkat. Melalui kontraksi otot, darah dipompa ke toraks
sehingga terjadi tekanan yang berlebihan terhadap kutikula lama dan
menyebabkan terpisah sepanjang garis lemah. Garis lemah pada kutikula
kepiting disebut garis epimeral (epimeral line).
Drach (1939 dalam Aiken, 1980) serta Carlisle dan Francis (1959)
membagi fase ganti kulit dekapoda pada umumnya atas empat fase utama,
masing-masing fase persiapan ekdisis (proekdisis), ekdisis, metekdisis dan
intermolt. Hiatt (1948 dalam Warner, 1977) mengklasifikasikan fase ganti
kulit kepiting Pachygrapsus crassipes atas lima fase utama, yakni (A) ganti
kulit, (B) pasca ganti kulit, (C) intermolt, (D) persiapan ganti kulit (premolt)
dan (E) ekdisis. Klasifikasi selengkapnya ditampilkan pada Tabel
Lampiran 1.
Menurut Skinner (1995), pelepasan MIH secara terus menerus
mengakibatkan organ-Y mengalami degenerasi atau kekurangan sumber
energi pada fase C4T. Selanjutnya, aktivitas ganti kulit dihentikan dan pada
kepiting dewasa berlangsung aktivitas reproduksi atau pertumbuhan
somatik.
Fungsi dan Mobilisasi Kalsium
Ion kalsium (ca2') berperan sebagai regulator esensial pada
beberapa sel dan fungsi pengembangan yang meliputi pematangan oosit,
pembuahan dan perkembangan larva partenogenesis.
Fungsi tersebut
dapat berjalan karena ion ca2' terlibat secara langsung dalam jalur
morfogenetik dan ion ca2' berperan dalam pengendalian kompleksitas
proses tersebut. Proses eksitasi seluler dan CAMP sangat bergantung
kepada transduksi sinyal yang secara umum melibatkan ion ca2'. Hal tersebut
menyebabkan ion
spesies
ca2*dapat
mengendalikan metamolfosis pada banyak
(Ilan et a/., 1993). Menurut Kramer et al (1988) ion ca2'
mempengaruhi sintesis CAMP melalui tiga tahapan, yakni memodulasi siklase
adenilat serta mengaktifkan fosfodiesterase dan fosfatase.
Proses ganti kuljt meliputi seluruh aktivitas fisiologis dan perubahan
morfologis yang menyertai rangkaian proses mulai dari persiapan sampai
dengan penyempurnaan ekdisis, Ganti kuljt pada krustasea meljputi mobilisasi
dan akumulasi cadangan Ca, fosfar (P) dan bahan organik k e dalam
hepatapankreas pada fase akhir intermalt Pembent u b karapaks baru diawali
dengan resorpsi material organik dan anorganik dari karapaks lama selama
fase persiapan ganti kulit (Wickins, 1982)Kondisi kekerasan karapaks berhuhungan erat dengan keseimbangan
C a dan P dalam tuhuh udang- Kedua mineral tersebut berperan d a h n
pembentukan forrnasi dan tingkat kekerasan karapaks, Kalsium dalarn bentuk
CaCas dan P dalarn bentuk &HPQ4 dengan rasio 1:l cukup berhasil
mempengaruhj sintesis karapaks baru, pertumbuhan dan kelangsungan hidup
(Bautista dan Baticados, 1990).
Brown (1944) menjelaskan proses absorpsi C a pada aktivitas ganti kulit
udang. Menjelang ganti kulit terjadi absorpsi Ca pada kulit luar d m
disimpan di dalam hepatopankreas. Setelah kulit luar dilepas, kulit b a u yang
masih lunak diperkuat oleh Ca yang dilepas kembali dari hepatopankreas dan
Ca yang diabsorpsi dari media perneliharaan.
Pelepasan karapaks tua (eksuvi) pada saat ekdisis diikuti dengan
absorpsi air dari media pemeliharaan dalam jumlah besar. Pembentukan dan
pengerasan karapaks menggunakan bahan cadangan material organik dan
anorganik yang berasal dari hemolimfa, hepatopankreas dan dari media
pemeliharaan. Proses ini terjadi selama fase pasca ganti kulit. Pertumbuhan
jaringan somatik berlangsung selama fase pasca ganti kulit dan awal intermolt
(Wickins, 1982). Pada fase intermolt konsentrasi Ca dan P sangat tinggi dalam
karapaks. Kadar Ca dan P sangat rendah dalam karapaks dan meningkat
dalam hepatopankreas pada akhir fase premolt. Hal ini menunjukkan bahwa
untuk pembentukan formasi dan pengerasan karapaks diperlukan mobilisasi
mineral (Bautista dan Baticados, 1990).
Hormon yang dihasilkan tangkai mata berfungsi untuk mengatur
metabolisme Ca. Hasil percobaan membuktikan bahwa kulit luar yang dilepas
pada waktu ganti kulit udang yang diablasi memiliki kandungan Ca yang lebih
rendah dari kulit luar yang dilepas oleh udang normal (Kleinholz, 1941). Proses
deposisi Ca atau kalsifikasi pada kutikula yang baru sangat dipengaruhi oleh
aksi Na' + K'-ATPase pada epiteliurn epidermal di bawah kutikula yang ditandai
dengan peningkatan secara drastis eksresi H' melalui insang dan peningkatan
kadar ca2' pada kutikula yang baru (Towle, 1993).
Kolesterol dan Hormon 20-Hidroksiekdison
Kelenjar protorakik ulat tembakau (Manduca sexta) menghasilkan CAMP
yang berpengaruh terhadap sintesis ekdison. Sebaliknya, cGMP yang dihasilkan
oleh kelenjar protorakik menghambat sintesis ekdison (Smith et al., 1984). Pada
kepiting Cancer antennarius produksi ekdison oleh organ-Y dihambat oleh
CAMP (Mattson dan Spaziani, 1985). Sekresi hormon ekdisteroid oleh kelenjar
protoraks serangga Manduca sexta dirangsang oleh hormon neuropeptida
protoraks (PPTH) (Watson et a/., 1996). Pada krustasea (Orcenectes limosus),
menurut Sedlmeier dan Keller (1981) peningkatan cGMP di hepatopankreas
dipacu oleh crustacean hyperglycemic hormone (CHH) yang dihasilkan oleh
kelenjar sinus. Menurut Gliscynski dan Sedlmeier (1993) mekanisme intrasel
CAMP dan cGMP sangat ditentukan oleh jenis protein kinase (A- dan G-kinase)
yang aktif pada organ-Y. Pada Orconectes limosus penghambatan terhadap
aksi MIH dilakukan melalui cGMP. Lain halnya pada Cancer antennarius ion
ca2' mengaktifkan CAMP-fosfodiesterase untuk menginduksi peningkatan
sintesis CAMP (Mattson dan Spaziani, 1986).
Steroidogenesis pada organ-Y sangat ditentukan oleh keberhasilan
peran CAMP yang mengubah adenosin trifosfat (ATP) menjadi 5' AMP. Aksi
CAMP sangat ditentukan oleh kadar Ca dan fosfodiesterase intraselluler
(Mattson dan Spaziani, 1986). Kadar Ca berkorelasi positif dengan peningkatan
sekresi ekdison. Selain itu, menurut (Watson et a/., 1996) aksi CAMP
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti protein kinase, fosforilase dan
perubahan sterol menjadi ekdisteroid.
Krustasea pada umumya perlu diberikan pakan yang mengandung
kolesterol karena tidak dapat mensintesis sterol yang diperlukan untuk
pembentukan steroid (Quackenbush, 1986). Menurut Lachaise ef a/. (1993)
organ-Y
menghasilkan
ekdisteroid
melalui
sintesis
kolesterol
yang
mekanismenya belum diketahui sepenuhnya. Sintesis diawali dengan
merombak kolesterol menjadi 7-dehidrokolesterol dan dilanjutkan dengan
hidroksilasi pada posisi atom C25, C22 dan C2. Hasil akhir sintesis kolesterol
pada masing-masing spesies memberikan hasil yang berbeda. Sintesis pada
krustasea secara umum menghasilkan ekdison. Pada kelompok Orconecfes
sintesis kolesterol menghasilkan ekdison dan 3-dehidroekdison (3 dE). Sintesis
pada Carcinus menghasilkan ekdison (E) dan 25-deoksiekdison (25 dE).
Berdasarkan kesepakatan para ahli, ketiga jenis hormon tersebut diberi nama
umum ekdisteroid.
Sedlmeier dan Fenrich (1993) mengemukakan bahwa ekdisteroid
disintesis dan dilepaskan oleh organ-\/ dengan menggunakan kolesterol
sebagai prekursor.
Pada jaringan periferi, ekdison dan 25-deoksiekdison
dihidroksilasi oleh 20-monooksigenase menjadi 20-hidroksiekdison dan
ponasteron A. Kleinholz (1985) mengemukakan bahhwa kolesterol p4 C] yang
ditemukan di dalam ekstrak kelenjar ganti kulit Hemigrapsus nudus diidentifikasi
sebagai ekdisteroid. Hormon yang ditemukan di dalam ekstrak kelenjar ganti
kulit 0. limosus yang diinkubasi dengan kolesterol
[3
HI diidentifkasi sebagai
ekdison dan 20-OH-E. Menurut Skinner (1985) a-ekdison (ekdison) disekresi
oleh organ-Y dan pada jaringan yang lain ekdison diaktifkan melalui hidroksilasi
menjadi 20-OH-ekdison (p-ekdison, ekdisteron atau krusekdison).
Siklus ganti kulit dikendalikan oleh sistem syaraf pusat melalui interaksi
MH dan MIH (Warner, 1977 dan Aiken, 1980). lnteraksi beberapa jenis hormon
yang terlibat dalam proses ganti kulit digambarkan oleh Passano (1960).
Hormon MIH walaupun dapat menghambat proses ganti kulit, tetapi berperan
merangsang pertumbuhan kulit anggota badan pada fase persiapan ganti kulit.
Proses awal pergantian kulit dipacu oleh GIH dengan menghambat
perkembangan reproduksi.
Sebaliknya GSH berperan menghambat proses
awal pergantian kulit. Organ-X mempengaruhi ganti kulit dengan menunda
sekresi hormon MIH empat atau lima hari sebelum ganti kulit. Hormon MIH
menghambat proses ganti kulit dengan cara mendominasi aktivitas organ-Y
yang terietak pada tubuh bagian depan di bawah atau di sebelah
branchiostegifes untuk mensekresi hormon ganti kulit (MH).
Aktivitas MH
memacu proses ganti kulit dimulai pada persiapan ganti kulit fase D (Warner,
1977). Respons ganti kulit pada lobster juga dipengaruhi oleh ablasi tangkai
mata dan hormon ganti kulit atau ekdisteron
yang berperan mengeliminir
pengaruh aktivitas MIH. Ablasi tangkai mata dapat memacu peningkatan berat
ovarium, tetapi mengakibatkan ketidakseimbangan cairan tubuh, perubahan laju
ganti kulit dan peningkatan konsumsi oksigen (Aiken, 1980).
Passano (1960) serta Krishnakumaran dan Schneiderrnan (1970)
beranggapan bahwa ekdison pada seiuruh filum arthropoda mempunyai
komposisi kimiawi yang sama dan ekstrak masing-masing sumber dapat
digunakan untuk merangsang ganti kulit pada krustasea atau serangga.
Hormon ganti kulit pada krustasea secara khusus disebut krusekdison.
Respons lobster (Homarus americanus) terhadap pemberian krusekdison
dipengaruhi oleh dosis dan musim. Hasil yang terbaik pada perlakuan diawal
musim semi hanya dengan dosis 0,5 pg per gram bobot tubuh dan pada akhir
musim gugur dengan dosis 1,5 pg per gram bobot tubuh (Gilgan dan Zinck,
1975 dalam Aiken, 1980).
Konsentrasi ekdisteron pada kepiting (Cancer anthonyi) setelah
pembuahan rendah dan meningkat sepanjang fase embriogenesis sampai 9,5
qg per miligram bobot ovarium. Menjelang pelepasan telur konsentrasinya
menurun dan hanya 2,O qg per miligram sebelum menetas (Chang, 1991).
Konsentrasi pada udang galah (Macrobrachium rosenbergii) saat matang
ovarium hanya 26,5 qg per gram bobot tubuh. Setelah satu hari pemijahan
konsentrasi meningkat menjadi 16,7 qg per gram dan menurun hingga hanya
11,3 qg per gram pada hari kesepuluh. Sejak hari ketiga belas konsentrasi
meningkat dari 35,9 qg per gram dan menjadi 483,6 qg per gram pakan pada
hari ke delapan belas. Peningkatan konsentrasi tersebut tetap berlangsung
hingga telur menetas (Wilder eta/., 1991). Konsentrasi ekdisteron pada hari ke
35 fase embriogenesis udang (P. serratus) 300 qg per gram dan 500 qg per
gram bobot tubuh pada hari ke 105 (Spindler et a/., 1987). Konsentrasi tertinggi
pada kepiting (Pachygrapsus
crassipes) adalah 470 qg per gram yang
ditemukan dalam jaringan testes (Chang et a1.,1976). Menurut Lachaise et al.
(1992) ekdisteroid ditemukan pada akhir periode pematangan ovarium kepiting
adalah 20-hidroksiekdison dan ponasteron A.
ganti kulit udang
Profil ekdisteron pada siklus
(Penaeus japonicus) memiliki poia yang sama dengan
krustasea lainnya. Kisaran konsentrasi ekdison dalam hemolimfa yakni 21,6456 qg per mililiter dan rata-rata pada fase akhir persiapan ganti kulit adalah
223575 qg per mililiter (Okumura et a/. , 1989).
Hasil penelitian Marjorie Zas ( I 992) menunjukkan pemberian hormon 20hidroksiekdison sebesar 50 qg per gram bobot tubuh pada udang galah telah
berhasil memperpendek panjang siklus ganti kulit. Pengaruh tersebut akan
lebih baik pada dosis pemberian 250 qg per gram. Sedangkan hasil penelitian
Affandi et a/. (1994) menunjukkan larva udang windu yang diberi sebanyak 200
qg per gram pakan telah dapat memberikan frekuensi ganti kulit yang tertinggi
dan periode waktu ganti kulit yang tersingkat.
Ekdisteroid yang disekresi krustasea atau serangga belum dapat
dikatakan sama karena tidak ada bukti yang konkrit (Aiken, 1980). Kelenjar
molting serangga dapat mensintesis ekdison (a-ekdison) dari kolesterol dan
merubahnya menjadi ekdisteron (P-ekdison). Marks (1973 dalam Aiken, 1980)
dan Borst et a/. (1974) mengklasifikasikan ekdison sebagai feromon karena
dalam
kondisi
in
vitro
kemampuannya
sangat
kecil
untuk
dapat
mentransformasi ekdison menjadi ekdisteron.
Aksi steroid pada sel sasaran sangat ditentukan olen peran protein
pengikat atau reseptor. Protein pengikat membawa hormon ke membran sel
dengan transporter atau reseptor khusus. Selanjutnya, hormon memasuk inti
dengan bantuan resptor sitosolik. Protein pengikat kemungkinan berinteraksi
secara spesifik dengan kromatin atau kromatin itu sendiri menjadi reseptor bagi
steroid. Pada inti, hormon mengontrol ekspresi spesifik dari gen. Akan tetapi,
protein pengikat untuk hormon 20-OH-E di dalam hemolimfa baik pada P.
crassipes dan 0. limosus masih belum diketahui (Skinner, 1995).
Pertumbuhan
Pertumbuhan dapat diartikan sebagai peningkatan ukuran tubuh baik
panjang maupun bobot dalam suatu kurun waktu tertentu (Rounsefell dan
Everhart, 1953 dalam Effendie, 1979). Pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya jumlah dan ukuran pakan yang tersedia, jumlah organisme
yang menggunakan pakan, suhu, oksigen terlarut, spesies, umur, ukuran
organisme, jenis kelamin, frekuensi ganti kulit dan tingkat kematangan gonad
(Warner, 1977 dan Effendie, 1979).
Laju pertumbuhan kepiting bakau cepat ketika berumur 12 sampai
dengan 15 bulan atau lebar karapaks 80 mm sampai dengan 160 mm dan
menjadi lambat setelah berumur 3 tahun atau lebar karapaks 140 mm sampai
dengan 180 mm. Kepiting bakau betina memijah ketika lebar karapaks 103 mm
sampai dengan 148 mm dan lebar karapaks jantan 141 mm sampai dengan 166
mm (Hilll, 1975).
Pada kepiting yang masih kecil penambahan bobot dapat mencapai 400
persen. Kepiting Pachygrapsus crassipes dengan lebar karapaks 15 mm dan
35 mm, mengalami penambahan bobot masing-masing sekitar 15 persen dan 8
persen. Secara keseluruhan, penambahan bobot pada setiap proses ganti kulit
berkisar antara 3 sampai dengan 44 persen. Pada kepiting tua bukan hanya
penambahan bobotnya yang berkurang, tetapi juga frekuensi ganti kulitnya
(Warner, 1977).
Berdasarkan hasil penelitian Lavina (1977) pertumbuhan kepiting sejak
dari telur sampai dewasa dengan lebar karapaks sekitar 114,2 mm memerlukan
waktu minimal 369 hari. Hill (1982 dalam Fujaya, 1988) mengelompokkan
kepiting sesuai tingkat pertumbuhannya berdasarkan lebar karapaks menjadi
tiga kelompok, yaitu juvenil dengan lebar karapaks antara 20 mm sampai
dengan 70 mm, menjelang dewasa antara 70 mm sampai dengan 200 mm.
Pertumbuhan kepiting dapat bersifat isometrik atau allometrik. Kepiting
Macrophthalamus bersifat isometrik karena pertumbuhan tidak menyebabkan
terjadinya perubahan bentuk (Barnes, 1974). Sebaliknya, pertumbuhan
allometrik ditemukan oleh William dan Needham (1941 dalam Warner, 1977)
pada kepiting Carcinus.
Laju pertumbuhan krustasea secara internal selain dipengaruhi oleh
kelancaran proses ganti kulit, juga oleh tingkat kerja osmotik (osmoregulasi).
Perubahan salinitas media dapat mempengaruhi laju metabolisme dan tingkah
laku krustasea. Pada Acartia tonsa laju metabolisme tetap tinggi setelah 24 jam
penurunan salinitas (Lance, 1965 dalam Vernberg, 1983). Peningkatan laju
metabolisme ditandai dengan meningkatnya laju konsumsi oksigen dan
berkurangnya aktivitas mencari pakan. Selain itu, terjadi perubahan pola
respirasi sebagai bentuk respons penyesuaian metaboiik terhadap tekanan
osmotik dan pengaturan keseimbangan komposisi ion terhadap cairan
ekstraselluler (Vernberg, 1983).
Menurut Kamemoto (1976), Cooke dan Sullivan (1982) serta Gilles dan
Pequex (1983), osmoregulasi merupakan salah satu bentuk dari sistem
homeostasi pada organisme yang bertipe eurihalin untuk dapat menjaga
keseimbangan aktivitas metabolisme. Perubahan osmoregulasi pada krustasea
dilakukan melalui dua cara, yaitu : (1) regulasi antara cairan ekstraseluler
dengan salinitas media pemeliharaan dan (2) mempertahankan keadaan
isoosmotik antara cairan intra dan ekstraseluler.
Keseimbangan volume air dan osmofektor diatur oleh mekanisme
osmoregulasi melalui cairan dan ion, baik secara difusi, osmosis, maupun
transpor aktif.
Komponen yang terlibat adalah: (1) kendali hormon (organ-
Xlkelenjar sinus), (2) protein pada membran sel yang berperan sebagai sistem
pompa ion, pengemban (carrier3 dan biokatalisator (enzim) dan (3) cadangan
energi melalui pembentukan ATP untuk transpor aktif. Organ-organ tubuh yang
terlibat adalah insang, saluran pernafasan, integumen dan ekskretori organ
pada kelenjar sinus.
Kopulasi dan Transfer Spermatofor
Ganti kulit tidak hanya berperan terhadap pertumbuhan, tetapi juga
dalam proses kopulasi. Sebelum kopulasi, kepiting bakau jantan terlebih dahulu
mendatangi betina yang akan berganti kulit dan membantu untuk melepaskan
karapaks. Selanjutnya kepiting jantan membalikkan betina yang masih berkulit
lunak sehingga terletak dalam posisi terlentang, jantan memasukkan pleopod
pertama ke dalam oviduct dan pleopod kedua berperan memompa sperma
(Hartnoll, 1969 dalam Moosa et al., 1985). Spermatofor dari kepiting jantan
akan disimpan di dalam sperrnateka betina hingga telur siap dibuahi. Sperrna
yang disimpan di dalam spermateka betina masih tetap hidup dan aktif untuk
beberapa bulan (Warner, 1977).
Perkembangan Ovarium dan Telur
Menurut Warner (1977), Nurdjana (1979) dan Lockwood (1989) dalam
tubuh krustasea terdapat sistem syaraf yang khas, sangat berbeda dengan
organisme lainnya. Mata selain menjalankan fungsi utamanya sebagai organ
penglihatan, juga merupakan tempat organ-organ pembantu reproduksi. Pada
tangkai mata terdapat organ->(yang menghasilkan GIH. Fungsi dari GIH adalah
secara langsung menghambat perkembangan kelenjar androgen pada individu
jantan dan ovarium pada betina sehingga sperma atau telur terhambat
perkembangannya. Organ-X juga menghambat aktivitas organ-\/ bebas yang
menghasilkan GSH yang bekerja merangsang pembentukan sperma pada
individu jantan atau telur pada individu betina.
Kematangan ovarium dapat berbeda bergantung kepada umur dan
ukuran (Escritor, 1970). Kepiting bakau yang dipelihara di laboratorium untuk
pertama kalinya matang ovarium setelah berumur sebelas bulan dengan lebar
karapaks rata-rata 114,2 mm (Ong, 1966 dalam Hendratmo, 1987). Menurut
Heasman dan Fielder (1983) di wilayah tropika alat-alat reproduksi kepiting
sudah matang kira-kira pada umur delapan belas bulan, sedangkan di wilayah
sub tropika akan dicapai kira-kira pada umur tiga puluh enam bulan.
Setelah matang telur kepiting betina beruaya ke laut untuk memijah (Anonim,
I984).
Vitelogenesis
Vitelogenesis adalah proses pembentukan kuning telur yang ditandai
dengan terjadinya deposisi vitelogenin ke dalam ovarium. Vitelogenin disekresi
ke dalam hemolimfa dan dibawa ke sel telur untuk disintesis menjadi kuning
telur. Vitelogenin adalah bahan baku atau prekursor protein kuning telur yang
disintesis untuk mematangan oosit ovarium (Yano, 1992). Kuning telur akan
menjadi sumber nutrien selama perkembangan embrio (Silversand et a/., 1993).
Meusy dan Payen (1988) mengemukakan bahwa vitelin adalah bahan
baku vitelogenin yang disintesis oleh jaringan ekstraovarium dan lepas ke
dalam hemolimfa sebagai respons terhadap vitellogenin stinlulating ovarian
hormone (VSOH). Vitelin krustasea adalah gabungan pigmen dengan
lipoprotein yang bewarna jingga serta terdiri dari lemak 48 persen, protein 50
persen dan karbohidrat dua persen (Lee, 1991).
Lipovitelin dan butiran minyak telah ditemukan di dalam ovarium yang
belum berkembang berupa komponen kecil dan konsentrasinya terus
meningkat dan berbentuk komponen besar pada sel telur yang matang. Butirbutir kuning telur tersebut pada krustasea berasal dari hepatopankreas dan
disintesis di apparatus golgi dan retikulum endoplasma dibawah koordinasi selsel folikel (Lee dan Walker, 1995). Butir kuning telur, krip korteks dan germinal
vesicle breakdown ditemukan pada pematangan oosit Penaeus vannamei yang
diinduksi dengan hormon yang disekresi oleh otak lobster (Yano dan Wyban,
1992).
Menurut Meusy dan Payen (1988) pada awal vitelogenesis terbentuk
pembungkus folikel yang mengelilingi setiap oosit. Pengangkutan substansi
dari
haemolimfa ke oosit vitelogenik
melalui jaringan
tubuler yang
menghubungkan semua ruang ektraseluler. Vitelogenesis dikendalikan oleh
VSH yang disekresi oleh sistem syaraf pusat dan VIH yang disekresi oleh
kelenjar sinus tangkai mata serta neurohormon lain seperti ekdisteroid.
Menurut Adiyodi (1985) sintesis vitelogenin pada Orconectes gammarella
berkembang pesat pada fase intermolt.
Pemberian ekdisteroid pada fase
tersebut meskipun dapat mengakselerasi premolt tetapi tidak segera
menyebabkan ekdisis. Hal tersebut memberi peluang untuk menyempurnakan
vitelogenesis.
Pemijahan
Kepiting aktif memijah antara bulan Mei sampai dengan bulatl
September atau akhir musim semi sarnpai dengan awal musim gugur dan akan
matang telur lagi setelah lima bulan telur menetas (Arriola, 1940). Selain itu,
Estampador (1949 dalam fujaya, 1988) melaporkan bahwa kepiting memijah
sepanjang tahun dan puncaknya berlangsung selama lima bulan. Brick (1973
dalam Kasry, 1984) mengemukakan bahwa puncak pemijahan di Hawaii terjadi
pada awal bulan Mei sampai dengan akhir bulan Oktober atau akhir musim
semi sampai dengan pertengahan musim gugur. Di Thailand terjadi pada bulan
Juli sampai dengan bulan Desember atau pertengahan musim panas sampai
dengan awal musim dingin (Varikul ef a/., 1972). Masa pemijahan kepiting yang
paling aktif di Teluk Bone, Sulawesi Selatan berlangsung sekitar bulan Mei
sampai bulan September (Hendriks, 1983).
Fekunditas kepiting diperkirakan dua juta sampai dengan delapan juta
butir telur dan yang berhasil menempel pada pleopod diperkirakan hanya
sepertiganya (Arriola, 1940; Hill, 1982 dalam Kasry, 1984 dan Fattah, 1991).
Hendriks (1983) melaporkan bahwa pada umumnya kepiting bakau yang
tertangkap di Pantai Pallirne-fibupaten Bone-Sulawesi Sel-
fekunditasnya
sekitar 350.000 sampai dengan 3 juta butir.
Pembuahan dan Penetasan
Pembuahan telur terjadi satu miitggu atau beberapa minggu setelah
kopulasi. Sperma yang tersimpan di dalam spermateka masih tetap hidup dan
aktif untuk beberapa bulan. Karena itu, deposisi sperma hasil satu kopulasi
dapat digunakan untuk dua atau tiga kali pembuahan telur (Warner, 1977).
Menurut Lockwood (1989) pembuahan pada krustasea terjadi secara
internal. Telur dibuahi pada saat dikeluarkan dari ovarium dan melewati
spermateka. Reaksi akrosom sperma dipengaruhi oleh Ca dan lendir telur. Air
laut adalah substansi yang sangat berperan dalam merangsang reaksi kortikal
sebelum terjadi pembuahan. Lapisan lendir berfungsi untuk menangkap sperma
(Primavera, 1985).
Telur yang telah dibuahi dikelurkan ke media dan dikumpulkan kembali
oleh induk betina dengan bantuan kaki jalan. Selanjutnya, telur ditempelkan
pada abdomen untuk dierami (Fielder dan Heasman, 1978). Berdasarkan
morfologi dan daya tetasnya, Primavera dan Posadas (1981) membagi kualitas
perkembangan telur udang windu menjadi 5 tipe yaitu: (I) tipe A l , telur
berkembang normal, tingkat penetasan 58 persen atau lebih, larva fototaksis
positif; (2) tipe A2, kurang baik kualitasnya dan berkembang tidak normal, daya
tetas 32 persen, nauplius yang baru menetas keadaannya lemah; (3) tipe B,
kualitas jetek, tidak dibuahi, bentuk sitoplasma tidak teratur dan tidak menetas;
(4) tipe C, kualitas jelek, sitoplasma mengelompok dan tidak berkembang
karena tidak dibuahi, daya tetas 0 persen; (5) tipe D, kualitas jelek, tidak
dibuahi, sitoplasma menyusut karena serangan bakteri, daya tetas 0 persen.
Telur-telur yang berkualitas baik, biasanya mampu menjaga keseimbangan
berat jenisnya dan melayang-melayang di dalam air.
Ablasi Mata
Organ-X dan kelenjar sinus yang terletak pada tangkai mata dapat
dihilangkan dengan merusak atau memotong tangkai mata yang dikenal
sebagai teknik ablasi. Hilangnya organ->(, menyebabkan GIH tidak terbentuk
sehingga tidak ada yang menghambat perkembangan telur atau sperma. Pada
lain hal, organ-Y bebas menghasilkan GSH sehingga sehingga tidak terjadi
rangsangan untuk pembentukan telur atau sperma (Nurdjana, 1986).
Ablasi mata berhasil merangsang pematangan telur udang P. orientalis
dengan memotong kedua tangkai matanya. Telur yang dihasilkan tidak dibuahi
dan mortalitas induk yang diablasi sangat tinggi.
Mortalitas induk dapat
diturunkan dengan mengablasi hanya satu mata dan proses ablasi mata
dilakukan pada pertengahan periode antar ganti kulit (Arnstein dan Beard,
1975).
Menurut Cotton (1960) waktu ablasi mata mempengaruhi proses
pemasakan telur.
Ablasi mata dilakukan terhadap induk betina yang baru
melepaskan telur, tidak merangsang perkembangan telur.
Hal yang sama
terjadi bila ablasi dilakukan terhadap calon induk yang belum dewasa.
Untuk menghindari stress, ablasi sebaiknya hanya dilakukan terhadap
individu betina yang tidak dalam keadaan ganti kulit. lndividu jantan tidak perlu
diablasi karena spermanya dapat berkembang sempurna meskipun tidak
diablasi (Nurdjana, 1979). Pengaruh negatif ablasi mata terhadap kualitas larva
dapat dihilangkan dengan memelihara larva pada lingkungan khususnya suhu
dan salinitas yang optimal (Nurdjana, 1986).
Karena itu, diperlukan penyempurnaan teknik ablasi tangkai mata atau
mencari teknik alternatif. Struktur sel neurosekretori tangkai mata berbeda
untuk masing-masing jenis krustasea (Highnam dan Hill, 1969). Untuk
meningkatkan efektifitas teknik ablasi tangkai mata diperlukan pemahaman
secara sistematik terhadap struktur tangkai mata. Struktur sel neurosekretori
kepiting bakau belum diketahui secara pasti.
Teknik ablasi tangkai mata telah berhasil mempercepat pematangan
gonad udang windu. Akan tetapi teknik ablasi menyebabkan pengaruh negatif
yang tidak diinginkan. Ablasi mata terbukti menyebabkan rendahnya fekunditas
dan kelangsungan hidup larva udang windu (Nurdjana, 1986 dan Sukarna,
1986). Ablasi mata menyebabkan terganggu atau hilangnya organ dan hormon
yang berperan penting dalam sintesis lemak serta pengaturan fungsi-fungsi
fisiologis; keseimbangan tubuh, osmoregulasi dan pembentukan kromatofor
(Welsh, 1961; Adiyodi dan Adiyodi, 1970; Aiken, 1980; dan Nurdjana, 1986).
Penyempurnaan teknik ablasi sangat ditentukan oleh pengetahuan
struktur sel neurosekretori tangkai mata dan kesempurnaan tatalaksana teknik
ablasi. Struktur sel neurosekretori tangkai mata kepiting bakau perlu mendapat
perhatian.
Menurut Highnam dan Hill (1969) meskipun struktur neurosekretori pada
setiap jenis krustasea berbeda tetapi pada dasarnya dapat dikelompokkkan
atas tiga yakni (1) organ->( terletak pada medula eksterna (me), (2) organ->(
terletak pada medula interna (mi) atau (3) organ->( terletak pada medula
Karena itu, diperlukan penyempurnaan teknik ablasi tangkai mata atau
mencari teknik alternatif. Struktur sel neurosekretori tangkai mata berbeda
untuk masing-masing jenis krustasea (Highnam dan Hill, 1969). Untuk
meningkatkan efektifitas
teknik ablasi tangkai mata diperlukan pemahaman
secara sistematik terhadap struktur tangkai mata. Struktur sel neurosekretori
kepiting bakau belum diketahui secara pasti.
Teknik ablasi tangkai mata telah berhasil mempercepat pematangan
gonad udang windu. Akan tetapi teknik ablasi menyebabkan pengaruh negatif
yang tidak diinginkan. Ablasi mata terbukti menyebabkan rendahnya fekunditas
dan kelangsungan hidup larva udang windu (Nurdjana, 1986 dan Sukarna,
1986). Ablasi mata menyebabkan terganggu atau hilangnya organ dan hormon
yang berperan penting dalam sintesis lemak serta pengaturan fungsi-fungsi
fisiologis; keseimbangan tubuh, osmoregulasi dan pembentukan kromatofor
(Welsh, 1961; Adiyodi dan Adiyodi, 1970; Aiken, 1980; dan Nurdjana, 1986).
Penyempurnaan teknik ablasi sangat ditentukan oleh pengetahuan
struktur sel neurosekretori tangkai mata dan kesempurnaan tatalaksana teknik
ablasi. Struktur sel neurosekretori tangkai mata kepiting bakau perlu mendapat
perhatian.
Menurut Highnam dan Hill (1969) meskipun struktur neurosekretori pada
setiap jenis krustasea berbeda tetapi pada dasarnya dapat dikelompokkkan
atas tiga yakni (1) organ->( terletak pada medula eksterna (me), (2) organ->(
terletak pada medula interna (mi) atau (3) organ-X terletak pada medula
terminalis (mt). Pada Palaemon serratus organ->( terletak pada medula
terminalis. Organ-X pada Lysmata seticaudata terletak di medula eksterna.
Gecarcinus lateralis organ-X terletak pada medula interna dan medula
terminalis (Gambar 3).
Organ-X terdiri dari sekelompok badan sel syaraf penghasil hormon.
Lokasi organ-X kelompok brachiura terletak pada bagian dorsolateral tangkai
mata dekat medula ekstemal dan medula internal. Pada natantia, lokasi organX dekat kulit luar dan berada di sekitar bagian distal dari medula terminalis
(Welsh, 1961).
Kualitas Media
Motoh (1977) menemukan kepiting dari marga Scylla yang memijah dan
menetaskan telurnya di laut dengan kadar garam berkisar antara 31 permil
sampai dengan 32 permil. Kasry (1984) menetaskan telur kepiting bakau
dengan menggunakan media penelitian bersalinitas 30 permil sampai dengan
32 permil. Sedangkan Salam et a/. (1990) menggunakan salinitas media yang
berkisar antara 30 perrnil sampai dengan 31 permil selama penelitian. Kepiting
dapat hidup pada perairan dengan kisaran salinitas 12 permil sampai dengan
42 permil (Arriola, 1940).
Selanjutnya Brick (1974) melaporkan kepiting memijah di Teluk
Kaneohe, Hawaii pada suhu air rata-rata 25,8
sampai dengan 28
OC.
O C
dengan kisaran 24,O
O C
Berbeda dengan ha1 tersebut, Hill (1974) menemukan
kepiting betina memijah pada musim panas di Estuaria Kleinemond Afrika
Tenggara
pada suhu 20
O C
sampai dengan 26
OC.
Varikul et a/. (1970)
mengemukakan bahwa di Thailand, kepiting memijah pada saat suhu air ratarata 29 OC. Sementara itu hasil penelitian Rustam (1989) menunjukkan bahwa
benih kepiting bakau di Pantai Palime, Sulawesi Selatan hidup pada suhu 24 OC
sampai 32 OC.
Arriola (1940) mengemukakan bahwa kepiting dapat hidup pada perairan
dengan suhu berkisar antara 17
OC
sampai dengan 37 OC. Di Perairan Muara
Dua-Cilacap, kepiting bakau didapati hidup pada kisaran suhu antara 26
O
C
sampai dengan 35 OC (Jati, 1985).
Selain itu, Arriola (1940) menemukan kepiting dapat hidup pada perairan
dengan kelarutan oksigen 5,2 ppm. Kandungan oksigen terlarut pada media
penelitian Salam et a/. (1990) adalah 7,2 pprn sampai dengan 7,5 pprn pada
masa inkubasi dan setelah telur menetas kandungan oksigen terlarut pada media
pemeliharaan adalah 6,4 pprn sampai dengan 7,2 ppm.
Gani (1988) menyatakan bahwa pada konsentrasi karbon dioksida
antara 3,O pprn sampai dengan 6,6 pprn di dalam media budidaya, kepiting masih
dapat bertahan untuk hidup. Selama penelitian Salam et a/. (1990) pH media
baik pada saat inkubasi, maupun pada saat pemeliharaan larva berkisar antara
7,4 sampai dengan 7,7. Walaupun nilai tersebut sedikit berbeda dengan yang
telah dikemukakan oleh Rustam (1989) yakni kisaran pH antara 6,5 sampai
dengan 8,5; tetapi kedua kisaran nilai indikator tersebut masih dapat mendukung
proses-proses pertumbuhan dan proses-proses reproduksi. Hal tersebut
dimungkinkan oleh karena keduanya masih berada pada kriteria netral.
Berdasarkan hasil penelitian Millamena dan Platon (1977) diketahui
bahwa kelangsungan hidup yang tertinggi pada kandungan BOD media
pemeliharaan antara 10 ppm sampai dengan 12 ppm. Catedral et at. (1977) yang
meneliti pengaruh nitrit terhadap kelangsungan hidup pascalarva udang windu,
melaporkan bahwa benur udang windu masih dapat hidup pada media dengan
kandungan nitrit berkisar antara 30 ppm sampai dengan 50 ppm.
Download