PBL KASUS 1 “KAKIKU GATAL”

advertisement
LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING
BLOK DERMATO-MUSKULOSKELETAL (DMS)
PBL KASUS 1
“KAKIKU GATAL”
Tutor :
dr. Zairullah Mighfaza
Kelompok 12
Aulia Nurul Izzati
G1A013126
Diany Larasati
G1A013127
Pratiwi Sekar Andjari
G1A013128
Erine Della Aprilla
G1A013129
Hasan Mursidi
G1A013130
Rizka Dwi Wahyuni
G1A013131
Intan Candra Khoirina
G1A013132
Diva Augusti Dirgahayu
G1A013133
Nastiti Maharani
G1A013134
Muhammad Rifqi Jazuli
G1A013135
Priambodo Jati Kuncoro
G1A013136
Dias Kurniawan
G1A012114
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
JURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. SKENARIO
Seorang wanita berusia 35 tahun datang dengan keluhan 1 tahun yang lalu timbul gatalgatal di punggung kaki. Seminggu yang lalu gatal-gatal dirasakan semakin hebat disertai merah,
bengkak dan lecet,terutama bila basah dan berkeringat, kulit juga dirasa menebal dan bersisik.
Informasi 1
………….
Informasi 2
………….
BAB II
PEMBAHASAN
1. Identifikasi Masalah
a. Identitas
: Wanita, 35 tahun
b. Keluhan utama
: Gatal di punggung kaki
c. Keluhan penyerta
: Merah, bengkak dan lecet
d. Onset
: 1 tahun yang lalu
e. Kronologis
: Bila basah dan berkeringat kulit menebal dan bersisik
2. Patogenesis dan patofisiologi gejala yang muncul
a. Gatal (Pruritus)
Dalam bahasa Latin, gatal adalah pruritus, yaitu sensasi yang menyebabkan
seseorang ingin atau refleks untuk menggaruk. Sains modern menunjukkan bahwa gatal
memiliki banyak kesamaan dengan nyeri, dan walaupun keduanya tidak mengenakkan,
pola responsnya berbeda; nyeri menyebabkan withdrawal reflex sementara gatal
menyebabkam scratch reflex (refleks menggaruk) (Poonawalla, 2009).
Mekanisme Gatal
Sampai saat ini neurofisiologi rasa gatal belum jelas, namun ada 3 teori yang telah
diajukan, yaitu (Yosipovitch, 2009):
2.1 Teori Spesifitas
Terdapat suatu kelompok sel saraf sensoris yang hanya memberikan respon
terhadap stimuli pruritogenik. Hal ini didukung oleh adanya sel reseptor C spesifik
yang menghantarkan rasa gatal dari perifer dan juga oleh adanya sel saraf yang
sensitif terhadap histamin pada traktus spinotalamikus.
2.2 Teori Intensitas
Teori ini menyatakan bahwa rangsang dan efek suatu stimuli besarnya
tergantung intensitasnya. Tetapi diketahui bahwa stimuli noksius pada dosis ambang
rangsang tidak mengakibatkan rasa gatal.
2.3 Teori Selektifitas
Terdapat kelompok nosiseptor aferen tertentu yang secara selektif memberikan
respon terhadap stimuli pruritogenik.
2.4 Teori Sensitasi
Rasa gatal kronis memiliki banyak persamaandengan nyeri kronis, keduanya
diduga melaluimekanisme perifer dan sentral.
a. Sensitasi Perifer
Pada penderita gatal kronis, dermatitis atopikdan dermatitis kontak
terdapat peningkatanmediator neurotropin 4 (NT-4) serta ekspresiserum nerve
growth factor (NGF) (Schmelz, 2005).
b. Sensitasi Sentral
Ada banyak persamaan mekanisme sensitisasisentral pada nyeri dan rasa
gatal.Aktivitasnosiseptor kimia pada penderita gatal kronismenimbulkan
sensitisasi
sentral
sehingga
meningkatkansensitivitas
terhadap
rasa
gatal.Terdapat dua tipe peningkatan sensitivitas terhadaprasa gatal, yang
pertama
adalah
aloknesisyang
analog
dengan
alodinia
terhadap
rangsangnyeri.Tipe kedua adalah hiperknesis punktat yanganalog dengan
hiperalgesia(Schmelz,2005).
Gambar 1. Skema sensitisasi sentral (Schmelz, 2005)
B. Merah (Eritema)
Eritema merupakan lesi kulit primer yang paling sering ditemukan pada penyakit
kulit, disebabkan dilatasi pembuluh darah dermis.Istilah ‘annular’ berasal dari bahasa
Latin, yaitu ‘annulus’ yang berarti ‘dilingkari’. Lesi berupa makula atau plak berbentuk
lingkaran atau oval dengan tepi eritematosa dan tengah central clearing.
C. Bengkak (Edema)
Edema adalah pembengkakan jaringan subkutan ,yang bila ditekan akan
meninggalkancekungan (seperti sumur) .Kulit tampak mengkilat dan pucat.Hal ini
disebabkan penumpukancairan yang abnormal diantara sel di luar pembuluh darah.
Biasanya diantara sel selalu terdapat cairan ,hanya pada edema cairan ini berlebihan.
Ruang antara sel ini disebut ruang interstisial.
Edema dapat terjadi karena disebabkan oleh berbagai faktor salah satunya yaitu
terjadinya peningkatan tekanan hidrostatik intra vaskula menimbulkan perembesan cairan
plasma darah keluar dan masuk ke dalam ruang interstisium. Edema merupakan resiko
pasca terjadinya kongesti yang diakibatkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik. Secara
umum terdapat empat mekanisme terjadinya edema diantaranya yaitu:
1.
peningkatan permeabilitas mikrovaskuler
2. peningkatan tekanan hidrostatik intravaskuler
3. penurunan tekanan osmotik intravaskuler
4. penurunan aliran limfatik
D. Lecet (Eksoriasi)
E. Menebal
F. Bersisik
Patogenesis
Kadar nukleotida yang abnormal terutama adenosine monofosfat (Camp) siklik dan
guanosin monofosfat (Cgmp) siklik  Proliferasi dan migrasi sel epidermis yang cepat
 Epidermis menjadi tebal dan diliputi keratin yang tebal, bersisik seperti perak.
1. TINEA PEDIS
A. Definisi
Tinea pedis adalah infeksi jamur dermatofita yang menyerang pada telapak kaki
dan ruang interdigitalis, dapat meluas ke lateral maupun punggung kaki dan dapat terjadi
infeksi kronis Sekalipun bagi kebanyakan orang tidak menyakitkan, gangguan kulit yang
satu ini boleh dikatakan sangat menjengkelkan. Di daerah tropis, seperti di Indonesia,
hampir seluruh jenis tanaman tumbuh subur, termasuk berbagai jenis jamur yang
berkembang biak di kulit. Penyakit ini sering menyerang pada orang dewasa yang bekerja
di tempat basah seperti tukang cuci, petani atau orang yang setiap hari harus memakai
sepatu tertutup seperti anggota tentara. Keluhan subyektif bervariasi mulai dari tanpa
keluhan sampai dengan rasa gatal yang hebat dan nyeri bila ada infeksi sekunder.Masalah
infeksi jamur menempati posisi ke dua dari seluruh penyakit kulit yang ditemui di dunia.
Hal ini dikarenakan penyakit tersebut tidak hanya menyerang suatu golongan, namun
dapat menyerang siapa saja bisa laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa,
dimana dan kapan saja, di rumah, di kantor, di sekolah bahkan di tempat paling bersih
sekalipun.
Tinea pedis atau sering disebut athelete foot adalah dermatofitosis pada kaki,
terutama pada sela-sela jari dan telapak kaki. Tinea pedis adalah dermatofitosis yang
biasa terjadi. Penggunaan istilah athlete foot digunakan untuk menunjukan bentuk jari
kaki yang seperti terbelah. Prevalensi dari tinea pedis sekitar 10%, terutama disebabkan
oleh penggunaan alas kaki modern, meskipun perjalanan keliling dunia juga merupakan
faktor. Kejadiaan tinea pedis lebih tinggi diantara komuniti yang menggunakan tempattempat umum seperti kamar mandi, shower atau kolam renang. . Kejadian infeksi ini
sering terjadi pada iklim hangat lembab dimana dapat meningkatkan pertumbuhan jamur,
tetapi jarang ditemukan di daerah yang tidak menggunakan alas kaki.
B. Klasifikasi berdasarkan Morfologi
Gambaran klinis dari tinea pedis dapat dibedakan berdasarkan tipe:
1. Interdigitalis.
Di antara jari IV danjari V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis,
dapat meluas kebawah jari (subdigital) dan telapak kaki. Kelainan kulit berupa
kelompok vesikel. Sering terjadi maserasi pada selajari terutama sisi lateral berupa
kulit putih dan rapuh, berfisura dan sering disertai bau. Bila kulit yang mati
dibersihkan, akan terlihat kulit baru yang pada umumnya telah diserang jamur.
Bentuk klinis ini dapat berlangsung bertahun-tahun dengan menimbulkan sedikit
keluhan atau tanpak eluhan. Pada suatu ketika dapat disertai infeksi sekunder oleh
bakteri sehingga terjadi selulitis, limfangitis, limfadenitis dan erisipelas, dengan
gejala-gejala konstitusi (Zhan, 2009).
Gambar.1 Tineapedis, Interdigitalis (Drawber, 2005)
2. Moccasin foot, tipe papuloskuamosa hiperkeratotik yang menahun. Pada seluruh
kaki, dari telapak, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit menebal dan bersisik;
eritema biasanya ringan dan terutama terlihat pada bagiant epilesi. Di bagian tepi
lesi dapat pula dilihat papul dan kadang-kadang vesikel. Sering terdapat di daerah
tumit, telapak kaki, dan kaki bagian lateral, dan biasanya bilateral (Zhan, 2009).
Gambar 2. Tineapedispadatelapak kaki (Drawber, 2005)
3. Pada bentuk subakut terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang-kadang bula.
Kelainan ini mula-mula terdapat di pada daerah sela jari, kemudian meluas ke
punggung kaki atau telapak kaki, dan jarang pada tumit. Lesi-lesi ini mungkin
berasal dari perluasan lesi daerah interdigital. Isi vesikel berupa cairan jernih yang
kental. Setelah pecah, vesikel tersebut meninggalkan sisik berbentuk lingkaran yang
disebut kolaret. Infeksi sekunder dapat terjadi, sehingga dapat menyebabkan selulitis,
limfangitis, dan kadang-kadang menyerupai erisipelas. Jamur terdapat pada bagian
atap vesikel. Untuk menemukannya, sebaiknya diambil atap vesikel atau bula untuk
diperiksa untuk diperiksa secara sediaan langsung atau untuk dibiak (Zhan, 2009)
Gambar 3. Tineapedis; VesikoBulosa, denganhiperpigmentasidarilesi yang inflamasi.
(Hanier, 2003)
4. Bentuk yang terakhir adalah bentu kaku tul seratif pada telapak dengan maserasi, madidans, dan bau. Diagnosis Tinea pedis lebih sulit karena pemeriksaan kerokan kulit
dan kultur sering tidak ditemukan jamur. (Zhan, 2009)
Gambar 4. Tineapedis Type Ulseratif
Gambar 4. TineapedistipeUlseratif (Drawber, 2005)
C. Etiologi dan Patogenesis
Tinea pedis disebabkan oleh Trichophyton rubrum(umumnya), Trichophyton
mentagrophytes, Epidermophyton floccosum. Namun, penyebab utama dari setiap pasien
rumit dengan adanya jamur saprofit, ragi dan /bakteri. Telah di observasi bahwa 9% dari
kasus tinea pedis diakibatkan oleh agen infeksi selain dermatofit. karakteristik dari
T.rubrum menghasilkan jenis yang relatif tidak ada peradangan dari dermatofitosis
dengan eritema kusam dan sisik keperakan yang melibatkan seluruh telapak kaki dan sisi
kaki menampilkan moccasin. Erosi juga terbatas pada infeksi jamur pada jari kaki atau
bawah jari kaki, kadang-kadang bersisik dan meluas sampai pada badan, gluteus, dan
extremiti. Individu dengan imun yang rendah mudah terkena infeksi, HIV/AIDS,
transplantasi organ, kemoterapi, steroid dan nutrisi parenteral diakui dapat menurunkan
resistansi pasien terhadap infeksi dermatofitosis. Kondisi seperti umur, obesitas, diabetes
melitus juga mempunyai dampak negatife terhadap kesehatan pasien secara keseluruhan
dan dapat menurunkan imunitas dan meningkatkan terjadinya tinea pedis. Diabetes
melitus itu sendiri dikategorikan sebagai penyebab infeksi, pasien dengan penyakit ini
50% akan terkena infeksi jamur. Secara histologi, hiperkeratotis tinea pedis memiliki
karakteristi berupa akantosis, hiperkeratosis, dan infiltrasi perivaskular yag dangkal,
kronik dan dapat menyebar pada dermis. Bentuk vesicle-bula menampilkan spongiosis,
parakeratosis, dan subkornea atau spongiosis intraepitel vesiculasi dengan kedua tipe,
foci dari neutrofil biasanya dapat dilihat pada daerah stratum kornea. PAS atau
pewarnaan silver methenamine menampilkan organisme jamur.
Gambar 1. Tipe kering dari infeksi T. Rubrum
D. Diagnosis
a. Anamnesis
1) Keluhan utama
Gatal di punggung kaki
2) Keluhan tambahan
Bengkak, lecet dan kulit bersisik
3) Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluh timbul gatal-gatal di punggung kaki selama 1 tahun yang lalu.
Seminggu yang lalu gatal dirasakan semakin hebat di sertai merah, bengkak dan
lecet, terutama bila basah dan berkeringat, kulit juga dirassa menebal dan bersisik.
4) Riwayat penyakit dahulu
Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya
5) Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami hal serupa
6) Riwayat sosial ekonomi
Pasien adalah seseorang yang bekerja sebagai tukang cuci
7) Riwayat alergi
Tidak alergi terhadap apapun
b. Pemeriksaan penunjang
Diagnosis dari tinea pedis biasanya dilakukan secara klinikal dan berdasarkan
examinasi dari daerah yang terinfeksi. Diagnosis yang digunakan biasanya dengan
cara kulit dikerok untuk preparat KOH, biopsi skin, atau kulture dari daerah yang
terinfeksi.
1. KOH
Hasil preparat KOH biasanya positive di beberapa kasus dengan maserasi pada
kulit. Pada pemeriksaan mikroskop KOH dapat ditemukan hifa septate atau
bercabang, arthrospore, atau dalam beberapa kasus, sel budding menyediakan
bukti infeksi jamur.
2. Kultur
Kultur dari tinea pedis yang
dicurigai dilakukan SDA(sabouraud’s dextrose
agar), pH asam dari 5,6 untuk media ini menghambat banyak spesies bakteri dan
dapat dibuat lebih selektif dengan penambahan suplemen kloramfenikol. Ini dapat
selesai 2-4 minggu. Dermatophyte test medium(DTM) digunakan untuk isolasi
selektif dan mengenali jamur dermatofitosis adalah pilihan lain diagnostik, yang
bergantung pada indikasi perubahan warna dari oranye ke merah untuk
menandakan kehadiran dermatofit.
3. Tes PAS
PAS menunjukkan dinding polisakarida-sarat dari organisme jamur yang terkait
dengan kondisi ini dan merupakan salah satu teknik yang paling banyak
digunakan untuk mendeteksi karbohidrat protein terikat (glikoprotein). Tes ini
dilakukan dengan mengekspos jaringan dari berbagai substrat untuk serangkaian
reaksi oksidasi-reduksi, sebagai hasil akhir, elemen positif seperti karbohidrat,
bahan membran basement menjadi permen apel merah(candy apple red). PAS
kontras positif komponen ini tajam terhadap latar belakang biru merah muda.
Tidak seperti kulture pada SDA atau DTM, hasil PAS dapat selesai sekitar 15
menit. PAS juga telah menjadi tes diagnostik yang paling dapat diandalkan untuk
tinea pedis, dengan keberhasilan 98,8% dengan biaya paling efektif.
E. Faktor risiko
Tinea pedis mempunyai nama lain Athlete’s foot, ring worm of the foot atau kutu
air. Beberapa faktor lain penyebab tinea pedis adalah pemakaian sepatu tertutup untuk
waktu yang lama, bertambahnya kelembaban karena keringat, pecahnya kulit karena
mekanis dan paparan terhadap jamur.
Selain itu pemakaian kaus kaki dengan bahan yang tidak dapat menyerap keringat
dapat menambah kelembaban di sekitar kaki yang cenderung mendukung jamur dapat
tumbuh subur. Kondisi social ekonomi serta kurangnya kebersihan pribadi juga
memegang peranan penting pada infeksi jamur (insiden penyakit jamur pada social
ekonomi lebih rendah sering terjadi daripada social ekonomi yang lebih baik, hal ini
terkait dengan status gizi yang mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang terhadap
penyakit). Kebersihan pribadi (mencuci kaki setiap hari, menjaga kaki selalu kering)
yang kurang diperhatikan turut mendukung tumbuhnya jamur.
F. Tata Laksana
1. ANTIFUNGAL TOPIKAL
Obat topikal digunakan untuk mengobati penyakit jamur yang terlokalisir. Efek
samping dari obat-obatan ini sangat minimal, biasanya terjadi dermatitis kontak alergi,
yang biasanya terbuat dari alkohol atau komponen yang lain.
1.1 Imidazol Topikal. Efektif untuk semua jenis tinea pedis tetapi lebih cocok pada
pengobatan tinea pedis interdigitalis karena efektif pada dermatofit dan kandida.
1.2 Klotrimazole 1 %. Antifungal yang berspektrum luas
dengan menghambat
pertumbuhan bentuk yeast jamur. Obat dioleskan dua kali sehari dan diberikan
sampai waktu 2-4 minggu. Efek samping obat ini dapat terjadi rasa terbakar, eritema,
edema dan gatal.
1.2 Ketokonazole 2 % krim merupakan antifungal berspektrum luas golongan Imidazol;
menghambat sintesis ergosterol, menyebabkan komponen sel yang mengecil hingga
menyebabkan kematian sel jamur. Obat diberikan selama 2-4 minggu.
1.3 Mikonazol krim, bekerja merusak membran sel jamur dengan menghambat
biosintesis ergosterol sehingga permeabilitas sel meningkat yang menyebabkan
keluarnya zat nutrisi jamur hingga berakibat pada kematian sel jamur. Lotion 2 %
bekerja pada daerah-daerah intertriginosa. Pengobatan umumnya dalam jangka waktu
2-6 minggu.
1.4 Tolnaftat 1% merupakan suatu tiokarbamat yang efektif untuk sebagian besar
dermatofitosis tapi tidak efektif terhadap kandida. Digunakan secara lokal 2-3 kali
sehari. Rasa gatal akan hilang dalam 24-72 jam. Lesi interdigital oleh jamur yang
rentan dapat sembuh antara 7-21 hari. Pada lesi dengan hiperkeratosis, tolnaftat
sebaiknya diberikan bergantian dengan salep asam salisilat 10 %.
1.5 Piridones Topikal merupakan antifungal yang bersifat spektrum luas dengan
antidermatofit, antibakteri dan antijamur sehingga dapat digunakan dalam berbagai
jenis jamur.
1.6 Sikolopiroksolamin. Pengunaan kliniknya untuk dermatofitosis, kandidiasis dan tinea
versikolor. Sikolopiroksolamin tersedia dalam bentuk krim 1 % yang dioleskan pada
lesi 2 kali sehari. Reaksi iritatif dapat terjadi walaupun jarang terjadi.
2. ANTIFUNGAL SISTEMIK
Pemberian antifungal oral dilakukan setelah pengobatan topikal gagal dilakukan. Secara
umum, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan pemberian beberapa obat
antifungal di bawah ini antara lain :
2.1 Griseofulvin merupakan obat yang bersifat fungistatik. Griseofulvin dalam bentuk
partikel utuh dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1 g untuk orang dewasa dan 0,25 - 0,5 g
untuk anak-anak sehari atau 10-25 mg/kg BB. Lama pengobatan bergantung pada lokasi
penyakit, penyebab penyakit, dan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis dilanjutkan
2 minggu agar tidak residif. Dosis harian yang dianjurkan dibagi menjadi 4 kali sehari.
Di dalam klinik cara pemberian dengan dosis tunggal harian memberi hasil yang cukup
baik pada sebagian besar penderita. Griseofulvin diteruskan selama 2 minggu setelah
penyembuhan klinis. Efek samping dari griseofulvin jarang dijumpai, yang merupakan
keluhan utama ialah sefalgia yang didapati pada 15 % penderita. Efek samping yang lain
dapat berupa gangguan traktus digestivus yaitu nausea, vomitus dan diare. Obat tersebut
juga dapat bersifat fotosensitif dan dapat mengganggu fungsi hepar.
2.2. Ketokonazole. Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu ketokonazole
yang bersifat fungistatik. Kasus-kasus yang resisten terhadap griseofulvin dapat
diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg per hari selama 10 hari – 2 minggu pada pagi
hari setelah makan. Ketokonazole merupakan kontraindikasi untuk penderita kelainan
hepar.
2.3 Itrakonazole. Itrakonazole merupakan suatu antifungal yangdapat digunakan sebagai
pengganti ketokonazole yang bersifat hepatotoksik terutama bila diberikan lebih dari
sepuluh hari. Itrakonazole berfungsi dalam menghambat pertumbuhan jamur dengan
mengahambat sitokorm P-45 yang dibutuhkan dalam sintesis ergosterol yang merupakan
komponen penting dalam sela membran jamur. Pemberian obat tersebut untuk penyakit
kulit dan selaput lendir oleh penyakit jamur biasanya cukup 2 x 100-200 mg sehari dalam
selaput kapsul selama 3 hari. Interaksi dengan obat lain seperti antasida (dapat
memperlambat reabsorpsi di usus), amilodipin, nifedipin (dapat menimbulkan terjadinya
edema),
sulfonilurea
(dapat
meningkatkan
resiko
hipoglikemia).
Itrakonazole
diindikasikan pada tinea pedis tipe moccasion.
2.4
Terbinafin. Terbinafin berfungsi sebagai fungisidal juga dapat diberikan sebagai
pengganti griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya 62,5 mg – 250 mg sehari bergantung
berat badan. Mekanisme sebagai antifungal yaitu menghambat epoksidase sehingga
sintesis ergosterol menurun. Efek samping terbinafin ditemukan pada kira-kira 10 %
penderita, yang tersering gangguan gastrointestinal di antaranya nausea, vomitus, nyeri
lambung, diare dan konstipasi yang umumnya ringan. Efek samping lainnya dapat berupa
gangguan pengecapan dengan presentasinya yang kecil. Rasa pengecapan hilang sebagian
atau seluruhnya setelah beberapa minggu makan obat dan bersifat sementara. Sefalgia
ringan dapat pula terjadi. Gangguan fungsi hepar dilaporkan pada 3,3 % - 7 % kasus. (1)
Terbinafin baik digunakan pada pasien tinea pedis tipe moccasion yang sifatnya kronik.
Pada suatu penelitian ternyata ditemukan bahwa pengobatan tinea pedis dengan
terbinafine lebih efektif dibandingkan dengan pengobatan griseofulvin.
2. PSORIASIS
A. Definisi
Penyakit kulit kronik residif dengan lesi yang khas berupa bercak-bercak eritema
berbatas tegas, ditutupi oleh skuama tebal berlapis-lapis berwarna putih mengkilat
(Siregar,2013).
B. Etiologi
Pada penyakit ini penyebabnya belum jelas, tetapi yang pasti adalah pembentukan
epidermis yang dipercepat (Siregar,2013).
C. Faktor Risiko
Pada penyakit ini faktor risiko yang dapat meningkatkan terjadinya psoriasis
diantaranya kulit putih lebih banyak daripada kulit berwarna, lebih banyak pada daerah
dingin dan di musim hujan, biasanya diturunkan secara autosomal dominan, infeksi lokal
dan ganggua metabolik serta faktor stress , emosi dan kehamilan dapat memperberat
penyakit (Siregar,2013).
D. Patogenesis dan Patofisiologi
Pada kulit normal, sel basal di stratum basalis membelah diri, bergerak keatas secara
teratur sampai menjadi stratum korneum sekitar 28 hari, kemudian lapisan keratin
dipermukaan kulit dilepaskan serta digantikan yang baru. Namun pada psoriasis, proses
tersebut hanya berlangsung beberapa hari sehingga terbentuk skuama tebal,berlapis-lapis
serta berwarna keperakan. Penyebab yang pasti psoriasis belum diketahui dengan pasti,
namun,banyak faktorpredisposisi yang memegang peran penting seperti predisposisi
genetik dan kelainan imunologis. Walaupun etiopatogenesis psoriasis tidak diketahui
dengan pasti, namun banyak faktor yang diduga sebagai pemicu timbulnya psoriasis
seperti: infeksi bakterial, trauma fisik, stress psikologis dan gangguan metabolisme.
Bahkan beberapa ahli mengatakan bahwa psoriasis merupakan tanda adanya sindroma
metabolik banyak penelitian yang menyatakan adanya hubungan antara psoriasis dengan
sindroma metabolik (Mallbris et al 2006; Nestle et al 2009; Sanchez 2010).
Sebelumnya psoriasis dianggap sebagai suatu penyakit primer akibat gangguan
keratinosit, namun saat ini psoriasis dikenal sebagai suatu penyakit yang diperantarai oleh
sistem imun. Psoriasis melibatkan interaksi kompleks diantara berbagai sel pada sistem
imun dan kulit, termasuk sel dendritik dermal, sel T, neutrofil dan keratinosit. Pada
psoriasis, sel T CD8+ terdapat di epidermis sedangkan makrofag, sel T CD4+ dan sel-sel
dendritik dermal dapat ditemukan di dermis superfisial. Sejumlah sitokin dan reseptor
permukaan sel terlibat dalam jalur molekuler yang menyebabkan manifestasi klinis
penyakit (Guyton, 2006).
Peran sistem imun dalam patogenesis psoriasis telah banyak penelitian yang
dipublikasikan. Dua dekade terakhir ini peneliti menyatakan bahwa keterlibatan
gangguan metabolisme lipid terhadap kejadian psoriasis. Beberapa penelitian menyatakan
bahwa psoriasis sangat berhubungan dengan sindroma metabolik dan metabolisme lemak
yang mengakibatkan adanya perubahan padaprofil lipid misalnya Low Density
Lipoprotein (LDL) ,High Density Lipoprotein (HDL) dan triglesirida (Zaidi dkk. 2007;
Gupta dkk.2011)
Secara patologis, psoriasis terjadinya diferensiasis dan proliferasi keratinosit yang
disertai proses inflamasi pada epidermis maupun epidermis.Peranan faktor imunologi
dalam patogenesis psoriasis ditunjukkan dengan adanya peningkatan aktifitas sel
presentasi antigen (antigene presenting cell/APC) ,yang disertai peningkatan aktivitas sel
Limfosit T helper 1 dengan mensistesis sitokin proinflamasi seperti; IL-1, IL-6, IL-10,
Interferon-gamma dan tumor necrosis factor. Sitokin proinflamasi ini akan mediasi
aktivitas faktor-faktor pertumbuhan seperti; epidermal growth factor, nerve growth
faktor, endothelian vascular growth factor, ICAM dan VCAM, yang pada akhirnya akan
terjadi proliferasi keratinosit disertai proses peradangan (Joshi 2004; Chanet dkk.2006;
Ghoreschidkk.2007; Brezinskidkk.,2013)
E. Diagnosis
Anamnesis : Ditemukannya macula dan papula eritematosa dengan ukuran mencapai
lentikular nummular yang menyebar secara sentrifugal (Siregar,2013).
Pemeriksaan fisik :
a. Lokalisasi : siku,lutut,kulit kepala,telapak kaki dan tangan,punggung,tungkai atas dan
bawah, serta kuku (Siregar,2013).
b. Efloresensi / sifat-sifatnya : Makula eritematosa yang besarnya bervariasi dari miliar
sampai nummular, dengan gambaran yang beraneka ragam, dapat arsinar,sirsinar,
polisiklis atau geografis (Siregar,2013).
Makula ini berbatas tegas ditutupi oleh skuama kasar berwarna putih mengkilat. Jika
skuama digores oleh benda tajam menunjukkan tanda tetesan lilin. Jika penggoresan
diteruskan maka timbul tanda Auspitz dengan bintik-bintik darah. Dapat pula
menunjukkan fenomena Koebner atau reaksi isomorfik, yaitu timbul lesi-lesi psoriasis
pada bekas trauma/garukan (Siregar,2013).
Keluhan utama pasien psoriasis adalah lesi yang terlihat, rendahnya kepercayaan
diri, gatal dan nyeri terutama jika mengenai telapak tangan, telapak kaki dan daerah
intertriginosa. Selain itu psoriasis dapat mengganggu aktivitas sehari-hari bukan hanya
oleh karena keterlibatan kulit, tetapi juga menimbulkan arthritis psoriasis. Gambaran
klinis psoriasis adalah plak eritematosa sirkumskrip dengan skuama putih keperakan
diatasnya dan tanda Auspitz. Warna plak dapat bervariasi dari kemerahan dengan skuama
minimal, plak putih dengan skuama tebal hingga putih keabuan tergantung pada
ketebalan skuama. Pada umumnya lesi psoriasis adalah simetris (Gudjonsson dan Elder,
2012).
Psoriasis juga dapat timbul pada tempat terjadinya trauma, hal ini disebut dengan
fenomena Koebner. Penggoresan skuama utuh dengan mengggunakan pinggir gelas
objek akan menyebabkan terjadinya perubahan warna lebih putih seperti tetesan lilin.
Selain dari presentasi klasik yang disebutkan diatas terdapat beberapa tipe klinis
psoriasis. Psoriasis vulgaris yang merupakan tipe psoriasis yang paling sering terjadi,
berupa plak kemerahan berbentuk oval atau bulat, berbatas tegas, dengan skuama
berwarna keputihan. Lesi biasanya terdistribusi secara simetris pada ekstensor
ekstremitas, terutama di siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral, bokong dan genital.
F. Klasifikasi Psoriasis
Klasifikasi Psoriasis dibagi berdasarkan beberapa jenis yaitu (Gudjonsson JE, 2008) :
1. Psoriasis Vulgaris
Merupakan bentuk yang paling umum dari psoriasis dan sering ditemukan (80%).
Psoriasis ini tampak berupa plak yang berbentuk sirkumskrip. Jumlah lesi pada
psoriasis vulgaris dapat bervariasi dari satu hingga beberapa dengan ukuran mulai 0,5
cm hingga 30 cm atau lebih. Lokasi psoriasis vulgaris yang paling sering dijumpai
adalah ekstensor siku, lutut, sakrum dan scalp. Selain lokasi tersebut diatas, psoriasis
ini dapat juga timbul di lokasi lain.
2. Psoriasis Gutata
Tampak sebagai papul eritematosa multipel yang sering ditemukan terutama pada
badan dan kemudian meluas hingga ekstremitas, wajah dan scalp Lesi psoriasis ini
menetap selama 2-3 bulan dan akhirnya akan mengalami resolusi spontan. Pada
umumnya terjadi pada anak-anak dan remaja yang seringkali diawali dengan radang
tenggorokan.
3. Psoriasis Pustulosa Generalisata (Von Zumbusch)
Psoriasis jenis ini tampak sebagai erupsi generalisata dengan eritema dan pustul.
Pada umumnya diawali oleh psoriasis tipe lainnya dan dicetuskan oleh penghentian
steroid sistemik, hipokalsemia, infeksi dan iritasi lokal.
4. Psoriasis Pustulosa Lokalisata
Kadang disebut juga dengan pustulosis palmoplantar persisten. Psoriasis ini
ditandai dengan eritema, skuama dan pustul pada telapak tangan dan kaki biasanya
berbentuk simetris bilateral.
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan
yang
bertujuan
menganalisis
penyebab
psoriasis,
seperti
pemeriksaan darah rutin, kimia darah, gula darah kolesterol dan asam urat
(Siregar,2013).
H. Tata Laksana Psoriasis
Terapi psoriasis digolongkan ke dalam dua golongan, yaitu terapi farmakologis
dan non farmakologis. Psoriasis sebagai penyakit yang multifaktorial dengan penyebab
belum diketahui dengan pasti, sehingga penanganannya juga sangat bervariasi dan setiap
pusat pendidikan mempunyai acuan yang berbeda. Terdapat berbagai variasi terapi
psoriasis, mulai dari topikal untuk psoriasis ringan hingga fototerapi dan terapi sistemik
untuk psoriasis berat. Edukasi kepada pasien tentang faktor-faktor pencetusnya perlu
disampaikan kepada pasien maupun. Beberapa regimen terapi farmakologis yang sering
digunakan topikal maupun sistemik sebagai berikut keluarganya (Bettina, 2005) :
1. Topikal
a) Preparat Tar
Obat topikal yang biasa digunakan adalah preparat tar, yang efeknya adalah anti
radang. Preparat tar berguna pada keadaan-keadaan: Bila psoriasis telah resisten terhadap
steroid topikal sejak awal atau pemakaian pada lesi luas. Lesi yang melibatkan area yang
luas sehingga pemakaian steroid topikal kurang tepat. Bila obat-obat oral merupakan
kontra indikasi oleh karena terdapat penyakit sistemik. Menurut asalnya preparat tar
dibagi menjadi 3, yakni yang berasal dari : Fosil, misalnya iktiol. Kayu, misalnya oleum
kadini dan oleum ruski dan Batubara, misalnya liantral dan likuor karbonis detergens.
Cara kerja obat ini sebagai antiinflamasi ringan.
b) Kortikosteroid
Kerja steroid topikal pada psoriasis diketahui melalui beberapa cara , yaitu:
i. Vasokonstriksi untuk mengurangi eritema.
ii. Sebagai antimitotik sehingga dapat memperlambat proliferasi seluler.
iii. Efek anti inflamasi, diketahui bahwa pada psoriasis terjadi peradangan kronis
akibat aktivasi sel T. Bila terjadi lesi plak yang tebal dipilih kortikosteroid dengan
potensi kuat seperti: Fluorinate, triamcinolone 0,1% dan flucinolone topikal efektif
untuk kebanyakan kasus psoriasis pada anak.
Preparat
hidrokortison
1%-2,5%
digunakan bila lesi sudah menipis.
c) Ditranol (antralin)
Hampir sama dengan tar memiliki efek antiinflamasi ringan, sebab dapat
mengikat asam nukleat, menghambat sintesis DNA dan menggabungkan uridin ke
dalam RNA nukleus.
d) Vitamin D analog (Calcipotriol)
Calcipotriol ialah sintetik vit D yang bekerja dengan menghambat proliferasi sel
dan diferensiasi keratinosit, meningkatkan diferensiasi terminal keratinosit. Preparatnya
berupa salep atau krim 50 mg/g, efek sampingnya berupa iritasi, seperti rasa terbakar
dan menyengat.
e) Tazaroten
Merupakan molekul retinoid asetilinik topikal, efeknya menghambat proliferasi
dan normalisasi petanda differensiasi keratinosit dan menghambat petanda proinflamasi
pada sel radang yang menginfiltrasi kulit. Tersedia dalam bentuk gel, dankrim dengan
konsentrasi 0,05 % dan 0,1 %. Bila dikombinasikan dengan steroid topikal potensi
sedang dan kuat akan mempercepat penyembuhan dan mengurangi iritasi. Efek
sampingnya ialah iritasi berupa gatal, rasa terbakar, dan eritema pada 30 % kasus, juga
bersifat fotosensitif.
2. Sistemik
a) Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid sistemik masih kontroversial kecuali yang bentuk
eritrodermi, psoriasis artritis dan psoriasis pustulosa Tipe Zumbusch. Dimulai dengan
prednison dosis rendah 30-60 mg (1-2 mg/kgBB/hari), atau steroid lain
dengan
dosis
ekivalen. Setelah membaik, dosis diturunkan perlahan-lahan, kemudian diberi dosis
pemeliharaan. Penghentian obat secara mendadak akan menyebabkan kekambuhan dan
dapat terjadi Psoriasis Pustulosa Generalisata.
b) Sitostatik
Bila keadaan berat dan terjadi eritrodermi serta kelainan sendi dapat sitostatik
yang biasa digunakan ialah metotreksat (MTX). Obat ini sering digunakan Psoriasis
Artritis dengan lesi kulit, dan Psoriasis Eritroderma yang sukar terkontrol. Bila lesi
membaik dosis diturunkan secara perlahan. Kerja metotreksat adalah menghambat
sintesis DNA dengan cara menghambat dihidrofolat reduktase dan juga hepatotoksik
maka perlu dimonitor fungsi hatinya. Karena bersifat menekan mitosis secara umum,
hati-hati juga terhadap efek supresi terhadap sumsum tulang.
c) Etretinat (tegison, tigason)
Etretinat merupakan retinoid aromatik, derivat vitamin A digunakan bagi psoriasis
yang sukar disembuhkan dengan obat-obat lain mengingat efek
sampingnya. Etretinat
efektif untuk Psoriasis Pustular dan dapat pula digunakan untuk psoriasis eritroderma.
Kerja retinoid yaitu mengatur pertumbuhan dan diferensiasi terminal keratinosit yang
pada akhirnya dapat menetralkan stadium hiperproliferasi.
Efek samping dapat terjadi kulit menipis dan kering, selaput lendir pada mulut,
mata, dan hidung kering, kerontokan rambut, cheilitis, pruritus, nyeri
tulang
dan
persendian, peninggian lipid darah, gangguan fungsi hepar (peningkatan enzim hati).
d) Siklosporin A
Digunakan bila tidak berespon dengan pengobatan konvensional. Efeknya ialah
imunosupresif. Dosisnya 1-4mg/kgbb/hari. Bersifat nefrotoksik dan hepatotoksik,
gastrointestinal, flu like symptoms, hipertrikosis, hipertrofi gingiva,serta hipertensi. Hasil
pengobatan untuk psoriasis baik, hanya setelah obat dihentikan dapat terjadi
kekambuhan. (Gudjonsson and Elder,2012)
e) TNF-antagonis
Tumor Necrosis Factor (TNF) alpha merupakan sitokin proinflamasi yang
memegang peran penting dalam patogenesis psoriasis. Saat ini sedang dikembangkan
sebagai terapi yang memberi haparan baru. Sediaannya antara lain Adalimumab,
Infliximab, etanercept, alefacept dan efalizumab.
Sedangkan untuk terapi non-farmakologis pada Psoriasis meliputi :
1. Humektan dan Emolien
Efek emolien ialah melembutkan permukaan kulit dan mengurangi hidrasi kulit
sehingga kulit tidak terlalu kering. Pada batang tubuh (selain lipatan), ekstremitas atas
dan bawah biasanya digunakan salep dengan bahan dasar vaselin 1-2 kali/hari, fungsinya
juga sebagai emolien dengan akibat meninggikan daya penetrasi bahan aktif. Jadi
emolien sendiri tidak mempunyai efek antipsoriasis (Damasiewicz, 2007).
2. Fototerapi
Narrowband UVB untuk saat ini merupakan pilihan untuk psoriasis yang rekalsitran
dan eritroderma. Sinar ultraviolet masih menjadi pilihan di beberapa klinik. Sinar
ultraviolet B (UVA) mempunyai efek menghambat mitosis, sehingga dapat digunakan
untuk pengobatan psoriasis. Cara yang terbaik adalah dengan penyinaran secara alamiah,
tetapi tidak dapat diukur dan jika berlebihan maka akan memperparah psoriasis. Karena
itu, digunakan sinar ulraviolet artifisial, diantaranya sinar A yang dikenal sebagai UVA.
Sinar tersebut dapat digunakan secara tersendiri atau berkombinasi dengan psoralen (8metoksipsoralen, metoksalen) dan disebut PUVA, atau bersama-sama dengan preparat ter
yang dikenal sebagai pengobatan cara Goeckerman. PUVA efektif pada 85 % kasus,
ketika psoriasis tidak berespon terhadap terapi yang lain (Suite, 2006).
Download