LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING BLOK DERMATO-MUSKULOSKELETAL (DMS) PBL KASUS 1 “KAKIKU GATAL” Tutor : dr. Zairullah Mighfaza Kelompok 12 Aulia Nurul Izzati G1A013126 Diany Larasati G1A013127 Pratiwi Sekar Andjari G1A013128 Erine Della Aprilla G1A013129 Hasan Mursidi G1A013130 Rizka Dwi Wahyuni G1A013131 Intan Candra Khoirina G1A013132 Diva Augusti Dirgahayu G1A013133 Nastiti Maharani G1A013134 Muhammad Rifqi Jazuli G1A013135 Priambodo Jati Kuncoro G1A013136 Dias Kurniawan G1A012114 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN JURUSAN KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2014 BAB I PENDAHULUAN A. SKENARIO Seorang wanita berusia 35 tahun datang dengan keluhan 1 tahun yang lalu timbul gatalgatal di punggung kaki. Seminggu yang lalu gatal-gatal dirasakan semakin hebat disertai merah, bengkak dan lecet,terutama bila basah dan berkeringat, kulit juga dirasa menebal dan bersisik. Informasi 1 …………. Informasi 2 …………. BAB II PEMBAHASAN 1. Identifikasi Masalah a. Identitas : Wanita, 35 tahun b. Keluhan utama : Gatal di punggung kaki c. Keluhan penyerta : Merah, bengkak dan lecet d. Onset : 1 tahun yang lalu e. Kronologis : Bila basah dan berkeringat kulit menebal dan bersisik 2. Patogenesis dan patofisiologi gejala yang muncul a. Gatal (Pruritus) Dalam bahasa Latin, gatal adalah pruritus, yaitu sensasi yang menyebabkan seseorang ingin atau refleks untuk menggaruk. Sains modern menunjukkan bahwa gatal memiliki banyak kesamaan dengan nyeri, dan walaupun keduanya tidak mengenakkan, pola responsnya berbeda; nyeri menyebabkan withdrawal reflex sementara gatal menyebabkam scratch reflex (refleks menggaruk) (Poonawalla, 2009). Mekanisme Gatal Sampai saat ini neurofisiologi rasa gatal belum jelas, namun ada 3 teori yang telah diajukan, yaitu (Yosipovitch, 2009): 2.1 Teori Spesifitas Terdapat suatu kelompok sel saraf sensoris yang hanya memberikan respon terhadap stimuli pruritogenik. Hal ini didukung oleh adanya sel reseptor C spesifik yang menghantarkan rasa gatal dari perifer dan juga oleh adanya sel saraf yang sensitif terhadap histamin pada traktus spinotalamikus. 2.2 Teori Intensitas Teori ini menyatakan bahwa rangsang dan efek suatu stimuli besarnya tergantung intensitasnya. Tetapi diketahui bahwa stimuli noksius pada dosis ambang rangsang tidak mengakibatkan rasa gatal. 2.3 Teori Selektifitas Terdapat kelompok nosiseptor aferen tertentu yang secara selektif memberikan respon terhadap stimuli pruritogenik. 2.4 Teori Sensitasi Rasa gatal kronis memiliki banyak persamaandengan nyeri kronis, keduanya diduga melaluimekanisme perifer dan sentral. a. Sensitasi Perifer Pada penderita gatal kronis, dermatitis atopikdan dermatitis kontak terdapat peningkatanmediator neurotropin 4 (NT-4) serta ekspresiserum nerve growth factor (NGF) (Schmelz, 2005). b. Sensitasi Sentral Ada banyak persamaan mekanisme sensitisasisentral pada nyeri dan rasa gatal.Aktivitasnosiseptor kimia pada penderita gatal kronismenimbulkan sensitisasi sentral sehingga meningkatkansensitivitas terhadap rasa gatal.Terdapat dua tipe peningkatan sensitivitas terhadaprasa gatal, yang pertama adalah aloknesisyang analog dengan alodinia terhadap rangsangnyeri.Tipe kedua adalah hiperknesis punktat yanganalog dengan hiperalgesia(Schmelz,2005). Gambar 1. Skema sensitisasi sentral (Schmelz, 2005) B. Merah (Eritema) Eritema merupakan lesi kulit primer yang paling sering ditemukan pada penyakit kulit, disebabkan dilatasi pembuluh darah dermis.Istilah ‘annular’ berasal dari bahasa Latin, yaitu ‘annulus’ yang berarti ‘dilingkari’. Lesi berupa makula atau plak berbentuk lingkaran atau oval dengan tepi eritematosa dan tengah central clearing. C. Bengkak (Edema) Edema adalah pembengkakan jaringan subkutan ,yang bila ditekan akan meninggalkancekungan (seperti sumur) .Kulit tampak mengkilat dan pucat.Hal ini disebabkan penumpukancairan yang abnormal diantara sel di luar pembuluh darah. Biasanya diantara sel selalu terdapat cairan ,hanya pada edema cairan ini berlebihan. Ruang antara sel ini disebut ruang interstisial. Edema dapat terjadi karena disebabkan oleh berbagai faktor salah satunya yaitu terjadinya peningkatan tekanan hidrostatik intra vaskula menimbulkan perembesan cairan plasma darah keluar dan masuk ke dalam ruang interstisium. Edema merupakan resiko pasca terjadinya kongesti yang diakibatkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik. Secara umum terdapat empat mekanisme terjadinya edema diantaranya yaitu: 1. peningkatan permeabilitas mikrovaskuler 2. peningkatan tekanan hidrostatik intravaskuler 3. penurunan tekanan osmotik intravaskuler 4. penurunan aliran limfatik D. Lecet (Eksoriasi) E. Menebal F. Bersisik Patogenesis Kadar nukleotida yang abnormal terutama adenosine monofosfat (Camp) siklik dan guanosin monofosfat (Cgmp) siklik Proliferasi dan migrasi sel epidermis yang cepat Epidermis menjadi tebal dan diliputi keratin yang tebal, bersisik seperti perak. 1. TINEA PEDIS A. Definisi Tinea pedis adalah infeksi jamur dermatofita yang menyerang pada telapak kaki dan ruang interdigitalis, dapat meluas ke lateral maupun punggung kaki dan dapat terjadi infeksi kronis Sekalipun bagi kebanyakan orang tidak menyakitkan, gangguan kulit yang satu ini boleh dikatakan sangat menjengkelkan. Di daerah tropis, seperti di Indonesia, hampir seluruh jenis tanaman tumbuh subur, termasuk berbagai jenis jamur yang berkembang biak di kulit. Penyakit ini sering menyerang pada orang dewasa yang bekerja di tempat basah seperti tukang cuci, petani atau orang yang setiap hari harus memakai sepatu tertutup seperti anggota tentara. Keluhan subyektif bervariasi mulai dari tanpa keluhan sampai dengan rasa gatal yang hebat dan nyeri bila ada infeksi sekunder.Masalah infeksi jamur menempati posisi ke dua dari seluruh penyakit kulit yang ditemui di dunia. Hal ini dikarenakan penyakit tersebut tidak hanya menyerang suatu golongan, namun dapat menyerang siapa saja bisa laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa, dimana dan kapan saja, di rumah, di kantor, di sekolah bahkan di tempat paling bersih sekalipun. Tinea pedis atau sering disebut athelete foot adalah dermatofitosis pada kaki, terutama pada sela-sela jari dan telapak kaki. Tinea pedis adalah dermatofitosis yang biasa terjadi. Penggunaan istilah athlete foot digunakan untuk menunjukan bentuk jari kaki yang seperti terbelah. Prevalensi dari tinea pedis sekitar 10%, terutama disebabkan oleh penggunaan alas kaki modern, meskipun perjalanan keliling dunia juga merupakan faktor. Kejadiaan tinea pedis lebih tinggi diantara komuniti yang menggunakan tempattempat umum seperti kamar mandi, shower atau kolam renang. . Kejadian infeksi ini sering terjadi pada iklim hangat lembab dimana dapat meningkatkan pertumbuhan jamur, tetapi jarang ditemukan di daerah yang tidak menggunakan alas kaki. B. Klasifikasi berdasarkan Morfologi Gambaran klinis dari tinea pedis dapat dibedakan berdasarkan tipe: 1. Interdigitalis. Di antara jari IV danjari V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis, dapat meluas kebawah jari (subdigital) dan telapak kaki. Kelainan kulit berupa kelompok vesikel. Sering terjadi maserasi pada selajari terutama sisi lateral berupa kulit putih dan rapuh, berfisura dan sering disertai bau. Bila kulit yang mati dibersihkan, akan terlihat kulit baru yang pada umumnya telah diserang jamur. Bentuk klinis ini dapat berlangsung bertahun-tahun dengan menimbulkan sedikit keluhan atau tanpak eluhan. Pada suatu ketika dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri sehingga terjadi selulitis, limfangitis, limfadenitis dan erisipelas, dengan gejala-gejala konstitusi (Zhan, 2009). Gambar.1 Tineapedis, Interdigitalis (Drawber, 2005) 2. Moccasin foot, tipe papuloskuamosa hiperkeratotik yang menahun. Pada seluruh kaki, dari telapak, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit menebal dan bersisik; eritema biasanya ringan dan terutama terlihat pada bagiant epilesi. Di bagian tepi lesi dapat pula dilihat papul dan kadang-kadang vesikel. Sering terdapat di daerah tumit, telapak kaki, dan kaki bagian lateral, dan biasanya bilateral (Zhan, 2009). Gambar 2. Tineapedispadatelapak kaki (Drawber, 2005) 3. Pada bentuk subakut terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang-kadang bula. Kelainan ini mula-mula terdapat di pada daerah sela jari, kemudian meluas ke punggung kaki atau telapak kaki, dan jarang pada tumit. Lesi-lesi ini mungkin berasal dari perluasan lesi daerah interdigital. Isi vesikel berupa cairan jernih yang kental. Setelah pecah, vesikel tersebut meninggalkan sisik berbentuk lingkaran yang disebut kolaret. Infeksi sekunder dapat terjadi, sehingga dapat menyebabkan selulitis, limfangitis, dan kadang-kadang menyerupai erisipelas. Jamur terdapat pada bagian atap vesikel. Untuk menemukannya, sebaiknya diambil atap vesikel atau bula untuk diperiksa untuk diperiksa secara sediaan langsung atau untuk dibiak (Zhan, 2009) Gambar 3. Tineapedis; VesikoBulosa, denganhiperpigmentasidarilesi yang inflamasi. (Hanier, 2003) 4. Bentuk yang terakhir adalah bentu kaku tul seratif pada telapak dengan maserasi, madidans, dan bau. Diagnosis Tinea pedis lebih sulit karena pemeriksaan kerokan kulit dan kultur sering tidak ditemukan jamur. (Zhan, 2009) Gambar 4. Tineapedis Type Ulseratif Gambar 4. TineapedistipeUlseratif (Drawber, 2005) C. Etiologi dan Patogenesis Tinea pedis disebabkan oleh Trichophyton rubrum(umumnya), Trichophyton mentagrophytes, Epidermophyton floccosum. Namun, penyebab utama dari setiap pasien rumit dengan adanya jamur saprofit, ragi dan /bakteri. Telah di observasi bahwa 9% dari kasus tinea pedis diakibatkan oleh agen infeksi selain dermatofit. karakteristik dari T.rubrum menghasilkan jenis yang relatif tidak ada peradangan dari dermatofitosis dengan eritema kusam dan sisik keperakan yang melibatkan seluruh telapak kaki dan sisi kaki menampilkan moccasin. Erosi juga terbatas pada infeksi jamur pada jari kaki atau bawah jari kaki, kadang-kadang bersisik dan meluas sampai pada badan, gluteus, dan extremiti. Individu dengan imun yang rendah mudah terkena infeksi, HIV/AIDS, transplantasi organ, kemoterapi, steroid dan nutrisi parenteral diakui dapat menurunkan resistansi pasien terhadap infeksi dermatofitosis. Kondisi seperti umur, obesitas, diabetes melitus juga mempunyai dampak negatife terhadap kesehatan pasien secara keseluruhan dan dapat menurunkan imunitas dan meningkatkan terjadinya tinea pedis. Diabetes melitus itu sendiri dikategorikan sebagai penyebab infeksi, pasien dengan penyakit ini 50% akan terkena infeksi jamur. Secara histologi, hiperkeratotis tinea pedis memiliki karakteristi berupa akantosis, hiperkeratosis, dan infiltrasi perivaskular yag dangkal, kronik dan dapat menyebar pada dermis. Bentuk vesicle-bula menampilkan spongiosis, parakeratosis, dan subkornea atau spongiosis intraepitel vesiculasi dengan kedua tipe, foci dari neutrofil biasanya dapat dilihat pada daerah stratum kornea. PAS atau pewarnaan silver methenamine menampilkan organisme jamur. Gambar 1. Tipe kering dari infeksi T. Rubrum D. Diagnosis a. Anamnesis 1) Keluhan utama Gatal di punggung kaki 2) Keluhan tambahan Bengkak, lecet dan kulit bersisik 3) Riwayat penyakit sekarang Pasien mengeluh timbul gatal-gatal di punggung kaki selama 1 tahun yang lalu. Seminggu yang lalu gatal dirasakan semakin hebat di sertai merah, bengkak dan lecet, terutama bila basah dan berkeringat, kulit juga dirassa menebal dan bersisik. 4) Riwayat penyakit dahulu Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya 5) Riwayat penyakit keluarga Tidak ada keluarga pasien yang mengalami hal serupa 6) Riwayat sosial ekonomi Pasien adalah seseorang yang bekerja sebagai tukang cuci 7) Riwayat alergi Tidak alergi terhadap apapun b. Pemeriksaan penunjang Diagnosis dari tinea pedis biasanya dilakukan secara klinikal dan berdasarkan examinasi dari daerah yang terinfeksi. Diagnosis yang digunakan biasanya dengan cara kulit dikerok untuk preparat KOH, biopsi skin, atau kulture dari daerah yang terinfeksi. 1. KOH Hasil preparat KOH biasanya positive di beberapa kasus dengan maserasi pada kulit. Pada pemeriksaan mikroskop KOH dapat ditemukan hifa septate atau bercabang, arthrospore, atau dalam beberapa kasus, sel budding menyediakan bukti infeksi jamur. 2. Kultur Kultur dari tinea pedis yang dicurigai dilakukan SDA(sabouraud’s dextrose agar), pH asam dari 5,6 untuk media ini menghambat banyak spesies bakteri dan dapat dibuat lebih selektif dengan penambahan suplemen kloramfenikol. Ini dapat selesai 2-4 minggu. Dermatophyte test medium(DTM) digunakan untuk isolasi selektif dan mengenali jamur dermatofitosis adalah pilihan lain diagnostik, yang bergantung pada indikasi perubahan warna dari oranye ke merah untuk menandakan kehadiran dermatofit. 3. Tes PAS PAS menunjukkan dinding polisakarida-sarat dari organisme jamur yang terkait dengan kondisi ini dan merupakan salah satu teknik yang paling banyak digunakan untuk mendeteksi karbohidrat protein terikat (glikoprotein). Tes ini dilakukan dengan mengekspos jaringan dari berbagai substrat untuk serangkaian reaksi oksidasi-reduksi, sebagai hasil akhir, elemen positif seperti karbohidrat, bahan membran basement menjadi permen apel merah(candy apple red). PAS kontras positif komponen ini tajam terhadap latar belakang biru merah muda. Tidak seperti kulture pada SDA atau DTM, hasil PAS dapat selesai sekitar 15 menit. PAS juga telah menjadi tes diagnostik yang paling dapat diandalkan untuk tinea pedis, dengan keberhasilan 98,8% dengan biaya paling efektif. E. Faktor risiko Tinea pedis mempunyai nama lain Athlete’s foot, ring worm of the foot atau kutu air. Beberapa faktor lain penyebab tinea pedis adalah pemakaian sepatu tertutup untuk waktu yang lama, bertambahnya kelembaban karena keringat, pecahnya kulit karena mekanis dan paparan terhadap jamur. Selain itu pemakaian kaus kaki dengan bahan yang tidak dapat menyerap keringat dapat menambah kelembaban di sekitar kaki yang cenderung mendukung jamur dapat tumbuh subur. Kondisi social ekonomi serta kurangnya kebersihan pribadi juga memegang peranan penting pada infeksi jamur (insiden penyakit jamur pada social ekonomi lebih rendah sering terjadi daripada social ekonomi yang lebih baik, hal ini terkait dengan status gizi yang mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang terhadap penyakit). Kebersihan pribadi (mencuci kaki setiap hari, menjaga kaki selalu kering) yang kurang diperhatikan turut mendukung tumbuhnya jamur. F. Tata Laksana 1. ANTIFUNGAL TOPIKAL Obat topikal digunakan untuk mengobati penyakit jamur yang terlokalisir. Efek samping dari obat-obatan ini sangat minimal, biasanya terjadi dermatitis kontak alergi, yang biasanya terbuat dari alkohol atau komponen yang lain. 1.1 Imidazol Topikal. Efektif untuk semua jenis tinea pedis tetapi lebih cocok pada pengobatan tinea pedis interdigitalis karena efektif pada dermatofit dan kandida. 1.2 Klotrimazole 1 %. Antifungal yang berspektrum luas dengan menghambat pertumbuhan bentuk yeast jamur. Obat dioleskan dua kali sehari dan diberikan sampai waktu 2-4 minggu. Efek samping obat ini dapat terjadi rasa terbakar, eritema, edema dan gatal. 1.2 Ketokonazole 2 % krim merupakan antifungal berspektrum luas golongan Imidazol; menghambat sintesis ergosterol, menyebabkan komponen sel yang mengecil hingga menyebabkan kematian sel jamur. Obat diberikan selama 2-4 minggu. 1.3 Mikonazol krim, bekerja merusak membran sel jamur dengan menghambat biosintesis ergosterol sehingga permeabilitas sel meningkat yang menyebabkan keluarnya zat nutrisi jamur hingga berakibat pada kematian sel jamur. Lotion 2 % bekerja pada daerah-daerah intertriginosa. Pengobatan umumnya dalam jangka waktu 2-6 minggu. 1.4 Tolnaftat 1% merupakan suatu tiokarbamat yang efektif untuk sebagian besar dermatofitosis tapi tidak efektif terhadap kandida. Digunakan secara lokal 2-3 kali sehari. Rasa gatal akan hilang dalam 24-72 jam. Lesi interdigital oleh jamur yang rentan dapat sembuh antara 7-21 hari. Pada lesi dengan hiperkeratosis, tolnaftat sebaiknya diberikan bergantian dengan salep asam salisilat 10 %. 1.5 Piridones Topikal merupakan antifungal yang bersifat spektrum luas dengan antidermatofit, antibakteri dan antijamur sehingga dapat digunakan dalam berbagai jenis jamur. 1.6 Sikolopiroksolamin. Pengunaan kliniknya untuk dermatofitosis, kandidiasis dan tinea versikolor. Sikolopiroksolamin tersedia dalam bentuk krim 1 % yang dioleskan pada lesi 2 kali sehari. Reaksi iritatif dapat terjadi walaupun jarang terjadi. 2. ANTIFUNGAL SISTEMIK Pemberian antifungal oral dilakukan setelah pengobatan topikal gagal dilakukan. Secara umum, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan pemberian beberapa obat antifungal di bawah ini antara lain : 2.1 Griseofulvin merupakan obat yang bersifat fungistatik. Griseofulvin dalam bentuk partikel utuh dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1 g untuk orang dewasa dan 0,25 - 0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10-25 mg/kg BB. Lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit, dan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis dilanjutkan 2 minggu agar tidak residif. Dosis harian yang dianjurkan dibagi menjadi 4 kali sehari. Di dalam klinik cara pemberian dengan dosis tunggal harian memberi hasil yang cukup baik pada sebagian besar penderita. Griseofulvin diteruskan selama 2 minggu setelah penyembuhan klinis. Efek samping dari griseofulvin jarang dijumpai, yang merupakan keluhan utama ialah sefalgia yang didapati pada 15 % penderita. Efek samping yang lain dapat berupa gangguan traktus digestivus yaitu nausea, vomitus dan diare. Obat tersebut juga dapat bersifat fotosensitif dan dapat mengganggu fungsi hepar. 2.2. Ketokonazole. Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu ketokonazole yang bersifat fungistatik. Kasus-kasus yang resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg per hari selama 10 hari – 2 minggu pada pagi hari setelah makan. Ketokonazole merupakan kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar. 2.3 Itrakonazole. Itrakonazole merupakan suatu antifungal yangdapat digunakan sebagai pengganti ketokonazole yang bersifat hepatotoksik terutama bila diberikan lebih dari sepuluh hari. Itrakonazole berfungsi dalam menghambat pertumbuhan jamur dengan mengahambat sitokorm P-45 yang dibutuhkan dalam sintesis ergosterol yang merupakan komponen penting dalam sela membran jamur. Pemberian obat tersebut untuk penyakit kulit dan selaput lendir oleh penyakit jamur biasanya cukup 2 x 100-200 mg sehari dalam selaput kapsul selama 3 hari. Interaksi dengan obat lain seperti antasida (dapat memperlambat reabsorpsi di usus), amilodipin, nifedipin (dapat menimbulkan terjadinya edema), sulfonilurea (dapat meningkatkan resiko hipoglikemia). Itrakonazole diindikasikan pada tinea pedis tipe moccasion. 2.4 Terbinafin. Terbinafin berfungsi sebagai fungisidal juga dapat diberikan sebagai pengganti griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya 62,5 mg – 250 mg sehari bergantung berat badan. Mekanisme sebagai antifungal yaitu menghambat epoksidase sehingga sintesis ergosterol menurun. Efek samping terbinafin ditemukan pada kira-kira 10 % penderita, yang tersering gangguan gastrointestinal di antaranya nausea, vomitus, nyeri lambung, diare dan konstipasi yang umumnya ringan. Efek samping lainnya dapat berupa gangguan pengecapan dengan presentasinya yang kecil. Rasa pengecapan hilang sebagian atau seluruhnya setelah beberapa minggu makan obat dan bersifat sementara. Sefalgia ringan dapat pula terjadi. Gangguan fungsi hepar dilaporkan pada 3,3 % - 7 % kasus. (1) Terbinafin baik digunakan pada pasien tinea pedis tipe moccasion yang sifatnya kronik. Pada suatu penelitian ternyata ditemukan bahwa pengobatan tinea pedis dengan terbinafine lebih efektif dibandingkan dengan pengobatan griseofulvin. 2. PSORIASIS A. Definisi Penyakit kulit kronik residif dengan lesi yang khas berupa bercak-bercak eritema berbatas tegas, ditutupi oleh skuama tebal berlapis-lapis berwarna putih mengkilat (Siregar,2013). B. Etiologi Pada penyakit ini penyebabnya belum jelas, tetapi yang pasti adalah pembentukan epidermis yang dipercepat (Siregar,2013). C. Faktor Risiko Pada penyakit ini faktor risiko yang dapat meningkatkan terjadinya psoriasis diantaranya kulit putih lebih banyak daripada kulit berwarna, lebih banyak pada daerah dingin dan di musim hujan, biasanya diturunkan secara autosomal dominan, infeksi lokal dan ganggua metabolik serta faktor stress , emosi dan kehamilan dapat memperberat penyakit (Siregar,2013). D. Patogenesis dan Patofisiologi Pada kulit normal, sel basal di stratum basalis membelah diri, bergerak keatas secara teratur sampai menjadi stratum korneum sekitar 28 hari, kemudian lapisan keratin dipermukaan kulit dilepaskan serta digantikan yang baru. Namun pada psoriasis, proses tersebut hanya berlangsung beberapa hari sehingga terbentuk skuama tebal,berlapis-lapis serta berwarna keperakan. Penyebab yang pasti psoriasis belum diketahui dengan pasti, namun,banyak faktorpredisposisi yang memegang peran penting seperti predisposisi genetik dan kelainan imunologis. Walaupun etiopatogenesis psoriasis tidak diketahui dengan pasti, namun banyak faktor yang diduga sebagai pemicu timbulnya psoriasis seperti: infeksi bakterial, trauma fisik, stress psikologis dan gangguan metabolisme. Bahkan beberapa ahli mengatakan bahwa psoriasis merupakan tanda adanya sindroma metabolik banyak penelitian yang menyatakan adanya hubungan antara psoriasis dengan sindroma metabolik (Mallbris et al 2006; Nestle et al 2009; Sanchez 2010). Sebelumnya psoriasis dianggap sebagai suatu penyakit primer akibat gangguan keratinosit, namun saat ini psoriasis dikenal sebagai suatu penyakit yang diperantarai oleh sistem imun. Psoriasis melibatkan interaksi kompleks diantara berbagai sel pada sistem imun dan kulit, termasuk sel dendritik dermal, sel T, neutrofil dan keratinosit. Pada psoriasis, sel T CD8+ terdapat di epidermis sedangkan makrofag, sel T CD4+ dan sel-sel dendritik dermal dapat ditemukan di dermis superfisial. Sejumlah sitokin dan reseptor permukaan sel terlibat dalam jalur molekuler yang menyebabkan manifestasi klinis penyakit (Guyton, 2006). Peran sistem imun dalam patogenesis psoriasis telah banyak penelitian yang dipublikasikan. Dua dekade terakhir ini peneliti menyatakan bahwa keterlibatan gangguan metabolisme lipid terhadap kejadian psoriasis. Beberapa penelitian menyatakan bahwa psoriasis sangat berhubungan dengan sindroma metabolik dan metabolisme lemak yang mengakibatkan adanya perubahan padaprofil lipid misalnya Low Density Lipoprotein (LDL) ,High Density Lipoprotein (HDL) dan triglesirida (Zaidi dkk. 2007; Gupta dkk.2011) Secara patologis, psoriasis terjadinya diferensiasis dan proliferasi keratinosit yang disertai proses inflamasi pada epidermis maupun epidermis.Peranan faktor imunologi dalam patogenesis psoriasis ditunjukkan dengan adanya peningkatan aktifitas sel presentasi antigen (antigene presenting cell/APC) ,yang disertai peningkatan aktivitas sel Limfosit T helper 1 dengan mensistesis sitokin proinflamasi seperti; IL-1, IL-6, IL-10, Interferon-gamma dan tumor necrosis factor. Sitokin proinflamasi ini akan mediasi aktivitas faktor-faktor pertumbuhan seperti; epidermal growth factor, nerve growth faktor, endothelian vascular growth factor, ICAM dan VCAM, yang pada akhirnya akan terjadi proliferasi keratinosit disertai proses peradangan (Joshi 2004; Chanet dkk.2006; Ghoreschidkk.2007; Brezinskidkk.,2013) E. Diagnosis Anamnesis : Ditemukannya macula dan papula eritematosa dengan ukuran mencapai lentikular nummular yang menyebar secara sentrifugal (Siregar,2013). Pemeriksaan fisik : a. Lokalisasi : siku,lutut,kulit kepala,telapak kaki dan tangan,punggung,tungkai atas dan bawah, serta kuku (Siregar,2013). b. Efloresensi / sifat-sifatnya : Makula eritematosa yang besarnya bervariasi dari miliar sampai nummular, dengan gambaran yang beraneka ragam, dapat arsinar,sirsinar, polisiklis atau geografis (Siregar,2013). Makula ini berbatas tegas ditutupi oleh skuama kasar berwarna putih mengkilat. Jika skuama digores oleh benda tajam menunjukkan tanda tetesan lilin. Jika penggoresan diteruskan maka timbul tanda Auspitz dengan bintik-bintik darah. Dapat pula menunjukkan fenomena Koebner atau reaksi isomorfik, yaitu timbul lesi-lesi psoriasis pada bekas trauma/garukan (Siregar,2013). Keluhan utama pasien psoriasis adalah lesi yang terlihat, rendahnya kepercayaan diri, gatal dan nyeri terutama jika mengenai telapak tangan, telapak kaki dan daerah intertriginosa. Selain itu psoriasis dapat mengganggu aktivitas sehari-hari bukan hanya oleh karena keterlibatan kulit, tetapi juga menimbulkan arthritis psoriasis. Gambaran klinis psoriasis adalah plak eritematosa sirkumskrip dengan skuama putih keperakan diatasnya dan tanda Auspitz. Warna plak dapat bervariasi dari kemerahan dengan skuama minimal, plak putih dengan skuama tebal hingga putih keabuan tergantung pada ketebalan skuama. Pada umumnya lesi psoriasis adalah simetris (Gudjonsson dan Elder, 2012). Psoriasis juga dapat timbul pada tempat terjadinya trauma, hal ini disebut dengan fenomena Koebner. Penggoresan skuama utuh dengan mengggunakan pinggir gelas objek akan menyebabkan terjadinya perubahan warna lebih putih seperti tetesan lilin. Selain dari presentasi klasik yang disebutkan diatas terdapat beberapa tipe klinis psoriasis. Psoriasis vulgaris yang merupakan tipe psoriasis yang paling sering terjadi, berupa plak kemerahan berbentuk oval atau bulat, berbatas tegas, dengan skuama berwarna keputihan. Lesi biasanya terdistribusi secara simetris pada ekstensor ekstremitas, terutama di siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral, bokong dan genital. F. Klasifikasi Psoriasis Klasifikasi Psoriasis dibagi berdasarkan beberapa jenis yaitu (Gudjonsson JE, 2008) : 1. Psoriasis Vulgaris Merupakan bentuk yang paling umum dari psoriasis dan sering ditemukan (80%). Psoriasis ini tampak berupa plak yang berbentuk sirkumskrip. Jumlah lesi pada psoriasis vulgaris dapat bervariasi dari satu hingga beberapa dengan ukuran mulai 0,5 cm hingga 30 cm atau lebih. Lokasi psoriasis vulgaris yang paling sering dijumpai adalah ekstensor siku, lutut, sakrum dan scalp. Selain lokasi tersebut diatas, psoriasis ini dapat juga timbul di lokasi lain. 2. Psoriasis Gutata Tampak sebagai papul eritematosa multipel yang sering ditemukan terutama pada badan dan kemudian meluas hingga ekstremitas, wajah dan scalp Lesi psoriasis ini menetap selama 2-3 bulan dan akhirnya akan mengalami resolusi spontan. Pada umumnya terjadi pada anak-anak dan remaja yang seringkali diawali dengan radang tenggorokan. 3. Psoriasis Pustulosa Generalisata (Von Zumbusch) Psoriasis jenis ini tampak sebagai erupsi generalisata dengan eritema dan pustul. Pada umumnya diawali oleh psoriasis tipe lainnya dan dicetuskan oleh penghentian steroid sistemik, hipokalsemia, infeksi dan iritasi lokal. 4. Psoriasis Pustulosa Lokalisata Kadang disebut juga dengan pustulosis palmoplantar persisten. Psoriasis ini ditandai dengan eritema, skuama dan pustul pada telapak tangan dan kaki biasanya berbentuk simetris bilateral. G. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan yang bertujuan menganalisis penyebab psoriasis, seperti pemeriksaan darah rutin, kimia darah, gula darah kolesterol dan asam urat (Siregar,2013). H. Tata Laksana Psoriasis Terapi psoriasis digolongkan ke dalam dua golongan, yaitu terapi farmakologis dan non farmakologis. Psoriasis sebagai penyakit yang multifaktorial dengan penyebab belum diketahui dengan pasti, sehingga penanganannya juga sangat bervariasi dan setiap pusat pendidikan mempunyai acuan yang berbeda. Terdapat berbagai variasi terapi psoriasis, mulai dari topikal untuk psoriasis ringan hingga fototerapi dan terapi sistemik untuk psoriasis berat. Edukasi kepada pasien tentang faktor-faktor pencetusnya perlu disampaikan kepada pasien maupun. Beberapa regimen terapi farmakologis yang sering digunakan topikal maupun sistemik sebagai berikut keluarganya (Bettina, 2005) : 1. Topikal a) Preparat Tar Obat topikal yang biasa digunakan adalah preparat tar, yang efeknya adalah anti radang. Preparat tar berguna pada keadaan-keadaan: Bila psoriasis telah resisten terhadap steroid topikal sejak awal atau pemakaian pada lesi luas. Lesi yang melibatkan area yang luas sehingga pemakaian steroid topikal kurang tepat. Bila obat-obat oral merupakan kontra indikasi oleh karena terdapat penyakit sistemik. Menurut asalnya preparat tar dibagi menjadi 3, yakni yang berasal dari : Fosil, misalnya iktiol. Kayu, misalnya oleum kadini dan oleum ruski dan Batubara, misalnya liantral dan likuor karbonis detergens. Cara kerja obat ini sebagai antiinflamasi ringan. b) Kortikosteroid Kerja steroid topikal pada psoriasis diketahui melalui beberapa cara , yaitu: i. Vasokonstriksi untuk mengurangi eritema. ii. Sebagai antimitotik sehingga dapat memperlambat proliferasi seluler. iii. Efek anti inflamasi, diketahui bahwa pada psoriasis terjadi peradangan kronis akibat aktivasi sel T. Bila terjadi lesi plak yang tebal dipilih kortikosteroid dengan potensi kuat seperti: Fluorinate, triamcinolone 0,1% dan flucinolone topikal efektif untuk kebanyakan kasus psoriasis pada anak. Preparat hidrokortison 1%-2,5% digunakan bila lesi sudah menipis. c) Ditranol (antralin) Hampir sama dengan tar memiliki efek antiinflamasi ringan, sebab dapat mengikat asam nukleat, menghambat sintesis DNA dan menggabungkan uridin ke dalam RNA nukleus. d) Vitamin D analog (Calcipotriol) Calcipotriol ialah sintetik vit D yang bekerja dengan menghambat proliferasi sel dan diferensiasi keratinosit, meningkatkan diferensiasi terminal keratinosit. Preparatnya berupa salep atau krim 50 mg/g, efek sampingnya berupa iritasi, seperti rasa terbakar dan menyengat. e) Tazaroten Merupakan molekul retinoid asetilinik topikal, efeknya menghambat proliferasi dan normalisasi petanda differensiasi keratinosit dan menghambat petanda proinflamasi pada sel radang yang menginfiltrasi kulit. Tersedia dalam bentuk gel, dankrim dengan konsentrasi 0,05 % dan 0,1 %. Bila dikombinasikan dengan steroid topikal potensi sedang dan kuat akan mempercepat penyembuhan dan mengurangi iritasi. Efek sampingnya ialah iritasi berupa gatal, rasa terbakar, dan eritema pada 30 % kasus, juga bersifat fotosensitif. 2. Sistemik a) Kortikosteroid Pemberian kortikosteroid sistemik masih kontroversial kecuali yang bentuk eritrodermi, psoriasis artritis dan psoriasis pustulosa Tipe Zumbusch. Dimulai dengan prednison dosis rendah 30-60 mg (1-2 mg/kgBB/hari), atau steroid lain dengan dosis ekivalen. Setelah membaik, dosis diturunkan perlahan-lahan, kemudian diberi dosis pemeliharaan. Penghentian obat secara mendadak akan menyebabkan kekambuhan dan dapat terjadi Psoriasis Pustulosa Generalisata. b) Sitostatik Bila keadaan berat dan terjadi eritrodermi serta kelainan sendi dapat sitostatik yang biasa digunakan ialah metotreksat (MTX). Obat ini sering digunakan Psoriasis Artritis dengan lesi kulit, dan Psoriasis Eritroderma yang sukar terkontrol. Bila lesi membaik dosis diturunkan secara perlahan. Kerja metotreksat adalah menghambat sintesis DNA dengan cara menghambat dihidrofolat reduktase dan juga hepatotoksik maka perlu dimonitor fungsi hatinya. Karena bersifat menekan mitosis secara umum, hati-hati juga terhadap efek supresi terhadap sumsum tulang. c) Etretinat (tegison, tigason) Etretinat merupakan retinoid aromatik, derivat vitamin A digunakan bagi psoriasis yang sukar disembuhkan dengan obat-obat lain mengingat efek sampingnya. Etretinat efektif untuk Psoriasis Pustular dan dapat pula digunakan untuk psoriasis eritroderma. Kerja retinoid yaitu mengatur pertumbuhan dan diferensiasi terminal keratinosit yang pada akhirnya dapat menetralkan stadium hiperproliferasi. Efek samping dapat terjadi kulit menipis dan kering, selaput lendir pada mulut, mata, dan hidung kering, kerontokan rambut, cheilitis, pruritus, nyeri tulang dan persendian, peninggian lipid darah, gangguan fungsi hepar (peningkatan enzim hati). d) Siklosporin A Digunakan bila tidak berespon dengan pengobatan konvensional. Efeknya ialah imunosupresif. Dosisnya 1-4mg/kgbb/hari. Bersifat nefrotoksik dan hepatotoksik, gastrointestinal, flu like symptoms, hipertrikosis, hipertrofi gingiva,serta hipertensi. Hasil pengobatan untuk psoriasis baik, hanya setelah obat dihentikan dapat terjadi kekambuhan. (Gudjonsson and Elder,2012) e) TNF-antagonis Tumor Necrosis Factor (TNF) alpha merupakan sitokin proinflamasi yang memegang peran penting dalam patogenesis psoriasis. Saat ini sedang dikembangkan sebagai terapi yang memberi haparan baru. Sediaannya antara lain Adalimumab, Infliximab, etanercept, alefacept dan efalizumab. Sedangkan untuk terapi non-farmakologis pada Psoriasis meliputi : 1. Humektan dan Emolien Efek emolien ialah melembutkan permukaan kulit dan mengurangi hidrasi kulit sehingga kulit tidak terlalu kering. Pada batang tubuh (selain lipatan), ekstremitas atas dan bawah biasanya digunakan salep dengan bahan dasar vaselin 1-2 kali/hari, fungsinya juga sebagai emolien dengan akibat meninggikan daya penetrasi bahan aktif. Jadi emolien sendiri tidak mempunyai efek antipsoriasis (Damasiewicz, 2007). 2. Fototerapi Narrowband UVB untuk saat ini merupakan pilihan untuk psoriasis yang rekalsitran dan eritroderma. Sinar ultraviolet masih menjadi pilihan di beberapa klinik. Sinar ultraviolet B (UVA) mempunyai efek menghambat mitosis, sehingga dapat digunakan untuk pengobatan psoriasis. Cara yang terbaik adalah dengan penyinaran secara alamiah, tetapi tidak dapat diukur dan jika berlebihan maka akan memperparah psoriasis. Karena itu, digunakan sinar ulraviolet artifisial, diantaranya sinar A yang dikenal sebagai UVA. Sinar tersebut dapat digunakan secara tersendiri atau berkombinasi dengan psoralen (8metoksipsoralen, metoksalen) dan disebut PUVA, atau bersama-sama dengan preparat ter yang dikenal sebagai pengobatan cara Goeckerman. PUVA efektif pada 85 % kasus, ketika psoriasis tidak berespon terhadap terapi yang lain (Suite, 2006).