Dinamika Perikanan Purse Seine Yang Berbasis di

advertisement
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Alat Tangkap Purse Seine
Pukat cincin (purse seine) adalah jaring yang umumnya berbentuk empat
persegi panjang, dilengkapi dengan tali kerut yang dilewatkan melalui cincin yang
diikatkan pada bagian bawah jaring (tali ris bawah), sehingga dengan menarik tali
kerut bagian bawah jaring dapat dikucupkan dan jaring akan berbentuk seperti
mangkok (Baskoro 2002). Disebut ”pukat cincin” karena alat ini dilengkapi
dengan cincin. Fungsi cincin dan tali kerut/tali kolor ini penting terutama pada
waktu pengoperasian jaring.
Brandt (1984) menyatakan bahwa purse seine merupakan alat tangkap
yang lebih efektif untuk menangkap ikan-ikan pelagis yang berada di sekitar
permukaan air. Purse seine dibuat dengan dinding jaring yang lebih panjang,
terkadang mendekati hingga kiloan meter dengan panjang jaring bagian bawah
sama atau lebih panjang dari bagian atas. Dengan bentuk konstruksi jaring seperti
ini, tidak ada kantong yang berbentuk permanen pada jaring purse seine.
Karakteristik jaring purse seine terletak pada cincin yang terletak pada bagian
bawah jaring.
Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1991), purse seine adalah sejenis
alat tangkap yang terdiri dari jaring yang membentang antara tali ris atas yang
dilengkapi sejumlah pelampung dan tali ris bawah yang dipasang gelang-gelang.
Hubungan antara pelampung dan pemberatnya sangat erat agar jaring bisa
membuka dan membentang dengan baik. Purse seine atau pukat cincin adalah
suatu alat yang efektif untuk penangkapan jenis ikan pelagis yang gerombolannya
besar.
Menurut Subani dan Barus (1989) alat tangkap purse seine banyak
digunakan di pantai uatara Jawa/Jakarta, Cirebon, Batang, Pemalang, Tegal,
Pekalongan, Juwana, Muncar dan Pantai Selatan seperti Cilacap dan Prigi. Alat
tangkap purse seine ada yang menamakannya dengan ”kursin, jaring kolor, pukat
cincin, janggutan dan jaring slerek’. Pukat cincin terutama terdapat di sepanjang
pantai Utara Jawa. Sejak diperkenalkan pada tahun 1968 ke Indonesia di Batang,
Jawa Tengah alat tangkap tersebut tersebar dengan cepat dan sekarang dapat
diketemukan di seluruh propinsi Indonesia (Potier dan Sadhotomo 1995).
Baskoro (2002) menyatakan bahwa alat penangkap ikan purse seine ini
dioperasikan dengan cara melingkari gerombolan ikan baik dengan menggunakan
satu kapal ataupun dua unit kapal. Setelah gerombolan ikan terkurung, kemudian
bagian bawah jaring dikerutkan hingga tertutup dengan menarik tali kerut yang
dipasang sepanjang bagian bawah melalui cincin. Alat penangkapan ini ditujukan
untuk menangkap gerombolan ikan permukaan (pelagic fish).
Gambar 2 Unit penangkapan purse seine.
(Sumber: www.eurobc.org/purseseine.gif)
Berdasarkan sumberdaya pelagis yang dieksploitasi, bentuk geografi fisik
(letak sungai dan pantai) dan geografi manusia (permodalan, tempat pendaratan
dan pasar yang potensial), maka bentuk perikanan purse seine dapat dibedakan
menjadi tiga jenis yaitu: (Potier dan Sadhotomo 1995)
1) Perikanan purse seine mini, tersebar sepanjang pantai Utara Jawa
(terutama Propinsi Jawa Timur) dan Propinsi Kaimantan Selatan (sekitar
Pulau laut). Dengan waktu penangkapan
yang relatif pendek mereka
mencari jenis-jenis ikan yang mempunyai nilai komersial tinggi dan
dipasarkan secara lokal.
2) Perikanan purse seine sedang, terdapat hanya di pelabuhan Pekalongan,
Propinsi Jawa Tengah. Waktu penangkapan berlangsung antara 6 sampai
15 hari. Hasil tangkapan dijual secara segar di pelelangan untuk
dipasarkan di dalam propinsi Jawa Tengah atau propinsi lainnya di Jawa.
3) Perikanan purse seine besar, terpusat di propinsi Jawa Tengah, yaitu
Tegal, Pekalongan, Batang, dan Juwana serta Rembang. Waktu
penangkapan dapat mencapai 40 hari. Hasil tangkapan dijual segar atau
asin dan dipasarkan sampai keluar Jawa.
2.2. Dinamika Perikanan Tangkap
Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdiri dari tiga
komponen utama (subsistem) yaitu sistem alam (ikan), sistem manusia dan sistem
pengelolaan. Ketiga komponen sistem tersebut beserta subkomponennya dan
faktor eksternal berinteraksi secara dinamis (Charles 2001).
Subsistem-subsistem tersebut beserta komponen utama adalah (1) Sistem
alam terdiri dari subsistem sumberdaya ikan, subsistem ekosistem dan subsistem
lingkungan biofisik; (2) Sistem manusia terdiri dari subsistem nelayan, subsistem
pasca panen dan konsumen serta subsistem rumah tangga dan komunitas
perikanan; (3) Sistem manajemen perikanan terdiri dari subsistem kebijakan dan
perencanaan, subsistem pengelolaan, subsistem pengembangan dan subsistem
penelitian perikanan (Charles 2001).
Sub sistem sumberdaya ikan tersusun oleh beberapa komponen yaitu
komunitas ikan, habitat (ekosistem) dan lingkungan biofisik. Komponenkomponen tersebut sangat dipengaruhi oleh dinamika faktor eksternal seperti
perubahan iklim dan lingkungan perairan atau faktor hidrooseanografi. Kondisi
seperti ini menjadikan sumberdaya ikan sebagai satu subsistem yang dinamis dan
kompleks. Satu sumberdaya ikan tidak berdiri sendiri namun terkait dan saling
berinteraksi dengan sumberdaya ikan lainnya dan faktor-faktor lainnya (Widodo
dan Suadi 2006).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kedinamikan tersebut adalah faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal berhubungan dengan operasi
penangkapan meliputi kapasitas alat penangkap ikan, kapasitas kapal, dan biaya
operasional. Sedangkan faktor eksternal meliputi musim ikan dan cuaca
(lingkungan) (Charles 2001).
Dinamika upaya penangkapan adalah perubahan tingkat eksploitasi
sumberdaya ikan suatu wilayah dipengaruhi antara lain tingkat keuntungan dan
teknologi yang diterapkan. Dinamika armada perikanan (fleet dynamics) yaitu
keluar masuknya suatu armada secara spasial pada suatu fishing ground atau
secara temporal pada suatu musim tertentu dari suatu sumberdaya ikan. Perubahan
ini dipengaruhi antara lain oleh faktor kelimpahan dan distribusi ikan, harga ikan,
dan pengelolaan sumberdaya yang diterapkan (Charles 2001).
Dalam beradaptasi terhadap perubahan faktor eksternal (lingkungan)
nelayan
akan
menerapkan
strategi
penangkapan
ikan
tertentu
dengan
mengalokasikan alat tangkapnya (Hilborn and Waters 1882). Hasil penelitian
Wiyono (2006), menyatakan bahwa nelayan perikanan skala kecil di Pelabuhan
Ratu dalam mengalokasikan alat tangkap ikan dipengaruhi oleh kondisi iklim.
2.3 Sumber Daya Ikan Pelagis
Laut Jawa memiliki komoditas sumber daya ikan pelagis yang potensial.
Enam dari 16 jenis ikan yang tertangkap merupakan hasil tangkapan utama purse
seine. Enam jenis utama tersebut adalah ikan layang biasa (Decapterus ruselli),
layang deles (D. macrosoma), selar bentong (Selar crumenophthalmus),
banyar/kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta), siro/lemuru (Amblygaster sirm,
dan tembang/juwi (Sardinella spp.) (BRPL 2004).
2.3.1 Ikan layang (Decapterus spp.)
Ikan layang merupakan salah satu komoditi perikanan lepas pantai yang
terdapat di Indonesia, yang bersifat pelagic schooling species. Ikan ini aktif
berenang dan akan bergerombol membentuk kerumunan di suatu daerah yang
sempit atau sekitar benda-benda yang terapung bila tidak aktif berenang (Widodo
1988). Klasifikasi ikan layang menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :
Phyllum: Chordata
Sub Phyllum : Vertebrata
Class: Pisces
Sub Class : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Sub Ordo : Percoidea
Famili : Carangidae
Genus : Decapterus
Spesies : Decapterus ruselli
Decapterus macrosoma
Decapterus lajang
Decapterus curroides
Decapterus maruadsi
Nama Indonesia : Layang
Berdasarkan hasil tangkapannya dan nilai ekonomisnya, sumberdaya
perikanan pelagis kecil di Laut Jawa didominasi oleh dua spesies, yaitu ikan
layang biasa (D. ruselli) dan ikan layang deles (D. macrosoma)(Widodo 1988).
Sebaran ikan layang menurut jenis berdasarkan daerah tangkapannya di
Indonesia (Burhanuddin 1983) adalah sebagai berikut :
1) Decapterus curroides
Perairan Indonesia : Pelabuhan Ratu, Labuhan, Muncar, Bali dan Aceh
2) Decapterus ruselli
Perairan Indonesia : Laut Jawa, Sulawesi, Selayar, Ambon, Selat Makasar,
Selat Bali, Selat Sunda dan Selat Madura
3) Decapterus lajang
Perairan Indonesia : Laut Jawa (termasuk Selat Sunda, Selat Madura dan
Selat Bali), Selat Makasar, Ambon, dan Ternate
4) Decapterus maruadsi
Perairan Indonesia: Jenis ikan ini tertangkap di Pulau Banda
5) Decapterus macrosoma
Perairan Indonesia : Selat Bali, Laut Banda, Ambon, Selat Makasar dan
Sangihe
Ikan layang yang dominan tertangkap di perairan Pekalongan yaitu
Decapterus ruselli. Ikan ini mempunyai sirip punggung pertama berjari-jari keras
8, sirip punggung kedua berjari-jari keras 1 dan 30-32 jari-jari lemah. Sirip anal
terdiri dari 2 jari-jari keras, sedangkan 1 jari-jari keras bergandeng dengan 24-27
jari-jari lemah. Lateral scute berjumlah 40 dan lebarnya 0,2–0,25 dari tinggi
tubuhnya. Bagian atas berwarna kehijau-hijauan dan bagian bawahnya keperakan,
terdapat sebuah titik hitam pada operculum, sirip kekuningan atau kecoklatan
(Asikin 1971).
2.3.2 Ikan kembung (Rastrelliger spp.)
Secara umum ikan kembung (Rastrelliger spp.) berbentuk cerutu, tubuh
dan pipinya ditutupi oleh sisik-sisik kecil, bagian dada agak lebih besar dari
bagian yang lain. Mata mempunyai kelopak yang berlemak. Gigi yang kecil
terletak di tulang rahang. Tulang insang dan banyak sekali terlihat seperti bulu
jika mulut terbuka. Mempunyai dua buah sirip punggung (dorsal), sirip punggung
pertama terdiri atas jari-jari lemah dan sama dengan sirip dubur (anal) tidak
mempunyai jari-jari keras. Lima sampai enam sirip tambahan (finlet) terdapat di
belakang sirip dubur (anal) dan sirip punggung (dorsal) kedua. Bentuk sirip ekor
(caudal) bercagak dalam. Sirip dada ( pectoral) dengan dasar agak melebar dan
sirip perut terdiri atas satu jari-jari keras dan jari-jari lemah (Saanin 1984), dan
selanjutnya mengklasifikasikan ikan kembung sebagai berikut :
Phyllum : Chordata
Sub Phyllum : Vertebrata
Class: Pisces
Sub Class : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Sub Ordo : Scombridae
Famili : Scombridae
Genus : Rastrelliger
Spesies : Rastrelliger brachysoma
Rastrelliger kanagurta
Nama Indonesia : kembung
Ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) biasanya ditemukan di
perairan yang jernih dan agak jauh dari pantai dengan kadar garam lebih dari
32%o, sedangkan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) dijumpai di
perairan dekat pantai dengan kadar garam lebih rendah (Nontji 1993). Penyebaran
utama ikan kembung (Rastrelliger spp.) adalah Kalimantan di perairan Barat,
Timur dan Selatan serta Malaka, sedangkan daerah penyebarannya mulai dari
Pulau Sumatera bagian Barat dan Timur, Pulau Jawa bagian Utara dan Selatan,
Nusa Tenggara, Sulawesi bagian Utara dan Selatan, Maluku dan Irian Jaya
(Direktorat Jenderal Perikanan 1997).
2.3.3. Ikan selar (Selaroides spp.)
Jenis-jenis ikan selar (Selaroides spp.) yang tertangkap di perairan
Indonesia dan tercatat di dalam data statistik perikanan Indonesia, yatu selar
bentong (Selar crumenophthalmus) dan selar kuning (Selaroides leptolepsis)
(Nontji 1993). Klasifikasi selar menurut Saanin (1984) adalah berikut:
Phyllum : Chordata
Sub Phyllum : Vertebrata
Class: Pisces
Sub Class : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Famili : Carangidae
Sub Famili: Caranginae
Genus : Caranx
Sub Genus : Selar
Spesies :
Selar crumenopthalmus
Nama Indonesia : selar
Selar kuning (Selaroides leptolepsis) memiliki bentuk badan lonjong, pipih
dengan sirip punggung (dorsal) pertama berjari-jari keras delapan buah,
sedangkan sirip punggung (dorsal) kedua berjari-jari keras satu buah dengan jarijari lemah 15 buah. Sirip dubur (anal) terdiri atas dua jari-jari keras yang terpisah
dan satu jari-jari keras yang bersambung dengan 20 jari-jari lemah. Tapis insang
pada busur insang pertama bagian bawah berjumlah 26 buah. Garis rusuk
membusur,
memiliki
25-34
sisik
dun
(scute).
Selar
bentong
(Selar
crumenophthalmus) memiliki bentuk yang hampir sama tetapi dapat dibedakan
dari matanya yang berukuran lebih besar (Direktorat Jenderal Perikanan 1997).
Perbedaan mendasar lainnya terletak pada jumlah jari-jari pada sirip dubur
(anal) dan sirip punggung (dorsal), jumlah tapis insang, jumlah sisik duri. Jari-jari
keras sirip punggung (dorsal) pertama ada sembilan buah (satu yang terdepan
mengarah ke bagian muka), sedangkan yang kedua berjari-jari keras satu dan jarijari lemah 24-26 buah. Sirip dubur (anal) terdiri atas jari-jari keras yang terpisah
dan satu jari-jari keras yang tersambung kemudian lurus pada bagian belakangnya
dengan sisik dun (scute) berjumlah 32-38 buah. Kedua jenis ikan ini memakan
ikan-ikan kecil dan udang kecil. Hidup secara bergerombol di sekitar pantai
dangkal, sedangkan Selar crumenophthalmus hidup sampai kedalaman 80 meter
(Direktorat Jenderal Perikanan 1997).
2.3.4 Ikan tembang / juwi (Sardinella spp.)
Ikan tembang (Sardinella spp.) sudah lama dikenal sebagai ikan konsumsi
yang penting di Indonesia. Ikan tembang termasuk ke dalam jenis ikan pelagis
kecil yang ditangkap dengan berbagai macam alat tangkap seperti : payang, pukat
cincin, bagan dan jaring insang hanyut. Daerah penyebarannya meliputi seluruh
perairan pantai Indonesia, ke utara sampai ke Taiwan, ke selatan sampai ke ujung
utara Australia dan ke barat sampai Laut Merah (Direktorat Jenderal Perikanan
1997). Weber dan Beaufort 1965, diacu dalam Wiyono 2001, menyatakan bahwa
ikan tembang di Indonesia antara lain terdapat di perairan sekitar Ujung Kulon
dan Laut Jawa.
Ciri-ciri umum ikan tembang adalah bentuk badannya yang memanjang
gepeng (fusiform) dan ada sisik-sisik duri yang terdapat di bagian bawah badan.
Ikan tembang memiliki tapis insang halus serta warna kulitnya biru kehijauan di
bagian ata dan putih keperakan di bagian bawah. Sirip pucat kehijauan dan tembus
cahaya dan panjangnya dapat mencapai 16 cm. Ikan tembang memiliki perut
bersisik tebal yang bersiku, sangat pipih dengan sirip perut yang sempurna.
Rahangnya sama panjang, mulut besar dan gigi terdapat pada langit-langit. Ikan
tembang adalah pemakan plankton. Ikan ini juga memiliki beberapa nama di
Indonesia yaitu : tembang, tamban, tamban sisik dan tanjang. Ikan tembang
terdapat di seluruh perairan Indonesia dan merupakan ikan yang suka
berkelompok dan biasanya berada di permukaan perairan pantai (Saanin 1984).
Klasifikasi tembang menurut Fischer dan Whitehead (1974), adalah
sebagai berikut :
Phyllum : Chordata
Sub Phyllum : Vertebrata
Class: Pisces
Sub Class : Teleostei
Ordo : Malacopterygii
Famili : Clupeidae
Sub Famili: Clupeinae
Genus : Sardinella
Spesies : Sardinella spp.
Nama Indonesia : tembang
Menurut Nurhakim et al.(1987), jenis ikan tembang yang terpenting di
Laut Jawa adalah Sardinella fimbriata dan S. gibbosa. Fischer dan Whitehead
(1974) menyatakan bahwa Sardinella fimbriata merupakan ikan permukaan dan
hidup di perairan pantai serta suka bergerombol pada area yang luas sehingga
sering tertangkap bersama-sama ikan lemuru.
2.3.5 Ikan siro, lemuru (Amblygaster sirm , Sardinella sirm)
Ikan siro (Amblygaster sirm) merupakan salah satu sumberdaya perikanan
pelagis yang penting di Laut Jawa. Ikan siro menyebar secara luas mulai dari
Afrika timur hingga kepulauan Fiji dan dari Australia Utara hingga Okinawa
(Fishcer dan Whitehead 1974). Di Indonesia ikan ini terdapat hampir di seluruh
perairan. Ikan ini juga memiliki beberapa nama di Indonesia yaitu : siro, sardin,
lemuru, tanjan.
Ciri-ciri umum ikan siro adalah bersisik, tidak bersungut, tidak berjari-jari
keras pada sirip punggung, tidak bersirip punggung tambahan yang seperti kulit,
tidak berbercak-bercak yang bercahaya, bertulang dahi belakang, sirip dada
senantiasa sempurna, mulut lebar, rahang sama panjang, daun insang satu sama
lain tidak melekat, permulaan sirip punggung dimuka permulaan sirip perut,
tulang mata bajak tidak bergigi, perut agak membundar, tidak tajam, pinggiran
perut di muka sirip perut tidak bergigi, langit-langit dan lidah bergigi, tidak
berbelang dan mempunyai 40 tulang saring insang.
Klasifikasi tembang menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :
Phyllum : Chordata
Sub Phyllum : Vertebrata
Class: Pisces
Sub Class : Teleostei
Ordo : Malacopterygh
Famili : Clupeidae
Sub famili : Clupeinae
Genus : Clupea
Sub genus : Amblygaster
Spesies : Amblygaster sirm
Nama Indonesia : siro, lemuru
2.4 Pengaruh Parameter Fisik Lingkungan Terhadap Ikan
Dinamika sumber daya ikan mempunyai banyak proses yang tergantung
musim, seperti migrasi pemijahan, pembesaran, migrasi dari perairan dalam ke
perairan dangkal dan hatching of larvae. Beberapa faktor lingkungan yang
mempengaruhi sebaran dan kelimpahan ikan tersebut antara lain arus permukaan,
suhu, salinitas, kandungan oksigen.
2.4.1 Arus permukaan
Salah satu pengaruh utama angin permukaan dan anomalinya terhadap laut
adalah pembentukan arus permukaan. Arus permukaan mempengaruhi adveksi
dari aneka jenis air, yang dapat merubah karakteristik lingkungan dalam lokasi
tertentu. Jenis air permukaan kadang dicirikan oleh suhu dan salinitas. Kedua
parameter tersebut merupakan ciri non konservatif di permukaan dan bisa berubah
terhadap perubahan lokal. Warna air terutama kandungan plankton dapat juga
sebagai petunjuk teknis massa air permukaan dan mungkin dapat berguna dari
sudut pandang ekosistem.
Menurut Laevastu dan Hayes (1981), adveksi massa air laut oleh arus
merupakan faktor penting yang menyebabkan perpindahan lokal dalam
lingkungan laut. Ikan diduga merespon secara langsung terhadap perubahan
lingkungan tersebut dengan mengikuti arus dan juga melakukan orientasi pribadi
terhadap arus. Lebih lanjut dikatakan bahwa :
1) Arus membawa telur-telur ikan pelagis dan anak-anak ikan dari area
spawning ke area nursery serta dari area nursery ke area feeding.
2) Arus juga digunakan sebagai orientasi dan mempengaruhi rute migrasi
ikan-ikan dewasa.
3) Arus khususnya di perbatasan dapat mempengaruhi distribusi ikan dewasa
baik secara langsung maupun tidak langsung.
4) Arus akan mempengaruhi kondisi alami lingkungan perairan dan secara
tidak langsung menentukan kelimpahan ikan-ikan tertentu dan merupakan
pembatas distribusi ikan.
Arus dapat mempengaruhi migrasi ikan oleh angkutan pasif juvenil
mulai dari daerah pembesaran sampai daerah pemijahan, dan mungkin berperan
sebagai suatu penjajakan migrasi arus balik dari ikan dewasa mulai dari daerah
pembesaran sampai daerah spawning. Sehingga anomali arus permukaan dapat
mempengaruhi baik sebaran larva dan juvenil juga migrasi spawning dari ikan
dewasa. Sebaran stok ikan utama bisanya mengikuti sistem arus tertentu.
Anomali arus permukaan mempengaruhi letak daerah front suhu
permukaan. Daerah front tersebut diketahui mempengaruhi penyebaran ikan, yang
kadang diasumsikan berkaitan dengan suhu tetapi juga berhubungan dengan arus
dan atau jenis air.
2.4.2 Suhu
Suhu merupakan faktor penting untuk penentuan daerah penangkapan
ikan (fishing ground). Ikan sangat peka terhadap perubahan suhu yaitu sebesar
0.03 oC. Setiap spesies ikan umumnya memiliki sebaran suhu tertentu dimana
ikan dapat beradaptasi. Suhu berpengaruh terhadap gas terlarut di air laut seperti
oksigen dan karbondioksida yang berhubungan dengan proses biologi.
Aktivitas metabolisme serta penyebaran ikan banyak dipengaruhi oleh suhu
air. Suhu dapat mempengaruhi ikan dikarenakan: (Baskoro et al. 2004):
1) Sebagai pengatur proses metabolisme (dapat mempengaruhi permintaan
kebutuhan makanan, tingkat penerimaan dan tingkat pertumbuhan).
2) Sebagai pengatur aktivitas gerakan tubuh (kecepatan renang).
3) Sebagai stimulus syaraf.
Suhu permukaan laut dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk
pengkajian daerah penangkapan ikan dan merupakan salah satu faktor yang sangat
penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Suhu
permukaan air bervariasi menurut garis lintang sehingga penyebaran organisme
laut cenderung mengikuti perbedaan suhu lautan secara geografis (Nybakken
1988).
Perubahan suhu permukaan laut selain disebabkan oleh panas yang
diterima dari matahari juga dipengaruhi oleh keadaan alam sekitar di daerah
perairan tersebut. Pengaruh arus, keadaan awan, penaikan massa air dan pencairan
es di kutub juga mempengaruhi suhu permukaan laut (Hela dan Laevastu 1970).
Suhu permukaan laut daerah tropik dipengaruhi oleh cuaca, seperti curah hujan,
kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin, dan intensitas radiasi matahari.
2.4.3 Salinitas
Salinitas erat hubungannya dengan adanya penyesuaian tekanan osmotik
antara sitoplasma dari sel-sel dalam tubuh ikan dengan keadaan salinitas di
sekelilingnya. Salinitas juga menentukan daya apung dari telur-telur ikan pelagis.
Perubahan salinitas menunjukkan perubahan massa air dan keadaan stabilitasnya
(Hela dan Laevestu 1961, diacu dalam Gunarso 1985). Air hujan yang
menimbulkan perubahan salinitas dapat merangsang ikan untuk bermigrasi. Suhu
dan salinitas mempengaruhi densitas air laut, yang selanjutnya mempengaruhi
pergerakan air secara vertikal. Ikan sangat sensitif terhadap perubahan suhu dan
salinitas yang terjadi.
2.5 Musim Penangkapan Ikan di Laut Jawa
Kondisi oseanografis perairan Laut Jawa, yang merupakan bagian dari
paparan Sunda dan terletak di sekitar ekuator, secara umum dipengaruhi oleh dua
musim yang dominan, yaitu musim timur (southeast monsoon) dan musim barat
(northwest monsoon) beserta musim-musim peralihannya.
Karakteristik perairan dan iklim Laut Jawa dipengaruhi langsung oleh
perubahan angin muson dan aliran massa air dari Laut Flores, Selat Makasar dan
Laut Cina Selatan. Selain itu, pengenceran oleh masssa air dari daratan
Kalimantan (run off) ke perairan Laut Jawa bagian utara (selatan Kalimantan)
terjadi, terutama pada musim hujan (musim barat). Saat angin muson timur
bertiup (Maret–Agustus), massa air bersalinitas tinggi (lebih dari 34%o)
memasuki Laut Jawa dari sebelah timur melaui Selat Makasar dan Laut Flores,
sedangkan pada saat muson barat (September–Februari), selain terjadi
pengenceran oleh air sungai Barito, massa air bersalinitas rendah (kurang dari
32%o) juga masuk ke Laut Cina Selatan dan mendorong massa air bersalinitas
tinggi ke bagian Timur Laut Jawa (Wyrtki 1961, diacu dalam Atmaja 1995).
Meskipun fluktuasi suhu permukaan relatif kecil (suhu rata-rata antara 27–29 oC),
tetapi secara horisontal sebaran suhu permukaan laut berubah menurut musim.
Pada saat terjadinya muson timur, suhu permukaan menjadi lebih dingin akibat
masuknya massa air laut dalam (salinitas lebih tinggi) ke Laut Jawa. Sementara
pada muson barat suhu permukaan Laut Jawa relatif lebih panas. Pengaruh curah
hujan pada suhu air laut terlihat sangat nyata di pantai (Potier 1988, diacu dalam
BRPL 2004).
Kelimpahan ikan pelagis sangat peka terhadap perubahan lingkungan,
terutama penyebaran salinitas secara spasial yang dibangkitkan oleh angin muson
(Potier 1998, diacu dalam BRPL 2004). Pada tahun basah, saat curah hujan di
atas normal (musim barat), penetrasi jenis ikan oseanik ke Laut Jawa berkurang
akibat pengurangan massa air oseanik di bagian timur Laut Jawa. Terdapat
korelasi positif antara hasil tangkapan dengan salinitas permukaan, tetapi korelasi
ini menunjukkan negatif dengan curah hujan. Secara spasial, ikan pelagis tersebar
ke arah timur dengan konsentrasi kelimpahan terdapat di Laut Jawa bagian timur,
variabilitas beberapa jenis ikan berasosiasi dengan perubahan salinitas, sedangkan
kelompok coastal (ikan yang menyebar di dekat pantai) dan juwana (anak-anak
ikan) diketahui lebih berlimpah di pantai utara Jawa, yang merupakan zona
penangkapan tradisional purse seine mini (BRPL 2004).
Download