BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Antibiotika merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan di dunia. Tahun 2006, World Health Organization melaporkan lebih dari seperempat anggaran Rumah Sakit dikeluarkan untuk penggunaan antibiotika (Lestari,et al.,2011). Antibiotika adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme hidup terutama jamur yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain (Setiabudy, 2007). Demam tifoid atau thypus abdominalis merupakan penyakit infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh Salmonella thypi(Zulkoni, 2011).Penyakit ini erat kaitannya dengan higiene pribadi dan sanitasi lingkungan yang kumuh, kebersihan tempat-tempat umum yang kurang serta prilaku masyarakat yang tidak mendukung untuk hidup sehat(Depkes RI, 2006). Demam tifoid merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di daerah padat penduduk, sanitasi buruk dan angka urbanisasi yang tinggi(Bumett, 2015). Selain itu, terkait penyebab penyakit demam tifoid di Indonesia diantaranya yaitu angka kemiskinan dikota dan desa Indonesia yang mencapai 11,66% yaitu sekitar28.594.060 orang(Susenas, 2013). Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Gram negatif Salmonella thypi, termasuk golongan Enterobacteriaceae. Lebih dari 90% pasien demam tifoid mendapatkan terapi antibiotik peroral dirumah. Pasien dengan gejala menetap Universitas Sumatera Utara seperti muntah, diare berat atau perut kembung memerlukan perawatan di rumah sakit dan terapi antibiotik parentral (Bahn,et al., 2005). Pengobatan utama demam tifoid adalah pemberian antibiotik, seperti kloramfenikol sampai saat ini merupakan antibiotik pilihan pertama terapi demam tifoid pada anak-anak. Antibiotik lain yang digunakan untuk anak demam tifoid adalah cotrimoxazole dan ceftriaxone. Apabila kloramfenikol tidak dapat diberikan misalnya karena jumlah leukosit <2000/µl, adanya hipersensitif atau resistensi terhadap kloramfenikol, maka cefixime dapat menjadi alternatif terapi dengan efikasi dan toleransi yang baik (Hadinegoro,et al., 2001). Demam tifoid tergolongenteric fever yang berat dan bersifat sistemik sebagai akibat bakteri. Sampai saat ini demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan utama di dunia terutama di negara sedang berkembang seperti Indonesia. Insiden demam tifoid termasuk tinggi (>100 kasus per 100 ribu populasi per tahun) di Asia Selatan, Asia Tenggara dan Afrika Selatan. Sebagian besar demam tifoid terjadi pada individu berusia 3 tahun sampai 19 tahun adalah 1307 orang per 100 ribu populasi per tahun, sedangkan pada usia 7 tahun sampai 19 tahun adalah 1172 orang. Di Indonesia di jumpai 900 ribu orang demam tifoid pertahun dengan angka kematian lebih dari 200 ribu orang (Bahn,et al.,2005). Data WHO memperkirakan angka insiden di seluruh dunia sekitar 17 juta per tahun dengan 600 ribu orang meninggal karena demam tifoid dan 70% kematiannya terjadi di Asia. Menurut WHO 2008, penderita demam tifoid di Indonesia tercatat 81,7 kasus per 100 ribu populasi. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010 penderita demam tifoid yang dirawat inap di Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara sebanyak 41081 kasus dan 279 orang diantaranya meninggal dunia (Depkes RI, 2013). Pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, kloramfenikol diberikan terapi awal dan setelah terbukti terdapatMDRST (Multiple Drug Resistant Salmonella Thypi)antibiotik diganti ceftriaxone (100 mg/kg/hari) setelah pemantauan sampai 3 bulan pasca perawatan, tidak ditemukan adanya kekambuhan pada anak sehingga ceftriaxone merupakan antibiotik pilihan yang aman (Kumar, et al., 2007). Perbandingan efikasi ceftriaxone (50 mg/kg/hari) selama 3 hari dengan kloramfenikol (60 mg/kg/hari) selama 14 hari ditemukannya efek samping seperti trombositopenia dan leukositopenia pada pemberian kloramfenikol. Hasil mendukung pemberian ceftriaxone jangka pendek di negara berkembang dalam hal mengurangi biaya rawat (Sidabutar,2010). Di Indonesia demam tifoid terdapat dalam keadaan endemik. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang no 6 tahun 1962 tentang wabah. Walaupun demam tifoid tercantum dalam undang-undang wabah dan wajib di laporkan namun data yang lengkap belum ada, sehingga gambaran epidemiologinya belum diketahui secara pasti (Noer, 1999). Rumah Sakit Umum Daerah Djoelham yang ada di Kota Binjai adalah rumah sakit negeri kelas B. Rumah sakit ini mampu memberikan pelayanan dokter spesialis dan subspesialis terbatas dan juga menampung pelayanan rujukan dari rumah sakit kabupaten. Berdasarkan tingginya prevalensi penderita demam tifoid di Indonesia terutama pada pasien anak-anak dan mengacu pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis melakukan penelitian mengenai profil penggunaan Universitas Sumatera Utara antibiotik pada pasien anak rawat inapdiagnosisdemam tifoid di Rumah Sakit Djoelham Kota Binjai Periode Januari 2015 – Desember 2015, karena peran pemerintah sangat diharapkan untuk penanganan kasus demam tifoid di Indonesia mulai dari perencanaan program penanggulangan, pengobatan dan pencegahan. 1.2 KerangkaPikirPenelitian Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka kerangka pikirpenelitian ditujukan pada Gambar 1.1 Variabel Bebas Usia Jenis kelamin Variabel Terikat Karakteristik pasien Lama perawatan Aminoglikosida Sulfonamida Kloramfenikol Penisilin Kuinolon Golongan antibiotik Profil penggunaan antibiotik Sefalosporin Sesuai Tidak sesuai Dosis Tablet Kapsul Sirup Bentuk sediaan Injeksi Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian Universitas Sumatera Utara 1.3 PerumusanMasalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalahbagaimanakah profil penggunaan antibiotik pada pasien anakdiagnosisdemam tifoid di instalasi rawat inap RSUD Djoelham Kota Binjai pada periode Januari – Desember 2015 berdasarkan jenis kelamin, usia, lama perawatan,dosis, golongan antibiotik dan bentuk sediaan ? 1.4 Hipotesis Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka hipotesis pada penelitian ini adalah profilpenggunaan antibiotik pada pasien anak diagnosisdemam tifoid di instalasi rawat inap RSUD Djoelham Kota Binjai periode Januari – Desember 2015 berdasarkan jenis kelamin adalah laki-laki, usia adalah 2-10 tahun, golongan antibiotik adalah ceftriaxonedan bentuk sediaan adalah sirup. 1.5 TujuanPenelitian Berdasarkan hal diatas, maka tujuan penelitian ini adalah mengetahui profil penggunaan antibiotik pada pasien anak diagnosisdemam tifoid di instalasi rawat inap RSUD Djoelham Kota Binjaiperiode Januari – Desember 2015 berdasarkan jenis kelamin, usia, lama perawatan, dosis, golongan antibiotik dan bentuk sediaan. 1.6 Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan diatas, maka manfaat penelitian ini adalah : a. Sebagai pertimbangan dalam program monitoring, evaluasi penggunaan, perencanaan dan pengadaan antibiotik pada periode selanjutnya di RSUD Djoelham Kota Binjai. Universitas Sumatera Utara b. Sebagai sarana untuk mendapatkan pengalaman yang sesungguhnya tentang profil penggunaan antibiotik pada pasien anak rawat inap diagnosisdemam tifoiddan menerapkan ilmu yang di peroleh selama pendidikan. c. Sebagai referensi dalam penulisan skripsi selanjutnya dan sebagai informasi tentang profil penggunaan antibiotik pada pasien anak rawat inap diagnosisdemam tifoid. Universitas Sumatera Utara