TINJAUAN PUSTAKA A. BIODIESEL Biodiesel adalah salah satu sumber energi alternatif yang dapat diperbaharui (renewable) dan mempunyai beberapa keunggulan dari segi lingkungan apabila dibandingkan dengan petroleum diesel (solar). Menurut Allen et al. (1999), biodiesel dapat berupa minyak kasar atau mono-alkil ester dari asam lemak. Menurut Darnoko et al. (2001), secara kimia biodiesel termasuk dalam golongan mono-alkil ester atau metil ester dengan panjang rantai karbon antara C12 sampai C20. Biodiesel secara kimia dapat didefinisikan sebagai metil ester yang diturunkan dari minyak/lemak alami, seperti minyak nabati, lemak hewan, atau minyak goreng bekas. Biodiesel merupakan bahan bakar yang bersih dalam proses pembakaran, bebas dari sulfur dan senyawa benzen yang bersifat karsinogenik, dapat didaur ulang dan tidak menyebabkan akumulasi gas rumah kaca, tidak toksik dan dapat didegradasi (Peeples, 1998). Secara kimiawi biodiesel merupakan turunan trigliserida, sehingga dikenal istilah-istilah RME (rapeseed methyl ester), SME (soybean methyl ester), dan PME (palm methyl ester), untuk yang berbahan baku minyak biji lobak, kedelai, dan minyak sawit. Biodiesel masih memiliki sifat-sifat turunan asam lemak pada umumnya, baik dari segi fisik, kimia maupun biologi. Metil ester atau etil ester adalah senyawa yang relatif stabil, berwujud cair pada suhu ruang (titik leleh antara 4-180C), nonkorosif, dan titik didihnya rendah. Dalam beberapa penggunaan, metil ester lebih banyak disukai dibanding dengan penggunaan asam lemak (Herawan dan Sari, 1997). Secara ilmiah, biodiesel berarti bahan bakar mesin diesel yang dibuat dari berbagai sumber daya hayati. Namun saat ini biodiesel lebih memiliki arti sebagai bahan bakar mesin diesel yang terdiri dari metil ester atau etil ester asam lemak. Produk ini umumnya dibuat melalui reaksi antara metanol atau etanol dengan minyak lemak nabati atau hewani dengan menggunakan alkohol (metanol atau etanol). Hasil samping dari reaksi ini adalah gliserol kasar (Soerawidjaja dan Tahar, 2003). Substitusi minyak solar dengan biodiesel sesungguhnya sangat menarik jika dilihat dari tataran perekonomian nasional. Dengan estimasi pada tahun 2006 konsumsi minyak solar sekitar 30 milyar liter, maka diperkirakan jumlah impor akan berkisar 50% dari total konsumsi atau sekitar 15 juta liter dengan asumsi tidak ada penambahan kapasitas kilang minyak (Hariyadi et al., 2005). Di beberapa Negara, tingkat konsumsi biodiesel sudah cukup tinggi terutama untuk biodiesel B20 yaitu pencampuran biodiesel dan solar dengan perbandingan 20% biodiesel dan 80% solar. B. PEMBUATAN BIODIESEL Tahapan ini merupakan tahap awal yang dilakukan untuk mendapatkan gliserol kasar (crude glycerol) yang nantinya akan dimurnikan. Biodiesel dibuat melalui suatu proses kimia yang disebut transesterifikasi dimana gliserol dipisahkan dari minyak nabati. Proses ini menghasilkan dua produk yaitu metil ester (biodiesel)/mono-alkyl ester dan gliserol yang merupakan produk samping. Bahan baku utama untuk pembuatan biodiesel antara lain minyak nabati, lemak hewani, lemak bekas/lemak daur ulang. Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan biodiesel adalah minyak nabati Minyak nabati dan biodiesel tergolong ke dalam kelas besar senyawa-senyawa organik yang sama, yaitu kelas ester asam-asam lemak. Akan tetapi, minyak nabati adalah triester asam-asam lemak dengan gliserol, atau trigliserida, sedangkan biodiesel adalah monoester asam-asam lemak dengan metanol. Komposisi yang terdapat dalam minyak nabati terdiri dari trigliserida-trigliserida asam lemak (mempunyai kandungan terbanyak dalam minyak nabati, mencapai sekitar 95%-b), asam lemak bebas (Free Fatty Acid atau biasa disingkat dengan FFA), mono- dan digliserida, serta zat-pencemar dimana tergantung pada pengolahan pendahuluan dari bahan baku tersebut.. Minyak nabati mengandung 90-98% trigliserida sebagai komponen utamanya. Trigliserida adalah triester dari gliserol dengan asam-asam lemak, yaitu asam-asam karboksilat beratom karbon 8 sampai 22. Trigliserida banyak terkandung dalam minyak dan lemak, merupakan komponen terbesar penyusun minyak nabati. Selain trigliserida, terdapat juga monogliserida dan digliserida. Struktur molekul dari ketiga macam gliserid tersebut dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 1. Struktur molekul monogliserida, digliserida, dan trigliserida Asam lemak dibedakan berdasarkan panjang rantai karbon dan jumlah ikatan rangkapnya. Terdapat lima jenis asam lemak yang umumnya terkandung dalam minyak nabati, yaitu asam stearat, asam palmitat, asam oleat, asam linoleat dan asam linolenat (asam lemak jenis lainnya ada dalam jumlah sangat kecil). Asam lemak bebas merupakan asam lemak yang terpisahkan dari trigliserida, digliserida, monogliserida, dan gliserol bebas. Hal ini dapat disebabkan oleh pemanasan dan terdapatnya air sehingga terjadi proses hidrolisis. Oksidasi juga dapat meningkatkan kadar asam lemak bebas dalam minyak nabati. Kandungan FFA dalam minyak nabati umumnya 1-5 %, namun ada juga yang lebih dari 5 % tergantung dari jenis minyak dan cara pengolahannya. Tabel 1. Struktur kimia dan nama berbagai asam lemak a) xx: y menunjukkan xx adalah jumlah atom karbon ( C ) dalam rantai asam lemak dan y adalah jumlahikatan rangkap. Sumber : Srivastava dan Prassad (2000). Bahan baku penunjang yang digunakan dalam proses pembuatan biodiesel adalah alkohol. Alkohol yang digunakan sebagai pereaksi untuk minyak nabati pada penelitian ini adalah metanol. Katalisator dibutuhkan pula guna meningkatkan daya larut pada saat reaksi berlangsung, umumnya katalis yang digunakan bersifat basa kuat yaitu NaOH atau KOH atau natrium metoksida. Pembuatan biodiesel dapat dilakukan melalui proses transesterifikasi trigliserida dan atau reaksi esterifikasi asam lemak bebas tergantung dari kualitas minyak nabati yang digunakan sebagai bahan baku. Transesterifikasi adalah proses yang mereaksikan trigliserida dalam minyak nabati atau lemak hewani dengan alkohol rantai pendek, yang mana dalam penelitian ini menggunakan metanol. Reaksi tersebut menghasilkan metil ester asam lemak (Fatty Acids Methyl Esters/ FAME) atau biodiesel dan gliserol (gliserin) sebagai produk samping. Katalis yang digunakan pada proses transesterifikasi adalah basa/ alkali, biasanya digunakan natrium hidroksida (NaOH) atau kalium hidroksida ( KOH). Esterifikasi adalah proses yang mereaksikan asam lemak bebas (FFA) dengan alkohol rantai pendek menghasilkan metil ester asam lemak ( FAME) dan air. Katalis yang digunakan adalah asam, biasanya asam sulfat ( H2SO4) atau asam fosfat ( H3PO4). Berdasarkan kandungan FFA nya, minyak nabati sebagai bahan baku pembuatan biodiesel dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu : 1) Refined oils : minyak nabati dengan kandungan FFA kurang dari 1,5 %. 2) Minyak nabati dengan kandungan FFA rendah kurang dari 4 %. 3) Minyak nabati dengan kandungan FFA tinggi lebih dari 20 %. Proses pembuatan biodiesel secara komersial dibedakan menjadi dua, berdasarkan kandungan FFA dalam minyak nabati: 1) Transesterifikasi dengan katalis basa (sebagian besar menggunakan kalium hidroksida) untuk bahan baku refined oil atau minyak nabati dengan kandungan FFA rendah. 2) Esterifikasi dengan katalis asam ( umumnya menggunakan asam sulfat) dilanjutkan dengan transesterifikasi menggunakan katalis basa untuk minyak nabati dengan kandungan FFA tinggi. Gambar 2. Persamaan reaksi transesterifikasi (Gerpen, 2004) R1, R2, R3: alkil dari asam lemak FFA Metanol Metil ester Air Gambar 3. Persamaan reaksi esterifikasi R : alkil dari asam lemak Secara umum, proses yang dipakai dalam pembuatan biodiesel adalah trans-esterifikasi, yang pada dasarnya mereaksikan minyak dengan methanol atau etanol (ditambah katalis seperti KOH/NaOH) pada temperature 60-800C selama 1 jam. Jika kadar asam lemak bebas dalam minyak tinggi (lebih besar dari 5 %), maka pembuatan biodiesel dilakukan dengan proses esterifikasi - trans-esterifikasi (estrans) atau proses dua tahap. Proses dua tahap tersebut yaitu : (a) Tahap pertama, proses esterifikasi dimana asam lemak bebas diubah menjadi biodiesel (metil ester), (b) Tahap kedua, trigliserida dan asam lemak yang masih terikat pada trigliserida di dalam minyak dikonversi menjadi metil ester melalui proses trans-esterifikasi. Gambar 4. Proses pembuatan biodiesel (Prihandana et al.,2006) C. GLISEROL Gliserol adalah alkohol trihidrik dengan susunan molekul C3H8O3 yang sangat bermanfaat dalam bidang kimia organik. Nama gliserol diartikan sebagai bahan kimia murni, dan dalam dunia perdagangan dikenal dengan nama gliserin. Dalam kondisi murni, gliserol tidak berbau, tidak berwarna, berbentuk cairan kental dengan rasa agak manis. Gliserol bersifat larut sempurna dalam air dan akohol, dapat terlarut dalam pelarut tertentu (misalnya eter, etil asetat, dan dioxine) namun tidak larut dalam hidrokarbon. Gliserol didapatkan dengan cara sintetis maupun diperoleh dari hasil samping pembuatan sabun dan produksi oleokimia yang menggunakan bahan baku berupa lemak dan minyak. Dalam satu molekul trigliserida terkandung gliserol dan tiga molekul asam lemak, dan pada umumnya lemak mengandung kurang lebih 11% gliserol (Tovbin, et al., 1976). Gliserol dari minyak atau lemak dapat dihasilkan dengan beberapa cara, antara lain : (1) Saponifikasi minyak atau lemak dengan menggunakan kaustik soda sehingga terbentuk sabun, (2) Hidrolisis minyak atau lemak dengan menggunakan katalis KOH/NaOH untuk memproduksi asam lemak dan gliserin, (3)Trans-esterifikasi, dimana gliserol merupakan produk samping dari trans-esterifikasi trigliserida, yaitu ketika minyak atau lemak direaksikan dengan methanol dan menggunakan katalis KOH/NaOH untuk memproduksi metil ester (pembuatan biodiesel). Akhir ketiga proses tersebut akan menghasilkan senyawa gliserol kasar yang masih banyak mengandung bahan pengotor seperti sisa katalis berupa KOH, zat warna (pigmen), gum berupa fosfolipid, logam, air dan asam lemak bebas. Penggunaan gliserol kasar secara langsung dapat menimbulkan proses dekomposisi dan masalah lainnya (Noureddini, et al., 1998) . Gliserol memiliki banyak kegunaan dan market share yang tinggi, hal ini ditunjukkan oleh adanya keragaman jenis produk berbahan baku gliserol yang saat ini beredar di pasaran seperti produk makanan, perawatan tubuh, kesehatan mulut, bahan-bahan yang dapat meledak, tembakau, obat-obatan, polyether polyol, alkyd resin, lubricant, dan emulsifier. D. PEMURNIAN GLISEROL Gliserol kasar hasil samping produksi biodiesel memiliki kualitas rendah akibat adanya zat pengotor. Pemanfaatan gliserol kasar menjadi bentuk murni membutuhkan proses pemurnian. Proses ini dilakukan tergantung dari skala ekonomis produksi ataau ketersediaan fasilitas pemurnian gliserol ( Pachauri dan He, 2006). Komposisi gliserol kasar hasil samping industri biodiesel adalah methanol, sabun, dan katalis. Gliserol kasar dari industri biodisesel diperoleh dengan cara memisahkan asam lemak dan garamnya. Pemurnian gliserol kasar ini dapat dilakukan dengan cara destilasi vakum dan selanjutnya dilakukan penentuan karakteristik gliserol yang dihasilkan (Yong et al., 2001). Gliserol yang dihasilkan oleh sebuah pabrik biodiesel kira-kira sebesar 10% dari produksi biodiesel (Bondioli, 2003). Gliserol yang dihasilkan dari proses trans-esterifikasi mempunyai tingkat kemurnian sebesar 50 %. Gliserol yang dihasilkan mengandung metanol, metil ester, dan katalis. Untuk meningkatkan kemurnian gliserol kasar menjadi gliserol dengan tingkat kemurnian 80% – 90% adalah dengan cara mengencerkan gliserol kasar dengan menambahkan 2/3 bagian air bersih kemudian dipanaskan untuk memberi kesempatan sisa asam lemak bebas hasil hidrolisis tersabunkan oleh sisa NaOH. Sabun yang terbentuk dipisahkan dari larutan dengan cara menambahkan sejumlah larutan garam NaCl ke dalam larutan gliserol kemudian ditambahkan HCl sehingga mencapai pH 4,5. Penambahan asam ini dimaksudkan untuk mengubah sabun menjadi asam lemak bebas dan garam. Asam-asam lemak bebas akan naik ke atas gliserol sehingga dapat diambil kembali, sedangkan metanol dapat diambil melalui proses evaporasi untuk menghasilkan gliserol dengan kemurnian 80% - 90%. Pigmen dalam larutan gliserol kemudian dimurnikan dengan menggunakan arang aktif sehingga diperoleh gliserol dengan tingkat kemurnian 99,5 % (Hariyadi et al., 2005). Tabel 2. Karakteristik gliserol kasar dan gliserol hasil pemurnian dari limbah gliserol dan gliserol komersial Parameter Gliserol kasar Gliserol Gliserol pemurnian komersial Gliserol (%) 60-80 99,1-99,8 99,2-99,98 H2O (%) 1,5-6,5 0,11-0,80 0,14-0,29 Kadar abu (%) 1,5-2,5 0,054 < 0,002 Sabun (%) 3-5 0,56 - Keasaman 0,7-1,3 0,10-0,16 0,04-0,07 Klor - 1 ppm 0,6-9,5 ppm Warna (APHA) Gelap 34-45 1,8-10,3 Sumber : (Mohtar et al., 2001) Gliserol murni merupakan senyawa propane -1,2,3-triol, tidak berwarna, tidak berbau, higroskopis, dan merupakan cairan kental berasa agak manis. Gliserol adalah gula alkohol yang memiliki 3 gugus hidroksil bersifat hidrofilik sehingga mudah larut dalam air (Anonim,2007). Tabel 3. Sifat fisiko kimia gliserol Sifat Nilai Rumus molekul C3H8O3 Bobot molekul 92 Kemurnian 95-99,5% (air sebagai pengotor) Titik leleh 180c Titik nyala 1600C Titik didih 2900C pada 101,3 kPa Autoflammabilitas 3930C Densitas relative 1,26 pada 200C Kekentalan 1410 mPa pada 200C Tegangan permukaan 63,4 mN/mat 200C Sumber : Robertson (2002) Proses pemurnian yang dilakukan berdasarkan pada sifat dan bahan impurities yang terkandung dalam gliserol. Setelah reaksi transesterifikasi selesai, produk didiamkan sekitar 12 jam sampai campuran terdiri dari dua fasa, fasa atas merupakan metil ester dan fasa bawah adalah gliserol. Fasa metil ester akan berwarna kuning kemerahan sedangkan fasa gliserol akan berwarna lebih gelap. Kemudian dilakukan pemisahan terhadap metil ester dan gliserol menggunakan corong pisah. Teknik pemisahan gliserol yang dilakukan adalah pemisahan secara gravitasi sehingga terbentuk dua fasa. Pemisahan ini terjadi karena gliserol tidak larut dalam biodiesel dan adanya perbedaan densitas antara biodiesel dan gliserol. Biodiesel mempunyai densitas sekitar 0,88 g/ml, dan fasa gliserol mempunyai densitas sekitar 1,05 g/ml, atau lebih. Densitas gliserol ini tergantung dari jumlah metanol, air dan katalis dalam gliserol. E. ADSORPSI Adsorpsi merupakan suatu peristiwa fisik pada permukaan suau bahan yang tergantung dari spesifik affinity antara adsorben dan zat yang diadsorpsi. Mekanisme adsorpsi dapat dilakukan jika terjadi proses pengikatan oleh permukaan adsorben baik yang berwujud padatan maupun cairan terhadap adsorbat berupa atom-atom, ion-ion atau molekul-molekul gas atau cairan lainnya (Trisnawati, 2004). Perbedaan antara absorbsi dan adsorpsi yaitu, absorbsi merupakan proses penarikan zat yang satu ke dalam zat yang lain, sehingga zat yang tertarik menghilang secara fisik karena terperangkap di dalam zat yang menariknya, sedangkan adsorpsi adalah proses pengumpulan substansi terlarut yang ada dalam larutan oleh permukaan zat atau benda penyerap (adsorben), dimana terjadi suatu ikatan kimia fisik antara substansi dengan zat penyerap. Adsorpsi merupakan peristiwa penyerapan pada lapisan permukaan atau antar fasa, dimana molekul dari suatu bahan terkumpul pada bahan pengadsorpsi atau adsorben (Anonim, 1982). Ketaren (1986) menyatakan bahwa daya adsorpsi disebabkan karena adsorben memiliki pori dalam jumlah besar dan adsorbsi akan terjadi karena adanya perbedaan energi potensial antara adsorben dengan zat yang akan diadsorb (adsorbat). Ada dua metode adsorpsi, yaitu adsorpsi secara fisika dan adsorpsi secara kimia. Adsorpsi secara fisika adalah adsorpsi yang diakibatkan karena adanya interaksi van der Waals antara adsorben dengan adsorbat yang berarti pembentukan ikatan sementara. Oleh karena itu adsorpsi fisika merupakan reaksi reversible (dapat balik). Adapun adsorpsi secara kimia merupakan interaksi antara electron-elektron pada permukaan adsorben dengan molekul-molekul adsorbat membentuk ikatan yang lebih kuat dibandingkan dengan adsorpsi fisika, dan proses ini merupakan reaksi irreversible (tidak dapat balik) (Anonim, 1982). Proses adsorpsi meliputi tiga tahap mekanisme yaitu : 1. Pergerakan molekul-molekul adsorbat menuju permukaan adsorben. 2. Penyebaran molekul-molekul adsorbat ke dalam rongga-rongga adsorben. 3. Penarikan molekul-molekul adsorben oleh permukaan aktif membentuk ikatan yang berlangsung sangat cepat (Siswarni, 1999). Menurut Cookson (1978), faktor-faktor yang mempengaruhi adsorpsi antara lain: 1. Sifat fisika dan kimia adsorben, yaitu luas permukaan, ukuran pori-pori, komposisi kimia. 2. Sifat fisika dan kimia adsorbat, yaitu ukuran molekul, polaritas molekul, komposisi kimia. 3. Konsentrasi adsorbat dalam fasa cair (larutan). 4. Sifat fasa cair, seperti pH dan temperatur. 5. Lamanya proses adsorpsi tersebut berlangsung. Efisiensi adsorpsi dipengaruhi oleh perbedaan muatan listrik antara adsorben dan adsorbat. Suatu bahan yang mempunyai muatan elektro positif akan diadsorpsi lebih efektif dalam larutan alkali, sedangkan bahan yang mempunyai muatan elektro negatif akan diadsorpsi efektif dalam larutan asam. Kapasitas adsorben dalam mengadsorpsi zat berhubungan erat dengan konsentrasi larutan. Untuk adsorben dengan luas permukaan dan berat tertentu, zat yang diadsorpsi tergantung pada konsentrasi larutan. Makin tinggi konsentrasinya, makin besar pula zat yang diadsorpsi. Sedangkan pH dapat mempengaruhi daya adsorpsi karena pH mempengaruhi kelarutan suatu zat (Djatmiko et al., 1981). Suatu zat dapat digunakan sebagai adsorben untuk tujuan pemisahan bila mempunyai daya adsorpsi selektif, berpori (mempunyai luas permukaan persatuan massa yang besar) dan mempunyai daya ikat yang kuat terhadap zat yang hendak dipisahkan secara fisik ataupun kimia. Perbesaran luas permukaan dapat dilakukan dengan pengecilan ukuran partikel adsorben. Pengecilan ukuran molekul adsorben tidak boleh terlalu kecil karena dapat menyebabkan adsorben terbawa oleh aliran fluida (adsorben larut dalam larutan/zat yang akan diadsorpsi) (Setyaningsih, 1995). F. ADSORBEN Adsorben merupakan suatu bahan (padatan atau cairan) yang dapat mengadsorpsi adsorbat (bahan yang teradsorb). Bahan kimia yang dapat digunakan sebagai adsorben harus mempunyai sifat resistensi yang tinggi terhadap abrasi, stabil pada suhu tinggi dan ukuran diameter pori yang kecil (mikro), yang menghasilkan luas permukaan yang besar dan karenanya mempunyai kapasitas adsorpsi yang tinggi (Anonim, 2007). Adsorben yang digunakan dalam proses pemurnian terdiri dari tipe polar (hidrofilik) dan non polar (hidrofobik). Adsorben polar antara lain silika gel, alumina yang diaktivasi dan beberapa jenis tanah liat (clay). Adsorben tipe ini umumnya digunakan jika zat warna yang akan dihilangkan lebih polar dari cairannya. Adsorben non polar antara lain arang (karbon dan batubara) dan arang aktif, yang biasa digunakan untuk menghilangkan zat warna yang kurang polar (Kirk dan Othmer, 1964). 1. Arang aktif Arang adalah suatu bentuk karbon yang berwarna hitam dan berpori-pori, diperoleh dari hasil pembakaran bahan-bahan yang mengandung karbon seperti serat kayu, tempurung kelapa, sekam padi dan batu bara dengan menggunakan udara terbatas. Sebagian besar pori-pori arang masih tertutup hidrokarbon, ter dan senyawa-senyawa organik lain. Komponen yang terdapat didalamnya terdiri dari karbon, abu,air, nitrogen dan sulfur. Arang aktif adalah suatu bentuk karbon (arang) yang telah diaktifkan dengan menggunakan gas, uap air atau bahan-bahan kimia sehingga pori-porinya terbuka (Djatmiko et al., 1981). Arang aktif adalah padatan amorf yang mempunyai luas permukaan besar dan jumlah pori yang sangat banyak (Baker et al., 1997). Menurut Roy (1985), arang aktif berbentuk kristal mikro dan karbon non grafit yang pori-porinya telah mengalami proses pengembangan kemampuan untuk menyerap gas dan uap yang tidak larut ataupun terdispersi dalam cairan melalui aktivasi. Setiap Kristal terdiri dari 3-4 lapisan atom karbon dengan 20-30 atom karbon heksagonal pada tiap lapisan (Jankowska et al., 1991). Daya adsorpsi arang aktif dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah jumlah pori-pori, luas permukaan arang aktif, dan pada kondisi heterogen daya adsorpsi dipengaruhi juga oleh jumlah gugus aktif pada permukaan pori (Azah dan Rudyanto, 1984). Menurut Cheremisinoff dan Ellerbusch (1978), daya adsorpsi arang aktif disebabkan karena arang aktif sangat berpori. Pori-pori tersebut menyebabkan permukaan arang aktif sangat luas yaitu berkisar antara 5001400 m2/gram. 2. Bentonit Bentonit adalah lempung (clay) natural yang mengandung mineralmineral penting dari kelompok mineral liat (smektit) dengan sifat-sifat yang ditentukan oleh mineral yang berjumlah paling banyak, yaitu montmorilonit (>80%) dengan rumus kimia adalah (AlMg)8(Si4O10)4(OH)8.12H2O (Byrne, 2001). Montmorilonit merupakan suatu hidrat aluminium silikat alami dimana beberapa atom aluminium dan silikonnya secara natural dapat digantikan oleh atom lain seperti magnesium dan besi. Elemen utama komposisi dari montmorilonit adalah silikon, aluminium, oksigen dan gugus hidroksil. Struktur molekul montmorilonit terdiri dari unit sel yang digambarkan sebagai struktur “SiAl-Si” (Brindley dan Brown, 1980). Mineral-mineral montmorilonit umumnya berupa butiran sangat halus yang mempunyai struktur kristal berlapis dan berpori. Mineral tersebut mempunyai kemampuan mengembang (swellability) karena ruang antar lapis yang dimilikinya, dan dapat mengakomodasi ion-ion atau molekul terhidrat dengan ukuran tertentu. Potensi mengembang-mengerut dan adanya muatan negatif yang tinggi merupakan penyebab mineral ini dapat menerima dan menyerap ion-ion logam dan kation-kation organik menghasilkan senyawa komplek berupa organo-mineral. Kation organik diyakini mampu menggantikan kation-kation anorganik pada posisi antar lapis (Tan, 1993). Bentonit dapat ditemukan di alam dalam dua tipe, yaitu Nabentonit dan Ca-bentonit. Na-bentonit mempunyai sifat mengembang (swelling) hingga delapan kali apabila dicelupkan ke dalam air dan tetap terdispersi beberapa waktu di dalam air dan umumnya dipakai antara lain sebagai bahan untuk lumpur pemboran minyak bumi, sedangkan Cabentonit mempunyai sifat tidak mengembang (non-swelling) apabila dicelupkan ke dalam air, biasanya digunakan sebagai penjernih (bleaching earth) dalam pemurnian minyak. Nilai pH Na-bentonit dalam air adalah 8,5-9,8, sedangkan Ca-bentonit 4-7 (Rukiyah dan Supriyatna, 1991). Bentonit mempunyai kemampuan menyerap dan mempertukarkan kationkation, seperti K+, Na+, Ca2+ dan Mg2+. Sifat daya serap yang terdapat dalam bentonit terjadi karena ruang pori-pori antar ikatan mineral lempung serta ketidakseimbangan antara muatan listrik dalam ion-ionnya. Daya serap tersebut umumnya berada pada ujung permukaan kristal serta diameter ikatan mineral lempung. Atom-atom yang terikat pada masing-masing lapisan struktur montmorilonit memungkinkan air akan masuk antara unit sehingga kisi akan membesar. Senyawa penyusun utama bentonit adalah senyawa silikat dan alumina yang mengandung air dan terikat secara kimiawi. Kandungan lain yaitu kalsium, natrium, kalium, magnesium dan besi yang bergabung dengan silikat dan oksigen. Kegunaan bentonit secara komersial adalah karena sifat mineraloginya yaitu mempunyai permukaan spesifik yang luas, baik sebagai penukar ion dan kemampuan akan adsorpsi atau serapannya sehingga sering dipakai untuk kegiatan industri dan kegiatan pertanian. Bentonit harus diolah terlebih dahulu sebelum digunakan untuk keperluan tertentu. Hal ini dikarenakan di alam sifat dan kualitas bentonit berbedabeda. Jenis Ca-bentonit dapat dibuat menjadi Na-bentonit buatan. Proses pembuatannya dengan cara menjenuhkannya dengan ion natrium untuk meningkatkan aktivasi natrium yang ada dalam mineral liat. Selain itu, Ca- bentonit juga dapat ditingkatkan kemampuan adsorpsi dengan cara aktivasi penambahan asam dan aktivasi organik melalui pemberian bahan yang menyebabkan kalsium di antara lapisan mineral diganti dengan bahan organik yang bermuatan positif (Manning, 1995). Sebagian besar bentonit di Indonesia digolongkan ke dalam jenis Ca-bentonit (Arifin dan Sudrajat, 1997). G. AKTIVASI Pada keadan awal, adsorben memiliki kemampuan adsorpsi yang rendah. Kapasitas adsorpsi dari adsorben dapat dinaikkan dengan proses aktivasi untuk memberikan sifat yang diinginkan sehubungan dengan penggunaannya. Aktivasi adalah semua proses untuk menaikkan kapasitas adsorpsi untuk memberikan sifat yang diinginkan sehubungan dengan penggunaannya. Pengaktifan adsorben bertujuan untuk memperluas permukaan kontak adsorben melalui pembentukan struktur porous dan berguna untuk mempertinggi daya adsorpsinya. Berdasarkan teori ada dua cara perlakuan dalam meningkatkan aktivitas adsorben, yaitu pemanasan dan pengasaman. Aktivasi dengan pengasaman bertujuan agar air yang terikat dicelah-celah molekul dapat teruapkan, sehingga porositas adsorben meningkat. Aktivasi adsorben secara pengasaman adalah aktivasi dengan menggunakan asam mineral (misalkan HCl atau H2SO4) pada konsentrasi tertentu yang dapat mempertinggi daya pemurnian karena asam mineral tersebut larut atau bereaksi dengan komponen berupa ter, garam Ca da Mg yang menutupi pori-pori adsorben. Disamping itu, asam mineral akan melarutkan Al2O3 sehingga dapat menaikkan perbandingan jumlah SiO2 dan Al2O3 dari (2-3) : 1 menjadi (5-6) : 1. Aktivasi asam mempertinggi sifat bentonit dengan cara mengganti sifat kimia dan fisiknya tanpa menghancurkan struktur lapisan mineral liatnya. Daya pemucatan bentonit disebabkan karena ion Al3+ pada permukaan adsorben dapat mengadsorpsi zat warna, sehingga daya pemucatannya tergantung dari perbandingan SiO2 dan Al2O3. Dalam proses aktivasi, asam mineral melarutkan Al2O3 sehingga menaikkan perbandingan SiO2 dan Al2O3, akibatnya daya adsorb bertambah besar. Reaksi pada proses aktivasi bentonit dapat dilihat pada gambar berikut: Ca2+ 2H+ 4H+ Clay Ca2+ Clay Mg2+ 2H+ 2H+ Clay Mg2+ Al3+ Al3+ Clay 2H+ 3H+ H+ Gambar 5. Reaksi Aktivasi pada Bentonit (Ketaren, 1986) Menurut Ketaren (1986), aktivasi menggunakan asam mineral akan menimbulkan tiga macam reaksi, sebagai berikut : 1. Mula-mula asam akan melarutkan komponen Fe2O3, Al2O3, CaO dan MgO yang mengisi pori-pori adsorben. Hal ini menyebabkan terbukanya pori-pori yang tertutup sehingga menambah luas permukaan adsorben. 2. Kemudian ion-ion Ca2+ dan Mg2+ yang berada pada permukaan kristal adsorben secara berangsur-angsur diganti oleh ion H+ dari asam mineral. 3. Sebagian ion H+ yang telah menggantikan ion Ca2+ dan Mg2+ akan ditukar oleh ion Al3+ yang telah larut dalam larutan asam.