TINJAUAN PUSTAKA A. BIODIESEL Biodiesel adalah salah satu

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
A. BIODIESEL
Biodiesel adalah salah satu sumber energi alternatif yang dapat
diperbaharui (renewable) dan mempunyai beberapa keunggulan dari segi
lingkungan apabila dibandingkan dengan petroleum diesel (solar).
Menurut Allen et al. (1999), biodiesel dapat berupa minyak kasar atau
mono-alkil ester dari asam lemak. Menurut Darnoko et al. (2001), secara
kimia biodiesel termasuk dalam golongan mono-alkil ester atau metil ester
dengan panjang rantai karbon antara C12 sampai C20.
Biodiesel secara kimia dapat didefinisikan sebagai metil ester yang
diturunkan dari minyak/lemak alami, seperti minyak nabati, lemak hewan,
atau minyak goreng bekas. Biodiesel merupakan bahan bakar yang bersih
dalam proses pembakaran, bebas dari sulfur dan senyawa benzen yang
bersifat karsinogenik, dapat didaur ulang dan tidak menyebabkan
akumulasi gas rumah kaca, tidak toksik dan dapat didegradasi (Peeples,
1998).
Secara kimiawi biodiesel merupakan turunan trigliserida, sehingga
dikenal istilah-istilah RME (rapeseed methyl ester), SME (soybean methyl
ester), dan PME (palm methyl ester), untuk yang berbahan baku minyak
biji lobak, kedelai, dan minyak sawit. Biodiesel masih memiliki sifat-sifat
turunan asam lemak pada umumnya, baik dari segi fisik, kimia maupun
biologi.
Metil ester atau etil ester adalah senyawa yang relatif stabil,
berwujud cair pada suhu ruang (titik leleh antara 4-180C), nonkorosif, dan
titik didihnya rendah. Dalam beberapa penggunaan, metil ester lebih
banyak disukai dibanding dengan penggunaan asam lemak (Herawan dan
Sari, 1997).
Secara ilmiah, biodiesel berarti bahan bakar mesin diesel yang
dibuat dari berbagai sumber daya hayati. Namun saat ini biodiesel lebih
memiliki arti sebagai bahan bakar mesin diesel yang terdiri dari metil ester
atau etil ester asam lemak. Produk ini umumnya dibuat melalui reaksi
antara metanol atau etanol dengan minyak lemak nabati atau hewani
dengan menggunakan alkohol (metanol atau etanol). Hasil samping dari
reaksi ini adalah gliserol kasar (Soerawidjaja dan Tahar, 2003).
Substitusi minyak solar dengan biodiesel sesungguhnya sangat
menarik jika dilihat dari tataran perekonomian nasional. Dengan estimasi
pada tahun 2006 konsumsi minyak solar sekitar 30 milyar liter, maka
diperkirakan jumlah impor akan berkisar 50% dari total konsumsi atau
sekitar 15 juta liter dengan asumsi tidak ada penambahan kapasitas kilang
minyak (Hariyadi et al., 2005). Di beberapa Negara, tingkat konsumsi
biodiesel sudah cukup tinggi terutama untuk biodiesel B20 yaitu
pencampuran biodiesel dan solar dengan perbandingan 20% biodiesel dan
80% solar.
B. PEMBUATAN BIODIESEL
Tahapan ini merupakan tahap awal yang dilakukan untuk
mendapatkan gliserol kasar (crude glycerol) yang nantinya akan
dimurnikan. Biodiesel dibuat melalui suatu proses kimia yang disebut
transesterifikasi dimana gliserol dipisahkan dari minyak nabati. Proses ini
menghasilkan dua produk yaitu metil ester (biodiesel)/mono-alkyl ester
dan gliserol yang merupakan produk samping. Bahan baku utama untuk
pembuatan biodiesel antara lain minyak nabati, lemak hewani, lemak
bekas/lemak daur ulang.
Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan biodiesel adalah
minyak nabati Minyak nabati dan biodiesel tergolong ke dalam kelas
besar senyawa-senyawa organik yang sama, yaitu kelas ester asam-asam
lemak. Akan tetapi, minyak nabati adalah triester asam-asam lemak
dengan gliserol, atau trigliserida, sedangkan biodiesel adalah monoester
asam-asam lemak dengan metanol.
Komposisi yang terdapat dalam minyak nabati terdiri dari
trigliserida-trigliserida asam lemak (mempunyai kandungan terbanyak
dalam minyak nabati, mencapai sekitar 95%-b), asam lemak bebas (Free
Fatty Acid atau biasa disingkat dengan FFA), mono- dan digliserida, serta
zat-pencemar dimana tergantung pada pengolahan pendahuluan dari bahan
baku tersebut..
Minyak nabati mengandung 90-98% trigliserida sebagai komponen
utamanya. Trigliserida adalah triester dari gliserol dengan asam-asam
lemak, yaitu asam-asam karboksilat beratom karbon 8 sampai 22.
Trigliserida banyak terkandung dalam minyak dan lemak, merupakan
komponen terbesar penyusun minyak nabati. Selain trigliserida, terdapat
juga monogliserida dan digliserida. Struktur molekul dari ketiga macam
gliserid tersebut dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 1. Struktur molekul monogliserida, digliserida, dan trigliserida
Asam lemak dibedakan berdasarkan panjang rantai karbon dan
jumlah ikatan rangkapnya. Terdapat lima jenis asam lemak yang umumnya
terkandung dalam minyak nabati, yaitu asam stearat, asam palmitat, asam
oleat, asam linoleat dan asam linolenat (asam lemak jenis lainnya ada
dalam jumlah sangat kecil).
Asam lemak bebas merupakan asam lemak yang terpisahkan dari
trigliserida, digliserida, monogliserida, dan gliserol bebas. Hal ini dapat
disebabkan oleh pemanasan dan terdapatnya air sehingga terjadi proses
hidrolisis. Oksidasi juga dapat meningkatkan kadar asam lemak bebas
dalam minyak nabati. Kandungan FFA dalam minyak nabati umumnya 1-5
%, namun ada juga yang lebih dari 5 % tergantung dari jenis minyak dan
cara pengolahannya.
Tabel 1. Struktur kimia dan nama berbagai asam lemak
a) xx: y menunjukkan xx adalah jumlah atom karbon ( C ) dalam
rantai asam lemak dan y adalah jumlahikatan rangkap.
Sumber : Srivastava dan Prassad (2000).
Bahan baku penunjang yang digunakan dalam proses pembuatan
biodiesel adalah alkohol. Alkohol yang digunakan sebagai pereaksi untuk
minyak nabati pada penelitian ini adalah metanol. Katalisator dibutuhkan
pula guna meningkatkan daya larut pada saat reaksi berlangsung,
umumnya katalis yang digunakan bersifat basa kuat yaitu NaOH atau
KOH atau natrium metoksida.
Pembuatan
biodiesel
dapat
dilakukan
melalui
proses
transesterifikasi trigliserida dan atau reaksi esterifikasi asam lemak bebas
tergantung dari kualitas minyak nabati yang digunakan sebagai bahan
baku.
Transesterifikasi adalah proses yang mereaksikan trigliserida
dalam minyak nabati atau lemak hewani dengan alkohol rantai pendek,
yang mana dalam penelitian ini menggunakan metanol. Reaksi tersebut
menghasilkan metil ester asam lemak (Fatty Acids Methyl Esters/ FAME)
atau biodiesel dan gliserol (gliserin) sebagai produk samping. Katalis yang
digunakan pada proses transesterifikasi adalah basa/ alkali, biasanya
digunakan natrium hidroksida (NaOH) atau kalium hidroksida ( KOH).
Esterifikasi adalah proses yang mereaksikan asam lemak bebas
(FFA) dengan alkohol rantai pendek menghasilkan metil ester asam lemak
( FAME) dan air. Katalis yang digunakan adalah asam, biasanya asam
sulfat ( H2SO4) atau asam fosfat ( H3PO4).
Berdasarkan kandungan FFA nya, minyak nabati sebagai bahan
baku pembuatan biodiesel dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu :
1) Refined oils : minyak nabati dengan kandungan FFA kurang dari
1,5 %.
2) Minyak nabati dengan kandungan FFA rendah kurang dari 4 %.
3) Minyak nabati dengan kandungan FFA tinggi lebih dari 20 %.
Proses pembuatan biodiesel secara komersial dibedakan menjadi dua,
berdasarkan kandungan FFA dalam minyak nabati:
1) Transesterifikasi dengan katalis basa (sebagian besar menggunakan
kalium hidroksida) untuk bahan baku refined oil atau minyak
nabati dengan kandungan FFA rendah.
2) Esterifikasi dengan katalis asam ( umumnya menggunakan asam
sulfat) dilanjutkan dengan transesterifikasi menggunakan katalis
basa untuk minyak nabati dengan kandungan FFA tinggi.
Gambar 2. Persamaan reaksi transesterifikasi (Gerpen, 2004)
R1, R2, R3: alkil dari asam lemak
FFA
Metanol
Metil ester
Air
Gambar 3. Persamaan reaksi esterifikasi
R : alkil dari asam lemak
Secara umum, proses yang dipakai dalam pembuatan biodiesel
adalah trans-esterifikasi, yang pada dasarnya mereaksikan minyak dengan
methanol atau etanol (ditambah katalis seperti KOH/NaOH) pada
temperature 60-800C selama 1 jam. Jika kadar asam lemak bebas dalam
minyak tinggi (lebih besar dari 5 %), maka pembuatan biodiesel dilakukan
dengan proses esterifikasi - trans-esterifikasi (estrans) atau proses dua
tahap. Proses dua tahap tersebut yaitu : (a) Tahap pertama, proses
esterifikasi dimana asam lemak bebas diubah menjadi biodiesel (metil
ester), (b) Tahap kedua, trigliserida dan asam lemak yang masih terikat
pada trigliserida di dalam minyak dikonversi menjadi metil ester melalui
proses trans-esterifikasi.
Gambar 4. Proses pembuatan biodiesel (Prihandana et al.,2006)
C. GLISEROL
Gliserol adalah alkohol trihidrik dengan susunan molekul C3H8O3
yang sangat bermanfaat dalam bidang kimia organik. Nama gliserol
diartikan sebagai bahan kimia murni, dan dalam dunia perdagangan
dikenal dengan nama gliserin. Dalam kondisi murni, gliserol tidak berbau,
tidak berwarna, berbentuk cairan kental dengan rasa agak manis. Gliserol
bersifat larut sempurna dalam air dan akohol, dapat terlarut dalam pelarut
tertentu (misalnya eter, etil asetat, dan dioxine) namun tidak larut dalam
hidrokarbon.
Gliserol didapatkan dengan cara sintetis maupun diperoleh dari hasil
samping pembuatan sabun dan produksi oleokimia yang menggunakan
bahan baku berupa lemak dan minyak. Dalam satu molekul trigliserida
terkandung gliserol dan tiga molekul asam lemak, dan pada umumnya
lemak mengandung kurang lebih 11% gliserol (Tovbin, et al., 1976).
Gliserol dari minyak atau lemak dapat dihasilkan dengan beberapa cara,
antara lain : (1) Saponifikasi minyak atau lemak dengan menggunakan
kaustik soda sehingga terbentuk sabun, (2) Hidrolisis minyak atau lemak
dengan menggunakan katalis KOH/NaOH untuk memproduksi asam
lemak dan gliserin, (3)Trans-esterifikasi, dimana gliserol merupakan
produk samping dari trans-esterifikasi trigliserida, yaitu ketika minyak
atau lemak direaksikan dengan methanol dan menggunakan katalis
KOH/NaOH untuk memproduksi metil ester (pembuatan biodiesel). Akhir
ketiga proses tersebut akan menghasilkan senyawa gliserol kasar yang
masih banyak mengandung bahan pengotor seperti sisa katalis berupa
KOH, zat warna (pigmen), gum berupa fosfolipid, logam, air dan asam
lemak bebas. Penggunaan gliserol kasar secara langsung dapat
menimbulkan proses dekomposisi dan masalah lainnya (Noureddini, et al.,
1998) .
Gliserol memiliki banyak kegunaan dan market share yang tinggi,
hal ini ditunjukkan oleh adanya keragaman jenis produk berbahan baku
gliserol yang saat ini beredar di pasaran seperti produk makanan,
perawatan tubuh, kesehatan mulut, bahan-bahan yang dapat meledak,
tembakau, obat-obatan, polyether polyol, alkyd resin, lubricant, dan
emulsifier.
D. PEMURNIAN GLISEROL
Gliserol kasar hasil samping produksi biodiesel memiliki kualitas
rendah akibat adanya zat pengotor. Pemanfaatan gliserol kasar menjadi
bentuk murni membutuhkan proses pemurnian. Proses ini dilakukan
tergantung dari
skala ekonomis produksi ataau ketersediaan fasilitas
pemurnian gliserol ( Pachauri dan He, 2006).
Komposisi gliserol kasar hasil samping industri biodiesel adalah
methanol, sabun, dan katalis. Gliserol kasar dari industri biodisesel
diperoleh dengan cara memisahkan asam lemak dan garamnya. Pemurnian
gliserol kasar ini dapat dilakukan dengan cara destilasi vakum dan
selanjutnya dilakukan penentuan karakteristik gliserol yang dihasilkan
(Yong et al., 2001). Gliserol yang dihasilkan oleh sebuah pabrik biodiesel
kira-kira sebesar 10% dari produksi biodiesel (Bondioli, 2003).
Gliserol yang dihasilkan dari proses trans-esterifikasi mempunyai
tingkat kemurnian sebesar 50 %. Gliserol yang dihasilkan mengandung
metanol, metil ester, dan katalis. Untuk meningkatkan kemurnian gliserol
kasar menjadi gliserol dengan tingkat kemurnian 80% – 90% adalah
dengan cara mengencerkan gliserol kasar dengan menambahkan 2/3
bagian air bersih kemudian dipanaskan untuk memberi kesempatan sisa
asam lemak bebas hasil hidrolisis tersabunkan oleh sisa NaOH. Sabun
yang terbentuk dipisahkan dari larutan dengan cara menambahkan
sejumlah larutan garam NaCl ke dalam larutan gliserol kemudian
ditambahkan HCl sehingga mencapai pH 4,5. Penambahan asam ini
dimaksudkan untuk mengubah sabun menjadi asam lemak bebas dan
garam. Asam-asam lemak bebas akan naik ke atas gliserol sehingga dapat
diambil kembali, sedangkan metanol dapat diambil melalui proses
evaporasi untuk menghasilkan gliserol dengan kemurnian 80% - 90%.
Pigmen
dalam
larutan
gliserol
kemudian
dimurnikan
dengan
menggunakan arang aktif sehingga diperoleh gliserol dengan tingkat
kemurnian 99,5 % (Hariyadi et al., 2005).
Tabel 2. Karakteristik gliserol kasar dan gliserol hasil pemurnian dari
limbah gliserol dan gliserol komersial
Parameter
Gliserol kasar
Gliserol
Gliserol
pemurnian
komersial
Gliserol (%)
60-80
99,1-99,8
99,2-99,98
H2O (%)
1,5-6,5
0,11-0,80
0,14-0,29
Kadar abu (%)
1,5-2,5
0,054
< 0,002
Sabun (%)
3-5
0,56
-
Keasaman
0,7-1,3
0,10-0,16
0,04-0,07
Klor
-
1 ppm
0,6-9,5 ppm
Warna (APHA)
Gelap
34-45
1,8-10,3
Sumber : (Mohtar et al., 2001)
Gliserol murni merupakan senyawa propane -1,2,3-triol, tidak
berwarna, tidak berbau, higroskopis, dan merupakan cairan kental berasa
agak manis. Gliserol adalah gula alkohol yang memiliki 3 gugus hidroksil
bersifat hidrofilik sehingga mudah larut dalam air (Anonim,2007).
Tabel 3. Sifat fisiko kimia gliserol
Sifat
Nilai
Rumus molekul
C3H8O3
Bobot molekul
92
Kemurnian
95-99,5% (air sebagai pengotor)
Titik leleh
180c
Titik nyala
1600C
Titik didih
2900C pada 101,3 kPa
Autoflammabilitas
3930C
Densitas relative
1,26 pada 200C
Kekentalan
1410 mPa pada 200C
Tegangan permukaan
63,4 mN/mat 200C
Sumber : Robertson (2002)
Proses pemurnian yang dilakukan berdasarkan pada sifat dan bahan
impurities yang terkandung dalam gliserol. Setelah reaksi transesterifikasi
selesai, produk didiamkan sekitar 12 jam sampai campuran terdiri dari dua
fasa, fasa atas merupakan metil ester dan fasa bawah adalah gliserol. Fasa
metil ester akan berwarna kuning kemerahan sedangkan fasa gliserol akan
berwarna lebih gelap. Kemudian dilakukan pemisahan terhadap metil ester
dan gliserol menggunakan corong pisah.
Teknik pemisahan gliserol yang dilakukan adalah pemisahan
secara gravitasi sehingga terbentuk dua fasa. Pemisahan ini terjadi karena
gliserol tidak larut dalam biodiesel dan adanya perbedaan densitas antara
biodiesel dan gliserol. Biodiesel mempunyai densitas sekitar 0,88 g/ml,
dan fasa gliserol mempunyai densitas sekitar 1,05 g/ml, atau lebih.
Densitas gliserol ini tergantung dari jumlah metanol, air dan katalis dalam
gliserol.
E. ADSORPSI
Adsorpsi merupakan suatu peristiwa fisik pada permukaan suau
bahan yang tergantung dari spesifik affinity antara adsorben dan zat yang
diadsorpsi. Mekanisme adsorpsi dapat dilakukan jika terjadi proses
pengikatan oleh permukaan adsorben baik yang berwujud padatan maupun
cairan terhadap adsorbat berupa atom-atom, ion-ion atau molekul-molekul
gas atau cairan lainnya (Trisnawati, 2004).
Perbedaan antara absorbsi dan adsorpsi yaitu, absorbsi merupakan
proses penarikan zat yang satu ke dalam zat yang lain, sehingga zat yang
tertarik menghilang secara fisik karena terperangkap di dalam zat yang
menariknya, sedangkan adsorpsi adalah proses pengumpulan substansi
terlarut yang ada dalam larutan oleh permukaan zat atau benda penyerap
(adsorben), dimana terjadi suatu ikatan kimia fisik antara substansi dengan
zat penyerap. Adsorpsi merupakan peristiwa penyerapan pada lapisan
permukaan atau antar fasa, dimana molekul dari suatu bahan terkumpul
pada bahan pengadsorpsi atau adsorben (Anonim, 1982). Ketaren (1986)
menyatakan bahwa daya adsorpsi disebabkan karena adsorben memiliki
pori dalam jumlah besar dan adsorbsi akan terjadi karena adanya
perbedaan energi potensial antara adsorben dengan zat yang akan diadsorb
(adsorbat).
Ada dua metode adsorpsi, yaitu adsorpsi secara fisika dan adsorpsi
secara kimia. Adsorpsi secara fisika adalah adsorpsi yang diakibatkan
karena adanya interaksi van der Waals antara adsorben dengan adsorbat
yang berarti pembentukan ikatan sementara. Oleh karena itu adsorpsi
fisika merupakan reaksi reversible (dapat balik). Adapun adsorpsi secara
kimia merupakan interaksi antara electron-elektron pada permukaan
adsorben dengan molekul-molekul adsorbat membentuk ikatan yang lebih
kuat dibandingkan dengan adsorpsi fisika, dan proses ini merupakan reaksi
irreversible (tidak dapat balik) (Anonim, 1982).
Proses adsorpsi meliputi tiga tahap mekanisme yaitu : 1.
Pergerakan molekul-molekul adsorbat menuju permukaan adsorben. 2.
Penyebaran molekul-molekul adsorbat ke dalam rongga-rongga adsorben.
3. Penarikan molekul-molekul adsorben oleh permukaan aktif membentuk
ikatan yang berlangsung sangat cepat (Siswarni, 1999).
Menurut Cookson (1978), faktor-faktor yang mempengaruhi
adsorpsi antara lain:
1. Sifat fisika dan kimia adsorben, yaitu luas permukaan, ukuran
pori-pori, komposisi kimia.
2. Sifat fisika dan kimia adsorbat, yaitu ukuran molekul, polaritas
molekul, komposisi kimia.
3. Konsentrasi adsorbat dalam fasa cair (larutan).
4. Sifat fasa cair, seperti pH dan temperatur.
5. Lamanya proses adsorpsi tersebut berlangsung.
Efisiensi adsorpsi dipengaruhi oleh perbedaan muatan listrik antara
adsorben dan adsorbat. Suatu bahan yang mempunyai muatan elektro
positif akan diadsorpsi lebih efektif dalam larutan alkali, sedangkan bahan
yang mempunyai muatan elektro negatif akan diadsorpsi efektif dalam
larutan asam. Kapasitas adsorben dalam mengadsorpsi zat berhubungan
erat dengan konsentrasi larutan. Untuk adsorben dengan luas permukaan
dan berat tertentu, zat yang diadsorpsi tergantung pada konsentrasi larutan.
Makin tinggi konsentrasinya, makin besar pula zat yang diadsorpsi.
Sedangkan
pH
dapat
mempengaruhi
daya
adsorpsi
karena
pH
mempengaruhi kelarutan suatu zat (Djatmiko et al., 1981).
Suatu zat dapat digunakan sebagai adsorben untuk tujuan
pemisahan bila mempunyai daya adsorpsi selektif, berpori (mempunyai
luas permukaan persatuan massa yang besar) dan mempunyai daya ikat
yang kuat terhadap zat yang hendak dipisahkan secara fisik ataupun kimia.
Perbesaran luas permukaan dapat dilakukan dengan pengecilan ukuran
partikel adsorben. Pengecilan ukuran molekul adsorben tidak boleh terlalu
kecil karena dapat menyebabkan adsorben terbawa oleh aliran fluida
(adsorben larut dalam larutan/zat yang akan diadsorpsi) (Setyaningsih,
1995).
F. ADSORBEN
Adsorben merupakan suatu bahan (padatan atau cairan) yang dapat
mengadsorpsi adsorbat (bahan yang teradsorb). Bahan kimia yang dapat
digunakan sebagai adsorben harus mempunyai sifat resistensi yang tinggi
terhadap abrasi, stabil pada suhu tinggi dan ukuran diameter pori yang
kecil (mikro), yang menghasilkan luas permukaan yang besar dan
karenanya mempunyai kapasitas adsorpsi yang tinggi (Anonim, 2007).
Adsorben yang digunakan dalam proses pemurnian terdiri dari tipe
polar (hidrofilik) dan non polar (hidrofobik). Adsorben polar antara lain
silika gel, alumina yang diaktivasi dan beberapa jenis tanah liat (clay).
Adsorben tipe ini umumnya digunakan jika zat warna yang akan
dihilangkan lebih polar dari cairannya. Adsorben non polar antara lain
arang (karbon dan batubara) dan arang aktif, yang biasa digunakan untuk
menghilangkan zat warna yang kurang polar (Kirk dan Othmer, 1964).
1. Arang aktif
Arang adalah suatu bentuk karbon yang berwarna hitam dan
berpori-pori, diperoleh dari hasil pembakaran bahan-bahan yang
mengandung karbon seperti serat kayu, tempurung kelapa, sekam padi dan
batu bara dengan menggunakan udara terbatas. Sebagian besar pori-pori
arang masih tertutup hidrokarbon, ter dan senyawa-senyawa organik lain.
Komponen yang terdapat didalamnya terdiri dari karbon, abu,air, nitrogen
dan sulfur. Arang aktif adalah suatu bentuk karbon (arang) yang telah
diaktifkan dengan menggunakan gas, uap air atau bahan-bahan kimia
sehingga pori-porinya terbuka (Djatmiko et al., 1981).
Arang aktif adalah padatan amorf yang mempunyai luas
permukaan besar dan jumlah pori yang sangat banyak (Baker et al., 1997).
Menurut Roy (1985), arang aktif berbentuk kristal mikro dan karbon non
grafit yang pori-porinya
telah
mengalami proses
pengembangan
kemampuan untuk menyerap gas dan uap yang tidak larut ataupun
terdispersi dalam cairan melalui aktivasi. Setiap Kristal terdiri dari 3-4
lapisan atom karbon dengan 20-30 atom karbon heksagonal pada tiap
lapisan (Jankowska et al., 1991).
Daya adsorpsi arang aktif dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya adalah jumlah pori-pori, luas permukaan arang aktif, dan pada
kondisi heterogen daya adsorpsi dipengaruhi juga oleh jumlah gugus aktif
pada permukaan pori (Azah dan Rudyanto, 1984).
Menurut Cheremisinoff dan Ellerbusch (1978), daya adsorpsi arang
aktif disebabkan karena arang aktif sangat berpori. Pori-pori tersebut
menyebabkan permukaan arang aktif sangat luas yaitu berkisar antara 5001400 m2/gram.
2. Bentonit
Bentonit adalah lempung (clay) natural yang mengandung mineralmineral penting dari kelompok mineral liat (smektit) dengan sifat-sifat
yang ditentukan oleh mineral yang berjumlah paling banyak, yaitu
montmorilonit
(>80%)
dengan
rumus
kimia
adalah
(AlMg)8(Si4O10)4(OH)8.12H2O (Byrne, 2001). Montmorilonit merupakan
suatu hidrat aluminium silikat alami dimana beberapa atom aluminium dan
silikonnya secara natural dapat digantikan oleh atom lain seperti
magnesium dan besi. Elemen utama komposisi dari montmorilonit adalah
silikon, aluminium, oksigen dan gugus hidroksil. Struktur molekul
montmorilonit terdiri dari unit sel yang digambarkan sebagai struktur “SiAl-Si” (Brindley dan Brown, 1980).
Mineral-mineral montmorilonit umumnya berupa butiran sangat
halus yang mempunyai struktur kristal berlapis dan berpori. Mineral
tersebut mempunyai kemampuan mengembang (swellability) karena ruang
antar lapis yang dimilikinya, dan dapat mengakomodasi ion-ion atau
molekul terhidrat dengan ukuran tertentu. Potensi mengembang-mengerut
dan adanya muatan negatif yang tinggi merupakan penyebab mineral ini
dapat menerima dan menyerap ion-ion logam dan kation-kation organik
menghasilkan senyawa komplek berupa organo-mineral. Kation organik
diyakini mampu menggantikan kation-kation anorganik pada posisi antar
lapis (Tan, 1993).
Bentonit dapat ditemukan di alam dalam dua tipe, yaitu Nabentonit dan Ca-bentonit. Na-bentonit mempunyai sifat mengembang
(swelling) hingga delapan kali apabila dicelupkan ke dalam air dan tetap
terdispersi beberapa waktu di dalam air dan umumnya dipakai antara lain
sebagai bahan untuk lumpur pemboran minyak bumi, sedangkan Cabentonit mempunyai sifat tidak mengembang (non-swelling) apabila
dicelupkan ke dalam air, biasanya digunakan sebagai penjernih (bleaching
earth) dalam pemurnian minyak. Nilai pH Na-bentonit dalam air adalah
8,5-9,8, sedangkan Ca-bentonit 4-7 (Rukiyah dan Supriyatna, 1991).
Bentonit mempunyai kemampuan menyerap dan mempertukarkan kationkation, seperti K+, Na+, Ca2+ dan Mg2+. Sifat daya serap yang terdapat
dalam bentonit terjadi karena ruang pori-pori antar ikatan mineral lempung
serta ketidakseimbangan antara muatan listrik dalam ion-ionnya. Daya
serap tersebut umumnya berada pada ujung permukaan kristal serta
diameter ikatan mineral lempung.
Atom-atom yang terikat pada masing-masing lapisan struktur
montmorilonit memungkinkan air akan masuk antara unit sehingga kisi
akan membesar. Senyawa penyusun utama bentonit adalah senyawa silikat
dan alumina yang mengandung air dan terikat secara kimiawi. Kandungan
lain yaitu kalsium, natrium, kalium, magnesium dan besi yang bergabung
dengan silikat dan oksigen.
Kegunaan
bentonit
secara
komersial
adalah
karena
sifat
mineraloginya yaitu mempunyai permukaan spesifik yang luas, baik
sebagai penukar ion dan kemampuan akan adsorpsi atau serapannya
sehingga sering dipakai untuk kegiatan industri dan kegiatan pertanian.
Bentonit harus diolah terlebih dahulu sebelum digunakan untuk keperluan
tertentu. Hal ini dikarenakan di alam sifat dan kualitas bentonit berbedabeda. Jenis Ca-bentonit dapat dibuat menjadi Na-bentonit buatan. Proses
pembuatannya dengan cara menjenuhkannya dengan ion natrium untuk
meningkatkan aktivasi natrium yang ada dalam mineral liat. Selain itu, Ca-
bentonit juga dapat ditingkatkan kemampuan adsorpsi dengan cara aktivasi
penambahan asam dan aktivasi organik melalui pemberian bahan yang
menyebabkan kalsium di antara lapisan mineral diganti dengan bahan
organik yang bermuatan positif (Manning, 1995). Sebagian besar bentonit
di Indonesia digolongkan ke dalam jenis Ca-bentonit (Arifin dan Sudrajat,
1997).
G. AKTIVASI
Pada keadan awal, adsorben memiliki kemampuan adsorpsi yang
rendah. Kapasitas adsorpsi dari adsorben dapat dinaikkan dengan proses
aktivasi untuk memberikan sifat yang diinginkan sehubungan dengan
penggunaannya. Aktivasi adalah semua proses untuk menaikkan kapasitas
adsorpsi untuk memberikan sifat yang diinginkan sehubungan dengan
penggunaannya. Pengaktifan adsorben bertujuan untuk memperluas
permukaan kontak adsorben melalui pembentukan struktur porous dan
berguna untuk mempertinggi daya adsorpsinya.
Berdasarkan teori ada dua cara perlakuan dalam meningkatkan
aktivitas adsorben, yaitu pemanasan dan pengasaman. Aktivasi dengan
pengasaman bertujuan agar air yang terikat dicelah-celah molekul dapat
teruapkan, sehingga porositas adsorben meningkat. Aktivasi adsorben
secara pengasaman adalah aktivasi dengan menggunakan asam mineral
(misalkan HCl atau H2SO4) pada konsentrasi tertentu yang dapat
mempertinggi daya pemurnian karena asam mineral tersebut larut atau
bereaksi dengan komponen berupa ter, garam Ca da Mg yang menutupi
pori-pori adsorben. Disamping itu, asam mineral akan melarutkan Al2O3
sehingga dapat menaikkan perbandingan jumlah SiO2 dan Al2O3 dari (2-3)
: 1 menjadi (5-6) : 1. Aktivasi asam mempertinggi sifat bentonit dengan
cara mengganti sifat kimia dan fisiknya tanpa menghancurkan struktur
lapisan mineral liatnya.
Daya pemucatan bentonit disebabkan karena ion Al3+ pada
permukaan adsorben dapat mengadsorpsi zat warna, sehingga daya
pemucatannya tergantung dari perbandingan SiO2 dan Al2O3. Dalam
proses aktivasi, asam mineral melarutkan Al2O3 sehingga menaikkan
perbandingan SiO2 dan Al2O3, akibatnya daya adsorb bertambah besar.
Reaksi pada proses aktivasi bentonit dapat dilihat pada gambar berikut:
Ca2+
2H+
4H+
Clay
Ca2+
Clay
Mg2+
2H+
2H+
Clay
Mg2+
Al3+
Al3+
Clay
2H+
3H+
H+
Gambar 5. Reaksi Aktivasi pada Bentonit (Ketaren, 1986)
Menurut Ketaren (1986), aktivasi menggunakan asam mineral akan
menimbulkan tiga macam reaksi, sebagai berikut :
1. Mula-mula asam akan melarutkan komponen Fe2O3, Al2O3, CaO dan
MgO yang mengisi pori-pori adsorben. Hal ini menyebabkan
terbukanya
pori-pori yang tertutup
sehingga
menambah luas
permukaan adsorben.
2. Kemudian ion-ion Ca2+ dan Mg2+ yang berada pada permukaan kristal
adsorben secara berangsur-angsur diganti oleh ion H+ dari asam
mineral.
3. Sebagian ion H+ yang telah menggantikan ion Ca2+ dan Mg2+ akan
ditukar oleh ion Al3+ yang telah larut dalam larutan asam.
Download