BAB I PENDAHULUAN Ilmu pengetahuan di bidang kedokteran semakin berkembang yaitu dengan ditemukannya alat dan metode yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosa terhadap penderita dilakukan berbagai cara antara lain: pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan secara radiologis. Pemeriksaan secara radiologi mampu memberikan informasi secara radiografi yang optimal baik keadaan anatomis maupun fisiologis dari suatu organ di dalam tubuh yang tidak dapat di raba dan di lihat oleh mata secara langsung serta mampu memberikan informasi mengenai kelainan-kelainan yang mungkin dijumpai pada organorgan yang akan diperiksa. Pada saat ini hampir semua organ dan sistem di dalam tubuh kita dapat diperiksa secara radiologis, bahkan setelah ditemukan kontras media yang berguna memperlihatkan jaringan organ yang mempunyai nomor atom yang lebih kecil sehingga kelainan pada organ tersebut dapat didiagnosa. Pemeriksaan radiologi secara garis besar dibagi menjadi dua bagian yaitu pemeriksaan radiologi tanpa kontras dan pemeriksaan radiologi yang menggunakan bahan kontras. Dalam penyusunan referat ini, penulis menyajikan salah satu pemeriksaan yang menggunakan bahan kontras yaitu pemeriksaan colon in loop pada penderita carcinoma colon. Pemeriksaan colon in loop adalah pemeriksaan secara radiologi yang menggunakan bahan kontras positif yaitu Barium Sulfat dan bahan kontras negatif yaitu udara dengan tujuan untuk mengvisualisasikan keadaan colon atau usus besar yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui anus. Adapun teknik-teknik yang rutin dilakukan pada pemeriksaan colon in loop yaitu dengan menggunakan proyeksi antero-posterior, postero-anterior, lateral, obliq kanan dan kiri. Kelainan-kelainan yang biasa terjadi pada colon adalah divertikel, megacolon, obstruksi atau illeus, stenosis, volvulus, atresia, colitis dan carcinoma (keganasan) yang diangkat penulis dalam penulisan referat ini. Carcinoma colon merupakan keganasan 1 yang mengenai sel-sel epitel di mukosa colon. Kebanyakan kanker colon berada di rectal, sehingga lebih banyak dikenal dengan carcinoma colorectal. Insidens carcinoma colon di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka kematiannya. Pada tahun 2002 carcinoma colon menduduki peringkat kedua pada kasus carcinoma yang terdapat pada pria, sedangkan pada wanita carcinoma colon menduduki peringkat ketiga dari semua kasus carcinoma. Untuk menegakkan diagnosa dari carcinoma colon dapat dilakukan pemeriksaan radiologis, yaitu ultrasonografi, CT-Scan, foto polos abdomen dan colon in loop yang akan kita bahas dalam referat ini. Letak carcinoma colorectal paling sering terdapat pada colon rektosigmoid. Keluhan pasien karena carcinoma colorectal tergantung pada besar dan lokasi dari tumor. Keluhan dari lesi yang berada pada kolon kanan dapat berupa perasaan penuh di abdominal, symptomatic anemia dan perdarahan, sedangkan keluhan yang berasal dari lesi pada kolon kiri dapat berupa perubahan pada pola defekasi, perdarahan, konstipasi sampai obstruksi. 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi Colon (Usus Besar) Usus besar atau colon adalah sambungan dari usus halus yang merupakan tabung berongga dengan panjang kira-kira 1,5 meter, terbentang dari caecum sampai canalis ani. Diameter usus besar lebih besar daripada usus halus. Diameter rata-ratanya sekitar 2,5 inchi. Tetapi makin mendekati ujungnya diameternya makin berkurang. Usus besar ini tersusun atas membran mukosa tanpa lipatan, kecuali pada daerah distal colon. Usus besar dibagi menjadi ; caecum, appendiks vermivormis, colon ascendens, colon transversal, colon descendens, colon sigmoideum (colon pelvicum), rectum dan anus. 1. Caecum Caecum merupakan kantong dengan ujung buntu yang menonjol ke bawah pada regio iliaca kanan, di bawah junctura ileocaecalis. Appendiks vermiformis berbentuk seperti cacing dan berasal dari sisi medial usus besar. Panjang caecum sekitar 6 cm dan berjalan ke caudal. Caecum berakhir sebagai kantong buntu yang berupa processus vermiformis (apendiks) yang mempunyai panjang antara 8-13 cm. 2. Colon ascendens Colon asenden berjalan ke atas dari caecum ke permukaan inferior lobus kanan hati, menduduki regio illiaca dan lumbalis kanan. Setelah sampai ke hati, colon asenden membelok ke kiri, membentuk fleksura coli dekstra (fleksura hepatik). Colon ascendens ini terletak pada regio illiaca kanan dengan panjang sekitar 13 cm. 3 3. Colon transversum Colon transversum menyilang abdomen pada regio umbilikalis dari fleksura coli dekstra sampai fleksura coli sinistra. Colon transversum membentuk lengkungan seperti huruf U. Pada posisi berdiri, bagian bawah U dapat turun sampai pelvis. Colon transversum, waktu mencapai daerah limpa, membelok ke bawah membentuk fleksura coli sinistra (fleksura lienalis) untuk kemudian menjadi Colon descendens. 4. Colon descendens Colon descendens terletak pada regio illiaca kiri dengan panjang sekitar 25 cm. Colon descendens ini berjalan ke bawah dari fleksura lienalis sampai pinggir pelvis membentuk fleksura sigmoideum dan berlanjut sebagai colon sigmoideum. 5. Colon sigmoideum Colon sigmoideum mulai dari pintu atas panggul. Colon sigmoideum merupakan lanjutan kolon desenden dan tergantung ke bawah dalam rongga pelvis dalam bentuk lengkungan. Colon sigmoideum bersatu dengan rectum di depan sakrum. 6. Rectum Rectum menduduki bagian posterior rongga pelvis. Rektum merupakan lanjutan dari kolon sigmoideum dan berjalan turun di depan caecum, meninggalkan pelvis dengan menembus dasar pelvis. Setelah itu rektum berlanjut sebagai anus dalam perineum. Menurut Pearce (1999), rektum merupakan bagian 10 cm terbawah dari usus besar, dimulai pada colon sigmoideum dan berakhir ke dalam anus yang dijaga oleh otot internal dan eksternal. 4 Keterangan : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. Appendiks Caecum Persambungan ileosekal Apendises epiploika Colon ascendens Fleksura hepatika Colon transversal Fleksura lienalis Haustra Colon descendens Taenia koli Colon sigmoid Canalis Ani Rectum Anus Gambar 1. Usus Besar / colon Gambar 2. Vaskularisasi colon (kiri) Gambar 3. Kelenjar limfe colon (kanan) (1)lnn.iliocolica, (2)lnn.colica sinistra, (3)lnn.mesenterica inferior, (4)lnn.superior rectum, (5)lnnn.retrocecal, (6)lnn.prececal, (7)lnn.paracolica 5 Fungsi usus besar adalah : 1). Absorbsi air dan elektrolit Penyerapan air dan elektrolit sebagian besar berlangsung di separuh atas colon. Dari sekitar 1000 ml kimus yang masuk ke usus setiap hari, hanya 100 ml cairan dan hampir tidak ada elektrolit yang diekskresikan. Dengan mengeluarkan sekitar 90 % cairan, colon mengubah 1000-2000 ml kimus isotonik menjadi sekitar 200-250 ml tinja semi padat). Dalam hal ini colon sigmoid berfungsi sebagai reservoir untuk dehidrasi masa feases sampai defekasi berlangsung. 2). Sekresi mukus Mukus adalah suatu bahan yang sangat kental yang membungkus dinding usus. Fungsinya sebagai pelindung mukosa agar tidak dicerna oleh enzim-enzim yang terdapat didalam usus dan sebagai pelumas makanan sehingga mudah lewat. Tanpa pembentukan mukus, integritas dinding usus akan sangat terganggu, selain itu tinja akan menjadi sangat keras tanpa efek lubrikasi dari mukus. Sekresi usus besar mengandung banyak mukus. Hal ini menunjukkan banyak reaksi alkali dan tidak mengandung enzim. Pada keadaan peradangan usus, peningkatan sekresi mukus yang banyak sekali mungkin bertanggung jawab dan kehilangan protein dalam feses. 3). Menghasilkan bakteri Bakteri usus besar melakukan banyak fungsi yaitu sintesis vitamin K dan beberapa vitamin B. Penyiapan selulosa yang berupa hidrat karbon di dalam tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, sayuran hijau dan penyiapan sisa protein yang belum dicernakan merupakan kerja bakteri guna ekskresi. Mikroorganisme yang terdapat di colon terdiri tidak saja dari eschericia coli dan enterobacter aerogenes tetapi juga organisme-organisme pleomorfik seperti bacteriodes fragilis. Sejumlah besar bakteri keluar melalui tinja. Pada saat lahir colon steril, tetapi flora bakteri usus segera tumbuh pada awal masa kehidupan. 6 4). Defekasi (pembuangan air besar) Defekasi terjadi karena kontraksi peristaltik rektum. Kontraksi ini dihasilkan sebagai respon terhadap perangsangan otot polos longitudinal dan sirkuler oleh pleksus mienterikus. Pleksus mienterikus dirangsang oleh saraf parasimpatis yang berjalan di segmen sakrum korda sinalis. Defekasi dapat dihambat dengan menjaga agar spingter eksternus tetap berkontraksi atau dibantu dengan melemaskan spingter dan mengkontraksikan otot-otot abdomen. 2.2 Definisi Carcinoma Colon Tumor adalah suatu benjolan yang menempati area tertentu pada tubuh dan merupakan neoplasma yang dapat bersifat jinak. Kanker adalah sebuah penyakit yang ditandai dengan pembagian sel yang tidak teratur dan kemampuan sel-sel ini untuk menyerang jaringan biologis lainnya, baik dengan pertumbuhan langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastasis) pertumbuhan yang tidak teratur ini menyebabkan kerusakan DNA, menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol pembagian sel, dan fungsi lainnya. Kanker colon adalah suatu bentuk keganasan dari masa abnormal/neoplasma yang muncul dari jaringan epithelial colon. Kanker colon atau usus besar adalah tumbuhnya sel kanker yang ganas di dalam permukaan usus besar atau rektum. Dari beberapa pengertian tersebut maka dapa ditarik kesimpulan bahwa kanker colon adalah suatu pertumbuhan tumor yang bersifat ganas dan merusak DNA dan jaringan sehat disekitar colon (usus besar). Carcinoma rectum adalah kanker yang terjadi pada rektum. Rektum terletak di anterior sakrum and coccyx panjangnya kira kira 15 cm. Rectosigmoid junction terletak pada bagian akhir mesocolon sigmoid. Bagian sepertiga atasnya hampir seluruhnya dibungkus oleh peritoneum. Di setengah bagian bawah rektum keseluruhannya adalah ektraperitoneral. Vaskularisasi rektum berasal dari cabang arteri mesenterika inferior dan cabang dari arteri iliaka interna. Vena hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemorriodalis internus dan berjalan ke kranial ke vena mesenterika inferior dan seterusnya melalui vena lienalis ke vena porta. Ca Recti dapat menyebar sebagai embulus vena kedalam hati. Pembuluh limfe dari rektum diatas garis anorektum berjalan seiring vena hemorriodalos superior dan melanjut ke kelenjar limfa mesenterika inferior 7 dan aorta. Operasi radikal untuk eradikasi karsinoma rektum dan anus didasarkan pada anatomi saluran limfa ini. Dinding rektum terdiri dari 5 lapisan, yaitu mukosa yang tersusun oleh epitel kolumner, mukosa muskularis, submukosa, muscularis propria dan serosa. 2.3 Epidemiologi Di dunia, kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga pada tingkat insiden dan mortalitas. Pada tahun 2002 terdapat lebih dari 1 juta insiden kanker kolorektal dengan tingkat mortalitas lebih dari 50%. 9,5 % pria penderita kanker terkena kanker kolorektal, sedangkan pada wanita angkanya mencapai 9,3% dari total jumlah penderita kanker. Angka insiden tertinggi terdapat pada Eropa, Amerika, Australia dan Selandia baru; sedangkan angka insiden terendah terdapat pada India, Amerika Selatan dan Arab Israel. Di Eropa, penyakit ini menempati urutan kedua sebagai kanker yang paling sering terjadi pada pria dan wanita pada tingkat insidensi dan mortalitas. Didapatkan suatu hubungan yaitu: 1) Terdapat perbedaan insiden pada pria dan wanita yang berusia lanjut, yang meningkat seiring dengan usia 2) Meningkatnya insiden kanker kolorektal seiring dengan kepadatan penduduk 3) Rendahnya insiden pada pria yang belum pernah menikah dibandingkan dengan pria lainnya. Perkiraan insiden kanker di Indonesia adalah 100 per 100.000 penduduk. Namun, hanya 3,2% dari kasus kanker yang baru mencari perawatan di Rumah Sakit. Dewasa ini kanker kolorektal telah menjadi salah satu dari kanker yang banyak terjadi di Indonesia, data yang dikumpulkan dari 13 pusat kanker menunjukkan bahwa kanker kolorektal merupakan salah satu dari lima kanker yang paling sering terdapat pada pria maupun wanita. 8 Gambar 4. Insiden Kanker di Indonesia 2.4 Etiologi Penyebab dari keganasan kolorektal memiliki faktor genetik dan lingkungan : Sindroma kanker familial Terdapat berbagai faktor genetik yang berkaitan dengan keganasan kolorektal.Sebanyak 10-15 % kasus kanker kolorektal disebabkan oleh faktor ini. Tabel 1. Sindroma kanker familial TABLE 2-1 Hereditary Colorectal Cancer (CRC) Syndromes Syndrome % of Genetic Phenotype Extracolonic Treatment Notes total basis manifestation CRC s burde n Familial <1% Mutasi pada <100 CHRPE, TPC with Variants adenomatou gen adenomatous osteomas, endinclude Turcot s polyposis suppressor polyp; near epidermal ileostomy (CNS tumors) (FAP) tumor APC 100% with cysts, or IPAA or and Gardener (5q21) CRC by age periampullary TAC with (desmoids) 40 yr neoplasms IRA and syndromes lifelong surveillance 9 Hereditary 5%– nonpolyposi 7% s colorectal cancer (HNPCC) Defective Polyps mismatch sedikit, repair: predominantl MSH2 and y right-sided MLH1 CRC, 80% (90%), lifetime risk MSH6 (10%) of CRC At risk for uterine, ovarian, small intestinal, pancreatic malignancies Genetic counseling; consider prophylacti c resections, including TAH/BSO High microsatellite instability (MSI-H) tumors, better prognosis than sporadic CRC PeutzJeghers (PJS) <1% Kehilangan Hamartomas Mucocutaneou Surveillanc tumor throughout s pigmentation, e EGD and suppressor GI tract risk for colonoscop gene pancreatic y q3 yr; LKB1/STK1 cancer resect 1 (19p13) polyps >1.5 cm Majority present with SBO due to intussusceptin g polyp Familial juvenile polyposis (FJP) <1% Mutasi Hamartomas Gastric, SMAD4/DP throughout duodenal and C (18q21) GI tract; >3 pancreatic juvenile neoplasms; polyps; 15% pulmonary with CRC by AVMs age 35 yr Genetic Presents with counseling; rectal bleeding consider or diarrhea prophylacti c TAC with IRA for diffuse disease AVM, arteriovenous malformation; CHRPE, congenital hypertrophy of retinal pigmented epithelium; CNS, central nervous system; EGD, esophagogastroduodenoscopy; GI, gastrointestinal; IPAA, ileal pouch-anal anastomosis; IRA, ileal-rectal anastomosis; TAC, total abdominal colectomy; TAH/BSO, total abdominal hysterectomy and bilateral salpingo-oophorectomy; TPC, total proctocolectomy. Kasus sporadik Kasus sporadik merupakan bagian terbesar yaitu sekitar 85% dari seluruh keganasan kolorektal. Walaupun tidak ada mutasi genetik yang dapat diidentifikasi, namun kekerabatan tingkat pertama dari pasien kanker kolorektal memiliki peningkatan resiko 3-9 x untuk dapat terkena kanker. Faktor lingkungan Faktor lingkungan yang ikut berpengaruh antara lain ialah diet. Diet tinggi lemak jenuh meningkatkan resiko.Memperbanyak makan serat menurunkan resiko ini untuk individu dengan diet tinggi lemak. Studi epidemiologik juga memperlihatkan bahwa orang dari negara bukan industri lebih sedikit terkena resiko ini. 10 2.5 Klasifikasi Klasifikasi kanker kolon menurut modifikasi DUKES adalah sebagai berikut: A : Kanker hanya terbatas pada mukosa dan belum ada metastasis. B1 : Kanker telah menginfiltrasi lapisan muskularis mukosa. B2 : Kanker telah menembus lapisan muskularis sampai lapisan propria. C1 : Kanker telah mengadakan metastasis ke kelenjar getah bening sebanyak satu sampai empat buah. C2 : Kanker telah mengadakan metastasis ke kelenjar getah bening lebih dari 5 buah. D : Kanker telah mengadakan metastasis regional tahap lanjut dan penyebaran yang luas & tidak dapat dioperasi lagi. 2.6 Faktor Resiko 1) Polip Polip telah diketahui potensial untuk menjadi kanker kolorektal. Evolusi dari kanker itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana proses dimulai dari hiperplasia sel mukosa, pembentukan adenoma, perkembangan dari displasia menuju transformasi maligna dan invasif kanker .Aktifasi onkogen, inaktifasi tumor supresi gen, dan kromosomal deletion memungkinkan perkembangan dari formasi adenoma, perkembangan dan peningkatan displasia dan invasif karsinoma. Ada tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi pertumbuhan sel yaitu proto-onkogen, gen penekan tumor (Tumor Suppresor Gene = TSG), dan gen gatekeeper. Proto-onkogen menstimulasi dan meregulasi pertumbuhan dan pembelahan sel. TSG menghambat pertumbuhan sel atau menginduksi apoptosis (kematian sel yang terprogram). Kelompok gen ini dikenal sebagai anti-onkogen, karena berfungsi melakukan kontrol negatif pada pertumbuhan sel. Gen p53 merupakan salah satu dari TSG yang menyandi protein dengan berat molekul 53 kDa. Gen p53 juga berfungsi mendeteksi kerusakan DNA, menginduksi reparasi DNA. Gen gatekeeper berfungsi mempertahankan integritas genomik dengan mendeteksi kesalahan pada genom dan memperbaikinya. Mutasi pada gen-gen ini karena berbagai faktor membuka peluang terbentuknya kanker. Pada keadaan normal, pertumbuhan sel akan terjadi sesuai dengan kebutuhan melalui siklus sel normal yang dikendalikan secara terpadu oleh fungsi proto11 onkogen, TSG, dan gen gatekeeper secara seimbang. Jika terjadi ketidakseimbangan fungsi ketiga gen ini, atau salah satu tidak berfungsi dengan baik karena mutasi, maka keadaan ini akan menyebabkan penyimpangan siklus sel. Pertumbuhan sel tidak normal pada proses terbentuknya kanker dapat terjadi melalui tiga mekanisme, yaitu perpendekan waktu siklus sel, sehingga akan menghasilkan lebih banyak sel dalam satuan waktu, penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan proses apoptosis, dan masuknya kembali populasi sel yang tidak aktif berproliferasi ke dalam siklus proliferasi. Gabungan mutasi dari ketiga kelompok gen ini akan menyebabkan kelainan siklus selakibatnya sel akan berkembang tanpa kontrol (yang sering terjadi pada manusia adalah mutasi gen p53). Akhirnya akan terjadi pertumbuhan sel yang tidak diperlukan, tanpa kendali dan karsinogenesis dimulai. Secara histologi polip diklasifikasikan sebagai neoplastik dan non neoplastik. Non neoplastik polip tidak berpotensi maligna, yang termasuk polip non neoplastik yaitu polip hiperplastik, mukous retention polip, hamartoma (juvenile polip), limfoid aggregate dan inflamatory polip. Neoplastik polip atau adenomatous polip berpotensial berdegenerasi maligna; dan berdasarkan WHO diklasifikasikan sebagai tubular adenoma, tubulovillous adenoma dan villous adenoma.Tujuh puluh persen dari polip berupa adenomatous, dimana 75%-85% tubular adenoma, 10%-25% tubulovillous adenoma dan villous adenoma dibawah 5%. Gambar 5. Adenomatous Polip 12 Displasia dapat dikategorikan menjadi low atau high grade. Enam persen dari adenomatous polip berupa high grade displasia dan 5% didalamnya berupa invasif karsinoma pada saat terdiagnosa.Potensi malignansi dari adenoma berkorelasi dengan besarnya polip, tingkat displasia, dan umur.Polip yang diameternya lebih besar dari 1 cm, berdisplasia berat dan secara histologi tergolong sebagai villous adenoma dihubungkan dengan risiko tinggi untuk menjadi kanker kolorektal.Polip yang berukuran kecil (<1 cm) tidak berhubungan dengan meningkatnya timbulnya kanker kolorektal. Insiden dari kanker meningkat dari 2,5-4 kali lipat jika polip lebih besar dari 1 cm, dan 5-7 kali lipat pada pasien yang mempunyai multipel polip. Waktu yang dibutuhkan untuk menjadi malignansi tergantung beratnya derajat displasia. Gambar 6. Polip Neoplastik Keterangan : (A) tubular adenoma, (B) villous adenoma, (C) tubulovillous adenoma, (D) karsinoma pada tangkai tubular adenoma, (E) karsinoma invasif yang muncul dari sebuah villous adenoma. 13 2) Idiopathic Inflammatory Bowel Disease a) Ulseratif Kolitis Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker kolon, sekitar 1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis. Risiko perkembangan kanker pada pasien ini berbanding terbalik pada usia terkena kolitis dan berbanding lurus dengan keterlibatan dan keaktifan dari ulseratif kolitis. Risiko kumulatif adalah 2% pada 10 tahun, 8% pada 20 tahun, dan 18% pada 30 tahun. Pendekatan yang direkomendasikan untuk seseorang dengan risiko tinggi dari kanker kolorektal pada ulseratif kolitis dengan mengunakan kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan total proktokolektomi pada pasien dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun. Strategi yang digunakan berdasarkan asumsi bahwa lesi displasia bisa dideteksi sebelum terbentuknya invasif kanker. Diagnosis dari displasia mempunyai masalah tersendiri pada pengumpulan sampling spesimen dan variasi perbedaan pendapat antara para ahli patologi anatomi. b) Penyakit Crohn’s Pasien yang menderita penyakit crohn’s mempunyai risiko tinggi untuk menderita kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan ulseratif kolitis. Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada penyakit crohn’s sekitar 20%.Pasien dengan striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi dari adenokarsinoma pada tempat yang terjadi fibrosis.Adenokarsinoma meningkat pada tempat strikturoplasty menjadikan sebuah biopsy dari dinding intestinal harus dilakukan pada saat melakukan strikturoplasty. Telah dilaporkan juga bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma meningkat pada fistula kronik pasien dengan crohn’s disease. 2.7 Patofisiologi Penyebab dari kanker kolorektal masih terus diselidiki. Mutasi dapat menyebabkan aktivasi dari onkogen (k-ras) dan atau inaktivasi dari gen supresi tumor ( APC, DCC deleted in colorectal carcinoma, p53). Karsinoma kolorektal merupakan perkembangan dari polip adenomatosa dengan akumulasi dari mutasi ini. 14 Gambar 7. Perkembangan menuju karsinoma Defek pada gen APC yang merupakan pertama kali dideskripsikan pada pasien dengan FAP. Dengan meneliti dari populasi ini, maka karakteristik mutasi dari gen APC dapat diidentifikasi.Mereka sekarang diketahui ada dalam 80% kasus sporadik kanker kolorektal. Gen APC merupakan gen supresi tumor. Mutasi pada setiap alel diperlukan untuk pembentukan polip. Mayoritas dari mutasi ialah prematur stop kodon yang menghasilkan truncated APC protein. Inaktivasi APC sendiri tidak menghasilkan karsinoma.Akan tetapi, mutasi ini menyebabkan akumulasi kerusakan genetik yang menghasilkan keganasan. Tambahan mutasi pada jalur ini ialah aktivasi onkogen K-ras dan hilangnya gen supresi tumor DCC dan p53. K-ras diklasifikasikan sebagai proto onkogen karena mutasi 1 alel siklus sel. Gen K-ras menghasilkan produk G protein yang akan menyebabkan transduksi signal intraceluler. Ketika aktif, K-ras berikatan dengan guanosine triphosphate (GTP) yang dihidrolisis menjadi guanosis diphosphate (GDP) kemudian menginaktivasi G protein.Mutasi K-ras menyebabkan ketidakmampuan dalam hidrolisis GTP yang menyebabkan G protein aktiv secara permanen.Hal ini yang menyebabkan pemecahan sel yang tidak terkontrol. DCC ialah gen supresi tumor dan kehilangan semua alelnya diperlukan untuk degenerasi keganasan, mutasi DCC terjadi pada lebih dari 70% kasus karsinoma 15 kolorektal dan memiliki prognosis negatif. Gen supresi tumor p-53 sudah banyak dikarakteristikan dalam banyak keganasan. Protein p53 penting untuk menginisiasi apoptosis dalam sel pada kerusakan genetik yang tidak dapat diperbaiki.Mutasi p53 diperlihatkan dalam 75% kasus. Gambar 8. Perubahan genetik dan gambaran klinis 16 - Jalur genetik Terdapat 2 jalur utama dalam inisasi dan progesi dari tumor yaitu jalur LOH dan jalur replication error (RER).Jalur LOH dikarakteristikan dengan delesi pada kromosom dan tumor aneuploidi.80% dari karsinoma kolorektal merupakan mutasi dari jalur LOH, sisanya merupakan mutasi jalur RER yang dikarakteristikan dengan kesalahan pasangan sewaktu replikasi DNA. Beberapa gen sudah diidentifikasi sebagai sesuatu yang penting dalam mengenali dan memperbaiki kesalahan replikasi. Kesalahan pencocokan gen yaitu include hMSH2, hMLH1, hPMS1, hPMS2, dan hMSH6/GTBP. Mutasi satu dari beberapa gen ini merupakan predisposisi dalam mutasi sel yang dapat terjadi pada proto onkogen ataupun gen supresi tumor. Jalur RER berhubungan dengan instabilitasi mikrosatelit.Tumor dengan instabilitas mikrosateliti memiliki karakteristik yang berbeda dari jalur LOH.Tumor ini lebih banyak terdapaat pada bagian kanan dan memiliki prognosis yang lebih baik. Tumor yang berasal dari LOH terjadi pada kolon distal dan berprognosis lebih buruk. Kanker kolon dan rectum terutama (95%) adenokarsinoma (muncul dari lapisan epitel usus) dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup serta merusak jaringan normal serta meluas ke dalam struktur sekitarnya.Sel kanker dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar ke dalam tubuh yang lain (paling sering ke hati). Neoplasma primer adenokarsinoma Secara makroskopik terdapat tiga tipe karsinoma kolon dan rektum, yaitu : 1. Tipe polipoid atau vegetatif yang tumbuh menonjol kedalam lumen usus, berbentuk kembang kol dan ditemukan terutama di daerah sekum dan kolon asendens. 2. Tipe skirus mengakibatkan penyempitan sehingga terjadi stenosis dan gejala obstruksi, terutama ditemukan di daerah kolon desendens, sigmoid dan rektum. 3. Bentuk ulseratif terjadi karena nekrosis di bagian sentral terdapat di rektum. Pada tahap lanjut sebagian besar karsinoma kolon mengalami ulserasi menjadi tukak maligna. 2.8 Manifestasi Klinis Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sejalan dengan suplai darah yang diterima. Arteri mesenterika superior memperdarahi belahan bagian kanan (caecum, kolon ascendens dan duapertiga proksimal kolon transversum), dan 17 arteri mesenterika inferior yang memperdarahi belahan kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon descendens dan sigmoid, dan bagian proksimal rektum). Tanda dan gejala dari kanker kolon sangat bervariasi dan tidak spesifik. Keluhan utama pasien dengan kanker kolorektal berhubungan dengan besar dan lokasi dari tumor. Kolon kanan memiliki kaliber yang besar, tipis dan dinding distensi serta isi fecal ialah air. Karena fitur anatomisnya, karsinoma kolon kanan dapat tumbuh besar sebelum terdiagnosa. Pasien sering mengeluh lemah karena anemia. Darah makroskopis sering tidak tampak pada feses tetapi dapat mendeteksi tes darah samar. Pasien dapat mengeluh ketidaknyamanan pada kuadran kanan perut setelah makan dan sering salah diagnosa dengan penyakit gastrointestinal dan kandung empedu. Jarang sekali terjadi obstruksi dan gangguan berkemih. Kolon kiri memiliki lumen yang lebih kecil dari yang kanan dan konsistensi feses ialah semisolid. Tumor dari kolon kiri dapat secara gradual mengoklusi lumen yang menyebabkan gangguan pola defekasi yaitu konstipasi atau peningkatan frekuensi BAB. Pendarahan dari anus sering namun jarang yang masif. Feses dapat diliputi atau tercampur dengan darah merah atau hitam. Serta sering keluar mukus bersamaan dengan gumpalan darah atau feses. Pada kanker rektum, gejala utama yang terjadi ialah hematokezia. Perdarahan seringkali terjadi persisten. Darah dapat tercampur dengan feses atau mukus. Pada pasien dengan perdarahan rektal pada usia pertengahan atau tua, walaupun ada hemoroid, kanker tetap harus dipikirkan. Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi, sehingga jika ditemukan pasien usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka kemungkinan besar penyebabnya adalah kanker. Obstruksi total muncul pada < 10% pasien dengan kanker kolon, tetapi hal ini adalah sebuah keadaan darurat yang membutuhkan penegakan diagnosis secara cepat dan penanganan bedah. Pasien dengan total obstruksi mungkin mengeluh tidak bisa flatus atau buang air besar, kram perut dan perut yang menegang. Jika obstruksi tersebut tidak mendapat terapi maka akan terjadi iskemia dan nekrosis kolon, lebih jauh lagi nekrosis akan menyebabkan peritonitis dan sepsis. Perforasi juga dapat terjadi pada tumor primer, dan hal ini dapat disalah artikan sebagai akut divertikulosis. Perforasi juga bisa terjadi pada vesika urinaria atau vagina dan dapat menunjukkan tanda tanda pneumaturia dan fecaluria. Metastasis ke hepar dapat menyebabkan pruritus dan jaundice, dan yang sangat disayangkan hal ini biasanya merupakan gejala pertama kali yang muncul dari kanker kolon. 18 Gambar 9. Distribusi kanker kolorektal menurut lokasi sebanyak 73% dapat dideteksi dengan pemeriksaan rektosigmoidoskopi (data unit endoskopi, Divisi Departemen Ilmu penyakit Dalam FKUI/RSCM, Jakarta 2005) Gejala-gejala yang timbul pada karsinoma kolorektal Kolon kanan : - Kelemahan yang tidak dapat dijelaskan / anemia - Tes darah samar pada feses - Gejala dispepsia - Ketidaknyamanan abdomen kanan persisten - Teraba massa abdominal Kolon kiri : - Gangguan pola buang air besar - Darah makro pada feses - Gejala obstruksi Rektum : - Pendarahan per rektal - Gangguan pola buang air - Adanya sensasi tidak lampias - Teraba tumor intrarectal 19 Tabel 2. Gambaran klinis karsinoma kolorektal KOLON KANAN KOLON KIRI REKTUM ASPEK KLINIS Kolitis Obstruksi Proktitis NYERI Karena penyusupan Obstruksi Obstruksi DEFEKASI Diare/diare berkala Konstipasi progresif Tenesmi terus menerus OBSTRUKSI Jarang Hampir selalu Hampir selalu DARAH PADA Samar Samar/makroskopik Makroskopik FESES Normal/diare berkala Normal Perubahan bentuk DISPEPSIA Sering Jarang Jarang ANEMIA Hampir selalu Lambat Lambat MEMBURUKNYA Hampir selalu Lambat Lambat FESES KEADAAN UMUM Staging tumor menurut TNM Prognosis dari pasien dari pasien kanker kolorektal berhubungan dengan dalamnya penetrasi tumor ke dinding kolon, keterlibatan kelenjar getah bening regional atau metastasis jauh. Semua variabel ini digabung sehingga dapat ditentukan sistem staging yang awalnya diperhatikan oleh Dukes. Dan diaplikasi dalam metode klasifikasi TNM dalam hal ini, T menunjukkan kedalaman penetrasi tumor, N menandakan keterlibatan kelenjar getah bening dan M ada tidaknya metastase jauh. Lesi superfisial yang tidak mencapai lapisan muskularis atau kelenjar getah bening (KGB) dianggap sebagai stadium A (T1N0M0).Bila tumor yang masuk lebih dalam namun tidak menyebar ke KGB dikelompokkan sebagai stadium B1 (T2N0M0).Bila tumor terbatas sampai lapisan muskularis disebut stadium B2 (T3N0M0).Bila tumor menginfiltrasi serosa dan KGB disebut stadium C (TXN1M0), bila terdapat status anak 20 sebar di hati, paru, atau tulang mempertegas stadium D (TXNXM1).Bila status metastasis belum dapat dipastikan maka sulit menentukan stadium.Oleh karena itu, pemeriksaan mikroskopik terhadap spesimen bedah sangat penting dalam menentukan stadium.Umumnya rekurensi kanker kolorektal terjadi dalam 4 tahun setelah pembedahan sehingga harapan hidup rata-rata 5 tahun dapat menjadi indikator kesembuhan.Indikator buruknya prognosis prognosis kanker kolorektal setelah menjalani operasi. Kanker kolorektal umumnya menyebar ke kelenjar getah bening regional atau ke hati melalui sirkulasi vena portal.Hati merupakan organ yang paling sering mendapat anak sebar kelenjar getah bening.Sepertiga kasus kanker kolorektal yang rekuren disertai metastase ke hati dan duapertiga pasien kanker kolorektal ditemukan metastase ke hati pada waktu meninggal.Kanker kolorektal jarang bermetastasis ke paru.KGB superklavikula tulang atau otak tanpa ditemukan anak sebar di hati terlebih dahulu.Pengecualian terjadi bilamana tumor dapat terletak di distal rektum, sel tumor dapat menyebar melalui pleksus vena paravertebra kemudian dapat mencapai paru atau KGB superklavikula tanpa melalui sistem vena porta.Rata-rata harapan hidup setelah ditemukan metastase berkisar 6 – 9 bulan (hepatomegali dan gangguan pada hati) atau 20-30 bulan (nodul kecil di hati yang ditandai oleh peningkatan CEA dan gambaran CTscan). 1) T – Tumor primer Tx: Tumor primer tidak dapat dinilai T0: Tidak ada tumor primer Tis: Karsinoma insitu, invasi lamina propia atau intraepitelial T1: Invasi tumor di lapisan sub-mukosa T2: Invasi tumor di lapisan otot propria T3: Invasi tumor melewati otot propria ke subserosa atau masuk ke perikolik yang tidak dilapisi peritoneum atau perirektal T4: Invasi tumor terhadap organ/struktur sekitarnya dan/atau peritoneum viseral. 21 Gambar 10. Gambaran kedalaman tumor 2) N – Kelenjar limfe regional Nx: Kelenjar limfe regional tidak dapat dinilai N0: Tidak didapatkan kelenjar limfe regional N1: Metastase di 1 – 3 kelenjar limfe perikolik atau perirektal N2: Metastase di 4 atau lebih kelenjar limfe perikolik atau perirektal N3: Metastase pada kelenjar limfe sesuai nama pembuluh darah dan atau pada kelenjar apikal (bila diberi tanda oleh ahli bedah). 3) M – Metastase jauh Mx: Metastase jauh tidak dapat dinilai M0: Tidak ada metastase jauh M1: Terdapat metastase jauh6 22 Tabel 3. Stadium dan Prognosis Kanker Kolorektal Dukes Stadium TNM Deskripsi histopatologis Bertahan 5 tahun (%) Kanker terbatas pada mukosa/submukosa Kanker mencapai muskularis Kanker cenderung masuk atau melewati lapisan serosa Metastasis >90 Derajat A T1N0M0 I B1 T2N0M0 I B1 T3N0M0 II C D TxN1M0 TxNxM1 III IV 85 70-80 35-65 5 2.9 Diagnosis Diagnosis karsinoma kolon ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratoris, radiologis, kolonoskopi, dan histopatologis. 1. Anamnesis Pada stadium dini, karsinoma kolon tidak memberikan gejala. Gejala biasanya muncul saat perjalanan penyakit sudah lanjut. Pasien dengan karsinoma kolon biasanya mengeluh rasa tidak enak, kembung, tidak bisa flatus, sampai rasa nyeri di perut. Didapatkan juga perubahan kebiasaan buang air besar berupa diare atau sebaliknya, obstipasi, kadang disertai darah dan lendir. Buang air besar yang disertai dengan darah dan lendir biasanya dikeluhkan oleh pasien dengan karsinoma kolon bagian proksimal. Hal ini disebabkan karena darah yang dikeluarkan oleh karsinoma tersebut sudah bercampur dengan feses. Gejala umum lain yang dikeluhkan oleh pasien berupa kelemahan, kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan. Secara umum gejala meliputi perubahan pola kebiasaan defekasi, baik berupa diare ataupun konstipasi (change of bowel habit), perdarahan per anum (darah segar), penurunan berat badan, faktor predisposisi (risk factor), riwayat kanker dalam keluarga, riwayat polip usus, riwayat colitis ulserosa, riwayat kanker 23 payudara/ovarium, uretero sigmoidostomi, serta kebiasaan makan (rendah serat, banyak lemak) 2. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik mungkin tidak banyak menolong dalam menegakkan diagnosis. T u mor kecil pada tahap dini tidak teraba pada palpasi abdomen, bila teraba menunjukkan keadaan yang sudah lanjut. Bila tumor sudah metastasis ke hepar akan teraba hepar yang noduler dengan bagian yang keras dan yang kenyal. Asites biasa didapatkan jika tumor sudah metastasis ke peritoneal. Perabaan limfonodi inguinal, iliaka, dan supraklavikular penting untuk mengetahui ada atau tidaknya metastasis ke limfonodi tersebut. Pada pasien yang diduga menderita karsinoma kolorektal harus dilakukan rectal toucher . B i l a l e t a k t u m o r a d a d i r e k t u m a t a u r e k t o s i g m o i d , a k a n teraba massa maligna (keras dan berbenjol -benjol dengan striktura) di rektum atau rektosigmoid teraba keras dan kenyal. Biasanya pada sarung tangan akan terdapat lendir dan darah. 3. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan laboratorium tidak dapat menentukan diagnosis. Walau demikian, setiap pasien yang mengalami perdarahan perlu diperiksa kadar hemoglobin. Pemeriksaan radiologis yang dapat dikerjakan berupa foto polos abdomen,barium enema dengan single contrast maupun double contrast dan foto thoraks. a. Pemeriksaan Laboratotium - Anemia dapat dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium darah (hemoglobin dan hematokrit). - Test guaiac pada feses - Carcinoembryonic antigen (CEA) b. Pemeriksaan Radiologi - Ultrasonografi (USG) - CT-Scan Kolon - Foto Polos Abdomen - Colon In Loop - Colonoskopi 24 c. Pemeriksaan Histopatologi Pemeriksaan histopatologi melalui biopsi merupakan diagnosis pasti dari karsinoma. Klinisi harus mereview penemuan hasil pemeriksaan ini untuk mengkonfirmasi diagnosis dan dapat segera memberikan terapi yang tepat. Dalam kedokteran onkologi, ini merupakan prinsip dasar dalam menegakkan diagnosis keganasan. 2.10 Teknik Pemeriksaan Colon In Loop 1. Pengertian Teknik pemeriksaan Colon in Loop adalah teknik pemeriksaan secara radiologis dari usus besar dengan menggunakan media kontras. 2. Tujuan Pemeriksaan Tujuan pemeriksaan Colon in Loop adalah untuk mendapatkan gambaran anatomis dari colon sehingga dapat membantu menegakkan diagnosa suatu penyakit atau kelainan-kelainan pada colon. 3. Indikasi dan kontras indikasi Indikasi a). Colitis, adalah penyakit-penyakit inflamasi pada colon, termasuk didalamnya colitis ulseratif dan colitis crohn. b). Carsinoma atau keganasan. c). Divertikel, merupakan kantong yang menonjol pada dinding colon, terdiri atas lapisan mukosa dan muskularis mukosa. d). Mega colon adalah suatu kelainan konginetal yang terjadi karena tidak adanya sel ganglion dipleksus mienterik dan sub mukosa pada segmen colon distal. Tidak adanya peristaltic menyebabkan feases sulit melewati segmen agangglionik, sehingga memungkinkan penderita untuk buang air besar 3 minggu sekali. e). Obstruksi atau Illeus adalah penyumbatan pada daerah usus besar. f). Invaginasi adalah melipatnya bagian usus besar ke bagian usus itu sendiri. g). Stenosis adalah penyempitan saluran usus besar. 25 h). Volvulus adalah penyumbatan isi usus karena terbelitnya sebagian usus ke bagian usus yang lain. i). Atresia adalah tidak adanya saluran dari colon yang seharusnya ada. j). Intussusepsi adalah gangguan mekanis pada bayi yang sering disebabkan oleh cacat kelahiran dimana adanya pembesaran saluran usus didaerah distal, biasanya didaerah illeus. Kontra Indikasi Absolute a) Toxic megakolon b) Pseudo membranous colitis c) Post biopsy kolon (sebaiknya menunggu setelah 7 hari) Relatif a) Persiapan kolon kurang baik b) Baru saja mengalami pemeriksaan GI tract bagian atas dengan kontras 4. Persiapan Pasien Tujuan persiapan pasien sebelum dilakukan pemeriksaan Colon in Loop adalah untuk membersihkan colon dari feases, karena bayangan dari feases dapat mengganggu gambaran dan menghilangkan anatomi normal sehingga dapat memberikan kesalahan informasi dengan adanya filling defect. Menurut Rasad (1999), prinsip dasar pemeriksaan Colon in Loop memerlukan beberapa persiapan pasien, yaitu : a. Mengubah pola makanan pasien Makanan hendaknya mempunyai konsistensi lunak, rendah serat dan rendah lemak untuk menghindari terjadinya bongkahan-bongkahan tinja yang keras. b. Minum sebanyak-banyaknya 26 Pemberian minum yang banyak dapat menjaga tinja selalu dalam keadaan lembek c. Pemberian obat pencahar Apabila kedua hal diatas dijalankan dengan benar, maka pemberian obat pencahar hanya sebagai pelengkap saja. 5. Persiapan Alat dan Bahan A. Persiapan alat pada pemeriksaan Colon in Loop, meliputi : 1). Pesawat x – ray siap pakai 2). Kaset dan film sesuai dengan kebutuhan 3). Marker 4). Standar irigator dan irigator set lengkap dengan kanula rectal . 5). Vaselin atau jelly 6). Sarung tangan 7). Penjepit atau klem 8). Kassa 9). Bengkok 10). Apron 11). Plester 12). Tempat mengaduk media kontras B. Persiapan bahan 1). Media kontras, yang sering dipakai adalah larutan barium dengan konsentrasi antara 70 – 80 W/V % (Weight /Volume). Banyaknya larutan (ml) tergantung pada panjang pendeknya colon, kurang lebih 600 – 800 ml 2). Air hangat untuk membuat larutan barium 3). Vaselin atau jelly, digunakan untuk menghilangi rasa sakit saat kanula dimasukkan kedalam anus. 6. Teknik Pemeriksaan A. Metode pemasukan media kontras 1). Metode kontras tunggal Barium dimasukkan lewat anus sampai mengisi daerah caecum. Pengisian diikuti dengan fluoroskopi. Untuk keperluan informasi yang lebih jelas pasien dirotasikan ke kanan dan ke kiri serta dibuat 27 radiograf full filling untuk melihat keseluruhan bagian usus dengan proyeksi antero posterior. Pasien diminta untuk buang air besar, kemudian dibuat radiograf post evakuasi posisi antero posterior. 2). Metode kontras ganda a. Pemasukan media kontras dengan metode satu tingkat. Merupakan pemeriksaan Colon in Loop dengan menggunakan media kontras berupa campuran antara BaSO4 dan udara. Barium dimasukkan kira-kira mencapai fleksura lienalis kemudian kanula diganti dengan pompa. Udara dipompakan dan posisi pasien diubah dari posisi miring ke kiri menjadi miring ke kanan setelah udara sampai ke fleksura lienalis. Tujuannya agar media kontras merata di dalam usus. Setelah itu pasien diposisikan supine dan dibuat radiograf. b. Pemasukan media kontras dengan metode dua tingkat. (1). Tahap pengisian Pada tahap ini dilakukan pengisian larutan BaSO4 ke dalam lumen colon, sampai mencapai pertengahan kolon transversum. Bagian yang belum terisi dapat diisi dengan mengubah posisi penderita. (2). Tahap pelapisan Dengan menunggu kurang lebih 1-2 menit agar larutan BaSo4 mengisi mukosa colon. (3). Tahap pengosongan Setelah diyakini mukosa terlapisi maka larutan perlu dibuang sebanyak yang dapat dikeluarkan kembali. (4). Tahap pengembangan Pada tahap ini dilakukan pemompaan udara ke lumen kolon. Pemompaan udara tidak boleh berlebihan (1800- 2000 ml) karena dapat menimbulkan kompikasi lain, misalnya refleks vagal yang ditandai dengan wajah pucat, pandangan gelap, bradikardi, keringat dingin dan pusing. 28 (5). Tahap pemotretan Pemotretan dilakukan bila seluruh colon telah mengembang sempurna. B. Proyeksi Radiograf 1). Proyeksi Antero posterior (AP)/postero inferior (PA) Posisi pasien : Pasien diposisikan supine/prone di atas meja pemeriksaan dengan MSP (Mid Sagital Plane) tubuh berada tepat pada garis tengah meja pemeriksaan. Kedua tangan lurus di samping tubuh dan kedua kaki lurus ke bawah. Posisi objek : Objek diatur dengan menentukan batas atas processus xypoideus dan batas bawah adalah symphisis pubis. Central point : Titik bidik pada pertengahan kedua crista illiaca . Central ray : Vertikal tegak lurus terhadap kaset Eksposi : Dilakukan saat pasien ekspirasi penuh dan tahan nafas. FFD : 100 cm Kriteria radiograf : Menunjukkan seluruh colon terlihat, termasuk fleksura dan colon sigmoid. 29 Gambar 11. Posisi pasien AP dan PA dan hasil radiograf pada pemeriksaan Colon In Loop 30 2). Proyeksi Right Anterior Obliq (RAO) Posisi pasien : Posisi pasien telungkup di atas meja pemeriksaan kemudian dirotasikan ke kanan kurang lebih 35˚- 45˚ terhadap meja pemeriksaan. Tangan kanan lurus di samping tubuh dan tangan kiri menyilang di depan tubuh berpegangan pada tepi meja. Kaki kanan lurus ke bawah dan kaki kiri sedikit di tekuk untuk fiksasi. Posisi objek : MSP pada petengahan meja Cenral Point : Titik bidik pada 1-2 inchi ke arah lateral kiri dari titik tengah kedua crista illiaca. Central ray : Vertikal tegak lurus terhadap kaset Eksposi : Dilakukan pada saat pasien ekspirasi dan tahan napas. FFD : 100 cm Kriteria : menunjukkan gambaran fleksura hepatika kanan terlihat sedikit superposisi bila di bandingkan dengan proyeksi PA dan tampak juga daerah sigmoid dan colon asenden. 31 Gambar 12. Posisi pasien RAO dan hasil radiograf pada pemeriksaan Colon In Loop 32 3). Proyeksi LAO Posisi pasien : Pasien ditidurkan telungkup di atas meja pemeriksaan kemudian dirotasikan kurang lebih 35˚ - 45˚ terhadap meja pemeriksaan. Tangan kiri di samping tubuh dan tangan di depan tubuh berpegangan pada meja pemeriksaan, kaki kanan ditekuk sebagai fiksasi, sedangkan kaki kiri lurus. Posisi objek : MSP pada petengahan meja, lutut fleksi. Central point : Titik bidik 1-2 inchi ke arah lateral kanan dari titik tengah kedua crista illiaca. Central ray : sinar vertikal tegak lurus terhadap kaset. Eksposi : Dilakukan pada saat pasien ekspirasi dan tahan napas. FFD : 100 cm Kriteria : menunjukkan gambaran fleksura lienalis tampak sedikit superposisi bila dibanding pada proyeksi PA, dan daerah colon descendens tampak. 33 Gambar 13. Posisi pasien LAO dan hasil radiograf pada pemeriksaan Colon In Loop 34 4). Proyeksi LPO Posisi pasien : Pasien diposisikan supine kemudian dirotasikan kurang lebih 35 - 45 terhadap meja pemeriksaan. Tangan kiri digunakan untuk bantalan dan tangan kanan di depan tubuh berpegangan pada tepi meja pemeriksaan. Kaki kiri lurus sedangkan kaki kanan ditekuk untuk fiksasi. Posisi objek : MSP pada petengahan meja, lutut fleksi. Central ray : Titik bidik 1-2 inchi ke arah lateral kanan dari titik tengah kedua crista illiaca. Central point : sinar vertikal tegak lurus terhadap kaset. Eksposi : Dilakukan pada saat pasien ekspirasi dan tahan napas. FFD : 100 cm Gambar 14. Posisi pasien LPO dan hasil radiograf pada pemeriksaan Colon In Loop 35 5). Proyeksi RPO. Posisi pasien : Posisi pasien supine di atas meja pemeriksaan kemudian dirotasikan ke kanan kurang lebih 35 - 45 terhadap meja pemeriksaan.Tangan kanan lurus di samping tubuh dan tangan kiri menyilang di depan tubuh berpegangan pada tepi meja. Kaki kanan lurus ke bawah dan kaki kiri sedikit ditekuk untuk fiksasi. Posisi objek : MSP pada petengahan meja, lutut fleksi. Central point : Titik bidik pada 1-2 inchi ke arah lateral kiri dari titik tengah kedua crista illiaca Central ray : Sinar vertikal tegak lurus terhadap kaset. Eksosi : Dilakukan saat pasien ekspirasi penuh dan tahan nafas. FFD : 100 cm Kriteria : Menunjukkan tampak gambaran fleksura lienalis dan colon ascendens. Gambar 15. Posisi pasien RPO dan hasil radiograf pada pemeriksaan Colon In Loop 36 6). Proyeksi Lateral. Posisi pasien : Pasien diposisikan lateral atau tidur miring Posisi Objek : Mid Coronal Plane (MCP) diatur pada pertengahan grid, genu sedikit fleksi untuk fiksasi. Cenral Ray : Arah sinar tegak lurus terhadap film Central Point : Pada Mid Coronal Plane setinggi spina illiaca anterior superior (SIAS). Eksposi : Dilakukan saat pasien ekspirasi dan tahan nafas. FFD : 100cm Kriteria : Daerah rectum dan sigmoid tampak jelas, rectosigmoid pada pertengahan radiograf. Gambar 16. Posisi pasien Lateral dan hasil radiograf pada pemeriksaan Colon In Loop 37 7). Proyeksi Left Lateral Dicubitus (LLD) Posisi pasien : Pasien diposisikan ke arah lateral atau tidur miring ke kiri dengan bagian abdomen belakang menempel dan sejajar dengan kaset. Posisi objek : MSP tubuh berada tepat pada garis tengah grid. Cenral point : Sinar horisontal dan tegak lurus terhadap kaset. Central ray : Titik bidik diarahkan pada pertengahan kedua crista illiaka Eksposi : Dilakukan pada saat pasien ekspirasi dan tahan napas. FFD : 100 cm Kriteria : Menunjukkan bagian atas sisi lateral dari colon ascendens naik dan bagian tengah dari colon descendens saat terisi udara. 38 Gambar 17. Posisi pasien LLD dan hasil radiograf pada pemeriksaan Colon In Loop 39 8). Proyeksi Antero Posterior Aksial. Posisi pasien : Posisi pasien supine di atas meja pemeriksaan Posisi objek : MSP tepat pada garis tengah meja pemeriksaan. Kedua tangan lurus di samping tubuh dan kedua kaki lurus ke bawah. Atur pertengahan kaset dengan menentukan batas atas pada puncak illium dan batas bawah symphisis pubis. Central Point : Titik bidik pada 5 cm di bawah pertengahan kedua crista illiaca. Central ray : Arah sinar membentuk sudut 30 - 40 kranial. Eksposi : Dilakukan saat pasien ekspirasi penuh dan tahan nafas. FFD : 100cm Kriteria : menunjukkan rektosigmoid di tengah film dan sedikit mengalami superposisi dibandingkan dengan proyeksi antero posterior, tampak juga kolon transversum. 40 Gambar 18. Posisi pasien AP Aksial dan hasil radiograf pada pemeriksaan Colon In Loop 9). Proyeksi Postero Anterior Aksial. Posisi pasien : Pasien tidur telungkup di atas meja pemeriksaan Posisi objek : MSP tubuh berada tepat pada garis tengah meja pemeriksaan. Kedua tangan lurus disamping tubuh dan kaki lurus kebawah. MSP objek sejajar dengan garis tengah grid, pertengahan kaset pada puncak illium. Cenral point : Titik bidik pada pertengahan kedua crista illiaca Cenral ray : Arah sinar menyudut 30 - 40 kaudal. Eksposi : Eksposi pada saat ekspirasi dan tahan nafas. FFD : 100cm 41 Kriteria : Tampak rektosigmoid rektosigmoid terlihat ditengah lebih film, sedikit daerah mengalami superposisi dibandingkan dengan proyeksi PA, terlihat colon transversum dan kedua fleksura. Gambar 19. Posisi pasien PA Aksial dan hasil radiograf pada pemeriksaan Colon In Loop 42 2.11 Hasil Pemeriksaan Colon In Loop A. Gambaran normal: Pasase lancar (gambaran haustre) Refluks kontras ke dalam ileum Post evakuasi: feather like appereance Gambar 20. Colon in loop normal B. Gambaran radiologis carcinoma colon: Gangguan pasase kontras Jenis ekstraluminar: pendorongan lumen Jenis intraluminar: mukosa kasar + filling defect Carcinoma colon kiri : filling defek, biasanya 2-6 cm dengan konfigurasi apple core, napkin ring. Carcinoma colon kanan : konstriksi atau massa intraluminal. 43 Gambar 21. Carcinoma anular colon sigmoid Gambar 22. Hasil pemeriksaan colon in loop, tampak filling defect "apple core" di colon descendens, disertai pelebaran colon dan ileum 44 Gambar 23. Carcinoma colon ascenden Gambar 24. Hasil pemeriksaan colon in loop dengan kontras tunggal 45 Gambar 25. Hasil pemeriksaan colon in loop dengan kontras ganda Gambar 26. Hasil pemeriksaan colon in loop, tampak filling defect dengan bentukan "napkin ring" di colon ascenden 46 Keuntungan: Sensitivitasnya untuk mendiagnosis karsinoma kolon-rektum: 65 – 95 % Aman Tingkat keberhasilan prosedur sangat tinggi Tidak memerlukan sedasi Telah tersedia di hampir seluruh rumah sakit. Kelemahan: Rendahnya akurasi untuk mendiagnosis lesi di rekto-sigmoid dengan divertikulosis dan di sekum Rendahnya akurasi untuk mendiagnosis lesi tipe datar Rendahnya sensitivitas (70–95 %) di dalam mendiagnosis polip <1cm Mendapat paparan radiasi. 2.12 Penatalaksanaan Satu-satunya kemungkinan terapi kuratif adalah tindakan bedah. Tujuan utama tindakan bedah adalah memperlancar saluran cerna baik bersifat kuratif maupun non kuratif dengan mengangkat karsinoma dan kemudian memulihkan kesinambungan usus. Kemoterapi dan radiasi bersifat paliatif dan tidak memberikan manfaat kuratif. Tindakan bedah terdiri dari reseksi luas karsinoma primer dan kelenjar limfe regional. Bila sudah terjadi metastase jauh, tumor primer akan direseksi juga dengan maksud mencegah obstruksi, perdarahan, anemia, inkontinensia, fistel dan nyeri. 1. Terapi primer Terapi utama untuk tumor kolon adalah operatif. Tindakan operatif yang dilakukan tergantung dari letak tumor kolon tersebut. Tehnik pembersihan mesenterium dan keadaan patologi (benigna atau maligna) menentukan berapa panjang kolon yang harus direseksi. 47 Tindakan yang paling sering dilakukan adalah hemikolektomi kanan, kolektomi transversal, hemikolektomi kiri atau reseksi anterior, dan reseksi abdominoperineal. Pembedahan sangat berhasil bila dilakukan pada pasien yang tidak mengalami metastasis. Pemeriksaan tindak lanjut dengan antigen embrionik adalah penanda yang sensitif untuk rekurensi tumor yang tidak terdeteksi. Daya tahan hidup 5 tahun adalah sekitar 50%. Indikasi untuk hemikolektomi adalah tumor di caecum, kolon ascenden, kolon transversum, tetapi lesi di fleksura lienalis dan kolon descenden di atasi dengan hemikolektomi kiri. Tumor di sigmoid dan rectum proksimal dapat diangkat dengan tindakan LAR (Low Anterior Resection). Angka mortalitas akibat operasi sekitar 5% tetapi bila operasi dikerjakan secara emergensi maka angka mortalitas menjadi lebih tinggi. Reseksi terhadap metastasis di hati dapat memberikan hasil 25-35% rata-rata masa bebas tumor (disease free survival rate). 2. Terapi paliatif Reseksi tumor secara paliatif dilakukan untuk mencegah atau mengatasi obstruksi atau menghentikan pendarahan supaya kualitas hidup penderita lebih baik. Jika tumor tidak dapat diangkat, dapat dilakukan bedah pintas atau anus preternaturalis. Pada metastasis di hepar yang tidak lebih dari 2 atau 3 nodul dapat dipertimbangkan eksisi metastasis. Pemberian sitostatik melalui arteri hepatika, yaitu perfusi secara selektif, kadang lagi disertai terapi embolisasi, dapat berhasil menghambat pertumbuhan sel ganas. 3. Kemoterapi Kemoterapi diberikan apabila ada metastasis ke kelenjar regional (Dukes C), tumor telah menembus muskularis propria (Dukes B), atau tumor setelah dioperasi kemudian residif kembali. Kemoterapi yang biasa diberikan pada penderita kanker colorectal adalah kemoterapi ajuvan. Sepertiga pasien yang menjalani operasi kuratif akan mengalami rekurensi. Kemoterapi ajuvan dimaksudkan untuk menurunkan tingkat rekurensi 48 kanker colorectal setelah operasi. Pasien Dukes A jarang mengalami rekurensi sehingga tidak perlu terapi ajuvan. Pasien kanker colorectal Dukes C yang mendapat levamisol dan 5 FU secara signifikan meningkatkan harapan hidup dan masa interval bebas tumor (disease free interval). Kemoterapi ajuvan tidak berpengaruh pada kanker colorectal Dukes B. 2.13 Prognosis Prognosis tergantung dari ada tidaknya metastase jauh, yaitu klasifikasi penyebaran tumor dan tingkat keganasan sel tumor. Untuk tumor yang terbatas pada dinding usus tanpa penyebaran, angka kelangsungan hidup lima tahun adalah 80%, yang menembus dinding tanpa penyebaran 75%, dengan penyebaran kelenjar 32% dan dengan metastasis jauh satu persen. Bila disertai differensiasi sel tumor buruk, prognosisnya sangat buruk. 49 BAB III KESIMPULAN Di dunia, carcinoma colon menduduki peringkat ketiga pada tingkat insiden dan mortalitas. Tingginya angka kematian tersebut menyebabkan berbagai upaya untuk menguranginya, salah satunya dengan kebijakan deteksi dini atau skrining terhadap kelompok berisiko yang asimptomatis. Sebagian besar dari modalitas skrining yang dimaksud adalah radiologic imaging yang salah satunya adalah dengan pemeriksaan Colon In Loop dengan kontras. Pemilihan modalitas skrining tersebut tergantung pada kondisi pasien, teknologi yang dimiliki, resiko dan keuntungan modalitas terhadap pasien, serta kemampuan operator. Satu-satunya kemungkinan terapi kuratif adalah tindakan bedah. Tujuan utama tindakan bedah adalah memperlancar saluran cerna baik bersifat kuratif maupun non kuratif dengan mengangkat karsinoma dan kemudian memulihkan kesinambungan usus. Kemoterapi dan radiasi bersifat paliatif dan tidak memberikan manfaat kuratif. Pada prinsipnya, semakin dini diagnosis karsinoma kolorektal, semakin baik prognosisnya karena penanganannya dapat dengan pembedahan kuratif. 50 DAFTAR PUSTAKA 1. Sloane, Ethel, 2004, Anatomi dan Fisiologi, EGC Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. 2. Patel, Pradip.R., 2005, Lecture Notes Radiologi, Penerbit Erlangga, Jakarta. 3. Malueka, Rusdy.G., 2007, Radiologi Diagnostik, Pustaka Cendekia Press Yogyakarta, Yogyakarta. 4. Bontrager, 2001., Text Book of Radiographic Positioning and Related Anatomy, Edisi ke-5, Mosby Inc, St. Louis, Amerika. 5. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2003. Usus halus, appendiks, kolon, dan anorektum. Dalam Buku ajar ilmu bedah.Edisi 2. Jakarta: EGC. Hal 646-53. 6. Townsend, Beauchamp, Evers, Matton. 2004. Colon and rectum. In Sabiston’s Textbook of Surgery.17th edition. 2004. Philadelphia: Elsevier Saunders. P 1443-65. 7. Zinner, Schwartz, Ellis. 2001. Rectal Cancer. In Maingots’s Abdominal operation. 10th edition. 2001. Singapore: McGraw-Hill. P1455-99. 8. National Comprehensive Cancer Network. NCCN Clinical Practice Guidelines in Oncology (NCCN Guidelines): Colon cancer. Version 2.2013.Available at http://www.nccn.org/professionals/physician_gls/pdf/colon.pdf.Accessed November 16, 2012. 9. Smith RA, Cokkinides V, Brawley OW. Cancer screening in the United States, 2012: a review of current American Cancer Society guidelines and current issues in cancer screening. CA Cancer J Clin . 2012;62:129-142. 10. Jacobs E, Lanza E, Alberts DS, et al. : Fiber, sex, and colorectal adenoma: results of a pooled analysis. Am J Clin Nutr 83:343–349, 2006. 51