Penguatan Ekonomi dan Masalah Perempuan Pelaku Usaha Mikro

advertisement
Penguatan Ekonomi dan Masalah Perempuan Pelaku Usaha Mikro
Usaha mikro dan kecil tumbuh subur di Indonesia, ketika krisis moneter meluas menjadi kritis
multi-dimensi yang menimpa Indonesia sejak tahun 1997. Krisis ini ternyata memotivasi
pertumbuhan sektor usaha kecil yang semakin hari semakin menyerap tenaga kerja dan
semakin memperkuat inovasi-inovasi pengembangan usaha kecil. Jika memperhatikan data
Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2005 misalnya, dari 44,8 juta unit usaha yang tergolong
UKM, tenaga kerja yang terserap mencapai sebanyak 77,6 juta orang atau 96,77 persen dari
total tenaga kerja di Indonesia.
Dari hasil kajian BPS juga membuktikan jumlah UMKM yang ada hanya mampu memberikan
54,22 persen dari total produk domestik bruto (PDB) nasional, sedangkan sisanya, 45,78
persen, merupakan kontribusi dari 0,01% unit usaha skala besar. BPS juga mencatat investasi
UMKM yang semakin meningkat. Tahun 2000 jumlah investasi UMKM mencapai Rp 113,1
triliun. Tahun 2005, investasi UMKM meningkat menjadi Rp275,37triliun. Masih dalam data
yang sama menunjukkan bahwa pelaku usaha mikro didominasi kaum perempuan, khususnya
di pedesaan. Karena itu Kementerian Negara Urusan Koperasi dan UKM pun menggenjot
program-program, mulai dari program pengembangan pangan dengan sistem bank padi,
program bibit kakao, jambu mete, budi daya dan pengolahan biji jarak, pengembangan usaha
perikanan, dan juga budidaya ternak. Sebagai wujud dukungannya bagi kaum perempuan,
khususnya pengelola koperasi, Kementerian Koperasi dan UKM pun meningkatkan penguatan
modal untuk koperasi perempuan sebesar 150% untuk program 2007 dalam upaya
meningkatkan jumlah pengusaha perempuan Indonesia. "Saat ini jumlah koperasi perempuan
sudah mencapai lebih dari 1.400 unit".
Hambatan Hambatan Perempuan penopang Usaha Kecil
Usaha ini diharapkan mampu menopang perekonomian nasional melalui usaha kecil.
Keberhasilan usaha mikro, yang biasanya disebut dengan sektor informal, yang tetap eksis
bahkan berkembang di masa krisis semakin memancarkan daya tarik tersendiri yang memikat
berbagai pihak baik itu pemerintah, perbankan, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat
1/4
Penguatan Ekonomi dan Masalah Perempuan Pelaku Usaha Mikro
(LSM) dan lembaga atau institusi lainnya. Kendatipun usaha mikro atau kecil saat ini semakin
mengeliat dan mampu bertahan diri ditengah badai krisis, namun berbagai hambatan dan
persoalan juga dialami oleh para pelaku usaha, terutama perempuan. Sebagai pelaku usaha
mikro dan kecil, perempuan menghadapi persoalan yang bisa digolongkan dalam 2 hal, yaitu
terkait dengan teknis usaha – aspek ekonomi- dan structural –aspek politik-. Dalam persoalan
tehnis usaha perempuan menghadapi hambatan yang sama dengan pelaku usaha mikro pada
umumnya. Kekurangan modal, terbatasnya jaringan pasar, keterbatasan penguasaan tehnologi
yang tepat guna, serta terbatasnya penguasaan keterampilan manajemen dan penguasaan
tehnis produksi adalah contoh problem terkait dengan tehnis usaha. Sementara persolan
structural yang bersifat politis dihadapi perempuan dari dua sisi yang sama beratnya, pertama
adanya beragam peraturan yang tidak kondusif bagi perempuan untuk pengembangan usaha
karena kurang sensitif gender, seperti perbankan dan institusi lain dalam memberikan layanan
kredit dan program yang menekankan pada kepala keluarga sebagai penerima manfaat.
Persoalan srutural lain terkait dengan ketimpangan relasi antara perempuan dengan suami dan
keluarga.
Perempuan sebagai pelaku usaha tetap dihadapkan pada peran dan tanggung jawab utamanya
di ranah domestik, padahal pengembangan usaha mau tidak mau berurusan dengan ranah
publik. Banyak fakta menunjukkan output usaha mikro –terutama yang dilakukan perempuantidak memberikan hasil dalam bentuk pemupukan modal. Keuntungan usaha habis untuk
kebutuhan konsumsi keluarga, biaya kesehatan dan pendidikan anak. Bagian terbesar –bahkan
seleuruhnya- hasil usaha habis untuk konsumsi sehari-hari. Meski sebagain pelaku usaha
sudah mengikuti berbagai program peningkatan pendapatan dan pengembangan usaha kecil
yang difasilitasi pemerintah dan LSM, namun banyak usaha mikro yang dijalankan tidak
mengalami perubahan karena mereka mengakses dana program untuk kebutuhan konsumsi
keluarga.
Dalam ranah yang lain, tidak masuknya perempuan ke dalam angka statistik juga berakibat
pada tidak tampaknya potensi perempuan dalam bidang ekonomi. Hal ini sebetulnya telah
diungkapkan oleh hasil penelitian Ester Boserup tahun 1970-an. Definisi tentang kerja yang
bias jender, menjadi penyebab potensi perempuan dalam perekenomian tidak terlihat dalam
data statistik. Implikasi yang lebih jauh, pemahaman tentang hambatan yang menghadang
perempuan, kelebihan dan kelemahannya tidak dipahami, dan menyebabkan perempuan
pengusaha menjadi sumber daya yang tidak tampak, tidak disadari, dan tidak dimanfaatkan.
Sementara dalam reaitasnya dilihat dari hasil survei ADB dan Kantor Menneg Koperasi dan
UKM juga menunjukkan, perempuan pengusaha memiliki kekuatan dan potensi yang spesifik,
yaitu nyata-nyata lebih berhati-hati dan realistis dibandingkan dengan mitra laki-lakinya.
Perempuan sangat mumpuni dalam administrasi dan keuangan, dapat diandalkan dalam
pertanggungjawaban pinjaman ke bank, tidak begitu mengalami masalah dalam menghadapi
2/4
Penguatan Ekonomi dan Masalah Perempuan Pelaku Usaha Mikro
perizinan usaha dan petugas pajak, mudah beradaptasi, dan mampu berkomunikasi dengan
baik.
Kenyataan bias jender yang terjadi pada perempuan tersebut justru sebenarnya diperkuat pula
oleh negara melalui peraturan perundangan seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang menetapkan bahwa laki- laki adalah kepala keluarga dan perempuan
sebagai ibu rumah tangga. Dibolehkannya digunakan hukum adat dalam pembagian hak waris
seperti diatur dalam undang-undang yang sama sering merugikan perempuan, antara lain
perempuan tidak memiliki kolateral ketika mencari pinjaman.
Tindakan Afirmative dalam Kebijakan Ekonomi Perempuan Harus Dilakukan.
Hambatan-hambatan khusus yang dialami perempuan serta kenyataan bahwa perempuan
merupakan potensi yang luar biasa dalam ekonomi seharusnya mendorong para perencana
dalam Tahun Mikro Kredit Indonesia tidak membuat kebijakan yang bias jender.
Pengalaman yang disampaikan Pattareepan Pongwat mengenai Credit Union League of
Thailand Women Cooperative Product Development Center (CULT WCPDC) memperlihatkan
memang diperlukan upaya khusus untuk menjangkau perempuan pengusaha mikro yang
umumnya buta huruf sehingga membatasi daya kreatif dan pengetahuan mereka. Upaya yang
dilakukan adalah memastikan bahwa dalam membantu perempuan mereka dikembangkan pula
kapasitasnya sehingga keuntungan bisa dipastikan untuk meningkatkan rasa percaya diri
mereka. Lembaga pemberi kredit juga berperan menghubungkan pasar global dengan para
perempuan usaha mikro dan menghubungkan dengan sentra usaha lain serta sumber bahan
baku di tempat-tempat lain. Jadi, memberi kredit saja tidak cukup, tetapi harus ada lanjutan
kegiatan lain. Lembaga keuangan mikro juga harus bisa mengaitkan kegiatan usaha mikro
dengan kebijakan nasional lainnya, misalnya ekspor nonmigas dan turisme seperti yang
dilakukan di Thailand. Upaya menjangkau perempuan usaha mikro harus mempertimbangkan
unsur kemudahan transportasi, adanya tujuan yang sama di antara anggota kelompok,
pemberian kredit tanpa agunan, dan lembaga keuangan mikro harus berada di antara para
responden.
3/4
Penguatan Ekonomi dan Masalah Perempuan Pelaku Usaha Mikro
Tanpa memerhatikan hal-hal khusus yang dialami perempuan, bukan tidak mungkin tahun
tahun yang akan datang akan berlalu tanpa perbaikan yang cukup bermakna bagi kehidupan jutaan perempuan lain, separuh penduduk Indonesia. Padahal, tanpa kehidupan perempuan
yang lebih baik, mustahil mengharapkan tumbuhnya masyarakat yang lebih baik.
Diambil dari berbagai sumber….
4/4
Download