BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Kebijakan Deviden Dividen adalah bagian dari laba bersih yang diberikan kepada para pemegang saham sebagai bentuk atas penyertaan modal yang mereka berikan kepada sebuah perusahaan. Laba itu sendiri diperoleh dari selisih pendapatan atas biaya-biaya yang menyertainya dalam satu periode tertentu. Berdasarkan hal ini, laba sering digunakan dalam pengambilan keputusan seperti halnya sebagai salah satu pedoman investasi, pengenaan pajak, dan juga kebijakan dividen. Kebijakan dividen dapat diartikan sebagai kebijakan yang berkaitan dengan pembayaran dividen oleh sebuah perusahaan yang di dalamnya juga terdapat masalah tentang penentuan besarnya pembayaran dividen dan besarnya laba yang ditahan (retained earnings). Rasio antara dividen dan laba bersih sering disebut sebagai Dividend Payout Ratio (DPR). Karena kelebihan laba bersih di atas dividen itu menjadi laba ditahan maka keputusan DPR inclusive mengenai laba ditahan. Sepintas, para pemegang saham akan merasa senang apabila bagian dari laba bersih yang dibagikan sebagai dividen ini semakin besar. Akan tetapi, apabila DPR ini semakin besar, berarti laba ditahan semakin menciut, padahal pendanaan dengan menggunakan laba ditahan ini mempunyai cost of capital yang paling kecil dibandingkan dengan metode pendanaan lainnya. Dengan demikian, keputusan dividen akan mengacu pada suatu kebijakan dividen (dividend policy) yang 9 optimal, terutama disesuaikan dengan konsep tujuan memaksimumkan nilai perusahaan. Ditinjau dari tujuan memaksimumkan rentabilitas modal sendiri, maka kebijakan dividen perlu memperhatikan rentabilitas aktiva dan tingkat bunga. Dikatakan demikian, karena apabila kebijakan menetapkan bahwa laba ditahan semakin besar berarti perusahaan itu menggunakan metode pendanaan dengan menambah modal sendiri, yakni pendanaan intern. Diketahui bahwa rentabilitas modal sendiri hanya akan naik dengan menggunakan: (a) modal pinjaman apabila rentabilitas aktiva > tingkat bunga (b) modal sendiri apabila rentabilitas aktiva < tingkat bunga Karena penggunaan laba ditahan itu hanya akan menambah jumlah modal sendiri, maka penambahan laba ditahan hanya akan favourable pada waktu rentabilitas aktiva < tingkat bunga. Sebaliknya, penambahan laba ditahan pada kondisi di mana rentabilitas aktiva > tingkat bunga hanya akan menurunkan rentabilitas modal sendiri. Apabila pengurangan laba ditahan itu terpaksa menambah hutang untuk membiayai suatu proyek di mana rentabilitas aktiva < tingkat bunga maka pengurangan laba ditahan itu hanya akan menurunkan rentabilitas modal sendiri. Akan tetapi, disadari bahwa penggunaan laba ditahan ini memang disukai oleh manajer karena biaya laba ditahan (cost of retained earnings) lebih murah dibandingkan dengan biaya saham baru (cost of new common stock). Di samping pertimbangan biaya modal, pengeluaran saham baru berarti bisa mengganggu pengawasan suara dalam pemilikan saham. 10 2.1.1.1 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Deviden Faktor-faktor yang mempengaruhi rasio pembayaran deviden suatu perusahaan adalah sebagai berikut: (Dermawan Sjahrial, 2009) a. Posisi likuiditas perusahaan Posisi kas atau likuiditas perusahaan merupakan faktor yang penting yang harus dipertimbangkan sebelum mengambil keputusan untuk menetapkan besarnya deviden yang akan dibayarkan kepada para pemegang saham. Oleh karena deviden merupakan arus kas keluar, oleh karena itu makin kuat posisi likuiditas perusahaan, berarti makin besar kemampuan perusahaan untuk membayar deviden. Suatu perusahaan yang sedang tumbuh secara rendabel (Perusahaan yang masih mencari keuntungan), mungkin tidak begitu kuat posisi likuiditasnya karena sebagian besar dari dananya tertanam dalam aktiva tetap dan modal kerja sehingga kemampuanya untuk membayarkan deviden sangat terbatas. Dengan sendirinya likuiditas suatu perusahaan ditentukan oleh keputusankeputusan di bidang investasi dan cara pemenuhan kebutuhan dananya. b. Kebutuhan untuk membayar hutang Perusahaan akan memperoleh utang baru atau menjual obligasi baru untuk membiayai perluasan perusahaan, sebelumnya harus merencanakan terlebih dahulu bagaimana caranya untuk membayar kembali utang tersebut. Apabila perusahaan menentukan bahwa pelunasan utangnya akan diambilkan dari laba ditahan, berarti perusahaan harus menahan sebagian besar dari pendapatanya untuk keperluan tersebut, yang ini berarti berarti hanya sebagian kecil saja pendapatan yang dapat dibayarkan sebagai deviden. 11 c. Tingkat pertumbuhan perusahaan Semakin cepat tingkat pertumbuhan suatu perusahaan, semakin besar kebutuhan dana untuk waktu mendatang untuk membiayai pertumbuhanya. Perusahaan tersebut biasanya akan lebih senang untuk menahan pendapatanya daripada dibayarkan sebagai deviden dengan mengingat batasan-batasan biayanya. Apabila perusahaan telah mencapai tingkat pertumbuhan sedemikian rupa, maka perusahaan telah mencapai tingkat pertumbuhan yang mapan, dimana kebutuhan dananya dapat dipenuhi dengan dana yang berasal dari pasar modal atau sumber dana ekstern lainya, maka keadaanya adalah berbeda. Dalam hal yang demikian perusahaan dapat menetapkan dividend payout ratio yang tinggi. d. Pengawasan terhadap perusahaan. Perusahaan yang mempunyai kebijakan hanya membiayai ekspansinya dengan dana yang berasal dari intern saja. Kebijakan tersebut dijalankan atas pertimbangan bahwa kalau ekspansi dibiayai dengan dana yang berasal dari hasil penjualan saham baru akan melemahkan kontrol atau pengawasan dari kelompok dominan didalam perusahaan. Demikian pula kalau membiayai ekspansi dari utang akan menambah risiko finansialnya. Mempercayakan pada pembelanjaan intern dalam rangka usaha mempertahankan kontrol terhadap perusahaan, berarti mengurangi “dividend payout ratio”. 2.1.1.2 Bentuk-bentuk Kebijakan Dividen Banyak faktor lain yang ikut berperan dalam penetapan besarnya pembayaran dividen, namun yang menjadi persoalan selanjutnya adalah mengenai 12 bentuk-bentuk kebijakan dividen yang bisa ditempuh oleh suatu perusahaan. Menurut Awat terdapat empat bentuk kebijakan dividen, yaitu: 1. Kebijakan yang stabil (stable dividend-per-share policy), yakni jumlah pembayaran dividen yang sama besar dari tahun ke tahun. Salah satu alasan mengapa sebuah perusahaan mengambil kebijakan ini adalah untuk menjaga kesan para investor terhadap perusahaan tersebut. Apabila sebuah perusahaan menerapkan kebijakan yang stabil berarti pendapatan bersih perusahaan tersebut juga stabil dari tahun ke tahun. 2. Kebijakan deviden payout ratio yang tetap (constant devidend payout ratio policy), yakni sebuah kebijakan dimana jumlah deviden akan berubah sesuai dengan jumlah laba bersih, tetapi rasio antara dividen dan laba ditahan tetap sama. 3. Kebijakan kompromi (compromise policy), yakni suatu kebijakan dividen yang terletak antara kebijakan dividen per saham yang stabil dan kebijakan dividen output ratio yang konstan ditambah dengan persentasi tertentu pada tahuntahun yang mampu menghasilkan laba bersih yang tinggi. 4. Kebijakan dividen residual (residual dividend policy) adalah sebuah kebijakan yang dikeluarkan perusahaan apabila sedang menghadapi sebuah kesempatan investasi yang tidak stabil sehingga manajemen menghendaki agar dividen hanya dibayarkan ketika laba bersih tinggi. 2.1.1.3 Dividen Merupakan Informasi yang Tidak Relevan Beberapa kalangan berargumen bahwa kebijakan dividen tidak mempunyai pengaruh terhadap harga saham perusahaan maupun terhadap biaya 13 modalnya. Jika kebijakan dividen tidak mempunyai pengaruh yang signifikan, maka hal tersebut tidak relevan. Pendukung utama dari teori ini adalah Merton Miller dan Franco Modigliani atau lebih dikenal dengan MM. Mereka berpendapat bahwa bagaimanapun kebijakan dividen itu memang tidak mempengaruhi harga saham, sebab dalam pasar modal sempurna (perfect capital market) para pemegang saham tidak membedakan antara cash dividend dan retained earnings. Karena itu, MM menyatakan bahwa tidak ada dividend payout ratio yang dapat memaksimumkan nilai perusahaan. MM menyatakan bahwa dividen tidak relevan berdasarkan asumsi-asumsi di bawah ini: (Dermawan Sjahrial, 2009) 1. Pasar modal sempurna, di mana para investor adalah rasional. Prakteknya sulit di ditemui di pasar modal yang sempurna. 2. Tidak ada biaya emisi saham baru, kenyataannya biaya emisi saham baru (flotation costs) itu pasti ada. 3. Tidak ada pajak, kenyataannya pajak pasti ada. 4. Kebijakan investasi perusahaan tidak berubah, prekteknya kebijakan investasi perusahaan pasti berubah. 2.1.1.4 Teori Bird in The Hand Teori ini dikemukakan oleh Myron Gordon(1959) dan John Lintner(1956) yang berpendapat bahwa ekuitas atau nilai perusahaan akan turun apabila rasio pembayaran dividen dinaikkan, karena para investor kurang yakin terhadap 14 penerimaan keuntungan modal (capital gains) yang dihasilkan dari laba yang ditahan dibandingkan seandainya para investor menerima dividen. Investor merasa bahwa pembayaran dividen merupakan penerimaan yang pasti jika dibandingkan dengan capital gain, hal ini sejalan dengan pernyataan Gordon dan Lintner. Mereka membuat kiasan atas fenomena ini dengan sebutan bird in hand theory. Kiasan tersebut memiliki arti bahwa satu burung di tangan lebih berharga dibandingkan seribu burung di udara. Bertolak belakang dengan apa yang telah diungkapkan oleh Gordon dan Linter, MM berpendapat jika investor memiliki rencana untuk menginvestasikan kembali dividen mereka dalam saham di perusahaan yang bersangkutan atau perusahaan sejenis, dan dalam banyak kasus, tingkat resiko dari arus kas perusahaan bagi investor dalam jangka panjang hanya ditentukan oleh tingkat arus kas operasinya, bukan oleh kebijakan pembagian dividen yang dikeluarkan perusahaan tersebut ( Dermawan 2009:312). 2.1.1.5 Teori Preferensi Pajak Kebijakan dividen yang optimal dalam perusahaan adalah sebuah kebijakan yang menciptakan keseimbangan antara dividen saat ini dan pertumbuhan perusahaan di masa yang akan datang. Dalam banyak hal, dividen sering diperlakukan sebagai pertimbangan terakhir setelah pertimbangan investasi dan pertimbangan-pertimbangan lainnya. Ada tiga alasan yang berkaitan dengan pajak untuk beranggapan bahwa investor mungkin lebih menyukai pembagian dividen yang rendah dari pada yang tinggi, yaitu: 15 1. Keuntungan modal dikenakan tarif pajak lebih rendah dari pada pendapatan dividen. Untuk itu investor yang kaya (yang memiliki sebagian besar saham) mungkin lebih suka perusahaan menahan dan menanamkan kembali laba ke dalam perusahaan. Pertumbuhan laba mungkin dianggap menghasilkan kenaikkan harga saham, dan keuntungan modal yang pajaknya rendah akan menggantikan dividen yang pajaknya tinggi. 2. Pajak atas keuntungan tidak dibayarkan sampai saham terjual, sehingga ada efek nilai waktu. 3. Jika selembar saham dimiliki oleh seseorang sampai ia meninggal, sama sekali tidak ada pajak keuntungan modal yang terutang. Karena adanya keuntungan-keuntungan pajak ini, para investor mungkin lebih suka perusahaan menahan sebagian besar laba perusahaan. Jika demikian para investor akan mau membayar lebih tinggi untuk perusahaan yang pembagian dividennya rendah daripada untuk perusahaan sejenis yang pembagian dividennya tinggi( Dermawan 2009:313). 2.1.1.6 Teori “Signaling Hypothesis,” Dalam teori ini dijelaskan bahwa dengan adanya kenaikan dividen maka sering diikuti dengan kenaikan harga saham. Demikian pula sebaliknya. Menurut Modigliani dan Miller kenaikan deviden biasanya merupakan suatu “signal (tanda)” kepada para investor bahwa manajemen perusahaan meramalkan suatu penghasilan yang baik di masa mendatang. Sebaliknya suatu penurunan dividen atau kenaikan dividen yang dibawah normal (biasanya) diyakini investor sebagai 16 pertanda(signal) bahwa perusahaan menghadapi masa sulit di waktu mendatang ( Dermawan 2009:313). 2.1.1.7 Clientele Effect Theory Clientele Effect ini adalah sebuah kecenderungan sebuah perusahaan untuk menarik jenis investor tertentu yang menyukai kebijakan dividen mereka teori ini menyatakan bahwa pemegang saham yang berbeda memiliki preferensi yang berbeda terhadap kebijaksanaan dividen perusahaan. Sebagai contoh, kelompok investor yang membutuhkan penghasilan pada saat ini lebih menyukai tingkat divident payout ratio yang tinggi. Sebaliknya, kelompok investor dengan preferensi tingkat pajak yang tinggi akan menghindari dividen karena dividen memiliki tingkat pajak yang lebih tinggi dibandingkan dengan capital gain (Dermawan 2009:314). 2.1.1.8 Teori Keagenan Agency Theory adalah teori yang menjelaskan agency relationship dan masalah-masalah yang ditimbulkannya (Jensen dan Meckling, 1976) dikutip dari Ratih (2011).. Agency relationship merupakan hubungan antara dua pihak, dimana pihak pertama bertindak sebagai prinsipal/pemberi amanat dan pihak kedua disebut agen yang bertindak sebagai perantara yang mewakili prinsipal dalam melakukan transaksi dengan pihak ketiga. Pada agency theory yang disebut prinsipal adalah pemegang saham dan yang dimaksud agen adalah manajemen yang mengelola perusahaan.Pihak prinsipal memberi kewenangan kepada agen untuk melakukan transaksi atas nama prinsipal dan diharapkan dapat membuat 17 keputusan terbaik bagi prinsipalnya (Hartono dan Atahau, 2007) dikutip dari Ratih (2011). Dalam perusahaan yang telah go public, agency relationship dicerminkan oleh hubungan antara investor dan manajemen perusahaan, baik board of directors maupun board of commissioners. Persoalannya adalah diantara kedua pihak tersebut seringkali terjadi perbedaan kepentingan. Perbedaan tersebut mengakibatkan keputusan yang diambil oleh manajemen perusahaan kurang mengakomodasi kepentingan pihak pemegang saham. Hal inilah biasa dikenal dengan agency problem (masalah keagenan). Masalah keagenan dapat timbul jika manajer suatu perusahaan memiliki kurang dari 100 persen saham biasa perusahaan tersebut. Jika suatu perusahaan berbentuk perseorangan dan dikelola sendiri oleh pemiliknya, maka dapat diasumsikan bahwa manajer-pemilik tersebut akan mengambil setiap tindakan yang mungkin untuk memperbaiki kesejahteraannya, terutama diukur dalam bentuk peningkatan kekayaan perorangan dan fasilitas eksekutif seperti tunjangan, kantor yang mewah fasilitas transportasi dan sebagainya. Akan tetapi, jika manajer-pemilik tersebut mengurangi hak kepemilikannya dengan membentuk perseroan dan menjual sebagian sahamnya kepada pihak lain (pihak luar), maka pertentangan kepentingan bisa segera muncul. Sebagai contoh dari hal tersebut adalah, manajer-pemilik mungkin saja tidak gigih lagi dalam memaksimumkan kekayaan pemegang saham karena bagiannya atas kekayaan tersebut telah berkurang, atau mungkin saja dia menetapkan gaji yang besar bagi dirinya, atau menambah fasilitas eksekutif, 18 karena diantaranya akan menjadi beban pemegang saham lainnya. Kemungkinan timbulnya pertikaian diantara kedua kelompok ini (manajer sebagai agen dan prinsipal sebagai pemegang saham dari luar) merupakan salah satu bentuk dari masalah keagenan. Jensen dan Meckling (dalam Ratih, 2011) mengemukakan teori keagenan yang menjelaskan bahwa kepentingan manajemen dan pemegang saham seringkali bertentangan, sehingga bisa terjadi konflik diantara keduanya. Hal tersebut disebabkan manajer mengutamakan kepentingan pribadi, sebaliknya pemegang saham tidak menyukai kepentingan pribadi manajer tersebut, karena pengeluaran tersebut akan menambah cost (biaya) perusahaan yang menyebabkan penurunan keuntungan perusahaan dan penurunan dividen yang akan diterima. Pemegang saham menginginkan agar cost (biaya) tersebut dibiayai oleh utang, tetapi manajer tidak menyukai dengan alasan bahwa utang mengandung risiko yang tinggi. Konflik kepentingan antara manajer dan pemegang saham dapat diminimumkan dengan suatu mekanisme pengawasan (monitoring) yang dapat mensejajarkan kepentingan yang terkait tersebut. Namun dengan munculnya mekanisme pengawasan ini menyebabkan timbulnya suatu cost (biaya) yang disebut agency cost. 2.1.2 Insider Ownership Insider ownership adalah sebuah ukuran persentase saham yang dimiliki oleh direksi, manajemen, dan komisaris ataupun setiap pihak yang terlibat secara langsung dalam pembuatan keputusan perusahaan (Jensen and Meckling, 1976) dikutip dari Arvindra (2011). 19 Insider ownership juga dapat digunakan untuk mengukur biaya agen. Dengan semakin meningkatnya kepemilikan manajemen, maka biaya agensinya juga akan ikut turun, dengan asumsi bahwa manajer tersebut tetap mengharapkan peningkatan kesejahteraan yang lebih pada keputusannya. Dengan semakin meningkatnya insider ownership, maka informasi yang dimiliki oleh manajer yang juga sekaligus pemilik tersebut juga akan lebih lengkap. Hal tersebut membuat biaya agen yang dibutuhkan untuk memonitoring semakin kecil sebab pemilik sudah ikut merangkap sebagai manajemen. Untuk itu, apabila insider ownership semakin besar maka biaya agen yang mungkin muncul dapat ditekan, serta manajer memiliki kekuatan yang lebih besar dalam menentukan kebijakan dividen. Berdasarkan kondisi tersebut, maka biasanya manajer lebih cenderung untuk membatasi dividen dan menggunakan dana yang ada untuk kepentingan perusahaan di masa yang akan datang. 2.1.3 Resiko Pasar (β) Peningkatan beta (β) menggambarkan semakin tingginya resiko pasar. Menurut D’Souza dan Saxena (dalam Arvindra, 2011:17), nilai beta (β) digunakan sebagai indikator pasar. Ketika nilai beta suatu perusahaan meningkat, hal tersebut menggambarkan bahwa resiko pasar yang dimiliki perusahaan tersebut juga ikut meningkat. Hal itu menjadi sebuah hal yang cukup sensitif bagi sebuah perusahaan di dalam dunia bisnis sebab kondisi tersebut dapat menyebabkan perusahaan memperoleh kesulitan dalam mendapatkan dana tambahan dari luar untuk membiayai investasi mereka di masa depan. 20 Perusahaan enggan untuk menurunkan dividen, jika perusahaan memotong dividen, maka hal tersebut dianggap sebagai sinyal buruk karena dianggap perusahaan membutuhkan dana. Untuk perusahaan dengan resiko yang tinggi, probabilitas untuk mengalami laba menurun juga akan tinggi. Resiko dalam saham itu sendiri dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Resiko sistematis (systematic risk) Resiko yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti halnya inflasi, resesi, suku bunga yang tinggi, dan keadaan perang. Resiko ini tidak dapat dihilangkan dengan cara diversifikasi, sebab faktor-faktor tersebut mempengaruhi saham secara negatif. 2. Resiko diversifikasi (difersifiable risk) Resiko yang disebabkan oleh kejadian acak seperti perkara hukum, pemogokan, program pemasaran yang sukses dan tidak sukses. Resiko ini dapat dihilangkan dengan cara diversifikasi, sebab resiko ini muncul karena kejadian yang bersifat acak. Risiko Pasar atau beta (β) seperti telah dijelaskan sebelumnya penyebabnya adalah faktor ekonomi makro seperti kinerja perekonomian suatu negara. Perubahan dalam ekonomi makro seperti tingkat inflasi atau tingkat suku bunga akan menyebabkan perubahan dalam struktur modal, aliran kas, kewajiban finansialnya, besarnya piutang dan lain-lain pada semua perusahaan. Perubahan pada kondisi keuangan perusahaan tersebut selanjutnya akan menyebabkan beta (β) juga akan berubah, sedangkan perubahan kondisi keuangan perusahaan akan tercermin dalam laporan keuangan dan rasio keuangan. Dengan demikian maka 21 sangat relevan apabila memprediksi beta (β) dengan menggunakan rasio-rasio keuangan dalam laporan keuangan perusahaan. 2.2 Penelitian Terdahulu Tabel 2.2 Peneliti Dedeh Sri Sudaryanti (2009) Judul Penelitian Pengaruh Generalized Agency Cost, Least Square Risiko Pasar, Kesempatan Investasi Terhadap Kebijakan Dividen Ratih Fitria Pengaruh Sari Kepemilikan Manajerial, (2010) Kebijakan Utang, Profitabilitas, Ukuran Perusahaan Dan Kesempatan Investasi Terhadap Kebijakan Dividen Ina Sariwati (2011) Metode Penelitian Regresi berganda Variabel Penelitian Variabel terikat: Terdapat pengaruh yang signifikan antara institutional Kebijakan ownership, insider Dividen ownership, kepemilikan saham Variabel oleh publik, beta, dan bebas: kesempatan investasi Agency Cost, terhadap kebijakan Risiko Pasar, dividen Kesempatan Investasi Variabel terikat: kebijakan dividen Variabel bebas: Kepemilikan Manajerial, Kebijakan Utang, Profitabilitas, Ukuran Perusahaan, Kesempatan Investasi Analisis Regresi Pengaruh berganda Insider Ownership, Free Cash Flow, dan Profitabilitas Variabel terikat: Dividend Payout Ratio Variabel 22 Hasil Penelitian Kepemilikan manajerial dan ukuran perusahaan tidak mempengaruhi DPR, kesempatan investasi dan profitabilitas tidak berpengaruh negatif terhadap DPR, sedangkan kebijakan utang berpengaruh negatif terhadap DPR insider ownership, free cash flow, dan profitabilitas secara bersama-sama memiliki pengaruh signifikan terhadap Christina Heti Tri Rahmawati (2011) 2.3 Terhadap Dividend Payout Ratio Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) bebas: Pengaruh Regresi Insider berganda Ownership, Institutional Ownrship, Dispersion of Ownership, Tingkat Pertumbuhan Perusahaan, dan Risiko Perusahaan Terhadap Kebijakan Dividen pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 20032006 Variabel terikat: dividend payout ratio. Insider Ownership, Free Cash Flow, dan Profitabilitas kebijakan dividen variabel bebas: Insider Ownership, Institutional Ownrship, Dispersion of Ownership, Tingkat Pertumbuhan Perusahaan, dan Risiko Perusahaan (1) insider ownership berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap kebijakan dividen, (2) institutional ownership, tingkat pertumbuhan dan risiko perusahaan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kebijakan dividen, (3) dispersion of ownership berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap kebijakan dividen. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual yaitu menjelaskan hubungan antara insider ownership, risiko pasar terhadap kebijakan dividen. Kerangka konseptual dari penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: 23 Insider ownership Kebijakan Dividen Risiko Pasar Gambar 2.2 2.3.1 Pengaruh Insider Ownership terhadap Kebijakan Dividen Dalam kaitannya dengan teori keagenan, apabila insider ownship semakin meningkat, maka biaya agensi akan semakin menurun, sepanjang manajer tersebut mengharapkan efek kesejahteraan yang lebih pada keputusannya. Semakin besar kepemilikan insider maka semakin besar informasi yang dimiliki oleh manajemen sekaligus sebagai pemilik perusahaan, sehingga hal tersebut mengakibatkan biaya agen semakin kecil, karena pemilik sekaligus merangkap sebagai manajemen sehingga biaya pengawasan berkurang. Karena informasi yang dimiliki oleh insider terutama informasi mengenai rencana-rencana perusahaan yang akan datang sangat lengkap, maka hal ini akan membawa pengaruh yang besar terhadap kepentingannya dalam menetapkan kebijakan dividen. Untuk itu semakin besar kepemilikan insider yang artinya semakin kecil biaya agen, dan semakin besar kekuatan untuk dalam menentukan kebijakan dividen. Sehingga dengan demikian manajemen akan cenderung untuk mengurangi pembayaran dividen dan menggunakan dananya untuk memperbesar atau memperluas usahanya. 24 2.3.2 Pengaruh Risiko Pasar terhadap Kebijakan Dividen Peningkatan beta (β) mencerminkan semakin tingginya risiko pasar. Semakin tinggi tingkat risiko yang harus ditanggung perusahaan, maka akan semakin sulit bagi perusahaan tersebut untuk memperoleh dana eksternal. Sehingga, perusahaan harus membiayai kebutuhan investasinya dengan menggunakan dana internal. Sebagai akibatnya, dividen yang dibagikan menjadi semakin kecil. Berdasarkan teori risk and return, semakin tinggi tingkat risiko suatu perusahaan maka semakin besar return yang diinginkan oleh investor. Apabila risiko yang semakin tinggi tidak diimbangi dengan return yang tinggi pula, maka tidak akan pernah ada investor yang mau berinvestasi di perusahaan tersebut. Return perusahaan bisa berupa dividen ataupun capital gain. Namun, berdasarkan pada teori Bird in The Hand, investor lebih menyukai dividen dibandingkan dengan laba ditahan. Dengan demikian, risiko pasar akan berpengeruh terhadap kebijakan manajer dalam menentukan keputusan pembagian laba perusahaan. 2.4 Hipotesis Berdasarkan tinjauan dari latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat diambil hipotesis sebagai berikut: H1 : Terdapat pengaruh insider ownership terhadap kebijakan dividen. H : Terdapat pengaruh risiko pasar terhadap kebijakan dividen. 2 25