pembahasan umum - IPB Repository

advertisement
113
PEMBAHASAN UMUM
Meniran (Phyllanthus sp. L.) tergolong dalam divisi Spermatophyta,
subdivisi
Angiospermae,
kelas
Dicotyledonae,
ordo
Geraniles,
famili
Euphorbiaceae, genus Phyllanthus (Webster 1986; de Padua et al. 1999).
Penyebarannya di seluruh Asia termasuk Indonesia (Heyne 1987; Soerjani et al.
1987), Malaysia, India, Peru, Afrika, Amerika dan Australia (Taylor 2003).
Pusat Studi Biofarmaka (2008) telah melakukan pemetaan tanaman obat di
Indonesia termasuk meniran yang mencakup 10 daerah studi yaitu Kabupaten
Bagor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung (Propinsi
Jawa Barat), Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Semarang (Propinsi Jawa
Tengah), Kabupaten Malang, Kabupaten Probolinggo (Jawa Timur), Kabupaten
Paser, Kabupaten Penajam Paser Utara (Kalimantan Timur). Hasil eksplorasi
menunjukkan bahwa secara agronomis tanaman meniran belum dibudidayakan
secara intensif, kadar bahan aktif dominan pada kelompok rendah dan sedang
dengan lokasi yang bervariasi.
Eksplorasi meniran di Kabupaten Bangkalan dan Gresik Propinsi Jawa
Timur mendapatkan 13 aksesi meniran yang terdiri dari enam aksesi meniran
hijau (A1, A2, A3, A4, A5, A6), satu aksesi meniran merah (A13) asal Bangkalan
dan enam meniran hijau (A7, A8, A9, A10, A11, A12) asal Gresik. Hasil survei
terhadap pendapat masyarakat menunjukkan bahwa tanaman meniran sudah
dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sebagian besar masyarakat
mengambil seluruh bagian tanaman untuk mengobati beberapa penyakit seperti
untuk penyakit susah buang air kecil, panas karena demam, sakit gigi dan
digunakan dalam perawatan persalinan. Pengetahuan tentang manfaat tanaman
didapat secara turun temurun dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini
sangat mendukung untuk menjadikan tanaman meniran menjadi tanaman obat
yang dapat dibudidayakan di masyarakat mengingat keberadaannya akan punah
apabila dilakukan pengambilan secara terus menerus tanpa ada kegiatan
pembudidayaan.
Hasil eksplorasi terhadap 13 aksesi meniran menunjukkan variasi yang
besar dalam beberapa karakter morfologi dan kandungan bioaktif. Kondisi
morfologi tanaman ditunjukkan oleh karakter pertumbuhan dan produksi
114
biomassa. Produksi bioaktif ditunjukkan oleh kandungan flavonoid. Tinggi
tanaman, jumlah daun, jumlah cabang, diameter batang dan bobot basah total
mempunyai korelasi positif sangat nyata terhadap bobot kering total, masingmasing dengan nilai r1y = 0.85, r2y = 0.86, r3y = 0.64, r4y = 0.89 dan r5y = 0.90.
Hal ini menunjukkan bahwa apabila terjadi peningkatan nilai pada karakter
tersebut maka produksi biomassa kering akan meningkat.
Pengaruh langsung terbesar terhadap bobot kering total ditunjukkan oleh
karakter diameter batang (C4 = 0.69, r4y = 0.89), diikuti oleh karakter jumlah
cabang (C3 = 0.41, r3y = 0.64), tinggi tanaman (C1 = -0.30, r1y = 0.85), bobot
basah total (C5 = 0.26, r5y = 0.90) dan jumlah daun (C2 = 0.11, r2y =. 0.86). Hasil
analisis terhadap pengaruh tidak langsung menunjukkan bahwa karakter jumlah
daun, jumlah cabang, diameter batang dan bobot basah total mempunyai pengaruh
tidak langsung yang negatif terhadap bobot kering total, hanya karakter
kandungan flavonoid yang menunjukkan pengaruh langsung yang positif. Hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan pada tinggi tanaman menyebabkan penurunan
pada bobot kering total. Keadaan ini diduga disebabkan tinggi tanaman pada
waktu survei dilakukan sangat beragam karena umur tanaman yang diambil untuk
sampel sangat bervarisi dengan rentang yang lebar. Karakter tinggi tanaman
dalam hal ini tidak dapat digunakan sebagai karakter yang digunakan dalam
seleksi.
Analisis lintas terhadap keberadaan flavonoid menunjukkan diameter
batang, jumlah cabang, tinggi tanaman, bobot basah total dan jumlah daun
mempunyai hubungan langsung yang negatif. Koefisien korelasi semua karakter
positif dan negatif tidak berbeda nyata maka semua karakter tidak dapat
digunakan sebagai kriteria seleksi.
Analisis komponen utama menunjukkan akumulasi keragaman komponen
tinggi, hanya dengan dua komponen utama sudah menghasilkan nilai akumulasi
91.90% keragaman. Jumlah karakter penentu pembentuk pengelompokan terpilih
adalah selaras dengan nilai ciri berupa 9 karakter yaitu bobot basah total, bobot
basah batang, tinggi tanaman, bobot 1000 biji, jumlah daun, bobot kering batang,
diameter batang, jumlah cabang dan bobot kering total pada komponen utama 1
dan 4 karakter yaitu bobot basah akar, bobot kering akar, bobot kering daun dan
115
bobot basah daun pada komponen utama 2. Berdasarkan hasil analisis komponen
utama terhadap karakter morfologi dan kandungan antosianin daun terbentuk 3
kelompok. Kelompok A terdiri dari aksesi meniran hijau asal Bangkalan nomor
1,2,3,4,5, dan aksesi meniran hijau asal Gresik nomor 8,9,10,11,12. Kelompok B
terdiri dari aksesi meniran hijau asal Bangkalan nomor 6 dan aksesi meniran hijau
asal Gresik nomor 7. Kelompok C terdiri dari aksesi meniran merah asal
Bangkalan nomor 13. Berdasarkan hasil analisis gerombol terhadap keseluruhan
karakter morfologi dan kandungan antosianin daun diperoleh dendrogram dengan
pengelompokan aksesi sebanyak 2 kelompok pada koefisien kemiripan sebesar
69.82%. Kelompok A terdiri dari semua aksesi meniran hijau asal Bangkalan
(A1, A2, 3, A4, A5, A6) dan semua aksesi meniran hijau asal Gresik (A7,A8,A9,
A10, A11, A12). Kelompok B terdiri dari aksesi meniran merah asal Bangkalan
(A13.)
Hasil pengelompokan berdasarkan penanda RAPD menunjukkan pada
tingkat kemiripan 100% sampai 63%, 13 aksesi yang dianalisis dapat
dikelompokan menjadi 7 kelompok. Kelompok A terdiri dari meniran hijau asal
Bangkalan aksesi nomor 3,4,6, meniran hijau asal Gresik aksesi nomor 7,8,9, dan
10 yang mempunyai tingkat kemiripan sebesar 100%. Kelompok B terdiri dari
aksesi meniran hijau asal Bangkalan nomor 1 dengan aksesi kelompok A dengan
tingkat kemiripan sebesar 97%. Kelompok C terdiri dari aksesi meniran hijau
asal Bangkalan nomor 5 dengan kelompok B dengan tingkat kemiripan 96%.
Kelompok D terdiri dari aksesi meniran hijau asal Bangkalan nomor 2 dengan
aksesi meniran hijau asal Gresik nomor 11 yang mempunyai kemiripan sebesar
94%. Kelompok E yaitu gabungan kelompok C dan kelompok D dengan tingkat
kemiripan sebesar 90% sampai dengan 100%. Kelompok F merupakan gabungan
dari kelompok E dan aksesi meniran hijau asal Gresik nomor 12 dengan tingkat
kemiripan sebesar 83% sampai dengan 100%. Kelompok G terdiri dari gabungan
semua meniran hijau (nomor 1 sampai nomor 12) dan meniran merah (aksesi
nomor 13) dengan tingkat kemiripan sebesar 63% atau perbedaannya sebesar
27%. Keragaman suatu populasi tanaman dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu
keragaman yang disebabkan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan.
Keragaman yang luas dari suatu karakter akan memberikan peluang yang baik
116
dalam proses seleksi karena proses perbaikan karakter tanaman dapat sesuai
dengan yang diharapkan. Bahar dan Zen (1993), menyatakan bahwa pelaksanaan
seleksi secara visual yaitu memilih fenotipe yang baik belum memberikan hasil
yang memuaskan tanpa berpedoman pada nilai karakter genetik yaitu ragam
genetik, heritabilitas dan kemajuan genetik.
Hasil seleksi terhadap karakter morfologi dan kandungan bioaktif yang
dilanjutkan dengan analisis komponen utama berdasarkan keragaman karakter
morfologi dan kandungan antosianin daun terhadap 13 aksesi meniran
menunjukkan, dari 12 aksesi meniran hijau, 2 aksesi meniran hijau yaitu aksesi
meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan Gresik (A7) dapat dipilih untuk penelitian
selanjutnya. Aksesi meniran hijau asal Bangkalan dan Gresik (A6 dan A7)
mempunyai potensi pertumbuhan dan produksi biomassa secara nyata lebih tinggi
dibandingkan aksesi lainnya. Sedangkan 1 aksesi meniran merah asal Bangkalan
(A13) didapatkan mempunyai potensi kandungan bioaktif yang lebih besar. A6,
A7 dan A13 yang terpilih akan digunakan dalam penelitian untuk melihat respon
tanaman terhadap pengaruh faktor lingkungan (cahaya, air dan unsur hara).
Analisis kekerabatan 13 aksesi meniran berdasarkan RAPD menunjukkan aksesi
meniran hijau mengelompok dalam satu kelompok sedangkan aksesi meniran
merah memisah pada kelompok yang lain.
Pola pertumbuhan dan perkembangan tanaman meniran sangat ditentukan
oleh faktor lingkungan sehingga untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik,
produksi biomassa dan produksi bioaktif yang tinggi diperlukan adanya perlakuan
yang tepat pada budidaya tanaman. Perlakuan budidaya yang diberikan adalah
dengan mengatur intensitas naungan dan intensitas cahaya, pemberian unsur hara
melalui pemupukan dan pengaturan kadar air tanah tersedia yang tepat dalam
menunjang pertumbuhan, produksi biomassa dan produksi bioaktif meniran.
Aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan Gresik (A7) menunjukkan
respon pertumbuhan dan peningkatan biomassa yang tinggi pada berbagai
perlakuan naungan. Untuk menghasilkan produksi biomassa yang tinggi melalui
peningkatan diameter batang, jumlah daun majemuk dan jumlah cabang meniran
hijau cenderung membutuhkan keadaan terbuka tanpa naungan hingga ternaungi
25%. Aksesi meniran merah (A13) secara umum menunjukkan respon
117
pertumbuhan dan peningkatan biomassa total yang rendah tetapi menunjukkan
kemampuan dapat beradaptasi pada kondisi cahaya penuh maupun di bawah
naungan dalam membentuk cabang dan pertumbuhan akar yang baik dengan
adanya bobot basah akar tertinggi.
Perlakuan pemberian naungan menunjukkan hasil tidak berbeda nyata
pada produksi biomassa seperti bobot basah akar, bobot basah daun, bobot basah
batang, bobot basah total, bobot kering akar, bobot kering daun, bobot kering
batang, bobot kering batang. Diduga hal ini dikarenakan letak antar tanaman
dalam polibag yang terlalu dekat (± 30 cm) sehingga terjadi penaungan antar daun
tanaman yang berdekatan. Penaungan juga terjadi antar daun dalam satu tanaman.
Semuanya ini akan mempengaruhi banyaknya sinar matahari yang jatuh ke
permukaan daun. Daun bagian atas menerima radiasi langsung dan radiasi difusi
sedangkan daun-daun bagian bawah menerima sebagian kecil dari radiasi
langsung berupa bercak-bercak sinar matahari yang lewat dari daun lapisan luar.
Hal ini mengakibatkan tanaman tidak memberikan respon pada produksi biomassa
yang dihasilkan dari pertumbuhan tanaman. Radiasi tidak langsung menjadi nyata
disebabkan radiasi yang dipancarkan melalui daun dan dipantulkan kembali dari
daun serta permukaan tanah (Gardner et al. 2008).
Aksesi meniran hijau asal Gresik (A7) pada kondisi cahaya penuh
kandungan total filantinnya sebesar 0.12%.
Pada tingkat naungan 50%
menunjukkan kandungan total filantin 0.09 % lebih rendah dibandingkan naungan
25% sebesar 0.11%. Sedangkan kandungan total hipofilantin menunjukkan
peningkatan dengan bertambahnya tingkat naungan (50%). Pada kondisi tanpa
naungan dan ternaungi 25%, kandungan total hipofilantinnya sebesar 0.12%.
Pada tingkat naungan 50%, kandungan hipofilantin aksesi meniran hijau asal
Gresik (A6) meningkat sebesar 0.13%. Aksesi meniran merah asal Bangkalan
(A13) menunjukkan kandungan total filantin dapat terdeteksi pada perlakuan
pemberian naungan 50% sebesar 0.001% bobot kering. Hasil ini menunjukkan
bahwa terpacunya pembentukan filantin pada meniran merah (A13) dengan
adanya naungan.
Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa untuk pertumbuhan, produksi
biomassa dan produksi bioaktif berupa kandungan total filantin, meniran hijau
118
cenderung membutuhkan cahaya penuh (tanpa naungan). Sedangkan apabila ingin
mendapatkan kandungan hipofilantin yang tinggi pada meniran hijau dan filantin
pada meniran merah membutuhkan naungan hingga 50%.
Aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan Gresik (A7) menunjukkan
respon pertumbuhan dan peningkatan biomassa yang tinggi pada berbagai
perlakuan pemupukan. Untuk peningkatan tinggi tanaman, jumlah daun majemuk,
bobot basah batang dan bobot kering batang, meniran hijau membutuhkan
pemberian pupuk kandang + NPK atau pupuk NPK saja. Diduga hal ini
berhubungan dengan kemampuan menggunakan unsur hara yang ada secara
efektif dan efisien. Meniran hijau menunjukkan kemampuan untuk menggunakan
hara nitrogen, fospor dan kalium yang lebih tinggi dibandingkan dengan meniran
merah. Meniran hijau asal Gresik yang diberi pupuk kandang + NPK mempunyai
kadar hara nitrogen dan kalium jaringan tanaman yang lebih tinggi
(3.04%;
2.45%) Meniran hijau asal Bangkalan yang diberi pupuk kandang + NPK
mempunyai kadar hara fospor jaringan tanaman tertinggi (0.35%). Tanaman
meniran hijau maupun merah tanpa pemupukan menunjukkan kadar hara NPK
pada jaringan tanaman yang lebih rendah (Gambar 16). Produksi biomassa total
yang tinggi membutuhkan pemberian pupuk kandang + NPK.
Aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13) dengan pemberian pupuk
kandang + NPK mempunyai kandungan antosianin daun tertinggi. Diduga Hal ini
berhubungan dengan faktor genetis. Meniran merah secara genetis mempunyai
kandungan antosianin yang tinggi. Disamping itu, peningkatan kandungan
antosianin pada meniran merah juga dipengaruhi oleh penambahan unsur hara
yang lengkap melalui pemberian pupuk kandang + NPK. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian Ramesh et al. (2001) pada tanaman kalmegh
(Andrographis paniculata Nees) yang banyak digunakan sebagai anti HIV activity
dan imuno stimulan menunjukkan peningkatan pertumbuhan, hasil herba (ton per
hektar) dan peningkatan kandungan andrographolide dengan kombinasi
penggunaan pupuk organik + pupuk anorganik.
Aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan Gresik (A7) mempunyai
kandungan total filantin dan hipofilantin yang lebih tinggi daripada meniran
merah asal Bangkalan (A13). Aksesi meniran hijau asal Gresik (A7) dengan
119
pemberian pupuk kandang mempunyai kandungan total filantin yang tertinggi
sebesar 0.18% dan kandungan hipofilantin tertinggi sebesar 0.26% (Gambar 17).
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Susanti et al. (2008) terhadap
kolesom (Talinum triangulare (Jacq) Willd) dimana terjadi penurunan kandungan
senyawa bioaktif pada daun dan umbi dengan peningkatan dosis pupuk kandang
ayam, sedangkan pupuk kandang ayam 15 ton per hektar dapat menghasilkan
produksi biomassa yang tertinggi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk pertumbuhan dan produksi
biomassa, meniran hijau membutuhkan pemberian pupuk kandang + NPK. Untuk
menghasilkan kandungan total filantin dan hipofilantin tertinggi, meniran hijau
membutuhkan pupuk kandang saja. Sedangkan produksi antosianin yang tinggi
pada meniran merah membutuhkan pemberian pupuk kandang + NPK.
Respon yang berbeda ditunjukkan oleh aksesi meniran hijau asal
Bangkalan (A6) dan Gresik (A7) terhadap pertumbuhan dan peningkatan produksi
biomassa pada perlakuan kadar air tanah yang berbeda. Aksesi meniran hijau asal
Bangkalan (A6) dan Gresik (A7) mempunyai tinggi tanaman maksimal.
Sedangkan aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13) menunjukkan
penambahan jumlah daun dan jumlah cabang yang maksimal. Demikian juga
dengan penambahan diameter batang terdapat kecendrungan meniran merah
mempunyai diameter batang yang lebih besar. Hal ini menyebabkan penambahan
produksi biomassa total pada meniran merah asal Bangkalan (A13) yang lebih
tinggi dibandingkan meniran hijau.
Adanya perbedaan pertumbuhan vegetatif antara meniran hijau dan
meniran merah diduga erat kaitannya dengan faktor genetik yang mengontrol
ketahanan tanaman terhadap kadar air tanah yang berbeda. Meniran merah
mempunyai kandungan antosianin yang tinggi pada daunnya. Sukarman et al.
(2000) mendapatkan pada kondisi cekaman air yang sama, tapak dara bunga
merah lebih baik pertumbuhannya dibandingkan tapak dara bunga putih. Adanya
perbedaan toleransi antar tanaman terhadap kadar air yang berbeda juga
dilaporkan oleh Hamim (2004), Widiyasari dan Sugiarta (1997).
Aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13) mempunyai produksi
biomassa yang lebih tinggi. Hasil ini diduga berkaitan dengan kemampuan
120
tanaman untuk bertahan terhadap cekaman yang muncul dalam pertumbuhannya
sehingga dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan batang dengan diameter
batang, jumlah daun dan cabang yang tinggi. Keadaan ini menyebabkan meniran
merah dapat menghasilkan produksi biomassa yang maksimal.
Pada umur tanaman 2 MST terjadi serangan hama pada lokasi penelitian
(Gambar 19). Serangga kutu kebul mengisap cairan tanaman dengan cara hinggap
pada daun tanaman lalu meletakkan dan menusukkan stiletnya. Keberadaan
trikoma pada tepi daun meniran merah dapat menghalangi proses tersebut. Pada
tepi daun meniran hijau tidak ditemukan trikoma (Gambar 20). Diduga hal ini
yang menyebabkan meniran merah asal Bangkalan mempunyai tingkat ketahanan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan
Gresik (A7). Suimmons dan Gurr (2005) mengemukakan trikoma yang terdapat
pada spesies liar Lycopersicon menunjukkan ketahanan tanaman terhadap
serangga. Glandular trikoma menunjukkan efek yang negatif terhadap serangga.
Resistensi terhadap anthropoda berhubungan dengan tingginya kerapatan trikoma
pada Lycopersicon.
a
Gambar 19
b
Penampilan (a) meniran hijau terserang hama, (b) meniran
merah yang sehat
121
a
b
Gambar 20 Tepi daun (a) meniran hijau tanpa trikoma, (b) meniran merah
dengan trikoma
Peningkatan pertumbuhan tanaman membutuhkan kadar air 50% hingga
100% tersedia bagi tanaman. Peningkatan produksi biomassa total membutuhkan
kadar air 100% tersedia. Terjadi penurunan yang nyata pada produksi biomassa
total pada kadar air 25%. Penurunan ini diduga erat kaitannya dengan
menurunnya translokasi hara dan aktivitas fotosintesis pada tanaman. Salisbury
dan Ross (1995) menyatakan bahwa pada kondisi air terbatas, pembentukan
klorofil dihambat. Jiang dan Huang (2001) mendapatkan penurunan kandungan
klorofil pada daun rumput Tall fescue dan Kentucky bluegrass dengan semakin
terbatasnya air yang dapat diserap oleh tanaman.
Aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13) membutuhkan kadar air
tanah 100% tersedia untuk menghasilkan kandungan klorofil a (6.98 mg g-1),
klorofil b (2.79 mg g-1) dan total klorofil (9.77 mg g-1) maksimal. Sedangkan
peningkatan kandungan antosianin maksimal (1.02 mg g-1) didapatkan pada aksesi
meniran merah asal Bangkalan (A13) dengan kadar air tanah tersedia 50%, diikuti
meniran hijau asal Bangkalan (A6) dengan kadar air tanah 100% dan meniran
hijau asal Gresik (A7) dengan kadar air tanah tersedia 75%. Hal ini menunjukkan
bahwa aksesi meniran merah (A13) membutuhkan air tersedia yang lebih sedikit
dibandingkan aksesi meniran hijau (A6 dan A7) untuk menghasilkan antosianin
yang maksimal.
122
Hasil penelitian Winarbawa (2000) menunjukkan perbedaan kadar air
tanah berpengaruh terhadap jumlah daun, panjang dan lebar daun dan diduga juga
mempengaruhi laju fotosintesis di dalam daun yang akan mempengaruhi bobot
kering batang, rimpang dan daun kapolaga sabrang. Penelitian Rahardjo et al.
1999) menunjukkan bahwa pemberian cekaman air dapat menurunkan akumulasi
biomassa (bobot kering daun,tangkai daun dan batang) dan peningkatan cekaman
air sebesar 1% kapasitas lapang dapat menurunkan bobot biomassa sebesar 191
mg. Keberadaan air dalam tanah yang berada dalam keadaan tersedia untuk
tanaman akan mempermudah tanaman dapat menyerap air. Selanjutnya
tersedianya air tanah secara tidak langsung akan mempengaruhi kadar air dalam
sel daun. Hal ini akan mempengaruhi proses membukanya stomata sehingga
mempengaruhi proses fotosintesis (Darmawan dan Baharsjah 2010). Salisbury
dan Ross (1995) menyatakan bahwa pada kondisi air terbatas, pembentukan
klorofil dihambat. Pada tanaman, dalam kloroplas terdapat dua macam klorofil
(klorofil a dan klorofil b) yang merupakan bahan penyerap energi yang utama.
Energi cahaya digunakan untuk mengoksidasi H20 membentuk ATP dan NADPH
yang kaya energi yang diperlukan untuk mengubah CO2 menjadi karbohidrat.
Pada pembentukan senyawa metabolit sekunder dalam tanaman, intensitas cahaya
juga berperan penting. Intensitas cahaya yang berbeda dapat menghasilkan
kandungan golongan flavonoid yang berbeda pada kulit buah apel kultivar
Jonagold (Awad et al. (2001). Salisbury dan Ross (1995) menyatakan terjadinya
peningkatan antosianin karena pengaruh cahaya. Konsentrasi antosianin pada kulit
buah apel mengalami peningkatan pada level cahaya yang berbeda sampai sekitar
50% dari cahaya matahari penuh (Barritt 1997). Antosianin pada daun terdapat
pada vakuola sel epidermis serta sel-sel mesofil daun sehingga terjadi akumulasi
yang tinggi (Gould dan Lister 2006).
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dibuat suatu rancangan
teknologi budidaya meniran sebagai berikut.
Rancangan teknologi budidaya meniran
Persyaratan tumbuh
Meniran tumbuh pada dataran rendah sampai ketinggian 1500 m dpl
(Kartasubrata 2010) dengan curah hujan 2000 – 3000 mm per tahun. Hasil
123
eksplorasi menunjukkan meniran tumbuh di tempat lembab, kebun, tegalan,
pekarangan dengan cara bergerombol dalam jumlah yang cukup banyak.
Bahan tanam dan pembenihan
Perbanyakan tanaman dengan menggunakan biji. Biji didapat dari tanaman
yang sudah tua, dipanen dan dikeringanginkan selama 24 jam, kemudian disemai.
Media semai berupa campuran antara tanah, sekam dan kompos dengan
perbandingan 1:1:1. Biji yang disemai ditutup dengan kompos agar tidak mudah
diterbangkan angin. Selanjutnya media disiram air. Untuk menjaga kelembaban,
persemaian ditutup dengan plastik bening tembus cahaya. Wadah diletakkan
ditempat yang ternaungi. Setelah tumbuh kecambah 7-10 hari, tutup plastik
dibuka. Dilakukan pemeliharaan sampai bibit siap untuk dipindahkan ke lahan
atau pot. Bibit yang dipindah telah mempunyai minimal 4 daun majemuk (umur 1
bulan setelah tanam).
Budidaya meniran
Persiapan lahan dan media pot
Meniran dapat ditanam di lahan maupun dijadikan tanaman dalam pot.
Penanaman di lahan dengan cara membuat bedengan 1.5 x 2.5 m (Sulaksana dan
Jayusman 2004). Pengolahan tanah sedalam 30 cm. Jarak tanam 20 x 20 cm
(Kartasubrata 2010, Kardinan dan Kusuma 2004). Pot yang digunakan berukuran
diameter 20 cm. Dasar pot dilubangi untuk membuang kelebihan air.
Pemeliharan tanaman
Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, pemupukan,
penyiangan gulma dan pencegahan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan
setiap hari pada pagi atau sore hari pada awal tanam selama sebulan dengan
asumsi tidak ada hujan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meniran
membutuhkan kadar air tanah tersedia yang cukup (50-100% air tanah tersedia)
untuk pertumbuhan dan produksi biomassanya. Pemberian air yang cukup dapat
digunakan oleh tanaman dapat meningkatkan kandungan antosianin daun pada
meniran merah.
Pengendalian hama dan penyakit dengan cara mekanis dan bila perlu
menggunakan pestisida hayati. Selama penelitian berlangsung terjadi serangan
124
hama yang menyerang daun dan tidak ditemukan gejala serangan penyakit.
Pengendalian dilakukan dengan cara penyemprotan insektisida organik pada
tanaman dengan bahan utama insektisida berupa daun sereh. Pengendalian gulma
dilakukan dengan cara penyiangan secara manual.
Pupuk yang digunakan adalah 400 kg ha-1 urea (46% N), 150 kg ha-1 SP36 (36% P205) dan 200 kg ha-1 KCl (60% K20) serta pupuk kandang (kotoran
ayam) 20 ton per hektar (Djauharia et al. 1993). Pupuk kandang dan SP-36
diberikan seluruhnya pada waktu tanam sedangkan urea dan KCl diberikan dua
kali yaitu pertama pada saat tanaman umur 1 bulan setelah tanam dan kedua pada
saat umur tanaman 1.5 bulan setelah tanam. Hasil penelitian menunjukkan
pemberian pupuk NPK dan pupuk kandang dapat meningkatkan pertumbuhan dan
produksi biomassa meniran hijau secara maksimal dan terjadi peningkatan
kandungan antosianin daun meniran merah. Penggunaan pupuk kandang saja
dapat meningkatkan kandungan total filantin dan hipofilantin meniran hijau.
Pola tanam
Penanaman dapat dilakukan secara monokultur atau polikultur. Meniran
menunjukkan pertumbuhan dan produksi biomassa yang maksimal bila ditanam
pada kondisi tanpa naungan. Pada keaadaan cahaya penuh, meniran hijau
menunjukkan kandungan total filantin yang tinggi. Pada penanaman secara
polikultur dapat ditanam dengan tanaman semusim yang mempunyai akar serabut
dan tidak memiliki percabangan yang rimbun. Penanaman di bawah tegakan hutan
dapat dilakukan pada kondisi tanaman utama berumur kurang dari 5 tahun dan
tidak memiliki percabangan yang rimbun. Hasil penelitian menunjukkan kondisi
naungan 50% dapat meningkatkan kandungan total hipofilantin meniran hijau dan
filantin meniran merah.
Panen
Panen dilakukan pada umur 3 – 4 bulan setelah tanam (Kartasubrata
2010). Panen pada penelitian ini dilakukan pada umur 3.5 bulan. Hasil produksi
total segar maksimal dengan pemberian pupuk kandang + NPK sebesar 32.03 g
tanaman-1 dan produksi total kering maksimal sebesar 23.61 g tanaman-1.
Penggunaan pupuk kandang saja menghasilkan produksi total segar 15.83 g
tanaman-1 dan produksi total kering 9.81 g tanaman-1.
125
Pascapanen
Herba hasil panen dicuci bersih, dikeringkan dengan alat pengering
dengan suhu tidak melebihi 60oC atau dapat dijemur di bawah matahari dengan
kadar air maksimal 14%. Selanjutnya digiling, dikemas dalam wadah plastik
hampa udara dan diberi label.
Tabel 35 Persyaratan mutu simplisia meniran berdasarkan Farmakope Herbal
Indonesia (2008)
Persyaratan
Jumlah (%)
Susut pengeringan
Tidak lebih dari 14%
Abu total
Tidak lebih dari 7.2%
Abu tidak larut asam
Tidak lebih dari 1.2%
Sari larut air
Tidak kurang dari 16.0%
Sari larut etanol
Tidak kurang dari 8.0%
Kandungan kimia simplisia
Kadar flavonoid total tidak kurang dari
0.90% dihitung sebagai kuersetin
Download