113 PEMBAHASAN UMUM Meniran (Phyllanthus sp. L.) tergolong dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, ordo Geraniles, famili Euphorbiaceae, genus Phyllanthus (Webster 1986; de Padua et al. 1999). Penyebarannya di seluruh Asia termasuk Indonesia (Heyne 1987; Soerjani et al. 1987), Malaysia, India, Peru, Afrika, Amerika dan Australia (Taylor 2003). Pusat Studi Biofarmaka (2008) telah melakukan pemetaan tanaman obat di Indonesia termasuk meniran yang mencakup 10 daerah studi yaitu Kabupaten Bagor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung (Propinsi Jawa Barat), Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Semarang (Propinsi Jawa Tengah), Kabupaten Malang, Kabupaten Probolinggo (Jawa Timur), Kabupaten Paser, Kabupaten Penajam Paser Utara (Kalimantan Timur). Hasil eksplorasi menunjukkan bahwa secara agronomis tanaman meniran belum dibudidayakan secara intensif, kadar bahan aktif dominan pada kelompok rendah dan sedang dengan lokasi yang bervariasi. Eksplorasi meniran di Kabupaten Bangkalan dan Gresik Propinsi Jawa Timur mendapatkan 13 aksesi meniran yang terdiri dari enam aksesi meniran hijau (A1, A2, A3, A4, A5, A6), satu aksesi meniran merah (A13) asal Bangkalan dan enam meniran hijau (A7, A8, A9, A10, A11, A12) asal Gresik. Hasil survei terhadap pendapat masyarakat menunjukkan bahwa tanaman meniran sudah dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sebagian besar masyarakat mengambil seluruh bagian tanaman untuk mengobati beberapa penyakit seperti untuk penyakit susah buang air kecil, panas karena demam, sakit gigi dan digunakan dalam perawatan persalinan. Pengetahuan tentang manfaat tanaman didapat secara turun temurun dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sangat mendukung untuk menjadikan tanaman meniran menjadi tanaman obat yang dapat dibudidayakan di masyarakat mengingat keberadaannya akan punah apabila dilakukan pengambilan secara terus menerus tanpa ada kegiatan pembudidayaan. Hasil eksplorasi terhadap 13 aksesi meniran menunjukkan variasi yang besar dalam beberapa karakter morfologi dan kandungan bioaktif. Kondisi morfologi tanaman ditunjukkan oleh karakter pertumbuhan dan produksi 114 biomassa. Produksi bioaktif ditunjukkan oleh kandungan flavonoid. Tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang, diameter batang dan bobot basah total mempunyai korelasi positif sangat nyata terhadap bobot kering total, masingmasing dengan nilai r1y = 0.85, r2y = 0.86, r3y = 0.64, r4y = 0.89 dan r5y = 0.90. Hal ini menunjukkan bahwa apabila terjadi peningkatan nilai pada karakter tersebut maka produksi biomassa kering akan meningkat. Pengaruh langsung terbesar terhadap bobot kering total ditunjukkan oleh karakter diameter batang (C4 = 0.69, r4y = 0.89), diikuti oleh karakter jumlah cabang (C3 = 0.41, r3y = 0.64), tinggi tanaman (C1 = -0.30, r1y = 0.85), bobot basah total (C5 = 0.26, r5y = 0.90) dan jumlah daun (C2 = 0.11, r2y =. 0.86). Hasil analisis terhadap pengaruh tidak langsung menunjukkan bahwa karakter jumlah daun, jumlah cabang, diameter batang dan bobot basah total mempunyai pengaruh tidak langsung yang negatif terhadap bobot kering total, hanya karakter kandungan flavonoid yang menunjukkan pengaruh langsung yang positif. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan pada tinggi tanaman menyebabkan penurunan pada bobot kering total. Keadaan ini diduga disebabkan tinggi tanaman pada waktu survei dilakukan sangat beragam karena umur tanaman yang diambil untuk sampel sangat bervarisi dengan rentang yang lebar. Karakter tinggi tanaman dalam hal ini tidak dapat digunakan sebagai karakter yang digunakan dalam seleksi. Analisis lintas terhadap keberadaan flavonoid menunjukkan diameter batang, jumlah cabang, tinggi tanaman, bobot basah total dan jumlah daun mempunyai hubungan langsung yang negatif. Koefisien korelasi semua karakter positif dan negatif tidak berbeda nyata maka semua karakter tidak dapat digunakan sebagai kriteria seleksi. Analisis komponen utama menunjukkan akumulasi keragaman komponen tinggi, hanya dengan dua komponen utama sudah menghasilkan nilai akumulasi 91.90% keragaman. Jumlah karakter penentu pembentuk pengelompokan terpilih adalah selaras dengan nilai ciri berupa 9 karakter yaitu bobot basah total, bobot basah batang, tinggi tanaman, bobot 1000 biji, jumlah daun, bobot kering batang, diameter batang, jumlah cabang dan bobot kering total pada komponen utama 1 dan 4 karakter yaitu bobot basah akar, bobot kering akar, bobot kering daun dan 115 bobot basah daun pada komponen utama 2. Berdasarkan hasil analisis komponen utama terhadap karakter morfologi dan kandungan antosianin daun terbentuk 3 kelompok. Kelompok A terdiri dari aksesi meniran hijau asal Bangkalan nomor 1,2,3,4,5, dan aksesi meniran hijau asal Gresik nomor 8,9,10,11,12. Kelompok B terdiri dari aksesi meniran hijau asal Bangkalan nomor 6 dan aksesi meniran hijau asal Gresik nomor 7. Kelompok C terdiri dari aksesi meniran merah asal Bangkalan nomor 13. Berdasarkan hasil analisis gerombol terhadap keseluruhan karakter morfologi dan kandungan antosianin daun diperoleh dendrogram dengan pengelompokan aksesi sebanyak 2 kelompok pada koefisien kemiripan sebesar 69.82%. Kelompok A terdiri dari semua aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A1, A2, 3, A4, A5, A6) dan semua aksesi meniran hijau asal Gresik (A7,A8,A9, A10, A11, A12). Kelompok B terdiri dari aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13.) Hasil pengelompokan berdasarkan penanda RAPD menunjukkan pada tingkat kemiripan 100% sampai 63%, 13 aksesi yang dianalisis dapat dikelompokan menjadi 7 kelompok. Kelompok A terdiri dari meniran hijau asal Bangkalan aksesi nomor 3,4,6, meniran hijau asal Gresik aksesi nomor 7,8,9, dan 10 yang mempunyai tingkat kemiripan sebesar 100%. Kelompok B terdiri dari aksesi meniran hijau asal Bangkalan nomor 1 dengan aksesi kelompok A dengan tingkat kemiripan sebesar 97%. Kelompok C terdiri dari aksesi meniran hijau asal Bangkalan nomor 5 dengan kelompok B dengan tingkat kemiripan 96%. Kelompok D terdiri dari aksesi meniran hijau asal Bangkalan nomor 2 dengan aksesi meniran hijau asal Gresik nomor 11 yang mempunyai kemiripan sebesar 94%. Kelompok E yaitu gabungan kelompok C dan kelompok D dengan tingkat kemiripan sebesar 90% sampai dengan 100%. Kelompok F merupakan gabungan dari kelompok E dan aksesi meniran hijau asal Gresik nomor 12 dengan tingkat kemiripan sebesar 83% sampai dengan 100%. Kelompok G terdiri dari gabungan semua meniran hijau (nomor 1 sampai nomor 12) dan meniran merah (aksesi nomor 13) dengan tingkat kemiripan sebesar 63% atau perbedaannya sebesar 27%. Keragaman suatu populasi tanaman dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu keragaman yang disebabkan oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Keragaman yang luas dari suatu karakter akan memberikan peluang yang baik 116 dalam proses seleksi karena proses perbaikan karakter tanaman dapat sesuai dengan yang diharapkan. Bahar dan Zen (1993), menyatakan bahwa pelaksanaan seleksi secara visual yaitu memilih fenotipe yang baik belum memberikan hasil yang memuaskan tanpa berpedoman pada nilai karakter genetik yaitu ragam genetik, heritabilitas dan kemajuan genetik. Hasil seleksi terhadap karakter morfologi dan kandungan bioaktif yang dilanjutkan dengan analisis komponen utama berdasarkan keragaman karakter morfologi dan kandungan antosianin daun terhadap 13 aksesi meniran menunjukkan, dari 12 aksesi meniran hijau, 2 aksesi meniran hijau yaitu aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan Gresik (A7) dapat dipilih untuk penelitian selanjutnya. Aksesi meniran hijau asal Bangkalan dan Gresik (A6 dan A7) mempunyai potensi pertumbuhan dan produksi biomassa secara nyata lebih tinggi dibandingkan aksesi lainnya. Sedangkan 1 aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13) didapatkan mempunyai potensi kandungan bioaktif yang lebih besar. A6, A7 dan A13 yang terpilih akan digunakan dalam penelitian untuk melihat respon tanaman terhadap pengaruh faktor lingkungan (cahaya, air dan unsur hara). Analisis kekerabatan 13 aksesi meniran berdasarkan RAPD menunjukkan aksesi meniran hijau mengelompok dalam satu kelompok sedangkan aksesi meniran merah memisah pada kelompok yang lain. Pola pertumbuhan dan perkembangan tanaman meniran sangat ditentukan oleh faktor lingkungan sehingga untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik, produksi biomassa dan produksi bioaktif yang tinggi diperlukan adanya perlakuan yang tepat pada budidaya tanaman. Perlakuan budidaya yang diberikan adalah dengan mengatur intensitas naungan dan intensitas cahaya, pemberian unsur hara melalui pemupukan dan pengaturan kadar air tanah tersedia yang tepat dalam menunjang pertumbuhan, produksi biomassa dan produksi bioaktif meniran. Aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan Gresik (A7) menunjukkan respon pertumbuhan dan peningkatan biomassa yang tinggi pada berbagai perlakuan naungan. Untuk menghasilkan produksi biomassa yang tinggi melalui peningkatan diameter batang, jumlah daun majemuk dan jumlah cabang meniran hijau cenderung membutuhkan keadaan terbuka tanpa naungan hingga ternaungi 25%. Aksesi meniran merah (A13) secara umum menunjukkan respon 117 pertumbuhan dan peningkatan biomassa total yang rendah tetapi menunjukkan kemampuan dapat beradaptasi pada kondisi cahaya penuh maupun di bawah naungan dalam membentuk cabang dan pertumbuhan akar yang baik dengan adanya bobot basah akar tertinggi. Perlakuan pemberian naungan menunjukkan hasil tidak berbeda nyata pada produksi biomassa seperti bobot basah akar, bobot basah daun, bobot basah batang, bobot basah total, bobot kering akar, bobot kering daun, bobot kering batang, bobot kering batang. Diduga hal ini dikarenakan letak antar tanaman dalam polibag yang terlalu dekat (± 30 cm) sehingga terjadi penaungan antar daun tanaman yang berdekatan. Penaungan juga terjadi antar daun dalam satu tanaman. Semuanya ini akan mempengaruhi banyaknya sinar matahari yang jatuh ke permukaan daun. Daun bagian atas menerima radiasi langsung dan radiasi difusi sedangkan daun-daun bagian bawah menerima sebagian kecil dari radiasi langsung berupa bercak-bercak sinar matahari yang lewat dari daun lapisan luar. Hal ini mengakibatkan tanaman tidak memberikan respon pada produksi biomassa yang dihasilkan dari pertumbuhan tanaman. Radiasi tidak langsung menjadi nyata disebabkan radiasi yang dipancarkan melalui daun dan dipantulkan kembali dari daun serta permukaan tanah (Gardner et al. 2008). Aksesi meniran hijau asal Gresik (A7) pada kondisi cahaya penuh kandungan total filantinnya sebesar 0.12%. Pada tingkat naungan 50% menunjukkan kandungan total filantin 0.09 % lebih rendah dibandingkan naungan 25% sebesar 0.11%. Sedangkan kandungan total hipofilantin menunjukkan peningkatan dengan bertambahnya tingkat naungan (50%). Pada kondisi tanpa naungan dan ternaungi 25%, kandungan total hipofilantinnya sebesar 0.12%. Pada tingkat naungan 50%, kandungan hipofilantin aksesi meniran hijau asal Gresik (A6) meningkat sebesar 0.13%. Aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13) menunjukkan kandungan total filantin dapat terdeteksi pada perlakuan pemberian naungan 50% sebesar 0.001% bobot kering. Hasil ini menunjukkan bahwa terpacunya pembentukan filantin pada meniran merah (A13) dengan adanya naungan. Hasil penelitian ini mendapatkan bahwa untuk pertumbuhan, produksi biomassa dan produksi bioaktif berupa kandungan total filantin, meniran hijau 118 cenderung membutuhkan cahaya penuh (tanpa naungan). Sedangkan apabila ingin mendapatkan kandungan hipofilantin yang tinggi pada meniran hijau dan filantin pada meniran merah membutuhkan naungan hingga 50%. Aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan Gresik (A7) menunjukkan respon pertumbuhan dan peningkatan biomassa yang tinggi pada berbagai perlakuan pemupukan. Untuk peningkatan tinggi tanaman, jumlah daun majemuk, bobot basah batang dan bobot kering batang, meniran hijau membutuhkan pemberian pupuk kandang + NPK atau pupuk NPK saja. Diduga hal ini berhubungan dengan kemampuan menggunakan unsur hara yang ada secara efektif dan efisien. Meniran hijau menunjukkan kemampuan untuk menggunakan hara nitrogen, fospor dan kalium yang lebih tinggi dibandingkan dengan meniran merah. Meniran hijau asal Gresik yang diberi pupuk kandang + NPK mempunyai kadar hara nitrogen dan kalium jaringan tanaman yang lebih tinggi (3.04%; 2.45%) Meniran hijau asal Bangkalan yang diberi pupuk kandang + NPK mempunyai kadar hara fospor jaringan tanaman tertinggi (0.35%). Tanaman meniran hijau maupun merah tanpa pemupukan menunjukkan kadar hara NPK pada jaringan tanaman yang lebih rendah (Gambar 16). Produksi biomassa total yang tinggi membutuhkan pemberian pupuk kandang + NPK. Aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13) dengan pemberian pupuk kandang + NPK mempunyai kandungan antosianin daun tertinggi. Diduga Hal ini berhubungan dengan faktor genetis. Meniran merah secara genetis mempunyai kandungan antosianin yang tinggi. Disamping itu, peningkatan kandungan antosianin pada meniran merah juga dipengaruhi oleh penambahan unsur hara yang lengkap melalui pemberian pupuk kandang + NPK. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ramesh et al. (2001) pada tanaman kalmegh (Andrographis paniculata Nees) yang banyak digunakan sebagai anti HIV activity dan imuno stimulan menunjukkan peningkatan pertumbuhan, hasil herba (ton per hektar) dan peningkatan kandungan andrographolide dengan kombinasi penggunaan pupuk organik + pupuk anorganik. Aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan Gresik (A7) mempunyai kandungan total filantin dan hipofilantin yang lebih tinggi daripada meniran merah asal Bangkalan (A13). Aksesi meniran hijau asal Gresik (A7) dengan 119 pemberian pupuk kandang mempunyai kandungan total filantin yang tertinggi sebesar 0.18% dan kandungan hipofilantin tertinggi sebesar 0.26% (Gambar 17). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Susanti et al. (2008) terhadap kolesom (Talinum triangulare (Jacq) Willd) dimana terjadi penurunan kandungan senyawa bioaktif pada daun dan umbi dengan peningkatan dosis pupuk kandang ayam, sedangkan pupuk kandang ayam 15 ton per hektar dapat menghasilkan produksi biomassa yang tertinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk pertumbuhan dan produksi biomassa, meniran hijau membutuhkan pemberian pupuk kandang + NPK. Untuk menghasilkan kandungan total filantin dan hipofilantin tertinggi, meniran hijau membutuhkan pupuk kandang saja. Sedangkan produksi antosianin yang tinggi pada meniran merah membutuhkan pemberian pupuk kandang + NPK. Respon yang berbeda ditunjukkan oleh aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan Gresik (A7) terhadap pertumbuhan dan peningkatan produksi biomassa pada perlakuan kadar air tanah yang berbeda. Aksesi meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan Gresik (A7) mempunyai tinggi tanaman maksimal. Sedangkan aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13) menunjukkan penambahan jumlah daun dan jumlah cabang yang maksimal. Demikian juga dengan penambahan diameter batang terdapat kecendrungan meniran merah mempunyai diameter batang yang lebih besar. Hal ini menyebabkan penambahan produksi biomassa total pada meniran merah asal Bangkalan (A13) yang lebih tinggi dibandingkan meniran hijau. Adanya perbedaan pertumbuhan vegetatif antara meniran hijau dan meniran merah diduga erat kaitannya dengan faktor genetik yang mengontrol ketahanan tanaman terhadap kadar air tanah yang berbeda. Meniran merah mempunyai kandungan antosianin yang tinggi pada daunnya. Sukarman et al. (2000) mendapatkan pada kondisi cekaman air yang sama, tapak dara bunga merah lebih baik pertumbuhannya dibandingkan tapak dara bunga putih. Adanya perbedaan toleransi antar tanaman terhadap kadar air yang berbeda juga dilaporkan oleh Hamim (2004), Widiyasari dan Sugiarta (1997). Aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13) mempunyai produksi biomassa yang lebih tinggi. Hasil ini diduga berkaitan dengan kemampuan 120 tanaman untuk bertahan terhadap cekaman yang muncul dalam pertumbuhannya sehingga dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan batang dengan diameter batang, jumlah daun dan cabang yang tinggi. Keadaan ini menyebabkan meniran merah dapat menghasilkan produksi biomassa yang maksimal. Pada umur tanaman 2 MST terjadi serangan hama pada lokasi penelitian (Gambar 19). Serangga kutu kebul mengisap cairan tanaman dengan cara hinggap pada daun tanaman lalu meletakkan dan menusukkan stiletnya. Keberadaan trikoma pada tepi daun meniran merah dapat menghalangi proses tersebut. Pada tepi daun meniran hijau tidak ditemukan trikoma (Gambar 20). Diduga hal ini yang menyebabkan meniran merah asal Bangkalan mempunyai tingkat ketahanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan meniran hijau asal Bangkalan (A6) dan Gresik (A7). Suimmons dan Gurr (2005) mengemukakan trikoma yang terdapat pada spesies liar Lycopersicon menunjukkan ketahanan tanaman terhadap serangga. Glandular trikoma menunjukkan efek yang negatif terhadap serangga. Resistensi terhadap anthropoda berhubungan dengan tingginya kerapatan trikoma pada Lycopersicon. a Gambar 19 b Penampilan (a) meniran hijau terserang hama, (b) meniran merah yang sehat 121 a b Gambar 20 Tepi daun (a) meniran hijau tanpa trikoma, (b) meniran merah dengan trikoma Peningkatan pertumbuhan tanaman membutuhkan kadar air 50% hingga 100% tersedia bagi tanaman. Peningkatan produksi biomassa total membutuhkan kadar air 100% tersedia. Terjadi penurunan yang nyata pada produksi biomassa total pada kadar air 25%. Penurunan ini diduga erat kaitannya dengan menurunnya translokasi hara dan aktivitas fotosintesis pada tanaman. Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa pada kondisi air terbatas, pembentukan klorofil dihambat. Jiang dan Huang (2001) mendapatkan penurunan kandungan klorofil pada daun rumput Tall fescue dan Kentucky bluegrass dengan semakin terbatasnya air yang dapat diserap oleh tanaman. Aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13) membutuhkan kadar air tanah 100% tersedia untuk menghasilkan kandungan klorofil a (6.98 mg g-1), klorofil b (2.79 mg g-1) dan total klorofil (9.77 mg g-1) maksimal. Sedangkan peningkatan kandungan antosianin maksimal (1.02 mg g-1) didapatkan pada aksesi meniran merah asal Bangkalan (A13) dengan kadar air tanah tersedia 50%, diikuti meniran hijau asal Bangkalan (A6) dengan kadar air tanah 100% dan meniran hijau asal Gresik (A7) dengan kadar air tanah tersedia 75%. Hal ini menunjukkan bahwa aksesi meniran merah (A13) membutuhkan air tersedia yang lebih sedikit dibandingkan aksesi meniran hijau (A6 dan A7) untuk menghasilkan antosianin yang maksimal. 122 Hasil penelitian Winarbawa (2000) menunjukkan perbedaan kadar air tanah berpengaruh terhadap jumlah daun, panjang dan lebar daun dan diduga juga mempengaruhi laju fotosintesis di dalam daun yang akan mempengaruhi bobot kering batang, rimpang dan daun kapolaga sabrang. Penelitian Rahardjo et al. 1999) menunjukkan bahwa pemberian cekaman air dapat menurunkan akumulasi biomassa (bobot kering daun,tangkai daun dan batang) dan peningkatan cekaman air sebesar 1% kapasitas lapang dapat menurunkan bobot biomassa sebesar 191 mg. Keberadaan air dalam tanah yang berada dalam keadaan tersedia untuk tanaman akan mempermudah tanaman dapat menyerap air. Selanjutnya tersedianya air tanah secara tidak langsung akan mempengaruhi kadar air dalam sel daun. Hal ini akan mempengaruhi proses membukanya stomata sehingga mempengaruhi proses fotosintesis (Darmawan dan Baharsjah 2010). Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa pada kondisi air terbatas, pembentukan klorofil dihambat. Pada tanaman, dalam kloroplas terdapat dua macam klorofil (klorofil a dan klorofil b) yang merupakan bahan penyerap energi yang utama. Energi cahaya digunakan untuk mengoksidasi H20 membentuk ATP dan NADPH yang kaya energi yang diperlukan untuk mengubah CO2 menjadi karbohidrat. Pada pembentukan senyawa metabolit sekunder dalam tanaman, intensitas cahaya juga berperan penting. Intensitas cahaya yang berbeda dapat menghasilkan kandungan golongan flavonoid yang berbeda pada kulit buah apel kultivar Jonagold (Awad et al. (2001). Salisbury dan Ross (1995) menyatakan terjadinya peningkatan antosianin karena pengaruh cahaya. Konsentrasi antosianin pada kulit buah apel mengalami peningkatan pada level cahaya yang berbeda sampai sekitar 50% dari cahaya matahari penuh (Barritt 1997). Antosianin pada daun terdapat pada vakuola sel epidermis serta sel-sel mesofil daun sehingga terjadi akumulasi yang tinggi (Gould dan Lister 2006). Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dibuat suatu rancangan teknologi budidaya meniran sebagai berikut. Rancangan teknologi budidaya meniran Persyaratan tumbuh Meniran tumbuh pada dataran rendah sampai ketinggian 1500 m dpl (Kartasubrata 2010) dengan curah hujan 2000 – 3000 mm per tahun. Hasil 123 eksplorasi menunjukkan meniran tumbuh di tempat lembab, kebun, tegalan, pekarangan dengan cara bergerombol dalam jumlah yang cukup banyak. Bahan tanam dan pembenihan Perbanyakan tanaman dengan menggunakan biji. Biji didapat dari tanaman yang sudah tua, dipanen dan dikeringanginkan selama 24 jam, kemudian disemai. Media semai berupa campuran antara tanah, sekam dan kompos dengan perbandingan 1:1:1. Biji yang disemai ditutup dengan kompos agar tidak mudah diterbangkan angin. Selanjutnya media disiram air. Untuk menjaga kelembaban, persemaian ditutup dengan plastik bening tembus cahaya. Wadah diletakkan ditempat yang ternaungi. Setelah tumbuh kecambah 7-10 hari, tutup plastik dibuka. Dilakukan pemeliharaan sampai bibit siap untuk dipindahkan ke lahan atau pot. Bibit yang dipindah telah mempunyai minimal 4 daun majemuk (umur 1 bulan setelah tanam). Budidaya meniran Persiapan lahan dan media pot Meniran dapat ditanam di lahan maupun dijadikan tanaman dalam pot. Penanaman di lahan dengan cara membuat bedengan 1.5 x 2.5 m (Sulaksana dan Jayusman 2004). Pengolahan tanah sedalam 30 cm. Jarak tanam 20 x 20 cm (Kartasubrata 2010, Kardinan dan Kusuma 2004). Pot yang digunakan berukuran diameter 20 cm. Dasar pot dilubangi untuk membuang kelebihan air. Pemeliharan tanaman Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman, pemupukan, penyiangan gulma dan pencegahan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan setiap hari pada pagi atau sore hari pada awal tanam selama sebulan dengan asumsi tidak ada hujan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meniran membutuhkan kadar air tanah tersedia yang cukup (50-100% air tanah tersedia) untuk pertumbuhan dan produksi biomassanya. Pemberian air yang cukup dapat digunakan oleh tanaman dapat meningkatkan kandungan antosianin daun pada meniran merah. Pengendalian hama dan penyakit dengan cara mekanis dan bila perlu menggunakan pestisida hayati. Selama penelitian berlangsung terjadi serangan 124 hama yang menyerang daun dan tidak ditemukan gejala serangan penyakit. Pengendalian dilakukan dengan cara penyemprotan insektisida organik pada tanaman dengan bahan utama insektisida berupa daun sereh. Pengendalian gulma dilakukan dengan cara penyiangan secara manual. Pupuk yang digunakan adalah 400 kg ha-1 urea (46% N), 150 kg ha-1 SP36 (36% P205) dan 200 kg ha-1 KCl (60% K20) serta pupuk kandang (kotoran ayam) 20 ton per hektar (Djauharia et al. 1993). Pupuk kandang dan SP-36 diberikan seluruhnya pada waktu tanam sedangkan urea dan KCl diberikan dua kali yaitu pertama pada saat tanaman umur 1 bulan setelah tanam dan kedua pada saat umur tanaman 1.5 bulan setelah tanam. Hasil penelitian menunjukkan pemberian pupuk NPK dan pupuk kandang dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi biomassa meniran hijau secara maksimal dan terjadi peningkatan kandungan antosianin daun meniran merah. Penggunaan pupuk kandang saja dapat meningkatkan kandungan total filantin dan hipofilantin meniran hijau. Pola tanam Penanaman dapat dilakukan secara monokultur atau polikultur. Meniran menunjukkan pertumbuhan dan produksi biomassa yang maksimal bila ditanam pada kondisi tanpa naungan. Pada keaadaan cahaya penuh, meniran hijau menunjukkan kandungan total filantin yang tinggi. Pada penanaman secara polikultur dapat ditanam dengan tanaman semusim yang mempunyai akar serabut dan tidak memiliki percabangan yang rimbun. Penanaman di bawah tegakan hutan dapat dilakukan pada kondisi tanaman utama berumur kurang dari 5 tahun dan tidak memiliki percabangan yang rimbun. Hasil penelitian menunjukkan kondisi naungan 50% dapat meningkatkan kandungan total hipofilantin meniran hijau dan filantin meniran merah. Panen Panen dilakukan pada umur 3 – 4 bulan setelah tanam (Kartasubrata 2010). Panen pada penelitian ini dilakukan pada umur 3.5 bulan. Hasil produksi total segar maksimal dengan pemberian pupuk kandang + NPK sebesar 32.03 g tanaman-1 dan produksi total kering maksimal sebesar 23.61 g tanaman-1. Penggunaan pupuk kandang saja menghasilkan produksi total segar 15.83 g tanaman-1 dan produksi total kering 9.81 g tanaman-1. 125 Pascapanen Herba hasil panen dicuci bersih, dikeringkan dengan alat pengering dengan suhu tidak melebihi 60oC atau dapat dijemur di bawah matahari dengan kadar air maksimal 14%. Selanjutnya digiling, dikemas dalam wadah plastik hampa udara dan diberi label. Tabel 35 Persyaratan mutu simplisia meniran berdasarkan Farmakope Herbal Indonesia (2008) Persyaratan Jumlah (%) Susut pengeringan Tidak lebih dari 14% Abu total Tidak lebih dari 7.2% Abu tidak larut asam Tidak lebih dari 1.2% Sari larut air Tidak kurang dari 16.0% Sari larut etanol Tidak kurang dari 8.0% Kandungan kimia simplisia Kadar flavonoid total tidak kurang dari 0.90% dihitung sebagai kuersetin