DAYA HAMBAT EKSTRAK DAUN MURBEI

advertisement
DAYA HAMBAT EKSTRAK DAUN MURBEI TERHADAP
HIDROLISIS KARBOHIDRAT PADA
MENCIT (Mus musculus)
SKRIPSI
WITRA RAMDANIA
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN
WITRA RAMDANIA. D24104062. 2008. Daya Hambat Ekstrak Daun Murbei
terhadap Hidrolisis Karbohidrat pada Mencit (Mus musculus). Skripsi. Departemen
Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Ir. Komang G. Wiryawan
Pembimbing Anggota : Ir. Syahriani Syahrir, M.Si.
Daun murbei memiliki potensi yang sangat baik sebagai pakan ternak, karena
memiliki kandungan nutrien yang tinggi namun tidak dapat digunakan dalam jumlah
yang besar dalam pakan karena mengandung senyawa yang membatasi penggunaan daun
murbei yaitu 1- deoxynojirimycin (DNJ). DNJ merupakan senyawa penghambat proses
hidrolisis karbohidrat menjadi monosakarida. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
daya hambat ekstrak daun murbei terhadap proses hidrolisis karbohidrat.
Penelitian ini menggunakan mencit jantan berumur 60 hari (dewasa kelamin)
sebanyak dua puluh empat ekor. Pemeliharaan mencit dilakukan selama 17 hari dan 3
hari masa adaptasi. Ransum dan air minum diberikan secara ad libitum.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial
(4x2) dengan 3 kali ulangan. Faktor pertama merupakan ragam karbohidrat (glukosa,
maltosa, sukrosa dan pati) dan faktor kedua adalah penambahan ekstrak daun murbei
(EDM) sebanyak 0% dan 12,42%. Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah
perubahan bobot badan, kecernaan ransum, konsumsi ransum dan kadar glukosa darah.
Penimbangan bobot badan, penghitungan kecernaan dan konsumsi ransum dilakukan
setiap minggu. Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan pada akhir pemeliharaan
dengan mengambil darah dari bagian jantung.
Data hasil yang diperoleh dianalisis mengggunakan ANOVA dan uji lanjut
menggunakan uji beda nyata terkecil Duncan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa
tidak ada interaksi antara kedua faktor (jenis karbohidrat dan penambahan EDM) pada
semua peubah yang diamati. Penambahan EDM sangat nyata menurunkan bobot badan
dan konsumsi (P<0,01), menurunkan kecernaan ransum dan kadar glukosa darah
(P<0,05). Dapat disimpulkan bahwa penambahan EDM dalam bentuk pasta menurunkan
sifat fisik ransum sehingga menurunkan jumlah konsumsi.
Kata-kata kunci : murbei, hidrolisis, karbohidrat, deoxynojirimycin, mencit
ABSTRACT
Inhibition of Mullberry Leaf Extract on Carbohydrate
Hidrolysis in Mice (Mus musculus)
Ramdania, W., K. G. Wiryawan and S. Syahrir
Mulberry leaves have a great potential as animal feeds because it has high nutrient
content, but it can not be used in large quantity for animal feed due to the presence of 1deoxynojirimycin (DNJ) compound that can inhibit carbohydrate hydrolysis process into
monosaccharides. The objective of this experiment was to study the ability of mulberry
leaf extract in inhibiting the carbohydrate hydrolysis process. This experiment used
twenty four of 60 days old male mice (Mus musculus). Treatments were allocated in a
factorial completely randomized design (4x2) with three replications and two factors
consisted of four different carbon sources (glucose, maltose, sucrose, starch) and two
level mulberry leaf extract (0 %, 12.42%). The experiment was conducted for 2 weeks
with the adaptation periods during 3 days. Variables observed were feed consumption,
feed digestibility, daily body weight gain and blood glucose. The data were analyzed with
Analysis of Variance and Duncan Multiple Range Test. The experiment results show that
nothing interaction among two factor (four different carbon sources and the addition of
mulberry leaf extract). The experimental results show that the addition of mulberry leaf
extract significantly (P<0.01) reduced daily body weight gain and consumption, reduced
(P<0.05) feed digestibility and blood glucose.
Keywords : mulberry, hydrolysis, carbohydrate, deoxynojirimycin, mice
DAYA HAMBAT EKSTRAK DAUN MURBEI TERHADAP
HIDROLISIS KARBOHIDRAT PADA
MENCIT (Mus musculus)
WITRA RAMDANIA
D24104062
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 14 Mei 1986 di Sumenep, Madura. Penulis adalah
anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Abdul Cholik (Alm) dan Ibu
Mariyatul Kiptiyah.
Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1998 di SDN Karangduak I, pendidikan
lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SMPN I Sumenep dan
pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2004 di SMUN I Sumenep.
Pada tahun 2004 Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama mengikuti pendidikan, Penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Nutrisi dan
Makanan Ternak
Pakan.
(HIMASITER) periode 2005-2006 pada Biro Nutrisi dan Industri
DAYA HAMBAT EKSTRAK DAUN MURBEI TERHADAP
HIDROLISIS KARBOHIDRAT PADA
MENCIT (Mus musculus)
Oleh
WITRA RAMDANIA
D24104062
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan
Komisi Ujian Lisan pada tanggal 14 Mei 2008
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Komang G. Wiryawan
NIP. 131 671 601
Ir. Syahriani Syahrir, M.Si.
NIP. 131 902 623
Dekan
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc. Agr.
NIP. 131 955 31
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmaanirrohim,
Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
atas segala nikmat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi yang berjudul “Daya Hambat Ekstrak Daun Murbei terhadap Hidrolisis
Karbohidrat pada Mencit (Mus musculus)” yang ditulis berdasarkan hasil penelitian
selama satu bulan (Agustus sampai September 2007) di Pusat Penelitian Sumberdaya
Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.
Ketersediaan pakan berkualitas dengan harga yang murah sangat diharapkan.
Daun murbei memiliki potensi sebagi bahan pakan dengan kandungan nutrien yang baik
serta mudah dibudidayakan. Pada penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya
menunjukkan penurunan produksi pada ayam dan babi pada penggunaan daun murbei
sampai 15 dan 10% dalam ransum. Penurunan produksi diakibatkan adanya senyawa
pembatas dalam daun murbei yaitu deoxynojirimicyn (DNJ) sebagai penghambat proses
hidrolisis karbohidrat . Pada penelitian ini digunakan ekstrak daun murbei (EDM) yang
mengandung DNJ 0,12% untuk mengetahui pengaruhnya terhadap produktivitas mencit.
Skripsi ini ditulis untuk memberikan informasi tentang penggunaan daun murbei. Hewan
percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah mencit. Skripsi ini akan
menguraikan pengaruh EDM terhadap proses hidrolisis karbohidrat, yang ditunjukkan
dengan peubah-peubah yang diamati.
Proses pembuatan skripsi ini berlangsung melalui berbagai tahapan yang
diuraikan pada bagian isi. Diharapkan skripsi ini dapat bermanfaat baik untuk kalangan
akademis sebagai referensi dan juga untuk para peternak.
Bogor, Mei 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ............................................................... .........................
ii
ABSTRACT ...........................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP ...............................................................................
v
KATA PENGANTAR ...........................................................................
vii
DAFTAR ISI ...........................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ...................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
xii
PENDAHULUAN ...................................................................................
1
Latar Belakang ...........................................................................
Tujuan .........................................................................................
1
2
TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................
3
Murbei (Morus alba Lour) .........................................................
Senyawa 1-Deoxynojirimycin ...................................................
Karbohidrat .................................................................................
Pertambahan Bobot Badan .........................................................
Kecernaan Ransum .....................................................................
Konsumsi Ransum ......................................................................
Palatabilitas .................................................................................
Glukosa Darah ...........................................................................
Mencit .........................................................................................
3
7
8
14
14
16
16
17
19
METODE ..............................................................................................
24
Lokasi dan Waktu .......................................................................
Materi .........................................................................................
Hewan dan Kandang Percobaan .....................................
Ransum ..........................................................................
Prosedur ......................................................................................
Pemeliharaan Ternak .....................................................
Pembuatan Ekstrak Daun Murbei (EDM) .......................
Pembuatan Ransum .......................................................
Rancangan Percobaan ................................................................ .
Peubah ......................................................................... ....
Analisis Data ..................................................................
24
24
24
24
25
25
25
26
26
27
28
HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................
29
Perubahan Bobot Badan .............................................................
29
Kecernaan Ransum ...................................................................
Konsumsi Ransum ......................................................................
Kadar Glukosa Darah .................................................................
32
35
37
KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................
39
Kesimpulan ...............................................................................
Saran ...........................................................................................
39
39
UCAPAN TERIMAKASIH ...................................................................
40
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
41
LAMPIRAN
45
..............................................................................
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Komposisi Nutrien Daun Murbei ...............................................
5
2. Klasifikasi Karbohidrat ..............................................................
9
3. Sifat Fisiologis mencit ............................ ...................................
22
4. Vitamin dan Mineral Mencit Pakan Mencit ................................
23
5. Susunan Pakan Perlakuan ..........................................................
24
6. Komposisi Daun Murbei (Morus alba) ......................................
25
7. Rataan Hasil Pengamatan PBB, Kecernaan, Konsumsi
dan Kadar Glukosa Darah Darah selama Pemeliharaan .............
29
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Daun Murbei (Morus alba L.) ....................................................
3
2. Senyawa Deoxinojirimycin .......................................................
7
3. Struktur Glukosa ........................................................................
11
4. Struktur Maltosa .........................................................................
12
5. Struktur Sukrosa ........................................................................
12
6. Struktur Pati ..............................................................................
13
7. Skema pembuatan Ekstrak Daun Murbei .................................
26
8. Perubahan Bobot Badan dengan Perlakuan Karbohidrat ..........
30
9. Perubahan Bobot Badan dengan Perlakuan tanpa Pemberian
EDM (B0) dan dengan Pemberian EDM (B1) ...........................
31
10. Kecernaan Ransum dengan Perlakuan Karbohidrat .................
34
11. Kecernaan Ransum pada Mencit yang tidak diberi EDM (B0)
dengan Penambahan EDM (B1) ...............................................
34
12. Konsumsi Ransum Mencit yang tidak diberi EDM (B0) dan
diberi EDM (B1) ........................................................................
36
13. Kadar Glukosa Darah tanpa Pemberian EDM (B0) dan
dengan Pemberian EDM (B1) ....................................................
38
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Komposisi Mineral per 100 gram ..............................................
46
2. Komposisi Vitamin ...................................................................
46
3. Sidik Ragam Perubahan Bobot Badan (PBB).............................
46
4. Uji Lanjut Duncan Perubahan Bobot Badan (PBB) .................
46
5. Sidik Ragam Kecernaan Ransum ...............................................
47
6. Uji Lanjut Duncan Kecernaan Ransum ...................................
47
7. Sidik Ragam Konsumsi Ransum ..............................................
47
8. Sidik Ragam Kadar Glukosa Darah ..........................................
47
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberhasilan suatu usaha peternakan ditentukan oleh efisiensi penggunaan pakan
karena hampir 80% biaya produksi ditentukan oleh biaya pakan. Usaha peternakan sangat
membutuhkan pakan yang memiliki kandungan nutrisi tinggi serta ketersediaannya yang
kontinyu. Daun murbei berpotensi baik sebagai sumber pakan alternatif karena
kandungan proteinnya cukup tinggi yaitu sebesar 20,4% (Machii et al., 2000).
Daun murbei dapat dipanen sepanjang tahun karena tidak mengalami masa
istirahat, hanya mengalami penurunan produksi sekitar 7 ton/ha bahan kering dari
produksi normal pada saat irigasi baik yaitu 25 ton/ha. Pohon murbei dapat tumbuh
dengan baik di daerah tropis. Hal tersebut menunjukkan bahwa pohon murbei cocok
dibudidayakan di seluruh Indonesia, sehingga dapat digunakan dalam jumlah yang tinggi
sebagai pakan ternak namun demikian sebelum digunakan dan diberikan pada ternak
secara terus-menerus perlu dilakukan pengamatan mengenai kandungan nutrisi dalam
daun murbei untuk mengetahui level pemberian efisien pada ternak.
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian mengenai optimalisasi substitusi
konsentrat dengan daun murbei sebagai pakan ternak ruminansia (sapi potong) dan
jerami padi sebagai limbah pertanian yang cukup melimpah. Faktor pembatas
pemanfaatan limbah pertanian khususnya jerami padi sebagai pakan adalah rendahnya
kandungan nutrien esensial seperti protein, energi, mineral dan vitamin. Karbohidrat
struktural yang mendominasi komposisi nutrien jerami padi mengakibatkan kecernaannya
rendah, maka pemanfaatan jerami padi dalam ransum harus diimbangi dengan upaya
peningkatan fermentabilitasnya dalam sistem rumen. Peningkatan fermentabilitas bahan
pakan dilakukan dengan menyediakan karbohidrat non struktural (readily available
carbohydrate/RAC) dan amonia/nitrogen secara seimbang dan berkesinambungan dalam
sistem rumen.
Penyediaan RAC yang berkesinambungan umumnya dilakukan dengan
pemberian konsentrat, namun konsentrat yang tinggi dalam ransum dapat mengakibatkan
dominasi bakteri homofermentatif asam laktat dalam sistem rumen. Dominasi bakteri
tersebut memicu akumulasi asam laktat, sehingga keseimbangan mikroba rumen
terganggu, bahkan konsentrasi RAC yang ekstrim dalam sistem rumen dapat
mengakibatkan kematian.
Oku et al. (2006) melaporkan adanya kandungan senyawa 1- deoxynojirimycin
(DNJ) sebanyak 0,24% dalam ekstrak daun murbei (EDM). Senyawa ini memiliki potensi
menghambat proses hidrolisis berbagai jenis karbohidrat dan bekerja secara spesifik,
sehingga dapat digunakan sebagai agen lepas lambat RAC untuk mempertahankan
stabilitas asam laktat dalam rumen. Senyawa DNJ menghambat aktivitas α-glukosidase
dalam usus kecil dan juga menghambat hidrolisis disakarida (Yatsunami et al., 2003).
Kajian mengenai pengaruh penggunaan daun murbei pada sistem pasca rumen, dilakukan
pada mencit untuk mengetahui dampak senyawa DNJ yang diestimasi sebesar 0,12%
dalam ransum sebagai penghambat proses hidrolisis karbohidrat.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan ekstrak daun murbei yang
mengandung senyawa DNJ sebagai penghambat hidrolisis karbohidrat (glukosa, maltosa,
sukrosa dan pati) serta pengaruhnya terhadap produktivitas mencit.
TINJAUAN PUSTAKA
Murbei (Morus alba Lour)
Murbei banyak mempunyai nama lokal antara lain Kerta, kitau (Sumatra);
murbai, besaran (Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali), gertu (Sulawesi), kitaoc (Sumatra
Selatan), kitau (Lampung), mourbei (Belanda), mulberry (Inggris), gelsa (Italia) dan
murles (Perancis). Tanaman murbei diklasifikasikan sebagai berikut (Samsijah dan
Andadari, 1992) :
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledone
Ordo
: Urticales
Famili
: Moraceae
Genus
: Morus
Spesies
: Morus sp
Gambar 1. Daun murbei (Morus alba L.)
Sumber: Huakang (2007)
Bentuk tanaman
Tanaman Murbei memiliki tinggi mencapai 9 m, bercabang banyak dengan
cabang muda berambut halus. Daun tunggal dan bertangkai dengan letak berseling,
bentuk bulat telur, berujung runcing, berpangkal tumpul, tepi bergerigi, serta
permukaannya kasar. Bunga majemuk berbentuk tandan keluar dari ketiak daun. Mahkota
bunga berwarna putih. Buahnya berupa buah buni, berair dan rasanya enak. Kulit buah
saat masih muda hijau, kemudian berubah merah, dan saat masak kehitaman. Tanaman
ini sering dijumpai di daerah dataran rendah maupun dataran tinggi yang cukup mendapat
sinar matahari. Perbanyakan dilakukan dengan stek batang dan okulasi.
Spesies murbei diklasifikasikan berdasarkan struktur bunga, buah, daun dan cabang
(Samsijah dan Andadari, 1992).
1. Morus alba L.,
Daun murbei ini berwarna coklat tua dan kecil. Kandungan airnya cenderung
lebih kecil dibanding jenis murbei yang berdaun lebar. Jenis ini memiliki
ujung ranting muda berwarna sedikit merah, tangkai yang berumur satu tahun
berwarna coklat, batang lurus, percabangan muka keluar atau tumbuh pada
bagian tengah dari batang utama. Panjang buku 7-8 cm.
2. Morus multicaulis P.,
Daun Morus multicaulis berwarna hijau muda dan lebar, ukuran daun besar,
kaku dan permukaan daun kasar serta bergelombang. Memiliki ujung ranting
dan tangkai daun muda tidak berwarna merah. Batang yang berumur satu
tahun berwarna coklat keputihan, bentuk percabangan lurus atau melengkung,
cabang keluar dari bagian tengah, dan buku sedikit panjang.
2. Morus cathayana A.,
Daun murbei ini memiliki keunggulan- keunggulan yaitu koefisien cerna lebih
tinggi serta memberikan kualitas kokon terbaik pada ulat sutra, palatabilitas
dan kecernaan daun murbei ini juga baik dibandingkan jenis lainnya, serta
memiliki kandungan vitamin A yang lebih tinggi (Ekastuti, 1996). Jenis ini
memiliki ujung ranting berwarna muda sedikit merah, tangkai daun muda
sedikit berwarna merah. Batang berumur satu tahun berwarna sedikit coklat,
bentuk pertumbuhan batang lurus serta daun berwarna hijau tua dan lebar.
Perbedaan komposisi nutrien yang lebih jelas diantara ketiga jenis daun diatas tersaji
dalam Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Nutrien Daun Murbei
Jenis daun
Kadar Air
PK
LK
%
SK
BETN
Abu
Energi
(Kal/g)
Morus alba
- daun muda
- daun tua
69,89
69,50
22,59
22,10
4,10
6,09
10,21
10,57
53,26
46,81
9,83
14,43
4522
4241
Morus cathayana
- daun muda
- daun tua
73,69
70,78
19,09
16,39
3,71
5,46
8,45
16,80
59,53
47,61
9,22
14,08
4408
4248
Morus multicaulis
- daun muda
- daun tua
74,64
75,13
21,99
19,66
3,70
5,09
12,56
16,86
51,85
44,32
9,9
14,05
4519
3541
Sumber : Ekastuti (1996)
Ekastuti (1996) juga menyatakan bahwa kandungan mineral dan kalsium ketiga
jenis daun murbei ini tidak jauh berbeda. Umumnya kandungan kalsium daun muda lebih
rendah daripada daun tua, sedangkan kandungan fosfor daun muda relatif lebih besar
daripada daun tua. Kandungan asam amino pada daun tua dan daun muda mirip, seperti
glutamat, aspartat, leusin dan treonin dalam jumlah terbanyak. Bagian tanaman murbei
yang digunakan yaitu daun, buah dan kulit akar.
Kandungan zat aktif
Daun Murbei mengandung ekdisteron, inkosteron, lupeol, β-sitosterol, ritin,
morakatein, isoquersetin, skopoletin, skopolin, α- heksenal, β-heksenal, cis-β-heksenol,
cis-β-heksenol, cis-t-heksanol, benzaldehid, eugenol, linanol, benzil alkohol, butilamin,
trigonelin, cholin, adenin, asam amino, vitamin A, vitamin B, vitamin C, karoten, asam
fumarat, asam folat, asam formiltetrahidrofoli, mioinositol, logam seng dan tembaga.
Daun murbei memiliki efek farmakologi dapat menurunkan tekanan darah anjing
percobaan bila diberikan secara intravena dengan tekanan 1 ml/kg berat badan. Daun
murbei banyak digunakan untuk memperlancar gas dari saluran pencernaan (karmunatif),
memperlancar pengeluaran keringat (diaforetik), memperlancar pengeluaran air kencing
(diuretik), menurunkan panas badan (antipiretik), meningkatkan kemampuan melihat dan
menurunkan tekanan darah.
Syarat Tumbuh Tanaman Murbei
Tanaman murbei sangat cocok ditanam pada lahan terbuka karena membutuhkan
banyak cahaya untuk dapat tumbuh baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi
(Atmosoedarjo et al., 2000). Pertumbuhan murbei pada daerah tropis berlangsung setiap
tahun tanpa mengalami masa istirahat, sedangkan di daerah subtropis pada musim dingin
mengalami masa istirahat dan pertumbuhannya terhenti. Tanaman murbei di daerah tropis
pada saat musim kemarau produksinya menurun dibanding produksi pada
musim
penghujan. Hal ini disebabkan oleh faktor air tanah yang mengakibatkan produksi daun
pada musim kemarau menurun, kecuali pada perkebunan murbei yang mendapat
pengairan (Samsijah dan Andadari, 1992). Daun murbei dapat dipanen sepanjang tahun,
hanya mengalami penurunan produksi sekitar 7 ton BK/ha dari produksi normal saat
irigasi baik yaitu 25 ton BK/ha. Produksi optimal dicapai pada suhu 24-280C dan
kelembaban udara 65-80%. Pohon murbei dapat ditanam di daerah dengan ketinggian
dari permukaan laut mulai 1000 m (FAO, 2002).
Daun Murbei sebagai Pakan
Daun murbei memiliki tingkat produksi yang cukup tinggi, pada frekuensi
pemotongan 90 hari diperoleh hasil yang terbaik yaitu 25 ton bahan kering per hektar
setiap tahun atau 1031 gram BK/pohon/tahun (Martin et al., 1998). Penelitian yang
dilakukan oleh Ezpinosa (1996) menyatakan bahwa komposisi nutrien dalam bahan
kering daun murbei (PK 23%) cukup tinggi dibanding tanaman makanan ternak yang lain
seperti rumput gajah (PK 8,2%) maupun konsentrat (PK 17,7%) serta daun murbei
memiliki tingkat energi tercerna yang tinggi. Tepung daun murbei banyak digunakan
sebagai campuran pakan ternak monogastrik sampai 20% menggantikan penggunaan
konsentrat. Pemberian tepung daun murbei sebanyak 15% pada babi mampu
meningkatkan pertambahan bobot badan menjadi 740 g/hari dari 680 g/hari dengan
pemberian konsentrat saja (Sanchez, 1994).
Senyawa 1-Deoxynojirimycin
Pertama kali deoxynojirimycin diisolasi dari akar tanaman murbei, pada tahun
1976 dan diberi nama moroline. DNJ (C6H13NO4) diketahui dapat menekan kadar
glukosa darah, sehingga dapat mencegah diabetes (Kimura et al., 2004).
Senyawa
deoxynojirimycin (DNJ) merupakan kumpulan stereokimia dari monosakarida yang
memiliki potensi menghambat seramida glukosiltransferase dan (α, β) glukosidase secara
spesifik. Contohnya, N-butil DNJ digunakan untuk mengurangi sintesa substrat
glikolipida (Mellor et al., 2002). Penghambatan kerja enzim α-glukosidase dengan Nbutil DNJ, menyebabkan tidak terjadi interaksi glikoprotein dengan retikulum
endoplasmik dan pembentukan glikoprotein antara. Menurut Oku et al. (2006), derivat
DNJ berupa D-glukosa mampu menghambat α-glukosidase usus dan α-glukosidase
pankreas, sehingga DNJ dapat menghambat pemecahan oligosakarida. Komponen
penghambat tersebut tersebar dalam daun dan akar murbei. Berikut rumus struktur
senyawa deoxynojirimycin (Gambar 2).
Gambar 2. Senyawa Deoxinojirimycin
Daun murbei (Morus alba, L) telah digunakan sebagai obat tradisional, sebagai
anti penyakit diabetes dan anti hiperglisemik (Yatsunami et al., 2003). Komponen daun
murbei seperti DNJ, α-arylbenzofuran alkaloid menghambat aktivitas α-glukosidase
dalam usus kecil dan juga mencegah hidrolisis disakarida (Yatsunami et al., 2003). Hock
dan Elstner (2005) menyatakan bahwa senyawa DNJ bersifat menghambat aktivitas αglukosidase secara kompetitif, namun tidak menghambat aktivitas ß-glukosidase, α dan
ß-mannosidase maupun ß-galaktosidase.
Mekanisme Kerja 1-Deoxynojirimycin
Deoxynojirimycin merupakan analog glukosa yang memiliki kemampuan untuk
menghambat glukosidase. DNJ juga mengikat bagian ikatan substrat aktif glukosidase I,
II dan berperan sebagai penghambat yang kompetitif, yaitu berkompetisi dengan substrat
untuk melekat pada sisi aktif enzim glukosidase selama proses katalisis berlangsung oleh
enzim (Hettkamp et al., 1984). Bagian nitrogen dari DNJ telah diketahui dapat
dikembangkan menjadi inhibitor spesifik glukosidase dan glikosiltransferase, seperti 100
lebih nitrogen sintesis yang disubstitusikan dalam analog DNJ. Nitrogen yang
disubsitusikan pada DNJ sintesis, akan mengubah derajat keasaman sehingga berpotensi
mempengaruhi aktivitas menghambat secara spesifik komponen campuran (Overkleeft et
al., 1998).
Senyawa 1-deoxynojirimycin bekerja secara spesifik dalam menghambat proses
glikogenesis, dalam memecah oligosakarida. Senyawa 1-deoxynojirimycin tidak
memblok proses semua tipe oligosakarida ( Gross et al., 1983). Salah satu alpha
glukosidase inhibitor, yaitu N-Methyl 1-Deoxynojirimycin bekerja menurunkan nilai
glycogenolytic dengan menghambat alpha 1,6 glukosidase dalam glikogen serta sekresi
enzim di hati. Selanjutnya, pembentukan zat anti hyperglycemic dilakukan dengan
memblokir pembentukan alpha 1,4 glukosidase dalam usus (Arai et al., 1998).
Karbohidrat
Karbohidrat termasuk dalam bahan organik. Jumlah karbohidrat dalam tubuh
hewan lebih kecil dari tumbuhan, karena tumbuhan menyimpan cadangan makanannya
dalam bentuk karbohidrat sedangkan hewan, menyimpan dalam bentuk lemak dan
glikogen (Manalu, 1999). Karbohidrat biasanya dibagi menjadi dua golongan pokok,
yaitu gula dan non gula (Tillman et al., 1984). Fungsi utama karbohidrat dalam
metabolisme adalah sebagai bahan bakar oksidasi dan menyediakan energi untuk proses
metabolisme lainnya. Monosakarida utama yang dihasilkan oleh proses pencernaan
adalah glukosa, fruktosa dan galaktosa. Baik fruktosa maupun galaktosa dapat diubah
menjadi glukosa oleh hati (Rodwell, 1977).
Pencernaan dan Penyerapan Karbohidrat
Karbohidrat dalam pakan sebagian besar adalah polimer heksosa diantaranya
yang paling penting adalah glukosa, galaktosa dan fruktosa (Ganong, 1999). Karbohidrat
makanan bisa dalam bentuk sederhana (monomerik dan dimerik). Pencernaan karbohidrat
kompleks dimulai dalam mulut dengan amilase saliva yang menghidrolisis pati (amilosa,
amilopektin, glikogen) menjadi unit-unit yang kecil sampai mencapai usus kecil bagian
atas. Disini enzim pankreas dan intestin, terutama amilase pankreas mereduksi kompleks
karbohidrat menjadi unit-unit dimerik, terutama maltosa (glukosa). Sintesis amilase
pankreas diatur oleh insulin (Linder, 1992). Bentuk karbohidrat yang lebih besar dari
monosakarida yang dapat diserap langsung ke dalam aliran darah dan apabila diberikan
secara parental akan dieliminasi dan dianggap sebagai glukosa lain berasal dari berbagai
senyawa glukogenik, seperti berbagai asam amino, propionat, laktat, juga bisa berasal
dari lintasan glikogenolisis (Girindra, 1988). Enzim pencernaan pankreas untuk
karbohidrat adalah amilase pankreas yang akan menghidrolisis serat, glikogen dan
sebagian besar karbohidrat lain, kecuali selulosa untuk membentuk disakarida dan
beberapa trisakarida. Hasil akhir dari pencernaan adalah 80% berupa glukosa dan
masing-masing 10% lainnya adalah fruktosa dan galaktosa (Guyton dan Hall, 1996).
Tabel 2. Klasifikasi Karbohidrat
Jenis
GULA
Monosakarida
Contoh
: gliseraldehida, dihidroksiaseton
Triosa (C3H6O3)
Tetrosa (C4H6O4) : eritrosa
Pentosa(C5H10O5) : arabinosa
Heksose (C6H10O6) : fruktosa, galaktosa, glukosa
mannosa
Disakarida
(C12H22O11)
Selobiosa, laktosa, maltosa, sukrosa, trehalosa
Trisakarida
(C18H32O16)
Rafinosa
Tetrasakarida
(C24H42O21)
NON
GULA
Homopolisakarida
Heteropolisakarida
Sumber: Tillman et al. (1984)
Stakiosa
Pentosan, araban, xilan
Heksosan, glukan, dekstrin, glikogen, selulosa,
fruktan, inulin, levan
Hemiselulosa, gummi, musilagi, zat peptik,
mukosakarida dari hewan
Hormon-hormon yang berperan dalam regulasi karbohidrat
Hormon insulin dan glukagon mempunyai fungsi penting dalam regulasi
metabolisme karbohidrat. Insulin bersifat anabolik yang meningkatkan penyimpanan
glukosa, asam lemak dan asam amino. Glukagon bersifat katabolik yang memobilisasi
glukosa, asam lemak dan asam amino cadangan ke dalam aliran darah. Sehingga dua
hormon ini timbal balik dalam kerja secara keseluruhan dan dalam sifat sekresinya
(Ganong, 1999).
Insulin merupakan suatu polipeptida yang mengandung 2 rantai asam amino yang
dihubungkan oleh jembatan disulfida. Insulin bersifat antigen, jika insulin dari suatu
spesies disuntikkan untuk masa yang lama ke dalam spesies lain, maka akan terbentuk
antibodi antiinsulin yang menghambat insulin yang disuntikkan. Insulin disintesis dalam
retikulum endoplasma sel B, kemudian diangkut ke aparat Golgi dan dibungkus dalam
granula yang diikat membran.
Aktivitas insulin diukur dengan menentukan konsumsi glukosa dan pertukaran
gas dalam jaringan adiposa, maka hanya 7% aktivitas insulin plasma dapat ditekan oleh
antibodi anti insulin, selanjutnya 93% sisanya disebut aktivitas insulin yang tidak tertekan
NSILA (nonsuppressible insulinlike activity) karena tidak dipengaruhi antibodi. Titik
utama aktivitas insulin lebih ditentukan NSILA, kerja tambahan insulin diperlukan untuk
mempertahankan metabolisme glukosa dalam batas normal.
Metabolisme insulin hampir ditemui pada semua jaringan tubuh. Waktu paruh
insulin di dalam sirkulasi darah manusia sekitar 5 menit, lebih dari 80% insulin yang
disekresikan dengan normal dipecah di dalam hati dan ginjal. Enzim yang terlibat dalam
pemutusan hubungan disulfida di dalam hati adalah enzim glutation insulin
transhidrogenase (Ganong, 1999).
Glukosa
Glukosa merupakan bentuk karbohidrat monosakarida heksosa (C6H12O6).
Glukosa memiliki 4 karbon simetris dan 16 isomer, jenis isomer yang penting diataranya
isomer –D dan –L memiliki gugus OH pada atom karbon berada disebelah kanan,
sedangkan isomer –L memiliki gugus sebalah kiri (Page, 1989). Sebelum glukosa dipakai
oleh sel-sel jaringan tubuh, glukosa harus ditransport melalui membran sel masuk ke
dalam sitoplasma sel, akan tetapi glukosa tidak dapat berdifusi melalui pori-pori sel
membran sebab berat molekul maksimal partikel yang dapat melakukannya adalah sekitar
100, sedangkan glukosa mempunyai berat molekul 180. Prinsipnya sebagai berikut:
sejumlah besar molekul protein-protein pembawa yang dapat bergabung dengan glukosa
melakukan penetrasi melalui membran sel matriks lipida, dalam bentuk ini, glukosa dapat
diangkut oleh karier dari sisi membran ke sisi lainnya dan dibebaskan oleh karena itu,
jika konsentrasi glukosa lebih besar pada satu sisi membran daripada sisi lainnya, maka
akan lebih banyak glukosa diangkut dari daerah konsentrasi tinggi daripada dari sisi yang
berlawanan. Segera setelah masuk ke dalam sel, glukosa bergabung dengan salah satu
radikal fosfat yang sesuai dengan tambahan ATP akan berubah menjadi glukosa 6-fosfat
(Guyton dan Hall, 1996). Berikut struktur glukosa (Gambar 3).
(α- D- glukopiranosa)
Gambar 3. Struktur glukosa
Glikolisis merupakan lintasan utama bagi penggunaan glukosa dan ditemukan
dalam semua sel tubuh. Lintasan glikolisis merupakan lintasan yang unik, karena lintasan
ini dapat menggunakan oksigen bila oksigen tersedia (aerob) atau bisa pula bekerja dalam
keadaan tanpa oksigen (anaerob). Glikolisis merupakan lintasan yang ditemukan dalam
sitosol semua sel mamalia bagi metabolisme glukosa menjadi piruvat dan laktat
(Muchtadi et al., 1997).
Maltosa
Maltosa merupakan disakarida yang paling sederhana, mengandung dua residu Dglukosa yang dihubungkan oleh suatu ikatan glikosida diantara atom karbon 1 (karbon
anomer) dari residu glukosa yang pertama dan atom karbon 4 dari glukosa yang kedua
(Gambar 4). Maltosa adalah gula pereduksi karena gula ini memiliki gugus karbonil yang
berpotensi bebas dan dapat dioksidasi. Residu glukosa kedua dari maltosa dapat berada
dalam bentul alfa dan beta. Maltosa dihidrolisa menjadi dua molekul D-glukosa oleh
enzim usus maltase, yang bersifat spesifik bagi ikatan α(1,4) Pencernaan disakarida yang
masuk melalui makanan mengalami proses hidrolisa secara enzimatik di dalam sel-sel
yang membatasi usus kecil, menghasilkan unit-unit heksosa (Lehninger, 1994).
Maltosa + H2O
maltase
D- glukosa + D-glukosa
(4-D-α-glukopiranosil-D-glukosa)
Gambar 4. Struktur maltosa
Sukrosa
Sukrosa atau gula tebu adalah disakarida dari glukosa dan fruktosa. Sukrosa
dibentuk oleh banyak tanaman, tetapi tidak terdapat pada hewan tingkat tinggi.
Berlawanan dengan maltosa dan laktosa, sukrosa tidak mengandung atom karbon anomer
bebas karena karbon anomer kedua komponen unit monosakarida pada sukrosa berikatan
satu dengan yang lain, oleh sebab itu sukrosa bukan sebagai gula pereduksi. Sukrosa
merupakan hasil fotosintesis antara yang utama (Lehninger, 1994). Berikut struktur
sukrosa (Gambar 5).
Sukrosa + H2O
sukrase
D- fruktosa + D-glukosa
(ß-D-fruktopiranosil-α-D-glukopiranosida)
Gambar 5. Struktur sukrosa
Pati
Komponen pati ditemukan dalam jumlah tinggi pada golongan umbi-umbian.
Kemampuan membentuk pati dijumpai pada hampir semua sel tanaman. Pati
mengandung dua jenis polimer glukosa, α-amilosa dan amilopektin. α-amilosa terdiri dari
rantai unit-unit D-glukosa yang panjang dan tidak bercabang digabungkan oleh ikatan
α(1,4) (Gambar 6). Amilopektin juga memiliki berat molekul yang tinggi, tetapi
strukturnya bercabang tinggi. Ikatan glikosidik yang menggabungkan residu glukosa
yang berdekatan di dalam rantai amilopektin adalah ikatan
α(1,4), tetapi titik
percabangan amilopektin merupakan ikatan α(1,6) (Lehninger, 1994).
Pati dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis berdasarkan respon pati tersebut
terhadap enzim. Jenis pati pertama adalah rapidly digestible starch (RDS). RDS adalah
jenis pati yang dapat dihidrolisis sepenuhnya oleh enzim amilase menjadi molekulmolekul glukosa dalam waktu 20 menit. Jenis kedua adalah slowly digestible starch
(SDS). Jenis pati ketiga adalah resistant starch (RS) yaitu fraksi kecil dari pati yang
resisten (tahan) terhadap hidrolisis oleh enzim α-amilase dan enzim pululanase yang
diberikan secara in vitro. RS tidak terhidrolisis setalah 120 menit inkubasi. Pati yang
sampai ke usus besar akan difermentasi oleh mikroba usus, oleh karena itu sekarang RS
didefinisikan sebagai fraksi dari pati yang dapat lolos dari pencernaan pada usus halus.
Secara kimia RS adalah selisih dari kadar pati total dengan RDS dan SDS (Sajilata et al.,
2006). RS merupakan bagian dari pati yang tidak dapat dicerna oleh usus halus manusia
yang sehat (pencernaan tidak terganggu).
Gambar 6. Struktur pati
Pertambahan Bobot Badan
Pertumbuhan adalah penambahan jumlah sel dan ukurannya (Anggorodi, 1973).
Menurut McDonald et al. (2002) pertumbuhan ternak ditandai dengan peningkatan
ukuran, bobot dan adanya perkembangan. Pertumbuhan ternak digambarkan seperti kurva
sigmoid yang menggambarkan pertumbuhan dari lahir sampai dewasa (Anggorodi, 1995).
Tillman et al. (1991) melaporkan bahwa pertumbuhan umumnya dinyatakan
dengan bobot badan yang dilakukan dengan cara penimbangan berulang-ulang.
Pengukuran bobot badan berguna untuk menentukan tingkat konsumsi, efisiensi pakan
dan harga (Parakkasi, 1999). Pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain jenis ternak, umur, keadaan genetis, lingkungan, kondisi fisiologis ternak dan
tata laksana (NRC, 1985). Wahju (1985) menambahkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan adalah jenis kelamin, energi metabolis pakan, kandungan
protein pakan dan suhu lingkungan. Kekurangan zat makanan dapat memperlambat
puncak pertumbuhan lemak. Arifiyanti (2002) melaporkan bahwa apabila kandungan zatzat makanan dalam pakan memenuhi batas kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan,
maka jumlah pakan yang dikonsumsi akan lebih tinggi dan akan memberikan respon
pertumbuhan yang lebih baik.
Kecernaan Ransum
Kecernaan merupakan suatu proses penyerapan oleh saluran pencernaan yang
menghasilkan energi untuk memenuhi keperluan tubuh yang meliputi perbaikan,
pertumbuhan dan reproduksi (Piliang dan Djojosoebagio, 1990). Kecernaan makanan
dapat didefinisikan sebagai jumlah pakan yang diserap oleh tubuh hewan atau yang tidak
disekresikan melalui feses. Kecernaan pakan dipengaruhi beberapa faktor antara lain jenis
hewan, cara pengolahan, komposisi nutrien bahan pakan dan jumlah pakan yang
dikonsumsi (McDonald et al., 2002). Tillman et al. (1991) juga menyebutkan faktorfaktor yang mempengaruhi kecernaan terdiri dari beberapa hal:
1. Komposisi pakan
Komposisi pakan menentukan besarnya kecernaaan suatu pakan dalam saluran
pencernaan. Bahan pakan yang mengandung banyak serat kasar (SK) akan lebih sulit
dicerna oleh hewan monogastrik karena tidak memiliki enzim yang mampu mencerna
bahan pakan tersebut dalam saluran pencernaan. Pakan yang berasal dari tanaman,
bila semakin tua umurnya maka kandungan serat kasarnya akan semakin meningkat.
Panambahan 1% SK dalam pakan akan menurunkan kecernaan bahan organik
sebesar 0,7-1 unit pada ruminansia dan 1,4-2 unit pada babi.
2.
Daya cerna semu protein
3.
Kandungan lemak
Umumnya kandungan lemak dalam pakan yang rendah akan memberikan pengaruh
yang kecil terhadap nilai kecernaan.
4. Keseimbangan komposisi zat-zat makanan dalam ransum
Daya cerna ransum yang terdiri dari beberapa bahan pakan akan memberikan nilai
yang berbeda dengan satu jenis bahan saja.
5. Cara penyajian ransum
Sebelum pakan diberikan pada hewan, umumnya pakan tersebut diolah terlebih
dahulu. Pengolahan yang dilakukan akan mempengaruhi nilai kecernaan bahan
tersebut pada saat melalui saluran pencernaan hewan.
6. Faktor hewan
Hewan ruminansia dan non ruminansia akan memiliki kemampuan yang berbeda
dalam mencerna serat.
7. Jumlah pakan yang dikonsumsi
Semakin banyak jumlah pakan yang dikonsumsi maka akan mendorong pakan yang
telah ada di saluran pencernaan untuk keluar dengan cepat sehingga mampu
menurunkan nilai kecernaan.
Kecernaan merupakan suatu parameter yang menunjukkan berapa banyak dari
pakan yang dikonsumsi yang dapat diserap oleh
tubuh, karena dalam suatu proses
pencernaan selalu ada bagian pakan yang tidak dapat dicerna dan dikeluarkan dalam
bentuk feses. Nilai kecernaan dapat menggambarkan kemampuan hewan mencerna suatu
pakan, selain itu nilai kecernaan dapat menentukan kualitas pakan yang dikonsumsi oleh
hewan. Kecernaan biasanya dinyatakan dalam persen dari bahan kering, apabila bagian ini
dinyatakan sebagai persen terhadap konsumsi maka disebut koefisien cerna (Anggorodi,
1995).
Konsumsi Ransum
Tingkat konsumsi adalah jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ternak, apabila
pakan tersebut diberikan secara ad libitum. Tingkat konsumsi atau voluntary feed intake
(VFI) dapat menggambarkan palatabilitas ransum. Pakan merupakan faktor penting yang
menjadi dasar hidup dan menentukan produksi. Faktor yang mempengaruhi konsumsi
adalah ternak yang bersangkutan, makanan yang diberikan dan lingkungan tempat ternak
tersebut dipelihara (Parakkasi, 1999). Menurut Siregar (1984) faktor yang mempengaruhi
tingkat konsumsi adalah jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas dan lingkungan, seperti
suhu lingkungan dan kelembaban udara. Suhu udara yang tinggi menyebabkan kurangnya
konsumsi pakan karena konsumsi air minum yang tinggi mengakibatkan penurunan
konsumsi energi. Arora (1989) manambahkan bahwa produktivitas hewan salah satunya
dapat dilihat dari jumlah konsumsi.
Jumlah konsumsi pakan sangat ditentukan oleh palatabilitas, ukuran partikel
pakan yang terlalu kecil akan meningkatkan laju aliran cairan dan laju aliran digesta
sehingga konsumsi pakan akan meningkat, demikian juga pengosongan lambung akan
lebih cepat (Arora,1989 ). Lebih lanjut dilaporkan bahwa konsumsi akan meningkat jika
diberikan pakan berdaya cerna lebih tinggi daripada yang berdaya cerna rendah.
Konsumsi yang meningkat akan mempengaruhi pertambahan bobot badan. Hasil
penelitian Syamsuhaidi (1997) menunjukkan bahwa konsumsi pakan yang tinggi diikuti
oleh pertumbuhan yang lebih baik.
Palatabilitas
Pemberian ransum atau pakan disamping harus memenuhi zat-zat nutrisi yang
dibutuhkan dalam jumlah tepat, pakan tersebut juga harus memenuhi syarat-syarat seperti
aman untuk dikonsumsi, palatable, ekonomis dan berkadar gizi yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan ternak. Palatabilitas adalan rasa dari bahan-bahan pakan atau pakan
itu sendiri sehingga mempengaruhi tingginya tingkat kosumsi pakan (Scott et al., 1982).
Palatabilitas ditentukan oleh rasa, bau dan warna pakan. Tingkat palatabilitas pakan yang
tinggi belum tentu dapat menjamin kelangsungan hidup hewan dengan baik karena jenis
pakan tersebut belum tentu mempunyai kandungan nutrisi yang sesuai dengan kebutuhan
hidupnya, tetapi sebagian ahli tentang palatabilitas menganggap bahwa tingkat
palatabilitas pakan lebih penting daripada nilai nutrisi pakan tersebut, karena pakan
dengan nilai nutrisi tinggi tidak akan berarti bila tidak disukai hewan (McIlroy, 1977).
Palatabilitas merupakan faktor yang menentukan sampai tingkat mana suatu
pakan menarik untuk dikonsumsi ternak. Tingkat palatabilitas tersebut dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti, hewan itu sendiri. Setiap jenis hewan memiliki tipe jenis pakan
yang disukai dan berbeda dengan hewan lainnya; kondisi pakan apakah pakan dalam
keadaan segar atau tidak serta kesempatan memilih pakan yang lain. McIlroy (1977)
menyatakan bahwa palatabilitas relatif dari jenis-jenis pakan yang berbeda dapat diketahui
dengan cara pemberian pakan pada hewan yang sengaja dikurung atau ditangkarkan dan
kemudian diamati tingkat kesukaannya. Pengelompokan pakan berdasarkan palatabilitas,
yaitu disukai (preferred) dan tidak disukai sedangkan berdasarkan ketersediaan bahan
pakan yaitu bahan pakan pokok (stapple), pakan pengisi atau tambahan (suffing) dan
bahan pakan dalam keadaan darurat.
Glukosa Darah
Kadar glukosa darah adalah suatu indikator klinis dari kurang atau tidaknya
asupan makanan sebagai sumber energi. Faktor yang menentukan kadar glukosa darah
adalah keseimbangan antara jumlah glukosa yang masuk dan glukosa yang keluar melalui
aliran darah. Hal ini dipengaruhi oleh masuknya makanan, kecepatan masuk ke dalam sel
otot, jaringan lemak dan organ lain serta aktivitas sintesis glikogen dari glukosa oleh hati
(Ganong, 1999). Kadar gula darah merupakan refleksi dari keadaan nutrisi, emosi dan
fungsi endokrin. Kadar glukosa darah normal hewan monogastrik berkisar 70-100
mg/100 ml, biasanya lebih tinggi dari hewan memamah biak yang berkisar 30-60 mg/100
ml (Girindra, 1988). Kadar glukosa darah normal dalam darah mencit berkisar antara 62175 mg/dl (Harkness dan Wagner, 1989). Pembentukan cukup banyak glukosa dan asam
amino dari gugus gliserol lemak terjadi pada saat simpanan karbohidrat tubuh berkurang
di bawah normal proses ini disebut glukogenesis. Sebesar 60% lebih asam amino dalam
protein tubuh dapat diubah menjadi karbohidrat sedangkan sisanya (40%) mempunyai
konfigurasi kimia yang menyulitkan perubahan tersebut (Guyton dan Hall, 1996).
Kadar glukosa plasma ditentukan oleh keseimbangan antara jumlah glukosa
yang masuk ke dalam aliran darah dan jumlah yang meninggalkannya. Penentu utama
masuknya glukosa ke dalam aliran darah adalah:
a. Zat makanan yang masuk.
b. Kecepatan pemasukan ke dalam sel otot, jaringan adipose dan organ-organ
lain.
c. Aktivitas glukostatik.
Lima persen dari glukosa yang dikonsumsi langsung dikonversi menjadi
glikogen dalam hati dan 30-40% dikonversi menjadi lemak, sisanya dimetabolisme di
dalam otot dan jaringan lainnya (Ganong, 1999). Adenohipofisis mulai meningkatkan
jumlah sekresi kortikotropin, pada saat tidak tersedia karbohidrat yang cukup untuk sel.
Kortikotropin akan merangsang korteks adrenal untuk menghasilkan sejumlah besar
hormon glukokortikoid terutama kortisol. Sebaliknya, kortisol akan segera mengalami
deaminasi dalam hati dan menghasilkan zat yang ideal untuk diubah menjadi glukosa
(Guyton dan Hall, 1996). Berikut mekanisme pengaturan glukosa darah:
a. Fungsi hati sebagai buffer glukosa, yaitu : apabila glukosa darah meningkat
setelah makan ke konsentrasi yang sangat tinggi maka kecepatan sekresi
insulin meningkat. Sebanyak dua pertiga glukosa diabsorbsi oleh usus dan
segera disimpan di dalam hati dalam bentuk glikogen, bila konsentrasi
glukosa darah rendah dan kecepatan sekresi turun maka hati melepaskan
glukosa kembali ke dalam darah.
b. Fungsi insulin dan glukagon sebagai umpan balik terpisah dan sangat penting
untuk mempertahankan konsentrasi glukosa darah yang normal.
c. Efek glukosa darah yang rendah saat mengalami hipoglikemia, hipothalamus
akan merangsang susunan syaraf simpatis. Sebaliknya, epinefrin yang
disekresikan oleh kelenjar adrenal menyebabkan pelepasan glukosa lebih
lanjut ke hati, hal ini bertujuan untuk mengatasi hipoglikemia berat.
d. Hormon
pertumbuhan
kortisol
disekresikan
dalam
respon
terhadap
hipoglikemia yang berkepanjangan, yang akan menurunkan kecepatan
penggunaan glukosa oleh bagian terbesar sel-sel tubuh (Guyton dan Hall,
1996).
Gangguan Keseimbangan Glukosa
Insulin yang berlebihan menyebabkan hipoglisemia sedangkan defisiensi insulin
menyebabkan diabetes melitus. Defisiensi glukagon menyebabkan diabetes memburuk
(Ganong, 1999). Menurut Guyton dan Hall (1996) konsentrasi glukosa darah juga harus
dijaga agar tidak terlalu tinggi karena :
a. Glukosa sangat berpengaruh terhadap tekanan osmotik dalam cairan ekstraseluler
dan apabila meningkat akan menimbulkan dehidrasi selular.
b. Konsentrasi glukosa yang tinggi akan menyebabkan keluarnya glukosa dari air
seni.
c. Keadaan diatas dapat menimbulkan diuresis osmotik oleh ginjal, yang dapat
mengurangi jumlah cairan tubuh dan elektrolit sehingga menimbulkan berbagai
macam penyakit.
Menurut Ganong (1999) glukagon dengan konsentrasi abnormal yang sangat besar
akan menimbulkan efek, yaitu:
1. Meningkatnya kekuatan jantung
2. Meningkatnya sekresi empedu dan,
3. Menghambat sekresi asam lambung.
Mencit
Hewan percobaan dengan ukuran paling kecil dibanding hewan percobaan yang
lain, banyak digunakan dalam berbagai penelitian dan diagnosa. Mencit hidup dalam
daerah yang cukup luas penyebarannya mulai dari iklim dingin, sedang maupun panas
dan dapat hidup terus menerus dalam kandang (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
Biologi Mencit
Menurut Maloloe dan Pramono (1989), mencit atau mouse adalah hewan
pengerat yang cepat berkembangbiak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, varietas
genetiknya cukup besar serta sifat anatomis dan fisiologisnya terkarakteristik dengan
baik.
Sistem taksonomi mencit (Ballanger, 1999):
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Mamalia
Ordo
: Rodensia
Sub Ordo
: Sciurognathi
Famili
: Muridae
Sub famili
: Murinae
Genus
: Mus
Spesies
: Musculus
Darah banyak digunakan sebagai parameter dalam penelitian ilmu faal atau
fisiologi yang menggunakan mencit atau tikus. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo
(1988) cara pengambilan darah pada mencit dapat dilakukan dengan 5 cara, yaitu:
1. Jika volume darah yang diperlukan sedikit, darah dapat diperoleh dengan
memotong ujung ekor atau dari vena ekor tetapi cara ini agak sukar karena vena
cukup kecil, dapat juga dengan cara memotong jari kaki mencit tetapi cara ini
harus dilakukan dengan keadaan kandang yang bersih dan steril.
2. Jika dibutuhkan volume darah yang banyak, darah dapat diambil dari sinus
orbialis dengan membius mencit terlebih dahulu.
3. Mencit dapat dibunuh dengan dekapitasi dan darah dapat ditampung, dekapitasi
dengan gunting yang sangat tajam. Darah yang diperoleh cenderung
terkontaminasi oleh kuman dan bulu serta benda asing lainnya.
4. Darah mencit langsung diambil dari jantung. Cara ini sukar karena memerlukan
banyak waktu dan kemungkinan darah menggumpal di dalam jarum.
5. Darah dapat diambil dari vena jugularis di daerah leher.
Klasifikasi Mencit
Menurut Harkness dan Wagner (1989), mencit sebagai hewan percobaan dapat
dibagi dalam 2 kategori umum, yaitu berdasarkan ekologi (lingkungan hidupnya) dan
berdasarkan genetiknya.
Berdasarkan lingkungan hidupnya mencit dibagi dalam 4 kategori, yaitu: mencit
yang bebas hama (germ free/axenic mice) yaitu mencit yang bebas dari mikroorganisme
yang dapat dideteksi, mencit yang hanya mengandung mikroorganisme tertentu (define
flora/gnotobiotic), mencit yang bebas mikroorganisme tertentu (spesific patogen free) dan
mencit biasa (convensional) yaitu mencit yang dipelihara tanpa perlakuan khusus.
Berdasarkan sifat genetiknya terdapat 3 macam mencit, yaitu: random breed mice,
yaitu mencit yang dikawinkan secara acak dengan mencit yang tidak memiliki hubungan
keturunan, Inbreed mice, yaitu mencit yang secara genetis homogen karena merupakan
hasil perkawinan antar keluarga (brother sister mating) dan FI hybrid, yaitu hasil
perkawinan antara 2 galur yang inbreed.
Perilaku Mencit
Mencit liar aktif pada malam hari (nokturnal), sedangkan mencit percobaan
biasanya aktif pada siang hari. Mencit rumahan hidup berkelompok dengan membentuk
wilayah sendiri. Mencit jantan yang dominan biasanya membentuk wilayah bersama
keluarganya yang terdiri dari beberapa betina dan anak-anaknya. Mencit betina ikut serta
dalam mempertahankan wilayahnya tetap kurang agresif dibandingkan mencit jantan.
Perkelahian antar anggota keluarga umumnya jarang terjadi dan tiap anggota dalam satu
wilayah akan bersama-sama mempertahankan wilayahnya terhadap gangguan dari luar
(Ballanger, 1999).
Tabel 3. Sifat Fisiologis Mencit (Mus musculus)
Kriteria
Keterangan
Berat lahir
Berat badan dewasa
Jantan
Betina
Harapan hidup
Denyut jantung
Temperatur tubuh
Mulai dikawinkan
Jantan
Betina
Jumlah pernafasan
Konsumsi oksigen
Volume darah
Glukosa dalam darah
0,5-1 g
20-40 g
18-35 g
1-2 tahun, dapat mencapai 3 tahun
600-650 kali/menit
36,5-380C
50 hari
50-60 hari
94-163/menit
2,38-4,48 ml/g/jam
76-80 mg/kg
62-175 mg/dl
Sumber: Harkness dan Wagner (1989)
Pakan Mencit
Pakan merupakan faktor yang sangat penting dalam pembiakan dan pemeliharaan
mencit, terutama kandungan dalam pakan tersebut. Pakan mencit laboratorium tersedia
dalam bentuk pelet, dengan berbagai macam bentuk dan ukuran, atau dalam bentuk
tepung yang diberikan dalam jumlah tanpa batas (ad libitum) untuk dikonsumsi.
Kelompok mencit yang berjumlah 7 ekor dapat menghabiskan makanan sebanyak 50
gram selama 2 hari. Jadi dalam satu hari 1 ekor mencit makan sebanyak ± 3 gram.
Kebutuhan mineral dan vitamin dalam pakan mencit disajikan dalam (Tabel 4). Pakan
dapat diletakkan diatas jaring kawat yang ditempatkan yang pada tutup kandang atau
dengan cara pemberian pakan dengan wadah kecil, misalnya kaleng, tetapi perlu
diperhatikan dengan cara ini akan cepat kotor oleh feses dan urine yang tercampur,
sehingga pakan banyak yang rusak dan harus dibuang (Smith dan Mangkoewidjojo,
1988). Mencit labolatorium tidak boleh hidup dalam keadaan tanpa air minum harus
tersedia. Minum dapat diberikan dengan botol air atau dengan sistem pengairan otomatis,
sistem apapun yang digunakan yang terpenting bebas dari kebocoran (Harkness dan
Wagner, 1989).
Tabel 4. Vitamin dan Mineral Pakan Mencit
Vitamin dan Mineral
Kebutuhan
Vitamin :
Vitamin A
15000-20000 IU/kg
Vitamin D
5000 IU/kg
Alfa Tokoferol
50 mg/kg
Asam Linoleat
5-10 g/kg
Tiamin
15-20 mg/kg
Riboflavin
8 mg/kg
Asam pantotenat
20 mg/kg
Vitamin B12
30 µg/kg
Piridoksin
5 mg/kg
Inositol
5 mg/kg
Kolin
20 g/kg
Biotin
80-200 µg/kg
Mineral :
Kalsium
1,0-1,5%
Fosfor
0,5-1,0%
Magnesium
0,15-2,0%
Natrium
0,40-0,1%
Tembaga
16,0 mg/kg
Yodium
2,0 mg/kg
Kalium
0,8-0,9%
Besi
250,0 mg/kg
Kobal
0,7 mg/kg
Mangan
105 mg/kg
Seng
50 mg/kg
Sumber: Smith dan Mangkoewidjojo (1988)
Kandang
Mencit yang digunakan di labolatorium umumnya ditempatkan di kotak yang
terbuat dari plastik dan diberi alas kadang secukupnya (Harkness dan Wagner, 1989).
Alas kandang yang baik, dapat berupa sekam padi atau serbuk gergaji, bila digunakan
serbuk gergaji harus bebas debu, bila digunakan sekam padi arus diperhatikan
kebersihannya agar tidak terkontaminasi urin dan feses. (Smith dan Mangkoewidjojo,
1988).
METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Kandang Hewan Pemeliharaan Pusat Penelitian
Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PBSHB), Institut Pertanian Bogor dari bulan
Agustus sampai September 2007 selama 1 bulan.
Materi
Hewan dan Kandang Percobaan
Penelitian ini menggunakan 24 ekor mencit jantan dewasa kelamin (umur 60 hari)
dengan rataan bobot badan 28,71±3,43 gram. Mencit diperlihara di dalam kandang
individu berukuran (40 x 30 x 10 cm3) yang menggunakan sekam padi sebagai litter.
Kandang ini dilengkapi dengan tempat air minum yang terbuat dari botol kaca bervolume
100 ml.
Ransum
Ransum mencit yang diberikan
berupa semi purified diet, yang berbeda
karbohidratnya sebagai perlakuan (glukosa, maltosa, sukrosa dan pati), casein, minyak
sayur, mineral dan vitamin (Tabel 5). Pemberian ekstrak daun murbei setara dengan
pemberian daun murbei 50% dalam ransum sehingga diperoleh kandungan DNJ 0,12%
dalam ransum. Komposisi nutrien daun murbei dan ekstraknya tercantum pada Tabel 6.
Tabel 5. Susunan Pakan Perlakuan
Bahan (%)
Karbohidrat
EDM
Casein
Minyak
Mineral
Vitamin
Total
B0 (Non EDM)
64
0
23
5
7
1
100
Sumber: Jordan et al. (2003)
B1(EDM)
51,58
12,42
23
5
7
1
100
Tabel 6. Komposisi Daun Murbei (Morus alba)
Nutrien (%)
Kadar Air
Protein kasar
Lemak kasar
Serat kasar
Kadar Abu
BETN
Umur (hari)
30
60
4,44
4,23
18,43
25,16
2,89
3,86
10,52
11,14
10,92
13,23
57,24
46,61
Ekstrak
84,76
21,39
4,66
16,60
8,74
Sumber: Laboratorium Biologi Hewan. PBSHB IPB (2007)
Prosedur
Pemeliharaan Ternak
Pemeliharaan mencit dilakukan selama 17 hari dengan periode adaptasi selama 3
hari dan pada hari ke 4 sampai hari ke 14 dilakukan perlakuan dan pengumpulan feses
(Jordan et al., 2003). Pemberian pakan secara ad libitum dilakukan 2 kali sehari (pagi dan
sore). Kebutuhan pakan disiapkan setiap minggu sebanyak ± 25 gram untuk setiap ekor
mencit, sehingga penimbangan konsumsi ransum dilakukan setiap minggu.
Air minum yang diberikan adalah air mineral yang dimasukkan ke dalam botol
(100 ml) dan diganti setiap 3 hari. Sekam padi yang digunakan sebagai alas kandang
mencit ditimbang (± 50 gram) dan dioven 600C selama 24 jam. Sekam diganti setiap 7
hari pemeliharaan.
Pembuatan Ekstrak Daun Murbei (EDM)
Daun murbei dikeringkan terlebih dahulu di dalam oven 60oC selama 24 jam.
Daun murbei dihaluskan dengan cara digiling sampai menjadi tepung, selanjutnya tepung
diolah untuk mendapatkan ekstrak. Pembuatan ekstrak daun murbei dilakukan dengan
menggunakan ethanol 50% (Oku et al., 2006). Maserasi dilakukan sebanyak 2 kali 24
jam dan pada periode 6 jam pertama pelaksanaan maserasi dilakukan pengocokan setiap
jam. Selanjutnya filtrat dievaporasi untuk menguapkan ethanol. Sebanyak 4,785 kg
tepung daun murbei kering yang diekstrak menggunakan 50 liter ethanol menghasilkan
4,7 liter EDM yang siap digunakan, sehingga 1 kg tepung daun murbei setara dengan 1
liter ekstraknya. Berikut skema pembuatan EDM (Gambar 7).
Ekstrak dipekatkan selama 3 jam dalam oven 600C sehingga berbentuk pasta pada
saat akan digunakan dalam ransum. Pemekatan 100 ml menghasilkan 12,42 gram EDM.
Daun Murbei dikeringkan
Digiling
Sebanyak 5 kg dimasukkan ke dalam 25 liter etanol 50%. Dilakukan maserasi I dengan
merendam selama 6 jam (tiap 1 jam dishaker selama 5 menit)
Dibiarkan sampai 24 jam → disaring (menggunakan kain dalam pembuatan tahu)
Hasil filtrasi disimpan
Ampas dimaserasi lagi dengan 25 liter etanol 50%
Hasil filtrasi kedua disimpan → dievaporasi (rotary evaporator selama 48 jam)
Ekstrak daun murbei (2 liter)
Gambar 7. Skema Pembuatan Ekstrak Daun Murbei
Sumber : Oku et al. (2006)
Pembuatan Ransum
Pembuatan ransum dilakukan setiap minggu. Penambahan daun murbei ke dalam
ransum dalam bentuk ekstrak yang berbentuk pasta. EDM pertama kali dicampur dengan
sumber karbohidrat sampai homogen kemudian dicampur dengan campuran kedua yang
terdiri dari kasein (sumber protein), vitamin, mineral dan minyak (sumber lemak) yang
dicampur dengan sebagian sumber karbohidrat. Langkah-langkah pencampuran tersebut
dilakukan untuk memperoleh sifat fisik ransum dan tingkat homogenitas bahan penyusun
yang baik.
Rancangan Percobaan
Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial 4 x 2 dengan 3
kali ulangan. Faktor pertama adalah sumber karbohidrat yaitu glukosa (A1), maltosa
(A2), sukrosa (A3) dan pati (A4). Faktor kedua adalah tanpa penambahan ekstrak daun
murbei (B0) dan dengan penambahan EDM (B1). Model matematik yang digunakan
sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1993).
Yij = µ + αi + βj + (αβ)ij + εij
Keterangan :
Yij
µ
αi
βj
αβij
=
=
=
=
=
Nilai hasil pengamatan perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Nilai rata-rata hasil pengamatan
Pengaruh faktor a ke-i
Pengaruh faktor b ke-j
Interaksi pengaruh faktor a dan b (perlakuan ke-i dan ulangan kej)
εij = Pengaruh galat perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Peubah
Peubah yang diamati dalam penelitian adalah perubahan bobot badan, kecernaan
ransum, konsumsi ransum, dan kadar glukosa darah mencit.
Perubahan bobot badan. Penimbangan bobot badan dilakukan pada awal perlakuan dan
setiap minggu berikutnya. Perubahan bobot badan diperoleh dengan menghitung selisih
bobot badan awal dengan penimbangan berikutnya dibagi lama pemeliharaan (hari).
Kecernaan ransum. Kecernaan bahan kering semu dihitung berdasarkan McDonald et
al. (2002) yaitu :
═ Konsumsi Bahan Kering – Bahan Kering Feses x 100 %
Konsumsi Bahan Kering
Konsumsi ransum. Konsumsi ransum dihitung setiap minggu dengan mengurangi
jumlah pakan yang diberikan dengan jumlah pakan yang tersisa dalam sekam. Sisa pakan
dalam sekam dihitung dengan cara, sekam yang telah digunakan selama 1 minggu
dikeringkan dalam oven 600C selama 24 jam dan dilakukan pengambilan feses. Sisa
pakan yang tertinggal dalam sekam diperoleh dengan mengurangi berat sekam setelah
dipakai 1 minggu dengan berat sekam awal (50 gram).
Kadar glukosa darah mencit. Pengambilan sampel darah dilakukan pada akhir
penelitian dengan memotong mencit
dan mengambil darah
dari bagian jantung
menggunakan spuit 1 ml dan diteteskan pada strip glukosa. Selanjutnya, strip glukosa
dimasukkan ke dalam glucose test (Smith dan Mangkoewijoyo, 1988). Pengukuran kadar
glukosa darah dilakukan dengan menggunakan alat Accu-check Active produksi Roche
(Jerman).
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisa menggunakan ANOVA dan apabila terdapat beda
nyata antar perlakuan dilakukan uji Duncan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh perlakuan selama penelitian terhadap peubah yang diamati antara lain
perubahan bobot badan (PBB), konsumsi, kecernaan dan kadar glukosa darah mencit
disajikan pada Tabel 7. Hasil analisis data menunjukkan tidak ada interaksi antar kedua
faktor pada seluruh peubah yang diamati, namun perlakuan yang berbeda pada setiap
faktor memperlihatkan perbedaan respon.
Tabel 7. Rataan Hasil Pengamatan PBB, Kecernaan Bahan Kering,
Konsumsi dan Kadar Glukosa Darah selama Pemeliharaan
Perlakuan
Faktor
PBB
(g/e/hari)
Kecernaan BK
(%)
Konsumsi
(g/e/hari)
Kadar Glukosa
Darah (mg/dl)
Jenis karbohidrat
A1
A2
A3
A4
..................................
..................................
..................................
..................................
0,39 ± 0,23A
0,21 ± 0,27AB
(0,09) ± 0,37C
0,06 ± 0,14BC
90,15 ± 2,87A
93,15 ± 2,28A
93,31 ± 0,00A
71,73 ± 9,26B
3,96 ± 1,36
4,37 ± 0,82
4,00 ± 1,19
4,41 ± 0,76
..................................
...................................
..................................
0,32 ± 0,19A
(0,04) ± 0,24B
89,72 ± 7,72a
84,62 ± 13,14b
4,92 ± 0,05A
3,46 ± 0,44B
Penambahan EDM
B0
B1
Keterangan:
166,83 ± 37,95
215,67 ± 45,25
165,17 ± 53,03
245,67 ± 115,97
..................................
229,5 ± 78,95a
167,17 ± 29,14b
Superskrip yang berbeda pada kolom dan faktor yang sama menunjukkan perbedaan sangat
(P<0,01) dengan huruf besar dan perbedaan nyata (P<0,05) dengan huruf kecil
nyata
Perubahan Bobot Badan
Pemberian sumber karbohidrat yang berbeda memberikan pengaruh sangat nyata
(P<0,01)
terhadap
perubahan
bobot
badan.
Pemberian
glukosa
menyebabkan
pertambahan bobot badan yang tertinggi (Gambar 8). Selanjutnya pertambahan bobot
badan juga terjadi pada pemberian maltosa. Hal tersebut terjadi karena glukosa
merupakan sumber energi yang mudah diserap sehingga jumlah asupan glukosa ke dalam
tubuh tinggi. Kelebihan glukosa disimpan sebagai cadangan energi dalam bentuk
glikogen, setelah kebutuhan pokok terpenuhi. Peningkatan jumlah glikogen dalam tubuh
mengakibatkan bobot badan meningkat.
Pemberian pati mengakibatkan pertambahan bobot badan yang lebih kecil bahkan
pemberian sukrosa menyebabkan penurunan bobot badan. Perbedaan respon pemberian
jenis disakarida antara maltosa dan sukrosa, disebabkan perbedaan karakteristik kedua
disakarida tersebut. Maltosa merupakan gula pereduksi seperti glukosa, memiliki gugus
karbonil yang berpotensi bebas. Sukrosa bukan gula pereduksi, sukrosa tidak
mengandung atom karbon anomer bebas, karena karbon anomer kedua unit monosakarida
pada sukrosa berikatan satu dengan yang lain. Hal tersebut menyebabkan sukrosa lebih
stabil terhadap oksidasi atau hidrolitik enzim-enzim pemecah ikatan glikosida
(Lehninger, 1984). Penurunan bobot badan mencit yang diberi ransum perlakuan sukrosa
dapat diakibatkan oleh terjadinya perombakan cadangan energi dalam tubuh karena
kurang memperoleh asupan energi dari pakan, dampak dari sukrosa yang lebih sulit
dipecah menjadi monosakarida.
PBB (g/hari)
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
-0.1
A1
A2
A3
A4
-0.2
Sumber Karbohidrat
Gambar 8. Perubahan Bobot Badan dengan Perlakuan Karbohidrat
(A1= Glukosa; A2 = Maltosa; A3 = Sukrosa; A4 = Pati)
Linder (1992) menyatakan bahwa konsumsi sukrosa yang berlebihan dapat
menyebabkan penurunan penyerapan mikronutrien esensial dan diabetes yang dapat
menurunkan bobot badan. Pemberian sukrosa murni sebagai sumber karbohidrat sampai
60% dari ransum dalam penelitian ini dilakukan untuk mengamati pengaruh penambahan
ekstrak daun murbei dengan kandungan senyawa deoxynojirimycin yang berpotensi
sebagai penghambat proses hidrolisis, berbagai jenis karbohidrat (monosakarida,
disakarida dan polisakarida).
Karbohidrat jenis polisakarida yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati.
Pemberian pati dalam ransum memberikan pertambahan bobot badan yang rendah
(Gambar 8). Hal ini sejalan dengan rendahya kecernaan pati, sehingga proses hidrolisis
oleh enzim-enzim untuk memecah ikatan-ikatan glikosida pati menjadi monosakarida
memerlukan waktu yang lebih lama dibanding disakarida. Energi yang diperoleh hanya
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, sehingga pertambahan bobot badan juga
rendah. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa pengukuran bobot badan berguna untuk
menentukan tingkat konsumsi, efisiensi pakan dan harga. Berdasarkan hasil penelitian ini
dapat diketahui bahwa penggunaan pati sebagai sumber karbohidrat tunggal kurang
efisien.
Efisiensi pemberian pakan pada ternak menjadi sesuatu yang mutlak dalam dunia
peternakan. Penggunaan bahan pakan yang murah, memiliki kandungan nutrien baik
serta ketersediaannya yang kontinyu sangat diharapkan. Daun murbei, memiliki potensi
yang baik sebagai pakan ternak. Pada penelitian ini digunakan ekstrak daun murbei yang
mengandung 0,12% deoxynojirimycin sebagai senyawa pembatas dalam penggunaan
daun murbei.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak ada interaksi penggunaan
berbagai jenis karbohidrat dengan penambahan EDM terhadap perubahan bobot badan
harian. Penambahan EDM sangat nyata (P<0,01) menurunkan bobot badan mencit
(Gambar 9).
PBB (g/hari)
0.3
0.2
0.1
0
-0.1
B0
B1
Ekstrak Daun Murbei
Gambar 9. Perubahan Bobot Badan dengan Perlakuan tanpa Pemberian EDM
(B0) dan dengan Pemberian EDM (B1)
Pertambahan bobot badan menurut NRC (1985) dipengaruhi oleh berbagai faktor
antara lain jenis ternak, umur, keadaan genetis, lingkungan, kondisi fisiologis ternak dan
tata laksana. Pada penelitian ini digunakan mencit jantan dewasa kelamin (umur 60 hari)
untuk meminimalkan galat diluar respon yang diamati seperti, adanya pengaruh fluktuasi
hormonal dan kondisi fisiologis yang terjadi pada mencit betina. Sudono (1981)
melaporkan bahwa laju pertumbuhan mencit jantan tertinggi dicapai pada saat berumur
29 hari yaitu sebesar 0,55 g/hari. Hasil rataan pertambahan bobot badan mencit yang
diperoleh selama pemeliharaan sebesar 0,32 ± 0,19 g/hari yang menunjukkan bahwa
produktivitas mencit cukup baik.
Penurunan bobot badan mencit dengan penambahan EDM dalam ransumnya,
terjadi sejalan dengan lebih rendahnya konsumsi dan kecernaan ransum dibanding
perlakuan tanpa penambahan EDM. Penurunan bobot badan mengindikasikan telah
terjadi penghambatan metabolisme dalam tubuh oleh senyawa deoxynojirimycin. Hock
dan Elstner (2005) menyatakan bahwa senyawa DNJ bersifat menghambat aktivitas αglukosidase dalam usus halus secara kompetitif yaitu dengan menggantikan sisi aktif
substrat yang akan melekat dengan enzim glukosidase sehingga pemecahan ikatan
glikosida substrat (karbohidrat) menjadi monosakarida tidak terjadi. Hal ini menyebabkan
sel tidak memperoleh energi yang cukup dalam bentuk monosakarida, sehingga terjadi
perombakan cadangan glikogen dalam tubuh yang menyebabkan penurunan bobot badan.
Pencernaan hidrolitik dengan bantuan enzim merupakan bagian pencernaan yang
utama bagi hewan monogastrik setelah pencernaan mekanis dimulut, sehingga kehadiran
senyawa DNJ dalam ransum mencit sangat mempengaruhi produktivitas yang
ditunjukkan dengan penurunan bobot badan. Hasil tersebut menunjukkan penggunaan
ekstrak daun murbei yang setara dengan pemberian 50% daun murbei dalam ransum
menyebabkan penurunan bobot badan. Penelitian sebelumnya oleh Sanchez (1994) pada
babi menunjukkan bahwa penggunaan 20% tepung daun murbei untuk menggantikan
konsentrat mampu meningkatkan pertambahan bobot badan harian sebesar 60 g,
dibanding dengan pemberian konsentrat saja. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai cara untuk mengeliminasi senyawa DNJ
agar penggunaan daun murbei sebagai pakan ternak dapat ditingkatkan.
Kecernaan Ransum
Kecernaan merupakan suatu proses penyerapan oleh saluran pencernaan yang
menghasilkan energi untuk memenuhi keperluan tubuh yang meliputi perbaikan,
pertumbuhan dan reproduksi (Piliang dan Djojosoebagio, 1990). Menurut Mc Donald et
al. (2002) kecernaan dapat didefinisikan sebagai jumlah pakan yang diserap oleh tubuh
hewan atau jumlah yang tidak disekresikan dalam feses. Kecernaan pakan dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain jenis hewan, komposisi pakan, cara pengolahan pakan,
komposisi pakan yang dikandung dan jumlah pakan yang dikonsumsi. Pada penelitian ini
digunakan penghitungan koefisien cerna semu, yaitu memperhitungkan seluruh nutrien
yang dikeluarkan dalam feses berasal dari makanan yang dikonsumsi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian berbagai jenis karbohidrat sangat
nyata (P<0,01) mempengaruhi kecernaan ransum. Kecernaan ransum untuk semua jenis
karbohidrat (glukosa, maltosa dan sukrosa) sangat baik. Hal ini didukung oleh jenis
hewan yaitu mencit sebagai hewan monogastrik yang tidak memerlukan serat dalam
ransumnya, maka semi purified diet dengan kandungan serat rendah karbohidrat murni
dapat dicerna dengan baik. Kecernaan ransum juga dipengaruhi jumlah ransum yang
dikonsumsi. Jumlah ransum yang dikonsumsi menurut Tillman et al. (1991) berbanding
terbalik dengan koefisien kecernaan. Semakin banyak jumlah pakan yang masuk akan
menurunkan waktu retensi dalam usus sehingga pakan lebih cepat terdorong keluar
sebelum mengalami pencernaan yang optimal. Persentase kecernaan pati yang rendah
dibanding glukosa, maltosa dan sukrosa juga diikuti oleh jumlah konsumsi yang tinggi
(Tabel 7).
Rendahnya kecernaan pati dipengaruhi oleh sifat pati sebagai polisakarida
yang sulit dipecah, pada umumnya makanan yang mengandung pati diolah terlebih
dahulu dengan air atau dengan pemanasan yang menyebabkan pati mengalami
gelatinisasi. Gelatinisasi tersebut merupakan suatu proses yang meliputi hidrasi dan
pelarutan granula pati (Fergus, 1995). Pati murni yang digunakan dalam penelitian ini
berasal dari kentang dengan kandungan amilosa 20-25% dan amilopekitin 75-80%,
diberikan secara langsung tanpa diolah. Fergus juga menyatakan bahwa amilosa (ikatan
α(1,4)) dan amilopektin (ikatan α(1,6))
dapat dihidrolisis secara sempurna oleh
glukoamilase dalam waktu yang sangat lama dalam usus kecil sehingga pada waktu
retensi yang sama dengan disakarida, pati belum dapat dicerna dengan baik. Enzim
glukoamilase mempunyai spesifitas untuk memutuskan ikatan α(1,4) pada setiap satuan
residu glukosa mulai dari gugus non reduksi dengan hasil utama berupa glukosa. Enzim
glukoamilase juga dapat memutus ikatan α(1,6) pada titik percabangan namun sangat
Kecernaan (%)
lambat.
100
80
60
40
20
0
A1
A2
A3
A4
Sumber Karbohidrat
Gambar 10. Kecernaan Ransum dengan Perlakuan Karbohidrat
(A1 = Glukosa; A2 = Maltosa; A3 = Sukrosa; A4 = Pati)
Persentase kecernaan pada perlakuan dengan penambahan EDM menunjukkan
penurunan yang nyata (P<0,05) dibanding tanpa penambahan EDM (Gambar 11). Pada
dasarnya daun murbei memiliki nilai kecernaan yang tinggi karena kandungan serat
kasarnya yang rendah (FAO, 2002).
Kecernaan (%)
90
88
86
84
82
B0
B1
Ekstrak Daun Murbei
Gambar 11. Kecernaan Ransum pada Mencit yang tidak Diberi
EDM (B0) dan diberi EDM (B1)
Menurut Hepher (1990) kecernaan dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu jenis pakan,
aktivitas enzim pencernaan dan lamanya waktu makanan ada di dalam usus kecil. Jenis
pakan yang diberi tambahan EDM secara fisik berbeda dengan pakan yang tidak diberi
tambahan EDM. Penambahan EDM dalam bentuk pasta pada ransum menyebabkan
ransum berbentuk granula, sedangkan ransum yang tidak ditambah EDM berbentuk
serbuk. Hal ini kemungkinan mempengaruhi proses pemecahan dalam usus kecil.
Aktivitas enzim pencernaan sangat berhubungan erat dengan sifat DNJ dalam
EDM yang sifatnya sebagai penghambat proses hidrolisis karbohidrat. Pengaruh tersebut
ditunjukkan dengan rendahnya persentase kecernaan ransum yang diberi EDM dibanding
ransum tanpa penambahan EDM. Penghambatan aktivitas α-glukosidase untuk memecah
polimer karbohidrat menjadi anomer-anomernya yaitu monosakarida terlihat dalam
penelitian ini.
Secara umum nilai kecernaan ransum dengan penambahan EDM cukup baik
(Tabel 7), namun hasil tersebut tidak sejalan dengan terjadinya penurunan bobot badan
harian pada mencit. Pada umumnya apabila pakan dapat dicerna dengan baik, akan
berdampak positif bagi produktivitas (seperti peningkatan PBB). Dapat diduga kehadiran
senyawa DNJ sebesar 0,12% dalam ransum mengganggu metabolisme, karena DNJ
merupakan senyawa alkaloid dan dapat bersifat toksik yang belum dapat dijelaskan pada
penelitian ini.
Konsumsi Ransum
Konsumsi merupakan jumlah ransum yang dimakan oleh ternak dengan
pemberian secara ad libitum. Pada penelitian ini konsumsi mencit diperoleh dengan
menghitung ransum yang diberikan dikurangi ransum sisa dalam tempat pakan dan dalam
kantong plastik.
Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa perlakuan pemberian berbagai jenis
karbohidrat tidak nyata mempengaruhi jumlah konsumsi harian. Jumlah konsumsi secara
keseluruhan cukup baik (Tabel 7) karena rataan jumlah konsumsi setiap perlakuan
melebihi jumlah rata-rata konsumsi mencit dewasa perhari yaitu sebanyak 3 sampai 5 g
(Smith dan Mangkowidjojo, 1998). Hal tersebut dipengaruhi oleh sifat fisik ransum
antara keempat perlakuan sama (tingkat kehalusan karbohidrat relatif sama), selain itu
tingginya tingkat konsumsi disebabkan rasa manis dalam ransum yang dapat
meningkatkan palatabliitas ransum. Menurut Parakkasi (1999) tingkat konsumsi atau
voluntary feed intake (VFI) dapat menggambarkan palatabilitas ransum.
Pengamatan konsumsi juga dilakukan untuk mengetahui tingkat kesukaan mencit
terhadap daun murbei yang diberikan dalam bentuk ekstrak berupa pasta. Hasil yang
diperoleh menunjukkan bahwa perlakuan penambahan EDM sangat nyata (P<0,01)
menurunkan tingkat konsumsi ransum mencit (Tabel 7), walau pada dasarnya rataan
jumlah konsumsi ransum mencit yang diberi tambahan EDM tidak lebih rendah dari
jumlah konsumsi mencit normal (Gambar 11).
5
Konsumsi (g/hari)
4
3
2
1
0
B0
B1
Ekstrak Daun Murbei
Gambar 12. Konsumsi Ransum Mencit yang tidak Diberi
EDM (B0) dan diberi EDM (B1)
Rendahnya jumlah konsumsi ransum mencit dipengaruhi oleh sifat fisik ransum,
hal ini sesuai dengan pernyataan Arora (1989 ) bahwa jumlah konsumsi pakan sangat
ditentukan oleh palatabilitas. Palatabilitas ditentukan oleh rasa, bau dan warna pakan.
Sifat fisik ransum yang ditambah EDM (B1) berbeda dengan ransum yang tidak ditambah
EDM (B0). Penambahan EDM menyebabkan ransum cepat basah dan lengket.
Pengamatan terhadap pola makan mencit sebelumnya memberikan informasi bahwa
mencit bersifat selektif dalam pemilihan pakan. Mencit kurang menyukai pakan yang
basah karena terkena urin dan tercampur feses. Hal-hal demikian diminimalisasi dalam
penelitian ini, agar jumlah konsumsi ransum mencit
maksimal. Bau pakan juga
mempengaruhi palatabilitas, pada dasarnya EDM dalam bentuk pasta memiliki aroma
matang seperti pada reaksi Maillard namun hal ini menjadi kurang berperan dalam
peningkatan palatabilitas ransum yang mengandung EDM karena sifat fisik ransum lebih
dominan.
Sifat fisik ransum ditentukan oleh pengolahan yang dilakukan sebelum diberikan
pada ternak sangat mempengaruhi palatabilitas. FAO (2002) melaporkan bahwa daun
murbei memiliki palatabilitas yang tinggi dan varietas Morus alba yang digunakan pada
penelitian ini merupakan varietas yang paling disukai ternak karena memiliki kandungan
nutrien yang tinggi. Hubungan palatabilitas dengan produktivitas ternak sangat erat,
walaupun suatu jenis pakan mampunyai tingkat palatabilitas yang tinggi tetapi belum
menjamin kelangsungan hidup ternak dengan baik. Suatu jenis pakan belum tentu
mempunyai kandungan nutrien yang sesuai dengan kebutuhan hidup ternak, tetapi
sebagian ahli tentang palatabilitas menganggap bahwa tingkat palatabilitas pakan lebih
penting daripada nilai nutrisi pakan tersebut karena pakan dengan nilai nutrisi yang tinggi
tidak akan berarti bila tidak disukai ternak (McIlroy, 1977).
Kadar Glukosa Darah
Kadar glukosa darah adalah suatu indikator klinis dari kurang atau tidaknya
asupan makanan sebagai sumber energi. Faktor yang menentukan kadar glukosa darah
adalah keseimbangan antara jumlah glukosa yang masuk dan glukosa yang keluar melalui
aliran darah. Hal ini dipengaruhi oleh masuknya makanan, kecepatan glukosa masuk ke
dalam sel otot, jaringan lemak dan organ lain serta aktivitas sintesis glikogen dari glukosa
oleh hati (Ganong, 1999).
Kadar glukosa darah dari perlakuan pemberian berbagai jenis karbohidrat tidak
berbeda antara satu dengan yang lain (Tabel 7). Perlakuan pemberian berbagai jenis
karbohidrat ditambah dengan EDM yang mengandung senyawa DNJ 0,12% dilakukan
untuk mengetahui daya hambat EDM terhadap jenis karbohidrat (monosakarida,
disakarida dan polisakarida). Oku et al. (2006) melaporkan bahwa senyawa DNJ
memiliki kemampuan menghambat proses hidrolisis yang berbeda pada setiap jenis
karbohidrat, namun hasil uji statistik menunjukkan tidak ada interaksi antara kedua faktor
(jenis karbohidrat dan pemberian EDM).
Pemberian karbohidrat sampai 60% dalam ransum mengakibatkan kadar glukosa
darah mencit cukup tinggi, bahkan rataan kadar glukosa darah pada pemberian maltosa
dan pati melebihi normal (Tabel 7). Menurut Harkness dan Wagner (1989) kadar glukosa
darah normal pada mencit yaitu 62-175 mg/dl.
Pemberian EDM nyata menurunkan kadar glukosa darah dibanding tanpa
penambahan EDM (Gambar 13). Hal ini mengindikasikan adanya penghambatan
Kadar glukosa
darah (mg/dl)
hidrolisis karbohidrat oleh senyawa DNJ dalam EDM.
250
200
150
100
50
0
B0
B1
Ekstrak Daun Murbei
Gambar 13. Kadar Glukosa Darah tanpa Pemberian EDM (B0)
dan dengan Pemberian EDM (B1)
Menurut Arai et al. (1998) senyawa DNJ dapat menghambat hidrolisis
karbohidrat menjadi monosakarida di dalam usus kecil. Hal tersebut sejalan dengan hasil
kecernaan ransum. Penambahan EDM juga menyebabkan kecernaan ransum lebih
rendah. Rendahnya karbohidrat yang dapat dipecah menjadi monosakarida oleh enzim
glukosidase menyebabkan konsentrasi glukosa yang terserap oleh sel juga menurun.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penambahan ekstrak daun murbei menghambat hidrolisis disakarida dan
polisakarida menjadi monosakarida, sehingga konsumsi dan kecernaan ransum menurun
mengakibatkan menurunnya bobot badan mencit. Penurunan tingkat konsumsi ransum
mencit juga disebabkan adanya penurunan sifat fisik ransum karena penambahan EDM
dalam bentuk pasta mengakibatkan pakan cepat basah dan lengket.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui taraf optimal penggunaan
daun murbei dalam pakan dan metode untuk mengeliminasi senyawa pembatas
penggunaan daun murbei sehingga daun murbei dapat digunakan sebagai bahan pakan
dalam jumlah yang besar, mengingat kandungan nutriennya yang tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, H. R. 1973. Ilmu Makanan Ternak Umum. Proyek Peningkatan Mutu
Perguruan Tinggi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Anggorodi, H. 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. P.T. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
AOAC. 1984. Official Method of Analylis of The Association of Official Analytical
Chemistry. 14th Ed. AOAC Inc. Arlington, Virginia.
Arai, M., T. Genzou dan M. Shinya. 1998. N- Methyl-1 deoxinojirimycins (MOR-14) an
alpha glucosidase inhibitor, markedly reduced infarct size in rabbit Hearts. Basic
science reports.1290-1297.
Arifiyanti, L. 2002. Daun bawang merah (Allium ascalonicum L) sebagai hijauan
substitusi rumput lapang pada ternak domba ekor gemuk lokal. Skripsi. Fakultas
Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Atmosoedarjo, S., J. Kaomini, W. Kartasubrata, M. Saleh, W. Moerdoko, Pramodibyo
dan S. Roeprawiri. 2000. Sutera Alam Indonesia. Yayasan Sarana Jaya, Jakarta.
Ballanger, L. 1999. Mus musculus (House mouse). http: // www.animal Diversity.
Ummz.Umich.Edu/site/accounts/information/Mus musculus.html. [13 juli 2007].
Dziedzic, S. Z., dan M. W. Kearsley. 1995. The Technology of Starch Production.
Dalam: S. Z Dziedzic and M. W Kearsley (eds). Handbook of Starch Hydrolisis
Product and Their Derivates. Blackie Academic and Professional, London.
Ekastuti, D. R. 1996. Pemeliharaan berbagai jenis tanaman murbei. Laporan Penelitian.
Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Espinoza, E. 1996. Suplementation of Graving Dairy Cattle with Mulberry in Costa Rica.
CATIE (Tropical Agriculture Research and Training Center), Costa Rica.
Fergus, M. C. 1995. Food Nutrition and Health. The A VI Publishing Company Inc.
Wesport. http: library.usu.ac.id/modules.html. [29 november 2007].
Food and Agriculture Organization (FAO). 2002. Mulberry for Animal Production,
Roma.
Ganong, W. F. 1999. Fisiologi Kedokteran Edisi ke-4. Jonathan Oswari. Terjemahan:
Petrus Andrianto. Penerbit Buku Kedokteran E. G. C., Jakarta.
Girindra, A. 1988. Biokimia Patologi Hewan. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Gross, V., T. Andus, T. A. Tran-Thi, R. T. Schwarz, K. Decker dan P. C. Henrich. 1983.
1-Deoxynojirimycins impairs oligosaccharide processing of alpha 1-proteinase
inhibitor and inhibits its secretion in primary cultures of rat hepatocytes. J. Biol.
Chem., Vol 258, Issue 20: 12203-12209.
Guyton, A. C., dan J. E. Hall. 1966. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9.
Terjemahan: Irawati, Ken Arita Tenggadi dan Alex Santoso. Penerbit buku
Kedokteran E. G. C., Jakarta.
Harkness, J. E., dan J. E. Wagner. 1989. The Biology and Medicine of Rabbit and
Rodents. 2st Ed. Lea & Febiger, Philadelpia.
Hepher, B. 1990. Nutrition of Pond Fishes. Cambrige University Press, New York.
Hettkamp, H., G. Legler and E. Bause. 1984. Purification by affinity chromatography of
glucosidase I, an endoplasmic reticulum hydrolase involved in the prosessing of
asparagines-linked oligosaccharides. Eur. J. of Biochem., 142: 85-90 (Abstr).
Hock, B., dan E. F. Elstner. 2005. Plant Toxycology. 4th Ed. Technische Universitat
Munchen, Freising.
Hoesen, D. S. H. 2000. Meningkatkan Usaha Apotik Hidup dengan Prinsip Bersih
Lingkungan. Seri Pengembangan Prosea. 12 (1). 2. Yayasan Prosea, Bogor.
Huakang. 2007. Institute of Traitonal Chinese Medicine, Tongzipo Road. Changsha,
China. http://www.huakangsw.com. [12 maret 2008].
Jordan, J. E., S. A. Simandle, C. D. Tulbert, D. W. Busija dan A. W. Miller. 2003.
Fructose-fed rats are protected againts ischemia/reperfusion injury. J. of Pharmac.
And Exp. Therapeutics. Vol. 307: 1007-1011.
Kimura, T., N. Kiyotaka, S. Yuko, Y. Kenji, S. Masahiro, Y. Kohji, S. Hiroshi dan M.
Teruo. 2004. Determination of 1- deoxynojirimycins in mulberry leaves using
hydrophilic interaction chromatography with evaporative light scattering
detection. J. of Agric. Food Chem. 52: 1415-1418.
Lehninger, A. L. 1994. Dasar-dasar Biokimia (Principlesof Biochemistry). Jilid 1&2.
Terjemahan: Maggy Thenawijaya. Erlangga, Jakarta.
Linder, M. C. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian secara Klinis.
Terjemahan: Aminuddin Parakkasi. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Machii, H. 1990. On gamma-aminobutyric acid contained in mulberry leaves. J. Seric.
Sci. Jpn. 59: 381-389.
Manalu, W. 1999. Pengantar Ilmu Nutrisi Hewan. Bagian Fisiologi dan Farmakologi.
Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Martin, G. J., F. Reyes, I. Hernandez dan J. E. Benavides.1998. Agronomic studies with
mulberry in Cuba. FAO, Roma.
Maloloe, M. B. M, dan C. S. U. Pramono. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan
di Labolatorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas, Bioteknologi. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
McDonald, P., R. A. Edward, J. F. G. Greenhalgh dan C. A. Morgan. 2002. Animal
Nutrition. 6th Ed. Gosport.
McIlroy, R. J. 1977. Pengantar Budidaya Rumput Tropika. Terjemahan: Susetyo, S.
Soedarmadi, Kismono, I dan Harini, S. Praditya Pratama. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Mellor, H. R, R. A. Dwek, G. W. J. Fleet, J. Nolan, F. M Platt, L. Pickering, M. R.
Wormald dan T. D. Butters. 2002. Preparation, biochemical characterization and
biological properties of radiolabelled N-alkylated deoxynojirimycins. J. of
Biochem. 366: 225-233.
Muchtadi, D., N. S. Palupi dan M. Astawan. 1989. Metabolisme Zat Gizi. Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
National Reseach Council (NRC). 1985. Nutrient Requirement of Sheep. 6th Revised
Edition. National Academy Press, Washington D. C.
Norman, B. E. 1981. New development in starch technology. Dalam: G. G. Birch, N. B.
Brough and K. J. Parker (eds). Enzymes and Food Processing Applied Science
Publisher Ltd, London.
Oku, T., Y. Mai, N. Mariko, S. Naoki dan N. Sadako. 2006. Inhibitory effects of
extractives from leaves of Morus alba on human and rat small intestinal
disaccaridase activity. J. of Nutr. 95: 933-938.
Overkleeft, G. H., J. Renkema, P. Neele dan A. Hung. 1998. Generation of specific
deoxynojirimycins type inhibitor of the non lysosomal glucosylceramidase. J.
Biol. Chem. 273: 26522-26527.
Page, D. S. 1989. Prinsip-prinsip Biokimia. Terjemahan: R. Soendoro. Universitas
Airlangga, Surabaya.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan
Indonesia, Jakarta.
Makanan Ternak Ruminansia. Universitas
Piliang, W. G., dan S. Djojosoebagio. 1990. Metabolisme Lemak, Protein dan Serat
Kasar. Fisiologi Nutrisi I. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rodwell, V. W. 1977. Review of Physiological Chemistry. Terjemahan: Tin Muliawan.
Edisi ke 17. Penerbit Buku Kedokteran E.C.G., Jakarta.
Sanchez, M.D. 1994. Mulberry an Exceptional Forage Available Almost Worldwide
Animal Production and Health Division. FAO, Roma.
Samsijah dan L. Andadari. 1992. Petunjuk Teknis Budidaya Murbei (Morus sp). Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.
Sajilata, M. G., Rocha, S. Singhai dan K. R. Puspha. 2006. Resistant Starch a Review.
Comprehensive Reviews in J. Food Sci. and Food Safe. Vol 5.
Scott, M. L., M. C. Neshein dan R. J. Young. 1982. Nutrition of The Chicken . 3rd Ed.
ML. Scott and Association, Ithaca.
Siregar, S. 1984. Pengaruh ketinggian tempat terhadap konsumsi makanan dan
pertumbuhan kambing dan domba lokal di Yogyakarta. Majalah Ilmu dan
Peternakan. Vol.1 (5): 17.
Smith, J. B., dan S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan
Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Steel, R. G. D., dan J. H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika suatu Pendekatan
Biometrik. Terjemahan: B. Soemantri. P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Suda, T. 1999. Inhibitory effect of mulberry leaves on ammonium emission from poultry
excrement. Abstracts of Gunma Agriculture-related Experiment Stations Meeting,
7-8 (in Japanese).
Sudono, A. 1981. Pengaruh interaksi antara genotif dan lingkungan terhadap
pertumbuhan, koefisienan makanan, daya reproduksi dan produksi susu mencit.
Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Syamsuhaidi. 1997. Penggunaan Duckweed (Family Lemnaceae) sebagai pakan serat
sumber protein dalam ransum ayam pedaging. Disertasi. Program Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tillman, A. D., H. Hari, R. Soedomo, P. Soeharto dan L. Soekamto. 1984. Ilmu Makanan
Ternak Dasar. Universitas Gadjah Mada Press. Fakultas Peternakan Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Tillman, A. D., H. Hari, R. Soedomo, P. Soeharto dan L. Soekamto. Makanan Ternak
Dasar. Universitas Gadjah Mada Press. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Wahju, J. 1991. Ilmu Nutrisi Unggas. Universitas Gadjah Mada, Press. Yogyakarta.
Wirahadikusumah, M. 1985. Biokimia : Metabolisme Energi, Karbohidrat dan Lipid.
Institut Tekonologi Bandung Press, Bandung.
Yatsunami, K., F. Eiichi, O. Kengo, S. Youichi dan O. Satoshi. 2003. α- Glucosidase
inhibitory activity in leaves of some mulberry varieties. J. of Food Sci. Technol. 9
(4): 392-394.
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji dan Syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia dan rahmatNya, serta limpahan nikmat tak terhingga dan hanya dengan pertolongan-Nya, skripsi ini
dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada :
1. Kedua orangtua yang banyak membantu baik materi, motivasi, kasih sayang serta
do’a yang tiada henti.
2. Dr. Ir. Komang G. Wiryawan selaku dosen pembimbing utama yang telah
membimbing, mengarahkan Penulis dalam penyusunan proposal hingga akhir
penulisan skripsi dengan segenap kesabaran. Ir. Syahriani Syahrir, M.Si. selaku
dosen pembimbing anggota atas segala bimbingan, pengarahan, kasih sayang dan
kesempatan pada Penulis untuk bergabung dalam penelitian ini. Ir. Lidy Herawati,
M.S. selaku dosen pembimbing akademik atas segala motivasi dan nasihat pada
Penulis.
3. Dr. Despal, S.Pt., M.Sc., Dr. Ir. M. Ridla, M.Sc. Agr. dan Tuti Suryati, S.Pt.,
M.Si. atas kesediaannya untuk menguji, memberikan kritik dan saran pada
Penulis.
4. Keluarga di Sumenep dan di Serang atas segala motivasi, bantuan moril dan
materi untuk Penulis. Terima kasih juga pada adik-adik Penulis (Nuris, Aldi,
Rayhan dan Nawal) atas kasih sayangnya pada Penulis.
5. David atas segala dukungan, perhatian dan motivasi pada Penulis. Teman
penelitian Penulis, Sari serta segenap kru Lab. Biologi Hewan PAU yang selalu
membantu. Sahabat Penulis Sinta, Wayan, Tika, Eka, Alvian, Devita, Achie dan
Farida atas segala kasih sayang dan persaudaraan yang telah dijalin dengan
Penulis. Terimakasih juga untuk teman-teman Nutrisi’40 dan 41, semoga kita
selalu menjadi saudara.
Bogor, Mei 2008
Penulis
LAMPIRAN
Lampiran 1. Komposisi Mineral per 100 gram
Jenis Mineral
NaCl
KI
KH2PO4
MgSO4.7H2O
CaCO3. 7H2O
FeSO4. 7H2O
MnSO4. 7H2O
ZnSO4. 7H2O
CuSO4. 5H2O
CoCl2. 6H2O
Jumlah (gram)
13,93
0,079
38,9
5,73
38,14
2,7
0,401
0,0548
0,0477
0,023
Sumber: AOAC (1984)
Lampiran 2. Komposisi Vitamin
Jenis Vitamin
Vitamin A
Vitamin B1
Vitamin B2
Vitamin B3
Vitamin B6
Vitamin B12
Vitamin C
Vitamin D3
Vitamin E
Ca Pantothenate
Jumlah per Tablet
1000 IU
1,4 mg
1,6 mg
9 mg
2 mg
3 mg
60 mg
100 IU
5 mg
5 mg
Sumber: Lab. Sakafarma
Lampiran 3. Sidik Ragam Perubahan Bobot Badan (PBB)
Sumber Keragaman
Perlakuan
A
B
A^B
Error
Total
JK
1,753
0,799
0,874
0,81
0,683
2,436
db
7
3
1
3
16
23
KT
0,250
0,266
0,874
0,27
0,043
F hit
5,868
6,237
20,477
0,630
Ket: ** : sangat nyata
* : nyata
Lampiran 4. Uji Lanjut Duncan Perubahan Bobot Badan (PBB)
Faktor A
3
4
2
1
C
-0,0933
0,0750
Superskrip
B
0,0750
0,2500
A
0,2500
0,3917
P
0,002
0,005**
0,000**
0,606
Lampiran 5. Sidik Ragam Kecernaan Ransum
Sumber Keragaman
Perlakuan
A
B
A^B
Error
Total
JK
db
KT
F hit
0,225
0,195
0,016
0,14
0,051
0,275
7
3
1
3
16
23
0,032
0,065
0,016
0,005
0,003
10,103
20,434
4,930
1,497
P
0,000
0,000**
0,041*
0,253
Ket: ** : sangat nyata
* : nyata
Lampiran 6. Uji Lanjut Duncan Kecernaan Ransum
Faktor A
Superskrip
B
0,7173
4
1
3
2
A
0,9013
0,9330
0,9348
Lampiran 7. Sidik Ragam Konsumsi Ransum
Sumber Keragaman
Perlakuan
A
B
A^B
Error
Total
JK
14,577
1,000
12,823
0,74
10,299
24,877
db
7
3
1
3
16
23
KT
2,082
0,333
12,823
0,251
0,644
F hit
3,235
0,518
19,921
0,391
P
0,025
0,676
0,000**
0,761
Ket: ** : sangat nyata
* : nyata
Lampiran 8. Sidik Ragam Kadar Glukosa Darah
Sumber Keragaman
Perlakuan
A
B
A^B
Error
Total
Ket: ** : sangat nyata
* : nyata
JK
87044,667
27799,000
23312,667
35933,000
65264,667
152309,333
db
7
3
1
3
16
23
KT
12434,952
9266,333
23312,667
11977,667
4079,042
F hit
3,048
2,272
5,715
2,936
P
0,031
0,119
0,029*
0,065
Download