analisis kebijakan moneter dalam menstabilkan inflasi dan

advertisement
ANALISIS KEBIJAKAN MONETER DALAM MENSTABILKAN
INFLASI DAN PENGANGGURAN DI INDONESIA
OLEH
AZWAR ANAS
H14102016
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
RINGKASAN
AZWAR ANAS. Analisis Kebijakan Moneter dalam Menstabilkan Inflasi dan
Pengangguran di Indonesia (dibimbing oleh IMAN SUGEMA).
Perekonomian yang stabil akan lebih disukai dibandingkan perekonomian
yang mengalami gejolak. Kestabilan menjadi penting karena kondisi yang stabil
akan menciptakan suasana yang kondusif untuk perkembangan dunia usaha.
Perkembangan perekonomian suatu negara dapat dikatakan sedang meningkat
atau menurun berdasarkan beberapa indikator dasar makroekonominya di
antaranya suku bunga, jumlah uang yang beredar, inflasi, nilai tukar dan
pengangguran.
Upaya menstabilkan perekonomian dapat dicapai melalui kebijakan fiskal
dan kebijakan moneter. Kebijakan fiskal yang berkesinambungan berusaha
menekan defisit anggaran serendah mungkin, baik melalui peningkatan pajak
maupun pengurangan subsidi. Dari sisi moneter, telah terjadi perubahan
paradigma yaitu dari stabilisasi yang berbasis jumlah uang yang beredar menjadi
Inflation Targeting Framework (ITF) dengan instrumen suku bunga.
Pertumbuhan ekonomi akan mendorong perkembangan kondisi
perekonomian. Sebelum krisis 1997 Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi, nilai tukar yang stabil dan tingkat inflasi yang rendah. Tetapi
ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1997, pertumbuhan ekonomi Indonesia
menurun, bahkan menjadi negatif di tahun 1998, nilai tukar Rupiah terus
terdepresiasi, inflasi meninggi dan terjadi ledakan pengangguran pada tahun 1998
dimana terjadi sekitar 1,4 juta pengangguran terbuka baru.
Kondisi perekonomian negara dapat mengalami siklus naik turun,
sehingga pada saat tertentu mengalami pertumbuhan yang pesat dan di saat yang
lain mengalami penurunan. Untuk mengelola dan mempengaruhi perekonomian
agar berada dalam kondisi stabil, pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia perlu
melakukan langkah stabilisasi makro, dengan mengelola sisi permintaan dan
penawaran suatu perekonomian agar mengarah pada kondisi keseimbangan, yaitu
dengan menetapkan SBI sebagai instrumen kebijakan moneter. Telah banyak
penelitian mengenai kebijakan moneter, tetapi masih terbatas sekali penelitian
yang menghubungkan kebijakan moneter dengan pengangguran hal inilah yang
melatarbelakangi penulis melakukan penelitian.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana variabel
variabel makroekonomi bereaksi terhadap perubahan kebijakan moneter di
Indonesia. Dan yang kedua untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi perubahan inflasi dan pengangguran di Indonesia.
Untuk melihat bagaimana kebijakan moneter berpengaruh terhadap inflasi,
nilai tukar dan pengangguran, digunakan analisis Structural Vector Auto
regression (SVAR) yang dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan Vector
Error Correction Model (VECM) dengan software Eviews 4.1. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh publikasi
Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI) dari Bank Indonesia, publikasi
International Financial Statistics dari International Monetary Fund, dan data
publikasi Badan Pusat Satistik. Data-data yang digunakan adalah data kuartalan
dari periode 1990:1-2005:4, meliputi suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
tiga bulanan, jumlah uang yang beredar, Consumer Price Index (CPI), nilai tukar
US Dollar per Rupiah dan data pengangguran.
Pada penelitian ini dilihat bagaimana respon variabel-variabel
makroekonomi terhadap guncangan SBI. Respon pada dua kuartal awal (periode
ke-1 dan periode ke-2) menunjukkan bahwa jumlah uang yang beredar, dan
pengangguran mengalami penurunan, SBI dan inflasi mengalami peningkatan dan
nilai tukar mengalami apresiasi. Secara umum respon jumlah uang yang beredar
dan inflasi mengalami peningkatan, sedangkan respon nilai tukar cenderung
mengalami depresiasi dan respon pengangguran mengalami penurunan. Setelah
terjadi guncangan SBI, variabel yang lebih cepat menunjukkan respon permanen
adalah variabel SBI itu sendiri, nilai tukar, pengangguran, inflasi dan yang
membutuhkan waktu paling lama adalah jumlah uang yang beredar. Cukup
lamanya respon variabel tersebut menuju ke arah kestabilan (mulai periode dua
puluh sembilan sampai empat puluh empat atau tujuh sampai sebelas tahun setelah
guncangan) menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia rentan terhadap
perubahan, dan kebijakan moneter yang diterapkan kurang mampu untuk
menstabilkan perekonomian.
Hasil Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) terhadap inflasi
menunjukkan bahwa faktor yang paling berpengaruh pada awal periode adalah
inovasi inflasi itu sendiri, dalam jangka panjang faktor yang paling berpengaruh
adalah kebijakan moneter. Sedangkan hasil FEVD pengangguran menunjukkan
bahwa dari awal hingga akhir periode peramalan, faktor yang paling berpengaruh
terhadap variabel pengangguran adalah inovasi dalam pengangguran itu sendiri.
Pengaruh kebijakan moneter yang besar terjadi pada periode ke-60 atau 15 tahun
setelah terjadi guncangan, hal ini menunjukkan bahwa kebijakan moneter kurang
mampu mengendalikan laju inflasi dan tingkat pengangguran dalam jangka
pendek.
ANALISIS KEBIJAKAN MONETER DALAM MENSTABILKAN
INFLASI DAN PENGANGGURAN DI INDONESIA
Oleh
AZWAR ANAS
H14102016
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh,
Nama Mahasiswa
: Azwar Anas
Nomor Registrasi Pokok
: H14102016
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Sripsi
: Analisis Kebijakan Moneter dalam
Menstabilkan Inflasi dan Pengangguran
di Indonesia
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian
Bogor
Menyetujui,
Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Iman Sugema, M.Ec
NIP. 131 846 870
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS
NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI
ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI
YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI
ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU
LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, 5 September 2006
Azwar Anas
H14102016
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Azwar Anas lahir pada tanggal 23 Mei 1984 di Jakarta.
Penulis anak ke dua dari empat bersaudara, dari pasangan Dayat dan Nur Aisyah.
Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah
dasar pada SDN Pondok Pinang 07 Pagi Jakarta Selatan, kemudian melanjutkan
ke SMPN 161 Jakarta dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis
diterima di SMUN 47 Jakarta dan lulus pada tahun 2002.
Pada tahun 2002 penulis meninggalkan kota tercinta untuk melanjutkan
studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi
pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan
mengembangkn pola pikir, sehingga menjadi sumber daya yang berguna bagi
pembangunan Indonesia. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi
Masuk IPB (USMI) dan diterima menjadi mahasiswa Program Studi Ilmu
Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dibeberapa organisasi dan
kegiatan akademik. Penulis pernah menjadi Staf Departemen Sosial Politik Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) FEM, Ketua Komisi I Advokasi Aspirasi dan
Kesejahteraan Mahasiswa Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FEM. Dan
mengikuti kegiatan organisasi eksternal HMI, dengan menjadi Wasekum
Penelitian dan Pengembangan HMI Komisariat FEM.
Penulis juga aktif dalam kegiatan akademik yaitu menjadi tutor dalam
kegiatan BEM FEM, tutor dalam kegiatan HIPOTESA, Asisten Mata Kuliah
Ekonomi Dasar II dan Asisten Ekonomi Umum. Penulis juga pernah menjadi
salah satu Mahasiswa Berprestasi di Departemen Ilmu Ekonomi dan di Fakultas
Ekonomi dan Manajemen pada tahun 2005. Penulis pernah mengikuti kejuaraan
tingkat nasional yaitu Young Economic Icon 2005, National Talk Show dan LKTI
di Universitas Padjajaran Mei 2006 dan PIMNAS XIX di Universitas
Muhammadiyah Malang Juli 2006.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul
skripsi ini adalah “Analisis Kebijakan Moneter dalam Menstabilkan Inflasi
dan Pengangguran di Indonesia”. Kebijakan moneter dan pengangguran
merupakan topik yang sangat menarik, diharapkan dengan adanya kebijakan
moneter yang tepat maka perekonomian Indonesia menjadi stabil. Di samping itu,
skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen,
Institut Pertanian Bogor.
Ucapan terima kasih dan hormat kepada Bapak Dr. Ir. Iman Sugema,
M.Ec yang telah menjadi dosen pembimbing skripsi atas dorongan, dan arahannya
selama proses pembuatan skripsi ini. Rasa terima kasih juga penulis tujukan
kepada Bapak Noer Azam Achsani, Ph.D dan kepada Ibu Wiwiek Rindayanti,
M.Si. Semua saran dan kritikannya menjadi masukan yang berharga bagi
penyempurnaan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Mba
Yati Nuryati, S.Pi, M.Si dan Moc. Iqbal Irfani SE yang telah membantu dalam
metode penelitian skripsi ini. Dan ucapan terimakasih kepada para Dosen Fakultas
Ekonomi dan Manajemen beserta staf yang telah membantu proses pendidikan
bagi penulis.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ayah dan Ibu yang telah
membesarkan dan mendidik penulis hingga saat ini, semoga Allah SWT
membalas segala kebaikan dan memberikan perlindungan di dunia maupun di
akhirat kelak. Kepada Ka Nina tersayang terima kasih atas segala dukungan dan
perhatiannya, dan terima kasih kepada adik-adik penulis Mega dan Rifki atas
segala keceriaan dan kebahagiaan yang selalu diberikan.
Penulis juga ucapkan terima kasih kepada teman-teman sepenelitian Nova
Mardianti, Mardi Efriza dan Ade Holis atas segala dukungan yang diberikan,
kepada sahabat F2nE Ipa, Sari, Hasni, May, dan Jun, teman seperjuangan Ary,
ii
Fikri, Edi, Nina, Nilam, Diyah, Selda dan Firman atas bantuan dan perhatiannya.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman IE 39 dan para
peserta seminar yang telah ikut memberi kritik dan saran dalam perbaikan skripsi
ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang
membutuhkan.
Bogor, 5 September 2006
Azwar Anas
H14102016
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL........................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................
vii
DAFTAR SINGKATAN .............................................................................
viii
I. PENDAHULUAN ....................................................................................
1
1.1. Latar Belakang .................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah .........................................................................
6
1.3. Tujuan Penelitian .............................................................................
6
1.4. Manfaat Penelitian ...........................................................................
7
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN .................
8
2.1. Pengertian dan Definisi....................................................................
8
2.1.1. Kebijakan Moneter ...............................................................
8
2.1.2. Kebijakan Stabilisasi ............................................................
8
2.1.3. Suku Bunga ..........................................................................
9
2.1.4. Jumlah Uang yang Beredar ..................................................
9
2.1.5. Inflasi ....................................................................................
10
2.1.6. Indeks Harga Konsumen (IHK)............................................
11
2.1.7. Nilai Tukar............................................................................
11
2.1.7.1. Sistem Nilai Tukar Tetap.........................................
12
2.1.7.2. Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas.................
13
2.1.7.3. Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali .........
13
2.1.8. Pengangguran .......................................................................
14
2.2. Penelitian Terdahulu.......................................................................
15
2.2.1. Penelitian Djivre dan Ribon (2003)......................................
15
2.2.2. Penelitian Siregar dan Ward (2005) .....................................
16
2.2.3. Penelitian Siregar, et al. (2006) ............................................
17
2.3. Kerangka Teori ...............................................................................
18
iv
2.3.1. Kebijakan Moneter untuk Mengendalikan Suku Bunga.......
18
2.3.2. Efektivitas Kebijakan Moneter dalam Mempengaruhi
Perekonomian........................................................................
19
2.3.3. Teori Permintaan Agregat dengan Pendekatan Model IS-LM
20
2.3.4. Kebijakan Moneter dalam Konsep Pendekatan Harga ..........
22
2.3.5. Inflasi Gejolak Permintaan ....................................................
22
2.3.6. Inflasi Gejolak Penawaran dengan Validasi dan Tanpa
Validasi Moneter...................................................................
23
2.3.7. Kebijakan Moneter Ekspansioner dalam Sistem Kurs Tetap
24
2.3.8. Kebijakan Moneter Ekspansioner Sistem Kurs Mengambang
25
2.3.9. Kurva Phillips........................................................................
25
2.4. Kerangka Pemikiran ........................................................................
27
III. GAMBARAN UMUM ..........................................................................
30
3.1. Gambaran Inflation Targeting Framework ....................................
30
3.2. Perkembangan Indikator-Indikator Makroekonomi di Indonesia...
32
IV. METODE PENELITIAN ......................................................................
38
4.1. Jenis dan Sumber Data....................................................................
38
4.2. Model Penelitian.............................................................................
39
4.3. Metode Analisis Data .....................................................................
40
V. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................
53
5.1. Kestasioneran Data .........................................................................
53
5.2. Uji Lag Optimal ..............................................................................
54
5.3. Uji Stabilitas VAR..........................................................................
55
5.4. Uji Kointegrasi................................................................................
55
5.5. Impulse Response Function (IRF) ..................................................
57
5.6. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) .........................
63
5.6.1. Faktor-Faktor Determinan Inflasi..........................................
63
5.6.2. Faktor-Faktor Determinan Pengangguran .............................
65
VI. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................
68
6.1. Kesimpulan .....................................................................................
68
6.2. Saran ...............................................................................................
69
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
70
LAMPIRAN ............................................................................................... .
72
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
3.1. Jumlah Pengangguran di Indonesia Periode 1998-2005.....................
37
4.1. Data, Satuan, Simbol dan Sumber Data..............................................
38
5.1. Hasil Pengujian Akar Unit pada Level................................................
53
5.2. Hasil Pengujian Akar Unit pada First Difference...............................
54
5.3. Nilai Lag Optimal ...............................................................................
55
5.4. Hasil Uji Kointegrasi ..........................................................................
56
5.5. Faktor-Faktor Determinan Inflasi .......................................................
64
5.6. Faktor-Faktor Determinan Pengangguran ..........................................
66
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1. Perubahan Penawaran Uang .................................................................. 18
2.2. Efektivitas Kebijakan Moneter dalam Mempengaruhi Pertumbuhan
Ekonomi................................................................................................. 19
2.3. Model IS-LM (a) dan Model Penawaran Agregat dan Permintaan
Agregat (b) dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang. . ..................... 21
2.4. Inflasi Gejolak Permintaan .................................................................... 23
2.5. Gejolak Penawaran dengan Validasi dan Tanpa Validasi ..................... 24
2.6. Ekspansi Moneter dalam Sistem Kurs Tetap......................................... 25
2.7. Ekspansi Moneter dalam Sistem Kurs Mengambang ............................ 25
2.8. Kurva Phillips ........................................................................................ 26
2.9. Kerangka Pemikiran. .............................................................................. 27
3.1. Perkembangan BI rate Periode Januari-Agustus 2006 .......................... 31
3.2. Perkembangan SBI Periode 1996-2005................................................. 33
3.3. Jumlah Uang yang Beredar Periode 1996-2005 .................................... 34
3.4. Inflasi YOY dari Tahun 1990-2005 ....................................................... 35
3.5. Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah dari Tahun 1996-2005. ........................... 36
5.1. Respon Variabel Makroekonomi terhadap Guncangan SBI.................. 58
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Hasil Pengujian Akar Unit pada Level...................................................... 73
2. Hasil Pengujian Akar Unit pada First Difference..................................... 77
3. Hasil Pengujian Lag Optimal.................................................................... 81
4. Hasil Pengujian Stabilitas VAR................................................................ 82
5. Hasil Estimasi Struktural VAR................................................................. 84
6. Hasil Pengujian Johansen dengan ”Asumsi Summary” ............................ 86
7. Hasil Pengujian Johansen dengan ”Asumsi 5” ......................................... 87
8. Impulse Response Function (IRF) ............................................................ 90
9. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) ................................... 92
DAFTAR SINGKATAN
AD
= Aggregate Demand
ADF
= Aughmented Dickey Fuller
AIC
= Akaike Information Criteria
AS
= Aggregate Supply
BI
= Bank Indonesia
BPS
= Badan Pusat Statistik
CPI
= Consumer Price Index
ECM = Error-Correction Model
FEVD = Forecast Error Variance Decomposition
HQ
= Hannan-Quinn Information Criterion
IFS
= International Financial Statistic
ITF
= Inflation Targeting Framework
IHK
= Indeks Harga Konsumen
ILO
= International Labor Organization
IMF
= International Monetary Fund
IRF
= Impulse Response Function
LRAS = Long-Run Agreggate Supply
OLS
= Ordinary Least Squares
RDG = Rapat Dewan Gubernur
SBI
= Sertifikat Bank Indonesia
SC
= Schwarz Criterion
SEKI = Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia
SRAS = Short-Run Agreggate Supply
SVAR = Strctural Vector Autoregression
VAR = Vector Autoregression
VECM = Vector Error Correction Model
VMA = Vector Moving Average
YOY = Year On Year
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Perekonomian yang stabil akan lebih disukai dibandingkan perekonomian
yang mengalami gejolak. Kestabilan menjadi penting karena kondisi yang stabil
akan menciptakan suasana yang kondusif untuk perkembangan dunia usaha.
Stabilitas makroekonomi dapat dilihat dari dampak guncangan suatu
variabel makroekonomi terhadap variabel makroekonomi lainnya. Apabila
dampak suatu guncangan menimbulkan fluktuasi yang besar pada variabel
makroekonomi dan diperlukan waktu yang relatif lama untuk mencapai
keseimbangan jangka panjang, maka dapat dikatakan bahwa stabilitas
makroekonomi rentan terhadap perubahan. Namun apabila dampak guncangan
indikator itu menunjukkan fluktuasi yang kecil dan waktu untuk mencapai
keseimbangan jangka panjang relatif tidak lama maka dapat dikatakan kondisi
makroekonomi relatif stabil (Siregar, et al., 2006).
Menurut Siregar et al. (2006), upaya menstabilkan perekonomian dapat
dicapai melalui kebijakan fiskal maupun melalui kebijakan moneter. Kebijakan
fiskal yang berkesinambungan berusaha menekan defisit anggaran serendah
mungkin, baik melalui peningkatan pajak maupun pengurangan subsidi. Dari sisi
moneter, sejak pertengahan 2005 telah terjadi perubahan paradigma yaitu dari
stabilisasi yang berbasis jumlah uang yang beredar menjadi Inflation Targeting
Framework (ITF) dengan menggunakan instrumen suku bunga.
2
Perkembangan perekonomian suatu negara dapat dikatakan sedang
meningkat atau menurun berdasarkan beberapa indikator dasar makroekonominya
diantaranya suku bunga, jumlah uang beredar, inflasi, nilai tukar dan
pengangguran. Bank Indonesia sebagai lembaga otoritas moneter melakukan
upaya stabilisasi melalui instrumen suku bunga SBI, penetapan SBI dilakukan
untuk mengendalikan jumlah uang beredar. Ketika jumlah uang yang beredar di
masyarakat terlalu banyak maka akan menyebabkan terjadinya inflasi.
Saat krisis tingkat inflasi di Indonesia meningkat tajam, dan pernah
mencapai 82,40 persen pada September 1998. Tingkat inflasi yang tinggi pada
saat itu mencerminkan ketidakstabilan harga, hal ini tentu saja mengurangi daya
beli masyarakat. Ketika inflasi terjadi jumlah uang yang beredar meningkat hal ini
akan berdampak pada terdepresiasinya nilai tukar.
Nilai tukar Rupiah selalu mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun, pada
saat sebelum krisis yaitu dari tahun 1993-1996, nilai tukar Rupiah berada pada
kisaran 2.110–2.383 Rupiah per US Dollar. Ketika terjadi krisis ekonomi yang
melanda kawasan Asia pada pertengahan 1997 perekonomian Indonesia terkena
dampak negatifnya. Krisis ekonomi yang terjadi di Asia ini diawali dengan
melemahnya Bath Thailand yang melahirkan contagion-effect (efek menular ke
negara lain) dan menyebabkan krisis mata uang yang merambat ke negara Asia
lainnya termasuk Indonesia.
Krisis mata uang yang melanda Indonesia ditandai dengan melemahnya
mata uang Rupiah terhadap Dollar pada pertengahan tahun 1997. Rupiah yang
bernilai 2.450 Rupiah per US Dollar pada bulan Juni 1997 mengalami depresiasi
3
secara terus menerus hingga pada akhir tahun 1997 mencapai 4.650 Rupiah per
US Dollar Untuk menahan laju nilai tukar Rupiah, pada tanggal 14 Agustus 1997
pemerintah melepas sistem kurs mengambang terkendali (managed floating
system) dan menerapkan sistem kurs mengambang bebas (free floating system).
Namun memasuki tahun 1998 kondisi nilai tukar Rupiah semakin parah dan
puncaknya mencapai 14.850 Rupiah per US Dollar pada Juni 1998.
Untuk meredam melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar dan
tingkat inflasi yang tinggi, bank sentral meningkatkan tingkat suku bunga SBI
yang pada bulan November 1998 menyentuh angka 61 persen per tiga bulan.
Langkah ini disatu sisi memang berhasil menurunkan laju inflasi dari 77,63 persen
pada tahun 1998 menjadi 2 persen pada akhir tahun 1999. Namun di sisi lain
keadaan ini berdampak buruk pada tingkat investasi di Indonesia, pada tahun 1997
pelarian arus modal keluar mencapai 3,5 milyar Dollar, sementara pada tahun
1998 dan 1999 masing-masing mencapai 19.7 milyar Dollar dan 11,3 milyar
Dollar (Salim, 2001).
Pelarian modal tentu mengakibatkan dana untuk investasi menurun secara
tajam, akibatnya tidak terjadi perputaran dana di sektor riil, dan berdampak pada
penyerapan tenaga kerja. Akibat krisis finansial banyak para pengusaha yang
bangkrut karena dililit hutang bank, sehingga banyak pekerja atau buruh pabrik
yang terpaksa di-PHK oleh perusahaan untuk mengurangi cost yang dipakai untuk
membayar gaji pekerjanya. Hal ini menjadi salah satu pemicu terjadinya ledakan
pengangguran yakni pelonjakan angka pengangguran dalam waktu yang relatif
4
singkat. Ledakan pengangguran terjadi di tahun 1998 di mana terjadi sekitar 1,4
juta pengangguran terbuka baru (Limongan, 2001).
Berbagai indikator ekonomi makro moneter sepanjang tahun 2005
menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia masih belum stabil, ini berarti
ekonomi Indonesia masih rawan terhadap berbagai guncangan, ketidakstabilan
indikator makro dapat dilihat dari adanya peningkatan inflasi dan suku bunga,
volatilitas nilai tukar dan adanya kecenderungan kenaikan tingkat pengangguran.
Inflasi IHK 2005 mencapai 17,11 persen, jauh di atas inflasi tahun 2004
yang mencapai 6,4 persen, inflasi tahun 2005 merupakan inflasi tertinggi sejak
pasca
krisis. Tingginya laju inflasi disebabkan kenaikan administered prices
khususnya harga BBM pada bulan Maret dan Oktober 2005 dan administered
prices lainnya seperti tarif angkutan, elpiji, cukai rokok, dan tarif tol. Inflasi
administered prices hingga Desember 2005 tercatat sebesar 42,01 persen year on
year (yoy). Laju inflasi juga disebabkan adanya gangguan pasokan dan distribusi
sehingga menyebabkan tingginya harga bahan makanan (volatile foods) sebesar
15,18 persen, adanya peningkatan ekpektasi inflasi yang didorong oleh kenaikan
harga BBM dan pelemahan nilai tukar Rupiah. Dan penyebab terakhir karena
adanya depresiasi nilai tukar Rupiah selama tahun 2005 sebesar 8,6 persen yoy
(Sitorus, 2006).
Ketidakstabilan mata uang Rupiah mulai terjadi sejak bulan Januari 2004.
Sejak bulan itu Rupiah terdepresiasi tidak hanya dengan mata uang Dollar, tetapi
juga dengan mata uang Euro dan Yen. Ini mengindikasikan pengaruh internal
lebih menentukan dibandingkan dengan pengaruh eksternal. Dengan kata lain
5
kondisi Indonesialah yang membuat mata uang Rupiah menjadi melemah. Ketika
Bank Indonesia merespon dengan meningkatkan suku bunga dalam negeri untuk
disesuaikan dengan suku bunga internasional, langkah penyesuaian yang diambil
sudah terlambat. Terjadinya peningkatan suku bunga domestik merupakan respon
atas meningkatnya suku bunga internasional yang mengalami pembalikan trend
sejak the Fed menaikkan suku bunganya di pertengahan 2004. Kenaikan suku
bunga SBI, segera akan diikuti oleh kenaikan suku bunga simpanan dan kredit.
Kenaikan yang terlalu cepat ini tentu akan menyulitkan perbankan dan sektor riil
(Sugema, et al., 2006).
Fenomena
perekonomian
secara
global
pada
tahun
2005-2006
memperlihatkan bahwa kondisi eksternal belum menunjukkan kondisi yang
kondusif, seperti adanya kecenderungan kenaikan suku bunga internasional,
kenaikan harga minyak dunia, dan masih tingginya inflasi dunia. Kondisi-kondisi
tersebut tentu saja harus dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan untuk
memperbaiki kondisi perekonomian.
Kondisi kestabilan perekonomian negara dapat mengalami siklus naik
turun. Sehingga agar perekonomian berada dalam kondisi stabil, pemerintah
dalam hal ini Bank Indonesia perlu melakukan langkah stabilisasi makro, dengan
mengelola sisi permintaan dan penawaran suatu perekonomian agar mengarah
pada kondisi keseimbangan, yaitu dengan menetapkan SBI sebagai instrumen
kebijakan moneter. Telah banyak penelitian mengenai kebijakan moneter, tetapi
masih terbatas sekali penelitian yang menghubungkan kebijakan moneter dengan
pengangguran. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis melakukan penelitian.
6
1.2.
Perumusan Masalah
Perubahan-perubahan dan fluktuasi ekonomi yang terjadi terkadang
menimbulkan guncangan yang besar pada sektor moneter dan sektor riil di
Indonesia, seperti saat krisis 1997 Indonesia mengalami masalah yang multi
dimensi dan pemerintah melakukan berbagai upaya perbaikan untuk membawa
Indonesia keluar dari krisis tersebut. Berangkat dari pemikiran tersebut, maka
perlu dilakukan suatu analisa empiris mengenai dampak perubahan kebijakan
moneter di Indonesia terhadap kestabilan harga dan dalam mengatasi
pengangguran. Oleh karena itu penulis merumuskan permasalahan dengan lingkup
waktu analisis dari tahun 1990:1 sampai tahun 2005:4, dan membagi
permasalahan menjadi dua bagian, yaitu:
1. Bagaimana respon variabel-variabel makroekonomi terhadap perubahan
kebijakan moneter di Indonesia?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan inflasi dan
pengangguran di Indonesia?
1.3.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah:
1. Menganalisis
bagaimana
respon
variabel-variabel
makroekonomi
terhadap perubahan kebijakan moneter di Indonesia.
2. Menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan
inflasi dan pengangguran di Indonesia.
7
1.4.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk melihat perubahan kebijakan moneter dalam
menstabilkan inflasi dan pengangguran di Indonesia, manfaat penelitian ini bagi
penulis adalah sebagai proses belajar yang dapat memberikan tambahan
pengetahuan, terutama dalam mengaplikasikan ilmu yang telah penulis dapatkan.
Untuk pihak-pihak lain yang berkepentingan, penelitian ini diharapkan dapat
berguna sebagai bahan informasi dan bahan pertimbangan bagi penelitian sejenis.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Pengertian
2.1.1. Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter merupakan kebijakan bank sentral atau otoritas
moneter dalam bentuk pengendalian besaran moneter dan atau suku bunga untuk
mencapai perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan. Pengendalian
itu berupa terjaganya stabilitas ekonomi makro, yaitu adanya stabilitas harga
(rendahnya laju inflasi), membaiknya perkembangan output riil (pertumbuhan
ekonomi), serta terbukanya kesempatan kerja yang besar.
Kebijakan Moneter yang dikenal terdapat dua macam yaitu, kebijakan
moneter kontraktif dan kebijakan moneter ekspansif. Kebijakan ekspansif
dilakukan untuk mendorong kegiatan ekonomi, antara lain dengan meningkatkan
jumlah uang yang beredar. Sedangkan kebijakan kontraktif dilakukan untuk
memperlambat kegiatan ekonomi dengan mengurangi jumlah uang yang beredar
(Warjiyo, 2004).
2.1.2. Kebijakan Stabilisasi
Kebijakan stabilisasi (stabilization policy) mengacu pada tindakan
kebijakan yang bertujuan mengurangi tekanan fluktuasi ekonomi jangka pendek.
Karena fluktuasi output dan kesempatan kerja di sekeliling tingkat wajar jangka
panjangnya, maka kebijakan stabilisasi dilakukan untuk memperkecil siklus bisnis
dengan mempertahankan output dan kesempatan kerja sedekat mungkin dengan
tingkat wajarnya (Mankiw, 2000).
9
2.1.3. Suku Bunga
Para ekonom membedakan antara suku bunga nominal dan suku bunga
riil. Perbedaan ini adalah relevan ketika seluruh tingkat harga berubah. Suku
bunga nominal (nominal interest rate) adalah tingkat bunga yang biasa dilaporkan,
tingkat bunga yang investor bayar untuk meminjam uang. Suku bunga riil (real
interest rate) adalah tingkat bunga nominal yang dikoreksi karena pengaruh inflasi
(Mankiw, 2000).
Bank Indonesia selalu menetapkan tingkat suku bunga tertentu dari waktu
ke waktu, suku bunga tersebut dinamakan suku bunga SBI. Suku bunga SBI
dihitung dengan menggunakan rata-rata tertimbang dan memperhitungkan bobot
volume transaksi yang terjadi pada periode yang bersangkutan (Bank Indonesia,
2005).
2.1.4. Jumlah Uang yang Beredar
Kewajiban sistem moneter yang terdiri atas uang kartal dan uang giral
dalam arti sempit atau narrow money (M1). Adapun kewajiban yang meliputi
uang kartal, uang giral dan uang kuasi disebut uang beredar dalam arti luas atau
broad money (M2). Uang kartal terdiri atas uang kertas dan uang logam yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai alat pembayaran yang sah. Uang giral
adalah simpanan Rupiah milik penduduk pada sistem moneter yang terdiri atas
rekening giro, kiriman uang (transfer) dan kewajiban segera lainnya antara lain
simpanan berjangka yang telah jatuh waktu. Uang kuasi merupakan simpanan
Rupiah dan valuta asing milik penduduk pada sistem moneter yang untuk
sementara waktu kehilangan fungsinya sebagai alat tukar. Uang kuasi terdiri atas
10
simpan berjangka dan tabungan dalam Rupiah, serta simpanan dalam valuta asing
lainnya (Bank Indonesia, 2005).
Menurut Nopirin (2000), M1 bersifat liquid sebab proses menjadikanya
uang kas sangat cepat. Sedangkan M2 karena mencakup deposito berjangka maka
liquiditasnya lebih rendah, untuk menjadikannya uang kas, deposito berjangka
memerlukan waktu (3, 6, 12 bulan). Dan apabila dijadikan uang kas sebelum
jangka waktu tersebut maka kena penalty atau denda.
2.1.5. Inflasi
Inflasi adalah kenaikan dalam tingkat harga rata-rata, inflasi dapat terjadi
melalui dua sisi, yaitu dari sisi permintaan dan sisi penawaran. Inflasi dari sisi
permintaan (demand inflation) terjadi apabila secara agregat terjadi peningkatan
terhadap barang-barang dan jasa dalam memenuhi permintaan yang mendorong
produsen untuk menambah dana produksi dan menyebabkan pergeseran kurva
permintaan. Kondisi ini secara langsung dapat mengakibatkan inflasi karena
menyebabkan naiknya harga output. Peristiwa ini dinamakan demand inflation.
Sebaliknya apabila secara agregat terjadi penurunan penawaran terhadap
barang-barang dan jasa yang diakibatkan oleh meningkatnya biaya produksi,
maka terjadi pergeseran kurva penawaran yang secara potensial akan
mengakibatkan inflasi disertai kelesuan usaha dalam perekonomian yang
ditunjukkan dengan menurunnya sejumlah output. Kondisi ini dinamakan inflasi
dari sisi penawaran atau cost push inflation (Mankiw, 2000).
11
2.1.6. Indeks Harga Konsumen (IHK)
Ukuran mengenai tingkat harga yang paling banyak digunakan adalah
Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Consumer Price Index (CPI). IHK adalah
harga sekelompok barang dan jasa relatif terhadap harga sekelompok barang dan
jasa yang sama pada tahun dasar. Perhitungan ini dimulai dengan mengumpulkan
harga dari ribuan barang dan jasa, IHK mengubah harga berbagai barang dan jasa
menjadi sebuah indeks tunggal yang mengukur seluruh tingkat harga (Mankiw,
2000). Sedangkan menurut Lipsey, et al. (1997) CPI adalah suatu ukuran harga
rata-rata dari berbagai komoditi yang biasanya dibeli rumah tangga, dikompilasi
setiap bulan oleh BPS.
2.1.7. Nilai Tukar
Nilai tukar didefinisikan sebagai nilai suatu mata uang yang dibutuhkan
untuk mendapatkan satu unit mata uang lainnya (Lipsey, et al., 1997). Sedangkan
menurut Mishkin (2001), nilai tukar mata uang suatu negara adalah harga mata
uang suatu negara tersebut yang dihitung dalam mata uang negara lain.
Menurut Hossain dan Chowdhury (1998), kurs nominal adalah harga dari
mata uang asing dalam bentuk mata uang domestik, kurs nominal dapat
dinyatakan dalam persamaan berikut:
e = Pd / Pf
dimana:
e
= kurs nominal,
Pd
= harga domestik,
Pf
= harga luar negeri.
(2.1)
12
Berdasarkan Mankiw (2000), nilai tukar dibagi menjadi dua yaitu nilai
tukar nominal (nominal exchange rate) dan nilai tukar riil (real exchange rate).
nilai tukar nominal adalah harga relatif dari mata uang dua negara, sedangkan
nilai tukar riil adalah harga relatif dari barang-barang kedua negara. Hubungan
antara nilai tukar riil dan nilai tukar nominal adalah sebagai berikut:
E = e • P /P*
(2.2)
dimana :
E
= nilai tukar riil,
e
= nilai tukar nominal,
P*
= harga luar negeri,
P
= harga dalam negeri.
Setiap negara memiliki sistem nilai tukar yang berbeda sesuai dengan
keinginan pemerintah negara untuk menstabilkan nilai tukar tersebut. Kestabilan
nilai tukar itu dapat melalui intervensi bank sentral atau melalui mekanisme pasar.
Secara umum sistem nilai tukar yang diterapkan saat ini dapat dibagi atas tiga
sistem, yaitu sistem nilai tukar tetap, sistem nilai tukar mengambang terkendali
dan mengambang bebas.
2.1.7.1. Sistem Nilai Tukar Tetap
Sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) merupakan sistem mata
uang yang konvertibel di dalam suatu negara. Dalam sistem ini setiap individu
bebas
melakukan
jual
beli
valuta
asing
yang
dinginkan
dan
untuk
mempertahankan nilai tukarnya, pemerintah melalui bank sentral melakukan jual
beli valuta asing.
13
Pada sistem ini nilai tukar ditetapkan pada nilai tertentu, bank sentral akan
selalu siap untuk menjual atau membeli kebutuhan devisa untuk mempertahankan
nilai tukar yang telah ditetapkan. Apabila nilai tukar tersebut tidak dapat lagi
dipertahankan maka bank sentral dapat melakukan devaluasi ataupun revaluasi
atas nilai tukar yang ditetapkan (Warjiyo, 2004).
2.1.7.2. Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas
Menurut Warjiyo (2004), Pada sistem nilai tukar mengambang (floating
exchange rate), nilai tukar dibiarkan bergerak sesuai dengan kekuatan permintaan
dan penawaran yang terjadi di pasar. Dengan demikian, nilai tukar akan menguat
apabila terjadi kelebihan penawaran, dan sebaliknya nilai tukar akan melemah
apabila terjadi kelebihan permintaan di pasar valuta asing. Kelebihan sistem ini
yaitu sebuah negara tidak harus mempunyai cadangan devisa yang besar sebab
bank sentral tidak harus mempertahankan nilai tukar pada level tertentu.
2.1.7.3. Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali
Otoritas moneter dalam sistem nilai tukar mengambang terkendali (free
floating exchange rate) memiliki wewenang untuk melakukan intervensi di pasar
valuta asing. Hal ini dilakukan untuk melunakkan fluktuasi jangka pendek tanpa
bermaksud mempengaruhi trend kurs jangka panjang. Otoritas moneter ini
menggunakan cadangan devisa untuk mengatasi kelebihan valuta asing jangka
pendek, sehingga mengurangi tekanan depresiasi yang berlebihan.
Bank Sentral menetapkan batasan suatu kisaran tertentu dari pergerakan
nilai tukar yang disebut ’intervention band’ atau batas pita intervensi. Nilai tukar
akan ditentukan sesuai mekanisme pasar sepanjang berada di dalam batas atas
14
atau batas bawah dari kisaran tersebut, jika nilai tukar melewati batas tersebut
maka bank sentral akan secara otomatis melakukan intervensi di pasar valuta
asing sehingga nilai tukar bergerak kembali ke dalam pita intervensi (Warjiyo,
2004).
2.1.8. Pengangguran
Menurut Lipsey, et al. (1997), pengangguran dapat dibedakan menjadi tiga
macam yaitu pengangguran siklis, pengangguran friksional dan pengangguran
struktural. Pengangguran siklis mengacu kepada pengangguran yang terjadi
bilamana permintaan total tidak memadai untuk membeli semua keluaran
potensial ekonomi, sehingga menyebabkan senjang resesi dimana keluaran aktual
lebih kecil daripada keluaran potensial. Orang–orang yang menganggur secara
siklis dikatakan sebagai orang ynag mengganggur terpaksa (involuntarily
unemployed) dalam arti mereka ingin bekerja dengan tingkat upah yang berlaku
tetapi pekerjaan tidak tersedia.
Penganguran struktural dapat didefinisikan sebagai pengangguran yang
disebabkan ketidaksesuaian antara struktur angkatan kerja berdasarkan jenis
keterampilan, pekerjaan, industri atau lokasi geografis dan struktur permintaan
akan tenaga kerja. Sedangkan pengangguran friksional diakibatkan oleh
perputaran (turn-over) normal tenaga kerja. Sumber penting pengangguran
friksional adalah orang-orang muda yang memasuki angkatan kerja dan mencari
pekerjaan. Sumber lainnya adalah orang-orang yang keluar dari pekerjaannya,
baik karena tidak puas dengan kondisi pekerjaan yang sekarang maupun karena
dipecat.
Menurut
Mankiw
(2000),
pengangguran
friksional
(frictional
15
unemployment) yaitu pengangguran yang disebabkan oleh waktu yang dibutuhkan
orang untuk mencari pekerjaan. Perubahan dalam komposisi permintaan di antara
industri atau wilayah selalu terjadi, dan karena perlu waktu bagi para pekerja
untuk mengubah sektor maka pengangguran friksional selalu muncul.
Menurut BPS (2004), konsep dan definisi yang digunakan dalam
pengumpulan data ketenagakerjaan mengacu pada the labour force concept yang
disarankan oleh International Labor Organization (ILO). Definisi pengangguran
terbuka terdiri dari : (a) mereka yang mencari pekerjaan, (b) mereka yang
mempersiapkan usaha, (c) mereka yang tidak mencari pekerjan dan (d) mereka
yang sudah punya pekerjaan. Mencari pekerjaan adalah kegiatan seseorang yang
tidak bekerja dan pada saat survey orang tersebut sedang mencari pekerjaan,
seperti mereka : (a) yang belum pernah bekerja dan sedang berusaha mendapatkan
pekerjaan; (b) yang sudah pernah bekerja, karena sesuatu hal berhenti atau
diberhentikan dan sedang berusaha untuk mendapatkan pekerjaan (BPS, 2004).
2.2.
Penelitian Terdahulu
2.2.1. Penelitian Djivre dan Ribon (2003)
Djivre dan Ribon (2003) dalam penelitiannya yang berjudul “Inflation,
Unemployment, The Exchange Rate, and Monetary Policy in Israel, 1990-99: a
SVAR Approach”, menjelaskan efek kebijakan moneter pada perekonomian Israel,
tingkat pengangguran dan evolusi harga pada periode 1990-1999, dengan
menggunakan pendekatan Structural Vector Autoregression (SVAR). Untuk
menjelaskan penelitian ini digunakan empat variabel endogen yaitu tingkat
pengangguran, inflasi, suku bunga nominal Bank of Israel dan nilai tukar. Analisis
16
IRF pada model penelitian mengindikasikan bahwa kebijakan moneter ketat yang
tidak diharapkan akan diikuti oleh penurunan inflasi secara lambat dan tingkat
pengangguran akan meningkat. Dengan analisis shock struktural aktual, diketahui
bahwa guncangan suplay merupakan penyebab utama mengapa pengangguran
menyimpang dari long term levelnya.
2.2.2. Penelitian Siregar dan Ward (2005)
Siregar dan Ward (2005) melakukan penelitian
yang berjudul “Can
Monetary policy / Shocks Stabilize Indonesian Macroeconomic Fluctuations ?”,
penelitiannya
bertujuan
untuk
melihat
respon
dari
variabel-variabel
makroekonomi kuartalan terhadap shock kebijakan moneter dan shock nilai tukar.
Untuk menjawabnya digunakan teori Mundell-Fleming yang dikontruksi untuk
makroekonomi
Indonesia,
dan
dianalisis
dengan
metode
Structural
Vectorautoregression (SVAR) yang dikombinasikan dengan metode koreksi
kesalahan Vector Error Correction Model (VECM) atau kointegrasi SVAR.
Variabel–variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai tukar
nominal, money stock nominal, suku bunga jangka pendek, output riil, IHK, suku
bunga nominal dunia jangka pendek dan IHK dunia. Data yang digunakan
merupakan data seasonally unadjusted dalam periode 1984:2 sampai dengan
1999:1.
Hasil penelitiannya, diketahui bahwa guncangan kebijakan moneter
mempengaruhi output tidak melalui keseimbangan real money tetapi melalui suku
bunga domestik dalam nilai tukar. Selain itu, guncangan terhadap nilai tukar lebih
berperan daripada shock kebijakan moneter dalam mempengaruhi fluktuasi
17
makroekonomi. Hasil penelitian ini berimplikasi bahwa penggunaan kebijakan
moneter saja tidak dapat mengatasi fluktuasi makroekonomi Indonesia, seperti
saat terjadi krisis keuangan Asia. Kestabilan makroekonomi akan lebih efektif jika
kebijakan moneter dipadukan dengan kebijakan fiskal, ini dipercaya lebih mampu
mempengaruhi pergerakan nilai tukar riil.
2.2.3. Penelitian Siregar, et al. (2006)
International Center for Applied Finance and Economics (InterCAFE) dan
Bank Indonesia mengadakan penelitian yang berjudul “Paradoks Pertumbuhan
Ekonomi dan Pengangguran: Indentifikasi, Implikasi, dan Solusi”. Secara umum
tujuan peneliltian ini untuk mengetahui event penting dalam perekonomian
Indonesia yang menunjukkan gejala paradoks pertumbuhan dan pengangguran
serta menganalisis faktor-faktor penyebab munculnya paradoks tersebut dan
menelaah dampak sumber-sumber guncangan perekonomian terhadap variabel
tenaga kerja kondisi masing-masing sektor sesuai dengan tingkat, pengangguran
dan produktivitas.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian selanjutnya dirumuskan implikasi
kebijakan untuk sistem ketenagakerjaan baik secara agregat maupun sektor
industri dan pertanian, serta beberapa implikasi kebijakan jangka panjang.
Penelitian ini menggunakan Hodrick-Prescott Filter (HPF), Cross-correlation dan
pemodelan Structural Vectorautoregression (cointegrated SVAR) dengan
melakukan inovasi acounting Impulse Response Function (IRF) dan Forecast
Error Variance Decomposition (FEVD).
18
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak duapuluh buah,
dengan menggunakan data dari periode 1980:1 sampai 2005:2. Berdasarkan hasil
ordering (peringkat) terhadap masing-masing variabel, dikelompokkan dua
model, yaitu model agregat (pengangguran, tenaga kerja, dan produktivitas) dan
model sektoral (tenaga kerja dan produktivitas persektor yang meliputi sektor
pertanian, industri dan jasa). Hasil penelitian ini di antaranya menyimpulkan
bahwa paradoks antara pertumbuhan ekonomi dan pengangguran tidak terjadi
dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi dapat menurunkan angka
pengangguran melalui kesempatan kerja dalam jangka panjang. Terdapat tiga
periode penting yang menunjukkan tingkat pengangguran meningkat yaitu 19821983, 1994-1995 dan 2000-2005. Faktor penyebab munculnya paradoks secara
agregat adalah guncangan suku bunga, guncangan agregat suplai, guncangan
produktivitas tenaga kerja dan guncangan upah.
2.3. Kerangka Teori
2.3.1. Kebijakan Moneter untuk Mengendalikan Suku Bunga
i
MS1
MS2
i1
i0
LP
M1 M2
Gambar 2.1. Perubahan Penawaran Uang
Sumber : Mankiw, 2000.
19
Gambar 2.1 menunjukkan kebijakan moneter yang dilakukan melalui
penurunan jumlah uang yang beredar untuk mempengaruhi keseimbangan suku
bunga. Jumlah uang yang beredar ditunjukkan dengan kurva vertikal MS2, dan
permintaan uang diperlihatkan dengan kurva berkemiringan negatif LP,
keseimbangan awal tingkat suku bunga io. Penurunan jumlah uang yang beredar
menyebabkan kurva jumlah uang yang beredar bergeser ke kiri dari MS1 ke MS2,
terjadi keseimbangan suku bunga baru yang lebih tinggi yaitu, di i1.
2.3.2. Efektivitas Kebijakan Moneter dalam Mempengaruhi Perekonomian
Efektivitas kebijakan moneter dapat digambarkan melalui kurva IS-LM.
Berdasarkan pada kurva tersebut, efektivitas kebijakan moneter ditentukan oleh
(1) kemiringan kurva IS, yaitu menunjukkan elastisitas pengeluaran investasi
terhadap suku bunga dan (2) kemiringan kurva LM, yaitu elastisitas permintaan
uang terhadap suku bunga (Gambar 2.2).
Tingkat Bunga
(r)
Tingkat Bunga
(r)
LMTo
LM0
LMD0
LM1
ro
LMD1
ro
r1
LMT1
IS datar
r1’
r1
IS
IS tegak
Y0 Y1 Y2
Y
Yo Y1 Y2
Gambar 2.2. Efektivitas Kebijakan Moneter
dalam Mempengaruhi Perekonomian.
Sumber : Nopirin, 2000.
Y
20
Bila Bank Indonesia melakukan ekspansi moneter dengan menambah
jumlah uang beredar maka kebijakan ini akan efektif mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi (output) pada kurva IS yang datar yaitu sebesar Y2 tetapi apabila kurva
IS tegak pertumbuhan ekonomi sebesar Y1. Kebijakan moneter kurang efektif
dalam mempengaruhi output (Y0–Y1) bila kurva LM datar (LMD), dan apabila
kurva LM tegak (LMT) maka berpengaruh efektif terhadap perekonomian sebesar
(Y0–Y2). Apabila kurva LM horizontal, kebijakan moneter tidak efektif sama
sekali karena Y tidak berubah dan menyebabkan terjadinya liquidy trap yaitu
kebijakan moneter gagal mempengaruhi output tetapi justru menimbulkan dampak
terhadap inflasi.
2.3.3. Teori Permintaan Agregat dengan Pendekatan Model IS-LM
Kurva permintaan agregat menggambarkan hubungan antara tingkat harga
dengan tingkat pendapatan nasional. Keseimbangan makroekonomi secara
simultan ditentukan oleh bertemunya permintaan agregat (AD) dan penawaran
agregat (AS). Teori ini memperlihatkan posisi kurva IS-LM ketika harga
dibiarkan berubah-ubah. Guncangan yang terjadi pada permintaan agregat akan
menyebabkan terjadinya perubahan harga. Guncangan ini dapat diantisipasi
melalui kebijakan moneter yang mempengaruhi kurva LM.
Perekonomian berada pada keseimbangan jangka pendek pada titik K dan
tingkat harga P1 , kondisi ini menunjukkan perekonomian sedang resesi. Apabila
dalam jangka pendek diasumsikan tingkat harga tetap, terjadi penurunan biaya
input maka output dapat diproduksi dengan biaya yang lebih rendah sehingga
biaya output turun. Kondisi ini menggeser kurva AS jangka pendek ke bawah
21
pada tingkat harga yang lebih murah P2. Keseimbangan jangka panjang pada
kurva IS-LM terjadi ketika harga turun menyebabkan keseimbangan uang riil
(daya beli) meningkat melalui pergeseran kurva LM ke kanan bawah LM (P2)
dengan suku bunga yang lebih rendah. Biaya output yang lebih murah
meningkatkan kembali perekonomian pada tingkat kesimbangan alamiah di titik C
pada kurva SRAS2. Uraian ini dapat dijelaskan pada Gambar 2.3.
Tingkat
bunga, r
LRAS
P
LRAS
LM (P1)
LM (P2)
r1
P1
K
SRAS1
C
P2
r2
SRAS2
IS
Y
Pendapatan (Y)
AD
Y
Pendapatan (Y)
Gambar 2.3. Model IS-LM (a) dan Model Penawaran Agregat dan Permintaan
Agregat (b) dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Sumber : Mankiw, 2000.
Analisis ini menunjukkan bahwa dalam jangka pendek, proses
penyesuaian belum sempurna karena harga masih kaku terhadap adanya
perubahan (shock) dalam perekonomian. Sementara itu, dalam jangka panjang
penyesuaian terjadi secara sempurna karena adanya penyesuaian pada tingkat
harga sehingga keseimbangan perekonomian kembali pada posisi alamiah atau
pada titik keseimbangan baru.
Guncangan kebijakan moneter dalam mempengaruhi permintaan agregat
dalam perekonomian sangat tergantung pada posisi kurva penawaran agregat
(AS). Apabila kurva AS vertikal (asumsi klasik), shock kebijakan moneter akan
22
menyebabkan tingkat harga berubah dan pendapatan nasional tetap, tetapi apabila
kurva AS horisontal (asumsi Keynesian) maka shock kebijakan moneter akan
menyebabkan perubahan pada tingkat pendapatan dari posisi alamiah sementara
tingkat harga tetap.
2.3.4. Kebijakan Moneter dalam Konsep Pendekatan Harga
Kebijakan moneter dalam konsep pendekatan harga diset untuk mencapai
sasaran, yaitu pengendalian inflasi melalui pendekatan operasional suku bunga.
UU No.23/1999 melandasi tugas Bank Indonesia, yaitu pencapaian inflasi dan
nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika yang terkendali.
Konsep dasar kebijakan moneter dalam pentargetan inflasi, meliputi
sasaran inflasi, kebijakan moneter yang mengarah kedepan, transparansi,
akuntabilitas
dan
kredibilitas.
Dalam
penetapannya,
sasaran
inflasi
mempertimbangkan berbagai faktor dan perkembangan ekonomi makro terutama
kerugian sosial yang diakibatkan oleh adanya trade-off antara inflasi dan
pertumbuhan ekonomi. Sasaran inflasi merupakan dasar bagi pelaksanaan
kebijakan moneter dan penetapannya dilakukan dalam jangka waktu menengah
dan
panjang.
Kebijakan
pentargetan
inflasi
merupakan
langkah
untuk
mengantisipasi inflasi yang akan terjadi (forward looking) akibat pengaruh
kebijakan moneter terhadap kestabilan harga dimana terdapat tenggang waktu atau
lag (Warjiyo, 2004).
2.3.5. Inflasi Gejolak Permintaan
Inflasi gejolak permintaan (demand shock inflation) terjadi bila pergeseran
ke kanan pada kurva AD menyebabkan permintaan agregat melebihi penawaran
23
agregat pada tingkat pendapatan kesempatan kerja penuh. Pergeseran kurva AD
dapat disebabkan oleh pengurangan pajak, kenaikan mata pembelanjaan otonom
seperti investasi, pengeluaran pemerintah dan ekspor neto atau kenaikan jumlah
uang yang beredar.
LRAS
Tingkat harga
SRAS
P
AD2
Yf Ya
AD1
Y riil
Gambar 2.4. Inflasi Gejolak Permintaan
Sumber : Lipsey, et al., 1997.
Berdasarkan Gambar 2.4 dapat diketahui bahwa ketika terjadi pergeseran
kurva AD ke kanan, terjadi peningkatan output melebihi tingkat kerja penuh (Ya
>Yf), pada kondisi ini tingkat pengangguran turun dan tingkat harga akan naik.
2.3.6. Inflasi Gejolak Penawaran dengan Validasi dan Tanpa Validasi
Moneter
Setiap kenaikan tingkat harga yang bermula dari kenaikan biaya yang
tidak disebabkan oleh kelebihan permintaan di pasar akan faktor-faktor produksi
dinamakan inflasi gejolak penawaran atau inflasi desakan biaya (cost-push
inflation), contoh gejolak sisi penawaran adalah kenaikan biaya bahan baku impor
atau kenaikan biaya upah domestik perunit keluaran. Gejolak penawaran
inflasioner pada Gambar 2.5 awalnya menaikkan harga bersamaan dengan
24
menurunkan pendapatan. Gejolak penawaran menyebabkan kurva SRAS bergeser
ke kiri dari SRAS1 ke SRAS2 seperti diperlihatkan oleh anak panah 1.
LRAS
Tingkat harga, P
SRAS2
2
SRAS1
P1
1
Yf Ya
AD2
AD1
Y riil
Gambar 2.5. Gejolak Penawaran dengan Validasi
dan Tanpa Validasi Moneter
Sumber : Lipsey, et al., 1997.
Jika tidak ada validasi moneter, pengangguran akan menimbulkan
tekanan ke bawah terhadap upah dan biaya lain-lain, menyebabkan kurva SRAS2
bergeser lambat kembali ke kanan, ke SRAS1, harga akan turun dan output akan
kembali ke keseimbangan semula di Yf. Jika ada validasi moneter, kurva AD
bergeser dari AD1 ke AD2, seperti ditunjukkan oleh anak panah 2. Ini memulihkan
kembali menuju keseimbangan kesempatan kerja penuh dengan tingkat harga
yang lebih tinggi.
2.3.7. Kebijakan Moneter Ekspansioner dalam Sistem Kurs Tetap
Bila bank sentral meningkatkan penawaran uang (membeli obligasi dari
masyarakat) pada sistem kurs tetap, maka akan terjadi tekanan ke bawah pada
kurs, dari ê menuju keseimbangan baru di e. Untuk mempertahankan kurs tetap
(ê) maka bank sentral menurunkan penawaran uang sehingga kurva LM2 bergeser
kembali ke kiri, dan tingkat kurs tetap (ê) dapat dicapai kembali.
25
Kurs, e
LM1
LM2
ê
e
Pendapatan, Y
Gambar 2.6. Ekspansi Moneter dalam Sistem Kurs Tetap
Sumber : Mankiw, 2000.
2.3.8. Kebijakan Moneter Ekspansioner dalam Sistem Kurs Mengambang
Dengan asumsi tingkat harga tetap, ketika bank sentral meningkatkan
penawaran uang, maka keseimbangan uang riil akan meningkat sehingga kurva
LM1 bergeser ke kanan, pendapatan (Y) naik dan kurs akan turun (Gambar 2.7).
Kurs, e
LM1
LM2
e1
e2
Pendapatan, Y
Y1 Y2
Gambar 2.7. Ekspansi Moneter dalam Sistem Kurs Mengambang
Sumber : Mankiw, 2000.
2.3.9. Kurva Phillips
Para ekonom sering menampilkan penawaran agregat atau Aggregate
Supply (AS) dalam hubungan yanng disebut Kurva Phillips. Kurva ini
menyatakan bahwa inflasi tergantung pada inflasi yang di harapkan, deviasi
pengangguran dari tingkat alamiah, dan guncangan penawaran. Menurut kurva
26
Phillips, para pembuat kebijakan yang mengendalikan permintaan agregat
menghadapi trade-off jangka pendek antara inflasi dan pengangguran.
Inflasi, π
π1
π0
Pengangguran, U
Gambar 2.8. Kurva Phillips
Sumber : Mankiw, 2000.
Kurva Phillips menunjukkan bahwa dengan adanya guncangan ynag
menguntungkan, menurunkan inflasi memerlukan periode pengangguran tinggi
dan menurunnya output. Berdasarkan Gambar 2.8 dapat diketahui trade off dalam
jangka pendek dimana terdapat hubungan yang negatif antara inflasi dan
pengangguran. yang tergantung pada inflasi yang diharapkan. Kurva tersebut lebih
tinggi bila inflasi yang diharapkan semakin tinggi.
Menurut Lipsey, et al. (1997), kurva Phillips dapat diterjemahkan ke
dalam kurva yang mengaitkan perubahan upah dengan senjang keluaran dengan
memperhatikan bahwa pengangguran mempunyai hubungan negatif. Senjang
resesi berkaitan dengan tingkat pengangguran yang tinggi dan senjang inflasi
berkaitan dengan tingkat pengangguran yang rendah.
27
2.4.
Kerangka Pemikiran
Latar Belakang Masalah:
ƒ Perekonomian Indonesia mengalami fluktuasi naik turun dalam periode 1990-2005,
sehingga terdapat kebijakan yang berbeda pada setiap siklus perekonomian.
ƒ Ketika krisis 1997/1998, Indonesia mengalami inflasi sebesar 77,63 persen pada
tahun 1998, BI menerapkan suku bunga pada Juli 1998 hingga menyentuh angka 61
persen, tingkat pengangguran meningkat 1,4 juta orang dan Rupiah terdepresiasi
hingga pernah mencapai level 14.900 Rupaih per Dollar pada Juni 1998.
ƒ Agar perekonomian stabil, pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia perlu
melakukan langkah stabilisasi makro, yaitu dengan menetapkan SBI sebagai
instrument kebijakan moneter.
Dari sejumlah masalah yang dirumuskan kemudian dibuat tujaun penelitian:
1. Menganalisis bagaimana respon variabel-variabel makroekonomi terhadap
perubahan kebijakan moneter di Indonesia?
2. Menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan inflasi dan
pengangguran di Indonesia?
Model Penelitian:
xt =
k
k
k
k
∑ Γi it − i + ∑ Φ i M t − i + ∑ Ψ i CPI t − i + ∑ η i E t − i +
i =1
i =1
i =1
Metode Penelitian : Structural
Vector Autoregression (SVAR)
yang dikombinasikan metode
koreksi kesalahan Vector Error
Correction Model (VECM)
i =1
k
∑θ U
i =1
i
t −1
+ D + e ti
Variabel Endogen : SBI, jumlah
uang beredar, CPI, nilai tukar,
penggangguran.
Variabel Eksogen : dummy krisisperubahan rezim nilai tukar
Hasil dan Pembahasan
Kesimpulan dan Saran
Gambar 2.9. Kerangka Pemikiran
28
Dengan sejumlah permasalahan dan tujuan yang dirumuskan dalam
penelitian ini, secara garis besar tahapan-tahapan dalam penelitian ini dapat di
lihat pada Gambar 2.9. Untuk menjawab permasalahan dan penelitian yang
dirumuskan, maka sebagai langkah awal dilakukan studi literatur melaui berbagai
sumber mengenai teori-teori ekonomi dan hasil penelitian sebelumnya yang
terkait dengan kebijakan moneter yaitu penetapan tingkat suku bunga, jumlah
uang yang beredar, inflasi, nilai tukar dan pengangguran.
Untuk mendapatkan hasil penelitian, variabel-variabel penelitian diolah
dengan metode SVAR yang dikombinasikan metode koreksi kesalahan Vector
Error Correction Model (VECM), variabel-variabel tersebut diurutkan (ordering)
berdasarkan teori ekonomi, yaitu menghubungkan keterkaitan antara kebijakan
moneter berupa penetapan tingkat suku bunga, jumlah uang yang beredar, inflasi,
nilai tukar dan pengangguran.
Pengurutan variabel atau ordering dengan faktorisasi cholesky berdasarkan
teori ekonomi, yaitu dengan menempatkan variabel yang relatif paling sulit
dipengaruhi oleh variabel lain diletakkan paling awal, sementara variabel yang
tidak memiliki nilai prediksi terhadap variabel lain diletakkan dibelakang,
sedangkan variabel yang memiliki korelasi prediksi terhadap variabel lain
diletakkan berdampingan satu sama lain. Variabel tersebut diurutkan dari variabel
yang moneter sampai menuju variabel yang riil.
Ordering penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut, bank sentral
menetapkan kebijakan moneter dengan menggunakan instrumen suku bunga SBI,
untuk mempengaruhi jumlah uang yang beredar. Perubahan jumlah uang yang
29
beredar akan mempengaruhi tingkat inflasi yang terjadi. Perubahan jumlah uang
yang beredar juga berdampak pada terdepresiasi atau terapresiasinya nilai tukar
Rupiah. Yang terakhir yaitu menempatkan variabel pengangguran pada akhir
pengurutan. Setelah variabel-variabel penelitian diurutkan (ordering), kemudian
diolah melalui berbagai tahapan pengujian, lalu dianalisis untuk menarik
kesimpulan dan saran.
BAB III. GAMBARAN UMUM
3.1.
Gambaran Inflation Targeting Framework
Bank Indonesia mulai bulan Juli 2005 mengimplementasikan kerangka
kerja kebijakan moneter yang baru, yaitu ITF (Inflation Targeting Framework),
ITF merupakan sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan
pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam
beberapa periode ke depan.
Menurut Mishkin dalam Bank Indonesia (2005) penggunaan ITF
bermanfaat untuk: (1) menurunkan inflasi; (2) membuat kebijakan moneter lebih
terfokus; (3) memperkuat komunikasi, transparansi dan akuntabilitas; (4)
membantu menurunkan dan mengarahkan ekspektasi inflasi dan lebih baik dalam
mengatasi kejutan inflasi; (5) membantu menurunkan volatilitas output dalam
jangka
menengah;
(6)
teruji
terhadap
kejutan
ekonomi
yang
kurang
menguntungkan; (7) kebijakan moneter relatif fleksibel dalam mengakomodasi
kejutan inflasi temporer yang tidak mengganggu pencapaian sasaran inflasi jangka
menengah. Dan manfaat yang terakhir untuk memperkuat independensi bank
sentral dalam melaksanakan kebijakan moneter.
Menurut Bank Indonesia (2005), sasaran inflasi yang telah ditetapkan
Pemerintah untuk tahun 2005, 2006, dan 2007 masing-masing sebesar 6 persen ±
1 persen, 5,5 persen ± 1 persen, dan 5 persen ± 1 persen. Penetapan lintasan
sasaran inflasi ini sejalan dengan keinginan untuk mencapai sasaran inflasi jangka
31
menengah panjang sebesar 3 persen agar Indonesia mampu bersaing dengan
negara-negara Asia lainnya.
Salah satu isu jangka pendek yang perlu diperhatikan adalah prakiraan
inflasi tahun 2006 yang cenderung lebih tinggi dari sasaran, terutama karena
dampak administered prices, volatile foods, dan melemahnya nilai tukar yang
lebih besar dari perkiraan semula. Dan dalam pembahasan asumsi makro APBN-P
2005 dan RAPN 2006 juga disepakati angka inflasi yang lebih tinggi, yaitu 7,5
persen untuk tahun 2005, dan 6,5 persen sampai 8 persen untuk tahun 2006.
ITF mencakup empat elemen mendasar: penggunaan suku bunga BI rate
sebagai sasaran operasional, proses perumusan kebijakan moneter yang
antisipatif, strategi komunikasi yang lebih transparan, dan penguatan koordinasi
kebijakan dengan Pemerintah. Langkah-langkah tersebut ditujukan untuk
meningkatkan efektifitas dan tata kelola (governance) kebijakan moneter dalam
mencapai sasaran akhir kestabilan harga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi
12.75
12.75 12.75
12.75
12.5
12.5
12.25
BI Rate
5Ap
r-0
6
9
M
ei
20
06
6
Ju
ni
20
06
6
Ju
li
20
06
8
A
gu
st
20
06
11.75
7Fe
b06
7
M
ar
et
20
06
13
12.8
12.6
12.4
12.2
12
11.8
11.6
11.4
11.2
9Ja
n06
Persen (%)
yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat.
Periode
Gambar 3.1. Perkembangan BI rate periode Januari-Agustus 2006.
Sumber : Bank Indonesia (2006).
32
BI rate diumumkan ke publik segera setelah ditetapkan dalam Rapat
Dewan Gubernur (RDG). Dalam Gambar 3.1 dapat dilihat perkembangan BI rate
periode Januari-Agustus 2006. BI rate yang diumumkan pada bulan Januari-April
bernilai sama yaitu sebesar 12,75 persen. Kemudian mulai diturunkan pada bulan
berikutnya menjadi sebesar 12,50 persen dan pada bulan Agustus nilainya
ditetapkan sebesar 11,75 persen. BI rate tersebut ditetapkan sebagai sinyal stance
kebijakan moneter dalam merespon prospek pencapaian sasaran inflasi ke depan.
3.2.
Perkembangan Indikator-Indikator Makroekonomi di Indonesia
Perkembangan perekonomian suatu negara dapat dikatakan sedang
meningkat atau menurun berdasarkan beberapa indikator dasar makroekonominya
diantaranya suku bunga, jumlah uang beredar, inflasi, nilai tukar dan
pengangguran. Berikut
ini
merupakan
perkembangan
indikator-indikator
makroekonomi di Indonesia dari tahun ke tahun.
a.
Suku Bunga SBI
Bank Indonesia sebagai lembaga otoritas moneter melakukan upaya
stabilisasi melalui instrumen suku bunga SBI, dari Gambar 3.2 dapat dilihat
perkembangan SBI mulai tahun 1996 sampai dengan tahun 2005.
Sebelum terjadi krisis ekonomi terjadi, tingkat SBI yang ditetapkan
otoritas moneter berkisar antara 11-14 persen, kemudian meningkat tajam pada
bulan Mei-September 1998 yaitu sebesar 39 persen, penetapan tingkat SBI yang
tinggi ini merupakan langkah yang diambil otoritas moneter untuk mengurangi
jumlah uang beredar yang terlalu banyak dimasyarakat. Di tahun 2005 tingkat SBI
33
yang ditetapkan sekitar 12 persen. Penetapan SBI ini tentu saja disesuaikan
dengan kondisi perekonomian yang terjadi.
Q
4
Q
1
19
96
19
Q 96
3
19
Q 97
2
19
Q 98
1
19
Q 99
4
19
Q 99
3
20
Q 00
2
20
Q 01
1
20
Q 02
4
20
Q 02
3
20
Q 03
2
20
Q 04
1
20
Q 05
4
20
05
%
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Triwulanan
SBI
Gambar 3.2. Perkembangan SBI Periode 1996-2005
Sumber: Bank Indonesia (2006).
b.
Jumlah Uang yang Beredar (M1)
Jumlah uang yang beredar dalam arti sempit dipengaruhi oleh
pertumbuhan uang kartal dan uang giral. Pertumbuhan M1 selama periode
penelitian mengalami pertumbuhan yang positif, meskipun pertumbuhannya
mengalami naik turun. Jumlah uang yang beredar dapat menggambarkan
liquiditas perekonomian. Gambar 3.3 memperlihatkan trend jumlah uang yang
beredar (M1) mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
34
300000
250000
200000
150000
100000
50000
0
Q
4
Q
1
19
96
19
96
Q
3
19
97
Q
2
19
98
Q
1
19
99
Q
4
19
99
Q
3
20
00
Q
2
20
01
Q
1
20
02
Q
4
20
02
Q
3
20
03
Q
2
20
04
Q
1
20
05
Q
4
20
05
Milyar Rp
Jumlah Uang Beredar
Triwulanan
Jumlah Uang Beredar
Gambar 3.3. Jumlah Uang yang Beredar Periode 1996-2005
Sumber: Bank Indonesia (2006).
Pada bulan Januari 2006, jumlah uang yang beredar kurang lebih sebesar
281 milyar Rupiah, bulan Februari dan Maret 2006 menurun menjadi kurang lebih
sebesar 277 milyar Rupiah, bulan berikutnya mengalami peningkatan dan pada
bulan Mei 2006 jumlahnya kurang lebih sebesar 304 milyar Rupiah. Peningkatan
jumlah uang yang beredar ini menunjukkan liquiditas perekonomian mengalami
peningkatan.
c.
Consumer Price Index (CPI)
Inflasi adalah indikator pergerakan harga-harga barang dan jasa secara
umum, yang secara bersamaan juga berkaitan dengan kemampuan daya beli.
Sebelum krisis, tingkat inflasi di Indonesia berada antara nilai 6.63 % - 10.18 %
pertahun, inflasi mencerminkan stabilitas harga semakin rendah nilai suatu inflasi
berarti semakin besar adanya kecenderungan ke arah stabilitas harga. Gambar 3.4
menunjukkan perkembangan inflasi year on year periode 1990-2005.
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Inflasi
Ta
hu
n
Ta 199
hu
0
n
Ta 199
hu
1
n
Ta 19
hu 92
n
Ta 199
hu
3
n
Ta 199
hu
4
n
Ta 19
hu 95
n
Ta 199
hu
6
n
Ta 199
hu
7
n
Ta 199
hu
8
n
Ta 19
hu 99
n
Ta 200
hu
0
n
Ta 200
hu
1
n
2
Ta
0
hu 02
n
Ta 200
hu
3
n
Ta 200
hu
4
n
20
05
Persen (%)
35
Tahun
Gambar 3.4. Inflasi YOY dari Tahun 1990-2005.
Sumber : Bank Indonesia (2006).
Saat krisis terjadi tingkat inflasi di Indonesia meningkat tajam, pada
September 1998 tingkat Inflasi di Indonesia mencapai 82,40 persen. Tingkat
inflasi yang tinggi pada saat itu mencerminkan ketidakstabilan harga, hal ini tentu
saja mengurangi daya beli masyarakat.
Pada Januari 2006 tingkat inflasi yang terjadi sebesar 17,03 persen, pada
bulan Maret 2006 sebesar 15,74 persen, kemudian terus menurun dan pada bulan
Juli 2006 tingkat inflasi yang terjadi sebesar 15,15 persen. Tingkat inflasi bulanan
periode Januari-Juli 2006 yang cenderung mengalami penurunan dari waktu ke
waktu menunjukkan semakin besar kecenderungan ke arah stabilitas harga.
d.
Nilai Tukar
Nilai tukar merupakan pembanding nilai mata uang suatu negara dengan
negara lain. Ketika nilai mata uang suatu negara menguat, maka perekonomiannya
dapat dikatakan sedang meningkat dibandingkan dengan negara lain, ini berlaku
pula sebaliknya. Sehingga, nilai tukar dapat digunakan sebagai indikator pada
36
kondisi perekonomian suatu negara. Nilai tukar Rupiah mengalami fluktuasi dari
tahun ke tahun, pada saat sebelum krisis yaitu dari tahun 1993-1996, nilai tukar
16000
14000
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0
Q
1
19
96
Q
4
19
96
Q
3
19
97
Q
2
19
98
Q
1
19
99
Q
4
19
99
Q
3
20
Q 00
2
20
01
Q
1
20
02
Q
4
20
02
Q
3
20
03
Q
2
20
04
Q
1
20
05
Q
4
20
05
Rp/US$
Rupiah berada pada kisaran 2.110 – 2.383 Rupiah per US Dollar.
Triwulanan
Kurs
Gambar 3.5. Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah dari Tahun 1996-2005
Sumber : Bank Indonesia (2006).
Rupiah yang bernilai 2.450 Rupiah per US Dollar pada bulan Juni 1997
mengalami depresiasi secara terus menerus hingga pada akhir tahun 1997
mencapai 4.650 Rupiah per US Dollar. Untuk menahan laju nilai tukar Rupiah,
pemerintah melepas sistem kurs mengambang terkendali dan menerapkan sistem
kurs mengambang bebas. Namun memasuki tahun 1998 kondisi nilai tukar
Rupiah semakin parah dan puncaknya mencapai 14.850 Rupiah per US Dollar
pada Juni 1998.
Pada akhir triwulan ke-4 tahun 2005 Rupiah cenderung menguat, hal ini
disebabkan adanya capital inflow, konsistensi kebijakan moneter yang ketat,
adanya kebijakan stabilisasi Rupiah dan karena terdapat sentimen positif resufle
37
kabinet. Nilai tukar Rupiah pada triwulan ke-4 tahun 2005 bergerak cukup stabil
dengan kecenderungan terapresiasi di bulan terakhir, dengan nilai rata-rata pada
triwulan terakhir mencapai 9.991 Rupiah per US Dollar. Secara tahunan, pada
tahun 2005 Rupiah telah mencapai 9.713 Rupiah per US Dollar atau terdepresiasi
8,6 persen dibanding rata-rata 2004 (Sitorus, 2006).
e.
Pengangguran
Masalah pengangguran selalu terjadi di setiap negara. Munculnya
pengangguran dalam perekonomian dapat menimbulkan biaya, yaitu hilangnya
output yang seharusnya bisa dihasilkan oleh setiap tenaga kerja.
Tabel 3.1. Jumlah Pengangguran di Indonesia Periode 1998-2005
Tahun
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Jumlah Pengangguran (Orang)
5.062.483
6.030.319
5.813.231
8.005.031
9.132.104
9.531.090
10.251.351
10.854.254
Persentase Kenaikan (%)
19,11 %
-3,59 %
37,70 %
14,07 %
4,36 %
7,55 %
5,88 %
Sumber : BPS (2006).
Berdasarkan Tabel 3.1 dapat diketahui bahwa angka pengangguran
menunjukkan trend yang meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 1998 jumlah
pengangguran di Indonesia hanya sekitar 5,06 juta orang dan dalam jangka waktu
tujuh tahun meningkat lebih dari 100 persen menjadi sekitar 10,8 juta orang.
Adanya peningkatan jumlah penganguran dari tahun ke tahun menunjukkan
bahwa lapangan pekerjaan yang tersedia lebih sedikit dibandingkan dengan
penawaran tenaga kerjanya.
IV. METODE PENELITIAN
4.1.
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dari berbagai sumber, yaitu data publikasi Statistik Ekonomi dan
Keuangan Indonesia (SEKI) dari Bank Indonesia (BI), publikasi International
Financial Statistic (IFS) dari International Monetary Fund (IMF) dan data
publikasi Badan Pusat Satistik Indonesia (BPS). Data-data yang digunakan adalah
data kuartalan dari periode 1990:1-2005:4, meliputi suku bunga Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) tiga bulanan, jumlah uang beredar (M), Consumer Price Index
(CPI), nilai tukar US Dollar per Rupiah (E) dan data pengangguran (U).
Tabel 4.1. Data, Satuan, Simbol dan Sumber Data
Nama Variabel
Satuan
Simbol
Sumber
SBI 3 bulan
Persen
i (SBI)
SEKI, BI
Jumlah uang
beredar
Milyar
Rupiah
M
SEKI, BI
-
CPI
IFS, IMF
US Dollar
per Rupiah
KURS
(E)
SEKI, BI
Orang
U
BPS
CPI
Nilai tukar (kurs)
Pengangguran
Definisi
Suku bunga SBI dihitung dengan
menggunakan rata-rata tertimbang
dan memperhitungkan bobot
volume transaksi yang terjadi pada
periode yang bersangkutan
Kewajiban sistem moneter yang
terdiri atas uang kartal dan uang
giral dalam arti sempit (M1)
Harga sekelompok barang dan jasa
relatif terhadap harga sekelompok
barang dan jasa yang sama pada
tahun dasar
harga dari mata uang asing dalam
bentuk mata uang domestik
Total pengangguran terbuka yang
berada di desa dan di kota
Data tahunan yang diteliti dapat menyebabkan derajat bebas model
menjadi kecil. Karena itu data tahunan perlu dilakukan transformasi frekuensi
menjadi triwulanan dengan menggunakan Cubic Spline. Perubahan frekuensi high
39
to low dilakukan melalui Maximum Observation, sedangkan perubahan dari low to
high dilakukan melalui Cubic Math. Dalam penelitian ini data pengnguran
ditransformasi dengan menggunakan Cubic Spline.
Semua data yang digunakan dalam penelitian ini dalam bentuk logaritma,
kecuali data yang sudah dalam bentuk persen seperti suku bunga SBI. Hal ini
untuk memudahkan analisis, karena baik dalam IRF maupun variance
decomposition pengaruh guncangannya dilihat dalam persentase.
4.2.
Model Penelitian
Model penelitian ini diadopsi dari Djivre dan Ribon (2003), metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Strctural Vector Autoregression (SVAR)
yang dikombinasikan dengan Vector Error Correction Model (VECM).
Krisis ekonomi terjadi pada pertengahan tahun 1997, begitupula dengan
pergantian rezim nilai tukar (pemerintah melepas sistem kurs mengambang
terkendali dan menerapkan sistem kurs mengambang bebas pada tanggal 14
Agustus 1997). Karena kedua peristiwa tersebut terjadi pada waktu berdekatan
maka hanya digunakan satu variabel dummy konstanta sebagai variabel eksogen.
Dummy sebelum krisis dan sebelum pergantian rezim nilai tukar pada periode
1990:1 sampai 1997:2 bernilai nol, sedangkan dummy krisis sampai pasca krisis
dan setelah pergantian rezim nilai tukar pada periode 1997:3 sampai 2005:4
bernilai satu.
40
Model SVAR penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
xt =
k
∑Γi
i =1
i t −i
k
k
+ ∑ Φ i M t − i + ∑ Ψ i CPI
i =1
i =1
t −i
k
k
i =1
i =1
+ ∑ η i E t − i + ∑ θ iU t −1 + D + e ti
(4.1)
dimana:
xt
= variabel it, Mt, CPIt, Et, Ut,
it
= suku bunga Bank Indonesia pada periode t,
Mt
= jumlah uang beredar pada periode t,
CPIt
= inflasi pada periode t,
Et
= nilai tukar US $/Rp pada periode t,
Ut
= pengangguran pada periode t,
D
= dummy krisis-peralihan rezim nilai tukar,
Γ
= parameter dalam bentuk matriks polinomial it,
Φ
= parameter dalam bentuk matriks polinomial Mt,
Ψ
= parameter dalam bentuk matriks polinomial CPIt,
η
= parameter dalam bentuk matriks polinomial Et,
θ
= parameter dalam bentuk matriks polinomial Ut,
i
= panjang lag (ordo) VAR,
e
= error term.
4.3.
Metode Analisis Data
Salah satu metode yang digunakan untuk menganalisis data time series
adalah menggunakan metode VAR, metode ini merupakan salah satu bentuk
model ekonometrika makro yang sering digunakan untuk melihat permasalahan
fluktuasi makroekonomi.
41
Metode analisis Vector Autoregression (VAR) merupakan suatu sistem
persamaan yang memperlihatkan setiap peubah sebagai fungsi linier dari
konstanta dan nilai lag (lampau) dari peubah itu sendiri serta nilai lag dari peubah
lain yang ada dalam sistem. Jadi peubah penjelas dalam VAR meliputi nilai lag
seluruh peubah tak bebas dalam sistem.
Menurut Arsana (2004), metode Vector Autoregression (VAR) ciptaan
Sims menyediakan alat analisis melalui empat macam penggunaannya: (1)
Forecasting, ekstrapolasi nilai saat ini dan masa depan seluruh variabel dengan
memanfaatkan seluruh informasi masa lalu variabel, (2) IRF melacak respon saat
ini dan masa depan setiap variabel akibat perubahan atau shock suatu variabel
tertentu, (3) FEVD memprediksi kontribusi persentase varians setiap variabel
terhadap perubahan suatu variabel tertentu, (4) Granger Causality Test, untuk
mengetahui hubungan sebab akibat antar variabel.
VAR dengan lag p dan n peubah tak bebas pada waktu ke-t dapat
dimodelkan sebagai berikut:
Yt = A0 + A1Yt −1 + A2Yt −1 + ...... + APYt − p + ε t
dimana:
Yt
= vektor peubah tak bebas (Y1.t, Y2.t, Yn.t) berukuran n x 1,
A0
= vektor intersep berukuran n x 1,
Ai
= matriks parameter berukuran n x 1,
εt
= vektor sisaan (ε1t, ε2t,…… εnt) berukuran n x 1.
(4.2)
42
Persamaan VAR secara umum menurut Thomas (1997) adalah:
k
Yt = ∑ AiYt −i + ∈t
(4.3)
i =1
dimana:
Yt
= vektor kolom pengamatan pada waktu t semua variabel dalam model,
At
= matriks parameter,
k
= lag dari model VAR.
Analisis VAR harus memenuhi asumsi bahwa semua peubah tak bebas
bersifat stasioner, semua sisaan bersifat white-noise. Berarti sisaannya memiliki
rataan nol, ragam konstan dan diantara variabel tak bebas tidak ada korelasi.
Metode SVAR merupakan bentuk perluasan dari Vector Autoregression
(VAR). Dalam metode VAR tidak dibuat suatu restriksi teoritis berdasarkan teori
ekonomi yang relevan pada variabel yang digunakan dalam analisis, sedangkan
dalam SVAR dibuat suatu restriksi berdasarkan hubungan teoritis yang kuat akan
skema (peta hubungan) bentuk urutan (ordering) variabel-variabel yang digunakan
dalam sistem VAR. Oleh karena itu SVAR juga dikenal sebagai bentuk VAR
yang teoritis (Arsana, 2004).
Spesifikasi model SVAR yang digunakan dalam penelitian ini dapat
dinyatakan dalam persamaan (4.4):
⎡1
⎢b
⎢ 21
⎢b31
⎢
⎢b41
⎢⎣b51
B
b12 b13 b14
1 b23 b24
b32 1 b34
b42 b43 1
b52 b53 b54
b15 ⎤ ⎡ it ⎤ ⎡γ 10 ⎤ ⎡γ 11
b25 ⎥⎥ ⎢⎢ M t ⎥⎥ ⎢⎢γ 20 ⎥⎥ ⎢⎢γ 21
b35 ⎥ ⎢CPIt ⎥ = ⎢γ 30 ⎥ + ⎢γ 31
⎥ ⎢ ⎥ ⎢
⎥⎢
b45 ⎥ ⎢ Et ⎥ ⎢γ 40 ⎥ ⎢γ 41
1 ⎥⎦ ⎢⎣ U t ⎥⎦ ⎢⎣γ 50 ⎥⎦ ⎢⎣γ 51
yt
γo
Г1
γ 12
γ 22
γ 32
γ 42
γ 52
γ 13
γ 23
γ 33
γ 43
γ 53
γ 14
γ 24
γ 34
γ 44
γ 54
γ 15 ⎤⎡ it −1 ⎤ ⎡ε 1t ⎤
γ 25 ⎥⎥⎢⎢ M t −1 ⎥⎥ ⎢⎢ε 2t ⎥⎥
γ 35 ⎥⎢CPIt −1 ⎥ + ⎢ε 3t ⎥
⎥ ⎢ ⎥
⎥⎢
γ 45 ⎥⎢ Et −1 ⎥ ⎢ε 4t ⎥
γ 55 ⎥⎦⎢⎣ U t −1 ⎥⎦ ⎢⎣ε 5t ⎥⎦
yt-1
εt
43
Persamaan SVAR untuk model di atas dapat diringkas menurut Zivot (2000)
menjadi persamaan sebagai berikut:
B yt = γ 0 + Γ1 + y t −1 + ε t
(4.5)
dimana:
B
= matriks n*n yang mengandung parameter struktural dari variabel
endogen,
yt
= vektor variabel endogen suku bunga SBI, jumlah uang yang beredar,
indeks harga konsumen, nilai tukar dan pengangguran,
γo
= intersep,
Г1
= matriks polinomial (finite order matrix) dengan lag operator 1,
yt-1
= vektor auto regressive dengan lag operator 1,
εt
= vektor white-noise.
Persamaan (4.5) memiliki masalah representasi. Hal itu karena koefisien
dari matriks tidak diketahui dan setiap variabel memiliki efek kontemporer
(contemporeneous effect) sehingga tidak mungkin untuk menentukan nilai
parameter dalam model tersebut dan model tersebut tidak dapat diidentivikasi
secara penuh. Untuk itu perlu dibentuk persamaan reduce form yang juga
merepresentasikan sebuah Vector Moving Average (VMA). Persamaan VMA
digunakan untuk menghilangkan korelasi antar error yang terjadi dalam model
VAR biasa. Persamaan matematis VMA adalah sebagai berikut (Zivot, 2000):
yt
= B-1 γo + B-1 Г1 yt-1+ B-1 εt
= ao +A1 yt-1+ ut
(4.6)
44
Sistem persamaan (4.6) disebut sebagai model standar VAR. Error term
(ut) adalah kombinasi linier dari error struktural (εt), dimana error term tersebut
memiliki nilai rata-rata (mean) nol dan nilai kovarian yang konstan.
Dalam pemodelan SVAR perpindahan dari non-ortoghonal VMA ke
ortogonal VMA direpresentasikan melalui Cholesky Factorization (Ω) dari
matriks Σ (Ammisano dan Giannini, 1997). Matriks Σ adalah varian atau kovarian
dari residual (ut) dari sistem VAR standar, persamaan matematis matriks Σ adalah
sebagai berikut (Zivot, 2000):
∑ = E [u u ] = B
t
'
t
−1
[
]
E ε t ε t' B − 1' ,
(4.7)
= B-1D B-1’,
= Ω.
Fokus dalam analisis SVAR adalah error term, yaitu sisaan atau shock,
yang berupa inovasi. Shock atau guncangan struktural dapat dibuat dalam bentuk
matriks (4.8 ) sebagai berikut:
⎡ 1
⎢a
⎢ 21
⎢ a 31
⎢
⎢ a 41
⎢⎣ a 51
0
0
0
1
0
1
0
0
a 43
a 53
1
a 32
a 42
a 52
A
a 54
0⎤⎡ ε i
⎢
0 ⎥⎥ ⎢ ε m
0 ⎥ ⎢ ε dp
⎥⎢
0⎥⎢ ε e
1 ⎥⎦ ⎢⎣ ε u
ε
⎡ ei
⎤
⎢ m
⎥
⎢e
⎥
⎥ = bij ⎢ e dp
⎢ e
⎥
⎢ e
⎥
⎢ eu
⎥
⎣
⎦
B
⎤
⎥
⎥
⎥
⎥
⎥
⎥
⎦
e
dimana:
aij
= elemen dari A,
εj
= inovasi (error term) terhadap variabel yang digunakan j,
bij
= elemen dari B (dalam kasus ini i = j untuk i, j = 1,…..,5),
(4. 8)
45
ej
= guncangan (shock) struktural dari variabel j.
Tahapan penelitian ini menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
a.
Uji Stasioneritas
Data time series (deret waktu) dikatakan stasioner jika data menunjukkan
pola yang konstan dari waktu ke waktu dan tidak terdapat pertumbuhan atau
penurunan data secara tajam. Data yang tidak stasioner akan menghasilkan
spurious regression (regresi palsu), yaitu regresi yang menggambarkan hubungan
dua variabel atau lebih yang nampaknya signifikan secara statistik padahal
kenyataanya tidak demikian.
Menurut Gujarati (2003), data yang stasioner akan mempunyai
kecenderungan untuk mendekati nilai rata-rata dan berfluktuasi di sekitar nilai
rata-ratanya. Dengan kata lain data akan menyebar acak pada satu kisaran nilai
tengah tertentu. Uji stasioneritas dilakukan dengan menggunakan uji DickeyFuller, dimulai dari proses autoregresi orde pertama, yaitu:
Yt
= ρYt-1 + ut
(4.9)
dimana:
ut
= white-noise error dengan mean nol dan varians konstan.
Kondisi di atas dinamakan random walk dimana variabel Yt ditentukan
oleh variabel sebelumnya (Yt-1). Oleh karena itu jika nilai ρ=1 maka persamaan
(4.9) mengandung akar unit atau tidak stasioner. Kemudian persamaan (4.9) dapat
dimodifikasi dengan mengurangi pada kedua sisi persamaan, sehingga persamaan
(4.9) dapat diubah menjadi persamaan (4.10):
46
Yt – Yt-1 = ρ Yt-1 – Yt-1 + ut
(4.10)
= (ρ-1) Yt-1 + ut
Persamaan (4.10) dapat dituliskan menjadi persamaan (4.11) sebagai berikut:
ΔY
= δ Yt-1 + ut
(4.11)
dimana:
δ
= (ρ-1),
Δ
= first difference (perbedaan pertama).
Oleh karena itu hipotesis pada persamaan (4.11), Ho: δ = 0, ini
menunjukkan bahwa persamaan tersebut tidak stasioner, sedangkan hipotesis
alternatifnya H1: δ<0 menunjukkan persamaan tersebut mengikuti proses
stasioner. Jadi apabila Ho ditolak maka artinya data deret waktu tersebut stasioner
dan sebaliknya.
Pada persamaan (4.11) diasumsikan bahwa error term (ut) tidak
berkorelasi, jika terdapat error term yang berkorelasi maka persamaan yang diuji
menggunakan uji Augmented Dickey Fuller (ADF) sebagai berikut:
m
ΔYt = β 1 + β 2 t + δYt −1 + α i ∑ ΔYt −i + ε t
i =1
dimana:
εt
= pure white noise error term,
ΔYt-1
= Yt-1 – Yt-2,
ΔYt-2
= Yt-2 – Yt-3 dan seterusnya.
Hipotesis yang diuji adalah:
Ho
: δ = 0 (data tidak stasioner atau mengandung unit root)
H1
: δ < 0 (data stasioner atau tidak mengandung unit root)
(4.12)
47
Uji yang dilakukan untuk mengetahui apakah sebuah data time series
bersifat stasioner atau tidak adalah dengan melakukan uji Ordinary Least Squares
(OLS) dan melihat nilai t-statistik dari estimasi δ. Adapun persamaan
matematisnya dalah sebagai berikut:
thit
=δ/Sδ
(4.13)
dimana :
δ
= koefisien estimasi,
Sδ
= standar error dari koefisien estimasi.
Jika nilai ADF statistikya lebih besar dari MacKinnon Critical Value
(dalam nilai kritis 1 persen, 5 persen atau 10 persen) maka data tersebut tidak
stasioner namun jika nilai ADF statistikya lebih kecil dari MacKinnon Critical
Value maka data tersebut stasioner.
b.
Penetapan Tingkat Lag Optimal
Menurut Gujarati (2003), autokorelasi merupakan korelasi antara anggota
serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (seperti dalam data time
series). Dalam model klasik diasumsikan bahwa unsur gangguan yang
berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh unsur distrubansi atau
gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lain manapun. Sehingga tidak
ada alasan untuk percaya bahwa suatu gangguan akan terbawa ke periode
berikutnya, jika hal itu terjadi berarti terdapat autokorelasi. Konsekuensi
terjadinya autokorelasi dapat memberikan kesimpulan yang menyesatkan
mengenai arti statistik dari koefisien regresi yang ditaksir. Pemilihan panjang lag
dilakukan sedemikian rupa sehingga sisaan tidak lagi mengandung autokelasi.
48
Penetapan lag optimal dapat menggunakan kriteria Schwarz Criterion
(SC), Hannan-Quinn Information Criterion (HQ), Akaike Information Criterion
(AIC). Dalam penelitian ini menggunakan kriteria AIC, menurut Eviews user
guide (2000) definisi AIC, SC dan HQ adalah sebagai berikut:
Akaike Information Criteria
=
-2(l /T)+ 2 (k/ T)
(4.14.1)
Schwarz Criterion
=
-2(l /T)+ k log (T )/ T
(4.14.2)
-2(l /T)+ 2k log (log(T )) / T
(4.14.3)
Hannan-Quinn Information Criterion =
Dimana l adalah nilai log dari fungsi likelihood dengan k parameter
estimasi dengan sejumlah T observasi. Untuk menetapkan lag yang paling
optimal, model VAR yang diestimasi dicari lag maksimumnya, kemudian tingkat
lagnya diturunkan. Dari tingkat lag yang berbeda-beda tersebut dicari lag yang
paling optimal dan dipadukan dengan uji stabilitas VAR.
c.
Uji Stabilitas VAR
Menurut Arsana (2004), stabilitas sistem VAR dan VEC akan dilihat dari
inverse roots karakteristik AR polinomialnya. Hal ini dapat dilihat dari nilai
modulus di tabel AR-nomialnya, jika seluruh nilai AR-rootsnya di bawah 1, maka
sistem VAR-nya stabil. Uji stabilitas VAR dilakukan dengan menghitung akarakar dari fungsi polinomial atau dikenal dengan roots of characteristic
polinomial. Jika semua akar dari fungsi polinomial tersebut berada di dalam unit
circel atau jika nilai absolutnya < 1 maka model VAR tersebut dianggap stabil
sehingga IRF dan FEVD yang dihasilkan akan dianggap valid.
49
d.
Uji Kointegrasi
Apabila ada kombinasi linier antara variabel non stasioner yang
terintegrasi pada lag yang sama, maka kondisi tersebut dinamakan kointegrasi
(Enders, 2004). Apabila dua buah peubah time series X dan Y tidak stasioner,
akan tetapi kombinasi linier keduanya (aX + bY = Z) menghasilkan peubah baru
yang stasioner, maka antara X dan Y dikatakan terkointegrasi. Kointegrasi
digunakan untuk memperoleh persamaan jangka panjang yang stabil. Dalam
analisis ini, uji kointegrasi digunakan untuk melihat apakah metode VECM dapat
digunakan atau tidak. Apabila terdapat lebih dari nol rank kointegrasi, maka
metode VECM dapat digunakan.
Rank kointegrasi (r) dari vektor Yt adalah banyaknya vektor kointegrasi
yang saling bebas. Nilai r dapat diketahui melalui uji Johansen. Menurut Harris
(1995) untuk menguji rank dapat menggunakan trace statistic sebagai berikut:
n
λtrace = −2 log(Q ) = −T ∑ log(1 − λi )
(4.15)
i = r +1
dimana:
r
= 0,1,2,.... n-2, n-1,
Q
= restricted maximised likelihood ÷ unrestricted maximized likelihood,
T
= jumlah observasi yang diamati,
λi
= akar ciri ke-i matriks π.
e.
Vector Error Correction Model
Menurut Thomas (1997), untuk mengatasi persamaan regresi yang
sporious adalah dengan menarik differensial atas variabel dependen dan
50
independen, sehingga diperoleh variabel yang stasioner dengan pendifferensialan
I(n). Kestasioneran data melalui pendifferensialan tidaklah cukup, hal ini
mengindikasikan bahwa model VAR biasa tidak dapat digunakan secara langsung
karena mempertimbangkan tercover tidaknya informasi jangka pendek dan jangka
panjang dalam model.
Terdapat dua pilihan yang dapat dilakukan yaitu model VAR dengan
pendifferensialan untuk data yang tidak terkointegrasi atau VECM untuk data
yang terkointegrasi. Apabila pilihan pertama dilakukan maka informasi jangka
panjang akan hilang karena hanya menerangkan hubungan jangka pendek
sehingga hubungan antara variabel pada level menjadi hilang karena berdasarkan
parameter yang tidak terkointegrasi. Sehingga diperlukan pendekatan alternatif
yaitu menggunakan Error Correction Model (ECM) jika persamaan tunggal atau
Vector Error Correction Model (VECM) jika persamaannya lebih dari satu. ECM
atau VECM telah mengcover informasi jangka pendek dan jangka panjang karena
dalam persamaan mengandung parameter jangka pendek dan jangka panjang.
Sehingga persamaan ECM dapat dituliskan sebagai:
ΔYt = b1 ΔX t − λ (Yt −1 − β o − β1 X t −1 ) + ε t
(4.16)
dimana:
b1
= parameter jangka pendek,
λ
= parameter error corection,
βo, β1 = parameter jangka panjang.
VECM ini berangkat dari VAR (k) dengan mengurangi lag VAR sama
dengan satu dimana variabel yang relevan bersifat endogen. Menurut Pesaran dan
51
Pesaran (1997) dalam Siregar dan Ward (2005), model VECM (k-1) secara umum
adalah:
k −1
Δxt = ∑ ΓiΔxt −1 + μ o + μ1t + αβ ' xt −1 + ε t
(4.17)
i =1
dimana:
Δxt
= xt - xt-1,
(k-1) = lag VECM dari VAR,
Γl
= matrik koefisien regresi (b1, b2, b3),
xt-l
= vektor variabel in level yang digunakan,
μo
= vektor intercept,
μ1
= vektor koefisien regresi,
α
= loading matrix,
β’
= vektor kointegrasi.
Berdasarkan persamaan (4.17) vektor kointegrasi β’ sangat ditekankan
karena menunjukkan adanya kointegrasi dalam variabel-variabel yang dianalisis.
Apabila rank kointegrasi dua (r=2) maka terdapat dua vektor kointegrasi yang
terbentuk. Dalam model Siregar dan Ward (2005), lag optimal pada saat estimasi
VECM menggunakan lag optimal dikurangi satu, namun dalam penelitian ini lag
optimal dicari menggunakan first difference sehingga lag yang digunakan dalam
estimasi VECM adalah lag optimal.
f.
Impulse Response Function (IRF)
Fungsi impuls respon digunakan untuk menjelaskan bagaimana setiap
variabel bereaksi setiap saat terhadap adanya inovasi (Amisano dan Giannini,
52
1996). IRF ini dilakukan untuk mengetahui respon dinamik SBI, jumlah uang
beredar, inflasi, nilai tukar, dan pengangguran terhadap adanya guncangan (shock)
variabel tertentu. IRF juga bertujuan untuk mengisolasi suatu guncangan agar
lebih spesifik artinya suatu variabel yang dapat dipengaruhi oleh shock atau
guncangan tertentu.
g.
Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)
Peramalan dekomposision varians error merupakan alat yang menyediakan
informasi untuk melihat hubungan dinamis anatara variabel yang di analisis
(Amisano dan Giannini, 1996). FEDV merupakan suatu guncangan atau shock
yang merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi varibilitas (fluktuasi) dari
variabel tertentu yang dilakukan secara ortogonal. FEVD ini dilakukan untuk
melihat berapa persen peran masing-masing guncangan (shock) terhadap
variabilitas variabel tertentu atau menelaah sumber-sumber fluktuasi pada variabel
tertentu. Dengan demikian dapat diketahui secara pasti faktor-faktor yang
mempengaruhi fluktuasi inflasi dan pengangguran. Faktor–faktor tersebut
merupakan implikasi kebijakan yang memegang peranan penting terhadap
kestabilan variabel-variabel tersebut.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian mengenai “Analisis Kebijakan Moneter dalam Menstabilkan
Inflasi dan Pengangguran di Indonesia” menggunakan metode analisis Structural
Vector Autoregression (SVAR) yang dikombinasikan dengan metode koreksi
kesalahan Vector Error Correction Model (VECM) dan software yang digunakan
untuk menganalisis data Eviews 4.1.
5.1.
Kestasioneran Data
Untuk melihat kestasioneran data yang akan dianalisis dilakukan uji akar
unit (unit root test). Data yang tidak stasioner akan menghasilkan spurious
regression (regresi palsu), yaitu regresi yang menggambarkan hubungan dua
variabel atau lebih yang nampaknya signifikan secara statistik padahal
kenyataanya tidak demikian.
Kestasioneran data pada setiap variabel dapat dilihat dengan uji
Augmented Dickey Fuller (ADF). Pengujian ADF didasarkan pada nilai Akaike
Information Criteria (AIC). Bila nilai statistik ADF-nya lebih besar dari nilai
kritis Mc Kinnon maka data tersebut tidak stasioner, tetapi bila nilai statistik
ADFnya lebih kecil dari nilai kritisnya maka data tersebut stasioner atau
terintegrasi pada ordo nol (I(0)).
Tabel 5.1. Hasil Pengujian Akar Unit pada Level
Variabel
SBI
LOG_M
LOG_CPI
LOG_KURS
LOG_U
Nilai ADF
-2,847964
-0,427825
0,116255
-1,158646
-0,692761
Sumber : Lampiran 1.
Nilai Kritis MacKinnon 5 %
-2,911730
-2,910860
-2,910860
-2,909206
-2,910860
Keterangan
tidak stasioner
tidak stasioner
tidak stasioner
tidak stasioner
tidak stasioner
54
Dari Tabel 5.1 dapat dilihat bahwa variabel SBI, LOG_M, LOG_CPI,
LOG_KURS, dan LOG_U tidak stasioner pada level. Karena semua variabel tidak
stasioner pada level maka perlu dilanjutkan dengan melakukan uji akar unit pada
tingkat first difference.
Tabel 5.2. Hasil Pengujian Akar Unit pada First Difference
Variabel
Nilai ADF
Nilai Kritis Mc Kinnon 5 %
Keterangan
SBI
LOG_M
LOG_CPI
LOG_KURS
LOG_U
-5,280405
-6,454295
-3,544063
-5,844543
-3,978405
-2,912631
-2,910860
-2,910860
-2,909206
-2,910860
stasioner
stasioner
stasioner
stasioner
stasioner
Sumber : Lampiran 2.
Uji akar unit pada tingkat first difference (derajat 1) dilakukan karena tidak
terpenuhinya asumsi stasioneritas pada tingkat level (derajat nol). Tabel 5.2
memperlihatkan bahwa semua variabel dari hasil uji akar unit pada tingkat first
difference telah stasioner.
5.2.
Uji Lag Optimal
Untuk menetapkan lag optimal dapat menggunakan kriteria nilai Akaike
Information Criteria (AIC), Schwarz information Criterion (SC) maupun HannanQuinn Information Criterion (HQ). Penelitian ini menggunakan nilai AIC,
perhitungan nilai AIC untuk setiap lag dapat dilihat di Tabel 5.3. Dari perhitungan
nilai AIC tersebut diketahui bahwa nilai minimum terdapat pada lag 4, sehingga
dapat ditetapkan bahwa lag optimal adalah 4.
55
Tabel 5.3. Nilai Lag Optimal
Lag
1
2
3
4
AIC
-8,301398
-9,428629
-10,37921
-11,52964*
SC
-7,068961
-7,315879
-7,386145
-7,656263*
HQ
-7,820304
-8,603897
-9,210837
-10,01763*
Sumber : Lampiran 3.
5.3.
Uji Stabilitas VAR
Sebelum masuk pada tahapan analisis yang lebih jauh lagi, hasil estimasi
sistem persamaan VAR yang telah terbentuk perlu diuji stabilitasnya melalui
VAR stability condition check yang berupa roots of characterictic polynomial
terhadap seluruh variabel yang digunakan dikalikan jumlah lag dari masingmasing VAR. Jika modulus dari seluruh nilai AR-rootsnya di bawah 1, maka
sistem VAR-nya dikategorikan stabil. Jumlah root yang diuji sebanyak 20 (5*4).
Dari Lampiran 4 dapat diketahui bahwa semua nilai modulus di tabel ARnomialnya berada pada kisaran 0,24-0,93 dan bernilai di bawah 1, sehingga dapat
dikatakan sistem VAR-nya stabil.
5.4.
Uji Kointegrasi
Uji kointegrasi dilakukan untuk memperoleh hubungan jangka panjang
yang stabil antara variabel-variabel yang terintegrasi pada derajat yang sama,
yaitu derajat satu (I(1)). Uji kointegrasi yang digunakan dalam penelitian ini.
adalah uji Johansen, uji ini dilakukan pada tingkat lag optimal, berdasarkan
Lampiran 3 dapat diketahui bahwa dalam penelitian ini menggunakan VECM
yang mempunyai lag 4.
Berdasarkan hasil summary, sebagaimana terlihat pada Lampiran 6,
asumsi trend deterministik yang sesuai digunakan dalam penelitian ini adalah
56
asumsi lima (Intercept and trend in CE-linier tend in VAR). Pemilihan asumsi
lima berdasarkan nilai Akaike Information Criteria (AIC). Hasil uji kointegrasi
Johansen dengan asumsi lima menunjukkan bahwa terdapat dua persamaan
kointegrasi pada taraf nyata satu persen dan lima persen, baik berdasarkan Trace
test dan Max-eigenvalue test (Lampiran 7). Hasil uji kointegrasi berdasarkan
Trace test dapat dilihat pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4. Hasil Uji Kointegrasi
Ho
R=0
H1
R>=1
Trace Statistic
135,7825
Nilai Kritis 5 %
77,74
Sumber : Lampiran 7.
R<=1
R>=2
74,69065
54,64
R<=2
R>=3
34,15123
34,55
R<=3
R>=4
12,10125
18,17
R<=4
R>=5
1,561902
3,74
Karena mencari persamaan jangka panjang atau persamaan kointegrasi
bukanlah tujuan dari analisis ini maka, tidak dilakukan over restriction untuk
mendapatkan hasil estimasi VECM lebih lanjut. Tujuan pendekatan VECM dalam
penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana respon variable SBI, jumlah uang
yang beredar, inflasi, kurs dan pengangguran terhadap perubahan kebijakan
moneter. Oleh karena itulah analisis yang digunakan adalah Impuls Respose
Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEDV) untuk untuk
melihat berapa persen peran masing-masing guncangan (shock) terhadap
variabilitas variabel tertentu atau menelaah sumber-sumber fluktuasi pada variabel
tertentu.
57
5.5.
Impulse Response Function (IRF)
IRF adalah respon sebuah variabel dependen jika mendapat guncangan
atau inovasi variabel independen sebesar satu standar deviasi. Penelitian ini akan
melihat pengaruh guncangan SBI terhadap variabel-variabel makroekonomi.
Gambar 5.1 menunjukkan reaksi SBI, jumlah uang yang beredar, CPI, kurs
dan pengangguran dalam 60 periode terhadap guncangan SBI dalam satuan
standar deviasi. Sumbu vertikal adalah respon variabel-variabel makroekonomi
atas guncangan SBI sedangkan sumbu horizontal adalah periode waktu (kuartal).
Guncangan SBI sebesar satu standar deviasi pada kuartal pertama akan
mengakibatkan peningkatan SBI sebesar 178,4 persen, penurunan jumlah uang
yang beredar (M1) sebesar 1,7 persen, peningkatan inflasi sebesar 0,39 persen,
peningkatan nilai tukar (apresiasi) sebesar 0,06 persen, peningkatan inflasi sebesar
0,39 persen dan penurunan pengangguran sebesar 1,11 persen.
Pada kuartal ke dua, guncangan SBI sebesar satu standar deviasi akan
mengakibatkan peningkatan SBI sebesar 7 persen, penurunan jumlah uang yang
beredar sebesar 2,3 persen, peningkatan inflasi sebesar 0,39 persen, peningkatan
nilai tukar (apresiasi) sebesar 0,55 persen, peningkatan inflasi sebesar 3,5 persen
dan penurunan pengangguran sebesar 3,18 persen.
58
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Persen
Response of SBI to SBI
Persen
Response of LOG_M to SBI
2.0
.010
1.5
.005
1.0
.000
0.5
-.005
0.0
-.010
-0.5
-.015
-1.0
-.020
-1.5
-.025
10
20
30
40
50
60
10
20
30
40
Periode
Response of LOG_CPI to SBI
Persen
50
60
Periode
Response of LOG_KURS to SBI
Persen
.010
.04
.008
.03
.02
.006
.01
.004
.00
.002
-.01
.000
-.02
-.002
-.03
-.004
-.04
10
20
30
40
50
60
Periode
10
20
30
40
50
Periode
Response of LOG_U to SBI
Persen
.00
-.02
-.04
-.06
-.08
-.10
-.12
10
20
30
40
50
60
Periode
Gambar 5.1. Respon Variabel Makroekonomi terhadap Guncangan SBI
60
59
SBI ditetapkan bank sentral untuk mempengaruhi perekonomian, ketika
perekonomian dirasakan tumbuh terlalu cepat maka SBI dinaikkan untuk
mengerem pertumbuhan dan begitu pula sebaliknya. Guncangan SBI terhadap SBI
itu sendiri mengakibatkan peningkatan pada periode 1 dan 2 dan mulai periode 3
bernilai negatif, respon naik turunnya SBI karena ada batas titik psikologis yang
dicapai, ketika nilai SBI dirasa terlalu tinggi maka bank sentral menurunkan nilai
SBI secara perlahan-lahan sehingga nilainya akan menurun, begitu juga ketika
nilai SBI dirasa terlalu rendah maka secara perlahan-lahan nilai SBI tersebut akan
dinaikkan. Penetapan naik turunnya SBI tentu saja disesuaikan dengan kondisi
perekonomian yang terjadi. Menurut Bank Indonesia (2005), saat ini perubahan
SBI dilakukan jika deviasi proyeksi inflasi terhadap targetnya (inflation gap)
dipandang telah bersifat permanen dan konsisten dengan indikator ekonomi
lainnya.
Respon jumlah uang yang beredar mengalami penurunan dari periode 1 ke
periode 2. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi yang berlaku yaitu ketika suku
bunga naik maka masyarakat akan memilih untuk menyimpan uangnya di Bank
sehingga jumlah uang yang beredar menurun. Namun ketika jumlah uang yang
beredar turun, pada periode ini respon inflasi mengalami peningkatan. Hal ini
menunjukkan bahwa SBI sebagai instrumen moneter tidak bisa secara penuh
dijadikan sebagai alat kontraksi moneter dalam mengendalikan inflasi yang
terjadi. Ini juga menunjukkan bahwa faktor eksternal turut berpengaruh terhadap
tingkat inflasi yang terjadi. Pada periode ini pula, peningkatan SBI dan penurunan
jumlah uang beredar menyebabkan nilai tukar mengalami apresiasi.
60
Secara umum respon SBI mengalami penurunan dan respon jumlah uang
yang beredar mengalami peningkatan, mulai periode 1 sampai periode 5 respon
SBI terhadap guncangan SBI itu sendiri mengalami peningkatan yang menurun,.
Respon penurunan suku bunga SBI secara umum, akan menyebabkan jumlah
uang yang beredar meningkat, hal ini karena masyarakat mungkin kurang tertarik
dengan tingkat suku bunga yang berlaku, sehingga masyarakat lebih memilih
untuk memegang uangnya, dan akibatnya jumlah uang yang beredar mengalami
peningkatan.
Respon secara umum peningkatan jumlah uang yang beredar sejalan
dengan respon peningkatan inflasi. Ketika bank sentral menetapkan SBI pada nilai
tertentu, maka untuk membayarnya bank sentral mencetak uang. Dalam jangka
panjang ketika otoritas moneter menetapkan tingkat SBI yang tinggi, maka
masyarakat banyak yang tertarik membelinya. Dan untuk membayarnya bank
sentral melakukan pencetakan uang, upaya pencetakan uang yang dilakukan
secara terus menerus tentu saja berbahaya sebab mengakibatkan money supply
meningkat dan mendorong terjadinya inflasi.
Selain inflasi peningkatan jumlah uang yang beredar juga menyebabkan
terjadinya depresiasi nilai tukar. Sampai periode ke-5 nilai tukar Rupiah masih
mengalami apresiasi walaupun cenderung melemah, dan mulai periode
selanjutnya cenderung mengalami depresiasi, hal ini karena penurunan SBI
menyebabkan jumlah uang yang beredar meningkat, akibatnya nilai tukar
melemah dan mengalami depresiasi.
61
Nilai tukar Rupiah secara umum mengalami trend depresiasi, hal ini
karena Indonesia sebagai negara small open economy dan menganut sistem nilai
tukar floating, sehingga nilai tukar tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal
saja tetapi juga turut dipengaruhi faktor eksternal. Indonesia sebagai negara kecil
yang menganut sistem nilai tukar floating, jika mendapat tekanan yang besar dari
luar maka akan sukar untuk mempertahankan nilai tukarnya, hal ini menyebabkan
nilai tukar Rupiah selalu berfluktuasi.
Secara umum angka pengangguran mulai periode 1 sampai periode 60
bernilai negatif dan mengalami penurunan. Secara teori hal ini karena suku bunga
SBI juga cenderung menurun, langkah ini kemudian akan diikuti oleh perbankan
dalam menetapkan suku bunga kredit, sehingga cost meminjam menjadi relatif
lebih murah dan menyebabkan perkembangan sektor riil sehingga akhirnya
pengangguran menurun.
Menurut Siregar et al., (2006), dalam periode 2002-2004, penurunan suku
bunga terus menerus dilakukan untuk menstimulus sektor riil, tetapi efek dari
transmisi moneter melalui penyesuaian suku bunga kredit sangatlah lambat
sehingga stimulus yang diharapkan justru tidak terjadi, ini menunjukkan kebijakan
moneter hanya mampu menggerakkan dan mengendalikan variabel-variabel
makro dan belum mampu mentransmisikan ke sektor riil.
Ketika angka pengangguran menunjukkan trend yang meningkat dari
tahun ketahun, ini menunjukkan bahwa SBI sebagai instrumen moneter kurang
kredibel dalam melakukan kontraksi dan ekspansi untuk mempengaruhi
perekonomian dalam mengatasi masalah pengangguran. Selain itu jumlah
62
pengangguran yang meningkat setiap saat, karena selalu ada angkatan kerja baru
yang memasuki pasar kerja, bila angkatan kerja baru tersebut tidak terserap maka
akan menambah angka pengangguran yang terjadi. Hal ini menunjukkan
kebijakan moneter saja tidak cukup untuk mengatasi masalah pengangguran.
Mulai periode 29 respon SBI terhadap guncangan SBI itu sendiri menjadi
permanen dan konvergen dengan nilai yang mulai stabil dalam interval minus 54
persen sampai minus 51 persen. Sedangkan guncangan SBI terhadap jumlah uang
yang beredar mulai periode 11 sampai periode 60 bernilai positif, dengan nilai
cenderung naik dan menuju ke arah kestabilan mulai periode 44 dalam kisaran
0,55-0,62 persen. Dalam jangka panjang, inovasi dari SBI memiliki hubungan
yang permanen terhadap jumlah uang yang beredar, hal ini mengindikasikan
bahwa kebijakan moneter dalam mengatur tingkat suku bunga harus selalu
disesuaikan dengan jumlah uang yang beredar.
Proses kenaikan inflasi secara bertahap terjadi sampai periode 36 dan
mulai periode 37 sampai periode 60 respon inflasi menjadi permanen dengan nilai
yang mulai stabil yaitu sekitar 0,8 persen. Dalam jangka panjang, inovasi dari SBI
memiliki hubungan yang permanen terhadap inflasi, hal ini mengindikasikan
bahwa kebijakan moneter dalam mengatur tingkat suku bunga harus selalu
disesuaikan dengan inflation targeting yang telah ditetapkan oleh bank sentral.
Mulai periode ke 32 sampai periode 60 respon nilai tukar terhadap
guncangan SBI menjadi permanen dan nilainya menjadi stabil dengan nilai sekitar
minus 3,2 persen. Dalam jangka panjang, inovasi dari SBI memiliki hubungan
63
yang permanen terhadap nilai tukar, hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan
moneter akan selalu berpengaruh terhadap kestabilan Rupiah.
Pada periode 35 sampai periode 60, respon pengangguran menjadi
permanen dan nilainya mulai stabil yaitu sekitar minus 10 persen. Cukup lamanya
respon variabel-variabel makroekonomi menuju ke arah kestabilan (mulai periode
29 sampai periode 44 atau 7-11 tahun setelah guncangan) menunjukkan bahwa
perekonomian Indonesia rentan terhadap perubahan, dan kebijakan moneter yang
diterapkan kurang mampu menstabilkan perekonomian dalam jangka pendek.
5.6.
Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)
FEVD digunakan untuk melihat prediksi kontribusi persentase varians
setiap variabel terhadap perubahan suatu variabel tertentu. Penelitian ini ingin
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi inflasi dan pengangguran.
Hasil FEVD selengkapnya dapat dilihat di Lampiran 9.
5.6.1. Faktor-Faktor Determinan Inflasi
Data analisis variance decomposition variabel inflasi ditunjukkan pada
Tabel 5.5. Pada periode satu diketahui bahwa pengaruh guncangan inflasi itu
sendiri sebesar 76,09 persen, guncangan uang beredar mempengaruhi sebesar
18,64 persen, guncangan SBI mempengaruhi sebesar 5,25 persen, dan guncangan
nilai tukar serta pengangguran bahkan tidak berpengaruh sama sekali.
Pengaruh SBI yang relatif kecil terhadap tingkat inflasi, yaitu hanya
sebesar 5,25 persen pada kurtal pertama, mengidikasikan bahwa Bank Indonesia
dalam jangka pendek tidak bisa terlalu optimis terhadap inflation targeting yang
64
ditetapkan, sebab masih banyak faktor di luar SBI yang dapat mempengaruhi
inflasi.
Pada tahap lima ke depan, pengaruh guncangan jumlah uang yang beredar,
nilai tukar dan pengangguran semakin meningkat. Pada tahap duapuluh ke depan,
pengaruh SBI, jumlah uang yang beredar dan inflasi itu sendiri semakin
meningkat. Pengaruh pengangguran mendominasi pada periode ke 5, namun
dalam jangka panjang pengaruhnya terhadap inflasi semakin menurun.
Keterkaitan antara pengangguran dan inflasi tidak terjadi secara langsung,
menurut kurva Phillips, terdapat trade-off antara pengangguran dan inflasi, ketika
terjadi inflasi yang tinggi maka jumlah penganguran akan menurun dan hal ini
berlaku pula sebaliknya.
Tabel 5.5. Faktor-Faktor Determinan Inflasi
Periode
1
5
10
20
30
40
50
60
SBI
5,255915
2,312209
2,071591
10,00927
19,06980
25,64963
30,14750
33,34501
LOG_M
18,64711
10,04451
13,88814
18,18633
18,67664
18,33141
18,02611
17,81005
LOG_CPI
76,09698
22,67846
22,00576
26,40856
26,48828
26,04568
25,62627
25,31679
LOG_KURS
0,000000
0,427801
5,336382
4,647713
3,947362
3,377577
2,985774
2,706861
LOG_U
0,000000
64,53702
56,69813
40,74812
31,81792
26,59570
23,21436
20,82129
Sumber : Lampiran 9
Tingkat inflasi yang terjadi selalu berkaitan dengan inflasi periode
sebelumnya maupun tingkat inflasi yang diharapkan dimasa datang. Pada variabel
inflasi terlihat bahwa peramalan dari periode 1 hingga periode 60, pengaruh
inflasi terhadap guncangan di dalam inflasi itu sendiri semakin menurun.
Hasil penelitian menunjukkan pada periode 60 kuartal setelah guncangan,
pengaruh guncangan jumlah uang yang beredar sebesar 17,81 persen, dan
65
pengaruh guncangan SBI sebesar 33,34 persen. Hal ini mengindikasikan perlu
adanya keseriusan otoritas moneter dalam menetapkan SBI pada tingkat tertentu,
sebab bila pada akhirnya SBI dibayar dengan mencetak uang maka money supply
akan meningkat dan tingkat inflasi juga akan semakin meningkat.
Pada periode 60, pengaruh guncangan SBI mendominasi yaitu sebesar
33,34 persen, kemudian guncangan dalam inflasi itu sendiri berpengaruh sebesar
25,31 persen. Hasil FEVD ini mengindikasikan bahwa kebijakan moneter kurang
mampu mengendalikan laju inflasi sebab pengaruhnya dalam jangka pendek kecil
sekali (hanya sebesar 5,25 persen pada periode 1). Lamanya pengaruh kebijakan
moneter baru terasa, menunjukkan penetapan SBI dalam inflation targeting yang
ditargetkan kurang mampu mempengaruhi tingkat inflasi dalam jangka pendek.
Besarnya pengaruh kebijakan moneter terhadap variabilitas inflasi dalam
jangka panjang, menunjukkan bahwa agar inflation targeting dapat tercapai maka
kebijakan moneter yang diterapkan dalam berbagai kondisi harus selalu diarahkan
untuk mencapai inflasi yang telah ditargetkan. Kebijakan moneter yang diterapkan
Bank Indonesia, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang tetap
mempunyai pengaruh terhadap kestabilan inflasi karena itu kebijakan moneter
yang dilakukan oleh Bank Sentral harus selalu diusahakan untuk mencapai
inflation targeting yang telah ditetapkan.
5.6.2. Faktor-Faktor Determinan Pengangguran
Hasil FEVD variabel pengangguran pada Tabel 5.6 menunjukkan bahwa
pada peramalan periode pertama hingga periode ke 60, varians penganguran
terutama disebabkan oleh guncangan pengangguran itu sendiri dan kemudian oleh
66
guncangan SBI. Pada periode pertama, penganguran disebabkan oleh guncangan
penganguran itu sendiri sebesar 47,56 persen, guncangan inflasi sebesar 10,56
persen, guncangan nilai tukar sebesar 7,99 persen dan guncangan SBI sebesar
31,12 persen.
Tabel 5.6. Faktor-Faktor Determinan Pengangguran
Periode
1
5
10
20
30
40
50
60
SBI
31,12669
28,72947
34,56411
37,85528
38,76958
39,13209
39,33099
39,46031
LOG_M
2,747585
0,085257
1,052042
1,619483
1,748515
1,797256
1,824275
1,840715
LOG_CPI
10,56803
2,625266
2,881495
3,053888
3,059338
3,058202
3,054906
3,050858
LOG_KURS
7,995924
12,36666
11,53891
10,99092
10,84424
10,73429
10,65693
10,60474
LOG_U
47,56177
56,19335
49,96344
46,48043
45,57832
45,27816
45,13290
45,04337
Sumber : Lampiran 9
Pada tahap lima ke depan, pengaruh guncangan nilai tukar meningkat
menjadi 12,36 persen, pengaruh guncangan SBI menurun menjadi sebesar 28,72
persen, pengaruh guncangan inflasi menurun menjadi sebesar 2,62 persen dan
pengaruh guncangan pengangguran sendiri meningkat menjadi sebesar 56,19
persen, Pada tahap sepuluh ke depan, pengaruh guncangan SBI semakin
meningkat menjadi sebesar 34,56 persen, pengaruh guncangan inflasi naik
menjadi 2,88 persen dan pengaruh guncangan pengangguran berkurang menjadi
sebesar 49,96 persen.
Pada tahap 60 ke depan, guncangan penganguran sebesar 45,04 persen
menjadi faktor yang dominan dalam mempengaruhi variabilitas pengangguran.
Hasil empiris tersebut menunjukkan bahwa masalah pengangguran ditentukan dari
sisi pasar tenaga kerja. Dalam jangka panjang upaya mengatasi peningkatan
pengangguran dapat dilakukan melalui perbaikan kinerja di pasar tenaga kerja.
67
Pengaruh guncangan nilai tukar sebesar 10,60 persen menunjukkan bahwa
kestabilan nilai tukar Rupiah juga diperlukan dalam kondisi perekonomian. Pada
saat krisis, banyak industri yang mayoritas menggunakan bahan baku impor
mengalami gulung tikar akibat kenaikan biaya produksi, ini tentu saja
menyebabkan industri harus merasionalisasi jumlah pekerjanya dan dampak
lanjutannya yaitu terjadi kenaikan jumlah penganguran. Karena itu kestabilan nilai
tukar sangat penting dipelihara agar tidak berdampak negatif terhadap penciptaan
pengangguran.
Pengaruh guncangan inflasi sebesar 3,05 persen dan pengaruh guncangan
nilai tukar sebesar 10,60 persen menunjukkan bahwa dalam jangka panjang upaya
menentukan kebijakan ketenagakerjaan harus disertai dengan kondisi makro
ekonomi yang stabil baik itu kestabilan inflasi maupun kestabilan nilai tukar.
Hasil FEVD ini mengindikasikan bahwa pada dari periode awal hingga
periode 60, guncangan dalam variabel-variabel makroekonomi memiliki pengaruh
yang lebih kecil dibandingkan dengan guncangan dalam penggguran itu sendiri.
Namun dalam jangka panjang variabel SBI justru semakin memiliki pengaruh
yang semakin besar terhadap variabel pengangguran. Hal ini mengindikasikan
bahwa dalam jangka panjang faktor yang paling mempengaruhi pengangguran
adalah pengangguran itu sendiri, peningkatan pengaruh SBI dalam jangka panjang
sebesar 39,46 persen, menunjukkan bahwa kebijakan moneter memiliki pengaruh
yang besar untuk mengatasi tingkat pengangguran, Sehingga agar masalah
pengangguran dapat teratasi diperlukan adanya kombinasi antara kebijakan
ketenagakerjaan dan kebijakan moneter yang saling mendukung.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan
1.
Penelitian ini melihat bagaimana respon variabel-variabel makroekonomi
terhadap guncangan SBI. Respon pada dua kuartal awal (periode 1-2)
menunjukkan jumlah uang yang beredar dan pengangguran mengalami
penurunan, SBI dan inflasi mengalami peningkatan dan nilai tukar
mengalami apresiasi. Secara umum respon jumlah uang yang beredar dan
inflasi mengalami peningkatan, sedangkan respon nilai tukar cenderung
mengalami depresiasi dan respon pengangguran mengalami penurunan.
Setelah terjadi guncangan SBI, variabel yang lebih cepat menunjukkan
respon permanen adalah variabel SBI itu sendiri, nilai tukar,
pengangguran, inflasi dan yang membutuhkan waktu paling lama adalah
jumlah uang yang beredar. Cukup lamanya respon variabel tersebut
menuju ke arah kestabilan (mulai periode 29-44 atau 7-11 tahun setelah
guncangan) menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia rentan terhadap
perubahan, dan kebijakan moneter yang diterapkan kurang mampu untuk
menstabilkan perekonomian.
2
Hasil FEVD terhadap inflasi menunjukkan bahwa faktor yang paling
berpengaruh pada awal periode adalah inovasi inflasi itu sendiri, dalam
jangka panjang faktor yang paling berpengaruh adalah kebijakan moneter.
Sedangkan hasil FEVD pengangguran menunjukkan bahwa dari awal
hingga akhir periode peramalan, faktor yang paling berpengaruh terhadap
69
variabel pengangguran adalah inovasi dalam pengangguran itu sendiri.
Pengaruh kebijakan moneter yang besar terjadi pada periode ke-60 atau 15
tahun setelah terjadi guncangan, hal ini menunjukkan bahwa kebijakan
moneter kurang mampu mengendalikan laju inflasi dan tingkat
pengangguran dalam jangka pendek.
6.2.
Saran
1.
Hasil impulse response menunjukkan bahwa respon variabel-variabel
makroekonomi untuk menjadi permanen membutuhkan waktu yang cukup
lama, ini berarti kebijakan moneter kurang mampu untuk mempengaruhi
perekonomian, karena itu bank sentral diharapkan mampu merumuskan
kebijakan yang lebih efektif dalam mentransmisikan sektor moneter ke
sektor riil.
2.
Bank sentral diharapkan tidak hanya terfokus pada pentargetan inflasi saja
namun perlu juga memperhatikan variabel makroekonomi lainnya,
termasuk perubahan kondisi internal dan eksternal, sehingga diharapkan
kebijakan yang diambil cepat menyesuaikan diri dengan keadaan
perekonomian yang terjadi. Dan dalam menetapkan kebijakan moneter,
bank sentral diharapkan menerapkan kebijakan yang disesuaikan dengan
kondisi dan permasalahan tenaga kerja yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Amisano, Gianni dan Carlo Giannini. 1996. Topics in Structural VAR
Econometrics Second, Revised and Enlarged Edition. Springer, Germany.
Arsana, I Gede Putra. 2004. Vector Auto Regressive. Laboratorium Komputasi
Ilmu Ekonomi FEUI, Jakarta.
Bank Indonesia. Statisik Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Berbagai Edisi. Bank
Indonesia, Jakarta.
Badan Pusat Statistik. Laporan Badan Pusat Statistik. Berbagai Edisi. BPS,
Jakarta.
Djivre, Joseph dan Sigal Ribon. 2003. “Inflation, Unemployment, The Exchange
Rate, and Monetary Policy in Israel, 1990-99: A SVAR Approach”. Israel
Economic Review, 2: 71-99.
Eviews. 2002. Quantitative Micro Software-All rights reserved-Help system.
http://www.eviews.com.
Enders, Walter. 2004. Applied Econometric Time Series. John Wiley & Sons, Inc,
United States of America.
Gujarati, Damodar. 2003. Basic Economsetrics fourth edition. McGraw Hill.
Singapure.
Harris, Richard. 1995. Using Cointegration Analysis in Econometric Modelling.
Prentice Hall/ Harvester Wheatshcaf. British.
Hossain, Akhtar dan Anis Chowdhury. 1998. Open-Economy Macroeconomics
for Developing Countries. Edward Elgar Publishing Limited, United States
of America.
International Monetary Fund (IMF). International Financial Statistic (IFS). http:
www.imf.org [23 Februari 2006].
Limongan, Andreas. 2001. Masalah Pengangguran di Indonesia.
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2001/07/21/0018.html. [ 26
April 2006].
Lipsey, Richard, Paul Courant, Doughlas Purvis, dan Peter Steinar. 1997.
Pengantar
Makroekonomi. Agus Maulana [penerjemah]. Binarupa
Aksara, Jakarta.
71
Mankiw, Gregory. 2000. Teori Makroekonomi. Imam Nurmawan [penerjemah].
Erlangga, Jakarta.
Mishkin, Frederic. 2001. The Economics of Money, Banking and Financial
Markets. Columbia University, America.
Nopirin. 2000. Ekonomi Moneter. Edisi ke-4. BPFE, Yogyakarta.
Salim,
Fahruddin. 2001. Prioritas Agenda Kabinet Mega-Hamzah.
http://www.suaramerdeka.com/harian/0108/01/kha1.htm. [ 26 April 2006].
Siregar, Hermanto dan Bert Ward. 2005. “Can Monetary Policy/Shocks Stabilize
Indonesian Macroecnomics Fluctuations?”. InterCAFE. Working Paper
Series, No : IWP/007/2005, hal 1-26.
Siregar, Hermanto, Iman Sugema, Noer Azam Achsani, Yati Nuryati, Dwi Berta
Susila, Mohamad Iqbal Irfany. 2006. Paradoks Pertumbuhan Ekonomi
dan Pengangguran: Identifikasi, Implikasi dan Solusi. Internacional
Center for Applied Finance and Economics (InterCAFE), Institut
Pertanian Bogor, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank
Indonesia, Bogor.
Sitorus, Tarmiden. 2006. Kinerja Ekonomi Moneter 2005 dan Prospek Tahun
2006. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia,
Jakarta.
Sugema, Iman, Hermanto Siregar, Rina Oktaviani, Noer Azam Achsani, Heti
Mulyati, Yati Nuryati, Agit Kriswantriono, Mohamad Iqbal Irfany. 2006.
Monetary and Banking Outlook: Beyond Stabilization and Consolidatin.
International Center for Applied Finance and Economics (InterCAFE),
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Thomas, Leighton. Modern Econometrics an Introduction. 1997. Addison Wesley
Longman, England.
Warjiyo, Perry. 2004. Bank Indonesia Bank Sentral Republik Indonesia Sebuah
Pengantar. Pusat Studi dan Kebanksentralan BI, Jakarta.
Zivot, Eric. 2000. Notes on Structural VAR Modeling. Copyright Eric Zivot.
LAMPIRAN
73
Lampiran 1. Hasil Pengujian Akar Unit pada Level
Hasil Pengujian Akar Unit SBI pada Level
Null Hypothesis: SBI has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 4 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.847964
-3.546099
-2.911730
-2.593551
0.0578
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(SBI)
Method: Least Squares
Date: 06/14/06 Time: 20:27
Sample(adjusted): 1991:2 2005:4
Included observations: 59 after adjusting endpoints
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
SBI(-1)
D(SBI(-1))
D(SBI(-2))
D(SBI(-3))
D(SBI(-4))
C
-0.285401
0.268567
0.160028
0.208275
-0.186962
4.148248
0.100212
0.124591
0.129825
0.130515
0.133660
1.615894
-2.847964
2.155584
1.232637
1.595798
-1.398781
2.567154
0.0062
0.0357
0.2232
0.1165
0.1677
0.0131
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.270616
0.201806
4.041030
865.4861
-162.9471
2.005982
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
-0.201695
4.523117
5.727021
5.938296
3.932806
0.004170
Hasil Pengujian Akar Unit LOG_M pada Level
Null Hypothesis: LOG_M has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 3 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-0.427825
-3.544063
-2.910860
-2.593090
0.8971
74
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(LOG_M)
Method: Least Squares
Date: 06/14/06 Time: 20:25
Sample(adjusted): 1991:1 2005:4
Included observations: 60 after adjusting endpoints
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LOG_M(-1)
D(LOG_M(-1))
D(LOG_M(-2))
D(LOG_M(-3))
C
-0.003814
-0.199681
-0.076563
-0.315317
0.108492
0.008915
0.127650
0.129266
0.127068
0.101247
-0.427825
-1.564290
-0.592287
-2.481492
1.071561
0.6704
0.1235
0.5561
0.0162
0.2886
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.137677
0.074962
0.054003
0.160396
92.59734
1.892687
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.041185
0.056148
-2.919911
-2.745383
2.195295
0.081454
Hasil Pengujian Akar Unit LOG_CPI pada Level
Null Hypothesis: LOG_CPI has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 3 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
0.116255
-3.544063
-2.910860
-2.593090
0.9645
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(LOG_CPI)
Method: Least Squares
Date: 06/14/06 Time: 20:23
Sample(adjusted): 1991:1 2005:4
Included observations: 60 after adjusting endpoints
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LOG_CPI(-1)
D(LOG_CPI(-1))
D(LOG_CPI(-2))
D(LOG_CPI(-3))
C
0.000774
0.685584
0.150310
-0.363404
0.012715
0.006654
0.134138
0.164775
0.134261
0.028290
0.116255
5.111035
0.912215
-2.706701
0.449443
0.9079
0.0000
0.3656
0.0090
0.6549
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
0.474781
0.436583
0.028683
0.045251
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
0.028966
0.038213
-4.185339
-4.010810
75
Log likelihood
Durbin-Watson stat
130.5602
1.804089
F-statistic
Prob(F-statistic)
12.42954
0.000000
Hasil Pengujian Akar Unit LOG_KURS pada Level
Null Hypothesis: LOG_KURS has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 1 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.158646
-3.540198
-2.909206
-2.592215
0.6869
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(LOG_KURS)
Method: Least Squares
Date: 06/14/06 Time: 20:24
Sample(adjusted): 1990:3 2005:4
Included observations: 62 after adjusting endpoints
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LOG_KURS(-1)
D(LOG_KURS(-1))
C
-0.028830
0.285932
-0.261483
0.024882
0.124693
0.209753
-1.158646
2.293089
-1.246627
0.2513
0.0254
0.2175
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.094485
0.063789
0.141443
1.180366
34.82641
2.009446
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
-0.026992
0.146183
-1.026659
-0.923733
3.078137
0.053509
Hasil Pengujian Akar Unit LOG_U pada Level
Null Hypothesis: LOG_U has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 3 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(LOG_U)
t-Statistic
Prob.*
-0.692761
-3.544063
-2.910860
-2.593090
0.8404
76
Method: Least Squares
Date: 06/14/06 Time: 20:26
Sample(adjusted): 1991:1 2005:4
Included observations: 60 after adjusting endpoints
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LOG_U(-1)
D(LOG_U(-1))
D(LOG_U(-2))
D(LOG_U(-3))
C
-0.003811
1.774270
-1.322096
0.321756
0.064903
0.005500
0.127217
0.203396
0.127624
0.084097
-0.692761
13.94677
-6.500100
2.521136
0.771760
0.4914
0.0000
0.0000
0.0146
0.4436
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.916901
0.910857
0.023496
0.030365
142.5284
1.941228
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.028598
0.078697
-4.584281
-4.409752
151.7149
0.000000
77
Lampiran 2. Hasil Pengujian Akar Unit pada First Difference
Hasil Pengujian Akar Unit SBI pada First Difference
Exogenous: Constant
Lag Length: 4 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.280405
-3.548208
-2.912631
-2.594027
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(SBI,2)
Method: Least Squares
Date: 06/14/06 Time: 20:28
Sample(adjusted): 1991:3 2005:4
Included observations: 58 after adjusting endpoints
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(SBI(-1))
D(SBI(-1),2)
D(SBI(-2),2)
D(SBI(-3),2)
D(SBI(-4),2)
C
-1.388198
0.466598
0.505419
0.567397
0.250995
-0.166138
0.262896
0.214780
0.193857
0.165386
0.131615
0.553460
-5.280405
2.172443
2.607181
3.430750
1.907030
-0.300181
0.0000
0.0344
0.0119
0.0012
0.0620
0.7652
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.524067
0.478305
4.197135
916.0288
-162.3270
1.960366
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.143103
5.810914
5.804378
6.017528
11.45184
0.000000
Hasil Pengujian Akar Unit LOG_M pada First Difference
Null Hypothesis: D(LOG_M) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 2 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
t-Statistic
Prob.*
-6.454295
-3.544063
-2.910860
-2.593090
0.0000
78
Dependent Variable: D(LOG_M,2)
Method: Least Squares
Date: 06/14/06 Time: 20:25
Sample(adjusted): 1991:1 2005:4
Included observations: 60 after adjusting endpoints
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LOG_M(-1))
D(LOG_M(-1),2)
D(LOG_M(-2),2)
C
-1.596466
0.395617
0.316790
0.065499
0.247349
0.196060
0.126091
0.012242
-6.454295
2.017838
2.512395
5.350268
0.0000
0.0484
0.0149
0.0000
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.637040
0.617595
0.053607
0.160930
92.49767
1.891137
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
-0.000119
0.086689
-2.949922
-2.810299
32.76227
0.000000
Hasil Pengujian Akar Unit LOG_CPI pada First Difference
Null Hypothesis: D(LOG_CPI) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 2 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.365808
-3.544063
-2.910860
-2.593090
0.0009
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(LOG_CPI,2)
Method: Least Squares
Date: 06/14/06 Time: 20:24
Sample(adjusted): 1991:1 2005:4
Included observations: 60 after adjusting endpoints
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LOG_CPI(-1))
D(LOG_CPI(-1),2)
D(LOG_CPI(-2),2)
C
-0.526363
0.211679
0.362207
0.015951
0.120565
0.137271
0.132681
0.004977
-4.365808
1.542055
2.729903
3.205283
0.0001
0.1287
0.0085
0.0022
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.268251
0.229050
0.028430
0.045262
130.5528
1.802176
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.001299
0.032379
-4.218426
-4.078803
6.842977
0.000522
79
Lampiran 2. Lanjutan
Hasil Pengujian Akar Unit LOG_KURS pada First Difference
Null Hypothesis: D(LOG_KURS) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.844543
-3.540198
-2.909206
-2.592215
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(LOG_KURS,2)
Method: Least Squares
Date: 06/14/06 Time: 20:24
Sample(adjusted): 1990:3 2005:4
Included observations: 62 after adjusting endpoints
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LOG_KURS(-1))
C
-0.727626
-0.019380
0.124497
0.018347
-5.844543
-1.056299
0.0000
0.2951
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.362778
0.352157
0.141846
1.207224
34.12896
1.994671
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.000954
0.176231
-1.036418
-0.967801
34.15868
0.000000
Hasil Pengujian Akar Unit LOG_U pada First Difference
Null Hypothesis: D(LOG_U) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 2 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10)
Augmented Dickey-Fuller test statistic
Test critical values:
1% level
5% level
10% level
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(LOG_U,2)
Method: Least Squares
t-Statistic
Prob.*
-3.978405
-3.544063
-2.910860
-2.593090
0.0029
80
Date: 06/14/06 Time: 20:26
Sample(adjusted): 1991:1 2005:4
Included observations: 60 after adjusting endpoints
Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LOG_U(-1))
D(LOG_U(-1),2)
D(LOG_U(-2),2)
C
-0.233895
1.007544
-0.312103
0.006692
0.058791
0.093044
0.126270
0.003427
-3.978405
10.82871
-2.471712
1.952571
0.0002
0.0000
0.0165
0.0559
R-squared
Adjusted R-squared
S.E. of regression
Sum squared resid
Log likelihood
Durbin-Watson stat
0.772820
0.760650
0.023387
0.030629
142.2678
1.932776
Mean dependent var
S.D. dependent var
Akaike info criterion
Schwarz criterion
F-statistic
Prob(F-statistic)
0.000480
0.047803
-4.608926
-4.469303
63.50026
0.000000
81
Lampiran 3. Hasil Pengujian Lag Optimal
Hasil Pengujian Lag 4
VAR Lag Order Selection Criteria
Endogenous variables: DSBI DLOG_M DLOG_CPI DLOG_KURS DLOG_U
Exogenous variables: C DUMMY
Date: 06/14/06 Time: 21:55
Sample: 1990:1 2005:4
Included observations: 59
Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0
1
2
3
4
161.8632
279.8912
338.1446
391.1866
450.1243
NA
208.0494
92.81036
75.51753
73.92184*
4.00E-09
1.72E-10
5.69E-11
2.33E-11
8.17E-12*
-5.147905
-8.301398
-9.428629
-10.37921
-11.52964*
-4.795780
-7.068961
-7.315879
-7.386145
-7.656263*
-5.010450
-7.820304
-8.603897
-9.210837
-10.01763*
* indicates lag order selected by the criterion
LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level)
FPE: Final prediction error
AIC: Akaike information criterion
SC: Schwarz information criterion
HQ: Hannan-Quinn information criterion
Hasil Pengujian Lag 5
VAR Lag Order Selection Criteria
Endogenous variables: DSBI DLOG_M DLOG_CPI DLOG_KURS DLOG_U
Exogenous variables: C DUMMY
Date: 08/24/06 Time: 13:56
Sample: 1990:1 2005:4
Included observations: 58
Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0
1
2
3
4
5
157.4898
273.4512
332.3489
389.0864
446.3347
478.9240
NA
203.9321
93.42406
80.21503
71.06689*
34.83678
4.26E-09
1.86E-10
5.92E-11
2.10E-11
7.72E-12
7.17E-12*
-5.085855
-8.222454
-9.391342
-10.48574
-11.59775
-11.85945*
-4.730606
-6.979083
-7.259850
-7.466123
-7.690012*
-7.063588
-4.947478
-7.738136
-8.561083
-9.309537
-10.07561*
-9.991363
* indicates lag order selected by the criterion
LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level)
FPE: Final prediction error
AIC: Akaike information criterion
SC: Schwarz information criterion
HQ: Hannan-Quinn information criterion
82
Lampiran 4. Hasil Pengujian Stabilitas VAR
Pengujian Stabilitas VAR pada Lag 4 yang Stabil
Roots of Characteristic Polynomial
Endogenous variables: DSBI DLOG_M DLOG_CPI DLOG_KURS DLOG_U
Exogenous variables: C DUMMY
Lag specification: 1 4
Date: 06/14/06 Time: 21:55
Root
-0.938772
-0.102055 + 0.914347i
-0.102055 - 0.914347i
0.758071 - 0.471558i
0.758071 + 0.471558i
0.355192 - 0.791213i
0.355192 + 0.791213i
0.657117 - 0.554737i
0.657117 + 0.554737i
-0.547736 + 0.647958i
-0.547736 - 0.647958i
0.794851 + 0.156972i
0.794851 - 0.156972i
-0.708502 - 0.254758i
-0.708502 + 0.254758i
-0.234848 - 0.670491i
-0.234848 + 0.670491i
0.337159 + 0.203722i
0.337159 - 0.203722i
-0.248041
No root lies outside the unit circle.
VAR satisfies the stability condition.
Modulus
0.938772
0.920025
0.920025
0.892770
0.892770
0.867283
0.867283
0.859963
0.859963
0.848449
0.848449
0.810203
0.810203
0.752912
0.752912
0.710430
0.710430
0.393928
0.393928
0.248041
83
Lampiran 4. Lanjutan
Pengujian Stabilitas VAR pada Lag Maksimum (Lag 8) yang Tidak Stabil
Roots of Characteristic Polynomial
Endogenous variables: DSBI DLOG_M DLOG_CPI DLOG_KURS DLOG_U
Exogenous variables: C DUMMY
Lag specification: 1 8
Date: 08/24/06 Time: 13:50
Root
-0.030930 - 1.009991i
-0.030930 + 1.009991i
0.897000 - 0.434174i
0.897000 + 0.434174i
-0.982982 - 0.045697i
-0.982982 + 0.045697i
0.784458 + 0.591843i
0.784458 - 0.591843i
-0.839398 + 0.490635i
-0.839398 - 0.490635i
-0.473420 + 0.849034i
-0.473420 - 0.849034i
0.429115 + 0.863042i
0.429115 - 0.863042i
0.924642 + 0.260378i
0.924642 - 0.260378i
-0.913648 + 0.267143i
-0.913648 - 0.267143i
0.591970 + 0.739716i
0.591970 - 0.739716i
0.935319
-0.253726 - 0.876300i
-0.253726 + 0.876300i
0.477189 + 0.775677i
0.477189 - 0.775677i
0.230302 + 0.876891i
0.230302 - 0.876891i
-0.589191 + 0.674412i
-0.589191 - 0.674412i
0.663070 - 0.600561i
0.663070 + 0.600561i
-0.105393 - 0.882043i
-0.105393 + 0.882043i
-0.582848 - 0.531564i
-0.582848 + 0.531564i
-0.428272 + 0.462572i
-0.428272 - 0.462572i
0.565294
0.266604 + 0.473732i
0.266604 - 0.473732i
Warning: At least one root outside the unit circle.
VAR does not satisfy the stability condition.
Modulus
1.010465
1.010465
0.996552
0.996552
0.984044
0.984044
0.982676
0.982676
0.972271
0.972271
0.972104
0.972104
0.963836
0.963836
0.960604
0.960604
0.951903
0.951903
0.947422
0.947422
0.935319
0.912293
0.912293
0.910706
0.910706
0.906629
0.906629
0.895532
0.895532
0.894615
0.894615
0.888317
0.888317
0.788842
0.788842
0.630389
0.630389
0.565294
0.543599
0.543599
84
Lampiran 5. Hasil Estimasi Structural VAR
Structural VAR Estimates
Date: 07/17/06 Time: 09:45
Sample(adjusted): 1991:2 2005:4
Included observations: 59 after adjusting endpoints
Estimation method: method of scoring (analytic derivatives)
Convergence achieved after 18 iterations
Structural VAR is just-identified
Model: Ae = Bu where E[uu']=I
Restriction Type: short-run text form
@e1 = C(1)*@u1
@e2 = C(2)*@e1 + C(3)*@u2
@e3 = C(4)*@e1 + C(5)*@e2 + C(6)*@u3
@e4 = C(7)*@e1 + C(8)*@e2 + C(9)*@e3 + C(10)*@u4
@e5 = C(11)*@e1 + C(12)*@e2 + C(13)*@e3 + C(14)*@e4 + C(15)*@u5
where
@e1 represents DSBI residuals
@e2 represents DLOG_M residuals
@e3 represents DLOG_CPI residuals
@e4 represents DLOG_KURS residuals
@e5 represents DLOG_U residuals
Coefficient
Std. Error
z-Statistic
Prob.
C(2)
C(4)
C(5)
C(7)
C(8)
C(9)
C(11)
C(12)
C(13)
C(14)
C(1)
C(3)
C(6)
C(10)
C(15)
-0.005927
0.001977
0.134404
-0.003174
-0.292087
-0.403056
-0.005728
0.039433
0.290574
0.008819
1.892364
0.037643
0.017724
0.064925
0.015792
0.002590
0.001272
0.061300
0.004755
0.233511
0.476885
0.001161
0.057545
0.116692
0.031666
0.174206
0.003465
0.001632
0.005977
0.001454
-2.288778
1.553835
2.192572
-0.667558
-1.250848
-0.845186
-4.934252
0.685261
2.490095
0.278490
10.86278
10.86278
10.86278
10.86278
10.86278
0.0221
0.1202
0.0283
0.5044
0.2110
0.3980
0.0000
0.4932
0.0128
0.7806
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
Log likelihood
381.2979
0.000000
0.000000
1.000000
0.403056
-0.290574
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
-0.008819
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
Estimated A matrix:
1.000000
0.005927
-0.001977
0.003174
0.005728
Estimated B matrix:
0.000000
1.000000
-0.134404
0.292087
-0.039433
85
1.892364
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
`
0.000000
0.037643
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.017724
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.064925
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.015792
86
Lampiran 6. Hasil Pengujian Johansen dengan Asumsi “Summary”
Date: 06/14/06 Time: 21:18
Sample: 1990:1 2005:4
Included observations: 59
Series: SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U
Exogenous series: DUMMY
Warning: Rank Test critical values derived assuming no exogenous series
Lags interval: 1 to 4
Data Trend:
None
None
Linear
Linear
Quadratic
Rank or
No. of CEs
No Intercept
No Trend
Intercept
No Trend
Intercept
No Trend
Intercept
Trend
Intercept
Trend
3
4
3
3
3
2
2
2
436.8195
475.6811
495.0863
507.2553
515.8180
516.0309
450.1243
486.5291
500.4080
511.3587
515.8186
516.0309
450.1243
487.6567
507.9307
520.5856
528.8054
530.1352
462.2439
492.7899
513.0596
524.0846
529.3542
530.1352
-11.41761
-12.36207
-12.64699
-12.68662
-12.60400
-12.23833
-11.69913
-12.59421
-12.72570
-12.75792
-12.57012
-12.23833
-11.69913
-12.59853
-12.91291
-12.96900
-12.87476
-12.54696
-11.94047
-12.63694
-12.98507
-13.01982*
-12.85947
-12.54696
-7.896359
-8.453482
-8.351068
-8.003358
-7.533401
-6.780397
-8.001817
-8.544770*
-8.324134
-8.004233
-7.464309
-6.780397
-8.001817
-8.513881
-8.440918
-8.109680
-7.628097
-6.912956
-8.067098
-8.411444
-8.407445
-8.090066
-7.577591
-6.912956
Selected (5% level) Number
of Cointegrating Relations
by Model (columns)
Trace
Max-Eig
3
3
Log Likelihood by Rank
(rows) and Model (columns)
0
1
2
3
4
5
436.8195
474.2088
493.2066
503.9341
507.9540
507.9807
Akaike Information Criteria
by Rank (rows) and Model
(columns)
0
1
2
3
4
5
-11.41761
-12.34606
-12.65107
-12.67573
-12.47302
-12.13494
Schwarz Criteria by Rank
(rows) and Model (columns)
0
1
2
3
4
5
-7.896359
-8.472685
-8.425572
-8.098108
-7.543265
-6.853062
87
Lampiran 7. Hasil Pengujian Johansen dengan “Asumsi 5”
(allwow for quadratic deterministic trend in data: Intercept and trend in CElinier tend in VAR)
Date: 06/14/06 Time: 21:19
Sample(adjusted): 1991:2 2005:4
Included observations: 59 after adjusting endpoints
Trend assumption: Quadratic deterministic trend
Series: SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U
Exogenous series: DUMMY
Warning: Critical values assume no exogenous series
Lags interval (in first differences): 1 to 4
Unrestricted Cointegration Rank Test
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace
Statistic
None **
At most 1 **
At most 2
At most 3
At most 4
0.644935
0.496972
0.311836
0.163587
0.026126
135.7825
74.69065
34.15123
12.10125
1.561902
5 Percent
1 Percent
Critical Value Critical Value
77.74
54.64
34.55
18.17
3.74
85.78
61.24
40.49
23.46
6.40
*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level
Trace test indicates 2 cointegrating equation(s) at both 5% and 1% levels
Hypothesized
No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen
Statistic
None **
At most 1 **
At most 2
At most 3
At most 4
0.644935
0.496972
0.311836
0.163587
0.026126
61.09182
40.53942
22.04998
10.53935
1.561902
5 Percent
1 Percent
Critical Value Critical Value
36.41
30.33
23.78
16.87
3.74
41.58
35.68
28.83
21.47
6.40
*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level
Max-eigenvalue test indicates 2 cointegrating equation(s) at both 5% and 1% levels
Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I):
SBI
-0.412980
-1.163923
0.119487
0.249040
-0.134279
LOG_M
9.164098
60.74809
54.40541
-20.45540
-72.44637
LOG_CPI
10.08165
3.825452
9.949059
53.96330
-58.60095
LOG_KURS
-5.744332
8.587690
16.20456
18.00268
-36.97661
LOG_U
5.148791
6.817462
-7.220804
3.940220
37.41272
0.077530
-0.005642
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):
D(SBI)
-0.129021
0.572803
0.196301
88
D(LOG_M)
D(LOG_CPI)
D(LOG_KUR
S)
D(LOG_U)
0.000773
-0.004920
0.035045
0.004237
-0.004313
-0.007670
0.001602
-0.001997
-0.011175
-0.009733
-0.003970
0.002856
-0.002748
0.000874
0.001388
-0.001894
-0.000760
-0.006913
-0.001410
-0.001258
1 Cointegrating Equation(s): Log likelihood
492.7899
Normalized cointegrating coefficients (std.err. in parentheses)
SBI
LOG_M
LOG_CPI
LOG_KURS
LOG_U
1.000000
-22.19018
-24.41196
13.90947
-12.46741
(30.6933)
(24.7316)
(13.9577)
(11.5375)
Adjustment coefficients (std.err. in parentheses)
D(SBI)
0.053283
(0.10418)
D(LOG_M)
-0.000319
(0.00214)
D(LOG_CPI)
0.002032
(0.00097)
D(LOG_KURS) -0.014473
(0.00257)
D(LOG_U)
0.000782
(0.00107)
2 Cointegrating Equation(s): Log likelihood
513.0596
Normalized cointegrating coefficients (std.err. in parentheses)
SBI
LOG_M
LOG_CPI
LOG_KURS
LOG_U
1.000000
0.000000
-40.03652
29.65417
-17.35634
(36.1075)
(13.2928)
(9.46456)
0.000000
1.000000
-0.704120
0.709534
-0.220319
(0.75214)
(0.27690)
(0.19715)
Adjustment coefficients (std.err. in parentheses)
D(SBI)
-0.613416
33.61435
(0.28697)
(14.2751)
D(LOG_M)
-0.005251
0.264462
(0.00634)
(0.31520)
D(LOG_CPI)
0.007052
-0.307085
(0.00277)
(0.13760)
D(LOG_KURS) -0.005545
-0.144808
(0.00752)
(0.37397)
D(LOG_U)
0.001667
-0.063513
(0.00320)
(0.15927)
3 Cointegrating Equation(s): Log likelihood
524.0846
Normalized cointegrating coefficients (std.err. in parentheses)
SBI
LOG_M
LOG_CPI
LOG_KURS
LOG_U
1.000000
0.000000
0.000000
10.07310
-12.19363
(1.99576)
(3.77695)
0.000000
1.000000
0.000000
0.365163
-0.129523
(0.03597)
(0.06808)
0.000000
0.000000
1.000000
-0.489080
0.128950
(0.12042)
(0.22789)
89
Adjustment coefficients (std.err. in parentheses)
D(SBI)
-0.604152
37.83240
1.661839
(0.28784)
(19.0367)
(3.40351)
D(LOG_M)
-0.005059
0.351642
0.039946
(0.00636)
(0.42043)
(0.07517)
D(LOG_CPI)
0.006813
-0.415734
-0.085972
(0.00275)
(0.18163)
(0.03247)
D(LOG_KURS) -0.006880
-0.752806
0.212782
(0.00717)
(0.47412)
(0.08477)
D(LOG_U)
0.000841
-0.439603
-0.090777
(0.00286)
(0.18919)
(0.03383)
4 Cointegrating Equation(s): Log likelihood
529.3542
Normalized cointegrating coefficients (std.err. in parentheses)
SBI
LOG_M
LOG_CPI
LOG_KURS
LOG_U
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
-11.65665
(5.16613)
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
-0.110057
(0.10988)
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.102878
(0.11857)
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
-0.053308
(0.28952)
Adjustment coefficients (std.err. in parentheses)
D(SBI)
-0.605557
37.94781
1.357397
(0.29357)
(19.6191)
(12.9726)
D(LOG_M)
-0.007483
0.550741
-0.485296
(0.00613)
(0.40965)
(0.27087)
D(LOG_CPI)
0.005824
-0.334517
-0.300232
(0.00267)
(0.17811)
(0.11777)
D(LOG_KURS) -0.006169
-0.811224
0.366897
(0.00729)
(0.48687)
(0.32193)
D(LOG_U)
0.000489
-0.410759
-0.166868
(0.00290)
(0.19391)
(0.12822)
6.814970
(6.10865)
-0.117317
(0.12755)
-0.112613
(0.05546)
-0.396857
(0.15159)
-0.133047
(0.06038)
90
Lampiran 8. Impulse Response Function (IRF)
Period
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
SBI
1.784785
0.070108
-0.310049
-0.428339
-1.312724
-1.175425
-1.038859
-1.149462
-0.898966
-0.870230
-0.829872
-0.520332
-0.539705
-0.488485
-0.399469
-0.440680
-0.478375
-0.541891
-0.615573
-0.625370
-0.669081
-0.650983
-0.569727
-0.523436
-0.507425
-0.483825
-0.485303
-0.506622
-0.546155
-0.557357
-0.548929
-0.547851
-0.546334
-0.524045
-0.514180
-0.522344
-0.533226
-0.530461
-0.530587
-0.535856
-0.534380
-0.521713
-0.519588
-0.525830
-0.528567
-0.526424
-0.531226
-0.535994
-0.532698
-0.525307
LOG_M
-0.017030
-0.023762
-0.023429
-0.011488
-0.013846
-0.007827
-0.008188
-0.000605
-0.003743
-0.005152
0.000770
0.002155
0.000243
0.001161
0.004398
0.004677
0.001914
0.001698
0.004154
0.004015
0.002698
0.004659
0.006729
0.005996
0.004695
0.005559
0.006191
0.004923
0.004252
0.005684
0.006381
0.005562
0.005461
0.006440
0.006326
0.005331
0.005364
0.006198
0.006061
0.005523
0.005898
0.006475
0.006068
0.005576
0.005891
0.006208
0.005832
0.005661
0.006098
0.006286
LOG_CPI
0.003944
0.005505
-0.000261
-0.000798
-0.000967
-0.001747
-0.001640
-0.002264
-0.000487
0.000671
0.000799
0.002694
0.004975
0.005430
0.005873
0.006820
0.007567
0.007160
0.006559
0.006849
0.007170
0.006804
0.007006
0.007820
0.008241
0.008076
0.008196
0.008548
0.008471
0.008074
0.008164
0.008464
0.008413
0.008258
0.008471
0.008662
0.008513
0.008363
0.008529
0.008630
0.008500
0.008466
0.008645
0.008676
0.008534
0.008510
0.008624
0.008601
0.008500
0.008543
LOG_KURS
0.000602
0.035765
0.023997
0.019163
0.023287
-0.006128
0.010695
-0.000297
-0.010853
-0.009730
-0.016991
-0.021609
-0.024758
-0.028289
-0.026888
-0.026834
-0.028413
-0.024353
-0.023746
-0.026635
-0.028485
-0.029843
-0.031259
-0.033038
-0.033492
-0.031717
-0.031112
-0.031764
-0.031411
-0.031035
-0.032059
-0.033170
-0.033097
-0.032515
-0.032739
-0.032953
-0.032389
-0.032160
-0.032861
-0.033269
-0.033002
-0.032922
-0.033233
-0.033108
-0.032618
-0.032603
-0.032999
-0.033038
-0.032889
-0.033077
LOG_U
-0.011110
-0.031814
-0.056569
-0.078684
-0.090077
-0.093851
-0.093269
-0.091200
-0.092143
-0.095960
-0.101677
-0.107243
-0.109978
-0.109462
-0.106297
-0.101913
-0.098872
-0.098667
-0.101042
-0.104817
-0.108306
-0.110265
-0.110120
-0.108221
-0.105814
-0.104085
-0.103567
-0.104306
-0.105848
-0.107387
-0.108189
-0.108042
-0.107253
-0.106297
-0.105589
-0.105452
-0.105907
-0.106628
-0.107208
-0.107437
-0.107286
-0.106854
-0.106359
-0.106073
-0.106110
-0.106379
-0.106719
-0.106997
-0.107098
-0.106978
91
51
-0.525264
0.005912
0.008656
-0.033314
52
-0.526607
0.005816
0.008625
-0.033114
53
-0.524571
0.006114
0.008554
-0.032848
54
-0.523651
0.006102
0.008597
-0.032929
55
-0.528836
0.005783
0.008650
-0.033054
56
-0.531838
0.005835
0.008586
-0.032923
57
-0.529756
0.006127
0.008538
-0.032879
58
-0.527675
0.006084
0.008593
-0.033090
59
-0.529051
0.005867
0.008633
-0.033192
60
-0.528129
0.005968
0.008585
-0.033038
Cholesky Ordering: SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U
-0.106727
-0.106501
-0.106391
-0.106410
-0.106540
-0.106720
-0.106852
-0.106872
-0.106800
-0.106691
92
Lampiran 9. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)
Hasil Pengujian FEVD terhadap Inflasi
Period
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
S.E.
1.784785
2.461517
3.064447
3.581595
4.212851
4.509581
4.723253
5.216345
5.649402
5.916055
6.182096
6.331099
6.470413
6.582723
6.666048
6.739550
6.816068
6.883612
6.983460
7.095279
7.219414
7.338919
7.456104
7.562666
7.659282
7.739183
7.820395
7.899411
7.980791
8.063395
8.153242
8.241873
8.329057
8.411780
8.495423
8.575501
8.654064
8.731840
8.812127
8.890417
8.967839
9.044026
9.120578
9.194678
9.268181
9.341707
9.416189
SBI
5.255915
7.027959
4.243829
2.910924
2.312209
2.127628
2.146911
2.283673
2.170362
2.071591
2.014263
2.169476
2.828523
3.576727
4.465359
5.641034
7.002041
8.161565
9.084608
10.00927
10.93042
11.70112
12.49249
13.44582
14.45917
15.42209
16.38394
17.37103
18.28036
19.06980
19.82746
20.58898
21.30263
21.97365
22.64804
23.31783
23.93933
24.52128
25.09345
25.64963
26.17176
26.67652
27.17844
27.66344
28.11867
28.55574
28.98066
LOG_M
18.64711
24.39368
17.88361
12.09918
10.04451
8.734805
8.442851
9.180961
11.15258
13.88814
15.32127
16.46709
17.33970
18.27429
18.34224
18.25044
18.16679
18.24043
18.15338
18.18633
18.34340
18.60438
18.64549
18.74719
18.85912
18.91347
18.79617
18.73776
18.70851
18.67664
18.58323
18.56996
18.57369
18.55016
18.47989
18.46650
18.44762
18.40436
18.34432
18.33141
18.30832
18.26582
18.21833
18.20268
18.17276
18.13160
18.09646
LOG_CPI
76.09698
52.99521
39.22601
27.73241
22.67846
20.36194
20.08129
20.41711
21.81112
22.00576
22.76713
23.69452
24.85325
25.26914
25.72656
25.98997
26.27805
26.19935
26.29178
26.40856
26.54663
26.53104
26.66304
26.74136
26.77038
26.67498
26.66111
26.62118
26.56792
26.48828
26.49062
26.46084
26.40899
26.33430
26.30339
26.24218
26.17527
26.11367
26.09159
26.04568
25.99606
25.94896
25.91873
25.86466
25.81200
25.76853
25.73930
LOG_KURS
0.000000
0.019378
0.344800
0.241670
0.427801
2.974684
4.308498
4.892699
5.019601
5.336382
5.342857
5.274973
5.103252
5.053258
4.933142
4.822538
4.732803
4.748663
4.691988
4.647713
4.620074
4.622191
4.530985
4.426086
4.323782
4.241295
4.141530
4.057867
3.996564
3.947362
3.877163
3.818492
3.763753
3.705308
3.634548
3.576487
3.525642
3.475322
3.420590
3.377577
3.335377
3.289737
3.241519
3.202222
3.163497
3.123795
3.085153
LOG_U
0.000000
15.56378
38.30175
57.01582
64.53702
65.80094
65.02045
63.22555
59.84634
56.69813
54.55447
52.39393
49.87527
47.82658
46.53270
45.29601
43.82031
42.64999
41.77824
40.74812
39.55947
38.54127
37.66800
36.63955
35.58755
34.74816
34.01725
33.21218
32.44664
31.81792
31.22153
30.56172
29.95093
29.43658
28.93413
28.39701
27.91214
27.48537
27.05005
26.59570
26.18849
25.81897
25.44298
25.06700
24.73307
24.42033
24.09844
93
48
9.489245
29.38579
18.08442
25.69579
3.053618
49
9.562064
29.77071
18.05855
25.65769
3.020536
50
9.634448
30.14750
18.02611
25.62627
2.985774
51
9.706385
30.51828
18.00053
25.59868
2.952051
52
9.776403
30.87636
17.98650
25.55753
2.922644
53
9.845969
31.22087
17.95830
25.52114
2.891790
54
9.915315
31.55720
17.92769
25.49023
2.860933
55
9.984572
31.88297
17.90542
25.46151
2.832535
56
10.05291
32.19424
17.89015
25.42592
2.807427
57
10.12138
32.49348
17.86487
25.39729
2.780885
58
10.18970
32.78578
17.84120
25.37282
2.754524
59
10.25750
33.07000
17.82467
25.34752
2.729961
60
10.32419
33.34501
17.81005
25.31679
2.706861
Cholesky Ordering: SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U
23.78038
23.49252
23.21436
22.93046
22.65696
22.40790
22.16394
21.91756
21.68227
21.46347
21.24568
21.02785
20.82129
94
Lampiran 9. Lanjutan
Hasil Pengujian FEVD terhadap Pengangguran
Period
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
S.E.
1.784785
2.461517
3.064447
3.581595
4.212851
4.509581
4.723253
5.216345
5.649402
5.916055
6.182096
6.331099
6.470413
6.582723
6.666048
6.739550
6.816068
6.883612
6.983460
7.095279
7.219414
7.338919
7.456104
7.562666
7.659282
7.739183
7.820395
7.899411
7.980791
8.063395
8.153242
8.241873
8.329057
8.411780
8.495423
8.575501
8.654064
8.731840
8.812127
8.890417
8.967839
9.044026
9.120578
9.194678
9.268181
9.341707
9.416189
SBI
31.12669
28.82973
28.42975
28.53971
28.72947
29.46662
30.59291
31.85928
33.22289
34.56411
35.78838
36.74011
37.29575
37.51012
37.52862
37.47780
37.45853
37.51888
37.66228
37.85528
38.05425
38.22665
38.35556
38.43740
38.49085
38.53786
38.58987
38.64745
38.70889
38.76958
38.82281
38.86434
38.89819
38.93008
38.96283
38.99722
39.03390
39.07087
39.10434
39.13209
39.15527
39.17553
39.19427
39.21323
39.23394
39.25581
39.27719
LOG_M
2.747585
0.894260
0.243228
0.103195
0.085257
0.188684
0.448006
0.727780
0.932764
1.052042
1.118786
1.200324
1.323587
1.467370
1.589076
1.663227
1.688225
1.677917
1.648396
1.619483
1.606591
1.617856
1.651126
1.695578
1.734854
1.758156
1.764512
1.760584
1.753353
1.748515
1.749849
1.758271
1.770378
1.781688
1.789426
1.793278
1.794061
1.793695
1.794344
1.797256
1.801904
1.807111
1.811769
1.815122
1.816855
1.817555
1.818205
LOG_CPI
10.56803
4.717750
2.624437
2.394781
2.625266
2.890957
3.121857
3.145044
3.035943
2.881495
2.755712
2.731264
2.829805
2.987254
3.134665
3.216004
3.223926
3.179386
3.113635
3.053888
3.020394
3.019415
3.046460
3.082562
3.108284
3.114554
3.105086
3.087539
3.070258
3.059338
3.058296
3.064653
3.072796
3.077773
3.077946
3.073559
3.066872
3.060836
3.057898
3.058202
3.060492
3.063006
3.064352
3.063586
3.061067
3.057970
3.055520
LOG_KURS
7.995924
9.289693
9.898356
11.24323
12.36666
12.84437
12.71852
12.27451
11.81605
11.53891
11.48479
11.59613
11.72697
11.75232
11.64544
11.46189
11.26647
11.10826
11.01251
10.99092
11.02686
11.07804
11.10210
11.08429
11.03222
10.96556
10.90387
10.86221
10.84452
10.84424
10.84918
10.84911
10.83795
10.81648
10.79043
10.76700
10.75027
10.74092
10.73681
10.73429
10.72935
10.72028
10.70807
10.69514
10.68354
10.67472
10.66894
LOG_U
47.56177
56.26857
58.80423
57.71908
56.19335
54.60937
53.11871
51.99339
50.99235
49.96344
48.85233
47.73218
46.82389
46.28294
46.10220
46.18108
46.36285
46.51556
46.56318
46.48043
46.29190
46.05803
45.84475
45.70017
45.63379
45.62387
45.63666
45.64222
45.62298
45.57832
45.51986
45.46363
45.42068
45.39399
45.37936
45.36894
45.35490
45.33368
45.30661
45.27816
45.25298
45.23407
45.22154
45.21292
45.20459
45.19395
45.18015
95
48
9.489245
39.29700
1.819507
3.054221
10.66520
49
9.562064
39.31503
1.821574
3.054150
10.66163
50
9.634448
39.33099
1.824275
3.054906
10.65693
51
9.706385
39.34515
1.827221
3.055761
10.65077
52
9.776403
39.35858
1.829850
3.055942
10.64357
53
9.845969
39.37227
1.831745
3.055279
10.63608
54
9.915315
39.38622
1.832988
3.054043
10.62930
55
9.984572
39.40009
1.833903
3.052657
10.62386
56
10.05291
39.41372
1.834790
3.051459
10.61971
57
10.12138
39.42681
1.835858
3.050768
10.61622
58
10.18970
39.43888
1.837277
3.050627
10.61282
59
10.25750
39.44989
1.838982
3.050779
10.60906
60
10.32419
39.46031
1.840715
3.050858
10.60474
Cholesky Ordering: SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U
45.16408
45.14762
45.13290
45.12110
45.11206
45.10463
45.09745
45.08948
45.08033
45.07035
45.06040
45.05129
45.04337
96
Lampiran 10. Data-Data Penelitian
Kuartal
Q1 1990
Q2 1990
Q3 1990
Q4 1990
Q1 1991
Q2 1991
Q3 1991
Q4 1991
Q1 1992
Q2 1992
Q3 1992
Q4 1992
Q1 1993
Q2 1993
Q3 1993
Q4 1993
Q1 1994
Q2 1994
Q3 1994
Q4 1994
Q1 1995
Q2 1995
Q3 1995
Q4 1995
Q1 1996
Q2 1996
Q3 1996
Q4 1996
Q1 1997
Q2 1997
Q3 1997
Q4 1997
Q1 1998
Q2 1998
BI
SBI
BI
M1
IMF
CPI
Persen
Milyar Rp
-
13.9
22155
27.6
17.4
23205
28.2
17.8
22982
29.3
19.9
23819
29.9
24.7
23570
30.2
19.9
24610
30.9
19.6
25805
32.0
19.6
26342
32.7
19
27318
33.2
16.5
26845
33.7
15.2
27626
34.0
13.8
28779
34.4
12.8
30592
36.2
10.5
31142
36.9
9.6
34802
37.4
9.3
36805
37.9
10.5
37908
39.1
11.6
39886
39.7
10.39
42195
40.7
10.85
45374
41.5
14.3
44908
42.7
14.2
47046
43.9
14.88
48981
44.5
14.95
52677
45.2
14.96
53162
47.2
15.08
56448
47.4
14.58
59685
47.6
13.8
64089
48.0
11.9
63565
49.3
11.3
69950
49.7
11.2
66258
50.6
11.2
78343
52.4
11.2
98270
62.8
39
109480
74.4
BI
KURS
US $ per
Rp
0.000549
0.000542
0.000536
0.000526
0.000518
0.000512
0.000508
0.000502
0.000496
0.000492
0.000491
0.000485
0.000483
0.000479
0.000474
0.000474
0.000466
0.000463
0.000459
0.000455
0.000451
0.000445
0.000439
0.000433
0.000428
0.000427
0.000427
0.00042
0.000413
0.000408
0.000305
0.000215
0.00012
6.71E-05
BPS
DUMMY
U
Orang
-
2054502
0
2019196
0
1983011
0
1951684
0
1941293
0
1947365
0
1975769
0
2032369
0
2095299
0
2162006
0
2202202
0
2185602
0
2140547
0
2084674
0
2094248
0
2245536
0
2557570
0
2981180
0
3409966
0
3737524
0
3885149
0
3924185
0
3953671
0
4072647
0
4280073
0
4513452
0
4610209
0
4407769
0
3907340
0
3211539
0
2586764
1
2299414
1
2593398
1
3287625
1
97
Q3 1998
Q4 1998
Q1 1999
Q2 1999
Q3 1999
Q4 1999
Q1 2000
Q2 2000
Q3 2000
Q4 2000
Q1 2001
Q2 2001
Q3 2001
Q4 2001
Q1 2002
Q2 2002
Q3 2002
Q4 2002
Q1 2003
Q2 2003
Q3 2003
Q4 2003
Q1 2004
Q2 2004
Q3 2004
Q4 2004
Q1 2005
Q2 2005
Q3 2005
Q4 2005
39
102563
89.3
39
101197
93.6
38
105705
98.0
23.8
105964
97.4
13.3
118124
95.2
12.8
124633
95.1
11
124663
97.5
11.1
133832
98.4
13.3
135431
100.6
14.3
162185
103.5
14.9
148375
106.6
16.3
160143
109.4
17.6
164237
113.5
17.6
177731
116.6
16.9
166173
122.1
15.2
174017
123.1
14.1
181791
125.2
13.1
191939
128.6
12
181239
131.5
10.2
195219
131.8
8.7
207587
132.9
8.3
223799
135.7
7.3
219087
137.9
7.3
233726
140.6
7.3
240911
142.1
7.3
253818
144.4
7.3
250492
148.6
8.1
267635
151.4
9.3
273954
154.1
12.8
281905
170.0
9.35E-05
0.000125
0.000115
0.000149
0.000119
0.000141
0.000132
0.000114
0.000114
0.000104
9.62E-05
8.74E-05
0.000103
9.62E-05
0.000104
0.000115
0.000111
0.000112
0.000112
0.000121
0.000119
0.000118
0.000116
0.000106
0.000109
0.000108
0.000105
0.000103
9.7E-05
0.000102
4178514
1
5062483
1
5598204
1
5932220
1
6073326
1
6030319
1
5943235
1
5799149
1
5716376
1
5813231
1
6180901
1
6739860
1
7383455
1
8005031
1
8438393
1
8759649
1
8985364
1
9132104
1
9257216
1
9347218
1
9429410
1
9531090
1
9681966
1
9863233
1
10058494
1
10251351
1
10418527
1
10571603
1
10715278
1
10854254
1
Keterangan :
SBI
= Suku bunga SBI tiga bulanan,
M1
= Jumlah uang yang beredar,
CPI
= Consumer Price Index,
KURS = US Dollar per Rupiah,
U
= Pengangguran,
DUMMY = Sebelum krisis dan pergantian rezim nilai tukar bernilai 0,
Krisis, pasca krisis dan setelah pergantian rezim nilai tukar bernilai 1.
Download