ANALISIS KEBIJAKAN MONETER DALAM MENSTABILKAN INFLASI DAN PENGANGGURAN DI INDONESIA OLEH AZWAR ANAS H14102016 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN AZWAR ANAS. Analisis Kebijakan Moneter dalam Menstabilkan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia (dibimbing oleh IMAN SUGEMA). Perekonomian yang stabil akan lebih disukai dibandingkan perekonomian yang mengalami gejolak. Kestabilan menjadi penting karena kondisi yang stabil akan menciptakan suasana yang kondusif untuk perkembangan dunia usaha. Perkembangan perekonomian suatu negara dapat dikatakan sedang meningkat atau menurun berdasarkan beberapa indikator dasar makroekonominya di antaranya suku bunga, jumlah uang yang beredar, inflasi, nilai tukar dan pengangguran. Upaya menstabilkan perekonomian dapat dicapai melalui kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan fiskal yang berkesinambungan berusaha menekan defisit anggaran serendah mungkin, baik melalui peningkatan pajak maupun pengurangan subsidi. Dari sisi moneter, telah terjadi perubahan paradigma yaitu dari stabilisasi yang berbasis jumlah uang yang beredar menjadi Inflation Targeting Framework (ITF) dengan instrumen suku bunga. Pertumbuhan ekonomi akan mendorong perkembangan kondisi perekonomian. Sebelum krisis 1997 Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, nilai tukar yang stabil dan tingkat inflasi yang rendah. Tetapi ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1997, pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun, bahkan menjadi negatif di tahun 1998, nilai tukar Rupiah terus terdepresiasi, inflasi meninggi dan terjadi ledakan pengangguran pada tahun 1998 dimana terjadi sekitar 1,4 juta pengangguran terbuka baru. Kondisi perekonomian negara dapat mengalami siklus naik turun, sehingga pada saat tertentu mengalami pertumbuhan yang pesat dan di saat yang lain mengalami penurunan. Untuk mengelola dan mempengaruhi perekonomian agar berada dalam kondisi stabil, pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia perlu melakukan langkah stabilisasi makro, dengan mengelola sisi permintaan dan penawaran suatu perekonomian agar mengarah pada kondisi keseimbangan, yaitu dengan menetapkan SBI sebagai instrumen kebijakan moneter. Telah banyak penelitian mengenai kebijakan moneter, tetapi masih terbatas sekali penelitian yang menghubungkan kebijakan moneter dengan pengangguran hal inilah yang melatarbelakangi penulis melakukan penelitian. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana variabel variabel makroekonomi bereaksi terhadap perubahan kebijakan moneter di Indonesia. Dan yang kedua untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan inflasi dan pengangguran di Indonesia. Untuk melihat bagaimana kebijakan moneter berpengaruh terhadap inflasi, nilai tukar dan pengangguran, digunakan analisis Structural Vector Auto regression (SVAR) yang dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan Vector Error Correction Model (VECM) dengan software Eviews 4.1. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh publikasi Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI) dari Bank Indonesia, publikasi International Financial Statistics dari International Monetary Fund, dan data publikasi Badan Pusat Satistik. Data-data yang digunakan adalah data kuartalan dari periode 1990:1-2005:4, meliputi suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tiga bulanan, jumlah uang yang beredar, Consumer Price Index (CPI), nilai tukar US Dollar per Rupiah dan data pengangguran. Pada penelitian ini dilihat bagaimana respon variabel-variabel makroekonomi terhadap guncangan SBI. Respon pada dua kuartal awal (periode ke-1 dan periode ke-2) menunjukkan bahwa jumlah uang yang beredar, dan pengangguran mengalami penurunan, SBI dan inflasi mengalami peningkatan dan nilai tukar mengalami apresiasi. Secara umum respon jumlah uang yang beredar dan inflasi mengalami peningkatan, sedangkan respon nilai tukar cenderung mengalami depresiasi dan respon pengangguran mengalami penurunan. Setelah terjadi guncangan SBI, variabel yang lebih cepat menunjukkan respon permanen adalah variabel SBI itu sendiri, nilai tukar, pengangguran, inflasi dan yang membutuhkan waktu paling lama adalah jumlah uang yang beredar. Cukup lamanya respon variabel tersebut menuju ke arah kestabilan (mulai periode dua puluh sembilan sampai empat puluh empat atau tujuh sampai sebelas tahun setelah guncangan) menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia rentan terhadap perubahan, dan kebijakan moneter yang diterapkan kurang mampu untuk menstabilkan perekonomian. Hasil Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) terhadap inflasi menunjukkan bahwa faktor yang paling berpengaruh pada awal periode adalah inovasi inflasi itu sendiri, dalam jangka panjang faktor yang paling berpengaruh adalah kebijakan moneter. Sedangkan hasil FEVD pengangguran menunjukkan bahwa dari awal hingga akhir periode peramalan, faktor yang paling berpengaruh terhadap variabel pengangguran adalah inovasi dalam pengangguran itu sendiri. Pengaruh kebijakan moneter yang besar terjadi pada periode ke-60 atau 15 tahun setelah terjadi guncangan, hal ini menunjukkan bahwa kebijakan moneter kurang mampu mengendalikan laju inflasi dan tingkat pengangguran dalam jangka pendek. ANALISIS KEBIJAKAN MONETER DALAM MENSTABILKAN INFLASI DAN PENGANGGURAN DI INDONESIA Oleh AZWAR ANAS H14102016 Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa : Azwar Anas Nomor Registrasi Pokok : H14102016 Program Studi : Ilmu Ekonomi Judul Sripsi : Analisis Kebijakan Moneter dalam Menstabilkan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Menyetujui, Dosen Pembimbing, Dr. Ir. Iman Sugema, M.Ec NIP. 131 846 870 Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan : PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, 5 September 2006 Azwar Anas H14102016 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Azwar Anas lahir pada tanggal 23 Mei 1984 di Jakarta. Penulis anak ke dua dari empat bersaudara, dari pasangan Dayat dan Nur Aisyah. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SDN Pondok Pinang 07 Pagi Jakarta Selatan, kemudian melanjutkan ke SMPN 161 Jakarta dan lulus pada tahun 1999. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMUN 47 Jakarta dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2002 penulis meninggalkan kota tercinta untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Institut Pertanian Bogor (IPB) menjadi pilihan penulis dengan harapan besar agar dapat memperoleh ilmu dan mengembangkn pola pikir, sehingga menjadi sumber daya yang berguna bagi pembangunan Indonesia. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima menjadi mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dibeberapa organisasi dan kegiatan akademik. Penulis pernah menjadi Staf Departemen Sosial Politik Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FEM, Ketua Komisi I Advokasi Aspirasi dan Kesejahteraan Mahasiswa Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FEM. Dan mengikuti kegiatan organisasi eksternal HMI, dengan menjadi Wasekum Penelitian dan Pengembangan HMI Komisariat FEM. Penulis juga aktif dalam kegiatan akademik yaitu menjadi tutor dalam kegiatan BEM FEM, tutor dalam kegiatan HIPOTESA, Asisten Mata Kuliah Ekonomi Dasar II dan Asisten Ekonomi Umum. Penulis juga pernah menjadi salah satu Mahasiswa Berprestasi di Departemen Ilmu Ekonomi dan di Fakultas Ekonomi dan Manajemen pada tahun 2005. Penulis pernah mengikuti kejuaraan tingkat nasional yaitu Young Economic Icon 2005, National Talk Show dan LKTI di Universitas Padjajaran Mei 2006 dan PIMNAS XIX di Universitas Muhammadiyah Malang Juli 2006. KATA PENGANTAR Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Kebijakan Moneter dalam Menstabilkan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia”. Kebijakan moneter dan pengangguran merupakan topik yang sangat menarik, diharapkan dengan adanya kebijakan moneter yang tepat maka perekonomian Indonesia menjadi stabil. Di samping itu, skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih dan hormat kepada Bapak Dr. Ir. Iman Sugema, M.Ec yang telah menjadi dosen pembimbing skripsi atas dorongan, dan arahannya selama proses pembuatan skripsi ini. Rasa terima kasih juga penulis tujukan kepada Bapak Noer Azam Achsani, Ph.D dan kepada Ibu Wiwiek Rindayanti, M.Si. Semua saran dan kritikannya menjadi masukan yang berharga bagi penyempurnaan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Mba Yati Nuryati, S.Pi, M.Si dan Moc. Iqbal Irfani SE yang telah membantu dalam metode penelitian skripsi ini. Dan ucapan terimakasih kepada para Dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen beserta staf yang telah membantu proses pendidikan bagi penulis. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ayah dan Ibu yang telah membesarkan dan mendidik penulis hingga saat ini, semoga Allah SWT membalas segala kebaikan dan memberikan perlindungan di dunia maupun di akhirat kelak. Kepada Ka Nina tersayang terima kasih atas segala dukungan dan perhatiannya, dan terima kasih kepada adik-adik penulis Mega dan Rifki atas segala keceriaan dan kebahagiaan yang selalu diberikan. Penulis juga ucapkan terima kasih kepada teman-teman sepenelitian Nova Mardianti, Mardi Efriza dan Ade Holis atas segala dukungan yang diberikan, kepada sahabat F2nE Ipa, Sari, Hasni, May, dan Jun, teman seperjuangan Ary, ii Fikri, Edi, Nina, Nilam, Diyah, Selda dan Firman atas bantuan dan perhatiannya. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman-teman IE 39 dan para peserta seminar yang telah ikut memberi kritik dan saran dalam perbaikan skripsi ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan. Bogor, 5 September 2006 Azwar Anas H14102016 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL........................................................................................ v DAFTAR GAMBAR ................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ vii DAFTAR SINGKATAN ............................................................................. viii I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2. Perumusan Masalah ......................................................................... 6 1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................. 6 1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................... 7 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ................. 8 2.1. Pengertian dan Definisi.................................................................... 8 2.1.1. Kebijakan Moneter ............................................................... 8 2.1.2. Kebijakan Stabilisasi ............................................................ 8 2.1.3. Suku Bunga .......................................................................... 9 2.1.4. Jumlah Uang yang Beredar .................................................. 9 2.1.5. Inflasi .................................................................................... 10 2.1.6. Indeks Harga Konsumen (IHK)............................................ 11 2.1.7. Nilai Tukar............................................................................ 11 2.1.7.1. Sistem Nilai Tukar Tetap......................................... 12 2.1.7.2. Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas................. 13 2.1.7.3. Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali ......... 13 2.1.8. Pengangguran ....................................................................... 14 2.2. Penelitian Terdahulu....................................................................... 15 2.2.1. Penelitian Djivre dan Ribon (2003)...................................... 15 2.2.2. Penelitian Siregar dan Ward (2005) ..................................... 16 2.2.3. Penelitian Siregar, et al. (2006) ............................................ 17 2.3. Kerangka Teori ............................................................................... 18 iv 2.3.1. Kebijakan Moneter untuk Mengendalikan Suku Bunga....... 18 2.3.2. Efektivitas Kebijakan Moneter dalam Mempengaruhi Perekonomian........................................................................ 19 2.3.3. Teori Permintaan Agregat dengan Pendekatan Model IS-LM 20 2.3.4. Kebijakan Moneter dalam Konsep Pendekatan Harga .......... 22 2.3.5. Inflasi Gejolak Permintaan .................................................... 22 2.3.6. Inflasi Gejolak Penawaran dengan Validasi dan Tanpa Validasi Moneter................................................................... 23 2.3.7. Kebijakan Moneter Ekspansioner dalam Sistem Kurs Tetap 24 2.3.8. Kebijakan Moneter Ekspansioner Sistem Kurs Mengambang 25 2.3.9. Kurva Phillips........................................................................ 25 2.4. Kerangka Pemikiran ........................................................................ 27 III. GAMBARAN UMUM .......................................................................... 30 3.1. Gambaran Inflation Targeting Framework .................................... 30 3.2. Perkembangan Indikator-Indikator Makroekonomi di Indonesia... 32 IV. METODE PENELITIAN ...................................................................... 38 4.1. Jenis dan Sumber Data.................................................................... 38 4.2. Model Penelitian............................................................................. 39 4.3. Metode Analisis Data ..................................................................... 40 V. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 53 5.1. Kestasioneran Data ......................................................................... 53 5.2. Uji Lag Optimal .............................................................................. 54 5.3. Uji Stabilitas VAR.......................................................................... 55 5.4. Uji Kointegrasi................................................................................ 55 5.5. Impulse Response Function (IRF) .................................................. 57 5.6. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) ......................... 63 5.6.1. Faktor-Faktor Determinan Inflasi.......................................... 63 5.6.2. Faktor-Faktor Determinan Pengangguran ............................. 65 VI. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 68 6.1. Kesimpulan ..................................................................................... 68 6.2. Saran ............................................................................................... 69 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 70 LAMPIRAN ............................................................................................... . 72 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 3.1. Jumlah Pengangguran di Indonesia Periode 1998-2005..................... 37 4.1. Data, Satuan, Simbol dan Sumber Data.............................................. 38 5.1. Hasil Pengujian Akar Unit pada Level................................................ 53 5.2. Hasil Pengujian Akar Unit pada First Difference............................... 54 5.3. Nilai Lag Optimal ............................................................................... 55 5.4. Hasil Uji Kointegrasi .......................................................................... 56 5.5. Faktor-Faktor Determinan Inflasi ....................................................... 64 5.6. Faktor-Faktor Determinan Pengangguran .......................................... 66 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 2.1. Perubahan Penawaran Uang .................................................................. 18 2.2. Efektivitas Kebijakan Moneter dalam Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi................................................................................................. 19 2.3. Model IS-LM (a) dan Model Penawaran Agregat dan Permintaan Agregat (b) dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang. . ..................... 21 2.4. Inflasi Gejolak Permintaan .................................................................... 23 2.5. Gejolak Penawaran dengan Validasi dan Tanpa Validasi ..................... 24 2.6. Ekspansi Moneter dalam Sistem Kurs Tetap......................................... 25 2.7. Ekspansi Moneter dalam Sistem Kurs Mengambang ............................ 25 2.8. Kurva Phillips ........................................................................................ 26 2.9. Kerangka Pemikiran. .............................................................................. 27 3.1. Perkembangan BI rate Periode Januari-Agustus 2006 .......................... 31 3.2. Perkembangan SBI Periode 1996-2005................................................. 33 3.3. Jumlah Uang yang Beredar Periode 1996-2005 .................................... 34 3.4. Inflasi YOY dari Tahun 1990-2005 ....................................................... 35 3.5. Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah dari Tahun 1996-2005. ........................... 36 5.1. Respon Variabel Makroekonomi terhadap Guncangan SBI.................. 58 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Hasil Pengujian Akar Unit pada Level...................................................... 73 2. Hasil Pengujian Akar Unit pada First Difference..................................... 77 3. Hasil Pengujian Lag Optimal.................................................................... 81 4. Hasil Pengujian Stabilitas VAR................................................................ 82 5. Hasil Estimasi Struktural VAR................................................................. 84 6. Hasil Pengujian Johansen dengan ”Asumsi Summary” ............................ 86 7. Hasil Pengujian Johansen dengan ”Asumsi 5” ......................................... 87 8. Impulse Response Function (IRF) ............................................................ 90 9. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) ................................... 92 DAFTAR SINGKATAN AD = Aggregate Demand ADF = Aughmented Dickey Fuller AIC = Akaike Information Criteria AS = Aggregate Supply BI = Bank Indonesia BPS = Badan Pusat Statistik CPI = Consumer Price Index ECM = Error-Correction Model FEVD = Forecast Error Variance Decomposition HQ = Hannan-Quinn Information Criterion IFS = International Financial Statistic ITF = Inflation Targeting Framework IHK = Indeks Harga Konsumen ILO = International Labor Organization IMF = International Monetary Fund IRF = Impulse Response Function LRAS = Long-Run Agreggate Supply OLS = Ordinary Least Squares RDG = Rapat Dewan Gubernur SBI = Sertifikat Bank Indonesia SC = Schwarz Criterion SEKI = Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia SRAS = Short-Run Agreggate Supply SVAR = Strctural Vector Autoregression VAR = Vector Autoregression VECM = Vector Error Correction Model VMA = Vector Moving Average YOY = Year On Year I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perekonomian yang stabil akan lebih disukai dibandingkan perekonomian yang mengalami gejolak. Kestabilan menjadi penting karena kondisi yang stabil akan menciptakan suasana yang kondusif untuk perkembangan dunia usaha. Stabilitas makroekonomi dapat dilihat dari dampak guncangan suatu variabel makroekonomi terhadap variabel makroekonomi lainnya. Apabila dampak suatu guncangan menimbulkan fluktuasi yang besar pada variabel makroekonomi dan diperlukan waktu yang relatif lama untuk mencapai keseimbangan jangka panjang, maka dapat dikatakan bahwa stabilitas makroekonomi rentan terhadap perubahan. Namun apabila dampak guncangan indikator itu menunjukkan fluktuasi yang kecil dan waktu untuk mencapai keseimbangan jangka panjang relatif tidak lama maka dapat dikatakan kondisi makroekonomi relatif stabil (Siregar, et al., 2006). Menurut Siregar et al. (2006), upaya menstabilkan perekonomian dapat dicapai melalui kebijakan fiskal maupun melalui kebijakan moneter. Kebijakan fiskal yang berkesinambungan berusaha menekan defisit anggaran serendah mungkin, baik melalui peningkatan pajak maupun pengurangan subsidi. Dari sisi moneter, sejak pertengahan 2005 telah terjadi perubahan paradigma yaitu dari stabilisasi yang berbasis jumlah uang yang beredar menjadi Inflation Targeting Framework (ITF) dengan menggunakan instrumen suku bunga. 2 Perkembangan perekonomian suatu negara dapat dikatakan sedang meningkat atau menurun berdasarkan beberapa indikator dasar makroekonominya diantaranya suku bunga, jumlah uang beredar, inflasi, nilai tukar dan pengangguran. Bank Indonesia sebagai lembaga otoritas moneter melakukan upaya stabilisasi melalui instrumen suku bunga SBI, penetapan SBI dilakukan untuk mengendalikan jumlah uang beredar. Ketika jumlah uang yang beredar di masyarakat terlalu banyak maka akan menyebabkan terjadinya inflasi. Saat krisis tingkat inflasi di Indonesia meningkat tajam, dan pernah mencapai 82,40 persen pada September 1998. Tingkat inflasi yang tinggi pada saat itu mencerminkan ketidakstabilan harga, hal ini tentu saja mengurangi daya beli masyarakat. Ketika inflasi terjadi jumlah uang yang beredar meningkat hal ini akan berdampak pada terdepresiasinya nilai tukar. Nilai tukar Rupiah selalu mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun, pada saat sebelum krisis yaitu dari tahun 1993-1996, nilai tukar Rupiah berada pada kisaran 2.110–2.383 Rupiah per US Dollar. Ketika terjadi krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia pada pertengahan 1997 perekonomian Indonesia terkena dampak negatifnya. Krisis ekonomi yang terjadi di Asia ini diawali dengan melemahnya Bath Thailand yang melahirkan contagion-effect (efek menular ke negara lain) dan menyebabkan krisis mata uang yang merambat ke negara Asia lainnya termasuk Indonesia. Krisis mata uang yang melanda Indonesia ditandai dengan melemahnya mata uang Rupiah terhadap Dollar pada pertengahan tahun 1997. Rupiah yang bernilai 2.450 Rupiah per US Dollar pada bulan Juni 1997 mengalami depresiasi 3 secara terus menerus hingga pada akhir tahun 1997 mencapai 4.650 Rupiah per US Dollar Untuk menahan laju nilai tukar Rupiah, pada tanggal 14 Agustus 1997 pemerintah melepas sistem kurs mengambang terkendali (managed floating system) dan menerapkan sistem kurs mengambang bebas (free floating system). Namun memasuki tahun 1998 kondisi nilai tukar Rupiah semakin parah dan puncaknya mencapai 14.850 Rupiah per US Dollar pada Juni 1998. Untuk meredam melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar dan tingkat inflasi yang tinggi, bank sentral meningkatkan tingkat suku bunga SBI yang pada bulan November 1998 menyentuh angka 61 persen per tiga bulan. Langkah ini disatu sisi memang berhasil menurunkan laju inflasi dari 77,63 persen pada tahun 1998 menjadi 2 persen pada akhir tahun 1999. Namun di sisi lain keadaan ini berdampak buruk pada tingkat investasi di Indonesia, pada tahun 1997 pelarian arus modal keluar mencapai 3,5 milyar Dollar, sementara pada tahun 1998 dan 1999 masing-masing mencapai 19.7 milyar Dollar dan 11,3 milyar Dollar (Salim, 2001). Pelarian modal tentu mengakibatkan dana untuk investasi menurun secara tajam, akibatnya tidak terjadi perputaran dana di sektor riil, dan berdampak pada penyerapan tenaga kerja. Akibat krisis finansial banyak para pengusaha yang bangkrut karena dililit hutang bank, sehingga banyak pekerja atau buruh pabrik yang terpaksa di-PHK oleh perusahaan untuk mengurangi cost yang dipakai untuk membayar gaji pekerjanya. Hal ini menjadi salah satu pemicu terjadinya ledakan pengangguran yakni pelonjakan angka pengangguran dalam waktu yang relatif 4 singkat. Ledakan pengangguran terjadi di tahun 1998 di mana terjadi sekitar 1,4 juta pengangguran terbuka baru (Limongan, 2001). Berbagai indikator ekonomi makro moneter sepanjang tahun 2005 menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia masih belum stabil, ini berarti ekonomi Indonesia masih rawan terhadap berbagai guncangan, ketidakstabilan indikator makro dapat dilihat dari adanya peningkatan inflasi dan suku bunga, volatilitas nilai tukar dan adanya kecenderungan kenaikan tingkat pengangguran. Inflasi IHK 2005 mencapai 17,11 persen, jauh di atas inflasi tahun 2004 yang mencapai 6,4 persen, inflasi tahun 2005 merupakan inflasi tertinggi sejak pasca krisis. Tingginya laju inflasi disebabkan kenaikan administered prices khususnya harga BBM pada bulan Maret dan Oktober 2005 dan administered prices lainnya seperti tarif angkutan, elpiji, cukai rokok, dan tarif tol. Inflasi administered prices hingga Desember 2005 tercatat sebesar 42,01 persen year on year (yoy). Laju inflasi juga disebabkan adanya gangguan pasokan dan distribusi sehingga menyebabkan tingginya harga bahan makanan (volatile foods) sebesar 15,18 persen, adanya peningkatan ekpektasi inflasi yang didorong oleh kenaikan harga BBM dan pelemahan nilai tukar Rupiah. Dan penyebab terakhir karena adanya depresiasi nilai tukar Rupiah selama tahun 2005 sebesar 8,6 persen yoy (Sitorus, 2006). Ketidakstabilan mata uang Rupiah mulai terjadi sejak bulan Januari 2004. Sejak bulan itu Rupiah terdepresiasi tidak hanya dengan mata uang Dollar, tetapi juga dengan mata uang Euro dan Yen. Ini mengindikasikan pengaruh internal lebih menentukan dibandingkan dengan pengaruh eksternal. Dengan kata lain 5 kondisi Indonesialah yang membuat mata uang Rupiah menjadi melemah. Ketika Bank Indonesia merespon dengan meningkatkan suku bunga dalam negeri untuk disesuaikan dengan suku bunga internasional, langkah penyesuaian yang diambil sudah terlambat. Terjadinya peningkatan suku bunga domestik merupakan respon atas meningkatnya suku bunga internasional yang mengalami pembalikan trend sejak the Fed menaikkan suku bunganya di pertengahan 2004. Kenaikan suku bunga SBI, segera akan diikuti oleh kenaikan suku bunga simpanan dan kredit. Kenaikan yang terlalu cepat ini tentu akan menyulitkan perbankan dan sektor riil (Sugema, et al., 2006). Fenomena perekonomian secara global pada tahun 2005-2006 memperlihatkan bahwa kondisi eksternal belum menunjukkan kondisi yang kondusif, seperti adanya kecenderungan kenaikan suku bunga internasional, kenaikan harga minyak dunia, dan masih tingginya inflasi dunia. Kondisi-kondisi tersebut tentu saja harus dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan untuk memperbaiki kondisi perekonomian. Kondisi kestabilan perekonomian negara dapat mengalami siklus naik turun. Sehingga agar perekonomian berada dalam kondisi stabil, pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia perlu melakukan langkah stabilisasi makro, dengan mengelola sisi permintaan dan penawaran suatu perekonomian agar mengarah pada kondisi keseimbangan, yaitu dengan menetapkan SBI sebagai instrumen kebijakan moneter. Telah banyak penelitian mengenai kebijakan moneter, tetapi masih terbatas sekali penelitian yang menghubungkan kebijakan moneter dengan pengangguran. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis melakukan penelitian. 6 1.2. Perumusan Masalah Perubahan-perubahan dan fluktuasi ekonomi yang terjadi terkadang menimbulkan guncangan yang besar pada sektor moneter dan sektor riil di Indonesia, seperti saat krisis 1997 Indonesia mengalami masalah yang multi dimensi dan pemerintah melakukan berbagai upaya perbaikan untuk membawa Indonesia keluar dari krisis tersebut. Berangkat dari pemikiran tersebut, maka perlu dilakukan suatu analisa empiris mengenai dampak perubahan kebijakan moneter di Indonesia terhadap kestabilan harga dan dalam mengatasi pengangguran. Oleh karena itu penulis merumuskan permasalahan dengan lingkup waktu analisis dari tahun 1990:1 sampai tahun 2005:4, dan membagi permasalahan menjadi dua bagian, yaitu: 1. Bagaimana respon variabel-variabel makroekonomi terhadap perubahan kebijakan moneter di Indonesia? 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan inflasi dan pengangguran di Indonesia? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis bagaimana respon variabel-variabel makroekonomi terhadap perubahan kebijakan moneter di Indonesia. 2. Menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan inflasi dan pengangguran di Indonesia. 7 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk melihat perubahan kebijakan moneter dalam menstabilkan inflasi dan pengangguran di Indonesia, manfaat penelitian ini bagi penulis adalah sebagai proses belajar yang dapat memberikan tambahan pengetahuan, terutama dalam mengaplikasikan ilmu yang telah penulis dapatkan. Untuk pihak-pihak lain yang berkepentingan, penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan informasi dan bahan pertimbangan bagi penelitian sejenis. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian 2.1.1. Kebijakan Moneter Kebijakan moneter merupakan kebijakan bank sentral atau otoritas moneter dalam bentuk pengendalian besaran moneter dan atau suku bunga untuk mencapai perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan. Pengendalian itu berupa terjaganya stabilitas ekonomi makro, yaitu adanya stabilitas harga (rendahnya laju inflasi), membaiknya perkembangan output riil (pertumbuhan ekonomi), serta terbukanya kesempatan kerja yang besar. Kebijakan Moneter yang dikenal terdapat dua macam yaitu, kebijakan moneter kontraktif dan kebijakan moneter ekspansif. Kebijakan ekspansif dilakukan untuk mendorong kegiatan ekonomi, antara lain dengan meningkatkan jumlah uang yang beredar. Sedangkan kebijakan kontraktif dilakukan untuk memperlambat kegiatan ekonomi dengan mengurangi jumlah uang yang beredar (Warjiyo, 2004). 2.1.2. Kebijakan Stabilisasi Kebijakan stabilisasi (stabilization policy) mengacu pada tindakan kebijakan yang bertujuan mengurangi tekanan fluktuasi ekonomi jangka pendek. Karena fluktuasi output dan kesempatan kerja di sekeliling tingkat wajar jangka panjangnya, maka kebijakan stabilisasi dilakukan untuk memperkecil siklus bisnis dengan mempertahankan output dan kesempatan kerja sedekat mungkin dengan tingkat wajarnya (Mankiw, 2000). 9 2.1.3. Suku Bunga Para ekonom membedakan antara suku bunga nominal dan suku bunga riil. Perbedaan ini adalah relevan ketika seluruh tingkat harga berubah. Suku bunga nominal (nominal interest rate) adalah tingkat bunga yang biasa dilaporkan, tingkat bunga yang investor bayar untuk meminjam uang. Suku bunga riil (real interest rate) adalah tingkat bunga nominal yang dikoreksi karena pengaruh inflasi (Mankiw, 2000). Bank Indonesia selalu menetapkan tingkat suku bunga tertentu dari waktu ke waktu, suku bunga tersebut dinamakan suku bunga SBI. Suku bunga SBI dihitung dengan menggunakan rata-rata tertimbang dan memperhitungkan bobot volume transaksi yang terjadi pada periode yang bersangkutan (Bank Indonesia, 2005). 2.1.4. Jumlah Uang yang Beredar Kewajiban sistem moneter yang terdiri atas uang kartal dan uang giral dalam arti sempit atau narrow money (M1). Adapun kewajiban yang meliputi uang kartal, uang giral dan uang kuasi disebut uang beredar dalam arti luas atau broad money (M2). Uang kartal terdiri atas uang kertas dan uang logam yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai alat pembayaran yang sah. Uang giral adalah simpanan Rupiah milik penduduk pada sistem moneter yang terdiri atas rekening giro, kiriman uang (transfer) dan kewajiban segera lainnya antara lain simpanan berjangka yang telah jatuh waktu. Uang kuasi merupakan simpanan Rupiah dan valuta asing milik penduduk pada sistem moneter yang untuk sementara waktu kehilangan fungsinya sebagai alat tukar. Uang kuasi terdiri atas 10 simpan berjangka dan tabungan dalam Rupiah, serta simpanan dalam valuta asing lainnya (Bank Indonesia, 2005). Menurut Nopirin (2000), M1 bersifat liquid sebab proses menjadikanya uang kas sangat cepat. Sedangkan M2 karena mencakup deposito berjangka maka liquiditasnya lebih rendah, untuk menjadikannya uang kas, deposito berjangka memerlukan waktu (3, 6, 12 bulan). Dan apabila dijadikan uang kas sebelum jangka waktu tersebut maka kena penalty atau denda. 2.1.5. Inflasi Inflasi adalah kenaikan dalam tingkat harga rata-rata, inflasi dapat terjadi melalui dua sisi, yaitu dari sisi permintaan dan sisi penawaran. Inflasi dari sisi permintaan (demand inflation) terjadi apabila secara agregat terjadi peningkatan terhadap barang-barang dan jasa dalam memenuhi permintaan yang mendorong produsen untuk menambah dana produksi dan menyebabkan pergeseran kurva permintaan. Kondisi ini secara langsung dapat mengakibatkan inflasi karena menyebabkan naiknya harga output. Peristiwa ini dinamakan demand inflation. Sebaliknya apabila secara agregat terjadi penurunan penawaran terhadap barang-barang dan jasa yang diakibatkan oleh meningkatnya biaya produksi, maka terjadi pergeseran kurva penawaran yang secara potensial akan mengakibatkan inflasi disertai kelesuan usaha dalam perekonomian yang ditunjukkan dengan menurunnya sejumlah output. Kondisi ini dinamakan inflasi dari sisi penawaran atau cost push inflation (Mankiw, 2000). 11 2.1.6. Indeks Harga Konsumen (IHK) Ukuran mengenai tingkat harga yang paling banyak digunakan adalah Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Consumer Price Index (CPI). IHK adalah harga sekelompok barang dan jasa relatif terhadap harga sekelompok barang dan jasa yang sama pada tahun dasar. Perhitungan ini dimulai dengan mengumpulkan harga dari ribuan barang dan jasa, IHK mengubah harga berbagai barang dan jasa menjadi sebuah indeks tunggal yang mengukur seluruh tingkat harga (Mankiw, 2000). Sedangkan menurut Lipsey, et al. (1997) CPI adalah suatu ukuran harga rata-rata dari berbagai komoditi yang biasanya dibeli rumah tangga, dikompilasi setiap bulan oleh BPS. 2.1.7. Nilai Tukar Nilai tukar didefinisikan sebagai nilai suatu mata uang yang dibutuhkan untuk mendapatkan satu unit mata uang lainnya (Lipsey, et al., 1997). Sedangkan menurut Mishkin (2001), nilai tukar mata uang suatu negara adalah harga mata uang suatu negara tersebut yang dihitung dalam mata uang negara lain. Menurut Hossain dan Chowdhury (1998), kurs nominal adalah harga dari mata uang asing dalam bentuk mata uang domestik, kurs nominal dapat dinyatakan dalam persamaan berikut: e = Pd / Pf dimana: e = kurs nominal, Pd = harga domestik, Pf = harga luar negeri. (2.1) 12 Berdasarkan Mankiw (2000), nilai tukar dibagi menjadi dua yaitu nilai tukar nominal (nominal exchange rate) dan nilai tukar riil (real exchange rate). nilai tukar nominal adalah harga relatif dari mata uang dua negara, sedangkan nilai tukar riil adalah harga relatif dari barang-barang kedua negara. Hubungan antara nilai tukar riil dan nilai tukar nominal adalah sebagai berikut: E = e • P /P* (2.2) dimana : E = nilai tukar riil, e = nilai tukar nominal, P* = harga luar negeri, P = harga dalam negeri. Setiap negara memiliki sistem nilai tukar yang berbeda sesuai dengan keinginan pemerintah negara untuk menstabilkan nilai tukar tersebut. Kestabilan nilai tukar itu dapat melalui intervensi bank sentral atau melalui mekanisme pasar. Secara umum sistem nilai tukar yang diterapkan saat ini dapat dibagi atas tiga sistem, yaitu sistem nilai tukar tetap, sistem nilai tukar mengambang terkendali dan mengambang bebas. 2.1.7.1. Sistem Nilai Tukar Tetap Sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) merupakan sistem mata uang yang konvertibel di dalam suatu negara. Dalam sistem ini setiap individu bebas melakukan jual beli valuta asing yang dinginkan dan untuk mempertahankan nilai tukarnya, pemerintah melalui bank sentral melakukan jual beli valuta asing. 13 Pada sistem ini nilai tukar ditetapkan pada nilai tertentu, bank sentral akan selalu siap untuk menjual atau membeli kebutuhan devisa untuk mempertahankan nilai tukar yang telah ditetapkan. Apabila nilai tukar tersebut tidak dapat lagi dipertahankan maka bank sentral dapat melakukan devaluasi ataupun revaluasi atas nilai tukar yang ditetapkan (Warjiyo, 2004). 2.1.7.2. Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas Menurut Warjiyo (2004), Pada sistem nilai tukar mengambang (floating exchange rate), nilai tukar dibiarkan bergerak sesuai dengan kekuatan permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar. Dengan demikian, nilai tukar akan menguat apabila terjadi kelebihan penawaran, dan sebaliknya nilai tukar akan melemah apabila terjadi kelebihan permintaan di pasar valuta asing. Kelebihan sistem ini yaitu sebuah negara tidak harus mempunyai cadangan devisa yang besar sebab bank sentral tidak harus mempertahankan nilai tukar pada level tertentu. 2.1.7.3. Sistem Nilai Tukar Mengambang Terkendali Otoritas moneter dalam sistem nilai tukar mengambang terkendali (free floating exchange rate) memiliki wewenang untuk melakukan intervensi di pasar valuta asing. Hal ini dilakukan untuk melunakkan fluktuasi jangka pendek tanpa bermaksud mempengaruhi trend kurs jangka panjang. Otoritas moneter ini menggunakan cadangan devisa untuk mengatasi kelebihan valuta asing jangka pendek, sehingga mengurangi tekanan depresiasi yang berlebihan. Bank Sentral menetapkan batasan suatu kisaran tertentu dari pergerakan nilai tukar yang disebut ’intervention band’ atau batas pita intervensi. Nilai tukar akan ditentukan sesuai mekanisme pasar sepanjang berada di dalam batas atas 14 atau batas bawah dari kisaran tersebut, jika nilai tukar melewati batas tersebut maka bank sentral akan secara otomatis melakukan intervensi di pasar valuta asing sehingga nilai tukar bergerak kembali ke dalam pita intervensi (Warjiyo, 2004). 2.1.8. Pengangguran Menurut Lipsey, et al. (1997), pengangguran dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu pengangguran siklis, pengangguran friksional dan pengangguran struktural. Pengangguran siklis mengacu kepada pengangguran yang terjadi bilamana permintaan total tidak memadai untuk membeli semua keluaran potensial ekonomi, sehingga menyebabkan senjang resesi dimana keluaran aktual lebih kecil daripada keluaran potensial. Orang–orang yang menganggur secara siklis dikatakan sebagai orang ynag mengganggur terpaksa (involuntarily unemployed) dalam arti mereka ingin bekerja dengan tingkat upah yang berlaku tetapi pekerjaan tidak tersedia. Penganguran struktural dapat didefinisikan sebagai pengangguran yang disebabkan ketidaksesuaian antara struktur angkatan kerja berdasarkan jenis keterampilan, pekerjaan, industri atau lokasi geografis dan struktur permintaan akan tenaga kerja. Sedangkan pengangguran friksional diakibatkan oleh perputaran (turn-over) normal tenaga kerja. Sumber penting pengangguran friksional adalah orang-orang muda yang memasuki angkatan kerja dan mencari pekerjaan. Sumber lainnya adalah orang-orang yang keluar dari pekerjaannya, baik karena tidak puas dengan kondisi pekerjaan yang sekarang maupun karena dipecat. Menurut Mankiw (2000), pengangguran friksional (frictional 15 unemployment) yaitu pengangguran yang disebabkan oleh waktu yang dibutuhkan orang untuk mencari pekerjaan. Perubahan dalam komposisi permintaan di antara industri atau wilayah selalu terjadi, dan karena perlu waktu bagi para pekerja untuk mengubah sektor maka pengangguran friksional selalu muncul. Menurut BPS (2004), konsep dan definisi yang digunakan dalam pengumpulan data ketenagakerjaan mengacu pada the labour force concept yang disarankan oleh International Labor Organization (ILO). Definisi pengangguran terbuka terdiri dari : (a) mereka yang mencari pekerjaan, (b) mereka yang mempersiapkan usaha, (c) mereka yang tidak mencari pekerjan dan (d) mereka yang sudah punya pekerjaan. Mencari pekerjaan adalah kegiatan seseorang yang tidak bekerja dan pada saat survey orang tersebut sedang mencari pekerjaan, seperti mereka : (a) yang belum pernah bekerja dan sedang berusaha mendapatkan pekerjaan; (b) yang sudah pernah bekerja, karena sesuatu hal berhenti atau diberhentikan dan sedang berusaha untuk mendapatkan pekerjaan (BPS, 2004). 2.2. Penelitian Terdahulu 2.2.1. Penelitian Djivre dan Ribon (2003) Djivre dan Ribon (2003) dalam penelitiannya yang berjudul “Inflation, Unemployment, The Exchange Rate, and Monetary Policy in Israel, 1990-99: a SVAR Approach”, menjelaskan efek kebijakan moneter pada perekonomian Israel, tingkat pengangguran dan evolusi harga pada periode 1990-1999, dengan menggunakan pendekatan Structural Vector Autoregression (SVAR). Untuk menjelaskan penelitian ini digunakan empat variabel endogen yaitu tingkat pengangguran, inflasi, suku bunga nominal Bank of Israel dan nilai tukar. Analisis 16 IRF pada model penelitian mengindikasikan bahwa kebijakan moneter ketat yang tidak diharapkan akan diikuti oleh penurunan inflasi secara lambat dan tingkat pengangguran akan meningkat. Dengan analisis shock struktural aktual, diketahui bahwa guncangan suplay merupakan penyebab utama mengapa pengangguran menyimpang dari long term levelnya. 2.2.2. Penelitian Siregar dan Ward (2005) Siregar dan Ward (2005) melakukan penelitian yang berjudul “Can Monetary policy / Shocks Stabilize Indonesian Macroeconomic Fluctuations ?”, penelitiannya bertujuan untuk melihat respon dari variabel-variabel makroekonomi kuartalan terhadap shock kebijakan moneter dan shock nilai tukar. Untuk menjawabnya digunakan teori Mundell-Fleming yang dikontruksi untuk makroekonomi Indonesia, dan dianalisis dengan metode Structural Vectorautoregression (SVAR) yang dikombinasikan dengan metode koreksi kesalahan Vector Error Correction Model (VECM) atau kointegrasi SVAR. Variabel–variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai tukar nominal, money stock nominal, suku bunga jangka pendek, output riil, IHK, suku bunga nominal dunia jangka pendek dan IHK dunia. Data yang digunakan merupakan data seasonally unadjusted dalam periode 1984:2 sampai dengan 1999:1. Hasil penelitiannya, diketahui bahwa guncangan kebijakan moneter mempengaruhi output tidak melalui keseimbangan real money tetapi melalui suku bunga domestik dalam nilai tukar. Selain itu, guncangan terhadap nilai tukar lebih berperan daripada shock kebijakan moneter dalam mempengaruhi fluktuasi 17 makroekonomi. Hasil penelitian ini berimplikasi bahwa penggunaan kebijakan moneter saja tidak dapat mengatasi fluktuasi makroekonomi Indonesia, seperti saat terjadi krisis keuangan Asia. Kestabilan makroekonomi akan lebih efektif jika kebijakan moneter dipadukan dengan kebijakan fiskal, ini dipercaya lebih mampu mempengaruhi pergerakan nilai tukar riil. 2.2.3. Penelitian Siregar, et al. (2006) International Center for Applied Finance and Economics (InterCAFE) dan Bank Indonesia mengadakan penelitian yang berjudul “Paradoks Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran: Indentifikasi, Implikasi, dan Solusi”. Secara umum tujuan peneliltian ini untuk mengetahui event penting dalam perekonomian Indonesia yang menunjukkan gejala paradoks pertumbuhan dan pengangguran serta menganalisis faktor-faktor penyebab munculnya paradoks tersebut dan menelaah dampak sumber-sumber guncangan perekonomian terhadap variabel tenaga kerja kondisi masing-masing sektor sesuai dengan tingkat, pengangguran dan produktivitas. Berdasarkan hasil-hasil penelitian selanjutnya dirumuskan implikasi kebijakan untuk sistem ketenagakerjaan baik secara agregat maupun sektor industri dan pertanian, serta beberapa implikasi kebijakan jangka panjang. Penelitian ini menggunakan Hodrick-Prescott Filter (HPF), Cross-correlation dan pemodelan Structural Vectorautoregression (cointegrated SVAR) dengan melakukan inovasi acounting Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD). 18 Variabel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak duapuluh buah, dengan menggunakan data dari periode 1980:1 sampai 2005:2. Berdasarkan hasil ordering (peringkat) terhadap masing-masing variabel, dikelompokkan dua model, yaitu model agregat (pengangguran, tenaga kerja, dan produktivitas) dan model sektoral (tenaga kerja dan produktivitas persektor yang meliputi sektor pertanian, industri dan jasa). Hasil penelitian ini di antaranya menyimpulkan bahwa paradoks antara pertumbuhan ekonomi dan pengangguran tidak terjadi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi dapat menurunkan angka pengangguran melalui kesempatan kerja dalam jangka panjang. Terdapat tiga periode penting yang menunjukkan tingkat pengangguran meningkat yaitu 19821983, 1994-1995 dan 2000-2005. Faktor penyebab munculnya paradoks secara agregat adalah guncangan suku bunga, guncangan agregat suplai, guncangan produktivitas tenaga kerja dan guncangan upah. 2.3. Kerangka Teori 2.3.1. Kebijakan Moneter untuk Mengendalikan Suku Bunga i MS1 MS2 i1 i0 LP M1 M2 Gambar 2.1. Perubahan Penawaran Uang Sumber : Mankiw, 2000. 19 Gambar 2.1 menunjukkan kebijakan moneter yang dilakukan melalui penurunan jumlah uang yang beredar untuk mempengaruhi keseimbangan suku bunga. Jumlah uang yang beredar ditunjukkan dengan kurva vertikal MS2, dan permintaan uang diperlihatkan dengan kurva berkemiringan negatif LP, keseimbangan awal tingkat suku bunga io. Penurunan jumlah uang yang beredar menyebabkan kurva jumlah uang yang beredar bergeser ke kiri dari MS1 ke MS2, terjadi keseimbangan suku bunga baru yang lebih tinggi yaitu, di i1. 2.3.2. Efektivitas Kebijakan Moneter dalam Mempengaruhi Perekonomian Efektivitas kebijakan moneter dapat digambarkan melalui kurva IS-LM. Berdasarkan pada kurva tersebut, efektivitas kebijakan moneter ditentukan oleh (1) kemiringan kurva IS, yaitu menunjukkan elastisitas pengeluaran investasi terhadap suku bunga dan (2) kemiringan kurva LM, yaitu elastisitas permintaan uang terhadap suku bunga (Gambar 2.2). Tingkat Bunga (r) Tingkat Bunga (r) LMTo LM0 LMD0 LM1 ro LMD1 ro r1 LMT1 IS datar r1’ r1 IS IS tegak Y0 Y1 Y2 Y Yo Y1 Y2 Gambar 2.2. Efektivitas Kebijakan Moneter dalam Mempengaruhi Perekonomian. Sumber : Nopirin, 2000. Y 20 Bila Bank Indonesia melakukan ekspansi moneter dengan menambah jumlah uang beredar maka kebijakan ini akan efektif mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (output) pada kurva IS yang datar yaitu sebesar Y2 tetapi apabila kurva IS tegak pertumbuhan ekonomi sebesar Y1. Kebijakan moneter kurang efektif dalam mempengaruhi output (Y0–Y1) bila kurva LM datar (LMD), dan apabila kurva LM tegak (LMT) maka berpengaruh efektif terhadap perekonomian sebesar (Y0–Y2). Apabila kurva LM horizontal, kebijakan moneter tidak efektif sama sekali karena Y tidak berubah dan menyebabkan terjadinya liquidy trap yaitu kebijakan moneter gagal mempengaruhi output tetapi justru menimbulkan dampak terhadap inflasi. 2.3.3. Teori Permintaan Agregat dengan Pendekatan Model IS-LM Kurva permintaan agregat menggambarkan hubungan antara tingkat harga dengan tingkat pendapatan nasional. Keseimbangan makroekonomi secara simultan ditentukan oleh bertemunya permintaan agregat (AD) dan penawaran agregat (AS). Teori ini memperlihatkan posisi kurva IS-LM ketika harga dibiarkan berubah-ubah. Guncangan yang terjadi pada permintaan agregat akan menyebabkan terjadinya perubahan harga. Guncangan ini dapat diantisipasi melalui kebijakan moneter yang mempengaruhi kurva LM. Perekonomian berada pada keseimbangan jangka pendek pada titik K dan tingkat harga P1 , kondisi ini menunjukkan perekonomian sedang resesi. Apabila dalam jangka pendek diasumsikan tingkat harga tetap, terjadi penurunan biaya input maka output dapat diproduksi dengan biaya yang lebih rendah sehingga biaya output turun. Kondisi ini menggeser kurva AS jangka pendek ke bawah 21 pada tingkat harga yang lebih murah P2. Keseimbangan jangka panjang pada kurva IS-LM terjadi ketika harga turun menyebabkan keseimbangan uang riil (daya beli) meningkat melalui pergeseran kurva LM ke kanan bawah LM (P2) dengan suku bunga yang lebih rendah. Biaya output yang lebih murah meningkatkan kembali perekonomian pada tingkat kesimbangan alamiah di titik C pada kurva SRAS2. Uraian ini dapat dijelaskan pada Gambar 2.3. Tingkat bunga, r LRAS P LRAS LM (P1) LM (P2) r1 P1 K SRAS1 C P2 r2 SRAS2 IS Y Pendapatan (Y) AD Y Pendapatan (Y) Gambar 2.3. Model IS-LM (a) dan Model Penawaran Agregat dan Permintaan Agregat (b) dalam Jangka Pendek dan Jangka Panjang Sumber : Mankiw, 2000. Analisis ini menunjukkan bahwa dalam jangka pendek, proses penyesuaian belum sempurna karena harga masih kaku terhadap adanya perubahan (shock) dalam perekonomian. Sementara itu, dalam jangka panjang penyesuaian terjadi secara sempurna karena adanya penyesuaian pada tingkat harga sehingga keseimbangan perekonomian kembali pada posisi alamiah atau pada titik keseimbangan baru. Guncangan kebijakan moneter dalam mempengaruhi permintaan agregat dalam perekonomian sangat tergantung pada posisi kurva penawaran agregat (AS). Apabila kurva AS vertikal (asumsi klasik), shock kebijakan moneter akan 22 menyebabkan tingkat harga berubah dan pendapatan nasional tetap, tetapi apabila kurva AS horisontal (asumsi Keynesian) maka shock kebijakan moneter akan menyebabkan perubahan pada tingkat pendapatan dari posisi alamiah sementara tingkat harga tetap. 2.3.4. Kebijakan Moneter dalam Konsep Pendekatan Harga Kebijakan moneter dalam konsep pendekatan harga diset untuk mencapai sasaran, yaitu pengendalian inflasi melalui pendekatan operasional suku bunga. UU No.23/1999 melandasi tugas Bank Indonesia, yaitu pencapaian inflasi dan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika yang terkendali. Konsep dasar kebijakan moneter dalam pentargetan inflasi, meliputi sasaran inflasi, kebijakan moneter yang mengarah kedepan, transparansi, akuntabilitas dan kredibilitas. Dalam penetapannya, sasaran inflasi mempertimbangkan berbagai faktor dan perkembangan ekonomi makro terutama kerugian sosial yang diakibatkan oleh adanya trade-off antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Sasaran inflasi merupakan dasar bagi pelaksanaan kebijakan moneter dan penetapannya dilakukan dalam jangka waktu menengah dan panjang. Kebijakan pentargetan inflasi merupakan langkah untuk mengantisipasi inflasi yang akan terjadi (forward looking) akibat pengaruh kebijakan moneter terhadap kestabilan harga dimana terdapat tenggang waktu atau lag (Warjiyo, 2004). 2.3.5. Inflasi Gejolak Permintaan Inflasi gejolak permintaan (demand shock inflation) terjadi bila pergeseran ke kanan pada kurva AD menyebabkan permintaan agregat melebihi penawaran 23 agregat pada tingkat pendapatan kesempatan kerja penuh. Pergeseran kurva AD dapat disebabkan oleh pengurangan pajak, kenaikan mata pembelanjaan otonom seperti investasi, pengeluaran pemerintah dan ekspor neto atau kenaikan jumlah uang yang beredar. LRAS Tingkat harga SRAS P AD2 Yf Ya AD1 Y riil Gambar 2.4. Inflasi Gejolak Permintaan Sumber : Lipsey, et al., 1997. Berdasarkan Gambar 2.4 dapat diketahui bahwa ketika terjadi pergeseran kurva AD ke kanan, terjadi peningkatan output melebihi tingkat kerja penuh (Ya >Yf), pada kondisi ini tingkat pengangguran turun dan tingkat harga akan naik. 2.3.6. Inflasi Gejolak Penawaran dengan Validasi dan Tanpa Validasi Moneter Setiap kenaikan tingkat harga yang bermula dari kenaikan biaya yang tidak disebabkan oleh kelebihan permintaan di pasar akan faktor-faktor produksi dinamakan inflasi gejolak penawaran atau inflasi desakan biaya (cost-push inflation), contoh gejolak sisi penawaran adalah kenaikan biaya bahan baku impor atau kenaikan biaya upah domestik perunit keluaran. Gejolak penawaran inflasioner pada Gambar 2.5 awalnya menaikkan harga bersamaan dengan 24 menurunkan pendapatan. Gejolak penawaran menyebabkan kurva SRAS bergeser ke kiri dari SRAS1 ke SRAS2 seperti diperlihatkan oleh anak panah 1. LRAS Tingkat harga, P SRAS2 2 SRAS1 P1 1 Yf Ya AD2 AD1 Y riil Gambar 2.5. Gejolak Penawaran dengan Validasi dan Tanpa Validasi Moneter Sumber : Lipsey, et al., 1997. Jika tidak ada validasi moneter, pengangguran akan menimbulkan tekanan ke bawah terhadap upah dan biaya lain-lain, menyebabkan kurva SRAS2 bergeser lambat kembali ke kanan, ke SRAS1, harga akan turun dan output akan kembali ke keseimbangan semula di Yf. Jika ada validasi moneter, kurva AD bergeser dari AD1 ke AD2, seperti ditunjukkan oleh anak panah 2. Ini memulihkan kembali menuju keseimbangan kesempatan kerja penuh dengan tingkat harga yang lebih tinggi. 2.3.7. Kebijakan Moneter Ekspansioner dalam Sistem Kurs Tetap Bila bank sentral meningkatkan penawaran uang (membeli obligasi dari masyarakat) pada sistem kurs tetap, maka akan terjadi tekanan ke bawah pada kurs, dari ê menuju keseimbangan baru di e. Untuk mempertahankan kurs tetap (ê) maka bank sentral menurunkan penawaran uang sehingga kurva LM2 bergeser kembali ke kiri, dan tingkat kurs tetap (ê) dapat dicapai kembali. 25 Kurs, e LM1 LM2 ê e Pendapatan, Y Gambar 2.6. Ekspansi Moneter dalam Sistem Kurs Tetap Sumber : Mankiw, 2000. 2.3.8. Kebijakan Moneter Ekspansioner dalam Sistem Kurs Mengambang Dengan asumsi tingkat harga tetap, ketika bank sentral meningkatkan penawaran uang, maka keseimbangan uang riil akan meningkat sehingga kurva LM1 bergeser ke kanan, pendapatan (Y) naik dan kurs akan turun (Gambar 2.7). Kurs, e LM1 LM2 e1 e2 Pendapatan, Y Y1 Y2 Gambar 2.7. Ekspansi Moneter dalam Sistem Kurs Mengambang Sumber : Mankiw, 2000. 2.3.9. Kurva Phillips Para ekonom sering menampilkan penawaran agregat atau Aggregate Supply (AS) dalam hubungan yanng disebut Kurva Phillips. Kurva ini menyatakan bahwa inflasi tergantung pada inflasi yang di harapkan, deviasi pengangguran dari tingkat alamiah, dan guncangan penawaran. Menurut kurva 26 Phillips, para pembuat kebijakan yang mengendalikan permintaan agregat menghadapi trade-off jangka pendek antara inflasi dan pengangguran. Inflasi, π π1 π0 Pengangguran, U Gambar 2.8. Kurva Phillips Sumber : Mankiw, 2000. Kurva Phillips menunjukkan bahwa dengan adanya guncangan ynag menguntungkan, menurunkan inflasi memerlukan periode pengangguran tinggi dan menurunnya output. Berdasarkan Gambar 2.8 dapat diketahui trade off dalam jangka pendek dimana terdapat hubungan yang negatif antara inflasi dan pengangguran. yang tergantung pada inflasi yang diharapkan. Kurva tersebut lebih tinggi bila inflasi yang diharapkan semakin tinggi. Menurut Lipsey, et al. (1997), kurva Phillips dapat diterjemahkan ke dalam kurva yang mengaitkan perubahan upah dengan senjang keluaran dengan memperhatikan bahwa pengangguran mempunyai hubungan negatif. Senjang resesi berkaitan dengan tingkat pengangguran yang tinggi dan senjang inflasi berkaitan dengan tingkat pengangguran yang rendah. 27 2.4. Kerangka Pemikiran Latar Belakang Masalah: ƒ Perekonomian Indonesia mengalami fluktuasi naik turun dalam periode 1990-2005, sehingga terdapat kebijakan yang berbeda pada setiap siklus perekonomian. ƒ Ketika krisis 1997/1998, Indonesia mengalami inflasi sebesar 77,63 persen pada tahun 1998, BI menerapkan suku bunga pada Juli 1998 hingga menyentuh angka 61 persen, tingkat pengangguran meningkat 1,4 juta orang dan Rupiah terdepresiasi hingga pernah mencapai level 14.900 Rupaih per Dollar pada Juni 1998. ƒ Agar perekonomian stabil, pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia perlu melakukan langkah stabilisasi makro, yaitu dengan menetapkan SBI sebagai instrument kebijakan moneter. Dari sejumlah masalah yang dirumuskan kemudian dibuat tujaun penelitian: 1. Menganalisis bagaimana respon variabel-variabel makroekonomi terhadap perubahan kebijakan moneter di Indonesia? 2. Menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perubahan inflasi dan pengangguran di Indonesia? Model Penelitian: xt = k k k k ∑ Γi it − i + ∑ Φ i M t − i + ∑ Ψ i CPI t − i + ∑ η i E t − i + i =1 i =1 i =1 Metode Penelitian : Structural Vector Autoregression (SVAR) yang dikombinasikan metode koreksi kesalahan Vector Error Correction Model (VECM) i =1 k ∑θ U i =1 i t −1 + D + e ti Variabel Endogen : SBI, jumlah uang beredar, CPI, nilai tukar, penggangguran. Variabel Eksogen : dummy krisisperubahan rezim nilai tukar Hasil dan Pembahasan Kesimpulan dan Saran Gambar 2.9. Kerangka Pemikiran 28 Dengan sejumlah permasalahan dan tujuan yang dirumuskan dalam penelitian ini, secara garis besar tahapan-tahapan dalam penelitian ini dapat di lihat pada Gambar 2.9. Untuk menjawab permasalahan dan penelitian yang dirumuskan, maka sebagai langkah awal dilakukan studi literatur melaui berbagai sumber mengenai teori-teori ekonomi dan hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan kebijakan moneter yaitu penetapan tingkat suku bunga, jumlah uang yang beredar, inflasi, nilai tukar dan pengangguran. Untuk mendapatkan hasil penelitian, variabel-variabel penelitian diolah dengan metode SVAR yang dikombinasikan metode koreksi kesalahan Vector Error Correction Model (VECM), variabel-variabel tersebut diurutkan (ordering) berdasarkan teori ekonomi, yaitu menghubungkan keterkaitan antara kebijakan moneter berupa penetapan tingkat suku bunga, jumlah uang yang beredar, inflasi, nilai tukar dan pengangguran. Pengurutan variabel atau ordering dengan faktorisasi cholesky berdasarkan teori ekonomi, yaitu dengan menempatkan variabel yang relatif paling sulit dipengaruhi oleh variabel lain diletakkan paling awal, sementara variabel yang tidak memiliki nilai prediksi terhadap variabel lain diletakkan dibelakang, sedangkan variabel yang memiliki korelasi prediksi terhadap variabel lain diletakkan berdampingan satu sama lain. Variabel tersebut diurutkan dari variabel yang moneter sampai menuju variabel yang riil. Ordering penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut, bank sentral menetapkan kebijakan moneter dengan menggunakan instrumen suku bunga SBI, untuk mempengaruhi jumlah uang yang beredar. Perubahan jumlah uang yang 29 beredar akan mempengaruhi tingkat inflasi yang terjadi. Perubahan jumlah uang yang beredar juga berdampak pada terdepresiasi atau terapresiasinya nilai tukar Rupiah. Yang terakhir yaitu menempatkan variabel pengangguran pada akhir pengurutan. Setelah variabel-variabel penelitian diurutkan (ordering), kemudian diolah melalui berbagai tahapan pengujian, lalu dianalisis untuk menarik kesimpulan dan saran. BAB III. GAMBARAN UMUM 3.1. Gambaran Inflation Targeting Framework Bank Indonesia mulai bulan Juli 2005 mengimplementasikan kerangka kerja kebijakan moneter yang baru, yaitu ITF (Inflation Targeting Framework), ITF merupakan sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan. Menurut Mishkin dalam Bank Indonesia (2005) penggunaan ITF bermanfaat untuk: (1) menurunkan inflasi; (2) membuat kebijakan moneter lebih terfokus; (3) memperkuat komunikasi, transparansi dan akuntabilitas; (4) membantu menurunkan dan mengarahkan ekspektasi inflasi dan lebih baik dalam mengatasi kejutan inflasi; (5) membantu menurunkan volatilitas output dalam jangka menengah; (6) teruji terhadap kejutan ekonomi yang kurang menguntungkan; (7) kebijakan moneter relatif fleksibel dalam mengakomodasi kejutan inflasi temporer yang tidak mengganggu pencapaian sasaran inflasi jangka menengah. Dan manfaat yang terakhir untuk memperkuat independensi bank sentral dalam melaksanakan kebijakan moneter. Menurut Bank Indonesia (2005), sasaran inflasi yang telah ditetapkan Pemerintah untuk tahun 2005, 2006, dan 2007 masing-masing sebesar 6 persen ± 1 persen, 5,5 persen ± 1 persen, dan 5 persen ± 1 persen. Penetapan lintasan sasaran inflasi ini sejalan dengan keinginan untuk mencapai sasaran inflasi jangka 31 menengah panjang sebesar 3 persen agar Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara Asia lainnya. Salah satu isu jangka pendek yang perlu diperhatikan adalah prakiraan inflasi tahun 2006 yang cenderung lebih tinggi dari sasaran, terutama karena dampak administered prices, volatile foods, dan melemahnya nilai tukar yang lebih besar dari perkiraan semula. Dan dalam pembahasan asumsi makro APBN-P 2005 dan RAPN 2006 juga disepakati angka inflasi yang lebih tinggi, yaitu 7,5 persen untuk tahun 2005, dan 6,5 persen sampai 8 persen untuk tahun 2006. ITF mencakup empat elemen mendasar: penggunaan suku bunga BI rate sebagai sasaran operasional, proses perumusan kebijakan moneter yang antisipatif, strategi komunikasi yang lebih transparan, dan penguatan koordinasi kebijakan dengan Pemerintah. Langkah-langkah tersebut ditujukan untuk meningkatkan efektifitas dan tata kelola (governance) kebijakan moneter dalam mencapai sasaran akhir kestabilan harga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi 12.75 12.75 12.75 12.75 12.5 12.5 12.25 BI Rate 5Ap r-0 6 9 M ei 20 06 6 Ju ni 20 06 6 Ju li 20 06 8 A gu st 20 06 11.75 7Fe b06 7 M ar et 20 06 13 12.8 12.6 12.4 12.2 12 11.8 11.6 11.4 11.2 9Ja n06 Persen (%) yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Periode Gambar 3.1. Perkembangan BI rate periode Januari-Agustus 2006. Sumber : Bank Indonesia (2006). 32 BI rate diumumkan ke publik segera setelah ditetapkan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG). Dalam Gambar 3.1 dapat dilihat perkembangan BI rate periode Januari-Agustus 2006. BI rate yang diumumkan pada bulan Januari-April bernilai sama yaitu sebesar 12,75 persen. Kemudian mulai diturunkan pada bulan berikutnya menjadi sebesar 12,50 persen dan pada bulan Agustus nilainya ditetapkan sebesar 11,75 persen. BI rate tersebut ditetapkan sebagai sinyal stance kebijakan moneter dalam merespon prospek pencapaian sasaran inflasi ke depan. 3.2. Perkembangan Indikator-Indikator Makroekonomi di Indonesia Perkembangan perekonomian suatu negara dapat dikatakan sedang meningkat atau menurun berdasarkan beberapa indikator dasar makroekonominya diantaranya suku bunga, jumlah uang beredar, inflasi, nilai tukar dan pengangguran. Berikut ini merupakan perkembangan indikator-indikator makroekonomi di Indonesia dari tahun ke tahun. a. Suku Bunga SBI Bank Indonesia sebagai lembaga otoritas moneter melakukan upaya stabilisasi melalui instrumen suku bunga SBI, dari Gambar 3.2 dapat dilihat perkembangan SBI mulai tahun 1996 sampai dengan tahun 2005. Sebelum terjadi krisis ekonomi terjadi, tingkat SBI yang ditetapkan otoritas moneter berkisar antara 11-14 persen, kemudian meningkat tajam pada bulan Mei-September 1998 yaitu sebesar 39 persen, penetapan tingkat SBI yang tinggi ini merupakan langkah yang diambil otoritas moneter untuk mengurangi jumlah uang beredar yang terlalu banyak dimasyarakat. Di tahun 2005 tingkat SBI 33 yang ditetapkan sekitar 12 persen. Penetapan SBI ini tentu saja disesuaikan dengan kondisi perekonomian yang terjadi. Q 4 Q 1 19 96 19 Q 96 3 19 Q 97 2 19 Q 98 1 19 Q 99 4 19 Q 99 3 20 Q 00 2 20 Q 01 1 20 Q 02 4 20 Q 02 3 20 Q 03 2 20 Q 04 1 20 Q 05 4 20 05 % 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0 Triwulanan SBI Gambar 3.2. Perkembangan SBI Periode 1996-2005 Sumber: Bank Indonesia (2006). b. Jumlah Uang yang Beredar (M1) Jumlah uang yang beredar dalam arti sempit dipengaruhi oleh pertumbuhan uang kartal dan uang giral. Pertumbuhan M1 selama periode penelitian mengalami pertumbuhan yang positif, meskipun pertumbuhannya mengalami naik turun. Jumlah uang yang beredar dapat menggambarkan liquiditas perekonomian. Gambar 3.3 memperlihatkan trend jumlah uang yang beredar (M1) mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. 34 300000 250000 200000 150000 100000 50000 0 Q 4 Q 1 19 96 19 96 Q 3 19 97 Q 2 19 98 Q 1 19 99 Q 4 19 99 Q 3 20 00 Q 2 20 01 Q 1 20 02 Q 4 20 02 Q 3 20 03 Q 2 20 04 Q 1 20 05 Q 4 20 05 Milyar Rp Jumlah Uang Beredar Triwulanan Jumlah Uang Beredar Gambar 3.3. Jumlah Uang yang Beredar Periode 1996-2005 Sumber: Bank Indonesia (2006). Pada bulan Januari 2006, jumlah uang yang beredar kurang lebih sebesar 281 milyar Rupiah, bulan Februari dan Maret 2006 menurun menjadi kurang lebih sebesar 277 milyar Rupiah, bulan berikutnya mengalami peningkatan dan pada bulan Mei 2006 jumlahnya kurang lebih sebesar 304 milyar Rupiah. Peningkatan jumlah uang yang beredar ini menunjukkan liquiditas perekonomian mengalami peningkatan. c. Consumer Price Index (CPI) Inflasi adalah indikator pergerakan harga-harga barang dan jasa secara umum, yang secara bersamaan juga berkaitan dengan kemampuan daya beli. Sebelum krisis, tingkat inflasi di Indonesia berada antara nilai 6.63 % - 10.18 % pertahun, inflasi mencerminkan stabilitas harga semakin rendah nilai suatu inflasi berarti semakin besar adanya kecenderungan ke arah stabilitas harga. Gambar 3.4 menunjukkan perkembangan inflasi year on year periode 1990-2005. 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Inflasi Ta hu n Ta 199 hu 0 n Ta 199 hu 1 n Ta 19 hu 92 n Ta 199 hu 3 n Ta 199 hu 4 n Ta 19 hu 95 n Ta 199 hu 6 n Ta 199 hu 7 n Ta 199 hu 8 n Ta 19 hu 99 n Ta 200 hu 0 n Ta 200 hu 1 n 2 Ta 0 hu 02 n Ta 200 hu 3 n Ta 200 hu 4 n 20 05 Persen (%) 35 Tahun Gambar 3.4. Inflasi YOY dari Tahun 1990-2005. Sumber : Bank Indonesia (2006). Saat krisis terjadi tingkat inflasi di Indonesia meningkat tajam, pada September 1998 tingkat Inflasi di Indonesia mencapai 82,40 persen. Tingkat inflasi yang tinggi pada saat itu mencerminkan ketidakstabilan harga, hal ini tentu saja mengurangi daya beli masyarakat. Pada Januari 2006 tingkat inflasi yang terjadi sebesar 17,03 persen, pada bulan Maret 2006 sebesar 15,74 persen, kemudian terus menurun dan pada bulan Juli 2006 tingkat inflasi yang terjadi sebesar 15,15 persen. Tingkat inflasi bulanan periode Januari-Juli 2006 yang cenderung mengalami penurunan dari waktu ke waktu menunjukkan semakin besar kecenderungan ke arah stabilitas harga. d. Nilai Tukar Nilai tukar merupakan pembanding nilai mata uang suatu negara dengan negara lain. Ketika nilai mata uang suatu negara menguat, maka perekonomiannya dapat dikatakan sedang meningkat dibandingkan dengan negara lain, ini berlaku pula sebaliknya. Sehingga, nilai tukar dapat digunakan sebagai indikator pada 36 kondisi perekonomian suatu negara. Nilai tukar Rupiah mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun, pada saat sebelum krisis yaitu dari tahun 1993-1996, nilai tukar 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 Q 1 19 96 Q 4 19 96 Q 3 19 97 Q 2 19 98 Q 1 19 99 Q 4 19 99 Q 3 20 Q 00 2 20 01 Q 1 20 02 Q 4 20 02 Q 3 20 03 Q 2 20 04 Q 1 20 05 Q 4 20 05 Rp/US$ Rupiah berada pada kisaran 2.110 – 2.383 Rupiah per US Dollar. Triwulanan Kurs Gambar 3.5. Fluktuasi Nilai Tukar Rupiah dari Tahun 1996-2005 Sumber : Bank Indonesia (2006). Rupiah yang bernilai 2.450 Rupiah per US Dollar pada bulan Juni 1997 mengalami depresiasi secara terus menerus hingga pada akhir tahun 1997 mencapai 4.650 Rupiah per US Dollar. Untuk menahan laju nilai tukar Rupiah, pemerintah melepas sistem kurs mengambang terkendali dan menerapkan sistem kurs mengambang bebas. Namun memasuki tahun 1998 kondisi nilai tukar Rupiah semakin parah dan puncaknya mencapai 14.850 Rupiah per US Dollar pada Juni 1998. Pada akhir triwulan ke-4 tahun 2005 Rupiah cenderung menguat, hal ini disebabkan adanya capital inflow, konsistensi kebijakan moneter yang ketat, adanya kebijakan stabilisasi Rupiah dan karena terdapat sentimen positif resufle 37 kabinet. Nilai tukar Rupiah pada triwulan ke-4 tahun 2005 bergerak cukup stabil dengan kecenderungan terapresiasi di bulan terakhir, dengan nilai rata-rata pada triwulan terakhir mencapai 9.991 Rupiah per US Dollar. Secara tahunan, pada tahun 2005 Rupiah telah mencapai 9.713 Rupiah per US Dollar atau terdepresiasi 8,6 persen dibanding rata-rata 2004 (Sitorus, 2006). e. Pengangguran Masalah pengangguran selalu terjadi di setiap negara. Munculnya pengangguran dalam perekonomian dapat menimbulkan biaya, yaitu hilangnya output yang seharusnya bisa dihasilkan oleh setiap tenaga kerja. Tabel 3.1. Jumlah Pengangguran di Indonesia Periode 1998-2005 Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Jumlah Pengangguran (Orang) 5.062.483 6.030.319 5.813.231 8.005.031 9.132.104 9.531.090 10.251.351 10.854.254 Persentase Kenaikan (%) 19,11 % -3,59 % 37,70 % 14,07 % 4,36 % 7,55 % 5,88 % Sumber : BPS (2006). Berdasarkan Tabel 3.1 dapat diketahui bahwa angka pengangguran menunjukkan trend yang meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 1998 jumlah pengangguran di Indonesia hanya sekitar 5,06 juta orang dan dalam jangka waktu tujuh tahun meningkat lebih dari 100 persen menjadi sekitar 10,8 juta orang. Adanya peningkatan jumlah penganguran dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa lapangan pekerjaan yang tersedia lebih sedikit dibandingkan dengan penawaran tenaga kerjanya. IV. METODE PENELITIAN 4.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber, yaitu data publikasi Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI) dari Bank Indonesia (BI), publikasi International Financial Statistic (IFS) dari International Monetary Fund (IMF) dan data publikasi Badan Pusat Satistik Indonesia (BPS). Data-data yang digunakan adalah data kuartalan dari periode 1990:1-2005:4, meliputi suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tiga bulanan, jumlah uang beredar (M), Consumer Price Index (CPI), nilai tukar US Dollar per Rupiah (E) dan data pengangguran (U). Tabel 4.1. Data, Satuan, Simbol dan Sumber Data Nama Variabel Satuan Simbol Sumber SBI 3 bulan Persen i (SBI) SEKI, BI Jumlah uang beredar Milyar Rupiah M SEKI, BI - CPI IFS, IMF US Dollar per Rupiah KURS (E) SEKI, BI Orang U BPS CPI Nilai tukar (kurs) Pengangguran Definisi Suku bunga SBI dihitung dengan menggunakan rata-rata tertimbang dan memperhitungkan bobot volume transaksi yang terjadi pada periode yang bersangkutan Kewajiban sistem moneter yang terdiri atas uang kartal dan uang giral dalam arti sempit (M1) Harga sekelompok barang dan jasa relatif terhadap harga sekelompok barang dan jasa yang sama pada tahun dasar harga dari mata uang asing dalam bentuk mata uang domestik Total pengangguran terbuka yang berada di desa dan di kota Data tahunan yang diteliti dapat menyebabkan derajat bebas model menjadi kecil. Karena itu data tahunan perlu dilakukan transformasi frekuensi menjadi triwulanan dengan menggunakan Cubic Spline. Perubahan frekuensi high 39 to low dilakukan melalui Maximum Observation, sedangkan perubahan dari low to high dilakukan melalui Cubic Math. Dalam penelitian ini data pengnguran ditransformasi dengan menggunakan Cubic Spline. Semua data yang digunakan dalam penelitian ini dalam bentuk logaritma, kecuali data yang sudah dalam bentuk persen seperti suku bunga SBI. Hal ini untuk memudahkan analisis, karena baik dalam IRF maupun variance decomposition pengaruh guncangannya dilihat dalam persentase. 4.2. Model Penelitian Model penelitian ini diadopsi dari Djivre dan Ribon (2003), metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Strctural Vector Autoregression (SVAR) yang dikombinasikan dengan Vector Error Correction Model (VECM). Krisis ekonomi terjadi pada pertengahan tahun 1997, begitupula dengan pergantian rezim nilai tukar (pemerintah melepas sistem kurs mengambang terkendali dan menerapkan sistem kurs mengambang bebas pada tanggal 14 Agustus 1997). Karena kedua peristiwa tersebut terjadi pada waktu berdekatan maka hanya digunakan satu variabel dummy konstanta sebagai variabel eksogen. Dummy sebelum krisis dan sebelum pergantian rezim nilai tukar pada periode 1990:1 sampai 1997:2 bernilai nol, sedangkan dummy krisis sampai pasca krisis dan setelah pergantian rezim nilai tukar pada periode 1997:3 sampai 2005:4 bernilai satu. 40 Model SVAR penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: xt = k ∑Γi i =1 i t −i k k + ∑ Φ i M t − i + ∑ Ψ i CPI i =1 i =1 t −i k k i =1 i =1 + ∑ η i E t − i + ∑ θ iU t −1 + D + e ti (4.1) dimana: xt = variabel it, Mt, CPIt, Et, Ut, it = suku bunga Bank Indonesia pada periode t, Mt = jumlah uang beredar pada periode t, CPIt = inflasi pada periode t, Et = nilai tukar US $/Rp pada periode t, Ut = pengangguran pada periode t, D = dummy krisis-peralihan rezim nilai tukar, Γ = parameter dalam bentuk matriks polinomial it, Φ = parameter dalam bentuk matriks polinomial Mt, Ψ = parameter dalam bentuk matriks polinomial CPIt, η = parameter dalam bentuk matriks polinomial Et, θ = parameter dalam bentuk matriks polinomial Ut, i = panjang lag (ordo) VAR, e = error term. 4.3. Metode Analisis Data Salah satu metode yang digunakan untuk menganalisis data time series adalah menggunakan metode VAR, metode ini merupakan salah satu bentuk model ekonometrika makro yang sering digunakan untuk melihat permasalahan fluktuasi makroekonomi. 41 Metode analisis Vector Autoregression (VAR) merupakan suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap peubah sebagai fungsi linier dari konstanta dan nilai lag (lampau) dari peubah itu sendiri serta nilai lag dari peubah lain yang ada dalam sistem. Jadi peubah penjelas dalam VAR meliputi nilai lag seluruh peubah tak bebas dalam sistem. Menurut Arsana (2004), metode Vector Autoregression (VAR) ciptaan Sims menyediakan alat analisis melalui empat macam penggunaannya: (1) Forecasting, ekstrapolasi nilai saat ini dan masa depan seluruh variabel dengan memanfaatkan seluruh informasi masa lalu variabel, (2) IRF melacak respon saat ini dan masa depan setiap variabel akibat perubahan atau shock suatu variabel tertentu, (3) FEVD memprediksi kontribusi persentase varians setiap variabel terhadap perubahan suatu variabel tertentu, (4) Granger Causality Test, untuk mengetahui hubungan sebab akibat antar variabel. VAR dengan lag p dan n peubah tak bebas pada waktu ke-t dapat dimodelkan sebagai berikut: Yt = A0 + A1Yt −1 + A2Yt −1 + ...... + APYt − p + ε t dimana: Yt = vektor peubah tak bebas (Y1.t, Y2.t, Yn.t) berukuran n x 1, A0 = vektor intersep berukuran n x 1, Ai = matriks parameter berukuran n x 1, εt = vektor sisaan (ε1t, ε2t,…… εnt) berukuran n x 1. (4.2) 42 Persamaan VAR secara umum menurut Thomas (1997) adalah: k Yt = ∑ AiYt −i + ∈t (4.3) i =1 dimana: Yt = vektor kolom pengamatan pada waktu t semua variabel dalam model, At = matriks parameter, k = lag dari model VAR. Analisis VAR harus memenuhi asumsi bahwa semua peubah tak bebas bersifat stasioner, semua sisaan bersifat white-noise. Berarti sisaannya memiliki rataan nol, ragam konstan dan diantara variabel tak bebas tidak ada korelasi. Metode SVAR merupakan bentuk perluasan dari Vector Autoregression (VAR). Dalam metode VAR tidak dibuat suatu restriksi teoritis berdasarkan teori ekonomi yang relevan pada variabel yang digunakan dalam analisis, sedangkan dalam SVAR dibuat suatu restriksi berdasarkan hubungan teoritis yang kuat akan skema (peta hubungan) bentuk urutan (ordering) variabel-variabel yang digunakan dalam sistem VAR. Oleh karena itu SVAR juga dikenal sebagai bentuk VAR yang teoritis (Arsana, 2004). Spesifikasi model SVAR yang digunakan dalam penelitian ini dapat dinyatakan dalam persamaan (4.4): ⎡1 ⎢b ⎢ 21 ⎢b31 ⎢ ⎢b41 ⎢⎣b51 B b12 b13 b14 1 b23 b24 b32 1 b34 b42 b43 1 b52 b53 b54 b15 ⎤ ⎡ it ⎤ ⎡γ 10 ⎤ ⎡γ 11 b25 ⎥⎥ ⎢⎢ M t ⎥⎥ ⎢⎢γ 20 ⎥⎥ ⎢⎢γ 21 b35 ⎥ ⎢CPIt ⎥ = ⎢γ 30 ⎥ + ⎢γ 31 ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥⎢ b45 ⎥ ⎢ Et ⎥ ⎢γ 40 ⎥ ⎢γ 41 1 ⎥⎦ ⎢⎣ U t ⎥⎦ ⎢⎣γ 50 ⎥⎦ ⎢⎣γ 51 yt γo Г1 γ 12 γ 22 γ 32 γ 42 γ 52 γ 13 γ 23 γ 33 γ 43 γ 53 γ 14 γ 24 γ 34 γ 44 γ 54 γ 15 ⎤⎡ it −1 ⎤ ⎡ε 1t ⎤ γ 25 ⎥⎥⎢⎢ M t −1 ⎥⎥ ⎢⎢ε 2t ⎥⎥ γ 35 ⎥⎢CPIt −1 ⎥ + ⎢ε 3t ⎥ ⎥ ⎢ ⎥ ⎥⎢ γ 45 ⎥⎢ Et −1 ⎥ ⎢ε 4t ⎥ γ 55 ⎥⎦⎢⎣ U t −1 ⎥⎦ ⎢⎣ε 5t ⎥⎦ yt-1 εt 43 Persamaan SVAR untuk model di atas dapat diringkas menurut Zivot (2000) menjadi persamaan sebagai berikut: B yt = γ 0 + Γ1 + y t −1 + ε t (4.5) dimana: B = matriks n*n yang mengandung parameter struktural dari variabel endogen, yt = vektor variabel endogen suku bunga SBI, jumlah uang yang beredar, indeks harga konsumen, nilai tukar dan pengangguran, γo = intersep, Г1 = matriks polinomial (finite order matrix) dengan lag operator 1, yt-1 = vektor auto regressive dengan lag operator 1, εt = vektor white-noise. Persamaan (4.5) memiliki masalah representasi. Hal itu karena koefisien dari matriks tidak diketahui dan setiap variabel memiliki efek kontemporer (contemporeneous effect) sehingga tidak mungkin untuk menentukan nilai parameter dalam model tersebut dan model tersebut tidak dapat diidentivikasi secara penuh. Untuk itu perlu dibentuk persamaan reduce form yang juga merepresentasikan sebuah Vector Moving Average (VMA). Persamaan VMA digunakan untuk menghilangkan korelasi antar error yang terjadi dalam model VAR biasa. Persamaan matematis VMA adalah sebagai berikut (Zivot, 2000): yt = B-1 γo + B-1 Г1 yt-1+ B-1 εt = ao +A1 yt-1+ ut (4.6) 44 Sistem persamaan (4.6) disebut sebagai model standar VAR. Error term (ut) adalah kombinasi linier dari error struktural (εt), dimana error term tersebut memiliki nilai rata-rata (mean) nol dan nilai kovarian yang konstan. Dalam pemodelan SVAR perpindahan dari non-ortoghonal VMA ke ortogonal VMA direpresentasikan melalui Cholesky Factorization (Ω) dari matriks Σ (Ammisano dan Giannini, 1997). Matriks Σ adalah varian atau kovarian dari residual (ut) dari sistem VAR standar, persamaan matematis matriks Σ adalah sebagai berikut (Zivot, 2000): ∑ = E [u u ] = B t ' t −1 [ ] E ε t ε t' B − 1' , (4.7) = B-1D B-1’, = Ω. Fokus dalam analisis SVAR adalah error term, yaitu sisaan atau shock, yang berupa inovasi. Shock atau guncangan struktural dapat dibuat dalam bentuk matriks (4.8 ) sebagai berikut: ⎡ 1 ⎢a ⎢ 21 ⎢ a 31 ⎢ ⎢ a 41 ⎢⎣ a 51 0 0 0 1 0 1 0 0 a 43 a 53 1 a 32 a 42 a 52 A a 54 0⎤⎡ ε i ⎢ 0 ⎥⎥ ⎢ ε m 0 ⎥ ⎢ ε dp ⎥⎢ 0⎥⎢ ε e 1 ⎥⎦ ⎢⎣ ε u ε ⎡ ei ⎤ ⎢ m ⎥ ⎢e ⎥ ⎥ = bij ⎢ e dp ⎢ e ⎥ ⎢ e ⎥ ⎢ eu ⎥ ⎣ ⎦ B ⎤ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ e dimana: aij = elemen dari A, εj = inovasi (error term) terhadap variabel yang digunakan j, bij = elemen dari B (dalam kasus ini i = j untuk i, j = 1,…..,5), (4. 8) 45 ej = guncangan (shock) struktural dari variabel j. Tahapan penelitian ini menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: a. Uji Stasioneritas Data time series (deret waktu) dikatakan stasioner jika data menunjukkan pola yang konstan dari waktu ke waktu dan tidak terdapat pertumbuhan atau penurunan data secara tajam. Data yang tidak stasioner akan menghasilkan spurious regression (regresi palsu), yaitu regresi yang menggambarkan hubungan dua variabel atau lebih yang nampaknya signifikan secara statistik padahal kenyataanya tidak demikian. Menurut Gujarati (2003), data yang stasioner akan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-rata dan berfluktuasi di sekitar nilai rata-ratanya. Dengan kata lain data akan menyebar acak pada satu kisaran nilai tengah tertentu. Uji stasioneritas dilakukan dengan menggunakan uji DickeyFuller, dimulai dari proses autoregresi orde pertama, yaitu: Yt = ρYt-1 + ut (4.9) dimana: ut = white-noise error dengan mean nol dan varians konstan. Kondisi di atas dinamakan random walk dimana variabel Yt ditentukan oleh variabel sebelumnya (Yt-1). Oleh karena itu jika nilai ρ=1 maka persamaan (4.9) mengandung akar unit atau tidak stasioner. Kemudian persamaan (4.9) dapat dimodifikasi dengan mengurangi pada kedua sisi persamaan, sehingga persamaan (4.9) dapat diubah menjadi persamaan (4.10): 46 Yt – Yt-1 = ρ Yt-1 – Yt-1 + ut (4.10) = (ρ-1) Yt-1 + ut Persamaan (4.10) dapat dituliskan menjadi persamaan (4.11) sebagai berikut: ΔY = δ Yt-1 + ut (4.11) dimana: δ = (ρ-1), Δ = first difference (perbedaan pertama). Oleh karena itu hipotesis pada persamaan (4.11), Ho: δ = 0, ini menunjukkan bahwa persamaan tersebut tidak stasioner, sedangkan hipotesis alternatifnya H1: δ<0 menunjukkan persamaan tersebut mengikuti proses stasioner. Jadi apabila Ho ditolak maka artinya data deret waktu tersebut stasioner dan sebaliknya. Pada persamaan (4.11) diasumsikan bahwa error term (ut) tidak berkorelasi, jika terdapat error term yang berkorelasi maka persamaan yang diuji menggunakan uji Augmented Dickey Fuller (ADF) sebagai berikut: m ΔYt = β 1 + β 2 t + δYt −1 + α i ∑ ΔYt −i + ε t i =1 dimana: εt = pure white noise error term, ΔYt-1 = Yt-1 – Yt-2, ΔYt-2 = Yt-2 – Yt-3 dan seterusnya. Hipotesis yang diuji adalah: Ho : δ = 0 (data tidak stasioner atau mengandung unit root) H1 : δ < 0 (data stasioner atau tidak mengandung unit root) (4.12) 47 Uji yang dilakukan untuk mengetahui apakah sebuah data time series bersifat stasioner atau tidak adalah dengan melakukan uji Ordinary Least Squares (OLS) dan melihat nilai t-statistik dari estimasi δ. Adapun persamaan matematisnya dalah sebagai berikut: thit =δ/Sδ (4.13) dimana : δ = koefisien estimasi, Sδ = standar error dari koefisien estimasi. Jika nilai ADF statistikya lebih besar dari MacKinnon Critical Value (dalam nilai kritis 1 persen, 5 persen atau 10 persen) maka data tersebut tidak stasioner namun jika nilai ADF statistikya lebih kecil dari MacKinnon Critical Value maka data tersebut stasioner. b. Penetapan Tingkat Lag Optimal Menurut Gujarati (2003), autokorelasi merupakan korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu (seperti dalam data time series). Dalam model klasik diasumsikan bahwa unsur gangguan yang berhubungan dengan observasi tidak dipengaruhi oleh unsur distrubansi atau gangguan yang berhubungan dengan pengamatan lain manapun. Sehingga tidak ada alasan untuk percaya bahwa suatu gangguan akan terbawa ke periode berikutnya, jika hal itu terjadi berarti terdapat autokorelasi. Konsekuensi terjadinya autokorelasi dapat memberikan kesimpulan yang menyesatkan mengenai arti statistik dari koefisien regresi yang ditaksir. Pemilihan panjang lag dilakukan sedemikian rupa sehingga sisaan tidak lagi mengandung autokelasi. 48 Penetapan lag optimal dapat menggunakan kriteria Schwarz Criterion (SC), Hannan-Quinn Information Criterion (HQ), Akaike Information Criterion (AIC). Dalam penelitian ini menggunakan kriteria AIC, menurut Eviews user guide (2000) definisi AIC, SC dan HQ adalah sebagai berikut: Akaike Information Criteria = -2(l /T)+ 2 (k/ T) (4.14.1) Schwarz Criterion = -2(l /T)+ k log (T )/ T (4.14.2) -2(l /T)+ 2k log (log(T )) / T (4.14.3) Hannan-Quinn Information Criterion = Dimana l adalah nilai log dari fungsi likelihood dengan k parameter estimasi dengan sejumlah T observasi. Untuk menetapkan lag yang paling optimal, model VAR yang diestimasi dicari lag maksimumnya, kemudian tingkat lagnya diturunkan. Dari tingkat lag yang berbeda-beda tersebut dicari lag yang paling optimal dan dipadukan dengan uji stabilitas VAR. c. Uji Stabilitas VAR Menurut Arsana (2004), stabilitas sistem VAR dan VEC akan dilihat dari inverse roots karakteristik AR polinomialnya. Hal ini dapat dilihat dari nilai modulus di tabel AR-nomialnya, jika seluruh nilai AR-rootsnya di bawah 1, maka sistem VAR-nya stabil. Uji stabilitas VAR dilakukan dengan menghitung akarakar dari fungsi polinomial atau dikenal dengan roots of characteristic polinomial. Jika semua akar dari fungsi polinomial tersebut berada di dalam unit circel atau jika nilai absolutnya < 1 maka model VAR tersebut dianggap stabil sehingga IRF dan FEVD yang dihasilkan akan dianggap valid. 49 d. Uji Kointegrasi Apabila ada kombinasi linier antara variabel non stasioner yang terintegrasi pada lag yang sama, maka kondisi tersebut dinamakan kointegrasi (Enders, 2004). Apabila dua buah peubah time series X dan Y tidak stasioner, akan tetapi kombinasi linier keduanya (aX + bY = Z) menghasilkan peubah baru yang stasioner, maka antara X dan Y dikatakan terkointegrasi. Kointegrasi digunakan untuk memperoleh persamaan jangka panjang yang stabil. Dalam analisis ini, uji kointegrasi digunakan untuk melihat apakah metode VECM dapat digunakan atau tidak. Apabila terdapat lebih dari nol rank kointegrasi, maka metode VECM dapat digunakan. Rank kointegrasi (r) dari vektor Yt adalah banyaknya vektor kointegrasi yang saling bebas. Nilai r dapat diketahui melalui uji Johansen. Menurut Harris (1995) untuk menguji rank dapat menggunakan trace statistic sebagai berikut: n λtrace = −2 log(Q ) = −T ∑ log(1 − λi ) (4.15) i = r +1 dimana: r = 0,1,2,.... n-2, n-1, Q = restricted maximised likelihood ÷ unrestricted maximized likelihood, T = jumlah observasi yang diamati, λi = akar ciri ke-i matriks π. e. Vector Error Correction Model Menurut Thomas (1997), untuk mengatasi persamaan regresi yang sporious adalah dengan menarik differensial atas variabel dependen dan 50 independen, sehingga diperoleh variabel yang stasioner dengan pendifferensialan I(n). Kestasioneran data melalui pendifferensialan tidaklah cukup, hal ini mengindikasikan bahwa model VAR biasa tidak dapat digunakan secara langsung karena mempertimbangkan tercover tidaknya informasi jangka pendek dan jangka panjang dalam model. Terdapat dua pilihan yang dapat dilakukan yaitu model VAR dengan pendifferensialan untuk data yang tidak terkointegrasi atau VECM untuk data yang terkointegrasi. Apabila pilihan pertama dilakukan maka informasi jangka panjang akan hilang karena hanya menerangkan hubungan jangka pendek sehingga hubungan antara variabel pada level menjadi hilang karena berdasarkan parameter yang tidak terkointegrasi. Sehingga diperlukan pendekatan alternatif yaitu menggunakan Error Correction Model (ECM) jika persamaan tunggal atau Vector Error Correction Model (VECM) jika persamaannya lebih dari satu. ECM atau VECM telah mengcover informasi jangka pendek dan jangka panjang karena dalam persamaan mengandung parameter jangka pendek dan jangka panjang. Sehingga persamaan ECM dapat dituliskan sebagai: ΔYt = b1 ΔX t − λ (Yt −1 − β o − β1 X t −1 ) + ε t (4.16) dimana: b1 = parameter jangka pendek, λ = parameter error corection, βo, β1 = parameter jangka panjang. VECM ini berangkat dari VAR (k) dengan mengurangi lag VAR sama dengan satu dimana variabel yang relevan bersifat endogen. Menurut Pesaran dan 51 Pesaran (1997) dalam Siregar dan Ward (2005), model VECM (k-1) secara umum adalah: k −1 Δxt = ∑ ΓiΔxt −1 + μ o + μ1t + αβ ' xt −1 + ε t (4.17) i =1 dimana: Δxt = xt - xt-1, (k-1) = lag VECM dari VAR, Γl = matrik koefisien regresi (b1, b2, b3), xt-l = vektor variabel in level yang digunakan, μo = vektor intercept, μ1 = vektor koefisien regresi, α = loading matrix, β’ = vektor kointegrasi. Berdasarkan persamaan (4.17) vektor kointegrasi β’ sangat ditekankan karena menunjukkan adanya kointegrasi dalam variabel-variabel yang dianalisis. Apabila rank kointegrasi dua (r=2) maka terdapat dua vektor kointegrasi yang terbentuk. Dalam model Siregar dan Ward (2005), lag optimal pada saat estimasi VECM menggunakan lag optimal dikurangi satu, namun dalam penelitian ini lag optimal dicari menggunakan first difference sehingga lag yang digunakan dalam estimasi VECM adalah lag optimal. f. Impulse Response Function (IRF) Fungsi impuls respon digunakan untuk menjelaskan bagaimana setiap variabel bereaksi setiap saat terhadap adanya inovasi (Amisano dan Giannini, 52 1996). IRF ini dilakukan untuk mengetahui respon dinamik SBI, jumlah uang beredar, inflasi, nilai tukar, dan pengangguran terhadap adanya guncangan (shock) variabel tertentu. IRF juga bertujuan untuk mengisolasi suatu guncangan agar lebih spesifik artinya suatu variabel yang dapat dipengaruhi oleh shock atau guncangan tertentu. g. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) Peramalan dekomposision varians error merupakan alat yang menyediakan informasi untuk melihat hubungan dinamis anatara variabel yang di analisis (Amisano dan Giannini, 1996). FEDV merupakan suatu guncangan atau shock yang merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi varibilitas (fluktuasi) dari variabel tertentu yang dilakukan secara ortogonal. FEVD ini dilakukan untuk melihat berapa persen peran masing-masing guncangan (shock) terhadap variabilitas variabel tertentu atau menelaah sumber-sumber fluktuasi pada variabel tertentu. Dengan demikian dapat diketahui secara pasti faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi inflasi dan pengangguran. Faktor–faktor tersebut merupakan implikasi kebijakan yang memegang peranan penting terhadap kestabilan variabel-variabel tersebut. V. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian mengenai “Analisis Kebijakan Moneter dalam Menstabilkan Inflasi dan Pengangguran di Indonesia” menggunakan metode analisis Structural Vector Autoregression (SVAR) yang dikombinasikan dengan metode koreksi kesalahan Vector Error Correction Model (VECM) dan software yang digunakan untuk menganalisis data Eviews 4.1. 5.1. Kestasioneran Data Untuk melihat kestasioneran data yang akan dianalisis dilakukan uji akar unit (unit root test). Data yang tidak stasioner akan menghasilkan spurious regression (regresi palsu), yaitu regresi yang menggambarkan hubungan dua variabel atau lebih yang nampaknya signifikan secara statistik padahal kenyataanya tidak demikian. Kestasioneran data pada setiap variabel dapat dilihat dengan uji Augmented Dickey Fuller (ADF). Pengujian ADF didasarkan pada nilai Akaike Information Criteria (AIC). Bila nilai statistik ADF-nya lebih besar dari nilai kritis Mc Kinnon maka data tersebut tidak stasioner, tetapi bila nilai statistik ADFnya lebih kecil dari nilai kritisnya maka data tersebut stasioner atau terintegrasi pada ordo nol (I(0)). Tabel 5.1. Hasil Pengujian Akar Unit pada Level Variabel SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U Nilai ADF -2,847964 -0,427825 0,116255 -1,158646 -0,692761 Sumber : Lampiran 1. Nilai Kritis MacKinnon 5 % -2,911730 -2,910860 -2,910860 -2,909206 -2,910860 Keterangan tidak stasioner tidak stasioner tidak stasioner tidak stasioner tidak stasioner 54 Dari Tabel 5.1 dapat dilihat bahwa variabel SBI, LOG_M, LOG_CPI, LOG_KURS, dan LOG_U tidak stasioner pada level. Karena semua variabel tidak stasioner pada level maka perlu dilanjutkan dengan melakukan uji akar unit pada tingkat first difference. Tabel 5.2. Hasil Pengujian Akar Unit pada First Difference Variabel Nilai ADF Nilai Kritis Mc Kinnon 5 % Keterangan SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U -5,280405 -6,454295 -3,544063 -5,844543 -3,978405 -2,912631 -2,910860 -2,910860 -2,909206 -2,910860 stasioner stasioner stasioner stasioner stasioner Sumber : Lampiran 2. Uji akar unit pada tingkat first difference (derajat 1) dilakukan karena tidak terpenuhinya asumsi stasioneritas pada tingkat level (derajat nol). Tabel 5.2 memperlihatkan bahwa semua variabel dari hasil uji akar unit pada tingkat first difference telah stasioner. 5.2. Uji Lag Optimal Untuk menetapkan lag optimal dapat menggunakan kriteria nilai Akaike Information Criteria (AIC), Schwarz information Criterion (SC) maupun HannanQuinn Information Criterion (HQ). Penelitian ini menggunakan nilai AIC, perhitungan nilai AIC untuk setiap lag dapat dilihat di Tabel 5.3. Dari perhitungan nilai AIC tersebut diketahui bahwa nilai minimum terdapat pada lag 4, sehingga dapat ditetapkan bahwa lag optimal adalah 4. 55 Tabel 5.3. Nilai Lag Optimal Lag 1 2 3 4 AIC -8,301398 -9,428629 -10,37921 -11,52964* SC -7,068961 -7,315879 -7,386145 -7,656263* HQ -7,820304 -8,603897 -9,210837 -10,01763* Sumber : Lampiran 3. 5.3. Uji Stabilitas VAR Sebelum masuk pada tahapan analisis yang lebih jauh lagi, hasil estimasi sistem persamaan VAR yang telah terbentuk perlu diuji stabilitasnya melalui VAR stability condition check yang berupa roots of characterictic polynomial terhadap seluruh variabel yang digunakan dikalikan jumlah lag dari masingmasing VAR. Jika modulus dari seluruh nilai AR-rootsnya di bawah 1, maka sistem VAR-nya dikategorikan stabil. Jumlah root yang diuji sebanyak 20 (5*4). Dari Lampiran 4 dapat diketahui bahwa semua nilai modulus di tabel ARnomialnya berada pada kisaran 0,24-0,93 dan bernilai di bawah 1, sehingga dapat dikatakan sistem VAR-nya stabil. 5.4. Uji Kointegrasi Uji kointegrasi dilakukan untuk memperoleh hubungan jangka panjang yang stabil antara variabel-variabel yang terintegrasi pada derajat yang sama, yaitu derajat satu (I(1)). Uji kointegrasi yang digunakan dalam penelitian ini. adalah uji Johansen, uji ini dilakukan pada tingkat lag optimal, berdasarkan Lampiran 3 dapat diketahui bahwa dalam penelitian ini menggunakan VECM yang mempunyai lag 4. Berdasarkan hasil summary, sebagaimana terlihat pada Lampiran 6, asumsi trend deterministik yang sesuai digunakan dalam penelitian ini adalah 56 asumsi lima (Intercept and trend in CE-linier tend in VAR). Pemilihan asumsi lima berdasarkan nilai Akaike Information Criteria (AIC). Hasil uji kointegrasi Johansen dengan asumsi lima menunjukkan bahwa terdapat dua persamaan kointegrasi pada taraf nyata satu persen dan lima persen, baik berdasarkan Trace test dan Max-eigenvalue test (Lampiran 7). Hasil uji kointegrasi berdasarkan Trace test dapat dilihat pada Tabel 5.4. Tabel 5.4. Hasil Uji Kointegrasi Ho R=0 H1 R>=1 Trace Statistic 135,7825 Nilai Kritis 5 % 77,74 Sumber : Lampiran 7. R<=1 R>=2 74,69065 54,64 R<=2 R>=3 34,15123 34,55 R<=3 R>=4 12,10125 18,17 R<=4 R>=5 1,561902 3,74 Karena mencari persamaan jangka panjang atau persamaan kointegrasi bukanlah tujuan dari analisis ini maka, tidak dilakukan over restriction untuk mendapatkan hasil estimasi VECM lebih lanjut. Tujuan pendekatan VECM dalam penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana respon variable SBI, jumlah uang yang beredar, inflasi, kurs dan pengangguran terhadap perubahan kebijakan moneter. Oleh karena itulah analisis yang digunakan adalah Impuls Respose Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEDV) untuk untuk melihat berapa persen peran masing-masing guncangan (shock) terhadap variabilitas variabel tertentu atau menelaah sumber-sumber fluktuasi pada variabel tertentu. 57 5.5. Impulse Response Function (IRF) IRF adalah respon sebuah variabel dependen jika mendapat guncangan atau inovasi variabel independen sebesar satu standar deviasi. Penelitian ini akan melihat pengaruh guncangan SBI terhadap variabel-variabel makroekonomi. Gambar 5.1 menunjukkan reaksi SBI, jumlah uang yang beredar, CPI, kurs dan pengangguran dalam 60 periode terhadap guncangan SBI dalam satuan standar deviasi. Sumbu vertikal adalah respon variabel-variabel makroekonomi atas guncangan SBI sedangkan sumbu horizontal adalah periode waktu (kuartal). Guncangan SBI sebesar satu standar deviasi pada kuartal pertama akan mengakibatkan peningkatan SBI sebesar 178,4 persen, penurunan jumlah uang yang beredar (M1) sebesar 1,7 persen, peningkatan inflasi sebesar 0,39 persen, peningkatan nilai tukar (apresiasi) sebesar 0,06 persen, peningkatan inflasi sebesar 0,39 persen dan penurunan pengangguran sebesar 1,11 persen. Pada kuartal ke dua, guncangan SBI sebesar satu standar deviasi akan mengakibatkan peningkatan SBI sebesar 7 persen, penurunan jumlah uang yang beredar sebesar 2,3 persen, peningkatan inflasi sebesar 0,39 persen, peningkatan nilai tukar (apresiasi) sebesar 0,55 persen, peningkatan inflasi sebesar 3,5 persen dan penurunan pengangguran sebesar 3,18 persen. 58 Response to Cholesky One S.D. Innovations Persen Response of SBI to SBI Persen Response of LOG_M to SBI 2.0 .010 1.5 .005 1.0 .000 0.5 -.005 0.0 -.010 -0.5 -.015 -1.0 -.020 -1.5 -.025 10 20 30 40 50 60 10 20 30 40 Periode Response of LOG_CPI to SBI Persen 50 60 Periode Response of LOG_KURS to SBI Persen .010 .04 .008 .03 .02 .006 .01 .004 .00 .002 -.01 .000 -.02 -.002 -.03 -.004 -.04 10 20 30 40 50 60 Periode 10 20 30 40 50 Periode Response of LOG_U to SBI Persen .00 -.02 -.04 -.06 -.08 -.10 -.12 10 20 30 40 50 60 Periode Gambar 5.1. Respon Variabel Makroekonomi terhadap Guncangan SBI 60 59 SBI ditetapkan bank sentral untuk mempengaruhi perekonomian, ketika perekonomian dirasakan tumbuh terlalu cepat maka SBI dinaikkan untuk mengerem pertumbuhan dan begitu pula sebaliknya. Guncangan SBI terhadap SBI itu sendiri mengakibatkan peningkatan pada periode 1 dan 2 dan mulai periode 3 bernilai negatif, respon naik turunnya SBI karena ada batas titik psikologis yang dicapai, ketika nilai SBI dirasa terlalu tinggi maka bank sentral menurunkan nilai SBI secara perlahan-lahan sehingga nilainya akan menurun, begitu juga ketika nilai SBI dirasa terlalu rendah maka secara perlahan-lahan nilai SBI tersebut akan dinaikkan. Penetapan naik turunnya SBI tentu saja disesuaikan dengan kondisi perekonomian yang terjadi. Menurut Bank Indonesia (2005), saat ini perubahan SBI dilakukan jika deviasi proyeksi inflasi terhadap targetnya (inflation gap) dipandang telah bersifat permanen dan konsisten dengan indikator ekonomi lainnya. Respon jumlah uang yang beredar mengalami penurunan dari periode 1 ke periode 2. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi yang berlaku yaitu ketika suku bunga naik maka masyarakat akan memilih untuk menyimpan uangnya di Bank sehingga jumlah uang yang beredar menurun. Namun ketika jumlah uang yang beredar turun, pada periode ini respon inflasi mengalami peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa SBI sebagai instrumen moneter tidak bisa secara penuh dijadikan sebagai alat kontraksi moneter dalam mengendalikan inflasi yang terjadi. Ini juga menunjukkan bahwa faktor eksternal turut berpengaruh terhadap tingkat inflasi yang terjadi. Pada periode ini pula, peningkatan SBI dan penurunan jumlah uang beredar menyebabkan nilai tukar mengalami apresiasi. 60 Secara umum respon SBI mengalami penurunan dan respon jumlah uang yang beredar mengalami peningkatan, mulai periode 1 sampai periode 5 respon SBI terhadap guncangan SBI itu sendiri mengalami peningkatan yang menurun,. Respon penurunan suku bunga SBI secara umum, akan menyebabkan jumlah uang yang beredar meningkat, hal ini karena masyarakat mungkin kurang tertarik dengan tingkat suku bunga yang berlaku, sehingga masyarakat lebih memilih untuk memegang uangnya, dan akibatnya jumlah uang yang beredar mengalami peningkatan. Respon secara umum peningkatan jumlah uang yang beredar sejalan dengan respon peningkatan inflasi. Ketika bank sentral menetapkan SBI pada nilai tertentu, maka untuk membayarnya bank sentral mencetak uang. Dalam jangka panjang ketika otoritas moneter menetapkan tingkat SBI yang tinggi, maka masyarakat banyak yang tertarik membelinya. Dan untuk membayarnya bank sentral melakukan pencetakan uang, upaya pencetakan uang yang dilakukan secara terus menerus tentu saja berbahaya sebab mengakibatkan money supply meningkat dan mendorong terjadinya inflasi. Selain inflasi peningkatan jumlah uang yang beredar juga menyebabkan terjadinya depresiasi nilai tukar. Sampai periode ke-5 nilai tukar Rupiah masih mengalami apresiasi walaupun cenderung melemah, dan mulai periode selanjutnya cenderung mengalami depresiasi, hal ini karena penurunan SBI menyebabkan jumlah uang yang beredar meningkat, akibatnya nilai tukar melemah dan mengalami depresiasi. 61 Nilai tukar Rupiah secara umum mengalami trend depresiasi, hal ini karena Indonesia sebagai negara small open economy dan menganut sistem nilai tukar floating, sehingga nilai tukar tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal saja tetapi juga turut dipengaruhi faktor eksternal. Indonesia sebagai negara kecil yang menganut sistem nilai tukar floating, jika mendapat tekanan yang besar dari luar maka akan sukar untuk mempertahankan nilai tukarnya, hal ini menyebabkan nilai tukar Rupiah selalu berfluktuasi. Secara umum angka pengangguran mulai periode 1 sampai periode 60 bernilai negatif dan mengalami penurunan. Secara teori hal ini karena suku bunga SBI juga cenderung menurun, langkah ini kemudian akan diikuti oleh perbankan dalam menetapkan suku bunga kredit, sehingga cost meminjam menjadi relatif lebih murah dan menyebabkan perkembangan sektor riil sehingga akhirnya pengangguran menurun. Menurut Siregar et al., (2006), dalam periode 2002-2004, penurunan suku bunga terus menerus dilakukan untuk menstimulus sektor riil, tetapi efek dari transmisi moneter melalui penyesuaian suku bunga kredit sangatlah lambat sehingga stimulus yang diharapkan justru tidak terjadi, ini menunjukkan kebijakan moneter hanya mampu menggerakkan dan mengendalikan variabel-variabel makro dan belum mampu mentransmisikan ke sektor riil. Ketika angka pengangguran menunjukkan trend yang meningkat dari tahun ketahun, ini menunjukkan bahwa SBI sebagai instrumen moneter kurang kredibel dalam melakukan kontraksi dan ekspansi untuk mempengaruhi perekonomian dalam mengatasi masalah pengangguran. Selain itu jumlah 62 pengangguran yang meningkat setiap saat, karena selalu ada angkatan kerja baru yang memasuki pasar kerja, bila angkatan kerja baru tersebut tidak terserap maka akan menambah angka pengangguran yang terjadi. Hal ini menunjukkan kebijakan moneter saja tidak cukup untuk mengatasi masalah pengangguran. Mulai periode 29 respon SBI terhadap guncangan SBI itu sendiri menjadi permanen dan konvergen dengan nilai yang mulai stabil dalam interval minus 54 persen sampai minus 51 persen. Sedangkan guncangan SBI terhadap jumlah uang yang beredar mulai periode 11 sampai periode 60 bernilai positif, dengan nilai cenderung naik dan menuju ke arah kestabilan mulai periode 44 dalam kisaran 0,55-0,62 persen. Dalam jangka panjang, inovasi dari SBI memiliki hubungan yang permanen terhadap jumlah uang yang beredar, hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan moneter dalam mengatur tingkat suku bunga harus selalu disesuaikan dengan jumlah uang yang beredar. Proses kenaikan inflasi secara bertahap terjadi sampai periode 36 dan mulai periode 37 sampai periode 60 respon inflasi menjadi permanen dengan nilai yang mulai stabil yaitu sekitar 0,8 persen. Dalam jangka panjang, inovasi dari SBI memiliki hubungan yang permanen terhadap inflasi, hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan moneter dalam mengatur tingkat suku bunga harus selalu disesuaikan dengan inflation targeting yang telah ditetapkan oleh bank sentral. Mulai periode ke 32 sampai periode 60 respon nilai tukar terhadap guncangan SBI menjadi permanen dan nilainya menjadi stabil dengan nilai sekitar minus 3,2 persen. Dalam jangka panjang, inovasi dari SBI memiliki hubungan 63 yang permanen terhadap nilai tukar, hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan moneter akan selalu berpengaruh terhadap kestabilan Rupiah. Pada periode 35 sampai periode 60, respon pengangguran menjadi permanen dan nilainya mulai stabil yaitu sekitar minus 10 persen. Cukup lamanya respon variabel-variabel makroekonomi menuju ke arah kestabilan (mulai periode 29 sampai periode 44 atau 7-11 tahun setelah guncangan) menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia rentan terhadap perubahan, dan kebijakan moneter yang diterapkan kurang mampu menstabilkan perekonomian dalam jangka pendek. 5.6. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) FEVD digunakan untuk melihat prediksi kontribusi persentase varians setiap variabel terhadap perubahan suatu variabel tertentu. Penelitian ini ingin mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi inflasi dan pengangguran. Hasil FEVD selengkapnya dapat dilihat di Lampiran 9. 5.6.1. Faktor-Faktor Determinan Inflasi Data analisis variance decomposition variabel inflasi ditunjukkan pada Tabel 5.5. Pada periode satu diketahui bahwa pengaruh guncangan inflasi itu sendiri sebesar 76,09 persen, guncangan uang beredar mempengaruhi sebesar 18,64 persen, guncangan SBI mempengaruhi sebesar 5,25 persen, dan guncangan nilai tukar serta pengangguran bahkan tidak berpengaruh sama sekali. Pengaruh SBI yang relatif kecil terhadap tingkat inflasi, yaitu hanya sebesar 5,25 persen pada kurtal pertama, mengidikasikan bahwa Bank Indonesia dalam jangka pendek tidak bisa terlalu optimis terhadap inflation targeting yang 64 ditetapkan, sebab masih banyak faktor di luar SBI yang dapat mempengaruhi inflasi. Pada tahap lima ke depan, pengaruh guncangan jumlah uang yang beredar, nilai tukar dan pengangguran semakin meningkat. Pada tahap duapuluh ke depan, pengaruh SBI, jumlah uang yang beredar dan inflasi itu sendiri semakin meningkat. Pengaruh pengangguran mendominasi pada periode ke 5, namun dalam jangka panjang pengaruhnya terhadap inflasi semakin menurun. Keterkaitan antara pengangguran dan inflasi tidak terjadi secara langsung, menurut kurva Phillips, terdapat trade-off antara pengangguran dan inflasi, ketika terjadi inflasi yang tinggi maka jumlah penganguran akan menurun dan hal ini berlaku pula sebaliknya. Tabel 5.5. Faktor-Faktor Determinan Inflasi Periode 1 5 10 20 30 40 50 60 SBI 5,255915 2,312209 2,071591 10,00927 19,06980 25,64963 30,14750 33,34501 LOG_M 18,64711 10,04451 13,88814 18,18633 18,67664 18,33141 18,02611 17,81005 LOG_CPI 76,09698 22,67846 22,00576 26,40856 26,48828 26,04568 25,62627 25,31679 LOG_KURS 0,000000 0,427801 5,336382 4,647713 3,947362 3,377577 2,985774 2,706861 LOG_U 0,000000 64,53702 56,69813 40,74812 31,81792 26,59570 23,21436 20,82129 Sumber : Lampiran 9 Tingkat inflasi yang terjadi selalu berkaitan dengan inflasi periode sebelumnya maupun tingkat inflasi yang diharapkan dimasa datang. Pada variabel inflasi terlihat bahwa peramalan dari periode 1 hingga periode 60, pengaruh inflasi terhadap guncangan di dalam inflasi itu sendiri semakin menurun. Hasil penelitian menunjukkan pada periode 60 kuartal setelah guncangan, pengaruh guncangan jumlah uang yang beredar sebesar 17,81 persen, dan 65 pengaruh guncangan SBI sebesar 33,34 persen. Hal ini mengindikasikan perlu adanya keseriusan otoritas moneter dalam menetapkan SBI pada tingkat tertentu, sebab bila pada akhirnya SBI dibayar dengan mencetak uang maka money supply akan meningkat dan tingkat inflasi juga akan semakin meningkat. Pada periode 60, pengaruh guncangan SBI mendominasi yaitu sebesar 33,34 persen, kemudian guncangan dalam inflasi itu sendiri berpengaruh sebesar 25,31 persen. Hasil FEVD ini mengindikasikan bahwa kebijakan moneter kurang mampu mengendalikan laju inflasi sebab pengaruhnya dalam jangka pendek kecil sekali (hanya sebesar 5,25 persen pada periode 1). Lamanya pengaruh kebijakan moneter baru terasa, menunjukkan penetapan SBI dalam inflation targeting yang ditargetkan kurang mampu mempengaruhi tingkat inflasi dalam jangka pendek. Besarnya pengaruh kebijakan moneter terhadap variabilitas inflasi dalam jangka panjang, menunjukkan bahwa agar inflation targeting dapat tercapai maka kebijakan moneter yang diterapkan dalam berbagai kondisi harus selalu diarahkan untuk mencapai inflasi yang telah ditargetkan. Kebijakan moneter yang diterapkan Bank Indonesia, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang tetap mempunyai pengaruh terhadap kestabilan inflasi karena itu kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Sentral harus selalu diusahakan untuk mencapai inflation targeting yang telah ditetapkan. 5.6.2. Faktor-Faktor Determinan Pengangguran Hasil FEVD variabel pengangguran pada Tabel 5.6 menunjukkan bahwa pada peramalan periode pertama hingga periode ke 60, varians penganguran terutama disebabkan oleh guncangan pengangguran itu sendiri dan kemudian oleh 66 guncangan SBI. Pada periode pertama, penganguran disebabkan oleh guncangan penganguran itu sendiri sebesar 47,56 persen, guncangan inflasi sebesar 10,56 persen, guncangan nilai tukar sebesar 7,99 persen dan guncangan SBI sebesar 31,12 persen. Tabel 5.6. Faktor-Faktor Determinan Pengangguran Periode 1 5 10 20 30 40 50 60 SBI 31,12669 28,72947 34,56411 37,85528 38,76958 39,13209 39,33099 39,46031 LOG_M 2,747585 0,085257 1,052042 1,619483 1,748515 1,797256 1,824275 1,840715 LOG_CPI 10,56803 2,625266 2,881495 3,053888 3,059338 3,058202 3,054906 3,050858 LOG_KURS 7,995924 12,36666 11,53891 10,99092 10,84424 10,73429 10,65693 10,60474 LOG_U 47,56177 56,19335 49,96344 46,48043 45,57832 45,27816 45,13290 45,04337 Sumber : Lampiran 9 Pada tahap lima ke depan, pengaruh guncangan nilai tukar meningkat menjadi 12,36 persen, pengaruh guncangan SBI menurun menjadi sebesar 28,72 persen, pengaruh guncangan inflasi menurun menjadi sebesar 2,62 persen dan pengaruh guncangan pengangguran sendiri meningkat menjadi sebesar 56,19 persen, Pada tahap sepuluh ke depan, pengaruh guncangan SBI semakin meningkat menjadi sebesar 34,56 persen, pengaruh guncangan inflasi naik menjadi 2,88 persen dan pengaruh guncangan pengangguran berkurang menjadi sebesar 49,96 persen. Pada tahap 60 ke depan, guncangan penganguran sebesar 45,04 persen menjadi faktor yang dominan dalam mempengaruhi variabilitas pengangguran. Hasil empiris tersebut menunjukkan bahwa masalah pengangguran ditentukan dari sisi pasar tenaga kerja. Dalam jangka panjang upaya mengatasi peningkatan pengangguran dapat dilakukan melalui perbaikan kinerja di pasar tenaga kerja. 67 Pengaruh guncangan nilai tukar sebesar 10,60 persen menunjukkan bahwa kestabilan nilai tukar Rupiah juga diperlukan dalam kondisi perekonomian. Pada saat krisis, banyak industri yang mayoritas menggunakan bahan baku impor mengalami gulung tikar akibat kenaikan biaya produksi, ini tentu saja menyebabkan industri harus merasionalisasi jumlah pekerjanya dan dampak lanjutannya yaitu terjadi kenaikan jumlah penganguran. Karena itu kestabilan nilai tukar sangat penting dipelihara agar tidak berdampak negatif terhadap penciptaan pengangguran. Pengaruh guncangan inflasi sebesar 3,05 persen dan pengaruh guncangan nilai tukar sebesar 10,60 persen menunjukkan bahwa dalam jangka panjang upaya menentukan kebijakan ketenagakerjaan harus disertai dengan kondisi makro ekonomi yang stabil baik itu kestabilan inflasi maupun kestabilan nilai tukar. Hasil FEVD ini mengindikasikan bahwa pada dari periode awal hingga periode 60, guncangan dalam variabel-variabel makroekonomi memiliki pengaruh yang lebih kecil dibandingkan dengan guncangan dalam penggguran itu sendiri. Namun dalam jangka panjang variabel SBI justru semakin memiliki pengaruh yang semakin besar terhadap variabel pengangguran. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam jangka panjang faktor yang paling mempengaruhi pengangguran adalah pengangguran itu sendiri, peningkatan pengaruh SBI dalam jangka panjang sebesar 39,46 persen, menunjukkan bahwa kebijakan moneter memiliki pengaruh yang besar untuk mengatasi tingkat pengangguran, Sehingga agar masalah pengangguran dapat teratasi diperlukan adanya kombinasi antara kebijakan ketenagakerjaan dan kebijakan moneter yang saling mendukung. VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Penelitian ini melihat bagaimana respon variabel-variabel makroekonomi terhadap guncangan SBI. Respon pada dua kuartal awal (periode 1-2) menunjukkan jumlah uang yang beredar dan pengangguran mengalami penurunan, SBI dan inflasi mengalami peningkatan dan nilai tukar mengalami apresiasi. Secara umum respon jumlah uang yang beredar dan inflasi mengalami peningkatan, sedangkan respon nilai tukar cenderung mengalami depresiasi dan respon pengangguran mengalami penurunan. Setelah terjadi guncangan SBI, variabel yang lebih cepat menunjukkan respon permanen adalah variabel SBI itu sendiri, nilai tukar, pengangguran, inflasi dan yang membutuhkan waktu paling lama adalah jumlah uang yang beredar. Cukup lamanya respon variabel tersebut menuju ke arah kestabilan (mulai periode 29-44 atau 7-11 tahun setelah guncangan) menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia rentan terhadap perubahan, dan kebijakan moneter yang diterapkan kurang mampu untuk menstabilkan perekonomian. 2 Hasil FEVD terhadap inflasi menunjukkan bahwa faktor yang paling berpengaruh pada awal periode adalah inovasi inflasi itu sendiri, dalam jangka panjang faktor yang paling berpengaruh adalah kebijakan moneter. Sedangkan hasil FEVD pengangguran menunjukkan bahwa dari awal hingga akhir periode peramalan, faktor yang paling berpengaruh terhadap 69 variabel pengangguran adalah inovasi dalam pengangguran itu sendiri. Pengaruh kebijakan moneter yang besar terjadi pada periode ke-60 atau 15 tahun setelah terjadi guncangan, hal ini menunjukkan bahwa kebijakan moneter kurang mampu mengendalikan laju inflasi dan tingkat pengangguran dalam jangka pendek. 6.2. Saran 1. Hasil impulse response menunjukkan bahwa respon variabel-variabel makroekonomi untuk menjadi permanen membutuhkan waktu yang cukup lama, ini berarti kebijakan moneter kurang mampu untuk mempengaruhi perekonomian, karena itu bank sentral diharapkan mampu merumuskan kebijakan yang lebih efektif dalam mentransmisikan sektor moneter ke sektor riil. 2. Bank sentral diharapkan tidak hanya terfokus pada pentargetan inflasi saja namun perlu juga memperhatikan variabel makroekonomi lainnya, termasuk perubahan kondisi internal dan eksternal, sehingga diharapkan kebijakan yang diambil cepat menyesuaikan diri dengan keadaan perekonomian yang terjadi. Dan dalam menetapkan kebijakan moneter, bank sentral diharapkan menerapkan kebijakan yang disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan tenaga kerja yang terjadi. DAFTAR PUSTAKA Amisano, Gianni dan Carlo Giannini. 1996. Topics in Structural VAR Econometrics Second, Revised and Enlarged Edition. Springer, Germany. Arsana, I Gede Putra. 2004. Vector Auto Regressive. Laboratorium Komputasi Ilmu Ekonomi FEUI, Jakarta. Bank Indonesia. Statisik Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Berbagai Edisi. Bank Indonesia, Jakarta. Badan Pusat Statistik. Laporan Badan Pusat Statistik. Berbagai Edisi. BPS, Jakarta. Djivre, Joseph dan Sigal Ribon. 2003. “Inflation, Unemployment, The Exchange Rate, and Monetary Policy in Israel, 1990-99: A SVAR Approach”. Israel Economic Review, 2: 71-99. Eviews. 2002. Quantitative Micro Software-All rights reserved-Help system. http://www.eviews.com. Enders, Walter. 2004. Applied Econometric Time Series. John Wiley & Sons, Inc, United States of America. Gujarati, Damodar. 2003. Basic Economsetrics fourth edition. McGraw Hill. Singapure. Harris, Richard. 1995. Using Cointegration Analysis in Econometric Modelling. Prentice Hall/ Harvester Wheatshcaf. British. Hossain, Akhtar dan Anis Chowdhury. 1998. Open-Economy Macroeconomics for Developing Countries. Edward Elgar Publishing Limited, United States of America. International Monetary Fund (IMF). International Financial Statistic (IFS). http: www.imf.org [23 Februari 2006]. Limongan, Andreas. 2001. Masalah Pengangguran di Indonesia. http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2001/07/21/0018.html. [ 26 April 2006]. Lipsey, Richard, Paul Courant, Doughlas Purvis, dan Peter Steinar. 1997. Pengantar Makroekonomi. Agus Maulana [penerjemah]. Binarupa Aksara, Jakarta. 71 Mankiw, Gregory. 2000. Teori Makroekonomi. Imam Nurmawan [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Mishkin, Frederic. 2001. The Economics of Money, Banking and Financial Markets. Columbia University, America. Nopirin. 2000. Ekonomi Moneter. Edisi ke-4. BPFE, Yogyakarta. Salim, Fahruddin. 2001. Prioritas Agenda Kabinet Mega-Hamzah. http://www.suaramerdeka.com/harian/0108/01/kha1.htm. [ 26 April 2006]. Siregar, Hermanto dan Bert Ward. 2005. “Can Monetary Policy/Shocks Stabilize Indonesian Macroecnomics Fluctuations?”. InterCAFE. Working Paper Series, No : IWP/007/2005, hal 1-26. Siregar, Hermanto, Iman Sugema, Noer Azam Achsani, Yati Nuryati, Dwi Berta Susila, Mohamad Iqbal Irfany. 2006. Paradoks Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran: Identifikasi, Implikasi dan Solusi. Internacional Center for Applied Finance and Economics (InterCAFE), Institut Pertanian Bogor, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia, Bogor. Sitorus, Tarmiden. 2006. Kinerja Ekonomi Moneter 2005 dan Prospek Tahun 2006. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia, Jakarta. Sugema, Iman, Hermanto Siregar, Rina Oktaviani, Noer Azam Achsani, Heti Mulyati, Yati Nuryati, Agit Kriswantriono, Mohamad Iqbal Irfany. 2006. Monetary and Banking Outlook: Beyond Stabilization and Consolidatin. International Center for Applied Finance and Economics (InterCAFE), Institut Pertanian Bogor, Bogor. Thomas, Leighton. Modern Econometrics an Introduction. 1997. Addison Wesley Longman, England. Warjiyo, Perry. 2004. Bank Indonesia Bank Sentral Republik Indonesia Sebuah Pengantar. Pusat Studi dan Kebanksentralan BI, Jakarta. Zivot, Eric. 2000. Notes on Structural VAR Modeling. Copyright Eric Zivot. LAMPIRAN 73 Lampiran 1. Hasil Pengujian Akar Unit pada Level Hasil Pengujian Akar Unit SBI pada Level Null Hypothesis: SBI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -2.847964 -3.546099 -2.911730 -2.593551 0.0578 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(SBI) Method: Least Squares Date: 06/14/06 Time: 20:27 Sample(adjusted): 1991:2 2005:4 Included observations: 59 after adjusting endpoints Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. SBI(-1) D(SBI(-1)) D(SBI(-2)) D(SBI(-3)) D(SBI(-4)) C -0.285401 0.268567 0.160028 0.208275 -0.186962 4.148248 0.100212 0.124591 0.129825 0.130515 0.133660 1.615894 -2.847964 2.155584 1.232637 1.595798 -1.398781 2.567154 0.0062 0.0357 0.2232 0.1165 0.1677 0.0131 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.270616 0.201806 4.041030 865.4861 -162.9471 2.005982 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) -0.201695 4.523117 5.727021 5.938296 3.932806 0.004170 Hasil Pengujian Akar Unit LOG_M pada Level Null Hypothesis: LOG_M has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 3 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. t-Statistic Prob.* -0.427825 -3.544063 -2.910860 -2.593090 0.8971 74 Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LOG_M) Method: Least Squares Date: 06/14/06 Time: 20:25 Sample(adjusted): 1991:1 2005:4 Included observations: 60 after adjusting endpoints Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LOG_M(-1) D(LOG_M(-1)) D(LOG_M(-2)) D(LOG_M(-3)) C -0.003814 -0.199681 -0.076563 -0.315317 0.108492 0.008915 0.127650 0.129266 0.127068 0.101247 -0.427825 -1.564290 -0.592287 -2.481492 1.071561 0.6704 0.1235 0.5561 0.0162 0.2886 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.137677 0.074962 0.054003 0.160396 92.59734 1.892687 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) 0.041185 0.056148 -2.919911 -2.745383 2.195295 0.081454 Hasil Pengujian Akar Unit LOG_CPI pada Level Null Hypothesis: LOG_CPI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 3 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* 0.116255 -3.544063 -2.910860 -2.593090 0.9645 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LOG_CPI) Method: Least Squares Date: 06/14/06 Time: 20:23 Sample(adjusted): 1991:1 2005:4 Included observations: 60 after adjusting endpoints Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LOG_CPI(-1) D(LOG_CPI(-1)) D(LOG_CPI(-2)) D(LOG_CPI(-3)) C 0.000774 0.685584 0.150310 -0.363404 0.012715 0.006654 0.134138 0.164775 0.134261 0.028290 0.116255 5.111035 0.912215 -2.706701 0.449443 0.9079 0.0000 0.3656 0.0090 0.6549 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid 0.474781 0.436583 0.028683 0.045251 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion 0.028966 0.038213 -4.185339 -4.010810 75 Log likelihood Durbin-Watson stat 130.5602 1.804089 F-statistic Prob(F-statistic) 12.42954 0.000000 Hasil Pengujian Akar Unit LOG_KURS pada Level Null Hypothesis: LOG_KURS has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -1.158646 -3.540198 -2.909206 -2.592215 0.6869 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LOG_KURS) Method: Least Squares Date: 06/14/06 Time: 20:24 Sample(adjusted): 1990:3 2005:4 Included observations: 62 after adjusting endpoints Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LOG_KURS(-1) D(LOG_KURS(-1)) C -0.028830 0.285932 -0.261483 0.024882 0.124693 0.209753 -1.158646 2.293089 -1.246627 0.2513 0.0254 0.2175 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.094485 0.063789 0.141443 1.180366 34.82641 2.009446 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) -0.026992 0.146183 -1.026659 -0.923733 3.078137 0.053509 Hasil Pengujian Akar Unit LOG_U pada Level Null Hypothesis: LOG_U has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 3 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LOG_U) t-Statistic Prob.* -0.692761 -3.544063 -2.910860 -2.593090 0.8404 76 Method: Least Squares Date: 06/14/06 Time: 20:26 Sample(adjusted): 1991:1 2005:4 Included observations: 60 after adjusting endpoints Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LOG_U(-1) D(LOG_U(-1)) D(LOG_U(-2)) D(LOG_U(-3)) C -0.003811 1.774270 -1.322096 0.321756 0.064903 0.005500 0.127217 0.203396 0.127624 0.084097 -0.692761 13.94677 -6.500100 2.521136 0.771760 0.4914 0.0000 0.0000 0.0146 0.4436 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.916901 0.910857 0.023496 0.030365 142.5284 1.941228 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) 0.028598 0.078697 -4.584281 -4.409752 151.7149 0.000000 77 Lampiran 2. Hasil Pengujian Akar Unit pada First Difference Hasil Pengujian Akar Unit SBI pada First Difference Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -5.280405 -3.548208 -2.912631 -2.594027 0.0000 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(SBI,2) Method: Least Squares Date: 06/14/06 Time: 20:28 Sample(adjusted): 1991:3 2005:4 Included observations: 58 after adjusting endpoints Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(SBI(-1)) D(SBI(-1),2) D(SBI(-2),2) D(SBI(-3),2) D(SBI(-4),2) C -1.388198 0.466598 0.505419 0.567397 0.250995 -0.166138 0.262896 0.214780 0.193857 0.165386 0.131615 0.553460 -5.280405 2.172443 2.607181 3.430750 1.907030 -0.300181 0.0000 0.0344 0.0119 0.0012 0.0620 0.7652 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.524067 0.478305 4.197135 916.0288 -162.3270 1.960366 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) 0.143103 5.810914 5.804378 6.017528 11.45184 0.000000 Hasil Pengujian Akar Unit LOG_M pada First Difference Null Hypothesis: D(LOG_M) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 2 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation t-Statistic Prob.* -6.454295 -3.544063 -2.910860 -2.593090 0.0000 78 Dependent Variable: D(LOG_M,2) Method: Least Squares Date: 06/14/06 Time: 20:25 Sample(adjusted): 1991:1 2005:4 Included observations: 60 after adjusting endpoints Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(LOG_M(-1)) D(LOG_M(-1),2) D(LOG_M(-2),2) C -1.596466 0.395617 0.316790 0.065499 0.247349 0.196060 0.126091 0.012242 -6.454295 2.017838 2.512395 5.350268 0.0000 0.0484 0.0149 0.0000 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.637040 0.617595 0.053607 0.160930 92.49767 1.891137 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) -0.000119 0.086689 -2.949922 -2.810299 32.76227 0.000000 Hasil Pengujian Akar Unit LOG_CPI pada First Difference Null Hypothesis: D(LOG_CPI) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 2 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -4.365808 -3.544063 -2.910860 -2.593090 0.0009 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LOG_CPI,2) Method: Least Squares Date: 06/14/06 Time: 20:24 Sample(adjusted): 1991:1 2005:4 Included observations: 60 after adjusting endpoints Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(LOG_CPI(-1)) D(LOG_CPI(-1),2) D(LOG_CPI(-2),2) C -0.526363 0.211679 0.362207 0.015951 0.120565 0.137271 0.132681 0.004977 -4.365808 1.542055 2.729903 3.205283 0.0001 0.1287 0.0085 0.0022 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.268251 0.229050 0.028430 0.045262 130.5528 1.802176 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) 0.001299 0.032379 -4.218426 -4.078803 6.842977 0.000522 79 Lampiran 2. Lanjutan Hasil Pengujian Akar Unit LOG_KURS pada First Difference Null Hypothesis: D(LOG_KURS) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level t-Statistic Prob.* -5.844543 -3.540198 -2.909206 -2.592215 0.0000 *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LOG_KURS,2) Method: Least Squares Date: 06/14/06 Time: 20:24 Sample(adjusted): 1990:3 2005:4 Included observations: 62 after adjusting endpoints Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(LOG_KURS(-1)) C -0.727626 -0.019380 0.124497 0.018347 -5.844543 -1.056299 0.0000 0.2951 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.362778 0.352157 0.141846 1.207224 34.12896 1.994671 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) 0.000954 0.176231 -1.036418 -0.967801 34.15868 0.000000 Hasil Pengujian Akar Unit LOG_U pada First Difference Null Hypothesis: D(LOG_U) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 2 (Automatic based on AIC, MAXLAG=10) Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values. Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LOG_U,2) Method: Least Squares t-Statistic Prob.* -3.978405 -3.544063 -2.910860 -2.593090 0.0029 80 Date: 06/14/06 Time: 20:26 Sample(adjusted): 1991:1 2005:4 Included observations: 60 after adjusting endpoints Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. D(LOG_U(-1)) D(LOG_U(-1),2) D(LOG_U(-2),2) C -0.233895 1.007544 -0.312103 0.006692 0.058791 0.093044 0.126270 0.003427 -3.978405 10.82871 -2.471712 1.952571 0.0002 0.0000 0.0165 0.0559 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat 0.772820 0.760650 0.023387 0.030629 142.2678 1.932776 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic) 0.000480 0.047803 -4.608926 -4.469303 63.50026 0.000000 81 Lampiran 3. Hasil Pengujian Lag Optimal Hasil Pengujian Lag 4 VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: DSBI DLOG_M DLOG_CPI DLOG_KURS DLOG_U Exogenous variables: C DUMMY Date: 06/14/06 Time: 21:55 Sample: 1990:1 2005:4 Included observations: 59 Lag LogL LR FPE AIC SC HQ 0 1 2 3 4 161.8632 279.8912 338.1446 391.1866 450.1243 NA 208.0494 92.81036 75.51753 73.92184* 4.00E-09 1.72E-10 5.69E-11 2.33E-11 8.17E-12* -5.147905 -8.301398 -9.428629 -10.37921 -11.52964* -4.795780 -7.068961 -7.315879 -7.386145 -7.656263* -5.010450 -7.820304 -8.603897 -9.210837 -10.01763* * indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion Hasil Pengujian Lag 5 VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: DSBI DLOG_M DLOG_CPI DLOG_KURS DLOG_U Exogenous variables: C DUMMY Date: 08/24/06 Time: 13:56 Sample: 1990:1 2005:4 Included observations: 58 Lag LogL LR FPE AIC SC HQ 0 1 2 3 4 5 157.4898 273.4512 332.3489 389.0864 446.3347 478.9240 NA 203.9321 93.42406 80.21503 71.06689* 34.83678 4.26E-09 1.86E-10 5.92E-11 2.10E-11 7.72E-12 7.17E-12* -5.085855 -8.222454 -9.391342 -10.48574 -11.59775 -11.85945* -4.730606 -6.979083 -7.259850 -7.466123 -7.690012* -7.063588 -4.947478 -7.738136 -8.561083 -9.309537 -10.07561* -9.991363 * indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion 82 Lampiran 4. Hasil Pengujian Stabilitas VAR Pengujian Stabilitas VAR pada Lag 4 yang Stabil Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: DSBI DLOG_M DLOG_CPI DLOG_KURS DLOG_U Exogenous variables: C DUMMY Lag specification: 1 4 Date: 06/14/06 Time: 21:55 Root -0.938772 -0.102055 + 0.914347i -0.102055 - 0.914347i 0.758071 - 0.471558i 0.758071 + 0.471558i 0.355192 - 0.791213i 0.355192 + 0.791213i 0.657117 - 0.554737i 0.657117 + 0.554737i -0.547736 + 0.647958i -0.547736 - 0.647958i 0.794851 + 0.156972i 0.794851 - 0.156972i -0.708502 - 0.254758i -0.708502 + 0.254758i -0.234848 - 0.670491i -0.234848 + 0.670491i 0.337159 + 0.203722i 0.337159 - 0.203722i -0.248041 No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition. Modulus 0.938772 0.920025 0.920025 0.892770 0.892770 0.867283 0.867283 0.859963 0.859963 0.848449 0.848449 0.810203 0.810203 0.752912 0.752912 0.710430 0.710430 0.393928 0.393928 0.248041 83 Lampiran 4. Lanjutan Pengujian Stabilitas VAR pada Lag Maksimum (Lag 8) yang Tidak Stabil Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: DSBI DLOG_M DLOG_CPI DLOG_KURS DLOG_U Exogenous variables: C DUMMY Lag specification: 1 8 Date: 08/24/06 Time: 13:50 Root -0.030930 - 1.009991i -0.030930 + 1.009991i 0.897000 - 0.434174i 0.897000 + 0.434174i -0.982982 - 0.045697i -0.982982 + 0.045697i 0.784458 + 0.591843i 0.784458 - 0.591843i -0.839398 + 0.490635i -0.839398 - 0.490635i -0.473420 + 0.849034i -0.473420 - 0.849034i 0.429115 + 0.863042i 0.429115 - 0.863042i 0.924642 + 0.260378i 0.924642 - 0.260378i -0.913648 + 0.267143i -0.913648 - 0.267143i 0.591970 + 0.739716i 0.591970 - 0.739716i 0.935319 -0.253726 - 0.876300i -0.253726 + 0.876300i 0.477189 + 0.775677i 0.477189 - 0.775677i 0.230302 + 0.876891i 0.230302 - 0.876891i -0.589191 + 0.674412i -0.589191 - 0.674412i 0.663070 - 0.600561i 0.663070 + 0.600561i -0.105393 - 0.882043i -0.105393 + 0.882043i -0.582848 - 0.531564i -0.582848 + 0.531564i -0.428272 + 0.462572i -0.428272 - 0.462572i 0.565294 0.266604 + 0.473732i 0.266604 - 0.473732i Warning: At least one root outside the unit circle. VAR does not satisfy the stability condition. Modulus 1.010465 1.010465 0.996552 0.996552 0.984044 0.984044 0.982676 0.982676 0.972271 0.972271 0.972104 0.972104 0.963836 0.963836 0.960604 0.960604 0.951903 0.951903 0.947422 0.947422 0.935319 0.912293 0.912293 0.910706 0.910706 0.906629 0.906629 0.895532 0.895532 0.894615 0.894615 0.888317 0.888317 0.788842 0.788842 0.630389 0.630389 0.565294 0.543599 0.543599 84 Lampiran 5. Hasil Estimasi Structural VAR Structural VAR Estimates Date: 07/17/06 Time: 09:45 Sample(adjusted): 1991:2 2005:4 Included observations: 59 after adjusting endpoints Estimation method: method of scoring (analytic derivatives) Convergence achieved after 18 iterations Structural VAR is just-identified Model: Ae = Bu where E[uu']=I Restriction Type: short-run text form @e1 = C(1)*@u1 @e2 = C(2)*@e1 + C(3)*@u2 @e3 = C(4)*@e1 + C(5)*@e2 + C(6)*@u3 @e4 = C(7)*@e1 + C(8)*@e2 + C(9)*@e3 + C(10)*@u4 @e5 = C(11)*@e1 + C(12)*@e2 + C(13)*@e3 + C(14)*@e4 + C(15)*@u5 where @e1 represents DSBI residuals @e2 represents DLOG_M residuals @e3 represents DLOG_CPI residuals @e4 represents DLOG_KURS residuals @e5 represents DLOG_U residuals Coefficient Std. Error z-Statistic Prob. C(2) C(4) C(5) C(7) C(8) C(9) C(11) C(12) C(13) C(14) C(1) C(3) C(6) C(10) C(15) -0.005927 0.001977 0.134404 -0.003174 -0.292087 -0.403056 -0.005728 0.039433 0.290574 0.008819 1.892364 0.037643 0.017724 0.064925 0.015792 0.002590 0.001272 0.061300 0.004755 0.233511 0.476885 0.001161 0.057545 0.116692 0.031666 0.174206 0.003465 0.001632 0.005977 0.001454 -2.288778 1.553835 2.192572 -0.667558 -1.250848 -0.845186 -4.934252 0.685261 2.490095 0.278490 10.86278 10.86278 10.86278 10.86278 10.86278 0.0221 0.1202 0.0283 0.5044 0.2110 0.3980 0.0000 0.4932 0.0128 0.7806 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 0.0000 Log likelihood 381.2979 0.000000 0.000000 1.000000 0.403056 -0.290574 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 -0.008819 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 Estimated A matrix: 1.000000 0.005927 -0.001977 0.003174 0.005728 Estimated B matrix: 0.000000 1.000000 -0.134404 0.292087 -0.039433 85 1.892364 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 ` 0.000000 0.037643 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.017724 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.064925 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.015792 86 Lampiran 6. Hasil Pengujian Johansen dengan Asumsi “Summary” Date: 06/14/06 Time: 21:18 Sample: 1990:1 2005:4 Included observations: 59 Series: SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U Exogenous series: DUMMY Warning: Rank Test critical values derived assuming no exogenous series Lags interval: 1 to 4 Data Trend: None None Linear Linear Quadratic Rank or No. of CEs No Intercept No Trend Intercept No Trend Intercept No Trend Intercept Trend Intercept Trend 3 4 3 3 3 2 2 2 436.8195 475.6811 495.0863 507.2553 515.8180 516.0309 450.1243 486.5291 500.4080 511.3587 515.8186 516.0309 450.1243 487.6567 507.9307 520.5856 528.8054 530.1352 462.2439 492.7899 513.0596 524.0846 529.3542 530.1352 -11.41761 -12.36207 -12.64699 -12.68662 -12.60400 -12.23833 -11.69913 -12.59421 -12.72570 -12.75792 -12.57012 -12.23833 -11.69913 -12.59853 -12.91291 -12.96900 -12.87476 -12.54696 -11.94047 -12.63694 -12.98507 -13.01982* -12.85947 -12.54696 -7.896359 -8.453482 -8.351068 -8.003358 -7.533401 -6.780397 -8.001817 -8.544770* -8.324134 -8.004233 -7.464309 -6.780397 -8.001817 -8.513881 -8.440918 -8.109680 -7.628097 -6.912956 -8.067098 -8.411444 -8.407445 -8.090066 -7.577591 -6.912956 Selected (5% level) Number of Cointegrating Relations by Model (columns) Trace Max-Eig 3 3 Log Likelihood by Rank (rows) and Model (columns) 0 1 2 3 4 5 436.8195 474.2088 493.2066 503.9341 507.9540 507.9807 Akaike Information Criteria by Rank (rows) and Model (columns) 0 1 2 3 4 5 -11.41761 -12.34606 -12.65107 -12.67573 -12.47302 -12.13494 Schwarz Criteria by Rank (rows) and Model (columns) 0 1 2 3 4 5 -7.896359 -8.472685 -8.425572 -8.098108 -7.543265 -6.853062 87 Lampiran 7. Hasil Pengujian Johansen dengan “Asumsi 5” (allwow for quadratic deterministic trend in data: Intercept and trend in CElinier tend in VAR) Date: 06/14/06 Time: 21:19 Sample(adjusted): 1991:2 2005:4 Included observations: 59 after adjusting endpoints Trend assumption: Quadratic deterministic trend Series: SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U Exogenous series: DUMMY Warning: Critical values assume no exogenous series Lags interval (in first differences): 1 to 4 Unrestricted Cointegration Rank Test Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Trace Statistic None ** At most 1 ** At most 2 At most 3 At most 4 0.644935 0.496972 0.311836 0.163587 0.026126 135.7825 74.69065 34.15123 12.10125 1.561902 5 Percent 1 Percent Critical Value Critical Value 77.74 54.64 34.55 18.17 3.74 85.78 61.24 40.49 23.46 6.40 *(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Trace test indicates 2 cointegrating equation(s) at both 5% and 1% levels Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Max-Eigen Statistic None ** At most 1 ** At most 2 At most 3 At most 4 0.644935 0.496972 0.311836 0.163587 0.026126 61.09182 40.53942 22.04998 10.53935 1.561902 5 Percent 1 Percent Critical Value Critical Value 36.41 30.33 23.78 16.87 3.74 41.58 35.68 28.83 21.47 6.40 *(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Max-eigenvalue test indicates 2 cointegrating equation(s) at both 5% and 1% levels Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I): SBI -0.412980 -1.163923 0.119487 0.249040 -0.134279 LOG_M 9.164098 60.74809 54.40541 -20.45540 -72.44637 LOG_CPI 10.08165 3.825452 9.949059 53.96330 -58.60095 LOG_KURS -5.744332 8.587690 16.20456 18.00268 -36.97661 LOG_U 5.148791 6.817462 -7.220804 3.940220 37.41272 0.077530 -0.005642 Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha): D(SBI) -0.129021 0.572803 0.196301 88 D(LOG_M) D(LOG_CPI) D(LOG_KUR S) D(LOG_U) 0.000773 -0.004920 0.035045 0.004237 -0.004313 -0.007670 0.001602 -0.001997 -0.011175 -0.009733 -0.003970 0.002856 -0.002748 0.000874 0.001388 -0.001894 -0.000760 -0.006913 -0.001410 -0.001258 1 Cointegrating Equation(s): Log likelihood 492.7899 Normalized cointegrating coefficients (std.err. in parentheses) SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U 1.000000 -22.19018 -24.41196 13.90947 -12.46741 (30.6933) (24.7316) (13.9577) (11.5375) Adjustment coefficients (std.err. in parentheses) D(SBI) 0.053283 (0.10418) D(LOG_M) -0.000319 (0.00214) D(LOG_CPI) 0.002032 (0.00097) D(LOG_KURS) -0.014473 (0.00257) D(LOG_U) 0.000782 (0.00107) 2 Cointegrating Equation(s): Log likelihood 513.0596 Normalized cointegrating coefficients (std.err. in parentheses) SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U 1.000000 0.000000 -40.03652 29.65417 -17.35634 (36.1075) (13.2928) (9.46456) 0.000000 1.000000 -0.704120 0.709534 -0.220319 (0.75214) (0.27690) (0.19715) Adjustment coefficients (std.err. in parentheses) D(SBI) -0.613416 33.61435 (0.28697) (14.2751) D(LOG_M) -0.005251 0.264462 (0.00634) (0.31520) D(LOG_CPI) 0.007052 -0.307085 (0.00277) (0.13760) D(LOG_KURS) -0.005545 -0.144808 (0.00752) (0.37397) D(LOG_U) 0.001667 -0.063513 (0.00320) (0.15927) 3 Cointegrating Equation(s): Log likelihood 524.0846 Normalized cointegrating coefficients (std.err. in parentheses) SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U 1.000000 0.000000 0.000000 10.07310 -12.19363 (1.99576) (3.77695) 0.000000 1.000000 0.000000 0.365163 -0.129523 (0.03597) (0.06808) 0.000000 0.000000 1.000000 -0.489080 0.128950 (0.12042) (0.22789) 89 Adjustment coefficients (std.err. in parentheses) D(SBI) -0.604152 37.83240 1.661839 (0.28784) (19.0367) (3.40351) D(LOG_M) -0.005059 0.351642 0.039946 (0.00636) (0.42043) (0.07517) D(LOG_CPI) 0.006813 -0.415734 -0.085972 (0.00275) (0.18163) (0.03247) D(LOG_KURS) -0.006880 -0.752806 0.212782 (0.00717) (0.47412) (0.08477) D(LOG_U) 0.000841 -0.439603 -0.090777 (0.00286) (0.18919) (0.03383) 4 Cointegrating Equation(s): Log likelihood 529.3542 Normalized cointegrating coefficients (std.err. in parentheses) SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 -11.65665 (5.16613) 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 -0.110057 (0.10988) 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.102878 (0.11857) 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 -0.053308 (0.28952) Adjustment coefficients (std.err. in parentheses) D(SBI) -0.605557 37.94781 1.357397 (0.29357) (19.6191) (12.9726) D(LOG_M) -0.007483 0.550741 -0.485296 (0.00613) (0.40965) (0.27087) D(LOG_CPI) 0.005824 -0.334517 -0.300232 (0.00267) (0.17811) (0.11777) D(LOG_KURS) -0.006169 -0.811224 0.366897 (0.00729) (0.48687) (0.32193) D(LOG_U) 0.000489 -0.410759 -0.166868 (0.00290) (0.19391) (0.12822) 6.814970 (6.10865) -0.117317 (0.12755) -0.112613 (0.05546) -0.396857 (0.15159) -0.133047 (0.06038) 90 Lampiran 8. Impulse Response Function (IRF) Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 SBI 1.784785 0.070108 -0.310049 -0.428339 -1.312724 -1.175425 -1.038859 -1.149462 -0.898966 -0.870230 -0.829872 -0.520332 -0.539705 -0.488485 -0.399469 -0.440680 -0.478375 -0.541891 -0.615573 -0.625370 -0.669081 -0.650983 -0.569727 -0.523436 -0.507425 -0.483825 -0.485303 -0.506622 -0.546155 -0.557357 -0.548929 -0.547851 -0.546334 -0.524045 -0.514180 -0.522344 -0.533226 -0.530461 -0.530587 -0.535856 -0.534380 -0.521713 -0.519588 -0.525830 -0.528567 -0.526424 -0.531226 -0.535994 -0.532698 -0.525307 LOG_M -0.017030 -0.023762 -0.023429 -0.011488 -0.013846 -0.007827 -0.008188 -0.000605 -0.003743 -0.005152 0.000770 0.002155 0.000243 0.001161 0.004398 0.004677 0.001914 0.001698 0.004154 0.004015 0.002698 0.004659 0.006729 0.005996 0.004695 0.005559 0.006191 0.004923 0.004252 0.005684 0.006381 0.005562 0.005461 0.006440 0.006326 0.005331 0.005364 0.006198 0.006061 0.005523 0.005898 0.006475 0.006068 0.005576 0.005891 0.006208 0.005832 0.005661 0.006098 0.006286 LOG_CPI 0.003944 0.005505 -0.000261 -0.000798 -0.000967 -0.001747 -0.001640 -0.002264 -0.000487 0.000671 0.000799 0.002694 0.004975 0.005430 0.005873 0.006820 0.007567 0.007160 0.006559 0.006849 0.007170 0.006804 0.007006 0.007820 0.008241 0.008076 0.008196 0.008548 0.008471 0.008074 0.008164 0.008464 0.008413 0.008258 0.008471 0.008662 0.008513 0.008363 0.008529 0.008630 0.008500 0.008466 0.008645 0.008676 0.008534 0.008510 0.008624 0.008601 0.008500 0.008543 LOG_KURS 0.000602 0.035765 0.023997 0.019163 0.023287 -0.006128 0.010695 -0.000297 -0.010853 -0.009730 -0.016991 -0.021609 -0.024758 -0.028289 -0.026888 -0.026834 -0.028413 -0.024353 -0.023746 -0.026635 -0.028485 -0.029843 -0.031259 -0.033038 -0.033492 -0.031717 -0.031112 -0.031764 -0.031411 -0.031035 -0.032059 -0.033170 -0.033097 -0.032515 -0.032739 -0.032953 -0.032389 -0.032160 -0.032861 -0.033269 -0.033002 -0.032922 -0.033233 -0.033108 -0.032618 -0.032603 -0.032999 -0.033038 -0.032889 -0.033077 LOG_U -0.011110 -0.031814 -0.056569 -0.078684 -0.090077 -0.093851 -0.093269 -0.091200 -0.092143 -0.095960 -0.101677 -0.107243 -0.109978 -0.109462 -0.106297 -0.101913 -0.098872 -0.098667 -0.101042 -0.104817 -0.108306 -0.110265 -0.110120 -0.108221 -0.105814 -0.104085 -0.103567 -0.104306 -0.105848 -0.107387 -0.108189 -0.108042 -0.107253 -0.106297 -0.105589 -0.105452 -0.105907 -0.106628 -0.107208 -0.107437 -0.107286 -0.106854 -0.106359 -0.106073 -0.106110 -0.106379 -0.106719 -0.106997 -0.107098 -0.106978 91 51 -0.525264 0.005912 0.008656 -0.033314 52 -0.526607 0.005816 0.008625 -0.033114 53 -0.524571 0.006114 0.008554 -0.032848 54 -0.523651 0.006102 0.008597 -0.032929 55 -0.528836 0.005783 0.008650 -0.033054 56 -0.531838 0.005835 0.008586 -0.032923 57 -0.529756 0.006127 0.008538 -0.032879 58 -0.527675 0.006084 0.008593 -0.033090 59 -0.529051 0.005867 0.008633 -0.033192 60 -0.528129 0.005968 0.008585 -0.033038 Cholesky Ordering: SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U -0.106727 -0.106501 -0.106391 -0.106410 -0.106540 -0.106720 -0.106852 -0.106872 -0.106800 -0.106691 92 Lampiran 9. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) Hasil Pengujian FEVD terhadap Inflasi Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 S.E. 1.784785 2.461517 3.064447 3.581595 4.212851 4.509581 4.723253 5.216345 5.649402 5.916055 6.182096 6.331099 6.470413 6.582723 6.666048 6.739550 6.816068 6.883612 6.983460 7.095279 7.219414 7.338919 7.456104 7.562666 7.659282 7.739183 7.820395 7.899411 7.980791 8.063395 8.153242 8.241873 8.329057 8.411780 8.495423 8.575501 8.654064 8.731840 8.812127 8.890417 8.967839 9.044026 9.120578 9.194678 9.268181 9.341707 9.416189 SBI 5.255915 7.027959 4.243829 2.910924 2.312209 2.127628 2.146911 2.283673 2.170362 2.071591 2.014263 2.169476 2.828523 3.576727 4.465359 5.641034 7.002041 8.161565 9.084608 10.00927 10.93042 11.70112 12.49249 13.44582 14.45917 15.42209 16.38394 17.37103 18.28036 19.06980 19.82746 20.58898 21.30263 21.97365 22.64804 23.31783 23.93933 24.52128 25.09345 25.64963 26.17176 26.67652 27.17844 27.66344 28.11867 28.55574 28.98066 LOG_M 18.64711 24.39368 17.88361 12.09918 10.04451 8.734805 8.442851 9.180961 11.15258 13.88814 15.32127 16.46709 17.33970 18.27429 18.34224 18.25044 18.16679 18.24043 18.15338 18.18633 18.34340 18.60438 18.64549 18.74719 18.85912 18.91347 18.79617 18.73776 18.70851 18.67664 18.58323 18.56996 18.57369 18.55016 18.47989 18.46650 18.44762 18.40436 18.34432 18.33141 18.30832 18.26582 18.21833 18.20268 18.17276 18.13160 18.09646 LOG_CPI 76.09698 52.99521 39.22601 27.73241 22.67846 20.36194 20.08129 20.41711 21.81112 22.00576 22.76713 23.69452 24.85325 25.26914 25.72656 25.98997 26.27805 26.19935 26.29178 26.40856 26.54663 26.53104 26.66304 26.74136 26.77038 26.67498 26.66111 26.62118 26.56792 26.48828 26.49062 26.46084 26.40899 26.33430 26.30339 26.24218 26.17527 26.11367 26.09159 26.04568 25.99606 25.94896 25.91873 25.86466 25.81200 25.76853 25.73930 LOG_KURS 0.000000 0.019378 0.344800 0.241670 0.427801 2.974684 4.308498 4.892699 5.019601 5.336382 5.342857 5.274973 5.103252 5.053258 4.933142 4.822538 4.732803 4.748663 4.691988 4.647713 4.620074 4.622191 4.530985 4.426086 4.323782 4.241295 4.141530 4.057867 3.996564 3.947362 3.877163 3.818492 3.763753 3.705308 3.634548 3.576487 3.525642 3.475322 3.420590 3.377577 3.335377 3.289737 3.241519 3.202222 3.163497 3.123795 3.085153 LOG_U 0.000000 15.56378 38.30175 57.01582 64.53702 65.80094 65.02045 63.22555 59.84634 56.69813 54.55447 52.39393 49.87527 47.82658 46.53270 45.29601 43.82031 42.64999 41.77824 40.74812 39.55947 38.54127 37.66800 36.63955 35.58755 34.74816 34.01725 33.21218 32.44664 31.81792 31.22153 30.56172 29.95093 29.43658 28.93413 28.39701 27.91214 27.48537 27.05005 26.59570 26.18849 25.81897 25.44298 25.06700 24.73307 24.42033 24.09844 93 48 9.489245 29.38579 18.08442 25.69579 3.053618 49 9.562064 29.77071 18.05855 25.65769 3.020536 50 9.634448 30.14750 18.02611 25.62627 2.985774 51 9.706385 30.51828 18.00053 25.59868 2.952051 52 9.776403 30.87636 17.98650 25.55753 2.922644 53 9.845969 31.22087 17.95830 25.52114 2.891790 54 9.915315 31.55720 17.92769 25.49023 2.860933 55 9.984572 31.88297 17.90542 25.46151 2.832535 56 10.05291 32.19424 17.89015 25.42592 2.807427 57 10.12138 32.49348 17.86487 25.39729 2.780885 58 10.18970 32.78578 17.84120 25.37282 2.754524 59 10.25750 33.07000 17.82467 25.34752 2.729961 60 10.32419 33.34501 17.81005 25.31679 2.706861 Cholesky Ordering: SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U 23.78038 23.49252 23.21436 22.93046 22.65696 22.40790 22.16394 21.91756 21.68227 21.46347 21.24568 21.02785 20.82129 94 Lampiran 9. Lanjutan Hasil Pengujian FEVD terhadap Pengangguran Period 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 S.E. 1.784785 2.461517 3.064447 3.581595 4.212851 4.509581 4.723253 5.216345 5.649402 5.916055 6.182096 6.331099 6.470413 6.582723 6.666048 6.739550 6.816068 6.883612 6.983460 7.095279 7.219414 7.338919 7.456104 7.562666 7.659282 7.739183 7.820395 7.899411 7.980791 8.063395 8.153242 8.241873 8.329057 8.411780 8.495423 8.575501 8.654064 8.731840 8.812127 8.890417 8.967839 9.044026 9.120578 9.194678 9.268181 9.341707 9.416189 SBI 31.12669 28.82973 28.42975 28.53971 28.72947 29.46662 30.59291 31.85928 33.22289 34.56411 35.78838 36.74011 37.29575 37.51012 37.52862 37.47780 37.45853 37.51888 37.66228 37.85528 38.05425 38.22665 38.35556 38.43740 38.49085 38.53786 38.58987 38.64745 38.70889 38.76958 38.82281 38.86434 38.89819 38.93008 38.96283 38.99722 39.03390 39.07087 39.10434 39.13209 39.15527 39.17553 39.19427 39.21323 39.23394 39.25581 39.27719 LOG_M 2.747585 0.894260 0.243228 0.103195 0.085257 0.188684 0.448006 0.727780 0.932764 1.052042 1.118786 1.200324 1.323587 1.467370 1.589076 1.663227 1.688225 1.677917 1.648396 1.619483 1.606591 1.617856 1.651126 1.695578 1.734854 1.758156 1.764512 1.760584 1.753353 1.748515 1.749849 1.758271 1.770378 1.781688 1.789426 1.793278 1.794061 1.793695 1.794344 1.797256 1.801904 1.807111 1.811769 1.815122 1.816855 1.817555 1.818205 LOG_CPI 10.56803 4.717750 2.624437 2.394781 2.625266 2.890957 3.121857 3.145044 3.035943 2.881495 2.755712 2.731264 2.829805 2.987254 3.134665 3.216004 3.223926 3.179386 3.113635 3.053888 3.020394 3.019415 3.046460 3.082562 3.108284 3.114554 3.105086 3.087539 3.070258 3.059338 3.058296 3.064653 3.072796 3.077773 3.077946 3.073559 3.066872 3.060836 3.057898 3.058202 3.060492 3.063006 3.064352 3.063586 3.061067 3.057970 3.055520 LOG_KURS 7.995924 9.289693 9.898356 11.24323 12.36666 12.84437 12.71852 12.27451 11.81605 11.53891 11.48479 11.59613 11.72697 11.75232 11.64544 11.46189 11.26647 11.10826 11.01251 10.99092 11.02686 11.07804 11.10210 11.08429 11.03222 10.96556 10.90387 10.86221 10.84452 10.84424 10.84918 10.84911 10.83795 10.81648 10.79043 10.76700 10.75027 10.74092 10.73681 10.73429 10.72935 10.72028 10.70807 10.69514 10.68354 10.67472 10.66894 LOG_U 47.56177 56.26857 58.80423 57.71908 56.19335 54.60937 53.11871 51.99339 50.99235 49.96344 48.85233 47.73218 46.82389 46.28294 46.10220 46.18108 46.36285 46.51556 46.56318 46.48043 46.29190 46.05803 45.84475 45.70017 45.63379 45.62387 45.63666 45.64222 45.62298 45.57832 45.51986 45.46363 45.42068 45.39399 45.37936 45.36894 45.35490 45.33368 45.30661 45.27816 45.25298 45.23407 45.22154 45.21292 45.20459 45.19395 45.18015 95 48 9.489245 39.29700 1.819507 3.054221 10.66520 49 9.562064 39.31503 1.821574 3.054150 10.66163 50 9.634448 39.33099 1.824275 3.054906 10.65693 51 9.706385 39.34515 1.827221 3.055761 10.65077 52 9.776403 39.35858 1.829850 3.055942 10.64357 53 9.845969 39.37227 1.831745 3.055279 10.63608 54 9.915315 39.38622 1.832988 3.054043 10.62930 55 9.984572 39.40009 1.833903 3.052657 10.62386 56 10.05291 39.41372 1.834790 3.051459 10.61971 57 10.12138 39.42681 1.835858 3.050768 10.61622 58 10.18970 39.43888 1.837277 3.050627 10.61282 59 10.25750 39.44989 1.838982 3.050779 10.60906 60 10.32419 39.46031 1.840715 3.050858 10.60474 Cholesky Ordering: SBI LOG_M LOG_CPI LOG_KURS LOG_U 45.16408 45.14762 45.13290 45.12110 45.11206 45.10463 45.09745 45.08948 45.08033 45.07035 45.06040 45.05129 45.04337 96 Lampiran 10. Data-Data Penelitian Kuartal Q1 1990 Q2 1990 Q3 1990 Q4 1990 Q1 1991 Q2 1991 Q3 1991 Q4 1991 Q1 1992 Q2 1992 Q3 1992 Q4 1992 Q1 1993 Q2 1993 Q3 1993 Q4 1993 Q1 1994 Q2 1994 Q3 1994 Q4 1994 Q1 1995 Q2 1995 Q3 1995 Q4 1995 Q1 1996 Q2 1996 Q3 1996 Q4 1996 Q1 1997 Q2 1997 Q3 1997 Q4 1997 Q1 1998 Q2 1998 BI SBI BI M1 IMF CPI Persen Milyar Rp - 13.9 22155 27.6 17.4 23205 28.2 17.8 22982 29.3 19.9 23819 29.9 24.7 23570 30.2 19.9 24610 30.9 19.6 25805 32.0 19.6 26342 32.7 19 27318 33.2 16.5 26845 33.7 15.2 27626 34.0 13.8 28779 34.4 12.8 30592 36.2 10.5 31142 36.9 9.6 34802 37.4 9.3 36805 37.9 10.5 37908 39.1 11.6 39886 39.7 10.39 42195 40.7 10.85 45374 41.5 14.3 44908 42.7 14.2 47046 43.9 14.88 48981 44.5 14.95 52677 45.2 14.96 53162 47.2 15.08 56448 47.4 14.58 59685 47.6 13.8 64089 48.0 11.9 63565 49.3 11.3 69950 49.7 11.2 66258 50.6 11.2 78343 52.4 11.2 98270 62.8 39 109480 74.4 BI KURS US $ per Rp 0.000549 0.000542 0.000536 0.000526 0.000518 0.000512 0.000508 0.000502 0.000496 0.000492 0.000491 0.000485 0.000483 0.000479 0.000474 0.000474 0.000466 0.000463 0.000459 0.000455 0.000451 0.000445 0.000439 0.000433 0.000428 0.000427 0.000427 0.00042 0.000413 0.000408 0.000305 0.000215 0.00012 6.71E-05 BPS DUMMY U Orang - 2054502 0 2019196 0 1983011 0 1951684 0 1941293 0 1947365 0 1975769 0 2032369 0 2095299 0 2162006 0 2202202 0 2185602 0 2140547 0 2084674 0 2094248 0 2245536 0 2557570 0 2981180 0 3409966 0 3737524 0 3885149 0 3924185 0 3953671 0 4072647 0 4280073 0 4513452 0 4610209 0 4407769 0 3907340 0 3211539 0 2586764 1 2299414 1 2593398 1 3287625 1 97 Q3 1998 Q4 1998 Q1 1999 Q2 1999 Q3 1999 Q4 1999 Q1 2000 Q2 2000 Q3 2000 Q4 2000 Q1 2001 Q2 2001 Q3 2001 Q4 2001 Q1 2002 Q2 2002 Q3 2002 Q4 2002 Q1 2003 Q2 2003 Q3 2003 Q4 2003 Q1 2004 Q2 2004 Q3 2004 Q4 2004 Q1 2005 Q2 2005 Q3 2005 Q4 2005 39 102563 89.3 39 101197 93.6 38 105705 98.0 23.8 105964 97.4 13.3 118124 95.2 12.8 124633 95.1 11 124663 97.5 11.1 133832 98.4 13.3 135431 100.6 14.3 162185 103.5 14.9 148375 106.6 16.3 160143 109.4 17.6 164237 113.5 17.6 177731 116.6 16.9 166173 122.1 15.2 174017 123.1 14.1 181791 125.2 13.1 191939 128.6 12 181239 131.5 10.2 195219 131.8 8.7 207587 132.9 8.3 223799 135.7 7.3 219087 137.9 7.3 233726 140.6 7.3 240911 142.1 7.3 253818 144.4 7.3 250492 148.6 8.1 267635 151.4 9.3 273954 154.1 12.8 281905 170.0 9.35E-05 0.000125 0.000115 0.000149 0.000119 0.000141 0.000132 0.000114 0.000114 0.000104 9.62E-05 8.74E-05 0.000103 9.62E-05 0.000104 0.000115 0.000111 0.000112 0.000112 0.000121 0.000119 0.000118 0.000116 0.000106 0.000109 0.000108 0.000105 0.000103 9.7E-05 0.000102 4178514 1 5062483 1 5598204 1 5932220 1 6073326 1 6030319 1 5943235 1 5799149 1 5716376 1 5813231 1 6180901 1 6739860 1 7383455 1 8005031 1 8438393 1 8759649 1 8985364 1 9132104 1 9257216 1 9347218 1 9429410 1 9531090 1 9681966 1 9863233 1 10058494 1 10251351 1 10418527 1 10571603 1 10715278 1 10854254 1 Keterangan : SBI = Suku bunga SBI tiga bulanan, M1 = Jumlah uang yang beredar, CPI = Consumer Price Index, KURS = US Dollar per Rupiah, U = Pengangguran, DUMMY = Sebelum krisis dan pergantian rezim nilai tukar bernilai 0, Krisis, pasca krisis dan setelah pergantian rezim nilai tukar bernilai 1.