Modifikasi Pori Hidroksiapatit Dari Tulang Ikan Alu

advertisement
pati. Selanjutnya, pemanasan dilanjutkan pada
suhu 750 ºC untuk meningkatkan matriks pori
yang telah termodifikasi. Struktur pori
selanjutnya diamati menggunakan SEM.
Perlakuan di atas dilakukan juga pada
sampel yang masih berbentuk tulang ikan
(belum dipanaskan). Setelah dipanaskan
selama 2 jam pada suhu 600 ºC, maka
pemanasan dilanjutkan pada suhu 750 ºC
untuk meningkatkan matriks pori yang telah
termodifikasi. Struktur pori selanjutnya
diamati menggunakan SEM. Komposisi
dengan hasil pori terbaik diuji fasenya
menggunakan XRD.
Analisis Perubahan Fase dengan
Differential Thermal Analysis
Serbuk tulang ikan sebelum perlakuan
pemanasan ditimbang sebanyak 2 g dan
dimasukkan ke dalam sample holder.
Kemudian alat dijalankan dengan laju
kenaikan suhu pemanas DTA pada 10 ºC per
menit. Suhu pada saat awal mulai dari 0 ºC
dan suhu akhir pada 800 ºC. Perbedaan suhu
yang terjadi direkam selama proses
pemanasan dan pendinginan. Lalu ditampilkan
dalam bentuk kurva entalpi. Kurva DTA dapat
menangkap transformasi saat penyerapan
ataupun pelepasan panas. DTA membantu
memahami hasil XRD, analisis kimia, dan
mikroskopis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tulang Ikan
Tulang ikan merupakan bahan mineral
alami yang bisa digunakan sebagai material
pembentuk HAp. Hidroksiapatit dibentuk dari
proses pemanasan pada material tulang ikan
(Prabakan et al. 2006), hal ini merupakan
suatu metode sederhana dan murah yang bisa
dilakukan sehingga diharapkan meningkatkan
nilai ekonomi dari tulang ikan. Selain unsur
Ca dan P, tulang ikan juga mengandung unsur
Na, Mg, K, Sr (Boutinguiza et al 2012, Ozawa
& Suzuki 2002). Berdasarkan kandungan
yang dimiliki tulang ikan maka HAp bisa
terbentuk oleh proses pemanasan pada suhu
tinggi agar menghasilkan kristal yang semakin
baik.
Penelitian ini menggunakan tulang ikan
laut alu-alu untuk menghasilkan HAp.
Klasifikasi ikan alu-alu adalah filum Pisces,
kelas Actinopterygii, ordo Perciformes,
subordo Scombroidei, family Sphyraenidae,
genus
Sphyraena,
spesies
Sphyraena
barracuda (Luna & Susan 2010). Gambar 1
menunjukkan bentuk ikan alu alu.
Gambar
1
Ikan alu-alu (Sphyraena
barracuda) (www.fda.gov).
Ikan ini memiliki nama umum great
barracuda, sedangkan nama lokalnya di
Indonesia adalah alu-alu (Jawa). Ikan alu-alu
termasuk dalam ikan pelagis besar yang
memiliki dimensi panjang total 90 – 120 cm
dan panjang maksimum hingga 180 – 200 cm
(Mojeta 1992) dengan berat maksimum 48 kg
(106 lbs) (Bailey et al. 2001). Kadar Ca pada
tulang ikan ini ditentukan menggunakan SSA
dan diperoleh dalam bentuk CaO, yaitu
59.11%. Kadar P ditentukan menggunakan
spektometri dari senyawa komplek dan
terukur sebagai P2O5 sebesar 44.20%,
sehingga kadar yang terukur pada tulang ikan
alu-alu setelah konversi, yaitu Ca sebesar
42.22% dan kadar P sebesar 9.63% (Lampiran
4). Kadar Ca dan P yang didapatkan dari
tulang ikan alu-alu ini lebih tinggi dari yang
diperoleh Boutinguiza et al. (2012)
menggunakan ikan tuna dengan kandungan
Ca, yaitu 41.75 % dan kadar P sebesar 17.45
%, sedangkan tulang ikan sejenis lele
mengandung 36.17% Ca dan 18.30% P
(Orband & Roland 1992), dan 37.60% Ca,
18.70% P pada beberapa spesies ikan yang
dikoleksi dari limbah seafood di Jepang
(Ozawa & Suzuki 2002).
Gambar 2 menunjukkan hasil dari DTA
serbuk tulang ikan. DTA merupakan analisis
termal yang mengukur perbedaan temperatur
antara sampel yang akan diukur dan material
inert sebagai referensi. Sampel dan material
4
Gambar 2 Kurva differential thermal analysis tulang ikan alu-alu.
referensi dipanaskan dalam satu dapur yang
berisi
lingkungan
gas
yang
telah
distandarisasi. Perbedaan temperatur yang
terjadi direkam selama proses pemanasan dan
pendinginan. Lalu ditampilkan dalam bentuk
kurva entalpi. Kurva DTA dapat menangkap
transformasi saat penyerapan ataupun
pelepasan panas. Kurva DTA merupakan
kurva perbedaan temperatur antara sampel
dengan referensi terhadap waktu (Klančnik
2010).
Hasil tersebut menggambarkan bahwa
pada proses pemanasan tulang ikan alu-alu
dari suhu 0 – 800 ºC, tulang ikan kehilangan
bobot secara perlahan dari suhu 0 – 200 ºC
yang menggambarkan hilangnya air. Pada
suhu 200 – 300 ºC, kehilangan sedikit berat
yang mungkin disebabkan karena hilangnya
komponen gabungan antara air dan organik.
Kehilangan bobot secara drastis pada suhu
300 – 500 ºC, selanjutnya terus turun secara
periodik sampai suhu 800 ºC. Hal ini
mengambarkan bahwa banyaknya komponen
organik pada tulang ikan seperti kolagen,
jaringan lemak dan protein yang berasosiasi
dengan tulang yang menghilang pada suhu
pemanasan 300 – 500 ºC. Hilangnya sedikit
berat pada suhu 600 – 800 ºC menggambarkan
proses dekomposisi fase karbonat pada tulang
yang berubah menjadi karbonat apatit (AlSokanee et al. 2009). Kurva DTA yang
dihasilkan ini tidak bisa menggambarkan suhu
titik leleh, suhu titik uap, dan suhu transisi
gelas karena kurva yang terbentuk hanya
merupakan garis yang bergerak linear
terhadap suhu pemanasan.
Hasil difraksi sinar-x terhadap tulang ikan
sebelum pemanasan ditunjukan pada Gambar
3.
Gambar 3 Pola difraksi sinar-X tulang ikan
alu-alu awal.
Terdapat empat fase yang terkandung pada
tulang ikan awal, yaitu apatit karbonat tipe A
(AKA)
dengan
rumus
molekul
(Ca10(PO4)6(CO3)2), apatit karbonat tipe B
(AKB)
dengan
rumus
molekul
(Ca10(PO4)3(CO3)3 (OH)2), dan okta kalsium
fosfat (OKF) dengan rumus moleul
(Ca8H2(PO4)6.5H2O). Fase tersebut muncul
karena kandungan tulang ikan awal sudah
merupakan mineral apatit dengan kristalinitas
yang rendah (Ozawa & Suzuki 2002).
5
Pembentukan Hidroksiapatit
Hidroksiapatit (HAp) dalam penelitian ini
dibentuk dengan memanaskan tulang ikan
pada variasi suhu 500, 750, 1000, 1250, 1300,
dan 1350 ºC selama 3 jam. Variasi suhu ini
dilakukan untuk mengkarakterisasi suhu
pembentukan HAp murni dan sedikit
pengotor. Hasil rendemen tulang ikan setelah
proses pemanasan pada berbagai suhu dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Rendemen tulang ikan setelah
pemanasan pada berbagai suhu.
Suhu (ºC)
Rendemen (%)
500
750
1000
1250
1300
1350
46.83
46.24
48.54
36.71
48.68
49.27
Tabel 1 menunjukkan rendemen tulang
ikan pada berbagai suhu. Rendemen tulang ini
menunjukkan bobot relatif tulang ikan setelah
dipanaskan terhadap bobot tulang ikan
sebelum pemanasan. Nilai rendemen ini
cukup tinggi sehingga tulang ikan bisa
digunakan untuk memproduksi HAp dalam
jumlah banyak dengan jumlah tulang ikan
yang tersedia.
Pemanasan suhu 500 ºC menghasilkan
serbuk tulang ikan yang masih berwarna abuabu, warna tersebut menunjukkan bahwa
masih terdapat komponen-komponen organik
yang belum hilang selama proses pemanasan
pada suhu 500 ºC. Pola difraksi sinar-X pada
suhu 500 ºC menunjukkan puncak tertinggi
HAp dengan masih terdapat fase lainya, yaitu
OKF dan AKA (Lampiran 3b). HAp murni
mulai terbentuk pada suhu 750 ºC terlihat dari
serbuk yang sudah berwarna putih dan dari
pola difraksi sinar-X yang dihasilkan hanya
terdapat satu puncak yang menandakan AKA
pada sudut 2θ 25.983º (Lampiran 3c).
Pemanasan pada suhu 1000 ºC menghasilkan
pola difraksi sinar-X yang menunjukkan fase
HAp pada tiga puncak tertinggi dan fase OKF
(Ca8H2(PO4)6.5H2O) pada sudut 2θ 31.293º
(Lampiran 3d). Hasil HAp dengan sifat
kristalinitas yang tinggi dibentuk pada suhu
1250 ºC dilihat dari intensitas puncak yang
tertinggi, yaitu 154. Namun, HAp yang
terbentuk ini juga masih terdapat fase AKB
pada sudut 2θ 49.610 (Lampiran 3e).
Pemanasan suhu tinggi hingga 1300 ºC
menimbulkan fase trikalsium fosfat (TCP)
yang muncul pada sudut 2θ 27.825º; 31.022º,
dan 34.381º, serta muncul fase AKB pada
sudut 49.552º (Lampiran 3f). Suhu 1350 ºC
juga muncul fase TCP pada sudut 2θ 21.865º
dan 31.184º, fase AKB juga masih terlihat
pada sudut 2θ 49.606º (Lampiran 3g). Hal ini
sesuai dengan pernyataan Ozawa & Suzuki
(2002) yang mengungkapkan bahwa fase TCP
akan muncul pada pemanasan suhu 1300 ºC.
Hasil analisis XRD dari tulang ikan
dengan berbagai suhu dapat dilihat pada
Gambar 4.
Gambar 4 Pola difraksi sinar-X tulang ikan
pada berbagai suhu.
HAp yang terbentuk melalui variasi suhu
dikarakterisasi
dan
didapatkan
suhu
pembentukan optimum yang menghasilkan
HAp dengan kristalinitas yang tinggi, yaitu
pada 1250 ºC. Suhu 750 ºC dan 1000 ºC juga
sudah merupakan fase HAp namun
kristalinitasnya lebih rendah dari HAp yang
terbentuk pada suhu 1250 ºC. Industri
menginginkan suhu yang serendah mungkin
dalam membentuk HAp, sehingga diharapkan
suhu 750 ºC bisa diterapkan dalam industri
untuk menghasilkan HAp yang baik. HAp
yang terbentuk pada suhu 1300 ºC dan 1350
ºC tidak semurni HAp yang dihasilkan pada
suhu 750 – 1250 ºC karena muncul fase TCP
yang tidak diharapkan.
HAp yang terbentuk pada suhu 1250 ºC
dibandingkan dengan dua jenis HAp komersil
yang ada di pasaran yaitu HAp Taihe Jepang
(HAp komersil 1) dan HAp MERCK (HAp
komersil 2). Perbandingan pola difraksi sinarX HAp tulang ikan dan HAp komersil
disampaikan pada Gambar 5.
6
HAp dari tulang ikan ini ditentukan oleh suhu
pemanasan, bukan terhadap lamanya waktu
pemanasan.
Hasil analisis SEM HAp yang terbentuk
dari tulang ikan alu-alu pada pemanasan 750,
1000, 1250, 1300, dan 1350 ºC ditunjukkan
pada Gambar 7.
(a)
3.1 µm
Gambar 5 Pola difraksi sinar-X HAp tulang
ikan alu-alu dengan HAp komersil.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa pola
difraksi sinar-X HAp hasil pemanasan tulang
ikan mendekati HAp komersil 1 (TAIHE) dan
memiliki kristalinitas yang lebih baik daripada
HAp komersil 2 (MERCK). Hal ini juga
membuktikan
bahwa
HAp
dengan
kristaliniatas yang baik bisa dihasilkan dari
bahan dasar tulang ikan dengan sifat HAp
yang tidak kalah jika dibandingkan dengan
HAP komersil yang sudah beredar di pasaran
Pemanasan terhadap tulang ikan pada suhu
750 ºC juga dilakukan selama 6 jam untuk
membuktikan pengaruh lamanya waktu
pemanasan terhadap pembentukan fase HAp.
Pola difraksi yang dihasilkan dibandingkan
dengan pola difraksi sinar-X pada suhu 750 ºC
selama 3 jam. Perbandingan pola difraksi
sinar-X pada pemanasan suhu 750 ºC selama
3 jam dan 6 jam disampaikan pada Gambar 6.
(b)
Tulang ikan 1250ºC
1.3 µm
2.9 µm
(c)
1.5 µm
(d)
Gambar 6 Pola difraksi sinar-X tulang ikan
suhu 750 ºC 3 jam dan 6 jam.
Hasil perbandingan pola difraksi sinar-X
pemanasan tulang ikan pada suhu 750ºC
selama 3 dan 6 jam menunjukkan hasil yang
tidak terlampau berbeda. Hasil pola difraksi
sinar-X pemanasan tulang ikan pada suhu
750ºC selama 6 jam (Lampiran 3)
menunjukkan fase HAp dengan intensitas
yang tidak terlalu tinggi seperti pola difraksi
pada waktu pemanasan 3 jam. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa pembentukan fase
2.9 µm
1.7 µm
(e)
2.1 µm
2.6 µm
Gambar 7 Foto SEM HAp tulang ikan alu-alu
pada (a) pemanasan suhu 750 ºC,
(b) 1000 ºC, (c) 1250 ºC, (d) 1300
ºC, dan (e) 1350 ºC.
7
Terdapat pori pada semua foto SEM HAp.
Pori dengan ukuran besar 3.1 µm terdapat
pada hasil SEM suhu 750 ºC, namun pori
yang dihasilkan belum homogen. Suhu 1000
ºC menghasilkan pori yang homogen, namun
ukurannya relatif kecil kurang lebih 1.3 µm.
Pori dengan ukuran 1.5 – 2.9 µm dihasilkan
dari pemanasan suhu 1250 ºC. Pori seragam
dihasilkan dari pemanasan suhu 1300 ºC
dengan ukuran 1.7 – 2.9 µm. Terdapat pori
dengan ukuran 2.1 – 2.6 µm pada pemanasan
suhu 1350 ºC. Hasil ini menunjukkan bahwa
pemanasan tulang ikan dalam membentuk
HAp menghasilkan material berpori seperti
yang dilakukan Ozawa & Suzuki (2002)
menghasilkan HAp berpori dari limbah tulang
ikan dengan ukuran diameter pori lebih besar
yaitu 30 – 100 µm. Tahap selanjutnya HAp
yang didapat pada suhu 750 ºC dimodifikasi
porinya menggunakan porogen pati. HAp
dengan suhu 750 ºC dipilih untuk dimodifikasi
porinya karena pori yang dihasilkan belum
homogen serta suhu pembentukan HAp yang
rendah sehingga diharapkan bisa diterapkan
pada dunia industri.
Modifikasi Pori
HAp dimodifikasi menggunakan porogen
pati. Menurut Kumar (2009) campuran antara
HAp dengan pati merupakan suatu metode
yang digunakan untuk membentuk material
keramik berpori. Pati telah berhasil digunakan
sebagai porogen pembentuk pori pada scaffold
HAp dengan metode kering (Al-Sokanee et al
2009), dan metode basah (Lei 2005). Pati
yang digunakan pada penelitian ini adalah pati
singkong. Pati singkong memiliki ukuran
granul sekitar 5 µm – 35 µm dengan rata-rata
ukuran di atas 17 µm. Pati singkong memiliki
suhu gelatinasi yang lebih rendah dari pati
jenis lain, yaitu berkisar antara 68 – 92 ºC
(Samsuri 2008). Granul pati singkong akan
pecah
bila
dipanaskan
pada
suhu
gelatinasinya. Granul yang kecil ini
diharapkan mampu masuk ke dalam pori HAp
dan memodifikasi pori yang terbentuk setelah
pati dihilangkan dengan pemanasan di atas
suhu gelatinasinya.
Modifikasi pori dilakukan terhadap tulang
ikan yang telah berubah fase menjadi HAp
pada pemanasan 750 ºC dan tulang ikan awal
(sebelum pemanasan). Menurut Ozawa &
Suzuki (2002), tulang ikan awal sudah
memiliki beberapa pori makro pada
strukturnya sehingga beberapa organ bisa
tumbuh melalui koneksi antara pori mikro dan
pori makronya. Hal ini menjadi pertimbangan
dalam memodifikasi pori dari bahan tulang
ikan awal dengan harapan pori yang terdapat
pada tulang ikan awal masih bersifat elastis
sehingga pemberian pati akan lebih baik
dalam memodifikasi pori HAp dan hasilnya
dibandingkan dengan
modifikasi
pori
menggunakan material yang sudah menjadi
HAp. Tabel 2 menunjukkan hasil modifikasi
pori menggunakan pati pada serbuk HAp yang
diperoleh dari suhu 750 ºC dan modifikasi
pori dari tulang ikan menggunakan pati.
Tabel 2 Ukuran pori yang dihasilkan setelah
modifikasi menggunakan pati.
Pati
(%)
5
10
20
40
60
Ukuran pori (µm)
HAp 750
Tulang ikan
+ pati
+ pati
< 0.5
2.38 – 3.20
< 0.5
2.38 – 3.28
< 0.5
<1 – 5.00
0.50 – 0.63
<1 – 3.20
1.20 – 1.38
<1 – 3.69
Ukuran pori yang terbentuk setelah
dimodifikasi menggunakan pati menunjukkan
bahwa pori yang lebih besar dihasilkan dari
modifikasi menggunakan komposisi antara
tulang ikan awal dengan pati yang
menghasilkan pori paling besar 5 µm.
Besarnya ukuran pori yang dihasilkan dari
modifikasi menggunakan tulang ikan ini akan
menyebabkan
semakin
luasnya
luas
permukaan HAp, sehingga interaksi antara
HAp dengan tulang akan semakin baik
(Prihantoko 2011). Pori yang dihasilkan ini
masih lebih kecil dari pori HAp yang
dihasilkan dari penelitian Lyckfeldt and
Ferreira (1998) yang menghasilkan pori
sebesar 10 – 80 µm pada material keramik
menggunakan metode konsolidasi dengan pati
kentang, namun pori pada penelitian ini masih
lebih besar dari penelitian Romawarni (2011)
yang menghasilkan HAp berpori dengan
ukuran ±1 µm.
Foto SEM (Lampiran 5) menunjukkan
bahwa pori dengan jumlah dan keseragaman
yang baik dihasilkan pada konsentrasi 10%
pati dengan tulang ikan. Perbandingan foto
SEM HAp komersil (perbesaran 2500×) dan
HAp hasil modifikasi pori menggunakan HAp
(perbesaran 10000×) dan menggunakan tulang
ikan (perbesaran 2500×) dengan konsentrasi
pati 10% dapat dilihat pada Gambar 8.
Download