menkes: kalangan farmasi harus peduli masalah resistensi

advertisement
31-10-2017
1/3
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Artikel ini diambil dari : www.depkes.go.id
MENKES: KALANGAN FARMASI HARUS PEDULI MASALAH RESISTENSI
DIPUBLIKASIKAN PADA : JUMAT, 02 SEPTEMBER 2016 00:00:00, DIBACA : 2.225 KALI
Jakarta, 2 September 2016
Farmasi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sistem pelayanan kesehatan.
Obat-obatan, vaksin, serta serum termasuk di dalamnya. Obat menjadi komoditas essential
karena manfaatnya dalam pengobatan. Obat harus digunakan secara bijaksana dan dalam
dosis yang tepat, mengingat obat merupakan zat kimiawi yang memiliki side effect terhadap
terjadinya resistensi.
Resistensi menjadi salah satu pembahasan pada keynote speech Menteri Kesehatan RI,
Prof. Dr. dr. Nila Farid Moeloek, Sp.M(K) dalam pembukaan kegiatan The International
Seminar on Pharmacology and Clinical Pharmacy 2016 di Bandung, Kamis pagi (2/9).
Dalam paparannya, Menkes menjelaskan beberapa hal terkait anti microbial resistance
(AMR), tuberculosis multi drug resistance (TB-MDR), dan resistensi obat malaria (OAM).
Ketika menjadi resisten, penyakit menjadi tidak dapat diobati, maka orang tersebut akan menghadapi kematian, tutur Menkes.
Anti Microbial Resistance (AMR)
Persoalan resistensi antimikroba mulai menjadi isu kesehatan masyarakat yang semakin menyita perhatian para pemangku kepentingan kesehatan di seluruh
dunia. Resistensi antimikroba terjadi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur dan parasit mengalami perubahan sehingga obat-obatan yang digunakan
untuk menyembuhkan infeksi yang ditimbulkan mikroorganisme ini menjadi tidak efektif karena mikroorganisme semakin sukar untuk disembuhkan. Dengan
semakin cepatnya perkembangan dan penyebaran infeksi bakteri, diperkirakan pada tahun 2050, kematian akibat AMR lebih besar dibanding kematian yang
diakibatkan kanker, yakni mencapai 10 juta jiwa.
Antibiotika adalah obat untuk mencegah dan mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Sebagai salah satu jenis obat umum, antibiotika banyak beredar di
masyarakat. Hanya saja, masih ditemukan perilaku yang salah dalam penggunaan antibiotika yang menjadi risiko terjadinya resistensi antibiotik, diantaranya:
peresepan antibiotik secara berlebihan oleh tenaga kesehatan; adanya anggapan yang salah di masyarakat bahwa antibiotik merupakan obat dari segala
penyakit; dan lalai dalam menghabiskan atau menyelesaikan treatment antibiotik.
1
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
2/3
31-10-2017
Tuberculosis Multi Drug Resistance (TB-MDR)
Tubercolosis (TB) merupakan penyakit yang disebabkan kuman Mycrobacterium Tuberculosis yang dapat menyebabkan kerusakan terutama pada paru,
menimbulkan gangguan berupa batuk, sesak napas, bahkan dapat menyebar ke organ lainnya. Pengobatan memerlukan waktu pengobatan selama 6 bulan dan
harus tuntas. Bila pengobatannya tidak sampai tuntas akan menyebabkan TB menjadi Multi-Drugs Resistance (MDR). Pasien MDR-TB harus menjalani
pengobatan yang lebih intensif selama 2 tahun.
Situasi kasus TB-MDR di Indonesia, sejak tahun 2009 s.d April 2016 sebanyak 37.61 suspek telah diperiksa dan terkonfirmasi sebanyak 6.603 kasus, yang mana
4.971 diantaranya sedang menjalani pengobatan.
Resistensi Obat Anti Malaria (OAM)
Tahun 2004, Kemenkes RI mengubah kebijakan obat anti malaria (OAM) dalam program nasional dari Klorokuin dan Sulfadoksin Pirimetamine (SP) menjadi
Artemisinin Based-Combination Therapy (ACT), yakni yang digunakan saat ini adalah Diidroartemisinin-Piperakuin (DHP). Hal ini dilatarbelakangi oleh kejadian
resistensi obat anti-malaria yaitu Klorokuin dan mengkhawatirkan di negara-negara endemis malaria termasuk Indonesia sekitar tahun 1990. Tahun 2005, WHO
merekomendasikan agar seluruh negara menggunakan ACT untuk pengobatan malaria.
Namun, resistensi artemisinin untuk pertama kalinya dilaporkan di Kamboja bagian barat dan meluas ke beberapa negara di Asia Tenggara. Per Juli 2016, telah
terjadi resistensi artemisinin di 5 negara di kawasan Greater Mekong (Cambodia, Lao PDR, Myanmar, Thailand dan Vietnam). Penyebab resistensi yang terjadi
tersebut diantaranya karena penggunaan obat yang tidak rasional seperti tanpa konfirmasi laboratorium atau tanpa resep dokter; penggunaan monoterapi
artemisinin tanpa kombinasi obat lain); serta adanya obat sub standard (palsu).
Bijak Gunakan Obat
Sampai saat ini di tengah masyarakat seringkali dijumpai berbagai masalah dalam penggunaan obat, diantaranya kurangnya pemahaman tentang penggunaan
obat tepat dan rasional, penggunaan obat bebas secara berlebihan, serta kurangnya pemahaman tentang cara menyimpan dan membuang obat dengan benar.
Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan bahwa 35,2% rumah tangga menyimpan obat untuk swamedikasi. Dari 35,2% rumah
tangga yang menyimpan obat, 35,7% di antaranya menyimpan obat keras dan 27,8% diantaranya 86,1% antibiotik tersebut diperoleh tanpa resep. Hal ini memicu
terjadinya masalah kesehatan baru, khususnya resistensi.
Bila kita pulang ke rumah masing-masing, coba lihat apakah di rumah kita ada sisa-sisa obat atau antibiotik yang tidak dihabiskan. Kita harus pikirkan pemakaian
obat yang ketat dan beri edukasi ke masyarakat bagaimana menggunakan obat secara cermat, tandas Menkes.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
- 2 -
Printed @ 31-10-2017 12:10
31-10-2017
3/3
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes
melalui nomor hotline (kodelokal) 1500-567, SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, dan alamat email kontak[at]kemkes[dot]go[dot]id.
3
Download