IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pembahasan penelitian ini menggunakan pendekatan analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Analisis deskriptif dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum yang disajikan secara sistematis mengenai fakta-fakta dan hubungan antar fenomena atau variabel yang akan diamati. Analisis kuantitatif bertujuan untuk memperlihatkan hasil estimasi mengenai dampak kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+6. Selain membahas mengenai analisis deskriptif dan hasil estimasi, pada bab ini juga akan dijelaskan mengenai pengujian Granger Causality untuk mengetahui hubungan antar variabel. 4.1. Kondisi Umum Pertumbuhan Ekonomi di Kawasan ASEAN+6 Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan tujuan dari setiap negara. Tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi berarti tersedianya lapangan kerja yang lebih luas dan pendapatan per kapita yang lebih tinggi. Hal ini mengindikasikan kemakmuran yang lebih baik bagi negara tersebut. Berdasarkan data pertumbuhan GDP dalam rentang waktu 2000-2010 (Gambar. 4.1.) menunjukkan bahwa kesebelas negara tersebut mengalami pertumbuhan GDP yang cukup bervariasi. Rata-rata tingkat pertumbuhan GDP tertinggi adalah China, namun pada tahun 2010, Singapura memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi untuk kawasan ini. 55 Sumber : World Development Indicator, 2011.(diolah) Gambar 4.1. Tingkat Pertumbuhan GDP Negara-negara ASEAN+6 Secara umum tingkat pertumbuhan GDP sampai dengan tahun 2007 di kawasan ASEAN+6 mencapai level tertinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Bahkan China mencapai 14% jauh diatas rata-rata pertumbuhan GDP negara lainnya. Persentase GDP ini terus mengalami penurunan sejak tahun 2008 hingga mencapai titik terendah pada tahun 2009. Krisis keuangan global yang bermula dari bencana subprime mortgage di Amerika Serikat pada tahun 2008 telah menekan pertumbuhan ekonomi global dari 5,2 persen pada tahun 2007 menjadi 3,0 persen pada tahun 2008, dan menyusut sebesar 0,6 persen pada tahun 2009. Hal serupa terjadi juga di kawasan ASEAN+6, pada tahun 2009 sebelas negara di kawasan ASEAN+6 mencapai tingkat terendah pertumbuhan GDP. Jepang merupakan negara yang paling dirugikan akibat krisis keuangan global 2008, dimana pada tahun 2009 pertumbuhan GDP negara Jepang mencapai -6,3% diikuti oleh Thailand mencapai -2,3%, Malaysia -1,6%, dan 56 Singapura -0,77%. Pada tahun 2010 pertumbuhan GDP semua negara di kawasan ASEAN+6 mengalami peningkatan yang sangat signifikan, dimana Singapura memiliki pertumbuhan GDP terbesar mencapai 14,5%, diikuti oleh China, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Hal ini cukup membuktikan bahwa perekonomian di kawasan ASEAN+6 mampu bertahan bahkan bisa keluar dari efek krisis keuangan global. 4.2. Peranan Pengeluaran Pemerintah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Negara-negara ASEAN+6 Salah satu komponen dalam permintaan agregat (Aggregate Demand-AD) adalah pengeluaran pemerintah. Secara teori dinyatakan bahwa jika pengeluaran pemerintah meningkat maka AD akan meningkat. Peningkatan AD berarti terjadi pertumbuhan ekonomi, karena pertumbuhan ekonomi diukur dari Produk Domestik Bruto (GDP) maka peningkatan GDP berarti peningkatan pendapatan. Pada Gambar 4.2 menampilkan rata-rata pertumbuhan ekonomi dan rata-rata pengeluaran pemerintah di negara-negara ASEAN+6 pada periode 2000-2010. Peranan terbesar pengeluaran pemerintah terhadap GDP terjadi di Jepang dengan rata-rata mencapai 18,25%, diikuti oleh New Zealand dan Australia. Namun walaupun ketiga negara tersebut memiliki tingkat pengeluaran pemerintah tertinggi dibandingkan negara-negara lainnya, tetapi tingkat pertumbuhan ekonominya terendah dibandingkan yang lainnya. Tampak pada gambar kelompok negara maju yang dilingkari dengan garis berwarna merah. Di Jepang, kebijakan fiskal mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap perkembangan perekonomian. 57 Hal ini sesuai dengan model yang dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomiyang dibedakan antara tahap awal, tahap menengah, dan tahap lanjut. Jepang merupakan negara maju dimana pengeluaran pemerintahnya tidak lagi untuk biaya investasi dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi tetapi aktivitas pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti halnya program kesejahteraan hari tua, program pelayanan kesehatan masyarakat, dan sebagainya (Rostow dalam Mangkoesoebroto). Sumber : World Development Indicator 2011, (diolah). Gambar 4.2. Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi dan Pengeluaran Pemerintah di Kawasan ASEAN+6 Kelompok negara berkembang dengan lingkaran berwarna biru. China merupakan satu-satunya negara dimana tingkat pengeluaran pemerintah hampir sebanding dengan tingkat pertumbuhan ekonominya seperti tampak pada gambar 4.2. 58 diatas jika ditarik titik koordinatnya yaitu (10,14) diikuti India (7,11). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zhang dan Zou (2001) bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah di China dan India berperan secara signifikan dalam pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Peranan pengeluaran pemerintah terhadap GDP di Indonesia relatif lebih kecil dibandingkan negara yang lainnya di kawasan ASEAN+6. Kontribusi pengeluaran konsumsi pemerintah merupakan komponen yang diatur khusus dengan sistem sehingga besarnya relatif stabil, dengan fluktuasi sesuai dengan kondisi perekonomian dan sosial budaya serta politik yang sedang terjadi (Junaidi, 2010). 4.3. Peranan Jumlah Uang Beredar (M2) terhadap Pertumbuhan Ekonomi Negara-negara ASEAN+6 Para ahli ekonomi masih terdapat perbedaan pendapat mengenai hubungan antara jumlah uang beredar dengan pertumbuhan ekonomi. Sebagian besar para ahli ekonomi setuju bahwa jumlah uang beredar adalah netral dalam jangka panjang dengan berpengaruh pada pendapatan, tetapi sebagian ahli ekonomi lain menolak pernyataan tersebut, dan pengaruh dari jumlah uang beredar dengan pertumbuhan ekonomi masih dalam perbincangan. Walaupun masih terdapatnya perbedaan pendapat para ahli ekonomi tentang pengaruh uang terhadap pertumbuhan ekonomi, namun disini akan mencoba mengeksplorasi data mengenai peranan jumlah uang beredar (M2) terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+6 selam periode tahun 2000-2010. 59 Sumber : World Development Indicator 2011, (diolah). Gambar 4.3. Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi dan Jumlah Uang Beredar (M2) di Kawasan ASEAN+6 Pada gambar. 4.3. diatas terlihat bahwa Jepang dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan jumlah uang beredar terendah dibandingkan negara lainnya. China merupakan satu-satunya negara dimana tingkat jumlah uang beredar yang tinggi diikuti juga oleh tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan M2 di China merupakan ukuran luas jumlah uang beredar yang meliputi sirkulasi uang tunai dan semua deposito, meningkat 13,2 persen dari tahun ke tahun. Hal ini memperlihatkan kebijakan China bahwa jumlah uang beredar harus sesuai dengan perekonomian. Sedangkan negara lainnya hampir memiliki karakter yang sama dimana jika dilihat dari plot data tesebar di wilayah yang sama. 60 Peningkatan dan pertumbuhan jumlah uang beredar di China salah satunya diakibatkan oleh kebijakan China yang melakukan pengurangan persyaratan cadangan. Bank sentral China telah memotong jumlah uang bank yang harus dipertahankan dalam cadangan, dalam upaya untuk meningkatkan kredit dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Ini juga meningkatkan harapan bahwa China akan berubah sikap ke arah kebijakan pelonggaran moneter. Peningkatan jumlah uang beredar akan cenderung meningkatkan inflasi tetapi kebijakan moneter rezim China masih belum menyebabkan inflasi yang jelas karena sebagian sebagian besar uang itu masuk ke pasar saham dan real estat. Hal ini sebagian besar menjelaskan pertumbuhan pasar saham dan real estat China terutama di tengahtengah krisi global dari tahun 2008 sampai sekarang. Peran institusional dalam kebijakan moneter (uang dan bank) yang memang pada dasarnya tanggung jawab terbesar itu dipikul oleh bank sentral (otoritas moneter tertinggi) yang melakukan pengelolaan dan pengaturan jumlah uang beredar, dapat dikatakan bahwa hal tersebut tidaklah mudah untuk dilaukan secara sinergis. Apalagi kalau dikaitkan dengan analisis pola perilaku money demand dalam perekonomian uatu negara yang sangat volatile. Apabila laju pertumbuhan jumlah uang beredar mangalami peningkatan pesat (pasar uang), maka Value of Money akan turun dan diikuti oleh kenaikan tingkat harga secara umum dari goods dan services di pasar barang, yang dikenal dengan inflasi. Sedangkan apabila laju pertumbuhan jumlah uang yang diminta oleh masyarakat (money demand) meningkat lebih besar daripada Money supply atau terjadinya excess demand for money, maka pertumbuhan ekonomi akan melambat. Maka dari itu, pengaturan jumlah uang beradar dengan merespon 61 Money Demand masyarakat merupakan hal yang strategis supaya perputaran uang sesuai dengan kapasitas ekonomi dari negara tersebut. 4.4. Peranan Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Negara-negara ASEAN+6 Peranan perdagangan luar negeri dalam pembangunan ekonomi cukup menonjol. Para ahli ekonomi klasik dan neo-klasik mengungkapan betapa pentingnya perdagangan internasional dalam pembangunan suatu negara, yang disebut sebagai mesin pertumbuhan. Perdagangan luar negeri (ekspor-impor) mempunyai arti yang sangat penting bagi negara. Bilamana suatu negara mengkhususkan diri pada produksi beberapa barang tertentu sebagai akibat perdagangan luar negeri dan pembagian kerja, negara tersebut dapat mengekspor komoditi yang diproduksi lebih murah untuk dipertukarkan dengan apa yang dihasilkan negara lain dengan biaya yang lebih rendah. Dari perdagangan luar negeri ini, maka negara memperoleh keuntungan dan pendapatan nasional meningkat, yang pada giliarannya akan meningkatkan jumlah output dan laju pertumbuhan ekonomi. Ekspor dan impor merupakan kegiatan perdagangan luar negeri yang memiliki peranan yang besar dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara. Kecenderungan terhadap membaiknya perekonomian dunia akan berpengaruh terhadap perekonomian suatu negara terutama aktivitas perdagangan luar negeri, artinya bahwa salah satu faktor yang memengaruhi kegiatn ekspor dan impor adalah kondisi perekonomian dunia. Jika kondisi perekonomian dunia membaik maka akan berdampak positif terhadap aktivitas atau kegiatan perdagangan dunia. Perkembangan 62 perdagangan luar negeri (kegiatan ekspor dan impor) ASEAN+6 terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, seiring dengan semakin berkurangnya hambatanhambatan perdagangan. Berikut ini disajikan tabel kegiatan perdagangan luar negeri (ekspor impor) di kawasan ASEAN+6 selama periode tahun 2000-2010 berdasarkan harga konstan. Tabel 4.1. Total Perdagangan, Ekspor, Impor dan Ekspor Neto Negara-negara ASEAN+6 tahun 2000 dan 2010 berdasarkan harga konstan. Total Perdagangan (Miliar US$) 2000 2010 Negara Ekspor (Miliar US$) 2000 2010 Impor (Miliar US$) 2000 2010 Ekspor Neto (Miliar US$) 2000 2010 Indonesia 117.89 225.89 67.62 127.22 50.26 98.67 17.36 28.55 Malaysia 206.72 309.83 112.37 161.84 94.35 148 18.02 13.84 Singapura 356.84 754.09 184.58 404.65 172.26 349.45 12.32 55.2 Philipina 84.86 130.58 41.62 65.31 43.24 65.27 -1.62 0.04 Thailand 153.31 248.57 81.95 133.44 71.36 115.13 10.59 18.31 China 530.25 2551.36 279.56 1467 250.69 1084.36 28.87 382.64 Korea Selatan 396.15 884.28 205.7 497.73 190.46 386.55 15.24 111.18 Jepang 957.6 1308.38 512.74 777.63 444.86 530.75 67.88 246.88 India 126.01 451.13 60.88 216.56 65.13 234.57 -4.25 -18.01 Australia 169.45 303.63 80.66 104.77 88.8 198.87 -8.14 -94.1 New Zealand 35.29 49.69 18.07 23.46 17.21 26.23 0.86 -2.77 ASEAN+6 3134.37 7217.43 1645.75 3979.61 1488.62 3237.85 157.13 741.76 Sumber : World Development Indicators, 2011 (diolah) ASEAN+6 mencatat kinerja perdagangan yang cukup bagus dengan nilai total perdagangan pada tahun 2000 mencapai US$ 3134.37 milyar dan pada tahun 2010 meningkat lebih dari dua kali lipat hingga mencapai nilai US$ 7217.43 milyar. Nilai ekspor ASEAN+6 pada tahun 2000 bernilai US$ 1645.75 milyar sedangkan impor pada tahun yang sama bernilai US$ 1488.62 milyar. Dan pada tahun 2010 ekspor 63 bernilai US$ 3979.61 milyar sedangkan impor pada tahun yang sama bernilai US$ 3237.85 milyar atau mengalami peningkatan total perdagangan sebesar 230.26 persen dabandingkan tahun 2000. Perkembangan tersebut menunjukkan pula kinerja perdagangan semakin membaik, yaitu terlihat dari nilai ekspor yang semakin dominan dibandingkan dengan nilai impornya. Peningkatan nilai ekspor dan surplus perdagangan di kawasan ini lebih didominasi oleh China, Jepang dan Korea Selatan. Tabel 4.1. memperlihatkan bahwa pada tahun 2000 Jepang memiliki nilai total perdagangan terbesar dibandingkan negara-negara lainnya di kawasan ASEAN+6. Total perdagangan mencapai nilai 957.6 miliar US$ dengan nilai ekspor sebesar 512.74 dan nilai impor sebesar 444.86 miliar US$. Namun, pada tahun 2010 kepemimpinan perdagangan luar negeri di kawasan ASEAN+6 beralih ke China diamana total perdagangan Jepang berada di bawah total perdagangan China. Nilai total perdagangan China yang mencapai nilai 2551.36 miliar US$ yang meningkat lebih dari 400 persen dari total perdagangannya pada tahun 2000. Hal ini membuktikan bahwa industrialisasi besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintahan China telah membawa negara terbesar kedua di dunia itu menjadi eksportir terbesar pada tahun 2010 di kawasan ASEAN+6. Capaian pertumbuhan ekonomi dan kinerja perdagangan yang bervariasi antar negara di kawasan ASEAN+6 terkait erat dengan kesiapan dan kekuatan masingmasing negara dalam menghadapi persaingan di tingkat global. Kondisi tersebut juga mencerminkan daya saing ekonomi masing-masing negara di kancah internasional. Perkembangan pangsa perdagangan terhadap GDP di kawasan ASEAN+6 selama periode penelitian (2000-2010) mengalami kenaikan sebesar 17.62 persen. 64 Perkembangan ini menunjukkan semakin lancarnya arus barang dan jasa antarnegara seiring dengan semakin berkuranynya hambatan-hamabtan dalam kegiatan perdagangan, baik berupa tarif maupun non-tarif. Tabel 4.2. Keterbukaan Perdagangan, GDP dan Total Perdagangan Negaranegara ASEAN+6 tahun 2000 dan 2010 berdasarkan harga konstant. Keterbukaan Total GDP Perdagangan (Milliar US$) Negara (% GDP) 2000 2010 2000 2010 Indonesia 71.44 82.33 165.02 274.37 Malaysia 220.41 210.41 93.79 147.25 Singapura 372.01 456.517 95.92 165.18 Philipina 104.73 101.21 81.03 129.02 Thailand 124.92 132.57 122.73 187.5 China 44.24 78.6 1198.47 3246.01 Korea Selatan 74.27 110.51 533.38 800.21 Jepang 20.52 26.12 4667.45 5010.03 India 27.38 46.83 460.18 963.4 Australia 40.64 53.74 416.92 565.04 New Zealand 68.38 76.08 51.6 65.31 ASEAN+6 1168.94 1374.92 7886.49 11553.32 Sumber : World Development Indicators, 2011 (diolah) Total Perdagangan (Miliar US$) 2000 2010 117.89 225.89 206.72 309.83 356.84 754.09 84.86 130.58 153.31 248.57 530.25 2551.36 396.15 884.28 957.6 1308.38 126.01 451.13 169.45 303.63 35.29 49.69 3134.37 7217.43 Singapura memiliki tingkat keterbukaan perdagangan paling tinggi di kawasan ini dengan pangsa perdagangan terhadap GDP sebesar 372.01 persen pada tahun 2000 diikuti oleh Malaysia, Thailand dan Philipina. Nilai pangsa perdagangan terhadap GDP dari keempat negara tersebut memperlihatkan bahwa nilai total perdagangannya melebihi nilai GDP masing-masing negara tersebut. Singapura masih memegang kepemimpinannya pada tahun 2010 yakni tercermin dari pangsa perdagangannya yang mencapai 394.07 persen terhadap GDP-nya, diikuti oleh 65 Malaysia (176.78%) ,Thailand (135.13%), Korea Selatan (110.51%) dan Philipina (101.21%). 4.5. Hasil Estimasi Penelitian Estimasi dampak kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan ekonomi terhadap pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN+6 , dua dari tiga variabel diolah dalam bentuk logaritma natural (ln), sementara satu variabel lainnya sudah dalam bentuk persentase. Tujuan dilakukannya hal tersebut adalah untuk memperoleh data yang stasioner. Konsekuensi dari pemberlakuan bentuk tersebut adalah nilai interpretasi dari hasil pengolahan menjadi nilai elastisitas. Adapun nilai elastisitas dari setiap koefisien variabel eksogen akan dinyatakan dalam bentuk persentase. Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang hasil regresi, berikut adalah analisis deskriptif yang akan memberikan gambaran umum dari kondisi ekonomi di negara maju dan negara berkembang. Pembahasan hasil estimasi pada penelitian ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama akan menganalisis Granger Causality Test pada variabel-variabel penelitian. Bagian kedua akan membahas dampak kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi di negaranegara ASEAN+6. Bagian ketiga membahas perbandingan dampak masing-masing variabel penelitian di berbagai kelompok negara di ASEAN+6. Penelitian ini dibagi ke dalam tiga kelompok negara yaitu seluruh negara di kawasan ASEAN+6, kelompok negara-negara berkembang dan kelompok negaranegara maju di kawasan ASEAN+6. Pemisahan kelompok negara ini dimaksudkan 66 untuk penelususran lebih lanjut dampak dari setiap variabel pada masing-masing kelompok negara terhadap pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN+6. Dari sebelas negara yang dianalisis dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan tingkat pendapatan per kapita masing-masing negara pada tahun 2008. Kelompok negaranegara berkembang yang memiliki GDP per kapita kurang dari US$ 20000 yakni meliputi Indonesia, Malaysia, Thailand, Philipina, China dan India. Kelompok negara-negara maju dengan GDP per kapita ≥ US$ 20000 yakni Singapura, Jepang, Korea Selatan, Australia dan New Zealand. GDP per kapita yang digunakan merupakan nilai riil pada tahun 2008 dan sudah disesuaikan dengan pariitas daya beli internasional (Purchasing Power Parity, PPP) dengan tahun dasar 2005 sehingga bisa dikomparasikan antarnegara (World Bank, 2010). 4.5.1 Hasil Estimasi Granger Causality Test pada Data Panel Konsep dasar uji kausalitas Granger yaitu menguji hubungan diantara dua variabel tanpa melakukan pendugaan terhadap model. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan sebab akibat diantara dua variabel yang diuji. Pengujian ini dilakukan terhadap beberapa variabel yang terkait dengan model umum pada penelitian ini. Selain itu, pengujian juga akan memberikan informasi bagaimana hubungan kausalitas diantara variabel penelitian memiliki hubungan kausalitas satu arah atau dua arah. Dengan panjang lag optimal p, maka prinsip kerja dari Granger Causality Test pada data panel didasarkan atas regresi model pooled sebagaimana diuraikan pada persamaan (3.19) dan persamaan (3.20). Pengujian Granger Causality penelitian 67 ini dibagi menjadi tiga kawasan yang terdiri dari negara-negara ASEAN+6( Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, China, Jepang, Korea Selatan, India, Australia, dan New Zealand), negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6 (Indonesia, Malaysia, Thailand, Philipina, China, dan India), dan negaranegara maju di kawasan ASEAN+6 (Singapura, Korea Selatan, Jepang, Australia, dan New Zealand). Pembagian kawasan tersebut bertujuan untuk mengetahui hubungan output riil (Y) dengan variabel-variabel penelitian di masing-masing kawasan. Variabel-variabel yang diuji yaitu, pengeluaran pemerintah (GEXP), jumlah uang beredar (M2), dan keterbukaan perdagangan (OPNESS). Hasil Granger Causality Test yang diterapkan terhadap data panel dilihat pada Tabel 4.1.di bawah ini: Tabel 4.3. Hasil Granger Causality Test Negara ASEAN+6 Berkembang ASEAN+6 Hipotesis Nol ASEAN+6 4 6 2 4 6 2 4 6 lag lag lag lag lag lag lag lag lag lnY √ - - √ - - - √ √ lnGEXP √ √ √ - - - √ √ - lnY √ - - √ - - √ √ - lnM2 √ √ √ √ √ - - - - lnY - √ √ - - - - √ √ OPNESS - √ √ - - - √ √ √ lnY lnM2 OPNESS lnY Negara Maju di 2 lnGEXP lnY di keterangan : Periode sample 2000-2010; lnY = Gross Domestik Product (GDP) Riil, lnGEXP = General Government Final Consumption Expenditure; lnM2 = jumlah uang beredar; OPNESS = keterbukaan perdagangan (% of GDP), = tidak memengaruhi. 68 Tanda “√” menandakan bahwa hipotesis nol ditolak, dengan menggunakan kriteria probabilitas < tingkat kritis α = 10 persen (hasil Granger Causality Test untuk data kawasan ASEAN+6 dan masing-masing kelompok negara dapat dilihat pada lampiran 1). Hipotesis nol untuk baris pertama dan kedua adalah lnGEXP tidak memengaruhi lnY dan lnY tidak memengaruhi lnGEXP. Hasil estimasi diatas terlihat bahwa secara umum untuk kasus kawasan ASEAN+6, negara-negara berkembang, dan negara-negara maju di kawasan ASEAN+6 hanya terdapat hubungan kausalitas satu arah di dalam hubungan variabel lnGEXP dan lnY. Hubungan kausalitas dua arah ditunjukkan pada lag 2 untuk kawasan ASEAN+6 dan negara-negra berkembang serta untuk negara-negara maju pada lag 4. Dimana lnY secara signifikan memiliki pengaruh terhadap pergerakan lnGEXP dan sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah begitupun sebaliknya. Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu komponen pengeluaran nasional yang terhitung dalam tingkat pendapatan. Perubahan pada tingkat pendapatan akan memengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi. Pada baris ketiga dan keempat, Tabel 4.1. Menunjukkan pada kasus seluruh negara ASEAN+6, dan negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6 secara umum tidak memiliki hubungan kausalitas dua arah didalam hubungan variabel lnM2 dan lnY. Hubungan dua arah hanya terjadi pada lag 2 dimana jumlah uang beredar (M2) secara signifikan memengaruhi pertumbuhan GDP riil, dan sebaliknya. Sedangkan untuk kasus negara-negara maju di kawasan ASEAN+6 hanya memiliki pengaruh satu arah antara variabel lnM2 dengan lnY. Hal ini menunjukkan 69 pertumbuhan jumlah uang beredar secara signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Hipotesis nol untuk dua baris terakhir adalah OPNESS tidak memengaruhi lnY dan lnY tidak memengaruhi OPNESS. Secara umum untuk kasus seluruh negara dan negara-negara maju di kawasan ASEAN+6, memiliki hubungan kausalitas dua arah di dalam hubungan variabel OPNESS dan lnY, dimana keterbukaan perdagangan secara signifikan memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan GDP riil, lnY dan hal ini berlaku sebaliknya. Sedangkan untuk kasus negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6 tidak memiliki hubungan kausalitas satu arah maupun dua arah, dimana pergerakan OPNESS tidak memengaruhi pergerakan lnY, hal ini sebaliknya. Keterbukaan perdagangan merupakan cerminan dari struktur kebijakan perdagangan yaitu perdagangan internasional pada suatu negara. Volume dari perdagangan internasional diakui mampu memengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui neraca perdagangan. 4.5.2 Hasil Estimasi dengan Pendekatan Panel Dinamis Model yang dibangun dalam penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak dari kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+6. Adapun model dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga model yang berbeda dengan menggunakan tiga kelompok negara yang berbeda. Hal ini bertujuan untuk mengkomparasi dampak kebijakan manakah yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di seluruh kawasan ASEAN+6, kelompok negara berkembang dan negara maju di kawasan ASEAN+6. 70 Tabel 4.4., 4.5., dan 4.6. menyajikan hasil estimasi dampak kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan ekonomi untuk tiga kelompok negara yang berbeda di kawasan ASEAN+6. Setiap model diestimasi dengan menggunakan FirstDifferences Generalized Method of Moments (FD- GMM) dalam estimasi noconstant. Tabel 4.4. Hasil Estimasi Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan Keterbukaan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Seluruh Negara Kawasan ASEAN+6 (Model 1) dengan FirstDifferences GMM lnY Estimated Coefficients Standard Error P>|z| Lag lnY 0.600436 0.0755256 0.000 lnGEXP 0.2087668 0.0492418 0.000 lnM2 0.1564963 0.0461949 0.001 OPNESS 0.0008925 0.0002529 0.000 1.034321 0.021442 0.000 0.7331012 0.0782741 0.000 Pooled Least Square Lag lnY Fixed Effect Lag lnY AB Test Arrelano-Bond m1 Arrelano-Bond m2 Sargan Test z - 4.0346 -1.3358 chi2 (77) 95.28581 Prob > z 0.0001 0.1816 Prob > chi2 0.0773 71 Tabel 4.5. Hasil Estimasi Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan Keterbukaan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Negara-Negara Berkembang di Kawasan ASEAN+6 (Model 2) dengan First-Differences GMM lnY Estimated Coefficients Standard Error P>|z| Lag lnY 0.5099078 0.0931136 0.000 lnGEXP 0.344129 0.0617738 0.000 lnM2 0.1446506 0.0497761 0.004 OPNESS 0.001415 0.0003698 0.000 0.8611424 0.0285643 0.000 0.6198262 0.100569 0.000 Pooled Least Square Lag lnY Fixed Effect Lag lnY AB Test Arrelano-Bond m1 Arrelano-Bond m2 Sargan Test z - 2.954 -2.2472 chi2 (47) 57.08895 Prob > z 0.0031 0.0246 Prob > chi2 0.1487 72 Tabel 4.6. Hasil Estimasi Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan Keterbukaan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Negara-Negara Maju di Kawasan ASEAN+6 (Model 3) dengan First-Differences GMM lnY Estimated Coefficients Standard Error P>|z| Lag lnY 0.5726663 0.1426933 0.000 lnGEXP -0.0596399 0.1068164 0.577 lnM2 0.2851412 0.1142142 0.013 OPNESS 0.0007038 0.00003643 0.053 1.056541 0.0707485 0.000 0.5639035 0.1380736 0.000 Pooled Least Square Lag lnY Fixed Effect Lag lnY AB Test z Prob > z Arrelano-Bond m1 - 2.5285 Arrelano-Bond m2 -.89832 0.3690 chi2 (34) Prob > chi2 Sargan Test 42.90296 0.0115 0.1408 Secara umum metode estimasi dalam model data panel dinamis menunjukkan hasil estimasi yang cukup baik, hal ini terlihat dari tingkat signifikansi dan tanda koefisien estimasi pada setiap model yang dibangun hampir seluruhnya sesuai dengan harapan teoritis. Selain dari tanda koefisien estimasi sesuai dengan harapan, metode 73 panel dinamis dengan pendekatan GMM yang digunakan secara umum telah memenuhi kiteria model terbaik secara statistik. Kriteria model panel dinamis dengan pendekatan GMM terbaik adalah konsistensi, validitas instrumen, dan tidak bias. Namun pada model 1 dan model 2, tidak terpenuhinya kriteria tidak bias. Sehingga dapat dikatakan model 1 dan model 2 masih mengandung bias. Penduga FD/ABGMM dapat mengandung bias pada sampel terbatas (berukuran kecil), hal tesebut dapat terjadi ketika tingkat lag (lagged level) dari deret berkorelasi secara lemah dengan first-difference berikutnya, sehingga instrument yang tersedia untuk persamaan first-difference lemah (Blundell & Bond, 1998). Verbeek (2005) menyatakan bahwa penduga yang bias dapat terjadi jika instrumen hanya memperlihatkan hubungan atau korelasi yang lemah dengan regresi endogen. Dari keseluruhan model 1, 2, dan 3, terlihat bahwa kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan bersifat ekspansif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di seluruh negara, kelompok negara-negara berkembang, dan kelompok negara-negara maju di kawasan ASEAN+6. Kebijakan fiskal bersifat ekspansif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi hanya untuk seluruh negara dan kelompok negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6. Pada model 1 yaitu untuk seluruh negara di kawasan ASEAN+6, dengan menggunakan Arellano-Bond Generalized Method of Moments (AB/FD-GMM) dalam estimasi noconstant dengan variabel predetermined keterbukaan ekonomi (OPNESS). Jika dilihat dari konsistensi estimasi yang ditunjukkan oleh hasil Arellano-Bond (AB) dengan nilai statistik m1 (-4.0346) dengan nilai probabilitas 0.0001 menunjukkan signifikansi pada taraf nyata 1 persen, 5 persen dan 10 persen. 74 Sedangkan nilai statistik m2 (-1.3358) dengan nilai probabilitas 0.1816 menunjukkan nilai yang tidak signifikan pada tarf nyata 1 persen, 5 persen maupun 10 persen, maka berdasarkan uji ini penduga dikatakan konsisten. Kriteria kesempurnaan model dinamis ini juga dilihat dari estimasi sargan dengan nilai statistik sebesar 95.28581 dan probabilitas 0.0773 yang tidak signifikan pada taraf nyata 1 persen dan 5 persen menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antar residu dan over-identifying resrictions sehingga bisa dikatakan tidak ada masalah dengan validitas instrumen. Model dinamis yang dibangun ini terakhir disempurnakan oleh hasil estimasi yang tidak bias. Namun pada model 1 ini asumsi tidak bias tidak terpenuhi karena nilai estimasi koefisien variabel lag lnY (0.600436) berada dibawah nilai estimasi Pooled Least Square (PLS) (1.034321) maupun fixed effect (0.7331012). Sehingga model 1 ini masih mengandung bias, tetapi model ini merupakan model terbaik yang dipilih setelah melalui beberapa rekayasa statistika. Pada model 2 untuk negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6 dengan menggunakan estimasi Arellano-Bond Generalized Method of Moments (AB/FD-GMM) dalam estimasi noconstant dengan variabel predetermined pengeluaran pemerintah (lnGEXP). Jika dilihat dari konsistensi estimasi yang ditunjukkan oleh hasil Arellano-Bond (AB) dengan nilai statistik m1 (- 2.954) yang signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen, maupun 10 persen dan nilai statistik m2 (- 2.2472) yang tidak signifikan pada taraf nyata 1 persen, maka penduga dikatakan konsisten. Selain itu validitas instrument model dinamis dari dampak kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari estimasi Sargan Test dengan nilai statistik sebesar 75 57.08895 dan nilai probabilitas sebesar 0.1487 yang tidak signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen maupun 10 persen. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antar residu dan over-identifying restrictions mendeteksi tidak ada masalah dengan validitas instrument. Kesempurnaan hasil estimasi dari panel dinamis juga harus bersifat tidak bias (unbiased), dimana hal tersebut dapat terlihat dari koefisien lag dependen hasil estimasi GMM berada di atas hasil estimasi Fixed effect dan di bawah hasil estimasi Pooled Least Square. Namun pada penelitian ini asumsi tersebut tidak terpenuhi, dimana nilai estimasi dari koefisien lag lnY (0.5099078) berada di bawah koefisien estimasi fixed effect (0.6198262) maupun PLS (0.8611424), sehingga dapat dikatakan estimasi model dinamis ini adalah bias (biased). Pada model ketiga untuk kasus kelompok negara-negara maju di kawasan ASEAN+6. Uji spesifikasi dalam pemodelan ini menggunakan Arrellano-Bond (ABGMM/FD-GMM) noconstant. Konsistensi estimasi ditunjukkan oleh hasil uji Arellano-Bond nilai statistik m1 (-2.5285) dengan nilai probabilitas 0.0115 yang siginifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen dan 10 persen dan nilai statistik m2 (-0.89832) dengan nilai probabilitas 0.3690 yang tidak signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen maupun 10 persen, maka berdasarkan uji Arrellano-Bond, model ini dikatakan sudah konsisten. Kriteria lainnya yakni uji Sargan menunjukkan nilai statistik sebesar 42.90296 dan probabilitas sebesar 0.1408 yang tidak signifikan pada taraf nyata 1 persen, 5 persen, dan 10 persen yang menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antar residu dan over-identyfing restrictions sehingga instrumen valid. Hasil estimasi yang tidak bias ditunjukkan oleh model ini dimana nilai estimasi koefisien 76 lag lnY (0.5726663) yang berada diatas estimasi fixed effect (0.5639035) dan dibawah estimasi PLS (1.056541). Estimasi yang diperlihatkan dalam Tabel 4.4., Tabel 4.5. dan Tabel 4.6. telah memberikan informasi tentang dampak kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan baik untuk seluruh negara, kelompok negara-negara berkembang maupun kelompok negara-negara maju di kawasan ASEAN+6. Pembahasan selanjutnya akan secara fokus membahas variabel-variabel yang signifikan memengaruhi pertumbuhan ekonomi, serta bagaiman regresor memengaruhi variabel dependen sesuai hasil estimasi pada Tabel 4.4., Tabel 4.5. dan Tabel 4.6.. Variabel-variabel tersebut akan dijelaskan sebagai berikut : 4.5.2.1. Variabel Lag Dependent (Pertumbuhan Ekonomi) Berdasarkan hasil dari estimasi yang diperlihatkan Tabel 4.4., Tabel 4.5. dan Tabel 4.6.. Koefisien dari lag dependent (pertumbuhan ekonomi) bertanda positif dan signifikan pada taraf nyata 1 persen, yaitu sebesar 0.600436 pada model satu, 0.5099078 pada model dua, dan 0.5726663 pada model tiga. Nilai koefisien tersebut menjelaskan bahwa jika terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi (GDP riil) pada periode/tahun sebelumnya sebesar 1 persen, cateris paribus, akan direspon oleh peningkatan GDP riil sebesar 0.6000436 persen untuk model satu, 0.5099 persen untuk model dua dan 0.5726663 untuk model tiga, begitu juga sebaliknya. Hubungan yang positif ini menandakan pertumbuhan ekonomi (GDP riil) untuk periode selanjutnya berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi (GDP riil) pada 77 periode sebelumnya. Dengan mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi pada periode sebelumnya, setiap negara dapat mengambil kebijakan makroekonomi yang tepat agar bisa mengarahkan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan terutama bagi negara-negara yang masih berkembang dimana tingkat pertumbuhan ekonomi merupakan indikator utama yang dijadikan tolak ukur dari keberhasilan kebijakan-kebijakan makroekonomi. Semua negara yang berada dalam seluruh kawasan ASEAN+6 ingin mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan , sehingga kebijakan mengenai tujuan pertumbuhan ekonomi di setiap negara akan disesuaikan dengan kondisi perekonomian masing-masing negara. 4.5.2.2. Variabel Pengeluaran Pemerintah Pendekatan model IS-LM menjelaskan baahwa pengeluaran pemerintah bersama-sama dengan pengeluaran konsumsi dan investasi membentuk pengeluaran yang direncanakan (Mankiw, 2002). Peningkatan pengeluaran pemerintah merupakan salah satu kebijakan fiskal ekspansif atau demand shocks. Peningkatan AD akan menggeser keseimbangan di pasar barang sehingga pengeluaran agregat akan naik sebagai konsekuensinya output akan meningkat atau terjadinya peningkatan pertumbuhan ekonomi (GDP riil). Hasil estimasi pada kasus seluruh negara di kawasan ASEAN+6 (Model 1) dan kasus kelompok negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6 (Model 2) menunjukkan bahwa variabel pengeluaran pemerintah signifikan meningkatkan pertumbuhan ekonomi . Koefisien variabel pengeluaran pemerintah (lnGEXP) 78 bertanda positif dan signifikan pada taraf nyata 1 persen, yaitu sebesar 0.2087668 pada model satu, 0.344129 pada model dua. Nilai koefisien tersebut dapat diintepretasikan bahwa apabila terjadi peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 1 persen, cateris paribus, akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (GDP Riil) sebesar 0.2087668 persen pada model satu dan 0.344129 pada model dua, begitu juga sebaliknya. Secara umum di negara-negara berkembang, peranan pemerintah dalam perekonomian relatif besar dimana pengeluaran pemerintah praktis dapat mempengaruhi aktivitas ekonomi. Pada umumnya, bukan saja karena pengeluaran ini dapat menciptakan berbagai prasarana yang dibutuhkan dalam proses pembangunan, tetapi juga merupakan salah satu komponen dari permintaan agregar yang kenaikannya akan mendorong produksi domestik. 4.5.2.3.Variabel Jumlah Uang Beredar Teori preferensi likuiditas menunjukkan bahwa untuk setiap tingkat pendapatan, kenaikan keseimbangan uang riil menyebabkan turunnya tingkat bunga. Karena itu, keseimbangan di pasar uang akan turun. Sehingga dengan adanya kenaikan jumlah uang beredar akan menurunkan tingkat bunga dan dan menaikkan tingkat pendapatan (GDP). Tingkat bunga yang lebih rendah, akan memiliki dampak ke pasar barang. Dimana hal ini akan mendorong investasi yang direncanakan, produksi akan meningkat dan pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan (Y). Tetapi dalam hal ini bagaiman ekspansi moneter mendorong pengeluaran yang lebih 79 besar atas barang dan jasa, diperlukan sebuah proses yang disebut dengan mekanisme transmisi moneter. Hasil estimasi pada setiap model, menunjukkan variabel jumlah uang beredar (M2) mempunyai pengaruh siginifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan level signifikansi 1 persen pada model satu dan model dua serta 5 persen pada model tiga. Koefisien estimasi variabel lnM2 sebesar 0.1564963 untuk model satu, 0.1446506 untuk model dua dan 0.2851412 untuk model tiga. Nilai koefisien ini dapat diartikan, jika jumlah uang beredar (M2) meningkat sebesar 1 persen, cateris paribus, akan direspon oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.1564963 persen untuk seluruh negara di kawasan ASEAN+6 (Model 1), 0.1446506 persen untuk kelompok negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6 dan sebesar 0.2851412 persen untuk kelompok negara-negara maju di kawasan ASEAN+6. Adanya peningkatan jumlah uang beredar hal ini menandakan adanya kebijakan moneter yang ekspansif. Peningkatan jumlah uang beredar, berarti akan menurunkan tingkat suku bunga. Kenaikan pada M2 mrnyebabkan keseimbangan uang riil naik , karena tingkat harga P adalah tetap dalam jangka pendek. Analisis dengan menggunakan pendekatan daur hidup usaha maka negara berkembang masuk dalam kategori bertumbuh (growth) dibanding negara maju yang masuk dalam kategori matang (mature). Artinya bahwa terdapat daya tarik dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang tentu saja disertai oleh return yang tinggi pula, karena pertumbuhan ekonomi merupakan indikator agregat dari industri di suatu negara. Berdasarkan pendekatan Likuiditas (liquidity approach), jumlah uang beredar 80 didefinisikan sebagai jumlah uang untuk kebutuhan transaksi ditambah uang kuasi. Hal ini dilandasi pertimbangan bahwa sekalipun uang kuasi merupakan aset finansial yang kurang likuid dibandingkan uang kertas, uang logam, dan uang rekening giro, tetapi sangat mudah diubah menjadi uang yang dapat digunakan untuk keperluan transaksi. Meningkatnya M2 secara langsung maupun tidak langsung mengindikasikan bahwa perekonomian masyarakat menjadi meningkat. Sebab peningkatan deposito barjangka mengandung pengertian bahwa tingkat penghasilan masyarakat sudah lebih besar dari tingkat konsumsi. Keputusan seseorang menyimpan dananya di Bank dalam bentuk deposito merupakan keputusan investasi yang didorong oleh tingkat bunga yang diberikan. 4.5.2.4.Variabel Keterbukaan Perdagangan Keterbukaan perdagangan dapat diartikan sebagai volume perdagangan internasional. Estimasi yang dihasilkan pada penelitian sejalan dengan konsep teori. Volume perdagangan yang meningkat berarti terdapat penambahan dalam jumlah ekspor dan impor. Hasil estimasi pada setiap model menyatakan bahwa keterbukaan perdagangan (trade openness) berpengaruh signifikan pada level 1 persen untuk model satu dan model dua sedangkan level signifikansi model tiga sebesar 10 persen. Hubungan positif ini menandakan bahwa semakin meningkatnya keterbukaan perdagangan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi baik di seluruh negara, kelompok negara-negara berkembang maupun kelompok negara-negara maju di 81 kawasan ASEAN+6. Pernyataan tersebut berdasarkan nilai estimasi koefisien keterbukaan perdagangan sebesar 0.0008925 untuk model satu, 0.001415 untuk model dua dan 0.0003643 untuk model tiga. Hal tersebut dapat diinterpretasikan jika terjadi kenaikan keterbukaan perdagangan sebesar 1 persen, cateris paribus, akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di seluruh negara kawasan ASEAN+6 (Model 1) sebesar 0.0008925 persen, 0.001415 persen di negara-negara berkembang kawasan ASEAN+6 (Model 2) dan 0.0003643 persen di negara-negara maju kawasan ASEAN+6 (Model 3). Hasil ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya seperti Wacziarg dan Welch (2003), Sohn dan Lee (2006), Chen dan Gupta (2006), serta Chang et al. (2009) yang menyimpulkan bahwa perdagangan luar negeri memiliki peran penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi di sebagian besar negara di dunia. Peningkatan dalam jumlah ekspor mengindikasikan adanya permintaan luar negeri terhadap barang domestik yang meningkat. Peningkatan ini berdampak pada peningkatan jumlah output perekonomian yang diproduksi, peningkatan investasi dan peningkatan penggunaan input faktor produksi. Penambahan dalam output perekonomian akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Selain itu, ekspor juga menghasilkan devisa yang dihitung sebagai pendapatan negara. Demikian pula dari sisi impor, menurut teori keunggulan komparatif, negara yang memiliki keunggulan dalam memproduksi suatu barang akan meningkatkan produksinya sebagai barang ekspor. Sebaliknya, suatu negara akan mengimpor barang yang tidak efisien dihasilkan negaranya. Dengan melakukan impor, suatu negara akan mendapatkan barang yang lebih murah daripada memproduksi sendiri. 82 Barang impor yang datang ke pasar domestik dengan harga yang murah akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat relatif meningkat (pendapatan nominal yang tetap dengan tingkat harga yang turun akan meningatkan daya beli masyarakat). Peningkatan pendapatan relatif perseorangan akan meningkatkan pendapatan nasional, dan selanjutnya akan meningkatkan pendapatan nasional, dan selanjutnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Selain negara berkembang memiliki ketergantungan terhadap perdagangan internasional. Proporsi pendapatan nasional negara berkembang sebagian besar diperoleh dari perdagangan internasional. Jika dilihat dari besaran koefisiennya tingkat keterbukaan ekonomi untuk negara maju lebih kecil dibandingkan koefisien keterbukaan ekonomi di negara berkembang. Hal ini karena negara maju tidak terlalu memiliki ketergantungan dengan perdagangan internasional, tetapi negara maju lebih memperdagangkan produk olahan dan jasa sehingga volume perdagangan internasionalnya lebih besar daripada negara berkembang. Negara maju dengan pendapatan yang tinggi, membuat volume perdagangan internasional yang besar hanya memberikan sumbangan kecil terhadap pendapatan nasional. 4.5.2.5.Dampak Efektivitas Relatif antara Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan Keterbukaan Perdagangan di Kawasan ASEAN+6 Efektivitas relatif dari ketiga variabel yang diteliti dimana masing-masing merupakan proksi dari kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan dapat dilihat dengan cara membandingkan nilai koefisien dari masing- 83 masing variabel. Tabel 4.7. di bawah ini merangkum hasil estimasi dari berbagai model yang diteliti. Tabel 4.7. Perbandingan Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Berbagai Kelompok Negara di ASEAN+6 Independent Variable Lag lnY Model 1 (Seluruh Negara di ASEAN+6) Model 2 (Negara Berkembang di ASEAN+6) [0.600436] [0.5099078] (0.0000) (0.000) lnGEXP [0.2087668] [0.344129] (0.000) (0.000) lnM2 [0.1564963] [0.1446506] (0.001) (0.004) OPNESS [0.0008925] [0.001415] (0.000) (0.000) Keterangan : [...] nilai koefisien dan (…) nilai probabilitas. Model 3 (Negara Maju di ASEAN+6) [0.5726663] (0.000) [-0.0596399] (0.577) [0.2851412] (0.013) [0.0007038] (0.053) Model dua untuk kelompok negara-negara berkembang variabel kebijakan fiskal dengan nilai koefisien lnGEXP sebesar 0.344 lebih besar daripada nilai koefisien lnM2 (kebijakan moneter) sebesar 0.145 dan keterbukaan perdagangan sebesar 0.014. Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk kasus negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6 ketiga variabel penelitian yaitu kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan bersifat ekspansif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan dampak kebijakan fiskal terhadap GDP relatif lebih cepat daripada kebijakan moneter maupun keterbukaan perdagangan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan fiskal lebih besar pengaruhnya dibandingkan kebijakan moneter ataupun keterbukaan perdagangan. Hal ini 84 menunjukkan bahwa peranan pemerintah sangat dominan di negara-negara berkembang dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Temuan ini juga didukung oleh penelitian-penelitian sebelumnya seperti Silalahi dan Cahwa (2011) menemukan dampak kebijakan fiskal terhadap GDP di Indonesia relatif lebih cepat daripada kebijakan moneter untuk periode 1990-2010. Pada prinsipnya Keynes berpendapat bahwa kebijakan fiskal lebih besar pengaruhnya terhadap output daripada kebijakan moneter. Alasannya adalah kebijakan fiskal mampu meningkatkan permintaan agregat secara langsung Model 3 untuk kelompok negara-negara maji di kawasan ASEAN+6. Variabel kebijakan fiskal yaitu lnGEXP tidak memenuhi harapan teori dan tidak signifikan. Dari perbandingan semua nilai koefisien variabel yang signifikan bahwa kebijakan moneter dengan nilai koefisien lnM2 sebesar 0.285 lebih besar daripada nilai koefisien kebijakan perdagangan (OPNESS) sebesar 0.0007. Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk kasus negara-negara maju di kawasan ASEAN+6 kebijakan moneter dan kebijakan perdagangan bersifat ekspansif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kebijakan moneter lebih cepat daripada kebijakan perdagangan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara maju di kawasan ASEAN+6. Jumlah uang beredar memainkan peranan penting di negara maju dalam meningkatkan pertumbuhan ekonominya, hal ini karena di negara maju peranan sektor swasta melalui pasar finansial lebih dominan daripada intervensi pemerintah langsung.