BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teh Hijau Teh adalah bahan minuman yang secara universal dikonsumsi di banyak negara serta berbagai lapisan masyarakat (Tuminah, 2004). Teh juga mengandung banyak bahan-bahan aktif yang bisa berfungsi sebagai antioksidan maupun antimikroba (Gramza et al., 2005). Teh hijau merupakan teh yang tidak mengalami proses fermentasi dan banyak dikonsumsi orang karena nilai medisnya. Teh hijau kerap digunakan untuk membantu proses pencernaan dan juga karena kemampuannya dalam membunuh bakteri. Kandungan polifenol yang tinggi dalam teh hijau dimanfaatkan untuk membunuh bakteri-bakteri perusak dan juga bakteri yang menyebabkan penyakit di rongga mulut (penyakit periodontal) (Kushiyama et al., 2009). Konsumsi teh hijau juga dipercayai memiliki efek untuk menurunkan angka mortalitas pasienpasien dengan penyakit pneumonia (Watanabe et al., 2009). 2.1.1. Taksonomi Pada zaman dahulu, genus Camellia dibedakan menjadi beberapa spesies teh yaitu sinensis, assamica, dan irrawadiensis. Namun, pada tahun 1958, semua jenis teh secara universal dikenal sebagai suatu spesies tunggal yaitu Camellia sinensis dengan nama varietas yang berbeda. Taksonomi teh adalah sebagai berikut (Tuminah, 2004 dan Mahmood et al., 2010) : Superdivisi : Spermatophyta (tumbuhan biji) Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga) Kelas : Dicotyledoneae (tumbuhan biji belah) Sub Kelas : Dilleniidae Ordo (bangsa) : Theales Familia (suku) : Theaceae Genus (marga) : Camellia Spesies (jenis) : Camellia sinensis 2.1.2. Morfologi Tanaman Camellia sinensis, suatu tanaman yang berasal dari famili theaceae, merupakan pohon berdaun hijau yang memiliki tinggi 10 - 15 meter di alam bebas dan tinggi 0,6 - 1,5 meter jika dibudayakan sendiri. Daun dari tanaman ini berwarna hijau muda dengan panjang 5 - 30 cm dan lebar sekitar 4 cm. Tanaman ini memiliki bunga yang berwarna putih dengan diameter 2,5 - 4 cm dan biasanya berdiri sendiri atau saling berpasangan dua-dua (Ross, 2005). Buahnya berbentuk pipih, bulat, dan terdapat satu biji dalam masing-masing buah dengan ukuran sebesar kacang (Biswas, 2006). Gambar. 2.1. Daun Camellia sinensis (Kress, 2011) 2.1.3. Kandungan Teh Hijau Komposisi senyawa-senyawa dalam teh hijau sangatlah kompleks yaitu protein (15-20%); asam amino seperti teanine, asam aspartat, tirosin, triptofan, glisin, serin, valin, leusin, arginin (1-4%); karohidrat seperti selulosa, pectin, glukosa, fruktosa, sukrosa (5-7%); lemak dalam bentuk asam linoleat dan asam linolenat; sterol dalam bentuk stigmasterol; vitamin B,C,dan E; kafein dan teofilin; pigmen seperti karotenoid dan klorofil; senyawa volatile seperti aldehida, alkohol, lakton, ester, dan hidrokarbon; mineral dan elemen-elemen lain seperti Ca, Mg, Mn, Fe, Cu, Zn, Mo, Se, Na, P, Co, Sr, Ni, K, F, dan Al (5%) (Cabrera et al., 2006). Teh telah dilaporkan memiliki lebih dari 4000 campuran bioaktif dimana sepertiganya merupakan senyawa-senyawa polifenol. Polifenol merupakan cincin benzene yang terikat pada gugus-gugus hidroksil. Polifenol dapat berupa senyawa flavonoid ataupun non-flavonoid. Namun, polifenol yang ditemukan dalam teh hampir semuanya merupakan senyawa flavonoid (Sumpio, 2006). Senyawa flavonoid tersebut merupakan hasil metabolisme sekunder dari tanaman yang berasal dari reaksi kondensasi cinnamic acid bersama tiga gugus malonyl-CoA. Banyak jenis-jenis flavonoid yang ada di dalam teh, tetapi yang memiliki nilai gizi biasanya dibagi menjadi enam kelompok besar (Mahmood et al., 2010). Tabel. 2.1. Jenis-Jenis Flavonoid (Mahmood et al., 2010) Gambar 2.2. Struktur Kimia Flavonoid (Mahmood et al.,2010) Dari senyawa-senyawa polifenol tersebut, flavanol atau yang dikenal dengan catechin, merupakan senyawa yang memyumbangkan berat 20-30% dari daun teh yang kering. Senyawa catechin tidak berwarna, larut dalam air, dan berfungsi untuk memberikan rasa pahit pada teh. Modifikasi pada catechin dapat mengubah warna, aroma, dan rasa pada teh. Sebagai contoh, pengurangan kadar catechin dalam teh dapat menambah kualitas aroma dari suatu teh (Mahmood et al., 2010). Selain flavanol, ada juga senyawa yang disebut dengan flavonol. Quercetin, myricetin, dan kaemferol merupakan contoh flavonol utama yang menjadi ekstrak cair dari suatu teh. Flavonol biasanya ditemukan dalam bentuk glycosidic karena bantuk yang non-glycosidic tidak dapat larut dalam air. Selain itu, di dalam teh juga terdapat zat kafein (Mahmood et al., 2010 dan Turkoglu et al., 2010). 2.1.4. Efek Biologis Teh Hijau Semua makhluk hidup baik manusia, hewan, dan tumbuhan setiap harinya rentan terpapar dengan kerusakan yang bersifat oksidatif di lingkungan. Salah satu efek biologis teh hijau adalah bekerja sebagai antioksidan. Kerusakan oleh karena proses oksidasi berasal dari peningkatan radikal bebas baik yang secara endogen (proses inflamasi), maupun secara eksogen (radiasi, polusi, dan asap rokok). Radikal bebas merupakan senyawa oksigen yang tidak stabil ditandai dengan adanya elektron-elektron yang tidak berpasangan. Penelitian oleh Naghma Khan dan Hasan Mukhtar (2007) menunjukkan bahwa sediaan teh hijau dapat menangkap Reactive Oxygen Species (ROS) seperti oksigen yang tidak berpasangan, radikal superoksida, radikal hydroksil, oksida nitrat, peroksinitrit, dan nitrogen dioksida sehingga mengurangi kerusakan pada protein, membran lipid, dan asam nukleat pada sel. Teori radikal bebas menunjukkan bahwa stress oksidatif dan paparan lama terhadap radikal bebas dapat mempercepat proses degenerasi seperti degenerasi neuronal. Parkinson dan penyakit-penyakit kardiovaskular merupakan keadaan dimana terdapat ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Teh hijau memiliki kemampuan untuk melindungi lipid dalam serum dan protein dari stress oksidatif yang dapat mempercepat proses penuaan. Selain itu, teh hijau juga menurunkan penanda kerusakan oksidatif pada DNA yaitu 8-oxodeoxyguanosine (8-oxodG) di ginjal dan serebrum, sehingga dikatakan memiliki efek untuk mencegah proses penuaan secara dini (Mahmood et al., 2010). Senyawa-senyawa utama yang berperan sebagai pelindung kimiawi dalam teh hijau adalah stuktur kompleks flavonoid seperti epigallocatechin gallate (EGCG), epicatechin gallate (ECG), dan epigallocatechin (EGC). Akhir-akhir ini, catechin di dalam teh hijau dipercayai dapat mencegah terjadinya kanker dengan struktur dan fungsi yang sama dengan chaperone. Gambar 2.3. Struktur Kimia Catechin (Carbrera et al., 2006) Teh hijau juga dapat menjadi anti Parkinson, dimana pada proses Parkinson terjadi suatu reaksi dimana L-dopa akan dikonversi menjadi dopamine dan serotonin oleh enzim dopa dekarboksilase. Enzim tersebut ditemukan banyak terdapat pada orang yang khususnya sedang dalam pengobatan hipertensi dan juga pada penyakit Parkinson ,sehingga mengembangkan obat yang dapat secara selektif menghambat enzim tersebut menjadi suatu tantangan yang menarik. Dalam Mahmood et al. (2010), dikemukakan bahwa polifenol dalam teh hijau memiliki efek untuk berikatan dengan enzim tersebut dan bersifat suatu inaktivator yang irreversible sehingga enzim dopa dekarboksilase tidak dapat berikatan dam memecah L-dopa menjadi dopamine dan serotonin. 2.1.5. Efek Antimikroba Teh Hijau Polifenol yang terdapat di dalam teh hijau dikatakan dapat menjadi antimikroba dalam Mahmood et al (2010). Namun, tidak dapat dipastikan dengan jelas spesies apa saja yang dihambat oleh polifenol tersebut. Sebagai contohnya, polifenol dapat menghambat pertumbuhan Helicobacter pylori dan Clostridia spp., tetapi tidak efektif dalam menghadapi bakteri laktat dalam intestinal. Penggunaan antioksidan alami seperti polifenol dalam teh hijau merupakan suatu aspek penting dalam mengurangi kemungkinan infeksi yang ditularkan melalui makanan. Bakteri-bakteri seperti staphylococcus aureus, vibrio cholera, campylobacter jejuni, staphylococcus epidermidis, dan vibrio mimicus sensitif terhadap polifenol. Namun, pada penelitian didapatkan bahwa bakteri gram positif lebih sensitif daripada bakteri gram negatif (Mahmood et al., 2010). 2.1.6. Metode Ekstraksi Soxhletasi Metode ekstraksi daun teh dilakukan dengan metode soxhletasi, yaitu suatu metode ekstraksi secara berkesinambungan dengan menggunakan pelarut yang murni. Metode ini memberikan keuntungan bahwa cairan ekstraksi yang dibutuhkan lebih sedikit dan memberikan hasil ekstrak yang lebih pekat. Namun, kerugian dari metode ini adalah membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu sampai beberapa jam dan tidak cocok untuk mengekstraksi zat yang tidak tahan terhadap pemanasan (Voight, 1994 dan Anonim, 1986). Pada soxhletasi, daun teh yang akan diekstraksi diletakkan dalam kertas saring Whatman No.1 di bagian dalam alat ekstraksi dan gelas yang bekerja berkesinambungan. Wadah gelas yang mengandung kertas saring tersebut diletakkan di antara labu penyulingan dengan pendingin aliran balik dan dihubungkan dengan labu melalui pipa. Labu tersebut berisi ethanol, yang menguap dan mencapai ke dalam pendingin aliran balik melalui pipet, berkondensasi di dalamnya, menetes ke atas bahan yang diekstraksi dan menarik keluar zat yang akan diekstraksi. Larutan kemudian akan berkumpul di dalam wadah gelas, setelah mencapau tinggi maksimalnya secara otomatis dipindahkan ke dalam labu (Putri, 2008). Proses di atas dilangsungkan beberapa kali sirkulasi sampai terekstraksi dengan sempurna yang ditandai dengan cairan ekstrak yang jernih. Cairan ekstrak tersebut kemudian dimasukkan dalam Rotaric evaporator untuk membuat cairan ekstraksi semakin pekat dan menguapkan pelarutnya. Kemudian hasil ekstraksi disimpan dalam botol steril berwarna coklat dalam suhu kamar (25o C) dan untuk mencegah terjadinya proses oksidasi oleh sinar matahari (Rahayu et al., 2009). 2.2. Bakteri Bakteri berasal dari bahasa Latin bacterium (jamak, bacteria) adalah mikroorganisme yang kebanyakan uniseluler (bersel satu), dengan struktur yang lebih sederhana (Tamher, 2008). Bakteri dapat dibagi menjadi dua berdasarkan pewarnaan gram yaitu bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Bakteri gram positif merupakan bakteri yang dapat mempertahankan zat warna primer yaitu kristal karbon ungu, sedangkan bakteri gram negatif adalah bakteri yang mampu melepas zat warna primer dan mengikat zat warna sekunder (safranin) (Kumala, 2006). Contoh bakteri gram positif adalah Staphylococcus, Streptococcus, Bacillus, Corynebacterium, Listeria, dan lain-lain. Bakteri gram negatif contohnya seperti Neisseriaceae, Escherichia, Shigella, Klabsiella, Salmonella, Vibrio, Pseudomonadaceae, Haemoplilus, Bordetella, Brucella (Lucky et al., 1994). 2.2.1. Staphylococcus aureus Taksonomi dari bakteri Staphylococcus aureus adalah sebagai berikut : (Soemarno, 2000) : Ordo: Eubacteriales Famili: Micrococcacea Genus: Staphylococcus Spesies: Staphylococcus aureus Stapylococcus merupakan bakteri gram positif berbentuk kokus bulat, berdiameter sekitar 1 mikron tersusun dalam kelompok yang tidak teratur seperti kelompok buah anggur. Bakteri ini dapat dibiakkan baik pada keadaan aerob maupun anaerob dan bersifat tidak bergerak, tidak berkapsul, dan tidak berspora. (Kayser et al., 2005). Suhu optimal bagi bakteri Staphylococcus untuk berkembang adalah pada suhu 37oC, tetapi suhu optimal bagi bakteri ini untuk menghasilkan pigmen adalah pada suhu kamar (20-25oC). Pada media agar, bakteri tersebut memiliki karakteristik koloni berbentuk bulat, diameter 1-2 mm, cembung, buram, mengkilat dan konsistensinya lunak. Warnanya yang khas adalah kuning atau coklat keemasan. (Jawetz, 2007) Gambar. 2.4. Koloni Staphylococcus aureus (Kayser et al., 2005) Gambar. 2.5. Staphylococcus aureus dilihat dengan mikroskop elektron (Food Doctors, 2008) Stapylococcus ditemukan sebagai flora normal pada kulit, saluran pernapasan, dan saluran cerna manusia. Stapylococcus aureus merupakan penyebab infeksi piogenik kulit yang paling sering dan juga merupakan spesies yang paling patogen. Bakteri tersebut mampu menimbulkan penyakit-penyakit yang berspektrum luas pada manusia dimulai dari penyakit yang disebabkan oleh toxin, seperti toxic shock syndrome, sampai dengan penyakit-penyakit yang mematikan seperti septicemia, endocarditis, pneumonia, dan osteomyelitis. (Nickerson et al., 2009) Tabel 2.2. Jenis-Jenis dan Karakteristik Staphylococcus spp. yang Sering Menyerang Manusia (Kayser et al., 2005) Stapylococcus dapat menyebabkan penyakit baik melalui kemampuannya untuk berkembang biak dan menyebar luas di jaringan serta dengan cara menghasilkan berbagai substansi ekstraseluler. Beberapa substansi tersebut adalah: (Jawetz, 1997 dan Sherris et al., 2004) a. Katalase Stapylococcus menghasilkan katalase, yang mengubah hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen b. Koagulase dan Faktor Pengumpal Stapylococcus menghasilkan koagulase, suatu protein mirip enzim yang dapat menggumpalkan plasma yang mengandung oksalat atau sitrat. Memproduksi koagulase dianggap sama dengan memiliki potensi menjadi patogen invasif. Faktor koagulasi adalah kandungan permukaan Staphylococcus aureus yang berfungsi melekatkan organisme ke fibrin atau fibrinogen. Bila berada di dalam plasma, Stapylococcus aureus membentuk gumpalan. c. Enzim lain Enzim-enzim lain yang dihasilkan oleh staphylococcus antara lain adalah hialuronidase, atau faktor penyebar. d. Eksotoksin Alfa toksin merupakan protein heterogen yang bekerja dengan spektrum luas pada membrane sel eukariot. Alfa toksin merupakan hemolisin yang kuat. Beta toksin dapat menguraikan sfingomielin sehingga toksin untuk berbagai sel, termasuk sel darah merah manusia. Delta toksin melisiskan sel darah merah manusia dan hewan. Lamda toksin bersifat heterogen dan terurai menjadi beberapa subunit pada deterjen non ionik. Toksin tersebut mengganggu membrane biologik dan dapat berperan pada penyakit diare akibat Staphylococcus aureus. e. Leukosid Toksin Staphylococcus aureus ini memiliki dua komponen. Leukosid dapat membunuh sel darah putih manusia dan kelinci. Kedua komponen tersebut bekerja secara sinergi pada membran sel darah putih membentuk pori-pori dan meningkatkan permeabilitas kation. f. Toksin Eksfoliatif Toksin ini menyebabkan pemisahan interseluler lapisan epidermis antara stratum spinosum dan stratum granulosum, mungkin melalui disrupsi tautan interseluler. Terdapat dua varian toksin eksoliatif, yaitu varian yang bersifat antigenik pada manusia dan varian yang bertindak sebagai antibodi yang memberi efek anti toksik terhadap toksin itu sendiri. g. Enterotoksin Enterotoksin merupakan penyebab penting dalam keracunan makanan; enterotoksin dihasilkan bila Staphylococcus aureus tumbuh di makanan yang mengandung karbohidrat dan protein. Enterotoksin juga tahan terhadap panas dan resisten terhadap kerja enzim usus. Gambar 2.6. Struktur Staphylococcus aureus (Lowy, 1998) 2.2.2. Escherichia coli Ordo : Eubacteriales Famili : Enterobacteriaceace Genus : Eschericia Spesies : Eschericia coli Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif yang berbentuk batang pendek (kokobasil) dengan ukuran 0,4-0,7 μm, tidak berspora dan beberapa strain mempunyai kapsul. Eschericia coli tumbuh baik pada hampir semua media yang biasa di pakai di laboratorium Mikrobiologi; pada media yang digunakan untuk isolasi kuman enterik, sebagian besar strain E.coli tumbuh sebagai koloni yang meragi laktosa. E.coli bersifat fakultatif anaerob (Jawetz, 2007). Beberapa strain bila ditanam pada agar darah menunjukkan hemolisis tipe beta (Lucky et al, 1994). Escherichia coli secara khas menunjukkan hasil positif pada tes indol, lisin dekarboksilase, dan fermentasi manitol, serta menghasilkan gas dari glukosa (Soemarno, 2000). Pada Mac Conkey agar, E.coli mempunyai karakteristik berwarna merah atau merah jambu, bulat, dan tidak berlendir. Namun, pada Eosin methylene blue agar, E.coli menghasilkan koloni yang berwarna metallic green . Gambar. 2.7. Koloni Bakteri Escherichia coli (Kayser et al., 2005) Escherichia coli merupakan penyebab infeksi saluran kemih yang paling sering pada sekitar 90% infeksi saluran kemih pertama pada wanita muda. Gejala dan tanda-tandanya antara lain sering berkemih, disuria hematuria, dan piuria. Nyeri pinggang ditimbulkan oleh infeksi saluran kemih bagian atas. (Jawetz, 2007) Adapun faktor-faktor patogenitas dari Eschericia coli sebagai berikut: (Lucky et al, 1994) a. Antigen permukaan Pada E.coli paling tidak terdapat 2 tipe fimbria, yaitu tipe sensitif manosa (pili) dan tipe resisten manosa (CFAS I & II). Kedua tipe fimbriae ini penting sebagai colonization factor, yaitu untuk perlekatan sel bakteri pada sel/jaringan inang. b. Enterotoksin Ada dua macam enterotoksin, yaitu toksin LT (termolabin) dan toksin ST (termostabil). Produksi kedua toksin tersebut di atur oleh plasmid yang mampu pindah dari satu sel bakteri ke sel bakteri lainnya. Terdapat dua macam plasmid, yaitu satu plasmid mengkode pembentukan toksin LT dan ST, dan satu plasmid lainnya mengatur pembentukan toksin ST saja. Toksin LT bekerja merangsang enzim adenil siklase yang terdapat di dalam sel epitel mukosa usus halus, menyebabkan peningkatan aktivitas enzim tersebut dan terjadinya peningkatan permeabilitas sel epitel usus yang akan mengakibatkan akumulasi cairan di dalam usus dan berakhir dengan diare. Toksin ST adalah asam amino dengan berat molekul 1970 dalton, mempunyai satu atau lebih ikatan disulfide, yang penting untuk mengatur stabilitas pH dan suhu. Toksin ini bekerja dengan cara mengaktivasi enzim guanilat siklase menghasilkan siklik guanosin monofosfat, menyebabkan gangguan absorpsi klorida dan natrium, selain itu ST juga menurunkan motilitas usus halus. c. Hemolisin Peranan hemolisin pada infeksi oleh E.coli tidak jelas tetapi strain hemolitik E.coli ternyata lebih pathogen daripada strain yang nonhemolitik. 2.2.3. Perbedaan Bakteri Gram Positif dan Gram Negatif Bakteri gram positif dan bakteri gram negatif memiliki perbedaan yang jelas pada dinding selnya. Tabel 2.3. Perbedaan Bakteri Gram Positif dan Bakteri Gram Negatif (Nurkalimah, 2012) 2.3. Antimikroba Antimikroba merupakan substansi yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme, yang mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan ataupun membunuh mikroorganisme lain. Aktivitas antimikroba diukur in vitro untuk menentukan potensi agen antibakteri dalam larutan, konsentrasinya dalam cairan tubuh atau jaringan, dan kerentanan mikroorganisme tertentu terhadap obat dengan konsentrasi tertentu. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikroba in vitro yaitu pH lingkungan, komponen medium, stabilitas obat, ukuran inokulum, lama inkubasi, dan aktivitas metabolik mikroorganisme (Warsa, 1994). 2.3.1. Mekanisme Kerja Antimikroba Ada beberapa mekanisme kerja antimikroba, yaitu: (Jawetz, 1997) a. Menghambat sintesis dinding sel Bakteri mempunyai dinding sel yang mempertahankan bentuk dan ukuran mikroorganisme, yang mempunyai tekanan osmotik internal yang tinggi. Cedera pada dinding sel atau inhibisi pada pembentukannya dapat menyebabknan sel menjadi lisis. Contoh antimikroba golongan ini adalah penisilin, fosfomisin, sikloserin. b. Menghambat fungsi membran sel Sitoplasma semua sel yang hidup diikat oleh membran sitoplasma, yang bekerja sebagai transpor aktif, sehingga mengontrol komposisi internal sel. Jika fungsi itu terganggu akan menyebabkan kerusakan dan kematian sel. Contoh antimikroba golongan ini adalah amfoterisin B, kolisistin, imidazole. c. Menghambat sintesis protein Sintesis protein merupakan hasil akhir dari dua proses utama, yaitu transkripsi atau sintesis asam ribonukleat yang DNA-dependent dan translasi atau sintesis protein yang RNA-dependent. Contoh antimikroba golongan ini adalah eritromisin, linkomisin, tetrasiklin. d. Menghambat sintesis asam nukleat Struktur molekul DNA erat kaitannya dengan dua peran utama yaitu duplikasi dan transkripsi. Contoh antimikroba golongan ini adalah kuinolon, pirimetamin, rifampisin, sulfonamide. 2.3.2. Cara Pengukuran Aktivitas Antimikroba Penentuan kepekaan bakteri patogen terhadap antimikroba dapat dilakukan dengan salah satu metode utama yaitu metode dilusi ataupun metode difusi. Dalam Jawetz (2007), metode-metode utama yang dapat digunakan adalah: a. Metode Dilusi Sejumlah zat antimikroba dimasukkan ke dalam medium bakteriologi padat atau cair. Biasanya digunakan pengenceran dua kali lipat zat antimikroba. Medium akhirnya diinokulasi dengan bakteri yang diuji dan diinokulasi. Tujuan akhirnya adalah mengetahui seberapa banyak jumlah zat antimikroba yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri yang diuji. Kelemahan uji kepekaan dilusi agar membutuhkan waktu yang banyak, prosedur yang rumit dan tidak praktis. b. Metode Difusi Metode yang paling sering digunakan adalah uji difusi cakram. Cakram kertas filter yang mengandung sejumlah tertentu obat diletakkan di atas permukaan medium padat yang telah diinokulasi organisme uji. Setelah inkubasi, diameter zona hambat (daerah jernih di sekitar cakram) diukur untuk menilai daya hambat obat terhadap organisme uji. Zona hambat diukur dengan menggunakan penggaris atau jangka sorong/kaliper. Hasil di katakan peka (sensitif), kurang peka (intermediat), ataupun tidak peka (resisten) berdasarkan hasil pengukuran zona hambat mengacu pada tabel Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) M100-S20, Januari 2010.