BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teh Hijau Teh adalah bahan

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Teh Hijau
Teh adalah bahan minuman yang secara universal dikonsumsi di banyak
negara serta berbagai lapisan masyarakat (Tuminah, 2004). Teh juga mengandung
banyak bahan-bahan aktif yang bisa berfungsi sebagai antioksidan maupun
antimikroba (Gramza et al., 2005).
Teh hijau merupakan teh yang tidak mengalami proses fermentasi dan
banyak dikonsumsi orang karena nilai medisnya. Teh hijau kerap digunakan untuk
membantu proses pencernaan dan juga karena kemampuannya dalam membunuh
bakteri. Kandungan polifenol yang tinggi dalam teh hijau dimanfaatkan untuk
membunuh bakteri-bakteri perusak dan juga bakteri yang menyebabkan penyakit
di rongga mulut (penyakit periodontal) (Kushiyama et al., 2009). Konsumsi teh
hijau juga dipercayai memiliki efek untuk menurunkan angka mortalitas pasienpasien dengan penyakit pneumonia (Watanabe et al., 2009).
2.1.1. Taksonomi
Pada zaman dahulu, genus Camellia dibedakan menjadi beberapa spesies
teh yaitu sinensis, assamica, dan irrawadiensis. Namun, pada tahun 1958, semua
jenis teh secara universal dikenal sebagai suatu spesies tunggal yaitu Camellia
sinensis dengan nama varietas yang berbeda. Taksonomi teh adalah sebagai
berikut (Tuminah, 2004 dan Mahmood et al., 2010) :
Superdivisi
: Spermatophyta (tumbuhan biji)
Divisi
: Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)
Kelas
: Dicotyledoneae (tumbuhan biji belah)
Sub Kelas
: Dilleniidae
Ordo (bangsa) : Theales
Familia (suku) : Theaceae
Genus (marga) : Camellia
Spesies (jenis) : Camellia sinensis
2.1.2. Morfologi Tanaman
Camellia sinensis, suatu tanaman yang berasal dari famili theaceae,
merupakan pohon berdaun hijau yang memiliki tinggi 10 - 15 meter di alam bebas
dan tinggi 0,6 - 1,5 meter jika dibudayakan sendiri. Daun dari tanaman ini
berwarna hijau muda dengan panjang 5 - 30 cm dan lebar sekitar 4 cm. Tanaman
ini memiliki bunga yang berwarna putih dengan diameter 2,5 - 4 cm dan biasanya
berdiri sendiri atau saling berpasangan dua-dua (Ross, 2005). Buahnya berbentuk
pipih, bulat, dan terdapat satu biji dalam masing-masing buah dengan ukuran
sebesar kacang (Biswas, 2006).
Gambar. 2.1. Daun Camellia sinensis (Kress, 2011)
2.1.3. Kandungan Teh Hijau
Komposisi senyawa-senyawa dalam teh hijau sangatlah kompleks yaitu
protein (15-20%); asam amino seperti teanine, asam aspartat, tirosin, triptofan,
glisin, serin, valin, leusin, arginin (1-4%); karohidrat seperti selulosa, pectin,
glukosa, fruktosa, sukrosa (5-7%); lemak dalam bentuk asam linoleat dan asam
linolenat; sterol dalam bentuk stigmasterol; vitamin B,C,dan E; kafein dan teofilin;
pigmen seperti karotenoid dan klorofil; senyawa volatile seperti aldehida, alkohol,
lakton, ester, dan hidrokarbon; mineral dan elemen-elemen lain seperti Ca, Mg,
Mn, Fe, Cu, Zn, Mo, Se, Na, P, Co, Sr, Ni, K, F, dan Al (5%) (Cabrera et al.,
2006).
Teh telah dilaporkan memiliki lebih dari 4000 campuran bioaktif dimana
sepertiganya merupakan senyawa-senyawa polifenol. Polifenol merupakan cincin
benzene yang terikat pada gugus-gugus hidroksil. Polifenol dapat berupa senyawa
flavonoid ataupun non-flavonoid. Namun, polifenol yang ditemukan dalam teh
hampir semuanya merupakan senyawa flavonoid (Sumpio, 2006). Senyawa
flavonoid tersebut merupakan hasil metabolisme sekunder dari tanaman yang
berasal dari reaksi kondensasi cinnamic acid bersama tiga gugus malonyl-CoA.
Banyak jenis-jenis flavonoid yang ada di dalam teh, tetapi yang memiliki nilai
gizi biasanya dibagi menjadi enam kelompok besar (Mahmood et al., 2010).
Tabel. 2.1. Jenis-Jenis Flavonoid (Mahmood et al., 2010)
Gambar 2.2. Struktur Kimia Flavonoid (Mahmood et al.,2010)
Dari senyawa-senyawa polifenol tersebut, flavanol atau yang dikenal
dengan catechin, merupakan senyawa yang memyumbangkan berat 20-30% dari
daun teh yang kering. Senyawa catechin tidak berwarna, larut dalam air, dan
berfungsi untuk memberikan rasa pahit pada teh. Modifikasi pada catechin dapat
mengubah warna, aroma, dan rasa pada teh. Sebagai contoh, pengurangan kadar
catechin dalam teh dapat menambah kualitas aroma dari suatu teh (Mahmood et
al., 2010).
Selain flavanol, ada juga senyawa yang disebut dengan flavonol.
Quercetin, myricetin, dan kaemferol merupakan contoh flavonol utama yang
menjadi ekstrak cair dari suatu teh. Flavonol biasanya ditemukan dalam bentuk
glycosidic karena bantuk yang non-glycosidic tidak dapat larut dalam air. Selain
itu, di dalam teh juga terdapat zat kafein (Mahmood et al., 2010 dan Turkoglu et
al., 2010).
2.1.4. Efek Biologis Teh Hijau
Semua makhluk hidup baik manusia, hewan, dan tumbuhan setiap harinya
rentan terpapar dengan kerusakan yang bersifat oksidatif di lingkungan. Salah satu
efek biologis teh hijau adalah bekerja sebagai antioksidan. Kerusakan oleh karena
proses oksidasi berasal dari peningkatan radikal bebas baik yang secara endogen
(proses inflamasi), maupun secara eksogen (radiasi, polusi, dan asap rokok).
Radikal bebas merupakan senyawa oksigen yang tidak stabil ditandai dengan
adanya elektron-elektron yang tidak berpasangan. Penelitian oleh Naghma Khan
dan Hasan Mukhtar (2007) menunjukkan bahwa sediaan teh hijau dapat
menangkap Reactive Oxygen Species (ROS) seperti oksigen yang tidak
berpasangan, radikal superoksida, radikal hydroksil, oksida nitrat, peroksinitrit,
dan nitrogen dioksida sehingga mengurangi kerusakan pada protein, membran
lipid, dan asam nukleat pada sel.
Teori radikal bebas menunjukkan bahwa stress oksidatif dan paparan lama
terhadap radikal bebas dapat mempercepat proses degenerasi seperti degenerasi
neuronal. Parkinson dan penyakit-penyakit kardiovaskular merupakan keadaan
dimana terdapat ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Teh hijau
memiliki kemampuan untuk melindungi lipid dalam serum dan protein dari stress
oksidatif yang dapat mempercepat proses penuaan. Selain itu, teh hijau juga
menurunkan penanda kerusakan oksidatif pada DNA yaitu 8-oxodeoxyguanosine
(8-oxodG) di ginjal dan serebrum, sehingga dikatakan memiliki efek untuk
mencegah proses penuaan secara dini (Mahmood et al., 2010).
Senyawa-senyawa utama yang berperan sebagai pelindung kimiawi dalam
teh hijau adalah stuktur kompleks flavonoid seperti epigallocatechin gallate
(EGCG), epicatechin gallate (ECG), dan epigallocatechin (EGC). Akhir-akhir ini,
catechin di dalam teh hijau dipercayai dapat mencegah terjadinya kanker dengan
struktur dan fungsi yang sama dengan chaperone.
Gambar 2.3. Struktur Kimia Catechin (Carbrera et al., 2006)
Teh hijau juga dapat menjadi anti Parkinson, dimana pada proses
Parkinson terjadi suatu reaksi dimana L-dopa akan dikonversi menjadi dopamine
dan serotonin oleh enzim dopa dekarboksilase. Enzim tersebut ditemukan banyak
terdapat pada orang yang khususnya sedang dalam pengobatan hipertensi dan juga
pada penyakit Parkinson ,sehingga mengembangkan obat yang dapat secara
selektif menghambat enzim tersebut menjadi suatu tantangan yang menarik.
Dalam Mahmood et al. (2010), dikemukakan bahwa polifenol dalam teh hijau
memiliki efek untuk berikatan dengan enzim tersebut dan bersifat suatu
inaktivator yang irreversible sehingga enzim dopa dekarboksilase tidak dapat
berikatan dam memecah L-dopa menjadi dopamine dan serotonin.
2.1.5. Efek Antimikroba Teh Hijau
Polifenol yang terdapat di dalam teh hijau dikatakan dapat menjadi
antimikroba dalam Mahmood et al (2010). Namun, tidak dapat dipastikan dengan
jelas spesies apa saja yang dihambat oleh polifenol tersebut. Sebagai contohnya,
polifenol dapat menghambat pertumbuhan Helicobacter pylori dan Clostridia spp.,
tetapi tidak efektif dalam menghadapi bakteri laktat dalam intestinal.
Penggunaan antioksidan alami seperti polifenol dalam teh hijau merupakan
suatu aspek penting dalam mengurangi kemungkinan infeksi yang ditularkan
melalui makanan. Bakteri-bakteri seperti staphylococcus aureus, vibrio cholera,
campylobacter jejuni, staphylococcus epidermidis, dan vibrio mimicus sensitif
terhadap polifenol. Namun, pada penelitian didapatkan bahwa bakteri gram positif
lebih sensitif daripada bakteri gram negatif (Mahmood et al., 2010).
2.1.6. Metode Ekstraksi Soxhletasi
Metode ekstraksi daun teh dilakukan dengan metode soxhletasi, yaitu
suatu metode ekstraksi secara berkesinambungan dengan menggunakan pelarut
yang murni. Metode ini memberikan keuntungan bahwa cairan ekstraksi yang
dibutuhkan lebih sedikit dan memberikan hasil ekstrak yang lebih pekat. Namun,
kerugian dari metode ini adalah membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu
sampai beberapa jam dan tidak cocok untuk mengekstraksi zat yang tidak tahan
terhadap pemanasan (Voight, 1994 dan Anonim, 1986).
Pada soxhletasi, daun teh yang akan diekstraksi diletakkan dalam kertas
saring Whatman No.1 di bagian dalam alat ekstraksi dan gelas yang bekerja
berkesinambungan. Wadah gelas yang mengandung kertas saring tersebut
diletakkan di antara labu penyulingan dengan pendingin aliran balik dan
dihubungkan dengan labu melalui pipa. Labu tersebut berisi ethanol, yang
menguap dan mencapai ke dalam pendingin aliran balik melalui pipet,
berkondensasi di dalamnya, menetes ke atas bahan yang diekstraksi dan menarik
keluar zat yang akan diekstraksi. Larutan kemudian akan berkumpul di dalam
wadah gelas, setelah mencapau tinggi maksimalnya secara otomatis dipindahkan
ke dalam labu (Putri, 2008).
Proses di atas dilangsungkan beberapa kali sirkulasi sampai terekstraksi
dengan sempurna yang ditandai dengan cairan ekstrak yang jernih. Cairan ekstrak
tersebut kemudian dimasukkan dalam Rotaric evaporator untuk membuat cairan
ekstraksi semakin pekat dan menguapkan pelarutnya. Kemudian hasil ekstraksi
disimpan dalam botol steril berwarna coklat dalam suhu kamar (25o C) dan untuk
mencegah terjadinya proses oksidasi oleh sinar matahari (Rahayu et al., 2009).
2.2.
Bakteri
Bakteri berasal dari bahasa Latin bacterium (jamak, bacteria) adalah
mikroorganisme yang kebanyakan uniseluler (bersel satu), dengan struktur yang
lebih sederhana (Tamher, 2008).
Bakteri dapat dibagi menjadi dua berdasarkan pewarnaan gram yaitu
bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Bakteri gram positif merupakan
bakteri yang dapat mempertahankan zat warna primer yaitu kristal karbon ungu,
sedangkan bakteri gram negatif adalah bakteri yang mampu melepas zat warna
primer dan mengikat zat warna sekunder (safranin) (Kumala, 2006). Contoh
bakteri
gram
positif
adalah
Staphylococcus,
Streptococcus,
Bacillus,
Corynebacterium, Listeria, dan lain-lain. Bakteri gram negatif contohnya seperti
Neisseriaceae,
Escherichia,
Shigella,
Klabsiella,
Salmonella,
Vibrio,
Pseudomonadaceae, Haemoplilus, Bordetella, Brucella (Lucky et al., 1994).
2.2.1. Staphylococcus aureus
Taksonomi dari bakteri Staphylococcus aureus adalah sebagai berikut :
(Soemarno, 2000) :
Ordo: Eubacteriales
Famili: Micrococcacea
Genus: Staphylococcus
Spesies: Staphylococcus aureus
Stapylococcus merupakan bakteri gram positif berbentuk kokus bulat,
berdiameter sekitar 1 mikron tersusun dalam kelompok yang tidak teratur seperti
kelompok buah anggur. Bakteri ini dapat dibiakkan baik pada keadaan aerob
maupun anaerob dan bersifat tidak bergerak, tidak berkapsul, dan tidak berspora.
(Kayser et al., 2005).
Suhu optimal bagi bakteri Staphylococcus untuk berkembang adalah pada
suhu 37oC, tetapi suhu optimal bagi bakteri ini untuk menghasilkan pigmen adalah
pada suhu kamar (20-25oC). Pada media agar, bakteri tersebut memiliki
karakteristik koloni berbentuk bulat, diameter 1-2 mm, cembung, buram,
mengkilat dan konsistensinya lunak. Warnanya yang khas adalah kuning atau
coklat keemasan. (Jawetz, 2007)
Gambar. 2.4. Koloni Staphylococcus aureus (Kayser et al., 2005)
Gambar. 2.5. Staphylococcus aureus dilihat dengan mikroskop elektron
(Food Doctors, 2008)
Stapylococcus ditemukan sebagai flora normal pada kulit, saluran
pernapasan, dan saluran cerna manusia. Stapylococcus aureus merupakan
penyebab infeksi piogenik kulit yang paling sering dan juga merupakan spesies
yang paling patogen. Bakteri tersebut mampu menimbulkan penyakit-penyakit
yang berspektrum luas pada manusia dimulai dari penyakit yang disebabkan oleh
toxin, seperti toxic shock syndrome, sampai dengan penyakit-penyakit yang
mematikan seperti septicemia, endocarditis, pneumonia, dan osteomyelitis.
(Nickerson et al., 2009)
Tabel 2.2. Jenis-Jenis dan Karakteristik Staphylococcus spp. yang Sering
Menyerang Manusia (Kayser et al., 2005)
Stapylococcus dapat menyebabkan penyakit baik melalui kemampuannya
untuk berkembang biak dan menyebar luas di jaringan serta dengan cara
menghasilkan berbagai substansi ekstraseluler. Beberapa substansi tersebut adalah:
(Jawetz, 1997 dan Sherris et al., 2004)
a.
Katalase
Stapylococcus menghasilkan katalase, yang mengubah hidrogen peroksida
menjadi air dan oksigen
b. Koagulase dan Faktor Pengumpal
Stapylococcus menghasilkan koagulase, suatu protein mirip enzim yang
dapat
menggumpalkan
plasma
yang
mengandung
oksalat
atau
sitrat.
Memproduksi koagulase dianggap sama dengan memiliki potensi menjadi
patogen invasif.
Faktor koagulasi adalah kandungan permukaan Staphylococcus aureus
yang berfungsi melekatkan organisme ke fibrin atau fibrinogen. Bila berada di
dalam plasma, Stapylococcus aureus membentuk gumpalan.
c.
Enzim lain
Enzim-enzim lain yang dihasilkan oleh staphylococcus antara lain adalah
hialuronidase, atau faktor penyebar.
d. Eksotoksin
Alfa toksin merupakan protein heterogen yang bekerja dengan spektrum
luas pada membrane sel eukariot. Alfa toksin merupakan hemolisin yang kuat.
Beta toksin dapat menguraikan sfingomielin sehingga toksin untuk berbagai sel,
termasuk sel darah merah manusia. Delta toksin melisiskan sel darah merah
manusia dan hewan. Lamda toksin bersifat heterogen dan terurai menjadi
beberapa subunit pada deterjen non ionik. Toksin tersebut mengganggu membrane
biologik dan dapat berperan pada penyakit diare akibat Staphylococcus aureus.
e.
Leukosid
Toksin Staphylococcus aureus ini memiliki dua komponen. Leukosid
dapat membunuh sel darah putih manusia dan kelinci. Kedua komponen tersebut
bekerja secara sinergi pada membran sel darah putih membentuk pori-pori dan
meningkatkan permeabilitas kation.
f. Toksin Eksfoliatif
Toksin ini menyebabkan pemisahan interseluler lapisan epidermis antara
stratum spinosum dan stratum granulosum, mungkin melalui disrupsi tautan
interseluler. Terdapat dua varian toksin eksoliatif, yaitu varian yang bersifat
antigenik pada manusia dan varian yang bertindak sebagai antibodi yang memberi
efek anti toksik terhadap toksin itu sendiri.
g. Enterotoksin
Enterotoksin merupakan penyebab penting dalam keracunan makanan;
enterotoksin dihasilkan bila Staphylococcus aureus tumbuh di makanan yang
mengandung karbohidrat dan protein. Enterotoksin juga tahan terhadap panas dan
resisten terhadap kerja enzim usus.
Gambar 2.6. Struktur Staphylococcus aureus (Lowy, 1998)
2.2.2. Escherichia coli
Ordo : Eubacteriales
Famili : Enterobacteriaceace
Genus : Eschericia
Spesies : Eschericia coli
Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif yang berbentuk batang
pendek (kokobasil) dengan ukuran 0,4-0,7 μm, tidak berspora dan beberapa strain
mempunyai kapsul. Eschericia coli tumbuh baik pada hampir semua media yang
biasa di pakai di laboratorium Mikrobiologi; pada media yang digunakan untuk
isolasi kuman enterik, sebagian besar strain E.coli tumbuh sebagai koloni yang
meragi laktosa. E.coli bersifat fakultatif anaerob (Jawetz, 2007). Beberapa strain
bila ditanam pada agar darah menunjukkan hemolisis tipe beta (Lucky et al, 1994).
Escherichia coli secara khas menunjukkan hasil positif pada tes indol, lisin
dekarboksilase, dan fermentasi manitol, serta menghasilkan gas dari glukosa
(Soemarno, 2000). Pada Mac Conkey agar, E.coli mempunyai karakteristik
berwarna merah atau merah jambu, bulat, dan tidak berlendir. Namun, pada Eosin
methylene blue agar, E.coli menghasilkan koloni yang berwarna metallic green .
Gambar. 2.7. Koloni Bakteri Escherichia coli (Kayser et al., 2005)
Escherichia coli merupakan penyebab infeksi saluran kemih yang paling
sering pada sekitar 90% infeksi saluran kemih pertama pada wanita muda. Gejala
dan tanda-tandanya antara lain sering berkemih, disuria hematuria, dan piuria.
Nyeri pinggang ditimbulkan oleh infeksi saluran kemih bagian atas. (Jawetz, 2007)
Adapun faktor-faktor patogenitas dari Eschericia coli sebagai berikut: (Lucky et
al, 1994)
a.
Antigen permukaan
Pada E.coli paling tidak terdapat 2 tipe fimbria, yaitu tipe sensitif manosa
(pili) dan tipe resisten manosa (CFAS I & II). Kedua tipe fimbriae ini penting
sebagai colonization factor, yaitu untuk perlekatan sel bakteri pada sel/jaringan
inang.
b.
Enterotoksin
Ada dua macam enterotoksin, yaitu toksin LT (termolabin) dan toksin ST
(termostabil). Produksi kedua toksin tersebut di atur oleh plasmid yang mampu
pindah dari satu sel bakteri ke sel bakteri lainnya. Terdapat dua macam plasmid,
yaitu satu plasmid mengkode pembentukan toksin LT dan ST, dan satu plasmid
lainnya mengatur pembentukan toksin ST saja.
Toksin LT bekerja merangsang enzim adenil siklase yang terdapat di
dalam sel epitel mukosa usus halus, menyebabkan peningkatan aktivitas enzim
tersebut dan terjadinya peningkatan permeabilitas sel epitel usus yang akan
mengakibatkan akumulasi cairan di dalam usus dan berakhir dengan diare.
Toksin ST adalah asam amino dengan berat molekul 1970 dalton,
mempunyai satu atau lebih ikatan disulfide, yang penting untuk mengatur
stabilitas pH dan suhu. Toksin ini bekerja dengan cara mengaktivasi enzim
guanilat siklase menghasilkan siklik guanosin monofosfat, menyebabkan
gangguan absorpsi klorida dan natrium, selain itu ST juga menurunkan motilitas
usus halus.
c.
Hemolisin
Peranan hemolisin pada infeksi oleh E.coli tidak jelas tetapi strain
hemolitik E.coli ternyata lebih pathogen daripada strain yang nonhemolitik.
2.2.3. Perbedaan Bakteri Gram Positif dan Gram Negatif
Bakteri gram positif dan bakteri gram negatif memiliki perbedaan yang
jelas pada dinding selnya.
Tabel 2.3. Perbedaan Bakteri Gram Positif dan Bakteri Gram Negatif
(Nurkalimah, 2012)
2.3.
Antimikroba
Antimikroba
merupakan
substansi
yang
dihasilkan
oleh
suatu
mikroorganisme, yang mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan
ataupun membunuh mikroorganisme lain.
Aktivitas antimikroba diukur in vitro untuk menentukan potensi agen
antibakteri dalam larutan, konsentrasinya dalam cairan tubuh atau jaringan, dan
kerentanan mikroorganisme tertentu terhadap obat dengan konsentrasi tertentu.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikroba in vitro yaitu pH
lingkungan, komponen medium, stabilitas obat, ukuran inokulum, lama inkubasi,
dan aktivitas metabolik mikroorganisme (Warsa, 1994).
2.3.1. Mekanisme Kerja Antimikroba
Ada beberapa mekanisme kerja antimikroba, yaitu: (Jawetz, 1997)
a. Menghambat sintesis dinding sel
Bakteri mempunyai dinding sel yang mempertahankan bentuk dan ukuran
mikroorganisme, yang mempunyai tekanan osmotik internal yang tinggi. Cedera
pada dinding sel atau inhibisi pada pembentukannya dapat menyebabknan sel
menjadi lisis. Contoh antimikroba golongan ini adalah penisilin, fosfomisin,
sikloserin.
b. Menghambat fungsi membran sel
Sitoplasma semua sel yang hidup diikat oleh membran sitoplasma, yang
bekerja sebagai transpor aktif, sehingga mengontrol komposisi internal sel. Jika
fungsi itu terganggu akan menyebabkan kerusakan dan kematian sel. Contoh
antimikroba golongan ini adalah amfoterisin B, kolisistin, imidazole.
c. Menghambat sintesis protein
Sintesis protein merupakan hasil akhir dari dua proses utama, yaitu
transkripsi atau sintesis asam ribonukleat yang DNA-dependent dan translasi atau
sintesis protein yang RNA-dependent. Contoh antimikroba golongan ini adalah
eritromisin, linkomisin, tetrasiklin.
d. Menghambat sintesis asam nukleat
Struktur molekul DNA erat kaitannya dengan dua peran utama yaitu
duplikasi dan transkripsi. Contoh antimikroba golongan ini adalah kuinolon,
pirimetamin, rifampisin, sulfonamide.
2.3.2. Cara Pengukuran Aktivitas Antimikroba
Penentuan kepekaan bakteri patogen terhadap antimikroba dapat dilakukan
dengan salah satu metode utama yaitu metode dilusi ataupun metode difusi.
Dalam Jawetz (2007), metode-metode utama yang dapat digunakan adalah:
a. Metode Dilusi
Sejumlah zat antimikroba dimasukkan ke dalam medium bakteriologi
padat atau cair. Biasanya digunakan pengenceran dua kali lipat zat antimikroba.
Medium akhirnya diinokulasi dengan bakteri yang diuji dan diinokulasi.
Tujuan akhirnya adalah mengetahui seberapa banyak jumlah zat antimikroba yang
diperlukan untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh bakteri yang diuji.
Kelemahan uji kepekaan dilusi agar membutuhkan waktu yang banyak, prosedur
yang rumit dan tidak praktis.
b. Metode Difusi
Metode yang paling sering digunakan adalah uji difusi cakram. Cakram
kertas filter yang mengandung sejumlah tertentu obat diletakkan di atas
permukaan medium padat yang telah diinokulasi organisme uji. Setelah inkubasi,
diameter zona hambat (daerah jernih di sekitar cakram) diukur untuk menilai daya
hambat obat terhadap organisme uji. Zona hambat diukur dengan menggunakan
penggaris atau jangka sorong/kaliper. Hasil di katakan peka (sensitif), kurang
peka (intermediat), ataupun tidak peka (resisten) berdasarkan hasil pengukuran
zona hambat mengacu pada tabel Clinical and Laboratory Standards Institute
(CLSI) M100-S20, Januari 2010.
Download