BAB5 PENUTUP 5.1 Simpulan Pemahaman infonnan terhadap akad yang telah ditandatangai untuk pembiayaan murabahah, sangat memprihatinkan. Meskipun lembaga keuangan syariah di Indonesia sudah ada sejak dua puluh tahun yang lalu namun tidak membawa perubahan yang besar pada pemahaman masyarakat tentang produk maupun implikasi yang ditimbulkan akibat transaksi yang dilakukan. Pemahaman nasabah tentang akad menggambarkan betapa masyarakat kita masih belum menyadari atau mengabaikan apa yang seharusnya menjadi hak dan kewajibannya. Fenomena yang terjadi adalah nasabah lebih mementingkan bagaimana mendapatkan dana yang diharapkan dengan mengabaikan atau lalai untuk sekedar membaca akad yang akan ditandatangani. Awal mula munculnya lembaga keuangan syariah adalah untuk menghilangkan riba dengan jargonnya profit and loss sharing. Sampai saat ini jargon tersebut belum terealisasi. Karena komposisi pembiayaan yang besar dipakai adalah murabahah. Murabahah sendiri bukanlah produk yang bisa digunakan sebagai pembeda dengan lembaga konvensional. Seharusnya produk bagi hasil yang lebih mendominasi. Pelaksanaan pembiayaan murabahah sendiri masih jauh dari ideal, masih jauh dari apa yang dikatakan patuh dengan syar'i. Pembiayaan murabahah lebih dominan karena lembaga keuangan syariah tidak mau menanggung resiko kerugian atas pembiayaan yang diberikan. KJKS "AKAS" dalam memberikan 76 77 pembiayaan dengan akad murabahah meskipun dalam praktek tidak semua pembiayaan diwakalahkan ~ tetapi secara administrasi semua pembiayaan murabahah diwakalahkan. Dan yang terjadi pelaksanaan pembiayaan murabahah di KJKS "AKAS" tidak ada bedanya dengan praktek riba yang sekarang ada di lembaga-lembaga keuangan konvensional, ·bedanya hanya memakai embel-embel syariah. Karena semua pembiayaan murabahah yang diberikan ditandatangani terlebih dahulu sebelum KJKS "AKAS" memiliki barang yang diinginkan nasa bah. Yangmana ini sangat bertentangan dengan Fatwa DSN MUI No. 4/DSNMUI/IV/2000 tanggal l April 2000 tentang murabahah sebagai landasan syariah transaksi murabahah. Pada ba.gian pertama butir 9 disebutkan bahwa jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahahharus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi ,. milik bank. Meminjam istilahnya Karim (200 1), inilah murabahah salah kaprah. KJKS "AKAS" dalam perlakuan akuntansi murabahah belurn menerapkan PSAK No. I 02 dan kalaupun ada yang sama itu karena kebetulan hal itu dikarenakan PSAK No. l 02 yang baru berlaku efektif tanggal I Januari 2008 tersebut masih belum disosialisasikan penerapannya dan pengelolanya belum pernah mendapatkan pelatihan tentang PSAK No.1 02 dan yang selama dilakukan oleh KJKS "AKAS" adalah mengadopsi apa yang didapat dari Koperasi Syariah yang terlebih dahulu eksis. Dan semua bukanlah karena disengaja akan tetapi lebih karena sistem yang belum memungkinkan untuk dilaksanakannya aturanaturan yang telah ditetapkan dan disahkan. 78 5.2 Implikasi lmplikasi dari penelitian ini adalah, pertama, berkaitan dengan pelaksanaan akad murabahah. Dengan banyaknya pembiayaan murabahah yang terjadi di KJKS "AKAS" yang berkisar sampai 78%, membutuhkan ketelitian dan kehatihatian sumber daya insani (pengelola) serta pelaksanaan akad sehingga tidakjatuh pada wilayah syubhat dan riba. Kedua, skema pembiayaan murabahah dengan penentuan margin, mark up atau keuntungan dalam transaksi jual beli murabahah adalah bunga dengan nama yang berbeda dan jika dilihat dari sudut pandang ekonomi tidak memiliki perbedaan yang mendasar antara keduanya. Perbedaannya hanya terletak pada permasalahan bahwa bunga adalah terkait dengan kontrak utang piutang, sementara margin atau mark up adalah identik dengan kontrak jual beli. Namun perbedaan ini tampaknya tidak membuat batasan laba dalam murabahah dengan bunga dalam utang piutang memiliki perbedaan yang signifikan. Disisi lain dari sudut pandang ek:onomi pembiayaan yang berdasarkan mark-up atau margin dalam murabahah tidak memiliki manfaat ekonomis yang lebih baik jika dibandingkan dengan sistem pinjaman berbasis bunga. Ketiga, penggunaan akad wakalah hendaknya ditandatangi terlebih dahulu sehingga tidak ada kesan bahwa sama saja antara Lembaga Keuangan Syariah dan konvensional. Dan akad murabahah harus ditandatangani setelah barang secara prinsip menjadi milik bank. Keempat, bagi dewan standar akuntansi keuangan. Dari basil penelitian ini perlu diperhatikan bahwa ketika suatu produk telah diedarkan maka seharusnya 79 pelaksanaannya juga harus ~iperhatikan sehingga produk itu tidak hanya dibuat tapi betul-betul di laksanakan. 5.3 Keterbatasan Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus, sehingga penelitian ini tidak bisa digunakan untuk generalisasi. Oleh karena itu diperlukan penelitian yang serupa dengan menambah informan tidak hanya untuk nasabah Koperasi Jasa Keuangan Syariah, namun juga infonnan dari nasabah yang sudah cukup lama berinteraksi dengan lembaga keuangan syariah. Kedua, PSAK No. 102 tentang akuntansi murabahah baru berlaku mulai 1 Januari 2008 dan belum tersosialisasikan pada lembaga keuangan mikro syariah, dan mayoritas lembaga keuangan mikro syariah belum menerapkannya, sehingga untuk kedepan penelitian bisa dilakukan untuk Lembaga Keuangan Syariah yang sudah menerapkan PSAK No. 102.