BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) 2.1.1 Klasifikasi tumbuhan Menurut Herbarium Medanense (2016), mahkota dewa diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermathophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Malvales Suku : Malvaceae Marga : Phaleria Spesies : Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl. Nama Lokal : Mahkota dewa 2.1.2 Morfologi tumbuhan Tanaman mahkota dewa berbentuk perdu yang berumur tahunan. Tinggi tanaman umumnya 1-3 m, tetapi ada yang bisa mencapai 5 m. Kulit batang mahkota dewa berwarna coklat kehijauan, sementara kayunya berwarna putih. Batangnya bulat dan bergetah dengan diameter batang tanaman dewasa mencapai 15 cm. Tanaman ini akan mengeluarkan bunga dan diikuti dengan munculnya buah setelah 9-12 bulan kemudian. Buahnya berwarna hijau saat muda dan 7 Universitas Sumatera Utara menjadi merah marun setelah berumur 2 bulan. Buahnya berbentuk bulat dengan ukuran bervariasi mulai dari sebesar bola pingpong sampai sebesar buah apel. Bagian tumbuhan yang digunakan adalah daun. Daun mahkota dewa merupakan daun tunggal bentuknya lonjong, memanjang dan berujung lancip dengan letak daun berhadapan, bertangkai pendek, ujung dan pangkal runcing, tepi rata, pertulangan menyirip, permukaan licin, warnanya hijau tua, panjang 7-10 cm, dan lebar 2-5 cm (Harmanto, 2001). 2.2 Khasiat Secara tradisional mahkota dewa mempunyai beberapa khasiat yang secara empiris mampu menyembuhkan beberapa penyakit, seperti hepatitis, kanker, tumor, reumatik, alergi, asma (Harmanto, 2001), penyakit diabetes melitus, hipertensi, mengurangi rasa sakit jika terjadi pendarahan atau pembengkakan, asam urat (arthritis gout), penyakit jantung, gangguan ginjal, eksim (penyakit kulit), jerawat dan luka gigitan serangga (Tone, 2013). 2.3 Sistem Imun Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh adalah mekanisme pertahanan tubuh yang bertugas merespon atau menanggapi serangan dari luar tubuh kita. Saat terjadi serangan, biasanya antigen pada tubuh akan mulai menstimulasi sistem kekebalan tubuh. Mekanisme inilah yang akan melindungi tubuh dari serangan berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, dan berbagai kuman penyebab penyakit (Djauzi, 2003). 8 Universitas Sumatera Utara Fungsi sistem imun bagi tubuh ada tiga. Pertama sebagai pertahanan tubuh yakni menangkal benda asing. Kedua, untuk keseimbangan fungsi tubuh terutama menjaga keseimbangan komponen yang tua, dan ketiga, sebagai pengintai (surveillence immune system), untuk menghancurkan sel-sel yang bermutasi atau ganas. Pada prinsipnya jika sistem imun bekerja optimal, maka tidak akan mudah terkena penyakit dan sistem keseimbangannya normal (Djauzi, 2003). Bila sistem imun bekerja pada zat yang diangap asing, maka ada dua jenis respon imun yang mungkin terjadi, yaitu respon imun nonspesifik dan respon imun spesifik (Kresno, 2001). 2.3.1 Komponen sistem imun Adapun komponen dari sistem imun terdiri dari komponen humoral dan komponen seluler. 2.3.1.1 Komponen Seluler Komponen seluler ini terdiri dari: 1. Sel Limfoid Sel limfoid bertugas untuk mengenali antigen. Terdapat beberapa sel limfoid yang terkait dalam mengenali antigen, yaitu limfosit T, limfosit B, dan sel natural killer (NK). Kecuali sel NK, limfosit dilengkapi dengan molekul reseptor untuk mengenali antigen (Subowo, 2009). a. Limfosit T Limfosit T atau sel T memegang peranan penting dalam mengontrol respon imun secara keseluruhan (Kresno, 2001). Sel T adalah sel yang berperan dalam sistem imun spesifik seluler. Sel T terdiri atas beberapa subpopulasi sel yang mempunyai fungsi yang berlainan (Sherwood, 2001). 9 Universitas Sumatera Utara i. Sel Th (T helper) Sel Th adalah sel yang membantu meningkatkan perkembangan sel B aktif menjadi sel Plasma, memperkuat aktivitas sel T sitotoksik dan sel T supresor yang sesuai, dan mengaktifkan makrofag. Sel Th dapat dibedakan menjadi sel Th1 dan Th2. Sel Th1 berperan sebagai limfosit yang akan melepaskan sitokin yang bersifat proinflamasi, sedangkan sel Th2 berperan dalam memproduksi antibodi dengan menstimulasi sel B menjadi sel plasma (Sherwood, 2001). ii. Sel Ts (T suppresor) Sel Ts adalah sel yang berperan dalam membatasi reaksi imun melalui mekanisme “check and balance” dengan limfosit yang lain. Sel Ts menekan aktivitas sel T lainnya dan sel B. Sel Th dan Ts akan berinteraksi dengan adanya metode umpan balik. Sel Th membantu sel Ts beraksi dan sel Ts akan menekan sel T lainnya. Dengan demikian sel Ts dapat menghambat respon imun yang berlebihan dan bersifat antiinflamasi (Sherwood, 2001). iii. Sel Tc (T cytotoxic) Sel Tc mempunyai kemampuan untuk menghancurkan sel alogenik, sel sasaran yang mengandung virus dan sel kanker. Dalam fungsinya, sel Tc memerlukan rangsangan dari sel Th1 (Baratawidjaja, 2012). iv. Sel Tdh (delayed hypersensitivity) Sel Tdh adalah sel yang berperan pada pengerahan makrofag dan sel inflamasi lainnya ke tempat terjadinya reaksi lambat. Dalam fungsinya, memerlukan ransangan dari sel Th1 (Baratawidjaja, 2012). 10 Universitas Sumatera Utara b. Limfosit B Sel B terdapat kurang lebih 25% dari jumlah limfosit total. Pada membran sel B terdapat reseptor khas untuk mengikat antigen. Aktivitas sel B distimulasi dengan adanya sel Th2 menjadi plasma dan akan membentuk antibodi (Tjay dan Rahardja, 2007). Limfosit B adalah sel yang dapat membentuk imunoglobulin (Ig) (Kresno, 2001). Pada saat distimulasi oleh antigen, limfosit B akan merespon dengan cara sekresi antibodi yang mampu mengikat antigen spesifik (Rantam, 2003). Bila sel B dirangsang oleh benda asing, maka sel tersebut akan berproliferasi dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibodi. Antibodi yang dilepas dapat ditemukan di dalam serum (Baratawidjaja, 1991). c. Sel NK Sel Natural Killer (NK) memegang peranan penting dalam pertahanan alamiah terhadap pertumbuhan sel kanker dan berbagai penyakit infeksi, tanpa sensitisasi sebelumnya (Kresno, 2001). Sel NK diperkirakan dapat mengenal struktur-struktur glikoprotein yang muncul pada permukaan sel terinfeksi virus sehingga dapat dibedakan dari sel-sel normal. Pengenalan ini mungkin terjadi melalui reseptor serupa lektin pada permukaan sel NK yang menghantar sel pembunuh dan sasaran saling berhadapan pada jarak yang dekat (Roitt, 2002). 1. Sel fagosit Sel fagosit merupakan sel yang mempunyai kemampuan intrinsik untuk mengikat mikroorganisme secara langsung. Sel utama yang berperan dalam 11 Universitas Sumatera Utara pertahanan non spesifik adalah sel mononuklear (monosit dan makrofag) dan sel polimorfonuklear atau granulosit (Baratawidjaja, 1991). 2.3.1.2 Komponen Humoral Komponen humoral ini terdiri dari: a. Komplemen Komplemen merupakan mediator terpenting dalam reaksi antigen-antibodi, dan terdiri atas sekitar 20 jenis protein yang berbeda satu dengan yang lain baik dalam sifat kimia maupun dalam fungsi imunologik. Jika komplemen diaktifkan akan memberikan proteksi terhadap infeksi dan berperan dalam respon inflamasi. Komplemen juga berperan sebagai opsonin yang dapat meningkatkan fagositosis (Kresno, 2001). b. Interferon Interferon merupakan sitokin berupa glikoprotein yang diproduksi oleh makrofag yang diaktifkan, sel NK dan berbagai sel tubuh yang mengandung nukleus dan dilepaskan sebagai respon terhadap infeksi virus. Interferon mempunyai sifat anti virus dengan menginduksi sel-sel sekitar sel yang terinfeksi virus sehingga menjadi resisten terhadap virus (Roitt, 2002). Interferon dihasilkan sel T (interferon-gamma) atau sel darah putih lain (interferon-alfa) atau fibroblas (interferon-beta) (Corwin, 2009). c. C-Reactive Protein (CRP) CRP merupakan zat yang dibentuk oleh tubuh pada saat infeksi. Perannya adalah sebagai opsonin (zat yang dapat meningkatkan proses fagositosis) dan dapat mengaktifkan komplemen (Roitt, 2002). 12 Universitas Sumatera Utara d. Antibodi Antibodi adalah immunoglobulin (Ig) yang merupakan golongan yang dibentuk oleh sel plasma yang berasal dari proliferasi sel B akibat adanya kontak dengan antigen (Rantam, 2003) sehingga membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan mengaktivasi komplemen dan mengakibatkan hancurnya antigen tersebut (Kresno, 2001). Fungsi utama antibodi adalah sebagai pertahanan terhadap infeksi ekstraselular, virus dan bakteri serta menetralisasi toksinnya (Rantam, 2003). Struktur dasar antibodi berbentuk seperti “Y” memiliki 4 rantai protein yang tersusun dari dua rantai polipeptida ringan (light-chain) dan dua rantai polipeptida berat (heavy-chain) yang identik. Setiap rantai-rantai ini akan dihubungkan oleh ikatan disulfida (Elfidasari, 2014). Struktur antibodi dapat dilihat pada gambar 2.1 Gambar 2.1 Struktur molekul antibodi (Haryana, 1981) 13 Universitas Sumatera Utara Menurut perbedaan struktur dan aktivitas biologis, antibodi dibedakan menjadi 5 jenis dan dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut: Tabel 2.1 Pembagian jenis Imunoglobulin Struktur Subkelas Keterangan Miu (μ) IgM - Merupakan molekul paling besar - Berfungsi sebagai reseptor permukaan sel B untuk tempat antigen melekat dan disekresikan dalam tahap-tahap awal respon sel. Gamma (γ) IgG - Merupakan immunoglobulin yang paling banyak di dalam darah, dihasilkan dalam jumlah besar ketika tubuh terpajan ulang ke antigen yang sama Epsilon (ε) IgE - Merupakan mediator antibodi untuk respon alergi - Mampu melekat pada sel mastosit atau basofil yang melepaskan mediator histamin, heparin, prostaglandin yang dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat Alpha (α) IgA - Ditemukan dalam sekresi sistem pencernaan, pernafasan, dan genitouria, serta dalam air susu dan air mata. Delta (δ) IgD - Terdapat di permukaan sel B, tetapi fungsinya masih belum jelas. Sumber: Sherwood (2001) 2.4 Respon Imun Respon imun adalah tanggapan sistem imun terhadap zat asing, setelah terjadi proses pengenalan oleh sel-sel pengenal (limfosit). Secara umum dinyatakan bahwa respon imun seseorang terhadap patogen terdiri atas respon 14 Universitas Sumatera Utara imun alami atau respon imun non spesifik dan respon imun adaptif atau respon imun spesifik (Subowo, 2009). 2.4.1 Respon Imun Non Spesifik Respon imun non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, oleh karena dapat memberikan respons langsung terhadap antigen (Baratawidjaja, 1991). Respon imun non spesifik (innate immunity) merupakan imunitas alamiah yang telah ada sejak lahir. Imunitas ini tidak ditujukan hanya untuk satu jenis antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen, jadi bukan merupakan pertahanan khusus untuk antigen tertentu (Kresno, 2001). Respon imun non spesifik dapat mendeteksi adanya antigen dan melindungi tubuh dari kerusakan yang diakibatkannya, tetapi tidak mampu mengenali dan mengingat kembali antigen tersebut (Kresno, 2001). Komponen-komponen utama respon imun non spesifik adalah pertahanan fisik dan kimiawi. Pertahanan ini meliputi epitel dan zat-zat antimikroba yang diproduksi pada permukaannya, berbagai jenis protein dalam darah termasuk komponen-komponen sistem komplemen, mediator inflamasi lainnya dan berbagai sitokin, sel-sel fagosit yaitu sel-sel polimorfonuklear, makrofag dan sel natural killer (NK). Salah satu upaya tubuh untuk mempertahankan diri terhadap masuknya antigen adalah dengan menghancurkan antigen yang bersangkutan secara nonspesifik dengan proses fagositosis. Manifestasi respon imun nonspesifik dapat berupa kulit, epitel mukosa, selaput lendir, gerakan silia saluran nafas, batuk dan bersin, lisozim, IgA, pH asam lambung. Selain fagositosis, 15 Universitas Sumatera Utara manifestasi respon imun non spesifik yang lain adalah reaksi inflamasi (Kresno, 2001). Pemeran utama pada respon imun ini adalah makrofag, dibantu oleh neutrofil dan monosit. Sel-sel ini membuat kontak pertama dengan antigen. Fungsinya adalah menghancurkan antigen dengan cara fagositosis dan mengeluarkan reaksi akhir dari respon imun seperti reaksi peradangan saat kulit terluka, pelepasan mediator saat alergi, dan demam saat terjadi infeksi mikroorganisme (Tjay dan Rahardja, 2007). 2.4.2 Respon Imun Spesifik Berbeda dengan respon imun non spesifik, respon imun spesifik membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum dapat memberikan responsnya. Benda asing yang pertama kali muncul dalam tubuh segera dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitisasi sel-sel sistem imun tersebut. Bila sel sistem imun tersebut terpapar kembali dengan benda asing yang sama, maka benda asing yang terakhir ini akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan olehnya (Baratawidjaja, 1991). Dalam respon imun spesifik, limfosit merupakan sel yang memainkan peranan penting karena sel ini mampu mengenali setiap antigen yang masuk ke dalam tubuh, baik yang terdapat pada intraseluler maupun ekstraseluler. Respon imun spesifik dimulai dengan aktivitas makrofag atau antigen presenting cell (APC) yang memproses antigen sehingga menimbulkan interaksi dengan sel-sel sistem imun spesifik. Setelah itu sel-sel sistem imun berproliferasi dan berdiferensiasi sehingga menjadi sel-sel yang memiliki kompetensi imunologik dan mampu bereaksi dengan antigen (Kresno, 2001). 16 Universitas Sumatera Utara Limfosit T dan B (sel T dan B) berasal dari sel induk yang sama yaitu di sumsum tulang belakang. Pada masa janin dan anak-anak, limfosit imatur bermigrasi ke timus dan mengalami pengolahan lebih lanjut menjadi limfosit T. limfosit yang matang di tempat lain selain timus akan menjadi limfosit B (Sherwood, 2001). 2.5 Respon Hipersensitivitas Respon hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas dibagi dalam 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III dan IV (Baratawidjaja, 1991). 2.5.1 Reaksi Hipersensitivitas tipe I Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi alergi, timbul segera sesudah badan terpapar dengan alergen. Pada reaksi ini alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun dengan dibentuknya IgE. Fase reaksi tipe I adalah sebagai berikut : 1. Fase sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan igE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mastosit dan basofil. 2. Fase aktivasi yaitu waktu selama terjadi pemaparan ulang dengan antigen yang spesifik, mastosit melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. 17 Universitas Sumatera Utara 3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respon yang kompleks sebagai efek bahan–bahan yang dilepas mastosit dengan aktivitas farmakologik (Baratawidjaja, 1991). Fase reaksi tipe I dapat dilihat pada gambar 2.2 Gambar 2.2 Reaksi Hipersensitivitas tipe I (Elsevier, 2002). Antigen merangsang sel B untuk membentuk IgE dengan bantuan sel Th2. IgE kemudian diikat oleh mastosit/basofil melalui reseptor Fc. Apabila tubuh terpapar ulang dengan antigen yang sama, maka antigen tersebut akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan mastosit/basofil. Akibat ikatan antigen-IgE, mastosit/basofil mengalami degranulasi dan melepaskan mediator antara lain histamin, yang menimbulkan gejala pada reaksi hipersensitivitas tipe I (Baratawidjaja, 1991). 2.5.2 Reaksi Hipersensitivitas tipe II Reaksi tipe II, disebut juga reaksi sitotoksik, terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. 18 Universitas Sumatera Utara Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel K, selanjutnya ikatan antibodi-antigen dapat mengaktifkan komplemen yang melalui reseptor C3b memudahkan fagositosis dan menimbulkan lisis. Contoh reaksi tipe II ialah reaksi transfusi darah (Baratawidjaja,1991). 2.5.3 Reaksi Hipersensitivitas tipe III Reaksi tipe III disebut juga reaksi imun kompleks, terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi dan mengaktifkan komplemen. Antibodi disini biasanya jenis IgM atau IgG. Komplemen yang diaktifkan kemudian melepas Macrophage Chemotactic Factor. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut melepaskan enzim yang dapat merusak jaringan sekitarnya. Contoh reaksi tipe III ialah Sistemic Lupus Eritematosus, artritis reumatoid dan infeksi lain (Baratawidjaja, 1991) 2.5.4 Reaksi Hipersensitivitas tipe IV Reaksi tipe IV, juga disebut reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediated immunity (CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberkulin yang timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpapar dengan antigen. Reaksi terjadi karena respons sel T yang sudah disensitisasi terhadap antigen tertentu. Disini tidak ada peranan antiodi. Akibat sensitisasi tersebut, sel T melepaskan limfokin, antara lain macrophage inhibition factor (MIF) dan macrophage activation factor (MAF). Makrofag yang diaktifkan dapat menimbulkan kerusakan jaringan (Baratawidjaja, 1991). 19 Universitas Sumatera Utara 2.6 Imunomodulator Imunomodulator merupakan substansi ataupun obat yang dapat memodulasi fungsi dan aktivitas sistem imun baik dengan cara merangsang ataupun memperbaiki fungsi sistem imun (Baratawidjaja, 2012). Imunomodulator adalah senyawa tertentu yang dapat meningkatkan mekanisme pertahanan tubuh baik secara spesifik maupun non spesifik. Fungsi imunomodulator adalah memperbaiki sistem imun dengan cara menekan atau menormalkan reaksi imun yang abnormal (imunosupresan) dan stimulasi (imunostimulan) (Subowo, 2009). 2.6.1 Imunosupresor Imunosupresor adalah senyawa yang dapat menurunkan respon imun yang berlebihan. Imunosupresor mampu menghambat transkripsi dari sitokin dan memusnahkan sel T (Tjay dan Rahardja, 2007). Kegunaannya secara klinis terutama pada transplantasi dalam usaha mencegah reaksi penolakan dan berbagai penyakit inflamasi yang menimbulkan kerusakan, mengatasi penyakit autoimun. Imunosupresor yang banyak digunakan adalah steroid, azatioprin siklosporin-A dan globulin antilimfosit (Baratawijdaja, 1991). 2.6.2 Imunostimulator Imunostimulator adalah senyawa yang dapat meningkatkan respon imun. Imunostimulator dapat mereaktivasi sistem imun dengan berbagai cara seperti meningkatkan jumlah dan aktivitas sel T, NK-cells dan makrofag serta melepaskan interferon dan interleukin (Tjay dan Rahardja, 2007). Imunostimulator banyak digunakan untuk menjaga kondisi tubuh saat terjadinya 20 Universitas Sumatera Utara defisiensi imunitas, pada terapi AIDS, infeksi kronik, dan keganasan terutama yang melibatkan sistem limfatik (Nafrialdi, 2007). Imunostimulan memiliki kemampuan untuk meningkatkan perlawanan terhadap infeksi penyakit terutama oleh sistem fagositik dan merangsang pertumbuhan sel pertahanan tubuh secara alami (Subowo, 2009). Beberapa contoh imunostimulan biologi adalah sitokin, hormon timus, limfokin, interferon, antibodi monoklonal, ekstrak leukosit (transfer factor), jamur, dan tanaman obat (herbal). Sedangkan imunostimulan sintetik yaitu levamisol, isoprinosin, dan muramil dipeptida (Djauzi, 2003). 2.6.3 Levamisol Levamisol adalah derivate tetramizol, obat cacing yang dapat meningkatkan proliferasi sitotoksisitas sel T serta mengembalikan anergi pada beberapa penderita dengan kanker (imunostimulasi nonspesifik). Levamisol dapat meningkatkan efek antigen, mitogen, limfokin, dan faktor kemotaktik untuk merangsang limfosit, granulosit dan makrofag (Baratawidjaja, 1991). Levamisol suatu obat imunomodulasi yang sedang diteliti untuk menentukan kemanjurannya dalam berbagai kanker, penyakit autoimun, infeksi bakteri menahun dan keratitis herpetika. Ia mempengaruhi pertahanan hospes dengan mengatur respon imun seluler, termasuk fungsi leukosit polimononuklear, makrofag dan sel T. Reaktivitas imun segera meningkat setelah pemberian hanya satu dosis dan dianggap menetap beberapa hari sampai beberapa bulan (Katzung, 1989). 21 Universitas Sumatera Utara 2.7 Metode Pengujian Efek Imunomodulator Ada beberapa metode yang digunakan dalam pengujian efek imunomodulator. Beberapa di antaranya adalah metode bersihan karbon, uji respon hipersensitivitas tipe lambat, pengukuran antibodi (titer antibodi) (Roit, 1989). 2.7.1 Uji respon hipersensitivitas tipe lambat Uji respon hipersensitivitas tipe lambat merupakan pengujian efek imunomodulator terkait dengan respon imun spesifik. Respon hipersensitivitas tipe lambat merupakan respon imun seluler yang melibatkan aktivasi sel Th yang akan melepaskan sitokin dan meningkatkan aktivitas makrofag sehingga dapat meningkatkan reaksi inflamasi yang ditandai dengan pembengkakan kaki hewan uji (Roitt, 2002). 2.7.2 Titer antibodi Penilaian titer antibodi merupakan pengujian terhadap respon imun humoral yang melibatkan pembentukan antibodi. Peningkatan nilai titer antibodi terjadi karena peningkatan aktivitas sel Th yang menstimulasi sel B untuk pembentukan antibodi dan peningkatan aktivitas sel B dalam pembentukan antibodi (Roitt, 2002). 22 Universitas Sumatera Utara