UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI PROGRAM S-1 EXTENSION PENGARUH INFLASI, KURS, INVESTASI DAN SUKU BUNGA SERTIFIKAT BANK INDONESIA (SBI) TERHADAP HARGA SAHAM DAN VOLUME PERDAGANGAN SAHAM PT. BANK RAKYAT INDONESIA (Tbk). DI BURSA EFEK INDONESIA SKRIPSI Diajukan oleh: LEO IBRAHIM SIHOMBING 050523064 EKONOMI PEMBANGUNAN Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Medan 2009 Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. ABSTRACK The objective of this research is about analyzing the influence of macroeconomic variables concerning the Share Price and Trading Volume of PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk). The macroeconomic variables that used in this analysis are Inflation, Exchange Rate Rupiahs to US Dollar, Number of Investment, and SBI Rate. The aims of this research are to prove the significantly of macroeconomics’ influences about Share Price and Trade Volume of PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) beside to knowing which of macroeconomics’ variables was dominant to influences above. This research uses multiple regression models as tools in analyzing the variables to get know their influences according to research’s aims. The result shows Number of Investments and SBI Rate significantly influences the Share Price of PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) beside the share price itself was significantly influence the Trade Volume of it. Key words : macroeconomic variables, fundamental analysis, share price, trade volume of shares, BBRI share. ABSTRAK Penelitian ini menganalisis pengaruh variabel-variabel makro ekonomi terhadap harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) yang dilanjutkan dengan analisis terhadap volume perdagangan saham perusahaan tersebut. Variabel-variabel makro yang digunakan dalam penelitian ini adalah Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga SBI. Tujuan dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui pengaruh masingmasing variabel bebas yang digunakan serta variabel bebas mana yang paling berpengaruh terhadap Harga Saham dan Volume Perdangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) selama periode Januari 2004 s.d Desember 2008. Dalam melakukan analisis, peneliti menggunakan model persamaan regresi linier berganda dengan tujuan untuk melihat hubungan antar variabel-variabel bebas yang digunakan terhadap variabel terikatnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh signifikan terhadap Harga Saham adalah variabel Investasi dan variabel Suku Bunga SBI dengan tingkat α 5%, sedangkan dua variabel lain (Inflasi dan Kurs) pengaruhnya tidak signifikan dan variabel yang berpengaruh signifikan terhadap Volume Perdagangan Saham adalah Harga Saham itu sendiri. Kata kunci : variabel makro ekonomi, analisis fundamental, harga saham, volume perdagangan saham, saham BBRI, Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT – Tuhan yang Maha Kuasa karena atas rahmat dan karunia-Nya maka penulis dapat melakukan penelitian dan penyusunan skripsi ini hingga selesai, dengan judul “Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia”. Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarja di Fakultas Ekonomi – Univestas Sumatera Utara, Medan. Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan masukan dan saran dari pembaca untuk penyempurnaan skripsi ini. Penulis juga akan sangat senang jika nanti skripsi ini dapat dijadikan sebagai perbandingan yang kemudian dapat diteruskan sebagai masukan dalam penelitian-penelitian selanjutnya. Dengan kerendahan hati, perkenankan penulis untu menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada: 1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec, selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec, selaku Ketua Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara yang juga ikut memberikan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Bapak Prof. Dr. Ramli, SE, MS, selaku Pembimbing yang telah dengan sabar memberikan bimbingan dan keluangan waktu kepada penulis hingga selesainya skripsi ini. Semoga masukan dan bimbingan yang telah Bapak berikan akan dapat terus penulis kembangkan demi tercapainya kemajuan, khususnya kemajuan bagi penulis sendiri. 4. Bapak Drs. Sahat Silaen, M.Si dan Ibu Dra. Raina Linda Sari, selaku dosen pembanding yang telah memberikan masukan, koreksi dan perbandingan kepada penulis untuk dapat penulis gunakan sebagai kritik dalam penyempurnaan penelitian ini. 5. Bapak dan Ibu Dosen yang selama ini telah memberikan perkuliahan kepada penulis; Bapak Prof. Dr. Ramli, SE, MS, Bapak Drs. Jonathan Sinuhaji (Alm), Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec, Bapak Drs. Sahat Silaen, M.SI, Bapak Drs. Rachmat Sumanjaya Hsb., M.Si, Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si, Ibu Prof. Dr. Ritha F. Dalimunthe, M.Si, Bapak Drs. A. Samad Zaino, MS, Ibu. Dra. T. Diana Bakti, M.Si, Bapak Drs. Arifin Siregar, Bapak Lic.rer.reg Sirojuzilam, SE, Bapak Drs. Aman Tarigan, SU, Bapak Drs. Rujiman, Bapak Drs. Zubeirsyah, SU, Bapak Drs. Karel S. Manik, Bapak Drs. Iskandar Syarief, MA, Ibu Dra. Salbiah, M.Si, Bapak Kasyful Mahalli, SE, M.Si, Bapak Fahmi Natigor Nasution, SE, M.Acc, Bapak Dr. Syaad Afifuddin, M.Ec, Bapak Ramly Srg, SH, M.Hum, Bapak Muslich Lutfi, M.Ba, Ibu Dra. Naleni Indra, M.Si, Ibu Dra. Yulinda, M.Si, Ibu Dra. Budikennita, M.Si, Bapak Drs. Irwan, Bapak Drs. Syahrir Hakim Nasution, Bapak Paidi Hidayat, SE, M.Si, dan khususnya kepada Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc, Ph.D, selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis selama masa perkuliahan. Semoga semua ilmu yang telah Bapak dan Ibu berikan diperhitungkan sebagai amal oleh Tuhan Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. YME dan dapat terus penulis kembangakan demi kemajuan, khususnya bagi penulis sendiri. 6. Seluruh staf dan pegawai Fakultas Ekonomi, khususnya para staf Departemen Ekonomi Pembangunan yang telah banyak membantu penulis selama masa perkuliahan dan masa penyelesaian skripsi ini. Pegawai Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Fakultas Ekonomi, Perpustakaan BPS Sumut, Perpustakaan Kantor Bank Indonesia Medan, Perpustakaan Daerah Sumut. Terimakasih atas bantuannya. 7. Seluruh Mahasiswa Departemen Ekonomi Pembangunan yang ikut memberikan bantuan, masukan dan motovasi kepada penulis selama perkuliahan dan selama masa penyelesaian skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan dan perbandingan dalam menyusun skripsi selanjutnya. 8. Ayah dan Ibunda tercinta, Abang, Kakak dan Adik serta seluruh keluarga yang senantiasa mendoakan dan memberikan semangat kepada penulis sehingga selesainya penulisan skripsi ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan semua yang terbaik untuk kita. 9. Bapak Eko Purwanto, S. Kom, M.Kom yang telah memberikan izin, dorongan dan motovasi kepada penulis dalam menempuh perkuliahan di program ekstensi F.E USU. Penulis ucapkan terimakasih, semoga semua ilmu dan pengalaman yang sempat penulis peroleh selama bekerja di perusahaan yang Bapak pimpin akan terus dapat berkembang dan berguna seperti yang telah Bapak sampaikan. 10. Rekan seperjuangan, rekan kerja, para sahabat dan semua pihak yang telah memberikan dukungan kepada penulis selam ini dan selama penyusunan skripsi, jangan pernah berhenti berbuat dan terima kasih banyak atas semuanya. Akhir kata penulis berharap semoga hasil penulisan skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan, terutama bagi penulis sendiri. Medan, April 2009 Hormat penulis, Leo Ibrahim Sihombing Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. DAFTAR ISI ABSTRACT ..................................................................................................... i ABSTRAK........................................................................................................ ii KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii DAFTAR ISI .................................................................................................... vii DAFTAR TABEL ............................................................................................ xv DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xvii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xix BAB I BAB II PENDAHULUAN ........................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1 1.2. Perumusan Masalah ....................................................................... 4 1.4. Tujuan Penelitian........................................................................... 5 1.5. Manfaat Penelitian ......................................................................... 5 LANDASAN TEORI, PENELITIAN TERDAHULU DAN KERANGKA KONSEPTUAL ....................................................... 6 2.1. Landasan Teori .............................................................................. 6 2.1.1. Inflasi ................................................................................... 6 2.1.1.1. Defenisi Inflasi......................................................... 6 2.1.1.2. Penggolongan dari Jenis Inflasi ................................ 6 2.1.2.3. Teori Inflasi ............................................................. 11 2.1.1.4. Dampak Inflasi......................................................... 17 2.1.1.5. Kebijakan Mengatasi Inflasi ..................................... 19 2.1.2. Kurs ..................................................................................... 21 2.1.2.1. Defenisi Kurs ........................................................... 21 2.1.2.2. Sistem Kurs.............................................................. 22 2.1.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kurs ................... 24 2.1.3.Investasi ............................................................................... 25 2.1.3.1. Definisi Investasi ..................................................... 25 2.1.3.2. Dasar Keputusan Investasi ....................................... 26 2.1.4. Sertifikat Bank Indonesia ..................................................... 29 2.1.4.1. Pengertian SBI ......................................................... 29 2.1.4.2. Karakteristik SBI ..................................................... 30 2.1.4.3. Keuntungan dan Kerugian SBI ................................. 30 2.1.6. Saham .................................................................................. 31 2.1.6.1. Defenisi Saham ........................................................ 31 2.1.6.2. Jenis-jenis Saham..................................................... 32 2.1.6.3. Keuntungan Investasi dengan Saham ....................... 35 2.1.6.4. Resiko Investasi dengan Saham ............................... 36 2.1.6.5. Penawaran Umum dan Pencatatan Efek di Bursa ..... 39 2.1.6.6. Prosedur Transaksi Pembelian dan Penjualan Efek atau Saham............................................................... 40 2.1.7. Indeks Harga Saham............................................................. 42 2.1.8. Analisis Fundamental Harga Saham ..................................... 44 Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. 2.1.8.1. Analisis Ekonomi/ Pasar .......................................... 46 2.1.8.1.1. Memperkirakan Perubahan di dalam Perekonomian/Pasar................................ 48 2.1.8.1.2. Penggunaan Indikator Moneter untuk Memperkirakan Kondisi Pasar ................ 48 2.1.8.1.3. Kondisi Ekonomi dan Kondisi Pasar ....... 49 2.1.8.1.4. Penggunaan Model-model Valuasi untuk Memperkirakan Kondisi Pasar ................ 51 2.1.8.2. Analisi Industri ........................................................ 51 2.1.8.2.1. Menganalisi Industri ............................... 52 2.1.8.2.2. Siklus Kehidupan Industri ...................... 53 2.1.8.3. Analisis Siklus Bisnis ............................................... 56 2.1.8.3.1. Berbagai Aspek Kualitatif dalam Analisi Industri ................................................... 57 2.1.8.3.2. Menilai Prospek Industri di Masa yang Akan Datang ........................................... 58 2.1.8.4. Analisi Perusahaan................................................... 60 2.1.8.4.1. Memahami Laba yang Diperoleh Perusahaan.............................................. 61 2.1.8.4.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laba (EPS, ROE, ROA, dan Net Income Margin)................................................... 62 2.1.8.4.3. Penggunaan PER .................................... 65 2.1.8.4.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi PER .. 65 2.1.9. Analisis Teknikal Harga Saham ............................................ 66 2.1.10. Volume Perdagangan Saham.............................................. 70 2.2. Penelitian Terdahulu ...................................................................... 71 2.3. Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian .............................. 74 2.3.1. Kerangka Konseptual Penelitian ........................................... 79 2.3.2. Hipotesis Penelitian .............................................................. 81 BAB III METODE PENELITIAN ................................................................ 82 3.1. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................. 82 3.2. Pendekatan Penelitian .................................................................... 82 3.3. Jenis Variabel ................................................................................ 83 3.4. Jenis dan Sumber Data .................................................................. 83 3.5. Pengolahan Data............................................................................ 85 3.6. Model Analisis Data ...................................................................... 85 3.7. Uji Hipotesis ................................................................................. 87 3.7.1. Uji Koefisien Determinasi (R-square/ R2) ............................. 88 3.7.2. Uji F-Statistik ....................................................................... 89 3.7.3. Uji-t Statistik ........................................................................ 90 3.8. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ................................................. 92 3.8.1. Uji Multikolinearitas ............................................................ 92 3.8.2. Uji Heteroskedastisitas ......................................................... 93 3.8.3. Uji Autokorelasi ................................................................... 94 Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. 3.9. Defenisi Variabel Operasional ....................................................... 95 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN................................................... 97 4.1. Analisis Penelitian ......................................................................... 97 4.1.1. Gambaran Umum PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) ........... 97 4.1.1.1. Sejarah Singkat PT. BRI, (Tbk) ............................... 97 4.1.1.2. Perkembangan dan Strategi Bisnis PT. BRI, (Tbk) ... 100 4.1.2. Perkembangan Inflasi ........................................................... 102 4.1.2.1. Perkembangan Inflasi 2004 ...................................... 102 4.1.2.2. Perkembangan Inflasi 2005 ...................................... 103 4.1.2.3. Perkembangan Inflasi 2006 ...................................... 104 4.1.2.4. Perkembangan Inflasi 2007 ...................................... 105 4.1.3. Perkembangan Kurs ............................................................. 106 4.1.3.1. Perkembangan Kurs 2004 ........................................ 106 4.1.3.2. Perkembangan Kurs 2005 ........................................ 109 4.1.3.3. Perkembangan Kurs 2006 ........................................ 110 4.1.3.4. Perkembangan Kurs 2007 ........................................ 111 4.1.4. Perkembangan Investasi ....................................................... 111 4.1.4.1. Perkembangan Investasi dan Pasar Modal 2004 ....... 112 4.1.4.2. Perkembangan Investasi dan Pasar Modal 2005 ....... 115 4.1.4.3. Perkembangan Investasi dan Pasar Modal 2006 ....... 118 4.1.4.4. Perkembangan Investasi dan Pasar Modal 2007119 4.1.5. Perkembangan Suku Bunga SBI dan BI Rate ....................... 121 4.1.5.1. Perkembangan Suku Bunga SBI dan BI Rate 2004... 121 4.1.5.2. Perkembangan Suku Bunga SBI dan BI Rate 2005 ... 124 4.1.5.3. Perkembangan Suku Bunga SBI dan BI Rate 2006 ... 126 4.1.5.4. Perkembangan Suku Bunga SBI dan BI Rate 2007... 127 4.1.6. Perkembangan Harga Saham dan Volume Perdangan Saham BRI ........................................................................... 129 4.1.6.1 Kinerja Saham BRI 2004 ......................................... 131 4.1.6.1.1. Komposisi Kepemilikan Saham ................ 132 4.1.6.1.2. Kebijakan Dividen .................................... 132 4.1.6.2. Kinerja Saham BRI Tahun 2005 .............................. 133 4.1.6.2.1. Komposisi Kepemilikan Saham ................ 134 4.1.6.2.2. Management Stock Option Program (MSOP) .................................................... 134 4.1.6.2.3. Kebijakan Deviden ................................... 135 4.1.6.3. Kinerja Saham BRI Tahun 2006 ............................... 136 4.1.6.3.1. Komposisi Kepemilikan Saham ................ 137 4.1.6.3.2. Managemen Stock Option Program (MSOP) .................................................... 138 4.1.6.3.3. Kebijakan Deviden ................................... 139 4.1.6.4. Kinerja Sham BRI 2007 ........................................... 140 4.1.6.4.1. Komposisi Kepemilikan Saham ................ 141 4.1.6.4.2. Management Stock Option Program (MSOP) .................................................... 142 4.1.6.4.3. Kebijakan Deviden ................................... 142 Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. 4.2. Pembahasan................................................................................... 143 4.2.1. Analisis Regresi Linier Berganda untuk Variabel Harga Saham (Y1) .......................................................................... 144 4.2.1.1. Deskriptif Data Penelitian ........................................ 144 4.2.1.2. Koefisien Regresi..................................................... 144 4.2.1.3. Uji Kesesuaian ......................................................... 146 4.2.1.3.1. Koefisien Determinasi (R2) ....................... 146 4.2.1.3.2. Uji F ......................................................... 146 4.2.1.3.3. Uji-t .......................................................... 147 4.2.1.4. Uji Asumsi Klasik.................................................... 150 4.2.1.4.1. Uji Multikoleniaritas ................................. 150 4.2.1.4.2. Uji Heteroskedasitas.................................. 151 4.2.1.4.3. Uji Autokorelasi ........................................ 154 4.2.1.5.Interpretasi Model Penelitian Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1) ......................................... 155 4.2.2. Analisis Regresi Linier Berganda untuk Volume Perdagangan Saham (Y2) ..................................................... 156 4.2.2.1. Deskriptif Data Penelitian ........................................ 156 4.2.2.2. Koefisien Regresi..................................................... 157 4.2.2.3. Uji Kesesuaian ......................................................... 158 4.2.2.3.1. Koefisien Determinasi (R2) ...................... 158 4.2.2.3.2. Uji F ......................................................... 159 4.2.2.3.3. Uji-t .......................................................... 160 4.2.1.4. Uji Asumsi Klasik.................................................... 162 4.2.1.4.1. Uji Multikoleniaritas ................................. 162 4.2.1.4.2. Uji Heteroskedasitas ................................. 163 4.2.1.4.3. Uji Autokorelasi ....................................... 165 4.2.1.5 Interpretasi Model Penelitian Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2) ................. 166 KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 168 5.1 Kesimpulan ................................................................................... 168 5.2. Saran ............................................................................................. 177 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 175 BAB V LAMPIRAN Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. DAFTAR TABEL No 1.1. Judul Halaman Matriks Hubungan Beberapa Faktor Makro Ekonomi Terhadap Profitabilitas Perusahaan ........................................................................ 3 2.1. Perubahan Indeks Sektoral dan Pasar di BEJ Juli – September 1997 ....... 52 2.2. Contoh Gerakan Saham Harian .............................................................. 69 4.1. Data Inflasi Indonesia Tahun 2004 s.d 2007 ........................................... 103 4.2. Data Nilai Kurs Tengah Rupiah Terhadap US Dolalar Tahun 2004 s.d 2007 .............................................................................. 107 4.3. Penanaman Modal Dalam Negeri yang Disetujui Pemerintah (Miliar Rp) Periode Tahun 2004 s.d 2007 ............................................... 112 4.4. Penanaman Modal Asing yang Disetujui Pemerintah (Juta USD) Periode Tahun 2004 s.d 2007 ................................................................. 113 4.5. Total Investasi PMDN + PMA yang Disetujui Pemerintah (Miliar Rp) Periode Tahun 2004 s.d 2007 ............................................... 115 4.6. Data Suku Bunga SBI (Persen) Periode Tahun 2004 s.d 2007................. 122 4.7. Data Harga Sahma BRI (Rupiah) Periode Tahun 2004 s.d 2007 ............. 130 4.8. Data Volume Perdagangan Saham BRI (Lembar) Periode Tahun 2004 s.d 2007 .............................................................................. 133 4.9. Tahap Pelaksanaan MSOP Saham BRI ................................................... 135 4.10. Harga Saham Blue Chips Perbankan di Indonesia Tahun 2006 ............... 137 4.11. Komposisi Deviden BRI Terhadap Laba Bersi Periode Tahun 2002 s.d 2005 .............................................................................. 140 4.12. Harga Saham Blue Chips Perbankan di Indonesia Tahun 2007 ............... 141 4.13. Descriptive Statistics Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1)........... 144 4.14. Coefficientsa Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1) ....................... 145 4.15. Model Summaryb Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1) ............... 146 4.16. ANOVAb Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1) ............................ 147 4.17. Coefficientsa Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1) ....................... 151 4.18. Uji Heteroskedasitas dengan White Test ................................................. 153 4.19. Model Summaryb D-W Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1) ....... 154 4.20. Descriptive Statistics Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2) ....................................................................... 156 4.21. Coefficientsa Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2) ............................................................................................ 157 4.22. Model Summaryb Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2) ............................................................................................ 158 4.23. ANOVAb Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2) .... 159 4.24. Coefficientsa Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2) ............................................................................................ 162 4.25. Uji Hetereoskedasitas dengan White Test Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2) .......................................................... 165 4.26. Model Summaryb D-W Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham ............................................................................... (Y2) Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. DAFTAR GAMBAR No 2.1. Judul Halaman Demand Inflation ................................................................................... 7 2.2. Cost Inflation ......................................................................................... 8 2.3. Hubungan Risiko dan Return yang Diharapkan ...................................... 28 2.4. Proses Jual Beli Saham di Bursa Efek Jakarta......................................... 40 2.5. Siklus Kehidupan Industri ...................................................................... 54 2.6. Contoh Dua Grafik Pendekatan yang Sering Digunakan dalam Analisis Teknikal ......................................................................... 68 2.7. Penggunaan Moving Average dalam Analisis Teknikal ........................... 70 2.8. Kerangka Analisi Fundamental............................................................... 75 2.9. Hubungan Faktor Makro dan Mikro Terhadap Kinerja Perusahaan, Keuntungan, Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham ................. 77 2.10. Kerangka Konseptual Penelitian ............................................................. 80 3.1. Grafik Pengujian F-Statistik ................................................................... 91 3.2. Grafik Pengujian t-Statistik .................................................................... 92 3.3. Grafik Daerah Kriteria Pengujian Autokorelasi ...................................... 94 4.1. Grafik Pergerakan Inflasi Indonesia Tahun 2004 s.d 2007 ...................... 104 4.2. Grafik Pergerakan Kurs Rupiah Terhadap US Dollar Tahun 2004 s.d 2007 .............................................................................. 108 4.3. Grafik Investasi Total PMA + PMDN yang Disetujui Pemerintah Tahun 2004 s.d 2007 .............................................................................. 116 4.4. Grafik Pergerakan Suku Bunga SBI Tahun 2004 s.d 2007 ...................... 123 4.5. Grafik Pergerakan Harga Saham BRI Tahun 2004 s.d 2007 .................... 131 4.6. Grafik Pergerakan Volume Perdagangan Saham BRI Tahun 2004 s.d 2007 .............................................................................. 136 4.7. Grafik Scatter Plot Variabel Bebas Terhadap Variabel Harga Saham (Y1).................................................................................. 152 4.8. Grafik Scatter Plot Variabel Bebas Terhadap Variabel Volume Perdagangan Saham (Y2) .......................................................... 164 Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN 1: Tabel Data Variabel Penelitian ................................................ xx LAMPIRAN 2: Output SPSS Analisi Regresi ................................................... xxii 2.1. Output SPSS Regression Variabel Harga Saham .............. xxii 2.2. Output SPSS Regression Variabel Volume Perdagangan Saham ........................................................ xxv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perusahaan memiliki berbagai alternatif sumber pendanaan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar perusahaan. Alternatif pendanaan dari dalam perusahaan, umumnya dengan menggunakan laba yang ditahan perusahaan. Sedangkan alternatif pendanaan dari luar perusahaan dapat berasal dari kreditor berupa utang, pembiayaan bentuk lain atau dengan penerbitan surat-surat utang, maupun pendanaan yang bersifat penyertaan dalam bentuk saham (equity). Pendanaan melalui mekanisme penyertaan umumnya dilakukan dengan menjual saham perusahaan kepada masyarakat atau sering disebut dengan go public (Darmadji, 2001: 40). Untuk perusahaan yang sudah go public, tuntutan untuk meningkatkan pertumbuhan perusahaan akan semakin kuat, karena pemilik menginginkan keuntungan yang semakin meningkat juga, sehingga akan berpengaruh terhadap besarnya dividen yang akan dibagikan. Disamping itu, dengan pertumbuhan dan perkembangan yang bagus akan meningkatkan citra dari perusahaan, sehingga harga saham di pasar sekunder juga akan semakin meningkat (Anoraga, 2001: 49). Besarnya deviden dan eraning yang diharapakan dari suatu perusahaan akan tergantung dari prospek keuntungan yang dimiliki perusahaan. Karena prospek perusahaan sangat tergantung dari keadaan ekonomi secara keseluruhan, maka Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. 1 analisis penilaian saham yang dilakukan oleh investor juga harus memperhitungkan beberapa variabel ekonomi makro yang mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba. Dalam melakukan analisis penilaian saham, investor bisa melakukan analisis fundamental secara “top-down” untuk menilai prosepek perusahaan. Pertama kali perlu dilakukan analisis terhadap faktor-faktor makro ekonomi yang mempengaruhi kinerja seluruh perusahaan, kemudian dilanjutkan dengan analisis industri, dan pada akhirnya dilakukan analisis terhadap perusahaan yang mengeluarkan sekuritas bersangkutan untuk menilai apakah sekuritas yang dikeluarkannya menguntungkan atau merugikan bagi investor. Lingkungan ekonomi makro adalah lingkungan yang mempengaruhi operasi perusahaan sehari-hari. Kemampuan investor dalam memahami dan meramalkan kondisi ekonomi makro dimasa datang, akan sangat berguna dalam pengambilan keputusan investasi yang menguntungkan. Untuk itu, seorang investor harus memperhatikan beberapa indikator ekonomi makro yang bisa membantu mereka dalam memahami dan meramalkan kondisi ekonomi makro. Faktor-faktor ekonomi makro secara empiris telah terbukti mempunyai pengaruh terhadap perkembangan investasi di beberapa negara. Tandelilin (1998), merangkum beberapa faktor ekonmoi makro yang berpengaruh terhadap investasi di suatu negara, sebagai berikut: tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), laju pertumbuhan inflasi, tingkat suku bunga dan nilai tukar mata uang (exchange rate). Tabel 1.1. memperlihatkan hubungan faktor-faktor tersebut dan dampaknya terhadap investasi di suatu negara (Tandelilin, 2001:213). Tabel 1.1. Matriks Hubungan Beberapa Faktor Makro Ekonomi Terhadap Profitabilitas Perusahaan Indikator Ekonomi Pengaruh Penjelasan PDB Meningkatnya PDB merupakan sinyal yang baik (positif) untuk investasi dan sebaliknya jika PDB menurun. Meningkatkan PDB mempunyai pengaruh positif terhadap daya beli konsumen sehingga dapat meningkatkan permintaan terhadap produk perusahaan. Inflasi Peningkatan inflasi secara relatif merupakan sinyal negatif bagi pemodal di pasar modal. Inflasi meningkatkan pendapatan dan biaya perusahaan. Jika peningkatan biaya produksi lebih tinggi dari peningkatan harga yang dapat dinikmati oleh perusahaan maka profitabilitas perusahaan akan turun. Tingkat Bunga Tingkat bunga yang tinggi merupakan sinyal negatif terhadap harga saham. Tingkat suku bunga yang meningkat akan menyebabkan peningkatan suku bunga yang diisyaratkan atas investasi pada suatu saham. Disamping itu tingkat suku bunga yang meningkat bisa juga menyebabkan investor menarik investasinya pada saham dan memindahkannya pada investasi berupa tabungan atau deposito. Kurs Rupiah Menguatnya kurs rupiah terhadap mata uang asing merupakan sinyak positif bagi perekonomian yang mengalami inflasi. Menguatnya kurs rupiah terdahap mata uang asing akan menurunkan biaya impor bahan baku untuk produksi, dan akan menurunkan tingkat suku bunga yang berlaku. Anggaran Defisit Anggaran yang defisit merupakan sinyal positif bagi ekonomi yang sedang mengalami resesi, tetapi merupakan sinyal degatif bagi ekonomi yang mengalami inflasi. Anggaran defisit akan mendorong konsumsi dan onvestasi pemerintah, sehingga dapat meningkatkan permintaan terhadap produk perusahaan. Akan tetapi, anggaran defisit disisi lain justru akan meningkatkan jumlah uang beredar dan akibatnya akan mendorong inflasi. Investasi Swasta Meningkatnya investasi swasta adalah sinyal positif bagi pemodalan. Meningkatnya investasi swasta akan meningkatkan PDB sehingga dapat meningkatkan pendapatan konsumen Neraca Perdagangan dan Pembayaran Defisit neraca perdagangan dan pembayaran merupakan sinyak negatif bagi pemodal. Defisit neraca perdagangan dan pemabayaran harus dibiayai dengan menarik modal asing. Untuk melakukan hal itu, suku bunga harus dinaikkan. Sumber: Dikutip dari Harianto, F. dkk., 1998, “Perangkat dan Teknik Analisis Investasi di Pasar Modal Indonesia”, PT. Bursa Efek Jakarta, Jakarta, hal. 158. Dalam Tandelilin, 2001, hal. 214. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. Alasan peneliti mengambil variabel Inflasi, Kurs, Investasi, dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebagai variabel penelitian adalah sebagai berikut: pertama, perubahan harga saham sebuah perusahaan tidak terlepas dari kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba bersih per lembar saham dan kemampuan perusahaan membagikan dividen yang tidak terlepas dari kinerja operasi perusahaan. Kinerja operasi perusahaan sediri dipengaruhi oleh banyak faktor yang salah satunya adalah faktor-faktor makro ekonomi. Pengaruh faktor makro ekonomi seringkali dipakai sebagai acuan untuk mengambil keputusan investasi dalam saham. Kedua, semakin berkembangnya pasar modal di Indonesia menuju ke arah yang efisien dimana semua informasi yang relevan bisa dipakai sebagai masukan untuk menilai harga saham. Oleh karena itu peneliti memberikan judul: ”Analisis pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi, Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia”. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan urutan yang disampaikan dalam latar belakang, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah variabel inflasi, kurs, investasi, sertifikat bank indonesia (SBI) berpengaruh terhadap harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk). 2. Apakah variabel inflasi, kurs, investasi, sertifikat bank indonesia (SBI) dan harga saham berpengaruh terhadap volume perdagangan saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia. 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 3. Untuk menganalisis pengaruh variabel inflasi, kurs, investasi dan SBI terhadap harga saham dan volume perdagangan saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia. 4. Untuk mengetahui variabel yang paling dominan pengaruhnya terhadap harga saham dan volume perdafangan saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk). 1.4 Manfaat Penelitian 1 Memberikan bukti empiris mengenai pengaruh variabel inflasi, kurs, investasi dan SBI terhadap harga saham dan volume perdagangan saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) yang bisa dijadikan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya. 2 Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk pengambilan keputusan investasi bagi investor khususnya terhadap saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk). Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. BAB II LANDASAN TEORI, PENELITIAN TERDAHULU DAN KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN 4.1. Landasan Teori 2.1.1. Inflasi 2.1.1.1. Defenisi Inflasi Defenisi singkat dari inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk menaik secara umum dan terus-menerus dalam jangka waktu yang lama. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut dengan inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan) sebagian besar dari harga barang-barang lain. (Boediono, 1987: 161). Untuk mengetahui tinggi rendahnya kenaikan harga atau laju kecepatan inflasi itu seringkali digunakan indeks harga. Yang paling banyak digunakan adalah indeks biaya hidup yang sudah mencakup 62 macam barang dan ini sudah diperbaiki lagi menjadi indeks harga konsumen (IHK) yang meliputi 150 macam barang. Untuk meneliti laju inflasi itu biasanya macam barang dikelompokkan lagi menjadi kelompok bahan makan, kelompok sandang, kelompok perumahan dan kelompok lain-lain (Suparmoko, 2000: 209). 2.1.1.2. Penggolongan dari Jenis Inflasi Ada berbagai cara untuk menggolongkan macam inflasi, dan penggolongan mana yang kita pilih tergantung pada tujuan kita. Penggolongan pertama didasarkan atas “parah” tidaknya inflasi tersebut, penggolongan kedua atas dasar sebab-musabab 6 awal dari inflasi, penggolongan ketiga berdasarkan asal dari inflasi (Boediono, 1990). 1. Penggolongan pertama, didasarkan atas “parah” tidaknya inflasi, dibedakan menjadi: a. Inflasi ringan (di bawah 10% setahun) b. Inflasi sedang (antara 10 – 30% setahun) c. Inflasi berat (antara 30 – 100% setahun) d. Hiperinflasi (di atas 100& setahun) 2. Penggolongan kedua, didasarkan atas dasar sebab-musabab awal dari inflasi, yaitu: a. Inflasi yang timbul karena permintaan masyarakat akan berbagai barang terlalu kuat. Inflasi semacam ini disebut demand inflation. Harga S H2 D2 H1 D1 Q1 Q2 Output Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. Sumber: Dikutip dari Boediono, 1990, “Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 5 Ekonomi Moneter”, BPFE, Yogyakarta, hal. 163. Gambar 2.1. Demand Inflation Gambar 2.1 menggambarkan suatu demand inflation. Karena permintaan masyarakat akan barang-barang (aggregate demand) bertambah (misalnya, karena bertambahnya pengeluaran pemerintah yang dibiayai dengan pencetakan uang, atau kenaikan permintaan luar negeri akan barang-barang ekspor, atau bertambahnya pengeluaran investasi swasta karena kredit yang murah), maka kurva aggregate demand bergeser dari dari D1 ke D2. Akibatnya harga akan naik dari H1 ke H2. b. Inflasi yang timbul karena kenaikan biaya produksi. Ini disebut cost inflation. S2 Harga S1 H4 H3 D1 Q4 Sumber: Q3 Output Dikutip dari Boediono, 1990, “Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 5 Ekonomi Moneter”, BPFE, Yogyakarta, hal. 163. Gambar 2.2. Cost Inflation Pada Gambar 2.2 kita lihat bahwa bila biaya produksi naik (misalnya karena kenaikan harga sarana produksi yang didatangkan dari luar negeri, atau karena kenaikan harga bahan bakar minyak) maka kurva penawaran masyarakat (aggregate supply) bergeser dari S1 ke S2. Akibat dari kedua macam inflasi tersebut, dari segi kenaikan harga output, tidak berbeda, tetapi dari segi volume output (GDP riil) ada perbedaan. Dalam kasus demand inflation, biasanya ada kecenderungan untuk output (GDP riil) menaik bersama-sama dengan kenaikan harga umum. Besar kecilnya kenaikan output ini tergantung kepada elastisitas kurva aggregate supply; semakin mendekati output maksimum semakin tidak elastis kurva ini. Sebaliknya, dalam kasus cost inflation biasanya kenaikan harga-harga dibarengi dengan penurunan omzet penjualan barang (“kelesuan usaha”). Perbedaan yang lain dari kedua proses inflasi ini terletak pada urutan dari kenaikan harga. Dalam demand inflation kenaikan harga barang akhir (output) mendahului kenaikan harga barang-barang input dan harga-harga faktor produksi (upah dan sebagainya). Sebaliknya dalam cost inflation kenaikan harga barang-barang input dan harga-harga faktor produksi mendahului kenaikan harga barang-barang akhir (output). Kedua macam inflasi ini jarang sekali ditemukan dalam praktek dalam bentuk yang murni. Pada umumnya inflasi yang terjadi adalah kombinasi dari kedua macam inflasi tersebut, dan seringkali keduanya saling memperkuat satu sama lain. 3. Penggolongan ketiga, berdasarkan asal dari inflasi, yaitu: Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. a. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestik inflation) Inflasi yang berasal dari dalam negeri timbul misalnya karena defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan pencetakan uang baru, panen gagal dan sebagainya. Akibat dari pencetakan uang baru tersebut pada akhirnya yang akan menimbulkan inflasi. b. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation) Inflasi yang berasal dari luar negeri adalah inflasi yang timbul karena kenaikan harga-harga (yaitu, inflasi) di luar negeri atau negara-negara langganan berdagang kita. Kenaikan harga barang-barang yang kita impor mengakibatkan: (1) secara langsung kenaikan indeks biaya hidup karena sebagian dari barang-barang yang tercakup di dalamnya bersal dari impor, (2) secara tidak langsung menaikkan indeks harga melalui kenaikan biaya produksi (dan kemudian, harga jual) dari berbagai barang yang menggunakan bahan mentah atau mesin-mesin yang harus diimpor (cost inflation), (3) secara tidak langsung menimbulkan kenaikan harga di dalam negeri karena kemungkinan (tetapi ini tidak harus demikian) kenaikan harga barang-barang impor mengakibatkan kenaikan pengeluaran pemerintah/swasta yang berusaha mengimbangi kenaikan harga impor tersebut (demand inflation). terutama pada barang-barang impor atau kenaikan bahan baku yang belum dapat diproduksi di dalam negeri. Kenaikan harga barang impor yang merupakan salah satu komponen Indeks Harga Konsumen akan meningkatkan biaya produksi. 2.1.2.3. Teori Inflasi Secara garis besar terdapat tiga kelompok yang mengemukakan masalah inflasi, masing-masing menyoroti aspek-aspek tertentu dari proses inflasi (Boediono, 1990: 167): a. Teori Kuantitas Teori ini menyoroti peranan dalam proses inflasi yang terdiri dari: 1. Jumlah Uang yang Beredar. Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang yang beredar (baik penambahan uang kartal maupun penambahan uang giral). Tanpa ada kenaikan jumlah uang beredar, misalnya kegagalan panen, hanya akan menaikkan harga-harga untuk sementara waktu saja. Bila jumlah uang tidak ditambah, inflasi akan berhenti dengan sendirinya walau apapun yang menyebabkan kenaikan harga tersebut. 2. Ekspektasi Masyarakat Laju inflasi ditentukan oleh penambahan jumlah uang beredar dan oleh psikologi (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga di masa mendatang. Ada 3 (tiga) kemungkinan keadaan, yaitu: (1) Keadaan yang pertama adalah bila masyarakat tidak (belum) mengharapkan harga-harga untuk naik pada bulan-bulan mendatang. Dalam hal ini, sebagian besar dari penambahan jumlah uang yang beredar akan diterima oleh masyarakat untuk menambah likuiditasnya. Ini berarti bahwa sebagian besar dari kenaikan dari jumlah uang tersebut tidak dibelanjakan untuk pembelian barang. Selanjutnya, ini Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. berarti bahwa tidak akan ada kenaikan permintaan yang berarti akan barang-barang. (2) Keadaan yang kedua adalah dimana masyarakat (atas dasar pengalaman di bulan-bulan sebelumnya) muali sadar bahwa ada inflasi. Orang-orang mulai mengharapkan kenaikan harga. Penambahan jumlah uang yang beredar tidak lagi diterima oleh masyarakat untuk menambah pos kas-nya, tetapi akan digunakan untuk membeli barang-barang. Hal ini dilakukan karena orang-orang berusaha untuk menghindari kerugian yang timbul seandainya mereka memegang uang tunai. Dari segi kemasyarakat secara keseluruhan hal ini berarti adanya kenaikan permintaan akan barang-barang. Akibat selanjutnya adalah naiknya harga barang-barang tersebut. (3) Keadaan ketiga terjadi pada tahap hiper inflasi. Dalam keadaan ini orang-orang sudah kehilangan kepercayaan terhadap nilai mata uang. Keengganan untuk memegang uang kas tersebut diterima di tangan menjadi semakin meluas dikalangan masyarakat. Orang cenderung mengharapkan keadaan semakin memburuk: laju inflasi untuk bulanbulan mendatang diharapkan semakin besar dibandingan dengan laju inflasi dibulan sebelumnya. Keadaan ini ditandai oleh semakin cepatnya peredaran uang (velocity of cisculation yang menaik). Hiperinflasi menghancurkan bukan hanya sendi-sendi ekonomi moneter tetapi juga sendi-sendi sosial-politik dari suatu masyarakat. Struktur masyarakat yang baru akan timbul menggantikan struktur yang lama. b. Teori Keynes Teori Keynes mengenai inflasi didasarkan atas teori makronya yang menyoroti aspek lain dari inflasi. Meneurut teori ini, inflasi terjadi karena suatu masyarakat ingin hidup diluar batas kemampuan ekonominya. Proses infalsi, menurut pandangan ini tidak lain adalah proses perebutan bagian rejeki diantara kelompok-kelompok sosial yang menginginka bagian lebih dari pada yang bisa disediakan oleh disediakan oleh masyarakat tersebut. Proses perebutan ini akhirnya diterjemahkan menjadi keadaan dimana permintaan masyarakat akan barang-barang selalu melebihi jumlah barangbarang yang tersedia (timbul apa yang disebut dengan inflantionary gap). Inflationary gap ini timbul karena golongan-golongan masyarakat tersebut berhasil menterjemahkan aspirasi mereka menjadi permintaan yang efektif akan barang-barang. Dengan lain perkataan mereka berhasil memperoleh dana untuk mengubah aspirasinya menjadi rencana pembelian barang-barang yang didukung dengan dana. Golongan masyarakat seperti ini mungkin adalah pemerintah sendiri, yang berusaha memperoleh bagian yang lebih besar dari output masyarakat jalam menjalankan defisit dalam anggaran belanjanya yang dibiayai dengan mencetak uang baru. Golongan tersebut mungkin juga pengusaha-pengusaha swasta yang menginginkan untuk melakukan investasiinvestasi baru dan memperoleh dana pembiayaannya dari kredit dari bank. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. Golongan tersebut bisa pula serikat buruh yang berusaha memperoleh kenikan gaji bagi anggota-anggotanya melebihi kenaikan produktivitas buruh. Bila jumlah dari permintaan-permintaan efektif dari semua golongan masyarakat tersebut, pada tingkat harga yang berlaku, melebihi jumlah maksimum dari barang-barang yang bisa dihasilkan oleh masyarakat, maka inflationary gap timbul. Karena permintaan total melebihi jumlah barang yang tersedia, maka harga-harga akan naik. Adanya kenaikan harga-harga berarti bahwa sebagian dari rencana-rencana pembelian barang dari golongangolongan tersebut tidak bisa terpenuhi. Pada periode selanjutnya golongangolongan tersebut akan berusaha untuk memperoleh dana yang lebih besar lagi (dari pencetakan uang baru atau kredit dari bank yang lebih besar atau kenaikan gaji yang lebih besar). Tentunya tidak semua golongan tersebut berhasil memperoleh tambahan dana yang diinginkan. Golongan yang bisa memperoleh dana yang lebih banyak bisa memperoleh bagian dari output yang lebih banyak. Meraka yang tidak bisa memperoleh dana akan medapatkan bagian output yang lebih kecil. Yang termasuk golongan yang kalah dalam proses perebutan ini adalah golongangolongan yang berpenghasilan tetap atau yang penghasilannya tidak naik secepat laju inflasi. Proses inflasi akan terus berlangsung selam jumlah permintaan efektif dari semua golongan masyarakat melebihi jumlah output yang bisa dihasilkan masyarakat. Inflasi akan berhenti bila permintaan efektif total tidak melebihi, pada tingkat harga yang berlaku, jumlah output yang tersedia. c. Teori Strukturalis Teori strukturalis adalah teori mengenai inflasi yang didasarkan atas pengalaman di negara-negara Amerika Latin. Teori ini memberi tekanan pada ketegaran (rigidities) dari struktur perekonomian negara-negara sedang berkembang. Karena inflasi dikaitkan dengan faktor-faktor struktural dari perekonomian (yang, menurut definisi, faktor-faktor ini hanya bisa berubah secara gradual dan dalam jangka panjang), maka teori ini bisa disebut teori inflasi “jangka panjang”. Menurut teori ini ada kekakuan dalam perekonomian negara-negara sedang berkembang yang bisa menimbulkan inflasi, yaitu: 1. Ketegaran yang pertama berupa “ketidak-elastisan” dari penerimaan ekspor, yaitu nilai ekspor yang tumbuh secara lamban dibandingkan dengan pertumbuhan sektor-sektor lain. Kelambanan ini disebabkan karena (a) Harga dipasar dunia dari barang-barang ekspor negara tersebut makin tidak menguntungkan, atau sering disebut dengan istilah bahwa dasar penukaran (terms of trade) makin memburuk. (b) Supply atau produksi barang-barang ekspor yang tidak responsif terhadap kenaikan harga. Kelambanan pertumbuhan penerimaan ekspor ini berarti kelambanan pertumbuhan kemampuan untuk mengimpor barang-barang yang dibutuhkan (untuk konsumsi maupun investasi). Akibatnya negara tersebut terpaksa mengambil kebijaksanaan pembangunan yang menekankan pada penggalakan produksi dalam negeri dari barang yang sebelumnya diimpor, meskipun sering kali prodsuksi dalam negeri memiliki ongkos produksi yang lebih tinggi dari pada barang-barang yang Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. sejenis diimpor. Biaya produksi yang lebih tinggi ini mengakibatkan harga yang lebih tinggi. Dan bila proses substitusi impor ini makin meluas, kenaikan biaya produksi juga makin meluas ke berbagai barang, sehingga makin banyak harga-harga barang yang naik. Dengan demikian inflasi terjadi. 2. Ketegaran yang kedua berkaitan dengan “ketidak-elastisan” dari supply atau produksi bahan makanan di dalam negeri. Dikatan bahwa produksi bahan makanan dalam di dalam negeri tidak tumbuh secepat pertambahan penduduk dan penghasilan perkapita, sehingga harga-harga bahan makanan di dalam negeri cenderung untuk menaik melebihi kenaikan harga barang-barang lain. Akibat selanjutnya adalah timbul tuntutan dari para karyawan untuk memperoleh upah/gaji. Kenaikan upah berarti kenaikan ongkos produksi, yang berarti pula kenaikan harga dari barangbarang tersebut. Kenaikan harga barang-barang seterusnya mengakibatkan timbulnya tuntutan kenaikan upah lagi. Kenaikan upah kemudian diikuti oleh kenaikan harga-harga. Demikian seterusnya. Proses ini akan akan berhenti dengan sendirinya seandainya harga bahan makanan tidak terus menaik. Tetapi oleh karena faktor struktural tadi, harga bahan makanan akan terus menaik, sehingga proses saling dorong mendorong atau proses “spiral” antara harga dan upah tersebut terus selalu mendapat “umpan” baru dan tidak berhenti. Proses inflasi yang timbul karena kedua ketegaran tersebut dalam praktek jelas tidak berdiri sendiri-sendiri. Umumnya kedua proses tersebut saling berkaitan dan seringkali memperkuat satu sama lain. 2.1.1.4. Dampak Inflasi Prospek pembangunan ekonomi jangka panjang akan menjadi semakin memburuk sekiranya inflasi tidak dapat dikendalikan. Inflasi cenderung akan menjadi bertambah cepat apabila tidak diatasi. Inflasi yang bertambah serius tersebut cenderung untuk mengurangi investasi yang produktif, mengurangi ekspor dan menaikkan impor. Kecenderungan inflasi ini akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Akibat buruk inflasi dapat dibedakan ke dalam dua aspek, yaitu: 1. Pada perekonomian meliputi: a. Tingkat bunga meningkat dan akan mengurangi investasi Suku bunga nominal adalah suku bunga riil ditambah dengan inflasi, maka makin tinggi tingkat inflasi akan berakibat naiknya suku bunga. Naiknya suku bunga nominal berakibat naiknya suku bunga kredit, sehingga akan menurunkan investasi nasional. b. Menimbulkan masalah neraca pembayaran Inflasi yang terjadi di suatu negara tidak dapat dikendalikan maka akan terjadi kenaikan impor besar-besaran sehingga impor lebih besar dari ekspor. Di samping itu aliran modal ke luar akan lebih banyak daripada yang masuk ke dalam negeri. Barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat negara itu akan Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. mengakibatkan defisit neraca pembayaran. Hal ini seterusnya akan menimbulkan kemerosotan nilai mata uang. c. Menaikkan penanaman modal spekulatif Dalam kondisi inflasi biasanya harga barang-barang tetap naik lebih tinggi dibandingkan inflasinya, misalnya: harga tanah dan bangunan. Hal ini akan membuat pemilik uang lebih menyukai penanaman modal spekulatif. Membeli rumah dan tanah serta menyimpan barang yang berharga akan lebih menguntungkan daripada melakukan investasi yang produktif. d. Inflasi menimbulkan ketidakpastian mengenai keadaan ekonomi dimasa depan inflasi akan bertambah cepat jalannya apabila tidak dikendalikan. Pada akhirnya inflasi akan menimbulkan ketidakpastian dan arah perkembangan ekonomi tidak lagi dapat diramalkan dengan baik. Keadaan ini akan mengurangi kegairahan pengusaha mengembangkan ekonomi. 2. Inflasi terhadap individu atau masyarakat a. Memperburuk distribusi pendapatan Dalam masa inflasi nilai harta-harta tetap seperti tanah, rumah, bangunan pabrik dan pertokoan akan mengalami kenaikan harga yang adakalanya lebih cepat dari kenaikan inflasi itu sendiri. Sebaliknya, penduduk yang tidak mempunyai harta yang meliputi sebahagian besar dari golongan masyarakat berpendapatan rendah, pendapatan riilnya merosot sebagai akibat inflasi. Dengan demikian inflasi melebarkan ketidaksamaan distribusi pendapatan. b. Menurunkan pendapatan riil Sebagian tenaga kerja di setiap negara terdiri dari pekerja-pekerja bergaji tetap. Dalam masa inflasi biasanya kenaikan harga-harga selalu mendahului kenaikan pendapatan. Dengan demikian, Inflasi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan menurun yang dicerminkan oleh turunnya daya beli masyarakat c. Menurunnya nilai riil tabungan Suku bunga tabungan tidak dinaikkan atau sama dengan tingkat inflasi maka nilai riil tabungan terjadi penurunan. Selain bermanfaat untuk memobilisasi tabungan, inflasi juga bisa mendorong tumbuhnya perusahaan swasta, yaitu ketika inflasi dianggap bisa membantu menarik tenaga kerja dan kapital dari sektor ekonomi yang sedang mengalami penurunan menuju sektor yang dinamis. Dengan demikian inflasi terutama yang moderat tidak hanya dipandang sebagai tidak terhindarkan, tetapi bahkan diinginkan. Pengalaman sejak tahun 1950 menyarankan bahwa inflasi tidak terhindarkan di negara berkembang yang sedang mempercepat peningkatan pendapatan per kapita: faktor-faktor produksi relatif immobile dalam jangka pendek dan suplai mengalami ketidakseimbangan. 2.1.1.5. Kebijakan Mengatasi Inflasi Pemerinta mengupayakan berbagai cara untuk mengatasi inflasi, walaupun terkadang penyebab terjadinya inflasi tersebut dikarenakan adanya monopoli dalam perekonomian, atau terjadi kenaikan tingkat upah dan gaji pegawai. Pemerintah Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. umumnya menggunakan 2 (dua) kebijakan dalam mengendalikan perekonomian, yaitu: a. Kebijakan Moneter Kebijakan moneter dijalankan pemerintah untuk mengurangi volume uang yang beredar dalam masyarakat, dengan menyeimbangkan jumlah uang beredar dengan output secara nasional. Kebijakan moneter ini dapat dilakukan dengan cara: 1. Tight Money Policy (Kebijakan Uang Ketat) Tindakan ini akan mempengaruhi seluruh perekonomian secara keseluruhan tanpa pandang bulu. Dengan tindakan ini seluruh sektor akan mengalami kemacetan dalam menjalankan aktifitasnya. 2. Menaikkan suku bunga bank melalui Bank Sentral Dengan naiknya suku bunga bank oleh karena kenaikan suku bunga bank sentral akan menyebabkan penurunan permintaan uang untuk investasi, tujuannya adalah untuk menarik uang beredar dalam masyarakat. Setelah uang berhasil dikurangi maka pemberian kredit untuk investasi semakin diperketat agar pertambahan investasi diimbangi dengan penambahan produksi barang. b. Kebijakan Fiskal Kebijakan fiskal merupakan salah satu upaya yang dijalankan pemerintah untuk dapat mengurangi jumlah uang yang beredar dalam masyarakat agar tingkat inflasi dapat ditekan, beberapa kebijakan itu ialah: 1. Meningkatkan pajak Jika pajak yang dikenakan pemerintah terhadap pendapatan semakin tinggi, hal itu akan menyebabkan konsumsi masyarakat akan semakin kecil ditambah lagi oleh MPC (Marginal Product Consumption) masyarakat yang bersangkutan. Sehingga dengan naiknya pajak yang dikenakan pemerintah terhadap pendapatan masyarakat akan menekan tingkat konsumsi masyarakat. Keadaan ini akan mengurangi jumlah uang yang beredar dalam masyarakat. 2. Menekan pengeluaran pemerintah Pengeluaran pemerintah dapat ditekan melalui kebijakan fiskal adalah subsidi dan anggaran pembangunan. 2.1.2. Kurs 2.1.2.1. Defenisi Kurs Nilai tukar (exchange rate) atau kurs adalah harga relatif mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain (Abimanyu, 2004: 6). Menurut Sadono Sukirno, 2006: 397, kurs valuta asing dapat juga didefenisikan sebagai jumlah uang domestik yang dibutuhkan, yaitu banyaknya rupiah yang dibutuhkan, untuk memperoleh satu unit mata uang asing. Nilai tukar (kurs) mengukur nilai suatu valuta dari perspektif valuta lain. Sejalan dengan berubahnya kondisi ekonomi, nilai tukar juga bisa berubah secara substansial. Penurunan nilai valuta dinamakan dengan depresiasi (depreciation). Peningkatan nilai valuta dinamakan dengan apresiasi (apreciation). Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. 2.1.2.2. Sistem Kurs Sistem pokok nilai tukar valuta asing dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dan sistem nilai tukar mengambang (flexible exchange rate). Pembedaan ini berdasarkan pada besar cadangan devisa dan intervensi bank sentral yang diperlukan untuk mempertahankan kurs pada sistem tersebut. Sistem nilai tukar tetap membutuhkan cadangan devisa yang sangat besar. Selain itu, bank sentral harus berulangkali mengintervensi pasar agar nilai tukar tetap berada pada posisi yang dikehendaki. Sebaliknya, sistem nilai tukar mengambang tidak membutuhkan cadangan devisa. Bank sentral juga tidak perlu mengintervensi pasar karena kurs valuta asing ditetapkan oleh interaksi antara permintaan dan penawaran mata uang yang bersangkutan (Abimanyu, 2004: 8). Tidak semua negara di dunia menganut salah satu sistem nilai tukar di atas. Kenyatan, banyak negara yang menganut varians dari kedua sitem tersebut. Berdasarkan kenyataan ini, beberapa ahli ekonomi mencoba untuk mengelompokkan berbagai sistem yang ada ke dalam satu continuum yang terdiri dari dua kutub. Kutub yang satu adalah siste nilai tukar tetap, sedangkan kutub yang lainnya pada sisi yang berlawanan adalah sistem nilai tukar mengambang. Berdasarkan besarnya intervensi bank sentral dan cadangan devisa yang diperlukan untuk mempertahankan berbagai sistem tersebut, terdapat enam sistem nilai tukar yang disepakati oleh banyak negara di dunia, yaitu (Gillis et al, 1996, Dalam Abimanyu, 2004: 8): 1. Sistem Fixed (pegged), di mana otorotas moneter selalu mengintervensi pasar untuk mempertahankan nilai tukar mata uang sendiri terhadap satu mata uang asing tertentu. Intervensi tersebut memerlukan cadangan devisa yang relatif besar. Tekanan terhadap nilai tukar valuta asing, yang biasanya bersumber dari defisit neraca perdagagnan, cenderung menghasilkan kebijakan devaluasi. 2. Sistem Adjustable Peg, di mana otoritas moneter terikat untuk mempertahankan nilai tukar valuta asing. Namun, otoritas moneter berhak mengubah kurs apabila terjadi perubahan kenbijakan. 3. Sistem Crawling Peg, di mana otoritas moneter mengaitkan mata uang dalam negeri terhadap satu atau beberapa mata uang asing. Nilai tukar valuta asing dalam sistem ini diubah secara periodik dan berangsur-angsur dalam persentase yang kecil. 4. Sistem Managed Float, di mana otoritas moneter tidak terikat untuk mempertahankan nilai tukar valuta asing tertentu. Namun, otoritas mineter secara kontinyu mengintervensi pasar berdsarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya, karena cadangan devisa yang menipis. Contoh lain, otoritas moneter dapat meng-intervensi pasar agar nilai mata uang Rupiah melemah untuk mendorong peningkatan ekspor. 5. Sistem Wider Band, di mana otoritas moneter membiarkan nilai tukar valuta asing mengambang atau berfluktuasi di antara dua titik tertinggi dan terendah. Jika keadaan perekonomian menyebabkan kurs bergerak melampaui dua titik tersebut, otoritas moneter akan mengintervensi pasar dengan cara membeli atau menjual Rupiah atau US Dollar. Intervensi tersebut menjaga nilai tukar Rupaih tetap berada di antara kedua titik tersebut. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. 6. Sistem Free Floating, berada pada kutub yang bertentangan dengan sistem fixed. Dalam sistem ini, otoritas moneter secara teoritis tidak perlu mengintervensi pasar sehingga sistem ini tidak memerlukan cadangan devisa. 2.1.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kurs 1. Laju inflasi relatif Perubahan dalam laju inflasi dapat mempengaruhi aktivitas perdagangan internasional, karena mempengaruhi permintaan dan penawaran valuta, dan dengan demikian mempengaruhi nilai tukar. Dengan mengasumsikan ada dua negara, jika inflasi negara A naik, maka negara A akan meningkatkan permintaan terhadap mata uang B di mana tingkat inflasi B tetap. Selain itu, lonjakan inflasi di negara A akan mengurangi keinginan konsumen negara B terhadap produkproduk negara A sehingga mengurangi penawaran mata uang B dalam pasar. 2. Suku bunga relatif Perubahan dalam suku bunga relatif mempengaruhi investasi dalam sekuritassekuritas asing, yang selanjutnya akan mempengaruhi permintaan dan penawaran valuta asing dan nilai tukar. Dengan mengasumsikan suku bunga di negara A meningkat sedangkan suku bunga di negara B tetap (konstan). Dalam hal ini perusahaan-perusahaan di A besar kemungkinan akan mengurangi permintaan mereka terhadap mata uang negara B karena suku bunga di A sekarang lebih menarik ketimbang suku bunga di B. Perusahaan-perusahaan di negara A akan menarik deposito mereka di negara B dan menempatkannya di bank negara A. 3. Tingkat pendapatan relatif Faktor ketiga yang mempengaruhi nilai tukar adalah tingkat pendapatan nasional relatif. Pada saat tingkat pendapatan nasional naik maka kemampuan untuk mengimpor suatu negara akan naik. Hal ini akan menyebabkan terjadinya fluktuasi nilai tukar. 4. Kontrol pemerintah Faktor keempat yang mempengaruhi nilai tukar adalah kontrol pemerintah. Pemerintah negara-negara asing dapat mempengaruhi nilai tukar ekuilibrium dengan berbagai cara, di antaranya melalui hambatan jual beli valuta asing, hambatan perdagangan, intervensi (pembelian dan penjualan valuta) dalam pasar valas (valuta asing), dan tingkat pendapatan nasional. 2. Ekspektasi Faktor kelima yang mempengaruhi nilai tukar valuta asing adalah ekspektasi akan nilai tukar di masa depan. Sama seperti pasar keuangan yang lain, pasar valas bereaksi cepat terhadap setiap berita yang memiliki dampak ke depan. 2.1.3. Investasi 2.1.3.1. Definisi Investasi Investasi adalah komitment atas sejumlah dana atau sumber daya lainnya yang dilakukan pada saat ini, dengan tujuan memperoleh sejumlah keuntungan di masa datang (Tandelilin, 2001: 3). Investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran atau pengeluaran penanampenanam modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan perlengkapan-perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian. Penambahan jumlah barang modal ini memungkinkan perekonomian tersebut menghasilkan lebih banyak barang dan jasa dimasa yang akan datang (Sadono, 2006: 121). Dalam praktiknya, dalam usaha untuk mencatat nilai penanaman modal yang dilakukan dalam suatu tahun tertentu, yang digolongkan sebagai investasi (atau pembentukan modal atau penanaman modal) meliputi pengeluaran-pengeluaran yang berikut (Sadono, 2006: 121): i. Pembelian barang jenis barang modal, yaitu mesin-mesin dan peralatan produksi lainnya untuk mendirikan berbagai jenis industri dan perusahaan. ii. Pengeluaran untuk mendirikan rumah tempat tinggal, bangunan kantor, bangunan pabrik dan bangunan-bangunan lainnya. iii. Pertambahan nilai stok barang-barang yang belum terjual, bahan mentah dan barang yang masih dalam proses produksi pada akhir tahun penghitungan pendapatan nasional. Jumlah dari ketiga jenis komponen investasi tersebut dinamakan investasi bruto, yaitu ia meliputi investasi untuk menambahkan kemampuan memproduksi dalam perekonomian dan mengganti barang modal yang telah didepresiasikan. Apabila investasi bruto dikurangi oleh nilai depresiasi maka akan didapat investasi netto. 2.1.3.2. Dasar Keputusan Investasi Dasar keputusan investasi terdiri dari tingkat return yang diharapkan, tingkat resiko, serta hubungan antara return dan resiko (Tandelilin, 2001: 6): a. Return Dalam konteks manajemen investasi tingkat keuntungan investasi disebut sebagai return. Return yang diharapkan investor dari investasi yang dilakukan merupakan kompensasi atas biaya kesempatan (opportunity cost) dan risiko penurunan daya beli akibat adanya pengaruh inflasi. Dalam konteks manajemen investasi, perlu dibedakan antara return yang diharapkan (expected return) dan return yang terjadi (realized return). Return yang diharapkan merupakan tingkat return yang diantisipasi investor dimasa datang. Sedangkan return yang terjadi atau return aktual merupakan tingkat return yang telah diperoleh investor pada masa lalu. Perbedaan antara return yang diharapkan dengan return yang benar-benar diterima (return aktual) merupakan resiko yang harus selalu dipertimbangkan dalam proses investasi. b. Risiko Umumnya semakin besar resiko, maka semakin besar pula tingkat return yang diharapkan. Risiko bisa diartikan sebagai kemungkinan return aktual yang berbeda dengan return yang diharapkan. Dalam ilmu investasi pada khususnya terdapat asumsi bahwa investor adalah makhul yang rasional. Investor yang rasional tentunya tidak akan menyukai ketidakpastian atau risiko. Investor seperti ini tidak akan mau mengambil risiko suatu investasi jika investasi tersebut tidak memberikan harapan return yang layak sebagai kompensasi terhadap risiko yang harus ditanggung investor tersebut. c. Hubungan tingkat risiko dan return yang diharapkan Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. Hubungan antara risiko dan return yang diharapkan merupakan hubungan yang bersifat searah dan linier. Artinya, semakin besar risiko suatu aset, semakin besar pula return yang diharapkan atas aset tersebut, demikian sebaliknya. Gambar berikut ini menunjukkan hubungan antara return yang diharapkan dan risiko pada Return yang diharapkan berbagai jenis aset yang mungkin bisa dijadikan alternatif investasi. Opsi ‘put’ & ‘call’ Tingkat bunga bebas risiko Saham Obligasi Pemerintah Obligasi Perusahaan Kontrak ‘futures’ Ekuitas Internasional RF Risiko rendah Risiko moderat Risiko diatas ratarata Risiko sedang Risiko tinggi Risiko Sumber: Farrel, James L., 1997, “Portfolio Management: Theory and Application”, McGraw-Hill, Singapore, hal. 11. Dalam Tandelilin, 2001: 7. Gambar 2.3. Hubungan Risiko dan Return yang Diharapkan Garis vertikal dalam gambar di atas menunjukkan besarnya tingkat return yang diharapkan dari masing-masing jenis aset, sedangkan garis horizontal memperlihatkan risiko yang ditanggung investor. Titik RF pada gambar di atas menunjukkan tingkat return bebas risiko (risk-fare rate), untuk selanjutnya akan ditulis sebagai RF. RF dalam gambar di atas menunjukka satu pilihan investasi yang menawarkan tingkat return yang diharapkan sebesar RF dengan risiko sebesar 0. Selanjutnya obligasi pemerintah terlihat mempunyai risiko yang cenderung rendah dan tingkat return diharapkan yang juga tidak terlalu tinggi. Sedangkan disisi lain, jika kita berinfestasi pada kontrak futures misalnya, sesuai dengan gambar di atas, terlihat bahwa risiko yang harus ditanggung tergologn sebagai risiko yang tinggi, dengan tingkat return yang diharapkan tinggi pula. Kesimpulan yang bisa ditarik dari pola hubungan antara risiko dan return yang diharapkan adalah bahwa risiko dan return yang diharapkan mempunyai hubungan yang searah dan linier. Artinya, semakin tinggi risiko suatu aset, semakin tinggi pula tingkat return yang diharapkan dari aset tersebut, demikian sebaliknya. 2.1.4. Sertifikat Bank Indonesia 2.1.4.1. Pengertian SBI Salah satu instrumen pasar uang yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk mengendalikan likuiditas perrekonomian adalah Sertifikat Bank Indonesia atau SBI. SBI adalah instrumen keuangan jangka pendek yang dijadikan tolak ukur oleh bankbank pemerintah, swasta nasional dan swasta asing dalam menentukan tingkat suku bunga tabungan, deposito dan pinjaman kepada masing-masing nasabahnya. Dalam kondisi normal fungsi utama SBI adalah menjaga uang yang beredar berada dalam jumlah yang optimal. Namun sejak krisis moneter melanda Indonesia tahun 1997, SBI juga digunakan oleh Bank Sentral untuk mencegah meningkatnya permintaan dana oleh masyarakat dan kalangan pengusaha swasta nasional untuk keperluan transaksi dan berjaga-jaga. Pada kondisi tersebut, meningkatnya permintaan uang oleh masyarakat dan kalangan pengusaha nasional tidak sepenuhnya Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. digunakan untuk keprluan dimaksud, namun digunakan untuk berspekulasi membeli Dollar guna memperoleh keuntungan yang spekulatif. 2.1.4.2. Karakteristik SBI SBI pada dasarnya adalah merupakan instrumen jangka pendek yang bebas resiko. Karakteristik utama SBI adalah: 1. Pemberian bunga Bunga pada SBI dikenal sebagai tingkat diskonto, karena SBI dijual dengan harga discount sebesar tingkat diskontonya, atau dengan kata lain bunga SBI diberikan di awal. 2. Penerbitan SBI diterbitkan berdasarkan atas unjuk, yaitu yang terakhir membawa SBI pada saat jatuh tempo maka dialah yang berhak mencairkannya. 3. Suku bunga Suku bunga SBI ditentukan berdasarkan lelang yang dilakukan setiap hari Rabu sore pukul 18.00. penentuan suku bunga ini dilakukan berdasarkan lelang antara money broker yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Money broker yang menawar pada tingkat suku bunga yang rendah akan diprioritaskan untuk mendapatkan SBI terlebih dahulu. 2.1.4.3. Keuntungan dan Kerugian SBI Keuntungan utama investasi pada instrumen Sertifikat Bank Indonesia adalah: 1. Opportunity untuk memperoleh pendapatan bunga yang lebih tinggi dari instrumen Deposits On Call dan deposito bulan {Time Deposit) 2. Menjaga likuiditas, yaitu jika sewaktu-waktu perusahaan membutulikan dana, SBI dapat diperjual belikan dan diterima oleh seluruh lembaga keuangan bank maupun non bank sehingga sangat likuid Kerugian investasi ini adalah: 1. Umur SBI yang paling kecil adalah satu bulan, sehingga kurang fleksibel jika dana perusahaan yang tersedia hanya dapat ditanamkan kurang dari sebulan. 2.1.6. Saham 2.1.6.1. Defenisi Saham Saham dapat didefenisikan sebagai surat berharga sebagai bukti penyertaan atau pemilikan individu maupun institusi dalam suatu perusahaan. Apabila seorang investor membeli saham, maka ia akan menjadi pemilik dan disebut sebagai pemegang saham perusahaan tersebut (Anoraga, 2001:58). Saham dapat didefenisikan sebagai tanda penyertaan atau pemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas. Wujud saham adalah, selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas tersebut adalah pemilik perusahaan yang menerbitkan surat berharga tersebut (Darmadji, 2001: 5). Saham merupakan surat bukti bahwa kepemilikan atas aset-aset perusahaan yang menerbitkan saham. Dengan memiliki saham suatu perusahaan maka investor akan mempunyai hak terhadap pendapatan dan kekayaan perusahaan setelah dikurangi dengan pembayaran semua kewajiban perusahaan (Tandelilin, 2001: 18). Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. Beberapa karakteristik yuridis kepemilikan saham suatu perusahaan, antara lain (Darmadji, 2001: 5): 1. Limited Risk, artinya pemegang saham hanya bertanggungjawab sampai jumlah yang disetorkan kedalam perusahaan. 2. Ultimate Control, artinya pemegang saham (secara kolektif) akan menentukan arah dan tujuan perusahaan. 3. Residual Claim, artinya pemegang saham merupakan pihak terakhir yang mendapat pembagian hasil usaha perusahaan (dalam bentuk deviden) dan sisa asset dalam proses likuidasi perusahaan. Pemegang saham memiliki posisi terakhir dibanding pemegang obligasi atau kreditur. Harga saham yang terjadi di pasar sangat berfluktuasi tergantung dari jumlah permintaan dan penawaran saham tersebut. Harga saham akan cenderung naik apabila suatu saham mengalami kelebihan permintaan dan akan cenderung turun apabila saham tersebut mengalami kelebihan penawaran. 2.1.6.2. Jenis-jenis Saham a. Ditinjau dari segi kemampuan dalam hak tagihan atau klaim, maka saham terbagi atas: 1. Saham Biasa Saham biasa, dikenal sebagai sekuritas penyertaan, sekuritas ekuitas, atau cukup disebut ekuitas (equities), menunjukkan bagian kepemilikan di sebuah perusahaan. Masing-masing lembar saham bisa mewakili satu suara tentang segala hal dalam pengurusan perusahaan dan menggunakan suara tersebut dalam rapat tahunan perusahaan dan pembagian keuntungan. (Bodi, Kane, Marcus: 2006; 59) 2. Saham Prefern Saham preferen (Preferred Stock), yaitu saham yang memiliki fitur yang serupa dengan ekuitas sekaligus utang. Pemegang saham preferen akan mendapatkan pembayaran tetap dari laba setiap tahunnya (seperti halnya obligasi). Saham preferen tidak memiliki hak atas suara atau manajemen perusahaan. Perusahaan dapat menahan pembayaran deviden kepada pemegang saham preferen tersebut; tidak ada kewajiban tertulis untuk membayar deviden tersebut namun biasanya devidennya bersifat kumulatif, artinya pembayaran deviden diakumulasikan dan harus dibayar penuh sebelum deviden untuk pemegang saham biasa dibayarkan. (Bodie, 2006; 62) b. Dilihat dari cara peralihannya, saham dapat dibedakan atas (Darmadji, 2001; 6): 1. Saham Atas Unjuk Saham Atas Unjuk (barrier stock), artinya pada saham tersebut tidak tertulis nama pemiliknya, agar mudah dipindahtangankan dari satu investor ke investor lainnya. Secara hukum, siapa yang memegang saham tersebut, maka dialah yang diakui sebagai pemiliknya, dan berhak untuk turut hadir dalam RUPS. 2. Saham Atas Nama Saham Atas Nama (Registered Stock), merupakan saham yang ditulis dengan jelas siapa nama pemiliknya, dimana cara peralihannya harus melalui prosedur tententu. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. c. Ditinjau dari kinerja perdagangan, maka saham dapat dikategorikan atas (Darmadji, 2001; 7).: 1. Blue Chip Stocks, yaitu saham biasa dari suatu perusahaan yang memiliki reputasi tinggi, sebagai leader di industri sejenis, memiliki pendapatan yang stabil dan konsisten dalam membayar deviden 2. Income Stock, yaitu saham dari suatu emiten yang memiliki kemampuan membayar deviden yang lebih tinggi dari rata-rata deviden yang dibayarkan pada tahun sebelumnya. Emiten seperti ini biasanya mampu menciptakan pendapatan yang lebih tinggi dan secara teratur membagikan deviden tunai. Emiten ini tidak suka mementingkan laba dan tidak mementingkan potensi pertumbuhan harga saham. 3. Growth Stocks (Well Known), yaitu saham-saham dari emiten yang memiliki pertumbuhan pendapatan yang tinggi, sebagai leader di industri sejenis yang mempunyai reputasi tinggi. Selain itu terdapat juga growth stoc (lesserknown), yaitu saham dari emiten yang tidak sebagai leader dalam industri sejenis namun memiliki growt stocks. Umumnya saham ini bersal dari daerah dan kurang populer dikalangan emiten. 4. Speculative Stocks, yaitu saham suatu perusahaan yang tidak bisa secara konsisten memperoleh penghasilan yang tinggi dimasa mendatang, meskipun belum pasti. 5. Counter Cyclical Stocks, yaitu saham suatu perusahaan yang tidak terpengaruh oleh kondisi ekonomi makro maupun situasi bisnis secara umum. Emiten seperti ini biasanya bergerak dalam produk yang sangat dan selalu dibutuhkan masyarakat. 2.1.6.3. Keuntungan Investasi dengan Saham Pada dasarnya ada dua jenis keuntungan yang diperoleh investor dengan membeli saham, yaitu deviden dan capital gain. Jika pemegang saham juga dimungkinkan untuk mendapat saham bonus (Darmadji, 2001: 8). 1. Deviden Yaitu pembagian keuntungan yang diberikan perusahaan penerbit saham tersebut atas keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan. Deviden diberikan setelah pendapat persetujuan dari pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Jika seorang pemodal ingin mendapatkan deviden, maka pemodal tersebut harus memegang saham tersebut dalam kurun waktu yang relatif lama yaitu hingga kepemilikan saham tersebut berada dalam periode dimana diakui sebagai pemegang saham yang berhak mendapatkan deviden. Umumnya deviden merupakan salah satu daya tarik bagi pemegang saham dengan orientasi jangka panjang seperti misalnya investor institusi atau dana pensiun dan lain-lain. Deviden yang dibagikan perusahaan dapat berupa deviden tunai, artinya deviden yang dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk tunai dan dalam jumlah tertentu untuk setiap saham, atau dapat pula berupa deviden saham yang berarti kepada setiap pemegang saham diberikan deviden sejumlah saham sehingga jumlah saham yang dimiliki seorang investor akan bertambah dengan adanya pembagian deviden tersebut. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. 2. Capital Gain Capital Gain merupakan selisih antara harga beli dan harga jual. Capital Gain terbentuk degan adanya aktifitas perdagangan saham di pasar sekunder. Misalnya seorang pemodal membeli saham Telkom (TKM) dengan harga per saham Rp3.500 kemudian menjual dengan harga per saham Rp3.500 yang berarti pemodal tersebut mendapatkan capital gain sebesar Rp500 untuk setiap saham yang dijualnya. Disamping dua keuntungan tersebut maka pemegang saham juga dimungkinkan mendapatkan saham bonus (jika ada), yaitu saham yang dibagikan kepada pemegang saham yang diambil dari agio saham. Agio saham adalah selisih antara harga jual terhadap harga normal saham tersebut pada saat perusahaan melakukan penawaran umum di Pasar Perdana. Misalnya, setiap saham dengan nominal Rp500 dijual dengan harga Rp800, maka setiap saham akan memberikan agio kepada perusahaan sebesar Rp300 untuk setiap sahamnya. 2.1.6.4. Resiko Investasi dengan Saham Saham dikenal dengan karakteristik high risk-high return. Artinya saham merupakan surat berharga yang memberikan peluang keuntungan tingkat tinggi namun juga berpotensi risiko tinggi. Saham memungkinkan pemodal untuk mendapatkan return atau keuntungan (capital gain) dalam jumlah yang besar dalam waktu singkat. Namun, seiring dengan berfluktuasinya harga saham, maka saham juga dapat pemodal pengalami kerugian besar dalam waktu singkat (Darmadji, 2001: 10). Resiko yang dihadapi pemodal dengan kepemilikan saham (saham biasa): 1. Tidak Mendapat Deviden Perusahaan akan membagikan deviden jika operasional perusahaan menghasilkan keuntunga. Dengan demikian perusahan tidak dapat membagihan dividen jika perusahaan tersebut mengalami kerugian. Dengan demikian potensi keuntungan pemodal untuk mendapatkan dividen ditentukan oleh kinerja perusahaan tersebut. 2. Capital Loss Dalam aktivitas perdagangan saham, tidak selalu pemodal mendapatkan capital gain alias keuntungan atas saham yang dijualnya. Ada kalanya pemodal harus menjual saham dengan harga jual lebih rendah dari harga beli. Dengan demikian seorang pemodal mengalami capital loss. Misalnya seorang pemodal memiliki saham Indosat (ISAT) dengan harga beli Rp9.000 namun beberapa waktu kemusian dijual dengan harga persaham Rp8.000 yang berarti pemodal tersebut mengalami capital loss Rp1.000 untuk setiap saham yang dijual. Disamping resiko di atas, seorang pemegang saham juga masih dihadapkan dengan potensi resiko lainnya yaitu: • Perusahaan Bangkrut atau Dilikuidasi Jika suatu perusahaan bangkrut, maka tentu saja akan berdampak secara langsung kepada saham perusahaan tersebut. Sesuai dengan peraturan pencatatan saham di bursa efek, maka jika suatu perusahaan bangkrut atau dilikuidasi, maka secara otomatis saham perusahaan tersebut akan dikeluarkan dari bursa atau di-delist. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. Dalam kondisi perusahaan dilikuidasi, maka pemegang saham akan menempati posisi lebih rendah dibandingkan dengan kreditor atau pemegang obligasi, dan jika masih terdapat sisa, baru dibagikan kepada para pemegang saham. • Saham di-Delist dari Bursa (Delisting) Suatu perusahaan di-delist dari bursa umumnya karena kinerja saham buruk misalnya dalam kurun waktu tertentu tidak pernah diperdagangkan, mengalami kerugian beberapa tahun, tidak membagikan deviden secara berturut-turut selama beberapa tahun dan berbagai kondisi lainnya sesuai peraturan pencatatan efek di bursa. Saham yang telah di-delist tentu saja tidak lagi diperdagangkan di bursa, namun tetap dapat diperdagangkan diluar bursa dengan konsekuensi tidak terdapat patokan harga yang jelas dan jika terjual biasanya dengan harga yang jauh dari harga sebelumnya. • Saham di-Suspend Saham di-suspend berarti saham tersebut dihentikan perdagangannya oleh otoritas bursa efek. Dengan demikian pemodal tidak dapat menjual sahamnya hingga suspend dicabut. Suspend biasanya berlangsung dalam waktu singkat, misalnya satu sesi perdagangan, namun dapat pula berlangsung dalam kurun waktu beberapa hari perdagangan. Hal tersebut dilakukan oleh otoritas bursa jika misalnya suatu saham mengalami lonjakan harga yang luar biasa, suatu perusahaan dipailitkan oleh kreditornya, atau berbagai kondisi lainnya yang mengharuskan otoritas bursa menghentikan sementara perdagangan saham tersebut untuk kemudian dimintakan konfirmasi kepada perusahaan tersebut atau kejelasan informasi lainnya, sedemikian sehingga informasi yang belum jelas tersebut tidak menjadi ajang spekulasi. Jika sudah didapatkan suatu informasi yang jelas, maka suspend atas saham tersebut dapat dicabut oleh bursa dan dapat diperdagangkan kembali seperti semula. 2.1.6.5. Penawaran Umum dan Pencatatan Efek di Bursa Penawaran umum atau sering pula disebut dengan Go Public adalah kegiatan penawaran saham atau efek lainnya yang dilakukan oleh emiten (perusahaan yang akan Go Public) untuk menjual saham atau efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur oleh Undang-undang Pasar Modal dan Peraturan Pelaksananya. Penawaran umum mencakup kegiatan-kegiatan berikut (Darmadji, 2001; 40): 1. Periode pasar perdana, yaitu ketika efek ditawarkan kepada investor oleh penjamin emisi melalui para agen penjual yang ditunjuk. 2. Penjatahan saham, yaitu pengalokasian efek pesanan para investor sesuai dengan jumlah efek yang tersedia. 3. Pencatatan efek di bursa, yaitu saat efek tersebut mulai diperdagangkan di bursa. Perusahaan tercatat adalah perusahaan public yang mencatatkan sahamnya di suatu bursa efek. Umumnya perusahaan public yang telah menawarkan sahamnya di bursa efek (Darmadji, 2001: 40). Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. 2.1.6.6. Prosedur Transaksi Pembelian dan Penjualan Efek atau Saham Darmadji: 2001; 82: Transaksi efek diawali dengan order pesanan untuk harga tertentu. Pesanan dapat disampaikan baik secara tertulis maupun lewat telepon kepada perusahaan Efek melalui sales/dealer dengan menyebutkan jumlah yang akan dibeli atau dijual serta harga yang diinginkan. PROSES PERDAGANGAN PROSES JUAL BELI SAHAM DI BEJ BURSA EFEK JAKARTA Investor Beli WPPE (Pialang) Pialang Beli Investor Jual WPPE (Pialang) Pialang Jual Sistem Tawar Menawar & Negosiasi PROSES PENYELESAIAN TRANSAKSI KPEI & KSEI Penyelesaian Transaksi Rp Investor Beli Pialang Beli Sertifikat Saham Pialang Jual Rp Investor Jula Emiten/ BAE Sumber: Dikutip dari Darmadji, T. dkk., 2001, “Pasar Modal di Indonesia - Pendekatan Tanya Jawab”, PT. Salemba Empat Patria, Jakarta, hal. 81. Gambar. 2.4. Proses Jual Beli Saham di Bursa Efek Jakarta Pesanan tersebut setelah diteliti oleh perusahaan efek (misalnya apakah dana atau saham yang akan dibeli atau dijual ada, batas limit perdagangan dan sebagainya) kemudian disampaikan kepada pialang di lantai bursa untuk dilaksanakan. Pesanan jual atau beli para pemodal dari berbagai perusahaan akan bertemu di lantai bursa. Setelah terjadi pertemuan (match) antar pesanan tersebut, maka proses selanjutnya adalah proses terjadinya transaksi. Proses jual – beli saham dapat dijelaskan melalui gambar 2.4. di atas. Keterangan: 1. Pemodal menghubungi perusahaan efek dimana ia telah terdaftar sebagai nasabah. Investor menyampaikan instruksi beli kepada pialang. 2. Selanjutnya instrukti tersebut disampaikan ke trader (WPPE) perusahaan efek tersebut di lantai bursa. Kemudia trader tersebut memasukkan instruksi tersebut kedalam sistem komputer perdagangan di BEJ yang disebut Jakarta Automated Trading System (JATS). Sistem tersebut secara otomatis menggunakan mekanisme tawar-menawar secara terus menerus, sehingga untuk pembelian didapatkan harga pasar terendah dan sebaliknya untuk aktifitas jual akan mendapatkan harga pasar tertinggi. Suatu transaksi dikatakan berhasil jika telah matched antara penawaran jual beli. 3. Penyelesaian atas transaksi tersebut dilakukan oleh dua lembaga lain selain Bursa, yaitu LKP dan LPP. Dipasar Indonesia, penyelesaian dilakukan 4 (empat) hari kerja setelah terjadinya transaksi (T+4). Investor yang melakukan pembelian akan mendapatkan saham yang dibelinya pada hari ke lima. Proses penjualan saham prosedurnya relatif sama dengan pembelian saham seperti tertera pada bagan di atas. Pemodal akan mendapatkan daba hasil penjualan setelah T + 4. Untuk penjualan saham, umumnya broker akan meminta pemodal Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. menyerahkan surat saham kolektif terlebih dahulu, sebelum perintah jual bisa dilaksanakan. 2.1.7. Indeks Harga Saham Nilai investasi pada suatu surat berharga dipengaruhi oleh harapan pemodal tentang kinerja perusahaan di masa yang akan datang. Harga saham sebuah perusahaan akan meningkat jika pemodal memperkirakan arus kas yang akan diperoleh dari perusahaan tersebut meningkat. Sebaliknya, jika pemodal memperkirakan arus kas yang akan diterima di masa yang akan datang menurun, harga saham perusahaan tersebut akan turun. Arus kas yang akan diperoleh oleh pemodal dalam bentuk deviden atau bunga dipengaruhi oleh kemampuan manajemen perusahaan untuk beroperasi secara menguntungkan di tengah-tengah lingkungan usaha yang semakin kompetitif. Oleh karenanya, persepsi pemodal tentang pengaruh lingkungan usaha perusahaan terhadap profitabilitas akan sangat mempengaruhi nilai investasi pada suatu surat berharga (Harianto, 1998: 137). Untuk mengamati perkembangan harga saham dapat dilakukan dengan menggunakan Indeks Harga Saham. Indeks harga saham merupakan indikator utama yang menggambarkan pergerakan harga saham (Fakhruddin, 2001: 201). Indeks harga saham membandingkan perubahan harga saham dari waktu ke waktu, apakah harga suatu saham mengalami kenaikan atau penurunan dibandingkan suatu waktu tertentu. Di pasar modal, sebuah indeks diharapkan memiliki 5 (lima) fungsi: 1. Sebagai indikator trend pasar. 2. Sebagai indikator tingkat keuntungan. 3. Sebagai tolak ukur (Benchmark) kinerja suatu portofolio. 4. Memfasilitasi pembentukan portofolio dengan strategi pasif. 5. Memfasilitasi berkembangnya produk derivative. Penentuan indeks harga saham dibedakan menjadi dua bagian yaitu, indeks harga saham individu (Indeks Individual) dan indeks harga saham gabungan (IHSG). Indeks Individual merupakan indeks dari masing-masing saham terhadap harga dasarnya (Darmadji, 2001: 95). Indeks ini hanya dapat mengukur harga dari suatu saham perusahaan tertentu apakah mengalami perubahan kenaikan atau penurunan. Sedangkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menunjukkan pergerakan harga saham secara umum yang tercatat di bursa efek (Anoraga, 2001: 101). Indeks ini melibatkan seluruh harga saham yang terdaftar di lantai bursa dan paling banyak digunakan sebagai acuan tentang perkembangan kegiatan di pasar modal. IHSG dapat digunakan untuk menilai suatu pasar secara umum apakah harga saham mengalami kenaikan atau penurunan. Secara khusus dapat diamati bahwa kebanyakan saham cenderung mengalami kenaikan harga jika indeks harga saham mengalami kenaikan. Sebaliknya jika IHSG mengalami penurunan maka kecendrungan harga saham juga akan mengalami penurunan. Hal ini menggambarkan bahwa return-return dari sekuritas mungkin berkorelasi karena adanya reaksi umum terhadap perubaha-perubahan nilai pasar (Jogiyanto, 2000: 203). Selain indeks harga saham individu dan gabungan ada 2 (dua) jenis indeks harga saham yang digunakan dalam kegiatan di bursa efek indonesia yaitu Indeks Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. Harga Saham Sektoral dan Indeks LQ 45. Indeks harga saham sektoral menggunak semua saham yang termasuk dalam masing-masing sektor ekonomi. Indeks LQ 45 saham yang terpilih berdasarkan likuiditas perdagangan saham dan disesuaikan setiap enam bulan sekali. Dengan demikian saham yang terdapat dalam indeks tersebut akan selalu berubah (Fakhrudin, 2001: 203). 2.1.8. Analisis Fundamental Harga Saham Langkah pertama dalam proses investasi adalah menentukan kebijakan investasi, meliputi penentuan tujuan investor dan kemampuannya/ kekayaannya yang dapat diinvestasikan. Langkah kedua dalam proses investasi adalah melakukan analisis sekuritas yang meliputi penilaian terhadap sekuritas secara individual (atau beberapa kelompok sekuritas) yang masuk dalam kategori luas dari aset finansial yang telah diidentifikasi sebelumnya (Sharpe, 1999: 11). Dalam arti luas, analisis finansial meliputi penentuan tingkat resiko dan ekspektasi return dari aset finansial tunggal dan juga aset finansial kelompok. Alternatif defenisi analisis finansial lebih pragmatis; Financial Analyst’s Handbook mendefenisikan analisis finansial sinonim dengan analisis sekuritas atau analisis investasi – ‘seseorang yang menganalisis sekuritas dan memberikan rekomendasi dari hasil analisisnya’ (Sharpe, 1997: 396). Untuk menentukan harga yang tepat bagi saham suatu perusahaan, analisis sekuritas harus memprediksi dividen dan laba yang dapat diharapkan dari perusahaan tersebut (Bodie: 2006, 173). Untuk melakukan analisis dan memilih saham terdapat dua pendekatan dasar, yaitu Analisis Fundamental dan Analisis Teknikal (Harianto, 1998: 473) Analisis fundamental mencoba memperkirakan harga saham di masa yang akan datang dengan (i) meng-estimate nilai faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi harga saham di masa yang akan datang, dan (ii) menerapkan hubungan variabel-variabel tersebut sehingga diperoleh taksisan harga saham (Harianto, 1998: 474). Perusahaan hanya bisa membagikan deviden dalam jumlah semakin besar kalu perusahaan mampu menghasilakan laba yang makin besar pula. Secara teoritis, semakin besar sebuah perusahaan memperoleh laba akan semakin besar pula kemampuan untuk membagiakan deviden. Tentu saja perusahaan tidak harus meningkatkan pembayaran deviden kalau laba yang diperoleh makin besar. Teori keuangan mengatakan, laba tidak perlu dibagikan sebagai deviden kalau perusahaan bisa menggunakan laba tersebut secara menguntungkan. Penggunaan yang menguntungkan berarti dana tersebut bisa memberikan tingkat keuntungan yang lebih besar dari biaya modalnya. Jadi kalau biaya modalnya sebesar 22%, dan dana dari laba tersebut dapat digunakan dengan memberikan tingkat keuntungan sebesar 25%, perusahaan dibenarkan untuk menahan laba tersebut. Uraian tersebut menunjukkan bahwa kalau kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba meningkat, harga saham akan meningkat. Dengan kata lain, profitabilitas akan mempengaruhi harga saham. Masalah kemuduan adalah, faktorfaktor apa yang mempengaruhi kemampuan perusahaan menghasilkan laba? Kita tahu bahwa laba adalah selisih antara pendapatan dari penjualan dengan biaya-biaya. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. Karena itu kalau kita ingin mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi laba, kita perlu mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penjualan dan biaya. Banyak faktor yang mempengaruhi kedua hal itu. Tetapi pada dasarnya kita membagi faktor-faktor tersebtu menjadi faktor yang mungkin bisa dikendaliakan oleh perusahaan (seperti pemilihan jenis mesin, jenis teknologi, pemilihan karyawan, dan sebagainya) dan faktor-faktor yang tidak bisa dikendalikan oleh perusahaan (seperti misalnya suku bunga, pertumbuhan ekonomi, harga minyak, dan sebagainya) (Harianto, 1998: 476) 2.1.8.1. Analisis Ekonomi/ Pasar Dalam melakukan analisis fundamental, penilaian terhadap kondisi dan keadaan berbagai variabel utama seperti laba yang diperoleh perusahaan-perusahaan dan tingkat bunga mutlak diperlukan. Variabel-variabel tersebut sangat mempengaruhi keputusan-keputusan investasi yang akan diambil oleh para pemodal. Apabila resesi diperkirakan akan terjadi, atau perekonomian sedang menuju ke situasi resesi, harga saham-saham akan sangat terpengaruh oleh situasi tersebut. Kasus gejolak moneter pada semester II tahun 1997 di Indonesia mengilustrasikan situasi tersebut (Harianto, 1998: 478). Indeks pasar (yang ditunjukkan oleh Indeks LQ45) menurun dari 142,050 pada akhir Juli 1997, menjadi 106,194 pada akhir Oktober 1997, atau turun sebesar 25,24%, pada waktu suku bunga deposito meningkat dari sekitar 15% menjadi 30% per tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara keseluruhan terjadi penurunan harga saham pada waktu terjadi peningkatan suku bunga dan kekhawatiran terjadi resesi. Keadaan yang sebaliknya akan terjadi apabila diharapkan kondisi ekonomi membaik. Karena itulah para pemodal harus melakukan penilaian terhadap kondisi perekonomian dan implikasinya terhadap pasar modal. Untuk mengetahui kondisi pasar dipergunakan indeks pasar sebagai indikator. Dengan demikian keadaan pasar modal Indonesia mungkin diwakili (proxy) oleh IHSG atau Indeks LQ45. Idealnya indeks pasar tersebut juga dapat mencerminkan kondisi perekonomian. Apabila kondisi perekonomian mempengaruhi kondisi pasar, maka pada gilirannya kondisi pasar akan mempengaruhi pata pemodal. Sulit bagi pemodal untuk memperoleh hasil investasi yang berkebalikan dengan kecenderungan pasar. Apabila pasar membail atau memburuk, umumnya saham-saham juga akan terpengaruh dengan arah yang sama. Selain terhadap tingkat keuntungan yang diperoleh pemodal, kondisi ekonomi juga mempengaruhi kemampuan perusahaan dalam meperoleh laba. Foster (1986) menunjukkan bahwa faktor ekonomi berpengaruh sekitar 17% terhadap perubahan laba perusahaan. Sedangkan penelitian di Indonesia menunjukkan pengaruh tersebut tidak terlalu signifikan, walaupun tetap menunjukkan adanya korelasi positif (Miswanto, 1997. Dalam: Harianto, 1998: 480). Disamping pengaruhnya terhadap kondisi perusahaan, kondisi perekonomian juga mempengaruhi kondisi industri. Sebgai misal, dari akhir Juli sampai dengan Oktober 1997, industri perbankan dan property mengalami penurunan uang lebih besar dari penurunan indeks pasar yaitu lebih dari 50%, sementara indeks turun Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. sebesar 25%. Karena itulah analisis kondisi perekonomian perlu dilakukan terlebih dahulu sebelum dilakukan analisis kondisi industri dan perusahaan. 2.1.8.1.1. Memperkirakan Perubahan di dalam Perekonomian/Pasar Sebagian besar pemodal ingin memperkirakan (forecast) perubahan di pasar keuangan bukan hanya untuk mengetahui kondisi pasar saat ini, tetapi juga untuk mengetahui arah perkembangan pasar di masa yang akan datang. Meskipun demikian, tidaklah tepat kalau pemodal berharap dapat memperkirakan secara tepat kondisi pasar di masa yang akan datang. Hal tersebut tidak mungkin dilakukan secara konsisten. Yang lebih mungkin dilakukan adalah memperkirakan gejala-gejala perekonomian di masa yang akan datang untuk memprediksikan arah gerakan pasar dan berapa lama perubahan tersebut akan terjadi. Arah gerakan kondisi perekonomian dan pasar tersebut berguna bagi pemodal untuk memutuskan apakah sebaiknya mereka “keluar” dulu dari pasar modal, ataukah tetap bertahan. Perkiraan ini juga berguna untuk memutuskan apakah sudah saatnya untuk “masuk” kembali, ataukah lebih baik sementara tetap di luar (Harianto, 1998: 481). 2.1.8.1.2. Penggunaan Indikator Moneter untuk Memperkirakan Kondisi Pasar Karena peranannya yang vital di dalam perekonomian, kebijakan moneter juga mempunyai dampak pengting baik bagi perekonomian maupun harga saham. Untuk memperkirakan kondisi perekonomian, pemodal secara tradisional selalu memperhatiakan kemungkinan perubahan jumlah uang beredar. Prekiraan perubahan jumlah uang yang beredar juga diharapkan akan mempengaruhi kegiatan ekonomi. Berbagai teori ekonomi makro menjelaskan adanya hubungan antara jumlah uang dan kegiatan ekonomi di masa yang akan datang. Hal yang dipandang sangat menentukan adalah bahwa perubahan dalam jumlah uang yang beredar akan menyebabkan perubahan dalam money supplu dan money demand. Peningkatan money supply akan cenderung meningkatkan kegiatan ekonomi, sedangkan peningkatan money demand akan mengurahi kegiatan ekonomi. Penggunaan perubahan tingkat bunga sebagai cara untuk memprediksikan kondisi pasar juga dihadapkan pada kemungkinan bahwa dampaknya tidak synchronous. Tetapi pasar selalu bersikap antisipatif terhadap perubahan tersebut (Harianto, 1998: 482). 2.1.8.1.3. Kondisi Ekonomi dan Kondisi Pasar Karena kondis pasar merefleksikan kondisi ekonomi, maka perubahan kondisi ekonomi tentunya juga akan tercermin pada kondisi pasar. Namun, akan lebih tepat jika dikatakan bahwa kondisi pasar saat ini lebih mencerminkan harapan para pemodal terhadap kondisi ekonomi di masa yang akan datang. Ilustrasi diatas menunjukkan bahwa pasar mungkin mengantisipasi perkembangan tingkat bunga sehingga analisis seri data secara synchronomus menunjukkan hasil yang tidak sesuai harapan. Pasar juga biasanya memperhatikan kondisi cyclicality yang sering dijumpai dalam perekonomian. Dalam suatu periode tertentu, kegiatan ekonomi terlihat mempunyai pola; dari kondisi yang buruk, membaik dan mencapau puncak, setelah Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. itu memburuk, mencapai kondi paling buruk, membaik lagi (recovery), dan kembali ke puncak lagi. Demikian seterusnya. Siklus tersebut mungkin mempunyai periode sekitar 5-7 tahun. Pengenalan pola cyclical dan pasar modal yang bersifat antisipatif akan membantu dalam melakukan peramalan terhadap kondisi pasar. Harga saham akan turun pada saat kondisi ekonomi mengalami resesi. Meski demikian para analis (atau pemodal) perlu memperkirakan kapan resesi tersebut akan berakhir, dan berbalik ke kondisi yang membaik, sehingga dapat memperkirakan kapan harga saham-saham akan membaik. Dengan demikian tidak mengherankan kalau terdapat pola sebagai berikut – Kondisi perekonomian masi dikatakan resesi, tetapi harga saham mulai meningkat. Hal tersebut sebenarnya hanya mencerminkan harapan para pemodal bahwa kondisi ekonomi akan segera membaik. Maka pemodal yang melakukan perkiraan terhadap kondisi pasar dengan menggunakan faktor siklus perekonomian pelu memperhatikan (Harianto, 1998: 484): a. Apabila pemodal dapat memprediksikan kondisi perekonomian terburuk (bottoming out) sebelum kondisi tersebut terjadi, membaiknya kondisi pasar dapat diperkirakan akan terjadi sebelum kondisi terburuk tersebut tercapai. b. Pada saat kondisi perekonomian membaik (recover), harga saham mungkin sudah stabil atau bahwak sedikit menurun. Dengan demikian pertanyaannya adalah, sebrapa lama kondisi perekonomian yang baik tersebut akan bertahan sebelum mengalami penurunan. Sebelum kondisi perekonomian mengalamai penurunan, harga saham mungkin sudah turun. 2.1.8.1.4. Penggunaan Model-model Valuasi untuk Memperkirakan Kondisi Pasar Berdasarkan model-model valuasi yang telah dijelaskan di atas, salah satu pendekatan berikut ini dipergunakan (Harianto, 1998: 486): 1. Menggunakan rumus constant growth model, yaitu P0 = D1/(r-g) 2. Menggunakan model PER, yaitu PER = (1-b) / (r-g) Dengan demikian, apabila kita ingin memperkirakan kondisi pasar, kita perlu melakukan judgement terhadap kemungkinan-kemungkinan perubahan variabelvariabel tersebut. Karena perkiraan akan dilakukan terhadap kondis pasar, penggunaan model PER akan lebih mudah di terapkan dan diimplementasikan. 2.1.8.2. Analisis Industri Sebelum melakukan analisis industri atau sektor tertentu, kita perlu melihat perkembangan atau kinerja industri/ sektor tersebut sehingga dapat memberikan gambaran arah perkembangan industri/ sektor tersebut. Seharusnya pengamatan perlu dilakukan untuk periode yang cukup panjang sehingga barangkali dapat dideteksi pola perkembangannya atau bagaimana pengaruh kondisi perekonomian. Sebagai misal, suatu industri mungkin mengalami perkembangan yang cukup tinggi pada dua dasawarsa yang lalu, tetapi sekarang mungkin menunjukkan kondisi yang relatif stabil. Industri yang lain mungkin sangat erat perkembangannya dibandingkan dengan siklus perekonomian, sedangkan lainnya lagi mungkin tidak (Harianto, 1998: 490). Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. Tabel 2.1 Perubahan Indeks Sektoral dan Pasar di BEJ Juli – September 1997 Sektor 1. Pertanian 2. Pertambangan 3. Industri Dasar 4. Aneka Industri 5. Industri Barang Konsumsi 6. Properti 7. Infrastruktur 8. Keuangan 9. Perdagangan dan Jasa LQ 45 (pasar) Indeks pada akhir Juli 469,9 139,8 112,8 142,8 117,8 175,0 128,4 202,3 160,0 144,6 Indeks pada akhir Sept. 547,6 163,7 82,8 111,1 98,9 103,8 117,2 115,0 116,2 113,1 Perubahan (%) 16,54 19,66 -27,48 -22,20 -16,04 -40,69 -8,72 -43,15 -27,38 -21,78 Sumber : JSX Monthly Statistic, berbagai penerbitan, dalam Harianto, F. dkk., 1998, “Perangkat dan Teknik Analisis Investasi di Pasar Modal Indonesia”, PT. Bursa Efek Jakarta, Jakarta, hal. 492. Suatu industri yang mempunyai kepekaan lebih tinggi dari pasar mengindikasikan bahwa industri tersebut mempunyai risiko pasar yang tinggi (artinya lebih tinggi dari rata-rata). Meskipun demikian, risiko tersebut akan bergerak dalam dua arah, yaitu menjadi lebih buruk dari pasar, atau sebaliknya. 2.1.8.2.1. Menganalisis Industri Industri dianalisis lewat penelaahan berbagai data yang menyangkut penjualan, laba, deviden, struktur modal, jenis produk yang dihasilkan, regulasi, inovasi dan sebagainya. Untuk melakukan analisis industri, langkah pertama yang dapat dilakukan adalah dengan mengidentifikasi tahap kehidupan produknya. Tahap ini bermaksud untuk mengenali apakah industri tempat perusahaan beroperasi merupakan industri yang masih akan berkembang cepat, sudah stabil, ataukah sudah menurun. Langkah berikutnya adalah menganalisis industri dalam kaitannya dengan kondisi perekonomian. Langkah ketiga adalah analisis kualitatif terhadap industri tersebut, yang dimaksudkan untuk membantu pemodal menulai prospek industri di masa yang akan datang (Harianto, 1998: 493). 2.1.8.2.2. Siklus Kehidupan Industri Banyak pengamat percaya bahwa industri menempuh siklus kehidupan, yaitu tahap perkenalan, pertumbuhan, kedewasaan, dan penurunan. Siklus kehidupan tersebut ditunjukkan pada gambar 2.5. Karena umumnya perusahaan baru go public setelah melewati masa perkenalan, analisis industri umunya dikelompokkan menjadi tiga tahap, yaitu (1) tahap pertumbuhan, (2) tahap kedewasaan, dan (3) tahap penurunan (Harianto, 1998: 493). Penjualan Perkenalan Pertumbuhan Kedewasaan Penurunan Waktu Sumber : Harianto, F. dkk., 1998, “Perangkat dan Teknik Analisis Investasi di Pasar Modal Indonesia”, PT. Bursa Efek Jakarta, Jakarta, hal. 494. Gambar 2.5 Siklus Kehidupan Industri Tahap pertumbuhan ditandai dengan pertumbuhan pertumbuhan penjualan yang relatif masih tinggi, meskipun tingkat resiko sudah tidak setinggi pada tahap perkenalan. Paling tidak sudah terbukti bahwa produk yang ditawarkan, telah Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. diterima oleh pasar. Karena tingginya pertumbuhan penjualan, laba yang diperoleh mungkin tidak cukup untuk membiayai ekspansi yang diperlukan. Dengan demikian mungkin sekali perusahaan dalam tahap ini akan mempunyai deviden payout ratio yang rendah, dan memerlukan pendanaan eksternal untuk membiayai ekspansinya. Tahap kedewasaan, pada tahap ini pertumbuhan penjualan masih terjadi, tetapi sudah dalam tingkat lebih rendah dibandingkan pada tahap pertumbuhan. Karena produksi sudah mencapai jumlah cukup besar untuk memenuhi permintaan pasar, umunya laba yang diperoleh cukup untuk membiayai pertumbuhan usaha. Dengan kata lain, internal financing cukup untuk mendukung penjualan. Oleh karena itu proporsi laba yang dibagian sebagai deviden (deviden payout ratio), akan lebih besar daripada ketika pada tahap pertumbuhan. Tahap penurunan, pada taham ini permintaan akan produk tersebut sidah mengalami penurunan, sehingga pertumbuhan penjualan menjadi negatif. Apabila tidak dapat diketemukan penggunaan lain dari produk tersebut, sehingga permintaan dapat didorong kembali, strategi yang digunakan oleh perusahaan penghasil produk yang sudah masuk dalam tahap ini adalah melakukan diversifikasi ke produk lain. Dalam menganalisis, perlu diperhatikan bahwa kita hendaknya jangan mencampurkan penjualan yang dicapai oleh perusahaan dan yang dicapai oleh industri. Dapat saja terjadi perusahaan menghasilkan produk yang sudah ada dalam tahap kedewasaan, tetapi penjualannya tetap pada pertumbuhan yang tinggi. Hal tersebebut terjadi karena perusahaan mampu merebut pangsa pasar perusahaanperusahaan pesaing. Apabila hal ini terjadi untuk jangka waktu yang lama, maka diperkirakan akan terjadi perubahan dalam struktur industri, yaitu menjadi kearah oligopoli (hanya terdapat beberapa perusahaan yang menghasilkan produk tersebut). Kalaupun terjadi situasi seperti itu akhirnya pertumbuhan penjualan suatu perusahaan juga akan menurun apabila permintaan pasar secara keselurauhan hanya meningkat dalam persentase yang tidak terlalu besar. Sesuai dengan konsep siklus kehidupan produk, perusahaan yang menghasilkan produk dengan pertumbuhan yang masih cukup tinggi (ada pada tahap pertumbuhan) akan mempunyai PER yang lebih besar daripada yang ada pada tahap kedewasaan. Hal tersebut dapat dihubungkan dengan rumus yang menyatakan bahwa, PER = (1-b) / (r-g) Apabila pertumbuhan penjualan cukup tinggi, maka pada akhirnya pertumbuhan kaba (dan juga deviden) akan meningkat cukup tinggi pula. Sebagai akibatnya g akan lebih tinggi. Apabila kita pegang konstanta faktor-faktor yang lain, maka g yang semakin besar akan menghasilkan PER yang makin tinggi pula. Pemodal yang lebih berminat untuk memperoleh capital gain sebaiknya menghindari saham perusahaan-perusahaan yang ada pada tahap kedewasaan. Perusahaan-perusahaan tersebut lebih sesuai untuk pemodal yang menginginkan deviden dalam jumlah yang cukup besar. Perusahaan yang ada dalam tahap pertumbuhan menunjukkan bahwa daya tarik bidang tersebut diharapkan masih cukup lama. Deviden yang dibagikan relatif rendah, tetapi akan dikompensasi oleh kenaikan harga saham yang tinggi. 2.1.2.3. Analisis Siklus Bisnis Cara kedua untuk melakukan analisis industri adalah dengan menganalisis hubungan antara kemampuan operasi dengan kondis perekonomian makro. Beberapa Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. industri mampu beroperasi cukup baik pada waktu resesi, sedangkan yang lain sangat jelek kinerjanya. Beberapa industri terkait erat dengan siklus bisnis. Pada saat kondisi ekonomi membaik, industri-industri tersebut menunjukkan kinerja yang jauh lebih baik daripada kondisi perekonomian, sebaliknya pada saat kondisi ekonomi memburuk, jauh lebih buruk daripada kondisi perekonomian. Karena itu para analisis industri mengelompokkan industri menjadi growth industry, defensive industry, dan cyclical industry. Growth industry merupakan industri yang mempunyai pertumbuhan laba jauh lebih tinggi dari rata-rata industri. Industri telekominikasi tampaknya merupakan contoh growth industry. Defensive industry adalah industri yang tidak banyak terpengaruh oleh kondisi ekonomi. Industri makanan dan minuman biasanya merupakan contoh defensive industry. Sedangkan cyclical industry adalah industri yang sangat peka terhadap perubahan kondisi perekonomian. Industri otomotif dan barang konsumsi elektronika tahan lama masuk dalam kelompok ini. Ada juga yang menambahkan interest rate sensitive industry, seperti industri perbankan dan properti. Pengklasifikasian seperti itu bermanfaat untuk memperkirakan kondisi suatu industri apabila dikaitkan dengan perubahan kondisi perekonomian. Bagi pemodal yang tidak ingin mengalami penurunan harga yang besar apabila kondisi perekonomian mengalami resesi, saham-saham industri yang defensif sebaiknya dipilih, dan saham-saham industri cyclical dihindari. Dengan demikian, sekali lagi tampak bahwa analisis perekonomian penting dilakukan terlebih dahulu sebelum melakukan analisis industri (Harianto, 1998: 496). 2.1.2.4. Berbagai Aspek Kualitatif dalam Analisis Industri Beberapa aspek kualitatif akan membantu analis melakukan analisis industri. Aspek-aspek seperti kinerja historis, persaingan, kebijakan pemerintah, dan perubahan struktural, sangat perlu diperhatikan dalam analisi. Meskipun kinerja di masa yang akan datang tidak selalu konsisten dengan kinerja di waktu yang lalu, kemampuan beberapa jenis industri untuk menunjukkan kinerja yang terus menerus baik di waktu yang lalu tentu saja tidak dapat diabaikan dalam analisis. Indikator yang dapat dilihat adalah pertumbuhan penjualan dan laba, dan perkembangan harga sahamnya. Persaingan dapat berasal dari masuknya pesaing baru, meningkatknya barganing power para pembeli, persaingan antar pesaing yang ada, masuknya produk substitusi, dan meningkatnya barganing power para pemasok. Meningkatnya barganing power para pembeli akan memaksa perusahaan untuk menawarkan syaratsyarat penjualan yang lebih lunak. Meningkatnya barganing power para pemasok akan mengakibatkan perusahaan terpaksa membayar dengan syarat-syarat yang lebih ketat. Akibatnya sama, yaitu profitabilitas perusahaan akan berkurang. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam sektor/ industri tertentu juga akan langsung mempengaruhi industri tersebut, meskipun secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap industri lainnya. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 606/kmk.017/1995, yang antara lain mengatur jumlah pinjaman luar negeri bagi perusahaan pembiayaan maksimum sebesar 5 (lima) kali jumlah modal sendiri setelah dikurangi dengan penyertaan, membawa dampak bahwa perusahaan pembiayaan tidak dapat lagi mengandalkan pinjaman luar negeri yang Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. terlalu besar. Meskipun dirasa merugikan (karena dana dalam dolar dinilai mempunyai biaya yang lebih “murah”) pada tahun 1996, batasan tersebut terbukti bermanfaat untuk membatasi risiko valas ketika terjadi gejolak moneter seperti pada semester II tahun 1997 (Harianto, 1998: 498). 2.1.2.5. Menilai Prospek Industri di Masa yang Akan Datang Akhirnya, semua analisis yang dilakukan akan mengarah pada pertanyaan “Bagaimana prospek suatu industri di masa yang akan datang?” Idealnya, analis hendaknya dapat melakukan estimasi sebagaimana yang dilakukan dalam analisis pasar, yaitu menaksir berapa laba yang diharapkan dalam suatu industri, dan berapa PER untuk industri tersebut, sehingga dapat memperkirakan nilai industri itu. Karena cara ini sering sulit dilakukan, maka beberapa cara lain mungkin ditempuh, yaitu dengan mencoba menjawab serangkaian pertanyaan sebagai berikut (Harianto, 1998: 499): 1) Berdasarkan kondisi dan situasi perekonomian saat ini dan di masa yang akan datang, industri apa yang diharapkan akan menunjukkan peningkatan laba? 2) Industri apa yang kemungkinan akan menunjukkan peningkatan PER; atau bagaimana arah perkembangan tingkat bungan, dan industri apa yang kemungkinan besar paling terpengaruh oleh perubahan tersebut? Perubahan dalam suku bunga akan mengakibatkan perubahan dalam discount rate (dan karenanya, perubahan dalam PER). 3) Industri apa yang kemungkinan besar akan terpengaruh oleh kejadian-kejadian politik, seperti pergantian pemerintahan, meningkatnya inflasi, munculnya perkembangan teknologi baru, dan faktor-faktor lain yang dipandang relevan? Untuk memperkirakan kinerja industri dalam jangka panjang, pertanyaanpertanyaan berikut ini perlu diperhatikan: 1) Industri apa yang jelas akan merupakan (calon) industri yang akan berkembang dan berhasil pada masa, misalnya, dasawarsa yang akan datang? (Pada awal 1990an, industri telekominikasi tampaknya memenuhi syarat ini). 2) Industri apa yang akan mengalami kesulitan pada saat suatu negara mengalami perubahan lingkungan perekonomian secara struktural, seperti perubahan dari masyarakat petani ke masyarakat industri, dari kondisi yang relatif tertutup ke kondisi yang lebih terbuka terhadap persaingan asing? Berbagai cara mungkin dilakukan dalam menganalisis industri. Pada dasarnya pendekatan-pendekatan yang digunakan didasarkan pada common sense. Dalam melakukan analisis industri, beberapa sumber yang mungkin digunakan adalah (1) penerbitan Biro Pusat Statistik (BPS), (2) penerbitan Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI), (3) penerbitan lembaga penelitian seperti Lensa Ekuitas. Informasi dari BPS masih berupa data mentah yang perlu diolah lebih lanjut, sedangkan publikasi dari lembaga penelitan umumnya sudah mengandung unsur analisis, sehingga hanya memerlukan interpretasi lebih lanjut. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. 2.1.8.3. Analisis Perusahaan Untuk melakukan analisis yang bersifat fundamental, analis perlu memahami variabel-variabel yang mempengaruhi nilai intrinsik saham. Untuk menaksir niali intrinsik saham, dua metode yang banyank digunakan adalah (1) devidend discount model, dan (2) multiplier laba (yaitu PER). Apabila diasumsikan bahwa pertumbuhan laba (dan juga deviden) bersifat konstan, maka devidend discount model dapat dinyatakan sebagai berikut (Harianto, 1998: 501): Nilai intrinsik = P0 = D1 / (r-g) Dalam hal ini, P0 = Taksiran harga saham saat ini D1 = Deviden yang diharapkan akan diterima pada tahun 1 r = Discount rate yang dipandang relevan g = Pertumbuhan deviden dimasa yang akan datang. Penggunaan multiplier laba (yaitu PER) dilakukan dengan cara sebagai berikut: Nilai intrinsik = Taksiran EPS x PER yang ditaksir Apabila harga di bursa lebih rendah dari nilai intrinsik yang kita taksir, maka saham tersebut merupakan saham yang sebaiknya di beli. Begitu pula sebaliknya. Ada dua alasan mengapa dua variabel (laba dan PER) tersebut yang menjadi perhatian kita. Pertama, untuk dapat meningkatkan pembayaran deviden, perusahaan harus mampu meningkatkan laba yang diperoleh. Kedua, umumnya terdapat korelasi yang kuat antara pertumbuhan laba (EPS) dengan pertumbuhan harga saham (Jones, hal.377, dalam Harianto, 1998). 2.1.8.3.1. Memahami Laba yang Diperoleh Perusahaan Pemodal seringkali memusatkan perhatian pada Laba Per Saham (Earning Per Share, EPS) dalam melakukan anlisis. Angka EPS diperoleh dari laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan berdasarkan atas prinsip-prinsip akuntansi yang umum diterima (generally accepted accounting principles). Karena itu langkah pertama yang perlu dilakukan adalah memahami laporan keuangan yang disajikan oleh perusahaan. Ada dua laporan keuangan yang utama, yaitu Neraca dan Laporan Rugi Laba. Neraca menunjukkan posisi kekayaan, kewajiban finansial, dan modal sendiri pada waktu tertentu (biasanya pada akhir Desember). Sedangkan Laporan Rugi Laba menunjukkan berapa penjualan yang diperoleh, berapa biaya yang ditanggung, dan berapa laba yang diperoleh perusahaan pada periode tertentu (biasanya selama satu tahun). Meski laporan keuangan disusun menurut prinsip-prinsip akauntansi yang umum diterima, diketahui pula bahwa laporan keuangan dapat menyajikan angka laba yang berbeda tanpa menyalahi prinsip-prinsip akuntansi tersebut. Sebagai misal biaya promosi besar-besaran mungkin seluruhnya dibebankan pada suatu tahun atau disebar ke beberapa tahun dengan argumentasi bahwa promosi tersebut memberi manfaatselama beberapa tahun. Apabila perusahaan memilih membebankan pada satu tahun saja, maka laba pada tahun tersebut akan dilaporakan lebih rendah dibandingkan dengan apabila dipilih alterantif yang kedua. Karena itu analis perlu Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. membaca penjelasan tentang kebijakan akuntansi yang dipilih yang terdapat pada annual report yang dipublikasikan perusahaan (Harianto, 1998: 502). 2.1.8.1.4.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laba (EPS, ROE, ROA, dan Net Income Margin) Pada level perusahaan, EPS mencerminkan kombinasi berbagai faktor yang mempengaruhinya. Analisis faktor-faktor tersebut dapat dilakukan dengan analisis rasio keuangan (Harianto, 1998: 505). Langkah 1 Apa yang menentukan EPS? EPS = ROE x Nilai buku per saham Dalam hal ini, ROE adalah tingkat keuntungan ekuitas. EPS = Laba setelah pajak / Jumlah saham ROE = Laba setelah pajak / Ekuitas Nilai buku per saham = Ekuitas / Jumlah saham Langkah 2 Apa yang menentukan ROE? ROE merupakan perkalian antara profitabilitas atas aset yang dimiliki perusahaan dengan keputusan pendanaannya. Dinyatakan dalam bentuk persamaan, ROE = ROA x Leverage Dalam hal ini, ROA adalah tingkat keuntungan yang diperoleh dari penggunaan asset Leverage adalah menunjukkan seberapa banyak hutang digunakan perusahaan ROE = Laba setelah pajak / Ekuitas ROA = Laba setelah pajak / Total aktiva Leverage = Total Aktiva / Ekuitas Persamaan tersebut juga menunjukkan bahwa perusahaan akan mampu mengingkatkan ROE-nya apabila ROA-nya meningkat sedangkan Leverage-nya konstan. Leverage konstan berarti proporsi modal pinjaman tidak berubah. Apabila ROA meningkat maka profitabilitas perusahaan meningkat pula, sehingga dampak akhirnya adalah naiknya profitabiltas yang dinikmati oleh pemegang saham. Hal yang sama juga berlaku apabila perusahaan mampu mempertahankan ROA dengan menggunakan hutang yang makin besar (Leverage-nya meningkat). Kalau perusahaan mampu mempertahankan ROA dengan penggunaan hutang yang makin besar, maka hal ini berarti bahwa penggunaan hutang tersebut mampu memberikan keuntungan yang lebih besar dari biayanya. Sebagai akibatnya, ROE pun meningkat. Langkah 3 Apa yang menentukan ROA? ROA merupakan perkalian antara dua faktor berikut ini: ROA = Net income margin x Perputaran aktiva Net income margin = Laba setelah pajak / Penjualan bersih Perputaran aktiva = Penjualan bersih / Total aktiva Net income margin menunjukkan kemampuan memperoleh laba dari setiap penjualan yang diciptakan oleh perusahaan, sedangkan perputaran aktiva menunjukkan seberapa jauh perusahaan mampu menciptakan penjualan dari aktiva Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. yang dimilikinya. Apabila salah satu dari kedua faktor tersebut meningkat (atau keduanya), maka ROA juga akan meningkat. Langkah 4 Apa yang menentukan Net income margin? Net income margin merupakan fungsi dari dua rasio keuangan, yaitu: Sisi kanan persamaan tersebut berturut-turut disebut sebagai income ratio dan operating efficiency. Income ratio = Laba setelah pajak / Laba operasi Operating efficiency = Laba operasi / Penjualan bersih Income ratio menunjukkan dampak pembayaran bunga dan pajak pada laba bersih setelah pajak. Sedangkan operating efficiency menunjukkan kemampuan menghasilkan laba operasi setiap rupiah penjualan (beberapa analis menggunakan istilah profit margin). Dengan melakukan analisis tersebut kita dapat mengidentifikasikan kekuatan dan kelemahan perusahaan yang sedang kita analisis. Perbandingan dengan perusahaan yang ada dalam industri yang sama akan memperjelas kekuaran dan kelemahan tersebut. Untuk keperluan analisis, kita perlu memperhatikan EPS di masa yang akan datang, bukan EPS yang telah diperoleh. Hal ini karena harga saham hari ini merupakan present value dari penghasilan-penghasilan yang akan diterima oleh pemodal di masa yang akan datang, dan penghasilan-penghasilan tersebut akan dipengaruhi oleh kemampuan perusahaan memperoleh laba di masa yang akan datang. Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi EPS di waktu yang lalu memang baik dilakukan, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana faktor-faktor tersebut dapat digunakan untuk keperluan EPS di masa yang akan datang. 2.1.8.1.4.3. Penggunaan PER dalam Analisis Laba Perusahaan Teknis analisis lainnya adalah dengan menggunakan model kelipatan laba (atau PER). Tekni ini mungkin dipilih apabila perusahaan tidak mengadopsi kebijakan payout ratio yang konstan dan/ atau analisis mengalami kesulitan untuk menggunakan model berdasar atas cash flow, terutama model dengan pertumbuhan konstan. Sama seperti analisis dengan menggunakan EPS, analis perlu memahami terlebih dulu faktor-faktor yang mempengaruhi PER (Harianto, 1998: 509). 2.1.8.1.4.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi PER Apabila digunakan model pertumbuhan konstan, PER yang didefenisikan sebagai P0 / E1, dapat dinyatakan dalam rumus sebagai berikut (Harianto, 1998: 510): PER = (1-b)/(r-g) Dalam hal ini b adalah proporsi laba yang ditahan. Dengan demikian (1-b) tidak lain merupakan dividend payout ratio. Sedangkan r dan g berturut-turut adalah discount rate yang dipandang relevan dan pertumbuhan deviden. Sesuai dengan model tersebut maka dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi PER, yait: Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. a. Dividend payout ratio. Apabila faktor-fakor lain dipegang konstan, maka meningkatnya payou ratio akan meningkatkan PER. b. Tingkat keuntungan yang dipandang layak (discount rate). Apabila faktorfaktor lain dipegang konstan, maka meningkatnya discount rate akan menurunkan PER. c. Pertumbuhan deviden. Apabila faktor-faktor lain dipegang konstan, maka meningkatnya pertumbuhan deviden akan meningkatkan PER. Sesuai dengan penjelasan pada bagian sebelumnya, analisis PER dapat dilakukan secara individual saham, maupun secara cross sectional untuk menentukan apakah PER suatu saham sudah terlalu tinggi ataukah tidak. 2.1.9. Analisis Teknikal Analisis ini merupakan upaya untuk memperkirakan harga saham dengan mengamati perubahan harganya di waktu yang lalu. Berlainan dengan pendekatan fundamental, analisis teknikal tidak memperhatikan faktor-faktor fundamental (seperti kebijakan pemerintah, pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penjualan perusahaan, pertumbuhan laba, perkembangan tingkat bunga, dan sebagainya), yang mungkin mempengaruhi harga saham (Husnan, 1994: 287, dalam Harianto, 1998: 513). Analisis tersebut menyatakan (i) bahwa harga saham mencerminkan informasi yang relevan, (ii) bahwa informasi tersebut ditunjukkan oleh perubahan harga di waktu yang lalu, dan (iii) karenanya perubahan harga saham akan mempengaruhi pola tertentu, dan pola tersebut akan berulang. Kalau kita perhatikan asumsi-asumsi tersebut maka tampak “penyempitan” arti informasi yang relevan, dan ketidakpercayaan bahwa gerakan harga saham mengikuti pola random walk (Husnan, 1994, dalam Harianto, 1998: 513). Karena analisis tersebut didasarkan pada perubahan harga saham di waktu yang lalu, maka alat analisis utamanya adalah grafik atau chart. Karena itu para penganut analisis ini sering juga disebut sebagai chartis. Berikut ini diilustrasikan dua pendekatan yang sering digunakan oleh analisis teknikal. Banyak analis teknikal percaya bahwa gerakan saham akan mengikuti pola “kepala dan bahu” (head and shoulders). Keadaan ini ditunjukkan pada Gambar 2.6 (a). Seorang analis yang percaya bahwa suatu saham ada pada titik A akan memutuskan untuk membeli saham tersebut; menahannya untuk jangka pendek untuk memperoleh capital gain. Sebaliknya, kalau seorang analis percaya bahwa suatu saham telah ada pada titik B, ia akan menjualnya (atau melakukan short selling) karena diperkirakan harga akan turun. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. Harga saham Harga saham Triple tops Head and shoulders B C A (a) Waktu (b) Waktu Sumber : Husnan, S, 1994, “Dasar-dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas”, UPP AMP YKPN, Yogyakarta, hal. 289. Gambar 2.6. Contoh Dua Grafik Pendekatan yang Sering Digunakan dalam Analisis Teknikal Analis yang percaya bahwa gerakan harga saham akan mengikuti pola triple tops berpendapat, bahwa setelah melalui tiga puncak harga, maka saham tersebut akan jatuh harganya. Keadaan ini ditunjukkan pada Gambar 2.6 (b). Jadi apabilaseorang analis “menemukan” bahwa suatu saham telah menempuh tiga kali harga tinggi (ditunjukkan oleh titik C), maka saham tersebut harus dijual (atau short selling). Teknik lain yang juga sering digunakan adalah dengan menghitung moving average harga-harga saham, dan kemudian menggambarkannya dalam grafik yang sama dengan gambar perkembangan harga saham aslinya. Moving average dihitung dengan cara sebagai berikut (Harianto, F. dkk, 1998: 515): Misalkan kita mengamati gerakan saham harian sebagai berikut, dan ingin menghitung moving average dengan basis 5 pengamatan, Tabel 2.2. Contoh Gerakan Saham Harian Hari ke Harga saham 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 4.000 4.200 4.100 3.900 4.200 4.500 4.300 4.400 4.000 4.200 Moving average (basis 5 pengamatan) 4.080 4.180 4.200 4.262 4.280 4.280 - Sumber : Harianto, F, dkk, 1998, “Perangkat dan Teknik Analisis Investasi di Pasar Modal Indonesia”, PT. Bursa Efek Jakarta, Jakarta, hal. 516. Moving average pada hari ke 3 memperoleh angka Rp 4.080 yang berasal dari (4.000 + 4.200 + 4.100 + 3.900 + 4.200)/5 = 4.080. Demikian seterusnya. Apabila perkembangan harga “asli” dan harga yang dihitung movong averaga-nya (penghitungan moving average tidak harus menggunakan basis 5 pengamatan, dapat saja dengan menggunakan basis yang berbeda), digambarkan dalam suatu grafik yang sumbu tegaknya adalah harga dan sumbu datarnya waktu (hari), lihat gambar 2.7. Pedoman yang digunakan adalah bahwa apabila harga saham “asli” ada di bawah harga moving average, maka harga tersebut akan naik memotong harga moving average, sehingga saham tersebut merupakan kandidat untuk dibeli. Sebaliknya apabila harga saham di atas moving average, maka harga saham tersebut akan turun memotong moving average dari atas, sehingga pada saat itu sebaiknya saham tersebut dijual. Perhatikan bahwa dengan analisis moving average, analis Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. sebenarnya melakukan timing kapan suatu saham sebaiknya dibeli dan kapan sebaiknya dijual. Harga saham Harga saham Moving average Waktu Sumber : Harianto, F, dkk, 1998, “Perangkat dan Teknik Analisis Investasi di Pasar Modal Indonesia”, PT. Bursa Efek Jakarta, Jakarta, hal. 517. Gambar 2.7. Penggunaan Moving Average dalam Analisis Teknikal 2.1.10. Volume Perdagangan Saham Informasi yang lengkap merupakan kunci pokok dan sangat mempengaruhi dalam memutuskan tindakan dalam seluruh aktivitas dibidang jual-beli saham di bursa efek. Informasi (misalnya profil perusahaan, informasi keuangan perusahaan dan sebagainya sangat mempengaruhi jumlah transaksi saham dan sensitive terhadap terjadinya fluktuasi membuat para investor mampu mengantisipasi keadaan. Kegiatan perdagangan saham tidak berbeda dengan perdagangan pada umumnya yang melibatkan penjual dan pembeli. Dari adanya perdagangan saham yang terjadi maka akan menghasilkan volume perdagangan saham. Hal ini menyebabkan jumlah transaksi saham atau volume saham yang diperjual belikan dapat berubah-ubah setiap hari. Tinggi rendahnya volume perdagangan saham adalah penilaian yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Seperti kinerja perusahaan, kebijakan direksi dalam investasi lain, kondisi ekonomi, kebijakan pemerintah, tingkat pendapatan, laju inflasi, penawaran dan permintaan dan kemampuan analisis efek harga saham itu sendiri juga merupakan sebagian hal-hal yang berpengaruh terhadap volume perdagangan saham dan masih banyak lagi faktor yang mempengaruhinya. 2.2. Penelitian Terdahulu Dalam bagian ini memuat berbagai penelitian yang telah di lakukan peneliti lain, dan permasalahan yang diangkat juga pernah dilakukan oleh beberapa peneliti lain, baik itu melalui penelitian biasa ataupun skripsi, seperti oleh beberapa penelitian yang terdahulu yaitu penelitian dari: Penelitian dari Nurfadhillah (2006) yang berjudul “Pengaruh Deviden Payout Ratio (DPR), Earning Per Share (EPS) dan Kurs Dolar Terhadap Harga Saham Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar DI BEJ” Penelitian ini menelaah bagaimana pengaruh DPR dan EPS terhadap harga saham perusahaan manufaktur. Variabel yang digunakan antara lain variabel Deviden Payout Ratio (DPR), variabel Earning Per Share (EPS) dan variabel kurs dollar. Model analisis yang digunakan adalah model analisis regresi berganda dengan menggunakan metode non probability sampling dengan teknik pengambilan sampel purpossive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel dengan mendasarkan pada ciri-ciri atau kriteria tertentu. Penelitian tersebut menggunakan data runtut waktu dari bulan Januari 2002 sampai dengan Desember 2004. Berdasarkan analisis hasil empiris diperoleh Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. kesimpulan bahwa variabel yang paling dominan terhadap harga saham adalah EPS. Hal ini disebabkan oleh hasil penelitian yang ditunjukkan dengan nilai sig t (0,00) yang lebih kecil dari 0,05 dan merupakan variabel yang paling signifikan berpengaruh terhadap harga saham diantara tiga variabel bebas yang diuji. Namun dalam penelitian tersebut juga mempunyai sejumlah keterbatasan baik dalam pengambilan sampel maupun dalam metodologi yang digunakan. Keterbatasan tersebut antara lain: 1. Hanya ada tiga variabel bebas yang mempengaruhi harga saham digunakan dalam penelitian ini. 2. Periode pengamatan relatif pendek hanya 3 tahun. 3. Harga saham yang digunakan hanya closing price pada tanggal 31 Desember, sehingga masih kurang mencerminkan harga pasar saham pada tahun berjalan. 4. Data-data yang diambil dalam tahunan, sehingga kurang mencerminkan posisi keuangan pada tahun tersebut. Penelitian tersebut belum mengungkapkan pengaruh variabel lain yang mempengaruhi harga saham manufaktur di Bursa Efek Indonesia. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan variabel lain dan jika memungkinkan dengan jumlah variabel yang lebih banyak karena mengingat bahwa secara empiris harga saham dipengaruhi oleh berbagai macam variabel. Penelitian terdahulu lainnya adalah oleh Aguslan Hadi (2006) yang berjudul “Analisis Perkembangan Investasi Asing di Indonesia Periode 1987-2003” Penelitian ini menelaah bagaimana perkembangan investasi yang dilakukan oleh pihak asing di Indonesia selama periode tersebut dengan melakukan analisis hubungan dari beberapa variabel penelitian yang mendukungnya. Variabel yang digunakan antara lain variabel terikat (investasi asing) dan variabel bebas (tingkat suku bunga deposito berjangka Rp bank pemerintah per 12 bulan, inflasi, ekspor, dan nilai tukar). Metode analisis data yang digunakan adalah kombinasi antara anlisis statistik (uji hipotesis) dan analisis ekonometrika (uji penyimpangan asumsi klasik) dengan menggunakan analisis regresi metode kuadrat terkecil / Least Squared Method (Ordinary Least Square/OLS). Berdasarkan analisis hasil empiris diperoleh kesimpulan bahwa variabel tingkat suku bunga deposito berjangka Rp bank pemerintah per 12 bulan tidak signifikan terhadap investasi asing. Variabel inflasi tidak signifikan terhadap investasi asing. Variabel ekspor menunjukkan signifikansi dan berpengaruh positif terhadap investasi asing. Variabel nilai tukar menunjukkan signifikansi dan berpengaruh yang bersifat negatif (hubungan berkebalikan) terhadap investasi asing. Variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel terikat. Pengujian terhadap koefisien determinasi (R²) menghasilkan nilai sebesar 76,44%. Hal ini menunjukkan bahwa secara statistik variasi dari variabel bebas mampu menjelaskan variasi dari variabel terikat sebesar 76,44%. Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan adalah dari keempat variabel bebas hanya dua variabel yang sesuai dengan hipotesis, yaitu ekspor dan nilai tukar. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut maka penulis mencoba untuk melanjutkan penilitan dengan mengaitkannya pada investasi yang lebih spesifik dengan pembatasan yang lebih sempit. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. 2.3. Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian Dasar penelitian ini adalah perihal tentang analisis harga saham, yang dipersempit dengan memfokuskan pada analisis pengaruh variabel-variabel makro ekonomi terhadap harga saham dan volume perdagangan saham. Untuk melakukan analisis dan memilih saham terdapat dua pendekatan dasar, yaitu Analisis Fundamental dan Analisis Teknikal (Harianto, 1998: 473). Penelitian ini sendiri merupakan bagian dari analisis fundamental. Dalam analisis fundamental dilakukan upaya memperkirakan harga saham di masa yang akan datang dengan meng-estimate nilai faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi harga saham di masa yang akan datang, serta menerapkan hubungan variabel-variabel tersebut sehingga diperoleh taksiran harga saham (Harianto, 1998: 474). Karena faktor-faktor yang mempengaruhi harga saham sangatlah banyak, maka untuk melakukan analisis fundamental secara keseluruhan diperlukan beberapa tahapan analisis. Tahapan yang dilakukan diawali dengan analisis dari (1) kondisi makro ekonomi atau kondisi pasar, (2) kemudian diikuti dengan analisis industri, dan (3) akhirnya analisis kondisi spesifik perusahaan. Secara skematis, kerangka analisis fundamental disajikan pada Gambar 4.4 (Harianto, 1998: 477). Analisis Fundamental Penilaian 1. Manfaat yang diharapkan, baik dalam bentuk deviden maupun laba. 2. Risiko investasi yang akan mempengaruhi tingkat keuntungan yang layak atau PER. Dilakukan Dengan Lakukan Analisis Terhadap: 1. Ekonomi atau Pasar 2. Industri 3. Perusahaan Gunakan Model Valuasi Deviden atau Gunakan Model PER Sumber: Dikutip dari Harianto, F. dkk., 1998, “Perangkat dan Teknik Analisis Investasi di Pasar Modal Indonesia”, PT. Bursa Efek Jakarta, Jakarta, hal. 478. Gambar 2.8 Kerangka Analisis Fundamental Jika dibuat kedalam bentuk narasi atas perlunya dilakukan analisis tentang pengaruh faktor-faktor makro ekonomi terhadap harga saham serta hubungannya dengan volume perdagangan saham dapat dilihat seperti kutipan berikut: Secara fundamental harga suatu jenis saham dipengaruhi oleh kinerja perusahan dan kemungkinan risiko yang dihadapi perusahaan. Kinerja perusahaan tercermin dari laba operasional dan laba bersih per saham serta beberapa rasio keuangan yang menggambarkan kekuatan manajemen dalam Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. mengelolah perusahaan. Risiko perusahaan tercermin dari daya tahan perusahaan dalam menghadapi siklus ekonomi serta faktor makro ekonomi dan nonekonomi. Dengan kata lain, kinerja perusahaan dan risiko yang dihadapi dipengaruhi oleh faktor makro dan mikro ekonomi (Samsul, 2006: 200). Dari pemaparan di atas peneliti mencoba untuk menggambarkan hubungan antar faktor makro dan mikro yang mempengaruhi kinerja perusahaan dalam menghasilkan laba/keuntungan dan hubungannya terhadap harga saham dan volume perdagangan saham pada gambar 2.9. Faktor makro merupakan yang berada di luar perusahaan, tetapi mempunyai pengaruh terhadap kenaikan atau penurunan kinerja perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Faktor makro terdiri dari makro ekonomi dan makro nonekonomi. Faktor makro ekonomi yang secara langsung dapat mempengaruhi kinerja saham maupun kinerja perusahaan antara lain: 1) Tingkat bunga umum domestik 2) Tingkat inflasi 3) Peraturan perpajakan 4) Kebijakan khusus pemerintah yang terkait dengan perusahaan tertentu 5) Kurs valuta asing 6) Tingkat bunga pinjaman luar negeri 7) Kondisi perekonomian internasional 8) Siklus ekonomi 9) Faham ekonomi 10) Peredaran uang Faktor mikroekonomi yang mempunyai pengaruh terhadap harga saham suatu perusahaan berada dalam perusahaan itu sendiri, yaitu variabel-variabel seperti: 1) Laba bersih per saham 2) Laba usaha per saham 3) Nilai buku per saham 4) Rasio ekuitas terhadap utang 5) Rasio laba bersih terhadap ekuitas 6) Cash flow per saham Faktor Mikro Perusahaan Faktor Makro Ekonomi dan Nonekonomi Kinerja Perusahaan Keuntungan Harga Saham Volume Perdagangan Saham Gambar 2.9. Hubungan Faktor Makro dan Mikro Terhadap Kinerja Perusahaan, Keuntungan, Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. Harga saham sebuah perusahaan akan meningkat jika pemodal memperkirakan arus kas yang akan diperoleh dari perusahaan tersebut meningkat. Arus kas yang akan diperoleh oleh pemodal dalam bentuk deviden atau bunga dipengaruhi oleh kemampuan manajemen perusahaan untuk beroperasi secara menguntungkan di tengah-tengah lingkungan usaha yang semakin kompetitif. Pendapatan perusahaan akan meningkat jika harga dan kuantitas produk yang dijual perusahaan meningkat. Sementara peningkatan kuantitas produk yang dijual meningkatkan produk yang dihasilkan sehingga meningkatkan biaya perusahaan. Biaya perusahaan juga akan meningkat jika harga-harga modal atau kapital, harga tenaga kerja, dan harga bahan baku meningkat (Harianto, 1998: 137). Dalam penelitian ini penulis mencoba untuk menganalisis pengaruh faktor makro ekonomi terhadap harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk. Karena keterbatasan waktu maka variabel-variabel penelitian juga lebih dipersempit (Inflasi, Kurs, Investasi, dan Suku Bunga SBI) dengan harapan agar dapat dilanjutkan oleh peneliti lain agar penelitian ini lebih sempurna. Peneliti memilih variabel-variabel tersebut di atas dengan anggapan bahwa variabel-variabel lain dianggap konstan. Berdasarkan teori-teori ekonomi dan penelitian-penitian yang sudah ada sebelumnya dapat dihubungkan terhadap objek penelitian (saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk)), akan memperlihatkan hubungan variabel-variabel penelitian yang digunakan sebagai berikut: 1) Apabila Inflasi meningkat, maka harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk. akan menurun (defisit), ceteris paribus. 2) Apabila Kurs (rupiah terhadap dolar) meningkat, maka harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk. akan menurun (devisit), ceteris paribus. 3) Apabila Investasi meningkat, maka harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk. akan meningkat (surplus), ceteris paribus. 4) Apabila SBI meningkat, maka harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk. akan menurun (defisit), ceteris paribus. 5) Apabila harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk meningkat maka volume perdagangan saham PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk. akan menurun, (defisit), ceteris paribus. 2.3.1. Kerangka Konseptual Penelitian Berdasarkan pemaparan di atas, perumusan masalah, metode penelitian, dan tujuan penelitian maka dapat dibuat skema kerangka konseptual penelitian pada gambar 2.10. Dari gambar tersebut dapat dijelaskan secara singkat bahwa variabel-variabel bebas yang dipilih dalam penelitian ini (Inflasi, Kurs, Investasi, dan Suku Bunga SBI) berpengaruh langsung terhadap Harga Saham PT. BRI, (Tbk). Sedangkan Harga Saham PT. BRI, (Tbk) itu sendiri diperkirakan berpengaruh terhadap Volume Perdagangannya di Bursa Efek tempat saham tersebut diperdagangkan. Jika diperhatikan kembali bentuk hubungan antara Harga Saham dengan Volume Perdagangannya merupakan suatu bentuk hubungan antara permintaan dan penawaran. Dengan demikian maka peneliti merasa perlu juga dilakukan analisis Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. antara Volume Perdangan terhadap Harga Saham bersama-sama dengan variabelvariabel yang mempengaruhi harga saham itu sendiri. Inflasi (X1) Harga Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) (Y1) Kurs (X2) Investasi (X3) Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) (Y1) Suku Bunga SBI (X4) Gambar 2.10. Kerangka Konseptual Penelitian Dengan melihat hubunga-hubungan antar variabel-variabel yang di gambarkan pada skema konseptual di atas dan dengan atas dasar tujuan sebagai masukan dan perbandingan dalam penelitian ini maka peneliti juga merasa perlu dilakukannya analisis antara Volume Perdagangan Saham secara langsung terhadap variabel-variabel makro ekonomi yang digunakan dalam penelitian ini. Dengan demikian maka akan diperlihatkan pengaruh hubungan langsung antara variabel volume perdagangan dan variabel-variabel makro ekonomi tanpa mengikutkan variabel harga saham di dalamnya. 2.3.2. Hipotesis Penelitian Hipotetisi penelitian merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan (Sugiyono, 2008: 64). Berdasarkan perumusan masalah dan kerangka konseptual penelitian dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Variabel Inflasi, Kurs, Investasi dan SBI berpengaruh terhadap harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk). 2. Variabel Inflasi, Kurs, Investasi, SBI dan Harga Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) berpengaruh terhadap Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk). Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian adalah langkah dan prosedur ilmiah yang dilakukan dalam mendapatkan data atau informasi untuk kegunaan atau tujuan tertentu (Sugiyono, 2008: 2). Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian adalah dengan pendekatan ekonometrika dengan metode kuantitatif menggunakan pemodelan regresi linear berganda, hal ini dilakukan karena penelitian ini berusaha menjelaskan hubungan pengaruh variabel-variabel bebas terhadap variabel terikatnya. 3.1. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis pengaruh variabel inflasi, kurs, investasi dan SBI terhadap harga saham dan volume perdagangan saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia. 3.2. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan ekonometrika menggunakan model regresi linier berganda dengan metode OLS (ordinary least square), dimana peneliti berusaha menjelaskan hubungan dan pengaruh variabel-variabel bebas (inflasi, kurs, investasi, SBI dan harga saham) terhadap variabel terikat (volume perdagangan saham) yang dilengkapi dengan uji kesesuaian dan uji asumsi klasik. 82 3.3. Jenis Variabel Jenis variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu variabel bebas dan variabel terikat, variabel bebasnya terdiri atas: inflasi, kurs, investasi, SBI, dan harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk). Sedangkan variabel terikatnya adalah volume perdagangan saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk). Seluruh variabel bebas yang digunakan merupakan data skunder yaitu data yang telah diolah dan dipublikasikan secara kuantitatif oleh Bank Indonesia (BI), Badan Pusat Statistik (BPS) dan PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) dalam bentuk time series. Skala time series yang digunakan adalah skala bulanan, yaitu selama periode Januari 2004 sampai dengan Desember 2007. 3.4. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif time series dalam interval bulanan dengan satuan ukur masing-masing. Data yang akan digunakan dalam penelitian terdiri atas data Inflasi (dengan satuan persentase), data Kurs (dengan satuan rupiah), data Investasi (dengan satuan rupiah), data Suku Bunga SBI (dengan satuan persentase), data Harga Saham (dengan satuan rupiah) dan data Volume Perdagangan Saham (dengan satuan lembar). Dalam penyusunan penelitian ini penulis melakukan pengumpulan data melalui dua tahap. Tahap pertama yaitu melalui penelitian kepustakaan (library research) berupa pengumpulan data pendukung seperti literatur, jurnal serta laporanlaporan yang pernah dipublikasikan. Penelitian kepustakaan ini bertujuan untuk Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. mendapatkan gambaran masalah yang diteliti dan sebagai bahan perbandingan serta masukan selama melakukan penlitian. Tahap kedua yang dilakukan adalah dengan mengumpulkan data-data sekunder yang diperlukan dalam analisis penelitian. Sumber data diperoleh dari Bank Indonesia (BI), Badan Pusat Statistik (BPS), PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) dan sumber-sumber lain yang berhubungan dengan penelitian ini, yang disampaikan melalui media cetak dan elektronik. Teknik yang dilakukan dalam pengumpulan data adalah dengan mencatat data, mencopy data dan mendownload langsung dari website sumber data yang bersangkutan. 3.5. Pengolahan Data Dalam melakukan pengolahan data digunakan dengan bantuan software utama pengolah data statistik SPSS ver. 15 dan Eviews ver 4.1. Disamping itu juga digunakan software aplikasi Microsoft Word 2007 dalam penulisan penelitian dan Microsoft Excel 2007 sebagai software pembantu dalam pengolahan data bentuk baku yang disediakan oleh sumber kedalam bentuk yang lebih representatif untuk digunakan pada software utama di atas, dengan tujuan untuk meminimalkan kesalahan dalam pencatatan ulang apabila dibandingkan dengan pencatatan ulang secara manual. Dalam analisis ini, peneliti melakukan penyesuaian khusus terhadap pencatatan data Investasi. Data Investasi yang digunakan merupakan penjumlahan dari 2 (dua) jenis investasi, yaitu Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA), dengan satuan hitung yang berbeda-bedan. Data investasi yang digunakan dalam analisis ini adalah data investasi PMDN dengan satuan hitung Miliar Rupiah, dan data PMA dengan satuan hitung Juta USD. Dengan tujuan agar data-data tersebut lebih representatif digunakan dalam analisis maka penulis menggunakan variabel Kurs untuk mengkonversi data PMA dengan satuan hitung Juta USD menjadi Juta Rupiah sesuai dengan periode kurs pada masing-masing bulan. Hasil dari konversi satuan mata uang data PMA tersebut kemudian di rubah kedalam satuan miliar dengan caran mengalikannya dengan 1/1000 (selisih antara bilangan miliar dengan bilangan juta). Kemudian, dijumlahkan dengan data PMDN sesuai dengan periode bulanan masing-masing, sehingga menghasilkan data Investasi Total dengan satuan miliar rupiah. 3.6. Model Analisis Data Dalam upaya pembuktian atas hipotesis yang telah dibuat maka harus dilakukan pengujian atas hipotesis itu sendiri dengan menggunakan metode/ strategi/ pendekatan/ desain penelitian yang sesuai. Berdasarkan perumusan masalah, kerangka konseptual dan hipotesis yang dibuat maka penelitian ini menerapkan metode analisis data deskriptif kuantitatif dengan pemodelan regresi linier berganda/ riset korelasi. Penerapan metode ini akan menghasilkan tingkat hubungan antara variabel-variabel yang diteliti. Dengan demikian dapat ditunjukkan seberapa besar kontribusi variabel-variabel bebas terhadap variabel terikatnya serta arah hubungan yang terjadi (hubungan negatif atau positif). Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. Dalam kerangka konseptual diperlihatkan bahwa terdapat dua persamaa yang dibuat yaitu persamaan untuk Harga Saham dan persamaa untuk Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk. Hubungan antara variabelvariabel bebas dengan variabel terikat dari kedua persamaan tersebut dirumuskan dalam dua fungsi sebagai berikut: 1) Harga Saham = fungsi (Inflasi, Kurs, Investasi, Suku Bunga SBI) 2) Volume Perdagangan Saham = fungsi (Inflasi, Kurs, Investasi, Suku Bunga SBI, Harga Saham) Kedua persamaan tersebut dibuat kedalam bentuk model agar dapat dilakukan penelitian dan pembuktian sesuai dengan metode yang digunakan. Model yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Model regresi untuk estimasi harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk). Y1 = α + β1 X 1 + β 2 X 2 + β 3 X 3 + β 4 X 4 + ε Keterangan: Y1 = Harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) (rupiah) α = Konstanta/ intercept β1 , β 2 , β 3 , β 4 = Koefisien regresi X1 = Inflasi (persen) X2 = Kurs (rupiah) X3 = Investasi (miliar rupiah) X4 = Suku Bunga SBI (persen) ε = Term of error b. Model regresi untuk estimasi volume perdagangan saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk). Y2 = α + β1 X 1 + β 2 X 2 + β 3 X 3 + β 4 X 4 + β 5 Y1 + ε Keterangan: Y2 = Volume perdagangan saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk). Y1 = Harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk). α = Konstanta/ intercept β1 , β 2 , β 3 , β 4 , β 5 = Koefisien regresi X1 = Inflasi X2 = Kurs X3 = Investasi X4 = Suku Bunga SBI ε = Term of error 3.7. Uji Hipotesis Uji hipotesis berguna untuk memerikasa atau menguji apakah koefisien regresi yang didapat adalah signifikan (berbeda nyata). Maksud dari signifikan ini adalah suatu nilai koefisien regresi yang secara statistik tisak sama dengan nol. Jika koefisien slope sama dengan nol, berarti dapat dapat dikatakan bahwa tidak cukup Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. bukti untuk menyatakan variabel-variabel bebas mempunyai pengaruh terhadap variabel terikat (Nachrowi, 2006: 16). Untuk kepentingan tersebut, maka semua koefisien regresi harus diuji dengan perangkat pengujian seperti Uji R2, Uji F-Statistik, Uji-t Statistik. Setelah melakukan pengujian tersebut maka dapat diketahui tingkat signifikan pengaruh dan arah hubungan antara variabel-variabel bebas yang digunakan terhadapa variabel terikanya. Adapun uji hipotesis yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 3.7.1. Uji Koefisien Determinasi (R-square/ R2) Pengujian koefisien determinasi dilakukan untuk melihat seberapa besar variabel-variabel bebas secara bersama-sama mampu memberikan penjelasan mengenai variabel terikatnya. Dalam output hasil pengolahan SPSS, nilai R2 ditampilak pada tabel Model Summary, pada kolom R Square. Nilai R2 menunjukan besarnya variabel-variabel bebas dalam mempengaruhi variabel terikat. Nilai R2 berkisar antara 0 dan 1 (0 ≤ R 2 ≤ 1). Semakin besar nila R2, maka semakin besar variasi variabel terikat yang dapat dijelaskan oleh variasi variabel-variabel bebasnya. Sebaliknya, semakin kecil nilai R2, maka semakin kecil variasi variabel terikat yang dapat di jelaskan oleh variasi variabel bebas. Sifat dari koefisien determinasi adalah (Damodar Gujarati): • R2 merupakan besaran yang non negatif. • Batasnya adalah (0 ≤ R2 ≤ 1). 3.7.2. Uji F-Statistik Uji F-statistik ini dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh variabel bebas secara bersama-sama mempengaruhi variabel terikat. Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai F-statistik dengan nilai F-tabel pada tingkat kepercayaan tertentu. Dengan pengolahan menggunakan SPSS, nilai F-Statistik ditampilak pada tabel ANOVA, pada kolom F. Nilai F-statistik dapat diperoleh dengan rumus: F* = dimana: : koefisien determinasi k : jumlah variabel bebas ditambah intercept dari suatu model persamaan n : jumlah sampel Untuk pengujian ini digunakan hipotesis sebagai berikut: Ho : b1 = b2 = b3 = b4 = 0 Ha : b1 ≠ b2 ≠ b3 ≠ b4 ≠ 0 H0 Diterima H0 Ditolak Gambar 3.1 Grafik pengujian F-Statistik Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. Kriteria penerimaan hipotesis pada uji F-statistik dalam penelitian ini adalah: a. Ho diterima dan Ha ditolak apabila F-statistik < F-Tabel dengan tingkat kepercayaan (α). Artinya varian variabel-variabel bebas tidak dapat menerangkan variabel terikat, dimana tidak terdapat pengaruh variabel-variabel bebas terhadap variabel terikat. Pengujian dilakukan pada tingakat kepercayaan sebesar (α). b. Ho ditolak dan Ha diterima apabila F-statistik > F-Tabel dengan tingkat kepercayaan (α). Artinya varian variabel-variabel bebas dapat menerangkan variabel terikat, dimana terdapat pengaruh variabel-variabel bebas terhadap variabel terikat. Pengujian dilakukan dengan tingakat kepercayaan sebesar (α). 3.7.3. Uji-t Statistik Uji-t merupakan suatu pengujian yang bertujuan untuk mengetahui apakah masing-masing koefisien regresi signifikan atau tidak terhadap variabel terikat dengan menganggap variabel bebas lainnya konstan. Uji-t dilakukan dengan membandingkan t-statistik terhadap t-tabel dengan α tertentu. Perlakuan uji-t dilakukan terhadap satu per satu variabel. Dengan bantuan SPSS, output pengujian nilai t-statistik ditampilkan pada tabel Coefficients kolom t. Nilai t-statistik (t*) diperoleh dengan rumus: t* = dimana: bi : koefisien variabel inependen ke - i b : nilai hipotesis nol Sb1 : simpangan baku dari variabel bebas ke – 1 Ha diterima Ha diterima Ho diterima (-) t-hitung 0 (+) t-hitung Gambar 3.2 Grafik Pengujian t-Statistik Dalam uji t ini digunakan perumusan bentuk hipotesis sebagai berikut: Ho : bi = 0 Ha : bi ≠ 0 Pengujian dilakukan melalui uji-t dengan membandingkan t-statistik (t*) dengan t-tabel (tt). Apabila hasil perhitungan menunjukkan : a. Ho diterima dan Ha ditolak apabila t* < tt dengan tingkat kepercayaan (α). Artinya variasi variabel bebas yang diuji tidak dapat menerangkan variabel terikat, dimana tidak terdapat pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Pengujian dilakukan dengan tingakat kepercayaan sebesar (α). b. Ho ditolak dan Ha diterima apabila t * > tt dengan tingkat kepercayaan (α). Artinya variasi variabel bebas dapat menerangkan variabel terikat, dimana terdapat pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Pengujian dilakukan dengan tingakat kepercayaan sebesar (α). Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. 3.8. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik Gujarati (2003) mengemukakan beberapa asumsi klasik yang harus dipenuhi untuk suatu hasil estimasi regresi linier agar hasil tersebut dikatakan baik dan efisien. Adapun sumsi klasik yang harus dipenuhi antara lain (Pratomo, 2007: 88): 1) Model regresi adalah linier, yaitu linier di dalam parameter. 2) Residual variabel pengganggu (µi) mempunyai nilai rata-rata nol (zero mean value of disturbance µi). 3) Homoskedastisitas atau varian dari µi adalah konstan. 4) Tidak ada autokorelasi antara variabel pengganggu (µi). 5) Kovarian antara µi dan variabel bebas (X1) adalah nol. 6) Jumlah data (observasi) harus lebih banyak dibandingkan dengan jumlah parameter yang diestimasi. 7) Tidak ada multikolinearitas. 8) Variabel pengganggu harus berdistribusi normal atau stokastik 3.8.1. Uji Multikolinearitas Pada mulanya multikolineritas berarti adanya hubungan hubungan linear yang “sempurna” atau pasti, di antar beberapa atau semua variabel yang menjelaskan (variabel bebas) dari model regresi (Gujarati, 1995: 157). Istilah kolinearitas ganda (multicollinearity) diciptakan oleh Ragner Frish di dalam bukunya: Statistical confluence analysis by means of Complete Regression Systems. Aslinya istilah itu berarti adanya hubungan linear yang sempurna atau eksak (perfect of exact) di antara variabel-variabel bebas dalam model regresi. Istilah kolinearitas (collinearity) sendiri berarti hubungan linear tunggal (single linear relationship), sedangkan kolinearitas ganda (multicollinearity) menunjukkan adanya lebih dari satu hubungan linear yang sempurna (Supranoto, 2004: 13). Bila variabel-variabel bebas berkorelasi secara sempurna, maka metode kuadrat terkecil tidak bisa digunakan (Sumodiningrat, 2001: 281). Jika terdapat korelasi yang sempurna di antara sesama variabel-variabel bebas sehingga nilai koefisien korealasi di antara sesama variabel bebas ini sama dengan satu, maka konsekwensinya adalah (Arief, 1992: 23): a) Koefisien-koefisien regresi menjadi tidak dapat ditaksir. b) Nilai standar eror setiap koefisien regresi menjadi takterhingga. Cara mengetahui kolinearitas ganda (Supranto, 2004: 26): 1. Kolinearitas sering kali dapat diduga kalua nilai R2 cukup tinggi (katakan antara 0,7 dan 1,0) dan kalau kofisien korelasi sederhana (zero order coefficient of correlation) juga tinggi. 2. Tingginya nilai-nilai koefisien korelasi sederhana (zero order) merupakan syarat yang sukup (sufficient), tetapi bukan syarat yang perlu (necessary) untuk terjadinya kolinearitas dalam model regresi linear ganda, sebab kolinearitas ganda bisa terjadi walau koefisien korelasi sederhana nilainya relatif rendah, katakan kurang dari 0,50. Maka dari itu, untuk model regresi linear dengan variabel bebas lebih dari dua, nilai koefisien korelasi sederhana antara varibel bebas tidak cukup untuk tipergunakan sebagai petunjuk ada tidaknya kolinearitas ganda. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. 3. Untuk mengetahui ada tidaknya kolinearitas ganda dalam suatu model regresi linear berganda, kita tidak boleh hanya melihat nilai koefisien korelasi sederhana antara variabel bebas, tetapi dianjurkan untuk melihat nilai koefisien regresi parsial. Jadi di dalam regresi linier/ berganda yang menghubungkan Y dengan X2, X3, X4 kalau ternyata R21.234 sangat tinggi nilainya (mendekati 1), tetapi r212.34 , r213.24 , r214.32 nilainya sangat rendah dibandingkan dengan nilai R21.234, hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan besar variabel bebas X2, X3 dan X4 saling berkorelasi sehingga paling tidak akan kelebihan satu variabel (superfluous), artinya jumlah variabel bebas bisa dikeluarkan minimal ada satu. 4. Oleh karena kolinearitas timbul disebabkan adanya satu atau lebih variabel bebas yang berkorelasi sempurna atau mendekati sempurna dengan variabel bebas lainnya, salah satu cara untuk mengetahui variabel bebas X yang mana berkorelasi dengan variabel lainnya ialah dengan membuat regresi setiap Xi terhadap sisa variabel lainnya dan menghitung R2 (kita beri simbol R2i). Apabila F yang dihitung berdasarkan data observasi dari sampel ternyata lebih besar dari nilai F dan tabel F dengan tingkat signifikan/ nyata tertentu (katakan 1%), maka dapat disimpulkan bahwa Xi tersebut memang berkorelasi dengan sisa variabel bebas lainnya. Sebaliknya, kalau lebih kecil tidak berkorelasi dan kita dapat mempertahankan variabel bebas yang bersangkutan tetap didalam model regresi. Akan tetapi, kalau F signifikan secara statistik, berarti ada korealsi antara Xi dengan sisa variabel lainnya, kita tidak perlu langsung mengeluarkan variabel tersebut dari model. Untuk melakukan uji multikolinearitas dengan bantuan SPSS dapat melihat nilai VIF yang ditampilakan pada tabel Coefficients. Dasar Keputusan: • Apabila nilai koefisien VIF dari suatu variabel xi lebih besar dari 4 maka dapat dikatakan variabel tersebut bergejala colinearity. • Sebaliknya, jika nilai koefisien VIF dari suatu variabel xi lebih kecil dari 4 maka dapat dikatakan variabel tersebut tidak bergejala colinearity. 3.8.2. Uji Heteroskedastisitas Suatu asumsi kritis dari model regresi linear klasik adalah bahwa gangguan Ui semuanya mempunyai varians yang sama. Jika asumsi tidak dipenuhi, kita mempunyai heteroskedastisitas. Heteroskedastisitas tidak merusak sidat ketiadakbiasan dan konsistensi dari penaksir OLS. Tetapi penaksir ini tidak lagi mempunyai varians minimum atau efisien. Dengan perkataan lain, mereka tidak lagi BLUE. Panaksir BLUE diberikan oleh metode kuadrat terkecil tertimbang (Gujarati, 1995: 194). Cara Mendeteksi Heteroskedastisitas: Berikut ini ada beberapa metode, baik formal maupun informal, yang dapat mendeteksi adanya heteroskedastisitas(Supranto, 2004: 54). 1. Sifat Persoalannya. Seringkali, sifat persoalan yang diteliti menyarankan atau menunjukkan kemungkinan adanya heteroskedastisitas. Sebagai suatu kenyataan Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. dalam data cross-section yang meliputi elemen-elemen atau unit-unit yang heterogen, adanya heteroskedastisitas merupakan suatu aturan (rule), bukan hanya sekedar kekecualian (exception). Jadi di dalam analisis yang didasarkan atas data cross section (cross sectional analysis), yang mencakup pengeluaran investment dalam hubungannya dengan penjualan, tingkat bunga, dan lain sebagainya, heteroskedasitas diharapkan akan timbul kalau perusahaan kecil, sedang, dan besar sama-sama terkena sampel. 2. Metode Grafik. Apabila tidak ada informasi sebelumnya atau informasi secara empiris tentang adanya heteroskedastisitas, dalam praktiknya praktiknya kita dapat membuat analisi regresi berdasarkan asumsi bahwa tidak ada heteroskedsastisitas dan kemudian melakukan pengecekan terhadap perkiraan kesalahan pengganggu (residual) kuadrat, yaitu ei2, untuk melihat kalau-kalau seluruh ei2 menunjukkan pola sistematis. Walaupun ei2 tidak sama dengan εi2, tetapi dapat dipergunakan sebagai proxy, khususnya kalau sampel cukup besar. 3. Uji dari Park (Park Test) Park memformalkan metode grafik, dengan menganjurkan bawah σ 2i merupakan fungsi dari variabel bebas Xi. Fungsi yang dia anjurkan ialah sebagai berikut: σ2i = σ2 Xβi atau ln σ2i = ln σ2 + B ln Xi + Vi dimana Vi merupakan kesalahan pengganggu (residual). Oleh karena pada umunya σ 2i tidak diketahui, Park mengusulkan menggunakan e2i sebagai proxy dan membuat regresi berikut: = ln σ2 + B ln Xi + Vi ln e2i = A +B ln Xi + Vi Apabila melalui pengujian hipotesis B ternyata signifikan secara statistik, berarti X mempengaruhi e2i, maka dalam data terjadi heteroskedastisitas. Uji Park (Park Test) adalah prosedur dua fase/ tahap (a two-stage prosedures). Pada tahap pertama (first stage) kita membuat regresi dengan menggunakan OLS, kemudian melakukan regresi tanpa memperhatikan adanya heteroskedastisitas. Dari regresi ini akan kita peroleh e2i, kemudian pada tahap kedua (second stage) kita membuat regresi terakhir di atas. 4. Uji Glejser (Glejser Test) Uji Glejser hampis sama dengan uji Park. Setelah memperoleh residual atau kesalahan pengganggu ei dari regresi OLS, Glejser mengusulkan regresi harga mutlak (absolute Value) dari ei, yaitu | ei | terhadap variabel besar X yang dianggap mempunyai hubungan yang kuat dengan σ2i. Dalam eksperimen yang dilakukan, Glejser menggunakan bentuk fungsi sebagai berikut: |ei| = B Xi + vi |ei| = B |ei| = B |ei| = B + vi + vi + vi Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. |ei| = A + B Xi + vi |ei| = + vi |ei| = + vi di mana seperti biasa vi = kesalahan pengganggu (residual) Glejser telah menemukan bahwa untuk sampel yang besar (large sample), empat pertama dari model di atas akan memberikan hasil memuaskan di dalam usaha untuk mendeteksi adanya heteroskedatisitas. Oleh karena itu, sebagai hal yang praktis, teknis dari Glejser dapat dipergunakan untuk sampel yang besar dan dapat juga digunakan untuk sampel yang kecil sebagai suatu alat (device) kualitatif untuk mempelajari sesuatu yang berkenaan dengan heteroskedastisitas. 5. Uji koralasi rank dari Spearman (Spearman’s rank correlation test) Koefisien korelasi rank dari Spearman di defenisikan sebagai berikut: rs = 1 – 6 di mana di = perbedaan dalam rank yang diberikan kepada dua karakteristik yang berbeda dari individu atau fenomena ke i n = banyaknya individu atau fenomena yang diberi rank Koefisien korelasi rank tersebut dapat dipergunakan untuk mendeteksi heteroskedastisitas, sebagai berikut: (kita anggap berlaku hubungan Yi = A + B Xi + εi ) Tahap I : Terapkan regresi tersebut pada data Y dan X dan hitung kesalahan pengganggu (residual) ei, perkirakan εi. Tahap II : Tanpa memperhatikan tanda dari ei, yaitu kita ambil nilai mutlaknya, |ei|, kemudian buat rank dari kedua variabel |ei| dan Xi sesuai dengan urutan yang menaik/ menurun (ascending or descending order) dan hitung koefisien korelasi dari rank Spearman seperti rumus di atas. Tahap III : Dengan anggapan bahwa koefisein korelasi rank sebenarnya ρs (= Rho s), akan sebesar nil, dan n > b, signifikan dari r sampel, dapat diuji dengan uji t sebagai berikut: t= dengan df = n – 2 Apa bila nilai t yang dihitung melebihi niali t yang kritis (critical t value) dari tabel t, kita dapat dapat menerima hipotesis bahwa ada heteroskedastisitas. Kalau tidak kita tolak hipotesis. Apabila model regresi mencakup lebih dari dua variabel bebas, rs dapat dihitung antara ei dengan setiap variabel bebas X secara terpisah dan dapat diuji untuk mengetahui signifikan tidaknya dengan menggunakan uji t dengan rumus rs dan rumus uji t di atas. 6. Uji Goldfeld-Quandt (Sumodiningrat, 2001: 269) Pengujian ini didasarkan atas dua asumsi dasar, yaitu: (1) jumlah pengamatan (sekurang-kurangnya) dua kali jumlah variabel bebas dalam model, (2) Ui adalah Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. nir-otokorelasi dan berdistribus normal. Uji Goldfeld-Quandt ini hanya untuk sampel-sampel besar, dan meliputi langkah-langkah berikut: Langkah pertaman: Susunlah pengamatan-pengamatan menurut besar variabel bebas (Xi). Langkah kedua: Hilangkan sejumlah tertentu pengamatan yang ditengah-tengah (katakanlah c) dari analisis. Jumlah pengamatan sisanya, yaitu (n-c) pengamatan, masing-masing bagian terdiri dari ½ (n-c) jumlah pengamatan. Satu bagian terdiri dari nilai-nilai X yang kecil, sedangkan bagian lainnya mencakup nilai-nilai X yang besar. Langkah tiga: Taksirlah regresi secara terpisah dengan prosedur OLS untuk setiap bagian, dan dapatkan jumlah residu kuadrat setiap bagian. Katakanlah menunjukkan jumlah residu dari sampel yang mengandung nilai-nilai X kecil, dan dari sampel yang mengandung nilai-nilai X yang besar. Langkah keempat: Hitung nilai F = ( )/( ); yang akan mempunyai distribusi F dengan derajat bebas [½ (n – c) – k] baik untuk pembilang maupun untuk penyebut dari ratio itu (n = jumlah pengamatan; c = jumlah pengamatan di tengah-tengah yang dihilangkan, dan k = jumlah parameter yang ditaksir). Jika U adalah homoskedastik, maka dua varian, yaitu dan seharusnya sama, karena itu F akan cenderung sama dengan satu. F besar menunjukkan adanya heteroskedastisitas. Lankah kelima: Ujilah hipotesis mengenai homoskedastisitas sebagai berikut: H0 : Ui adalah homoskedastik Ha : Ui adalah heteroskedastik Apabila nilai hitung F* dari langkah keempat tersebut lebih besar daripada niali F tabel (atau F teoritis), maka H0 ditolak (artinya, U adalah homoskedastik). Apabila F* lebih kecil daripada F tabel, H0 tidak ditolak. Dengan bantuan SPSS dapat dilakukan uji heteroskedasitas melalui metode grafik yang ditampilkan pada Charts, yaitu hasil menggambarkan nilai ui2 terhadap nilai-nilai variabel bebas. Grafik yang baik (tidak mengandung heteroskedastsitas) adalah grafik yang tidak mencerminkan suatu pola yang sistematis atau dapat dikatakan random (Nachrowi, 2006: 114). 3.8.3. Uji Autokorelasi Satu dari asumsi penting dari model regresi linear klasik adalah bahwa kesalahan atau gangguan Ui yang masuk kedalam fungsi regresif populasi adalah random atau tak berkorelasi. Jika asumsi ini dilanggar, ita mempunyai problem serial korelasi atau aoutokorelasi. Meski penaksir OLS tetap tak bias dan konsisten dengan adanya aotokorelasi, penaksir tadi tidak lagi efisien. Sebagai hasilnya, pengujian arti Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. (significance) t dan F tidal dapat diterapkan secara sah. Jadi tindakan perbaikan perlu dilakukan. (Gujarati, 1995: 223) Cara Mendeteksi Autokorelasi Untuk mendeteksi autokorelasi dapat dilakukan dengan dua cara sebagai berikut (Gujarati, 1995: 213): 1. Metode Grafik Dengan metode grafik dapat dilakukan dengan memetakan ei terhadap waktu. Nilai ei dihitung dengan menggunakan persamaan berikut: ei = (ui – Å«) - xi Jika pola gambar seperti Gambar 3.3a samapi d terlihat, dapat dicurigai adanya autokorelasi, sedangkan jikapola yang terlihat seperti ditunjukkan Gambar 3.3e, mungkin tidak terdapat autokorelasi. Keuntungan yang paling besar dari metode grafik adalah kesederhanaannya. Tidak perduli apakah model regresi memasukkan satu variabel yang menjelaskan atau sepuluh, residualnya dapat dengan mudah dipetakan terhadap waktu u,e 0 x u,e x x x x x x x x x x x x x x Waktu x x 0 xx x Waktu (b) u,e 0 x x x x x x (a) x x x u,e x x xx x x x x x x Waktu x x 0 x x x x x x x x x x x (d) (c) Waktu x x x 2. Percobaan d dari Durbin Watson Statistik d dari Durbin-Watson untuk menetapkan sebagai yang hanya merupakan rasio dari jumlah kuadrat perbedaan dalam residual yang berturut-turut terhadap RSS Mekanisme tes Durbin-Watson adalah sebagai berikut, dengan mengasumsikan bahwa asumsi yang mendasari tes dipenuhi: (1) Lakukan regresi OLS dan dapatkan residual ei. (2) Hitung d dengan rumus di atas. (3) Untuk sampel kecil tertentu dan banyaknya variabel yang menjelaskan tertentu, dpat dilakukan kritis dL dan dU. (4) Jika hipotesis H0 adalah bahwa tidak ada serial korelasi positif, maka jika Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. d < dL : menolak H0 d > dU : tidak menolak H0 dL ≤ d ≤ dU : pengujian tidak meyakinkan (5) Jika hipotesis nol H0 adalah bahwa tidak ada serial korelasi negatif, maka jika d > 4 – dL : menolak H0 d < 4 – dU : tidak menolak H0 4 – dU ≤ d ≤ 4 – dL : pengujian tidak meyakinkan (6) Jika H0 adalah dua-ujung, yaitu bahwa tidak ada serial autokorelasi baik positif atau pun negatif, maka jika d < dL : menolak H0 d > 4 – dL : menolak H0 dU < d < 4 – dU : tidak menolak H0 atau f (d) Daerah kritis Terima Ha Daerah kritis Tolak H0 Tolak H0 Daerah ketidakpastian (inconclusive) Tidak ada otokorelasi Daerah ketidakpastian (inconclusive) d 0 dL dU 2 4-dU 4-dL Gambar 3.3 : Grafik Daerah Kriteria Pengujian Autokorelasi Dengan bantuan SPSS, nilai uji D-W dapat diperoleh pada tabel Model Summary dalam kolom Durbin-Watson. 3.9. Defenisi Variabel Operasional Adapun defenisi variabel-variabel operasional yang digunakan dalam penlitian ini adalah sebagai berikut: 1. Inflasi adalah nilai rata-rata inflasi bulanan hasil perhitungan oleh Bank Indonesia (berdasarkan Indeks Harga Konsumen) dengan metode perhitungan inflasi tahunan, dalam satuan persen. 2. Kurs adalah perbandingan nilai mata uang Indonesia (Rp) terhadap nilai mata uang Amerika Serikat (US $) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam periode bulanan, nilai yang digunakan adalah nilai kurs tengah, dalam satuan rupiah. 3. Investasi adalah jumlah penanaman modal yang dilakukan oleh pihak dalam negeri dan luar negeri yang disetujui pemerintah dalam periode bulanan. Satuan yang dgunakan adalah miliar rupiah. 4. Suku Bunga SBI adalah suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (tingkat bunga SBI untuk 1 bulan) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia pada periode bulanan, dalam satuan persen. 5. Harga saham adalah nilai rata-rata bulanan harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) pada posisi penutupan transaksi harian di Bursa Efek Indonesia dalam satuan rupiah. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. 6. Volume perdagangan saham adalah jumlah lembar saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) yang diperjual belikan dalam periode bulanan di Bursa Eek Indonesia, dalam satuan lembar. BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Penelitian 4.1.1. Gambaran Umum PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) 4.1.1.1. Sejarah Singkat PT. BRI, (Tbk) Pada awalnya Bank Rakyat Indonesia (BRI) didirikan di Purwokerto, Jawa Tengah oleh Raden Bei Aria Wiriatmadja dengan nama Hulp-en Spaarbank der Inlandsche Haofden atau Bank Bantuan dan Simpanan Milik Kaum Priyayi yang berkebangsaan Indonesia (Pribumi). Lembaga ini mengelolah dana kas masjid yang kemudian disalurkan kepada masyarakat dengan skema pengembalian yang sangat mudah. Berdiri tanggal 16 Desember 1895 yang kemudian dijadikan hari kelahiran BRI. Seiring dengan berjalannya waktu, lebaga keuangan tersebut semakin berkembang dan dibutuhkan masyarakat. Dalam perjalanannya, nama lembaga ini beberapa kali mengalami perubahan, berturut-turut berubah menjadi Hulp-en Spaarbank der Indische Bestuurs Ambtenareen, De Poerwakertosche Hulp Spaare-en Landbouw Credietbank (Volksbank), Cenrale Kas Voor Volkscredietwezen Algemene, dan perubahan nama terakhir pada masa kolonial Belanda terjadi pada tahun 1934 menjadi Algemene Volkscredietbank (AVB). Pada periode setelah kemerdekaan RI, berdasarkan Peraturan Pemerintah No.1 tahun 1946 pasal 1 disebutkan bahwa BRI adalah sebagai Bank Pemerintah Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. 96 pertama di Republik Indonesia. Karena adanya situasi perang mempertahankan kemerdekaan pada tahun 1948, maka kegiatan BRI sempat terhenti untuk sementara waktu dan baru mulai aktif kembali setelah Perjanjian Renville pada tahun 1949 dengan berubah nama menjadi Bank Rakyat Indonesia Serikat. Pada waktu itu, melalui PERPU No.41 tahun 1960 dibentuk Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN) yang merupakan peleburan dari BRI, Bank Tani Nelayan dan Nederlandsche Maatschappij (NHM). Kemudian berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres) No 9 tahun 1965, BKTN diintegrasikan ke dalam Bank Indonesia dengan nama Bank Indonesia Urusan Koperasi Tani dan Nelayan. Setelah berjalan selama satu bulan keluar Penpres No.17 tahun 1965 tentang pembentukan Bank Tunggal dengan nama Bank Negara Indonesia. Dalam ketentuan baru itu, Bank Indonesia Urusan Koperasi Tani Nelayan (BKTN) diintegrasikan dengan nama Bank Negara Indonesia unit II bidang Rural, sedangkan NHM menjadi Bank Negara Indonesia unit II bidang Expor Impor (Exim). Berdasarkan Undang-Undang No 14 tahun 1967 tentang Undang-undang Pokok Perbankan dan Undang-undang No 13 tahun 1968 tentang Undang-undang Bank Sentral, yang intinya mengembalikan fungsi Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dan Bank Negara Indonesia Unit II Bidang Rural dan Expor Impor dipisahkan masing-masing menjadi dua yaitu Bank Rakyat Indonesia dan Bank Expor Impor Indonesia. Selanjutnya berdasarkan Undang-undang No.21 tahun 1968 menetapkan kembali tugas-tugas pokok BRI sebagai Bank Umum. Sejak 1 Agustus 1992 berdasarkan Undang-undang Perbankan No.7 tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah RI No.21 tahun 1992 status BRI berubah menjadi PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) yang kepemilikannya masih 100% ditangan Pemerintah. PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) yang didirikan sejak tahun 1895 didasarkan pelayanan pada masyarakat kecil sampai sekarang masih konsisten, yaitu dengan fokus pemberian fasilitas kredit kepada golongan pengusaha kecil. Hal ini antara lain tercermin pada perkembangan penyaluran KUK pada tahun 1994 sebesar 6.419,8 milyar yang meningkat menjadi Rp.8.231,1 milyar pada tahun 1995 dan pada tahun 1999 sampai dengan bulan September sebesar Rp. 20.466 milyar. Seiring dengan perkembangan dunia perbankan yang semakin pesat maka sampai saat ini Bank Rakyat Indonesia mempunyai Unit Kerja yang berjumlah 4.645 buah, yang terdiri dari 1 Kantor Pusat BRI, 12 Kantor Wilayah, 12 Kantor Inspeksi/SPI, 170 Kantor Cabang (Dalam Negeri), 145 Kantor Cabang Pembantu, 1 Kantor Cabang Khusus, 1 New York Agency, 1 Caymand Island Agency, 1 Kantor Perwakilan Hongkong, 40 Kantor Kas Bayar, 6 Kantor Mobil Bank, 193 P.Point, 3.705 BRI Unit dan 357 Pos Pelayanan Desa. Pada tanggal 10 November 2003, BRI go publick dan pemerintah melepas 30% kepemilikan sahamnya kepada publik. Harga saham BRI sejak tercatat di pasar modal Indonesia sampat dengan tahun 2007 selalu menunjukkan peningkatan dan termasuk dalam kemlompok sahan Blue Chips yang tergabung dalam LQ45. Dengan komposisi saham publik yang mencapai 43%, saham BRI aktif diperdagangkan di pasar modal. Kini, BRI semakin kokoh berdiri di tengah-tengah perekonomian Indonesia dari desa sampai ke kota. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. Visi BRI adalah Menjadi bank komersial terkemuka yang selalu mengutamakan kepuasan nasabah. Misi BRI adalah Melakukan kegiatan perbankan yang terbaik dengan mengutamakan pelayanan kepada usaha mikro, kecil dan menengah untuk menunjang peningkatan ekonomi masyarakat; Memberikan pelayanan prima kepada nasabah melalui jaringan kerja yang tersebar luas dan didukung oleh sumber daya manusia yang profesional dengan melaksanakan praktek good corporate governance; Memberikan keuntungan dan manfaat yang optimal kepada pihak-pihak yang berkepentingan. 4.1.1.2. Perkembangan dan Strategi Bisnis PT. BRI, (Tbk) BRI menerapkan nilai-nilai perusahaan (corporate value) yang menjadikan landasan berpikir, bertindak, serta berprilaku setiap insan BRI sehingga menjadi budaya kerja perusahaan yang solid dan berkarakter. Nilai-nilai tersebut dalah Integrasi, Profesionalisme, Kepuasan Nasabah, Keteladanan, dan Penghargaan kepada SDM. BRI sebagai perusahaan terbuka berkomitmen mematuhi seluruh ketentuan perundang-undangan yang berlaku dalam kegiatan operasional bank maupun pasar modal. Hal tersebut telah mondorong BRI untuk selalu mengutamakan prudential banking dan kepentingan stakeholders. Komitmen ini juga diwujudkan dalam bentuk tata kelolah perusahaan sebagai berikut: • Mengintensifkan program budaya sadar resiko dan kepatuhan kepada setiap pekerja di seluruh unit kerja. • Mengintensifkan peningkatan kualitas pelayanan di seluruh unit kerja. • Menjabarkan dan memonitor setiap kemajuan yang dicapai perusahaan ke dalam rencana tindakan yang terukur (RKA) dan dapat dipertanggungjawabkan oleh setiap unit kerja. BRI terus menyusun Rencana Bisnis Bank (RBB) periode 2008 – 2100 sebagai bagian cara rencana pengembangan bisnisnya. Strategi bisnis BRI dalam jangka pendek serta menengah adalah sebagai berikut: • Ekspansi pinjaman dengan fokus pada pembiayaan UMKM dengan perbikan features produk dan kemudian akses layanan kredit. • Ekspansi kredit usaha skala besar diutamakan untuk BUMN dan sektor swasta dibidang agribisnis, infrastruktur serta sektor usaha lain yang produktif. • Peningkatan kualitas layanan didukung oleh Sumber Daya Manusia yang profesional, teknologi informasi yang handal dan jaringan kerja yang luas. • Pengembangan fitur-fitur baru di bisnis mikro, ritel, consumer banking, treasury, dan internasioan untuk memenuhi kebutuhan para nasabahnya antara lain meliput penambahan fitur ATM, kartu kredit, trade finance serta cash management. • Pengembangan bisnis consumer banking yang difokuskan pada 10 kota besar serta mengembangkan layanan prioritas. • Perluasan jangkauan dan jaringan kerja berupa Kantor Cabang, Kantor Cabang Pembantu, Kantor Kas, dan electronic channel seperti ATM dan POS. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. • Pengembangan produk dan aktifitas baru guna menunjang pertumbuhan bisnis antara lain berupa bancassurance, private banking dan unit link. • Peningkatan kegiatan komunikasi pemasaran untuk meningkatkan product awarness dan membentuk Corporate Image di mata masyarakat. Sumber: Company Report 2008 dan website resmi PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) www.bri.co.id 4.1.2. Perkembangan Inflasi Data inflasi selama periode Januari 2004 sampai Desember 2007 bentuknya sangat fluktuatif. Tingkat inflasi yang paling tinggi terjadi sejak Oktober 2005 hinggan September 2006. Kondisi perkembangan inflasi pada periode ini dan pada periode-periode lainnya dijelaskan secara ringkas sebagai berikut (Dikutip dari Laporan Perekonomian Indonesia – Bank Indonesia, tahun 2004 s.d 2007): 4.1.2.1. Perkembangan Inflasi 2004 Secara umum perkembangan inflasi pada 2004 pada triwulan kedua mengalami tekanan yang cukup besar. Tekanan inflasi tersebut terutama berkaitan dengan depresiasi nilai tukar rupiah yang dipicu oleh perkembangan di sektor eksternal. Dari sisi faktor fundamental, tekanan inflasi dapat berasal dari faktor eksternal, faktor interaksi antara sisi permintaan dan penawaran agregat, serta faktor ekspektasi inflasi masyarakat. Tekanan inflasi dari faktor nonfundamental berasal dari volatile food maupun kebijakan Pemerintah di bidang harga (administered prices) akibat adanya beberapa kebijakan administered di luar BBM, seperti kenaikan tarif telepon dan gas elpiji. Sementara itu, perkembangan faktor lainnya seperti meningkatnya tekanan inflasi global ternyata berdampak pada inflasi domestik. Tabel 4.1: Data Inflasi Indonesia Tahun 2004 s.d 2007 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Tingkat Inflasi Tahun 2004 4.82 % 4.60 % 5.11 % 5.92 % 6.47 % 6.83 % 7.20 % 6.67 % 6.27 % 6.22 % 6.18 % 6.40 % Tingkat Inflasi Tahun 2005 7.32 % 7.15 % 8.81 % 8.12 % 7.40 % 7.42 % 7.84 % 8.33 % 9.06 % 17.89 % 18.38 % 17.11 % Tingkat Inflasi Tahun 2006 17.03 % 17.92 % 15.74 % 15.40 % 15.60 % 15.53 % 15.15 % 14.90 % 14.55 % 6.29 % 5.27 % 6.60 % Tingkat Inflasi Tahun 2007 6.26 % 6.30 % 6.52 % 6.29 % 6.01 % 5.77 % 6.06 % 6.51 % 6.95 % 6.88 % 6.71 % 6.59 % Sumber: SKEI - Bank Indonesia (www.bi.go.id), bentuk tabel telah diperbaharui oleh peneliti. 4.1.2.2. Perkembangan Inflasi 2005 Kuatnya tekanan eksternal terutama akibat melambungnya harga minyak dunia dan berlanjutnya kondisi moneter ketat global telah mempengaruhi perkembangan inflasi di dalam negeri. Selain dampak tekanan eksternal tersebut, gangguan pasokan dan distribusi, tingginya ekspektasi inflasi, dan depresiasi nilai tukar rupiah turut memberikan tekanan harga yang semakin meningkat. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. Berbagai perkembangan ekonomi baik eksternal maupun internal antara lain harga minyak dunia, kenaikan harga BBM, serta gangguan pasokan dan distribusi barang volatile food meningkat tinggi. Sementara itu, perkembangan lain yang juga menimbulkan tekanan inflasi lebih besar antara lain depresiasi nilai tukar rupiah, meningkatnya ekspektasi inflasi, serta pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Sumber: Pengolahan Tabel 4.1. Kedalam Bentuk Grafik dengan Bantuan Ms. Office Excel 2007. Gambar 4.1: Grafik Pergerakan Inflasi Indonesia Tahun 2004 s.d 2007 4.1.2.3. Perkembangan Inflasi 2006 Kebijakan moneter yang secara konsisten diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi, kebijakan fiskal yang dijalankan secara hati-hati, serta dukungan langkahlangkah untuk meredam dampak lanjutan kenaikan harga BBM bulan Oktober 2005, berperan penting dalam menurunkan inflasi secara signifikan selama tahun 2006. Menurunnya tekanan inflasi juga didukung nilai tukar rupiah yang terjaga stabil sepanjang tahun 2006. Selain itu, kebijakan administered prices yang minimal dan daya beli masyarakat yang melemah juga mempengaruhi penurunan tekanan inflasi. Penundaan kenaikan TDL dengan mempertimbangkan kondisi daya beli masyarakat yang lemah, memberikan dampak menurunnya tekanan inflasi sekitar 0,9%. Realisasi laju inflasi inti (core inflation inflation) yang lebih rendah disebabkan apresiasi nilai tukar pada 2006 sehingga memberikan sumbangan penurunan inflasi 1,5%. Dalam realisasinya nilai tukar menguat hingga rata-rata selama 2006 mencapai Rp9.166 per dolar. Sementara itu, harga beberapa komoditas bahan makanan (volatile foods foods) meningkat. Tingginya inflasi volatile foods terutama didorong oleh kenaikan harga beras. Dalam perkembangannya terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kenaikan harga beras secara berlebiha, terutama musim kemarau berkepanjangan. 4.1.2.4. Perkembangan Inflasi 2007 Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) tahun 2007 tercatat sebesar 6,59%, atau berada dalam kisaran sasaran inflasi IHK tahun 2007 yang ditetapkan Pemerintah, yaitu sebesar 6,0%±1,0%. Tingkat inflasi IHK yang relatif stabil tidak terlepas dari perkembangan nilai tukar yang terjaga stabil, ketersediaan pasokan bahan makanan yang cukup, serta kenaikan harga-harga barang yang dikendalikan Pemerintah (administered price) yang minimal. Dalam realisasinya, faktor-faktor yang memengaruhi inflasi, baik fundamental maupun nonfundamental, ternyata relatif sama dengan prakiraan semula, sehingga Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. inflasi IHK tahun 2007 berada pada kisaran sasaran yang ditetapkan pemerintah. Realisasi inflasi inti –yang menggambarkan perkembangan faktor fundamental– tercatat sebesar 6,29%. Hal tersebut disebabkan oleh masih memadainya respon sisi penawaran agregat terhadap peningkatan permintaan agregat serta ekspektasi inflasi yang relatif stabil. Pada faktor eksternal, realisasi harga minyak dunia meningkat tajam menjadi $72,3 per barel, sehingga memberi tekanan pada imported inflation. Meskipun demikian, realisasi nilai tukar rupiah yang relatif stabil membantu mengurangi tekanan imported inflation terhadap inflasi domestik. 4.1.3. Perkembangan Kurs Data nilai kurs yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai kurs tengah mata uang rupiah terhadap US dollar yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia pada masing-masing periode. Nilai kurs rupiah terhadap US dollar yang paling rendah selama periode penelitian adalah Rp10.310, terjadi pada bulan September 2005. Sedangkan nilai kurs rupiah terhadap US dollar yang paling tinggi selama periode penelitian adalah Rp8.441 yaitu pada awal tahun 2004. Kondisi perkembangan kurs pada periode penelitian dijelaskan secara ringkas sebagai berikut (Dikutip dari Laporan Perekonomian Indonesia – Bank Indonesia, tahun 2004 s.d 2007): 4.1.3.1. Perkembangan Kurs 2004 Memasuki 2004, nilai tukar rupiah bergerak relatif stabil dengan kecenderungan menguat. Sejalan dengan meningkatnya kegiatan ekonomi, permintaan valuta asing menunjukkan peningkatan terutama terkait dengan kebutuhan untuk impor dan pembayaran utang luar negeri swasta. Sementara itu, sebagai akibat berlanjutnya tekanan depresiasi terhadap dolar secara global (push factor), modal asing khususnya berjangka pendek turut menambah pasokan valuta asing di dalam negeri. Meningkatnya aliran masuk modal asing juga dipengaruhi oleh faktor domestik (pull factor), terutama imbal hasil yang ditawarkan instrumen rupiah, yang dalam skala regional sangat kompetitif. Tabel 4.2: Data Nilai Kurs Tengah Rupiah Terhadap US Dolalar Tahun 2004 s.d 2007 Bulan Nilai Kurs Tahun 2004 Nilai Kurs Tahun 2005 Nilai Kurs Tahun 2006 Nilai Kurs Tahun 2007 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 7894.95 7925.17 8068.82 8108.25 8465.32 8882.38 8536.86 8735.43 8682.60 8596.24 8531.47 8723.09 8744.90 8744.94 8870.52 9039.35 8979.80 9116.45 9299.29 9486.18 9732.57 9593.38 9540.71 9357.32 8972.38 8753.15 8671.57 8436.94 8484.86 8862.73 8625.48 8594.25 8643.33 8687.18 8634.59 8586.80 8567.96 8567.80 8663.95 8597.55 8344.33 8483.65 8567.14 8866.68 8809.90 8607.06 8764.27 8833.60 Sumber: SKEI - Bank Indonesia (www.bi.go.id), bentuk tabel telah diperbaharui oleh peneliti. Tekanan depresiasi terhadap rupiah mulai menguat sejak akhir triwulan I 2004, sebagai akibat berbaliknya kembali aliran modal asing jangka pendek (capital outflows). Di lain pihak, permintaan valuta asing terus menunjukkan peningkatan terutama untuk memenuhi kebutuhan impor di sektor migas dan otomotif. Tekanan depresiasi terhadap rupiah mengalami puncaknya pada awal Mei 2004 akibat Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. berlanjutnya pembalikan aliran modal asing jangka pendek bahkan dalam jumlah besar. Besarnya tekanan depresiasi tersebut pada gilirannya menimbulkan ekspektasi pelemahan rupiah lebih lanjut, sehingga mendorong pembelian valuta asing oleh pelaku domestik (bandwagon effect). Sumber: Pengolahan Tabel 4.2. Kedalam Bentuk Grafik dengan Bantuan Ms. Office Excel 2007. Gambar 4.2: Grafik Pergerakan Kurs Rupiah Terhadap US Dollar Tahun 2004 s.d 2007 Pada Agustus dan September 2004 rupiah kembali sedikit terdepresiasi akibat menguatnya ekspektasi terhadap ketidakapastian kondisi politik menjelang pelaksanaan pemilu eksekutif dan aksi pemboman di depan kedutaan besar Australia pada 9 September 2004. Dengan berakhirnya ketidakpastian politik pasca terbentuknya pemerintahan baru, optimisme terhadap prospek ekonomi Indonesia mulai merebak. Membaiknya optimisme tersebut pada gilirannya memicu masuknya kembali aliran modal asing jangka pendek dan turut mendorong apresiasi rupiah hingga mencapai Rp8.965 per dolar. Selanjutnya, selama Oktober sampai dengan Desember 2004 nilai tukar rupiah bergerak stabil dalam kisaran yang sempit. 4.1.3.2. Perkembangan Kurs 2005 Nilai tukar rupiah pada 2005 secara umum terdepresiasi. Kondisi ini terutama terkait dengan melemahnya kinerja neraca pembayaran akibat pengaruh kondisi sektor eksternal dan internal yang kurang menguntungkan. Di sisi eksternal, melambungnya harga minyak dunia dan masih berlanjutnya kebijakan moneter ketat di AS telah memberikan tekanan depresiasi terhadap rupiah. Dari sisi internal, meningkatnya permintaan valas terutama untuk memenuhi kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri merupakan faktor utama pemicu tekanan terhadap rupiah. Di tengah kondisi pasar keuangan domestik yang masih mengalami kelebihan likuiditas rupiah, permintaan valas semakin terakselerasi sejalan dengan peningkatan ekspektasi depresiasi akibat melonjaknya laju inflasi. Pelemahan rupiah mulai terkendali menyusul implementasi kebijakan stabilisasi makro ekonomi di sisi moneter dan fiskal, kebijakan moneter dilengkapi dengan berbagai langkah yang mencakup pengelolaan permintaan valas khususnya permintaan valas BUMN, pelarangan margin trading rupiah terhadap valas, dan penyempurnaan ketantuan Posisi Devisa Neto (PDN). Dari sisi fiskal, kebijakan pengurangan subsidi BBM dalam upaya menjaga kesinambungan fiskal juga memberikan imbas positif bagi rupiah. Berbagai langkah tersebut telah mampu Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. menstabilkan dan memperkuat kembali nilai tukar rupiah, dimana pada akhir 2005 ditutup pada level Rp9.831 per dolar. 4.1.3.3. Perkembangan Kurs 2006 Sepanjang 2006 nilai tukar rupiah secara umum mengalami penguatan terhadap dolar disertai pergerakan yang lebih stabil dibandingkan tahun sebelumnya. Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh kondisi fundamental makroekonomi yang membaik, daya tarik investasi keuangan di dalam negeri yang terjaga, serta perkembangan ekonomi global yang relatif lebih kondusif. Sejak Januari hingga awal Mei 2006, nilai tukar rupiah menguat terhadap dolar hingga mencapai level Rp8.722 per dolar, atau menguat 11,3% dibanding akhir 2005. Penguatan rupiah dalam periode tersebut disebabkan meningkatnya pasokan di pasar valuta asing dibanding permintaannya (excess supply). Pasokan valuta asing meningkat signifikan terutama bersumber dari aliran masuk modal portofolio asing ke pasar keuangan di dalam negeri. Dalam kurun waktu yang sama, permintaan valuta asing cenderung merosot akibat melemahnya kegiatan impor seiring dengan menurunnya kegiatan ekonomi. Namun, rupiah sempat melemah pada pertengahan Mei 2006 hingga mencapai Rp9.288 per dolar, dipicu oleh perubahan ekspektasi kenaikan suku bunga Federal Reserve yang lebih besar. Hal ini mendorong investor asing menarik investasi portofolionya dari Indonesia. Meskipun demikian, tekanan pelemahan terhadap rupiah dalam waktu singkat mereda, didukung keyakinan pasar terhadap pengelolaan kebijakan makroekonomi Indonesia yang cukup berhati-hati serta melemahnya ekspektasi keyakinan pelaku pasar terhadap kenaikan suku bunga Federal Reserve (Fedres). 4.1.3.4. Perkembangan Kurs 2007 Sepanjang tahun 2007 nilai tukar rupiah bergerak stabil dan secara rata-rata menguat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kestabilan nilai tukar rupiah tersebut didukung oleh kondisi fundamental makroekonomi domestik yang semakin membaik di tengah perkembangan ekonomi dan pasar keuangan global yang bergejolak. Krisis sektor perumahan di Amerika Serikat (subprime mortgage) yang meluas dalam skala global disertai kenaikan harga minyak selama paruh kedua tahun 2007 sempat menimbulkan tekanan depresiasi terhadap nilai tukar rupiah. Namun, dengan kebijakan moneter dan fiskal yang ditempuh secara hati-hati dan konsisten disertai langkah kebijakan stabilisasi nilai tukar yang berhati-hati, tekanan tersebut dapat diminimalkan sehingga secara keseluruhan tahun kestabilan nilai tukar rupiah tetap terjaga. 4.1.4. Perkembangan Investasi Data investasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) yang disetujuai pemerintah. Dalam pencatatannya data tersebut dilakukan dengan konversi dan penjumlahan seperti teknik yang telah disampaikan pada bagian Metode Penelitian (Bab 3). Kondisi perkembangan investasi yang disampaikan dalam Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. penelitian dijelaskan secara ringkas berikut ini (Dikutip dari Laporan Perekonomian Indonesia – Bank Indonesia, tahun 2004 s.d 2007): 4.1.4.1. Perkembangan Investasi dan Pasar Modal 2004 Kegiatan pembiayaan melalui pasar modal pada periode laporan masih aktif dilakukan. Hal ini tercermin dari masih tingginya jumlah emiten yang melakukan pencarian dana melalui pasar saham serta pasar obligasi. Meskipun nilai emisi yang diterbitkan tidak sebesar pada 2003, jumlah emiten mengalami peningkatan. Perkembangan positif lainnya adalah tujuan emisi yang lebih ditujukan untuk pengembangan usaha emiten dan tidak hanya untuk restrukturisasi hutang. Tabel 4.3 Penanaman Modal Dalam Negeri yang Disetujui Pemerintah (Miliar Rp) Periode Tahun 2004 s.d 2007 Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des PMDN 2004 1,637.2 1,526.1 2,843.4 8,171.5 981.4 2,081.7 5,141.0 2,921.4 2,603.3 998.3 4,464.3 3,378.0 PMDN 2005 1,887.6 4,828.5 2,367.8 4,511.8 7,300.7 3,639.7 7,003.8 1,771.5 4,949.2 6,338.0 1,133.2 4,845.6 PMDN 2006 359.8 7,808.8 7,919.3 17,413.9 23,318.4 10,168.6 19,924.3 9,814.6 11,201.1 35,743.8 13,855.7 5,218.4 PMDN 2007 61,556.6 6,514.5 9,080.4 25,792.7 7,882.8 4,536.8 15,142.6 15,538.1 25,415.6 4,100.4 7,000.9 6,314.9 Sumber: SKEI - Bank Indonesia (www.bi.go.id), bentuk tabel telah diperbaharui oleh peneliti. Tabel 4.4: Penanaman Modal Asing yang Disetujui Pemerintah (Juta USD) Periode Tahun 2004 s.d 2007 Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des PMA 2004 259.8 566.2 737.0 1,007.3 208.6 630.2 250.1 433.4 4,131.2 854.7 504.3 694.5 PMA 2005 872.1 2,375.7 1,034.5 654.2 536.3 454.7 708.7 645.3 3,381.2 533.2 496.7 1,886.7 PMA 2006 463.2 808.8 1,097.9 774.6 515.1 2,318.5 1,516.9 1,198.0 1,871.2 2,702.2 622.9 1,734.6 PMA 2007 1,170.1 3,042.1 9,922.7 7,029.1 832.1 1,997.6 6,030.9 1,315.4 1,699.7 3,711.3 843.6 2,550.6 Sumber: SKEI - Bank Indonesia (www.bi.go.id), bentuk tabel telah diperbaharui oleh peneliti. Melanjutkan perkembangan tahun sebelumnya, pasar saham pada 2004 masih dalam kecenderungan bullish sehingga pada akhir periode laporan indeks menembus level 1000. Pertumbuhan tersebut dapat dicapai meskipun pada paruh pertama 2004 indeks sempat tertekan akibat sentimen negatif dari penurunan indeks di beberapa bursa internasional dan regional sebagai reaksi dari mulai naiknya suku bunga Fed Fund. Perkembangan pasar saham domestik tidak terlepas dari terus membaiknya faktor fundamental, baik dalam konteks makro maupun mikro, serta berlanjutnya optimisme pasar akan kinerja pemerintahan baru. Perbaikan fundamental mikro dalam hal ini adalah kinerja emiten yang menunjukkan peningkatan laba. Selain itu, bertambahnya minat beli investor asing sebagai penggerak investor domestik juga turut berpengaruh positif terhadap indeks. Dari sisi eksternal, kecenderungan melemahnya dolar secara global yang dipicu oleh Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. isu berlanjutnya defisit ganda di AS telah mendorong aliran modal internasional memasuki aset finansial nondolar termasuk rupiah. Dari sisi internal, persepsi situasi sosial politik pasca pemilu yang semakin membaik dan tingginya imbal hasil aset finansial rupiah telah menjadi daya tarik bagi investor internasional. Maraknya pasar sekunder saham menjadi salah satu faktor pendorong masih tingginya upaya penggalangan dana di pasar saham. Meskipun dari sisi nilai initial public offering (IPO) dan right issue saham selama 2004 lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu Rp6,3 triliun dibanding Rp9,9 triliun, jumlah emiten bertambah dari dari 21 menjadi 26 emiten. Perkembangan tersebut menjadi indikasi positif peningkatan akses pelaku usaha pada pembiayaan melalui pasar modal. Pada pasar SUN, pada 2004 telah dilakukan 8 kali lelang yang meraup nilai sebesar Rp32,3 triliun di pasar domestik dan $1 miliar dari obligasi internasional. Lelang yang terakhir dilakukan adalah reopening FR0025 yang meraup dana senilai Rp1,8 triliun. Lelang tersebut dilakukan seiring dengan penerbitan dua seri baru (FR0025 dan FR0026) serta reopening FR0023. Dalam perkembangan lelang, terdapat satu kali lelang yang dinyatakan tanpa pemenang dan sekali dilakukan penundaan. Hal ini terutama bersumber dari tingginya yield yang diminta peserta lelang seiring memburuknya kondisi eksternal pada waktu itu. Perkembangan positif juga terjadi di pasar sekunder SUN yang antara lain ditandai dengan meningkatnya minat investor asing, seperti tercermin dari relatif tingginya net beli asing, serta bertambahnya portofolio SUN yang diperdagangkan oleh perbankan. IPO obligasi mencapai Rp17,4 triliun dari 32 perusahaan. Sementara di pasar obligasi korporasi korporasi, frekuensi perdagangan meningkat sekitar 50% menjadi 4.149 transaksi dengan volume perdagangan senilai Rp14,2 triliun. Maraknya perdagangan obligasi swasta diindikasikan sebagai dampak rendahnya suku bunga simpanan. Selain itu, bertambahnya pasokan obligasi baru juga memberikan insentif bagi investor dalam pilihan portofolionya. Tabel 4.5 Total Investasi PMDN + PMA yang Disetujui Pemerintah (Miliar Rp) Periode Tahun 2004 s.d 2007 Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Investasi Total 2004 3,830.2 6,308.8 9,172.0 16,895.7 2,902.6 8,015.0 7,433.9 6,964.2 40,486.4 8,767.5 9,012.1 9,829.9 Investasi Total 2005 9,880.4 26,827.5 12,174.9 10,772.5 12,392.9 8,056.2 13,962.5 8,379.4 39,809.4 11,718.0 6,117.6 23,391.9 Investasi Total 2006 4,711.6 15,274.0 17,882.7 24,211.0 28,067.6 31,730.7 33,682.6 20,716.4 28,481.6 60,360.8 19,564.6 20,864.5 Investasi Total 2007 72,192.8 34,380.1 99,555.6 89,638.0 15,228.6 22,623.1 70,542.4 27,916.0 40,945.8 37,884.4 14,910.5 30,339.0 Sumber: SKEI - Bank Indonesia (www.bi.go.id), bentuk tabel telah diperbaharui oleh peneliti. 4.1.4.2. Perkembangan Investasi dan Pasar Modal 2005 Aktivitas pasar modal sepanjang 2005 masih tetap aktif dilakukan. Hal ini tercermin dari masih adanya perusahaan yang melakukan pencarian dana melalui initial public offering (IPO) dan right issue di pasar saham dan IPO di pasar obligasi. Di pasar saham, indeks bursa pada 2005 menunjukkan kecenderungan penguatan dengan pergerakan yang berfluktuasi akibat tekanan dari berbagai faktor baik dalam maupun luar negeri. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. Hingga triwulan I-2005 IHSG masih terus mengalami peningkatan yang cukup mengesankan. Beberapa faktor yang mendorong perkembangan positif tersebut antara lain adalah meningkatnya kepercayaan investor akibat dari optimisme membaiknya kondisi ekonomi makro Indonesia pada 2004. Selain itu, rencana masuknya beberapa saham unggulan Indonesia ke indeks ASEAN dengan kriteria memiliki nilai kapitalisasi pasar besar, likuiditas transaksi yang tinggi, dan kepemilikan saham ke publik yang cukup besar juga memberi sentimen positif bagi peningkatan kegiatan bursa saham. Sumber: Pengolahan Tabel 4.3 dan Tabel 4.4. (setelah dikonversi kedalam satuan miliar rupiah) Kedalam Bentuk Histogram Stacked dengan Bantuan Ms. Office Excel 2007. Gambar 4.3: Grafik Investasi Total PMA + PMDN yang Disetujui Pemerintah Tahun 2004 s.d 2007 Dalam perkembangannya, arah pergerakan indeks yang semula meningkat mengalami tekanan perlambatan dan cenderung berfluktuasi. Beberapa faktor internal yang ditengarai memberikan sentimen negatif bagi perkembangan bursa saham pada triwulan berikutnya antara lain adalah kecenderungan kenaikan suku bunga dalam negeri sebagai konsekuensi dari penerapan kebijakan moneter tight biased terkait dengan tingginya inflasi dan depresiasi nilai tukar. Selain itu, melambungnya harga minyak dunia hingga mendekati harga $70/barel dan kecenderungan penurunan indeks bursa dunia/ regional merupakan faktor eksternal utama yang mendorong sentimen negatif bagi perkembangan IHSG. Fluktuasi pergerakan indeks dan persepsi atas perkembangan perekonomian Indonesia setelah dinaikkannya harga BBM, disinyalir sedikit mempengaruhi perilaku investor asing yang menjadi pemain utama (market maker) pada perdagangan di bursa saham Indonesia. Namun, masih kompetitifnya nilai PER13 Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara di Asia (Singapura, Malaysia dan Philipina) tetap menjadi daya tarik bagi investor untuk melakukan pembelian saham. Hingga akhir 2005, secara point to point indeks komposit masih menunjukkan perkembangan menggembirakan dengan level 1164,14 meningkat dari posisi 2004 sebesar 1000,23. Pada pasar obligasi korporasi, kecenderungan naiknya suku bunga yang menurunkan harga obligasi menyebabkan beberapa perusahaan menunda realisasi penerbitan obligasinya sambil menunggu waktu yang menguntungkan. Hal ini mengakibatkan pada 2005, total nilai emisi obligasi korporasi yang diterbitkan dari 19 perusahaan adalah sebesar Rp8,25 triliun menurun dibanding tahun sebelumnya sebesar Rp19,17 triliun. Dalam periode laporan, frekuensi perdagangan menurun sebesar 3,77% menjadi 4.799 transaksi dengan volume perdagangan yang meningkat dari Rp17,35 triliun menjadi Rp23,27 triliun. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. 4.1.4.3. Perkembangan Investasi dan Pasar Modal 2006 Kinerja pasar modal meningkat secara signifikan selama 2006. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada akhir 2006 mencapai 1.805,5 poin atau menguat 632,9 poin (55,3%) dibanding tahun sebelumnya. Perkembangan indeks yang membaik didukung oleh faktor domestik dan faktor eksternal yang kondusif. Faktor domestik yang menopang kinerja BEJ adalah penurunan BI Rate sejak Mei 2006 dan perkembangan berbagai indikator makroekonomi yang semakin membaik, seperti inflasi yang terkendali, cadangan devisa yang meningkat, nilai tukar rupiah yang stabil, dan kinerja ekonomi yang menguat. Perbaikan ekonomi dan terjaganya stabilitas makroekonomi tersebut mendorong menguatnya keyakinan investor asing terhadap kondisi perekonomian. Keyakinan ini diperkuat lagi dengan prospek perekonomian 2007 yang semakin membaik sehingga memberikan angin segar bagi perkembangan kinerja emiten sebagaimana ditunjukkan oleh peningkatan keuntungan yang cukup besar pada triwulan IV-2006. Selanjutnya, perbaikan kinerja emiten tersebut menimbulkan ekspektasi peningkatan imbal hasil di kalangan investor pasar saham. Dari sisi eksternal, membaiknya kinerja pasar modal Indonesia dipengaruhi oleh pasar saham internasional dan regional yang mengalami peningkatan. Kondisi pasar saham global tersebut merupakan dampak dari berakhirnya siklus kebijakan moneter ketat Federal Reserve dan tren turunnya harga minyak dunia, sejalan dengan menguatnya kembali keyakinan terhadap kestabilan makro, perbaikan indikator eksternal, dan berlanjutnya penurunan BI Rate, optimisme di kalangan pelaku pasar saham kembali pulih. Selain itu, penguatan kembali indeks tidak terlepas dari masih menariknya Price Earning Ratio (PER) Indonesia dibanding negara-negara emerging market lainnya. Pada 2006, investor asing memegang peranan penting dalam transaksi di BEJ. Posisi net beli asing mencapai Rp17,3 triliun dalam perdagangan saham. Ekses likuiditas global mendorong investor asing untuk mencari outlet penempatan investasi di negara emerging market. Kecenderungan ini didukung prediksi berbagai analis pasar bahwa emerging market berpotensi tumbuh lebih tinggi dibandingkan negara-negara maju. Langkah investor asing ini kemudian diikuti oleh investor domestik sehingga memicu peningkatan IHSG lebih lanjut. 4.1.4.4. Perkembangan Investasi dan Pasar Modal 2007 Kinerja pasar modal meningkat secara signifikan selama tahun 2007. IHSG pada akhir tahun 2007 mencapai 2.745,8 poin atau menguat 940,3 poin (52,1%) dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Prestasi itu kembali menempatkan Bursa Efek Indonesia (BEI - Penggabungan Bursa Efek Jakarta/ BEJ dan Bursa Efek Surabaya/ BES yang secara resmi beroperasi sejak tanggal 1 November 2007) Sebagai bursa saham berkinerja terbaik ketiga di kawasan Asia Pasifik setelah bursa Shenzhen (164%) dan Shanghai (98,4%). Secara sektoral, sumbangan terbesar peningkatan IHSG tersebut disumbang oleh sektor pertambangan, pertanian, dan properti. Total nilai transaksi saham juga meningkat signifikan dari Rp445,7 triliun menjadi Rp1.050,1 triliun (135,6%). Penguatan indeks dan maraknya transaksi tersebut mendorong peningkatan nilai kapitalisasi pasar sebesar 59,2% menjadi Rp1.988,3 triliun, sehingga share pasar modal terhadap PDB meningkat dari 37,4% Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. menjadi 57,0% pada akhir tahun 2007. Peningkatan kinerja pasar modal tersebut didukung oleh faktor domestik dan faktor eksternal yang membaik. Faktor domestik yang mendorong peningkatan indeks pasar modal adalah penurunan BI Rate sebesar 175 bps sepanjang tahun 2007 dan semakin membaiknya berbagai indikator makroekonomi, seperti inflasi yang terkendali dan cenderung menurun, cadangan devisa yang cukup kuat dan pertumbuhan ekonomi yang meningkat. Di sisi mikro, kinerja emiten juga membaik yang ditunjukkan oleh peningkatan keuntungan yang cukup besar terutama pada triwulan III–2007. Ekspektasi peningkatan keuntungan terus berlanjut, khususnya untuk emiten tambang dan pertanian, sehubungan dengan meningkatnya harga komoditas tersebut di pasar internasional. Membaiknya faktor makro dan mikro tersebut berhasil meningkatkan optimisme para pelaku pasar sehingga likuiditas pasar modal meningkat dari Rp1,8 triliun menjadi Rp4,3 triliun per hari. Dari sisi eksternal, peningkatan kinerja pasar modal Indonesia dipengaruhi oleh sentimen positif di bursa saham internasional dan regional yang membaik. Penguatan indeks di bursa Amerika dan China yang turut mendorong peningkatan indeks regional seperti Hangseng dan Strait Times mampu memberikan angin segar kepada para pelaku pasar saham di Bursa Efek Indonesia sehingga IHSG kembali menguat dan mencapai level tertingginya. Penguatan indeks juga didorong oleh Price Earning Ratio (PER) Indonesia yang masih menarik dibandingkan dengan beberapa negara emerging market di Asia. Selama tahun 2007, transaksi di pasar modal masih diwarnai oleh aksi beli investor asing. Posisi net beli investor asing di pasar saham mencapai Rp32,6 triliun atau meningkat 88,8% dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar Rp17,3 triliun. Sementara itu, posisi kepemilikan saham oleh investor asing meningkat dari Rp522,3 triliun pada akhir tahun 2006 menjadi Rp790,8 triliun pada akhir tahun 2007. Selain didorong oleh membaiknya indikator makroekonomi dan kinerja emiten, aksi beli investor asing juga didorong oleh ekses likuiditas global yang mencari outlet penempatan investasi di negara emerging market. Langkah investor asing ini diikuti oleh investor domestik sehingga mendorong peningkatan IHSG lebih lanjut. 4.1.5. Perkembangan Suku Bunga SBI dan BI Rate Suku bunga SBI mengacu kepada BI Rate yang telah ditetapkan Bank Indonesia. Pada tahun 2005, mekanisme penjulan SBI dilakukan secara periodik yaitu selama 3 bulan, dan pada tahun berikutnya dilakukan penjualan dengan mekanisme normal. Hal tersebut dilaksanakan oleh Bank Indonesia sebagai upaya mencari teknik pengendalian moneter yang sesuai untuk menghadapi kondisi inflasi dan investasi yang terjadi pada masa tersebut. Secara ringkas, perkembangan kondisi suku bungan SBI disampaiakn sebagai berikut (Dikutip dari Laporan Perekonomian Indonesia – Bank Indonesia, tahun 2004 s.d 2007): 4.1.5.1. Perkembangan Suku Bunga SBI dan BI Rate 2004 Suku bunga SBI triwulan pertama tahun 2004 mengalami penurunan hal tersebut dilakukan Bank Indonesia dengan mempertimbangkan prospek perekonomian 2004 yang kondusif, Bank Indonesia tetap melanjutkan kebijakan moneter yang longgar ( cautious easing). Suku bunga instrumen moneter1 mengalami Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. penurunan secara bertahap di tengah upaya Bank Indonesia untuk tetap mengoptimalkan penyerapan ekses likuiditas. Kebijakan moneter yang akomodatif pada lima bulan pertama 2004 ditandai dengan kecenderungan penurunan suku bunga instrumen sebagaimana terjadi pada tahun lalu. Dari 13 kali lelang SBI 1 bulan pada episode tersebut, suku bunga menurun 99 bps dari posisi akhir 2003 dan sempat mencapai tingkat terendah di 7,32%. Sementara itu, dari lima kali lelang SBI 3 bulan pada periode yang sama, suku bunga menurun 110 bps dari posisi akhir tahun lalu menjadi 7,24%. Tabel 4.6 Data Suku Bunga SBI (Persen) Periode Tahun 2004 s.d 2007 Bulan Jan Suku Bunga SBI Tahun 2004 8.05% Suku Bunga SBI Tahun 2005 7.42% Suku Bunga SBI Tahun 2006 12.75% Suku Bunga SBI Tahun 2007 9.55% Feb Mar 7.64% 7.42% 7.43% 7.44% 12.74% 12.73% 9.25% 9.00% Apr 7.34% 7.62% 12.74% 9.00% Mei 7.32% 7.88% 12.55% 8.80% Jun Jul 7.34% 7.37% 8.10% 8.48% 12.50% 12.31% 8.56% 8.31% Ags 7.37% 8.84% 11.85% 8.25% Sept 7.39% 10.00% 11.25% 8.25% Okt 7.41% 11.00% 10.92% 8.25% Nov 7.42% 12.25% 10.35% 8.25% Des 7.43% 12.75% 9.88% Sumber: SKEI - Bank Indonesia (www.bi.go.id), bentuk tabel telah diperbaharui oleh peneliti. Pada periode akhir tahun 2004, Bank Indonesia mengeluarkan tiga kebijakan baru yaitu normalisasi ( realignment) suku bunga (Boks: Penyehatan Struktur Suku Bunga), penjarangan lelang dan pelonggaran ketentuan SBI repo. Kebijakan normalisasi suku bunga terutama terkait dengan upaya Bank Indonesia dalam mengelola permintaan agregat. Kebijakan tersebut diharapkan dapat menata kembali struktur suku bunga ke arah yang lebih sehat. Kebijakan dilakukan dengan mengubah acuan suku bunga penjaminan simpanan pihak ketiga dari yang semula menggunakan suku bunga Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR) menjadi suku bunga SBI 3 bulan. Sumber: Pengolahan Tabel 4.6. Kedalam Bentuk Grafik dengan Bantuan Ms. Office Excel 2007. Gambar 4.4: Grafik Pergerakan Suku Bunga SBI Tahun 2004 s.d 2007 Kebijakan Penjarangan Lelang dan Pelonggaran Ketentuan SBI Repo merupakan bagian dari upaya Bank Indonesia untuk menyempurnakan strategi operasi pasar terbuka (OPT). Kebijakan penjarangan lelang diarahkan untuk menjaga agar suku bunga SBI 1 bulan tidak terlalu cepat berubah dan utuk mengembangkan Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. PUAB. Perubahan ini tidak mengejutkan pengelolaan likuiditas perbankan mengingat pascalibur panjang Lebaran 2003 frekuensi lelang SBI hanya menjadi tiga kali dalam sebulan. Selanjutnya untuk mendukung kebijakan tersebut, ketentuan SBI repo dilonggarkan baik dari sisi jumlah maupun suku bunganya. Kebijakan tersebut diharapkan dapat mengurangi potensi tekanan pada pengelolaan likuiditas perbankan pascapengurangan frekuensi lelang dan pada gilirannya meminimalkan potensi ketidakstabilan di PUAB. Kebijakan moneter yang mengarah ketat ditandai oleh kecenderungan naiknya suku bunga SBI 1 bulan secara perlahan. Dalam 14 kali lelang SBI 1 bulan pada episode tersebut, suku bunga meningkat tipis sebesar 11 bps dari posisi akhir Mei 2004, sehingga pada akhir tahun tercatat sebesar 7,43%. Sementara itu, dalam tujuh kali lelang SBI 3 bulan pada periode yang sama, suku bunga relatif stabil dengan peningkatan yang sangat minimal (5 bps) dari posisi akhir Mei 2004, sehingga tercatat sebesar 7,29% pada akhir tahun. 4.1.5.2. Perkembangan Suku Bunga SBI dan BI Rate 2005 Sepanjang tahun 2005, perbaikan kinerja lelang SBI 1 bulan tercermin pada rata-rata penyerapan likuiditas yang mencapai 93,8% dari likuiditas yang ditawarkan perbankan, lebih tinggi dari rata-rata yang sama di tahun sebelumnya (90,6%). Periode Januari-Maret 2005, perekonomian Indonesia diliputi optimisme pembentukan pemerintahan baru dan pertumbuhan ekonomi yang cukup menggembirakan. Dalam realisasinya di periode ini, pergerakan rata-rata tertimbang (RRT) SBI 1 bulan relatif tidak mengalami perubahan level, hal ini karena masih cukup tingginya ekses likuiditas perbankan. Suku bunga SBI 1 bulan pada akhir triwulan II-2005 telah meningkat 82 bps dari akhir triwulan sebelumnya menjadi 8,25%. Hal ini dilakukan sebagai upaya menjaga base money agar dapat tumbuh. Peningkatan Suku bunga SBI pada periode tersebut dikarenakan meningkatnya tekanan eksternal dan ketidakpastian ketersediaan penempatan likuiditas jangka pendek mempengaruhi tingginya kelebihan simpanan perbankan di Bank Indonesia di atas ketentuan minimum yang dipersyaratkan. Selain itu, kebutuhan masyarakat akan uang kartal yang meningkat lebih tinggi dari perkiraan telah mempengaruhi realisasi base money. Periode berlanjutnya tekanan stabilitas makroekonomi (Juli-September 2005), semakin kuatnya tekanan terhadap stabilitas makroekonomi mendorong Bank Indonesia untuk menerapkan kebijakan moneter cenderung ketat dengan sinyal kebijakan yang lebih jelas, transparan dan intensitas yang lebih kuat. Bank Indonesia melakukan upaya penguatan kerangka kerja kebijakan moneter dengan sasaran akhir kestabilan harga melalui penggunaan suku bunga (BI Rate) sebagai satu-satunya policy reference rate pada awal Juli 2005. Dengan perubahan tersebut diharapkan sinyal kebijakan moneter Bank Indonesia untuk merespon kondisi makro ekonomi dapat lebih mudah dipahami dan digunakan sebagai acuan oleh pelaku pasar dalam pengambilan keputusan usahanya, sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan efektivitas dan kredibilitas kebijakan moneter. Periode September-Desember 2005, Bank Indonesia tetap menerapkan kebijakan moneter cenderung ketat dengan intensitas yang semakin kuat. Masih Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. cukup tingginya ekspektasi inflasi dan ketidakpastian di tengah berlanjutnya pemburukan kondisi stabilitas makroekonomi mendorong Bank Indonesia untuk kembali menaikkan BI Rate. Pada fase ini BI Rate mengalami 3 kali kenaikan dengan kumulatif 275 bps sehingga pada akhir tahun ditutup sebesar 12,75%. Selain dengan menaikkan BI Rate, Bank Indonesia juga semakin berkomitmen pada upaya menjaga level dan stabilitas suku bunga jangka pendek (PUAB O/N) melalui pengoptimalan pelaksanaan lelang SBI (rata-rata penyerapan likuiditas SBI 1 bulan mencapai 99,0% dari total likuiditas yang ditawarkan perbankan), menyediakan batas bawah ( floor) otomatis melalui aktivasi instrumen FASBI O/N dan batas atas ( ceiling) secara diskresi melalui instrumen fine tune, serta menyempurnakan berbagai instrumen moneter agar selaras dengan BI Rate. 4.1.5.3. Perkembangan Suku Bunga SBI dan BI Rate 2006 Secara umum tingkat suku bunga SBI tahun 2006 bergerak menurun. Hal ini disebabkan adanya kebijakan Bank Indonesia dalam melakukan upaya menerapkan kebijakan penurunan suku bunga secara terukur dan berhati-hati sejak Mei 2006 dengan tujuan mengimbangi laju inflasi yang dipicu karena keniakn harga BBM terjadi pada akhir tahun 2005. Strategi kebijakan tersebut diterjemahkan dalam operasional kebijakan moneter melalui kegiatan penyesuaian likuiditas (liquidity adjustment) dalam bentuk pelaksanaan operasi pasar terbuka (OPT) dan instrumen pendukung lainnya. Melemahnya kegiatan ekonomi terutama pada paro pertama 2006 dan belum membaiknya persepsi terhadap iklim investasi berakibat pada rendahnya daya serap sektor riil terhadap kredit sehingga ekses likuiditas perbankan terus meningkat. Pada tahun 2006 Bank Indonesia menempuh kebijakan moneter yang cenderung ketat (tight biased) dengan mempertahankan BI Rate pada level 12,75% yang selanjutnya sejak Mei 2006 menurunkannya secara terukur dan hati-hati (cautious easing). Penurunan BI Rate dapat ditransmisikan secara efektif di pasar finansial dan telah menumbuhkan optimisme pelaku ekonomi di sektor riil. Pada bulan Februari 2006, Bank Indonesia melakukan perubahan metode lelang SBI 1 bulan dari variable-rate tender (VRT) menjadi fixed-rate tender (FRT) dan penjarangan pelaksanaan lelang SBI 3 bulan dari satu bulan sekali menjadi tiga bulan sekali. Penjarangan lelang SBI 3 bulan merupakan upaya untuk lebih menyelaraskan dengan kebutuhan pembayaran kupon Surat Utang Negara (SUN) seri variabel yang mengacu kepada suku bunga SBI 3 bulan. Pada Februari 2006, instrumen SBI Repo dibuka kembali setelah sempat nonaktif selama hampir enam bulan sejak akhir Agustus 2005. Kemudian pada Mei 2006, Bank Indonesia menonaktifkan penyediaan FASBI 7 hari untuk menyederhanakan pelaksanaan transaksi FASBI. 4.1.5.4. Perkembangan Suku Bunga SBI dan BI Rate 2007 Strategi kebijakan diterjemahkan dalam operasional kebijakan moneter melalui pengelolaan likuiditas dalam bentuk Operasi Pasar Terbuka (OPT) dan berbagai instrumen lain. Sejalan dengan perkembangan BI Rate, seluruh instrumen moneter yang terkait langsung dengan BI Rate otomatis mengalami penurunan dengan besaran yang sama. Pada akhir tahun 2007, suku bunga Fasilitas Simpanan Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. Bank Indonesia overnight (FASBI O/N) yang selama ini dimanfaatkan sebagai batas bawah (floor) pergerakan suku bunga Pasar Uang Antar Bank overnight (PUAB O/N) menjadi sebesar 3% (dari sebesar 4,75% pada akhir tahun 2006). Adapun suku bunga SBI repo yang dapat menjadi batas atas (ceiling) pergerakan suku bunga PUAB O/N menjadi sebesar 11% (dari sebesar 12,75% pada akhir tahun 2006). OPT terutama difungsikan untuk menyerap ekses likuiditas dan menjaga ketersediaan likuiditas di PUAB. Kegiatan OPT secara berkala terutama bertumpu pada lelang mingguan instrumen SBI 1 bulan dengan fixed rate tender pada level BI Rate. Adapun kegiatan OPT nonrutin berupa Fine Tune Operation (FTO) diimplementasikan secara terbatas dan dengan pricing yang variatif menyesuaikan dengan kondisi pasar uang. Berbagai instrumen moneter di pasar rupiah itu juga dilengkapi dengan instrumen intervensi valuta asing guna mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan. Strategi kebijakan moneter melalui penetapan BI Rate diarahkan pada upaya pencapaian sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Strategi tersebut ditempuh secara terukur dan hati-hati dengan mempertimbangkan proyeksi inflasi, dinamika perekonomian terkini, dan stabilitas sistem keuangan. Dalam kondisi itu, upaya menjaga stabilitas makroekonomi diwarnai dengan penurunan BI Rate pada periode Januari sampai dengan Juli 2007 dari 9,5% ke 8,25%. Di tengah penurunan tersebut, pada Maret 2007 permasalahan subprime mortgage mulai mengemuka, tetapi belum berdampak signifikan pada kestabilan perekonomian. Pada paruh kedua tahun 2007, permasalahan subprime mortgage semakin menguat dan meluas sehingga mewarnai perkembangan BI Rate. Sejalan dengan hal tersebut, pada Agustus investor mulai menghitung kembali risiko investasinya untuk kemudian menyesuaikan portofolio kepada aset berkualitas tinggi. Kondisi dimaksud pada gilirannya memengaruhi nilai tukar rupiah dan nilai tukar beberapa negara emerging markets lainnya. Hal itu diperparah oleh cenderung membubungnya harga minyak dunia sehingga memberi tekanan tambahan pada nilai tukar dan inflasi ke depan. Menyikapi hal itu, Bank Indonesia menahan penurunan suku bunga sejak Juli hingga November 2007. BI Rate diputuskan tetap di level 8,25% untuk menahan akselerasi ekspektasi inflasi dan mengurangi tekanan di pasar keuangan. Pada akhir tahun 2007, setelah mempertimbangkan ekspektasi inflasi yang diindikasikan terjaga, kapasitas produksi yang mencukupi, dan pasar keuangan yang telah mencapai keseimbangan baru, BI Rate diturunkan menjadi 8%. 4.1.6. Perkembangan Harga Saham dan Volume Perdangan Saham BRI Pergerakan harga saham sejak awal IPO hingga tahun 2007 menunjukkan peningkatan di setiap periodenya. Pada awal Januari 2004, harga saham BRI sebesar Rp1.425, sedangkan pada Desember 2007 harga saham tersebut meningkat menjadi Rp7.400 atau terjadi penginkatan sebesar +/- 520% selama masa empat tahun. Sedangkan volume perdagangan saham BRI menunjukkan pergerakan yang sangan fluktuatif pada dua tahun pertama dan menunjukkan pergerakan yang relatif stabil pada dua tahun kemudian. Hal ini menunjukkan bahwa respon para investor terhadap saham BRI sangat bergairah dalam melakukan jual beli atas saham tersebut. Kebijakan yang dilakukan manajemen PT. Bak Rakyat Indonesia, (Tbk) diperkirakan sangat mempengaruhi kinerja harga saham perusahaan tersebut. Jika dibandingkan dengan beberapa harga saham blue chips perbankan, dapat dilihat Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. bahwa harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) senantiasa menunjukan tingkat return yang tinggi. Selama periode tahun 2004 s.d tahun 2007, PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) selalu berupaya mempertahankan komposisi pembagian keuntungan sebesar 50% antara return dengan devedin yang dibagaikan. Jika dilihat dari sisi permintaan, kondisi tersebut mungkin salah satu suatu jawaban yang menyebabkan mengapa selama periode tersebut harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) terus menerus mengalami kenaikan. Tabel 4.7. Data Harga Sahma BRI (Rupiah) Periode Tahun 2004 s.d 2007 Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Harga Saham BRI 2004 1,425 1,550 1,525 1,725 1,725 1,675 1,725 1,725 2,050 1,950 2,425 2,875 Harga Saham BRI 2005 2,750 3,275 2,850 2,675 2,900 2,900 3,200 2,575 2,700 2,450 2,975 3,025 Harga Saham BRI 2006 3,400 3,250 3,900 4,625 3,950 4,100 4,275 4,350 4,900 4,900 5,350 5,150 Harga Saham BRI 2007 5,300 4,750 5,050 5,250 6,100 5,750 6,300 6,250 6,600 7,750 7,800 7,400 Sumber: Website penyedia data saham internasional http://finance.yahoo.com, bentuk tabel telah diperbaharui oleh peneliti. Adapun berbagai kebijakan dan strategi yang dilakukan selama periode penlitian (2004 s.d 2007) secara ringkas disampaikan pada bagian berikut ini (Dikutip dari Laporan Tahunan PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) periode tahun 2004 s.d tahun 2007): 4.1.6.1 Kinerja Saham BRI 2004 Pergerakan harga saham BRI selama tahun 2004 yang dimulai dari Rp1.275 (2 Januari 2004) terus bergerak atraktif dengan tren meningkat, sehingga pada akhir penutupan bursa (30 Desember 2004), harga saham BRI berhasil ditutup pada level Rp2.875. Bahkan dalam pergerakannya, saham BRI pernah mencapai harga tertinggi Rp.2.900. Berarti, dalam perjalanannya selama tahun 2004 tersebut, saham BRI telah mengalami apresiasi harga sebesar Rp1.600 atau 125,45%. Apresiasi ini jauh melamlaui kenaikan IHSG yang hanya sebesar 41,97%. Sumber: Pengolahan Tabel 4.7. Kedalam Bentuk Grafik dengan Bantuan Ms. Office Excel 2007. Gambar 4.5: Grafik Pergerakan Harga Saham BRI Tahun 2004 s.d 2007 Perbaikan kinerja Bursa Efek Jakarta secara umum, telah ikut mendorong peningkatan harga saham BRI. Pemicu utama kinerja saham BRI itu adalah pertumbuhan kinerja perseroan BRI secara konsisten dari periode ke periode. Kepercayaan masyarakat kepada BRI juga terus menguat, karena adanya upaya Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. komunikasi proaktif BRI dengan para investor. BRI secara rutin menyelenggarakan analyst meeting setiap triwulan untuk memaparkan kinerja keuangan. Disamping itu BRI juga secara aktif mengikuti investor forum, confrence dan non-deal roadshow kepada para investor baik di dalam maupun di luar negeri. 4.1.6.1.1. Komposisi Kepemilikan Saham Dibandingkan akhir tahun 2003, kepemilikan saham pemerintah di BRI sedikit mengalami penurunan, dari 59,50% di akhir tahun 2003 menjadi 59,07% di akhir tahun 2004. Penyebab penurunan itu adalah karena adanya tambahan saham baru yang berasal dari Exercise opsi yang telah dikonversi menjadi saham baru dalam program opsi Pembelian Saham bagi Manajemen atau Management Stock Option Program. 4.1.6.1.2. Kebijakan Dividen Dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan 2004, deviden tunai tahun buku 2003 ditetapkan sebesar Rp990,47 miliar atau Rp84,19 per saham, 75,01% dari laba bersih semester II tahun 2003 yang telah dibayarkan kepada pemegang saham pada tanggal 23 Juli 2003. Secara komposisi, rasio pembayaran deviden (Deviden Pay Out Ratio) tunai tersebtu adalah 39,59% dari total laba bersih 2003. Rasio pembayaran deviden tunai tahun 2003 ini lebih kecil dari tahun-tahun sebelumnya, karena pada tahun 2003 diadakan kuasi reorganisasi di mana laba semester I tahun tersebut dikapitalisasikan menjadi modal. BRI merencanakan untuk mempertahankan rasio pembayaran deviden sebesar kurang lebih 50% dari laba bersih tiap tahunnya, tergantung pada kinerja dan kondisi keuangan perusahaan, dan sepanjang memperoleh persetujuan dari RUPS. Manajemen BRI berencana membagi deviden tunai tahun buku 2004 setelah memperoleh persetujuan RUPS tahun 2004. Tabel 4.8 Data Volume Perdagangan Saham BRI (lembar) Periode Tahun 2004 s.d 2007 Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Volume 2004 851,199 515,302 529,604 494,425 654,245 475,820 325,210 255,239 402,142 732,692 808,218 815,783 Volume 2005 449,291 395,033 412,704 390,762 244,928 862,326 432,295 846,700 649,097 265,676 401,586 288,290 Volume 2006 432,447 353,600 587,340 498,179 770,378 581,589 317,263 343,513 393,881 231,734 245,975 358,905 Volume 2007 340,523 403,189 307,542 332,667 357,545 363,843 402,305 431,464 264,142 313,482 424,113 229,484 Sumber: Website penyedia data saham internasional http://finance.yahoo.com, bentuk tabel telah diperbaharui oleh peneliti. 4.1.6.2. Kinerja Saham BRI Tahun 2005 Pada awal tahun harga saham BRI dibuka pada Rp2.875 dan ditutup menguat menjadi Rp3.025 pada 20 Desember 2005. Sepanjang tahun harga saham BRI bergerak cukup fluktuatif, dengan harga tertinggi sebesar Rp3.400, terjadi pada akhir Februari 2005 dan harga terendah sebesar Rp2.050 pada akhir Agustus 2005. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. Kondisi kinerja ekonomi nasional yang terpuruk pada semester II tahun 2005 turut mempengaruhi perkambangan harga saham BRI. Namun dengan kinerja perusahaan yang terus tumbuh dan berkembang secara konsisten dari periode ke periode membuat harga saham BRI kembali mengalami penguatan, apalagi setelah keluarnya kinerja perseroan triwulan III yang ternyata tidah banyak dipengaruhi oleh pemburukan kinerja kondisi makro ekonomi pada semester I. Kepercayaan masyarakat kepada BRI terus menguat, karena manajemen BRI selalu menjaga komunikasi yang baik dengan para investor. BRI secara rutin menyelenggarakan analyst meeting setiap triwulan untuk membeberkan kinerja tahunan maupun triwulanan. Disamping itu BRI juga secara aktif mengikuti investor meeting confrence dan non-deal roadshow kepada para investor di luar negeri. 4.1.6.2.1. Komposisi Kepemilikan Saham Dibandingkan akhir tahun 2004, kepemilikan saham Pemerintah RI di BRI mengalami penurunan (dilusi), dari 59,08% di akhir tahun 2004 menjadi 58,16% di akhir tahun 2005. Penyebab penurunan ini adalah adanya tambahan saham baru yang bersal dari konversi saham program Opsi Pembelian Saham bagi Manajemen. 4.1.6.2.2. Management Stock Option Program (MSOP) Dalam RUPS Luar Biasa tanggal 2 Oktober 2003 diputuskan bahwa perusahaan akan menyelenggarakan Program Opsi Pembelian Saham bagi Manajemen atau Management Stock Option Program (MSPO). Dalam MSOP BRI, jumlah saham yang diterbitkan adalah sebanyak 588.235.250 lembar dengan tahapan sebagai berikut: Tabel 4.9 Tahap Pelaksanaan MSOP Saham BRI Tahap MSOP Tahap I Tahap II Tahap III Jumlah Jumlah Saham MSOP (lembar) 235.294.100 235.294.100 117.647.050 588.235.250 Komposisi 40% 40% 20% Tanggal Penerbitan Opsi Harga Perlaksanaan per lembar saham 10 November 2003 10 November 2004 10 November 2005 Rp962.50 Rp1.750.00 Belum ditentukan Keputusan RUPS yang mendasari penerbitan MSOP RUPS 2003 RUPS 2004 RUPS 2005 Sumber: Laporan Tahunan PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) Tahun 2004 Total saham MSOP Taham I yang telah di-exercise sampai dengan tanggal 30 Desember 2005 sebanayak 195.412.500 lembar dan MSOP Tahap II sebanyak 75.583.000 lembar. MSOP Tahap III, seperti halnya MSOP Tahap I dan MSOP Tahap II, memiliki jangka waktu 5 (lima) tahun dengan vesting period selama 1 (satu) tahun. 4.1.6.2.3. Kebijakan Deviden Dalam RUPS Tahunan tanggal 17 Mei 2005, deviden tunai atas laba tahun buku 2004 ditetapkan sebesar Rp1.816,61 miliar atau Rp152,93 per lembar saham yang telah dibayarkan kepada pemegang saham pada tanggal 5 Juli 2005. Dibandingkan dengan tahun buku 2003, jumlah deviden tunai yang dibayarkan tersebut mengalami kenaikan yang sangat signifikan, yaitu sebesar 82% dari deviden tunai tahun buku 2003 yang sebesar Rp84,19 per lembar saham. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. Rasio pembayaran deviden tunai (deviden pay out ratio) tahun buku 2004 sebesar 50% dari laba bersih. Hal ini sesuai dengan rencana Manajemen BRI yang akan mempertahankan rasio pembayaran deviden sebesar kurang lebih 50% dari laba bersih setiap tahunnya, tergantung pada kinerja dan kondisi keuangan perusahaan, dan sepanjang memperoleh persetujuan dari RUPS. Deviden tunai atas laba tahun buku 2005 akan dibagikan setelah RUPS Tahunan tahun 2006. Sumber: Pengolahan Tabel 4.8. Kedalam Bentuk Grafik dengan Bantuan Ms. Office Excel 2007. Gambar 4.6: Grafik Pergerakan Volume Perdagangan Saham BRI Tahun 2004 s.d 2007 4.1.6.3. Kinerja Saham BRI Tahun 2006 Pada awal tahun 2006, harga saham BRI dibuka pada Rp3.025,- dan ditutup menguat menjado Rp5.150,- pada akhir desember 2006. Return yang diberikan saham BRI secara nominal lebih besar diabandingkan dengan saham blue chips perbankan, namun dilihat dari prosentasenya masih di bawah saham Bank Mandiri (BMRI). Kinerja saham blue chips perbankan dapat dilihat pada tabel di bahwa ini: Tabel 4.10 Harga Saham Blue Chips Perbankan di Indonesia Tahun 2006 Saham BBRI BMRI BBCA BDMN Pembukaan Tertinggi Terendah 3.025 1.640 3.400 4.750 5.750 2.950 5.550 6.500 3.000 1.500 3.350 3.875 Penutupan 5.150 2.900 5.200 6.750 Return Rp 2.125 1.260 1.800 2.000 % 70.25% 76.83% 52.94% 42.11% Sumber: Laporan Tahunan PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) Tahun 2006 Sepanjang tahun 2006 harga saham BRI bergerak cukup fluktuatif, dengan harga saham tertinggi mencapai Rp5.750 pada 27 November 2006, dan terendah Rp3.000,- pada 13 Januari 2006. Harga saham BRI pada empat bulan pertama 2006 cenderung mengalami penguatan, yaitu dari Rp3.025 meningkat menjadi Rp5.050 pada 20 April 2006. Harga saham BRI mulai mengalami penurunan akhir April dan mencapai terendah Rp3.450 pada 8 Juni 2006 dan harga BBRI bergerak pada range sempit Rp3.600 – Rp4.100 sampai dengan akhir Juli 2006. Seiring dengan peningkatan indikator makro ekonomi, sejak awal Agustus 2006 saham BRI secara perlahan mengalami peningkatan dan peningkatan harga saham BRI begitu cepat terjadi pada bulan November 2006 yang mencapai harga tinggi sebesar Rp5.750,- 4.1.6.3.1. Komposisi Kepemilikan Saham Dibanding tahun 2005, jumlah saham BRI mengalami peningkatan yaitu dari 12,04 miliar lembar menjadi 12,86 miliar atau meningkat 6,89%. Hal ini terjadi karena adanya tambahan saham baru yang berasal dari konversi saham program Opsi Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. Pembelian Saham bagi Manajemen atau dikenal dengan Management Stock Option Program (MSOP). Seiring dengan adanya saham baru, terjadi dilusi terhadap kepemilikan saham BRI oleh Pemerintah. Kepemilikikan saham Pemerintah di BRI mengalami penurunan (dilusi), dari 58,16% di akhir tahun 2005 menjadi 56.97% di akhir tahun 2006. Kepemilikan saham BRI oleh investor domestik mengalami penurunan sebesar 9,14%, yaitu dari 632,44 juta lembar menjadi 579,50 juta lembar. Sebaliknya kepemilikan saham oleh invesot asing cenderung mengalami peningkatan, yaitu dari 4,40 miliar lembar menjadi 4,71 miliar lembar atau meningkat 6,90%. Kepemilikan saham BRI oleh publik didominasi oleh kepemilikan investor institusi dibandingkan investir perorangan. 4.1.6.3.2. Managemen Stock Option Program (MSOP) Dalam RUPS Luar Biasa tanggal 3 Oktober 2003 diputuskan bahwa perusahaan akan menyelenggarakan Program MSOP sebanyak 588.235.250 kembar. Program MSOP diberikan dalam 3 tahap, yaiut MSOP I, MSOP II, dan MSOP III. Tata cara pelaksanaan MSOP I dan MSOP II mengacu pada peraturan Bapepam dan BEJ terdahulu sedangkan MSOP III mengacu pada Peraturan Bapepam No. IX.D.4 dan Peraturan Pencatatan Efek No.1-A Lamp Keputusan Direksi BEJ No. Kep305/BEJ/07-2004. Masing-masing MSOP mempunyai vesting period selama 1 tahun. Waktu pelaksanaan MSOP I dan II dilaksanakan kapan saha setelah vesting period berakhir selama MSOP tersebut belum jatuh tempo. Saham MSOP yang telah di-excercise sampai dengan akhir Desember 2006 adalah sebagai berikut: • MSOP I sebanyak 229,72 juta lembar • MSOP II sebanyak 215,52 juta lembar • MSOP III sebanyak 56,48 juta lembar 4.1.6.3.3. Kebijakan Deviden Dalam RUPS Tahunan 2006, deviden tunai tahun buku 2006 ditetapkan sebesar Rp1,90 triliun atau Rp156,18 per saham yang telah dibayarkan kepada pemegang saham pada tanggal 10 Juli 2006. Dibandingkan dengan tahun buku 2005, jumlah deviden tunai yang dibayarkan tersebut mengalami kenaikan Rp3,26 atau 2,13% deviden tunai tahun buku 2005 yang sebesar Rp152,93 per lembar. Rasio pembayaran deviden tunai (deviden pay out ratio) tahun buku 2006 sebesar 50% dari laba bersih. Hal ini sesuai dengan rencana Manajemen BRI yang akan mempertahankan rasio pembayaran deviden sebesar kurang lebih 50% dari laba bersih setiap tahunnya, tergantung pada kinerja dan kondisi keuangan perusahaan, dan sepanjang memperoleh persetujuan dari RUPS. Manaejemen BRI berencana membagi deviden tunai tahun buku 2006 setelah memperoleh persetujuan RUPS tahun 2006. Deviden yang telah dibayarkan oleh BRI selama periode 2002 s.d 2005 dapat dilihat dari tabel 4.11. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. Komposisi deviden tunai tahun 2003 lebih kecil dari sebelumnya, karena diadakan kuasi reorganisasi dimana laba semester I tahun tersebut dikapitalisasi menjadi modal. Tabel 4.11 Komposisi Deviden BRI Terhadap Laba Bersi Periode Tahun 2002 s.d 2005 Tahun 2002 2003 2004 2005 Laba Bersih (Rp Miliar) 1.525 2.502 3.633 3.808 Dividen (Rp Miliar) 762,47 990,47 1.816,62 1.904,29 Komposisi (%) 50,00% 39,59% 50,00% 50,00% Sumber: Laporan Tahunan PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) Tahun 2006 4.1.6.4 Kinerja Sham BRI 2007 Pada awal tahun 2007, harga saham BRI dibuka pada Rp5.150,- dan ditutup menguat menjadi Rp7.400,- pada akhir Desember 2007. Return yang diberikan saham BRI secara nominal lebih besar dibandingkan dengan saham blue chips perbankan. Kinerja saham blue chips perbankan dapat dilihat pada tabel 4.12: Harga Saham Blue Chips Perbankan di Indonesia Tahun 2007. Sepanjang tahun 2007 harga saham BRI bergerak fluktuatif. Kenaikan harga saham sempat mencapai harga tertinggi Rp8.700 pada perdangangan tanggal 1 November 2007 dan terendah Rp4.400,- pada perdagangan tanggal 28 Februari 2007. Pada tiap kuartal perdangan saham BRI mengalami peningkatan meskipun pada pertengan tahun Bursa Saham Indonesia sempat terkoreksi akibat damapak perekonomian Amerika. Tetapi dengan peningkatan indikator makro ekonomni dan kuatnya faktor fundamental, saham BRI manguat dan ditutup pada harga Rp7.400 dengan return perdagangan selama setahun sebesar 43,69%. Tabel 4.12 Harga Saham Blue Chips Perbankan di Indonesia Tahun 2007 Saham BBRI BMRI BBCA BBNI BDMN Pembukaan Tertinggi Terendah Penutupan 5.150 2.900 5.200 1.870 6.750 8.700 4.050 7.600 2.900 9.150 4.400 2.180 4.600 1.640 5.200 7.400 3.500 7.300 1.970 8.000 Return Rp 2.250 600 2.100 100 1.250 % 43,69% 20,69% 40,38% 5,35% 18,52% Sumber: Laporan Tahunan PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) Tahun 2007 4.1.6.4.1. Komposisi Kepemilikan Saham Dibanding tahun 2006, jumlah saham BRI mengalami peningkatan yaitu dari 12,28 miliar lembar menjadi 12,31 miliar lembar atau meningkat sebesar 0,26%. Hal ini terjadi karena adanya tambahan saham baru yang bersal dari konversi saham program Opsi Pembelian Saham bagi Manajemen atau dikenal dengan sebutan Management Stock Option Program (MSOP). Seiring dengan adanya saham baru, terjadi dilusi kepemilikan saham BRI oleh Pemerintah, dari 56,97% di akhir tahun 2006 menjadi 56,83% di akhir tahun 2007. Kepemilikan saham BRI oleh investor domestik meningkat sebesar 31,58%, yaitu dari 579,50 juta lembar menjadi 762,53 juta lembar. Sebaliknya kepemilikan oleh investor asing cenderung mengalami penurunan, yaitu dari 4,71 miliar lembar menjado 4.56 miliar lembar atau turn 3,22%. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. 4.1.6.4.2. Management Stock Option Program (MSOP) Dalam RUPS Luar Biasa tanggal 3 Oktober 2003 dipututskan bahwa perusahaan akan menyelenggarakan Program Opsi Pembelian Saham bagi Manajemen atau Management Stock Option Program (MSOP). Dalam MSOP, jumlah saham yang diterbitkan adalah sebanya 588.235.250, dengan tahapan yang sama dengan tahapan yang dilakukan pada laporan tahunan sebelumnya. 4.1.6.4.3. Kebijakan Deviden Dalam RUPS Tahunan 2007, jumlah deviden tunai yang dibayarkan untuk tahun buku 2007 ditetapkan sebesar Rp1.986,26 miliar atau Rp173,04 per lembar saham dan telah dibayarkan kepada pemegang saham pada tanggal 2 Juli 2007. Jumlah deviden tunai yang dibayarkan tersebut mengalami kenaikan dari Rp16,86 atau 10,80% dari deviden tunai tahun buku 2005 yang sebesar Rp156,18. Rasio pembayaran deviden tunai (deviden pay out raio) tahun buku 2006 sebesar 50% dari laba bersih. Hal ini sesuai dengan rencara Manajemen BRI yang akan mempertahankan rasio pembayaran deviden sebesar kurang lebih 50% dari laba bersih setiap tahunnya, tergantung pada kinerja dan kondis keuangan perusahaam dan sepanjang memperoleh persetujuan dari RUPS. 4.2. Pembahasan Dalam upaya pembuktian hipotesis yang telah dibuat pada sebuah penelitian maka harus dilakukan analisis terhadap data-data yang telah dikumpulkan. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian juga harus tepat agar diperoleh hasil analisis yang sesuai dengan tujuan penelitian. Seperti yang telah disampaikan pada perumusan masalah dalam penelitian ini bahwa tujuan dilakukan analisis ini untuk mengetahui hubungan antara variabelvariabel bebas yang digunakan (Inflasi, Kurs, Investasi, dan Suku Bunga SBI) dengan variabel terikatnya (Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham) yang dilengkapi dengan ukuran nilai pengaruh masing-masing variabel yang diteliti. Dalam penelitian ini digunakan bantuan software komputer untuk membantu melakukan penghitunga-penghitungan sesuai dengan teknik ekonometrika yang telah dipilih. Hal penting yang harus dikuasai dalam pemanfaatan software komputer dalam analisis data adalah cara yang benar dalam mengoperasikan fungsi-fungisi yang disediakan software agar dapat menjalankan proses data sesuai dengan tujuan dan maksud penelitian. Hal penting lainnya adalah pemahaman peneliti atas hasil pengolahan yang telah dilakukan sehingga peneliti mampu menginterpretasikannya dengan benar. Adapun langkah pengeerjaan analisis data dimulai dengan proses input data kemudian menentukan fungsi pengolahan dan menampilkan output hasil pengolahan. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. 4.2.1. Analisis Regresi Linier Berganda untuk Variabel Harga Saham (Y1) 4.2.1.1. Deskriptif Data Penelitian Deskriptif data penelitian merupakan ukuran-ukuran statistik dari variabel penelitian yaitu rata-rata (Mean), standar defiasi (Std. Deviation), dan jumlah observasi (N). Besarnya ukuran statistik untu masing-masing variabel dapat di lihat pada tabel di bawah ini: Tabel 4.13 Descriptive Statistics Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1) Harga Saham (Y1) Inflasi (X1) Kurs (X2) Investasi (X3) Suku Bunga SBI (X4) Mean 3814.58 9.0490 9260.23 24475.1229 9.2654 Std. Deviation 1769.615 4.34436 400.863 21879.35820 1.95747 N 48 48 48 48 48 Sumber: Pengolahan data dengan SPSS 15.0 4.2.1.2. Koefisien Regresi Berdasarkan tabel Coefficients yang ditampilkan di bawah ini dapat dilihat bahwa konstanta model persamaan yang dibuat adalah -1767,675 sedangkan koefisen regresi untuk masing masing variabel bebasnya adalah sebagai berikut: Inflasi (X1) = -225,621 Kurs (X2) = 0,187 Investasi (X3) = 0,030 Suku Bunga SBI (X4) = 555,341 Tabel 4.14 Coefficientsa Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1) Unstandardized Coefficients B Std. Error -1767.675 5943.492 Inflasi (X1) -225.621 127.525 Kurs (X2) .187 Model 1 (Constant) Investasi (X3) Suku Bunga SBI (X4) Standardized Coefficients t Sig. Beta 95% Confidence Interval for B Lower Bound Upper Bound Collinearity Statistics Correlations Zeroorder Partial Part Toleran ce VIF -.297 .768 -13753.869 10218.518 -.554 -1.769 .084 -482.799 31.558 -.054 -.260 -.221 .159 6.292 .604 .042 .310 .758 -1.032 1.406 -.061 .047 .039 .831 1.203 .030 .012 .377 2.632 .012 .007 .054 .514 .373 .329 .760 1.316 555.341 271.467 .614 2.046 .047 7.876 1102.806 .178 .298 .255 .173 5.789 a Dependent Variable: Harga Saham (Y1) Sumber: Pengolahan data dengan SPSS 15.0 Dari hasil tersebut maka dapat dibuat kedalam persamaan regresi sesuai dengan model, sebagai berikut: Y = -1767,675 - 225,621 X1 + 0,187 X2 + 0,030 X3 + 555,341 X4 Berdasarkan persamaan diatas dapat diartikan bahwa apabila inflasi naik sebesar 1 point akan mengakibatkan penurunan Harga Saham sebesar 225,621 rupiah; apabila terjadi penigkatan nilai kurs sebesar 1 rupiah akan mengakibatkan kenaikan harga saham sebesar 0,187 rupiah; apabila terjadi penambahan investasi sebesar 1 miliar rupiah maka akan mengakibatkan kenaikan harga saham sebesar 30 rupiah; dan apabila terjadi kenaikan nilai suku bunga SBI sebesar 1 point maka akan mengakibatkan kenaikan harga saham sebesar 555,341 rupiah. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. 4.2.1.3. Uji Kesesuaian 4.2.1.3.1. Koefisien Determinasi (R2) Berdasarkan pengolahan data didapat nilai R2 (pada kolom R Square) sebesar 0,330, menunjukkan bahwa variasi antara variabel Harga Saham dengan variasi variabel bebasnya secara bersaman-sama hanya bisa dijelaskan sebesar 33%. Sedangkan sisanya (100%-33% = 67%) dijelaskan oleh sebab-sebab atau variabel yang lain yang tidak dimasukkan dalam persamaan ini. Tabel 4.15 Model Summaryb Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1) Model R R Square 1 .575a .330 Adjusted R Square .268 Std. Error of the Estimate 1514.150 a Predictors: (Constant), Suku Bunga SBI (X4), Investasi (X3), Kurs (X2), Inflasi (X1) b Dependent Variable: Harga Saham (Y1) Sumber: Pengolahan data dengan SPSS 15.0 4.2.1.3.2. Uji F Uji F-statistik ini dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel terikat. Pengujian ini dilakukan untuk membandingkan nilai F-statistik dengan nilai F-tabel pada tingkat kepercayaan tertentu (α) secara bersama-sama mempengaruhi variabel terikat. Nilai F-statistik penghitungan dengan SPPS ditampilak pada tabel ANOVA adalah sebesar 5,299. Tabel 4.16 ANOVAb Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1) Model 1 Sum of Squares df Mean Square F Regression 48598327.002 Residual 98583964.665 Total 147182291.667 4 43 47 12149581.750 2292650.341 5.299 Sig. a .001 a Predictors: (Constant), Suku Bunga SBI (X4), Investasi (X3), Kurs (X2), Inflasi (X1) b Dependent Variable: Harga Saham (Y1) Sumber: Pengolahan data dengan SPSS 15.0 Untuk F-tabel yang diperoleh adalah sebesar 2,59 pada derajat kebebasan dk = (4;43), dengan α = 5 %. N1 = k = 4 N2 = n – k – 1 = 48 – 4 – 1 = 43 Untuk pengujian ini digunakan hipotesis sebagai berikut: Ho : b1 = b2 = b3 = b4 = 0 Ha : b1 ≠ b2 ≠ b3 ≠ b4 ≠ 0 Kriteria pengambilan keputusan: Terima Ho jika : F-statistik < F-tabel Terima Ha jika : F-statistik > F-tabel Hasil yang diperoleh adalah F-statistik > F-tabel (5,299 > 2,61) pada α = 5 % Keputusan : Tolak Ho, karena F-statistik > F-tabel dengan tingkat α = 5 % Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. Artinya variasi dari Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga SBI secara keseluruhan berpengaruh terhadap Harga Saham BRI. 4.2.1.3.3. Uji-t Jika diteliti secara bersama-sama melui uji F menunjukkan bahwa variabelvariabel bebas yang digunakan dalam penelitian mempunyai pengaruh terhadap Harga Saham BRI. Namun untuk lebih memperdalam analisis maka perlu dilakukan uji-t untuk mengetahui variabel bebas apa saja yang mempunyai hubungan yang paling erat terhadap variabel Harga Saham tersebut. Dalam uji-t ini dibuat tingkat α 5%, namun dilakukan juga pengamatan dengan tingkat α yang lebih besar untuk mengetahui tingkat signifikan t-statistik yang diperoleh tersebut. Dalam melalukan uji-t, kita dapat menggunakan tabel Coeficient yang telah diolah oleh SPSS. Dari tabel Coeficient yang merupakan hasil pengolahan SPSS dapat kita lihat nilai uji-t masing-masing variabel, sebagai berikut: a. Uji-t untuk variabel Inflasi Dari hasil penghitungan SPSS yang ditampilkan pada tabel Coeficient maka dapat dilihat t-statistik Inflasi adalah sebesar -1.769. Dengan demikian apabila dibandingkan dengan t-tabel pada α 5%, maka t-statistik < t-tabel yaitu |1.769| < 2.022. Namun apabila dilihat pada tingkat α 10% maka t-hitung > ttabel yaitu |-1.769| > 1,685. Hal ini dapat diartikan bahwa pada penelitian dengan tingkat α 5% maka Inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap Harga Saham. b. Uji-t untuk variabel Kurs Dari hasil penghitungan SPSS yang ditampilkan pada tabel Coeficient maka dapat dilihat t-statistik Kurs adalah sebesar 0,310. Dengan demikian apabila dibandingka dengan t-tabel pada α 5% maka, t-statistik < t-tabel yaitu 0,310 < 2.022. Hal ini dapat diartikan bahwa Kurs tidak berpengaruh terhadap Harga Saham, bahkan bila diuji pada tingkat α 50%. c. Uji-t untuk variabel Investasi Dari hasil penghitungan SPSS yang ditampilkan pada tabel Coeficient maka dapat dilihat t-statistik Investasi adalah sebesar 2,632. Dengan demikian apabila dibandingka dengan t-tabel pada α 5% maka, t-statistik > t-tabel yaitu 2,632 > 2.022. Hal ini dapat diartikan bahwa Investasi berpengaruh terhadap Harga Saham. d. Uji-t untuk variabel Suku Bunga SBI Dari hasil penghitungan SPSS yang ditampilkan pada tabel Coeficient maka dapat dilihat t-statistik Suku Bunga SBI adalah sebesar 2,046. Dengan demikian apabila dibandingka dengan t-tabel pada α 5% maka, t-statistik > ttabel yaitu 2,044 > 2.022. Hal ini dapat diartikan bahwa Suku Bunga SBI berpengaruh terhadap Harga Saham. Dari beberapa uji-t di atas dapat diketahui bahwa variabel yang paling berpengaruh terhadap Harga Saham adalah Investasi, sedangkan variabel yang pengaruhnya paling lemah adalah Kurs. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. 4.2.1.4. Uji Asumsi Klasik Dari hasil R2 yang diperoleh tidak terlalu tinggi yaitu sebesar 0,330. Sedangkan Uji F yang diperoleh cukup signifikan pada α 5% yaitu sebesar 5,299. Dari hasil tersebut dikhawatirkan terdapat pemnyimpangan asumsi klasik dalam persamaan. Untuk medeteksi hal tersebut maka dilakukan uji penyimpangan asumsi kalsik terhadap persamaan yang dibuat. 4.2.1.4.1. Uji Multikoleniaritas Multikolineritas adalah tidak adanya hubungan hubungan linear antar variabel bebas dalam suatu model regresi. Suatu model regresi dikatakan terkena multikolinearitas bila terjadi hubungan linear yang sempurna atau pasti di antara beberapa atau semua varibel bebas dari suatu model regresi. Berdasarkan ouput yang diperoleh dengan SPSS dapat dilihat bahwa R2 tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah yaitu 33% dan berada di bawah 85%, dan Uji-F juga signifikan. Maka dikhawatirkan regresi yang dibuat mengalami multikolinearitas. Untuk itu perlu dilakukan uji untuk mendeteksi keberadaan multikolinearitas. Dalam program SPSS terdapat ukuran untuk menguji Multikolinearitas yaitu nilai VIF yang ditampilakan pada ouptut. Jika variabel bebas tidak berkorelasi maka nilai VIF = 1, sebaliknya bahwa terdapat korelasi bila nilai VIF > 1. Tabel 4.17 Coefficientsa Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1) Model 1 Inflasi (X1) Kurs (X2) Investasi (X3) Suku Bunga SBI (X4) Collinearity Statistics Tolerance VIF .159 6.292 .831 1.203 .760 1.316 .173 5.789 a Dependent Variable: Harga Saham (Y1) Sumber: Pengolahan data dengan SPSS 15.0 Dari output tabel Coefficient di atas dapat kita lihat VIF masing-masing variabel, sebagai berikut: • Variabel Inflasi nilai VIF sebesar 6,292 • Variabel Kurs nilai VIF-nya sebesar 1,203 • Variabel Investasi nilai VIF-nya sebesar 1,316 • Variabel Suku Bunga SBI nilai VIF-nya sebesar 5,789 Jika dibandingkan dengan ketentuan standar VIF maka besar nilai VIF dari masing-masing variabel lebih besar dari 1. Hal ini berarti bahwa terdapat multikolinearitas pada model regresi yang dibuat. 4.2.1.4.2. Uji Heteroskedasitas Heteroskedastisitas adalah keadaan dimana faktor gangguan tidak memiliki varian yang sama. Pengujian terhadap gejala heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melakukan metode grafik dan uji White Test. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. Regression Studentized Deleted (Press) Residual 4 3 2 1 0 -1 -2 -2 -1 0 1 2 3 Regression Standardized Predicted Value Sumber: Pengolahan data dengan SPSS 15.0 Gambar 4.7: Grafik Scatter Plot Variabel Bebas Terhadap Variabel Harga Saham a. Grafik Scatter (Scatterplot) Metode grafik yaitu pengamatan terhadap ploting data variabel-variabel bebas terhadap variabel terikat pada diagram skater (Scatterplot). Data yang tidak heteroskedasitas akan ditunjukan pada letak sebaran plot yang tidak mempunyai pola tertentu atau teratur yang juga ditunjukkan dengan plot yang menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, jika sebaliknya maka model regresi mengandung heteroskedasitas. Bila dilihat dari scatterplot yang dihasilkan dalam pengolahan SPSS pada gambar 4.7: Grafik Scatter Plot Variabel Bebas Terhadap Variabel Harga Saham, maka tidak terlihat adanya pola yang terbentuk, dengan demikian dapat diartikan bahwa model regresi yang telah dibuat dalam penelitian ini tidak heteroskedasitas. b. Uji White Test Pedoman Uji White Test adalah membandingkan nilai X2-hitung terhadap X2 tabel distribusi X2, regresi yang bebas dari heteroskedasitas apabilan nilai X2-hitung lebih kecil dari X2 tabel. X2-hitung diperoleh dari perkalian jumlah data terhadap R2, yaitu 48 x 0.330 = 15,84. Bila dilihat dari tabel distribusi X2 dengan α 5% adalah sebesar 56,93, dengan demikian X2-hitung < X2 tabel (15,84 < 76,95). Dengan demikian dapat diartikan bahwa regresi yang dibuat bebas dari heteroskedasitas. Tabel 4.18: Uji Heteroskedasitas dengan White Test White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared 1.173337 9.311683 Probability Probability 0.339488 0.316689 Sumber: Pengolahan data dengan EViews 4.1 Dalam program SPSS uji White Test tidak tersedia, uji ini dapat dilakukan dalam software Eviews. Tabel di atas merupakan hasil output uji White Test dengan program Eviews. Untuk mengetahui hasil uji White pada Eviews dilakukan dengan membandingkan nilai Observasi R-Square terhadap probabilitasnya. Jika nilai Observasi R-Square lebih besar dibandingkan dengan nilai probabilitasnya maka persamaan regresi dinyatakan bebas dari heteroskedasitas, dan sebaliknya. Dari tabel Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. 4.18: Uji Heteroskedasitas dengan White Test, dapat dilihat bahwa nilai Obs*Rsquared lebih besar dari nilai probabilitasnya, hal ini berarti bahwa persamaan model regresi yang dibuat bebas dari heteroskedasitas. 4.2.1.4.3. Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi (hubungan) yang terjadi antara anggota-anggota dari serangkaian pengamatan yang tersusun dalam rangkain waktu (time series). Autokorelasi ini menunjukan hubungan antara nilai-nilai yang berurutan dari variabel-variabel yang sama. Untuk mendeteksi autokorelasi pada program SPSS dapap dilakukan dengan membandingkan hasil D-W hitung yang ditampilakan pada tabel model summary dengan ketentuan umum D-W kategori ukuran di bawah ini: • Angka D-W di bawah -2 berarti ada aoutokorelasi positif. • Angka D-W di antara -2 sampai +2, berarti tidak ada autokorelasi. • Angka D-W di atas +2 berarti ada auto korelasi negatif. Dari tabel 4.19: Model Summaryb D-W Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1), dapat dilihat bahwa nilai D-W sebesar 0,429. Hal ini berarti bahwa persamaan model regresi yang dibuat tidak mengandung autokorelasi. Hal ini dapat dilaihat pada nilai D-W hitung yang berada pada kategori antara -2 samapi +2. Tabel 4.19 Model Summaryb D-W Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1) Model 1 R .575a R Square .330 Adjusted R Square .268 Std. Error of the Estimate 1514.150 DurbinWatson .429 a Predictors: (Constant), Suku Bunga SBI (X4), Investasi (X3), Kurs (X2), Inflasi (X1) b Dependent Variable: Harga Saham (Y1) Sumber: Pengolahan data dengan SPSS 15.0 4.2.1.5 Interpretasi Model Penelitian Harga Saham (Y1) Dari beberapa uji yang telah dilakukan terhadap hasil penghitungan statistik dengan bantuan program SPSS terhadap model regresi Harga Saham dapat disimpulkan bahwa persamaan model regresi yang dibuat untuk variabel tersebut secara umum dapat digunakan dalam penelitian. Hal ini dapat dilihat dari nilai uji F sebesar 5,299 yang lebih besar dibandingkan dengan t-tabel 2,61dengan tingkat α 5%. Koefisien determinasi persamaan (R2) yang diperoleh adalah sebesar 0,330 yang berarti bahwa variabel-variabel bebas yang digunakan dalam analisis hanya dapat menerangkan variabel terikatnya sebesar 33%, sedangkan sisanya (67%) dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam analisis. Adapun variabel yang berpengaruh dalam analisis ini adalah variabel Investasi dan Suku Bunga SBI. Dalam uji-t dapat dilihat bahwa t-statistik untuk variabel Investasi yang diperoleh sebesar 2.632 yang diikuti oleh varibel Suku Bunga SBI sebesar 2.046. Kedua variabel tersebut secara signifikan berpengaruh terhadap Harga Saham dengan tingkat α 5%. Variabel bebas yang tidak berpengaruh signifikan terhadap Harga Saham adalah variabel Inflasi dan Kurs. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji-t pada dua variabel Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. tersebut menunjukkan nilai t-statistik Inflasi sebesar |-1.769| dan nilai t-statistik Kurs sebesar 0,310. Kedua variabel tersebut tidak signifikan pada tingkat α 5%. Namun jiga dibandingan dengan t-tabel dengan tingkat α 10% maka variabel Inflasi masih berpengaruh signifikan terhadap Harga Saham. Pada uji penyimpangan asumsi klasik ditemukan multikolinearitas pada model persamaan yang digunakan yang ditunjukkan dengan besar VIF hitung lebih dari 1, sedangkan pada uji penyimpangan asumsi klasik heteroskedasitas dan autokorelasi tidak ditemukan penyimpangan. 4.2.2. Analisis Regresi Linier Berganda untuk Volume Perdagangan Saham (Y2) 4.2.2.1. Deskriptif Data Penelitian Tabel 4.20 Descriptive Statistics Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2) Inflasi (X1) Kurs (X2) Investasi (X3) Suku Bunga SBI (X4) Harga Saham (Y1) Volume Perdagangan Saham (Y2) Valid N (listwise) N Mean 48 48 48 48 48 48 48 9.0490 9260.23 24475.1229 9.2654 3814.58 453826.46 Std. Deviation 4.34436 400.863 21879.35820 1.95747 1769.615 181163.173 Sumber: Pengolahan data dengan SPSS 15.0 Deskriptif data penelitian merupakan ukuran-ukuran statistik dari variabel penelitian yaitu rata-rata (Mean), standar defiasi (Std. Deviation), dan jumlah observasi (N). Dalam analisis kedua ini digunakan variabel-variabel bebas sebanyak lima variabel yang didalamnya termasuk juga variabel harga saham yang pada awalnya merupakan variabel terikat pada saat digunakan dalam analisis regresi pertama. Besarnya ukuran statistik untu masing-masing variabel dapat di lihat pada tabel 4.20: 4.2.2.2. Koefisien Regresi Berdasarkan tabel Coefficients yang ditampilkan di bawah ini dapat dilihat bahwa konstanta model persamaan yang dibuat adalah 280456,464 sedangkan koefisen regresi untuk masing masing variabel bebasnya adalah sebagai berikut: Inflasi (X1) = -21328,308 Kurs (X2) = 23,218 Investasi (X3) = -2,127 Suku Bunga SBI (X4) = 38788,724 Harga Saham (Y1) = -40,887 Tabel 4.21 Coefficientsa Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2) Unstandardized Coefficients Model 1 (Constant) B Std. Error 280456.464 651804.390 Inflasi (X1) -21328.308 14470.490 Kurs (X2) 23.218 66.290 -2.127 Investasi (X3) Suku Bunga SBI (X4) Harga Saham (Y1) Standardized Coefficients 95% Confidence Interval for B t Sig. Beta Lower Bound Upper Bound Correlations Zeroorder Partial Part Collinearity Statistics Toleran VIF ce .430 .669 -1034938.049 1595850.977 -.511 -1.474 .148 -50530.939 7874.323 -.070 -.222 -.197 .148 6.750 .051 .350 .728 -110.560 156.996 .006 .054 .047 .829 1.206 1.367 -.257 -1.556 .127 -4.886 .631 -.352 -.233 -.208 .655 1.528 38788.724 31153.968 .419 1.245 .220 -24082.530 101659.977 -.116 .189 .166 .157 6.352 -40.887 16.707 -.399 -2.447 .019 -74.603 -7.171 -.433 -.353 -.327 .670 1.493 a Dependent Variable: Volume Perdagangan Saham (Y2) Sumber: Pengolahan data dengan SPSS 15.0 Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. Dari hasil tersebut maka dapat dibuat kedalam persamaan regresi sesuai dengan model, sebagai berikut: Y = 280456,464 – 21328.308 X1 + 23,218 X2 – 2,127 X3 + 38788,724 X4 – 40,887 Y1 Berdasarkan persamaan diatas dapat diartikan bahwa apabila inflasi naik sebesar 1 point akan mengakibatkan penurunan volume perdagangan sebesar 21328.308 lembar; apabila terjadi penigkatan nilai kurs sebesar 1 rupiah akan mengakibatkan kenaikan volume perdagangan sebesar 23,218 lembar; apabila terjadi penambahan investasi sebesar 1 miliar rupiah maka akan mengakibatkan kenaikan volume perdagangan sebesar 2,127 lembar; apabila terjadi kenaikan nilai suku bunga SBI sebesar 1 point maka akan mengakibatkan kenaikan volume perdagangan sebesar 38788,724 lembar; dan apabila terjadi kenaikan harga saham sebesar 1 rupiah maka akan mengakibatkan penuruan volume perdagangan sebesar 40,887 lembar. 4.2.2.3. Uji Kesesuaian 4.2.2.3.1. Koefisien Determinasi (R2) Tabel 4.22 Model Summaryb Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2) Model 1 R a .501 R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate .251 .162 165881.628 a Predictors: (Constant), Harga Saham (Y1), Inflasi (X1), Kurs (X2), Investasi (X3), Suku Bunga SBI (X4) b Dependent Variable: Volume Perdagangan Saham (Y2) Sumber: Pengolahan data dengan SPSS 15.0 Berdasarkan pengolahan data dapat kita lihat nilai R2 (pada kolom R Square) sebesar 0,251 menunjukkan bahwa variasi antara variabel Volume Perdagangan Saham dengan variasi variabel-variabel bebasnya secara bersaman-sama hanya bisa dijelaskan sebesar 25,1%. Sedangkan sisanya (100% - 25,1% = 74,9%) dijelaskan oleh sebab-sebab atau variabel lain yang tidak dimasukkan dalam persamaan ini. 4.2.2.3.2. Uji F Uji F-statistik ini dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel terikat. Pengujian ini dilakukan untuk membandingkan nilai F-statistik dengan nilai F-tabel pada tingkat kepercayaan tertentu (α) secara bersama-sama mempengaruhi variabel terikat. Nilai F-statistik penghitungan dengan SPPS ditampilak pada tabel ANOVA adalah sebesar 2,812. Tabel 4.23 ANOVAb Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2) Model 1 Regression Residual Total Sum of Squares df 386842463827.052 1155702006070.865 1542544469897.917 5 42 47 Mean Square F 77368492765.410 2.812 27516714430.259 Sig. a .028 a Predictors: (Constant), Harga Saham (Y1), Inflasi (X1), Kurs (X2), Investasi (X3), Suku Bunga SBI (X4) b Dependent Variable: Volume Perdagangan Saham (Y2) Sumber: Pengolahan data dengan SPSS 15.0 Untuk F-tabel yang diperoleh adalah sebesar 2,812 pada derajat kebebasan dk = (5;42), dengan α = 5 %. Hasil yang diperoleh adalah F-statistik > F-tabel (2,821 > 2,442) pada α = 5 %. Kita tolak H0 yang berisi pernyataan bahwa tidak terdapat pengaruh secara bersama-sama antara variabel-variabel bebas terhadap variabel terikat dalam model persamaan ini. Dengan demikian maka kita terima H1 yang Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. menyatakan bahwa variasi dari Inflasi, Kurs, Investasi, Suku Bunga SBI dan Harga Saham secara bersama-sama berpengaruh terhadap Volume Perdagangan Saham BRI. 4.2.2.3.3. Uji-t Untuk lebih memperdalam analisis maka perlu dilakukan uji-t untuk mengetahui variabel bebas apa saja yang mempunyai hubungan yang paling erat terhadap variabel Harga Saham tersebut. Dalam uji-t ini digunakan tingkat α 5%, namun dilakukan juga pengamatan dengan tingkat α yang lebih besar untuk mengetahui tingkat signifikan t-statistik yang diperoleh tersebut. Dalam melalukan uji-t, kita dapat menggunakan tabel Coeficient yang telah diolah oleh SPSS. Dari tabel Coeficient yang merupakan hasil pengolahan SPSS dapat kita lihat nilai uji-t masing-masing variabel, sebagai berikut: a. Uji-t untuk variabel Inflasi Dari hasil penghitungan SPSS yang ditampilkan pada tabel Coeficient maka dapat dilihat t-statistik Inflasi adalah sebesar -1,474. Dengan demikian apabila dibandingkan dengan t-tabel pada α 5% dan dk = (42) adalah 2,019, maka tstatistik < t-tabel yaitu |-1,474| < 2,019. Namun apabila dilihat pada tingkat α 20% maka t-hitung > t-tabel yaitu |-1,474| > 1,303. Hal ini dapat diartikan bahwa pada penelitian dengan tingkat α 5% maka Inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap Volume Perdagangan Saham. b. Uji-t untuk variabel Kurs Dari hasil penghitungan SPSS yang ditampilkan pada tabel Coeficient maka dapat dilihat t-statistik Kurs adalah sebesar 0,350. Dengan demikian apabila dibandingka dengan t-tabel pada α 5% maka, t-statistik < t-tabel yaitu 0,350 < 2,019. Hal ini dapat diartikan bahwa Kurs tidak berpengaruh terhadap Voluem Perdagangan Saham, bahkan bila diuji pada tingkat α 50%. c. Uji-t untuk variabel Investasi Dari hasil penghitungan SPSS yang ditampilkan pada tabel Coeficient maka dapat dilihat t-statistik Investasi adalah sebesar -1.556. Dengan demikian apabila dibandingka dengan t-tabel pada α 5% maka, t-statistik < t-tabel yaitu |-1.556| < 2.019. Hal ini dapat diartikan bahwa Investasi tidak berpengaruh signifikan pada tingkat α 5% terhadap Volume Perdagangan Saham. d. Uji-t untuk variabel Suku Bunga SBI Dari hasil penghitungan SPSS yang ditampilkan pada tabel Coeficient maka dapat dilihat t-statistik Suku Bunga SBI adalah sebesar 1.245. Dengan demikian apabila dibandingka dengan t-tabel pada α 5% maka, t-statistik < ttabel yaitu 1,245 < 2,019. Hal ini dapat diartikan bahwa Suku Bunga SBI tidak berpengaruh signifikan pada α 5% terhadap Volume Perdagangan Saham. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. e. Uji-t untuk variabel Harga Saham Dari hasil penghitungan SPSS yang ditampilkan pada tabel Coeficient maka dapat dilihat t-statistik Harga Saham adalah sebesar -2.447. Dengan demikian apabila dibandingka dengan t-tabel pada α 5% maka, t-statistik > t-tabel yaitu |-2.447| > 2,019. Hal ini dapat diartikan bahwa Harga Saham berpengaruh signifikan pada α 5% terhadap Volume Perdagangan Saham. Dari beberapa uji-t di atas dapat diketahui bahwa variabel yang paling berpengaruh signifikan pada tingkat α 5% terhadap Volume Perdagangan Saham hanyalah variabel Harga Saham, sedangkan variabel-variabel bebas lainnya tidak berpengaruh secara signifikan pada tingkat α tersebut. Variabel bebas yang pengaruhnya paling lemah adalah Kurs. 4.2.1.4. Uji Asumsi Klasik Untuk menguji ketepatan model regresi yang telah terlah dibuat maka perlu dilakukan uji penyimpangan asumsi klasi sebagai berikut. 4.2.1.4.1. Uji Multikoleniaritas Dalam program SPSS terdapat ukuran untuk menguji Multikolinearitas yaitu nilai VIF yang ditampilakan pada ouptut. Jika variabel bebas tidak berkorelasi maka nilai VIF = 1, sebaliknya bahwa terdapat korelasi bila nilai VIF > 1. Tabel 4.24 Coefficientsa Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2) Model 1 Collinearity Statistics Inflasi (X1) Kurs (X2) Investasi (X3) Suku Bunga SBI (X4) Harga Saham (Y1) Tolerance .148 .829 .655 .157 .670 VIF 6.750 1.206 1.528 6.352 1.493 a Dependent Variable: Volume Perdagangan Saham (Y2) Sumber: Pengolahan data dengan SPSS 15.0 Dari output tabel Coefficient di atas dapat kita lihat VIF masing-masing variabel, sebagai berikut: • Variabel Inflasi nilai VIF sebesar 6.750 • Variabel Kurs nilai VIF-nya sebesar 1,206 • Variabel Investasi nilai VIF-nya sebesar 1,528 • Variabel Suku Bunga SBI nilai VIF-nya sebesar 6,352 • Variabel Harga Saham nilai VIF-nya sebesar 1.493 Jika dibandingkan dengan ketentuan standar VIF maka besar nilai VIF dari masing-masing variabel lebih besar dari 1. Hal ini berarti bahwa terdapat multikolinearitas pada model regresi yang dibuat. 4.2.1.4.2. Uji Heteroskedasitas Heteroskedastisitas adalah keadaan dimana faktor gangguan tidak memiliki varian yang sama. Pengujian terhadap gejala heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melakukan metode grafik dan uji White Test. a. Grafik Scatter (Scatterplot) Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. Metode grafik yaitu pengamatan terhadap ploting data variabel-variabel bebas terhadap variabel terikat pada diagram skater (Scatterplot). Data yang tidak heteroskedasitas akan ditunjukan pada letak sebaran plot yang tidak mempunyai pola tertentu atau teratur yang juga ditunjukkan dengan plot yang menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, jika sebaliknya maka model regresi mengandung heteroskedasitas. Regression Studentized Residual 3 2 1 0 -1 -2 -3 -2 -1 0 1 Regression Standardized Predicted Value Sumber: Pengolahan data dengan SPSS 15.0 Gambar 4.8: Grafik Scatter Plot Variabel Bebas Terhadap Variabel Volume Perdagangan Saham (Y2) 2 Bila dilihat dari scatterplot yang dihasilkan dalam pengolahan SPSS di atas maka tidak terlihat adanya pola yang terbentuk, dengan demikian dapat diartikan bahwa model regresi yang telah dibuat dalam penelitian ini tidak heteroskedasitas. b. Uji White Test Pedoman Uji White Test adalah membandingkan nilai X2-hitung terhadap X2 tabel distribusi X2, regresi yang bebas dari heteroskedasitas apabilan nilai X2-hitung lebih kecil dari X2 tabel. X2-hitung diperoleh dari perkalian jumlah data terhadap R2, yaitu 48 x 0.251 = 12,05. Bila dilihat dari tabel distribusi X2 dengan α 5% adalah sebesar 76,95, dengan demikian X2-hitung < X2 tabel (12,05 < 76,95). Dengan demikian dapat diartikan bahwa regresi yang dibuat bebas dari heteroskedasitas. Berikut merupakan hasil output uji White Test dengan program Eviews. Untuk mengetahui hasil uji White pada Eviews dilakukan dengan membandingkan nilai Observasi R-Square terhadap probabilitasnya. Jika nilai Observasi R-Square lebih besar dibandingkan dengan nilai probabilitasnya maka persamaan regresi dinyatakan bebas dari heteroskedasitas, dan sebaliknya. Tabel 4.25 Uji Hetereoskedasitas dengan White Test Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2) White Heteroskedasticity Test: F-statistic 1.415757 Obs*R-squared 13.28373 Probability Probability 0.211788 0.208238 Sumber: Pengolahan data dengan Eviews 4.1 Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. Dari output di atas dapat dilihat bahwa nilai Obs*R-squared lebih besar dari nilai probabilitasnya, hal ini berarti bahwa persamaan model regresi yang dibuat bebas dari heteroskedasitas. 4.2.1.4.3. Uji Autokorelasi Autokorelasi adalah korelasi (hubungan) yang terjadi antara anggota-anggota dari serangkaian pengamatan yang tersusun dalam rangkain waktu (time series). Autokorelasi ini menunjukan hubungan antara nilai-nilai yang berurutan dari variabel-variabel yang sama. Untuk mendeteksi autokorelasi pada program SPSS dapap dilakukan dengan membandingkan hasil D-W hitung yang ditampilakan pada tabel model summary dengan ketentuan umum D-W kategori ukuran di bawah ini: • Angka D-W di bawah -2 berarti ada aoutokorelasi positif. • Angka D-W di antara -2 sampai +2, berarti tidak ada autokorelasi. • Angka D-W di atas +2 berarti ada auto korelasi negatif. Tabel 4.26 Model Summaryb D-W Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2) Model 1 R .501a R Square .251 Adjusted R Square .162 Std. Error of the Estimate 165881.628 Durbin-Watson 1.433 a Predictors: (Constant), Harga Saham (Y1), Inflasi (X1), Kurs (X2), Investasi (X3), Suku Bunga SBI (X4) b Dependent Variable: Volume Perdagangan Saham (Y2) Sumber: Pengolahan data dengan SPSS 15.0 Dari tabel output di atas dapat dilihat bahwa nilai D-W sebesar 1,433. Hal ini berarti bahwa persamaan model regresi yang dibuat tidak mengandung autokorelasi. Hal ini dapat dilaihat pada nilai D-W hitung yang berada pada kategori antara -2 samapi +2. 4.2.1.5 Interpretasi Model Penelitian Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2) Dari beberapa uji yang telah dilakukan terhadap hasil penghitungan statistik dengan bantuan program SPSS terhadap model regresi Volume Perdagangan Saham dapat disimpulkan bahwa persamaan model regresi yang dibuat untuk variabel tersebut secara umum dapat digunakan dalam penelitian. Hal ini dapat dilihat dari nilai uji F sebesar 2,812 yang lebih besar dibandingkan dengan t-tabel 2,442 dengan tingkat α 5%. Koefisien determinasi persamaan (R2) yang diperoleh adalah sebesar 0,251 yang berarti bahwa variabel-variabel bebas yang digunakan dalam analisis hanya dapat menerangkan variabel terikatnya sebesar 25,1%, sedangkan sisanya (74,9%) dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam analisis. Adapun variabel yang berpengaruh dalam analisis ini adalah variabel Harga Saham. Dalam uji-t dapat dilihat bahwa t-statistik untuk variabel Harga Saham yang diperoleh sebesar |-2,447|. Hanya variabel tersebut saja yang secara signifikan berpengaruh terhadap Volume Perdagangan Saham dengan tingkat α 5%. Variabel bebas yang tidak berpengaruh signifikan terhadap Volume Perdagangan Saham adalah variabel Inflasi, Kurs, Investasi, dan Suku Bungan SBI. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji-t pada variabel-variabel tersebut menunjukkan nilai t-statistik yang lebih kecil dari nilai t-tabel pada tingkat α 5%. Pada uji penyimpangan asumsi klasik ditemukan multikolinearitas pada model persamaan yang digunakan yang ditunjukkan dengan besar VIF hitung lebih dari 1, sedangkan pada uji penyimpangan asumsi klasik heteroskedasitas dan autokorelasi tidak ditemukan penyimpangan. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat dibuat kesimpulan penelitian sebagai berikut. a. Kesimpulan untuk Analisis Model Regresi Harga Saham. 1. Dari analisis yang dilakukan maka diperoleh nilai koefisien masing-masing variabel bebas dan nilai konstanta regresi persamaan model Volime Perdagangan Saham sebagai berikut: Y = -1767,675 - 225,621 X1 + 0,187 X2 + 0,030 X3 + 555,341 X4 Berdasarkan persamaan diatas dapat diartikan bahwa apabila inflasi naik sebesar 1 point akan mengakibatkan penurunan Harga Saham sebesar 225,621 rupiah; apabila terjadi penigkatan nilai kurs sebesar 1 rupiah akan mengakibatkan sebesar 1 miliar rupiah maka akan mengakibatkan kenaikan harga saham sebesar 30 rupiah; dan apabila terjadi kenaikan nilai suku bunga SBI sebesar 1 point maka akan mengakibatkan kenaikan harga saham sebesar 555,341 rupiah. 2. Dari hasil analisis penelitian ini dapat diketahui bahwa Harga Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) secara bersama-sama berhubungan/dipengaruhi oleh variabel-variabel bebas yang digunakan dalam penelitian (Infalasi, Kurs, Investasi, dan Suku Bunga SBI) namun dengan tingkat hubungan yang tidak terlalu kuat. Hal ini ditunjukkan oleh hasil analisis terhadap R2 yang diperoleh Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. 168 yaitu sebesar 0,330 yang berarti bahwa secara keseluruhan variabel-variabel bebas yang digunakan dalam model regresi ini hanya mampu menjelaskan hubungannya terhadap Harga Sahan sebesar 33%, sedangkan sisanya (100%33%=63%) dapat dijelaskan oleh variabel bebas lain yang tidak dimasukkan dalam model. 3. Dalam pengujian model regresi dapat diketahui bahwa variabel-variabel bebas (Inflasi, Kurs, Investasi, dan Suku Bunga SBI) secara keseluruhan berpengaruh signifikan terhadap variabel terikatnya (Harga Saham). Hal ini ditunjukkan dari hasil analisis uji F-statistik yang diperoleh lebih besar dari F-tabel dengan tingkat α 5% (yaitu: 5,299 > 2,61). 4. Variabel-variabel bebas yang secara signifikan berpengaruh terhadap Harga Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) dengan uji-t pada tingkat α 5% adalah Investasi dan Suku Bunga SBI. 7. Variabel Investasi berpengaruh positif terhadap Harga Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk), dan variabel Suku Bungan SBI juga berpengaruh positif terhadap Harga Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk). 8. Variabel bebas yang tidak berpengaruh signifikan terhada Harga Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) adalah variabel Inflasi dan Kurs. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji-t pada dua variabel tersebut menunjukkan nilai t-statistik Inflasi sebesar |-1.769| dan nilai t-statistik Kurs sebesar 0,310. Kedua variabel tersebut tidak signifikan pada tingkat α 5%. Namun jiga dibandingan dengan ttabel dengan tingkat α 10% maka variabel Inflasi masih berpengaruh signifikan terhadap Harga Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk). 9. Pada uji penyimpangan asumsi klasik ditemukan multikolinearitas pada model persamaan yang digunakan yang ditunjukkan dengan besar VIF hitung lebih dari 1, sedangkan pada uji penyimpangan asumsi klasik heteroskedasitas dan autokorelasi tidak ditemukan penyimpangan. b. Kesimpulan untuk Analisis Model Volume Perdagangan Saham. 1. Dari analisis yang dilakukan maka diperoleh nilai koefisien masing-masing variabel bebas dan nilai konstanta regresi persamaan model Volime Perdagangan Saham sebagai berikut: Y = 280456,464 – 21328.308 X1 + 23,218 X2 – 2,127 X3 + 38788,724 X4 – 40,887 Y1 Berdasarkan persamaan diatas dapat diartikan bahwa apabila inflasi naik sebesar 1 point akan mengakibatkan penurunan volume perdagangan sebesar 21328.308 lembar; apabila terjadi penigkatan nilai kurs sebesar 1 rupiah akan mengakibatkan kenaikan volume perdagangan sebesar 23,218 lembar; apabila terjadi penambahan investasi sebesar 1 miliar rupiah maka akan mengakibatkan kenaikan volume perdagangan sebesar 2,127 lembar; apabila terjadi kenaikan nilai suku bunga SBI sebesar 1 point maka akan mengakibatkan kenaikan volume perdagangan sebesar 38788,724 lembar; dan apabila terjadi kenaikan harga saham sebesar 1 rupiah maka akan mengakibatkan penuruan volume perdagangan sebesar 40,887 lembar. 2. Dari hasil analisis penelitian ini dapat diketahui bahwa Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) secara bersama-sama berhubungan/dipengaruhi oleh variabel-variabel bebas yang digunakan dalam Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. penelitian (Infalasi, Kurs, Investasi, Suku Bunga SBI, dan Harga Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk)) namun dengan tingkat hubungan yang tidak terlalu kuat. Hal ini ditunjukkan oleh hasil analisis terhadap R2 yang diperoleh yaitu sebesar 0,251 yang berarti bahwa secara keseluruhan variabel-variabel bebas yang digunakan dalam model regresi ini hanya mampu menjelaskan hubungannya terhadap Volume Perdangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) sebesar 25,1%, sedangkan sisanya (100%-25,1%=74,9%) dapat dijelaskan oleh variabel bebas lain yang tidak dimasukkan dalam model. 3. Dalam pengujian model regresi dapat diketahui bahwa variabel-variabel bebas (Inflasi, Kurs, Investasi, Suku Bunga SBI, dan Harga Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk)) secara keseluruhan berpengaruh signifikan terhadap variabel terikatnya (Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk)). Hal ini ditunjukkan dari hasil analisis uji F-statistik yang diperoleh lebih besar dari Ftabel dengan tingkat α 5% (yaitu: 2,812 > 2,442). 4. Variabel bebas yang secara signifikan berpengaruh terhadap Volume Perdangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) dengan uji-t pada tingkat α 5% adalah Harga Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk). 5. Variabel Harga Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) berpengaruh negatif terhadap Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk). Hal tersebut dapat dilihat dari hasil uji- t variabel tersebut sebesar -2,447, yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan Harga Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) maka akan mengakibatkan penurunan terhadap volume perdagangan saham itu sendiri. 6. Variabel bebas yang tidak berpengaruh signifikan terhadap Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) adalah variabel Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga SBI. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji-t terhadap variabelvariabel tersebut menunjukkan nilai t-statistik (Infalsi -1,474; Kurs 0,350; Investasi -1,556; Suku Bunga SBI 1,245) yang lebih kecil dari t-tabel (2.019). 7. Pada uji penyimpangan asumsi klasik ditemukan multikolinearitas pada model persamaan yang digunakan yang ditunjukkan dengan besar VIF hitung lebih dari 1, sedangkan pada uji penyimpangan asumsi klasik heteroskedasitas dan autokorelasi tidak ditemukan penyimpangan. 5.2. Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah dibuat dan keterbatasan kapasitas penelitian maka dapat disampaikan saran-saran yang relevan terhadap hasil penelitian, sebagai berikut: 1. Nilai R2 yang diperoleh untuk kedua model persamaan dalam penelitian ini tergolong kecil yaitu dibawah 0,5 namun F-hitung masing-masing model persamaan signifikan pada tingkat α 5%. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut dengan mencoba menambahkan variabel bebas lain yang dianggap lebih berpengaruh terhadap harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) dalam penelitian selanjutnya. 2. Jumlah periode data pengamatan yang digunakan dalam penelitian ini diperkiran masih kurang banyak agar diperoleh hasil analisi yang lebih akurat. Untuk itu sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menambah jumlah Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. data periode penelitian untuk masing-masing variabel. Adapun yang menjadi kendala bagi peneliti dalam analisis ini adalah tidak tersedianya data Investasi untuk periode di atas tahun 2007. 3. Variabel bebas Suku Bunga SBI secara signifikan berpengaruh positif terhadap Harga Saham, hal ini dijelaskan dari hasil uji t-statistik variabel Kurs lebih besar dari t-tabel yaitu 2,044 > 2,022 dengan tingkat α 5%. Secara teori semestinya hubungan antara tingkat suku bunga terhadap investasi berbentuk hubungan negatif. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lain yang dikaitkan dengan fenomena yang terjadi antara tingkat suku bunga SBI terhadap kenaikan Harga Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) tersetbut. Mungkin penggunaan variabel suku bunga deposito atau suku bunga lainnya akan lebih sesuai bila digunakan dalam penelitian ini mengingat bahwa jenis perusahaan yang menjadi objek penelitian adalah perusaan yang bergerak disektor perbankan. 4. Jika dikaitkan dengan teori investasi maka seorang investor akan cenderung melakukan investasi dengan deposito yang tingkat resikonya lebih kecil dibanding dengan penanaman modal dengan tingkat resiko yang lebih besar. Dengan melihat hasil analisis hubungan antara suku bungan dan harga saham yang dilakukan dalam penelitian ini dapat terdeteksi bahwa terdapat fenomena khusus yang terjadi atas harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) sehingga membuat investor cenderung lebih memilih investasi saham perusahaan tersebut dibanding investasi dengan deposito. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut atas harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) dengan variabelvariabel yang berasal dari faktor keuangan perusahaan tersebut seperti rasio keuangan dan tingkat pembagian keuntungan yang diberikan oleh perusahan kepada investornya. 5. Pada uji asumsi klasik dalam penelitian ini, ditemukan multikolonearitas pada masing-masing bentuk model persamaan yang digunakan. Untuk itu perlu dilakukan transformasi bentuk data penelitian kedalam bentuk lain yang lebih sesuai. 6. Sebagai bahan perbandingan, sebaiknya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mengganti objek penelitian dengan perusahaan perbankan lainnya dalam periode pengamata yang sama dan variabel-variabel bebas yang sama. Sehingga dari hasil penelitian tersebut diharapkan akan dapat ditemukan bentuk hubungan pengaruh antara variabel-variabel bebas tersebut terhadap harga saham dan volume perdagangan saham perusahan perbankan lain. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. DAFTAR PUSTAKA Abimanyu, Yoopi. 2004. “Memahami Kurs Valuta Asing”. Jakarta: Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Arief, Sritua. 1993. “Metodologi Penelitian Ekonomi”. Jakarta: Universitas Indonesia. Bodie, Zvi, Alex Kane, Alan J. Marcus, (Terjemaahan: Investment). 2006. “Investasi”. Buku Satu dan Dua, Edisi Enam, Jakarta: Salemba Emapat. Boediono. 1990. “Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 5: Ekonomi Moneter”. Edisi Ketiga. Yogyakarta: BPFE. Darmadji, Tjiptono dan Hendy M. Fakhruddin. 2001. “Pasar Modal di Indonesia: Pendekatan Tanya Jawab”. Edisi Pertama, Jakarta: Salemba Empat. Gujarati, Damodar. 1995. “Ekonometrika Dasar” (Terjemaahan: Basic Econometric). Jakarta: Erlangga. Harianto, Farid, Siswanto Sudomo. 1998. “Perangkat dan Teknik Analisis Investasi di Pasar Modal Indonesia”, Edisi Pertama, Jakarta: PT. Bursa Efek Jakarta. Hasan, Iqbal. 2002. “Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya”. Jakarta: Ghalia Indonesia. Nachrowi, Djalal Nachrowi, Hardius Usman. 2006. “Pendekatan Populer dan Praktis EKONOMETRIKA untuk Analisis Ekonomi Dan Keuangan”, Jakarta, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 175 Rahardja, Prathama dan Mandala Manurung. 2004. “Teori Ekonomi Makro; Suatu Pengantar”. Edisi Kedua, Jakarta: LPFEUI. Samsul, Mohamad. 2006. “Pasar Modal dan Manajemen Portofolio”. Jakarta: Penerbit Erlangga. Santoso, Singgih. 2001. “Buku Latihan SPSS Statistik Parametris.”. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Sharpe, William F. 1997. Investasi/William F. Sharpe, Gordon J. Alexander Jefrey V. Bailey; ahli bahasa, Henry Njoolingatik, Agustiono, Jilid 2 1997 dan Jilid 1 (revisi) 1999, Jakarta: Prenhallindo. Sugiyono. 2008. “Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D”. Bandung: ALFABETA. Sugiyono, Eri Wibowo. 2001. “Statistika Penelitian dan Aplikasinya dengan SPSS 10.0 for Windows”. Bandung: ALFABETA. Sumodiningrat, Gunawan. 2001. “Ekonometrika Pengantar”. Yogyakarta: BPFE. Suparmoko, M. 2000. “Pengantar Ekonomi Makro”. Edisi Keempat, Yogyakarta: BPFE. Supranoto, J. 2004. “Ekonometri Buku Kedua”. Jakarta: Ghalia Indonesia. Tandelilin, Eduardus. 2001. “Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio”. Edisi Pertama, Yogyakarta: BPFE. Umar, Husein. 2001. “Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis”. Jakarta, PT Raja Grafindo Persada. _______, “Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia – Indonesian Financial Statistics”, Vol: VIII No. 1 January 2006, Bank Indonesia. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010. _______, “Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia – Indonesian Financial Statistics”, Vol: IX No. 1 January 2007, Bank Indonesia. _______, “Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia – Indonesian Financial Statistics”, Vol: X No. 1 January 2008, Bank Indonesia. _______, “Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia – Indonesian Financial Statistics”, Vol: XI No. 1 January 2009, Bank Indonesia. Situs-situs/ website: http://finance.yahoo.com, situs komersil yang menyediakan data pergerakan harga saham-saham dunia yang dilengkapi dengan saran dan analisis teknikal bagi investor. http://www.bapepam.go.id, situs resmi Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, menyediakan informasi perkembangan pasar modal dan pengawasannya. http://www.bi.go.id, situs resmi Bank Indonesia, menyediakan berbagai data statistik yang berhubungan dengan keuangan dan kondisi perekonomian Indonesia http://www.bkpm.go.id/, situs resmi Badan Komisi Penanaman Modal Indonesia, menyediakan informasi dan peluang penanaman modal di Indonesia http://www.bri.co.id, situs resmi PT. Bank Rakyat Indonesia, menyediakan berbagai informasi tentang badan usaha yang bersangkutan, informasi produk/ layanan dan perkembangan usaha. http://www.idx.co.id, situs resmi Bursa Efek Indonesia, menyediakan data dan informasi perusahaan-perusahaan yang terdaftar dalam bursa perdagangan efek. http://www.ir-bri.com/, situs resmi dibawah naungan PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) yang khusus menyediakan informasi perkembangan produktifitas dan informasi keuangan yang dibutuhkan oleh para dan calon pemegang saham. http://www.reuters.com/finance/stocks/chart?symbol=BBRI.JK, situs komersilyang menyediakan berbagai informasi saham-saham dunia yang dilengkapi dengan analisis dan saran pialang/ broker serta alasannya. Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.