leo ibrahim sihombing - Universitas Sumatera Utara

advertisement
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM S-1 EXTENSION
PENGARUH INFLASI, KURS, INVESTASI DAN SUKU BUNGA SERTIFIKAT
BANK INDONESIA (SBI) TERHADAP HARGA SAHAM DAN VOLUME
PERDAGANGAN SAHAM PT. BANK RAKYAT INDONESIA (Tbk).
DI BURSA EFEK INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan oleh:
LEO IBRAHIM SIHOMBING
050523064
EKONOMI PEMBANGUNAN
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Ekonomi
Medan
2009
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
ABSTRACK
The objective of this research is about analyzing the influence of
macroeconomic variables concerning the Share Price and Trading Volume of PT.
Bank Rakyat Indonesia, (Tbk). The macroeconomic variables that used in this
analysis are Inflation, Exchange Rate Rupiahs to US Dollar, Number of Investment,
and SBI Rate. The aims of this research are to prove the significantly of
macroeconomics’ influences about Share Price and Trade Volume of PT. Bank
Rakyat Indonesia, (Tbk) beside to knowing which of macroeconomics’ variables was
dominant to influences above. This research uses multiple regression models as tools
in analyzing the variables to get know their influences according to research’s aims.
The result shows Number of Investments and SBI Rate significantly
influences the Share Price of PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) beside the share price
itself was significantly influence the Trade Volume of it.
Key words : macroeconomic variables, fundamental analysis, share price,
trade volume of shares, BBRI share.
ABSTRAK
Penelitian ini menganalisis pengaruh variabel-variabel makro ekonomi
terhadap harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) yang dilanjutkan dengan
analisis terhadap volume perdagangan saham perusahaan tersebut. Variabel-variabel
makro yang digunakan dalam penelitian ini adalah Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku
Bunga SBI. Tujuan dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui pengaruh masingmasing variabel bebas yang digunakan serta variabel bebas mana yang paling
berpengaruh terhadap Harga Saham dan Volume Perdangan Saham PT. Bank Rakyat
Indonesia, (Tbk) selama periode Januari 2004 s.d Desember 2008.
Dalam melakukan analisis, peneliti menggunakan model persamaan regresi
linier berganda dengan tujuan untuk melihat hubungan antar variabel-variabel bebas
yang digunakan terhadap variabel terikatnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh signifikan
terhadap Harga Saham adalah variabel Investasi dan variabel Suku Bunga SBI
dengan tingkat α 5%, sedangkan dua variabel lain (Inflasi dan Kurs) pengaruhnya
tidak signifikan dan variabel yang berpengaruh signifikan terhadap Volume
Perdagangan Saham adalah Harga Saham itu sendiri.
Kata kunci : variabel makro ekonomi, analisis fundamental, harga saham,
volume perdagangan saham, saham BBRI,
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT – Tuhan yang Maha
Kuasa karena atas rahmat dan karunia-Nya maka penulis dapat melakukan penelitian
dan penyusunan skripsi ini hingga selesai, dengan judul “Pengaruh Inflasi, Kurs,
Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap Harga Saham dan
Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek
Indonesia”. Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar sarja di Fakultas Ekonomi – Univestas Sumatera Utara, Medan.
Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan masukan dan saran dari pembaca untuk
penyempurnaan skripsi ini. Penulis juga akan sangat senang jika nanti skripsi ini
dapat dijadikan sebagai perbandingan yang kemudian dapat diteruskan sebagai
masukan dalam penelitian-penelitian selanjutnya.
Dengan kerendahan hati, perkenankan penulis untu menyampaikan ucapan
terima kasih yang tulus kepada:
1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec, selaku Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec, selaku Ketua Departemen Ekonomi
Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara yang juga ikut
memberikan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Bapak Prof. Dr. Ramli, SE, MS, selaku Pembimbing yang telah dengan sabar
memberikan bimbingan dan keluangan waktu kepada penulis hingga selesainya
skripsi ini. Semoga masukan dan bimbingan yang telah Bapak berikan akan dapat
terus penulis kembangkan demi tercapainya kemajuan, khususnya kemajuan bagi
penulis sendiri.
4. Bapak Drs. Sahat Silaen, M.Si dan Ibu Dra. Raina Linda Sari, selaku dosen
pembanding yang telah memberikan masukan, koreksi dan perbandingan kepada
penulis untuk dapat penulis gunakan sebagai kritik dalam penyempurnaan
penelitian ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen yang selama ini telah memberikan perkuliahan kepada
penulis; Bapak Prof. Dr. Ramli, SE, MS, Bapak Drs. Jonathan Sinuhaji (Alm),
Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec, Bapak Drs. Sahat Silaen, M.SI, Bapak
Drs. Rachmat Sumanjaya Hsb., M.Si, Ibu Dr. Murni Daulay, M.Si, Ibu Prof. Dr.
Ritha F. Dalimunthe, M.Si, Bapak Drs. A. Samad Zaino, MS, Ibu. Dra. T. Diana
Bakti, M.Si, Bapak Drs. Arifin Siregar, Bapak Lic.rer.reg Sirojuzilam, SE, Bapak
Drs. Aman Tarigan, SU, Bapak Drs. Rujiman, Bapak Drs. Zubeirsyah, SU, Bapak
Drs. Karel S. Manik, Bapak Drs. Iskandar Syarief, MA, Ibu Dra. Salbiah, M.Si,
Bapak Kasyful Mahalli, SE, M.Si, Bapak Fahmi Natigor Nasution, SE, M.Acc,
Bapak Dr. Syaad Afifuddin, M.Ec, Bapak Ramly Srg, SH, M.Hum, Bapak
Muslich Lutfi, M.Ba, Ibu Dra. Naleni Indra, M.Si, Ibu Dra. Yulinda, M.Si, Ibu
Dra. Budikennita, M.Si, Bapak Drs. Irwan, Bapak Drs. Syahrir Hakim Nasution,
Bapak Paidi Hidayat, SE, M.Si, dan khususnya kepada Bapak Irsyad Lubis, SE,
M.Soc, Ph.D, selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan
bimbingan dan masukan kepada penulis selama masa perkuliahan. Semoga semua
ilmu yang telah Bapak dan Ibu berikan diperhitungkan sebagai amal oleh Tuhan
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
YME dan dapat terus penulis kembangakan demi kemajuan, khususnya bagi
penulis sendiri.
6. Seluruh staf dan pegawai Fakultas Ekonomi, khususnya para staf Departemen
Ekonomi Pembangunan yang telah banyak membantu penulis selama masa
perkuliahan dan masa penyelesaian skripsi ini. Pegawai Perpustakaan Universitas
Sumatera Utara, Perpustakaan Fakultas Ekonomi, Perpustakaan BPS Sumut,
Perpustakaan Kantor Bank Indonesia Medan, Perpustakaan Daerah Sumut.
Terimakasih atas bantuannya.
7. Seluruh Mahasiswa Departemen Ekonomi Pembangunan yang ikut memberikan
bantuan, masukan dan motovasi kepada penulis selama perkuliahan dan selama
masa penyelesaian skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat dimanfaatkan sebagai
bahan masukan dan perbandingan dalam menyusun skripsi selanjutnya.
8. Ayah dan Ibunda tercinta, Abang, Kakak dan Adik serta seluruh keluarga yang
senantiasa mendoakan dan memberikan semangat kepada penulis sehingga
selesainya penulisan skripsi ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan semua
yang terbaik untuk kita.
9. Bapak Eko Purwanto, S. Kom, M.Kom yang telah memberikan izin, dorongan
dan motovasi kepada penulis dalam menempuh perkuliahan di program ekstensi
F.E USU. Penulis ucapkan terimakasih, semoga semua ilmu dan pengalaman
yang sempat penulis peroleh selama bekerja di perusahaan yang Bapak pimpin
akan terus dapat berkembang dan berguna seperti yang telah Bapak sampaikan.
10. Rekan seperjuangan, rekan kerja, para sahabat dan semua pihak yang telah
memberikan dukungan kepada penulis selam ini dan selama penyusunan skripsi,
jangan pernah berhenti berbuat dan terima kasih banyak atas semuanya.
Akhir kata penulis berharap semoga hasil penulisan skripsi ini bermanfaat
bagi semua pihak yang membutuhkan, terutama bagi penulis sendiri.
Medan, April 2009
Hormat penulis,
Leo Ibrahim Sihombing
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
DAFTAR ISI
ABSTRACT .....................................................................................................
i
ABSTRAK........................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................
iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................
vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................
xv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xix
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN ...........................................................................
1
1.1. Latar Belakang .............................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah .......................................................................
4
1.4. Tujuan Penelitian...........................................................................
5
1.5. Manfaat Penelitian .........................................................................
5
LANDASAN TEORI, PENELITIAN TERDAHULU DAN
KERANGKA KONSEPTUAL .......................................................
6
2.1. Landasan Teori ..............................................................................
6
2.1.1. Inflasi ...................................................................................
6
2.1.1.1. Defenisi Inflasi.........................................................
6
2.1.1.2. Penggolongan dari Jenis Inflasi ................................
6
2.1.2.3. Teori Inflasi .............................................................
11
2.1.1.4. Dampak Inflasi.........................................................
17
2.1.1.5. Kebijakan Mengatasi Inflasi .....................................
19
2.1.2. Kurs .....................................................................................
21
2.1.2.1. Defenisi Kurs ...........................................................
21
2.1.2.2. Sistem Kurs..............................................................
22
2.1.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kurs ...................
24
2.1.3.Investasi ...............................................................................
25
2.1.3.1. Definisi Investasi .....................................................
25
2.1.3.2. Dasar Keputusan Investasi .......................................
26
2.1.4. Sertifikat Bank Indonesia .....................................................
29
2.1.4.1. Pengertian SBI .........................................................
29
2.1.4.2. Karakteristik SBI .....................................................
30
2.1.4.3. Keuntungan dan Kerugian SBI .................................
30
2.1.6. Saham ..................................................................................
31
2.1.6.1. Defenisi Saham ........................................................
31
2.1.6.2. Jenis-jenis Saham.....................................................
32
2.1.6.3. Keuntungan Investasi dengan Saham .......................
35
2.1.6.4. Resiko Investasi dengan Saham ...............................
36
2.1.6.5. Penawaran Umum dan Pencatatan Efek di Bursa .....
39
2.1.6.6. Prosedur Transaksi Pembelian dan Penjualan Efek
atau Saham...............................................................
40
2.1.7. Indeks Harga Saham.............................................................
42
2.1.8. Analisis Fundamental Harga Saham .....................................
44
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
2.1.8.1. Analisis Ekonomi/ Pasar ..........................................
46
2.1.8.1.1. Memperkirakan Perubahan di dalam
Perekonomian/Pasar................................
48
2.1.8.1.2. Penggunaan Indikator Moneter untuk
Memperkirakan Kondisi Pasar ................
48
2.1.8.1.3. Kondisi Ekonomi dan Kondisi Pasar .......
49
2.1.8.1.4. Penggunaan Model-model Valuasi untuk
Memperkirakan Kondisi Pasar ................
51
2.1.8.2. Analisi Industri ........................................................
51
2.1.8.2.1. Menganalisi Industri ...............................
52
2.1.8.2.2. Siklus Kehidupan Industri ......................
53
2.1.8.3. Analisis Siklus Bisnis ...............................................
56
2.1.8.3.1. Berbagai Aspek Kualitatif dalam Analisi
Industri ...................................................
57
2.1.8.3.2. Menilai Prospek Industri di Masa yang
Akan Datang ...........................................
58
2.1.8.4. Analisi Perusahaan...................................................
60
2.1.8.4.1. Memahami Laba yang Diperoleh
Perusahaan..............................................
61
2.1.8.4.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laba
(EPS, ROE, ROA, dan Net Income
Margin)...................................................
62
2.1.8.4.3. Penggunaan PER ....................................
65
2.1.8.4.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi PER ..
65
2.1.9. Analisis Teknikal Harga Saham ............................................
66
2.1.10. Volume Perdagangan Saham..............................................
70
2.2. Penelitian Terdahulu ......................................................................
71
2.3. Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian ..............................
74
2.3.1. Kerangka Konseptual Penelitian ...........................................
79
2.3.2. Hipotesis Penelitian ..............................................................
81
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................
82
3.1. Ruang Lingkup Penelitian .............................................................
82
3.2. Pendekatan Penelitian ....................................................................
82
3.3. Jenis Variabel ................................................................................
83
3.4. Jenis dan Sumber Data ..................................................................
83
3.5. Pengolahan Data............................................................................
85
3.6. Model Analisis Data ......................................................................
85
3.7. Uji Hipotesis .................................................................................
87
3.7.1. Uji Koefisien Determinasi (R-square/ R2) .............................
88
3.7.2. Uji F-Statistik .......................................................................
89
3.7.3. Uji-t Statistik ........................................................................
90
3.8. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik .................................................
92
3.8.1. Uji Multikolinearitas ............................................................
92
3.8.2. Uji Heteroskedastisitas .........................................................
93
3.8.3. Uji Autokorelasi ...................................................................
94
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
3.9. Defenisi Variabel Operasional .......................................................
95
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN...................................................
97
4.1. Analisis Penelitian .........................................................................
97
4.1.1. Gambaran Umum PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) ...........
97
4.1.1.1. Sejarah Singkat PT. BRI, (Tbk) ...............................
97
4.1.1.2. Perkembangan dan Strategi Bisnis PT. BRI, (Tbk) ...
100
4.1.2. Perkembangan Inflasi ...........................................................
102
4.1.2.1. Perkembangan Inflasi 2004 ......................................
102
4.1.2.2. Perkembangan Inflasi 2005 ......................................
103
4.1.2.3. Perkembangan Inflasi 2006 ......................................
104
4.1.2.4. Perkembangan Inflasi 2007 ......................................
105
4.1.3. Perkembangan Kurs .............................................................
106
4.1.3.1. Perkembangan Kurs 2004 ........................................
106
4.1.3.2. Perkembangan Kurs 2005 ........................................
109
4.1.3.3. Perkembangan Kurs 2006 ........................................
110
4.1.3.4. Perkembangan Kurs 2007 ........................................
111
4.1.4. Perkembangan Investasi .......................................................
111
4.1.4.1. Perkembangan Investasi dan Pasar Modal 2004 .......
112
4.1.4.2. Perkembangan Investasi dan Pasar Modal 2005 .......
115
4.1.4.3. Perkembangan Investasi dan Pasar Modal 2006 .......
118
4.1.4.4. Perkembangan Investasi dan Pasar Modal 2007119
4.1.5. Perkembangan Suku Bunga SBI dan BI Rate .......................
121
4.1.5.1. Perkembangan Suku Bunga SBI dan BI Rate 2004...
121
4.1.5.2. Perkembangan Suku Bunga SBI dan BI Rate 2005 ...
124
4.1.5.3. Perkembangan Suku Bunga SBI dan BI Rate 2006 ...
126
4.1.5.4. Perkembangan Suku Bunga SBI dan BI Rate 2007...
127
4.1.6. Perkembangan Harga Saham dan Volume Perdangan
Saham BRI ...........................................................................
129
4.1.6.1 Kinerja Saham BRI 2004 .........................................
131
4.1.6.1.1. Komposisi Kepemilikan Saham ................
132
4.1.6.1.2. Kebijakan Dividen ....................................
132
4.1.6.2. Kinerja Saham BRI Tahun 2005 ..............................
133
4.1.6.2.1. Komposisi Kepemilikan Saham ................
134
4.1.6.2.2. Management Stock Option Program
(MSOP) ....................................................
134
4.1.6.2.3. Kebijakan Deviden ...................................
135
4.1.6.3. Kinerja Saham BRI Tahun 2006 ...............................
136
4.1.6.3.1. Komposisi Kepemilikan Saham ................
137
4.1.6.3.2. Managemen Stock Option Program
(MSOP) ....................................................
138
4.1.6.3.3. Kebijakan Deviden ...................................
139
4.1.6.4. Kinerja Sham BRI 2007 ...........................................
140
4.1.6.4.1. Komposisi Kepemilikan Saham ................
141
4.1.6.4.2. Management Stock Option Program
(MSOP) ....................................................
142
4.1.6.4.3. Kebijakan Deviden ...................................
142
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
4.2. Pembahasan...................................................................................
143
4.2.1. Analisis Regresi Linier Berganda untuk Variabel Harga
Saham (Y1) ..........................................................................
144
4.2.1.1. Deskriptif Data Penelitian ........................................
144
4.2.1.2. Koefisien Regresi.....................................................
144
4.2.1.3. Uji Kesesuaian .........................................................
146
4.2.1.3.1. Koefisien Determinasi (R2) .......................
146
4.2.1.3.2. Uji F .........................................................
146
4.2.1.3.3. Uji-t ..........................................................
147
4.2.1.4. Uji Asumsi Klasik....................................................
150
4.2.1.4.1. Uji Multikoleniaritas .................................
150
4.2.1.4.2. Uji Heteroskedasitas..................................
151
4.2.1.4.3. Uji Autokorelasi ........................................
154
4.2.1.5.Interpretasi Model Penelitian Dengan Variabel
Bebas Harga Saham (Y1) .........................................
155
4.2.2. Analisis Regresi Linier Berganda untuk Volume
Perdagangan Saham (Y2) .....................................................
156
4.2.2.1. Deskriptif Data Penelitian ........................................
156
4.2.2.2. Koefisien Regresi.....................................................
157
4.2.2.3. Uji Kesesuaian .........................................................
158
4.2.2.3.1. Koefisien Determinasi (R2) ......................
158
4.2.2.3.2. Uji F .........................................................
159
4.2.2.3.3. Uji-t ..........................................................
160
4.2.1.4. Uji Asumsi Klasik....................................................
162
4.2.1.4.1. Uji Multikoleniaritas .................................
162
4.2.1.4.2. Uji Heteroskedasitas .................................
163
4.2.1.4.3. Uji Autokorelasi .......................................
165
4.2.1.5 Interpretasi Model Penelitian Dengan Variabel
Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2) .................
166
KESIMPULAN DAN SARAN .........................................................
168
5.1 Kesimpulan ...................................................................................
168
5.2. Saran .............................................................................................
177
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
175
BAB V
LAMPIRAN
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
DAFTAR TABEL
No
1.1.
Judul
Halaman
Matriks Hubungan Beberapa Faktor Makro Ekonomi Terhadap
Profitabilitas Perusahaan ........................................................................
3
2.1.
Perubahan Indeks Sektoral dan Pasar di BEJ Juli – September 1997 .......
52
2.2.
Contoh Gerakan Saham Harian ..............................................................
69
4.1.
Data Inflasi Indonesia Tahun 2004 s.d 2007 ........................................... 103
4.2.
Data Nilai Kurs Tengah Rupiah Terhadap US Dolalar
Tahun 2004 s.d 2007 .............................................................................. 107
4.3.
Penanaman Modal Dalam Negeri yang Disetujui Pemerintah
(Miliar Rp) Periode Tahun 2004 s.d 2007 ............................................... 112
4.4.
Penanaman Modal Asing yang Disetujui Pemerintah (Juta USD)
Periode Tahun 2004 s.d 2007 ................................................................. 113
4.5.
Total Investasi PMDN + PMA yang Disetujui Pemerintah
(Miliar Rp) Periode Tahun 2004 s.d 2007 ............................................... 115
4.6.
Data Suku Bunga SBI (Persen) Periode Tahun 2004 s.d 2007................. 122
4.7.
Data Harga Sahma BRI (Rupiah) Periode Tahun 2004 s.d 2007 ............. 130
4.8.
Data Volume Perdagangan Saham BRI (Lembar) Periode
Tahun 2004 s.d 2007 .............................................................................. 133
4.9.
Tahap Pelaksanaan MSOP Saham BRI ................................................... 135
4.10.
Harga Saham Blue Chips Perbankan di Indonesia Tahun 2006 ............... 137
4.11.
Komposisi Deviden BRI Terhadap Laba Bersi Periode
Tahun 2002 s.d 2005 .............................................................................. 140
4.12.
Harga Saham Blue Chips Perbankan di Indonesia Tahun 2007 ............... 141
4.13.
Descriptive Statistics Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1)........... 144
4.14.
Coefficientsa Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1) ....................... 145
4.15.
Model Summaryb Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1) ............... 146
4.16.
ANOVAb Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1) ............................ 147
4.17.
Coefficientsa Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1) ....................... 151
4.18.
Uji Heteroskedasitas dengan White Test ................................................. 153
4.19.
Model Summaryb D-W Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1) ....... 154
4.20.
Descriptive Statistics Dengan Variabel Bebas Volume
Perdagangan Saham (Y2) ....................................................................... 156
4.21.
Coefficientsa Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan
Saham (Y2) ............................................................................................ 157
4.22.
Model Summaryb Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan
Saham (Y2) ............................................................................................ 158
4.23.
ANOVAb Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2) .... 159
4.24.
Coefficientsa Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan
Saham (Y2) ............................................................................................ 162
4.25.
Uji Hetereoskedasitas dengan White Test Dengan Variabel Bebas
Volume Perdagangan Saham (Y2) .......................................................... 165
4.26.
Model Summaryb D-W Dengan Variabel Bebas Volume
Perdagangan Saham ............................................................................... (Y2)
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
DAFTAR GAMBAR
No
2.1.
Judul
Halaman
Demand Inflation ...................................................................................
7
2.2.
Cost Inflation .........................................................................................
8
2.3.
Hubungan Risiko dan Return yang Diharapkan ......................................
28
2.4.
Proses Jual Beli Saham di Bursa Efek Jakarta.........................................
40
2.5.
Siklus Kehidupan Industri ......................................................................
54
2.6.
Contoh Dua Grafik Pendekatan yang Sering Digunakan
dalam Analisis Teknikal .........................................................................
68
2.7.
Penggunaan Moving Average dalam Analisis Teknikal ...........................
70
2.8.
Kerangka Analisi Fundamental...............................................................
75
2.9.
Hubungan Faktor Makro dan Mikro Terhadap Kinerja Perusahaan,
Keuntungan, Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham .................
77
2.10.
Kerangka Konseptual Penelitian .............................................................
80
3.1.
Grafik Pengujian F-Statistik ...................................................................
91
3.2.
Grafik Pengujian t-Statistik ....................................................................
92
3.3.
Grafik Daerah Kriteria Pengujian Autokorelasi ......................................
94
4.1.
Grafik Pergerakan Inflasi Indonesia Tahun 2004 s.d 2007 ...................... 104
4.2.
Grafik Pergerakan Kurs Rupiah Terhadap US Dollar
Tahun 2004 s.d 2007 .............................................................................. 108
4.3.
Grafik Investasi Total PMA + PMDN yang Disetujui Pemerintah
Tahun 2004 s.d 2007 .............................................................................. 116
4.4.
Grafik Pergerakan Suku Bunga SBI Tahun 2004 s.d 2007 ...................... 123
4.5.
Grafik Pergerakan Harga Saham BRI Tahun 2004 s.d 2007 .................... 131
4.6.
Grafik Pergerakan Volume Perdagangan Saham BRI
Tahun 2004 s.d 2007 .............................................................................. 136
4.7.
Grafik Scatter Plot Variabel Bebas Terhadap Variabel
Harga Saham (Y1).................................................................................. 152
4.8.
Grafik Scatter Plot Variabel Bebas Terhadap Variabel
Volume Perdagangan Saham (Y2) .......................................................... 164
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1: Tabel Data Variabel Penelitian ................................................
xx
LAMPIRAN 2: Output SPSS Analisi Regresi ...................................................
xxii
2.1. Output SPSS Regression Variabel Harga Saham ..............
xxii
2.2. Output SPSS Regression Variabel Volume
Perdagangan Saham ........................................................
xxv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perusahaan memiliki berbagai alternatif sumber pendanaan, baik yang berasal
dari dalam maupun dari luar perusahaan. Alternatif pendanaan dari dalam
perusahaan, umumnya dengan menggunakan laba yang ditahan perusahaan.
Sedangkan alternatif pendanaan dari luar perusahaan dapat berasal dari kreditor
berupa utang, pembiayaan bentuk lain atau dengan penerbitan surat-surat utang,
maupun pendanaan yang bersifat penyertaan dalam bentuk saham (equity).
Pendanaan melalui mekanisme penyertaan umumnya dilakukan dengan menjual
saham perusahaan kepada masyarakat atau sering disebut dengan go public
(Darmadji, 2001: 40).
Untuk perusahaan yang sudah go public, tuntutan untuk meningkatkan
pertumbuhan perusahaan akan semakin kuat, karena pemilik menginginkan
keuntungan yang semakin meningkat juga, sehingga akan berpengaruh terhadap
besarnya dividen yang akan dibagikan. Disamping itu, dengan pertumbuhan dan
perkembangan yang bagus akan meningkatkan citra dari perusahaan, sehingga harga
saham di pasar sekunder juga akan semakin meningkat (Anoraga, 2001: 49).
Besarnya deviden dan eraning yang diharapakan dari suatu perusahaan akan
tergantung dari prospek keuntungan yang dimiliki perusahaan. Karena prospek
perusahaan sangat tergantung dari keadaan ekonomi secara keseluruhan, maka
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
1
analisis penilaian saham yang dilakukan oleh investor juga harus memperhitungkan
beberapa variabel ekonomi makro yang mempengaruhi kemampuan perusahaan
untuk menghasilkan laba.
Dalam melakukan analisis penilaian saham, investor bisa melakukan analisis
fundamental secara “top-down” untuk menilai prosepek perusahaan. Pertama kali
perlu dilakukan analisis terhadap faktor-faktor makro ekonomi yang mempengaruhi
kinerja seluruh perusahaan, kemudian dilanjutkan dengan analisis industri, dan pada
akhirnya dilakukan analisis terhadap perusahaan yang mengeluarkan sekuritas
bersangkutan untuk menilai apakah sekuritas yang dikeluarkannya menguntungkan
atau merugikan bagi investor.
Lingkungan ekonomi makro adalah lingkungan yang mempengaruhi operasi
perusahaan sehari-hari. Kemampuan investor dalam memahami dan meramalkan
kondisi ekonomi makro dimasa datang, akan sangat berguna dalam pengambilan
keputusan investasi yang menguntungkan. Untuk itu, seorang investor harus
memperhatikan beberapa indikator ekonomi makro yang bisa membantu mereka
dalam memahami dan meramalkan kondisi ekonomi makro.
Faktor-faktor ekonomi makro secara empiris telah terbukti mempunyai
pengaruh terhadap perkembangan investasi di beberapa negara. Tandelilin (1998),
merangkum beberapa faktor ekonmoi makro yang berpengaruh terhadap investasi di
suatu negara, sebagai berikut: tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB),
laju pertumbuhan inflasi, tingkat suku bunga dan nilai tukar mata uang (exchange
rate). Tabel 1.1. memperlihatkan hubungan faktor-faktor tersebut dan dampaknya
terhadap investasi di suatu negara (Tandelilin, 2001:213).
Tabel 1.1. Matriks Hubungan Beberapa Faktor Makro Ekonomi
Terhadap Profitabilitas Perusahaan
Indikator
Ekonomi
Pengaruh
Penjelasan
PDB
Meningkatnya PDB merupakan
sinyal yang baik (positif) untuk
investasi dan sebaliknya jika
PDB menurun.
Meningkatkan PDB mempunyai pengaruh positif
terhadap daya beli konsumen sehingga dapat
meningkatkan permintaan terhadap produk
perusahaan.
Inflasi
Peningkatan inflasi secara relatif merupakan sinyal negatif
bagi pemodal di pasar modal.
Inflasi meningkatkan pendapatan dan biaya perusahaan. Jika peningkatan biaya produksi lebih
tinggi dari peningkatan harga yang dapat
dinikmati oleh perusahaan maka profitabilitas
perusahaan akan turun.
Tingkat Bunga
Tingkat bunga yang tinggi
merupakan
sinyal
negatif
terhadap harga saham.
Tingkat suku bunga yang meningkat akan
menyebabkan peningkatan suku bunga yang
diisyaratkan atas investasi pada suatu saham.
Disamping itu tingkat suku bunga yang meningkat
bisa juga menyebabkan investor menarik
investasinya pada saham dan memindahkannya
pada investasi berupa tabungan atau deposito.
Kurs Rupiah
Menguatnya kurs rupiah terhadap mata uang asing merupakan
sinyak positif bagi perekonomian yang mengalami inflasi.
Menguatnya kurs rupiah terdahap mata uang asing
akan menurunkan biaya impor bahan baku untuk
produksi, dan akan menurunkan tingkat suku
bunga yang berlaku.
Anggaran
Defisit
Anggaran yang defisit merupakan sinyal positif bagi ekonomi
yang sedang mengalami resesi,
tetapi merupakan sinyal degatif
bagi ekonomi yang mengalami
inflasi.
Anggaran defisit akan mendorong konsumsi dan
onvestasi pemerintah, sehingga dapat meningkatkan permintaan terhadap produk perusahaan.
Akan tetapi, anggaran defisit disisi lain justru
akan meningkatkan jumlah uang beredar dan
akibatnya akan mendorong inflasi.
Investasi
Swasta
Meningkatnya investasi swasta
adalah sinyal positif bagi
pemodalan.
Meningkatnya
investasi
swasta
akan
meningkatkan PDB sehingga dapat meningkatkan
pendapatan konsumen
Neraca Perdagangan dan
Pembayaran
Defisit neraca perdagangan dan
pembayaran merupakan sinyak
negatif bagi pemodal.
Defisit neraca perdagangan dan pemabayaran
harus dibiayai dengan menarik modal asing.
Untuk melakukan hal itu, suku bunga harus
dinaikkan.
Sumber:
Dikutip dari Harianto, F. dkk., 1998, “Perangkat dan Teknik Analisis Investasi di Pasar Modal
Indonesia”, PT. Bursa Efek Jakarta, Jakarta, hal. 158. Dalam Tandelilin, 2001, hal. 214.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
Alasan peneliti mengambil variabel Inflasi, Kurs, Investasi, dan Sertifikat
Bank Indonesia (SBI) sebagai variabel penelitian adalah sebagai berikut: pertama,
perubahan harga saham sebuah perusahaan tidak terlepas dari kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan laba bersih per lembar saham dan kemampuan
perusahaan membagikan dividen yang tidak terlepas dari kinerja operasi perusahaan.
Kinerja operasi perusahaan sediri dipengaruhi oleh banyak faktor yang salah satunya
adalah faktor-faktor makro ekonomi. Pengaruh faktor makro ekonomi seringkali
dipakai sebagai acuan untuk mengambil keputusan investasi dalam saham. Kedua,
semakin berkembangnya pasar modal di Indonesia menuju ke arah yang efisien
dimana semua informasi yang relevan bisa dipakai sebagai masukan untuk menilai
harga saham. Oleh karena itu peneliti memberikan judul: ”Analisis pengaruh
Inflasi, Kurs, Investasi, Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia,
(Tbk) di Bursa Efek Indonesia”.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan urutan yang disampaikan dalam latar belakang, maka penulis
merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah variabel inflasi, kurs, investasi, sertifikat bank indonesia (SBI)
berpengaruh terhadap harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk).
2. Apakah variabel inflasi, kurs, investasi, sertifikat bank indonesia (SBI) dan harga
saham berpengaruh terhadap volume perdagangan saham PT. Bank Rakyat
Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
3. Untuk menganalisis pengaruh variabel inflasi, kurs, investasi dan SBI terhadap
harga saham dan volume perdagangan saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk)
di Bursa Efek Indonesia.
4. Untuk mengetahui variabel yang paling dominan pengaruhnya terhadap harga
saham dan volume perdafangan saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk).
1.4 Manfaat Penelitian
1
Memberikan bukti empiris mengenai pengaruh variabel inflasi, kurs, investasi
dan SBI terhadap harga saham dan volume perdagangan saham PT. Bank Rakyat
Indonesia, (Tbk) yang bisa dijadikan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.
2
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk
pengambilan keputusan investasi bagi investor khususnya terhadap saham PT.
Bank Rakyat Indonesia, (Tbk).
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
BAB II
LANDASAN TEORI, PENELITIAN TERDAHULU DAN KERANGKA
KONSEPTUAL PENELITIAN
4.1. Landasan Teori
2.1.1. Inflasi
2.1.1.1. Defenisi Inflasi
Defenisi singkat dari inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk
menaik secara umum dan terus-menerus dalam jangka waktu yang lama. Kenaikan
harga dari satu atau dua barang saja tidak disebut dengan inflasi, kecuali bila
kenaikan tersebut meluas kepada (atau mengakibatkan kenaikan) sebagian besar dari
harga barang-barang lain. (Boediono, 1987: 161).
Untuk mengetahui tinggi rendahnya kenaikan harga atau laju kecepatan inflasi
itu seringkali digunakan indeks harga. Yang paling banyak digunakan adalah indeks
biaya hidup yang sudah mencakup 62 macam barang dan ini sudah diperbaiki lagi
menjadi indeks harga konsumen (IHK) yang meliputi 150 macam barang. Untuk
meneliti laju inflasi itu biasanya macam barang dikelompokkan lagi menjadi
kelompok bahan makan, kelompok sandang, kelompok perumahan dan kelompok
lain-lain (Suparmoko, 2000: 209).
2.1.1.2. Penggolongan dari Jenis Inflasi
Ada berbagai cara untuk menggolongkan macam inflasi, dan penggolongan
mana yang kita pilih tergantung pada tujuan kita. Penggolongan pertama didasarkan
atas “parah” tidaknya inflasi tersebut, penggolongan
kedua atas dasar sebab-musabab
6
awal dari inflasi, penggolongan ketiga berdasarkan asal dari inflasi (Boediono, 1990).
1. Penggolongan pertama, didasarkan atas “parah” tidaknya inflasi, dibedakan
menjadi:
a. Inflasi ringan (di bawah 10% setahun)
b. Inflasi sedang (antara 10 – 30% setahun)
c. Inflasi berat (antara 30 – 100% setahun)
d. Hiperinflasi (di atas 100& setahun)
2. Penggolongan kedua, didasarkan atas dasar sebab-musabab awal dari inflasi,
yaitu:
a. Inflasi yang timbul karena permintaan masyarakat akan berbagai barang
terlalu kuat. Inflasi semacam ini disebut demand inflation.
Harga
S
H2
D2
H1
D1
Q1
Q2
Output
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
Sumber:
Dikutip dari Boediono, 1990, “Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 5
Ekonomi Moneter”, BPFE, Yogyakarta, hal. 163.
Gambar 2.1. Demand Inflation
Gambar 2.1 menggambarkan suatu demand inflation. Karena permintaan
masyarakat
akan
barang-barang
(aggregate
demand)
bertambah
(misalnya, karena bertambahnya pengeluaran pemerintah yang dibiayai
dengan pencetakan uang, atau kenaikan permintaan luar negeri akan
barang-barang ekspor, atau bertambahnya pengeluaran investasi swasta
karena kredit yang murah), maka kurva aggregate demand bergeser dari
dari D1 ke D2. Akibatnya harga akan naik dari H1 ke H2.
b. Inflasi yang timbul karena kenaikan biaya produksi. Ini disebut cost
inflation.
S2
Harga
S1
H4
H3
D1
Q4
Sumber:
Q3
Output
Dikutip dari Boediono, 1990, “Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 5
Ekonomi Moneter”, BPFE, Yogyakarta, hal. 163.
Gambar 2.2. Cost Inflation
Pada Gambar 2.2 kita lihat bahwa bila biaya produksi naik (misalnya
karena kenaikan harga sarana produksi yang didatangkan dari luar
negeri, atau karena kenaikan harga bahan bakar minyak) maka kurva
penawaran masyarakat (aggregate supply) bergeser dari S1 ke S2.
Akibat dari kedua macam inflasi tersebut, dari segi kenaikan harga output,
tidak berbeda, tetapi dari segi volume output (GDP riil) ada perbedaan. Dalam
kasus demand inflation, biasanya ada kecenderungan untuk output (GDP riil)
menaik bersama-sama dengan kenaikan harga umum. Besar kecilnya kenaikan
output ini tergantung kepada elastisitas kurva aggregate supply; semakin
mendekati output maksimum semakin tidak elastis kurva ini. Sebaliknya,
dalam kasus cost inflation biasanya kenaikan harga-harga dibarengi dengan
penurunan omzet penjualan barang (“kelesuan usaha”).
Perbedaan yang lain dari kedua proses inflasi ini terletak pada urutan dari
kenaikan harga. Dalam demand inflation kenaikan harga barang akhir (output)
mendahului kenaikan harga barang-barang input dan harga-harga faktor
produksi (upah dan sebagainya). Sebaliknya dalam cost inflation kenaikan
harga barang-barang input dan harga-harga faktor produksi mendahului
kenaikan harga barang-barang akhir (output).
Kedua macam inflasi ini jarang sekali ditemukan dalam praktek dalam bentuk
yang murni. Pada umumnya inflasi yang terjadi adalah kombinasi dari kedua
macam inflasi tersebut, dan seringkali keduanya saling memperkuat satu sama
lain.
3. Penggolongan ketiga, berdasarkan asal dari inflasi, yaitu:
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
a. Inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestik inflation)
Inflasi yang berasal dari dalam negeri timbul misalnya karena defisit
anggaran belanja yang dibiayai dengan pencetakan uang baru, panen gagal
dan sebagainya. Akibat dari pencetakan uang baru tersebut pada akhirnya
yang akan menimbulkan inflasi.
b. Inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation)
Inflasi yang berasal dari luar negeri adalah inflasi yang timbul karena
kenaikan harga-harga (yaitu, inflasi) di luar negeri atau negara-negara
langganan berdagang kita. Kenaikan harga barang-barang yang kita impor
mengakibatkan: (1) secara langsung kenaikan indeks biaya hidup karena
sebagian dari barang-barang yang tercakup di dalamnya bersal dari impor,
(2) secara tidak langsung menaikkan indeks harga melalui kenaikan biaya
produksi (dan kemudian, harga jual) dari berbagai barang yang
menggunakan bahan mentah atau mesin-mesin yang harus diimpor (cost
inflation), (3) secara tidak langsung menimbulkan kenaikan harga di
dalam negeri karena kemungkinan (tetapi ini tidak harus demikian)
kenaikan
harga
barang-barang
impor
mengakibatkan
kenaikan
pengeluaran pemerintah/swasta yang berusaha mengimbangi kenaikan
harga impor tersebut (demand inflation).
terutama pada barang-barang impor atau kenaikan bahan baku yang belum
dapat diproduksi di dalam negeri. Kenaikan harga barang impor yang
merupakan salah satu komponen Indeks Harga Konsumen akan
meningkatkan biaya produksi.
2.1.2.3. Teori Inflasi
Secara garis besar terdapat tiga kelompok yang mengemukakan masalah
inflasi, masing-masing menyoroti aspek-aspek tertentu dari proses inflasi (Boediono,
1990: 167):
a. Teori Kuantitas
Teori ini menyoroti peranan dalam proses inflasi yang terdiri dari:
1. Jumlah Uang yang Beredar.
Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang yang
beredar (baik penambahan uang kartal maupun penambahan uang giral).
Tanpa ada kenaikan jumlah uang beredar, misalnya kegagalan panen,
hanya akan menaikkan harga-harga untuk sementara waktu saja. Bila
jumlah uang tidak ditambah, inflasi akan berhenti dengan sendirinya
walau apapun yang menyebabkan kenaikan harga tersebut.
2. Ekspektasi Masyarakat
Laju inflasi ditentukan oleh penambahan jumlah uang beredar dan oleh
psikologi (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga di masa
mendatang. Ada 3 (tiga) kemungkinan keadaan, yaitu:
(1) Keadaan yang pertama adalah bila masyarakat tidak (belum)
mengharapkan harga-harga untuk naik pada bulan-bulan mendatang.
Dalam hal ini, sebagian besar dari penambahan jumlah uang yang
beredar akan diterima oleh masyarakat untuk menambah likuiditasnya.
Ini berarti bahwa sebagian besar dari kenaikan dari jumlah uang
tersebut tidak dibelanjakan untuk pembelian barang. Selanjutnya, ini
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
berarti bahwa tidak akan ada kenaikan permintaan yang berarti akan
barang-barang.
(2) Keadaan yang kedua adalah dimana masyarakat (atas dasar
pengalaman di bulan-bulan sebelumnya) muali sadar bahwa ada
inflasi.
Orang-orang
mulai
mengharapkan
kenaikan
harga.
Penambahan jumlah uang yang beredar tidak lagi diterima oleh
masyarakat untuk menambah pos kas-nya, tetapi akan digunakan
untuk membeli barang-barang. Hal ini dilakukan karena orang-orang
berusaha untuk menghindari kerugian yang timbul seandainya mereka
memegang uang tunai. Dari segi kemasyarakat secara keseluruhan hal
ini berarti adanya kenaikan permintaan akan barang-barang. Akibat
selanjutnya adalah naiknya harga barang-barang tersebut.
(3) Keadaan ketiga terjadi pada tahap hiper inflasi. Dalam keadaan ini
orang-orang sudah kehilangan kepercayaan terhadap nilai mata uang.
Keengganan untuk memegang uang kas tersebut diterima di tangan
menjadi semakin meluas dikalangan masyarakat. Orang cenderung
mengharapkan keadaan semakin memburuk: laju inflasi untuk bulanbulan mendatang diharapkan semakin besar dibandingan dengan laju
inflasi dibulan sebelumnya. Keadaan ini ditandai oleh semakin
cepatnya peredaran uang (velocity of cisculation yang menaik).
Hiperinflasi menghancurkan bukan hanya sendi-sendi ekonomi
moneter tetapi juga sendi-sendi sosial-politik dari suatu masyarakat.
Struktur masyarakat yang baru akan timbul menggantikan struktur
yang lama.
b. Teori Keynes
Teori Keynes mengenai inflasi didasarkan atas teori makronya yang
menyoroti aspek lain dari inflasi. Meneurut teori ini, inflasi terjadi karena
suatu masyarakat ingin hidup diluar batas kemampuan ekonominya. Proses
infalsi, menurut pandangan ini tidak lain adalah proses perebutan bagian
rejeki diantara kelompok-kelompok sosial yang menginginka bagian lebih
dari pada yang bisa disediakan oleh disediakan oleh masyarakat tersebut.
Proses perebutan ini akhirnya diterjemahkan menjadi keadaan dimana
permintaan masyarakat akan barang-barang selalu melebihi jumlah barangbarang yang tersedia (timbul apa yang disebut dengan inflantionary gap).
Inflationary gap ini timbul karena golongan-golongan masyarakat tersebut
berhasil menterjemahkan aspirasi mereka menjadi permintaan yang efektif
akan barang-barang. Dengan lain perkataan mereka berhasil memperoleh dana
untuk mengubah aspirasinya menjadi rencana pembelian barang-barang yang
didukung dengan dana. Golongan masyarakat seperti ini mungkin adalah
pemerintah sendiri, yang berusaha memperoleh bagian yang lebih besar dari
output masyarakat jalam menjalankan defisit dalam anggaran belanjanya yang
dibiayai dengan mencetak uang baru. Golongan tersebut mungkin juga
pengusaha-pengusaha swasta yang menginginkan untuk melakukan investasiinvestasi baru dan memperoleh dana pembiayaannya dari kredit dari bank.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
Golongan tersebut bisa pula serikat buruh yang berusaha memperoleh kenikan
gaji bagi anggota-anggotanya melebihi kenaikan produktivitas buruh.
Bila jumlah dari permintaan-permintaan efektif dari semua golongan
masyarakat tersebut, pada tingkat harga yang berlaku, melebihi jumlah
maksimum dari barang-barang yang bisa dihasilkan oleh masyarakat, maka
inflationary gap timbul. Karena permintaan total melebihi jumlah barang yang
tersedia, maka harga-harga akan naik. Adanya kenaikan harga-harga berarti
bahwa sebagian dari rencana-rencana pembelian barang dari golongangolongan tersebut tidak bisa terpenuhi. Pada periode selanjutnya golongangolongan tersebut akan berusaha untuk memperoleh dana yang lebih besar
lagi (dari pencetakan uang baru atau kredit dari bank yang lebih besar atau
kenaikan gaji yang lebih besar).
Tentunya tidak semua golongan tersebut berhasil memperoleh tambahan dana
yang diinginkan. Golongan yang bisa memperoleh dana yang lebih banyak
bisa memperoleh bagian dari output yang lebih banyak. Meraka yang tidak
bisa memperoleh dana akan medapatkan bagian output yang lebih kecil. Yang
termasuk golongan yang kalah dalam proses perebutan ini adalah golongangolongan yang berpenghasilan tetap atau yang penghasilannya tidak naik
secepat laju inflasi. Proses inflasi akan terus berlangsung selam jumlah
permintaan efektif dari semua golongan masyarakat melebihi jumlah output
yang bisa dihasilkan masyarakat. Inflasi akan berhenti bila permintaan efektif
total tidak melebihi, pada tingkat harga yang berlaku, jumlah output yang
tersedia.
c. Teori Strukturalis
Teori strukturalis adalah teori mengenai inflasi yang didasarkan atas
pengalaman di negara-negara Amerika Latin. Teori ini memberi tekanan pada
ketegaran (rigidities) dari struktur perekonomian negara-negara sedang
berkembang. Karena inflasi dikaitkan dengan faktor-faktor struktural dari
perekonomian (yang, menurut definisi, faktor-faktor ini hanya bisa berubah
secara gradual dan dalam jangka panjang), maka teori ini bisa disebut teori
inflasi “jangka panjang”. Menurut teori ini ada kekakuan dalam perekonomian
negara-negara sedang berkembang yang bisa menimbulkan inflasi, yaitu:
1. Ketegaran yang pertama berupa “ketidak-elastisan” dari penerimaan
ekspor, yaitu nilai ekspor yang tumbuh secara lamban dibandingkan
dengan pertumbuhan sektor-sektor lain. Kelambanan ini disebabkan
karena (a) Harga dipasar dunia dari barang-barang ekspor negara tersebut
makin tidak menguntungkan, atau sering disebut dengan istilah bahwa
dasar penukaran (terms of trade) makin memburuk. (b) Supply atau
produksi barang-barang ekspor yang tidak responsif terhadap kenaikan
harga.
Kelambanan
pertumbuhan
penerimaan
ekspor
ini
berarti
kelambanan pertumbuhan kemampuan untuk mengimpor barang-barang
yang dibutuhkan (untuk konsumsi maupun investasi). Akibatnya negara
tersebut
terpaksa
mengambil
kebijaksanaan
pembangunan
yang
menekankan pada penggalakan produksi dalam negeri dari barang yang
sebelumnya diimpor, meskipun sering kali prodsuksi dalam negeri
memiliki ongkos produksi yang lebih tinggi dari pada barang-barang yang
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
sejenis diimpor. Biaya produksi yang lebih tinggi ini mengakibatkan
harga yang lebih tinggi. Dan bila proses substitusi impor ini makin
meluas, kenaikan biaya produksi juga makin meluas ke berbagai barang,
sehingga makin banyak harga-harga barang yang naik. Dengan demikian
inflasi terjadi.
2. Ketegaran yang kedua berkaitan dengan “ketidak-elastisan” dari supply
atau produksi bahan makanan di dalam negeri. Dikatan bahwa produksi
bahan makanan dalam di dalam negeri tidak tumbuh secepat pertambahan
penduduk dan penghasilan perkapita, sehingga harga-harga bahan
makanan di dalam negeri cenderung untuk menaik melebihi kenaikan
harga barang-barang lain. Akibat selanjutnya adalah timbul tuntutan dari
para karyawan untuk memperoleh upah/gaji. Kenaikan upah berarti
kenaikan ongkos produksi, yang berarti pula kenaikan harga dari barangbarang tersebut. Kenaikan harga barang-barang seterusnya mengakibatkan
timbulnya tuntutan kenaikan upah lagi. Kenaikan upah kemudian diikuti
oleh kenaikan harga-harga. Demikian seterusnya. Proses ini akan akan
berhenti dengan sendirinya seandainya harga bahan makanan tidak terus
menaik. Tetapi oleh karena faktor struktural tadi, harga bahan makanan
akan terus menaik, sehingga proses saling dorong mendorong atau proses
“spiral” antara harga dan upah tersebut terus selalu mendapat “umpan”
baru dan tidak berhenti.
Proses inflasi yang timbul karena kedua ketegaran tersebut dalam praktek
jelas tidak berdiri sendiri-sendiri. Umumnya kedua proses tersebut saling
berkaitan dan seringkali memperkuat satu sama lain.
2.1.1.4. Dampak Inflasi
Prospek pembangunan ekonomi jangka panjang akan menjadi semakin
memburuk sekiranya inflasi tidak dapat dikendalikan. Inflasi cenderung akan menjadi
bertambah cepat apabila tidak diatasi. Inflasi yang bertambah serius tersebut
cenderung untuk mengurangi investasi yang produktif, mengurangi ekspor dan
menaikkan impor. Kecenderungan inflasi ini akan memperlambat pertumbuhan
ekonomi. Akibat buruk inflasi dapat dibedakan ke dalam dua aspek, yaitu:
1. Pada perekonomian meliputi:
a. Tingkat bunga meningkat dan akan mengurangi investasi
Suku bunga nominal adalah suku bunga riil ditambah dengan inflasi, maka
makin tinggi tingkat inflasi akan berakibat naiknya suku bunga. Naiknya suku
bunga nominal berakibat naiknya suku bunga kredit, sehingga akan
menurunkan investasi nasional.
b. Menimbulkan masalah neraca pembayaran
Inflasi yang terjadi di suatu negara tidak dapat dikendalikan maka akan terjadi
kenaikan impor besar-besaran sehingga impor lebih besar dari ekspor. Di
samping itu aliran modal ke luar akan lebih banyak daripada yang masuk ke
dalam negeri. Barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat negara itu akan
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
mengakibatkan defisit neraca pembayaran. Hal ini seterusnya akan
menimbulkan kemerosotan nilai mata uang.
c. Menaikkan penanaman modal spekulatif
Dalam kondisi inflasi biasanya harga barang-barang tetap naik lebih tinggi
dibandingkan inflasinya, misalnya: harga tanah dan bangunan. Hal ini akan
membuat pemilik uang lebih menyukai penanaman modal spekulatif.
Membeli rumah dan tanah serta menyimpan barang yang berharga akan lebih
menguntungkan daripada melakukan investasi yang produktif.
d. Inflasi menimbulkan ketidakpastian mengenai keadaan ekonomi dimasa depan
inflasi akan bertambah cepat jalannya apabila tidak dikendalikan. Pada
akhirnya inflasi akan menimbulkan ketidakpastian dan arah perkembangan
ekonomi tidak lagi dapat diramalkan dengan baik. Keadaan ini akan
mengurangi kegairahan pengusaha mengembangkan ekonomi.
2. Inflasi terhadap individu atau masyarakat
a. Memperburuk distribusi pendapatan
Dalam masa inflasi nilai harta-harta tetap seperti tanah, rumah, bangunan
pabrik dan pertokoan akan mengalami kenaikan harga yang adakalanya lebih
cepat dari kenaikan inflasi itu sendiri. Sebaliknya, penduduk yang tidak
mempunyai harta yang meliputi sebahagian besar dari golongan masyarakat
berpendapatan rendah, pendapatan riilnya merosot sebagai akibat inflasi.
Dengan demikian inflasi melebarkan ketidaksamaan distribusi pendapatan.
b. Menurunkan pendapatan riil
Sebagian tenaga kerja di setiap negara terdiri dari pekerja-pekerja bergaji
tetap. Dalam masa inflasi biasanya kenaikan harga-harga selalu mendahului
kenaikan pendapatan.
Dengan demikian,
Inflasi akan
menyebabkan
pendapatan riil masyarakat akan menurun yang dicerminkan oleh turunnya
daya beli masyarakat
c. Menurunnya nilai riil tabungan
Suku bunga tabungan tidak dinaikkan atau sama dengan tingkat inflasi maka
nilai riil tabungan terjadi penurunan. Selain bermanfaat untuk memobilisasi
tabungan, inflasi juga bisa mendorong tumbuhnya perusahaan swasta, yaitu
ketika inflasi dianggap bisa membantu menarik tenaga kerja dan kapital dari
sektor ekonomi yang sedang mengalami penurunan menuju sektor yang
dinamis. Dengan demikian inflasi terutama yang moderat tidak hanya
dipandang sebagai tidak terhindarkan, tetapi bahkan diinginkan. Pengalaman
sejak tahun 1950 menyarankan bahwa inflasi tidak terhindarkan di negara
berkembang yang sedang mempercepat peningkatan pendapatan per kapita:
faktor-faktor produksi relatif immobile dalam jangka pendek dan suplai
mengalami ketidakseimbangan.
2.1.1.5. Kebijakan Mengatasi Inflasi
Pemerinta mengupayakan berbagai cara untuk mengatasi inflasi, walaupun
terkadang penyebab terjadinya inflasi tersebut dikarenakan adanya monopoli dalam
perekonomian, atau terjadi kenaikan tingkat upah dan gaji pegawai. Pemerintah
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
umumnya menggunakan 2 (dua) kebijakan dalam mengendalikan perekonomian,
yaitu:
a. Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter dijalankan pemerintah untuk mengurangi volume uang
yang beredar dalam masyarakat, dengan menyeimbangkan jumlah uang
beredar dengan output secara nasional. Kebijakan moneter ini dapat dilakukan
dengan cara:
1. Tight Money Policy (Kebijakan Uang Ketat)
Tindakan
ini
akan
mempengaruhi
seluruh
perekonomian
secara
keseluruhan tanpa pandang bulu. Dengan tindakan ini seluruh sektor akan
mengalami kemacetan dalam menjalankan aktifitasnya.
2. Menaikkan suku bunga bank melalui Bank Sentral
Dengan naiknya suku bunga bank oleh karena kenaikan suku bunga bank
sentral akan menyebabkan penurunan permintaan uang untuk investasi,
tujuannya adalah untuk menarik uang beredar dalam masyarakat. Setelah
uang berhasil dikurangi maka pemberian kredit untuk investasi semakin
diperketat agar pertambahan investasi diimbangi dengan penambahan
produksi barang.
b. Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal merupakan salah satu upaya yang dijalankan pemerintah
untuk dapat mengurangi jumlah uang yang beredar dalam masyarakat agar
tingkat inflasi dapat ditekan, beberapa kebijakan itu ialah:
1. Meningkatkan pajak
Jika pajak yang dikenakan pemerintah terhadap pendapatan semakin
tinggi, hal itu akan menyebabkan konsumsi masyarakat akan semakin
kecil ditambah lagi oleh MPC (Marginal Product Consumption)
masyarakat yang bersangkutan. Sehingga dengan naiknya pajak yang
dikenakan pemerintah terhadap pendapatan masyarakat akan menekan
tingkat konsumsi masyarakat. Keadaan ini akan mengurangi jumlah uang
yang beredar dalam masyarakat.
2. Menekan pengeluaran pemerintah
Pengeluaran pemerintah dapat ditekan melalui kebijakan fiskal adalah
subsidi dan anggaran pembangunan.
2.1.2. Kurs
2.1.2.1. Defenisi Kurs
Nilai tukar (exchange rate) atau kurs adalah harga relatif mata uang suatu
negara terhadap mata uang negara lain (Abimanyu, 2004: 6). Menurut Sadono
Sukirno, 2006: 397, kurs valuta asing dapat juga didefenisikan sebagai jumlah uang
domestik yang dibutuhkan, yaitu banyaknya rupiah yang dibutuhkan, untuk
memperoleh satu unit mata uang asing.
Nilai tukar (kurs) mengukur nilai suatu valuta dari perspektif valuta lain.
Sejalan dengan berubahnya kondisi ekonomi, nilai tukar juga bisa berubah secara
substansial. Penurunan nilai valuta dinamakan dengan depresiasi (depreciation).
Peningkatan nilai valuta dinamakan dengan apresiasi (apreciation).
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
2.1.2.2. Sistem Kurs
Sistem pokok nilai tukar valuta asing dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dan sistem nilai tukar mengambang
(flexible exchange rate). Pembedaan ini berdasarkan pada besar cadangan devisa dan
intervensi bank sentral yang diperlukan untuk mempertahankan kurs pada sistem
tersebut. Sistem nilai tukar tetap membutuhkan cadangan devisa yang sangat besar.
Selain itu, bank sentral harus berulangkali mengintervensi pasar agar nilai tukar tetap
berada pada posisi yang dikehendaki. Sebaliknya, sistem nilai tukar mengambang
tidak membutuhkan cadangan devisa. Bank sentral juga tidak perlu mengintervensi
pasar karena kurs valuta asing ditetapkan oleh interaksi antara permintaan dan
penawaran mata uang yang bersangkutan (Abimanyu, 2004: 8).
Tidak semua negara di dunia menganut salah satu sistem nilai tukar di atas.
Kenyatan, banyak negara yang menganut varians dari kedua sitem tersebut.
Berdasarkan kenyataan ini, beberapa ahli ekonomi mencoba untuk mengelompokkan
berbagai sistem yang ada ke dalam satu continuum yang terdiri dari dua kutub.
Kutub yang satu adalah siste nilai tukar tetap, sedangkan kutub yang lainnya
pada sisi yang berlawanan adalah sistem nilai tukar mengambang. Berdasarkan
besarnya intervensi bank sentral dan cadangan devisa yang diperlukan untuk
mempertahankan berbagai sistem tersebut, terdapat enam sistem nilai tukar yang
disepakati oleh banyak negara di dunia, yaitu (Gillis et al, 1996, Dalam Abimanyu,
2004: 8):
1. Sistem Fixed (pegged), di mana otorotas moneter selalu mengintervensi pasar
untuk mempertahankan nilai tukar mata uang sendiri terhadap satu mata uang
asing tertentu. Intervensi tersebut memerlukan cadangan devisa yang relatif besar.
Tekanan terhadap nilai tukar valuta asing, yang biasanya bersumber dari defisit
neraca perdagagnan, cenderung menghasilkan kebijakan devaluasi.
2. Sistem Adjustable Peg, di mana otoritas moneter terikat untuk mempertahankan
nilai tukar valuta asing. Namun, otoritas moneter berhak mengubah kurs apabila
terjadi perubahan kenbijakan.
3. Sistem Crawling Peg, di mana otoritas moneter mengaitkan mata uang dalam
negeri terhadap satu atau beberapa mata uang asing. Nilai tukar valuta asing
dalam sistem ini diubah secara periodik dan berangsur-angsur dalam persentase
yang kecil.
4. Sistem Managed Float, di mana otoritas moneter tidak terikat untuk
mempertahankan nilai tukar valuta asing tertentu. Namun, otoritas mineter secara
kontinyu mengintervensi pasar berdsarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu,
misalnya, karena cadangan devisa yang menipis. Contoh lain, otoritas moneter
dapat meng-intervensi pasar agar nilai mata uang Rupiah melemah untuk
mendorong peningkatan ekspor.
5. Sistem Wider Band, di mana otoritas moneter membiarkan nilai tukar valuta
asing mengambang atau berfluktuasi di antara dua titik tertinggi dan terendah.
Jika keadaan perekonomian menyebabkan kurs bergerak melampaui dua titik
tersebut, otoritas moneter akan mengintervensi pasar dengan cara membeli atau
menjual Rupiah atau US Dollar. Intervensi tersebut menjaga nilai tukar Rupaih
tetap berada di antara kedua titik tersebut.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
6. Sistem Free Floating, berada pada kutub yang bertentangan dengan sistem fixed.
Dalam sistem ini, otoritas moneter secara teoritis tidak perlu mengintervensi pasar
sehingga sistem ini tidak memerlukan cadangan devisa.
2.1.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kurs
1. Laju inflasi relatif
Perubahan dalam laju inflasi dapat mempengaruhi aktivitas perdagangan
internasional, karena mempengaruhi permintaan dan penawaran valuta, dan
dengan demikian mempengaruhi nilai tukar. Dengan mengasumsikan ada dua
negara, jika inflasi negara A naik, maka negara A akan meningkatkan permintaan
terhadap mata uang B di mana tingkat inflasi B tetap. Selain itu, lonjakan inflasi
di negara A akan mengurangi keinginan konsumen negara B terhadap produkproduk negara A sehingga mengurangi penawaran mata uang B dalam pasar.
2. Suku bunga relatif
Perubahan dalam suku bunga relatif mempengaruhi investasi dalam sekuritassekuritas asing, yang selanjutnya akan mempengaruhi permintaan dan penawaran
valuta asing dan nilai tukar. Dengan mengasumsikan suku bunga di negara A
meningkat sedangkan suku bunga di negara B tetap (konstan). Dalam hal ini
perusahaan-perusahaan di A besar kemungkinan akan mengurangi permintaan
mereka terhadap mata uang negara B karena suku bunga di A sekarang lebih
menarik ketimbang suku bunga di B. Perusahaan-perusahaan di negara A akan
menarik deposito mereka di negara B dan menempatkannya di bank negara A.
3. Tingkat pendapatan relatif
Faktor ketiga yang mempengaruhi nilai tukar adalah tingkat pendapatan
nasional relatif. Pada saat tingkat pendapatan nasional naik maka kemampuan
untuk mengimpor suatu negara akan naik. Hal ini akan menyebabkan terjadinya
fluktuasi nilai tukar.
4. Kontrol pemerintah
Faktor keempat yang mempengaruhi nilai tukar adalah kontrol pemerintah.
Pemerintah negara-negara asing dapat mempengaruhi nilai tukar ekuilibrium
dengan berbagai cara, di antaranya melalui hambatan jual beli valuta asing,
hambatan perdagangan, intervensi (pembelian dan penjualan valuta) dalam pasar
valas (valuta asing), dan tingkat pendapatan nasional.
2. Ekspektasi
Faktor kelima yang mempengaruhi nilai tukar valuta asing adalah ekspektasi
akan nilai tukar di masa depan. Sama seperti pasar keuangan yang lain, pasar
valas bereaksi cepat terhadap setiap berita yang memiliki dampak ke depan.
2.1.3. Investasi
2.1.3.1. Definisi Investasi
Investasi adalah komitment atas sejumlah dana atau sumber daya lainnya yang
dilakukan pada saat ini, dengan tujuan memperoleh sejumlah keuntungan di masa
datang (Tandelilin, 2001: 3).
Investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran atau pengeluaran penanampenanam modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan
perlengkapan-perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian. Penambahan jumlah
barang modal ini memungkinkan perekonomian tersebut menghasilkan lebih banyak
barang dan jasa dimasa yang akan datang (Sadono, 2006: 121).
Dalam praktiknya, dalam usaha untuk mencatat nilai penanaman modal yang
dilakukan dalam suatu tahun tertentu, yang digolongkan sebagai investasi (atau
pembentukan modal atau penanaman modal) meliputi pengeluaran-pengeluaran yang
berikut (Sadono, 2006: 121):
i. Pembelian barang jenis barang modal, yaitu mesin-mesin dan peralatan produksi
lainnya untuk mendirikan berbagai jenis industri dan perusahaan.
ii. Pengeluaran untuk mendirikan rumah tempat tinggal, bangunan kantor, bangunan
pabrik dan bangunan-bangunan lainnya.
iii. Pertambahan nilai stok barang-barang yang belum terjual, bahan mentah dan
barang yang masih dalam proses produksi pada akhir tahun penghitungan
pendapatan nasional.
Jumlah dari ketiga jenis komponen investasi tersebut dinamakan investasi
bruto, yaitu ia meliputi investasi untuk menambahkan kemampuan memproduksi
dalam perekonomian dan mengganti barang modal yang telah didepresiasikan.
Apabila investasi bruto dikurangi oleh nilai depresiasi maka akan didapat investasi
netto.
2.1.3.2. Dasar Keputusan Investasi
Dasar keputusan investasi terdiri dari tingkat return yang diharapkan, tingkat
resiko, serta hubungan antara return dan resiko (Tandelilin, 2001: 6):
a. Return
Dalam konteks manajemen investasi tingkat keuntungan investasi disebut sebagai
return. Return yang diharapkan investor dari investasi yang dilakukan merupakan
kompensasi atas biaya kesempatan (opportunity cost) dan risiko penurunan daya
beli akibat adanya pengaruh inflasi. Dalam konteks manajemen investasi, perlu
dibedakan antara return yang diharapkan (expected return) dan return yang terjadi
(realized return). Return yang diharapkan merupakan tingkat return yang
diantisipasi investor dimasa datang. Sedangkan return yang terjadi atau return
aktual merupakan tingkat return yang telah diperoleh investor pada masa lalu.
Perbedaan antara return yang diharapkan dengan return yang benar-benar diterima
(return aktual) merupakan resiko yang harus selalu dipertimbangkan dalam proses
investasi.
b. Risiko
Umumnya semakin besar resiko, maka semakin besar pula tingkat return yang
diharapkan. Risiko bisa diartikan sebagai kemungkinan return aktual yang
berbeda dengan return yang diharapkan. Dalam ilmu investasi pada khususnya
terdapat asumsi bahwa investor adalah makhul yang rasional. Investor yang
rasional tentunya tidak akan menyukai ketidakpastian atau risiko. Investor seperti
ini tidak akan mau mengambil risiko suatu investasi jika investasi tersebut tidak
memberikan harapan return yang layak sebagai kompensasi terhadap risiko yang
harus ditanggung investor tersebut.
c. Hubungan tingkat risiko dan return yang diharapkan
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
Hubungan antara risiko dan return yang diharapkan merupakan hubungan yang
bersifat searah dan linier. Artinya, semakin besar risiko suatu aset, semakin besar
pula return yang diharapkan atas aset tersebut, demikian sebaliknya. Gambar
berikut ini menunjukkan hubungan antara return yang diharapkan dan risiko pada
Return yang diharapkan
berbagai jenis aset yang mungkin bisa dijadikan alternatif investasi.
Opsi ‘put’
& ‘call’
Tingkat bunga
bebas risiko
Saham
Obligasi
Pemerintah
Obligasi
Perusahaan
Kontrak
‘futures’
Ekuitas
Internasional
RF
Risiko
rendah
Risiko
moderat
Risiko
diatas ratarata
Risiko
sedang
Risiko
tinggi
Risiko
Sumber: Farrel, James L., 1997, “Portfolio Management: Theory and Application”, McGraw-Hill,
Singapore, hal. 11. Dalam Tandelilin, 2001: 7.
Gambar 2.3.
Hubungan Risiko dan Return yang Diharapkan
Garis vertikal dalam gambar di atas menunjukkan besarnya tingkat return yang
diharapkan dari masing-masing
jenis
aset,
sedangkan garis horizontal
memperlihatkan risiko yang ditanggung investor. Titik RF pada gambar di atas
menunjukkan tingkat return bebas risiko (risk-fare rate), untuk selanjutnya akan
ditulis sebagai RF. RF dalam gambar di atas menunjukka satu pilihan investasi
yang menawarkan tingkat return yang diharapkan sebesar RF dengan risiko
sebesar 0. Selanjutnya obligasi pemerintah terlihat mempunyai risiko yang
cenderung rendah dan tingkat return diharapkan yang juga tidak terlalu tinggi.
Sedangkan disisi lain, jika kita berinfestasi pada kontrak futures misalnya, sesuai
dengan gambar di atas, terlihat bahwa risiko yang harus ditanggung tergologn
sebagai risiko yang tinggi, dengan tingkat return yang diharapkan tinggi pula.
Kesimpulan yang bisa ditarik dari pola hubungan antara risiko dan return yang
diharapkan adalah bahwa risiko dan return yang diharapkan mempunyai
hubungan yang searah dan linier. Artinya, semakin tinggi risiko suatu aset,
semakin tinggi pula tingkat return yang diharapkan dari aset tersebut, demikian
sebaliknya.
2.1.4. Sertifikat Bank Indonesia
2.1.4.1. Pengertian SBI
Salah satu instrumen pasar uang yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk
mengendalikan likuiditas perrekonomian adalah Sertifikat Bank Indonesia atau SBI.
SBI adalah instrumen keuangan jangka pendek yang dijadikan tolak ukur oleh bankbank pemerintah, swasta nasional dan swasta asing dalam menentukan tingkat suku
bunga tabungan, deposito dan pinjaman kepada masing-masing nasabahnya.
Dalam kondisi normal fungsi utama SBI adalah menjaga uang yang beredar
berada dalam jumlah yang optimal. Namun sejak krisis moneter melanda Indonesia
tahun 1997, SBI juga digunakan oleh Bank Sentral untuk mencegah meningkatnya
permintaan dana oleh masyarakat dan kalangan pengusaha swasta nasional untuk
keperluan transaksi dan berjaga-jaga. Pada kondisi tersebut, meningkatnya
permintaan uang oleh masyarakat dan kalangan pengusaha nasional tidak sepenuhnya
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
digunakan untuk keprluan dimaksud, namun digunakan untuk berspekulasi membeli
Dollar guna memperoleh keuntungan yang spekulatif.
2.1.4.2. Karakteristik SBI
SBI pada dasarnya adalah merupakan instrumen jangka pendek yang bebas
resiko. Karakteristik utama SBI adalah:
1. Pemberian bunga
Bunga pada SBI dikenal sebagai tingkat diskonto, karena SBI dijual dengan
harga discount sebesar tingkat diskontonya, atau dengan kata lain bunga SBI
diberikan di awal.
2. Penerbitan
SBI diterbitkan berdasarkan atas unjuk, yaitu yang terakhir membawa SBI
pada saat jatuh tempo maka dialah yang berhak mencairkannya.
3. Suku bunga
Suku bunga SBI ditentukan berdasarkan lelang yang dilakukan setiap hari
Rabu sore pukul 18.00. penentuan suku bunga ini dilakukan berdasarkan
lelang antara money broker yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Money broker
yang menawar pada tingkat suku bunga yang rendah akan diprioritaskan
untuk mendapatkan SBI terlebih dahulu.
2.1.4.3. Keuntungan dan Kerugian SBI
Keuntungan utama investasi pada instrumen Sertifikat Bank Indonesia adalah:
1. Opportunity untuk memperoleh pendapatan bunga yang lebih tinggi dari
instrumen Deposits On Call dan deposito bulan {Time Deposit)
2. Menjaga likuiditas, yaitu jika sewaktu-waktu perusahaan membutulikan dana,
SBI dapat diperjual belikan dan diterima oleh seluruh lembaga keuangan bank
maupun non bank sehingga sangat likuid
Kerugian investasi ini adalah:
1. Umur SBI yang paling kecil adalah satu bulan, sehingga kurang fleksibel jika
dana perusahaan yang tersedia hanya dapat ditanamkan kurang dari sebulan.
2.1.6. Saham
2.1.6.1. Defenisi Saham
Saham dapat didefenisikan sebagai surat berharga sebagai bukti penyertaan
atau pemilikan individu maupun institusi dalam suatu perusahaan. Apabila seorang
investor membeli saham, maka ia akan menjadi pemilik dan disebut sebagai
pemegang saham perusahaan tersebut (Anoraga, 2001:58).
Saham dapat didefenisikan sebagai tanda penyertaan atau pemilikan seseorang
atau badan dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas. Wujud saham adalah,
selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas tersebut adalah pemilik
perusahaan yang menerbitkan surat berharga tersebut (Darmadji, 2001: 5).
Saham merupakan surat bukti bahwa kepemilikan atas aset-aset perusahaan
yang menerbitkan saham. Dengan memiliki saham suatu perusahaan maka investor
akan mempunyai hak terhadap pendapatan dan kekayaan perusahaan setelah
dikurangi dengan pembayaran semua kewajiban perusahaan (Tandelilin, 2001: 18).
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
Beberapa karakteristik yuridis kepemilikan saham suatu perusahaan, antara
lain (Darmadji, 2001: 5):
1. Limited Risk, artinya pemegang saham hanya bertanggungjawab sampai
jumlah yang disetorkan kedalam perusahaan.
2. Ultimate Control, artinya pemegang saham (secara kolektif) akan menentukan
arah dan tujuan perusahaan.
3. Residual Claim, artinya pemegang saham merupakan pihak terakhir yang
mendapat pembagian hasil usaha perusahaan (dalam bentuk deviden) dan
sisa asset dalam proses likuidasi perusahaan. Pemegang saham memiliki
posisi terakhir dibanding pemegang obligasi atau kreditur.
Harga saham yang terjadi di pasar sangat berfluktuasi tergantung dari jumlah
permintaan dan penawaran saham tersebut. Harga saham akan cenderung naik apabila
suatu saham mengalami kelebihan permintaan dan akan cenderung turun apabila
saham tersebut mengalami kelebihan penawaran.
2.1.6.2. Jenis-jenis Saham
a. Ditinjau dari segi kemampuan dalam hak tagihan atau klaim, maka saham terbagi
atas:
1. Saham Biasa
Saham biasa, dikenal sebagai sekuritas penyertaan, sekuritas ekuitas, atau
cukup disebut ekuitas (equities), menunjukkan bagian kepemilikan di sebuah
perusahaan. Masing-masing lembar saham bisa mewakili satu suara tentang
segala hal dalam pengurusan perusahaan dan menggunakan suara tersebut
dalam rapat tahunan perusahaan dan pembagian keuntungan. (Bodi, Kane,
Marcus: 2006; 59)
2. Saham Prefern
Saham preferen (Preferred Stock), yaitu saham yang memiliki fitur yang
serupa dengan ekuitas sekaligus utang. Pemegang saham preferen akan
mendapatkan pembayaran tetap dari laba setiap tahunnya (seperti halnya
obligasi). Saham preferen tidak memiliki hak atas suara atau manajemen
perusahaan. Perusahaan dapat menahan pembayaran deviden kepada
pemegang saham preferen tersebut; tidak ada kewajiban tertulis untuk
membayar deviden tersebut namun biasanya devidennya bersifat kumulatif,
artinya pembayaran deviden diakumulasikan dan harus dibayar penuh
sebelum deviden untuk pemegang saham biasa dibayarkan. (Bodie, 2006; 62)
b. Dilihat dari cara peralihannya, saham dapat dibedakan atas (Darmadji, 2001; 6):
1. Saham Atas Unjuk
Saham Atas Unjuk (barrier stock), artinya pada saham tersebut tidak tertulis
nama pemiliknya, agar mudah dipindahtangankan dari satu investor ke
investor lainnya. Secara hukum, siapa yang memegang saham tersebut, maka
dialah yang diakui sebagai pemiliknya, dan berhak untuk turut hadir dalam
RUPS.
2. Saham Atas Nama
Saham Atas Nama (Registered Stock), merupakan saham yang ditulis dengan
jelas siapa nama pemiliknya, dimana cara peralihannya harus melalui
prosedur tententu.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
c. Ditinjau dari kinerja perdagangan, maka saham dapat dikategorikan atas
(Darmadji, 2001; 7).:
1. Blue Chip Stocks, yaitu saham biasa dari suatu perusahaan yang memiliki
reputasi tinggi, sebagai leader di industri sejenis, memiliki pendapatan yang
stabil dan konsisten dalam membayar deviden
2. Income Stock, yaitu saham dari suatu emiten yang memiliki kemampuan
membayar deviden yang lebih tinggi dari rata-rata deviden yang dibayarkan
pada tahun sebelumnya. Emiten seperti ini biasanya mampu menciptakan
pendapatan yang lebih tinggi dan secara teratur membagikan deviden tunai.
Emiten ini tidak suka mementingkan laba dan tidak mementingkan potensi
pertumbuhan harga saham.
3. Growth Stocks (Well Known), yaitu saham-saham dari emiten yang memiliki
pertumbuhan pendapatan yang tinggi, sebagai leader di industri sejenis yang
mempunyai reputasi tinggi. Selain itu terdapat juga growth stoc (lesserknown), yaitu saham dari emiten yang tidak sebagai leader dalam industri
sejenis namun memiliki growt stocks. Umumnya saham ini bersal dari daerah
dan kurang populer dikalangan emiten.
4. Speculative Stocks, yaitu saham suatu perusahaan yang tidak bisa secara
konsisten memperoleh penghasilan yang tinggi dimasa mendatang, meskipun
belum pasti.
5. Counter Cyclical Stocks, yaitu saham suatu perusahaan yang tidak
terpengaruh oleh kondisi ekonomi makro maupun situasi bisnis secara umum.
Emiten seperti ini biasanya bergerak dalam produk yang sangat dan selalu
dibutuhkan masyarakat.
2.1.6.3. Keuntungan Investasi dengan Saham
Pada dasarnya ada dua jenis keuntungan yang diperoleh investor dengan
membeli saham, yaitu deviden dan capital gain. Jika pemegang saham juga
dimungkinkan untuk mendapat saham bonus (Darmadji, 2001: 8).
1. Deviden
Yaitu pembagian keuntungan yang diberikan perusahaan penerbit saham tersebut
atas keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan. Deviden diberikan setelah
pendapat persetujuan dari pemegang saham dalam Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS). Jika seorang pemodal ingin mendapatkan deviden, maka
pemodal tersebut harus memegang saham tersebut dalam kurun waktu yang relatif
lama yaitu hingga kepemilikan saham tersebut berada dalam periode dimana
diakui sebagai pemegang saham yang berhak mendapatkan deviden. Umumnya
deviden merupakan salah satu daya tarik bagi pemegang saham dengan orientasi
jangka panjang seperti misalnya investor institusi atau dana pensiun dan lain-lain.
Deviden yang dibagikan perusahaan dapat berupa deviden tunai, artinya deviden
yang dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk tunai dan dalam jumlah
tertentu untuk setiap saham, atau dapat pula berupa deviden saham yang berarti
kepada setiap pemegang saham diberikan deviden sejumlah saham sehingga
jumlah saham yang dimiliki seorang investor akan bertambah dengan adanya
pembagian deviden tersebut.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
2. Capital Gain
Capital Gain merupakan selisih antara harga beli dan harga jual. Capital Gain
terbentuk degan adanya aktifitas perdagangan saham di pasar sekunder. Misalnya
seorang pemodal membeli saham Telkom (TKM) dengan harga per saham
Rp3.500 kemudian menjual dengan harga per saham Rp3.500 yang berarti
pemodal tersebut mendapatkan capital gain sebesar Rp500 untuk setiap saham
yang dijualnya.
Disamping
dua
keuntungan
tersebut
maka
pemegang
saham
juga
dimungkinkan mendapatkan saham bonus (jika ada), yaitu saham yang dibagikan
kepada pemegang saham yang diambil dari agio saham. Agio saham adalah selisih
antara harga jual terhadap harga normal saham tersebut pada saat perusahaan
melakukan penawaran umum di Pasar Perdana. Misalnya, setiap saham dengan
nominal Rp500 dijual dengan harga Rp800, maka setiap saham akan memberikan
agio kepada perusahaan sebesar Rp300 untuk setiap sahamnya.
2.1.6.4. Resiko Investasi dengan Saham
Saham dikenal dengan karakteristik high risk-high return. Artinya saham
merupakan surat berharga yang memberikan peluang keuntungan tingkat tinggi
namun juga berpotensi risiko tinggi. Saham memungkinkan pemodal untuk
mendapatkan return atau keuntungan (capital gain) dalam jumlah yang besar dalam
waktu singkat. Namun, seiring dengan berfluktuasinya harga saham, maka saham
juga dapat pemodal pengalami kerugian besar dalam waktu singkat (Darmadji, 2001:
10).
Resiko yang dihadapi pemodal dengan kepemilikan saham (saham biasa):
1. Tidak Mendapat Deviden
Perusahaan akan membagikan deviden jika operasional perusahaan menghasilkan
keuntunga. Dengan demikian perusahan tidak dapat membagihan dividen jika
perusahaan tersebut mengalami kerugian. Dengan demikian potensi keuntungan
pemodal untuk mendapatkan dividen ditentukan oleh kinerja perusahaan tersebut.
2. Capital Loss
Dalam aktivitas perdagangan saham, tidak selalu pemodal mendapatkan capital
gain alias keuntungan atas saham yang dijualnya. Ada kalanya pemodal harus
menjual saham dengan harga jual lebih rendah dari harga beli. Dengan demikian
seorang pemodal mengalami capital loss. Misalnya seorang pemodal memiliki
saham Indosat (ISAT) dengan harga beli Rp9.000 namun beberapa waktu
kemusian dijual dengan harga persaham Rp8.000 yang berarti pemodal tersebut
mengalami capital loss Rp1.000 untuk setiap saham yang dijual.
Disamping resiko di atas, seorang pemegang saham juga masih dihadapkan
dengan potensi resiko lainnya yaitu:
•
Perusahaan Bangkrut atau Dilikuidasi
Jika suatu perusahaan bangkrut, maka tentu saja akan berdampak secara langsung
kepada saham perusahaan tersebut. Sesuai dengan peraturan pencatatan saham di
bursa efek, maka jika suatu perusahaan bangkrut atau dilikuidasi, maka secara
otomatis saham perusahaan tersebut akan dikeluarkan dari bursa atau di-delist.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
Dalam kondisi perusahaan dilikuidasi, maka pemegang saham akan menempati
posisi lebih rendah dibandingkan dengan kreditor atau pemegang obligasi, dan
jika masih terdapat sisa, baru dibagikan kepada para pemegang saham.
•
Saham di-Delist dari Bursa (Delisting)
Suatu perusahaan di-delist dari bursa umumnya karena kinerja saham buruk
misalnya dalam kurun waktu tertentu tidak pernah diperdagangkan, mengalami
kerugian beberapa tahun, tidak membagikan deviden secara berturut-turut selama
beberapa tahun dan berbagai kondisi lainnya sesuai peraturan pencatatan efek di
bursa. Saham yang telah di-delist tentu saja tidak lagi diperdagangkan di bursa,
namun tetap dapat diperdagangkan diluar bursa dengan konsekuensi tidak
terdapat patokan harga yang jelas dan jika terjual biasanya dengan harga yang
jauh dari harga sebelumnya.
•
Saham di-Suspend
Saham di-suspend berarti saham tersebut dihentikan perdagangannya oleh otoritas
bursa efek. Dengan demikian pemodal tidak dapat menjual sahamnya hingga
suspend dicabut. Suspend biasanya berlangsung dalam waktu singkat, misalnya
satu sesi perdagangan, namun dapat pula berlangsung dalam kurun waktu
beberapa hari perdagangan. Hal tersebut dilakukan oleh otoritas bursa jika
misalnya suatu saham mengalami lonjakan harga yang luar biasa, suatu
perusahaan dipailitkan oleh kreditornya, atau berbagai kondisi lainnya yang
mengharuskan otoritas bursa menghentikan sementara perdagangan saham
tersebut untuk kemudian dimintakan konfirmasi kepada perusahaan tersebut atau
kejelasan informasi lainnya, sedemikian sehingga informasi yang belum jelas
tersebut tidak menjadi ajang spekulasi. Jika sudah didapatkan suatu informasi
yang jelas, maka suspend atas saham tersebut dapat dicabut oleh bursa dan dapat
diperdagangkan kembali seperti semula.
2.1.6.5. Penawaran Umum dan Pencatatan Efek di Bursa
Penawaran umum atau sering pula disebut dengan Go Public adalah kegiatan
penawaran saham atau efek lainnya yang dilakukan oleh emiten (perusahaan yang
akan Go Public) untuk menjual saham atau efek kepada masyarakat berdasarkan tata
cara yang diatur oleh Undang-undang Pasar Modal dan Peraturan Pelaksananya.
Penawaran umum mencakup kegiatan-kegiatan berikut (Darmadji, 2001; 40):
1. Periode pasar perdana, yaitu ketika efek ditawarkan kepada investor oleh
penjamin emisi melalui para agen penjual yang ditunjuk.
2. Penjatahan saham, yaitu pengalokasian efek pesanan para investor sesuai
dengan jumlah efek yang tersedia.
3. Pencatatan efek di bursa, yaitu saat efek tersebut mulai diperdagangkan di
bursa.
Perusahaan tercatat adalah perusahaan public yang mencatatkan sahamnya di
suatu bursa efek. Umumnya perusahaan public yang telah menawarkan sahamnya di
bursa efek (Darmadji, 2001: 40).
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
2.1.6.6. Prosedur Transaksi Pembelian dan Penjualan Efek atau Saham
Darmadji: 2001; 82: Transaksi efek diawali dengan order pesanan untuk
harga tertentu. Pesanan dapat disampaikan baik secara tertulis maupun lewat telepon
kepada perusahaan Efek melalui sales/dealer dengan menyebutkan jumlah yang akan
dibeli atau dijual serta harga yang diinginkan.
PROSES PERDAGANGAN
PROSES JUAL BELI SAHAM DI BEJ
BURSA EFEK JAKARTA
Investor
Beli
WPPE
(Pialang)
Pialang
Beli
Investor
Jual
WPPE
(Pialang)
Pialang
Jual
Sistem Tawar
Menawar &
Negosiasi
PROSES PENYELESAIAN
TRANSAKSI
KPEI & KSEI
Penyelesaian
Transaksi
Rp
Investor
Beli
Pialang
Beli
Sertifikat
Saham
Pialang
Jual
Rp
Investor
Jula
Emiten/
BAE
Sumber: Dikutip dari Darmadji, T. dkk., 2001, “Pasar Modal di Indonesia - Pendekatan Tanya Jawab”, PT.
Salemba Empat Patria, Jakarta, hal. 81.
Gambar. 2.4.
Proses Jual Beli Saham di Bursa Efek Jakarta
Pesanan tersebut setelah diteliti oleh perusahaan efek (misalnya apakah dana
atau saham yang akan dibeli atau dijual ada, batas limit perdagangan dan sebagainya)
kemudian disampaikan kepada pialang di lantai bursa untuk dilaksanakan. Pesanan
jual atau beli para pemodal dari berbagai perusahaan akan bertemu di lantai bursa.
Setelah terjadi pertemuan (match) antar pesanan tersebut, maka proses selanjutnya
adalah proses terjadinya transaksi. Proses jual – beli saham dapat dijelaskan melalui
gambar 2.4. di atas.
Keterangan:
1. Pemodal menghubungi perusahaan efek dimana ia telah terdaftar sebagai
nasabah. Investor menyampaikan instruksi beli kepada pialang.
2. Selanjutnya instrukti tersebut disampaikan ke trader (WPPE) perusahaan efek
tersebut di lantai bursa. Kemudia trader tersebut memasukkan instruksi
tersebut kedalam sistem komputer perdagangan di BEJ yang disebut Jakarta
Automated Trading System (JATS). Sistem tersebut secara otomatis
menggunakan mekanisme tawar-menawar secara terus menerus, sehingga
untuk pembelian didapatkan harga pasar terendah dan sebaliknya untuk
aktifitas jual akan mendapatkan harga pasar tertinggi. Suatu transaksi
dikatakan berhasil jika telah matched antara penawaran jual beli.
3. Penyelesaian atas transaksi tersebut dilakukan oleh dua lembaga lain selain
Bursa, yaitu LKP dan LPP. Dipasar Indonesia, penyelesaian dilakukan 4
(empat) hari kerja setelah terjadinya transaksi (T+4). Investor yang melakukan
pembelian akan mendapatkan saham yang dibelinya pada hari ke lima.
Proses penjualan saham prosedurnya relatif sama dengan pembelian saham
seperti tertera pada bagan di atas. Pemodal akan mendapatkan daba hasil penjualan
setelah T + 4. Untuk penjualan saham, umumnya broker akan meminta pemodal
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
menyerahkan surat saham kolektif terlebih dahulu, sebelum perintah jual bisa
dilaksanakan.
2.1.7. Indeks Harga Saham
Nilai investasi pada suatu surat berharga dipengaruhi oleh harapan pemodal
tentang kinerja perusahaan di masa yang akan datang. Harga saham sebuah
perusahaan akan meningkat jika pemodal memperkirakan arus kas yang akan
diperoleh
dari
perusahaan
tersebut
meningkat.
Sebaliknya,
jika
pemodal
memperkirakan arus kas yang akan diterima di masa yang akan datang menurun,
harga saham perusahaan tersebut akan turun. Arus kas yang akan diperoleh oleh
pemodal dalam bentuk deviden atau bunga dipengaruhi oleh kemampuan manajemen
perusahaan untuk beroperasi secara menguntungkan di tengah-tengah lingkungan
usaha yang semakin kompetitif. Oleh karenanya, persepsi pemodal tentang pengaruh
lingkungan usaha perusahaan terhadap profitabilitas akan sangat mempengaruhi nilai
investasi pada suatu surat berharga (Harianto, 1998: 137).
Untuk mengamati perkembangan harga saham dapat dilakukan dengan
menggunakan Indeks Harga Saham. Indeks harga saham merupakan indikator utama
yang menggambarkan pergerakan harga saham (Fakhruddin, 2001: 201). Indeks
harga saham membandingkan perubahan harga saham dari waktu ke waktu, apakah
harga suatu saham mengalami kenaikan atau penurunan dibandingkan suatu waktu
tertentu.
Di pasar modal, sebuah indeks diharapkan memiliki 5 (lima) fungsi:
1. Sebagai indikator trend pasar.
2. Sebagai indikator tingkat keuntungan.
3. Sebagai tolak ukur (Benchmark) kinerja suatu portofolio.
4. Memfasilitasi pembentukan portofolio dengan strategi pasif.
5. Memfasilitasi berkembangnya produk derivative.
Penentuan indeks harga saham dibedakan menjadi dua bagian yaitu, indeks
harga saham individu (Indeks Individual) dan indeks harga saham gabungan (IHSG).
Indeks Individual merupakan indeks dari masing-masing saham terhadap harga
dasarnya (Darmadji, 2001: 95). Indeks ini hanya dapat mengukur harga dari suatu
saham perusahaan tertentu apakah mengalami perubahan kenaikan atau penurunan.
Sedangkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menunjukkan pergerakan harga
saham secara umum yang tercatat di bursa efek (Anoraga, 2001: 101). Indeks ini
melibatkan seluruh harga saham yang terdaftar di lantai bursa dan paling banyak
digunakan sebagai acuan tentang perkembangan kegiatan di pasar modal. IHSG dapat
digunakan untuk menilai suatu pasar secara umum apakah harga saham mengalami
kenaikan atau penurunan.
Secara khusus dapat diamati bahwa kebanyakan saham cenderung mengalami
kenaikan harga jika indeks harga saham mengalami kenaikan. Sebaliknya jika IHSG
mengalami penurunan maka kecendrungan harga saham juga akan mengalami
penurunan. Hal ini menggambarkan bahwa return-return dari sekuritas mungkin
berkorelasi karena adanya reaksi umum terhadap perubaha-perubahan nilai pasar
(Jogiyanto, 2000: 203).
Selain indeks harga saham individu dan gabungan ada 2 (dua) jenis indeks
harga saham yang digunakan dalam kegiatan di bursa efek indonesia yaitu Indeks
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
Harga Saham Sektoral dan Indeks LQ 45. Indeks harga saham sektoral menggunak
semua saham yang termasuk dalam masing-masing sektor ekonomi. Indeks LQ 45
saham yang terpilih berdasarkan likuiditas perdagangan saham dan disesuaikan setiap
enam bulan sekali. Dengan demikian saham yang terdapat dalam indeks tersebut akan
selalu berubah (Fakhrudin, 2001: 203).
2.1.8. Analisis Fundamental Harga Saham
Langkah pertama dalam proses investasi adalah menentukan kebijakan
investasi, meliputi penentuan tujuan investor dan kemampuannya/ kekayaannya yang
dapat diinvestasikan. Langkah kedua dalam proses investasi adalah melakukan
analisis sekuritas yang meliputi penilaian terhadap sekuritas secara individual (atau
beberapa kelompok sekuritas) yang masuk dalam kategori luas dari aset finansial
yang telah diidentifikasi sebelumnya (Sharpe, 1999: 11).
Dalam arti luas, analisis finansial meliputi penentuan tingkat resiko dan
ekspektasi return dari aset finansial tunggal dan juga aset finansial kelompok.
Alternatif defenisi analisis finansial lebih pragmatis; Financial Analyst’s Handbook
mendefenisikan analisis finansial sinonim dengan analisis sekuritas atau analisis
investasi – ‘seseorang yang menganalisis sekuritas dan memberikan rekomendasi dari
hasil analisisnya’ (Sharpe, 1997: 396).
Untuk menentukan harga yang tepat bagi saham suatu perusahaan, analisis
sekuritas harus memprediksi dividen dan laba yang dapat diharapkan dari perusahaan
tersebut (Bodie: 2006, 173). Untuk melakukan analisis dan memilih saham terdapat
dua pendekatan dasar, yaitu Analisis Fundamental dan Analisis Teknikal (Harianto,
1998: 473)
Analisis fundamental mencoba memperkirakan harga saham di masa yang
akan datang dengan (i) meng-estimate nilai faktor-faktor fundamental yang
mempengaruhi harga saham di masa yang akan datang, dan (ii) menerapkan
hubungan variabel-variabel tersebut sehingga diperoleh taksisan harga saham
(Harianto, 1998: 474).
Perusahaan hanya bisa membagikan deviden dalam jumlah semakin besar
kalu perusahaan mampu menghasilakan laba yang makin besar pula. Secara teoritis,
semakin besar sebuah perusahaan memperoleh laba akan semakin besar pula
kemampuan untuk membagiakan deviden. Tentu saja perusahaan tidak harus
meningkatkan pembayaran deviden kalau laba yang diperoleh makin besar. Teori
keuangan mengatakan, laba tidak perlu dibagikan sebagai deviden kalau perusahaan
bisa menggunakan laba tersebut secara menguntungkan. Penggunaan yang
menguntungkan berarti dana tersebut bisa memberikan tingkat keuntungan yang lebih
besar dari biaya modalnya. Jadi kalau biaya modalnya sebesar 22%, dan dana dari
laba tersebut dapat digunakan dengan memberikan tingkat keuntungan sebesar 25%,
perusahaan dibenarkan untuk menahan laba tersebut.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa kalau kemampuan perusahaan untuk
menghasilkan laba meningkat, harga saham akan meningkat. Dengan kata lain,
profitabilitas akan mempengaruhi harga saham. Masalah kemuduan adalah, faktorfaktor apa yang mempengaruhi kemampuan perusahaan menghasilkan laba? Kita tahu
bahwa laba adalah selisih antara pendapatan dari penjualan dengan biaya-biaya.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
Karena itu kalau kita ingin mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi
laba, kita perlu mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penjualan dan
biaya.
Banyak faktor yang mempengaruhi kedua hal itu. Tetapi pada dasarnya kita
membagi faktor-faktor tersebtu menjadi faktor yang mungkin bisa dikendaliakan oleh
perusahaan (seperti pemilihan jenis mesin, jenis teknologi, pemilihan karyawan, dan
sebagainya) dan faktor-faktor yang tidak bisa dikendalikan oleh perusahaan (seperti
misalnya suku bunga, pertumbuhan ekonomi, harga minyak, dan sebagainya)
(Harianto, 1998: 476)
2.1.8.1. Analisis Ekonomi/ Pasar
Dalam melakukan analisis fundamental, penilaian terhadap kondisi dan
keadaan berbagai variabel utama seperti laba yang diperoleh perusahaan-perusahaan
dan
tingkat
bunga
mutlak
diperlukan.
Variabel-variabel
tersebut
sangat
mempengaruhi keputusan-keputusan investasi yang akan diambil oleh para pemodal.
Apabila resesi diperkirakan akan terjadi, atau perekonomian sedang menuju ke situasi
resesi, harga saham-saham akan sangat terpengaruh oleh situasi tersebut. Kasus
gejolak moneter pada semester II tahun 1997 di Indonesia mengilustrasikan situasi
tersebut (Harianto, 1998: 478).
Indeks pasar (yang ditunjukkan oleh Indeks LQ45) menurun dari 142,050
pada akhir Juli 1997, menjadi 106,194 pada akhir Oktober 1997, atau turun sebesar
25,24%, pada waktu suku bunga deposito meningkat dari sekitar 15% menjadi 30%
per tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara keseluruhan terjadi penurunan
harga saham pada waktu terjadi peningkatan suku bunga dan kekhawatiran terjadi
resesi. Keadaan yang sebaliknya akan terjadi apabila diharapkan kondisi ekonomi
membaik. Karena itulah para pemodal harus melakukan penilaian terhadap kondisi
perekonomian dan implikasinya terhadap pasar modal. Untuk mengetahui kondisi
pasar dipergunakan indeks pasar sebagai indikator. Dengan demikian keadaan pasar
modal Indonesia mungkin diwakili (proxy) oleh IHSG atau Indeks LQ45. Idealnya
indeks pasar tersebut juga dapat mencerminkan kondisi perekonomian.
Apabila kondisi perekonomian mempengaruhi kondisi pasar, maka pada
gilirannya kondisi pasar akan mempengaruhi pata pemodal. Sulit bagi pemodal untuk
memperoleh hasil investasi yang berkebalikan dengan kecenderungan pasar. Apabila
pasar membail atau memburuk, umumnya saham-saham juga akan terpengaruh
dengan arah yang sama.
Selain terhadap tingkat keuntungan yang diperoleh pemodal, kondisi ekonomi
juga mempengaruhi kemampuan perusahaan dalam meperoleh laba. Foster (1986)
menunjukkan bahwa faktor ekonomi berpengaruh sekitar 17% terhadap perubahan
laba perusahaan. Sedangkan penelitian di Indonesia menunjukkan pengaruh tersebut
tidak terlalu signifikan, walaupun tetap menunjukkan adanya korelasi positif
(Miswanto, 1997. Dalam: Harianto, 1998: 480).
Disamping pengaruhnya terhadap kondisi perusahaan, kondisi perekonomian
juga mempengaruhi kondisi industri. Sebgai misal, dari akhir Juli sampai dengan
Oktober 1997, industri perbankan dan property mengalami penurunan uang lebih
besar dari penurunan indeks pasar yaitu lebih dari 50%, sementara indeks turun
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
sebesar 25%. Karena itulah analisis kondisi perekonomian perlu dilakukan terlebih
dahulu sebelum dilakukan analisis kondisi industri dan perusahaan.
2.1.8.1.1. Memperkirakan Perubahan di dalam Perekonomian/Pasar
Sebagian besar pemodal ingin memperkirakan (forecast) perubahan di pasar
keuangan bukan hanya untuk mengetahui kondisi pasar saat ini, tetapi juga untuk
mengetahui arah perkembangan pasar di masa yang akan datang. Meskipun demikian,
tidaklah tepat kalau pemodal berharap dapat memperkirakan secara tepat kondisi
pasar di masa yang akan datang. Hal tersebut tidak mungkin dilakukan secara
konsisten. Yang lebih mungkin dilakukan adalah memperkirakan gejala-gejala
perekonomian di masa yang akan datang untuk memprediksikan arah gerakan pasar
dan berapa lama perubahan tersebut akan terjadi.
Arah gerakan kondisi perekonomian dan pasar tersebut berguna bagi pemodal
untuk memutuskan apakah sebaiknya mereka “keluar” dulu dari pasar modal, ataukah
tetap bertahan. Perkiraan ini juga berguna untuk memutuskan apakah sudah saatnya
untuk “masuk” kembali, ataukah lebih baik sementara tetap di luar (Harianto, 1998:
481).
2.1.8.1.2. Penggunaan Indikator Moneter untuk Memperkirakan Kondisi Pasar
Karena peranannya yang vital di dalam perekonomian, kebijakan moneter
juga mempunyai dampak pengting baik bagi perekonomian maupun harga saham.
Untuk memperkirakan kondisi perekonomian, pemodal secara tradisional selalu
memperhatiakan kemungkinan perubahan jumlah uang beredar.
Prekiraan perubahan jumlah uang yang beredar juga diharapkan akan
mempengaruhi kegiatan ekonomi. Berbagai teori ekonomi makro menjelaskan adanya
hubungan antara jumlah uang dan kegiatan ekonomi di masa yang akan datang. Hal
yang dipandang sangat menentukan adalah bahwa perubahan dalam jumlah uang
yang beredar akan menyebabkan perubahan dalam money supplu
dan money
demand. Peningkatan money supply akan cenderung meningkatkan kegiatan ekonomi,
sedangkan peningkatan money demand akan mengurahi kegiatan ekonomi.
Penggunaan perubahan tingkat bunga sebagai cara untuk memprediksikan
kondisi pasar juga dihadapkan pada kemungkinan bahwa dampaknya tidak
synchronous. Tetapi pasar selalu bersikap antisipatif terhadap perubahan tersebut
(Harianto, 1998: 482).
2.1.8.1.3. Kondisi Ekonomi dan Kondisi Pasar
Karena kondis pasar merefleksikan kondisi ekonomi, maka perubahan kondisi
ekonomi tentunya juga akan tercermin pada kondisi pasar. Namun, akan lebih tepat
jika dikatakan bahwa kondisi pasar saat ini lebih mencerminkan harapan para
pemodal terhadap kondisi ekonomi di masa yang akan datang. Ilustrasi diatas
menunjukkan bahwa pasar mungkin mengantisipasi perkembangan tingkat bunga
sehingga analisis seri data secara synchronomus menunjukkan hasil yang tidak sesuai
harapan.
Pasar juga biasanya memperhatikan kondisi cyclicality yang sering dijumpai
dalam perekonomian. Dalam suatu periode tertentu, kegiatan ekonomi terlihat
mempunyai pola; dari kondisi yang buruk, membaik dan mencapau puncak, setelah
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
itu memburuk, mencapai kondi paling buruk, membaik lagi (recovery), dan kembali
ke puncak lagi. Demikian seterusnya. Siklus tersebut mungkin mempunyai periode
sekitar 5-7 tahun.
Pengenalan pola cyclical dan pasar modal yang bersifat antisipatif akan
membantu dalam melakukan peramalan terhadap kondisi pasar. Harga saham akan
turun pada saat kondisi ekonomi mengalami resesi. Meski demikian para analis (atau
pemodal) perlu memperkirakan kapan resesi tersebut akan berakhir, dan berbalik ke
kondisi yang membaik, sehingga dapat memperkirakan kapan harga saham-saham
akan membaik. Dengan demikian tidak mengherankan kalau terdapat pola sebagai
berikut – Kondisi perekonomian masi dikatakan resesi, tetapi harga saham mulai
meningkat. Hal tersebut sebenarnya hanya mencerminkan harapan para pemodal
bahwa kondisi ekonomi akan segera membaik. Maka pemodal yang melakukan
perkiraan terhadap kondisi pasar dengan menggunakan faktor siklus perekonomian
pelu memperhatikan (Harianto, 1998: 484):
a. Apabila pemodal dapat memprediksikan kondisi perekonomian terburuk
(bottoming out) sebelum kondisi tersebut terjadi, membaiknya kondisi pasar dapat
diperkirakan akan terjadi sebelum kondisi terburuk tersebut tercapai.
b. Pada saat kondisi perekonomian membaik (recover), harga saham mungkin sudah
stabil atau bahwak sedikit menurun. Dengan demikian pertanyaannya adalah,
sebrapa lama kondisi perekonomian yang baik tersebut akan bertahan sebelum
mengalami penurunan. Sebelum kondisi perekonomian mengalamai penurunan,
harga saham mungkin sudah turun.
2.1.8.1.4. Penggunaan Model-model Valuasi untuk Memperkirakan Kondisi
Pasar
Berdasarkan model-model valuasi yang telah dijelaskan di atas, salah satu
pendekatan berikut ini dipergunakan (Harianto, 1998: 486):
1. Menggunakan rumus constant growth model, yaitu P0 = D1/(r-g)
2. Menggunakan model PER, yaitu PER = (1-b) / (r-g)
Dengan demikian, apabila kita ingin memperkirakan kondisi pasar, kita perlu
melakukan judgement terhadap kemungkinan-kemungkinan perubahan variabelvariabel tersebut. Karena perkiraan akan dilakukan terhadap kondis pasar,
penggunaan model PER akan lebih mudah di terapkan dan diimplementasikan.
2.1.8.2. Analisis Industri
Sebelum melakukan analisis industri atau sektor tertentu, kita perlu melihat
perkembangan atau kinerja industri/ sektor tersebut sehingga dapat memberikan
gambaran arah perkembangan industri/ sektor tersebut. Seharusnya pengamatan perlu
dilakukan untuk periode yang cukup panjang sehingga barangkali dapat dideteksi
pola perkembangannya atau bagaimana pengaruh kondisi perekonomian. Sebagai
misal, suatu industri mungkin mengalami perkembangan yang cukup tinggi pada dua
dasawarsa yang lalu, tetapi sekarang mungkin menunjukkan kondisi yang relatif
stabil. Industri yang lain mungkin sangat erat perkembangannya dibandingkan
dengan siklus perekonomian, sedangkan lainnya lagi mungkin tidak (Harianto, 1998:
490).
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
Tabel 2.1 Perubahan Indeks Sektoral dan Pasar
di BEJ Juli – September 1997
Sektor
1. Pertanian
2. Pertambangan
3. Industri Dasar
4. Aneka Industri
5. Industri Barang Konsumsi
6. Properti
7. Infrastruktur
8. Keuangan
9. Perdagangan dan Jasa
LQ 45 (pasar)
Indeks pada
akhir Juli
469,9
139,8
112,8
142,8
117,8
175,0
128,4
202,3
160,0
144,6
Indeks pada
akhir Sept.
547,6
163,7
82,8
111,1
98,9
103,8
117,2
115,0
116,2
113,1
Perubahan
(%)
16,54
19,66
-27,48
-22,20
-16,04
-40,69
-8,72
-43,15
-27,38
-21,78
Sumber : JSX Monthly Statistic, berbagai penerbitan, dalam Harianto, F. dkk., 1998, “Perangkat
dan Teknik Analisis Investasi di Pasar Modal Indonesia”, PT. Bursa Efek Jakarta, Jakarta,
hal. 492.
Suatu industri yang mempunyai kepekaan lebih tinggi dari pasar
mengindikasikan bahwa industri tersebut mempunyai risiko pasar yang tinggi (artinya
lebih tinggi dari rata-rata). Meskipun demikian, risiko tersebut akan bergerak dalam
dua arah, yaitu menjadi lebih buruk dari pasar, atau sebaliknya.
2.1.8.2.1. Menganalisis Industri
Industri dianalisis lewat penelaahan berbagai data yang menyangkut
penjualan, laba, deviden, struktur modal, jenis produk yang dihasilkan, regulasi,
inovasi dan sebagainya. Untuk melakukan analisis industri, langkah pertama yang
dapat dilakukan adalah dengan mengidentifikasi tahap kehidupan produknya. Tahap
ini bermaksud untuk mengenali apakah industri tempat perusahaan beroperasi
merupakan industri yang masih akan berkembang cepat, sudah stabil, ataukah sudah
menurun. Langkah berikutnya adalah menganalisis industri dalam kaitannya dengan
kondisi perekonomian. Langkah ketiga adalah analisis kualitatif terhadap industri
tersebut, yang dimaksudkan untuk membantu pemodal menulai prospek industri di
masa yang akan datang (Harianto, 1998: 493).
2.1.8.2.2. Siklus Kehidupan Industri
Banyak pengamat percaya bahwa industri menempuh siklus kehidupan, yaitu
tahap perkenalan, pertumbuhan, kedewasaan, dan penurunan. Siklus kehidupan
tersebut ditunjukkan pada gambar 2.5. Karena umumnya perusahaan baru go public
setelah melewati masa perkenalan, analisis industri umunya dikelompokkan menjadi
tiga tahap, yaitu (1) tahap pertumbuhan, (2) tahap kedewasaan, dan (3) tahap
penurunan (Harianto, 1998: 493).
Penjualan
Perkenalan
Pertumbuhan
Kedewasaan
Penurunan
Waktu
Sumber : Harianto, F. dkk., 1998, “Perangkat dan Teknik Analisis Investasi di Pasar Modal
Indonesia”, PT. Bursa Efek Jakarta, Jakarta, hal. 494.
Gambar 2.5 Siklus Kehidupan Industri
Tahap pertumbuhan ditandai dengan pertumbuhan pertumbuhan penjualan
yang relatif masih tinggi, meskipun tingkat resiko sudah tidak setinggi pada tahap
perkenalan. Paling tidak sudah terbukti bahwa produk yang ditawarkan, telah
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
diterima oleh pasar. Karena tingginya pertumbuhan penjualan, laba yang diperoleh
mungkin tidak cukup untuk membiayai ekspansi yang diperlukan. Dengan demikian
mungkin sekali perusahaan dalam tahap ini akan mempunyai deviden payout ratio
yang rendah, dan memerlukan pendanaan eksternal untuk membiayai ekspansinya.
Tahap kedewasaan, pada tahap ini pertumbuhan penjualan masih terjadi,
tetapi sudah dalam tingkat lebih rendah dibandingkan pada tahap pertumbuhan.
Karena produksi sudah mencapai jumlah cukup besar untuk memenuhi permintaan
pasar, umunya laba yang diperoleh cukup untuk membiayai pertumbuhan usaha.
Dengan kata lain, internal financing cukup untuk mendukung penjualan. Oleh karena
itu proporsi laba yang dibagian sebagai deviden (deviden payout ratio), akan lebih
besar daripada ketika pada tahap pertumbuhan.
Tahap penurunan, pada taham ini permintaan akan produk tersebut sidah
mengalami penurunan, sehingga pertumbuhan penjualan menjadi negatif. Apabila
tidak dapat diketemukan penggunaan lain dari produk tersebut, sehingga permintaan
dapat didorong kembali, strategi yang digunakan oleh perusahaan penghasil produk
yang sudah masuk dalam tahap ini adalah melakukan diversifikasi ke produk lain.
Dalam menganalisis, perlu diperhatikan bahwa kita hendaknya jangan
mencampurkan penjualan yang dicapai oleh perusahaan dan yang dicapai oleh
industri. Dapat saja terjadi perusahaan menghasilkan produk yang sudah ada dalam
tahap kedewasaan, tetapi penjualannya tetap pada pertumbuhan yang tinggi. Hal
tersebebut terjadi karena perusahaan mampu merebut pangsa pasar perusahaanperusahaan pesaing. Apabila hal ini terjadi untuk jangka waktu yang lama, maka
diperkirakan akan terjadi perubahan dalam struktur industri, yaitu menjadi kearah
oligopoli (hanya terdapat beberapa perusahaan yang menghasilkan produk tersebut).
Kalaupun terjadi situasi seperti itu akhirnya pertumbuhan penjualan suatu perusahaan
juga akan menurun apabila permintaan pasar secara keselurauhan hanya meningkat
dalam persentase yang tidak terlalu besar.
Sesuai dengan
konsep
siklus
kehidupan
produk,
perusahaan
yang
menghasilkan produk dengan pertumbuhan yang masih cukup tinggi (ada pada tahap
pertumbuhan) akan mempunyai PER yang lebih besar daripada yang ada pada tahap
kedewasaan. Hal tersebut dapat dihubungkan dengan rumus yang menyatakan bahwa,
PER = (1-b) / (r-g)
Apabila pertumbuhan penjualan cukup tinggi, maka pada akhirnya
pertumbuhan kaba (dan juga deviden) akan meningkat cukup tinggi pula. Sebagai
akibatnya g akan lebih tinggi. Apabila kita pegang konstanta faktor-faktor yang lain,
maka g yang semakin besar akan menghasilkan PER yang makin tinggi pula.
Pemodal yang lebih berminat untuk memperoleh capital gain sebaiknya
menghindari saham perusahaan-perusahaan yang ada pada tahap kedewasaan.
Perusahaan-perusahaan tersebut lebih sesuai untuk pemodal yang menginginkan
deviden dalam jumlah yang cukup besar. Perusahaan yang ada dalam tahap
pertumbuhan menunjukkan bahwa daya tarik bidang tersebut diharapkan masih cukup
lama. Deviden yang dibagikan relatif rendah, tetapi akan dikompensasi oleh kenaikan
harga saham yang tinggi.
2.1.2.3. Analisis Siklus Bisnis
Cara kedua untuk melakukan analisis industri adalah dengan menganalisis
hubungan antara kemampuan operasi dengan kondis perekonomian makro. Beberapa
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
industri mampu beroperasi cukup baik pada waktu resesi, sedangkan yang lain sangat
jelek kinerjanya. Beberapa industri terkait erat dengan siklus bisnis. Pada saat kondisi
ekonomi membaik, industri-industri tersebut menunjukkan kinerja yang jauh lebih
baik daripada kondisi perekonomian, sebaliknya pada saat kondisi ekonomi
memburuk, jauh lebih buruk daripada kondisi perekonomian.
Karena itu para analisis industri mengelompokkan industri menjadi growth
industry, defensive industry, dan cyclical industry. Growth industry merupakan
industri yang mempunyai pertumbuhan laba jauh lebih tinggi dari rata-rata industri.
Industri telekominikasi tampaknya merupakan contoh growth industry. Defensive
industry adalah industri yang tidak banyak terpengaruh oleh kondisi ekonomi.
Industri makanan dan minuman biasanya merupakan contoh defensive industry.
Sedangkan cyclical industry adalah industri yang sangat peka terhadap perubahan
kondisi perekonomian. Industri otomotif dan barang konsumsi elektronika tahan lama
masuk dalam kelompok ini. Ada juga yang menambahkan interest rate sensitive
industry, seperti industri perbankan dan properti.
Pengklasifikasian seperti itu bermanfaat untuk memperkirakan kondisi suatu
industri apabila dikaitkan dengan perubahan kondisi perekonomian. Bagi pemodal
yang tidak ingin mengalami penurunan harga yang besar apabila kondisi
perekonomian mengalami resesi, saham-saham industri yang defensif sebaiknya
dipilih, dan saham-saham industri cyclical dihindari. Dengan demikian, sekali lagi
tampak bahwa analisis perekonomian penting dilakukan terlebih dahulu sebelum
melakukan analisis industri (Harianto, 1998: 496).
2.1.2.4. Berbagai Aspek Kualitatif dalam Analisis Industri
Beberapa aspek kualitatif akan membantu analis melakukan analisis industri.
Aspek-aspek seperti kinerja historis, persaingan, kebijakan pemerintah, dan
perubahan struktural, sangat perlu diperhatikan dalam analisi. Meskipun kinerja di
masa yang akan datang tidak selalu konsisten dengan kinerja di waktu yang lalu,
kemampuan beberapa jenis industri untuk menunjukkan kinerja yang terus menerus
baik di waktu yang lalu tentu saja tidak dapat diabaikan dalam analisis. Indikator
yang dapat dilihat adalah pertumbuhan penjualan dan laba, dan perkembangan harga
sahamnya.
Persaingan dapat berasal dari masuknya pesaing baru, meningkatknya
barganing power para pembeli, persaingan antar pesaing yang ada, masuknya produk
substitusi, dan meningkatnya barganing power para pemasok. Meningkatnya
barganing power para pembeli akan memaksa perusahaan untuk menawarkan syaratsyarat penjualan yang lebih lunak. Meningkatnya barganing power para pemasok
akan mengakibatkan perusahaan terpaksa membayar dengan syarat-syarat yang lebih
ketat. Akibatnya sama, yaitu profitabilitas perusahaan akan berkurang.
Kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam sektor/ industri tertentu juga
akan langsung mempengaruhi industri tersebut, meskipun secara tidak langsung akan
berpengaruh terhadap industri lainnya. Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 606/kmk.017/1995, yang antara lain mengatur jumlah pinjaman
luar negeri bagi perusahaan pembiayaan maksimum sebesar 5 (lima) kali jumlah
modal sendiri setelah dikurangi dengan penyertaan, membawa dampak bahwa
perusahaan pembiayaan tidak dapat lagi mengandalkan pinjaman luar negeri yang
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
terlalu besar. Meskipun dirasa merugikan (karena dana dalam dolar dinilai
mempunyai biaya yang lebih “murah”) pada tahun 1996, batasan tersebut terbukti
bermanfaat untuk membatasi risiko valas ketika terjadi gejolak moneter seperti pada
semester II tahun 1997 (Harianto, 1998: 498).
2.1.2.5. Menilai Prospek Industri di Masa yang Akan Datang
Akhirnya, semua analisis yang dilakukan akan mengarah pada pertanyaan
“Bagaimana prospek suatu industri di masa yang akan datang?” Idealnya, analis
hendaknya dapat melakukan estimasi sebagaimana yang dilakukan dalam analisis
pasar, yaitu menaksir berapa laba yang diharapkan dalam suatu industri, dan berapa
PER untuk industri tersebut, sehingga dapat memperkirakan nilai industri itu. Karena
cara ini sering sulit dilakukan, maka beberapa cara lain mungkin ditempuh, yaitu
dengan mencoba menjawab serangkaian pertanyaan sebagai berikut (Harianto, 1998:
499):
1) Berdasarkan kondisi dan situasi perekonomian saat ini dan di masa yang akan
datang, industri apa yang diharapkan akan menunjukkan peningkatan laba?
2) Industri apa yang kemungkinan akan menunjukkan peningkatan PER; atau
bagaimana arah perkembangan tingkat bungan, dan industri apa yang
kemungkinan besar paling terpengaruh oleh perubahan tersebut? Perubahan
dalam suku bunga akan mengakibatkan perubahan dalam discount rate (dan
karenanya, perubahan dalam PER).
3) Industri apa yang kemungkinan besar akan terpengaruh oleh kejadian-kejadian
politik, seperti pergantian pemerintahan, meningkatnya inflasi, munculnya
perkembangan teknologi baru, dan faktor-faktor lain yang dipandang relevan?
Untuk memperkirakan kinerja industri dalam jangka panjang, pertanyaanpertanyaan berikut ini perlu diperhatikan:
1) Industri apa yang jelas akan merupakan (calon) industri yang akan berkembang
dan berhasil pada masa, misalnya, dasawarsa yang akan datang? (Pada awal 1990an, industri telekominikasi tampaknya memenuhi syarat ini).
2) Industri apa yang akan mengalami kesulitan pada saat suatu negara mengalami
perubahan lingkungan perekonomian secara struktural, seperti perubahan dari
masyarakat petani ke masyarakat industri, dari kondisi yang relatif tertutup ke
kondisi yang lebih terbuka terhadap persaingan asing?
Berbagai cara mungkin dilakukan dalam menganalisis industri. Pada dasarnya
pendekatan-pendekatan yang digunakan didasarkan pada common sense. Dalam
melakukan analisis industri, beberapa sumber yang mungkin digunakan adalah (1)
penerbitan Biro Pusat Statistik (BPS), (2) penerbitan Pusat Data Bisnis Indonesia
(PDBI), (3) penerbitan lembaga penelitian seperti Lensa Ekuitas. Informasi dari BPS
masih berupa data mentah yang perlu diolah lebih lanjut, sedangkan publikasi dari
lembaga penelitan umumnya sudah mengandung unsur analisis, sehingga hanya
memerlukan interpretasi lebih lanjut.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
2.1.8.3. Analisis Perusahaan
Untuk melakukan analisis yang bersifat fundamental, analis perlu memahami
variabel-variabel yang mempengaruhi nilai intrinsik saham. Untuk menaksir niali
intrinsik saham, dua metode yang banyank digunakan adalah (1) devidend discount
model, dan (2) multiplier laba (yaitu PER).
Apabila diasumsikan bahwa pertumbuhan laba (dan juga deviden) bersifat
konstan, maka devidend discount model dapat dinyatakan sebagai berikut (Harianto,
1998: 501):
Nilai intrinsik = P0 = D1 / (r-g)
Dalam hal ini,
P0
= Taksiran harga saham saat ini
D1
= Deviden yang diharapkan akan diterima pada tahun 1
r
= Discount rate yang dipandang relevan
g
= Pertumbuhan deviden dimasa yang akan datang.
Penggunaan multiplier laba (yaitu PER) dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
Nilai intrinsik = Taksiran EPS x PER yang ditaksir
Apabila harga di bursa lebih rendah dari nilai intrinsik yang kita taksir, maka
saham tersebut merupakan saham yang sebaiknya di beli. Begitu pula sebaliknya.
Ada dua alasan mengapa dua variabel (laba dan PER) tersebut yang menjadi
perhatian kita. Pertama, untuk dapat meningkatkan pembayaran deviden, perusahaan
harus mampu meningkatkan laba yang diperoleh. Kedua, umumnya terdapat korelasi
yang kuat antara pertumbuhan laba (EPS) dengan pertumbuhan harga saham (Jones,
hal.377, dalam Harianto, 1998).
2.1.8.3.1. Memahami Laba yang Diperoleh Perusahaan
Pemodal seringkali memusatkan perhatian pada Laba Per Saham (Earning
Per Share, EPS) dalam melakukan anlisis. Angka EPS diperoleh dari laporan
keuangan yang disajikan oleh perusahaan berdasarkan atas prinsip-prinsip akuntansi
yang umum diterima (generally accepted accounting principles). Karena itu langkah
pertama yang perlu dilakukan adalah memahami laporan keuangan yang disajikan
oleh perusahaan. Ada dua laporan keuangan yang utama, yaitu Neraca dan Laporan
Rugi Laba. Neraca menunjukkan posisi kekayaan, kewajiban finansial, dan modal
sendiri pada waktu tertentu (biasanya pada akhir Desember). Sedangkan Laporan
Rugi Laba menunjukkan berapa penjualan yang diperoleh, berapa biaya yang
ditanggung, dan berapa laba yang diperoleh perusahaan pada periode tertentu
(biasanya selama satu tahun).
Meski laporan keuangan disusun menurut prinsip-prinsip akauntansi yang
umum diterima, diketahui pula bahwa laporan keuangan dapat menyajikan angka laba
yang berbeda tanpa menyalahi prinsip-prinsip akuntansi tersebut. Sebagai misal biaya
promosi besar-besaran mungkin seluruhnya dibebankan pada suatu tahun atau disebar
ke beberapa tahun dengan argumentasi bahwa promosi tersebut memberi
manfaatselama beberapa tahun. Apabila perusahaan memilih membebankan pada satu
tahun saja, maka laba pada tahun tersebut akan dilaporakan lebih rendah
dibandingkan dengan apabila dipilih alterantif yang kedua. Karena itu analis perlu
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
membaca penjelasan tentang kebijakan akuntansi yang dipilih yang terdapat pada
annual report yang dipublikasikan perusahaan (Harianto, 1998: 502).
2.1.8.1.4.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laba (EPS, ROE, ROA, dan Net
Income Margin)
Pada level perusahaan, EPS mencerminkan kombinasi berbagai faktor yang
mempengaruhinya. Analisis faktor-faktor tersebut dapat dilakukan dengan analisis
rasio keuangan (Harianto, 1998: 505).
Langkah 1 Apa yang menentukan EPS?
EPS = ROE x Nilai buku per saham
Dalam hal ini,
ROE adalah tingkat keuntungan ekuitas.
EPS = Laba setelah pajak / Jumlah saham
ROE = Laba setelah pajak / Ekuitas
Nilai buku per saham = Ekuitas / Jumlah saham
Langkah 2 Apa yang menentukan ROE?
ROE merupakan perkalian antara profitabilitas atas aset yang dimiliki
perusahaan dengan keputusan pendanaannya. Dinyatakan dalam bentuk persamaan,
ROE = ROA x Leverage
Dalam hal ini,
ROA adalah tingkat keuntungan yang diperoleh dari penggunaan asset
Leverage adalah menunjukkan seberapa banyak hutang digunakan perusahaan
ROE = Laba setelah pajak / Ekuitas
ROA = Laba setelah pajak / Total aktiva
Leverage = Total Aktiva / Ekuitas
Persamaan tersebut juga menunjukkan bahwa perusahaan akan mampu
mengingkatkan ROE-nya apabila ROA-nya meningkat sedangkan Leverage-nya
konstan. Leverage konstan berarti proporsi modal pinjaman tidak berubah. Apabila
ROA meningkat maka profitabilitas perusahaan meningkat pula, sehingga dampak
akhirnya adalah naiknya profitabiltas yang dinikmati oleh pemegang saham.
Hal yang sama juga berlaku apabila perusahaan mampu mempertahankan
ROA dengan menggunakan hutang yang makin besar (Leverage-nya meningkat).
Kalau perusahaan mampu mempertahankan ROA dengan penggunaan hutang yang
makin besar, maka hal ini berarti bahwa penggunaan hutang tersebut mampu
memberikan keuntungan yang lebih besar dari biayanya. Sebagai akibatnya, ROE pun
meningkat.
Langkah 3 Apa yang menentukan ROA?
ROA merupakan perkalian antara dua faktor berikut ini:
ROA = Net income margin x Perputaran aktiva
Net income margin = Laba setelah pajak / Penjualan bersih
Perputaran aktiva = Penjualan bersih / Total aktiva
Net income margin menunjukkan kemampuan memperoleh laba dari setiap
penjualan
yang
diciptakan oleh perusahaan,
sedangkan perputaran
aktiva
menunjukkan seberapa jauh perusahaan mampu menciptakan penjualan dari aktiva
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
yang dimilikinya. Apabila salah satu dari kedua faktor tersebut meningkat (atau
keduanya), maka ROA juga akan meningkat.
Langkah 4 Apa yang menentukan Net income margin?
Net income margin merupakan fungsi dari dua rasio keuangan, yaitu:
Sisi kanan persamaan tersebut berturut-turut disebut sebagai income ratio dan
operating efficiency.
Income ratio = Laba setelah pajak / Laba operasi
Operating efficiency = Laba operasi / Penjualan bersih
Income ratio menunjukkan dampak pembayaran bunga dan pajak pada laba
bersih setelah pajak. Sedangkan operating efficiency menunjukkan kemampuan
menghasilkan laba operasi setiap rupiah penjualan (beberapa analis menggunakan
istilah profit margin).
Dengan melakukan analisis tersebut kita dapat mengidentifikasikan kekuatan
dan kelemahan perusahaan yang sedang kita analisis. Perbandingan dengan
perusahaan yang ada dalam industri yang sama akan memperjelas kekuaran dan
kelemahan tersebut.
Untuk keperluan analisis, kita perlu memperhatikan EPS di masa yang akan
datang, bukan EPS yang telah diperoleh. Hal ini karena harga saham hari ini
merupakan present value dari penghasilan-penghasilan yang akan diterima oleh
pemodal di masa yang akan datang, dan penghasilan-penghasilan tersebut akan
dipengaruhi oleh kemampuan perusahaan memperoleh laba di masa yang akan
datang. Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi EPS di waktu yang lalu
memang baik dilakukan, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana faktor-faktor
tersebut dapat digunakan untuk keperluan EPS di masa yang akan datang.
2.1.8.1.4.3. Penggunaan PER dalam Analisis Laba Perusahaan
Teknis analisis lainnya adalah dengan menggunakan model kelipatan laba
(atau PER). Tekni ini mungkin dipilih apabila perusahaan tidak mengadopsi
kebijakan payout ratio yang konstan dan/ atau analisis mengalami kesulitan untuk
menggunakan model berdasar atas cash flow, terutama model dengan pertumbuhan
konstan. Sama seperti analisis dengan menggunakan EPS, analis perlu memahami
terlebih dulu faktor-faktor yang mempengaruhi PER (Harianto, 1998: 509).
2.1.8.1.4.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi PER
Apabila digunakan model pertumbuhan konstan, PER yang didefenisikan
sebagai P0 / E1, dapat dinyatakan dalam rumus sebagai berikut (Harianto, 1998: 510):
PER = (1-b)/(r-g)
Dalam hal ini b adalah proporsi laba yang ditahan. Dengan demikian (1-b)
tidak lain merupakan dividend payout ratio. Sedangkan r dan g berturut-turut adalah
discount rate yang dipandang relevan dan pertumbuhan deviden.
Sesuai dengan model tersebut maka dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang
mempengaruhi PER, yait:
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
a. Dividend payout ratio. Apabila faktor-fakor lain dipegang konstan, maka
meningkatnya payou ratio akan meningkatkan PER.
b. Tingkat keuntungan yang dipandang layak (discount rate). Apabila faktorfaktor lain dipegang konstan, maka meningkatnya discount rate akan
menurunkan PER.
c. Pertumbuhan deviden. Apabila faktor-faktor lain dipegang konstan, maka
meningkatnya pertumbuhan deviden akan meningkatkan PER.
Sesuai dengan penjelasan pada bagian sebelumnya, analisis PER dapat
dilakukan secara individual saham, maupun secara cross sectional untuk menentukan
apakah PER suatu saham sudah terlalu tinggi ataukah tidak.
2.1.9. Analisis Teknikal
Analisis ini merupakan upaya untuk memperkirakan harga saham dengan
mengamati perubahan harganya di waktu yang lalu. Berlainan dengan pendekatan
fundamental, analisis teknikal tidak memperhatikan faktor-faktor fundamental
(seperti kebijakan pemerintah, pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penjualan
perusahaan, pertumbuhan laba, perkembangan tingkat bunga, dan sebagainya), yang
mungkin mempengaruhi harga saham (Husnan, 1994: 287, dalam Harianto, 1998:
513).
Analisis tersebut menyatakan (i) bahwa harga saham mencerminkan informasi
yang relevan, (ii) bahwa informasi tersebut ditunjukkan oleh perubahan harga di
waktu yang lalu, dan (iii) karenanya perubahan harga saham akan mempengaruhi
pola tertentu, dan pola tersebut akan berulang. Kalau kita perhatikan asumsi-asumsi
tersebut
maka
tampak
“penyempitan”
arti
informasi
yang
relevan,
dan
ketidakpercayaan bahwa gerakan harga saham mengikuti pola random walk (Husnan,
1994, dalam Harianto, 1998: 513).
Karena analisis tersebut didasarkan pada perubahan harga saham di waktu
yang lalu, maka alat analisis utamanya adalah grafik atau chart. Karena itu para
penganut analisis ini sering juga disebut sebagai chartis. Berikut ini diilustrasikan dua
pendekatan yang sering digunakan oleh analisis teknikal.
Banyak analis teknikal percaya bahwa gerakan saham akan mengikuti pola
“kepala dan bahu” (head and shoulders). Keadaan ini ditunjukkan pada Gambar 2.6
(a). Seorang analis yang percaya bahwa suatu saham ada pada titik A akan
memutuskan untuk membeli saham tersebut; menahannya untuk jangka pendek untuk
memperoleh capital gain. Sebaliknya, kalau seorang analis percaya bahwa suatu
saham telah ada pada titik B, ia akan menjualnya (atau melakukan short selling)
karena diperkirakan harga akan turun.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
Harga saham
Harga saham
Triple tops
Head and shoulders
B
C
A
(a)
Waktu
(b)
Waktu
Sumber : Husnan, S, 1994, “Dasar-dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas”, UPP AMP YKPN,
Yogyakarta, hal. 289.
Gambar 2.6. Contoh Dua Grafik Pendekatan yang Sering
Digunakan dalam Analisis Teknikal
Analis yang percaya bahwa gerakan harga saham akan mengikuti pola triple
tops berpendapat, bahwa setelah melalui tiga puncak harga, maka saham tersebut
akan jatuh harganya. Keadaan ini ditunjukkan pada Gambar 2.6 (b). Jadi
apabilaseorang analis “menemukan” bahwa suatu saham telah menempuh tiga kali
harga tinggi (ditunjukkan oleh titik C), maka saham tersebut harus dijual (atau short
selling).
Teknik lain yang juga sering digunakan adalah dengan menghitung moving
average harga-harga saham, dan kemudian menggambarkannya dalam grafik yang
sama dengan gambar perkembangan harga saham aslinya. Moving average dihitung
dengan cara sebagai berikut (Harianto, F. dkk, 1998: 515):
Misalkan kita mengamati gerakan saham harian sebagai berikut, dan ingin
menghitung moving average dengan basis 5 pengamatan,
Tabel 2.2. Contoh Gerakan Saham Harian
Hari ke
Harga saham
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
4.000
4.200
4.100
3.900
4.200
4.500
4.300
4.400
4.000
4.200
Moving average
(basis 5 pengamatan)
4.080
4.180
4.200
4.262
4.280
4.280
-
Sumber : Harianto, F, dkk, 1998, “Perangkat dan Teknik Analisis Investasi di Pasar Modal Indonesia”, PT.
Bursa Efek Jakarta, Jakarta, hal. 516.
Moving average pada hari ke 3 memperoleh angka Rp 4.080 yang berasal dari
(4.000 + 4.200 + 4.100 + 3.900 + 4.200)/5 = 4.080. Demikian seterusnya. Apabila
perkembangan harga “asli” dan harga yang dihitung movong averaga-nya
(penghitungan moving average tidak harus menggunakan basis 5 pengamatan, dapat
saja dengan menggunakan basis yang berbeda), digambarkan dalam suatu grafik yang
sumbu tegaknya adalah harga dan sumbu datarnya waktu (hari), lihat gambar 2.7.
Pedoman yang digunakan adalah bahwa apabila harga saham “asli” ada di
bawah harga moving average, maka harga tersebut akan naik memotong harga
moving average, sehingga saham tersebut merupakan kandidat untuk dibeli.
Sebaliknya apabila harga saham di atas moving average, maka harga saham tersebut
akan turun memotong moving average dari atas, sehingga pada saat itu sebaiknya
saham tersebut dijual. Perhatikan bahwa dengan analisis moving average, analis
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
sebenarnya melakukan timing kapan suatu saham sebaiknya dibeli dan kapan
sebaiknya dijual.
Harga saham
Harga saham
Moving average
Waktu
Sumber : Harianto, F, dkk, 1998, “Perangkat dan Teknik Analisis Investasi di Pasar Modal Indonesia”, PT.
Bursa Efek Jakarta, Jakarta, hal. 517.
Gambar 2.7. Penggunaan Moving Average dalam Analisis Teknikal
2.1.10. Volume Perdagangan Saham
Informasi yang lengkap merupakan kunci pokok dan sangat mempengaruhi
dalam memutuskan tindakan dalam seluruh aktivitas dibidang jual-beli saham di
bursa efek. Informasi (misalnya profil perusahaan, informasi keuangan perusahaan
dan sebagainya sangat mempengaruhi jumlah transaksi saham dan sensitive terhadap
terjadinya fluktuasi membuat para investor mampu mengantisipasi keadaan.
Kegiatan perdagangan saham tidak berbeda dengan perdagangan pada
umumnya yang melibatkan penjual dan pembeli. Dari adanya perdagangan saham
yang terjadi maka akan menghasilkan volume perdagangan saham. Hal ini
menyebabkan jumlah transaksi saham atau volume saham yang diperjual belikan
dapat berubah-ubah setiap hari. Tinggi rendahnya volume perdagangan saham adalah
penilaian yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Seperti kinerja perusahaan, kebijakan
direksi dalam investasi lain, kondisi ekonomi, kebijakan pemerintah, tingkat
pendapatan, laju inflasi, penawaran dan permintaan dan kemampuan analisis efek
harga saham itu sendiri juga merupakan sebagian hal-hal yang berpengaruh terhadap
volume perdagangan saham dan masih banyak lagi faktor yang mempengaruhinya.
2.2. Penelitian Terdahulu
Dalam bagian ini memuat berbagai penelitian yang telah di lakukan peneliti
lain, dan permasalahan yang diangkat juga pernah dilakukan oleh beberapa peneliti
lain, baik itu melalui penelitian biasa ataupun skripsi, seperti oleh beberapa penelitian
yang terdahulu yaitu penelitian dari:
Penelitian dari Nurfadhillah (2006) yang berjudul “Pengaruh Deviden Payout
Ratio (DPR), Earning Per Share (EPS) dan Kurs Dolar Terhadap Harga Saham
Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar DI BEJ” Penelitian ini menelaah bagaimana
pengaruh DPR dan EPS terhadap harga saham perusahaan manufaktur. Variabel yang
digunakan antara lain variabel Deviden Payout Ratio (DPR), variabel Earning Per
Share (EPS) dan variabel kurs dollar. Model analisis yang digunakan adalah model
analisis regresi berganda dengan menggunakan metode non probability sampling
dengan teknik pengambilan sampel purpossive sampling, yaitu teknik pengambilan
sampel dengan mendasarkan pada ciri-ciri atau kriteria tertentu.
Penelitian tersebut menggunakan data runtut waktu dari bulan Januari 2002
sampai dengan Desember 2004. Berdasarkan analisis hasil empiris diperoleh
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
kesimpulan bahwa variabel yang paling dominan terhadap harga saham adalah EPS.
Hal ini disebabkan oleh hasil penelitian yang ditunjukkan dengan nilai sig t (0,00)
yang lebih kecil dari 0,05 dan merupakan variabel yang paling signifikan
berpengaruh terhadap harga saham diantara tiga variabel bebas yang diuji.
Namun dalam penelitian tersebut juga mempunyai sejumlah keterbatasan baik
dalam pengambilan sampel maupun dalam metodologi yang digunakan. Keterbatasan
tersebut antara lain: 1. Hanya ada tiga variabel bebas yang mempengaruhi harga
saham digunakan dalam penelitian ini. 2. Periode pengamatan relatif pendek hanya 3
tahun. 3. Harga saham yang digunakan hanya closing price pada tanggal 31
Desember, sehingga masih kurang mencerminkan harga pasar saham pada tahun
berjalan. 4. Data-data yang diambil dalam tahunan, sehingga kurang mencerminkan
posisi keuangan pada tahun tersebut.
Penelitian tersebut belum mengungkapkan pengaruh variabel lain yang
mempengaruhi harga saham manufaktur di Bursa Efek Indonesia. Oleh karena itu
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan variabel lain dan jika memungkinkan
dengan jumlah variabel yang lebih banyak karena mengingat bahwa secara empiris
harga saham dipengaruhi oleh berbagai macam variabel.
Penelitian terdahulu lainnya adalah oleh Aguslan Hadi (2006) yang berjudul
“Analisis Perkembangan Investasi Asing di Indonesia Periode 1987-2003” Penelitian
ini menelaah bagaimana perkembangan investasi yang dilakukan oleh pihak asing di
Indonesia selama periode tersebut dengan melakukan analisis hubungan dari beberapa
variabel penelitian yang mendukungnya. Variabel yang digunakan antara lain
variabel terikat (investasi asing) dan variabel bebas (tingkat suku bunga deposito
berjangka Rp bank pemerintah per 12 bulan, inflasi, ekspor, dan nilai tukar). Metode
analisis data yang digunakan adalah kombinasi antara anlisis statistik (uji hipotesis)
dan analisis ekonometrika (uji penyimpangan asumsi klasik) dengan menggunakan
analisis regresi metode kuadrat terkecil / Least Squared Method (Ordinary Least
Square/OLS).
Berdasarkan analisis hasil empiris diperoleh kesimpulan bahwa variabel
tingkat suku bunga deposito berjangka Rp bank pemerintah per 12 bulan tidak
signifikan terhadap investasi asing. Variabel inflasi tidak signifikan terhadap investasi
asing. Variabel ekspor menunjukkan signifikansi dan berpengaruh positif terhadap
investasi asing. Variabel nilai tukar menunjukkan signifikansi dan berpengaruh yang
bersifat negatif (hubungan berkebalikan) terhadap investasi asing. Variabel bebas
secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel terikat. Pengujian terhadap
koefisien determinasi (R²) menghasilkan nilai sebesar 76,44%. Hal ini menunjukkan
bahwa secara statistik variasi dari variabel bebas mampu menjelaskan variasi dari
variabel terikat sebesar 76,44%.
Kesimpulan dari penelitian yang dilakukan adalah dari keempat variabel
bebas hanya dua variabel yang sesuai dengan hipotesis, yaitu ekspor dan nilai tukar.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan tersebut maka penulis mencoba untuk
melanjutkan penilitan dengan mengaitkannya pada investasi yang lebih spesifik
dengan pembatasan yang lebih sempit.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
2.3. Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian
Dasar penelitian ini adalah perihal tentang analisis harga saham, yang
dipersempit dengan memfokuskan pada analisis pengaruh variabel-variabel makro
ekonomi terhadap harga saham dan volume perdagangan saham. Untuk melakukan
analisis dan memilih saham terdapat dua pendekatan dasar, yaitu Analisis
Fundamental dan Analisis Teknikal (Harianto, 1998: 473). Penelitian ini sendiri
merupakan bagian dari analisis fundamental.
Dalam analisis fundamental dilakukan upaya memperkirakan harga saham di
masa yang akan datang dengan meng-estimate nilai faktor-faktor fundamental yang
mempengaruhi harga saham di masa yang akan datang, serta menerapkan hubungan
variabel-variabel tersebut sehingga diperoleh taksiran harga saham (Harianto, 1998:
474).
Karena faktor-faktor yang mempengaruhi harga saham sangatlah banyak,
maka untuk melakukan analisis fundamental secara keseluruhan diperlukan beberapa
tahapan analisis. Tahapan yang dilakukan diawali dengan analisis dari (1) kondisi
makro ekonomi atau kondisi pasar, (2) kemudian diikuti dengan analisis industri, dan
(3) akhirnya analisis kondisi spesifik perusahaan. Secara skematis, kerangka analisis
fundamental disajikan pada Gambar 4.4 (Harianto, 1998: 477).
Analisis Fundamental
Penilaian
1. Manfaat yang diharapkan, baik dalam bentuk deviden maupun laba.
2. Risiko investasi yang akan mempengaruhi tingkat keuntungan yang layak atau PER.
Dilakukan Dengan
Lakukan Analisis Terhadap:
1. Ekonomi atau Pasar
2. Industri
3. Perusahaan
Gunakan Model Valuasi Deviden atau Gunakan Model PER
Sumber:
Dikutip dari Harianto, F. dkk., 1998, “Perangkat dan Teknik Analisis Investasi di Pasar
Modal Indonesia”, PT. Bursa Efek Jakarta, Jakarta, hal. 478.
Gambar 2.8 Kerangka Analisis Fundamental
Jika dibuat kedalam bentuk narasi atas perlunya dilakukan analisis tentang
pengaruh faktor-faktor makro ekonomi terhadap harga saham serta hubungannya
dengan volume perdagangan saham dapat dilihat seperti kutipan berikut:
Secara fundamental harga suatu jenis saham dipengaruhi oleh kinerja
perusahan dan kemungkinan risiko yang dihadapi perusahaan. Kinerja
perusahaan tercermin dari laba operasional dan laba bersih per saham serta
beberapa rasio keuangan yang menggambarkan kekuatan manajemen dalam
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
mengelolah perusahaan. Risiko perusahaan tercermin dari daya tahan
perusahaan dalam menghadapi siklus ekonomi serta faktor makro ekonomi
dan nonekonomi. Dengan kata lain, kinerja perusahaan dan risiko yang
dihadapi dipengaruhi oleh faktor makro dan mikro ekonomi (Samsul, 2006:
200).
Dari pemaparan di atas peneliti mencoba untuk menggambarkan hubungan
antar faktor makro dan mikro yang mempengaruhi kinerja perusahaan dalam
menghasilkan laba/keuntungan dan hubungannya terhadap harga saham dan volume
perdagangan saham pada gambar 2.9.
Faktor makro merupakan yang berada di luar perusahaan, tetapi mempunyai
pengaruh terhadap kenaikan atau penurunan kinerja perusahaan baik secara langsung
maupun tidak langsung. Faktor makro terdiri dari makro ekonomi dan makro
nonekonomi. Faktor makro ekonomi yang secara langsung dapat mempengaruhi
kinerja saham maupun kinerja perusahaan antara lain:
1) Tingkat bunga umum domestik
2) Tingkat inflasi
3) Peraturan perpajakan
4) Kebijakan khusus pemerintah yang terkait dengan perusahaan tertentu
5) Kurs valuta asing
6) Tingkat bunga pinjaman luar negeri
7) Kondisi perekonomian internasional
8) Siklus ekonomi
9) Faham ekonomi
10) Peredaran uang
Faktor mikroekonomi yang mempunyai pengaruh terhadap harga saham suatu
perusahaan berada dalam perusahaan itu sendiri, yaitu variabel-variabel seperti:
1) Laba bersih per saham
2) Laba usaha per saham
3) Nilai buku per saham
4) Rasio ekuitas terhadap utang
5) Rasio laba bersih terhadap ekuitas
6) Cash flow per saham
Faktor Mikro
Perusahaan
Faktor Makro Ekonomi
dan Nonekonomi
Kinerja
Perusahaan
Keuntungan
Harga Saham
Volume Perdagangan Saham
Gambar 2.9. Hubungan Faktor Makro dan Mikro Terhadap
Kinerja Perusahaan, Keuntungan, Harga Saham dan Volume
Perdagangan Saham.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
Harga
saham
sebuah
perusahaan
akan
meningkat
jika
pemodal
memperkirakan arus kas yang akan diperoleh dari perusahaan tersebut meningkat.
Arus kas yang akan diperoleh oleh pemodal dalam bentuk deviden atau bunga
dipengaruhi oleh kemampuan manajemen perusahaan untuk beroperasi secara
menguntungkan di tengah-tengah lingkungan usaha yang semakin kompetitif.
Pendapatan perusahaan akan meningkat jika harga dan kuantitas produk yang dijual
perusahaan meningkat. Sementara peningkatan kuantitas produk yang dijual
meningkatkan produk yang dihasilkan sehingga meningkatkan biaya perusahaan.
Biaya perusahaan juga akan meningkat jika harga-harga modal atau kapital, harga
tenaga kerja, dan harga bahan baku meningkat (Harianto, 1998: 137).
Dalam penelitian ini penulis mencoba untuk menganalisis pengaruh faktor
makro ekonomi terhadap harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk. Karena
keterbatasan waktu maka variabel-variabel penelitian juga lebih dipersempit (Inflasi,
Kurs, Investasi, dan Suku Bunga SBI) dengan harapan agar dapat dilanjutkan oleh
peneliti lain agar penelitian ini lebih sempurna.
Peneliti memilih variabel-variabel tersebut di atas dengan anggapan bahwa
variabel-variabel lain dianggap konstan. Berdasarkan teori-teori ekonomi dan
penelitian-penitian yang sudah ada sebelumnya dapat dihubungkan terhadap objek
penelitian (saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk)), akan memperlihatkan
hubungan variabel-variabel penelitian yang digunakan sebagai berikut:
1) Apabila Inflasi meningkat, maka harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia,
Tbk. akan menurun (defisit), ceteris paribus.
2) Apabila Kurs (rupiah terhadap dolar) meningkat, maka harga saham PT. Bank
Rakyat Indonesia, Tbk. akan menurun (devisit), ceteris paribus.
3) Apabila Investasi meningkat, maka harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia,
Tbk. akan meningkat (surplus), ceteris paribus.
4) Apabila SBI meningkat, maka harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk.
akan menurun (defisit), ceteris paribus.
5) Apabila harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk meningkat maka
volume perdagangan saham PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk. akan menurun,
(defisit), ceteris paribus.
2.3.1. Kerangka Konseptual Penelitian
Berdasarkan pemaparan di atas, perumusan masalah, metode penelitian, dan
tujuan penelitian maka dapat dibuat skema kerangka konseptual penelitian pada
gambar 2.10.
Dari gambar tersebut dapat dijelaskan secara singkat bahwa variabel-variabel
bebas yang dipilih dalam penelitian ini (Inflasi, Kurs, Investasi, dan Suku Bunga SBI)
berpengaruh langsung terhadap Harga Saham PT. BRI, (Tbk). Sedangkan Harga
Saham PT. BRI, (Tbk) itu sendiri diperkirakan berpengaruh terhadap Volume
Perdagangannya di Bursa Efek tempat saham tersebut diperdagangkan.
Jika diperhatikan kembali bentuk hubungan antara Harga Saham dengan
Volume Perdagangannya merupakan suatu bentuk hubungan antara permintaan dan
penawaran. Dengan demikian maka peneliti merasa perlu juga dilakukan analisis
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
antara Volume Perdangan terhadap Harga Saham bersama-sama dengan variabelvariabel yang mempengaruhi harga saham itu sendiri.
Inflasi (X1)
Harga Saham PT.
Bank Rakyat
Indonesia, (Tbk) (Y1)
Kurs (X2)
Investasi (X3)
Volume
Perdagangan Saham
PT. Bank Rakyat
Indonesia, (Tbk) (Y1)
Suku Bunga
SBI (X4)
Gambar 2.10. Kerangka Konseptual Penelitian
Dengan
melihat
hubunga-hubungan
antar
variabel-variabel
yang
di
gambarkan pada skema konseptual di atas dan dengan atas dasar tujuan sebagai
masukan dan perbandingan dalam penelitian ini maka peneliti juga merasa perlu
dilakukannya analisis antara Volume Perdagangan Saham secara langsung terhadap
variabel-variabel makro ekonomi yang digunakan dalam penelitian ini. Dengan
demikian maka akan diperlihatkan pengaruh hubungan langsung antara variabel
volume perdagangan dan variabel-variabel makro ekonomi tanpa mengikutkan
variabel harga saham di dalamnya.
2.3.2. Hipotesis Penelitian
Hipotetisi penelitian merupakan jawaban sementara terhadap rumusan
masalah penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam
bentuk kalimat pertanyaan (Sugiyono, 2008: 64).
Berdasarkan perumusan masalah dan kerangka konseptual penelitian dapat
dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
1. Variabel Inflasi, Kurs, Investasi dan SBI berpengaruh terhadap harga saham PT.
Bank Rakyat Indonesia, (Tbk).
2. Variabel Inflasi, Kurs, Investasi, SBI dan Harga Saham PT. Bank Rakyat
Indonesia, (Tbk) berpengaruh terhadap Volume Perdagangan Saham PT. Bank
Rakyat Indonesia, (Tbk).
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah langkah dan prosedur ilmiah yang dilakukan dalam
mendapatkan data atau informasi untuk kegunaan atau tujuan tertentu (Sugiyono,
2008: 2). Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian adalah dengan pendekatan
ekonometrika dengan metode kuantitatif menggunakan pemodelan regresi linear
berganda, hal ini dilakukan karena penelitian ini berusaha menjelaskan hubungan
pengaruh variabel-variabel bebas terhadap variabel terikatnya.
3.1. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis pengaruh variabel inflasi,
kurs, investasi dan SBI terhadap harga saham dan volume perdagangan saham PT.
Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia.
3.2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan
ekonometrika menggunakan model regresi linier berganda dengan metode OLS
(ordinary least square), dimana peneliti berusaha menjelaskan hubungan dan
pengaruh variabel-variabel bebas (inflasi, kurs, investasi, SBI dan harga saham)
terhadap variabel terikat (volume perdagangan saham) yang dilengkapi dengan uji
kesesuaian dan uji asumsi klasik.
82
3.3. Jenis Variabel
Jenis variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis yaitu
variabel bebas dan variabel terikat, variabel bebasnya terdiri atas: inflasi, kurs,
investasi, SBI, dan harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk). Sedangkan
variabel terikatnya adalah volume perdagangan saham PT. Bank Rakyat Indonesia,
(Tbk).
Seluruh variabel bebas yang digunakan merupakan data skunder yaitu data
yang telah diolah dan dipublikasikan secara kuantitatif oleh Bank Indonesia (BI),
Badan Pusat Statistik (BPS) dan PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) dalam bentuk
time series. Skala time series yang digunakan adalah skala bulanan, yaitu selama
periode Januari 2004 sampai dengan Desember 2007.
3.4. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif time
series dalam interval bulanan dengan satuan ukur masing-masing. Data yang akan
digunakan dalam penelitian terdiri atas data Inflasi (dengan satuan persentase), data
Kurs (dengan satuan rupiah), data Investasi (dengan satuan rupiah), data Suku Bunga
SBI (dengan satuan persentase), data Harga Saham (dengan satuan rupiah) dan data
Volume Perdagangan Saham (dengan satuan lembar).
Dalam penyusunan penelitian ini penulis melakukan pengumpulan data
melalui dua tahap. Tahap pertama yaitu melalui penelitian kepustakaan (library
research) berupa pengumpulan data pendukung seperti literatur, jurnal serta laporanlaporan yang pernah dipublikasikan. Penelitian kepustakaan ini bertujuan untuk
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
mendapatkan gambaran masalah yang diteliti dan sebagai bahan perbandingan serta
masukan selama melakukan penlitian. Tahap kedua yang dilakukan adalah dengan
mengumpulkan data-data sekunder yang diperlukan dalam analisis penelitian.
Sumber data diperoleh dari Bank Indonesia (BI), Badan Pusat Statistik (BPS),
PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) dan sumber-sumber lain yang berhubungan
dengan penelitian ini, yang disampaikan melalui media cetak dan elektronik. Teknik
yang dilakukan dalam pengumpulan data adalah dengan mencatat data, mencopy data
dan mendownload langsung dari website sumber data yang bersangkutan.
3.5. Pengolahan Data
Dalam melakukan pengolahan data digunakan dengan bantuan software utama
pengolah data statistik SPSS ver. 15 dan Eviews ver 4.1. Disamping itu juga
digunakan software aplikasi Microsoft Word 2007 dalam penulisan penelitian dan
Microsoft Excel 2007 sebagai software pembantu dalam pengolahan data bentuk
baku yang disediakan oleh sumber kedalam bentuk yang lebih representatif untuk
digunakan pada software utama di atas, dengan tujuan untuk meminimalkan
kesalahan dalam pencatatan ulang apabila dibandingkan dengan pencatatan ulang
secara manual.
Dalam analisis ini, peneliti melakukan penyesuaian khusus terhadap
pencatatan data Investasi. Data Investasi yang digunakan merupakan penjumlahan
dari 2 (dua) jenis investasi, yaitu Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan
Penanaman Modal Asing (PMA), dengan satuan hitung yang berbeda-bedan. Data
investasi yang digunakan dalam analisis ini adalah data investasi PMDN dengan
satuan hitung Miliar Rupiah, dan data PMA dengan satuan hitung Juta USD.
Dengan tujuan agar data-data tersebut lebih representatif digunakan dalam
analisis maka penulis menggunakan variabel Kurs untuk mengkonversi data PMA
dengan satuan hitung Juta USD menjadi Juta Rupiah sesuai dengan periode kurs pada
masing-masing bulan. Hasil dari konversi satuan mata uang data PMA tersebut
kemudian di rubah kedalam satuan miliar dengan caran mengalikannya dengan
1/1000 (selisih antara bilangan miliar dengan bilangan juta). Kemudian, dijumlahkan
dengan data PMDN sesuai dengan periode bulanan masing-masing, sehingga
menghasilkan data Investasi Total dengan satuan miliar rupiah.
3.6. Model Analisis Data
Dalam upaya pembuktian atas hipotesis yang telah dibuat maka harus
dilakukan pengujian atas hipotesis itu sendiri dengan menggunakan metode/ strategi/
pendekatan/ desain penelitian yang sesuai.
Berdasarkan perumusan masalah, kerangka konseptual dan hipotesis yang
dibuat maka penelitian ini menerapkan metode analisis data deskriptif kuantitatif
dengan pemodelan regresi linier berganda/ riset korelasi. Penerapan metode ini akan
menghasilkan tingkat hubungan antara variabel-variabel yang diteliti. Dengan
demikian dapat ditunjukkan seberapa besar kontribusi variabel-variabel bebas
terhadap variabel terikatnya serta arah hubungan yang terjadi (hubungan negatif atau
positif).
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
Dalam kerangka konseptual diperlihatkan bahwa terdapat dua persamaa yang
dibuat yaitu persamaan untuk Harga Saham dan persamaa untuk Volume
Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk. Hubungan antara variabelvariabel bebas dengan variabel terikat dari kedua persamaan tersebut dirumuskan
dalam dua fungsi sebagai berikut:
1) Harga Saham
= fungsi (Inflasi, Kurs, Investasi, Suku Bunga
SBI)
2) Volume Perdagangan Saham = fungsi (Inflasi, Kurs, Investasi, Suku Bunga
SBI, Harga Saham)
Kedua persamaan tersebut dibuat kedalam bentuk model agar dapat dilakukan
penelitian dan pembuktian sesuai dengan metode yang digunakan. Model yang
digunakan adalah sebagai berikut:
a. Model regresi untuk estimasi harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk).
Y1
= α + β1 X 1 + β 2 X 2 + β 3 X 3 + β 4 X 4 + ε
Keterangan:
Y1
= Harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) (rupiah)
α
= Konstanta/ intercept
β1 , β 2 , β 3 , β 4
= Koefisien regresi
X1
= Inflasi (persen)
X2
= Kurs (rupiah)
X3
= Investasi (miliar rupiah)
X4
= Suku Bunga SBI (persen)
ε
= Term of error
b. Model regresi untuk estimasi volume perdagangan saham PT. Bank Rakyat
Indonesia, (Tbk).
Y2
= α + β1 X 1 + β 2 X 2 + β 3 X 3 + β 4 X 4 + β 5 Y1 + ε
Keterangan:
Y2
= Volume
perdagangan
saham
PT.
Bank
Rakyat
Indonesia, (Tbk).
Y1
= Harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk).
α
= Konstanta/ intercept
β1 , β 2 , β 3 , β 4 , β 5 = Koefisien regresi
X1
= Inflasi
X2
= Kurs
X3
= Investasi
X4
= Suku Bunga SBI
ε
= Term of error
3.7. Uji Hipotesis
Uji hipotesis berguna untuk memerikasa atau menguji apakah koefisien
regresi yang didapat adalah signifikan (berbeda nyata). Maksud dari signifikan ini
adalah suatu nilai koefisien regresi yang secara statistik tisak sama dengan nol. Jika
koefisien slope sama dengan nol, berarti dapat dapat dikatakan bahwa tidak cukup
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
bukti untuk menyatakan variabel-variabel bebas mempunyai pengaruh terhadap
variabel terikat (Nachrowi, 2006: 16).
Untuk kepentingan tersebut, maka semua koefisien regresi harus diuji dengan
perangkat pengujian seperti Uji R2, Uji F-Statistik, Uji-t Statistik. Setelah melakukan
pengujian tersebut maka dapat diketahui tingkat signifikan pengaruh dan arah
hubungan antara variabel-variabel bebas yang digunakan terhadapa variabel
terikanya. Adapun uji hipotesis yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai
berikut:
3.7.1. Uji Koefisien Determinasi (R-square/ R2)
Pengujian koefisien determinasi dilakukan untuk melihat seberapa besar
variabel-variabel bebas secara bersama-sama mampu memberikan penjelasan
mengenai variabel terikatnya. Dalam output hasil pengolahan SPSS, nilai R2
ditampilak pada tabel Model Summary, pada kolom R Square.
Nilai R2 menunjukan besarnya variabel-variabel bebas dalam mempengaruhi
variabel terikat. Nilai R2 berkisar antara 0 dan 1 (0 ≤ R 2 ≤ 1). Semakin besar nila R2,
maka semakin besar variasi variabel terikat yang dapat dijelaskan oleh variasi
variabel-variabel bebasnya. Sebaliknya, semakin kecil nilai R2, maka semakin kecil
variasi variabel terikat yang dapat di jelaskan oleh variasi variabel bebas. Sifat dari
koefisien determinasi adalah (Damodar Gujarati):
•
R2 merupakan besaran yang non negatif.
•
Batasnya adalah (0 ≤ R2 ≤ 1).
3.7.2. Uji F-Statistik
Uji F-statistik ini dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh variabel
bebas secara bersama-sama mempengaruhi variabel terikat. Pengujian ini dilakukan
dengan membandingkan nilai F-statistik dengan nilai F-tabel pada tingkat
kepercayaan tertentu. Dengan pengolahan menggunakan SPSS, nilai F-Statistik
ditampilak pada tabel ANOVA, pada kolom F.
Nilai F-statistik dapat diperoleh dengan rumus:
F* =
dimana:
: koefisien determinasi
k
: jumlah variabel bebas ditambah intercept dari suatu model
persamaan
n
: jumlah sampel
Untuk pengujian ini digunakan hipotesis sebagai berikut:
Ho : b1 = b2 = b3 = b4 = 0
Ha : b1 ≠ b2 ≠ b3 ≠ b4 ≠ 0
H0 Diterima
H0 Ditolak
Gambar 3.1 Grafik pengujian F-Statistik
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
Kriteria penerimaan hipotesis pada uji F-statistik dalam penelitian ini adalah:
a. Ho diterima dan Ha ditolak apabila F-statistik < F-Tabel dengan tingkat
kepercayaan (α). Artinya varian variabel-variabel bebas tidak dapat menerangkan
variabel terikat, dimana tidak terdapat pengaruh variabel-variabel bebas terhadap
variabel terikat. Pengujian dilakukan pada tingakat kepercayaan sebesar (α).
b. Ho ditolak dan Ha diterima apabila F-statistik > F-Tabel dengan tingkat
kepercayaan (α). Artinya varian variabel-variabel bebas dapat menerangkan
variabel terikat, dimana terdapat pengaruh variabel-variabel bebas terhadap
variabel terikat. Pengujian dilakukan dengan tingakat kepercayaan sebesar (α).
3.7.3. Uji-t Statistik
Uji-t merupakan suatu pengujian yang bertujuan untuk mengetahui apakah
masing-masing koefisien regresi signifikan atau tidak terhadap variabel terikat
dengan menganggap variabel bebas lainnya konstan. Uji-t dilakukan dengan
membandingkan t-statistik terhadap t-tabel dengan α tertentu. Perlakuan uji-t
dilakukan terhadap satu per satu variabel. Dengan bantuan SPSS, output pengujian
nilai t-statistik ditampilkan pada tabel Coefficients kolom t. Nilai t-statistik (t*)
diperoleh dengan rumus:
t* =
dimana:
bi
: koefisien variabel inependen ke - i
b
: nilai hipotesis nol
Sb1
: simpangan baku dari variabel bebas ke – 1
Ha diterima
Ha diterima
Ho diterima
(-) t-hitung
0
(+) t-hitung
Gambar 3.2 Grafik Pengujian t-Statistik
Dalam uji t ini digunakan perumusan bentuk hipotesis sebagai berikut:
Ho : bi = 0
Ha : bi ≠ 0
Pengujian dilakukan melalui uji-t dengan membandingkan t-statistik (t*)
dengan t-tabel (tt). Apabila hasil perhitungan menunjukkan :
a. Ho diterima dan Ha ditolak apabila t* < tt dengan tingkat kepercayaan (α). Artinya
variasi variabel bebas yang diuji tidak dapat menerangkan variabel terikat, dimana
tidak terdapat pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Pengujian
dilakukan dengan tingakat kepercayaan sebesar (α).
b. Ho ditolak dan Ha diterima apabila t * > tt dengan tingkat kepercayaan (α). Artinya
variasi variabel bebas dapat menerangkan variabel terikat, dimana terdapat
pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Pengujian dilakukan dengan
tingakat kepercayaan sebesar (α).
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
3.8. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik
Gujarati (2003) mengemukakan beberapa asumsi klasik yang harus dipenuhi
untuk suatu hasil estimasi regresi linier agar hasil tersebut dikatakan baik dan efisien.
Adapun sumsi klasik yang harus dipenuhi antara lain (Pratomo, 2007: 88):
1) Model regresi adalah linier, yaitu linier di dalam parameter.
2) Residual variabel pengganggu (µi) mempunyai nilai rata-rata nol (zero mean
value of disturbance µi).
3) Homoskedastisitas atau varian dari µi adalah konstan.
4) Tidak ada autokorelasi antara variabel pengganggu (µi).
5) Kovarian antara µi dan variabel bebas (X1) adalah nol.
6) Jumlah data (observasi) harus lebih banyak dibandingkan dengan jumlah
parameter yang diestimasi.
7) Tidak ada multikolinearitas.
8) Variabel pengganggu harus berdistribusi normal atau stokastik
3.8.1. Uji Multikolinearitas
Pada mulanya multikolineritas berarti adanya hubungan hubungan linear yang
“sempurna” atau pasti, di antar beberapa atau semua variabel yang menjelaskan
(variabel bebas) dari model regresi (Gujarati, 1995: 157).
Istilah kolinearitas ganda (multicollinearity) diciptakan oleh Ragner Frish di
dalam bukunya: Statistical confluence analysis by means of Complete Regression
Systems. Aslinya istilah itu berarti adanya hubungan linear yang sempurna atau eksak
(perfect of exact) di antara variabel-variabel bebas dalam model regresi. Istilah
kolinearitas (collinearity) sendiri berarti hubungan linear tunggal (single linear
relationship), sedangkan kolinearitas ganda (multicollinearity) menunjukkan adanya
lebih dari satu hubungan linear yang sempurna (Supranoto, 2004: 13).
Bila variabel-variabel bebas berkorelasi secara sempurna, maka metode
kuadrat terkecil tidak bisa digunakan (Sumodiningrat, 2001: 281).
Jika terdapat korelasi yang sempurna di antara sesama variabel-variabel bebas
sehingga nilai koefisien korealasi di antara sesama variabel bebas ini sama dengan
satu, maka konsekwensinya adalah (Arief, 1992: 23):
a) Koefisien-koefisien regresi menjadi tidak dapat ditaksir.
b) Nilai standar eror setiap koefisien regresi menjadi takterhingga.
Cara mengetahui kolinearitas ganda (Supranto, 2004: 26):
1. Kolinearitas sering kali dapat diduga kalua nilai R2 cukup tinggi (katakan
antara 0,7 dan 1,0) dan kalau kofisien korelasi sederhana (zero order
coefficient of correlation) juga tinggi.
2. Tingginya nilai-nilai koefisien korelasi sederhana (zero order) merupakan
syarat yang sukup (sufficient), tetapi bukan syarat yang perlu (necessary)
untuk terjadinya kolinearitas dalam model regresi linear ganda, sebab
kolinearitas ganda bisa terjadi walau koefisien korelasi sederhana nilainya
relatif rendah, katakan kurang dari 0,50. Maka dari itu, untuk model
regresi linear dengan variabel bebas lebih dari dua, nilai koefisien korelasi
sederhana antara varibel bebas tidak cukup untuk tipergunakan sebagai
petunjuk ada tidaknya kolinearitas ganda.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
3. Untuk mengetahui ada tidaknya kolinearitas ganda dalam suatu model
regresi linear berganda, kita tidak boleh hanya melihat nilai koefisien
korelasi sederhana antara variabel bebas, tetapi dianjurkan untuk melihat
nilai koefisien regresi parsial. Jadi di dalam regresi linier/ berganda yang
menghubungkan Y dengan X2, X3, X4 kalau ternyata R21.234 sangat tinggi
nilainya (mendekati 1), tetapi r212.34 , r213.24 , r214.32 nilainya sangat rendah
dibandingkan dengan nilai R21.234, hal ini menunjukkan bahwa
kemungkinan besar variabel bebas X2, X3 dan
X4 saling berkorelasi
sehingga paling tidak akan kelebihan satu variabel (superfluous), artinya
jumlah variabel bebas bisa dikeluarkan minimal ada satu.
4. Oleh karena kolinearitas timbul disebabkan adanya satu atau lebih variabel
bebas yang berkorelasi sempurna atau mendekati sempurna dengan
variabel bebas lainnya, salah satu cara untuk mengetahui variabel bebas X
yang mana berkorelasi dengan variabel lainnya ialah dengan membuat
regresi setiap Xi terhadap sisa variabel lainnya dan menghitung R2 (kita
beri simbol R2i). Apabila F yang dihitung berdasarkan data observasi dari
sampel ternyata lebih besar dari nilai F dan tabel F dengan tingkat
signifikan/ nyata tertentu (katakan 1%), maka dapat disimpulkan bahwa Xi
tersebut memang berkorelasi dengan sisa variabel bebas lainnya.
Sebaliknya, kalau lebih kecil tidak berkorelasi dan kita dapat
mempertahankan variabel bebas yang bersangkutan tetap didalam model
regresi. Akan tetapi, kalau F signifikan secara statistik, berarti ada korealsi
antara Xi dengan sisa variabel lainnya, kita tidak perlu langsung
mengeluarkan variabel tersebut dari model.
Untuk melakukan uji multikolinearitas dengan bantuan SPSS dapat melihat
nilai VIF yang ditampilakan pada tabel Coefficients. Dasar Keputusan:
•
Apabila nilai koefisien VIF dari suatu variabel xi lebih besar dari 4 maka dapat
dikatakan variabel tersebut bergejala colinearity.
•
Sebaliknya, jika nilai koefisien VIF dari suatu variabel xi lebih kecil dari 4 maka
dapat dikatakan variabel tersebut tidak bergejala colinearity.
3.8.2. Uji Heteroskedastisitas
Suatu asumsi kritis dari model regresi linear klasik adalah bahwa gangguan Ui
semuanya mempunyai varians yang sama. Jika asumsi tidak dipenuhi, kita
mempunyai
heteroskedastisitas.
Heteroskedastisitas
tidak
merusak
sidat
ketiadakbiasan dan konsistensi dari penaksir OLS. Tetapi penaksir ini tidak lagi
mempunyai varians minimum atau efisien. Dengan perkataan lain, mereka tidak lagi
BLUE. Panaksir BLUE diberikan oleh metode kuadrat terkecil tertimbang (Gujarati,
1995: 194).
Cara Mendeteksi Heteroskedastisitas:
Berikut ini ada beberapa metode, baik formal maupun informal, yang dapat
mendeteksi adanya heteroskedastisitas(Supranto, 2004: 54).
1. Sifat Persoalannya. Seringkali, sifat persoalan yang diteliti menyarankan atau
menunjukkan kemungkinan adanya heteroskedastisitas. Sebagai suatu kenyataan
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
dalam data cross-section yang meliputi elemen-elemen atau unit-unit yang
heterogen, adanya heteroskedastisitas merupakan suatu aturan (rule), bukan hanya
sekedar kekecualian (exception). Jadi di dalam analisis yang didasarkan atas data
cross section (cross sectional analysis), yang mencakup pengeluaran investment
dalam hubungannya dengan penjualan, tingkat bunga, dan lain sebagainya,
heteroskedasitas diharapkan akan timbul kalau perusahaan kecil, sedang, dan
besar sama-sama terkena sampel.
2. Metode Grafik. Apabila tidak ada informasi sebelumnya atau informasi secara
empiris tentang adanya heteroskedastisitas, dalam praktiknya praktiknya kita
dapat
membuat
analisi regresi
berdasarkan
asumsi
bahwa
tidak
ada
heteroskedsastisitas dan kemudian melakukan pengecekan terhadap perkiraan
kesalahan pengganggu (residual) kuadrat, yaitu ei2, untuk melihat kalau-kalau
seluruh ei2 menunjukkan pola sistematis. Walaupun ei2 tidak sama dengan εi2,
tetapi dapat dipergunakan sebagai proxy, khususnya kalau sampel cukup besar.
3. Uji dari Park (Park Test)
Park memformalkan metode grafik, dengan menganjurkan bawah σ 2i merupakan
fungsi dari variabel bebas Xi. Fungsi yang dia anjurkan ialah sebagai berikut:
σ2i = σ2 Xβi
atau
ln σ2i = ln σ2 + B ln Xi + Vi
dimana Vi merupakan kesalahan pengganggu (residual).
Oleh karena pada umunya σ 2i tidak diketahui, Park mengusulkan menggunakan
e2i sebagai proxy dan membuat regresi berikut:
= ln σ2 + B ln Xi + Vi
ln e2i
= A +B ln Xi + Vi
Apabila melalui pengujian hipotesis B ternyata signifikan secara statistik, berarti
X mempengaruhi e2i, maka dalam data terjadi heteroskedastisitas.
Uji Park (Park Test) adalah prosedur dua fase/ tahap (a two-stage prosedures).
Pada tahap pertama (first stage) kita membuat regresi dengan menggunakan OLS,
kemudian melakukan regresi tanpa memperhatikan adanya heteroskedastisitas.
Dari regresi ini akan kita peroleh e2i, kemudian pada tahap kedua (second stage)
kita membuat regresi terakhir di atas.
4. Uji Glejser (Glejser Test)
Uji Glejser hampis sama dengan uji Park. Setelah memperoleh residual atau
kesalahan pengganggu ei dari regresi OLS, Glejser mengusulkan regresi harga
mutlak (absolute Value) dari ei, yaitu | ei | terhadap variabel besar X yang
dianggap mempunyai hubungan yang kuat dengan σ2i. Dalam eksperimen yang
dilakukan, Glejser menggunakan bentuk fungsi sebagai berikut:
|ei| = B Xi + vi
|ei| = B
|ei| = B
|ei| = B
+ vi
+ vi
+ vi
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
|ei| = A + B Xi + vi
|ei| =
+ vi
|ei| =
+ vi
di mana seperti biasa vi = kesalahan pengganggu (residual)
Glejser telah menemukan bahwa untuk sampel yang besar (large sample), empat
pertama dari model di atas akan memberikan hasil memuaskan di dalam usaha
untuk mendeteksi adanya heteroskedatisitas. Oleh karena itu, sebagai hal yang
praktis, teknis dari Glejser dapat dipergunakan untuk sampel yang besar dan dapat
juga digunakan untuk sampel yang kecil sebagai suatu alat (device) kualitatif
untuk mempelajari sesuatu yang berkenaan dengan heteroskedastisitas.
5. Uji koralasi rank dari Spearman (Spearman’s rank correlation test)
Koefisien korelasi rank dari Spearman di defenisikan sebagai berikut:
rs = 1 – 6
di mana di = perbedaan dalam rank yang diberikan kepada dua karakteristik
yang berbeda dari individu atau fenomena ke i
n = banyaknya individu atau fenomena yang diberi rank
Koefisien korelasi rank tersebut dapat dipergunakan untuk mendeteksi
heteroskedastisitas, sebagai berikut: (kita anggap berlaku hubungan Yi = A + B
Xi + εi )
Tahap I
: Terapkan regresi tersebut pada data Y dan X dan hitung kesalahan
pengganggu (residual) ei, perkirakan εi.
Tahap II
: Tanpa memperhatikan tanda dari ei, yaitu kita ambil nilai
mutlaknya, |ei|, kemudian buat rank dari kedua variabel |ei| dan Xi
sesuai dengan urutan yang menaik/ menurun (ascending or
descending order) dan hitung koefisien korelasi dari rank Spearman
seperti rumus di atas.
Tahap III : Dengan anggapan bahwa koefisein korelasi rank sebenarnya ρs (=
Rho s), akan sebesar nil, dan n > b, signifikan dari r sampel, dapat
diuji dengan uji t sebagai berikut:
t=
dengan df = n – 2
Apa bila nilai t yang dihitung melebihi niali t yang kritis (critical t value) dari
tabel t, kita dapat dapat menerima hipotesis bahwa ada heteroskedastisitas. Kalau
tidak kita tolak hipotesis. Apabila model regresi mencakup lebih dari dua variabel
bebas, rs dapat dihitung antara ei dengan setiap variabel bebas X secara terpisah
dan dapat diuji untuk mengetahui signifikan tidaknya dengan menggunakan uji t
dengan rumus rs dan rumus uji t di atas.
6. Uji Goldfeld-Quandt (Sumodiningrat, 2001: 269)
Pengujian ini didasarkan atas dua asumsi dasar, yaitu: (1) jumlah pengamatan
(sekurang-kurangnya) dua kali jumlah variabel bebas dalam model, (2) Ui adalah
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
nir-otokorelasi dan berdistribus normal. Uji Goldfeld-Quandt ini hanya untuk
sampel-sampel besar, dan meliputi langkah-langkah berikut:
Langkah pertaman:
Susunlah pengamatan-pengamatan menurut besar variabel bebas (Xi).
Langkah kedua:
Hilangkan sejumlah tertentu pengamatan yang ditengah-tengah (katakanlah c)
dari analisis. Jumlah pengamatan sisanya, yaitu (n-c) pengamatan, masing-masing
bagian terdiri dari ½ (n-c) jumlah pengamatan. Satu bagian terdiri dari nilai-nilai
X yang kecil, sedangkan bagian lainnya mencakup nilai-nilai X yang besar.
Langkah tiga:
Taksirlah regresi secara terpisah dengan prosedur OLS untuk setiap bagian, dan
dapatkan jumlah residu kuadrat setiap bagian. Katakanlah
menunjukkan
jumlah residu dari sampel yang mengandung nilai-nilai X kecil, dan
dari
sampel yang mengandung nilai-nilai X yang besar.
Langkah keempat:
Hitung nilai F = (
)/(
); yang akan mempunyai distribusi F dengan derajat
bebas [½ (n – c) – k] baik untuk pembilang maupun untuk penyebut dari ratio itu
(n = jumlah pengamatan; c = jumlah pengamatan di tengah-tengah yang
dihilangkan, dan k = jumlah parameter yang ditaksir).
Jika U adalah homoskedastik, maka dua varian, yaitu
dan
seharusnya
sama, karena itu F akan cenderung sama dengan satu. F besar menunjukkan
adanya heteroskedastisitas.
Lankah kelima:
Ujilah hipotesis mengenai homoskedastisitas sebagai berikut:
H0 : Ui adalah homoskedastik
Ha : Ui adalah heteroskedastik
Apabila nilai hitung F* dari langkah keempat tersebut lebih besar daripada niali
F tabel (atau F teoritis), maka H0 ditolak (artinya, U adalah homoskedastik).
Apabila F* lebih kecil daripada F tabel, H0 tidak ditolak.
Dengan bantuan SPSS dapat dilakukan uji heteroskedasitas melalui metode
grafik yang ditampilkan pada Charts, yaitu hasil menggambarkan nilai ui2 terhadap
nilai-nilai variabel bebas. Grafik yang baik (tidak mengandung heteroskedastsitas)
adalah grafik yang tidak mencerminkan suatu pola yang sistematis atau dapat
dikatakan random (Nachrowi, 2006: 114).
3.8.3. Uji Autokorelasi
Satu dari asumsi penting dari model regresi linear klasik adalah bahwa
kesalahan atau gangguan Ui yang masuk kedalam fungsi regresif populasi adalah
random atau tak berkorelasi. Jika asumsi ini dilanggar, ita mempunyai problem serial
korelasi atau aoutokorelasi. Meski penaksir OLS tetap tak bias dan konsisten dengan
adanya aotokorelasi, penaksir tadi tidak lagi efisien. Sebagai hasilnya, pengujian arti
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
(significance) t dan F tidal dapat diterapkan secara sah. Jadi tindakan perbaikan perlu
dilakukan. (Gujarati, 1995: 223)
Cara Mendeteksi Autokorelasi
Untuk mendeteksi autokorelasi dapat dilakukan dengan dua cara sebagai berikut
(Gujarati, 1995: 213):
1. Metode Grafik
Dengan metode grafik dapat dilakukan dengan memetakan ei terhadap waktu.
Nilai ei dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
ei = (ui – Å«) - xi
Jika pola gambar seperti Gambar 3.3a samapi d terlihat, dapat dicurigai adanya
autokorelasi, sedangkan jikapola yang terlihat seperti ditunjukkan Gambar 3.3e,
mungkin tidak terdapat autokorelasi. Keuntungan yang paling besar dari metode
grafik
adalah
kesederhanaannya.
Tidak
perduli
apakah
model
regresi
memasukkan satu variabel yang menjelaskan atau sepuluh, residualnya dapat
dengan mudah dipetakan terhadap waktu
u,e
0
x
u,e
x
x
x x
x
x
x
x x
x
x x
x
x
Waktu
x
x
0
xx
x
Waktu
(b)
u,e
0
x
x x
x x
x
(a)
x
x
x
u,e
x x
xx x x
x x
x x
Waktu
x
x
0
x
x
x
x x x x
x
x
x
x
(d)
(c)
Waktu
x
x
x
2. Percobaan d dari Durbin Watson
Statistik d dari Durbin-Watson untuk menetapkan sebagai
yang hanya merupakan rasio dari jumlah kuadrat perbedaan dalam residual yang
berturut-turut terhadap RSS
Mekanisme tes Durbin-Watson adalah sebagai berikut, dengan mengasumsikan
bahwa asumsi yang mendasari tes dipenuhi:
(1) Lakukan regresi OLS dan dapatkan residual ei.
(2) Hitung d dengan rumus di atas.
(3) Untuk sampel kecil tertentu dan banyaknya variabel yang menjelaskan
tertentu, dpat dilakukan kritis dL dan dU.
(4) Jika hipotesis H0 adalah bahwa tidak ada serial korelasi positif, maka jika
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
d < dL
: menolak H0
d > dU
: tidak menolak H0
dL ≤ d ≤ dU
: pengujian tidak meyakinkan
(5) Jika hipotesis nol H0 adalah bahwa tidak ada serial korelasi negatif, maka jika
d > 4 – dL
: menolak H0
d < 4 – dU
: tidak menolak H0
4 – dU ≤ d ≤ 4 – dL
: pengujian tidak meyakinkan
(6) Jika H0 adalah dua-ujung, yaitu bahwa tidak ada serial autokorelasi baik
positif atau pun negatif, maka jika
d < dL
: menolak H0
d > 4 – dL
: menolak H0
dU < d < 4 – dU
: tidak menolak H0
atau
f (d)
Daerah kritis
Terima Ha
Daerah kritis
Tolak H0
Tolak H0
Daerah
ketidakpastian
(inconclusive)
Tidak ada
otokorelasi
Daerah
ketidakpastian
(inconclusive)
d
0
dL
dU
2
4-dU
4-dL
Gambar 3.3 : Grafik Daerah Kriteria Pengujian Autokorelasi
Dengan bantuan SPSS, nilai uji D-W dapat diperoleh pada tabel Model
Summary dalam kolom Durbin-Watson.
3.9. Defenisi Variabel Operasional
Adapun defenisi variabel-variabel operasional yang digunakan dalam
penlitian ini adalah sebagai berikut:
1. Inflasi adalah nilai rata-rata inflasi bulanan hasil perhitungan oleh Bank Indonesia
(berdasarkan Indeks Harga Konsumen) dengan metode perhitungan inflasi
tahunan, dalam satuan persen.
2. Kurs adalah perbandingan nilai mata uang Indonesia (Rp) terhadap nilai mata
uang Amerika Serikat (US $) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam periode
bulanan, nilai yang digunakan adalah nilai kurs tengah, dalam satuan rupiah.
3. Investasi adalah jumlah penanaman modal yang dilakukan oleh pihak dalam
negeri dan luar negeri yang disetujui pemerintah dalam periode bulanan. Satuan
yang dgunakan adalah miliar rupiah.
4. Suku Bunga SBI adalah suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (tingkat bunga SBI
untuk 1 bulan) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia pada periode bulanan,
dalam satuan persen.
5. Harga saham adalah nilai rata-rata bulanan harga saham PT. Bank Rakyat
Indonesia, (Tbk) pada posisi penutupan transaksi harian di Bursa Efek Indonesia
dalam satuan rupiah.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
6. Volume perdagangan saham adalah jumlah lembar saham PT. Bank Rakyat
Indonesia, (Tbk) yang diperjual belikan dalam periode bulanan di Bursa Eek
Indonesia, dalam satuan lembar.
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1. Analisis Penelitian
4.1.1. Gambaran Umum PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk)
4.1.1.1. Sejarah Singkat PT. BRI, (Tbk)
Pada awalnya Bank Rakyat Indonesia (BRI) didirikan di Purwokerto, Jawa
Tengah oleh Raden Bei Aria Wiriatmadja dengan nama Hulp-en Spaarbank der
Inlandsche Haofden atau Bank Bantuan dan Simpanan Milik Kaum Priyayi yang
berkebangsaan Indonesia (Pribumi). Lembaga ini mengelolah dana kas masjid yang
kemudian disalurkan kepada masyarakat dengan skema pengembalian yang sangat
mudah. Berdiri tanggal 16 Desember 1895 yang kemudian dijadikan hari kelahiran
BRI.
Seiring dengan berjalannya waktu, lebaga keuangan tersebut semakin
berkembang dan dibutuhkan masyarakat. Dalam perjalanannya, nama lembaga ini
beberapa kali mengalami perubahan, berturut-turut berubah menjadi Hulp-en
Spaarbank der Indische Bestuurs Ambtenareen, De Poerwakertosche Hulp Spaare-en
Landbouw Credietbank (Volksbank), Cenrale Kas Voor Volkscredietwezen Algemene,
dan perubahan nama terakhir pada masa kolonial Belanda terjadi pada tahun 1934
menjadi Algemene Volkscredietbank (AVB).
Pada periode setelah kemerdekaan RI, berdasarkan Peraturan Pemerintah
No.1 tahun 1946 pasal 1 disebutkan bahwa BRI adalah sebagai Bank Pemerintah
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
96
pertama di Republik Indonesia.
Karena adanya situasi perang mempertahankan
kemerdekaan pada tahun 1948, maka kegiatan BRI sempat terhenti untuk sementara
waktu dan baru mulai aktif kembali setelah Perjanjian Renville pada tahun 1949
dengan berubah nama menjadi Bank Rakyat Indonesia Serikat. Pada waktu itu,
melalui PERPU No.41 tahun 1960 dibentuk Bank Koperasi Tani dan Nelayan
(BKTN) yang merupakan peleburan dari BRI, Bank Tani Nelayan dan Nederlandsche
Maatschappij (NHM). Kemudian berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres) No 9
tahun 1965, BKTN diintegrasikan ke dalam Bank Indonesia dengan nama Bank
Indonesia Urusan Koperasi Tani dan Nelayan.
Setelah berjalan selama satu bulan keluar Penpres No.17 tahun 1965 tentang
pembentukan Bank Tunggal dengan nama Bank Negara Indonesia. Dalam ketentuan
baru itu, Bank Indonesia Urusan Koperasi Tani Nelayan (BKTN) diintegrasikan
dengan nama Bank Negara Indonesia unit II bidang Rural, sedangkan NHM menjadi
Bank Negara Indonesia unit II bidang Expor Impor (Exim).
Berdasarkan Undang-Undang No 14 tahun 1967 tentang Undang-undang
Pokok Perbankan dan Undang-undang No 13 tahun 1968 tentang Undang-undang
Bank Sentral, yang intinya mengembalikan fungsi Bank Indonesia sebagai Bank
Sentral dan Bank Negara Indonesia Unit II Bidang Rural dan Expor Impor dipisahkan
masing-masing menjadi dua yaitu Bank Rakyat Indonesia dan Bank Expor Impor
Indonesia. Selanjutnya berdasarkan Undang-undang No.21 tahun 1968 menetapkan
kembali tugas-tugas pokok BRI sebagai Bank Umum.
Sejak 1 Agustus 1992 berdasarkan Undang-undang Perbankan No.7 tahun
1992 dan Peraturan Pemerintah RI No.21 tahun 1992 status BRI berubah menjadi PT
Bank Rakyat Indonesia (Persero) yang kepemilikannya masih 100%
ditangan
Pemerintah.
PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) yang didirikan sejak tahun 1895
didasarkan pelayanan pada masyarakat kecil sampai sekarang masih konsisten, yaitu
dengan fokus pemberian fasilitas kredit kepada golongan pengusaha kecil. Hal ini
antara lain tercermin pada perkembangan penyaluran KUK pada tahun 1994 sebesar
6.419,8 milyar yang meningkat menjadi Rp.8.231,1 milyar pada tahun 1995 dan pada
tahun 1999 sampai dengan bulan September sebesar Rp. 20.466 milyar.
Seiring dengan perkembangan dunia perbankan yang semakin pesat maka
sampai saat ini Bank Rakyat Indonesia mempunyai Unit Kerja yang berjumlah 4.645
buah, yang terdiri dari 1 Kantor Pusat BRI, 12 Kantor Wilayah, 12 Kantor
Inspeksi/SPI, 170 Kantor Cabang (Dalam Negeri), 145 Kantor Cabang Pembantu, 1
Kantor Cabang Khusus, 1 New York Agency, 1 Caymand Island Agency, 1 Kantor
Perwakilan Hongkong, 40 Kantor Kas Bayar, 6 Kantor Mobil Bank, 193 P.Point,
3.705 BRI Unit dan 357 Pos Pelayanan Desa.
Pada tanggal 10 November 2003, BRI go publick dan pemerintah melepas
30% kepemilikan sahamnya kepada publik. Harga saham BRI sejak tercatat di pasar
modal Indonesia sampat dengan tahun 2007 selalu menunjukkan peningkatan dan
termasuk dalam kemlompok sahan Blue Chips yang tergabung dalam LQ45. Dengan
komposisi saham publik yang mencapai 43%, saham BRI aktif diperdagangkan di
pasar modal. Kini, BRI semakin kokoh berdiri di tengah-tengah perekonomian
Indonesia dari desa sampai ke kota.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
Visi BRI adalah Menjadi bank komersial terkemuka yang selalu
mengutamakan kepuasan nasabah.
Misi BRI adalah Melakukan kegiatan perbankan yang terbaik dengan
mengutamakan pelayanan kepada usaha mikro, kecil dan menengah untuk menunjang
peningkatan ekonomi masyarakat; Memberikan pelayanan prima kepada nasabah
melalui jaringan kerja yang tersebar luas dan didukung oleh sumber daya manusia
yang profesional dengan melaksanakan praktek good corporate governance;
Memberikan keuntungan dan manfaat yang optimal kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
4.1.1.2. Perkembangan dan Strategi Bisnis PT. BRI, (Tbk)
BRI menerapkan nilai-nilai perusahaan (corporate value) yang menjadikan
landasan berpikir, bertindak, serta berprilaku setiap insan BRI sehingga menjadi
budaya kerja perusahaan yang solid dan berkarakter. Nilai-nilai tersebut dalah
Integrasi, Profesionalisme, Kepuasan Nasabah, Keteladanan, dan Penghargaan
kepada SDM.
BRI sebagai perusahaan terbuka berkomitmen mematuhi seluruh ketentuan
perundang-undangan yang berlaku dalam kegiatan operasional bank maupun pasar
modal. Hal tersebut telah mondorong BRI untuk selalu mengutamakan prudential
banking dan kepentingan stakeholders.
Komitmen ini juga diwujudkan dalam bentuk tata kelolah perusahaan sebagai
berikut:
•
Mengintensifkan program budaya sadar resiko dan kepatuhan kepada setiap
pekerja di seluruh unit kerja.
•
Mengintensifkan peningkatan kualitas pelayanan di seluruh unit kerja.
•
Menjabarkan dan memonitor setiap kemajuan yang dicapai perusahaan ke dalam
rencana tindakan yang terukur (RKA) dan dapat dipertanggungjawabkan oleh
setiap unit kerja.
BRI terus menyusun Rencana Bisnis Bank (RBB) periode 2008 – 2100
sebagai bagian cara rencana pengembangan bisnisnya. Strategi bisnis BRI dalam
jangka pendek serta menengah adalah sebagai berikut:
•
Ekspansi pinjaman dengan fokus pada pembiayaan UMKM dengan perbikan
features produk dan kemudian akses layanan kredit.
•
Ekspansi kredit usaha skala besar diutamakan untuk BUMN dan sektor swasta
dibidang agribisnis, infrastruktur serta sektor usaha lain yang produktif.
•
Peningkatan kualitas layanan didukung oleh Sumber Daya Manusia
yang
profesional, teknologi informasi yang handal dan jaringan kerja yang luas.
•
Pengembangan fitur-fitur baru di bisnis mikro, ritel, consumer banking, treasury,
dan internasioan untuk memenuhi kebutuhan para nasabahnya antara lain meliput
penambahan fitur ATM, kartu kredit, trade finance serta cash management.
•
Pengembangan bisnis consumer banking yang difokuskan pada 10 kota besar
serta mengembangkan layanan prioritas.
•
Perluasan jangkauan dan jaringan kerja berupa Kantor Cabang, Kantor Cabang
Pembantu, Kantor Kas, dan electronic channel seperti ATM dan POS.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
•
Pengembangan produk dan aktifitas baru guna menunjang pertumbuhan bisnis
antara lain berupa bancassurance, private banking dan unit link.
•
Peningkatan kegiatan komunikasi pemasaran untuk meningkatkan product
awarness dan membentuk Corporate Image di mata masyarakat.
Sumber: Company Report 2008 dan website resmi PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk)
www.bri.co.id
4.1.2. Perkembangan Inflasi
Data inflasi selama periode Januari 2004 sampai Desember 2007 bentuknya
sangat fluktuatif. Tingkat inflasi yang paling tinggi terjadi sejak Oktober 2005
hinggan September 2006. Kondisi perkembangan inflasi pada periode ini dan pada
periode-periode lainnya dijelaskan secara ringkas sebagai berikut (Dikutip dari
Laporan Perekonomian Indonesia – Bank Indonesia, tahun 2004 s.d 2007):
4.1.2.1. Perkembangan Inflasi 2004
Secara umum perkembangan inflasi pada 2004 pada triwulan kedua
mengalami tekanan yang cukup besar. Tekanan inflasi tersebut terutama berkaitan
dengan depresiasi nilai tukar rupiah yang dipicu oleh perkembangan di sektor
eksternal.
Dari sisi faktor fundamental, tekanan inflasi dapat berasal dari faktor
eksternal, faktor interaksi antara sisi permintaan dan penawaran agregat, serta faktor
ekspektasi inflasi masyarakat. Tekanan inflasi dari faktor nonfundamental berasal
dari volatile food maupun kebijakan Pemerintah di bidang harga (administered
prices) akibat adanya beberapa kebijakan administered di luar BBM, seperti kenaikan
tarif telepon dan gas elpiji. Sementara itu, perkembangan faktor lainnya seperti
meningkatnya tekanan inflasi global ternyata berdampak pada inflasi domestik.
Tabel 4.1: Data Inflasi Indonesia
Tahun 2004 s.d 2007
Bulan
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Tingkat Inflasi
Tahun 2004
4.82 %
4.60 %
5.11 %
5.92 %
6.47 %
6.83 %
7.20 %
6.67 %
6.27 %
6.22 %
6.18 %
6.40 %
Tingkat Inflasi
Tahun 2005
7.32 %
7.15 %
8.81 %
8.12 %
7.40 %
7.42 %
7.84 %
8.33 %
9.06 %
17.89 %
18.38 %
17.11 %
Tingkat Inflasi
Tahun 2006
17.03 %
17.92 %
15.74 %
15.40 %
15.60 %
15.53 %
15.15 %
14.90 %
14.55 %
6.29 %
5.27 %
6.60 %
Tingkat Inflasi
Tahun 2007
6.26 %
6.30 %
6.52 %
6.29 %
6.01 %
5.77 %
6.06 %
6.51 %
6.95 %
6.88 %
6.71 %
6.59 %
Sumber: SKEI - Bank Indonesia (www.bi.go.id), bentuk tabel telah diperbaharui oleh peneliti.
4.1.2.2. Perkembangan Inflasi 2005
Kuatnya tekanan eksternal terutama akibat melambungnya harga minyak
dunia dan berlanjutnya kondisi moneter ketat global telah mempengaruhi
perkembangan inflasi di dalam negeri. Selain dampak tekanan eksternal tersebut,
gangguan pasokan dan distribusi, tingginya ekspektasi inflasi, dan depresiasi nilai
tukar rupiah turut memberikan tekanan harga yang semakin meningkat.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
Berbagai perkembangan ekonomi baik eksternal maupun internal antara lain
harga minyak dunia, kenaikan harga BBM, serta gangguan pasokan dan distribusi
barang volatile food meningkat tinggi. Sementara itu, perkembangan lain yang juga
menimbulkan tekanan inflasi lebih besar antara lain depresiasi nilai tukar rupiah,
meningkatnya ekspektasi inflasi, serta pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Sumber: Pengolahan Tabel 4.1. Kedalam Bentuk Grafik dengan Bantuan Ms. Office Excel 2007.
Gambar 4.1: Grafik Pergerakan Inflasi Indonesia
Tahun 2004 s.d 2007
4.1.2.3. Perkembangan Inflasi 2006
Kebijakan moneter yang secara konsisten diarahkan untuk mencapai sasaran
inflasi, kebijakan fiskal yang dijalankan secara hati-hati, serta dukungan langkahlangkah untuk meredam dampak lanjutan kenaikan harga BBM bulan Oktober 2005,
berperan penting dalam menurunkan inflasi secara signifikan selama tahun 2006.
Menurunnya tekanan inflasi juga didukung nilai tukar rupiah yang terjaga stabil
sepanjang tahun 2006. Selain itu, kebijakan administered prices yang minimal dan
daya beli masyarakat yang melemah juga mempengaruhi penurunan tekanan inflasi.
Penundaan kenaikan TDL dengan mempertimbangkan kondisi daya beli masyarakat
yang lemah, memberikan dampak menurunnya tekanan inflasi sekitar 0,9%.
Realisasi laju inflasi inti (core inflation inflation) yang lebih rendah
disebabkan apresiasi nilai tukar pada 2006 sehingga memberikan sumbangan
penurunan inflasi 1,5%. Dalam realisasinya nilai tukar menguat hingga rata-rata
selama 2006 mencapai Rp9.166 per dolar.
Sementara itu, harga beberapa komoditas bahan makanan (volatile foods
foods) meningkat. Tingginya inflasi volatile foods terutama didorong oleh kenaikan
harga beras. Dalam perkembangannya terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
kenaikan harga beras secara berlebiha, terutama musim kemarau berkepanjangan.
4.1.2.4. Perkembangan Inflasi 2007
Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) tahun 2007 tercatat sebesar 6,59%,
atau berada dalam kisaran sasaran inflasi IHK tahun 2007 yang ditetapkan
Pemerintah, yaitu sebesar 6,0%±1,0%. Tingkat inflasi IHK yang relatif stabil tidak
terlepas dari perkembangan nilai tukar yang terjaga stabil, ketersediaan pasokan
bahan makanan yang cukup, serta kenaikan harga-harga barang yang dikendalikan
Pemerintah (administered price) yang minimal.
Dalam realisasinya, faktor-faktor yang memengaruhi inflasi, baik fundamental
maupun nonfundamental, ternyata relatif sama dengan prakiraan semula, sehingga
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
inflasi IHK tahun 2007 berada pada kisaran sasaran yang ditetapkan pemerintah.
Realisasi inflasi inti –yang menggambarkan perkembangan faktor fundamental–
tercatat sebesar 6,29%. Hal tersebut disebabkan oleh masih memadainya respon sisi
penawaran agregat terhadap peningkatan permintaan agregat serta ekspektasi inflasi
yang relatif stabil. Pada faktor eksternal, realisasi harga minyak dunia meningkat
tajam menjadi $72,3 per barel, sehingga memberi tekanan pada imported inflation.
Meskipun demikian, realisasi nilai tukar rupiah yang relatif stabil membantu
mengurangi tekanan imported inflation terhadap inflasi domestik.
4.1.3. Perkembangan Kurs
Data nilai kurs yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai kurs tengah
mata uang rupiah terhadap US dollar yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia pada
masing-masing periode. Nilai kurs rupiah terhadap US dollar yang paling rendah
selama periode penelitian adalah Rp10.310, terjadi pada bulan September 2005.
Sedangkan nilai kurs rupiah terhadap US dollar yang paling tinggi selama periode
penelitian adalah Rp8.441 yaitu pada awal tahun 2004. Kondisi perkembangan kurs
pada periode penelitian dijelaskan secara ringkas sebagai berikut (Dikutip dari
Laporan Perekonomian Indonesia – Bank Indonesia, tahun 2004 s.d 2007):
4.1.3.1. Perkembangan Kurs 2004
Memasuki 2004, nilai tukar rupiah bergerak relatif stabil dengan
kecenderungan
menguat.
Sejalan
dengan
meningkatnya
kegiatan
ekonomi,
permintaan valuta asing menunjukkan peningkatan terutama terkait dengan
kebutuhan untuk impor dan pembayaran utang luar negeri swasta. Sementara itu,
sebagai akibat berlanjutnya tekanan depresiasi terhadap dolar secara global (push
factor), modal asing khususnya berjangka pendek turut menambah pasokan valuta
asing di dalam negeri. Meningkatnya aliran masuk modal asing juga dipengaruhi oleh
faktor domestik (pull factor), terutama imbal hasil yang ditawarkan instrumen rupiah,
yang dalam skala regional sangat kompetitif.
Tabel 4.2: Data Nilai Kurs Tengah Rupiah Terhadap US Dolalar
Tahun 2004 s.d 2007
Bulan
Nilai Kurs
Tahun 2004
Nilai Kurs
Tahun 2005
Nilai Kurs
Tahun 2006
Nilai Kurs
Tahun 2007
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
7894.95
7925.17
8068.82
8108.25
8465.32
8882.38
8536.86
8735.43
8682.60
8596.24
8531.47
8723.09
8744.90
8744.94
8870.52
9039.35
8979.80
9116.45
9299.29
9486.18
9732.57
9593.38
9540.71
9357.32
8972.38
8753.15
8671.57
8436.94
8484.86
8862.73
8625.48
8594.25
8643.33
8687.18
8634.59
8586.80
8567.96
8567.80
8663.95
8597.55
8344.33
8483.65
8567.14
8866.68
8809.90
8607.06
8764.27
8833.60
Sumber: SKEI - Bank Indonesia (www.bi.go.id), bentuk tabel telah diperbaharui oleh peneliti.
Tekanan depresiasi terhadap rupiah mulai menguat sejak akhir triwulan I
2004, sebagai akibat berbaliknya kembali aliran modal asing jangka pendek (capital
outflows). Di lain pihak, permintaan valuta asing terus menunjukkan peningkatan
terutama untuk memenuhi kebutuhan impor di sektor migas dan otomotif. Tekanan
depresiasi terhadap rupiah mengalami puncaknya pada awal Mei 2004 akibat
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
berlanjutnya pembalikan aliran modal asing jangka pendek bahkan dalam jumlah
besar. Besarnya tekanan depresiasi tersebut pada gilirannya menimbulkan ekspektasi
pelemahan rupiah lebih lanjut, sehingga mendorong pembelian valuta asing oleh
pelaku domestik (bandwagon effect).
Sumber: Pengolahan Tabel 4.2. Kedalam Bentuk Grafik dengan Bantuan Ms. Office Excel 2007.
Gambar 4.2: Grafik Pergerakan Kurs Rupiah Terhadap US Dollar
Tahun 2004 s.d 2007
Pada Agustus dan September 2004 rupiah kembali sedikit terdepresiasi akibat
menguatnya
ekspektasi terhadap
ketidakapastian kondisi
politik
menjelang
pelaksanaan pemilu eksekutif dan aksi pemboman di depan kedutaan besar Australia
pada 9 September 2004.
Dengan berakhirnya ketidakpastian politik pasca terbentuknya pemerintahan
baru, optimisme terhadap prospek ekonomi Indonesia mulai merebak. Membaiknya
optimisme tersebut pada gilirannya memicu masuknya kembali aliran modal asing
jangka pendek dan turut mendorong apresiasi rupiah hingga mencapai Rp8.965 per
dolar. Selanjutnya, selama Oktober sampai dengan Desember 2004 nilai tukar rupiah
bergerak stabil dalam kisaran yang sempit.
4.1.3.2. Perkembangan Kurs 2005
Nilai tukar rupiah pada 2005 secara umum terdepresiasi. Kondisi ini terutama
terkait dengan melemahnya kinerja neraca pembayaran akibat pengaruh kondisi
sektor eksternal dan internal yang kurang menguntungkan. Di sisi eksternal,
melambungnya harga minyak dunia dan masih berlanjutnya kebijakan moneter ketat
di AS telah memberikan tekanan depresiasi terhadap rupiah. Dari sisi internal,
meningkatnya permintaan valas terutama untuk memenuhi kebutuhan impor dan
pembayaran utang luar negeri merupakan faktor utama pemicu tekanan terhadap
rupiah. Di tengah kondisi pasar keuangan domestik yang masih mengalami kelebihan
likuiditas rupiah, permintaan valas semakin terakselerasi sejalan dengan peningkatan
ekspektasi depresiasi akibat melonjaknya laju inflasi.
Pelemahan rupiah mulai terkendali menyusul implementasi kebijakan
stabilisasi makro ekonomi di sisi moneter dan fiskal, kebijakan moneter dilengkapi
dengan berbagai langkah yang mencakup pengelolaan permintaan valas khususnya
permintaan valas BUMN, pelarangan margin trading rupiah terhadap valas, dan
penyempurnaan ketantuan Posisi Devisa Neto (PDN). Dari sisi fiskal, kebijakan
pengurangan subsidi BBM dalam upaya menjaga kesinambungan fiskal juga
memberikan imbas positif bagi rupiah. Berbagai langkah tersebut telah mampu
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
menstabilkan dan memperkuat kembali nilai tukar rupiah, dimana pada akhir 2005
ditutup pada level Rp9.831 per dolar.
4.1.3.3. Perkembangan Kurs 2006
Sepanjang 2006 nilai tukar rupiah secara umum mengalami penguatan
terhadap dolar disertai pergerakan yang lebih stabil dibandingkan tahun sebelumnya.
Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh kondisi fundamental makroekonomi yang
membaik, daya tarik investasi keuangan di dalam negeri yang terjaga, serta
perkembangan ekonomi global yang relatif lebih kondusif.
Sejak Januari hingga awal Mei 2006, nilai tukar rupiah menguat terhadap
dolar hingga mencapai level Rp8.722 per dolar, atau menguat 11,3% dibanding akhir
2005. Penguatan rupiah dalam periode tersebut disebabkan meningkatnya pasokan di
pasar valuta asing dibanding permintaannya (excess supply). Pasokan valuta asing
meningkat signifikan terutama bersumber dari aliran masuk modal portofolio asing ke
pasar keuangan di dalam negeri.
Dalam kurun waktu yang sama, permintaan valuta asing cenderung merosot
akibat melemahnya kegiatan impor seiring dengan menurunnya kegiatan ekonomi.
Namun, rupiah sempat melemah pada pertengahan Mei 2006 hingga mencapai
Rp9.288 per dolar, dipicu oleh perubahan ekspektasi kenaikan suku bunga Federal
Reserve yang lebih besar. Hal ini mendorong investor asing menarik investasi
portofolionya dari Indonesia. Meskipun demikian, tekanan pelemahan terhadap
rupiah dalam waktu singkat mereda, didukung keyakinan pasar terhadap pengelolaan
kebijakan makroekonomi Indonesia yang cukup berhati-hati serta melemahnya
ekspektasi keyakinan pelaku pasar terhadap kenaikan suku bunga Federal Reserve
(Fedres).
4.1.3.4. Perkembangan Kurs 2007
Sepanjang tahun 2007 nilai tukar rupiah bergerak stabil dan secara rata-rata
menguat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kestabilan nilai tukar rupiah
tersebut didukung oleh kondisi fundamental makroekonomi domestik yang semakin
membaik di tengah perkembangan ekonomi dan pasar keuangan global yang
bergejolak. Krisis sektor perumahan di Amerika Serikat (subprime mortgage) yang
meluas dalam skala global disertai kenaikan harga minyak selama paruh kedua tahun
2007 sempat menimbulkan tekanan depresiasi terhadap nilai tukar rupiah. Namun,
dengan kebijakan moneter dan fiskal yang ditempuh secara hati-hati dan konsisten
disertai langkah kebijakan stabilisasi nilai tukar yang berhati-hati, tekanan tersebut
dapat diminimalkan sehingga secara keseluruhan tahun kestabilan nilai tukar rupiah
tetap terjaga.
4.1.4. Perkembangan Investasi
Data investasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah jumlah investasi
Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA)
yang disetujuai pemerintah. Dalam pencatatannya data tersebut dilakukan dengan
konversi dan penjumlahan seperti teknik yang telah disampaikan pada bagian Metode
Penelitian (Bab 3). Kondisi perkembangan investasi yang disampaikan dalam
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
penelitian dijelaskan secara ringkas berikut ini (Dikutip dari Laporan Perekonomian
Indonesia – Bank Indonesia, tahun 2004 s.d 2007):
4.1.4.1. Perkembangan Investasi dan Pasar Modal 2004
Kegiatan pembiayaan melalui pasar modal pada periode laporan masih aktif
dilakukan. Hal ini tercermin dari masih tingginya jumlah emiten yang melakukan
pencarian dana melalui pasar saham serta pasar obligasi. Meskipun nilai emisi yang
diterbitkan tidak sebesar pada 2003, jumlah emiten mengalami peningkatan.
Perkembangan positif lainnya adalah tujuan emisi yang lebih ditujukan untuk
pengembangan usaha emiten dan tidak hanya untuk restrukturisasi hutang.
Tabel 4.3 Penanaman Modal Dalam Negeri
yang Disetujui Pemerintah (Miliar Rp) Periode Tahun 2004 s.d 2007
Bulan
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
PMDN
2004
1,637.2
1,526.1
2,843.4
8,171.5
981.4
2,081.7
5,141.0
2,921.4
2,603.3
998.3
4,464.3
3,378.0
PMDN
2005
1,887.6
4,828.5
2,367.8
4,511.8
7,300.7
3,639.7
7,003.8
1,771.5
4,949.2
6,338.0
1,133.2
4,845.6
PMDN
2006
359.8
7,808.8
7,919.3
17,413.9
23,318.4
10,168.6
19,924.3
9,814.6
11,201.1
35,743.8
13,855.7
5,218.4
PMDN
2007
61,556.6
6,514.5
9,080.4
25,792.7
7,882.8
4,536.8
15,142.6
15,538.1
25,415.6
4,100.4
7,000.9
6,314.9
Sumber: SKEI - Bank Indonesia (www.bi.go.id), bentuk tabel telah diperbaharui oleh peneliti.
Tabel 4.4: Penanaman Modal Asing yang Disetujui Pemerintah
(Juta USD) Periode Tahun 2004 s.d 2007
Bulan
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
PMA
2004
259.8
566.2
737.0
1,007.3
208.6
630.2
250.1
433.4
4,131.2
854.7
504.3
694.5
PMA
2005
872.1
2,375.7
1,034.5
654.2
536.3
454.7
708.7
645.3
3,381.2
533.2
496.7
1,886.7
PMA
2006
463.2
808.8
1,097.9
774.6
515.1
2,318.5
1,516.9
1,198.0
1,871.2
2,702.2
622.9
1,734.6
PMA
2007
1,170.1
3,042.1
9,922.7
7,029.1
832.1
1,997.6
6,030.9
1,315.4
1,699.7
3,711.3
843.6
2,550.6
Sumber: SKEI - Bank Indonesia (www.bi.go.id), bentuk tabel telah diperbaharui oleh peneliti.
Melanjutkan perkembangan tahun sebelumnya, pasar saham pada 2004 masih
dalam kecenderungan bullish sehingga pada akhir periode laporan indeks menembus
level 1000. Pertumbuhan tersebut dapat dicapai meskipun pada paruh pertama 2004
indeks sempat tertekan akibat sentimen negatif dari penurunan indeks di beberapa
bursa internasional dan regional sebagai reaksi dari mulai naiknya suku bunga Fed
Fund. Perkembangan pasar saham domestik tidak terlepas dari terus membaiknya
faktor fundamental, baik dalam konteks makro maupun mikro, serta berlanjutnya
optimisme pasar akan kinerja pemerintahan baru.
Perbaikan fundamental mikro dalam hal ini adalah kinerja emiten yang
menunjukkan peningkatan laba. Selain itu, bertambahnya minat beli investor asing
sebagai penggerak investor domestik juga turut berpengaruh positif terhadap indeks.
Dari sisi eksternal, kecenderungan melemahnya dolar secara global yang dipicu oleh
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
isu berlanjutnya defisit ganda di AS telah mendorong aliran modal internasional
memasuki aset finansial nondolar termasuk rupiah. Dari sisi internal, persepsi situasi
sosial politik pasca pemilu yang semakin membaik dan tingginya imbal hasil aset
finansial rupiah telah menjadi daya tarik bagi investor internasional.
Maraknya pasar sekunder saham menjadi salah satu faktor pendorong masih
tingginya upaya penggalangan dana di pasar saham. Meskipun dari sisi nilai initial
public offering (IPO) dan right issue saham selama 2004 lebih kecil dibandingkan
tahun sebelumnya, yaitu Rp6,3 triliun dibanding Rp9,9 triliun, jumlah emiten
bertambah dari dari 21 menjadi 26 emiten. Perkembangan tersebut menjadi indikasi
positif peningkatan akses pelaku usaha pada pembiayaan melalui pasar modal.
Pada pasar SUN, pada 2004 telah dilakukan 8 kali lelang yang meraup nilai
sebesar Rp32,3 triliun di pasar domestik dan $1 miliar dari obligasi internasional.
Lelang yang terakhir dilakukan adalah reopening FR0025 yang meraup dana senilai
Rp1,8 triliun. Lelang tersebut dilakukan seiring dengan penerbitan dua seri baru
(FR0025 dan FR0026) serta reopening FR0023. Dalam perkembangan lelang,
terdapat satu kali lelang yang dinyatakan tanpa pemenang dan sekali dilakukan
penundaan. Hal ini terutama bersumber dari tingginya yield yang diminta peserta
lelang seiring memburuknya kondisi eksternal pada waktu itu. Perkembangan positif
juga terjadi di pasar sekunder SUN yang antara lain ditandai dengan meningkatnya
minat investor asing, seperti tercermin dari relatif tingginya net beli asing, serta
bertambahnya portofolio SUN yang diperdagangkan oleh perbankan.
IPO obligasi mencapai Rp17,4 triliun dari 32 perusahaan. Sementara di pasar
obligasi korporasi korporasi, frekuensi perdagangan meningkat sekitar 50% menjadi
4.149 transaksi dengan volume perdagangan senilai Rp14,2 triliun. Maraknya
perdagangan obligasi swasta diindikasikan sebagai dampak rendahnya suku bunga
simpanan. Selain itu, bertambahnya pasokan obligasi baru juga memberikan insentif
bagi investor dalam pilihan portofolionya.
Tabel 4.5 Total Investasi PMDN + PMA yang Disetujui
Pemerintah (Miliar Rp) Periode Tahun 2004 s.d 2007
Bulan
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
Investasi
Total 2004
3,830.2
6,308.8
9,172.0
16,895.7
2,902.6
8,015.0
7,433.9
6,964.2
40,486.4
8,767.5
9,012.1
9,829.9
Investasi
Total 2005
9,880.4
26,827.5
12,174.9
10,772.5
12,392.9
8,056.2
13,962.5
8,379.4
39,809.4
11,718.0
6,117.6
23,391.9
Investasi
Total 2006
4,711.6
15,274.0
17,882.7
24,211.0
28,067.6
31,730.7
33,682.6
20,716.4
28,481.6
60,360.8
19,564.6
20,864.5
Investasi
Total 2007
72,192.8
34,380.1
99,555.6
89,638.0
15,228.6
22,623.1
70,542.4
27,916.0
40,945.8
37,884.4
14,910.5
30,339.0
Sumber: SKEI - Bank Indonesia (www.bi.go.id), bentuk tabel telah diperbaharui oleh peneliti.
4.1.4.2. Perkembangan Investasi dan Pasar Modal 2005
Aktivitas pasar modal sepanjang 2005 masih tetap aktif dilakukan. Hal ini
tercermin dari masih adanya perusahaan yang melakukan pencarian dana melalui
initial public offering (IPO) dan right issue di pasar saham dan IPO di pasar obligasi.
Di pasar saham, indeks bursa pada 2005 menunjukkan kecenderungan penguatan
dengan pergerakan yang berfluktuasi akibat tekanan dari berbagai faktor baik dalam
maupun luar negeri.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
Hingga triwulan I-2005 IHSG masih terus mengalami peningkatan yang
cukup mengesankan. Beberapa faktor yang mendorong perkembangan positif tersebut
antara lain adalah meningkatnya kepercayaan investor akibat dari optimisme
membaiknya kondisi ekonomi makro Indonesia pada 2004. Selain itu, rencana
masuknya beberapa saham unggulan Indonesia ke indeks ASEAN dengan kriteria
memiliki nilai kapitalisasi pasar besar, likuiditas transaksi yang tinggi, dan
kepemilikan saham ke publik yang cukup besar juga memberi sentimen positif bagi
peningkatan kegiatan bursa saham.
Sumber: Pengolahan Tabel 4.3 dan Tabel 4.4. (setelah dikonversi kedalam satuan miliar rupiah) Kedalam
Bentuk Histogram Stacked dengan Bantuan Ms. Office Excel 2007.
Gambar 4.3: Grafik Investasi Total PMA + PMDN yang Disetujui Pemerintah
Tahun 2004 s.d 2007
Dalam perkembangannya, arah pergerakan indeks yang semula meningkat
mengalami tekanan perlambatan dan cenderung berfluktuasi. Beberapa faktor internal
yang ditengarai memberikan sentimen negatif bagi perkembangan bursa saham pada
triwulan berikutnya antara lain adalah kecenderungan kenaikan suku bunga dalam
negeri sebagai konsekuensi dari penerapan kebijakan moneter tight biased terkait
dengan tingginya inflasi dan depresiasi nilai tukar. Selain itu, melambungnya harga
minyak dunia hingga mendekati harga $70/barel dan kecenderungan penurunan
indeks bursa dunia/ regional merupakan faktor eksternal utama yang mendorong
sentimen negatif bagi perkembangan IHSG. Fluktuasi pergerakan indeks dan persepsi
atas perkembangan perekonomian Indonesia setelah dinaikkannya harga BBM,
disinyalir sedikit mempengaruhi perilaku investor asing yang menjadi pemain utama
(market maker) pada perdagangan di bursa saham Indonesia. Namun, masih
kompetitifnya nilai PER13 Indonesia dibandingkan dengan beberapa negara di Asia
(Singapura, Malaysia dan Philipina) tetap menjadi daya tarik bagi investor untuk
melakukan pembelian saham. Hingga akhir 2005, secara point to point indeks
komposit masih menunjukkan perkembangan menggembirakan dengan level 1164,14
meningkat dari posisi 2004 sebesar 1000,23.
Pada pasar obligasi korporasi, kecenderungan naiknya suku bunga yang
menurunkan harga obligasi menyebabkan beberapa perusahaan menunda realisasi
penerbitan obligasinya sambil menunggu waktu yang menguntungkan. Hal ini
mengakibatkan pada 2005, total nilai emisi obligasi korporasi yang diterbitkan dari
19 perusahaan adalah sebesar Rp8,25 triliun menurun dibanding tahun sebelumnya
sebesar Rp19,17 triliun. Dalam periode laporan, frekuensi perdagangan menurun
sebesar 3,77% menjadi 4.799 transaksi dengan volume perdagangan yang meningkat
dari Rp17,35 triliun menjadi Rp23,27 triliun.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
4.1.4.3. Perkembangan Investasi dan Pasar Modal 2006
Kinerja pasar modal meningkat secara signifikan selama 2006. Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) pada akhir 2006 mencapai 1.805,5 poin atau menguat
632,9 poin (55,3%) dibanding tahun sebelumnya. Perkembangan indeks yang
membaik didukung oleh faktor domestik dan faktor eksternal yang kondusif. Faktor
domestik yang menopang kinerja BEJ adalah penurunan BI Rate sejak Mei 2006 dan
perkembangan berbagai indikator makroekonomi yang semakin membaik, seperti
inflasi yang terkendali, cadangan devisa yang meningkat, nilai tukar rupiah yang
stabil, dan kinerja ekonomi yang menguat. Perbaikan ekonomi dan terjaganya
stabilitas makroekonomi tersebut mendorong menguatnya keyakinan investor asing
terhadap kondisi perekonomian. Keyakinan ini diperkuat lagi dengan prospek
perekonomian 2007 yang semakin membaik sehingga memberikan angin segar bagi
perkembangan kinerja emiten sebagaimana ditunjukkan oleh peningkatan keuntungan
yang cukup besar pada triwulan IV-2006. Selanjutnya, perbaikan kinerja emiten
tersebut menimbulkan ekspektasi peningkatan imbal hasil di kalangan investor pasar
saham.
Dari sisi eksternal, membaiknya kinerja pasar modal Indonesia dipengaruhi
oleh pasar saham internasional dan regional yang mengalami peningkatan. Kondisi
pasar saham global tersebut merupakan dampak dari berakhirnya siklus kebijakan
moneter ketat Federal Reserve dan tren turunnya harga minyak dunia, sejalan dengan
menguatnya kembali keyakinan terhadap kestabilan makro, perbaikan indikator
eksternal, dan berlanjutnya penurunan BI Rate, optimisme di kalangan pelaku pasar
saham kembali pulih. Selain itu, penguatan kembali indeks tidak terlepas dari masih
menariknya Price Earning Ratio (PER) Indonesia dibanding negara-negara emerging
market lainnya.
Pada 2006, investor asing memegang peranan penting dalam transaksi di BEJ.
Posisi net beli asing mencapai Rp17,3 triliun dalam perdagangan saham. Ekses
likuiditas global mendorong investor asing untuk mencari outlet penempatan
investasi di negara emerging market. Kecenderungan ini didukung prediksi berbagai
analis pasar bahwa emerging market berpotensi tumbuh lebih tinggi dibandingkan
negara-negara maju. Langkah investor asing ini kemudian diikuti oleh investor
domestik sehingga memicu peningkatan IHSG lebih lanjut.
4.1.4.4. Perkembangan Investasi dan Pasar Modal 2007
Kinerja pasar modal meningkat secara signifikan selama tahun 2007. IHSG
pada akhir tahun 2007 mencapai 2.745,8 poin atau menguat 940,3 poin (52,1%)
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Prestasi itu kembali menempatkan Bursa
Efek Indonesia (BEI - Penggabungan Bursa Efek Jakarta/ BEJ dan Bursa Efek
Surabaya/ BES yang secara resmi beroperasi sejak tanggal 1 November 2007)
Sebagai bursa saham berkinerja terbaik ketiga di kawasan Asia Pasifik setelah bursa
Shenzhen (164%) dan Shanghai (98,4%). Secara sektoral, sumbangan terbesar
peningkatan IHSG tersebut disumbang oleh sektor pertambangan, pertanian, dan
properti. Total nilai transaksi saham juga meningkat signifikan dari Rp445,7 triliun
menjadi Rp1.050,1 triliun (135,6%). Penguatan indeks dan maraknya transaksi
tersebut mendorong peningkatan nilai kapitalisasi pasar sebesar 59,2% menjadi
Rp1.988,3 triliun, sehingga share pasar modal terhadap PDB meningkat dari 37,4%
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
menjadi 57,0% pada akhir tahun 2007. Peningkatan kinerja pasar modal tersebut
didukung oleh faktor domestik dan faktor eksternal yang membaik. Faktor domestik
yang mendorong peningkatan indeks pasar modal adalah penurunan BI Rate sebesar
175 bps sepanjang tahun 2007 dan semakin membaiknya berbagai indikator
makroekonomi, seperti inflasi yang terkendali dan cenderung menurun, cadangan
devisa yang cukup kuat dan pertumbuhan ekonomi yang meningkat. Di sisi mikro,
kinerja emiten juga membaik yang ditunjukkan oleh peningkatan keuntungan yang
cukup besar terutama pada triwulan III–2007. Ekspektasi peningkatan keuntungan
terus berlanjut, khususnya untuk emiten tambang dan pertanian, sehubungan dengan
meningkatnya harga komoditas tersebut di pasar internasional. Membaiknya faktor
makro dan mikro tersebut berhasil meningkatkan optimisme para pelaku pasar
sehingga likuiditas pasar modal meningkat dari Rp1,8 triliun menjadi Rp4,3 triliun
per hari.
Dari sisi eksternal, peningkatan kinerja pasar modal Indonesia dipengaruhi
oleh sentimen positif di bursa saham internasional dan regional yang membaik.
Penguatan indeks di bursa Amerika dan China yang turut mendorong peningkatan
indeks regional seperti Hangseng dan Strait Times mampu memberikan angin segar
kepada para pelaku pasar saham di Bursa Efek Indonesia sehingga IHSG kembali
menguat dan mencapai level tertingginya. Penguatan indeks juga didorong oleh Price
Earning Ratio (PER) Indonesia yang masih menarik dibandingkan dengan beberapa
negara emerging market di Asia.
Selama tahun 2007, transaksi di pasar modal masih diwarnai oleh aksi beli
investor asing. Posisi net beli investor asing di pasar saham mencapai Rp32,6 triliun
atau meningkat 88,8% dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar Rp17,3
triliun. Sementara itu, posisi kepemilikan saham oleh investor asing meningkat dari
Rp522,3 triliun pada akhir tahun 2006 menjadi Rp790,8 triliun pada akhir tahun
2007. Selain didorong oleh membaiknya indikator makroekonomi dan kinerja emiten,
aksi beli investor asing juga didorong oleh ekses likuiditas global yang mencari outlet
penempatan investasi di negara emerging market. Langkah investor asing ini diikuti
oleh investor domestik sehingga mendorong peningkatan IHSG lebih lanjut.
4.1.5. Perkembangan Suku Bunga SBI dan BI Rate
Suku bunga SBI mengacu kepada BI Rate yang telah ditetapkan Bank
Indonesia. Pada tahun 2005, mekanisme penjulan SBI dilakukan secara periodik yaitu
selama 3 bulan, dan pada tahun berikutnya dilakukan penjualan dengan mekanisme
normal. Hal tersebut dilaksanakan oleh Bank Indonesia sebagai upaya mencari teknik
pengendalian moneter yang sesuai untuk menghadapi kondisi inflasi dan investasi
yang terjadi pada masa tersebut. Secara ringkas, perkembangan kondisi suku bungan
SBI disampaiakn sebagai berikut (Dikutip dari Laporan Perekonomian Indonesia –
Bank Indonesia, tahun 2004 s.d 2007):
4.1.5.1. Perkembangan Suku Bunga SBI dan BI Rate 2004
Suku bunga SBI triwulan pertama tahun 2004 mengalami penurunan hal
tersebut
dilakukan
Bank
Indonesia
dengan
mempertimbangkan
prospek
perekonomian 2004 yang kondusif, Bank Indonesia tetap melanjutkan kebijakan
moneter yang longgar ( cautious easing). Suku bunga instrumen moneter1 mengalami
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
penurunan secara bertahap di tengah upaya Bank Indonesia untuk tetap
mengoptimalkan penyerapan ekses likuiditas.
Kebijakan moneter yang akomodatif pada lima bulan pertama 2004 ditandai
dengan kecenderungan penurunan suku bunga instrumen sebagaimana terjadi pada
tahun lalu. Dari 13 kali lelang SBI 1 bulan pada episode tersebut, suku bunga
menurun 99 bps dari posisi akhir 2003 dan sempat mencapai tingkat terendah di
7,32%. Sementara itu, dari lima kali lelang SBI 3 bulan pada periode yang sama, suku
bunga menurun 110 bps dari posisi akhir tahun lalu menjadi 7,24%.
Tabel 4.6 Data Suku Bunga SBI (Persen) Periode Tahun
2004 s.d 2007
Bulan
Jan
Suku Bunga
SBI Tahun
2004
8.05%
Suku Bunga
SBI Tahun
2005
7.42%
Suku Bunga
SBI Tahun
2006
12.75%
Suku Bunga
SBI Tahun
2007
9.55%
Feb
Mar
7.64%
7.42%
7.43%
7.44%
12.74%
12.73%
9.25%
9.00%
Apr
7.34%
7.62%
12.74%
9.00%
Mei
7.32%
7.88%
12.55%
8.80%
Jun
Jul
7.34%
7.37%
8.10%
8.48%
12.50%
12.31%
8.56%
8.31%
Ags
7.37%
8.84%
11.85%
8.25%
Sept
7.39%
10.00%
11.25%
8.25%
Okt
7.41%
11.00%
10.92%
8.25%
Nov
7.42%
12.25%
10.35%
8.25%
Des
7.43%
12.75%
9.88%
Sumber: SKEI - Bank Indonesia (www.bi.go.id), bentuk tabel telah diperbaharui oleh peneliti.
Pada periode akhir tahun 2004, Bank Indonesia mengeluarkan tiga kebijakan
baru yaitu normalisasi ( realignment) suku bunga (Boks: Penyehatan Struktur Suku
Bunga), penjarangan lelang dan pelonggaran ketentuan SBI repo. Kebijakan
normalisasi suku bunga terutama terkait dengan upaya Bank Indonesia dalam
mengelola permintaan agregat. Kebijakan tersebut diharapkan dapat menata kembali
struktur suku bunga ke arah yang lebih sehat. Kebijakan dilakukan dengan mengubah
acuan suku bunga penjaminan simpanan pihak ketiga dari yang semula menggunakan
suku bunga Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR) menjadi suku bunga SBI 3
bulan.
Sumber: Pengolahan Tabel 4.6. Kedalam Bentuk Grafik dengan Bantuan Ms. Office Excel 2007.
Gambar 4.4: Grafik Pergerakan Suku Bunga SBI
Tahun 2004 s.d 2007
Kebijakan Penjarangan Lelang dan Pelonggaran Ketentuan SBI Repo
merupakan bagian dari upaya Bank Indonesia untuk menyempurnakan strategi
operasi pasar terbuka (OPT). Kebijakan penjarangan lelang diarahkan untuk menjaga
agar suku bunga SBI 1 bulan tidak terlalu cepat berubah dan utuk mengembangkan
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
PUAB. Perubahan ini tidak mengejutkan pengelolaan likuiditas perbankan mengingat
pascalibur panjang Lebaran 2003 frekuensi lelang SBI hanya menjadi tiga kali dalam
sebulan. Selanjutnya untuk mendukung kebijakan tersebut, ketentuan SBI repo
dilonggarkan baik dari sisi jumlah maupun suku bunganya. Kebijakan tersebut
diharapkan dapat mengurangi potensi tekanan pada pengelolaan likuiditas perbankan
pascapengurangan frekuensi lelang dan pada gilirannya meminimalkan potensi
ketidakstabilan di PUAB.
Kebijakan moneter yang mengarah ketat ditandai oleh kecenderungan naiknya
suku bunga SBI 1 bulan secara perlahan. Dalam 14 kali lelang SBI 1 bulan pada
episode tersebut, suku bunga meningkat tipis sebesar 11 bps dari posisi akhir Mei
2004, sehingga pada akhir tahun tercatat sebesar 7,43%. Sementara itu, dalam tujuh
kali lelang SBI 3 bulan pada periode yang sama, suku bunga relatif stabil dengan
peningkatan yang sangat minimal (5 bps) dari posisi akhir Mei 2004, sehingga
tercatat sebesar 7,29% pada akhir tahun.
4.1.5.2. Perkembangan Suku Bunga SBI dan BI Rate 2005
Sepanjang tahun 2005, perbaikan kinerja lelang SBI 1 bulan tercermin pada
rata-rata penyerapan likuiditas yang mencapai 93,8% dari likuiditas yang ditawarkan
perbankan, lebih tinggi dari rata-rata yang sama di tahun sebelumnya (90,6%).
Periode Januari-Maret 2005, perekonomian Indonesia diliputi optimisme
pembentukan
pemerintahan
baru
dan
pertumbuhan
ekonomi
yang
cukup
menggembirakan. Dalam realisasinya di periode ini, pergerakan rata-rata tertimbang
(RRT) SBI 1 bulan relatif tidak mengalami perubahan level, hal ini karena masih
cukup tingginya ekses likuiditas perbankan.
Suku bunga SBI 1 bulan pada akhir triwulan II-2005 telah meningkat 82 bps
dari akhir triwulan sebelumnya menjadi 8,25%. Hal ini dilakukan sebagai upaya
menjaga base money agar dapat tumbuh. Peningkatan Suku bunga SBI pada periode
tersebut dikarenakan meningkatnya tekanan eksternal dan ketidakpastian ketersediaan
penempatan likuiditas jangka pendek mempengaruhi tingginya kelebihan simpanan
perbankan di Bank Indonesia di atas ketentuan minimum yang dipersyaratkan. Selain
itu, kebutuhan masyarakat akan uang kartal yang meningkat lebih tinggi dari
perkiraan telah mempengaruhi realisasi base money.
Periode berlanjutnya tekanan stabilitas makroekonomi (Juli-September 2005),
semakin kuatnya tekanan terhadap stabilitas makroekonomi mendorong Bank
Indonesia untuk menerapkan kebijakan moneter cenderung ketat dengan sinyal
kebijakan yang lebih jelas, transparan dan intensitas yang lebih kuat. Bank Indonesia
melakukan upaya penguatan kerangka kerja kebijakan moneter dengan sasaran akhir
kestabilan harga melalui penggunaan suku bunga (BI Rate) sebagai satu-satunya
policy reference rate pada awal Juli 2005. Dengan perubahan tersebut diharapkan
sinyal kebijakan moneter Bank Indonesia untuk merespon kondisi makro ekonomi
dapat lebih mudah dipahami dan digunakan sebagai acuan oleh pelaku pasar dalam
pengambilan keputusan usahanya, sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan
efektivitas dan kredibilitas kebijakan moneter.
Periode September-Desember 2005, Bank Indonesia tetap menerapkan
kebijakan moneter cenderung ketat dengan intensitas yang semakin kuat. Masih
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
cukup tingginya ekspektasi inflasi dan ketidakpastian di tengah berlanjutnya
pemburukan kondisi stabilitas makroekonomi mendorong Bank Indonesia untuk
kembali menaikkan BI Rate. Pada fase ini BI Rate mengalami 3 kali kenaikan dengan
kumulatif 275 bps sehingga pada akhir tahun ditutup sebesar 12,75%. Selain dengan
menaikkan BI Rate, Bank Indonesia juga semakin berkomitmen pada upaya menjaga
level dan stabilitas suku bunga jangka pendek (PUAB O/N) melalui pengoptimalan
pelaksanaan lelang SBI (rata-rata penyerapan likuiditas SBI 1 bulan mencapai 99,0%
dari total likuiditas yang ditawarkan perbankan), menyediakan batas bawah ( floor)
otomatis melalui aktivasi instrumen FASBI O/N dan batas atas ( ceiling) secara
diskresi melalui instrumen fine tune, serta menyempurnakan berbagai instrumen
moneter agar selaras dengan BI Rate.
4.1.5.3. Perkembangan Suku Bunga SBI dan BI Rate 2006
Secara umum tingkat suku bunga SBI tahun 2006 bergerak menurun. Hal ini
disebabkan adanya kebijakan Bank Indonesia dalam melakukan upaya menerapkan
kebijakan penurunan suku bunga secara terukur dan berhati-hati sejak Mei 2006
dengan tujuan mengimbangi laju inflasi yang dipicu karena keniakn harga BBM
terjadi pada akhir tahun 2005. Strategi kebijakan tersebut diterjemahkan dalam
operasional kebijakan moneter melalui kegiatan penyesuaian likuiditas (liquidity
adjustment) dalam bentuk pelaksanaan operasi pasar terbuka (OPT) dan instrumen
pendukung lainnya.
Melemahnya kegiatan ekonomi terutama pada paro pertama 2006 dan belum
membaiknya persepsi terhadap iklim investasi berakibat pada rendahnya daya serap
sektor riil terhadap kredit sehingga ekses likuiditas perbankan terus meningkat. Pada
tahun 2006 Bank Indonesia menempuh kebijakan moneter yang cenderung ketat
(tight biased) dengan mempertahankan BI Rate pada level 12,75% yang selanjutnya
sejak Mei 2006 menurunkannya secara terukur dan hati-hati (cautious easing).
Penurunan BI Rate dapat ditransmisikan secara efektif di pasar finansial dan telah
menumbuhkan optimisme pelaku ekonomi di sektor riil.
Pada bulan Februari 2006, Bank Indonesia melakukan perubahan metode
lelang SBI 1 bulan dari variable-rate tender (VRT) menjadi fixed-rate tender (FRT)
dan penjarangan pelaksanaan lelang SBI 3 bulan dari satu bulan sekali menjadi tiga
bulan sekali. Penjarangan lelang SBI 3 bulan merupakan upaya untuk lebih
menyelaraskan dengan kebutuhan pembayaran kupon Surat Utang Negara (SUN) seri
variabel yang mengacu kepada suku bunga SBI 3 bulan.
Pada Februari 2006, instrumen SBI Repo dibuka kembali setelah sempat
nonaktif selama hampir enam bulan sejak akhir Agustus 2005. Kemudian pada Mei
2006,
Bank
Indonesia
menonaktifkan
penyediaan
FASBI
7
hari
untuk
menyederhanakan pelaksanaan transaksi FASBI.
4.1.5.4. Perkembangan Suku Bunga SBI dan BI Rate 2007
Strategi kebijakan diterjemahkan dalam operasional kebijakan moneter
melalui pengelolaan likuiditas dalam bentuk Operasi Pasar Terbuka (OPT) dan
berbagai instrumen lain. Sejalan dengan perkembangan BI Rate, seluruh instrumen
moneter yang terkait langsung dengan BI Rate otomatis mengalami penurunan
dengan besaran yang sama. Pada akhir tahun 2007, suku bunga Fasilitas Simpanan
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
Bank Indonesia overnight (FASBI O/N) yang selama ini dimanfaatkan sebagai batas
bawah (floor) pergerakan suku bunga Pasar Uang Antar Bank overnight (PUAB O/N)
menjadi sebesar 3% (dari sebesar 4,75% pada akhir tahun 2006). Adapun suku bunga
SBI repo yang dapat menjadi batas atas (ceiling) pergerakan suku bunga PUAB O/N
menjadi sebesar 11% (dari sebesar 12,75% pada akhir tahun 2006). OPT terutama
difungsikan untuk menyerap ekses likuiditas dan menjaga ketersediaan likuiditas di
PUAB. Kegiatan OPT secara berkala terutama bertumpu pada lelang mingguan
instrumen SBI 1 bulan dengan fixed rate tender pada level BI Rate. Adapun kegiatan
OPT nonrutin berupa Fine Tune Operation (FTO) diimplementasikan secara terbatas
dan dengan pricing yang variatif menyesuaikan dengan kondisi pasar uang. Berbagai
instrumen moneter di pasar rupiah itu juga dilengkapi dengan instrumen intervensi
valuta asing guna mengurangi volatilitas nilai tukar yang berlebihan.
Strategi kebijakan moneter melalui penetapan BI Rate diarahkan pada upaya
pencapaian sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Strategi tersebut
ditempuh secara terukur dan hati-hati dengan mempertimbangkan proyeksi inflasi,
dinamika perekonomian terkini, dan stabilitas sistem keuangan. Dalam kondisi itu,
upaya menjaga stabilitas makroekonomi diwarnai dengan penurunan BI Rate pada
periode Januari sampai dengan Juli 2007 dari 9,5% ke 8,25%. Di tengah penurunan
tersebut, pada Maret 2007 permasalahan subprime mortgage mulai mengemuka,
tetapi belum berdampak signifikan pada kestabilan perekonomian. Pada paruh kedua
tahun 2007, permasalahan subprime mortgage semakin menguat dan meluas sehingga
mewarnai perkembangan BI Rate. Sejalan dengan hal tersebut, pada Agustus investor
mulai menghitung kembali risiko investasinya untuk kemudian menyesuaikan
portofolio kepada aset berkualitas tinggi. Kondisi dimaksud pada gilirannya
memengaruhi nilai tukar rupiah dan nilai tukar beberapa negara emerging markets
lainnya. Hal itu diperparah oleh cenderung membubungnya harga minyak dunia
sehingga memberi tekanan tambahan pada nilai tukar dan inflasi ke depan. Menyikapi
hal itu, Bank Indonesia menahan penurunan suku bunga sejak Juli hingga November
2007. BI Rate diputuskan tetap di level 8,25% untuk menahan akselerasi ekspektasi
inflasi dan mengurangi tekanan di pasar keuangan. Pada akhir tahun 2007, setelah
mempertimbangkan ekspektasi inflasi yang diindikasikan terjaga, kapasitas produksi
yang mencukupi, dan pasar keuangan yang telah mencapai keseimbangan baru, BI
Rate diturunkan menjadi 8%.
4.1.6. Perkembangan Harga Saham dan Volume Perdangan Saham BRI
Pergerakan harga saham sejak awal IPO hingga tahun 2007 menunjukkan
peningkatan di setiap periodenya. Pada awal Januari 2004, harga saham BRI sebesar
Rp1.425, sedangkan pada Desember 2007 harga saham tersebut meningkat menjadi
Rp7.400 atau terjadi penginkatan sebesar +/- 520% selama masa empat tahun.
Sedangkan volume perdagangan saham BRI menunjukkan pergerakan yang
sangan fluktuatif pada dua tahun pertama dan menunjukkan pergerakan yang relatif
stabil pada dua tahun kemudian. Hal ini menunjukkan bahwa respon para investor
terhadap saham BRI sangat bergairah dalam melakukan jual beli atas saham tersebut.
Kebijakan yang dilakukan manajemen PT. Bak Rakyat Indonesia, (Tbk)
diperkirakan sangat mempengaruhi kinerja harga saham perusahaan tersebut. Jika
dibandingkan dengan beberapa harga saham blue chips perbankan, dapat dilihat
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
bahwa harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) senantiasa menunjukan
tingkat return yang tinggi. Selama periode tahun 2004 s.d tahun 2007, PT. Bank
Rakyat Indonesia, (Tbk) selalu berupaya mempertahankan komposisi pembagian
keuntungan sebesar 50% antara return dengan devedin yang dibagaikan. Jika dilihat
dari sisi permintaan, kondisi tersebut mungkin salah satu suatu jawaban yang
menyebabkan mengapa selama periode tersebut harga saham PT. Bank Rakyat
Indonesia, (Tbk) terus menerus mengalami kenaikan.
Tabel 4.7. Data Harga Sahma BRI (Rupiah) Periode Tahun
2004 s.d 2007
Bulan
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
Harga Saham
BRI 2004
1,425
1,550
1,525
1,725
1,725
1,675
1,725
1,725
2,050
1,950
2,425
2,875
Harga Saham
BRI 2005
2,750
3,275
2,850
2,675
2,900
2,900
3,200
2,575
2,700
2,450
2,975
3,025
Harga Saham
BRI 2006
3,400
3,250
3,900
4,625
3,950
4,100
4,275
4,350
4,900
4,900
5,350
5,150
Harga Saham
BRI 2007
5,300
4,750
5,050
5,250
6,100
5,750
6,300
6,250
6,600
7,750
7,800
7,400
Sumber: Website penyedia data saham internasional http://finance.yahoo.com, bentuk tabel telah
diperbaharui oleh peneliti.
Adapun berbagai kebijakan dan strategi yang dilakukan selama periode
penlitian (2004 s.d 2007) secara ringkas disampaikan pada bagian berikut ini (Dikutip
dari Laporan Tahunan PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) periode tahun 2004 s.d
tahun 2007):
4.1.6.1 Kinerja Saham BRI 2004
Pergerakan harga saham BRI selama tahun 2004 yang dimulai dari Rp1.275
(2 Januari 2004) terus bergerak atraktif dengan tren meningkat, sehingga pada akhir
penutupan bursa (30 Desember 2004), harga saham BRI berhasil ditutup pada level
Rp2.875. Bahkan dalam pergerakannya, saham BRI pernah mencapai harga tertinggi
Rp.2.900. Berarti, dalam perjalanannya selama tahun 2004 tersebut, saham BRI telah
mengalami apresiasi harga sebesar Rp1.600 atau 125,45%. Apresiasi ini jauh
melamlaui kenaikan IHSG yang hanya sebesar 41,97%.
Sumber: Pengolahan Tabel 4.7. Kedalam Bentuk Grafik dengan Bantuan Ms. Office Excel 2007.
Gambar 4.5: Grafik Pergerakan Harga Saham BRI
Tahun 2004 s.d 2007
Perbaikan kinerja Bursa Efek Jakarta secara umum, telah ikut mendorong
peningkatan harga saham BRI. Pemicu utama kinerja saham BRI itu adalah
pertumbuhan kinerja perseroan BRI secara konsisten dari periode ke periode.
Kepercayaan masyarakat kepada BRI juga terus menguat, karena adanya upaya
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
komunikasi proaktif BRI dengan para investor. BRI secara rutin menyelenggarakan
analyst meeting setiap triwulan untuk memaparkan kinerja keuangan. Disamping itu
BRI juga secara aktif mengikuti investor forum, confrence dan non-deal roadshow
kepada para investor baik di dalam maupun di luar negeri.
4.1.6.1.1. Komposisi Kepemilikan Saham
Dibandingkan akhir tahun 2003, kepemilikan saham pemerintah di BRI
sedikit mengalami penurunan, dari 59,50% di akhir tahun 2003 menjadi 59,07% di
akhir tahun 2004. Penyebab penurunan itu adalah karena adanya tambahan saham
baru yang berasal dari Exercise opsi yang telah dikonversi menjadi saham baru dalam
program opsi Pembelian Saham bagi Manajemen atau Management Stock Option
Program.
4.1.6.1.2. Kebijakan Dividen
Dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan 2004, deviden tunai tahun
buku 2003 ditetapkan sebesar Rp990,47 miliar atau Rp84,19 per saham, 75,01% dari
laba bersih semester II tahun 2003 yang telah dibayarkan kepada pemegang saham
pada tanggal 23 Juli 2003. Secara komposisi, rasio pembayaran deviden (Deviden
Pay Out Ratio) tunai tersebtu adalah 39,59% dari total laba bersih 2003. Rasio
pembayaran deviden tunai tahun 2003 ini lebih kecil dari tahun-tahun sebelumnya,
karena pada tahun 2003 diadakan kuasi reorganisasi di mana laba semester I tahun
tersebut dikapitalisasikan menjadi modal.
BRI merencanakan untuk mempertahankan rasio pembayaran deviden sebesar
kurang lebih 50% dari laba bersih tiap tahunnya, tergantung pada kinerja dan kondisi
keuangan perusahaan, dan sepanjang memperoleh persetujuan dari RUPS.
Manajemen BRI berencana membagi deviden tunai tahun buku 2004 setelah
memperoleh persetujuan RUPS tahun 2004.
Tabel 4.8 Data Volume Perdagangan Saham BRI (lembar) Periode Tahun
2004 s.d 2007
Bulan
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
Okt
Nov
Des
Volume
2004
851,199
515,302
529,604
494,425
654,245
475,820
325,210
255,239
402,142
732,692
808,218
815,783
Volume
2005
449,291
395,033
412,704
390,762
244,928
862,326
432,295
846,700
649,097
265,676
401,586
288,290
Volume
2006
432,447
353,600
587,340
498,179
770,378
581,589
317,263
343,513
393,881
231,734
245,975
358,905
Volume
2007
340,523
403,189
307,542
332,667
357,545
363,843
402,305
431,464
264,142
313,482
424,113
229,484
Sumber: Website penyedia data saham internasional http://finance.yahoo.com, bentuk tabel telah
diperbaharui oleh peneliti.
4.1.6.2. Kinerja Saham BRI Tahun 2005
Pada awal tahun harga saham BRI dibuka pada Rp2.875 dan ditutup menguat
menjadi Rp3.025 pada 20 Desember 2005. Sepanjang tahun harga saham BRI
bergerak cukup fluktuatif, dengan harga tertinggi sebesar Rp3.400, terjadi pada akhir
Februari 2005 dan harga terendah sebesar Rp2.050 pada akhir Agustus 2005.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
Kondisi kinerja ekonomi nasional yang terpuruk pada semester II tahun 2005
turut mempengaruhi perkambangan harga saham BRI. Namun dengan kinerja
perusahaan yang terus tumbuh dan berkembang secara konsisten dari periode ke
periode membuat harga saham BRI kembali mengalami penguatan, apalagi setelah
keluarnya kinerja perseroan triwulan III yang ternyata tidah banyak dipengaruhi oleh
pemburukan kinerja kondisi makro ekonomi pada semester I. Kepercayaan
masyarakat kepada BRI terus menguat, karena manajemen BRI selalu menjaga
komunikasi yang baik dengan para investor. BRI secara rutin menyelenggarakan
analyst meeting setiap triwulan untuk membeberkan kinerja tahunan maupun
triwulanan. Disamping itu BRI juga secara aktif mengikuti investor meeting
confrence dan non-deal roadshow kepada para investor di luar negeri.
4.1.6.2.1. Komposisi Kepemilikan Saham
Dibandingkan akhir tahun 2004, kepemilikan saham Pemerintah RI di BRI
mengalami penurunan (dilusi), dari 59,08% di akhir tahun 2004 menjadi 58,16% di
akhir tahun 2005. Penyebab penurunan ini adalah adanya tambahan saham baru yang
bersal dari konversi saham program Opsi Pembelian Saham bagi Manajemen.
4.1.6.2.2. Management Stock Option Program (MSOP)
Dalam RUPS Luar Biasa tanggal 2 Oktober 2003 diputuskan bahwa
perusahaan akan menyelenggarakan Program Opsi Pembelian Saham bagi
Manajemen atau Management Stock Option Program (MSPO). Dalam MSOP BRI,
jumlah saham yang diterbitkan adalah sebanyak 588.235.250 lembar dengan tahapan
sebagai berikut:
Tabel 4.9 Tahap Pelaksanaan MSOP Saham BRI
Tahap
MSOP
Tahap I
Tahap II
Tahap III
Jumlah
Jumlah
Saham
MSOP
(lembar)
235.294.100
235.294.100
117.647.050
588.235.250
Komposisi
40%
40%
20%
Tanggal
Penerbitan Opsi
Harga
Perlaksanaan
per lembar
saham
10 November 2003
10 November 2004
10 November 2005
Rp962.50
Rp1.750.00
Belum ditentukan
Keputusan
RUPS
yang
mendasari
penerbitan
MSOP
RUPS 2003
RUPS 2004
RUPS 2005
Sumber: Laporan Tahunan PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) Tahun 2004
Total saham MSOP Taham I yang telah di-exercise sampai dengan tanggal 30
Desember 2005 sebanayak 195.412.500 lembar dan MSOP Tahap II sebanyak
75.583.000 lembar. MSOP Tahap III, seperti halnya MSOP Tahap I dan MSOP
Tahap II, memiliki jangka waktu 5 (lima) tahun dengan vesting period selama 1 (satu)
tahun.
4.1.6.2.3. Kebijakan Deviden
Dalam RUPS Tahunan tanggal 17 Mei 2005, deviden tunai atas laba tahun
buku 2004 ditetapkan sebesar Rp1.816,61 miliar atau Rp152,93 per lembar saham
yang telah dibayarkan kepada pemegang saham pada tanggal 5 Juli 2005.
Dibandingkan dengan tahun buku 2003, jumlah deviden tunai yang dibayarkan
tersebut mengalami kenaikan yang sangat signifikan, yaitu sebesar 82% dari deviden
tunai tahun buku 2003 yang sebesar Rp84,19 per lembar saham.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
Rasio pembayaran deviden tunai (deviden pay out ratio) tahun buku 2004
sebesar 50% dari laba bersih. Hal ini sesuai dengan rencana Manajemen BRI yang
akan mempertahankan rasio pembayaran deviden sebesar kurang lebih 50% dari laba
bersih setiap tahunnya, tergantung pada kinerja dan kondisi keuangan perusahaan,
dan sepanjang memperoleh persetujuan dari RUPS. Deviden tunai atas laba tahun
buku 2005 akan dibagikan setelah RUPS Tahunan tahun 2006.
Sumber: Pengolahan Tabel 4.8. Kedalam Bentuk Grafik dengan Bantuan Ms. Office Excel 2007.
Gambar 4.6: Grafik Pergerakan Volume Perdagangan Saham BRI
Tahun 2004 s.d 2007
4.1.6.3. Kinerja Saham BRI Tahun 2006
Pada awal tahun 2006, harga saham BRI dibuka pada Rp3.025,- dan ditutup
menguat menjado Rp5.150,- pada akhir desember 2006. Return yang diberikan saham
BRI secara nominal lebih besar diabandingkan dengan saham blue chips perbankan,
namun dilihat dari prosentasenya masih di bawah saham Bank Mandiri (BMRI).
Kinerja saham blue chips perbankan dapat dilihat pada tabel di bahwa ini:
Tabel 4.10 Harga Saham Blue Chips Perbankan di Indonesia Tahun 2006
Saham
BBRI
BMRI
BBCA
BDMN
Pembukaan
Tertinggi
Terendah
3.025
1.640
3.400
4.750
5.750
2.950
5.550
6.500
3.000
1.500
3.350
3.875
Penutupan
5.150
2.900
5.200
6.750
Return
Rp
2.125
1.260
1.800
2.000
%
70.25%
76.83%
52.94%
42.11%
Sumber: Laporan Tahunan PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) Tahun 2006
Sepanjang tahun 2006 harga saham BRI bergerak cukup fluktuatif, dengan
harga saham tertinggi mencapai Rp5.750 pada 27 November 2006, dan terendah
Rp3.000,- pada 13 Januari 2006. Harga saham BRI pada empat bulan pertama 2006
cenderung mengalami penguatan, yaitu dari Rp3.025 meningkat menjadi Rp5.050
pada 20 April 2006. Harga saham BRI mulai mengalami penurunan akhir April dan
mencapai terendah Rp3.450 pada 8 Juni 2006 dan harga BBRI bergerak pada range
sempit Rp3.600 – Rp4.100 sampai dengan akhir Juli 2006. Seiring dengan
peningkatan indikator makro ekonomi, sejak awal Agustus 2006 saham BRI secara
perlahan mengalami peningkatan dan peningkatan harga saham BRI begitu cepat
terjadi pada bulan November 2006 yang mencapai harga tinggi sebesar Rp5.750,-
4.1.6.3.1. Komposisi Kepemilikan Saham
Dibanding tahun 2005, jumlah saham BRI mengalami peningkatan yaitu dari
12,04 miliar lembar menjadi 12,86 miliar atau meningkat 6,89%. Hal ini terjadi
karena adanya tambahan saham baru yang berasal dari konversi saham program Opsi
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
Pembelian Saham bagi Manajemen atau dikenal dengan Management Stock Option
Program (MSOP). Seiring dengan adanya saham baru, terjadi dilusi terhadap
kepemilikan saham BRI oleh Pemerintah.
Kepemilikikan saham Pemerintah di BRI mengalami penurunan (dilusi), dari
58,16% di akhir tahun 2005 menjadi 56.97% di akhir tahun 2006. Kepemilikan
saham BRI oleh investor domestik mengalami penurunan sebesar 9,14%, yaitu dari
632,44 juta lembar menjadi 579,50 juta lembar. Sebaliknya kepemilikan saham oleh
invesot asing cenderung mengalami peningkatan, yaitu dari 4,40 miliar lembar
menjadi 4,71 miliar lembar atau meningkat 6,90%. Kepemilikan saham BRI oleh
publik didominasi oleh kepemilikan investor institusi dibandingkan investir
perorangan.
4.1.6.3.2. Managemen Stock Option Program (MSOP)
Dalam RUPS Luar Biasa tanggal 3 Oktober 2003 diputuskan bahwa
perusahaan akan menyelenggarakan Program MSOP sebanyak 588.235.250 kembar.
Program MSOP diberikan dalam 3 tahap, yaiut MSOP I, MSOP II, dan MSOP III.
Tata cara pelaksanaan MSOP I dan MSOP II mengacu pada peraturan Bapepam dan
BEJ terdahulu sedangkan MSOP III mengacu pada Peraturan Bapepam No. IX.D.4
dan Peraturan Pencatatan Efek No.1-A Lamp Keputusan Direksi BEJ No. Kep305/BEJ/07-2004. Masing-masing MSOP mempunyai vesting period selama 1 tahun.
Waktu pelaksanaan MSOP I dan II dilaksanakan kapan saha setelah vesting period
berakhir selama MSOP tersebut belum jatuh tempo.
Saham MSOP yang telah di-excercise sampai dengan akhir Desember 2006
adalah sebagai berikut:
•
MSOP I
sebanyak 229,72 juta lembar
•
MSOP II
sebanyak 215,52 juta lembar
•
MSOP III
sebanyak 56,48 juta lembar
4.1.6.3.3. Kebijakan Deviden
Dalam RUPS Tahunan 2006, deviden tunai tahun buku 2006 ditetapkan
sebesar Rp1,90 triliun atau Rp156,18 per saham yang telah dibayarkan kepada
pemegang saham pada tanggal 10 Juli 2006. Dibandingkan dengan tahun buku 2005,
jumlah deviden tunai yang dibayarkan tersebut mengalami kenaikan Rp3,26 atau
2,13% deviden tunai tahun buku 2005 yang sebesar Rp152,93 per lembar.
Rasio pembayaran deviden tunai (deviden pay out ratio) tahun buku 2006
sebesar 50% dari laba bersih. Hal ini sesuai dengan rencana Manajemen BRI yang
akan mempertahankan rasio pembayaran deviden sebesar kurang lebih 50% dari laba
bersih setiap tahunnya, tergantung pada kinerja dan kondisi keuangan perusahaan,
dan sepanjang memperoleh persetujuan dari RUPS. Manaejemen BRI berencana
membagi deviden tunai tahun buku 2006 setelah memperoleh persetujuan RUPS
tahun 2006. Deviden yang telah dibayarkan oleh BRI selama periode 2002 s.d 2005
dapat dilihat dari tabel 4.11.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
Komposisi deviden tunai tahun 2003 lebih kecil dari sebelumnya, karena
diadakan kuasi reorganisasi dimana laba semester I tahun tersebut dikapitalisasi
menjadi modal.
Tabel 4.11 Komposisi Deviden BRI Terhadap Laba Bersi
Periode Tahun 2002 s.d 2005
Tahun
2002
2003
2004
2005
Laba Bersih
(Rp Miliar)
1.525
2.502
3.633
3.808
Dividen
(Rp Miliar)
762,47
990,47
1.816,62
1.904,29
Komposisi
(%)
50,00%
39,59%
50,00%
50,00%
Sumber: Laporan Tahunan PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) Tahun 2006
4.1.6.4 Kinerja Sham BRI 2007
Pada awal tahun 2007, harga saham BRI dibuka pada Rp5.150,- dan ditutup
menguat menjadi Rp7.400,- pada akhir Desember 2007. Return yang diberikan saham
BRI secara nominal lebih besar dibandingkan dengan saham blue chips perbankan.
Kinerja saham blue chips perbankan dapat dilihat pada tabel 4.12: Harga Saham Blue
Chips Perbankan di Indonesia Tahun 2007.
Sepanjang tahun 2007 harga saham BRI bergerak fluktuatif. Kenaikan harga
saham sempat mencapai harga tertinggi Rp8.700 pada perdangangan tanggal 1
November 2007 dan terendah Rp4.400,- pada perdagangan tanggal 28 Februari 2007.
Pada tiap kuartal perdangan saham BRI mengalami peningkatan meskipun pada
pertengan tahun Bursa Saham Indonesia sempat terkoreksi akibat damapak
perekonomian Amerika. Tetapi dengan peningkatan indikator makro ekonomni dan
kuatnya faktor fundamental, saham BRI manguat dan ditutup pada harga Rp7.400
dengan return perdagangan selama setahun sebesar 43,69%.
Tabel 4.12 Harga Saham Blue Chips Perbankan di Indonesia Tahun 2007
Saham
BBRI
BMRI
BBCA
BBNI
BDMN
Pembukaan
Tertinggi
Terendah
Penutupan
5.150
2.900
5.200
1.870
6.750
8.700
4.050
7.600
2.900
9.150
4.400
2.180
4.600
1.640
5.200
7.400
3.500
7.300
1.970
8.000
Return
Rp
2.250
600
2.100
100
1.250
%
43,69%
20,69%
40,38%
5,35%
18,52%
Sumber: Laporan Tahunan PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) Tahun 2007
4.1.6.4.1. Komposisi Kepemilikan Saham
Dibanding tahun 2006, jumlah saham BRI mengalami peningkatan yaitu dari
12,28 miliar lembar menjadi 12,31 miliar lembar atau meningkat sebesar 0,26%. Hal
ini terjadi karena adanya tambahan saham baru yang bersal dari konversi saham
program Opsi Pembelian Saham bagi Manajemen atau dikenal dengan sebutan
Management Stock Option Program (MSOP). Seiring dengan adanya saham baru,
terjadi dilusi kepemilikan saham BRI oleh Pemerintah, dari 56,97% di akhir tahun
2006 menjadi 56,83% di akhir tahun 2007.
Kepemilikan saham BRI oleh investor domestik meningkat sebesar 31,58%,
yaitu dari 579,50 juta lembar menjadi 762,53 juta lembar. Sebaliknya kepemilikan
oleh investor asing cenderung mengalami penurunan, yaitu dari 4,71 miliar lembar
menjado 4.56 miliar lembar atau turn 3,22%.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
4.1.6.4.2. Management Stock Option Program (MSOP)
Dalam RUPS Luar Biasa tanggal 3 Oktober 2003 dipututskan bahwa
perusahaan akan menyelenggarakan Program Opsi Pembelian Saham bagi
Manajemen atau Management Stock Option Program (MSOP). Dalam MSOP,
jumlah saham yang diterbitkan adalah sebanya 588.235.250, dengan tahapan yang
sama dengan tahapan yang dilakukan pada laporan tahunan sebelumnya.
4.1.6.4.3. Kebijakan Deviden
Dalam RUPS Tahunan 2007, jumlah deviden tunai yang dibayarkan untuk
tahun buku 2007 ditetapkan sebesar Rp1.986,26 miliar atau Rp173,04 per lembar
saham dan telah dibayarkan kepada pemegang saham pada tanggal 2 Juli 2007.
Jumlah deviden tunai yang dibayarkan tersebut mengalami kenaikan dari Rp16,86
atau 10,80% dari deviden tunai tahun buku 2005 yang sebesar Rp156,18.
Rasio pembayaran deviden tunai (deviden pay out raio) tahun buku 2006
sebesar 50% dari laba bersih. Hal ini sesuai dengan rencara Manajemen BRI yang
akan mempertahankan rasio pembayaran deviden sebesar kurang lebih 50% dari laba
bersih setiap tahunnya, tergantung pada kinerja dan kondis keuangan perusahaam dan
sepanjang memperoleh persetujuan dari RUPS.
4.2. Pembahasan
Dalam upaya pembuktian hipotesis yang telah dibuat pada sebuah penelitian
maka harus dilakukan analisis terhadap data-data yang telah dikumpulkan. Metode
analisis yang digunakan dalam penelitian juga harus tepat agar diperoleh hasil analisis
yang sesuai dengan tujuan penelitian.
Seperti yang telah disampaikan pada perumusan masalah dalam penelitian ini
bahwa tujuan dilakukan analisis ini untuk mengetahui hubungan antara variabelvariabel bebas yang digunakan (Inflasi, Kurs, Investasi, dan Suku Bunga SBI) dengan
variabel terikatnya (Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham) yang dilengkapi
dengan ukuran nilai pengaruh masing-masing variabel yang diteliti.
Dalam penelitian ini digunakan bantuan software komputer untuk membantu
melakukan penghitunga-penghitungan sesuai dengan teknik ekonometrika yang telah
dipilih. Hal penting yang harus dikuasai dalam pemanfaatan software komputer
dalam analisis data adalah cara yang benar dalam mengoperasikan fungsi-fungisi
yang disediakan software agar dapat menjalankan proses data sesuai dengan tujuan
dan maksud penelitian. Hal penting lainnya adalah pemahaman peneliti atas hasil
pengolahan yang telah dilakukan sehingga peneliti mampu menginterpretasikannya
dengan benar. Adapun langkah pengeerjaan analisis data dimulai dengan proses input
data kemudian menentukan fungsi pengolahan dan menampilkan output hasil
pengolahan.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
4.2.1. Analisis Regresi Linier Berganda untuk Variabel Harga Saham (Y1)
4.2.1.1. Deskriptif Data Penelitian
Deskriptif data penelitian merupakan ukuran-ukuran statistik dari variabel
penelitian yaitu rata-rata (Mean), standar defiasi (Std. Deviation), dan jumlah
observasi (N). Besarnya ukuran statistik untu masing-masing variabel dapat di lihat
pada tabel di bawah ini:
Tabel 4.13 Descriptive Statistics
Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1)
Harga Saham (Y1)
Inflasi (X1)
Kurs (X2)
Investasi (X3)
Suku Bunga SBI (X4)
Mean
3814.58
9.0490
9260.23
24475.1229
9.2654
Std. Deviation
1769.615
4.34436
400.863
21879.35820
1.95747
N
48
48
48
48
48
Sumber: Pengolahan data dengan SPSS 15.0
4.2.1.2. Koefisien Regresi
Berdasarkan tabel Coefficients yang ditampilkan di bawah ini dapat dilihat
bahwa konstanta model persamaan yang dibuat adalah -1767,675 sedangkan koefisen
regresi untuk masing masing variabel bebasnya adalah sebagai berikut:
Inflasi (X1)
= -225,621
Kurs (X2)
= 0,187
Investasi (X3)
= 0,030
Suku Bunga SBI (X4) = 555,341
Tabel 4.14 Coefficientsa
Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1)
Unstandardized
Coefficients
B
Std. Error
-1767.675
5943.492
Inflasi (X1)
-225.621
127.525
Kurs (X2)
.187
Model
1 (Constant)
Investasi
(X3)
Suku Bunga
SBI (X4)
Standardized
Coefficients
t
Sig.
Beta
95% Confidence Interval
for B
Lower
Bound
Upper
Bound
Collinearity
Statistics
Correlations
Zeroorder
Partial
Part
Toleran
ce
VIF
-.297
.768
-13753.869
10218.518
-.554
-1.769
.084
-482.799
31.558
-.054
-.260
-.221
.159
6.292
.604
.042
.310
.758
-1.032
1.406
-.061
.047
.039
.831
1.203
.030
.012
.377
2.632
.012
.007
.054
.514
.373
.329
.760
1.316
555.341
271.467
.614
2.046
.047
7.876
1102.806
.178
.298
.255
.173
5.789
a Dependent Variable: Harga Saham (Y1)
Sumber: Pengolahan data dengan SPSS 15.0
Dari hasil tersebut maka dapat dibuat kedalam persamaan regresi sesuai
dengan model, sebagai berikut:
Y = -1767,675 - 225,621 X1 + 0,187 X2 + 0,030 X3 + 555,341 X4
Berdasarkan persamaan diatas dapat diartikan bahwa apabila inflasi naik
sebesar 1 point akan mengakibatkan penurunan Harga Saham sebesar 225,621
rupiah; apabila terjadi penigkatan nilai kurs sebesar 1 rupiah akan mengakibatkan
kenaikan harga saham sebesar 0,187 rupiah; apabila terjadi penambahan investasi
sebesar 1 miliar rupiah maka akan mengakibatkan kenaikan harga saham sebesar 30
rupiah; dan apabila terjadi kenaikan nilai suku bunga SBI sebesar 1 point maka akan
mengakibatkan kenaikan harga saham sebesar 555,341 rupiah.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
4.2.1.3. Uji Kesesuaian
4.2.1.3.1. Koefisien Determinasi (R2)
Berdasarkan pengolahan data didapat nilai R2 (pada kolom R Square) sebesar
0,330, menunjukkan bahwa variasi antara variabel Harga Saham dengan variasi
variabel bebasnya secara bersaman-sama hanya bisa dijelaskan sebesar 33%.
Sedangkan sisanya (100%-33% = 67%) dijelaskan oleh sebab-sebab atau variabel
yang lain yang tidak dimasukkan dalam persamaan ini.
Tabel 4.15 Model Summaryb
Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1)
Model
R
R Square
1
.575a
.330
Adjusted R
Square
.268
Std. Error of
the Estimate
1514.150
a Predictors: (Constant), Suku Bunga SBI (X4), Investasi (X3), Kurs (X2), Inflasi (X1)
b Dependent Variable: Harga Saham (Y1)
Sumber: Pengolahan data dengan SPSS 15.0
4.2.1.3.2. Uji F
Uji F-statistik ini dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh variabel
bebas secara bersama-sama terhadap variabel terikat. Pengujian ini dilakukan untuk
membandingkan nilai F-statistik dengan nilai F-tabel pada tingkat kepercayaan
tertentu (α) secara bersama-sama mempengaruhi variabel terikat. Nilai F-statistik
penghitungan dengan SPPS ditampilak pada tabel ANOVA adalah sebesar 5,299.
Tabel 4.16 ANOVAb
Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1)
Model
1
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Regression 48598327.002
Residual
98583964.665
Total
147182291.667
4
43
47
12149581.750
2292650.341
5.299
Sig.
a
.001
a Predictors: (Constant), Suku Bunga SBI (X4), Investasi (X3), Kurs (X2), Inflasi (X1)
b Dependent Variable: Harga Saham (Y1)
Sumber: Pengolahan data dengan SPSS 15.0
Untuk F-tabel yang diperoleh adalah sebesar 2,59 pada derajat kebebasan dk =
(4;43), dengan α = 5 %.
N1 = k = 4
N2 = n – k – 1 = 48 – 4 – 1 = 43
Untuk pengujian ini digunakan hipotesis sebagai berikut:
Ho : b1 = b2 = b3 = b4 = 0
Ha : b1 ≠ b2 ≠ b3 ≠ b4 ≠ 0
Kriteria pengambilan keputusan:
Terima Ho jika : F-statistik < F-tabel
Terima Ha jika : F-statistik > F-tabel
Hasil yang diperoleh adalah F-statistik > F-tabel (5,299 > 2,61) pada α = 5 %
Keputusan :
Tolak Ho, karena F-statistik > F-tabel dengan tingkat α = 5 %
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
Artinya variasi dari Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga SBI secara
keseluruhan berpengaruh terhadap Harga Saham BRI.
4.2.1.3.3. Uji-t
Jika diteliti secara bersama-sama melui uji F menunjukkan bahwa variabelvariabel bebas yang digunakan dalam penelitian mempunyai pengaruh terhadap
Harga Saham BRI. Namun untuk lebih memperdalam analisis maka perlu dilakukan
uji-t untuk mengetahui variabel bebas apa saja yang mempunyai hubungan yang
paling erat terhadap variabel Harga Saham tersebut. Dalam uji-t ini dibuat tingkat α
5%, namun dilakukan juga pengamatan dengan tingkat α yang lebih besar untuk
mengetahui tingkat signifikan t-statistik yang diperoleh tersebut.
Dalam melalukan uji-t, kita dapat menggunakan tabel Coeficient yang telah
diolah oleh SPSS. Dari tabel Coeficient yang merupakan hasil pengolahan SPSS
dapat kita lihat nilai uji-t masing-masing variabel, sebagai berikut:
a. Uji-t untuk variabel Inflasi
Dari hasil penghitungan SPSS yang ditampilkan pada tabel Coeficient maka
dapat dilihat t-statistik Inflasi adalah sebesar -1.769. Dengan demikian apabila
dibandingkan dengan t-tabel pada α 5%, maka t-statistik < t-tabel yaitu |1.769| < 2.022. Namun apabila dilihat pada tingkat α 10% maka t-hitung > ttabel yaitu |-1.769| > 1,685. Hal ini dapat diartikan bahwa pada penelitian
dengan tingkat α 5% maka Inflasi tidak berpengaruh signifikan terhadap
Harga Saham.
b. Uji-t untuk variabel Kurs
Dari hasil penghitungan SPSS yang ditampilkan pada tabel Coeficient maka
dapat dilihat t-statistik Kurs adalah sebesar 0,310. Dengan demikian apabila
dibandingka dengan t-tabel pada α 5% maka, t-statistik < t-tabel yaitu 0,310 <
2.022. Hal ini dapat diartikan bahwa Kurs tidak berpengaruh terhadap Harga
Saham, bahkan bila diuji pada tingkat α 50%.
c. Uji-t untuk variabel Investasi
Dari hasil penghitungan SPSS yang ditampilkan pada tabel Coeficient maka
dapat dilihat t-statistik Investasi adalah sebesar 2,632. Dengan demikian
apabila dibandingka dengan t-tabel pada α 5% maka, t-statistik > t-tabel yaitu
2,632 > 2.022. Hal ini dapat diartikan bahwa Investasi berpengaruh terhadap
Harga Saham.
d. Uji-t untuk variabel Suku Bunga SBI
Dari hasil penghitungan SPSS yang ditampilkan pada tabel Coeficient maka
dapat dilihat t-statistik Suku Bunga SBI adalah sebesar 2,046. Dengan
demikian apabila dibandingka dengan t-tabel pada α 5% maka, t-statistik > ttabel yaitu 2,044 > 2.022. Hal ini dapat diartikan bahwa Suku Bunga SBI
berpengaruh terhadap Harga Saham.
Dari beberapa uji-t di atas dapat diketahui bahwa variabel yang paling
berpengaruh terhadap Harga Saham adalah Investasi, sedangkan variabel yang
pengaruhnya paling lemah adalah Kurs.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
4.2.1.4. Uji Asumsi Klasik
Dari hasil R2 yang diperoleh tidak terlalu tinggi yaitu sebesar 0,330.
Sedangkan Uji F yang diperoleh cukup signifikan pada α 5% yaitu sebesar 5,299.
Dari hasil tersebut dikhawatirkan terdapat pemnyimpangan asumsi klasik dalam
persamaan. Untuk medeteksi hal tersebut maka dilakukan uji penyimpangan asumsi
kalsik terhadap persamaan yang dibuat.
4.2.1.4.1. Uji Multikoleniaritas
Multikolineritas adalah tidak adanya hubungan hubungan linear antar variabel
bebas dalam suatu model regresi. Suatu model regresi dikatakan terkena
multikolinearitas bila terjadi hubungan linear yang sempurna atau pasti di antara
beberapa atau semua varibel bebas dari suatu model regresi.
Berdasarkan ouput yang diperoleh dengan SPSS dapat dilihat bahwa R2 tidak
terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah yaitu 33% dan berada di bawah 85%, dan Uji-F
juga
signifikan.
Maka
dikhawatirkan
regresi
yang
dibuat
mengalami
multikolinearitas. Untuk itu perlu dilakukan uji untuk mendeteksi keberadaan
multikolinearitas.
Dalam program SPSS terdapat ukuran untuk menguji Multikolinearitas yaitu
nilai VIF yang ditampilakan pada ouptut. Jika variabel bebas tidak berkorelasi maka
nilai VIF = 1, sebaliknya bahwa terdapat korelasi bila nilai VIF > 1.
Tabel 4.17 Coefficientsa
Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1)
Model
1
Inflasi (X1)
Kurs (X2)
Investasi (X3)
Suku Bunga SBI (X4)
Collinearity Statistics
Tolerance
VIF
.159
6.292
.831
1.203
.760
1.316
.173
5.789
a Dependent Variable: Harga Saham (Y1)
Sumber: Pengolahan data dengan SPSS 15.0
Dari output tabel Coefficient di atas dapat kita lihat VIF masing-masing
variabel, sebagai berikut:
•
Variabel Inflasi nilai VIF sebesar 6,292
•
Variabel Kurs nilai VIF-nya sebesar 1,203
•
Variabel Investasi nilai VIF-nya sebesar 1,316
•
Variabel Suku Bunga SBI nilai VIF-nya sebesar 5,789
Jika dibandingkan dengan ketentuan standar VIF maka besar nilai VIF dari
masing-masing variabel lebih besar dari 1. Hal ini berarti bahwa terdapat
multikolinearitas pada model regresi yang dibuat.
4.2.1.4.2. Uji Heteroskedasitas
Heteroskedastisitas adalah keadaan dimana faktor gangguan tidak memiliki
varian yang sama. Pengujian terhadap gejala heteroskedastisitas dapat dilakukan
dengan melakukan metode grafik dan uji White Test.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
Regression Studentized Deleted (Press)
Residual
4
3
2
1
0
-1
-2
-2
-1
0
1
2
3
Regression Standardized Predicted Value
Sumber: Pengolahan data dengan SPSS 15.0
Gambar 4.7: Grafik Scatter Plot Variabel Bebas Terhadap
Variabel Harga Saham
a. Grafik Scatter (Scatterplot)
Metode grafik yaitu pengamatan terhadap ploting data variabel-variabel bebas
terhadap variabel terikat pada diagram skater (Scatterplot). Data yang tidak
heteroskedasitas akan ditunjukan pada letak sebaran plot yang tidak mempunyai pola
tertentu atau teratur yang juga ditunjukkan dengan plot yang menyebar di atas dan di
bawah angka 0 pada sumbu Y, jika sebaliknya maka model regresi mengandung
heteroskedasitas.
Bila dilihat dari scatterplot yang dihasilkan dalam pengolahan SPSS pada
gambar 4.7: Grafik Scatter Plot Variabel Bebas Terhadap Variabel Harga Saham,
maka tidak terlihat adanya pola yang terbentuk, dengan demikian dapat diartikan
bahwa model regresi yang telah dibuat dalam penelitian ini tidak heteroskedasitas.
b. Uji White Test
Pedoman Uji White Test adalah membandingkan nilai X2-hitung terhadap X2
tabel distribusi X2, regresi yang bebas dari heteroskedasitas apabilan nilai X2-hitung
lebih kecil dari X2 tabel. X2-hitung diperoleh dari perkalian jumlah data terhadap R2,
yaitu 48 x 0.330 = 15,84. Bila dilihat dari tabel distribusi X2 dengan α 5% adalah
sebesar 56,93, dengan demikian X2-hitung < X2 tabel (15,84 < 76,95). Dengan
demikian dapat diartikan bahwa regresi yang dibuat bebas dari heteroskedasitas.
Tabel 4.18: Uji Heteroskedasitas dengan White Test
White Heteroskedasticity Test:
F-statistic
Obs*R-squared
1.173337
9.311683
Probability
Probability
0.339488
0.316689
Sumber: Pengolahan data dengan EViews 4.1
Dalam program SPSS uji White Test tidak tersedia, uji ini dapat dilakukan
dalam software Eviews. Tabel di atas merupakan hasil output uji White Test dengan
program Eviews. Untuk mengetahui hasil uji White pada Eviews dilakukan dengan
membandingkan nilai Observasi R-Square terhadap
probabilitasnya. Jika nilai
Observasi R-Square lebih besar dibandingkan dengan nilai probabilitasnya maka
persamaan regresi dinyatakan bebas dari heteroskedasitas, dan sebaliknya. Dari tabel
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
4.18: Uji Heteroskedasitas dengan White Test, dapat dilihat bahwa nilai Obs*Rsquared lebih besar dari nilai probabilitasnya, hal ini berarti bahwa persamaan model
regresi yang dibuat bebas dari heteroskedasitas.
4.2.1.4.3. Uji Autokorelasi
Autokorelasi adalah korelasi (hubungan) yang terjadi antara anggota-anggota
dari serangkaian pengamatan yang tersusun dalam rangkain waktu (time series).
Autokorelasi ini menunjukan hubungan antara nilai-nilai yang berurutan dari
variabel-variabel yang sama.
Untuk mendeteksi autokorelasi pada program SPSS dapap dilakukan dengan
membandingkan hasil D-W hitung yang ditampilakan pada tabel model summary
dengan ketentuan umum D-W kategori ukuran di bawah ini:
•
Angka D-W di bawah -2 berarti ada aoutokorelasi positif.
•
Angka D-W di antara -2 sampai +2, berarti tidak ada autokorelasi.
•
Angka D-W di atas +2 berarti ada auto korelasi negatif.
Dari tabel 4.19: Model Summaryb D-W Dengan Variabel Bebas Harga Saham
(Y1), dapat dilihat bahwa nilai D-W sebesar 0,429. Hal ini berarti bahwa persamaan
model regresi yang dibuat tidak mengandung autokorelasi. Hal ini dapat dilaihat pada
nilai D-W hitung yang berada pada kategori antara -2 samapi +2.
Tabel 4.19 Model Summaryb D-W
Dengan Variabel Bebas Harga Saham (Y1)
Model
1
R
.575a
R Square
.330
Adjusted
R Square
.268
Std. Error of
the
Estimate
1514.150
DurbinWatson
.429
a Predictors: (Constant), Suku Bunga SBI (X4), Investasi (X3), Kurs (X2), Inflasi (X1)
b Dependent Variable: Harga Saham (Y1)
Sumber: Pengolahan data dengan SPSS 15.0
4.2.1.5 Interpretasi Model Penelitian Harga Saham (Y1)
Dari beberapa uji yang telah dilakukan terhadap hasil penghitungan statistik
dengan bantuan program SPSS terhadap model regresi Harga Saham dapat
disimpulkan bahwa persamaan model regresi yang dibuat untuk variabel tersebut
secara umum dapat digunakan dalam penelitian. Hal ini dapat dilihat dari nilai uji F
sebesar 5,299 yang lebih besar dibandingkan dengan t-tabel 2,61dengan tingkat α 5%.
Koefisien determinasi persamaan (R2) yang diperoleh adalah sebesar 0,330 yang
berarti bahwa variabel-variabel bebas yang digunakan dalam analisis hanya dapat
menerangkan variabel terikatnya sebesar 33%, sedangkan sisanya (67%) dijelaskan
oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam analisis.
Adapun variabel yang berpengaruh dalam analisis ini adalah variabel Investasi
dan Suku Bunga SBI. Dalam uji-t dapat dilihat bahwa t-statistik untuk variabel
Investasi yang diperoleh sebesar 2.632 yang diikuti oleh varibel Suku Bunga SBI
sebesar 2.046. Kedua variabel tersebut secara signifikan berpengaruh terhadap Harga
Saham dengan tingkat α 5%.
Variabel bebas yang tidak berpengaruh signifikan terhadap Harga Saham
adalah variabel Inflasi dan Kurs. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji-t pada dua variabel
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
tersebut menunjukkan nilai t-statistik Inflasi sebesar |-1.769| dan nilai t-statistik Kurs
sebesar 0,310. Kedua variabel tersebut tidak signifikan pada tingkat α 5%. Namun
jiga dibandingan dengan t-tabel dengan tingkat α 10% maka variabel Inflasi masih
berpengaruh signifikan terhadap Harga Saham.
Pada uji penyimpangan asumsi klasik ditemukan multikolinearitas pada model
persamaan yang digunakan yang ditunjukkan dengan besar VIF hitung lebih dari 1,
sedangkan pada uji penyimpangan asumsi klasik heteroskedasitas dan autokorelasi
tidak ditemukan penyimpangan.
4.2.2. Analisis Regresi Linier Berganda untuk Volume Perdagangan Saham (Y2)
4.2.2.1. Deskriptif Data Penelitian
Tabel 4.20 Descriptive Statistics
Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2)
Inflasi (X1)
Kurs (X2)
Investasi (X3)
Suku Bunga SBI (X4)
Harga Saham (Y1)
Volume Perdagangan Saham (Y2)
Valid N (listwise)
N
Mean
48
48
48
48
48
48
48
9.0490
9260.23
24475.1229
9.2654
3814.58
453826.46
Std. Deviation
4.34436
400.863
21879.35820
1.95747
1769.615
181163.173
Sumber: Pengolahan data dengan SPSS 15.0
Deskriptif data penelitian merupakan ukuran-ukuran statistik dari variabel
penelitian yaitu rata-rata (Mean), standar defiasi (Std. Deviation), dan jumlah
observasi (N). Dalam analisis kedua ini digunakan variabel-variabel bebas sebanyak
lima variabel yang didalamnya termasuk juga variabel harga saham yang pada
awalnya merupakan variabel terikat pada saat digunakan dalam analisis regresi
pertama. Besarnya ukuran statistik untu masing-masing variabel dapat di lihat pada
tabel 4.20:
4.2.2.2. Koefisien Regresi
Berdasarkan tabel Coefficients yang ditampilkan di bawah ini dapat dilihat
bahwa konstanta model persamaan yang dibuat adalah 280456,464 sedangkan
koefisen regresi untuk masing masing variabel bebasnya adalah sebagai berikut:
Inflasi (X1)
= -21328,308
Kurs (X2)
= 23,218
Investasi (X3)
= -2,127
Suku Bunga SBI (X4) = 38788,724
Harga Saham (Y1)
= -40,887
Tabel 4.21 Coefficientsa
Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2)
Unstandardized Coefficients
Model
1 (Constant)
B
Std. Error
280456.464
651804.390
Inflasi (X1)
-21328.308
14470.490
Kurs (X2)
23.218
66.290
-2.127
Investasi
(X3)
Suku
Bunga SBI
(X4)
Harga
Saham (Y1)
Standardized
Coefficients
95% Confidence Interval for B
t
Sig.
Beta
Lower Bound
Upper Bound
Correlations
Zeroorder
Partial
Part
Collinearity
Statistics
Toleran
VIF
ce
.430
.669
-1034938.049
1595850.977
-.511
-1.474
.148
-50530.939
7874.323
-.070
-.222
-.197
.148
6.750
.051
.350
.728
-110.560
156.996
.006
.054
.047
.829
1.206
1.367
-.257
-1.556
.127
-4.886
.631
-.352
-.233
-.208
.655
1.528
38788.724
31153.968
.419
1.245
.220
-24082.530
101659.977
-.116
.189
.166
.157
6.352
-40.887
16.707
-.399
-2.447
.019
-74.603
-7.171
-.433
-.353
-.327
.670
1.493
a Dependent Variable: Volume Perdagangan Saham (Y2)
Sumber: Pengolahan data dengan SPSS 15.0
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
Dari hasil tersebut maka dapat dibuat kedalam persamaan regresi sesuai
dengan model, sebagai berikut:
Y = 280456,464 – 21328.308 X1 + 23,218 X2 – 2,127 X3 + 38788,724 X4
– 40,887 Y1
Berdasarkan persamaan diatas dapat diartikan bahwa apabila inflasi naik
sebesar 1 point akan mengakibatkan penurunan volume perdagangan sebesar
21328.308 lembar; apabila terjadi penigkatan nilai kurs sebesar 1 rupiah akan
mengakibatkan kenaikan volume perdagangan sebesar 23,218 lembar; apabila terjadi
penambahan investasi sebesar 1 miliar rupiah maka akan mengakibatkan kenaikan
volume perdagangan sebesar 2,127 lembar; apabila terjadi kenaikan nilai suku bunga
SBI sebesar 1 point maka akan mengakibatkan kenaikan volume perdagangan sebesar
38788,724 lembar; dan apabila terjadi kenaikan harga saham sebesar 1 rupiah maka
akan mengakibatkan penuruan volume perdagangan sebesar 40,887 lembar.
4.2.2.3. Uji Kesesuaian
4.2.2.3.1. Koefisien Determinasi (R2)
Tabel 4.22 Model Summaryb
Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2)
Model
1
R
a
.501
R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of
the Estimate
.251
.162
165881.628
a Predictors: (Constant), Harga Saham (Y1), Inflasi (X1), Kurs (X2), Investasi (X3), Suku Bunga SBI (X4)
b Dependent Variable: Volume Perdagangan Saham (Y2)
Sumber: Pengolahan data dengan SPSS 15.0
Berdasarkan pengolahan data dapat kita lihat nilai R2 (pada kolom R Square)
sebesar 0,251 menunjukkan bahwa variasi antara variabel Volume Perdagangan
Saham dengan variasi variabel-variabel bebasnya secara bersaman-sama hanya bisa
dijelaskan sebesar 25,1%. Sedangkan sisanya (100% - 25,1% = 74,9%) dijelaskan
oleh sebab-sebab atau variabel lain yang tidak dimasukkan dalam persamaan ini.
4.2.2.3.2. Uji F
Uji F-statistik ini dilakukan untuk melihat seberapa besar pengaruh variabel
bebas secara bersama-sama terhadap variabel terikat. Pengujian ini dilakukan untuk
membandingkan nilai F-statistik dengan nilai F-tabel pada tingkat kepercayaan
tertentu (α) secara bersama-sama mempengaruhi variabel terikat. Nilai F-statistik
penghitungan dengan SPPS ditampilak pada tabel ANOVA adalah sebesar 2,812.
Tabel 4.23 ANOVAb
Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2)
Model
1
Regression
Residual
Total
Sum of Squares
df
386842463827.052
1155702006070.865
1542544469897.917
5
42
47
Mean Square
F
77368492765.410 2.812
27516714430.259
Sig.
a
.028
a Predictors: (Constant), Harga Saham (Y1), Inflasi (X1), Kurs (X2), Investasi (X3), Suku Bunga SBI (X4)
b Dependent Variable: Volume Perdagangan Saham (Y2)
Sumber: Pengolahan data dengan SPSS 15.0
Untuk F-tabel yang diperoleh adalah sebesar 2,812 pada derajat kebebasan dk
= (5;42), dengan α = 5 %. Hasil yang diperoleh adalah F-statistik > F-tabel (2,821 >
2,442) pada α = 5 %. Kita tolak H0 yang berisi pernyataan bahwa tidak terdapat
pengaruh secara bersama-sama antara variabel-variabel bebas terhadap variabel
terikat dalam model persamaan ini. Dengan demikian maka kita terima H1 yang
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
menyatakan bahwa variasi dari Inflasi, Kurs, Investasi, Suku Bunga SBI dan Harga
Saham secara bersama-sama berpengaruh terhadap Volume Perdagangan Saham BRI.
4.2.2.3.3. Uji-t
Untuk lebih memperdalam analisis maka perlu dilakukan uji-t untuk
mengetahui variabel bebas apa saja yang mempunyai hubungan yang paling erat
terhadap variabel Harga Saham tersebut. Dalam uji-t ini digunakan tingkat α 5%,
namun dilakukan juga pengamatan dengan tingkat α yang lebih besar untuk
mengetahui tingkat signifikan t-statistik yang diperoleh tersebut.
Dalam melalukan uji-t, kita dapat menggunakan tabel Coeficient yang telah
diolah oleh SPSS. Dari tabel Coeficient yang merupakan hasil pengolahan SPSS
dapat kita lihat nilai uji-t masing-masing variabel, sebagai berikut:
a. Uji-t untuk variabel Inflasi
Dari hasil penghitungan SPSS yang ditampilkan pada tabel Coeficient maka
dapat dilihat t-statistik Inflasi adalah sebesar -1,474. Dengan demikian apabila
dibandingkan dengan t-tabel pada α 5% dan dk = (42) adalah 2,019, maka tstatistik < t-tabel yaitu |-1,474| < 2,019. Namun apabila dilihat pada tingkat α
20% maka t-hitung > t-tabel yaitu |-1,474| > 1,303. Hal ini dapat diartikan
bahwa pada penelitian dengan tingkat α 5% maka Inflasi tidak berpengaruh
signifikan terhadap Volume Perdagangan Saham.
b. Uji-t untuk variabel Kurs
Dari hasil penghitungan SPSS yang ditampilkan pada tabel Coeficient maka
dapat dilihat t-statistik Kurs adalah sebesar 0,350. Dengan demikian apabila
dibandingka dengan t-tabel pada α 5% maka, t-statistik < t-tabel yaitu 0,350 <
2,019. Hal ini dapat diartikan bahwa Kurs tidak berpengaruh terhadap Voluem
Perdagangan Saham, bahkan bila diuji pada tingkat α 50%.
c. Uji-t untuk variabel Investasi
Dari hasil penghitungan SPSS yang ditampilkan pada tabel Coeficient maka
dapat dilihat t-statistik Investasi adalah sebesar -1.556. Dengan demikian
apabila dibandingka dengan t-tabel pada α 5% maka, t-statistik < t-tabel yaitu
|-1.556| < 2.019. Hal ini dapat diartikan bahwa Investasi tidak berpengaruh
signifikan pada tingkat α 5% terhadap Volume Perdagangan Saham.
d. Uji-t untuk variabel Suku Bunga SBI
Dari hasil penghitungan SPSS yang ditampilkan pada tabel Coeficient maka
dapat dilihat t-statistik Suku Bunga SBI adalah sebesar 1.245. Dengan
demikian apabila dibandingka dengan t-tabel pada α 5% maka, t-statistik < ttabel yaitu 1,245 < 2,019. Hal ini dapat diartikan bahwa Suku Bunga SBI
tidak berpengaruh signifikan pada α 5% terhadap Volume Perdagangan
Saham.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
e. Uji-t untuk variabel Harga Saham
Dari hasil penghitungan SPSS yang ditampilkan pada tabel Coeficient maka
dapat dilihat t-statistik Harga Saham adalah sebesar -2.447. Dengan demikian
apabila dibandingka dengan t-tabel pada α 5% maka, t-statistik > t-tabel yaitu
|-2.447| > 2,019. Hal ini dapat diartikan bahwa Harga Saham berpengaruh
signifikan pada α 5% terhadap Volume Perdagangan Saham.
Dari beberapa uji-t di atas dapat diketahui bahwa variabel yang paling
berpengaruh signifikan pada tingkat α 5% terhadap Volume Perdagangan Saham
hanyalah variabel Harga Saham, sedangkan variabel-variabel bebas lainnya tidak
berpengaruh secara signifikan pada tingkat α tersebut. Variabel bebas yang
pengaruhnya paling lemah adalah Kurs.
4.2.1.4. Uji Asumsi Klasik
Untuk menguji ketepatan model regresi yang telah terlah dibuat maka perlu
dilakukan uji penyimpangan asumsi klasi sebagai berikut.
4.2.1.4.1. Uji Multikoleniaritas
Dalam program SPSS terdapat ukuran untuk menguji Multikolinearitas yaitu
nilai VIF yang ditampilakan pada ouptut. Jika variabel bebas tidak berkorelasi maka
nilai VIF = 1, sebaliknya bahwa terdapat korelasi bila nilai VIF > 1.
Tabel 4.24 Coefficientsa
Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2)
Model
1
Collinearity Statistics
Inflasi (X1)
Kurs (X2)
Investasi (X3)
Suku Bunga SBI (X4)
Harga Saham (Y1)
Tolerance
.148
.829
.655
.157
.670
VIF
6.750
1.206
1.528
6.352
1.493
a Dependent Variable: Volume Perdagangan Saham (Y2)
Sumber: Pengolahan data dengan SPSS 15.0
Dari output tabel Coefficient di atas dapat kita lihat VIF masing-masing
variabel, sebagai berikut:
•
Variabel Inflasi nilai VIF sebesar 6.750
•
Variabel Kurs nilai VIF-nya sebesar 1,206
•
Variabel Investasi nilai VIF-nya sebesar 1,528
•
Variabel Suku Bunga SBI nilai VIF-nya sebesar 6,352
•
Variabel Harga Saham nilai VIF-nya sebesar 1.493
Jika dibandingkan dengan ketentuan standar VIF maka besar nilai VIF dari
masing-masing variabel lebih besar dari 1. Hal ini berarti bahwa terdapat
multikolinearitas pada model regresi yang dibuat.
4.2.1.4.2. Uji Heteroskedasitas
Heteroskedastisitas adalah keadaan dimana faktor gangguan tidak memiliki
varian yang sama. Pengujian terhadap gejala heteroskedastisitas dapat dilakukan
dengan melakukan metode grafik dan uji White Test.
a. Grafik Scatter (Scatterplot)
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
Metode grafik yaitu pengamatan terhadap ploting data variabel-variabel bebas
terhadap variabel terikat pada diagram skater (Scatterplot). Data yang tidak
heteroskedasitas akan ditunjukan pada letak sebaran plot yang tidak mempunyai pola
tertentu atau teratur yang juga ditunjukkan dengan plot yang menyebar di atas dan di
bawah angka 0 pada sumbu Y, jika sebaliknya maka model regresi mengandung
heteroskedasitas.
Regression Studentized Residual
3
2
1
0
-1
-2
-3
-2
-1
0
1
Regression Standardized Predicted Value
Sumber: Pengolahan data dengan SPSS 15.0
Gambar 4.8: Grafik Scatter Plot Variabel Bebas Terhadap
Variabel Volume Perdagangan Saham (Y2)
2
Bila dilihat dari scatterplot yang dihasilkan dalam pengolahan SPSS di atas
maka tidak terlihat adanya pola yang terbentuk, dengan demikian dapat diartikan
bahwa model regresi yang telah dibuat dalam penelitian ini tidak heteroskedasitas.
b. Uji White Test
Pedoman Uji White Test adalah membandingkan nilai X2-hitung terhadap X2
tabel distribusi X2, regresi yang bebas dari heteroskedasitas apabilan nilai X2-hitung
lebih kecil dari X2 tabel. X2-hitung diperoleh dari perkalian jumlah data terhadap R2,
yaitu 48 x 0.251 = 12,05. Bila dilihat dari tabel distribusi X2 dengan α 5% adalah
sebesar 76,95, dengan demikian X2-hitung < X2 tabel (12,05 < 76,95). Dengan
demikian dapat diartikan bahwa regresi yang dibuat bebas dari heteroskedasitas.
Berikut merupakan hasil output uji White Test dengan program Eviews.
Untuk mengetahui hasil uji White pada Eviews dilakukan dengan membandingkan
nilai Observasi R-Square terhadap probabilitasnya. Jika nilai Observasi R-Square
lebih besar dibandingkan dengan nilai probabilitasnya maka persamaan regresi
dinyatakan bebas dari heteroskedasitas, dan sebaliknya.
Tabel 4.25 Uji Hetereoskedasitas dengan White Test
Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2)
White Heteroskedasticity Test:
F-statistic
1.415757
Obs*R-squared 13.28373
Probability
Probability
0.211788
0.208238
Sumber: Pengolahan data dengan Eviews 4.1
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
Dari output di atas dapat dilihat bahwa nilai Obs*R-squared lebih besar dari
nilai probabilitasnya, hal ini berarti bahwa persamaan model regresi yang dibuat
bebas dari heteroskedasitas.
4.2.1.4.3. Uji Autokorelasi
Autokorelasi adalah korelasi (hubungan) yang terjadi antara anggota-anggota
dari serangkaian pengamatan yang tersusun dalam rangkain waktu (time series).
Autokorelasi ini menunjukan hubungan antara nilai-nilai yang berurutan dari
variabel-variabel yang sama.
Untuk mendeteksi autokorelasi pada program SPSS dapap dilakukan dengan
membandingkan hasil D-W hitung yang ditampilakan pada tabel model summary
dengan ketentuan umum D-W kategori ukuran di bawah ini:
•
Angka D-W di bawah -2 berarti ada aoutokorelasi positif.
•
Angka D-W di antara -2 sampai +2, berarti tidak ada autokorelasi.
•
Angka D-W di atas +2 berarti ada auto korelasi negatif.
Tabel 4.26 Model Summaryb D-W
Dengan Variabel Bebas Volume Perdagangan Saham (Y2)
Model
1
R
.501a
R Square
.251
Adjusted
R Square
.162
Std. Error of the
Estimate
165881.628
Durbin-Watson
1.433
a Predictors: (Constant), Harga Saham (Y1), Inflasi (X1), Kurs (X2), Investasi (X3), Suku Bunga SBI (X4)
b Dependent Variable: Volume Perdagangan Saham (Y2)
Sumber: Pengolahan data dengan SPSS 15.0
Dari tabel output di atas dapat dilihat bahwa nilai D-W sebesar 1,433. Hal ini
berarti bahwa persamaan model regresi yang dibuat tidak mengandung autokorelasi.
Hal ini dapat dilaihat pada nilai D-W hitung yang berada pada kategori antara -2
samapi +2.
4.2.1.5 Interpretasi Model Penelitian Dengan Variabel Bebas Volume
Perdagangan Saham (Y2)
Dari beberapa uji yang telah dilakukan terhadap hasil penghitungan statistik
dengan bantuan program SPSS terhadap model regresi Volume Perdagangan Saham
dapat disimpulkan bahwa persamaan model regresi yang dibuat untuk variabel
tersebut secara umum dapat digunakan dalam penelitian. Hal ini dapat dilihat dari
nilai uji F sebesar 2,812 yang lebih besar dibandingkan dengan t-tabel 2,442 dengan
tingkat α 5%. Koefisien determinasi persamaan (R2) yang diperoleh adalah sebesar
0,251 yang berarti bahwa variabel-variabel bebas yang digunakan dalam analisis
hanya dapat menerangkan variabel terikatnya sebesar 25,1%, sedangkan sisanya
(74,9%) dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam analisis.
Adapun variabel yang berpengaruh dalam analisis ini adalah variabel Harga
Saham. Dalam uji-t dapat dilihat bahwa t-statistik untuk variabel Harga Saham yang
diperoleh sebesar |-2,447|. Hanya variabel tersebut saja yang secara signifikan
berpengaruh terhadap Volume Perdagangan Saham dengan tingkat α 5%.
Variabel bebas yang tidak berpengaruh signifikan terhadap Volume
Perdagangan Saham adalah variabel Inflasi, Kurs, Investasi, dan Suku Bungan SBI.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
Hal ini dapat dilihat dari hasil uji-t pada variabel-variabel tersebut menunjukkan nilai
t-statistik yang lebih kecil dari nilai t-tabel pada tingkat α 5%.
Pada uji penyimpangan asumsi klasik ditemukan multikolinearitas pada model
persamaan yang digunakan yang ditunjukkan dengan besar VIF hitung lebih dari 1,
sedangkan pada uji penyimpangan asumsi klasik heteroskedasitas dan autokorelasi
tidak ditemukan penyimpangan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat dibuat
kesimpulan penelitian sebagai berikut.
a. Kesimpulan untuk Analisis Model Regresi Harga Saham.
1.
Dari analisis yang dilakukan maka diperoleh nilai koefisien masing-masing
variabel bebas dan nilai konstanta regresi persamaan model Volime Perdagangan
Saham sebagai berikut:
Y = -1767,675 - 225,621 X1 + 0,187 X2 + 0,030 X3 + 555,341 X4
Berdasarkan persamaan diatas dapat diartikan bahwa apabila inflasi naik sebesar
1 point akan mengakibatkan penurunan Harga Saham sebesar 225,621 rupiah;
apabila terjadi penigkatan nilai kurs sebesar 1 rupiah akan mengakibatkan
sebesar 1 miliar rupiah maka akan mengakibatkan kenaikan harga saham sebesar
30 rupiah; dan apabila terjadi kenaikan nilai suku bunga SBI sebesar 1 point
maka akan mengakibatkan kenaikan harga saham sebesar 555,341 rupiah.
2.
Dari hasil analisis penelitian ini dapat diketahui bahwa Harga Saham PT. Bank
Rakyat Indonesia, (Tbk) secara bersama-sama berhubungan/dipengaruhi oleh
variabel-variabel bebas yang digunakan dalam penelitian (Infalasi, Kurs,
Investasi, dan Suku Bunga SBI) namun dengan tingkat hubungan yang tidak
terlalu kuat. Hal ini ditunjukkan oleh hasil analisis terhadap R2 yang diperoleh
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
168
yaitu sebesar 0,330 yang berarti bahwa secara keseluruhan variabel-variabel
bebas yang digunakan dalam model regresi ini hanya mampu menjelaskan
hubungannya terhadap Harga Sahan sebesar 33%, sedangkan sisanya (100%33%=63%) dapat dijelaskan oleh variabel bebas lain yang tidak dimasukkan
dalam model.
3.
Dalam pengujian model regresi dapat diketahui bahwa variabel-variabel bebas
(Inflasi, Kurs, Investasi, dan Suku Bunga SBI) secara keseluruhan berpengaruh
signifikan terhadap variabel terikatnya (Harga Saham). Hal ini ditunjukkan dari
hasil analisis uji F-statistik yang diperoleh lebih besar dari F-tabel dengan tingkat
α 5% (yaitu: 5,299 > 2,61).
4.
Variabel-variabel bebas yang secara signifikan berpengaruh terhadap Harga
Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) dengan uji-t pada tingkat α 5% adalah
Investasi dan Suku Bunga SBI.
7.
Variabel Investasi berpengaruh positif terhadap Harga Saham PT. Bank Rakyat
Indonesia, (Tbk), dan variabel Suku Bungan SBI juga berpengaruh positif
terhadap Harga Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk).
8.
Variabel bebas yang tidak berpengaruh signifikan terhada Harga Saham PT.
Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) adalah variabel Inflasi dan Kurs. Hal ini dapat
dilihat dari hasil uji-t pada dua variabel tersebut menunjukkan nilai t-statistik
Inflasi sebesar |-1.769| dan nilai t-statistik Kurs sebesar 0,310. Kedua variabel
tersebut tidak signifikan pada tingkat α 5%. Namun jiga dibandingan dengan ttabel dengan tingkat α 10% maka variabel Inflasi masih berpengaruh signifikan
terhadap Harga Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk).
9.
Pada uji penyimpangan asumsi klasik ditemukan multikolinearitas pada model
persamaan yang digunakan yang ditunjukkan dengan besar VIF hitung lebih dari
1, sedangkan pada uji penyimpangan asumsi klasik heteroskedasitas dan
autokorelasi tidak ditemukan penyimpangan.
b. Kesimpulan untuk Analisis Model Volume Perdagangan Saham.
1.
Dari analisis yang dilakukan maka diperoleh nilai koefisien masing-masing
variabel bebas dan nilai konstanta regresi persamaan model Volime Perdagangan
Saham sebagai berikut:
Y = 280456,464 – 21328.308 X1 + 23,218 X2 – 2,127 X3 + 38788,724 X4 – 40,887 Y1
Berdasarkan persamaan diatas dapat diartikan bahwa apabila inflasi naik sebesar
1 point akan mengakibatkan penurunan volume perdagangan sebesar 21328.308
lembar; apabila terjadi penigkatan nilai kurs sebesar 1 rupiah akan
mengakibatkan kenaikan volume perdagangan sebesar 23,218 lembar; apabila
terjadi penambahan investasi sebesar 1 miliar rupiah maka akan mengakibatkan
kenaikan volume perdagangan sebesar 2,127 lembar; apabila terjadi kenaikan
nilai suku bunga SBI sebesar 1 point maka akan mengakibatkan kenaikan volume
perdagangan sebesar 38788,724 lembar; dan apabila terjadi kenaikan harga
saham sebesar 1 rupiah maka akan mengakibatkan penuruan volume
perdagangan sebesar 40,887 lembar.
2.
Dari hasil analisis penelitian ini dapat diketahui bahwa Volume Perdagangan
Saham
PT.
Bank
Rakyat
Indonesia,
(Tbk)
secara
bersama-sama
berhubungan/dipengaruhi oleh variabel-variabel bebas yang digunakan dalam
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
penelitian (Infalasi, Kurs, Investasi, Suku Bunga SBI, dan Harga Saham PT.
Bank Rakyat Indonesia, (Tbk)) namun dengan tingkat hubungan yang tidak
terlalu kuat. Hal ini ditunjukkan oleh hasil analisis terhadap R2 yang diperoleh
yaitu sebesar 0,251 yang berarti bahwa secara keseluruhan variabel-variabel
bebas yang digunakan dalam model regresi ini hanya mampu menjelaskan
hubungannya terhadap Volume Perdangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia,
(Tbk) sebesar 25,1%, sedangkan sisanya (100%-25,1%=74,9%) dapat dijelaskan
oleh variabel bebas lain yang tidak dimasukkan dalam model.
3.
Dalam pengujian model regresi dapat diketahui bahwa variabel-variabel bebas
(Inflasi, Kurs, Investasi, Suku Bunga SBI, dan Harga Saham PT. Bank Rakyat
Indonesia, (Tbk)) secara keseluruhan berpengaruh signifikan terhadap variabel
terikatnya (Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk)). Hal
ini ditunjukkan dari hasil analisis uji F-statistik yang diperoleh lebih besar dari Ftabel dengan tingkat α 5% (yaitu: 2,812 > 2,442).
4.
Variabel bebas yang secara signifikan berpengaruh terhadap Volume Perdangan
Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) dengan uji-t pada tingkat α 5% adalah
Harga Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk).
5.
Variabel Harga Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) berpengaruh negatif
terhadap Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk). Hal
tersebut dapat dilihat dari hasil uji- t variabel tersebut sebesar -2,447, yang
berarti bahwa jika terjadi kenaikan Harga Saham PT. Bank Rakyat Indonesia,
(Tbk) maka akan mengakibatkan penurunan terhadap volume perdagangan
saham itu sendiri.
6.
Variabel bebas yang tidak berpengaruh signifikan terhadap Volume Perdagangan
Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) adalah variabel Inflasi, Kurs, Investasi
dan Suku Bunga SBI. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji-t terhadap variabelvariabel tersebut menunjukkan nilai t-statistik (Infalsi -1,474; Kurs 0,350;
Investasi -1,556; Suku Bunga SBI 1,245) yang lebih kecil dari t-tabel (2.019).
7.
Pada uji penyimpangan asumsi klasik ditemukan multikolinearitas pada model
persamaan yang digunakan yang ditunjukkan dengan besar VIF hitung lebih dari
1, sedangkan pada uji penyimpangan asumsi klasik heteroskedasitas dan
autokorelasi tidak ditemukan penyimpangan.
5.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dibuat dan keterbatasan kapasitas
penelitian maka dapat disampaikan saran-saran yang relevan terhadap hasil
penelitian, sebagai berikut:
1.
Nilai R2 yang diperoleh untuk kedua model persamaan dalam penelitian ini
tergolong kecil yaitu dibawah 0,5 namun F-hitung masing-masing model
persamaan signifikan pada tingkat α 5%. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut dengan
mencoba menambahkan variabel bebas lain yang dianggap lebih berpengaruh
terhadap harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) dalam penelitian
selanjutnya.
2.
Jumlah periode data pengamatan yang digunakan dalam penelitian ini
diperkiran masih kurang banyak agar diperoleh hasil analisi yang lebih akurat.
Untuk itu sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menambah jumlah
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
data periode penelitian untuk masing-masing variabel. Adapun yang menjadi
kendala bagi peneliti dalam analisis ini adalah tidak tersedianya data Investasi
untuk periode di atas tahun 2007.
3.
Variabel bebas Suku Bunga SBI secara signifikan berpengaruh positif
terhadap Harga Saham, hal ini dijelaskan dari hasil uji t-statistik variabel Kurs
lebih besar dari t-tabel yaitu 2,044 > 2,022 dengan tingkat α 5%. Secara teori
semestinya hubungan antara tingkat suku bunga terhadap investasi berbentuk
hubungan negatif. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lain yang dikaitkan
dengan fenomena yang terjadi antara tingkat suku bunga SBI terhadap kenaikan
Harga Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) tersetbut. Mungkin penggunaan
variabel suku bunga deposito atau suku bunga lainnya akan lebih sesuai bila
digunakan dalam penelitian ini mengingat bahwa jenis perusahaan yang menjadi
objek penelitian adalah perusaan yang bergerak disektor perbankan.
4.
Jika dikaitkan dengan teori investasi maka seorang investor akan cenderung
melakukan investasi dengan deposito yang tingkat resikonya lebih kecil
dibanding dengan penanaman modal dengan tingkat resiko yang lebih besar.
Dengan melihat hasil analisis hubungan antara suku bungan dan harga saham
yang dilakukan dalam penelitian ini dapat terdeteksi bahwa terdapat fenomena
khusus yang terjadi atas harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) sehingga
membuat investor cenderung lebih memilih investasi saham perusahaan tersebut
dibanding investasi dengan deposito. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut atas harga saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) dengan variabelvariabel yang berasal dari faktor keuangan perusahaan tersebut seperti rasio
keuangan dan tingkat pembagian keuntungan yang diberikan oleh perusahan
kepada investornya.
5.
Pada uji asumsi klasik dalam penelitian ini, ditemukan multikolonearitas pada
masing-masing bentuk model persamaan yang digunakan. Untuk itu perlu
dilakukan transformasi bentuk data penelitian kedalam bentuk lain yang lebih
sesuai.
6.
Sebagai bahan perbandingan, sebaiknya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
dengan mengganti objek penelitian dengan perusahaan perbankan lainnya dalam
periode pengamata yang sama dan variabel-variabel bebas yang sama. Sehingga
dari hasil penelitian tersebut diharapkan akan dapat ditemukan bentuk hubungan
pengaruh antara variabel-variabel bebas tersebut terhadap harga saham dan
volume perdagangan saham perusahan perbankan lain.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu, Yoopi. 2004. “Memahami Kurs Valuta Asing”. Jakarta: Penerbitan
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Arief, Sritua. 1993. “Metodologi Penelitian Ekonomi”. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Bodie, Zvi, Alex Kane, Alan J. Marcus, (Terjemaahan: Investment). 2006.
“Investasi”. Buku Satu dan Dua, Edisi Enam, Jakarta: Salemba Emapat.
Boediono. 1990. “Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No. 5: Ekonomi Moneter”.
Edisi Ketiga. Yogyakarta: BPFE.
Darmadji, Tjiptono dan Hendy M. Fakhruddin. 2001. “Pasar Modal di Indonesia:
Pendekatan Tanya Jawab”. Edisi Pertama, Jakarta: Salemba Empat.
Gujarati, Damodar. 1995. “Ekonometrika Dasar” (Terjemaahan: Basic Econometric).
Jakarta: Erlangga.
Harianto, Farid, Siswanto Sudomo. 1998. “Perangkat dan Teknik Analisis Investasi di
Pasar Modal Indonesia”, Edisi Pertama, Jakarta: PT. Bursa Efek Jakarta.
Hasan, Iqbal. 2002. “Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya”.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nachrowi, Djalal Nachrowi, Hardius Usman. 2006. “Pendekatan Populer dan Praktis
EKONOMETRIKA untuk Analisis Ekonomi Dan Keuangan”, Jakarta,
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
175
Rahardja, Prathama dan Mandala Manurung. 2004. “Teori Ekonomi Makro; Suatu
Pengantar”. Edisi Kedua, Jakarta: LPFEUI.
Samsul, Mohamad. 2006. “Pasar Modal dan Manajemen Portofolio”. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Santoso, Singgih. 2001. “Buku Latihan SPSS Statistik Parametris.”. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo.
Sharpe, William F. 1997. Investasi/William F. Sharpe, Gordon J. Alexander Jefrey V.
Bailey; ahli bahasa, Henry Njoolingatik, Agustiono, Jilid 2 1997 dan Jilid 1
(revisi) 1999, Jakarta: Prenhallindo.
Sugiyono. 2008. “Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D”. Bandung:
ALFABETA.
Sugiyono, Eri Wibowo. 2001. “Statistika Penelitian dan Aplikasinya dengan SPSS
10.0 for Windows”. Bandung: ALFABETA.
Sumodiningrat, Gunawan. 2001. “Ekonometrika Pengantar”. Yogyakarta: BPFE.
Suparmoko, M. 2000. “Pengantar Ekonomi Makro”. Edisi Keempat, Yogyakarta:
BPFE.
Supranoto, J. 2004. “Ekonometri Buku Kedua”. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Tandelilin, Eduardus. 2001. “Analisis Investasi dan Manajemen Portofolio”. Edisi
Pertama, Yogyakarta: BPFE.
Umar, Husein. 2001. “Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis”. Jakarta, PT
Raja Grafindo Persada.
_______, “Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia – Indonesian Financial Statistics”,
Vol: VIII No. 1 January 2006, Bank Indonesia.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
_______, “Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia – Indonesian Financial Statistics”,
Vol: IX No. 1 January 2007, Bank Indonesia.
_______, “Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia – Indonesian Financial Statistics”,
Vol: X No. 1 January 2008, Bank Indonesia.
_______, “Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia – Indonesian Financial Statistics”,
Vol: XI No. 1 January 2009, Bank Indonesia.
Situs-situs/ website:
http://finance.yahoo.com, situs komersil yang menyediakan data pergerakan harga
saham-saham dunia yang dilengkapi dengan saran dan analisis teknikal bagi
investor.
http://www.bapepam.go.id, situs resmi Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan, menyediakan informasi perkembangan pasar modal dan
pengawasannya.
http://www.bi.go.id, situs resmi Bank Indonesia, menyediakan berbagai data statistik
yang berhubungan dengan keuangan dan kondisi perekonomian Indonesia
http://www.bkpm.go.id/, situs resmi Badan Komisi Penanaman Modal Indonesia,
menyediakan informasi dan peluang penanaman modal di Indonesia
http://www.bri.co.id, situs resmi PT. Bank Rakyat Indonesia, menyediakan berbagai
informasi tentang badan usaha yang bersangkutan, informasi produk/
layanan dan perkembangan usaha.
http://www.idx.co.id, situs resmi Bursa Efek Indonesia, menyediakan data dan
informasi perusahaan-perusahaan yang terdaftar dalam bursa perdagangan
efek.
http://www.ir-bri.com/, situs resmi dibawah naungan PT. Bank Rakyat Indonesia,
(Tbk) yang khusus menyediakan informasi perkembangan produktifitas dan
informasi keuangan yang dibutuhkan oleh para dan calon pemegang saham.
http://www.reuters.com/finance/stocks/chart?symbol=BBRI.JK, situs komersilyang
menyediakan berbagai informasi saham-saham dunia yang dilengkapi
dengan analisis dan saran pialang/ broker serta alasannya.
Leo Ibrahim Sihombing : Pengaruh Inflasi, Kurs, Investasi dan Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia Terhadap
Harga Saham dan Volume Perdagangan Saham PT. Bank Rakyat Indonesia, (Tbk) di Bursa Efek Indonesia, 2010.
Download