TALQÎN MAYIT SETELAH PENGUBURAN (Analisis Sanad dan Matan Hadis) Skripsi ini Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Th.I) Ismail NIM: 105034001174 PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M. TALQÎN MAYIT SETELAH PENGUBURAN (Analisis Sanad dan Matan Hadis) Skripsi ini Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) Oleh: Ismail NIM: 105034001174 Di bawah Bimbingan Dr. M. Isa HA Salam, MA. NIP. 1953 1231 198603 1 010 PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M. LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 16 Juni 2010 Ismail PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul “TALQIN MAYIT SETELAH PENGUBURAN (Analisis Sanad dan Matan Hadis)”, yang di tulis oleh Ismail, NIM: 105034001174, telah di uji dan dinyatakan lulus dalam Sidang Munaqasyah di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 16 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ushuluddin (S.Th.I) Program Srata 1 (S1) pada jurusan Tafsir Hadis. Jakarta, 16 Juni 2010 Sidang Munaqasyah Ketua Sekretaris, Merangkap Penguji II Dr. M. Suryadinata, MA NIP. 1960 0908 1989903 1 005 Rifqi Muhammad Fathi, MA NIP. 19770120 200312 1 003 Anggota Penguji I Dr. Atiyatul ‘Ulya, MA NIP. 19700112 199603 2 001 Pembimbing Dr. M. Isa HA Salam, MA. NIP. 1953 1231 198603 1 010 KATA PENGANTAR Bismilahirrahmanirrahim. Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Segala puji milik Allah, penulis memuji, memohon pertolongan dan ampunan-Nya. Dan juga berlindung dari kejelekan amal-amal dan keburukan diri peribadi. Bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah dan bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad itu adalah hamba dan RasulNya. Dengan berkat taufiq dan inayah dari Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan waktu yang diinginkan, ini semua tidak akan dapat terwujud tanpa adanya dukungan dari beberapa pihak yang telah dengan senang hati memberikan bantuan, bimbingan dan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhinga kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamal, M.A. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para pembantu Dekan. 2. Bapak Dr. Bustamin, M.Si. Selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Rifqi Muhammad Fathi, M.A. Selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. i 4. Bapak Dr. M. Isa as-Salam, M.A. Selaku pembimbing penulis. Terimakasih atas bimbingan serta waktu luangnya yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi. 5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Pimpinan Perpustakaan umum dan Perpustakaan Ushuluddin beserta staff, yang telah memberikan layanan berupa buku-buku selama penulis menjalani dan mengakhiri kuliah jenjang S1 ini. 7. Orang tua tercinta, Ayahanda Sarda dan Ibunda Siti Nurjanah. Terima kasih atas segala pengorbanan dan do’a yang tak terhingga kepada penulis. Serta dukungan moril, materil dan juga tenaga sehingga penulis dapat menyelesaikan studi yang kesemuanya itu tidak bisa terbayarkan dengan materi, hanya do’alah yang dapat penulis berikan. Serta saudara-saudaraku yang tercinta, Kakakku Nasihin, Kulsumawati, Joko, dan Suwita yang telah memberikan dukungan serta do’a kepada penulis. 8. KH. Drs. Najib al-Ayyubi, Drs. H. Ujang Jufri, Ust. Maulana Sufyan Hadi, dan al-Habib al-Idrus ibn Ali al-Habsyi, terima kasih atas bantuan dan do’anya buat penulis. 9. Teman-teman Tafsir Hadis angkatan 2005 diantaranya Th.a: Marullah, S.Th.I, Syarif, Hasan, Rizki, S.Th.I ,Hafidz, S.Th.I, Ubay, S.Th.I, Sahal, S.Th.I, Aqib, Hendri, Amar, S.Th.I, Zaenal, S.Th.I, Agus, S.Th.I, Rahman, Maksal, Izi, S.Th.I, Izu, S.Th.I, Fitri, S.Th.I, Shofi, S.Th.I, Vina, S.Th.I, ii Dengan berbagai kekurangan yang terdapat dalam laporan penelitian ini, mudah-mudahan dapat memberikan manfaat bagi kita semua, khususnya bagi penulis. Akhirnya tiada sesuatu yang dapat penulis ucapkan, kecuali terima kasih kepada para dosen yang telah memberikan pendidikan kepada kami, sehingga ilmu yang diperoleh dapat bermanfaat dan barokah. Semoga kita semua senantiasa selalu dalam bimbingan, Rahmat dan Hidayah-Nya. Amin Ya Rabbal ‘Alamin. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Jakarta, 16 Juni 2010 penulis iii Pedoman Transliterasi ∗ Aksara Arab dan Padanannya dalam Aksara Latin Huruf Arab ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن Huruf Latin Keterangan Tidak dilambangkan b be t te ts te dan es j je h ha dengan garis di bawah kh ka dan ha d de dz de dan zet r er z zet s es sy es dan ye s es dengan garis di bawah d de dengan garis di bawah t te dengan garis di bawah z zet dengan garis di bawah ' koma terbalik di atas, menghadap ke kanan g ge f ef q ki k ka l el m em n en ∗ Hamid Nasuhi dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), 2007. iv و ه ء ي w we h ha ' apostrof y ye Vokal Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin keterangan a fathah i kasrah u dammah Tanda Vokal Latin keterangan ai a dan i au a dan u Tanda Vokal Latin keterangan â a dengan topi di atas î i dengan topi di atas û u dengan topi di atas Vokal Rangkap Tanda Vokal Arab ي و Vokal Panjang (Madd) Tanda Vokal Arab ﺎ ﻲ ﻮ Syaddah (Tasydid) Syaddah atau Tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak v berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya kata: اﻟﻀﱠﺮ و ر ةtidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”, demikian seterusnya. Kata Sandang Kata sandang yang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf ()ال, dialih-aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh al-rijâl, bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân. Ta Marbūtah No Kata Arab Alih Bahasa 1 ﻃﺮﻳﻘﺔ tarîqah 2 اﻟﺠﺎﻣﻌﺔ اﻻﺳﻼﻣﻴﺔ al-jâmi’ah al-islâmiyyah 3 وﺣﺪة اﻟﻮﺟﻮد wahdat al-wujûd DAFTAR ISI vi KATA PENGANTAR .................................................................................... i PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................... iv DAFTAR ISI .................................................................................................. vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ….................................................................. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah................................................... 6 C. Tujuan Penelitian ……….... ................................................................ 13 D. Kegunaan atau Manfaat Penelitian....................................................... 14 E. Tinjauan Kepustakaan ……. ................................................................ 14 F. Metodologi Penelitian ……. ................................................................ 15 G. Sistematika Penulisan …….. ............................................................... 16 BAB II. TINJAUAN UMUM MENGENAI TALQIN SERTA KEWAJIBAN TERHADAP ORANG MATI A. Pengertian Talqin............................................................................. 18 1. Menurut Bahasa .......................................................................... 18 2. Menurut Istilah............................................................................ 18 B. Sejarah Perkembangan Talqin 1. Pada Masa Rasulullah Saw dan Para Sahabat ............................ 19 2. Perkembangan Talqin pada Masa kini ...................................... 22 C. Pendapat Para Ulama Tentang Talqin ............................................. 24 BAB III ANALISA HADIS-HADIS TALQIN MAYIT SETELAH PENGUBURAN A. Hadis Pertama ………….... ................................................................ 31 vii a. Penelitian Sanad Hadis Pertama ............................................. 33 b. I’tibar Sanad ………................................................................ 37 c. Kritik Sanad …….... ................................................................ 39 B. Hadis Kedua ......................................................................................... 42 a. Penelitian Sanad Hadis Kedua ................................................ 44 b. I’tibar Sanad ……... ................................................................ 45 c. Kritik Sanad …….... ................................................................ 48 C. Kritik Matan …………….... ................................................................ 60 a. Hadis ke-1 ………… ............................................................... 61 b. Hadis ke-2 ………… ............................................................... 64 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan………………. …. ............................................................ 67 B. Saran ………………………................................................................ 68 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... LAMPIRAN viii 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, khususnya bila dilihat dari segi etnis / suku bangsa dan agama. Konsekuensinya, dalam menjalani kehidupannya masyarakat Indonesia dihadapkan kepada perbedaanperbedaan dalam berbagai hal, mulai dari kebudayaan, cara pandang hidup dan juga seringkali muncul berbagai macam fenomena keagamaan, sehingga terkadang menjadi polemik yang berkepanjangan dalam kehidupan bermasyarakat, salah satunya adalah masalah talqîn mayit. Fenomena itu sering menjadi bahan perdebatan ditengah masyarakat, khususnya antara kalangan Islam tradisionalis dengan Islam reformis. Semua perdebatan yang muncul mengarah pada aspek hukum talqîn. Satu pihak menyatakan bahwa talqîn merupakan budaya yang baik dan berguna yang perlu untuk dilestarikan dan dikembangkan karena sangat berguna bagi simayit. Sedangkan kelompok lain menganggap bahwa talqîn merupakan salah satu bentuk penyimpangan (bid’ah) dalam Islam karena tidak ada dalilnya dan sekalipun ada dalilnya itu sangat lemah. Secara umum talqîn mayit itu ada dua, pertama ada talqîn mayit sebelum meninggal, yaitu ketika si mayit sedang mengadapi naza’ (sakaratul maut). Sebagaimana dalam suatu riwayat, ‘Umâr bin al-Khattab r.a berkata: “Talqînkanlah (bisikan dan sebutkanlah) kepada orang yang akan mati dengan ucapan lâ 2 Ilâha illallâh, karena sesungguhnya mereka melihat apa yang kalian tidak lihat. “Ajaran untuk men-talqîn-kan itu bersumber dari petunjuk Nabi Saw. sebagaimana diriwayatkan antara lain oleh Imam Muslim melalui Abû Sa’îd alKhudrî r.a 1 : ﻻ اﻟﱠﻠ ُﻪ ﻻ ِإَﻟ َﻪ ِإ ﱠ َ َْﻟ ﱢﻘﻨُﻮا َﻣﻮْﺗَﺎ ُآﻢ “Talqîn-kanlah orang yang mati diantaramu dengan lâ Ilâha illallâh” 2 Kedua, talqîn mayit setelah meninggal, talqîn inilah yang telah banyak menimbulkan khilafiah (perbedaan pendapat) dikalangan para ulama. Menurut keterangan yang sudah lama ada, bahwa talqîn mayit itu sudah ada dari zaman para sahabat Nabi, zaman Tâbi’în dan Tâbi’î Tâbi’în kemudian diteruskan oleh ulama-ulama salâf dan khalâf, bahwa semua orang meninggal itu di-talqîn-kan, keterangan ini berdasarkan pendapat seorang ulama besar yang dijuluki Hujjâtul Islam yaitu Imam Ibn Taimiyah dalam kitabnya al-Fatâwâ al-Kubrâ 3 , beliau berkata: “bahwa talqîn mayit ini sudah dimulai sejak zaman sahabat-sahabat Nabi Saw., bahwasanya mereka memerintahkan agar berbuat demikian, seperti Abû Umâmah r.a dan sahabat-sahabat lainnya dan mereka juga telah meriwayatkannya dari Nabi Saw.,: ْت َأ ُﺑﻮ ُ ْﺷ ِﻬﺪ َ :ل َ ﷲ اﻟْﺄوْدِي ﻗَﺎ ِ ﻋﺒْ ِﺪ ا َ ﻦ ِ ْﺳ ِﻌﻴْ ِﺪ ﺑ َ ْﻋﻦ َ ﻦ َأ ِﺑﻲْ آَﺜِﻴْﺮ ِ ْﻋﻦْ َﻳﺤْﻴَﻰ ﺑ َ ﷲ ِ لا ُ ْﺳﻮ ُ إِذَا ُﻣﺖﱡ ﻓَﺎﺻْﻨَ ُﻌﻮْا ِﺑﻲْ َآﻤَﺎ أَﻣَﺮَﻧَﺎ َر: ل َ ع َﻓﻘَﺎ ِ ُأﻣَﺎ َﻣ َﺔ َو ُه َﻮ ِﻓﻲْ اﻟ ﱠﻨ َﺰ 1 , M.Qurais Sihab, Kehidupan Setelah Kematian,(Tangerang, Lentera Hati, 2008), Cet.2, h.34 2 Abû al-Husain Muslim bin al-Hajjâj bin Muslim al-Qusyairî, Sahîh Muslim,( Beirut, Dar al-Jayl) Juz.3, h.37 3 Taqiyyuddîn Abû al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abd al-Him bin Taimiyyah, Al-Fatâwâ alKubrâ, (Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, 1987) Juz.3, h.24 3 Dari Yahyâ bin Abî Katsîr dari Sa’îd bin ‘Abdillâh al-Awdî, berkata: “Aku menyaksikan Abû Umâmah r.a, ketika itu beliau dalam keadaan naza’ (menjelang kematiannya). Beliau berkata:”Apabila aku wafat maka hendaklah urus aku sebagaimana yang diperintahkan Nabi Saw., dalam mengurus orang kita yang meninggal. Beliau (Nabi Saw) berkata: “Apabila meninggal salah seorang diantaramu (maksudnya orang Islam) dan telah didatarkan tanah diatas perkuburannya, maka hendaklah salah seorang diantaramu berhenti sebentar dihadapan kepala si mayit itu, hendaklah ia berkata: “Hai fulan anak wanita fulan, maka si mayit mendengar tetapi ia tidak bisa menjawab. Kemudian dikatakan lagi: “Hai fulan anak wanita fulan! Maka ia menjawab: “Berilah petunjuk kepada kami semoga Tuhan memberi rahmat kepadamu. Tetapi kamu tidak mendengar ucapannya itu. Kemudian katakan lagi: “Ingatlah hal ketika engkau keluar dari dunia, yaitu pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah, Muhammad itu hamba-Nya dan Rasul-Nya, dan bahwasannya engkau telah ridha bahwa Allah Tuhanmu, Islam agamamu, Muhammad Nabimu, Al-Qur’an Imammu. Ketika itu malaikat Munkar dan Nakir saling memegang tangan kawannya dan berkata : “Mari kita kembali saja, apa gunanya kita duduk dihadapan orang yang telah di-talqîn-kan jawabannya. Berkata Abû Umâmah r.a,: Seorang sahabat bertanya kepada Nabi Saw.,: “Wahai Rasulullah, kalau (orang yang men-talqîn-kan itu) tidak tahu nama ibunya, bagaimana?. Jawab Nabi Saw,: “Digolongkan saja ia kepada ibunya Siti Hawa (H.R.Tabrânî, Mu’jam al-Kabîr) 5 4 Sulaimân bin Ahmad bin Ayyûb bin Abû al-Qasim Al-Tabrânî, Al-Mu’jam al-Kabîr, (Al-Maktah al-‘Ulumi al-Hukmi, 1983), Juz.8, h.249 5 Abbas Sirajuddin, 40 Masalah Agama (Jakarta, Pustaka Tarbiyah, Cet.25, 2006),h.91 4 Maksud hadis diatas seolah-olah mengindikasikan bahwa hendaklah orang yang baru meninggal itu diberikan ketetapan dan ketabahan hati dengan jalan diingatkan oleh orang-orang yang masih hidup terhadap jawaban-jawaban yang semestinya, yang harus dijawabnya kepada malaikat-malaikat penanya, yaitu Munkar dan Nakir, dengan harapan agar si mayit dapat melalui masa-masa tersebut dengan kesuksesan dan kebahagiaan. Ibn Taimiyyah berkata dalam bukunya Al-Fatâwâ al-Kubrâ, 6 bahwa: “Pendapat para ulama tentang talqîn itu dibagi menjadi tiga, yaitu: Pertama sunnah, kedua makruh, ketiga mubah (boleh). Kemudian Beliau menegaskan lagi dalam buku yang sama, bahwa diantara para Ulama yang berpendapat bahwa talqîn itu sunnah, diantara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syâfi’î, dan Imam Abû Hanîfah dan juga para sahabat-sahabat dan pengikut mereka, berdasarkan dalil dari hadis Nabi Saw., ل "اﺳْ َﺘﻐْ ِﻔﺮُوا ِﻟَﺄﺧِﻴ ُﻜﻢْ واﺳﺄﻟﻮا ﻟﻪ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َﻓﻘَﺎ َ ﻒ َ ﺖ َو َﻗ ِ ﻦ اﻟْ َﻤ ﱢﻴ ِ ْغ ِﻣﻦْ َدﻓ َ ن إذَا َﻓ َﺮ َ آَﺎ 7 ل ُ ن ُﻳﺴَْﺄ َ اﻟﺘﺜﺒﺖ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ اﻟْﺂ “Adalah Nabi Saw., apabila selesai menguburkan mayit berhenti sebentar dan berkata (kepada sahabat-sahabat beliau):”Mintakanlah ampun saudaramu ini kepada Tuhan, dan mohonkanlah supaya ia tetap dan tabah, karena bahwasannya ia sekarang sedang ditanya” Dan yang menganggap bahwa talqîn itu makruh adalah pendapat Imam Malik, 8 sedangkan yang berpendapat bahwa talqîn itu mubah (boleh) adalah 6 Taqiy al-Dîn Abû al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abd al-Him bin Taimiyyah, Al-Fatâwâ alKubrâ, (Dâr al-Kitâb al-‘Ilmiyah, 1987) Juz.3, h.25 7 Abî Dâwud Sulaimân bin al-Asy’ats, al-Sijistanî, Sunan Abû Dâwud, (Beirut, Dar alFikr, 2003.M/1424.H) Juz.3, h.166. 5 pendapat beliau (Ibn Taimiyah) sendiri, dengan alasan itulah pendapat yang paling adil. 9 Ibn Qayyim dalam bukunya RUH, berkata: “Bahwa hadis talqîn itu berturut-turut diamalkan tanpa diingkari dan cukuplah untuk dikerjakan. Bagi kita tidak ada larangan untuk mengucapkan sesuatu perkataan yang menjadikan manfaat bagi si mayit. Berkata pula Imam Nawâwi di dalam Syarh Muhadzdzab dan bagi hadis mengenai talqîn itu banyak hadis-hadis yang menguatkannya. 10 Sekitar pada abad 14 H., seorang ulama Ahli hadis kontemporer yang bernama Nasîruddîn al-Albânî, menyanggah pendapat diatas dengan berkata: “Sanad hadis ini lemah sekali, saya tidak mengenal mereka kecuali ‘Utbah bin Sakan, dan dikatakan oleh al-Daruqutnî: Ditinggalkan hadisnya. Bahkan AlHaitsami juga mengatakan: Diriwayatkan al-Tabrânî dalam al-Kabîr, dalam sanadnya ada beberapa rawi yang tidak saya kenal.” Beliau juga berkomentar: “talqîn setelah mati, di samping bid’ah dan tidak ada hadisnya yang sahih, juga tidak ada faedahnya karena hal itu keluar dari kampung taklîf (beban) kepada kampung pembalasan dan mayit tidak menerima peringatan karena peringatan itu bagi orang yang masih hidup.” Inilah yang menjadi perhatian penulis dalam rangka menyusun skripsi ini. Hadis yang telah disepakati oleh sebagian ulama salâf boleh untuk diamalkan karena ada hadis pendukung yang memperkuat nilai hadis tersebut, dan bahkan sudah sejak lama diamalkan oleh mayoritas kaum muslimin, namun pada kasus ini seorang ahli hadis yang bernama Nasîruddîn al-Albânî berkomentar: “Hal ini 8 Ibn Taimiyyah, Al-Fatâwâ al-Kubrâ, h.24 Ibn Taimiyyah, Al-Fatâwâ al-Kubrâ, h.25 10 M.Syarwani Abdan, Al-Dzakhirah al-Minah, (Bangil: Yayasan Pendidikan Islam “DARUSSALÂM” , Cet.III, 1988) h.86 9 6 jangan dibantah dengan pendapat yang populer bahwa hadis lemah bisa digunakan dalam fadail a’mal, karena hal tersebut merupakan kaidah dalam masalahmasalah yang disyariatkan al-Qur’an dan Sunnah. Adapun bila tidak demikian maka tidak boleh diamalkan karena itu merupakan syariat dengan hadis lemah, dan hendaknya hal ini diperhatikan oleh orang yang menginginkan keselamatan dalam agamanya.” 11 Akan tetapi pendapat beliau ini juga bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama hadis terdahulu bahwa hadis lemah bisa digunakan dalam fadail a’mal. Dalam kaitannya dengan permasalahan hadis, disini penulis merasa perlu untuk melakukan analisis sanad dan matan hadis tentang talqin agar mendapatkan pemahaman yang komprehensif. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian terhadap hadis-hadis talqîn baik untuk dilakukan. Selajutnya penulis mengangkatnya sebagai judul skripsi: “Talqîn Mayit Setelah Penguburan” (Analisis Sanad dan Matan Hadis) B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Dalam mengkaji dan menganalisa suatu masalah baik berupa data-data atau yang lainnya, diperlukan pembatasan dan perumusan masalah untuk mengindari kekeliruan dan kerancuan dalam pembahasan, maka disini penulis telah membatasi masalah yang akan dikaji dengan mencoba menganalisa dengan metode takhrîj terhadap sebagian hadis tentang talqîn mayit setelah penguburan. Diantara batasan dalam penilitiannya sebagai berikut; Penulis telah meneliti semua hadis-hadis yang berkaitan dengan talqîn mayit setelah penguburan dari berbagai kitab hadis, akan tetapi sejauh penelitian 11 h.65 Nasîruddîn al-Albânî Silsilah Ahâdits al-Da’ifah, (Riyad, Dar al-Ma’arif, Juz. 2, 1992), 7 ini dilakukan, disini penulis hanya menemukan tiga hadis yang cocok dengan judul diatas, dan diantara hadisnya ada yang merupakan hadis pendukung, misalnya disini penulis menemukan salah satu hadis yang bersumber dari kitab Sunan Abî Dâwud, kemudian hadis tersebut telah dikomentari oleh salah seorang ulama hadis yaitu Ibn Taimiyah dalam kitabnya Al-Fatâwâ al-Kubrâ, bahwa hadis tersebut merupakan pendukung dari hadis Abû Umâmah, sehingga hadis tersebut merupakan diantara salah satu hadis yang akan penulis teliti dari hadishadis yang lain. Dan dibawah ini adalah hadis-hadis yang akan diteliti, yang telah penulis temukan dari berbagai kitab-kitab hadis, sebagai berikut: 1. Kitab Sahîh Muslim Karya Abû al-Husain Muslim bin al-Hajjâj bin Muslim al-Qusyairî al-Naisâbûrî. (Beirut, Dar al-Jayl, Dar al-Afaq,), Juz.1, h.78 2. Kitab Sunan Abî Dâwud Karya Abû Dâwud Sulaiman bin al-Asy‘ats as-Sijistany, (Beirut, Dar al-Fikr, 2003.M/1424.H) Juz.3, h.166. 3. Kitab al-Mu’jam al-Kabîr Karya Sulaiman bin Ahmad bin Ayyûb Abû Al-Qasim Al-Tabrânî. (Maktabah al-‘Ulum al-Hukm, 1983.M/ 1404.H ), Juz.8, h.249. Hadis ke-1 ﻦ ُ ْق ﺑ ُ ﻰ َوِإﺳْﺤَﺎ ﺷﱡ ِ ﻦ اﻟ ﱠﺮﻗَﺎ ٍ ْى وَأَﺑُﻮ َﻣﻌ ﻦ اﻟْ ُﻤﺜَﻨﱠﻰ اﻟْ َﻌ َﻨ ِﺰ ﱡ ُ ْﺤﻤﱠ ُﺪ ﺑ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ُﻣ َ ك ُ ﻀﺤﱠﺎ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ اﻟ ﱠ َ ﻦ اﻟْ ُﻤ َﺜﻨﱠﻰ ِ ْﻻﺑ ِ ﻆ ُ ْﺻ ٍﻢ وَاﻟﱠﻠﻔ ِ ﻋﻦْ أَﺑِﻰ ﻋَﺎ َ َﻣﻨْﺼُﻮ ٍر ُآﻠﱡ ُﻬ ْﻢ ﻦ ُ ْﺣ ﱠﺪ َﺛﻨِﻰ َﻳﺰِﻳ ُﺪ ﺑ َ ل َ ﺢ ﻗَﺎ ٍ ْﺷ َﺮﻳ ُ ﻦ ُ ْﺣﻴْ َﻮ ُة ﺑ َ ل أَﺧْﺒَﺮَﻧَﺎ َ ﺻ ٍﻢ ﻗَﺎ ِ ﻳَﻌْﻨِﻰ َأﺑَﺎ ﻋَﺎ ص ِ ﻦ اﻟْﻌَﺎ َ ْﻋﻤْﺮَو ﺑ َ ﻀﺮْﻧَﺎ َ ﺣ َ ل َ ى ﻗَﺎ ﺳ َﺔ اﻟْ َﻤﻬْ ِﺮ ﱢ َ ﺷﻤَﺎ ُ ﻦ ِ ْﻦ اﺑ ِﻋ َ ٍَأﺑِﻰ ﺣَﺒِﻴﺐ ﺠﺪَا ِر ِ ْل َوﺟْ َﻬ ُﻪ ِإﻟَﻰ اﻟ َ ﺣ ﱠﻮ َ ﻼ َو ً ﻃﻮِﻳ َ ﻓَﺒَﻜَﻰ.ت ِ ْﺳﻴَﺎ َﻗ ِﺔ اﻟْ َﻤﻮ ِ َو ُه َﻮ ﻓِﻰ 8 ﻼ َم ﻹﺳْ َ ناِ ﺖ َأ ﱠ ﻋِﻠﻤْ َ ل َأﻣَﺎ َ ﺖ َأنْ ُﻳﻐْ َﻔ َﺮ ﻟِﻰ .ﻗَﺎ َ ط ِﺑﻤَﺎذَاُ .ﻗﻠْ ُ ل َﺗﺸْ َﺘ ِﺮ ُ ﻗَﺎ َ ﺞ َﻳﻬْ ِﺪ ُم ﻣَﺎ ﺤﱠ ن اﻟْ َ ن َﻗﺒَْﻠﻬَﺎ َوَأ ﱠ ن اﻟْ ِﻬﺠْ َﺮ َة َﺗﻬْ ِﺪ ُم ﻣَﺎ آَﺎ َ ن َﻗﺒَْﻠ ُﻪ َوَأ ﱠ َﻳﻬْ ِﺪ ُم ﻣَﺎ آَﺎ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻰ ِﻣﻦْ َرﺳُﻮ ِ ﺐ ِإَﻟ ﱠ ﺣ ﱠ ﺣ ٌﺪ َأ َ ن َأ َ ن َﻗﺒَْﻠ ُﻪَ .وﻣَﺎ آَﺎ َ آَﺎ َ ﻰ ِﻣﻨْ ُﻪ ﻋﻴْ َﻨ ﱠ ﻸ َ ﻖ َأنْ َأﻣْ َ ﺖ ُأﻃِﻴ ُ ﻞ ﻓِﻰ ﻋَﻴْﻨِﻰ ِﻣﻨْ ُﻪ َوﻣَﺎ ُآﻨْ ُ ﺟﱠ ﻻ َأ َ وﺳﻠﻢ َو َ ﻰ ﻋﻴْ َﻨ ﱠ ﻸ َ ﻷﻧﱢﻰ َﻟﻢْ َأ ُآﻦْ َأﻣْ ُ ﺖ َ ﻃﻘْ ُ ﺻ َﻔ ُﻪ ﻣَﺎ َأ َ ﺖ َأنْ َأ ِ ﺳ ِﺌﻠْ ُ ﻻ َﻟ ُﻪ َوَﻟﻮْ ُ ﻼً ِإﺟْ َ ﺠ ﱠﻨ ِﺔ ُﺛﻢﱠ ﻞ اﻟْ َ ن ِﻣﻦْ َأهْ ِ ت َأنْ َأآُﻮ َ ﺟﻮْ ُ ل َﻟ َﺮ َ ﻚ اﻟْﺤَﺎ ِ ﻋﻠَﻰ ِﺗﻠْ َ ِﻣﻨْ ُﻪ َوَﻟﻮْ ُﻣﺖﱡ َ ﺤ ٌﺔ ﻼ ﺗَﺼْﺤَﺒْﻨِﻰ ﻧَﺎ ِﺋ َ َوﻟِﻴﻨَﺎ َأﺷْﻴَﺎ َء ﻣَﺎ َأدْرِى ﻣَﺎ ﺣَﺎﻟِﻰ ﻓِﻴﻬَﺎ َﻓِﺈذَا َأﻧَﺎ ُﻣﺖﱡ َﻓ َ ل َﻗﺒْﺮِى ﺣﻮْ َ ب ﺷَﻨًّﺎ ُﺛﻢﱠ َأﻗِﻴﻤُﻮا َ ﻰ اﻟ ﱡﺘﺮَا َ ﻋَﻠ ﱠ ﺸﻨﱡﻮا َ ﻻ ﻧَﺎرٌ َﻓِﺈذَا َد َﻓﻨْ ُﺘﻤُﻮﻧِﻰ َﻓ ُ َو َ ﻈ َﺮ ﻣَﺎذَا ﺲ ِﺑ ُﻜﻢْ َوَأﻧْ ُ ﺣﺘﱠﻰ َأﺳْ َﺘﺄْ ِﻧ َ ﺴ ُﻢ َﻟﺤْ ُﻤﻬَﺎ َ ﺤ ُﺮ ﺟَﺰُورٌ َو ُﻳﻘْ َ َﻗﺪْ َر ﻣَﺎ ُﺗﻨْ َ ﻞ َرﺑﱢﻰ ﺳَ ﺟ ُﻊ ِﺑ ِﻪ ُر ُ ُأرَا ِ 12 12 Abû al-Husain Muslim bin al-Hajjâj bin Muslim al-Qusyairî al-Naisabury Sahîh Muslim. (Beirut, Dar al-Jayl, Dar al-Afaq,), Juz.1, h.78 9 ”Telah bercerita kepada kami Muhammad ibn al-Mutsannâ al-‘Anazî dan Abû Ma’in al-Raqqâsyî dan Ishâq ibn Mansûr, mereka semua dari Abî ‘Âsim dan lafadz oleh Ibn Mutsannâ, Ia bercerita kepada kami al-Dahhâq, yaitu Abû ‘Âsim ia berkata: Mengabarkan kepada kami Haiwah ibn Syuraîh, ia berkata: Telah bercerita kepada kami Yazîd ibn Abî Habîb dari Ibn Syumâsah alMahriyyî r,a., katanya “Kami menyaksikan Amru Ibn ‘Âs ketika dia hendak meninggal. Dia lama menangis sambil mengadapkan mukanya ke dinding. Karena itu anaknya berujar, “wahai ayahku,! Bukankah Rasulullah saw telah menyampaikan berita gembira bagi ayah, begini dan begitu. ( Kenapa ayah masih menangis?)” Lalu Amru Ibn ‘As menengok kepada anaknya sambil berkata : “sesungguhnya perbekalan kita yang paling utama adalah syahadat : Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah. Aku ini telah mengalami tiga zaman. Pertama, aku menyadari, tidak ada orang yang paling benci kepada rasulullah Saw, melebihi benciku. Ketika itu tidak ada yang lebih kuinginkan kecuali menangkapnya lalu membunuhnya. Kalaulah aku meninggal ketika itu, tentulah aku masuk neraka. Kedua, tatkala Allah menanamkan Islam ke dalam dadaku, aku datangi Nabi Saw. lalu aku berujar, “Ulurkanlah tangan anda, aku hendak berjanji setia dengan anda” beliau mengulurkan tangannya dan menjabat tanganku sambil berkata, “ Apa maksudmu hai ‘Amr?” Jawabku “aku hendak masuk Islam dengan syarat” Tanya beliau “ apa syarat yang hendak engkau pinta?” jawabku “ supaya dosaku diampuni” kata beliau “ apakah engkau belum tahu, bahwa islam mengapus segala dosa yang sebelumnya?” semenjak itu aku merasakan tidak ada orang yang paling cinta kepadaku melebihi cinta Rasulullah Saw. dan tidak ada orang yang paling terhornat melebihi beliau. Sebab itu aku tak kuasa demi untuk memuliakannya. Sehingga aku diminta orang untuk menggambarkan bentuk beliau, aku tak sanggup, karena aku tak pernah mengangkat pandanganku kepada beliau. Kalaulah aku mati ketika itu, sungguh besar harapanku bahwa aku masuk surga. Ketiga, kemudian aku menjabat berbagai jabatan pemerintah, dimana aku sendiri tidak tahu bagaimana sesungguhnya keadaanku selama dalam jabatan-jabatan itu. Karena itu, jika aku mati, janganlah jenazahku diantar para wanita peratap dan jangan pula membawa api. Apabila aku telah dikubur, timbunlah jenazah ku dengan rata, kemudian tunggulah kira-kira selama orang menyembelih kurban dan membagi-bagikan dagingnya, supaya aku tidak kesepian bersamamu, tatkala aku memikirkan jawaban tehadap malaikat yang dikirim Tuhanmu untuk menanyaiku” 13 13 Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Nisâbûrî, trjmh. Ma’mur Dâwud, Terjemah Sahîh Muslim,( Malaysia: KLANG BOOK CENTRE, 1997, Cet.5) h.56 10 Hadis ke-2 ﻦ ِإﺑْﺮَا ِهﻴْ َﻢ ﺑْﻦ ﺤﻤﱠ ُﺪ ﺑْ ُ ﺨﻮْﻟَﺎ ِﻧﻲْ َﺛﻨَﺎ ُﻣ َ ﺳِّﻠﻢْ اﻟْ َ ﻦ َ ﺲ ﺑْ ِ ﻋﻘَﻴْﻞ َأ َﻧ ِ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َأ ُﺑﻮْ ُ َ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ ﻦ ُﻣ َ ﷲ ﺑْ ِ ﻋﺒْ ُﺪ ا ِ ﻋﻴَﺎش َﺛﻨَﺎ َ ﻞ ﺑْﻦ ِ ﻋﻴْ َ اﻟْ ُﻌﻠَﺎ ِء اﻟْﺤَﻤْﺼِﻲ َﺛﻨَﺎ ِإﺳْﻤَﺎ ِ ل: ﷲ اﻟَْﺄوْدِي ﻗَﺎ َ ﻋﺒْ ِﺪ ا ِ ﻦ َ ﺳ ِﻌﻴْ ِﺪ ﺑْ ِ ﻋﻦْ َ ﻋﻦْ َﻳﺤْﻴَﻰ ﺑْﻦ َأ ِﺑﻲْ َآ ِﺜﻴْ ِﺮ َ اﻟْ ُﻘﺮْﺷِﻲ َ ل ِ :إذَا ُﻣﺖﱡ ﻓَﺎﺻْ َﻨ ُﻌﻮْا ِﺑﻲْ آَﻤَﺎ ع َﻓﻘَﺎ َ ت َأ ُﺑﻮْ ُأﻣَﺎ َﻣ َﺔ َو ُه َﻮ ِﻓﻲْ اﻟ ﱠﻨ َﺰ ِ ﺷ ِﻬﺪْ ُ َ ن َﻧﺼْ َﻨ َﻊ ِﺑ َﻤﻮْﺗَﺎﻧَﺎ َأ َﻣ َﺮﻧَﺎ ﺳﱠﻠ َﻢ َأ ﱠ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ َ ﺻﻠﱠﻰ ا ِ ﷲ َ لا ِ ﺳﻮْ ُ أَﻣَﺮَﻧَﺎ َر ُ ﺣ ٌﺪ ِﻣﻦْ ِإﺧْﻮَا ِﻧ ُﻜﻢْ ت َأ َ ل :إِذَا ﻣَﺎ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻓﻘَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ َ ﺻﻠﱠﻰ ا ُ ﷲ َ لا ِ ﺳﻮْ ُ َر ُ س َﻗﺒْ ِﺮ ِﻩ ُﺛﻢﱠ ﻟْ َﻴ ُﻘﻞْ :ﻳَﺎ ﻋﻠَﻰ َرأْ ِ ﺣ ُﺪ ُآﻢْ َ ﻋﻠَﻰ َﻗﺒْ ِﺮ ِﻩ َﻓﻠْ َﻴ ُﻘﻢْ َأ َ ب َ ﺴﻮﱠ ْﻳ ُﺘ ُﻢ اﻟ ﱡﺘﺮَا َ َﻓ َ ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ ن ﺑْ ُ ل :ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ ﺐ ُﺛﻢﱠ َﻳ ُﻘﻮْ ُ ﺠﻴْ ُ ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳﺴْ َﻤ ُﻌ ُﻪ وَﻟَﺎ ُﻳ ِ ن ﺑْ ُ ُﻓﻠَﺎ ُ ﻚ ﺣ ُﻤ َ ﺷ ْﺪﻧَﺎ َر ِ ل َ :أ ْر ِ ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳ ُﻘﻮْ ُ ن ﺑْ ُ ل ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ ﻋﺪًا ُﺛﻢﱠ َﻳ ُﻘﻮْ ُ َﻳﺴْ َﺘﻮِي ﻗَﺎ ِ ﺷﻬَﺎ َد َة ﻦ اﻟ ﱡﺪﻧْﻴَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ ِﻣ َ ﺖ َ ﺧ َﺮﺟْ َ ن َﻓﻠْ َﻴ ُﻘﻞْ ُ :اذْ ُآﺮْ ﻣَﺎ َ ﷲ َوَﻟ ِﻜﻦْ ﻟَﺎ َﺗﺸْ ُﻌ ُﺮوْ َ ا ُ ﷲ رَﺑًّﺎ ﺖ ﺑِﺎ ِ ﺿﻴْ ُ ﻚ َر ِ ﺳﻮُْﻟ ُﻪ َوَأ ﱠﻧ َ ﻋﺒْ ُﺪ ُﻩ َو َر ُ ﺤ ﱠﻤﺪًا َ ن ُﻣ َ ﷲ َوَأ ﱠ ﻟَﺎ ِإَﻟ َﻪ إِﻟﱠﺎ ا ُ ﺧ ُﺬ ن ُﻣﻨْ َﻜﺮًا َو َﻧ ِﻜﻴْﺮًا ﻳَﺄْ ُ ن ِإﻣَﺎﻣًﺎ َﻓِﺈ ﱠ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ ﱠﻧﺒِﻴًّﺎ َوﺑِﺎﻟْ ُﻘﺮْﺁ ِ َوﺑِﺎﻟِْﺈﺳْﻠَﺎ ِم ِدﻳْﻨًﺎ َو ِﺑ ُﻤ َ ﻦ ﻋﻨْ َﺪ َﻣﻦْ َﻗﺪْ ُﻟ ِّﻘ ُ ﻄِﻠﻖْ ِﺑﻨَﺎ ﻣَﺎ ُﻧﻘْ ِﻌ ُﺪ ِ ل ِ :اﻧْ َ ﺣ ُﺒ ُﻪ َو َﻳ ُﻘﻮْ ُ وَاﺣِﺪ ِﻣﻨْ ُﻬﻤَﺎ ِﺑ َﻴ ٍﺪ ﺻَﺎ ِ ن َﻟﻢْ ﷲ َﻓِﺈ ﱠ لا ِ ﺳﻮْ َ ﺟﻞٌ :ﻳَﺎ َر ُ ل رَ ُ ن اﷲ ﺣﺠﻴﺠﻪ ُدوْﻧَ ُﻬﻤَﺎ َﻓﻘَﺎ َ ﺣﺠﱠ ُﺘ ُﻪ َﻓ َﻴ ُﻜﻮْ ُ ُ ﺣﻮﱠا َء ﻦ َ ن ﺑْ ُ ﺣﻮﱠا َء ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ ﺴ ُﺒ ُﻪ ِإﻟَﻰ َ ل َ :ﻓ ُﻴﻨْ ِ َﻳﻌْ ِﺮفْ ُأﻣﱡ ُﻪ ﻗَﺎ َ 14 “Telah bercerita kepada kami Abû ‘Uqail Anas ibn Sallim al-Khaulânî, bercerita kepada kami Muhammad ibn Ibrâhîm ibn al‘Ulâ’i al-Hamsî, bercerita kepada kami ‘Iyâsy, bercerita kepada kami ‘‘Abdullâh ibn Muhammad al-Qursî dari Yahyâ bin Abî Katsîr dari Sa’îd bin ‘Abdillâh al-Awdî, berkata: “Aku menyaksikan Abû Umâmah r.a, ketika itu beliau dalam keadaan 14 Sulaimân bin Ahmad bin Ayyûb bin Abû al-Qasim Al-Tabrânî, Al-Mu’jam al-Kabîr, (Al-Maktah al-‘Ulumi al-Hukmi, 1983), Juz.8, h.249 11 nazza’ (menjelang kematiannya). Beliau berkata:”Apabila aku wafat maka hendaklah urus aku sebagaimana yang diperintahkan Nabi Saw., dalam mengurus orang kita yang meninggal. Beliau (Nabi Saw) berkata: “Apabila meninggal salah seorang diantaramu (maksudnya orang Islam) dan telah didatarkan tanah diatas perkuburannya, maka hendaklah salah seorang diantaramu berhenti sebentar dihadapan kepala si mayit itu, hendaklah ia berkata: “Hai fulan anak wanita fulan, maka si mayit mendengar tetapi ia tidak bisa menjawab. Kemudian dikatakan lagi: “Hai fulan anak wanita fulan! Maka ia menjawab: “Berilah petunjuk kepada kami semoga Tuhan memberi rahmat kepadamu. Tetapi kamu tidak mendengar ucapannya itu. Kemudian katakan lagi: “Ingatlah hal ketika engkau keluar dari dunia, yaitu pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah, Muhammad itu hamba-Nya dan Rasul-Nya, dan bahwasannya engkau telah ridha bahwa Allah Tuhanmu, Islam agamamu, Muhammad Nabimu, Al-Qur’an Imammu. Ketika itu malaikat Munkar dan Nakir saling memegang tangan kawannya dan berkata : “Mari kita kembali saja, apa gunanya kita duduk dihadapan orang yang telah di-talqîn-kan jawabannya. Berkata Abû Umâmah r.a,: Seorang sahabat bertanya kepada Nabi Saw.,: “Wahai Rasulullah, kalau (orang yang men-talqîn-kan itu) tidak tahu nama ibunya, bagaimana?. Jawab Nabi Saw,: “Dibangsakan saja ia kepada ibunya Siti Hawa” (H.R.Tabrânî, Mu’jam al-Kabîr) 15 Hadis ke-3 ﺤﻴْ ِﺮ َ ﻦ ُﺑ ِ ْﷲ ﺑ ِ ﻋﺒْ ِﺪ ا َ ْﻋﻦ َ ٌﺣ َﺪ َﺛﻨَﺎ هِﺸَﺎم َ ئ ﻦ ُﻣﻮْﺳَﻰ اﻟﺮﱠا ِز ﱡ ُ ْﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ِإﺑْﺮَا ِهﻴْ ُﻢ ﺑ َ ن َ آَﺎ: ل َ ن ﻗَﺎ َ ﻋﻔﱠﺎ َ ﻦ ِ ْن ﺑ َ ﻋﺜْﻤَﺎ ُ ْﻋﻦ َ ن َ ﻋﺜْﻤَﺎ ُ ﺊ َﻣﻮْﻟَﻰ ٍ ﻋﻦْ هَﺎ ِﻧ َ ن َ ﻦ َرﻳْﺴَﺎ ِ ْﺑ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َ ﻒ َ ﺖ َو َﻗ ِ ﻦ اﻟْ َﻤ ﱢﻴ ِ ْغ ِﻣﻦْ َدﻓ َ ن إذَا َﻓ َﺮ َ ﺳﱠﻠ َﻢ آَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ﻲ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ 16 ل ُ ن ُﻳﺴَْﺄ َ ل "اﺳْ َﺘﻐْ ِﻔﺮُوا ِﻟَﺄﺧِﻴ ُﻜﻢْ واﺳﺄﻟﻮا ﻟﻪ اﻟﺘﺜﺒﺖ َﻓ ِﺈ ﱠﻧ ُﻪ اﻟْﺂ َ َﻓﻘَﺎ “Telah bercerita kepada kami Ibrâhîm ibn Mûsâ al-Râzî, telah bercerita kepada kami Hisyâm, dari ‘Abdillâh ibn Buhair ibn Raisân dari Hânî Maula ‘Utsmân dari ‘Utsmân ibn ‘Affân, Ia berkata: Adalah Nabi Saw., apabila selesai menguburkan mayit 15 Sirajuddin,Abbas 40 Masalah Agama (Jakarta, Pustaka Tarbiyah, Cet.25, 2006),h.91 Abî Dâwud Sulaimân bin al-Asy’ats, al-Sijistanî, Sunan Abî Dâwud, (Beirut, Dar alFikr, 2003.M/1424.H) Juz.3, h.166. 16 12 berhenti sebentar dan berkata: Mintakanlah ampun saudaramu ini kepada Allah, dan mohonkanlah supaya ia tetap tabah, karena ia sekarang akan ditanya. Pada hadis yang pertama diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Sahîh-nya. Sebagaimana kita ketahui bahwa hampir semua ahli hadis dari kalangan ulama Sunni sepakat bahwa hadis-hadis yang termuat dalam Kitab Sahîh Muslim itu sudah diakui ke-sahîh-an sanad-nya. Oleh karena itu penulis tidak akan meneliti hadis tersebut. Dalam penilitian sanad ini penulis Hanya terfokus pada dua hadis saja, yaitu hadis kedua dan hadis ketiga, yang masing-masing berada dalam kitab alMu’jam al-Kabîr dan Sunan Abî Dâwud yang keduanya merupakan kumpulan dari kitab-kitab hadis dan Kutub al-Tis’ah 2. Perumusan Masalah Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka penulis merumuskan permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut: 1. Bagaimana kualitas sanad dan matan hadis tentang talqîn mayit setelah penguburan? 2. Kalau ternyata ada hadis daif lalu apakah ada hadis yang lain yang dapat mendukung kelemahannya (mutabî’ dan syahîd) 17 dalam kitab lain. 17 Mutabi’ ialah orang yang mengikuti periwayatan seorang guru atau gurunya (yang terdekat), atau gurunya guru (yang terdekat itu), sedangkan syahîd ialah meriwayatkan sebuah hadis lain dengan sesuai ma’nanya. Lihat Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisâr Mustalah al-Hadis, h. 8687 13 3. Bagaimana pemahaman hadis tentang talqîn mayit setelah penguburan? Dan bisakah hadis tersebut dijadikan Hujjah dalam beramal? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui kualitas hadis yang menjadi pembahasan 2. Bisakah hadis tersebut dijadikan hujjah dalam beramal 3. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I), program Strata satu (S1) dari jurusan Tafsir Hadis Fakultas Usuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. D. Kegunaan atau Manfaat Penelitian Penulis berharap skripsi ini sangat berguna serta bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya perihal tentang talqîn mayit, karena dalam agama Islam kita sangat dianjurkan ketika dalam setiap menjalankan ibadah harus memiliki landasan bahwa ibadah yang sedang kita jalankan itu memang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah (hadis) Rasulullah Saw. Mudah-mudahan dengan adanya skripsi ini dapat memberikan sumbangsih keilmuan kepada masyarakat bahwa talqîn mayit setelah penguburan yang selama ini mereka jalankan itu bukan hanya sekedar adat istiadat belaka tetapi memang benar-benar ada sumber rujukannya berupa hadis Nabi Saw. Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna khususnya buat pribadi penulis sendiri yang sekarang sedang mengarungi bahtera keilmuan, juga bagi para pelajar (Mahasiswa) yang sedang menekuni atau mendalami ilmu hadis mudah-mudahan 14 dalam penulisan skripsi ini bisa menambah wawasan serta pengetahuan bagi para pembacanya. E. Tinjauan kepustakaan Untuk mengindari duplikasi penelitian, sebelumnya penulis melakukan survey atau pengecekan terhadap judul-judul skripsi yang telah ada di Perpustakaan Fakultas Usuluddin dan Filsafat serta di Perpustakaan utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, setelah penulis melakukan pengecekan terhadap judul-judul skripsi yang telah ada, ternyata penulis Hanya menemukan satu judul skripsi melalui katalog yang ada di PU (Perpustakaan Utama) yang kayaknya pembahasannya hampir mirip dengan judul yang penulis angkat, yaitu Arat al-Fuqâhâ fî talqîn al-Mayyît wa ziarah al-Qubur. Karya Zainuri, Tahun 2004. Tetapi sayangnya setelah melakukan pencarian lebih lanjut penulis tidak menemukan skripsi tersebut untuk dijadikan sebagai bahan perbandingan. Akantetapi secara sepintas kalau kita melihat kepada judul skripsi diatas seolah-olah penelitiannya lebih cenderung kepada hukum talqin itu sendiri, berbeda halnya dengan judul yang penulis buat, penelitiannya Hanya terfokus kepada analisis sanad dan matan hadis talqîn setelah penguburan. Adapun dari buku-buku edaran pun sebenarnya penulis masih sedikit kesulitan dalam mencari buku-buku khusus yang Hanya memuat satu tema sesuai dengan judul diatas. Akan tetapi ada beberapa buku yang sudah penulis temukan yang diantara salah satu bagian dari babnya membahas tentang talqîn, diantaranya: “ TRADISI ORANG-ORANG NU” karya Munawir Abdul Fattah. 15 Di dalam buku ini beliau menjelaskan bahwa men-talqîn-kan mayit itu hukumnya sunnah, karena hal tersebut pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw., ketika anak kesayangannya yang bernama Ibrâhîm meninggal dunia kemudian beliau mentalqîn-kannya dengan disaksikan oleh para sahabat beliau diantaranya ‘Umâr bin Khattab r.a. Pendapat beliau ini merujuk kepada pendapat Imam Al-Suyûtî dalam salah satu kitabnya Al-Hawî li al-Fatâwâ li al-Suyûtî, Juz.2, h.176-177. F. Metodologi Penelitian Pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode studi kepustakaan (library research). Dengan merujuk kepada sumber-sumber primer seperti kitab-kitab hadis dan sekunder lainya yang mengandung dan berkaitan dengan masalah yang dibahas Adapun metode dalam kegiatan penilitian hadis ini yaitu : 1. Melakukan Takhrîj hadis dari sanad dan matan hadis yang telah disebutkan pada judul, langkah pertama penilitian hadis ini merujuk melalui lafadz hadis dengan menggunakan kitab al-Mu’jam alMufahrâs li alfâz al-Hadis al-Nabawî dan yang kedua melalui awal matan dengan menggunakan Kitab Mausû’at al-Atrâf al-Hadis alNabawî al-Syarîf. 2. Mencari data yang sudah diperoleh dari kitab kamus dengan merujuk pada kitab-kitab asli yang ditunjuk oleh kitab kamus hadis 16 3. Melakukan penelitian sanad (kritik sanad) hadis dari data yang diambil dalam kitab asli untuk kemudian menentukan kedudukan hadis G. 4. Melakukan penilitian matan 5. Memberi kesimpulan dari hasil penilitian di atas Sistematika Penulisan Untuk memudahkan pembahasan dalam skripsi ini, penulis membagi pembahasan menjadi beberapa bab sebagai berikut : Bab I. Pendahuluan yang meliputi : Latar belakang masalah, Pembatasan dan perumusan masalah, Tujuan penelitian, Kegunaan atau manfaat penelitian, Tinjauan kepustakaan, Metodologi penelitian, Sistematika penulisan. Bab II. Membahas tinjauan umum mengenai talqîn yang meliputi : Pengertian talqîn, Sejarah perkembangan talqîn, Pendapat para ulama tentang talqîn dan Kewajiban orang yang hidup terhadap orang yang sudah meninggal. Bab III. Analisis hadis-hadis tentang talqîn yang meliputi : Analisis hadis, Teks hadis dan terjemahnya, i’tibâr sanad, Penelitian sanad, kritik sanad dan Penelitian matan. Bab IV. Penutup, Kesimpulan dan Saran 17 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI TALQÎN A. Pengertian Talqîn a. Menurut bahasa Secara bahasa talqîn berasal dari bahasa Arab, yaitu “tafhîm” artinya memahamkan atau memberi faham 18 , arti yang lain adalah pengajaran atau peringatan 19 , makna yang lebih luas adalah memberi peringatan dengan mulut secara berhadap-hadapan. 20 Sedangkan dalam konteks religious talqîn berarti pengajaran atau peringatan spiritual. Dalam komunitas sufi, kegiatan pengajaran 18 Firuzabadi, Qâmus al-Muhît (Kairo: Husainiyah, 1344.H) Juz IV, h.268 Mahmud Yunus., Kamus Arab-Indonesia (Jakarta, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsiran Al-Qur’an),h. 400 20 Darul Masriq, Qâmus Munjid (Beirut, Libanon: Matba’ah Katolik, Cet.XVII) h.780 19 18 terkadang disebut talqîn sebagai padanan dari ta’lim pada dunia pengajaran yang lebih umum. 21 b. Menurut Istilah Secara Istilah talqîn memiliki dua makna (arti), pertama; adalah mengajarkan kepada orang yang akan meninggal dengan kalimat tauhid, yaitu “Lâ ilâha Illallâh”, Yang kedua; adalah mengingatkan kepada orang yang sudah meninggal dan baru saja dimakamkan akan beberapa hal yang penting baginya untuk mengadapi Malaikat Munkar dan Nakir yang akan datang menanyainya 22 . Kegiatan ini didasarkan antara lain atas hadis riwayat Muslim, Nasa’i dan Tirmidzi yang berbunyi: ﻟﻘﻨﻮا ﻣﻮﺗﺎآﻢ ﻻ:ﻋﻦ أﺑﻲ ﺳﻌﻴﺪ ﻗﺎل ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ إﻟﻪ إﻻ اﷲ “Ajarilah orang-oranng mati di antara kamu dengan kalimat Lâ ilâha Illallâh (tiada tuhan selain Allah)”. Terdapat dua pemahaman utama terhadap kata mauta dalam hadis tersebut di atas. 23 Ada yang menganggapnya berarti orang yang dekat atau menjelang kematian. Ada pula yang mengambil makna literalnya, yakni orang mati, dan berpandangan bahwa orang yang sudah wafat pun masih mungkin diberi pengajaran, yaitu talqîn. Inilah yang menjadi landasan praktek membacakan atau membisikan kalimat syahadat ke telinga orang yang sedang sakit keras dan menjelang kematian. Tujuannya tentu saja ingin mengingatkan kepada orang yang 21 Syahrin Harahap, Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam (Jak-Tim, Prenada Media, cet.1, 2003), h.425 22 Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama (Jakarta, Pustaka Tarbiyah, Cet.25, 2006),h.71 23 Syahrin Harahap, Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam, h.425 19 menjelang kematian tersebut hakikat paling mendasar dari keimanan , yaitu pengakuan akan keesaan Allah SWT. Bagi mereka yang meyakini bahwa talqîn masih mungkin dilakukan bahkan setelah kematian, ada yang mempraktekkan melakukan hal tersebut setelah jenazah dikuburkan 24 Dan inilah yang akan penulis bahas saat ini. B. Sejarah Perkembangan Talqîn 1. Pada Masa Rasulullah dan Para Sahabat Salah satu langkah yang ditempuh oleh para Muhadisin untuk melakukan penelitian matan hadis adalah dengan cara mengetahui sejarah yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis. 25 Oleh karena itu pada bab ini penulis akan menyoroti permasalahan talqîn dari sudut pandang sejarah. Kendatipun sebenarnya disini penulis belum mendapatkan data yang akurat tentang sejarah perkembangan talqîn mayit pada masa Rasulullah dan para sahabat, akan tetapi penulis mencoba mengutip salah satu perkataan salah seorang ulama yaitu Iman Al-Suyûtî dalam salah satu bukunya Al-Hawî li al-Fatâwâ al-Suyûtî 26 , menurutnya: “Teks lengkap mengenai talqîn ini seperti dalam salah satu riwayat, bahwa Rasulullah pada saat menguburkan anaknya, Ibrâhîm, beliau mengatakan: “Katakanlah: Allah Tuhanku….. sampai kata-kata: Hal itu menunjukan atas benarnya apa yang aku ucapkan, apa yang diriwayatkan dari Nabi Saw., sesungguhnya saat beliau menguburkan anaknya, Ibrâhîm, beliau berdiri diatas 24 Syahrin Harahap, Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam, h.425 Bustamin, M.Isa H.A Salâm, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h.85 26 Al-Suyûtî, Al-Hawî li al-Fatâwa al-Suyûtî, Juz: 2, h.176-177 25 20 kubur dan bersabda: “Hai anakku, hati ini sedih, mata ini mencucurkan air mata, dan aku tidak akan berkata yang menyebabkan Allah marah kepadaku. Wahai anakku, katakanlah Allah itu Tuhanku, Islam agamaku, dan Rasulullah itu bapakku!”. Para sahabat ikut menangis, bahkan ‘Umâr bin Khattab menangis sampai mengeluarkan suara yang keras. 27 Ibn Taimiyyah pernah ditanya tentang permasalahan talqîn dalam salah satu bukunya Al-Fatâwâ al-Kubrâ, maka beliau berkomentar bahwa talqîn ini benar-benar pernah dilakukan oleh sebagian kelompok para sahabat, dan mereka pernah memerintahkan agar berbuat demikian, seperti Abû Umâmah al-Bâhilî r.a dan sahabat-sahabat yang lainnya. 28 Seorang pakar tafsir dan hukum Islam, Imam al-Qurtubî, beliau berkata juga dalam bukunya al-Tadzkirah. Menurutnya, ada riwayat yang bersumber dari sahabat Nabi Saw., yaitu Abû Umâmah al-Bahîlî, yang berkata bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda: Apabila ada salah seorang diantara kamu meninggal dunia dan dikuburkan lalu telah tertutupi oleh tanah, maka hendaklah salah seorang berdiri di arah kepala orang yang meninggal itu dan berkata: “Hai si’ fulan putra si’ fulan,” Ketika itu ia mendengar tetapi tidak dapat menjawab, Kemudian sekali lagi ia memanggilnya, Ketika itu ia dalam keadaan duduk, Kemudian ia memanggilnya kembali untuk yang ketiga kalinya, maka ketika itu ia akan berkata: Berilah aku tuntunan semoga Allah merahmati kamu,” Dia berkata demikian walau kamu tidak mendengarnya. Maka hendaklah kamu berkata: 27 Munawir Abdul Fatah, Tradisi Orang-orang NU, (Yogyakarta, Pustaka Pesantren, cet. VI, 2008), h.257 28 Taqiy al-Dîn Abû al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abd al-Him bin Taimiyyah, Al-Fatâwa alKubrâ (Dâr al-Kitâb al-‘Ilmiyyah, 1987) Juz.3, h.25 21 “Ingatlah saat engkau keluar meninggalkan dunia, tentang kesaksian bahwa lâ Ilâha illallâh, Muhammad Rasûlullâh (Tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah Pesuruh Allah) dan bahwa engkau telah rela (menerima dengan tulus) Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai Agama, Muhammad sebagai Nabi, al-Qur’an sebagai Imam (pedoman),” karena jika demikian, ketika itu malaikat Munkar dan Nakir, masing-masing mundur dan berkata: “Ayo kita meninggalkannya, untuk apa kita duduk disini, sedang ia telah dibisikan jawabannya.” 29 Betapapun, persoalan ini menjadi salah satu yang ramai diperselisihkan oleh para ulama dikarenakan lemah sanadnya. Kendati demikian, diperkuat oleh riwayat lain yang terdapat dalam Kitab Sunan Abû Dâwud bahwa: Sahabat Nabi Saw., Utsmân bin Affân ra., meriwayatkan bahwa apabila telah selesai penguburan seseorang, Nabi Muhammad Saw. berdiri sejenak dan bersabda:” Mohonlah pengampunan untuk saudara kalian, mohonlah untuknya kiranya Allah memantapkan jiwanya, karena saat-saat ini ia ditanya.” 30 Dari beberapa riwayat di atas nampaknya sudah dapat diambil kesimpulan bahwa permasalahan talqîn mayit tersebut sebenarnya telah ada sejak masa Rasulullah dan para sahabat beliau, akan tetapi karena sudah terlalu jauh waktu yang terlewat antara masa Rasulullah dengan masa sekarang seolah-olah permasalahan talqîn itu adalah sesuatu yang baru muncul, bahkan termasuk kegiatannya pun seperti Hanya berlaku dinegara kita saja, tidak ada dinegara lain, ternyata kenyataannya tidak demikian. 29 M.Qurais Sihab, , Kehidupan Setelah Kematian (Ciputat, Tangerang, Lentera Hati, 2008), h.86 30 M.Qurais Sihab, , Kehidupan Setelah Kematian, h.90 22 2. Perkembangan Talqîn Pada Masa Kini Berbicara tentang sejarah perkembangan talqîn di Indonesia, pada dasarnya penulis belum mendapatkan informasi yang valid dari beberapa sumber buku yang penulis dapatkan, khususnya mengenai kapan dan pada tahun berapa awal mulanya talqîn di Indonesia itu mulai berkembang, akan tetapi disini penulis akan mencoba mengambil beberapa data dan informasi yang ada yang sudah penulis temukan dari berbagai macam sumber. Bila kita mempelajari sejarah, maka kita dapatkan bahwa dalam kurun waktu yang panjang, ajaran Islam telah dipentaskan diatas panggung dunia dengan berbagai macam keragaman dan konpleksitasnya. Tercatat dalam sejarah semenjak masa Nabi Muhammad Saw., sampai dengan sekarang bahwa pelaksanaan dari ajaran Islam tidak mengambil dari satu bentuk tetapi secara dinamis berkembang dan berimprovisasi. Islam Hanya memberikan prinsipprinsip saja sedangkan tatanan operasional diserahkan sepenuhnya pada umat Islam dengan tetap berpegang pada semangat al-Qur’an dan hadîs. Islam telah memberikan hukum yang konprehensif untuk membimbing umat manusia. Hukum ini secara aktual dan dominan telah mengontrol dan membimbing kehidupan berbudaya diatas dunia lebih dari seribu lima ratus tahun lamanya dan sampai saat ini masih memberikan bimbingan kepada lebih dari satu milyar penduduk dunia. 31 31 Mustafa, “Tradisional atau Modern adalah rahmat” (Sebuah Pengatar)dalam Syarif Rahmat, Menimbang Amalan Tradisional, (Jakarta: CBA Cahaya Bintang Suara,, 2006) h.vii 23 Dalam kehidupan sehari-hari kaum muslimin khususnya di Indonesia, banyak kita temukan tradisi keberagamaan yang sudah begitu memasyarakat, sehingga kita terkadang sulit membedakan antara tradisi yang diberi nilai-nilai syari’at dengan syari’at yang sudah menjadi tradisi kehidupan masyarakat 32 , salah satu contoh misalnya talqîn mayit setelah acara penguburan, yang sampai sekarang masih diamalkan oleh masyarakat kita, bahkan hampir semua pelosok daerah di Indonesia melakukannya ketika ada salah seorang dari keluarga mereka meninggal dunia. Sebagian besar masyarakat Muslim Indonesia sudah mengenal dan mereka mempraktikkan acara talqîn setelah penguburan tersebut. Acara itu diselenggarakan oleh sebagian besar masyarakat Muslim sebagai salah satu bentuk kepedulian dan kasih sayang mereka terhadap saudaranya yang telah mendahuluinya. Tetapi tidak Hanya itu, bagi mereka, acara ini juga merupakan salah satu bentuk ibadah untuk menuntun dan mendo’akan orang yang baru meninggal agar mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan diakhirat kelak. Pada perkembangan berikutnya, acara ini mendapat tanggapan keras dari sebagian Muslim Indonesia yang lain karena dianggap sebagai satu bentuk penyimpangan dari aqidah dan syari’at Islam yang tidak seharusnya diamalkan oleh segenap kaum Muslimin di Indonesia, akan tetapi tanggapan tersebut telah mendapat jawaban dari sebagian ulama dari kaum Nahdiyyîn, bahwa sebetulnya Umat Islam di Indonesia sudah mendapatkan referensi sekaligus justifikasi atas 32 M. Siddiq Fauzie “Kata Sambutan Ketua Majelis Ulama Indonesia Kota Madya Jakarta Selatan” dalam Syarif Rahmat, Menimbang Amalan Tradisional, (Jakarta: CBA Cahaya Bintang Suara,, 2006) h.v 24 model perjumpaan antara tradisi dan ajaran Islam dalam bentuk dalil-dalil yang sudah disepakati oleh para ulama, terutama kalangan Ahli sunnah wa al-Jamâ’ah, sebagai mayoritas muslim di Indonesia dan dunia. 33 Dan akhirnya sampai sekarang pun hampir semua masyarakat kita masih tetap mengamalkan acara talqîn tersebut. C. Pendapat Ulama Tentang Talqîn Ibn Taimiyyah berkata dalam bukunya Al-Fatâwâ al-Kubrâ, 34 bahwa: “Pendapat para ulama tentang talqîn itu dibagi menjadi tiga, yaitu: Pertama sunnah, kedua makruh, ketiga mubah (boleh). Kemudian Beliau menegaskan lagi dalam buku yang sama, bahwa diantara para Ulama yang berpendapat bahwa talqîn itu sunnah, diantara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syâfi’î, dan Imam Abû Hanîfah dan juga para sahabat-sahabat dan pengikut mereka, berdasarkan dalil dari hadis Nabi Saw., ل "اﺳْ َﺘﻐْ ِﻔﺮُوا ِﻟَﺄﺧِﻴ ُﻜﻢْ واﺳﺄﻟﻮا ﻟﻪ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َﻓﻘَﺎ َ ﻒ َ ﺖ َو َﻗ ِ ﻦ اﻟْ َﻤ ﱢﻴ ِ ْغ ِﻣﻦْ َدﻓ َ ن إذَا َﻓ َﺮ َ آَﺎ 35 ل ُ ن ُﻳﺴَْﺄ َ اﻟﺘﺜﺒﺖ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ اﻟْﺂ “Adalah Nabi Saw., apabila selesai menguburkan mayit berhenti sebentar dan berkata (kepada sahabat-sahabat beliau) :”Mintakanlah ampun saudaramu ini kepada Tuhan, dan mohonkanlah supaya ia tetap dan tabah, karena bahwasannya ia sekarang sedang ditanya” 33 Anisah Mahfudz “Perjumpaan Islam dan Tradisi Lokal Sebagai Media Dakwah” dalam Muhyiddin Abdussamad, Hujjah NU. (Surabaya: Khista dan LTN NU Jawa Timur, 2008), h.viii 34 Taqiy al-Dîn Abû al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abd al-Him bin Taimiyyah, Al-Fatâwa alKubrâ, (Dâr al-Kitâb al-‘Ilmiyah, 1987) Juz.3, h.25 35 Abî Dâwud Sulaimân bin al-Asy’ats, al-Sijistanî, Sunan Abû Dâwud, (Beirut, Dar alFikr, 2003.M/1424.H) Juz.3, h.166. 25 . Dan yang menganggap bahwa talqîn itu makruh adalah pendapat Imam Malik, 36 sedangkan yang berpendapat bahwa talqîn itu mubah (boleh) adalah pendapat beliau (Ibn Taimiyah) sendiri, dengan alasan itulah pendapat yang paling adil. 37 Imam al-Nawâwi berkomentar dalam bukunya al-Adzkar 38 , bahwa: “Adapun membaca talqîn pada orang yang meninggal setelah penguburannya, maka dikatakan oleh pengikut Abû Hanîfah kebanyakan dari sahabat-sahabat kami bahwasannya hal tersebut disunnahkan, diantara mereka yang bernas akan disunnahkannya hal tersebut adalah Al-Qâdli Husein dalam komentarnya, kawannya Abû Sa’ad al-Mutawalli dalam kitabnya al-Tatimmah, Syaikh Imam alZahid Abû Fatah Nasr bin Ibrâhîm bin Nasr al-Maqdisi, dan Imam Abû Qâsim arRifa’î dan lain sebagainya. Al-Qâdi Husein menukil dari sahabat-sahabat, adapun lafadznya, Syaikh Nasr berkata, “Bila dia telah selesai memakamkan jenazah, hendaklah ia berdiri disisi kepala mayat tersebut lantas berdoa, “Wahai fulan bin fulan, ingatlah yang perjanjian dengannya Engkau keluar dari dunia: Kesaksian bahwasannya tiada Tuhan selain Allah, yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, bahwasannya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, bahwasannya waktu kiamat akan datang, tidak ada keraguan didalamnya, bahwasannya Allah membangkitkan siapapun yang berada dalam kubur, katakanlah aku rela Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad Saw., sebagai Nabiku, Ka’bah sebagai kiblat, Al-Qur’an sebagai imam, Kaum Muslimin sebagai saudara, 36 Ibn Taimiyyah, Al-Fatâwâ al-Kubrâ, h.24 Ibn Taimiyyah, Al-Fatâwâ al-Kubrâ, h.25 38 Imam Nawâwi, Al-Adzkar, Pntrjmh Gafur Saub, Irfanuddin Rafiuddin (Jakarta, Pustaka As-Sunnah, cet.1, 2007), h. 438 37 26 Tuhanku adalah Allah tiada Tuhan selain Dia, Ia adalah Tuhan pemilik Arasy yang agung, ini adalah lafadz Syaikh Al-Maqdisi dalam kitabnya al-Tahdzîb, lafadz yang lain adalah seperti lafadz tersebut, sebagian daripada mereka memiliki lafadz yang lebih pendek, kemudai diantara mereka ada yang berkata, “Wahai hamba Allah bin umat Allah, “diantara mereka ada yang berkata, “Wahai ‘Abdullâh anak Hawa, diantara mereka ada yang berkata, :Wahai fulan-dengan menyebut namanya,-bin umat Allah, atau wahai fulan bin Hawa, semuanya memiliki makna yang sama. Syeikh Abû ‘Umâr bin Saleh ditanya tentang talqîn ini 39 , ia berkata dalam fatwa-fatwanya, “Membaca talqîn adalah yang kami pilih dan kami amalkan, disebutkan oleh sekelompok sahabat-sahabat kami yang berasal dari Khurasan, ia berkata: “Kami telah meriwayatkan didalamnya suatu hadis dari hadis Abû Umâmah, isnad-nya tak dapat diluruskan, namun dapat ditolong dengan kesaksian-kesaksian lain, penduduk Syam mengamalkannya dimasa lalu, ia berkata: “Adapun talqîn yang diucapkan oleh anak-anak yang masih dalam buaian tak dapat dijadikan pegangan, dan kami melihat hal itu perlu dilakukan. Sebagian Ulama ahli hadis berpendapat, bahwa mengenai talqîn yang berbunyi “Laqqinû…..dst”, maka perkataan “mautakum” tersebut diartikan dengan “orang yang sudah mati”, meskipun ada makna majazi dengan arti “orang yang hampir mati”. Mereka berpendapat pula bahwa hadis yang diriwayatkan Muslim itu sebenarnya telah memperkuat isi hadis mengenai talqîn ini karena 39 Imam Nawâwi, Al-Adzkar, Pntrjmh Gafur Saub, Irfanuddin Rafiuddin, , h.438 27 perkataan seperti (yang disebutkan dalam hadis Damrah), itu tidak ada jalan untuk diijtihadi 40 . Demikian pula halnya dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abû Dâwud, telah pula memperkuat isi hadis mengenai talqîn tersebut. Meskipun dalam hadis ini dimaksudkan adalah “do’a” akan tetapi dengan isyaratnya menunjukan dan menyuruh agar kita mengerjakan sesuatu yang menjadikan ketabahan bagi si mayit karena pada waktu itu kita benar-benar diperlukan. Ibn Qayyim dalam bukunya RUH, berkata: “Bahwa hadis talqîn itu berturut-turut diamalkan tanpa diingkari dan cukuplah untuk dikerjakan. Bagi kita tidak ada larangan untuk mengucapkan sesuatu perkataan yang menjadikan manfaat bagi si mayit. Berkata pula Imam Nawâwi di dalam Syarh Muhadzdzâb dan bagi hadis mengenai talqîn itu banyak hadis-hadis yang menguatkannya. 41 Ibn Syaibah berkata: “Ibu saya pernah berwasiat kepada saya saat dia mengadapi kematian agar saya berdiri disamping pemakamannya setelah selesai ditanamkan dengan mengucapkan: “Hai Ibu, katakanlah olehmu Lâ Ilâha illallâh, setelah itu pulanglah engkau”. Pada waktu malam saya bermimpi berjumpa beliau, dan ibu saya itu berkata kepada saya,: “Ya Syaibah, hampir saja saya celaka seandainya engkau tidak mengingatkan saya dengan kalimat Lâ Ilâha illallâh” 42 Talqîn itu pada hakikatnya bukanlah dimaksudkan memberi pelajaran pada orang-orang yang sudah mati (mayit), melainkan sekedar memberi ketenangan atau ketabahan didalam kubur, seperti tersebut dalam al-Qur’an: 40 M.Syarwani Abdan, Al-Dzakhirah al-Minah. h.86 M.Syarwani Abdan, Al-Dzakhirah al-Minah, h.86 42 Abd Wahab Asy-Sya’rany, Maut dan Dialog Suci, (Jawa Timur, CV.Amin), h.124 41 28 ☺ ⌧ “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin” 43 (Q.S.AdzDzariyat: 55) Seorang ulama hadis kontemporer yang bernama Nasîruddîn al-Albânî berkata: “Sanad hadis ini lemah sekali, saya tidak mengenal mereka kecuali ‘Utbah bin Sakan, dia dikatakan oleh ad-Daruqutnî: Ditinggalkan hadisnya. AlHaitsami mengatakan: Diriwayatkan al-Tabrânî dalam al-Kabîr, dalam sanadnya ada beberapa rawi yang tidak saya kenal.” Kemudian al-Albânî berkomentar lagi: “Hal ini jangan dibantah dengan pendapat yang populer bahwa hadis lemah bisa digunakan dalam fadâil a’mal, karena hal tersebut merupakan kaidah dalam masalah-masalah yang disyariatkan al-Qur’an dan Sunnah al-Sihah. Adapun bila tidak demikian maka tidak boleh diamalkan karena itu merupakan syariat dengan hadis lemah. Hendaknya hal ini diperhatikan oleh orang yang menginginkan keselamatan dalam agamanya karena kebanyakan orang lalai.” 44 Beliau juga mengatakan: “Talqîn setelah mati, di samping bid’ah dan tidak ada hadisnya yang sahih, juga tidak ada faedahnya karena hal itu keluar dari kampung taklîf (beban) kepada kampung pembalasan dan mayit tidak menerima peringatan karena peringatan itu bagi orang yang masih hidup.” 43 DEPAG. RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.756 Nasîruddîn al-Albânî Silsilah Ahâdits ad-Da’ifah, (Riyad, Dar al-Ma’arif, Juz. 2, 1992), h.65 44 29 Menurut hemat penulis pendapat Nasîruddîn al-Albânî tersebut diatas bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama hadis terdahulu, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam an-Nawâwi dalam muqadimah salah satu bukunya AlArba’in al-Nawâwiyyah 45 bahwa para ulama sepakat mengenai diperbolehkannya mengamalkan hadis da’if dalam hal fadail a’mal Oleh sebab itu, dari beberapa pendapat para ulama diatas tentang talqîn mayit setelah dikuburkan, para ulama berselisih pendapat menjadi tiga pendapat: 1. Sunnah. Berdasarkan hadis diatas dan amalan sebagian ulama. Ibn Salah rahimahullah berkata: “Adanya talqîn, itulah yang kami pilih dan kami amalkan, kami meriwayatkan suatu hadis tentangnya dari Abû Umâmah, namun sanadnya tidak kuat, tetapi dikuatkan oleh beberapa penguat dan diamalkan oleh penduduk Syam.” 2. Mubah (boleh). Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah berkata: “Dalam hal ini ada tiga pendapat: Sunnah, Makruh dan Mubah, inilah pendapat yang paling adil.” 3. Haram. Hal itu karena hadisnya tidak sahih dari Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam, maka mengamalkannya termasuk kebid’ahan dalam agama. AsSan’ani rahimahullah berkata: “Kesimpulan komentar para ulama ahli hadis bahwa hadis ini lemah dan mengamalkannya merupakan kebid’ahan, maka janganlah tertipu dengan banyaknya orang yang melakukannya.” 45 Yahyâ bin Syarifuddin al-Nawâwi, Al-Arba’in al-Nawâwiyyah, (Jakarta, Al-‘Idrus),h.4 30 BAB III ANALISIS HADIS-HADIS TENTANG TALQÎN MAYIT SETELAH PENGUBURAN Dalam menganalisis suatu hadis diperlukan kegiatan men-takhrîj 46 . Ada empat 47 metode dalam melakukan kegiatan takhrîj, tetapi di sini penulis Hanya menggunakan tiga metode dari empat metode tersebut. Pertama, penulis menggunakan metode yang terambil dari kata-kata atau lafaz fi’îl, kedua, menggunakan metode awal matan hadis, dan ketiga, melalui tema. A. Hadis Pertama 46 Takhrîj secara bahasa berarti berkumpulnya dua perkara yang berlawanan pada sesuatu yang satu. Kata takhrîj sering dimutlakkan pada beberapa macam pengertian, dan pengertianpengertian yang popular untuk kata takhrîj ialah, al-istinbat (h mengelurkan), al-tadrîb (h melatih atau h pembiasaan), dan al-taûjih (h memperhadapkan). Menurut istilah kata takhrîj mempunyai beberapa arti, yakni : (1) Menunjukkan asal-usul hadis dan mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang di susun oleh para mukharrij-nya langsung (yakni para periwayat yang juga sebagai pengimpun bagi hadis yang mereka riwayatkan. (2) Mengemukakan hadis berdasarkan sumbernya atau berbagai sumbernya, yakni kitab-kitab hadis, yang di dalamnya disertakan metode periwayatannya dan sanad-nya masing-masing, serta diterangkan keadaan para periwayatnya dan kualitas hadis-nya. (3) Ulama hadis mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh para guru hadis, atau berbagai kitab, atau lainnya, yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayatnya sendiri, atau para gurunya, atau temannya, atau orang lain, dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan. Lih : M. Syuhudi Ismâ’îl, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta : Bulan Bintang, 2007), cet ke-2, h. 39. 47 Pertama, melalui nama sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut, kedua, melalui awal matan hadis, ketiga, melalui kata-kata fi’il atau terambil dari fi’il yang jarang digunakan, dan yang keempat melalui tema. Lihat : Bustamin dan M. Isa H.A. Salâm, Metodelogi Kritik Hadis (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), cet ke-1, h. 28. 31 ت ﺷ ِﻬﺪْ ُ لَ : ﷲ اﻟْﺄوْدِي ﻗَﺎ َ ﻋﺒْ ِﺪ ا ِ ﻦ َ ﺳ ِﻌﻴْ ِﺪ ﺑْ ِ ﻋﻦْ َ ﻦ َأ ِﺑﻲْ آَﺜِﻴْﺮ َ ﻋﻦْ َﻳﺤْﻴَﻰ ﺑْ ِ َ ل ِ :إذَا ُﻣﺖﱡ ﻓَﺎﺻْﻨَ ُﻌﻮْا ِﺑﻲْ َآﻤَﺎ أَﻣَﺮَﻧَﺎ ع َﻓﻘَﺎ َ َأ ُﺑﻮْ ُأﻣَﺎ َﻣ َﺔ َو ُه َﻮ ِﻓﻲْ اﻟ ﱠﻨ َﺰ ِ ﷲ لا ِ ﺳﻮْ ُ ن َﻧﺼْ َﻨ َﻊ ِﺑ َﻤﻮْﺗَﺎﻧَﺎ أَﻣَﺮَﻧَﺎ َر ُ ﺳﱠﻠ َﻢ َأ ﱠ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ َ ﺻﻠﱠﻰ ا ِ ﷲ َ لا ِ ﺳﻮْ ُ َر ُ ﺴﻮﱠ ْﻳ ُﺘ ُﻢ ﺣ ٌﺪ ِﻣﻦْ ِإﺧْﻮَا ِﻧ ُﻜﻢْ َﻓ َ ت َأ َ ل ِ :إذَا ﻣَﺎ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻓﻘَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ َ ﺻﻠﱠﻰ ا ُ َ ﻦ ن ﺑْ ُ س َﻗﺒْ ِﺮ ِﻩ ُﺛﻢﱠ ﻟْ َﻴ ُﻘﻞْ :ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ ﻋﻠَﻰ َرأْ ِ ﺣ ُﺪ ُآﻢْ َ ﻋﻠَﻰ َﻗﺒْ ِﺮ ِﻩ َﻓﻠْ َﻴ ُﻘﻢْ َأ َ ب َ اﻟ ﱡﺘﺮَا َ ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳﺴْ َﺘﻮِي ن ﺑْ ُ ل :ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ ﺐ ُﺛﻢﱠ َﻳ ُﻘﻮْ ُ ﺠﻴْ ُ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳﺴْ َﻤ ُﻌ ُﻪ وَﻟَﺎ ُﻳ ِ ﷲ َوَﻟ ِﻜﻦْ ﻚا ُ ﺣ ُﻤ َ ﺷﺪْﻧَﺎ َر ِ ل َ :أرْ ِ ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓ ِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳ ُﻘﻮْ ُ ن ﺑْ ُ ل ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ ﻋﺪًا ُﺛﻢﱠ َﻳ ُﻘﻮْ ُ ﻗَﺎ ِ ﺷﻬَﺎ َد َة ﻟَﺎ ِإَﻟ َﻪ إِﻟﱠﺎ ﻦ اﻟ ﱡﺪﻧْﻴَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ ِﻣ َ ﺖ َ ﺧ َﺮﺟْ َ ن َﻓﻠْ َﻴ ُﻘﻞْ ُ :اذْ ُآﺮْ ﻣَﺎ َ ﻟَﺎ َﺗﺸْ ُﻌ ُﺮوْ َ ﷲ رَﺑًّﺎ َوﺑِﺎﻟِْﺈﺳْﻠَﺎ ِم ِدﻳْﻨًﺎ ﺖ ﺑِﺎ ِ ﺿﻴْ ُ ﻚ َر ِ ﺳﻮُْﻟ ُﻪ َوَأ ﱠﻧ َ ﻋﺒْ ُﺪ ُﻩ َو َر ُ ﺤ ﱠﻤﺪًا َ ن ُﻣ َ ﷲ َوَأ ﱠ ا ُ ﺧ ُﺬ وَاﺣِﺪ ِﻣﻨْ ُﻬﻤَﺎ ِﺑ َﻴ ٍﺪ ن ُﻣﻨْ َﻜﺮًا َو َﻧ ِﻜﻴْﺮًا ﻳَﺄْ ُ ن ِإﻣَﺎﻣًﺎ َﻓِﺈ ﱠ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ ﱠﻧﺒِﻴًّﺎ َوﺑِﺎﻟْ ُﻘﺮْﺁ ِ َو ِﺑ ُﻤ َ ن اﷲ ﺣﺠﱠ ُﺘ ُﻪ َﻓ َﻴ ُﻜﻮْ ُ ﻦ ُ ﻋﻨْ َﺪ َﻣﻦْ َﻗﺪْ ُﻟ ِّﻘ ُ ﻄِﻠﻖْ ِﺑﻨَﺎ ﻣَﺎ ُﻧﻘْ ِﻌ ُﺪ ِ ل ِ :اﻧْ َ ﺣ ُﺒ ُﻪ َو َﻳ ُﻘﻮْ ُ ﺻَﺎ ِ ل: ن َﻟﻢْ َﻳﻌْ ِﺮفْ ُأﻣﱡ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﷲ َﻓِﺈ ﱠ لا ِ ﺳﻮْ َ ﺟﻞٌ :ﻳَﺎ َر ُ ل رَ ُ ﺣﺠﻴﺠﻪ ُدوْﻧَ ُﻬﻤَﺎ َﻓﻘَﺎ َ 48 ﺣﻮﱠا َء ﻦ َ ن ﺑْ ُ ﺣﻮﱠا َء ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ ﺴ ُﺒ ُﻪ ِإﻟَﻰ َ َﻓ ُﻴﻨْ ِ )اﻟﻤﻌﺠﻢ اﻟﻜﺒﻴﺮ :اﻟﻄﺒﺮاﻧﻲ( a. Melalui awal matan Dalam melakukan penelitian melalui awal matan, penulis menggunakan referensi kitab Mausû’ah al-Atrâf al-Hadis al-Nabawî al-Syarîf. Karya Muhammad al-Sa’di Ibn Basyûnî Zaglûl. Dari kitab tersebut penulis dapatkan informasi sebagai berikut: إذا ﻣﺎت أﺣﺪ ﻣﻦ إﺧﻮﻧﻜﻢ ﻓﺴﻮﻳﺘﻢ اﻟﺘﺮاب ﻃﺐ = ،٢٤٩:٨ ﺗﻠﺨﻴﺺ = ،١٣٥ :٢ ﻣﺠﻤﻊ = ،٤٥:٣ آﻨﺰ =٤٢٩٣٤ ٤٢٤٠٦ __________ ﻃﺐ = اﻟﻤﻌﺠﻢ اﻟﻜﺒﻴﺮ )اﻟﻄﺒﺮاﻧﻲ( 48 Sulaimân bin Ahmad bin Ayyûb Abû al-Qâsim al-Tabrânî, Al-Mu’jam al-Kabîr, (Maktabah al-‘Ulûm al-Hukm, 1983.M/1404.H ), Juz.8, h.249. 32 ﺗﻠﺨﻴﺺ = اﻟﺘﻠﺨﻴﺺ اﻟﺤﺒﻴﺮ ﻓﻲ ﺗﺨﺮﻳﺞ أﺣﺎدﻳﺚ اﻟﺮاﻓﻌﻲ اﻟﻜﺒﻴﺮ ﻣﺠﻤﻊ = ﻣﺠﻤﻊ اﻟﺰواﺋﺪ وﻣﻨﺒﻊ اﻟﻔﻮاﺋﺪ آﻨﺰ = آﻨﺰ اﻟﻌﻤﺎل ﻓﻲ ﺳﻨﻦ اﻷﻗﻮال واﻷﻓﻌﺎل Berdasarkan keterangan di atas, maka jelas bahwa matan tersebut terdapat pada : 1. al-Mu’jâm al-Kabîr, Juz 8, halaman 249, 6 sanad 2. al-Talkhîs al-Khabîr fi al-Takhrîj, Juz 2, halaman 315, 1 sanad 3. Majmu’ al-Zawâ’id, Juz 3 ,halaman 163, 1 sanad 4. Kanz al-‘Ummâl, Juz 15 , halaman 737, 1 sanad b. Melalui fi’il pada matan Dalam menelusuri lafadz hadis yang terdapat pada matan, di sini penulis menggunakan al-Mu’jam al-Mufahras li alfâz al-Hadtîs al-Nabawî karangan A.J. Wensinck. Dan penggalan kata yang ditelusuri adalah : ﻗﺎم, ﺻﻨﻌﻮا,ﻣﺎت . Penulis tidak menemukan hadis yang diteliti dalam kitab Mu’jam tersebut. c. Penelusuran Hadis Melalui Tema Untuk men-takhrîj hadis melalui tema, penulis menggunakan rujukan kitab Miftâh Kunûz al-Sunnah karangan Muhammad Fu’âd al-Bâqi. 49 . Dan dari penelitian yang dilakukan penulis tidak menemukan hadis yang di teliti. a. Penelitian Sanad Hadis Pertama 49 Muhammad Fu’âd al-Bâqi, Miftâh Kunûz al-Sunnah (al-Qahirah: Dâr al-Hadis, 1411 H / 1991 M), Cet ke-1, h. 351. 33 Berdasarkan penelitian di atas bahwa jelas matan hadis pertama, terdapat dalam kitab-kitab hadis di antaranya: Al-Mu’jâm al-Kabîr ﻦ ِإﺑْﺮَا ِهﻴْ َﻢ ﺑْﻦ اﻟْ ُﻌﻠَﺎ ِء ُ ْﺤﻤﱠ ُﺪ ﺑ َ ﺨﻮْﻟَﺎ ِﻧﻲْ َﺛﻨَﺎ ُﻣ َ ْﺳِّﻠﻢْ اﻟ َ ﻦ ِ ْﺲ ﺑ ِ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َأ ُﺑﻮْ ﻋَﻘِﻴْﻞ َأ َﻧ َ ﻋﻦْ َﻳﺤْﻴَﻰ َ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ اﻟْ ُﻘﺮْﺷِﻲ َ ﻦ ُﻣ ِ ْﷲ ﺑ ِ ﻋﺒْ ُﺪ ا َ ﻋﻴَﺎش َﺛﻨَﺎ ِ ﻞ ﺑْﻦ َ ْﻋﻴ ِ اﻟْﺤَﻤْﺼِﻲ َﺛﻨَﺎ ِإﺳْﻤَﺎ ْت َأ ُﺑﻮْ ُأﻣَﺎ َﻣ َﺔ َو ُه َﻮ ِﻓﻲ ُ ْﺷ ِﻬﺪ َ :ل َ ﷲ اﻟَْﺄوْدِي ﻗَﺎ ِ ﻋﺒْ ِﺪ ا َ ﻦ ِ ْﺳ ِﻌﻴْ ِﺪ ﺑ َ ْﻋﻦ َ ﺑْﻦ َأ ِﺑﻲْ َآ ِﺜﻴْ ِﺮ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ ِ ﺻﻠﱠﻰ ا َ ﷲ ِ لا ُ ْﺳﻮ ُ ِإذَا ُﻣﺖﱡ ﻓَﺎﺻْﻨَ ُﻌﻮْا ِﺑﻲْ َآﻤَﺎ أَﻣَﺮَﻧَﺎ َر: ل َ ع َﻓﻘَﺎ ِ اﻟ ﱠﻨ َﺰ ِإذَا: ل َ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻓﻘَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﺻﻠﱠﻰ ا َ ﷲ ِ لا ُ ْﺳﻮ ُ ن َﻧﺼْ َﻨ َﻊ ِﺑ َﻤﻮْﺗَﺎﻧَﺎ أَﻣَﺮَﻧَﺎ َر ﺳﱠﻠ َﻢ َأ ﱠ َ س ِ ْﻋﻠَﻰ َرأ َ ْﺣ ُﺪ ُآﻢ َ ﻋﻠَﻰ َﻗﺒْ ِﺮ ِﻩ َﻓﻠْ َﻴ ُﻘﻢْ َأ َ ب َ ﺴﻮﱠ ْﻳ ُﺘ ُﻢ اﻟ ﱡﺘﺮَا َ ﺣ ٌﺪ ِﻣﻦْ ِإﺧْﻮَا ِﻧ ُﻜﻢْ َﻓ َ ت َأ َ ﻣَﺎ ﻦ ُ ْن ﺑ ُ ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ: ل ُ ْﺐ ُﺛﻢﱠ َﻳ ُﻘﻮ ُ ْﺠﻴ ِ ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓ ِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳﺴْ َﻤ ُﻌ ُﻪ وَﻟَﺎ ُﻳ ُ ْن ﺑ ُ ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ: َْﻗﺒْ ِﺮ ِﻩ ُﺛﻢﱠ ﻟْ َﻴ ُﻘﻞ أَرْﺷِﺪْﻧَﺎ: ل ُ ْﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓ ِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳ ُﻘﻮ ُ ْن ﺑ ُ ل ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ ْﻋﺪًا ُﺛﻢﱠ َﻳ ُﻘﻮ ِ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳﺴْ َﺘﻮِي ﻗَﺎ ﻦ اﻟ ﱡﺪﻧْﻴَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ ِﻣ َ ﺖ َ ْﺧ َﺮﺟ َ ُاذْ ُآﺮْ ﻣَﺎ: ْن َﻓﻠْ َﻴ ُﻘﻞ َ ْﷲ َوَﻟ ِﻜﻦْ ﻟَﺎ َﺗﺸْ ُﻌ ُﺮو ُ ﻚا َ ﺣ ُﻤ ِ َر ﷲ رَﺑًّﺎ ِ ﺖ ﺑِﺎ ُ ْﺿﻴ ِ ﻚ َر َ ﺳﻮُْﻟ ُﻪ َوَأﱠﻧ ُ ﻋﺒْ ُﺪ ُﻩ َو َر َ ﺤ ﱠﻤﺪًا َ ن ُﻣ ﷲ َوَأ ﱠ ُ ﺷﻬَﺎ َد َة ﻟَﺎ ِإَﻟ َﻪ إِﻟﱠﺎ ا َ ﺧ ُﺬ وَاﺣِﺪ ُ ْن ُﻣﻨْ َﻜﺮًا َو َﻧ ِﻜﻴْﺮًا ﻳَﺄ ن ِإﻣَﺎﻣًﺎ َﻓِﺈ ﱠ ِ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ ﱠﻧﺒِﻴًّﺎ َوﺑِﺎﻟْ ُﻘﺮْﺁ َ َوﺑِﺎﻟِْﺈﺳْﻠَﺎ ِم ِدﻳْﻨًﺎ َو ِﺑ ُﻤ ن ُ ْﺣﺠﱠ ُﺘ ُﻪ َﻓ َﻴ ُﻜﻮ ُ ﻦ ُ ﻋﻨْ َﺪ َﻣﻦْ َﻗﺪْ ُﻟ ِّﻘ ِ ﻄِﻠﻖْ ِﺑﻨَﺎ ﻣَﺎ ُﻧﻘْ ِﻌ ُﺪ َ ْ ِاﻧ: ل ُ ْﺣ ُﺒ ُﻪ َو َﻳ ُﻘﻮ ِ ِﻣﻨْ ُﻬﻤَﺎ ِﺑ َﻴ ٍﺪ ﺻَﺎ :ل َ ن َﻟﻢْ َﻳﻌْ ِﺮفْ ُأﻣﱡ ُﻪ ﻗَﺎ ﷲ َﻓِﺈ ﱠ ِ لا َ ْﺳﻮ ُ ﻳَﺎ َر: ٌﺟﻞ ُ َل ر َ اﷲ ﺣﺠﻴﺠﻪ ُد ْو َﻧ ُﻬﻤَﺎ َﻓﻘَﺎ َ ﻦ ُ ْن ﺑ ُ ﺣﻮﱠا َء ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ َ ﺴ ُﺒ ُﻪ ِإﻟَﻰ ِ َْﻓ ُﻴﻨ ( اﻟﻄﺒﺮاﻧﻲ: )اﻟﻤﻌﺠﻢ اﻟﻜﺒﻴﺮ50ﺣﻮﱠا َء “Dari Yahyâ bin Abî Katsîr dari Sa’îd bin ‘Abdillâh al-Awdî, berkata: “Aku menyaksikan Abû Umâmah r.a, ketika itu beliau dalam keadaan naza’ ( menjelang kematiannya). Beliau berkata:”Apabila aku wafat maka hendaklah urus aku sebagaimana yang diperintahkan Nabi Saw., dalam mengurus orang kita yang meninggal. Beliau (Nabi Saw) berkata: “Apabila meninggal salah seorang diantaramu (maksudnya orang Islam) dan telah didatarkan tanah diatas perkuburannya, maka hendaklah salah seorang diantaramu berhenti sebentar dihadapan kepala si mayit itu, hendaklah ia berkata: “Hai fulan anak wanita fulan, maka si mayit mendengar tetapi ia tidak bisa menjawab. Kemudian dikatakan lagi: “Hai fulan anak wanita fulan! Maka ia menjawab: “Berilah petunjuk kepada kami semoga Tuhan memberi rahmat kepadamu. Tetapi kamu tidak 50 h.249 Sulaimân bin Ahmad bin Ayyûb bin Abû al-Qasim Al-Tabrânî, Al-Mu’jam al-Kabîr, 34 mendengar ucapannya itu. Kemudian katakan lagi: “Ingatlah hal ketika engkau keluar dari dunia, yaitu pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah, Muhammad itu hamba-Nya dan Rasul-Nya, dan bahwasannya engkau telah rida bahwa Allah Tuhanmu, Islam agamamu, Muhammad Nabimu, Al-Qur’an Imammu. Ketika itu malaikat Munkar dan Nakir saling memegang tangan kawannya dan berkata : “Mari kita kembali saja, apa gunanya kita duduk dihadapan orang yang telah di-talqîn-kan jawabannya. Berkata Abû Umâmah r.a,: Seorang sahabat bertanya kepada )Nabi Saw.,: “Wahai Rasulullah, kalau (orang yang men-talqîn-kan itu tidak tahu nama ibunya, bagaimana?. Jawab Nabi Saw,: “Dibangsakan saja ] ia kepada ibunya Siti Hawa” (H.R.Tabrânî, Mu’jam al-Kabîr) 51 Al-Talkhîs al-Khabîr fi al-Takhrîj ﻋَﻠﻴْ ِﻪ ﻒ َ ﺖ َو َﻗ َ ﻦ اﻟْ َﻤ ﱢﻴ ِ غ ِﻣﻦْ َدﻓْ ِ ن إذَا َﻓ َﺮ َ ﺳﱠﻠ َﻢ آَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ﺚ َأﻧﱠ ُﻪ َ ﺣﺪِﻳ ُ َ ل" أَﺑُﻮ دَاوُد ن ُﻳﺴَْﺄ ُ ل "اﺳْ َﺘﻐْ ِﻔﺮُوا ِﻟَﺄﺧِﻴ ُﻜﻢْ واﺳﺄﻟﻮا ﻟﻪ اﻟﺘﺜﺒﺖ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ اﻟْﺂ َ َوﻗَﺎ َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ ﻲ َ ﻋﻦْ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ل ا ْﻟ َﺒﺰﱠا ُر ﻟَﺎ ُﻳﺮْوَى َ ن ﻗَﺎ َ ﻋﺜْﻤَﺎ َ ﻋﻦْ ُ وَاﻟْﺤَﺎآِ ُﻢ وَا ْﻟ َﺒﺰﱠا ُر َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ َ ﺳﱠﻠ َﻢ إﻟﱠﺎ ِﻣﻦْ َهﺬَا اﻟْ َﻮﺟْ ِﻪ.3 ﻦ َأ َﻣ ِﺔ اﻟﱠﻠ ِﻪ ﻋﺒْ َﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ﻳَﺎ اﺑْ َ ل ﻳَﺎ َ ﻦ َﻓ ُﻴﻘَﺎ ُ ﺖ َﺑﻌْ َﺪ اﻟ ﱠﺪﻓْ ِ ﻦ اﻟْ َﻤﻴﱢ ُ ﺐ َأنْ ُﻳَﻠ ﱠﻘ َ ﺤ ﱡ َﻗﻮُْﻟ ُﻪ َو ُﻳﺴْ َﺘ َ ل ﺤ ﱠﻤﺪًا َرﺳُﻮ ُ ن ُﻣ َ ﺷﻬَﺎ َد َة َأنْ ﻟَﺎ إَﻟ َﻪ إﻟﱠﺎ اﻟﱠﻠ ُﻪ َوَأ ﱠ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ ِﻣﻦْ اﻟ ﱡﺪﻧْﻴَﺎ َ ﺧ َﺮﺟْﺖ َ ُاذْ ُآﺮْ ﻣَﺎ َ ﻋ َﺔ ﺁ ِﺗ َﻴ ٌﺔ ﻟَﺎ ن اﻟﺴﱠﺎ َ ﻖ َوَأ ﱠ ﺣﱞ ﺚ َ ن اﻟْ َﺒﻌْ َ ﻖ َوَأ ﱠ ﺣﱞ ن اﻟﻨﱠﺎ َر َ ﻖ َوَأ ﱠ ﺣﱞ ﺠ ﱠﻨ َﺔ َ ن اﻟْ َ اﻟﱠﻠ ِﻪ َوَأ ﱠ ﺐ ﻓﻴﻬﺎ وأن اﷲ ﻳﺒﻌﺚ َﻣﻦْ ﻓِﻲ اﻟْ ُﻘﺒُﻮ ِر وَأَﻧﱠﻚ َرﺿِﻴﺖ ﺑِﺎَﻟﻠﱠﻪِ رَﺑًّﺎ َوﺑِﺎﻟِْﺈﺳْﻠَﺎ ِم َرﻳْ َ ﺧﻮَاﻧًﺎ َو َر َد ِﺑ ِﻪ ﻦإْ ن إﻣَﺎﻣًﺎ َوﺑِﺎﻟْ َﻜﻌْ َﺒ ِﺔ ِﻗﺒَْﻠ ًﺔ َوﺑِﺎﻟْ ُﻤﺆْ ِﻣﻨِﻴ َ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َﻧﺒِﻴًّﺎ َوﺑِﺎﻟْ ُﻘﺮْﺁ ِ دِﻳﻨًﺎ َو ِﺑ ُﻤ َ ﻋﻦْ َأﺑِﻲ ُأﻣَﺎ َﻣ َﺔ "إذَا أَﻧَﺎ ﻲ َ ﻄ َﺒﺮَا ِﻧ ﱡ ﺳﱠﻠ َﻢ اﻟ ﱠ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ﻲ َ ﻋﻦْ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ ﺨ َﺒ ُﺮ َ اﻟْ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َأنْ َﻧﺼْ َﻨ َﻊ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ﺖ ﻓَﺎﺻْ َﻨﻌُﻮا ﺑِﻲ آَﻤَﺎ أَﻣَﺮَﻧَﺎ َرﺳُﻮ ُ ِﻣ ﱡ ﺣ ٌﺪ ِﻣﻦْ ت َأ َ ل "إذَا ﻣَﺎ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻓﻘَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ ِﺑ َﻤﻮْﺗَﺎﻧَﺎ أَﻣَﺮَﻧَﺎ َرﺳُﻮ ُ س َﻗﺒْ ِﺮ ِﻩ ُﺛﻢﱠ ﻟْ َﻴ ُﻘﻞْ ﻳَﺎ ﻋﻠَﻰ َرأْ ِ ﺣ ُﺪ ُآﻢْ َ ﻋﻠَﻰ َﻗﺒْ ِﺮ ِﻩ َﻓﻠْ َﻴ ُﻘﻢْ َأ َ ب َ ﺴ ﱠﻮﻳْ ُﺘﻢْ اﻟ ﱡﺘﺮَا َ إﺧْﻮَا ِﻧ ُﻜﻢْ َﻓ َ ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳﺴْ َﺘﻮِي ن ﺑْ ُ ل ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ ﺐ ُﺛﻢﱠ َﻳﻘُﻮ ُ ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳﺴْ َﻤ ُﻌ ُﻪ وَﻟَﺎ ُﻳﺠِﻴ ُ ن ﺑْ ُ ُﻓﻠَﺎ ُ ﻚ اﻟﱠﻠ ُﻪ َوَﻟ ِﻜﻦْ ﻟَﺎ ﺣﻤْ َ ﺷ ْﺪﻧَﺎ َﻳﺮْ َ ل َأ ْر ِ ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳﻘُﻮ ُ ن ﺑْ ُ ل ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ ﻋﺪًا ُﺛﻢﱠ َﻳﻘُﻮ ُ ﻗَﺎ ِ ﺷﻬَﺎ َد َة َأنْ ﻟَﺎ إَﻟ َﻪ إﻟﱠﺎ اﻟﱠﻠ ُﻪ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ ِﻣﻦْ اﻟ ﱡﺪﻧْﻴَﺎ َ ﺧ َﺮﺟْﺖ َ ﺗَﺸْ ُﻌﺮُونَ َﻓﻠْ َﻴ ُﻘﻞْ ُاذْ ُآﺮْ ﻣَﺎ َ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ ﻋﺒْ ُﺪ ُﻩ َو َرﺳُﻮُﻟ ُﻪ وَأَﻧﱠﻚ َرﺿِﻴﺖ ﺑِﺎَﻟﻠﱠﻪِ رَﺑًّﺎ َوﺑِﺎﻟِْﺈﺳْﻠَﺎ ِم دِﻳﻨًﺎ َو ِﺑ ُﻤ َ ﺤ ﱠﻤﺪًا َ ن ُﻣ َ َوَأ ﱠ Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama (Jakarta, Pustaka Tarbiyah, Cet.25, 2006),h.91 51 35 Majmu’ al-Zawâ’id ت َأﺑَﺎ ُأﻣَﺎ َﻣ َﺔ اﻟْﺒَﺎ ِهِﻠﻲْ َو ُه َﻮ ِﻓﻲْ ﺷ ِﻬﺪْ ُ لَ : ﷲ اﻟْﺄوْدي ﻗَﺎ َ ﻋﺒْ ِﺪ ا ِ ﻦ َ ﺳ ِﻌﻴْ ِﺪ ﺑْ ِ ﻋﻦْ َ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو ﷲ َ ﺻﻠﱠﻰ ا ِ ﷲ َ لا ِ ﺳﻮْ ُ ل :إِذَا ُﻣﺖﱡ ﻓَﺎﺻْﻨَ ُﻌﻮْا ِﺑﻲْ َآﻤَﺎ أَﻣَﺮَﻧَﺎ َر ُ ع َﻓﻘَﺎ َ اﻟ ﱠﻨ َﺰ ِ ل ِ :إذَا ﺳﱠﻠ َﻢ َﻓﻘَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ َ ﺻﻠﱠﻰ ا ُ ﷲ َ لا ِ ﺳﻮْ ُ ن َﻧﺼْ َﻨ َﻊ ِﺑ َﻤﻮْﺗَﺎﻧَﺎ أَﻣَﺮَﻧَﺎ َر ُ ﺳﱠﻠ َﻢ َأ ﱠ َ س ﻋﻠَﻰ َرأْ ِ ﺣ ُﺪ ُآﻢْ َ ﻋﻠَﻰ َﻗﺒْ ِﺮ ِﻩ َﻓﻠْ َﻴ ُﻘﻢْ َأ َ ب َ ﺴﻮﱠ ْﻳ ُﺘ ُﻢ اﻟ ﱡﺘﺮَا َ ﺣ ٌﺪ ِﻣﻦْ ِإﺧْﻮَا ِﻧ ُﻜﻢْ َﻓ َ ت َأ َ ﻣَﺎ َ ﻦ ن ﺑْ ُ ل :ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ ﺐ ُﺛﻢﱠ َﻳ ُﻘﻮْ ُ ﺠﻴْ ُ ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳﺴْ َﻤ ُﻌ ُﻪ وَﻟَﺎ ُﻳ ِ ن ﺑْ ُ َﻗﺒْ ِﺮ ِﻩ ُﺛﻢﱠ ﻟْ َﻴ ُﻘﻞْ :ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ ﺷﺪْﻧَﺎ ل َ :أرْ ِ ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳ ُﻘﻮْ ُ ن ﺑْ ُ ل ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ ﻋﺪًا ُﺛﻢﱠ َﻳ ُﻘﻮْ ُ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳﺴْ َﺘﻮِي ﻗَﺎ ِ ﻦ اﻟ ﱡﺪﻧْﻴَﺎ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ ِﻣ َ ﺖ َ ﺧ َﺮﺟْ َ ن َﻓﻠْ َﻴ ُﻘﻞْ ُ :اذْ ُآﺮْ ﻣَﺎ َ ﷲ َوَﻟ ِﻜﻦْ ﻟَﺎ َﺗﺸْ ُﻌ ُﺮوْ َ ﻚا ُ ﺣ ُﻤ َ َر ِ ﷲ رَﺑًّﺎ ﺖ ﺑِﺎ ِ ﺿﻴْ ُ ﻚ َر ِ ﺳﻮُْﻟ ُﻪ َوَأﱠﻧ َ ﻋﺒْ ُﺪ ُﻩ َو َر ُ ﺤ ﱠﻤﺪًا َ ن ُﻣ َ ﷲ َوَأ ﱠ ﺷﻬَﺎ َد َة ﻟَﺎ ِإَﻟ َﻪ إِﻟﱠﺎ ا ُ َ ﺧ ُﺬ وَاﺣِﺪ ن ُﻣﻨْ َﻜﺮًا َو َﻧ ِﻜﻴْﺮًا ﻳَﺄْ ُ ن ِإﻣَﺎﻣًﺎ َﻓِﺈ ﱠ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ ﱠﻧﺒِﻴًّﺎ َوﺑِﺎﻟْ ُﻘﺮْﺁ ِ َوﺑِﺎﻟِْﺈﺳْﻠَﺎ ِم ِدﻳْﻨًﺎ َو ِﺑ ُﻤ َ ﺣﺠﱠُﺘ ُﻪ ﻦ ُ ﻋﻨْ َﺪ َﻣﻦْ َﻗﺪْ ُﻟ ِّﻘ ُ ﻄِﻠﻖْ ِﺑﻨَﺎ ﻣَﺎ ُﻧﻘْ ِﻌ ُﺪ ِ لِ : :اﻧْ َ ﺣ ُﺒ ُﻪ َو َﻳ ُﻘﻮْ ُ ِﻣﻨْ ُﻬﻤَﺎ ِﺑ َﻴ ٍﺪ ﺻَﺎ ِ ن َﻟﻢْ َﻳﻌْ ِﺮفْ ُأﻣﱡ ُﻪ ﷲ َﻓِﺈ ﱠ لا ِ ﺳﻮْ َ ﺟﻞٌ :ﻳَﺎ َر ُ ل رَ ُ ن اﷲ ﺣﺠﻴﺠﻪ ُد ْو َﻧ ُﻬﻤَﺎ َﻓﻘَﺎ َ َﻓ َﻴ ُﻜﻮْ ُ ﺣﻮﱠا َء ﻦ َ ن ﺑْ ُ ﺣﻮﱠا َء ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ ﺴ ُﺒ ُﻪ ِإﻟَﻰ َ ل َ :ﻓ ُﻴﻨْ ِ ﻗَﺎ َ Kanz al-‘Ummal ل ِﻟﻲْ :ﻳَﺎ ع َﻓﻘَﺎ َ ت َأﺑَﺎ ُأﻣَﺎ َﻣ َﺔ َو ُه َﻮ َﻓﻲْ اﻟ ﱠﻨﺰَا ِ ﺷ ِﻬﺪْ ُ لَ : ﺳ ِﻌﻴْ ِﺪ اﻟَْﺎﻣْﻮَي ﻗَﺎ َ ﻋﻦْ َ َ ﺳﱠﻠ َﻢ ، ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ َ ﺻﻠﱠﻰ ا ُ ﷲ َ لا ِ ﺳﻮْ ُ ﺳ ِﻌﻴْﺪ ! ِإذَا َأﻧَﺎ ُﻣﺖﱡ ﻓَﺎ ْﻓ َﻌُﻠﻮْا ِﺑﻲْ َآﻤَﺎ أَﻣَﺮَﻧَﺎ َر ُ َ ﺣ ٌﺪ ِﻣﻦْ ِإﺧْﻮَا ِﻧ ُﻜﻢْ ت َأ َ ﺳﱠﻠ َﻢ ِ : :إذَا ﻣَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ َ ﺻﻠﱠﻰ ا ُ ﷲ َ لا ِ ﺳﻮْ ُ ل َﻟﻨَﺎ َر ُ ﻗَﺎ َ ﻦ ن ﺑْ ُ س َﻗﺒْ ِﺮ ِﻩ ُﺛﻢﱠ ﻟْ َﻴ ُﻘﻞْ :ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ ﻋﻠَﻰ َرأْ ِ ﺣ ُﺪ ُآﻢْ َ ﻋﻠَﻰ َﻗﺒْ ِﺮ ِﻩ َﻓﻠْ َﻴ ُﻘﻢْ َأ َ ب َ ﺴﻮﱠ ْﻳ ُﺘ ُﻢ اﻟ ﱡﺘﺮَا َ َﻓ َ ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳﺴْ َﺘﻮِي ﻗَﺎﻋِﺪًا ن ﺑْ ُ ل :ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ ﺐ ُﺛﻢﱠ َﻳ ُﻘﻮْ ُ ﺠﻴْ ُ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳﺴْ َﻤ ُﻌ ُﻪ وَﻟَﺎ ُﻳ ِ ن ﷲ َوَﻟ ِﻜﻦْ ﻟَﺎ َﺗﺸْ ُﻌ ُﺮوْ َ ﻚا ُ ﺣ ُﻤ َ ﺷ ْﺪﻧَﺎ َر ِ ل َ :أ ْر ِ ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳ ُﻘﻮْ ُ ن ﺑْ ُ ل ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ ُﺛﻢﱠ َﻳ ُﻘﻮْ ُ ﺤ ﱠﻤﺪًا ن ُﻣ َ ﷲ َوَأ ﱠ ﺷﻬَﺎ َد َة ﻟَﺎ ِإَﻟ َﻪ إِﻟﱠﺎ ا ُ ﻦ اﻟ ﱡﺪﻧْﻴَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ ِﻣ َ ﺖ َ ﺧ َﺮﺟْ َ َﻓﻠْ َﻴ ُﻘﻞْ ُ :اذْ ُآﺮْ ﻣَﺎ َ 36 b. I’tibar Sanad Kata al-i’tibar ( )اﻹﻋﺘﺒﺎرmerupakan masdar dari kata ( )اﻋﺘﺒﺮyang menurut bahasa adalah: peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat diketahui sesuatunya yang jelas. 52 Sedangkan menurut istilah ilmu hadis, ali’tibar berarti menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian sanad-nya tampak Hanya seorang perawi saja; dan dengan menyertakan sanad-sanad lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadis yang dimaksud. 53 Melalui I’tibar ini pula, akan diketahui apakah hadis yang di teliti ini memiliki syahîd atau mutabi’ dari jalur lain. Dalam hal ini hadis-hadis talqîn mayit setelah penguburan, i’tibar sanad akan jelas terlihat pada skema sanad yang tertera pada lampiran. Namun disini akan diuraikan terlebih dahulu keadaan sanad tersebut secara rinci. Melalui penelitian yang dilakukan dengan menelusuri kitab-kitab induk hadis, nampak bahwa hadis Rasulullah Saw meriwayatkan hadis hadis-hadis talqîn mayit setelah penguburan memiliki satu riwayat yang berakhir pada jalur sahabat Abî Umâmah. 52 53 Totok Sumantoro, Kamus Ilmu Hadis Nabi (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), Cet, I, h. 91. Syuhudi Ismâ’îl, metodologi Penelitian Hadis (Jakarta: Bulan Ibntang, 2007), h. 49. 37 Hadis ini tidak memiliki syahîd dan mutabi’. Namun sebelumnya, penulis akan menjelaskan sanad-sanad yang memerlukan uraian pada jalur periwayatan, sehingga skema akan mudah dipahami. Periwayat hadis dalam kitab al-Mu’jam al-Kabîr. Periwayat I: Abî Umâmah Nama Abî Umâmah setelah penulis melakukan penelitian nama Abî Umâmah yang di maksud ialah Sada ibn ‘Ajlan ibn Wahhâb, ibn ‘Umâr, Abî Umâmah al-Bâhili. Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan Abî Umâmah. Periwayat II: Sa’îd ibn Abdillâh Sedangkan yang di maksud dengan Sa’îd ibn Abdillâh setelah nama Abî Umâmah, nama lengkapnya ialah Sa’îd ibn Abdillâh. Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan Sa’îd ibn Abdillâh. Periwayat III: Yahyâ ibn Abî Katsîr Kemudian yang di maksud dengan Yahyâ ibn Abî Katsîr setelah nama Sa’îd ibn Abdillâh ialah Yahyâ ibn Abî Katsîr. Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan Yahyâ ibn Abî Katsîr. Periwayat IV: ‘Abdullâh ibn Muhammad al-Qudsyî Nama ‘Abdullâh ibn Muhammad al-Qudsyî, setelah penulis melakukan penelitian nama yang di maksud ialah ‘Abdullâh ibn Muhammad al-Qudsyî. Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan ‘Abdullâh ibn Muhammad alQudsyî. 38 Periwayat V: Ismâ’îl ibn ‘Iyâsy Sedangkan yang di maksud dengan Ismâ’îl ibn ‘Iyâsy setelah nama ‘Abdullâh ibn Muhammad al-Qudsyî ialah Ismâ’îl ibn ‘Iyâsy. Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan Ismâ’îl ibn ‘Iyâsy. Periwayat VI: Muhammad Ibrâhîm ibn al-‘Ulâ al-Hamsî. Nama lengkapnya ialah Muhammad Ibrâhîm ibn al-‘Ulâ al-Hamsî. Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan Muhammad Ibrâhîm ibn al-‘Ulâ alHamsî. Periwayat VII: Abû ‘Uqail Anas ibn Salâm Nama lengkapnya ialah Abû ‘Uqail Anas ibn Salâm. Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan Abû ‘Uqail Anas ibn Salâm. Periwayat VIII: al-Tabrânî Nama lengkapnya ialah Sulaimân ibn Ahmad ibn Ayyûb Abû al-Qasim alTabrânî. Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan al-Tabranî. c. Kritik Sanad Dalam kegiatan penelitian kritik sanad ini, penulis memulainya dari periwayat terakhir (mukharij), yaitu al-Tabranî, yakni yang melalui jalur Abî Umâmah. Kemudian diikuti oleh periwayat-periwayat sesudahnya dan seterusnya sampai periwayat pertama (sahabat). 1. al-Tabranî Nama lengkapnya ialah Sulaiman ibn Ahmad ibn Ayyûb Abû al-Qasim alTabrânî, 39 2. Abû ‘Uqail Anas ibn Salâm Setelah melakukan penelitian dari berbagai macam kitab al-Rijâl, penulis tidak menemukan identitas nama tersebut diatas. 3. Muhammad Ibrâhîm ibn al-‘Alâ al-Hamsî Nama: Muhammad bin Ibrâhîm bin al-‘Ala al-Syâmî al-Damasyqî, Abû ‘Abdillâh al-Zâhid al-Sâ’ih Tingkatan ke-9 termasuk Atba’it Tabi’in kecil Yang meriwayatkan hadis darinya: Ibn Mâjah Pendapat Para Ulama: Manurut Ibn Hajar: Munkar hadisnya Menurut Al-Dzahabî: al-Dâruqutni mendustakannya 4. Ismâ’îl ibn ‘Iyâsy Nama: Ismâ’îl bin ‘Iyâsy bin Salîm al-‘Ansî, Abû ‘Utbah al-‘Hamsî Tingkatan ke-8 dari pertengahan Atbâ’it Tabi’in Wafat: tahun 181/182. H Yang meriwayatkan hadis darinya: al-Bukhari (Juz Raf’ulyadain) Abû Dâwud, al-Tirmidzi, al-Nasâ’i, Ibn Majah) Pendapat para Ulama: Menurut Ibn Hajar: Sadûq 40 Menurut Al-Dzahabî: Dia termasuk Ulama Syam pada zamannya, Yazîd bin Hârûn berkata: Saya tidak melihat seseorang yang paling hafidz selain Ismâ’îl bin Iyâsy, 5. ‘Abdullâh ibn Muhammad al-Qudsyî Setelah melakukan analisis dari berbagai macam kitab al-Rijâl, penulis tidak menemukan identitas nama tersebut diatas. 6. Sa’îd ibn Abdillâh Setelah melakukan penelitian dari berbagai macam kitab al-Rijâl, penulis tidak menemukan identitas nama tersebut diatas. 7. Abî Umâmah. 54 Nama lengkapnya ialah Sada ibn ‘Ajlan ibn Wahhâb, ibn ‘Umâr, Abî Umâmah al-Bâhili. Beliau wafat pada tahun 86 H di Syam. Guru-gurunya ialah Nabi Saw, Ustman ibn Affân, Ali ibn Abî Tâlib, ‘Umâr ibn Khattab, Muaz ibn Jabâl, Abû Dardâ, dll. Murid-muridnya ialah Makhûl al-syami, al-Qâsim Abî Abdurrahman, Lukman ibn Âmar, Yazîd ibn Yazîd ibn Jabir, dll. Komentar kritikus tentang beliau: Ibn Barqi berkata dia ahli hadis bukan ahli sejarah. Al-Waqda dari Khalid ibn Da’laj dari Qatadah dari al-Hasan berkata akhir dari sahabat yang wafat adalah Abî Umâmah. Dari pendapat para kritikus di atas nampaknya jelas bahwa Abî Umâmah adalah sahabat Nabi Saw. periwayatan bahwa dirinya telah meriwayatkan dari 54 SyihAbûddîn Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-Asqalanî, Tahdzib al-Tahdzib, jilid 4, h.368. 41 Setelah sanad dari kitab Al-Mu’jam al-Kabîr, al-Talkhîs al-Khabîr fi alTakhrîj, Majmu’ al-Zawâ’id, dan Kanz al-‘Ummâl, ternyata semuanya memiliki satu jalur yang sama yaitu melalui jalur Abî Umâmah, kemudian setelah penulis teliti dari beberapa kitab al-Rijâl al-Hadîts maupun kitab al-Takhrîj al-Hadîts, dapat dikatakan sanad-nya da’if, karena banyak para perawi hadis yang penulis tidak temukan identitasnya dengan jelas. Dan untuk mengetahui apakah bisa meningkat kualitasnya, maka diperlukan penelitian dari jalur lain. B. Hadis Kedua ﻦ ِ ْﺤﻴْ ِﺮ ﺑ َ ﻦ ُﺑ ِ ْﷲ ﺑ ِ ﻋﺒْ ِﺪ ا َ ْﻋﻦ َ ٌﺣ َﺪ َﺛﻨَﺎ هِﺸَﺎم َ ئ ﻦ ُﻣﻮْﺳَﻰ اﻟﺮﱠا ِز ﱡ ُ ْﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ِإﺑْﺮَا ِهﻴْ ُﻢ ﺑ َ ﻲ ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ َ آَﺎ: ل َ ن ﻗَﺎ َ ﻋﻔﱠﺎ َ ﻦ ِ ْن ﺑ َ ﻋﺜْﻤَﺎ ُ ْﻋﻦ َ ن َ ﻋﺜْﻤَﺎ ُ ﺊ َﻣﻮْﻟَﻰ ٍ ﻋﻦْ هَﺎ ِﻧ َ ن َ َرﻳْﺴَﺎ ل َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َﻓﻘَﺎ َ ﻒ َ ﺖ َو َﻗ ِ ﻦ اﻟْ َﻤ ﱢﻴ ِ ْغ ِﻣﻦْ َدﻓ َ ن إذَا َﻓ َﺮ َ ﺳﱠﻠ َﻢ آَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ 55 ل ُ ن ُﻳﺴَْﺄ َ "اﺳْ َﺘﻐْ ِﻔﺮُوا ِﻟَﺄﺧِﻴ ُﻜﻢْ واﺳﺄﻟﻮا ﻟﻪ اﻟﺘﺜﺒﺖ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ اﻟْﺂ ( أﺑﻮ داود: ﺳﻨﻦ أﺑﻲ داود Dari ‘Utsmân ibn Affân berkata: Adalah Nabi Saw., apabila selesai menguburkan mayit berhenti sebentar dan berkata: Mintakanlah ampun saudaramu ini kepada Allah, dan mohonkanlah supaya ia tetap tabah, karena ia sekarang akan ditanya. a. Melalui fi’il pada matan Dalam menelusuri lafadz hadis yang terdapat pada matan, di sini penulis menggunakan al-Mu’jam al-Mufahras li alfâz al-Hadîts al-Nabawî karangan A.J. 55 Abû Dâwud Sulaimân bin al-Asy’ats, al-Sijistanî, Sunan Abî Dâwud, (Beirut, Dar alFikr, 2003.M/1424.H) Juz.3, h.166. 42 Wensinck. Dan penggalan kata yang ditelusuri adalah : وﻗﻒ, دﻓﻦ, ﻓﺮغPenulis tidak menemukan hadis yang di teliti. b. Melalui awal matan Dalam melakukan penelitian melalui awal matan, penulis menggunakan referensi kitab Mausû’ah al-Atrâf al-Hadîts al-Nabawî alSyarîf. Karya Muhammad al-Sa’di Ibn Basyûnî Zaglûl. Dari kitab tersebut penulis dapatkan informasi sebagai berikut: ٤:٥٦ = هﻖ ٢٠٩:٣ = د د = ﺳﻨﻦ أﺑﻲ داود هﻖ = ﺳﻨﻦ اﻟﻜﺒﺮى ﻟﻠﺒﻴﻬﻘﻰ Berdasarkan keterangan di atas, maka jelas bahwa matan tersebut terdapat pada : 1. Sunan Abî Dâwud, Juz 3, halaman 209, 6 sanad 2. Sunan al-Kubrâ al-Baihaqî, Juz 4, halaman 56, 9 sanad c. Penelusuran Hadis Melalui Tema Untuk men-takhrîj hadis melalui tema, penulis menggunakan rujukan kitab Miftâh Kunûz al-Sunnah karangan Muhammad Fu’âd al-Bâqi. 56 . Dan dari penelitian yang dilakukan penulis tidak menemukan hadis yang di teliti. a. Penelitian Sanad Hadis Kedua 56 Muhammad Fu’âd al-Bâqi, Miftâh Kunûz al-Sunnah (al-Qahirah: Dâr al-Hadis, 1411 H / 1991 M), Cet ke-1 43 Berdasarkan penelitian di atas bahwa jelas matan hadis Kedua, terdapat dalam kitab-kitab hadis di antaranya: Sunan al-Kubrâ al-Baihaqî ﻋ َﺒﻴْ ٍﺪ ﻦ ُ ن َأﺧْ َﺒ َﺮﻧَﺎ َأﺣْ َﻤ ُﺪ ﺑْ ُ ﻋﺒْﺪَا َ ﻦ َ ﻦ َأﺣْ َﻤ َﺪ ﺑْ ِ ﻰ ﺑْ ُ ﻋِﻠ ﱡ ﻦ َ : ﺴِ ﺤَ أَﺧْﺒَﺮَﻧَﺎ أَﺑُﻮ اﻟْ َ ﻆ ﻋﺒْ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ وَاﻟﱠﻠﻔْ ُ ﻦ َ ب َوِإﺑْﺮَاهِﻴ ُﻢ ﺑْ ُ ﺣﺮْ ٍ ﻦ َ ﺐ ﺑْ ِ ﻦ ﻏَﺎِﻟ ِ ﺤﻤﱠ ُﺪ ﺑْ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ُﻣ َ ﺼﻔﱠﺎ ُر َ اﻟ ﱠ ﻋﻦْ ﻒ َ ﺳ َ ﻦ ﻳُﻮ ُ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ِهﺸَﺎ ُم ﺑْ ُ ﺟﻌْ َﻔ ٍﺮ َ ﻦ َ ﻋﺒْ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ﺑْ ِ ﻦ َ ﻰ ﺑْ ُ ﻋِﻠ ﱡ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨِﻰ َ ل َ ِﻟ َﺘﻤْﺘَﺎ ٍم ﻗَﺎ َ ن ﻋﺜْﻤَﺎ ُ ن ُ ل :آَﺎ َ ن ﻗَﺎ َ ﻋﻔﱠﺎ َ ﻦ َ ن ﺑْ ِ ﻋﺜْﻤَﺎ َ ﺊ َﻣﻮْﻟَﻰ ُ ﻋﻦْ هَﺎ ِﻧ ٍ ﻦ َﺑﺤِﻴ ٍﺮ َ ﻋﺒْ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ﺑْ ِ َ ل َﻟ ُﻪ : ل َﻓ ُﻴﻘَﺎ ُ ﻞ ِﻟﺤْ َﻴ َﺘ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﻋﻠَﻰ َﻗﺒْ ٍﺮ َﺑﻜَﻰ ﺣﺘﱠﻰ َﻳ َﺒ ﱠ ﻒ َ ﻋﻨْ ُﻪ ِإذَا َو َﻗ َ ﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ﺿَ َر ِ ل ﺖ َرﺳُﻮ َ ﺳ ِﻤﻌْ ُ ل ِ :إﻧﱢﻰ َ ل َﻓﻘَﺎ َ ﻼ ﺗَﺒْﻜِﻰ َو َﺗﺒْﻜِﻰ ِﻣﻦْ َهﺬَا ﻗَﺎ َ ﺠﻨﱠ ُﺔ وَاﻟﻨﱠﺎ ُر َﻓ َ ُﺗﺬْ َآ ُﺮ اﻟْ َ ﺧ َﺮ ِة َ ،ﻓ َﻤﻦْ َﻧﺠَﺎ ل اﻵ ِ ل َﻣﻨَﺎ ِز ِ ن اﻟْ َﻘﺒْ َﺮ َأوﱠ ُ ل ِ »:إ ﱠ اﻟﱠﻠ ِﻪ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ َﻳﻘُﻮ ُ ل ل َوﻗَﺎ َ ﺷ ﱡﺪ ِﻣﻨْ ُﻪ « .ﻗَﺎ َ ﺞ ِﻣﻨْ ُﻪ َﻓﻤَﺎ َﺑﻌْ َﺪ ُﻩ َأ َ ﺴ ُﺮ ِﻣﻨْ ُﻪ َ ،و َﻣﻦْ َﻟﻢْ َﻳﻨْ ُ ِﻣﻨْ ُﻪ َﻓﻤَﺎ َﺑﻌْ َﺪ ُﻩ َأﻳْ َ ﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ ﺿَ ن َر ِ ﻋﺜْﻤَﺎ ُ ل ُ ﻈ ُﻊ ِﻣﻨْ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﻻ وَاﻟْ َﻘﺒْ ُﺮ َأﻓْ َ ﻂ ِإ ﱠ ﻈﺮًا َﻗ ﱡ ﺖ َﻣﻨْ َ ن :ﻣَﺎ َرَأﻳْ ُ ﻋﺜْﻤَﺎ ُ ُ ل »: ﺖ ﻗَﺎ َ ﻦ اﻟْ َﻤ ﱢﻴ ِ غ ِﻣﻦْ َدﻓْ ِ ﻰ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢِ -إذَا َﻓ َﺮ َ ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ ﻋﻨْ ُﻪ َ :وآَﺎ َ َ ﻋﻦْ ﻏ ِﻴ ُﺮ ُﻩ َ ل « .زَا َد ﻓِﻴ ِﻪ َ ن ُﻳﺴَْﺄ ُ ﺳﻠُﻮا َﻟ ُﻪ اﻟ ﱠﺘﺜْﺒِﻴﺖَ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ اﻵ َ اﺳْ َﺘﻐْ ِﻔﺮُوا ِﻟ َﻤ ﱢﻴ ِﺘ ُﻜﻢْ َو َ ﻈﺮًا إِﻟَﻰ ﺖ َﻣﻨْ َ ل »:اﺳْ َﺘﻐْ ِﻔﺮُوا «َ .وَأﺳْ َﻨ َﺪ َﻗﻮَْﻟ ُﻪ ﻣَﺎ َرَأﻳْ ُ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َﻓﻘَﺎ َ ﻒ َ ِهﺸَﺎ ٍم َو َﻗ َ ﻰ -ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ. اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ Sunan Abî Dâwud ﻋﻦْ ﻦ َﺑﺤِﻴ ٍﺮ َ ﻋﺒْ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ﺑْ ِ ﻋﻦْ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ هِﺸَﺎمٌ َ ى َ ﻦ ﻣُﻮﺳَﻰ اﻟﺮﱠا ِز ﱡ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ِإﺑْﺮَاهِﻴ ُﻢ ﺑْ ُ َ ﻰ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ ل آَﺎ َ ن ﻗَﺎ َ ﻋﻔﱠﺎ َ ﻦ َ ن ﺑْ ِ ﻋﺜْﻤَﺎ َ ﻋﻦْ ُ ن َ ﻋﺜْﻤَﺎ َ ﺊ َﻣﻮْﻟَﻰ ُ هَﺎ ِﻧ ٍ ﺳﻠُﻮا ﻷﺧِﻴ ُﻜﻢْ َو َ ل » اﺳْ َﺘﻐْ ِﻔﺮُوا َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َﻓﻘَﺎ َ ﻒ َ ﺖ َو َﻗ َ ﻦ اﻟْ َﻤ ﱢﻴ ِ غ ِﻣﻦْ َدﻓْ ِ وﺳﻠﻢ ِإذَا َﻓ َﺮ َ ن. ﻦ َرﻳْﺴَﺎ َ ل أَﺑُﻮ دَا ُو َد َﺑﺤِﻴ ُﺮ ﺑْ ُ ل « .ﻗَﺎ َ ن ُﻳﺴَْﺄ ُ َﻟ ُﻪ اﻟ ﱠﺘﺜْﺒِﻴﺖَ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ اﻵ َ b. I’tibar Sanad Melalui penelitian yang dilakukan dengan menelusuri kitab-kitab induk hadis, nampak bahwa hadis Rasulullah Saw meriwayatkan hadis hadis-hadis 44 talqîn mayit setelah penguburan memiliki satu riwayat yang berakhir pada jalur sahabat Ustmân ibn Affân. Hadis ini tidak memiliki syahîd dan mutabi’. Namun sebelumnya, penulis akan menjelaskan sanad-sanad yang memerlukan uraian pada jalur periwayatan, sehingga skema akan mudah dipahami. Periwayat hadis dalam kitab 1. Sunan al-Kabîr al-Baihaqî. 1. Periwayat I: Ustmân ibn Affân Nama lengkapnya ialah Utsman ibn ‘Affân ibn Abî al-‘As ibn Umayyah al-Qursîi al-Amwa Abû ‘Amru, Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan Ustmân ibn Affân . 1. Periwayat II: Hânî Maulâ Ustmân Sedangkan yang di maksud dengan Hânî Maulâ Ustmân setelah nama Ustmân ibn Affân, nama lengkapnya ialah Hani al-Barbara, ada yang mengatakan Abû Sa’îd, Maula ‘Utsmân ibn ‘Affân. Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan Hânî Maulâ Ustmân. 1. Periwayat III: Abdillâh ibn Bahir Kemudian yang di maksud dengan Abdillâh ibn Bahîr setelah nama Hânî Maulâ Ustmân ialah ‘Abdillâh ibn Bahîr ibn Risan al-Maradi. Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan Abdillâh ibn Bahir. 1. Periwayat IV: Hisyâm ibn Yûsuf 45 Nama Hisyâm ibn Yûsuf, setelah penulis melakukan penelitian nama yang di maksud ialah Hisyâm ibn Yusuf al-San’ani. Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan Hisyâm ibn Yûsuf. 1. Periwayat V: ‘Alî ibn Abdillâh ibn Ja’far Sedangkan yang di maksud dengan ‘Alî ibn Abdillâh ibn Ja’far setelah nama Hisyâm ibn Yûsuf ialah ‘Ali ibn ‘‘Abdullâh ibn Ja’far ibn Najih al-Sa’di. Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan ‘Alî ibn Abdillâh ibn Ja’far. 1. a. Periwayat VI: Ibrâhîm ibn ‘Abdillâh Nama lengkapnya ialah Ibrâhîm ibn ‘Abdillâh. Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan Ibrâhîm ibn ‘Abdillâh. 1.b. Periwayat VI: Muhammad ibn Galîb ibn Harb Nama lengkapnya ialah Muhammad ibn Galîb ibn Harb. Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan Muhammad ibn Galîb ibn Harb. 1. Periwayat VII: Ahmad ibn ‘Abid al-Saffâr Nama lengkapnya ialah Ahmad ibn ‘Abid al-Saffâr. Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan Ahmad ibn ‘Abid al-Saffâr. 1. Periwayat VIII: ‘Alî ibn Ahmad ibn Abdân Nama lengkapnya ialah ‘Alî ibn Ahmad ibn Abdân. Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan ‘Alî ibn Ahmad ibn Abdân. 1. Periwayat IX: Sunan al-Baihaqî Nama lengkapnya ialah Abû Bakar Ahmad ibn al-Husain ibn Ali alBaihaqî Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan 1.Sunan al-Baihaqî. 46 Periwayat hadis dalam kitab 1. Sunan Abû Dâwud. 2. Periwayat I: Ustmân ibn Affân Nama lengkapnya ialah Utsman ibn ‘Affân ibn Abî al-‘As ibn Umayyah al-Qursîi al-Amwa Abû ‘Amru, Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan Ustmân ibn Affân . 2. Periwayat II: Hânî Maulâ Ustmân Sedangkan yang di maksud dengan Hânî Maulâ Ustmân setelah nama Ustmân ibn Affân, nama lengkapnya ialah Hani al-Barbara, ada yang mengatakan Abû Sa’îd, Maula ‘Utsmân ibn ‘Affân. Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan Hânî Maulâ Ustmân. 2. Periwayat III: Abdillâh ibn Bahîr Kemudian yang di maksud dengan Abdillâh ibn Bahîr setelah nama Hânî Maulâ Ustmân ialah ‘Abdillâh ibn Bahîr ibn Risan al-Maradi. Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan Abdillâh ibn Bahîr. 2. Periwayat IV: Hisyâm ibn Yûsuf Nama Hisyâm ibn Yûsuf, setelah penulis melakukan penelitian nama yang di maksud ialah Hisyâm ibn Yusuf al-San’ani. Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan Hisyâm ibn Yûsuf. 2. Periwayat V: Ibrâhîm ibn Mûsâ al-Razî Sedangkan yang di maksud dengan Ibrâhîm ibn Mûsâ al-Razî setelah nama Hisyâm ibn Yûsuf ialah Ibrâhîm ibn Mûsâ ibn Yazîd ibn Zadzan al-Tamîmî. Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan Ibrâhîm ibn Mûsâ al-Razî. 2. Periwayat VI: Sunan Abû Dâwud 47 Nama lengkapnya ialah Abû Dâwud Sulaiman bin As’ab al-Sajastânî alAzdî. Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan 1.Sunan Abû Dâwud. c. Kritik Sanad 1. Sunan al-Baihaqî Dalam kegiatan penelitian kritik sanad ini, penulis memulainya dari periwayat terakhir (mukharij), yaitu 1.Sunan al-Baihaqî, yakni yang melalui jalur Ustmân ibn Affân. Kemudian diikuti oleh periwayat-periwayat sesudahnya dan seterusnya sampai periwayat pertama (sahabat). 1. Al-Baihaqî Nama lengkapnya ialah Abû Bakar Ahmad ibn al-Husain ibn Ali alBaihaqî. Beliau adalah seorang ulama besar dari Khurasan (desa kecil di pinggiran kota Baihaq) dan seorang penulis buku terkenal. Al-Baihaqî meninggal dunia di NaisAbûr, Iran, tanggal 10 Jumadilawal 458 H (9 April 1066). Dia lantas dibawa ke tanah kelahirannya dan dimakamkan di sana. Penduduk kota Baihaq berpendapat, bahwa kota merekalah yang lebih patut sebagai tempat peristirahatan terakhir seorang pecinta hadisdan fikih, seperti Imam Baihaqî. Guru-gurunya: Imam Abû al-Hassan Muhammad ibn Al-Hussein Al Alawi, Abû Tahir Al-Ziyadi, Abû ‘Abdullâh Al-Hakim, penulis kitab "Al Mustadrik of Sahîh Muslim and Sahîh Al-Bukhari", Abû Abdur-Rahman Al-Sulami, Abû Bakr ibn Furik, Abû Ali AlRutabari, Halal ibn Muhammad Al-Hafâr, dan Ibn Busran. Pendapat Ulama: As-Subkî menyatakan: "Imam Baihaqî merupakan satu di antara sekian banyak imam terkemuka dan memberi petunjuk bagi umat Muslim. Dialah pula 48 yang sering kita sebut sebagai 'Tali Allah' dan memiliki pengetahuan luas mengenai ilmu agama, fikih serta pengafal hadis". Abdul Gaffâr Al-Farsi Al-Naisaburi dalam bukunya "Tail Tarîkh Naisaburi": Abû Bakr Al-Baihaqî Al Hafidz, Al Usul al-Din, mengabiskan waktunya untuk mempelajari beragam ilmu agama, dan ilmu pengetahuan lainnya. Dia belajar ilmu aqidah dan bepergian ke Irak serta Hijaz (Arab Saudi) kemudian banyak menulis buku. 2. ‘Ali ibn Ahmad ibn ‘Abdan Setelah melakukan analisis dari berbagai macam kitab al-Rijâl, penulis tidak menemukan identitas nama tersebut diatas. 3. Ahmad ibn ‘Ubaid al-Saffar Setelah melakukan analisis dari berbagai macam kitab al-Rijâl, penulis tidak menemukan identitas nama tersebut diatas. 4. Ibrâhîm ibn ‘Abdillâh Setelah melakukan analisis dari berbagai macam kitab al-Rijâl, penulis tidak menemukan identitas nama tersebut diatas. 5. Muhammad ibn Gâlib ibn Harbi Setelah melakukan analisis dari berbagai macam kitab al-Rijâl, penulis tidak menemukan identitas nama tersebut diatas. 6. ‘Alî ibn Abdillâh ibn Ja’far Nama lengkapnya: ‘Alî ibn ‘‘Abdullâh ibn Ja’far ibn Najih al-Sa’di, Nama lainnya adalah Abû al-Hasan ibn al-Madini al-Basri, Maula ‘Urwah ibn ‘Atiyah al-Sa’di. Beliau lahir di Basrah pada tahun 261. H, dan wafat pada tahun 234.H 49 Guru-gurunya: Azhâr ibn Sa’d al-Saman, Ismâ’îl ibn ‘Aliyah, al-Aswad ibn ‘Amir Syadzan, Hisyâm ibn Yûsuf al-San’ani, Umayyah ibn Khâlid. Abî Dhamrah Anas ibn ‘Iyadh. Murid-murid: Bukhâri, Abû Dâwud, Ibrâhîm ibn al-Harits al-Bagdadi, Ibrâhîm ibn Ya’qûb al-Juzjani, Ahmad ibn Hanbal, Ahmad ibn Mansur alRumadi. Pendapat Ulama: Ibn Hajar berkata: Tsiqah tsabit. Berkata Abû Hatim al-Razi bahwa: “Ali adalah seorang Ulama pada zamannya, yang ahli dalam bidang hadisdan kecacatannya. Adz-Zahabî berkata: al-Bukhari pernah berkata, bahwa: Dia adalah gurunya Ibn Mahdi, dan Ali adalah termasuk salah seorang yang paling Alim tantang hadispada zamannya. Ibrâhîm ibn ‘Abdillâh Dari pendapat para kritikus di atas nampaknya tidak ada seorangpun yang mencela dirinya, periwayatan bahwa dirinya telah meriwayatkan dari Hisyâm ibn Yûsuf dapat di percaya. Ada hubungan murid dan guru antara ‘Alî ibn ‘‘Abdullâh ibn Ja’far dengan Hisyâm ibn Yûsuf. Karena dapat di lihat dari sanad ini bahwa di antara mereka memang bertemu dan bersambung. 7. Hisyâm ibn Yûsuf Nama lengkapnya:"Hisyâm ibn Yûsuf al-San’ani, Dan nama lainnya Abû ‘Abdurrahmân al-Abnawa, al-Qâdhi, beliau tegolong Tabi’in kecil, wafat pada tahun 197.H. 50 Guru-gurunya: Ibrâhîm ibn ‘Amr ibn Kisan, ‘Umayah ibn Syibl, Bakar ibn ‘Abdillâh ibn Wahhâb ibn Munabbih, Dâwud ibn Qais, ‘Abdullâh ibn Bahîr ibn Risan, Rabbah ibn ‘‘Abdullâh ibn ‘Amr al-‘Umri. Murid-muridnya: Ibrâhîm ibn Mu’awiyah al-Nasri, Ibrâhîm ibn Mûsâ alRâzi, Ishâq ibn Abî Isrâ’îl, Ishâq ibn Rahawaih, Pendapat Ulama: Ibn Hajar berkata: Tsiqah al-Dzahabî ketika beliau ditanya, tidak berkomentar Berkata al-Husain ibn al-Hasan al-Râzi: “Aku telah bertanya kepada Yahyâ ibn Mu’în tentangnya, Maka beliau berkomentar: “Tidak ada masalah, dan dia termasuk Dabit, menurut Ibn Juraij dari ‘Abd al-Razzâq. Dari pendapat para kritikus di atas nampaknya tidak ada seorangpun yang mencela dirinya, periwayatan bahwa dirinya telah meriwayatkan dari ‘‘Abdullâh ibn Bahîr dapat di percaya. Ada hubungan murid dan guru antara Hisyâm ibn Yûsuf dengan ‘‘Abdullâh ibn Bahîr. Karena dapat di lihat dari sanad ini bahwa di antara mereka memang bertemu dan bersambung. 8. ‘‘Abdullâh ibn Bahîr Nama lengkapnya: ‘Abdillâh ibn Bahîr ibn Risan al-Maradi, Nama lainnya adalah Abû Wa’il al-Qas, Nama lainnya juga al-Yamâni al-San’ani Guru-gurunya: ‘Abdurrahman ibn Yâzid al-Qas, ‘Urwah ibn Muhammad al-Sa’di, Hani Maula ‘Utsmân . Murid-muridnya: Ibrâhîm ibn Khâlid, Rabbah ibn Zaid, ‘Abd al-Razzâq ibn Hamam, Muhammad ibn al-Hasan ibn Atasy, Hisyâm ibn Yûsuf al-San’ani. 51 Pendapat Ulama: Ibn Hajar mengatakan tsiqah menurut pendapat Ibn Mu’în al-Dzahabî berkata: Tsiqah dan tidak ada masalah. Ishâq ibn Mansûr berkata dari Yahyâ ibn Mu’în: Tsiqah Dan Ibn Hibbân menyebutkan dalam kitabnya: Tsiqah Dari pendapat para kritikus di atas nampaknya tidak ada seorangpun yang mencela dirinya, periwayatan bahwa dirinya telah meriwayatkan dari Hâni Maula ‘Utsmân ibn Affân dapat di percaya. Ada hubungan murid dan guru antara ‘‘Abdullâh ibn Bahîr dengan Hâni Maula ‘Utsmân ibn Affân. Karena dapat di lihat dari sanad ini bahwa di antara mereka memang bertemu dan bersambung. 9. Hâni Maula ‘Utsmân ibn ‘Affân Nama lengkapnya: Hâni al-Barbara, ada yang mengatakan Abû Sa’îd, Maula ‘Utsmân ibn ‘Affân, beliau termasuk pertengahan tabi’in. Guru-gurunya: Jara ibn al-Harits Maula ‘‘Umâr ibn al-Khattab, ‘Utsmân ibn ‘Affân (Maulanya), Murid-muridnya: Sulaimân ibn Yatsribi, ‘Amr ibn Yatsribi, Abû Wa’il ‘‘Abdullâh ibn Bahîr Risan al-Qas, Pendapat Ulama Ibn Hajar berkata: Saduq al-Dzahabi berkata : Tsiqah al-Nasa’i berkata: Tidak ada masalah Ibn Hibbân dalam kitabnya: Tsiqah 52 Dari pendapat para kritikus di atas nampaknya tidak ada seorangpun yang mencela dirinya, periwayatan bahwa dirinya telah meriwayatkan dari ‘Utsmân ibn Affân dapat di percaya. Ada hubungan murid dan guru antara Hâni Maula ‘Utsmân ibn Affân dengan ‘Utsmân ibn Affân. Karena dapat di lihat dari sanad ini bahwa di antara mereka memang bertemu dan bersambung. 10. ‘Utsmân ibn ‘Affân Nama lengkapnya ‘Utsmân ibn ‘Affân ibn Abî al-‘As ibn Umayyah alQursîi al-Amwa Abû ‘Amru, dan ada yang menyebutnya Abû ‘Abdillâh, dan ada juga mengatakan Abû Laila, Dzu al-Nurin. Beliau wafat pada tahun 35.H di Madinah. Guru-guru beliau diantaranya: Nabi Muhammad Saw, Abî Bakar alSiddîq, ‘Abdillâh ibn Abî Quhafah dan ‘Umâr ibn al-Khattab. Sedangkan Murid-murid beliau diantaranya; Abân ibn ‘Utsmân ibn ‘Affân, al-Ahnif ibn Qaisy, Abû Umâmah As’ad ibn Sahl ibn Hanif, Anas ibn Mâlik dan Hânni al-Barbara maula ‘Utsmân Pendapat Ulama Berkata Abû Hilâl al-Rasibi, Qatadah telah bercerita kepada kami, ia berkata: “Ketika terjadi peristiwa Jaisy al-‘Usra Utsmân membawa seribu unta dan tujuh puluh kuda untuk kaum Muslimin. Abû Hilal al-Rasibi berkata lagi bahwa Muhammad ibn Sirin suatu ketika pernah berkata: ‘Utsmân selalu mengidupkan waktu malamnya dengan membaca al-Qur’an dalam dua rakaat salâtnya. 53 Dari pendapat para kritikus di atas nampaknya jelas bahwa ‘Utsmân ibn Affân adalah sahabat Nabi Saw. periwayatan bahwa dirinya telah meriwayatkan dari Nabi Saw. Ada hubungan murid dan guru antara keduanya. Dapat di lihat dari sanad ini bahwa di antara mereka memang bertemu dan bersambung. 2. Sunan Abû Dâwud Dalam kegiatan penelitian kritik sanad ini, penulis memulainya dari periwayat terakhir (mukharij), yaitu 1. Sunan Abû Dâwud, yakni yang melalui jalur Ustmân ibn Affân. Kemudian diikuti oleh periwayat-periwayat sesudahnya dan seterusnya sampai periwayat pertama (sahabat). 1. Sunan Abû Dâwud Nama lengkapnya ialah Abû Dâwud Sulaiman bin As’ab al-Sajastânî alAzdî 2. Ibrâhîm ibn Mûsâ al-Râzi Nama lengkapnya: Ibrâhîm ibn Mûsâ ibn Yazîd ibn Zadzan al-Tamîmî, Nama lainnya adalah Abû Ishâq al-Fara’ al-Râzi, itu gelar ketika beliau masih kecil. Beliau wafat pada tahun 220.H. Guru-gurunya: Ibrâhîm ibn Mûsâ al-Ziyat al-Musilî, Ahmad ibn Basyîr, Baqiyah ibn Walid, Jarir ibn Abd al-Hamîd, Hisyâm ibn Yûsuf al-San’ani, Hatim ibn Ismâ’îl. Syuaib ibn Ishâq al-Damasyqi Murid-muridnya: al-Bukhârî, Muslim, Abû Dâwud, Ismâ’îl ibn ‘Amr, Abû Hatim ibn Muhammad ibn Idrîs, Abû Haitsam Khâlid ibn Yazîd al-Râzi Pendapat Ulama: 54 Ibn Hajar berkata: Tsiqah Hafidz al-Dzahabi berkata:Beliau seorang hafidz, berkata Abû Zar’ah bahwa: Aku telah menulis hadis darinya sekitar seratus ribu hadis Abû Hâtim berkata: Tsiqah Abû Zar’ah berkata: hadisyang diriwayatkan darinya termasuk hadis sahih, dan saya termasuk orang yang hafal hadis darinya kira-kira lima puluh hadis. Dari pendapat para kritikus di atas nampaknya tidak ada seorangpun yang mencela dirinya, periwayatan bahwa dirinya telah meriwayatkan dari Hisyâm ibn Yûsuf dapat di percaya. Ada hubungan murid dan guru antara Ibrâhîm ibn Mûsâ al-Râzi dengan Hisyâm ibn Yûsuf. Karena dapat di lihat dari sanad ini bahwa di antara mereka memang bertemu dan bersambung. 3. Hisyâm ibn Yûsuf Nama lengkapnya:"Hisyâm ibn Yûsuf al-San’ani, Dan nama lainnya Abû ‘Abdurrahmân al-Abnawa, al-Qâdhi, beliau tergolong Tabi’in kecil, wafat pada tahun 197.H. Guru-gurunya: Ibrâhîm ibn ‘Amr ibn Kisan, ‘Umayah ibn Syibl, Bakar ibn ‘Abdillâh ibn Wahhâb ibn Munabbih, Dâwud ibn Qais, ‘Abdullâh ibn Bahîr ibn Risan, Rabbah ibn ‘‘Abdullâh ibn ‘Amr al-‘Umri. Murid-muridnya: Ibrâhîm ibn Mu’awiyah al-Nasri, Ibrâhîm ibn Mûsâ alRâzi, Ishâq ibn Abî Isrâ’îl, Ishâq ibn Rahawaih, Pendapat Ulama: 55 Ibn Hajar berkata: Tsiqah al-Dzahabî ketika beliau ditanya, tidak berkomentar Berkata al-Husain ibn al-Hasan al-Râzi: “Aku telah bertanya kepada Yahyâ ibn Mu’în tentangnya, Maka beliau berkomentar: “Tidak ada masalah, dan dia termasuk Dabit, menurut Ibn Juraij dari ‘Abd al-Razzâq. Dari pendapat para kritikus di atas nampaknya tidak ada seorangpun yang mencela dirinya, periwayatan bahwa dirinya telah meriwayatkan dari ‘‘Abdullâh ibn Bahîr dapat di percaya. Ada hubungan murid dan guru antara Hisyâm ibn Yûsuf dengan ‘‘Abdullâh ibn Bahir. Karena dapat di lihat dari sanad ini bahwa di antara mereka memang bertemu dan bersambung. 4. ‘‘Abdullâh ibn Bahir Nama lengkapnya: ‘Abdillâh ibn Bahîr ibn Risan al-Maradi, Nama lainnya adalah Abû Wa’il al-Qas, Nama lainnya juga al-Yamâni al-San’ani Guru-gurunya: ‘Abd ar-Rahman ibn Yâzid al-Qas, ‘Urwah ibn Muhammad al-Sa’di, Hani Maula ‘Utsmân . Murid-muridnya: Ibrâhîm ibn Khâlid, Rabbah ibn Zaid, ‘Abd al-Razzâq ibn Hamam, Muhammad ibn al-Hasan ibn Atasy, Hisyâm ibn Yûsuf al-San’ani. Pendapat Ulama: Ibn Hajar mengatakan tsiqah menurut pendapat Ibn Mu’în al-Dzahabî berkata: Tsiqah dan tidak ada masalah. Ishâq ibn Mansûr berkata dari Yahyâ ibn Mu’în: Tsiqah Dan Ibn Hibbân menyebutkan dalam kitabnya: Tsiqah 56 Dari pendapat para kritikus di atas nampaknya tidak ada seorangpun yang mencela dirinya, periwayatan bahwa dirinya telah meriwayatkan dari Hâni Maula ‘Utsmân ibn Affân dapat di percaya. Ada hubungan murid dan guru antara ‘‘Abdullâh ibn Bahîr dengan Hâni Maula ‘Utsmân ibn Affân. Karena dapat di lihat dari sanad ini bahwa di antara mereka memang bertemu dan bersambung. 5. Hâni Maula ‘Utsmân ibn ‘Affân Nama lengkapnya: Hâni al-Barbara, ada yang mengatakan Abû Sa’îd, Maula ‘Utsmân ibn ‘Affân, beliau termasuk pertengahan tabi’in. Guru-gurunya: Jara ibn al-Harîts Maula ‘‘Umâr ibn al-Khattab, ‘Utsmân ibn ‘Affân (Maulanya), Murid-muridnya: Sulaimân ibn Yatsribi, ‘Amr ibn Yatsrîbi, Abû Wa’il ‘‘Abdullâh ibn Bahîr Risan al-Qas, Pendapat Ulama Ibn Hajar berkata: Saduq al-Dzahabî berkata : Tsiqah al-Nasa’i berkata: Tidak ada masalah Ibn Hibbân dalam kitabnya: Tsiqah Dari pendapat para kritikus di atas nampaknya tidak ada seorangpun yang mencela dirinya, periwayatan bahwa dirinya telah meriwayatkan dari ‘Utsmân ibn Affân dapat di percaya. Ada hubungan murid dan guru antara Hâni Maula ‘Utsmân ibn Affân dengan ‘Utsmân ibn Affân. Karena dapat di lihat dari sanad ini bahwa di antara mereka memang bertemu dan bersambung. 6. ‘Utsmân ibn ‘Affân 57 Nama lengkapnya ‘Utsmân ibn ‘Affân ibn Abî al-‘As ibn Umayyah alQursîi al-Amwa Abû ‘Amru, dan ada yang menyebutnya Abû ‘Abdillâh, dan ada juga mengatakan Abû Laila, Dzu al-Nurin. Beliau wafat pada tahun 35.H di Madinah. Guru-guru beliau diantaranya: Nabi Muhammad Saw, Abî Bakar alSiddîq, ‘Abdillâh ibn Abî Quhafah dan ‘Umâr ibn al-Khattab. Sedangkan Murid-murid beliau diantaranya; Abân ibn ‘Utsmân ibn ‘Affân, al-Ahnif ibn Qaisy, Abû Umâmah As’ad ibn Sahl ibn Hanif, Anas ibn Mâlik dan Hânni al-Barbara maula ‘Utsmân Pendapat Ulama Berkata Abû Hilâl al-Rasibi, Qatadah telah bercerita kepada kami, ia berkata: “Ketika terjadi peristiwa Jaisy al-‘Usra Utsmân membawa seribu unta dan tujuh puluh kuda untuk kaum Muslimin. Abû Hilal al-Rasibi berkata lagi bahwa Muhammad ibn Sirin suatu ketika pernah berkata: ‘Utsmân selalu mengidupkan waktu malamnya dengan membaca al-Qur’an dalam dua rakaat salâtnya. Dari pendapat para kritikus di atas nampaknya jelas bahwa ‘Utsmân ibn Affân adalah sahabat Nabi Saw. periwayatan bahwa dirinya telah meriwayatkan dari Nabi Saw. Ada hubungan murid dan guru antara keduanya. Dapat di lihat dari sanad ini bahwa di antara mereka memang bertemu dan bersambung. Setelah sanad Abû Dâwud yang melalui ‘Ustmân ibn Affân di teliti, dapat dikatakan sanad-nya bersambung (mutasil), karena bila di lihat dari faktor waktu, 58 memungkinkan bagi periwayat untuk berjumpa, terlebih di dukung oleh faktor pendidikan (guru dan murid) ternyata semua periwayat berkaitan. Setelah penulis teliti hadis Kedua, melalui jalur 1. Sunan al-Baihaqî terdapat sanad yang Majhul. Karena setelah diteliti ada beberapa perawi yang penulis tidak temukan identitasnya baik di kitab al-Rijâl al-Hadis maupun kitab al-Takhrîj al-Hadis. Dan melalui jalur 2. Sunan Abû Dâwud terdapat sanad yang Sahîh, karena secara keseluruhan sanad antara perawi satu dengan perawi yang lain tersambung, dengan kata lain mereka ada hubungan antara guru dan murid dan juga pernah hidup satu zaman. Kesimpualn dari análisis sanad terhadap hadis talqîn mayit setelah penguburan yang penulis lakukan ketika menggAbûngkan dari jalur hadispertama dan jalur hadis kedua ternyata kualitas hadisnya adalah hasan ligairihi, dengan alasan bahwa walaupun penelitian dari jalur hadispertama itu da’if ternyata diperkuat melalui penelitian dari jalur hadisyang kedua yang diriwayatkan dari Abî Dâwud yang berkualitas sahîh, kemudian diperkuat lagi oleh hadisyang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab sahîh-nya, yang sengaja penulis tidak teliti karena mengikuti kesepakatan ulama hadisyang bermadzhab Sunni bahwa semua hadisyang termuat dalam kitab sahîh Muslim itu sudah diakui kesahîh-annya. Oleh karena itu dari sini sudah jelas bahwa kualitas hadis talqîn mayit setelah penguburan adalah hasan ligairihi. C. Kritik Matan 59 Kata matan atau al-matn menurut bahasa berarti mairtafa’a min al-ardi (tanah yang meninggi). Sedangkan menurut istilah ialah suatu kalimat tempat berakhirnya sanad, Atau dengan redaksi lain; Lafal-lafal hadis yang didalamnya mengandung makna-makna tertentu. Dan ada juga redaksi yang lebih sederhana lagi, yang menyebutkan bahwa matan adalah ujung sanad (gayah as-sanad). Semua pengertian diatas menunjukan bahwa yang dimaksud dengan matan ialah materi hadis atau lafal hadis itu sendiri. 57 Dalam menentukan kriteria ke-sahîh-an matan hadis menurut muhadisin tampaknya beragam. Perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan latar belakang, keahlian alat bantu dan persoalan serta masyarakat yang dihadapi oleh mereka. Ibnu Jawzî misalnya, memberikan tolak ukur ke-sahîh-an matan hadis secara singkat, yaitu setiap hadis yang bertentangan dengan akal ataupun berlawanan dengan ketentuan pokok agama , pasti hadistersebut tergolong hadis mawdu’. Salahuddin al-Adabi menyimpulkan bahwa tolak ukur untuk penelitian matan (ma’ayir naqdil- matn) ada empat macam 58 , yakni: Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an; Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat; Tidak bertentangan dengan akal sehat, indra dan sejarah; Dan susunan pernyataannya menunjukan ciri-ciri sabda kenabian; 57 Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung : CV.PUSTAKA SETIA, 2005), cet ke-2, hal.62-63 M. Syuhudi Ismâ’îl, Metodologi Penelitian Hadis Nabi. (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), cet-2, h.120 58 60 Hadis ke-1 ﻦ ِإﺑْﺮَا ِهﻴْ َﻢ ﺑْﻦ اﻟْ ُﻌﻠَﺎ ِء ﺤﻤﱠ ُﺪ ﺑْ ُ ﺨﻮْﻟَﺎ ِﻧﻲْ َﺛﻨَﺎ ُﻣ َ ﺳِّﻠﻢْ اﻟْ َ ﻦ َ ﺲ ﺑْ ِ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َأ ُﺑﻮْ ﻋَﻘِﻴْﻞ َأ َﻧ ِ َ ﻋﻦْ َﻳﺤْﻴَﻰ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ اﻟْ ُﻘﺮْﺷِﻲ َ ﻦ ُﻣ َ ﷲ ﺑْ ِ ﻋﺒْ ُﺪ ا ِ ﻋﻴَﺎش َﺛﻨَﺎ َ ﻞ ﺑْﻦ ِ ﻋﻴْ َ اﻟْﺤَﻤْﺼِﻲ َﺛﻨَﺎ ِإﺳْﻤَﺎ ِ ت َأ ُﺑﻮْ ُأﻣَﺎ َﻣ َﺔ َو ُه َﻮ ِﻓﻲْ ﺷ ِﻬﺪْ ُ لَ : ﷲ اﻟَْﺄوْدِي ﻗَﺎ َ ﻋﺒْ ِﺪ ا ِ ﻦ َ ﺳ ِﻌﻴْ ِﺪ ﺑْ ِ ﻋﻦْ َ ﺑْﻦ َأ ِﺑﻲْ َآ ِﺜﻴْ ِﺮ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو ﷲ َ ﺻﻠﱠﻰ ا ِ ﷲ َ لا ِ ﺳﻮْ ُ ل ِ :إذَا ُﻣﺖﱡ ﻓَﺎﺻْﻨَ ُﻌﻮْا ِﺑﻲْ َآﻤَﺎ أَﻣَﺮَﻧَﺎ َر ُ ع َﻓﻘَﺎ َ اﻟ ﱠﻨ َﺰ ِ ل :إِذَا ﺳﱠﻠ َﻢ َﻓﻘَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ َ ﺻﻠﱠﻰ ا ُ ﷲ َ لا ِ ﺳﻮْ ُ ن َﻧﺼْ َﻨ َﻊ ِﺑ َﻤﻮْﺗَﺎﻧَﺎ أَﻣَﺮَﻧَﺎ َر ُ ﺳﱠﻠ َﻢ َأ ﱠ َ س ﻋﻠَﻰ َرأْ ِ ﺣ ُﺪ ُآﻢْ َ ﻋﻠَﻰ َﻗﺒْ ِﺮ ِﻩ َﻓﻠْ َﻴ ُﻘﻢْ َأ َ ب َ ﺴﻮﱠ ْﻳ ُﺘ ُﻢ اﻟ ﱡﺘﺮَا َ ﺣﺪٌ ِﻣﻦْ ِإﺧْﻮَا ِﻧ ُﻜﻢْ َﻓ َ ت َأ َ ﻣَﺎ َ ﻦ ن ﺑْ ُ ل :ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ ﺐ ُﺛﻢﱠ َﻳ ُﻘﻮْ ُ ﺠﻴْ ُ ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳﺴْ َﻤ ُﻌ ُﻪ وَﻟَﺎ ُﻳ ِ ن ﺑْ ُ َﻗﺒْ ِﺮ ِﻩ ُﺛﻢﱠ ﻟْ َﻴ ُﻘﻞْ :ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ ل :أَرْﺷِﺪْﻧَﺎ ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳ ُﻘﻮْ ُ ن ﺑْ ُ ل ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ ﻋ ًﺪا ُﺛﻢﱠ َﻳ ُﻘﻮْ ُ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳﺴْ َﺘﻮِي ﻗَﺎ ِ ﻦ اﻟ ﱡﺪﻧْﻴَﺎ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ ِﻣ َ ﺖ َ ﺧ َﺮﺟْ َ ن َﻓﻠْ َﻴ ُﻘﻞْ ُ :اذْ ُآﺮْ ﻣَﺎ َ ﷲ َوَﻟ ِﻜﻦْ ﻟَﺎ َﺗﺸْ ُﻌ ُﺮوْ َ ﻚا ُ ﺣ ُﻤ َ َر ِ ﷲ رَﺑًّﺎ ﺖ ﺑِﺎ ِ ﺿﻴْ ُ ﻚ َر ِ ﺳﻮُْﻟ ُﻪ َوَأﱠﻧ َ ﻋﺒْ ُﺪ ُﻩ َو َر ُ ﺤ ﱠﻤﺪًا َ ن ُﻣ َ ﷲ َوَأ ﱠ ﺷﻬَﺎ َد َة ﻟَﺎ ِإَﻟ َﻪ إِﻟﱠﺎ ا ُ َ ﺧ ُﺬ وَاﺣِﺪ ن ُﻣﻨْ َﻜﺮًا َو َﻧ ِﻜﻴْﺮًا ﻳَﺄْ ُ ن ِإﻣَﺎﻣًﺎ َﻓِﺈ ﱠ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ ﱠﻧﺒِﻴًّﺎ َوﺑِﺎﻟْ ُﻘﺮْﺁ ِ َوﺑِﺎﻟِْﺈﺳْﻠَﺎ ِم ِدﻳْﻨًﺎ َو ِﺑ ُﻤ َ ن ﺣﺠﱠ ُﺘ ُﻪ َﻓ َﻴ ُﻜﻮْ ُ ﻦ ُ ﻋﻨْ َﺪ َﻣﻦْ َﻗﺪْ ُﻟ ِّﻘ ُ ﻄِﻠﻖْ ِﺑﻨَﺎ ﻣَﺎ ُﻧﻘْ ِﻌ ُﺪ ِ ل ِ :اﻧْ َ ﺣ ُﺒ ُﻪ َو َﻳ ُﻘﻮْ ُ ِﻣﻨْ ُﻬﻤَﺎ ِﺑ َﻴ ٍﺪ ﺻَﺎ ِ ل: ن َﻟﻢْ َﻳﻌْ ِﺮفْ ُأﻣﱡ ُﻪ ﻗَﺎ َ ﷲ َﻓِﺈ ﱠ لا ِ ﺳﻮْ َ ﺟﻞٌ :ﻳَﺎ َر ُ ل رَ ُ اﷲ ﺣﺠﻴﺠﻪ ُد ْو َﻧ ُﻬﻤَﺎ َﻓﻘَﺎ َ ﻦ َ ن ﺑْ ُ ﺣﻮﱠا َء ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ ﺴ ُﺒ ُﻪ ِإﻟَﻰ َ َﻓ ُﻴﻨْ ِ ﺣﻮﱠا َء) 59اﻟﻤﻌﺠﻢ اﻟﻜﺒﻴﺮ :اﻟﻄﺒﺮاﻧﻲ( “Telah bercerita kepada kami Abû ‘Uqail Anas ibn Sallim alKhaulânî, bercerita kepada kami Muhammad ibn Ibrâhîm ibn al-‘Ulâ’i alHamsî, bercerita kepada kami ‘Iyâsy, bercerita kepada kami ‘‘Abdullâh ibn Muhammad al-Qursî dari Yahyâ bin Abî Katsîr dari Sa’îd bin ‘Abdillâh al-Awdî, berkata: “Aku menyaksikan Abû Umâmah r.a, ketika itu beliau dalam keadaan nazza’ ( menjelang kematiannya). Beliau Sulaimân bin Ahmad bin Ayyûb bin Abû al-Qasim Al-Tabrânî, Al-Mu’jam al-Kabîr, 59 h.249 61 berkata:”Apabila aku wafat maka hendaklah urus aku sebagaimana yang diperintahkan Nabi Saw., dalam mengurus orang kita yang meninggal. Beliau (Nabi Saw) berkata: “Apabila meninggal salah seorang diantaramu (maksudnya orang Islam) dan telah didatarkan tanah diatas perkuburannya, maka hendaklah salah seorang diantaramu berhenti sebentar dihadapan kepala si mayit itu, hendaklah ia berkata: “Hai fulan anak wanita fulan, maka si mayit mendengar tetapi ia tidak bisa menjawab. Kemudian dikatakan lagi: “Hai fulan anak wanita fulan! Maka ia menjawab: “Berilah petunjuk kepada kami semoga Tuhan memberi rahmat kepadamu. Tetapi kamu tidak mendengar ucapannya itu. Kemudian katakan lagi: “Ingatlah hal ketika engkau keluar dari dunia, yaitu pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah, Muhammad itu hamba-Nya dan Rasul-Nya, dan bahwasannya engkau telah ridha bahwa Allah Tuhanmu, Islam agamamu, Muhammad Nabimu, Al-Qur’an Imammu. Ketika itu malaikat Munkar dan Nakir saling memegang tangan kawannya dan berkata : “Mari kita kembali saja, apa gunanya kita duduk dihadapan orang yang telah ditalqîn-kan jawabannya. Berkata Abû Umâmah r.a,: Seorang sahabat bertanya kepada Nabi Saw.,: “Wahai Rasulullah, kalau (orang yang mentalqîn-kan itu) tidak tahu nama ibunya, bagaimana?. Jawab Nabi Saw,: “Dibangsakan saja ia kepada ibunya Siti Hawa” (H.R.Tabrânî, Mu’jam alKabîr) 60 Biasanya dalam melakukan analisa hadis apabila sudah diketahui ke-da’ifan sanadnya maka tidak perlu lagi melakukan kritik matan, akan tetapi untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif maka penulis akan tetap mencoba melakukannya Tidak diragukan lagi bahwa hadis ini memiliki beberapa kejanggalan, diantaranya: 1. Tidak ada penukilan dari para sahabat dengan sanad yang sahih bahwa mereka melakukannya, padahal mereka adalah generasi yang paling semangat dalam mengamalkan perintah Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam. 2. Ucapannya “Ya fulan bin fulanah” menyelisihi praktik Nabi Saw. dan para sahabat dalam memberikan nama kepada manusia dan menisbatkan mereka kepada bapak-bapak mereka, bukan kepada ibu mereka. 60 Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama (Jakarta, Pustaka Tarbiyah, Cet.25, 2006),h.91 62 3. Ucapannya “karena dia mendengarnya” menurut penulis menyelisihi terhadap hadis sahih yang mengatakan bahwa, si’mayit tidak mendengar kecuali apabila manusia sudah berpaling darinya dan dia mendengar suara sandal mereka untuk persiapan menjawab pertanyaan Malaikat. Sebagaimana dalam sebuah hadis: ل اﻟْ َﻌﺒْ ُﺪ َ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ﻲ ﻋﻨْ ُﻪ ﻋﻦ اﻟﱠﻨ ِﺒ ﱢ َ ﻲ اﻟﱠﻠ ُﻪ َﺿ ِ ﺲ َر ٍ ﻋﻦ َأ َﻧ ع َ ْﺣﺘﱠﻰ ِإﻧﱠ ُﻪ َﻟ َﻴﺴْ َﻤ ُﻊ َﻗﺮ َ ﺐ َأﺻْﺤَﺎ ُﺑ ُﻪ َ ﻲ َو َذ َه َ ﺿ َﻊ ﻓِﻲ َﻗﺒْ ِﺮ ِﻩ َو ُﺗ ُﻮﻟﱢ ِ ِإذَا ُو ﻞ ِﺟ ُ ل ﻓِﻲ َهﺬَا اﻟ ﱠﺮ ُ ﺖ َﺗﻘُﻮ َ ْن َﻟ ُﻪ ﻣَﺎ ُآﻨ ِ ن َﻓَﺄﻗْ َﻌﺪَا ُﻩ َﻓ َﻴﻘُﻮﻟَﺎ ِ ِﻧﻌَﺎِﻟ ِﻬﻢْ َأﺗَﺎ ُﻩ َﻣَﻠﻜَﺎ ل ُ ﻋﺒْ ُﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ َو َرﺳُﻮُﻟ ُﻪ َﻓ ُﻴﻘَﺎ َ ل َأﺷْ َﻬ ُﺪ َأﻧﱠ ُﻪ ُ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻓ َﻴﻘُﻮ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َ ُﻣ ﻲ ل اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ َ ﺠ ﱠﻨ ِﺔ ﻗَﺎ َ ْﻚ اﻟﱠﻠ ُﻪ ِﺑ ِﻪ َﻣﻘْ َﻌﺪًا ِﻣﻦْ اﻟ َ ك ﻓﻲ اﻟﻨﱠﺎ ِر َأﺑْ َﺪَﻟ َ ﻈﺮْ ِإﻟَﻰ َﻣﻘْ َﻌ ِﺪ ُ ْاﻧ ل ُ ﻖ َﻓ َﻴﻘُﻮ ُ ﺟﻤِﻴﻌًﺎ َوَأﻣﱠﺎ اﻟْﻜَﺎ ِﻓ ُﺮ َأوْ اﻟْ ُﻤﻨَﺎ ِﻓ َ ﺳﱠﻠ َﻢ َﻓ َﻴﺮَا ُهﻤَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ﺖ ُﺛﻢﱠ َ ْﺖ وَﻟَﺎ َﺗَﻠﻴ َ ْل ﻟَﺎ َد َرﻳ ُ س َﻓ ُﻴﻘَﺎ ُ ل اﻟﻨﱠﺎ ُ ل ﻣَﺎ َﻳﻘُﻮ ُ ﺖ َأﻗُﻮ ُ ْﻟَﺎ َأدْ ِري ُآﻨ ﺤ ًﺔ َﻳﺴْ َﻤ ُﻌﻬَﺎ َ ْﺻﻴ َ ﺢ ُ ﻦ ُأ ُذ َﻧﻴْ ِﻪ َﻓ َﻴﺼِﻴ َ ْﺿﺮْ َﺑ ًﺔ َﺑﻴ َ ﺣﺪِﻳ ٍﺪ َ ْب ِﺑ ِﻤﻄْ َﺮ َﻗ ٍﺔ ِﻣﻦ ُ ُﻳﻀْ َﺮ 61 ﻦ ِ َْﻣﻦْ َﻳﻠِﻴ ِﻪ إِﻟﱠﺎ اﻟ ﱠﺜ َﻘَﻠﻴ ”Dari Anas ra. Dari Nabi Muhammad Saw. Beliau berkata: Apabila hamba Allah telah diletakan dalam kuburnya dan ia telah ditinggalkan, dan sahabat-sahabatnya telah kembali pulang sehingga ia mendengar derap sandal mereka, datanglah ketika itu dua orang malaikat lalu keduanya memerintahkan supaya mayit itu duduk. Keduanya bertanya: Apa pendapatmu tentang Muhammad? Adapun orang mu’min maka ia menjawab: Saya mengakui bahwa beliau adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Maka kedua malaikat itu berkata: Lihatlah tempatmu yang mulanya dalam neraka sudah ditukar tempat dalam syurga. Semua melihat kearah itu. Adapun orang kafir dan munafiq ketika mereka ditanya hal yang serupa, lantas mereka menjawab: Saya tidak tahu, saya Hanya mengikuti kata orang. Lalu para malaikat berkata kepadanya: Wah, apa engkau tidak tahu dan engkau tidak membaca? Kemudian ia dipukul dengan palu besi antara dua telinganya, sehingga ia 61 Muhammad ibn Ismâ’îl Abû ‘Abdillah al-Bukhari, Sahîh al-Bukhârî (Beirut: Dar Ibn Katsîr, 1987),h.448 63 menjerit dan memekik kesakitan, yang mana teriakannya itu dapat terdengar oleh semua makhluk, kecuali oleh manusia dan jin” 4. Konsekuensi hadis ini seolah-olah meniadakan amalan dua malaikat yang ditugaskan untuk memberi pertanyaan kepada mayit selagi si mayit sudah ditalqin! Wallahu a’lam Hadis ke-2 ﻦ ِ ْﺤﻴْ ِﺮ ﺑ َ ﻦ ُﺑ ِ ْﷲ ﺑ ِ ﻋﺒْ ِﺪ ا َ ْﻋﻦ َ ٌﺣ َﺪ َﺛﻨَﺎ هِﺸَﺎم َ ئ ﻦ ُﻣﻮْﺳَﻰ اﻟﺮﱠا ِز ﱡ ُ ْﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ِإﺑْﺮَا ِهﻴْ ُﻢ ﺑ َ ﻲ ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ َ آَﺎ: ل َ ن ﻗَﺎ َ ﻋﻔﱠﺎ َ ﻦ ِ ْن ﺑ َ ﻋﺜْﻤَﺎ ُ ْﻋﻦ َ ن َ ﻋﺜْﻤَﺎ ُ ﺊ َﻣﻮْﻟَﻰ ٍ ﻋﻦْ هَﺎ ِﻧ َ ن َ َرﻳْﺴَﺎ ل َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َﻓﻘَﺎ َ ﻒ َ ﺖ َو َﻗ ِ ﻦ اﻟْ َﻤ ﱢﻴ ِ ْغ ِﻣﻦْ َدﻓ َ ن إذَا َﻓ َﺮ َ ﺳﱠﻠ َﻢ آَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ ن ُﻳﺴْﺄَل َ "اﺳْ َﺘﻐْ ِﻔﺮُوا ِﻟَﺄﺧِﻴ ُﻜﻢْ واﺳﺄﻟﻮا ﻟﻪ اﻟﺘﺜﺒﺖ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ اﻟْﺂ “Telah bercerita kepada kami Ibrâhîm ibn Mûsâ al-Râzî, telah bercerita kepada kami Hisyâm dari ‘Abdillâh ibn Buhair ibn Raisân dari Hânî Maula ‘Utsmân dari ‘Utsmân ibn ‘Affân, Ia berkata: Adalah Nabi Saw., apabila selesai menguburkan mayit berhenti sebentar dan berkata: Mintakanlah ampun saudaramu ini kepada Allah, dan mohonkanlah supaya ia tetap tabah, karena ia sekarang akan ditanya. Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam melakukan penelitian matan yaitu dengan menggunakan berbagai tolak ukur diatas, yakni bahwa: Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an; Menurut penulis hadis ke-dua yang tentang talqin ini tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an, bahkan sejalan dengan firman Allah : 64 ☺ ”Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh (dalam kehidupan) didunia dan diakhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki” (Q.S Ibrâhîm : 27) Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat; Menurut penulis tidak ada masalah, komentarnya sama seperti hadis yang pertama dan perbandingannya pun sama seperti hadis yang kedua Tidak bertentangan dengan akal sehat, indra dan sejarah; Komentar penulis sama seperti hadis yang pertama tidak ada masalah Dan susunan pernyataannya menunjukan ciri-ciri sabda kenabian; Hadis tentang talqin mayit menurut penulis sudah jelas bahwa dalam pernyataannya itu menunjukan ciri-ciri bahwa itu benar-benar sabda Rasulullah Saw. Kesimpulannya setelah penulis melakukan penelitin terhadap matan hadis yang pertama dan yang ke-dua tersebut diatas maka penulis menyimpulkan bahwa kedua matan hadis tersebut berkualitas sahîh. 65 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pemaparan yang telah penulis uraikan dalam skripsi ini, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Hadis-Hadis yang penulis teliti tentang talqîn mayit setelah penguburan terdapat dua hadis antara lain: hadis pertama terdapat dalam kitab al- 66 Mu’jam al-Kabîr setelah ditelusuri terdapat didalam kitab-kitab hadis al-Mu’jâm al-Kabîr, al-Talkhîs al-Khabîr fi al-Takhrîj, Majmu’ alZawâ’id, dan Kanz al-‘Ummâl. Hadis kedua dalam kitab Sunan Abû Dâwud setelah ditelusuri melalui kamus hadis Mausû’ah al-Atrâf alHadîts al-Nabawî al-Syarîf. Ada di kitab-kitab hadis Sunan Abû Dâwud dan Sunan al-Baihaqî. 2. Hadis pertama setelah diteliti melalui jalur Abû Umâmah sanad-nya Daif, sedangkan hadis kedua setelah diteliti melalui jalur ‘Ustmân ibn Affân sanad-nya Sahîh 3. Walaupun awalnya kualitas hadis ini da’if, tetapi telah mendapat dukungan dan bantuan dari hadis-hadis sahîh. Ia berjalin menjadi satu dengan hadis-hadis yang sahîh, sehingga derajatnya menjadi naik kepada Hasan Ligairihi. 4. Dari segi matan penulis menyimpulkan bahwa hadis yang pertama berkualitas da’if karena ada beberapa kejanggalan. Akan tetapi hadis yang kedua berkualitas sahih karena telah memenuhi kriteria ke-Sahîhan matan. 5. Sebagian besar Ulama hadis sepakat bahwa hadis yang memiliki kualitas hasan ligairihi boleh dijadikan sebagai dalil syar’î, apalagi untuk fadâil a’mâl seperti halnya talqîn mayit, itu akan lebih mustahâb lagi. Wallahu a’lam 67 B. Saran-saran 1. Hendaknya dalam melakukan kritik hadis, kaidah ke-sahîh-an hadis perlu diperhatikan secara mendalam dengan merujuk kepada metode yang telah dibuat oleh para ulama hadis. Sehingga gambaran ke-sahîhan hadis menjadi cukup jelas dan benar-benar memenuhi kriteria kesahîh-an hadis. 2. Hendaknya di dalam melakukan pen-takhrîj-an suatu hadis diperlukan kesabaran, ketekunan dan ketelitian, sebab di dalam pelaksanaannya sering terlambat karena minimnya perangkat referensi yang menunjang aktivitas ini dalam satu wadah. 3. Dan juga dalam menjalankan ibadah dan mengamalkan hukum syari’at kita tidak cukup Hanya dengan berlandaskan adat istiadat semata, tetapi harus ada sumber yang jelas agar ibadah yang kita jalankan dapat diterima oleh Allah SWT. DAFTAR PUSTAKA Abdan M.Syarwani, Al-Dzakhirah al-Minah. Bangil: Yayasan Pendidikan Islam “DARUSSALAM” , Cet.III, 1988 Abdussamad Muhyiddîn, Hujjah NU. Surabaya: Khalista Surabaya dan LTN NU Jawa Timur, 2008 Al-Adabi, Salah Al-Din bin Ahmad. Manhaj Naqd al-Matn, Beirut: Dar al-Afaq alJadîdah, 1403 H. al-Asqalanî, Syihabuddîn Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar .Tahdzîb al-Tahdzîb al-Maktab al-Tijariyah Mustafa Ahmad al-Baz. T.th ------------,Terjamah Bulûg al-Maram. Jakarta: AKBAR, 2007 Yunus, Mahmud., Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsiran Al-Qur’an Ahmad bin Hanbal, Musnâd al-Imam Ahmad bin Hanbal, T. tp: Mu’assasatu alRisâlah, 1999.M al-Bukhari, Muhammad ibn Ismaîl Abû ‘Abdillah, Sahîh al-Bukhârî. Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987 al-Bâqi, Muhammad Fu’âd. Miftâh Kunûz al-Sunnah. al-Qahirah: Dâr al-Hadîts, Cet ke-1, 1411 H / 1991 M, Bustamin dan H.A Salam, M.Isa. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004. al-Dzahabî, Syamsuddîn Muhammad ibn Ahmad ibn Utsmân. Sîrul A’lâm Al-Nubalâ. Beirut : Mua’asasah al-Risalah, 1996 -------------, Tadzkirah al-Huffâz al-Dzahabî. Beirut : Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, 1998.M/1419.H DEPAG. RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: Duta ‘Ilmu, 2005 Endang, Soetari. Ilmu Hadîts : Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung : Mimbar Pustaka, 2005. Firuzabadi, Qamus al-Muhith. Kairo: Husainiyah, 1344.H al-Gazâlî, Muhammad. Studi Kritis Atas Hadis Nabî Saw Antara pemahaman Tekstual dan Kontekstual. Bandung: Mizan, 1991. Harahap, Syahrin dan Nasution, Hasan Bakti. Ensiklopedi Aqidah Islam, Jak-Tim: Prenada Media, cet.1, 2003 al-Haitsamî, Nûruddîn ‘Alî ibn Abî Bakr. Majma’u al-Jawâid wa Manba’u alFawâid. Beirut: Dâr al-Kitab al-‘Ilmiyah, 1988 Ismâ’il, M.Syuhûdi. Hadis Nabî Menurut Pembela dan Pengingkar Pemalsunya. Jakarta: Gema Insani Press,1995 Kamal, Muchtar. Usûl Fiqh. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995. U al-Malibari, Zainuddîn bin Abdul Azîz, Alih bahasa: Abûl Hiyadh, Terjemah Fath alMu’in, Surabaya: Al-Hidayah, T.th Masriq Dârul, Qamus Munjid. Beirut, Libanon: Matba’ah Katolik, T.th al-Mizzî, Abû Hajjâj Yûsuf ibn Zakki. Tahzîb al-Kamâl. Beirut : Dâr al-Fikr, 1994 Mudasir, Ilmu Hadîts. Bandung : CV.PUSTAKA SETIA, cet ke-2, 2005 Munawir, Abdul Fatah. Tradisi Orang-orang NU. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, cet. VI, 2008 Muslim Abû al-Husain, Sahîh Muslim. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, T.th -------------, trjmh. Ma’mur Dawûd, Terjemah Sahîh Muslim. Malaysia: KLANG BOOK CENTRE, 1997 al-Muttaqi ibn Hisyâm al-Din al-Hindi al-Burhan, ‘Alauddîn. Kanzul ‘Umâl fi alAqwâl wa al-Af’âl. Beirut: Muasasah al-Risalah. T.th Nawir, Yuslem. Ulûmul Hadîts. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001. Nata, Abûdin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001. al-Nawâwî, Pntrjmh Gafur Saub dan Irfanuddin Rafiuddin. Trjmh Al-Adzkar. Jakarta: Pustaka As-Sunnah, cet.1, 2007 Qardâwî, Yûsuf. Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw. Bandung: Karisma, 1994. al-Rahman bin ‘Ali bin Al-Jauzî, Abdul. Al-Maudû’at. Beirut: Dar al-Fikr, 1403H/1983.M Rahmat Syarif, Menimbang Amalan Tradisional. Jakarta: CBA Cahaya Bintang Suara,, 2006 al-Razî, Ibn Abû Khâtim al-Jarh wa al-Ta’dîl. Beirut : Dâr al-Fikr, 1952 Sihab, M.Qurais, Kehidupan Setelah Kematian. Ciputat, Tangerang: Lentera Hati, 2008 al-Sijistany, Abî Dawûd Sulaiman bin al-Asy’ats. Sunan Abî Dawûd, Beirut: Dar alFikr, 2003.M/1424.H al-Sya’ranî, Abd Wahab, Maut dan Dialog Suci. Jawa Timur: CV.Amin Syahminan, Zaini. Tuntunan Penyelenggaraan Jenazah. Jakarta: Kalam Mulia, cet. VI, 2006 al-Sa’îd Basyunî Zaglûl, Abû Hajar Muhammad. Mausû’at al-Atrâf al-Hadîts anNabawî al-Syarîf. Beirut : Dâr al-Fikr, 1410 H / 1918 M Sulaimân bin Ahmad bin Ayyûb Abû al-Qâsim al-Thabrany, Al-Mu’jam al-Kabîr, Maktabah al-‘Ulûm al-Hukm, 1983.M/1404.H . Taqiy al-Din Abû al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abd al-Halim bin Taimiyyah. Al-Fatâwâ alKubrâ , Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, 1987 Totok Sumantoro, Kamus Ilmu Hadîts NAbî. Jakarta: Bumi Aksara, 1997, Cet, I Wensink, Arnold Jhon. al-Mu’jam al-Mufahras li alfâz al-Hadîts al-Nabawî. Leiden : E.J Brill, 1969 Lampiran I Skema Sanad Hadîts Pertama اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ َأ َﻣ َﺮﻧَﺎ َأﺑَﺎ ُأﻣَﺎ َﻣ َﺔ ت ﺷ ِﻬﺪْ ُ َ ﷲ اﻟْ َﺄوْدِي ﻋﺒْ ِﺪ ا ِ ﻦ َ ﺳ ِﻌﻴْ ِﺪ ﺑْ ِ َ ﻋﻦْ َ َ ﻳﺤْﻴَﻰ ﺑْﻦ َأ ِﺑﻲْ َآ ِﺜﻴْ ِﺮ. ﻋﻦْ َ ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ اﻟْ ُﻘﺮْﺷِﻲ ﻦ ُﻣ َ ﷲ ﺑْ ِ ﻋﺒْ ُﺪ ا ِ َ َﺛﻨَﺎ ﻋﻴْ َﻞ ﺑْﻦ ِ إﺳْﻤَﺎ ِ ﻋﻴَﺎشW. 182. H. ِ َﺛﻨَﺎ ﻦ ِإﺑْﺮَا ِهﻴْ َﻢ ﺑْﻦ ﺤﻤﱠ ُﺪ ﺑْ ُ ُﻣ َ W. 201 H. َﺛﻨَﺎ ﺳِّﻠ ْﻢ ﻦ َ ﺲ ﺑْ ِ َأ ُﺑﻮْ ﻋَﻘِﻴْﻞ َأ َﻧ ِ W. 245 H. ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ﻣﻌﺠﻢ اﻟﻜﺒﻴﺮ اﻟﺘﻠﺨﻴﺺ ﻣﺠﻤﻊ اﻟﺰواﺋﺪ آﻨﺰ اﻟﻌﻤﺎل Lampiran II Skema Sanad Hadis Kedua ن آَﺎ َ ﺖ ﺳ ِﻤﻌْ ُ َ ﻋﻦْ َ ن آَﺎ َ ﻋﻦْ َ ﻋﻦْ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛ ِﻨ َ ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َ ﺼﻔﱠﺎ ُر ﻋ َﺒﻴْ ٍﺪ اﻟ ﱠ ﻦ ُ َ أﺣْ َﻤ ُﺪ ﺑْ ُ َ أﺧْ َﺒ َﺮﻧَﺎ َ أﺧْ َﺒ َﺮﻧَﺎ َ ﺳﻨﻦ اﻟﺒﻴﻬﻘﻲ W. 458 H.