program studi tafsir hadis fakultas ushuluddin uin syarif hidayatullah

advertisement
TALQÎN MAYIT SETELAH PENGUBURAN
(Analisis Sanad dan Matan Hadis)
Skripsi ini
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Th.I)
Ismail
NIM: 105034001174
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H / 2010 M.
TALQÎN MAYIT SETELAH PENGUBURAN
(Analisis Sanad dan Matan Hadis)
Skripsi ini
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)
Oleh:
Ismail
NIM: 105034001174
Di bawah Bimbingan
Dr. M. Isa HA Salam, MA.
NIP. 1953 1231 198603 1 010
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H / 2010 M.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 16 Juni 2010
Ismail
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “TALQIN MAYIT SETELAH PENGUBURAN (Analisis
Sanad dan Matan Hadis)”, yang di tulis oleh Ismail, NIM: 105034001174, telah
di uji dan dinyatakan lulus dalam Sidang Munaqasyah di Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 16 Juni 2010.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Ushuluddin (S.Th.I) Program Srata 1 (S1) pada jurusan Tafsir Hadis.
Jakarta, 16 Juni 2010
Sidang Munaqasyah
Ketua
Sekretaris, Merangkap Penguji II
Dr. M. Suryadinata, MA
NIP. 1960 0908 1989903 1 005
Rifqi Muhammad Fathi, MA
NIP. 19770120 200312 1 003
Anggota
Penguji I
Dr. Atiyatul ‘Ulya, MA
NIP. 19700112 199603 2 001
Pembimbing
Dr. M. Isa HA Salam, MA.
NIP. 1953 1231 198603 1 010
KATA PENGANTAR
Bismilahirrahmanirrahim.
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji milik Allah, penulis memuji, memohon pertolongan dan
ampunan-Nya. Dan juga berlindung dari kejelekan amal-amal dan keburukan diri
peribadi. Bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan
Allah dan bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad itu adalah hamba dan RasulNya.
Dengan berkat taufiq dan inayah dari Allah SWT, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan waktu yang diinginkan, ini semua tidak
akan dapat terwujud tanpa adanya dukungan dari beberapa pihak yang telah
dengan senang hati memberikan bantuan, bimbingan dan motivasi.
Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhinga
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamal, M.A. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta para pembantu Dekan.
2. Bapak Dr. Bustamin, M.Si. Selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Rifqi Muhammad Fathi, M.A. Selaku Sekretaris Jurusan Tafsir
Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
i 4. Bapak Dr. M. Isa as-Salam, M.A. Selaku pembimbing penulis.
Terimakasih atas bimbingan serta waktu luangnya yang telah diberikan
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
5. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, pimpinan
dan
seluruh
karyawan
perpustakaan
di
lingkungan
UIN
Syarif
Hidayatullah Jakarta.
6. Pimpinan Perpustakaan umum dan Perpustakaan Ushuluddin beserta staff,
yang telah memberikan layanan berupa buku-buku selama penulis
menjalani dan mengakhiri kuliah jenjang S1 ini.
7. Orang tua tercinta, Ayahanda Sarda dan Ibunda Siti Nurjanah. Terima
kasih atas segala pengorbanan dan do’a yang tak terhingga kepada penulis.
Serta dukungan moril, materil dan juga tenaga sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi yang kesemuanya itu tidak bisa terbayarkan dengan
materi, hanya do’alah yang dapat penulis berikan. Serta saudara-saudaraku
yang tercinta, Kakakku Nasihin, Kulsumawati, Joko, dan Suwita yang
telah memberikan dukungan serta do’a kepada penulis.
8. KH. Drs. Najib al-Ayyubi, Drs. H. Ujang Jufri, Ust. Maulana Sufyan Hadi,
dan al-Habib al-Idrus ibn Ali al-Habsyi, terima kasih atas bantuan dan
do’anya buat penulis.
9. Teman-teman Tafsir Hadis angkatan 2005 diantaranya Th.a: Marullah,
S.Th.I, Syarif, Hasan, Rizki, S.Th.I ,Hafidz, S.Th.I, Ubay, S.Th.I, Sahal,
S.Th.I, Aqib, Hendri, Amar, S.Th.I, Zaenal, S.Th.I, Agus, S.Th.I, Rahman,
Maksal, Izi, S.Th.I, Izu, S.Th.I, Fitri, S.Th.I, Shofi, S.Th.I, Vina, S.Th.I,
ii Dengan berbagai kekurangan yang terdapat dalam laporan penelitian ini,
mudah-mudahan dapat memberikan manfaat bagi kita semua, khususnya bagi
penulis. Akhirnya tiada sesuatu yang dapat penulis ucapkan, kecuali terima kasih
kepada para dosen yang telah memberikan pendidikan kepada kami, sehingga
ilmu yang diperoleh dapat bermanfaat dan barokah. Semoga kita semua senantiasa
selalu dalam bimbingan, Rahmat dan Hidayah-Nya. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Jakarta, 16 Juni 2010
penulis
iii Pedoman Transliterasi ∗
Aksara Arab dan Padanannya dalam Aksara Latin
Huruf Arab
‫ا‬
‫ب‬
‫ت‬
‫ث‬
‫ج‬
‫ح‬
‫خ‬
‫د‬
‫ذ‬
‫ر‬
‫ز‬
‫س‬
‫ش‬
‫ص‬
‫ض‬
‫ط‬
‫ظ‬
‫ع‬
‫غ‬
‫ف‬
‫ق‬
‫ك‬
‫ل‬
‫م‬
‫ن‬
Huruf Latin
Keterangan
Tidak dilambangkan
b
be
t
te
ts
te dan es
j
je
h
ha dengan garis di bawah
kh
ka dan ha
d
de
dz
de dan zet
r
er
z
zet
s
es
sy
es dan ye
s
es dengan garis di bawah
d
de dengan garis di bawah
t
te dengan garis di bawah
z
zet dengan garis di bawah
'
koma terbalik di atas, menghadap ke kanan
g
ge
f
ef
q
ki
k
ka
l
el
m
em
n
en
∗
Hamid Nasuhi dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi),
2007.
iv ‫و‬
‫ه‬
‫ء‬
‫ي‬
w
we
h
ha
'
apostrof
y
ye
Vokal
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal Latin
keterangan
a
fathah
i
kasrah
u
dammah
Tanda Vokal Latin
keterangan
ai
a dan i
au
a dan u
Tanda Vokal Latin
keterangan
â
a dengan topi di atas
î
i dengan topi di atas
û
u dengan topi di atas
Vokal Rangkap
Tanda Vokal
Arab
‫ي‬
‫و‬
Vokal Panjang (Madd)
Tanda Vokal
Arab
‫ﺎ‬
‫ﻲ‬
‫ﻮ‬
Syaddah (Tasydid)
Syaddah atau Tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
v berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya kata: ‫ اﻟﻀﱠﺮ و ر ة‬tidak
ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”, demikian seterusnya.
Kata Sandang
Kata sandang yang dalam Bahasa Arab dilambangkan dengan huruf (‫)ال‬,
dialih-aksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun
huruf qamariyyah. Contoh al-rijâl, bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.
Ta Marbūtah
No
Kata Arab
Alih Bahasa
1
‫ﻃﺮﻳﻘﺔ‬
tarîqah
2
‫اﻟﺠﺎﻣﻌﺔ اﻻﺳﻼﻣﻴﺔ‬
al-jâmi’ah al-islâmiyyah
3
‫وﺣﺪة اﻟﻮﺟﻮد‬
wahdat al-wujûd
DAFTAR ISI
vi KATA PENGANTAR .................................................................................... i
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................... iv
DAFTAR ISI .................................................................................................. vii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ….................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ……….... ................................................................ 13
D. Kegunaan atau Manfaat Penelitian....................................................... 14
E. Tinjauan Kepustakaan ……. ................................................................ 14
F. Metodologi Penelitian ……. ................................................................ 15
G. Sistematika Penulisan …….. ............................................................... 16
BAB II. TINJAUAN UMUM MENGENAI TALQIN SERTA KEWAJIBAN
TERHADAP ORANG MATI
A. Pengertian Talqin............................................................................. 18
1. Menurut Bahasa .......................................................................... 18
2. Menurut Istilah............................................................................ 18
B. Sejarah Perkembangan Talqin
1. Pada Masa Rasulullah Saw dan Para Sahabat ............................ 19
2. Perkembangan Talqin pada Masa kini ...................................... 22
C. Pendapat Para Ulama Tentang Talqin ............................................. 24
BAB
III
ANALISA
HADIS-HADIS
TALQIN
MAYIT
SETELAH
PENGUBURAN
A. Hadis Pertama ………….... ................................................................ 31
vii a. Penelitian Sanad Hadis Pertama ............................................. 33
b. I’tibar Sanad ………................................................................ 37
c. Kritik Sanad …….... ................................................................ 39
B. Hadis Kedua ......................................................................................... 42
a. Penelitian Sanad Hadis Kedua ................................................ 44
b. I’tibar Sanad ……... ................................................................ 45
c. Kritik Sanad …….... ................................................................ 48
C. Kritik Matan …………….... ................................................................ 60
a. Hadis ke-1 ………… ............................................................... 61
b. Hadis ke-2 ………… ............................................................... 64
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan………………. …. ............................................................ 67
B. Saran ………………………................................................................ 68
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
LAMPIRAN viii 1 BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, khususnya
bila dilihat dari segi etnis / suku bangsa dan agama. Konsekuensinya, dalam
menjalani kehidupannya masyarakat Indonesia dihadapkan kepada perbedaanperbedaan dalam berbagai hal, mulai dari kebudayaan, cara pandang hidup dan
juga seringkali muncul berbagai macam fenomena keagamaan, sehingga
terkadang
menjadi
polemik
yang
berkepanjangan
dalam
kehidupan
bermasyarakat, salah satunya adalah masalah talqîn mayit.
Fenomena itu sering menjadi bahan perdebatan ditengah masyarakat,
khususnya antara kalangan Islam tradisionalis dengan Islam reformis. Semua
perdebatan yang muncul mengarah pada aspek hukum talqîn. Satu pihak
menyatakan bahwa talqîn merupakan budaya yang baik dan berguna yang perlu
untuk dilestarikan dan dikembangkan karena sangat berguna bagi simayit.
Sedangkan kelompok lain menganggap bahwa talqîn merupakan salah satu bentuk
penyimpangan (bid’ah) dalam Islam karena tidak ada dalilnya dan sekalipun ada
dalilnya itu sangat lemah.
Secara umum talqîn mayit itu ada dua, pertama ada talqîn mayit sebelum
meninggal, yaitu ketika si mayit sedang mengadapi naza’ (sakaratul maut).
Sebagaimana dalam suatu riwayat, ‘Umâr bin al-Khattab r.a berkata: “Talqînkanlah (bisikan dan sebutkanlah) kepada orang yang akan mati dengan ucapan lâ
2 Ilâha illallâh, karena sesungguhnya mereka melihat apa yang kalian tidak lihat.
“Ajaran untuk men-talqîn-kan itu bersumber dari petunjuk Nabi Saw.
sebagaimana diriwayatkan antara lain oleh Imam Muslim melalui Abû Sa’îd alKhudrî r.a 1 :
‫ﻻ اﻟﱠﻠ ُﻪ‬
‫ﻻ ِإَﻟ َﻪ ِإ ﱠ‬
َ ْ‫َﻟ ﱢﻘﻨُﻮا َﻣﻮْﺗَﺎ ُآﻢ‬
“Talqîn-kanlah orang yang mati diantaramu dengan lâ Ilâha
illallâh” 2
Kedua, talqîn mayit setelah meninggal, talqîn inilah yang telah banyak
menimbulkan khilafiah (perbedaan pendapat) dikalangan para ulama. Menurut
keterangan yang sudah lama ada, bahwa talqîn mayit itu sudah ada dari zaman
para sahabat Nabi, zaman Tâbi’în dan Tâbi’î Tâbi’în kemudian diteruskan oleh
ulama-ulama salâf dan khalâf, bahwa semua orang meninggal itu di-talqîn-kan,
keterangan ini berdasarkan pendapat seorang ulama besar yang dijuluki Hujjâtul
Islam yaitu Imam Ibn Taimiyah dalam kitabnya al-Fatâwâ al-Kubrâ 3 , beliau
berkata: “bahwa talqîn mayit ini sudah dimulai sejak zaman sahabat-sahabat Nabi
Saw., bahwasanya mereka memerintahkan agar berbuat demikian, seperti Abû
Umâmah r.a dan sahabat-sahabat lainnya dan mereka juga telah meriwayatkannya
dari Nabi Saw.,:
ْ‫ت َأ ُﺑﻮ‬
ُ ْ‫ﺷ ِﻬﺪ‬
َ :‫ل‬
َ ‫ﷲ اﻟْﺄوْدِي ﻗَﺎ‬
ِ ‫ﻋﺒْ ِﺪ ا‬
َ ‫ﻦ‬
ِ ْ‫ﺳ ِﻌﻴْ ِﺪ ﺑ‬
َ ْ‫ﻋﻦ‬
َ ‫ﻦ َأ ِﺑﻲْ آَﺜِﻴْﺮ‬
ِ ْ‫ﻋﻦْ َﻳﺤْﻴَﻰ ﺑ‬
َ
‫ﷲ‬
ِ ‫لا‬
ُ ْ‫ﺳﻮ‬
ُ ‫ إِذَا ُﻣﺖﱡ ﻓَﺎﺻْﻨَ ُﻌﻮْا ِﺑﻲْ َآﻤَﺎ أَﻣَﺮَﻧَﺎ َر‬: ‫ل‬
َ ‫ع َﻓﻘَﺎ‬
ِ ‫ُأﻣَﺎ َﻣ َﺔ َو ُه َﻮ ِﻓﻲْ اﻟ ﱠﻨ َﺰ‬
1
, M.Qurais Sihab, Kehidupan Setelah Kematian,(Tangerang, Lentera Hati, 2008), Cet.2,
h.34 2
Abû al-Husain Muslim bin al-Hajjâj bin Muslim al-Qusyairî, Sahîh Muslim,( Beirut, Dar
al-Jayl) Juz.3, h.37 3
Taqiyyuddîn Abû al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abd al-Him bin Taimiyyah, Al-Fatâwâ alKubrâ, (Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, 1987) Juz.3, h.24 3 Dari Yahyâ bin Abî Katsîr dari Sa’îd bin ‘Abdillâh al-Awdî,
berkata: “Aku menyaksikan Abû Umâmah r.a, ketika itu beliau dalam
keadaan naza’ (menjelang kematiannya). Beliau berkata:”Apabila aku
wafat maka hendaklah urus aku sebagaimana yang diperintahkan Nabi
Saw., dalam mengurus orang kita yang meninggal. Beliau (Nabi Saw)
berkata: “Apabila meninggal salah seorang diantaramu (maksudnya orang
Islam) dan telah didatarkan tanah diatas perkuburannya, maka hendaklah
salah seorang diantaramu berhenti sebentar dihadapan kepala si mayit itu,
hendaklah ia berkata: “Hai fulan anak wanita fulan, maka si mayit
mendengar tetapi ia tidak bisa menjawab. Kemudian dikatakan lagi: “Hai
fulan anak wanita fulan! Maka ia menjawab: “Berilah petunjuk kepada
kami semoga Tuhan memberi rahmat kepadamu. Tetapi kamu tidak
mendengar ucapannya itu. Kemudian katakan lagi: “Ingatlah hal ketika
engkau keluar dari dunia, yaitu pengakuan bahwa tiada Tuhan selain
Allah, Muhammad itu hamba-Nya dan Rasul-Nya, dan bahwasannya
engkau telah ridha bahwa Allah Tuhanmu, Islam agamamu, Muhammad
Nabimu, Al-Qur’an Imammu. Ketika itu malaikat Munkar dan Nakir
saling memegang tangan kawannya dan berkata : “Mari kita kembali saja,
apa gunanya kita duduk dihadapan orang yang telah di-talqîn-kan
jawabannya. Berkata Abû Umâmah r.a,: Seorang sahabat bertanya kepada
Nabi Saw.,: “Wahai Rasulullah, kalau (orang yang men-talqîn-kan itu)
tidak tahu nama ibunya, bagaimana?. Jawab Nabi Saw,: “Digolongkan saja
ia kepada ibunya Siti Hawa (H.R.Tabrânî, Mu’jam al-Kabîr) 5
4
Sulaimân bin Ahmad bin Ayyûb bin Abû al-Qasim Al-Tabrânî, Al-Mu’jam al-Kabîr,
(Al-Maktah al-‘Ulumi al-Hukmi, 1983), Juz.8, h.249 5
Abbas Sirajuddin, 40 Masalah Agama (Jakarta, Pustaka Tarbiyah, Cet.25, 2006),h.91 4 Maksud hadis diatas seolah-olah mengindikasikan bahwa hendaklah
orang yang baru meninggal itu diberikan ketetapan dan ketabahan hati dengan
jalan diingatkan oleh orang-orang yang masih hidup terhadap jawaban-jawaban
yang semestinya, yang harus dijawabnya kepada malaikat-malaikat penanya, yaitu
Munkar dan Nakir, dengan harapan agar si mayit dapat melalui masa-masa
tersebut dengan kesuksesan dan kebahagiaan.
Ibn Taimiyyah berkata dalam bukunya Al-Fatâwâ al-Kubrâ, 6 bahwa:
“Pendapat para ulama tentang talqîn itu dibagi menjadi tiga, yaitu: Pertama
sunnah, kedua makruh, ketiga mubah (boleh).
Kemudian Beliau menegaskan lagi dalam buku yang sama, bahwa diantara
para Ulama yang berpendapat bahwa talqîn itu sunnah, diantara mereka adalah
Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syâfi’î, dan Imam Abû Hanîfah dan juga para
sahabat-sahabat dan pengikut mereka, berdasarkan dalil dari hadis Nabi Saw.,
‫ل "اﺳْ َﺘﻐْ ِﻔﺮُوا ِﻟَﺄﺧِﻴ ُﻜﻢْ واﺳﺄﻟﻮا ﻟﻪ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َﻓﻘَﺎ‬
َ ‫ﻒ‬
َ ‫ﺖ َو َﻗ‬
ِ ‫ﻦ اﻟْ َﻤ ﱢﻴ‬
ِ ْ‫غ ِﻣﻦْ َدﻓ‬
َ ‫ن إذَا َﻓ َﺮ‬
َ ‫آَﺎ‬
7
‫ل‬
ُ ‫ن ُﻳﺴَْﺄ‬
َ ‫اﻟﺘﺜﺒﺖ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ اﻟْﺂ‬
“Adalah Nabi Saw., apabila selesai menguburkan mayit berhenti
sebentar dan berkata (kepada sahabat-sahabat beliau):”Mintakanlah ampun
saudaramu ini kepada Tuhan, dan mohonkanlah supaya ia tetap dan tabah,
karena bahwasannya ia sekarang sedang ditanya”
Dan yang menganggap bahwa talqîn itu makruh adalah pendapat Imam
Malik, 8 sedangkan yang berpendapat bahwa talqîn itu mubah (boleh) adalah
6
Taqiy al-Dîn Abû al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abd al-Him bin Taimiyyah, Al-Fatâwâ alKubrâ, (Dâr al-Kitâb al-‘Ilmiyah, 1987) Juz.3, h.25 7
Abî Dâwud Sulaimân bin al-Asy’ats, al-Sijistanî, Sunan Abû Dâwud, (Beirut, Dar alFikr, 2003.M/1424.H) Juz.3, h.166. 5 pendapat beliau (Ibn Taimiyah) sendiri, dengan alasan itulah pendapat yang paling
adil. 9
Ibn Qayyim dalam bukunya RUH, berkata: “Bahwa hadis talqîn itu
berturut-turut diamalkan tanpa diingkari dan cukuplah untuk dikerjakan. Bagi kita
tidak ada larangan untuk mengucapkan sesuatu perkataan yang menjadikan
manfaat bagi si mayit. Berkata pula Imam Nawâwi di dalam Syarh Muhadzdzab
dan bagi hadis mengenai talqîn itu banyak hadis-hadis yang menguatkannya. 10
Sekitar pada abad 14 H., seorang ulama Ahli hadis kontemporer yang
bernama Nasîruddîn al-Albânî, menyanggah pendapat diatas dengan berkata:
“Sanad hadis ini lemah sekali, saya tidak mengenal mereka kecuali ‘Utbah bin
Sakan, dan dikatakan oleh al-Daruqutnî: Ditinggalkan hadisnya. Bahkan AlHaitsami juga mengatakan: Diriwayatkan al-Tabrânî dalam al-Kabîr, dalam
sanadnya ada beberapa rawi yang tidak saya kenal.”
Beliau juga berkomentar: “talqîn setelah mati, di samping bid’ah dan tidak
ada hadisnya yang sahih, juga tidak ada faedahnya karena hal itu keluar dari
kampung taklîf (beban) kepada kampung pembalasan dan mayit tidak menerima
peringatan karena peringatan itu bagi orang yang masih hidup.”
Inilah yang menjadi perhatian penulis dalam rangka menyusun skripsi ini.
Hadis yang telah disepakati oleh sebagian ulama salâf boleh untuk diamalkan
karena ada hadis pendukung yang memperkuat nilai hadis tersebut, dan bahkan
sudah sejak lama diamalkan oleh mayoritas kaum muslimin, namun pada kasus ini
seorang ahli hadis yang bernama Nasîruddîn al-Albânî berkomentar: “Hal ini
8
Ibn Taimiyyah, Al-Fatâwâ al-Kubrâ, h.24 Ibn Taimiyyah, Al-Fatâwâ al-Kubrâ, h.25 10
M.Syarwani Abdan, Al-Dzakhirah al-Minah, (Bangil: Yayasan Pendidikan Islam
“DARUSSALÂM” , Cet.III, 1988) h.86 9
6 jangan dibantah dengan pendapat yang populer bahwa hadis lemah bisa digunakan
dalam fadail a’mal, karena hal tersebut merupakan kaidah dalam masalahmasalah yang disyariatkan al-Qur’an dan Sunnah. Adapun bila tidak demikian
maka tidak boleh diamalkan karena itu merupakan syariat dengan hadis lemah,
dan hendaknya hal ini diperhatikan oleh orang yang menginginkan keselamatan
dalam agamanya.” 11 Akan tetapi pendapat beliau ini juga bertentangan dengan
pendapat mayoritas ulama hadis terdahulu bahwa hadis lemah bisa digunakan
dalam fadail a’mal. Dalam kaitannya dengan permasalahan hadis, disini penulis
merasa perlu untuk melakukan analisis sanad dan matan hadis tentang talqin agar
mendapatkan pemahaman yang komprehensif.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian terhadap
hadis-hadis talqîn baik untuk dilakukan. Selajutnya penulis mengangkatnya
sebagai judul skripsi: “Talqîn Mayit Setelah Penguburan” (Analisis Sanad dan
Matan Hadis)
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam mengkaji dan menganalisa suatu masalah baik berupa data-data
atau yang lainnya, diperlukan pembatasan dan perumusan masalah untuk
mengindari kekeliruan dan kerancuan dalam pembahasan, maka disini penulis
telah membatasi masalah yang akan dikaji dengan mencoba menganalisa dengan
metode takhrîj terhadap sebagian hadis tentang talqîn mayit setelah penguburan.
Diantara batasan dalam penilitiannya sebagai berikut;
Penulis telah meneliti semua hadis-hadis yang berkaitan dengan talqîn
mayit setelah penguburan dari berbagai kitab hadis, akan tetapi sejauh penelitian
11
h.65 Nasîruddîn al-Albânî Silsilah Ahâdits al-Da’ifah, (Riyad, Dar al-Ma’arif, Juz. 2, 1992),
7 ini dilakukan, disini penulis hanya menemukan tiga hadis yang cocok dengan
judul diatas, dan diantara hadisnya ada yang merupakan hadis pendukung,
misalnya disini penulis menemukan salah satu hadis yang bersumber dari kitab
Sunan Abî Dâwud, kemudian hadis tersebut telah dikomentari oleh salah seorang
ulama hadis yaitu Ibn Taimiyah dalam kitabnya Al-Fatâwâ al-Kubrâ, bahwa
hadis tersebut merupakan pendukung dari hadis Abû Umâmah, sehingga hadis
tersebut merupakan diantara salah satu hadis yang akan penulis teliti dari hadishadis yang lain. Dan dibawah ini adalah hadis-hadis yang akan diteliti, yang telah
penulis temukan dari berbagai kitab-kitab hadis, sebagai berikut:
1. Kitab Sahîh Muslim Karya Abû al-Husain Muslim bin al-Hajjâj bin
Muslim al-Qusyairî al-Naisâbûrî. (Beirut, Dar al-Jayl, Dar al-Afaq,),
Juz.1, h.78
2. Kitab Sunan Abî Dâwud Karya Abû Dâwud Sulaiman bin al-Asy‘ats
as-Sijistany, (Beirut, Dar al-Fikr, 2003.M/1424.H) Juz.3, h.166.
3. Kitab al-Mu’jam al-Kabîr Karya Sulaiman bin Ahmad bin Ayyûb Abû
Al-Qasim Al-Tabrânî. (Maktabah al-‘Ulum al-Hukm, 1983.M/ 1404.H
), Juz.8, h.249.
Hadis ke-1
‫ﻦ‬
ُ ْ‫ق ﺑ‬
ُ ‫ﻰ َوِإﺳْﺤَﺎ‬
‫ﺷﱡ‬
ِ ‫ﻦ اﻟ ﱠﺮﻗَﺎ‬
ٍ ْ‫ى وَأَﺑُﻮ َﻣﻌ‬
‫ﻦ اﻟْ ُﻤﺜَﻨﱠﻰ اﻟْ َﻌ َﻨ ِﺰ ﱡ‬
ُ ْ‫ﺤﻤﱠ ُﺪ ﺑ‬
َ ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ُﻣ‬
َ
‫ك‬
ُ ‫ﻀﺤﱠﺎ‬
‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ اﻟ ﱠ‬
َ ‫ﻦ اﻟْ ُﻤ َﺜﻨﱠﻰ‬
ِ ْ‫ﻻﺑ‬
ِ ‫ﻆ‬
ُ ْ‫ﺻ ٍﻢ وَاﻟﱠﻠﻔ‬
ِ ‫ﻋﻦْ أَﺑِﻰ ﻋَﺎ‬
َ ‫َﻣﻨْﺼُﻮ ٍر ُآﻠﱡ ُﻬ ْﻢ‬
‫ﻦ‬
ُ ْ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨِﻰ َﻳﺰِﻳ ُﺪ ﺑ‬
َ ‫ل‬
َ ‫ﺢ ﻗَﺎ‬
ٍ ْ‫ﺷ َﺮﻳ‬
ُ ‫ﻦ‬
ُ ْ‫ﺣﻴْ َﻮ ُة ﺑ‬
َ ‫ل أَﺧْﺒَﺮَﻧَﺎ‬
َ ‫ﺻ ٍﻢ ﻗَﺎ‬
ِ ‫ﻳَﻌْﻨِﻰ َأﺑَﺎ ﻋَﺎ‬
‫ص‬
ِ ‫ﻦ اﻟْﻌَﺎ‬
َ ْ‫ﻋﻤْﺮَو ﺑ‬
َ ‫ﻀﺮْﻧَﺎ‬
َ ‫ﺣ‬
َ ‫ل‬
َ ‫ى ﻗَﺎ‬
‫ﺳ َﺔ اﻟْ َﻤﻬْ ِﺮ ﱢ‬
َ ‫ﺷﻤَﺎ‬
ُ ‫ﻦ‬
ِ ْ‫ﻦ اﺑ‬
ِ‫ﻋ‬
َ ٍ‫َأﺑِﻰ ﺣَﺒِﻴﺐ‬
‫ﺠﺪَا ِر‬
ِ ْ‫ل َوﺟْ َﻬ ُﻪ ِإﻟَﻰ اﻟ‬
َ ‫ﺣ ﱠﻮ‬
َ ‫ﻼ َو‬
ً ‫ﻃﻮِﻳ‬
َ ‫ ﻓَﺒَﻜَﻰ‬.‫ت‬
ِ ْ‫ﺳﻴَﺎ َﻗ ِﺔ اﻟْ َﻤﻮ‬
ِ ‫َو ُه َﻮ ﻓِﻰ‬
‫‪8 ‬‬
‫‪ ‬‬
‫ﻼ َم‬
‫ﻹﺳْ َ‬
‫ناِ‬
‫ﺖ َأ ﱠ‬
‫ﻋِﻠﻤْ َ‬
‫ل َأﻣَﺎ َ‬
‫ﺖ َأنْ ُﻳﻐْ َﻔ َﺮ ﻟِﻰ‪ .‬ﻗَﺎ َ‬
‫ط ِﺑﻤَﺎذَا‪ُ .‬ﻗﻠْ ُ‬
‫ل َﺗﺸْ َﺘ ِﺮ ُ‬
‫ﻗَﺎ َ‬
‫ﺞ َﻳﻬْ ِﺪ ُم ﻣَﺎ‬
‫ﺤﱠ‬
‫ن اﻟْ َ‬
‫ن َﻗﺒَْﻠﻬَﺎ َوَأ ﱠ‬
‫ن اﻟْ ِﻬﺠْ َﺮ َة َﺗﻬْ ِﺪ ُم ﻣَﺎ آَﺎ َ‬
‫ن َﻗﺒَْﻠ ُﻪ َوَأ ﱠ‬
‫َﻳﻬْ ِﺪ ُم ﻣَﺎ آَﺎ َ‬
‫ل اﻟﱠﻠ ِﻪ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ‬
‫ﻰ ِﻣﻦْ َرﺳُﻮ ِ‬
‫ﺐ ِإَﻟ ﱠ‬
‫ﺣ ﱠ‬
‫ﺣ ٌﺪ َأ َ‬
‫ن َأ َ‬
‫ن َﻗﺒَْﻠ ُﻪ‪َ .‬وﻣَﺎ آَﺎ َ‬
‫آَﺎ َ‬
‫ﻰ ِﻣﻨْ ُﻪ‬
‫ﻋﻴْ َﻨ ﱠ‬
‫ﻸ َ‬
‫ﻖ َأنْ َأﻣْ َ‬
‫ﺖ ُأﻃِﻴ ُ‬
‫ﻞ ﻓِﻰ ﻋَﻴْﻨِﻰ ِﻣﻨْ ُﻪ َوﻣَﺎ ُآﻨْ ُ‬
‫ﺟﱠ‬
‫ﻻ َأ َ‬
‫وﺳﻠﻢ َو َ‬
‫ﻰ‬
‫ﻋﻴْ َﻨ ﱠ‬
‫ﻸ َ‬
‫ﻷﻧﱢﻰ َﻟﻢْ َأ ُآﻦْ َأﻣْ ُ‬
‫ﺖ َ‬
‫ﻃﻘْ ُ‬
‫ﺻ َﻔ ُﻪ ﻣَﺎ َأ َ‬
‫ﺖ َأنْ َأ ِ‬
‫ﺳ ِﺌﻠْ ُ‬
‫ﻻ َﻟ ُﻪ َوَﻟﻮْ ُ‬
‫ﻼً‬
‫ِإﺟْ َ‬
‫ﺠ ﱠﻨ ِﺔ ُﺛﻢﱠ‬
‫ﻞ اﻟْ َ‬
‫ن ِﻣﻦْ َأهْ ِ‬
‫ت َأنْ َأآُﻮ َ‬
‫ﺟﻮْ ُ‬
‫ل َﻟ َﺮ َ‬
‫ﻚ اﻟْﺤَﺎ ِ‬
‫ﻋﻠَﻰ ِﺗﻠْ َ‬
‫ِﻣﻨْ ُﻪ َوَﻟﻮْ ُﻣﺖﱡ َ‬
‫ﺤ ٌﺔ‬
‫ﻼ ﺗَﺼْﺤَﺒْﻨِﻰ ﻧَﺎ ِﺋ َ‬
‫َوﻟِﻴﻨَﺎ َأﺷْﻴَﺎ َء ﻣَﺎ َأدْرِى ﻣَﺎ ﺣَﺎﻟِﻰ ﻓِﻴﻬَﺎ َﻓِﺈذَا َأﻧَﺎ ُﻣﺖﱡ َﻓ َ‬
‫ل َﻗﺒْﺮِى‬
‫ﺣﻮْ َ‬
‫ب ﺷَﻨًّﺎ ُﺛﻢﱠ َأﻗِﻴﻤُﻮا َ‬
‫ﻰ اﻟ ﱡﺘﺮَا َ‬
‫ﻋَﻠ ﱠ‬
‫ﺸﻨﱡﻮا َ‬
‫ﻻ ﻧَﺎرٌ َﻓِﺈذَا َد َﻓﻨْ ُﺘﻤُﻮﻧِﻰ َﻓ ُ‬
‫َو َ‬
‫ﻈ َﺮ ﻣَﺎذَا‬
‫ﺲ ِﺑ ُﻜﻢْ َوَأﻧْ ُ‬
‫ﺣﺘﱠﻰ َأﺳْ َﺘﺄْ ِﻧ َ‬
‫ﺴ ُﻢ َﻟﺤْ ُﻤﻬَﺎ َ‬
‫ﺤ ُﺮ ﺟَﺰُورٌ َو ُﻳﻘْ َ‬
‫َﻗﺪْ َر ﻣَﺎ ُﺗﻨْ َ‬
‫ﻞ َرﺑﱢﻰ‬
‫ﺳَ‬
‫ﺟ ُﻊ ِﺑ ِﻪ ُر ُ‬
‫ُأرَا ِ‬
‫‪12‬‬
‫‪ ‬‬
‫‪12‬‬
‫‪ Abû al-Husain Muslim bin al-Hajjâj bin Muslim al-Qusyairî al-Naisabury Sahîh‬‬
‫‪Muslim. (Beirut, Dar al-Jayl, Dar al-Afaq,), Juz.1, h.78 ‬‬
‫‪ ‬‬
9 ”Telah bercerita kepada kami Muhammad ibn al-Mutsannâ
al-‘Anazî dan Abû Ma’in al-Raqqâsyî dan Ishâq ibn Mansûr,
mereka semua dari Abî ‘Âsim dan lafadz oleh Ibn Mutsannâ, Ia
bercerita kepada kami al-Dahhâq, yaitu Abû ‘Âsim ia berkata:
Mengabarkan kepada kami Haiwah ibn Syuraîh, ia berkata: Telah
bercerita kepada kami Yazîd ibn Abî Habîb dari Ibn Syumâsah alMahriyyî r,a., katanya “Kami menyaksikan Amru Ibn ‘Âs ketika
dia hendak meninggal. Dia lama menangis sambil mengadapkan
mukanya ke dinding. Karena itu anaknya berujar, “wahai ayahku,!
Bukankah Rasulullah saw telah menyampaikan berita gembira bagi
ayah, begini dan begitu. ( Kenapa ayah masih menangis?)” Lalu
Amru Ibn ‘As menengok kepada anaknya sambil berkata :
“sesungguhnya perbekalan kita yang paling utama adalah syahadat
: Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah.
Aku ini telah mengalami tiga zaman. Pertama, aku menyadari,
tidak ada orang yang paling benci kepada rasulullah Saw, melebihi
benciku. Ketika itu tidak ada yang lebih kuinginkan kecuali
menangkapnya lalu membunuhnya. Kalaulah aku meninggal ketika
itu, tentulah aku masuk neraka. Kedua, tatkala Allah menanamkan
Islam ke dalam dadaku, aku datangi Nabi Saw. lalu aku berujar,
“Ulurkanlah tangan anda, aku hendak berjanji setia dengan anda”
beliau mengulurkan tangannya dan menjabat tanganku sambil
berkata, “ Apa maksudmu hai ‘Amr?” Jawabku “aku hendak
masuk Islam dengan syarat” Tanya beliau “ apa syarat yang hendak
engkau pinta?” jawabku “ supaya dosaku diampuni” kata beliau “
apakah engkau belum tahu, bahwa islam mengapus segala dosa
yang sebelumnya?” semenjak itu aku merasakan tidak ada orang
yang paling cinta kepadaku melebihi cinta Rasulullah Saw. dan
tidak ada orang yang paling terhornat melebihi beliau. Sebab itu
aku tak kuasa demi untuk memuliakannya. Sehingga aku diminta
orang untuk menggambarkan bentuk beliau, aku tak sanggup,
karena aku tak pernah mengangkat pandanganku kepada beliau.
Kalaulah aku mati ketika itu, sungguh besar harapanku bahwa aku
masuk surga. Ketiga, kemudian aku menjabat berbagai jabatan
pemerintah, dimana aku sendiri tidak tahu bagaimana
sesungguhnya keadaanku selama dalam jabatan-jabatan itu. Karena
itu, jika aku mati, janganlah jenazahku diantar para wanita peratap
dan jangan pula membawa api. Apabila aku telah dikubur,
timbunlah jenazah ku dengan rata, kemudian tunggulah kira-kira
selama orang menyembelih kurban dan membagi-bagikan
dagingnya, supaya aku tidak kesepian bersamamu, tatkala aku
memikirkan jawaban tehadap malaikat yang dikirim Tuhanmu
untuk menanyaiku” 13
13
Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Nisâbûrî, trjmh. Ma’mur Dâwud, Terjemah Sahîh
Muslim,( Malaysia: KLANG BOOK CENTRE, 1997, Cet.5) h.56 ‫‪10 ‬‬
‫‪ ‬‬
‫‪Hadis ke-2‬‬
‫ﻦ ِإﺑْﺮَا ِهﻴْ َﻢ ﺑْﻦ‬
‫ﺤﻤﱠ ُﺪ ﺑْ ُ‬
‫ﺨﻮْﻟَﺎ ِﻧﻲْ َﺛﻨَﺎ ُﻣ َ‬
‫ﺳِّﻠﻢْ اﻟْ َ‬
‫ﻦ َ‬
‫ﺲ ﺑْ ِ‬
‫ﻋﻘَﻴْﻞ َأ َﻧ ِ‬
‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َأ ُﺑﻮْ ُ‬
‫َ‬
‫ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ‬
‫ﻦ ُﻣ َ‬
‫ﷲ ﺑْ ِ‬
‫ﻋﺒْ ُﺪ ا ِ‬
‫ﻋﻴَﺎش َﺛﻨَﺎ َ‬
‫ﻞ ﺑْﻦ ِ‬
‫ﻋﻴْ َ‬
‫اﻟْ ُﻌﻠَﺎ ِء اﻟْﺤَﻤْﺼِﻲ َﺛﻨَﺎ ِإﺳْﻤَﺎ ِ‬
‫ل‪:‬‬
‫ﷲ اﻟَْﺄوْدِي ﻗَﺎ َ‬
‫ﻋﺒْ ِﺪ ا ِ‬
‫ﻦ َ‬
‫ﺳ ِﻌﻴْ ِﺪ ﺑْ ِ‬
‫ﻋﻦْ َ‬
‫ﻋﻦْ َﻳﺤْﻴَﻰ ﺑْﻦ َأ ِﺑﻲْ َآ ِﺜﻴْ ِﺮ َ‬
‫اﻟْ ُﻘﺮْﺷِﻲ َ‬
‫ل ‪ِ :‬إذَا ُﻣﺖﱡ ﻓَﺎﺻْ َﻨ ُﻌﻮْا ِﺑﻲْ آَﻤَﺎ‬
‫ع َﻓﻘَﺎ َ‬
‫ت َأ ُﺑﻮْ ُأﻣَﺎ َﻣ َﺔ َو ُه َﻮ ِﻓﻲْ اﻟ ﱠﻨ َﺰ ِ‬
‫ﺷ ِﻬﺪْ ُ‬
‫َ‬
‫ن َﻧﺼْ َﻨ َﻊ ِﺑ َﻤﻮْﺗَﺎﻧَﺎ َأ َﻣ َﺮﻧَﺎ‬
‫ﺳﱠﻠ َﻢ َأ ﱠ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ‬
‫ﷲ َ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ا ِ‬
‫ﷲ َ‬
‫لا ِ‬
‫ﺳﻮْ ُ‬
‫أَﻣَﺮَﻧَﺎ َر ُ‬
‫ﺣ ٌﺪ ِﻣﻦْ ِإﺧْﻮَا ِﻧ ُﻜﻢْ‬
‫ت َأ َ‬
‫ل ‪ :‬إِذَا ﻣَﺎ َ‬
‫ﺳﱠﻠ َﻢ َﻓﻘَﺎ َ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ‬
‫ﷲ َ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ا ُ‬
‫ﷲ َ‬
‫لا ِ‬
‫ﺳﻮْ ُ‬
‫َر ُ‬
‫س َﻗﺒْ ِﺮ ِﻩ ُﺛﻢﱠ ﻟْ َﻴ ُﻘﻞْ ‪ :‬ﻳَﺎ‬
‫ﻋﻠَﻰ َرأْ ِ‬
‫ﺣ ُﺪ ُآﻢْ َ‬
‫ﻋﻠَﻰ َﻗﺒْ ِﺮ ِﻩ َﻓﻠْ َﻴ ُﻘﻢْ َأ َ‬
‫ب َ‬
‫ﺴﻮﱠ ْﻳ ُﺘ ُﻢ اﻟ ﱡﺘﺮَا َ‬
‫َﻓ َ‬
‫ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ‬
‫ن ﺑْ ُ‬
‫ل ‪ :‬ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ‬
‫ﺐ ُﺛﻢﱠ َﻳ ُﻘﻮْ ُ‬
‫ﺠﻴْ ُ‬
‫ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳﺴْ َﻤ ُﻌ ُﻪ وَﻟَﺎ ُﻳ ِ‬
‫ن ﺑْ ُ‬
‫ُﻓﻠَﺎ ُ‬
‫ﻚ‬
‫ﺣ ُﻤ َ‬
‫ﺷ ْﺪﻧَﺎ َر ِ‬
‫ل ‪َ :‬أ ْر ِ‬
‫ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳ ُﻘﻮْ ُ‬
‫ن ﺑْ ُ‬
‫ل ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ‬
‫ﻋﺪًا ُﺛﻢﱠ َﻳ ُﻘﻮْ ُ‬
‫َﻳﺴْ َﺘﻮِي ﻗَﺎ ِ‬
‫ﺷﻬَﺎ َد َة‬
‫ﻦ اﻟ ﱡﺪﻧْﻴَﺎ َ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ ِﻣ َ‬
‫ﺖ َ‬
‫ﺧ َﺮﺟْ َ‬
‫ن َﻓﻠْ َﻴ ُﻘﻞْ ‪ُ :‬اذْ ُآﺮْ ﻣَﺎ َ‬
‫ﷲ َوَﻟ ِﻜﻦْ ﻟَﺎ َﺗﺸْ ُﻌ ُﺮوْ َ‬
‫ا ُ‬
‫ﷲ رَﺑًّﺎ‬
‫ﺖ ﺑِﺎ ِ‬
‫ﺿﻴْ ُ‬
‫ﻚ َر ِ‬
‫ﺳﻮُْﻟ ُﻪ َوَأ ﱠﻧ َ‬
‫ﻋﺒْ ُﺪ ُﻩ َو َر ُ‬
‫ﺤ ﱠﻤﺪًا َ‬
‫ن ُﻣ َ‬
‫ﷲ َوَأ ﱠ‬
‫ﻟَﺎ ِإَﻟ َﻪ إِﻟﱠﺎ ا ُ‬
‫ﺧ ُﺬ‬
‫ن ُﻣﻨْ َﻜﺮًا َو َﻧ ِﻜﻴْﺮًا ﻳَﺄْ ُ‬
‫ن ِإﻣَﺎﻣًﺎ َﻓِﺈ ﱠ‬
‫ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ ﱠﻧﺒِﻴًّﺎ َوﺑِﺎﻟْ ُﻘﺮْﺁ ِ‬
‫َوﺑِﺎﻟِْﺈﺳْﻠَﺎ ِم ِدﻳْﻨًﺎ َو ِﺑ ُﻤ َ‬
‫ﻦ‬
‫ﻋﻨْ َﺪ َﻣﻦْ َﻗﺪْ ُﻟ ِّﻘ ُ‬
‫ﻄِﻠﻖْ ِﺑﻨَﺎ ﻣَﺎ ُﻧﻘْ ِﻌ ُﺪ ِ‬
‫ل ‪ِ :‬اﻧْ َ‬
‫ﺣ ُﺒ ُﻪ َو َﻳ ُﻘﻮْ ُ‬
‫وَاﺣِﺪ ِﻣﻨْ ُﻬﻤَﺎ ِﺑ َﻴ ٍﺪ ﺻَﺎ ِ‬
‫ن َﻟﻢْ‬
‫ﷲ َﻓِﺈ ﱠ‬
‫لا ِ‬
‫ﺳﻮْ َ‬
‫ﺟﻞٌ ‪ :‬ﻳَﺎ َر ُ‬
‫ل رَ ُ‬
‫ن اﷲ ﺣﺠﻴﺠﻪ ُدوْﻧَ ُﻬﻤَﺎ َﻓﻘَﺎ َ‬
‫ﺣﺠﱠ ُﺘ ُﻪ َﻓ َﻴ ُﻜﻮْ ُ‬
‫ُ‬
‫ﺣﻮﱠا َء‬
‫ﻦ َ‬
‫ن ﺑْ ُ‬
‫ﺣﻮﱠا َء ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ‬
‫ﺴ ُﺒ ُﻪ ِإﻟَﻰ َ‬
‫ل ‪َ :‬ﻓ ُﻴﻨْ ِ‬
‫َﻳﻌْ ِﺮفْ ُأﻣﱡ ُﻪ ﻗَﺎ َ‬
‫‪14‬‬
‫‪“Telah bercerita kepada kami Abû ‘Uqail Anas ibn Sallim‬‬
‫‪al-Khaulânî, bercerita kepada kami Muhammad ibn Ibrâhîm ibn al‬‬‫‪‘Ulâ’i al-Hamsî, bercerita kepada kami ‘Iyâsy, bercerita kepada‬‬
‫‪kami ‘‘Abdullâh ibn Muhammad al-Qursî dari Yahyâ bin Abî‬‬
‫‪Katsîr dari Sa’îd bin ‘Abdillâh al-Awdî, berkata: “Aku‬‬
‫‪menyaksikan Abû Umâmah r.a, ketika itu beliau dalam keadaan‬‬
‫‪ ‬‬
‫‪14‬‬
‫‪Sulaimân bin Ahmad bin Ayyûb bin Abû al-Qasim Al-Tabrânî, Al-Mu’jam al-Kabîr,‬‬
‫‪(Al-Maktah al-‘Ulumi al-Hukmi, 1983), Juz.8, h.249 ‬‬
‫‪ ‬‬
11 nazza’ (menjelang kematiannya). Beliau berkata:”Apabila aku
wafat maka hendaklah urus aku sebagaimana yang diperintahkan
Nabi Saw., dalam mengurus orang kita yang meninggal. Beliau
(Nabi Saw) berkata: “Apabila meninggal salah seorang diantaramu
(maksudnya orang Islam) dan telah didatarkan tanah diatas
perkuburannya, maka hendaklah salah seorang diantaramu berhenti
sebentar dihadapan kepala si mayit itu, hendaklah ia berkata: “Hai
fulan anak wanita fulan, maka si mayit mendengar tetapi ia tidak
bisa menjawab. Kemudian dikatakan lagi: “Hai fulan anak wanita
fulan! Maka ia menjawab: “Berilah petunjuk kepada kami semoga
Tuhan memberi rahmat kepadamu. Tetapi kamu tidak mendengar
ucapannya itu. Kemudian katakan lagi: “Ingatlah hal ketika engkau
keluar dari dunia, yaitu pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah,
Muhammad itu hamba-Nya dan Rasul-Nya, dan bahwasannya
engkau telah ridha bahwa Allah Tuhanmu, Islam agamamu,
Muhammad Nabimu, Al-Qur’an Imammu. Ketika itu malaikat
Munkar dan Nakir saling memegang tangan kawannya dan berkata
: “Mari kita kembali saja, apa gunanya kita duduk dihadapan orang
yang telah di-talqîn-kan jawabannya. Berkata Abû Umâmah r.a,:
Seorang sahabat bertanya kepada Nabi Saw.,: “Wahai Rasulullah,
kalau (orang yang men-talqîn-kan itu) tidak tahu nama ibunya,
bagaimana?. Jawab Nabi Saw,: “Dibangsakan saja ia kepada
ibunya Siti Hawa” (H.R.Tabrânî, Mu’jam al-Kabîr) 15
Hadis ke-3
‫ﺤﻴْ ِﺮ‬
َ ‫ﻦ ُﺑ‬
ِ ْ‫ﷲ ﺑ‬
ِ ‫ﻋﺒْ ِﺪ ا‬
َ ْ‫ﻋﻦ‬
َ ٌ‫ﺣ َﺪ َﺛﻨَﺎ هِﺸَﺎم‬
َ ‫ئ‬
‫ﻦ ُﻣﻮْﺳَﻰ اﻟﺮﱠا ِز ﱡ‬
ُ ْ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ِإﺑْﺮَا ِهﻴْ ُﻢ ﺑ‬
َ
‫ن‬
َ ‫ آَﺎ‬: ‫ل‬
َ ‫ن ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻋﻔﱠﺎ‬
َ ‫ﻦ‬
ِ ْ‫ن ﺑ‬
َ ‫ﻋﺜْﻤَﺎ‬
ُ ْ‫ﻋﻦ‬
َ ‫ن‬
َ ‫ﻋﺜْﻤَﺎ‬
ُ ‫ﺊ َﻣﻮْﻟَﻰ‬
ٍ ‫ﻋﻦْ هَﺎ ِﻧ‬
َ ‫ن‬
َ ‫ﻦ َرﻳْﺴَﺎ‬
ِ ْ‫ﺑ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ‬
َ ‫ﻒ‬
َ ‫ﺖ َو َﻗ‬
ِ ‫ﻦ اﻟْ َﻤ ﱢﻴ‬
ِ ْ‫غ ِﻣﻦْ َدﻓ‬
َ ‫ن إذَا َﻓ َﺮ‬
َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ آَﺎ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ‬
َ ‫ﻲ‬
‫اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬
16
‫ل‬
ُ ‫ن ُﻳﺴَْﺄ‬
َ ‫ل "اﺳْ َﺘﻐْ ِﻔﺮُوا ِﻟَﺄﺧِﻴ ُﻜﻢْ واﺳﺄﻟﻮا ﻟﻪ اﻟﺘﺜﺒﺖ َﻓ ِﺈ ﱠﻧ ُﻪ اﻟْﺂ‬
َ ‫َﻓﻘَﺎ‬
“Telah bercerita kepada kami Ibrâhîm ibn Mûsâ al-Râzî,
telah bercerita kepada kami Hisyâm, dari ‘Abdillâh ibn Buhair ibn
Raisân dari Hânî Maula ‘Utsmân dari ‘Utsmân ibn ‘Affân, Ia
berkata: Adalah Nabi Saw., apabila selesai menguburkan mayit
15
Sirajuddin,Abbas 40 Masalah Agama (Jakarta, Pustaka Tarbiyah, Cet.25, 2006),h.91 Abî Dâwud Sulaimân bin al-Asy’ats, al-Sijistanî, Sunan Abî Dâwud, (Beirut, Dar alFikr, 2003.M/1424.H) Juz.3, h.166. 16
12 berhenti sebentar dan berkata: Mintakanlah ampun saudaramu ini
kepada Allah, dan mohonkanlah supaya ia tetap tabah, karena ia
sekarang akan ditanya.
Pada hadis yang pertama diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab
Sahîh-nya. Sebagaimana kita ketahui bahwa hampir semua ahli hadis dari
kalangan ulama Sunni sepakat bahwa hadis-hadis yang termuat dalam Kitab
Sahîh Muslim itu sudah diakui ke-sahîh-an sanad-nya. Oleh karena itu penulis
tidak akan meneliti hadis tersebut.
Dalam penilitian sanad ini penulis Hanya terfokus pada dua hadis saja,
yaitu hadis kedua dan hadis ketiga, yang masing-masing berada dalam kitab alMu’jam al-Kabîr dan Sunan Abî Dâwud yang keduanya merupakan kumpulan
dari kitab-kitab hadis dan Kutub al-Tis’ah
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan
hasil
penelitian
diatas,
maka
penulis
merumuskan
permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut:
1. Bagaimana kualitas sanad dan matan hadis tentang talqîn mayit setelah
penguburan?
2. Kalau ternyata ada hadis daif lalu apakah ada hadis yang lain yang dapat
mendukung kelemahannya (mutabî’ dan syahîd) 17 dalam kitab lain.
17
Mutabi’ ialah orang yang mengikuti periwayatan seorang guru atau gurunya (yang
terdekat), atau gurunya guru (yang terdekat itu), sedangkan syahîd ialah meriwayatkan sebuah
hadis lain dengan sesuai ma’nanya. Lihat Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisâr Mustalah al-Hadis, h. 8687 13 3. Bagaimana pemahaman hadis tentang talqîn mayit setelah penguburan?
Dan bisakah hadis tersebut dijadikan Hujjah dalam beramal?
C.
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kualitas hadis yang menjadi pembahasan
2. Bisakah hadis tersebut dijadikan hujjah dalam beramal
3. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I),
program Strata satu (S1) dari jurusan Tafsir Hadis Fakultas Usuluddin dan
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
D.
Kegunaan atau Manfaat Penelitian
Penulis berharap skripsi ini sangat berguna serta bermanfaat bagi
masyarakat pada umumnya perihal tentang talqîn mayit, karena dalam agama
Islam kita sangat dianjurkan ketika dalam setiap menjalankan ibadah harus
memiliki landasan bahwa ibadah yang sedang kita jalankan itu memang
bersumber dari al-Qur’an dan sunnah (hadis) Rasulullah Saw. Mudah-mudahan
dengan adanya skripsi ini dapat memberikan sumbangsih keilmuan kepada
masyarakat bahwa talqîn mayit setelah penguburan yang selama ini mereka
jalankan itu bukan hanya sekedar adat istiadat belaka tetapi memang benar-benar
ada sumber rujukannya berupa hadis Nabi Saw. Penulis juga berharap semoga
skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna khususnya buat pribadi penulis sendiri
yang sekarang sedang mengarungi bahtera keilmuan, juga bagi para pelajar
(Mahasiswa) yang sedang menekuni atau mendalami ilmu hadis mudah-mudahan
14 dalam penulisan skripsi ini bisa menambah wawasan serta pengetahuan bagi para
pembacanya.
E.
Tinjauan kepustakaan
Untuk mengindari duplikasi penelitian, sebelumnya penulis melakukan
survey atau pengecekan terhadap judul-judul skripsi yang telah ada di
Perpustakaan Fakultas Usuluddin dan Filsafat serta di Perpustakaan utama
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, setelah penulis melakukan
pengecekan terhadap judul-judul skripsi yang telah ada, ternyata penulis Hanya
menemukan satu judul skripsi melalui katalog yang ada di PU (Perpustakaan
Utama) yang kayaknya pembahasannya hampir mirip dengan judul yang penulis
angkat, yaitu Arat al-Fuqâhâ fî talqîn al-Mayyît wa ziarah al-Qubur. Karya
Zainuri, Tahun 2004. Tetapi sayangnya setelah melakukan pencarian lebih lanjut
penulis tidak menemukan skripsi tersebut untuk dijadikan sebagai bahan
perbandingan. Akantetapi secara sepintas kalau kita melihat kepada judul skripsi
diatas seolah-olah penelitiannya lebih cenderung kepada hukum talqin itu sendiri,
berbeda halnya dengan judul yang penulis buat, penelitiannya Hanya terfokus
kepada analisis sanad dan matan hadis talqîn setelah penguburan.
Adapun dari buku-buku edaran pun sebenarnya penulis masih sedikit
kesulitan dalam mencari buku-buku khusus yang Hanya memuat satu tema sesuai
dengan judul diatas. Akan tetapi ada beberapa buku yang sudah penulis temukan
yang diantara salah satu bagian dari babnya membahas tentang talqîn,
diantaranya: “ TRADISI ORANG-ORANG NU” karya Munawir Abdul Fattah.
15 Di dalam buku ini beliau menjelaskan bahwa men-talqîn-kan mayit itu hukumnya
sunnah, karena hal tersebut pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw., ketika anak
kesayangannya yang bernama Ibrâhîm meninggal dunia kemudian beliau mentalqîn-kannya dengan disaksikan oleh para sahabat beliau diantaranya ‘Umâr bin
Khattab r.a. Pendapat beliau ini merujuk kepada pendapat Imam Al-Suyûtî dalam
salah satu kitabnya Al-Hawî li al-Fatâwâ li al-Suyûtî, Juz.2, h.176-177.
F.
Metodologi Penelitian
Pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
menggunakan metode studi kepustakaan (library research). Dengan merujuk
kepada sumber-sumber primer seperti kitab-kitab hadis dan sekunder lainya yang
mengandung dan berkaitan dengan masalah yang dibahas
Adapun metode dalam kegiatan penilitian hadis ini yaitu :
1.
Melakukan Takhrîj hadis dari sanad dan matan hadis yang telah
disebutkan pada judul, langkah pertama penilitian hadis ini merujuk
melalui lafadz hadis dengan menggunakan kitab al-Mu’jam alMufahrâs li alfâz al-Hadis al-Nabawî dan yang kedua melalui awal
matan dengan menggunakan Kitab Mausû’at al-Atrâf al-Hadis alNabawî al-Syarîf.
2.
Mencari data yang sudah diperoleh dari kitab kamus dengan merujuk
pada kitab-kitab asli yang ditunjuk oleh kitab kamus hadis
16 3.
Melakukan penelitian sanad (kritik sanad) hadis dari data yang
diambil dalam kitab asli untuk kemudian menentukan kedudukan
hadis
G.
4.
Melakukan penilitian matan
5.
Memberi kesimpulan dari hasil penilitian di atas
Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan dalam skripsi ini, penulis membagi
pembahasan menjadi beberapa bab sebagai berikut :
Bab I. Pendahuluan yang meliputi : Latar belakang masalah, Pembatasan
dan perumusan masalah, Tujuan penelitian, Kegunaan atau manfaat penelitian,
Tinjauan kepustakaan, Metodologi penelitian, Sistematika penulisan.
Bab II. Membahas tinjauan umum mengenai talqîn yang meliputi :
Pengertian talqîn, Sejarah perkembangan talqîn, Pendapat para ulama tentang
talqîn dan Kewajiban orang yang hidup terhadap orang yang sudah meninggal.
Bab III. Analisis hadis-hadis tentang talqîn yang meliputi : Analisis hadis,
Teks hadis dan terjemahnya, i’tibâr sanad, Penelitian sanad, kritik sanad dan
Penelitian matan.
Bab IV. Penutup, Kesimpulan dan Saran
17 BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI TALQÎN
A.
Pengertian Talqîn
a. Menurut bahasa
Secara bahasa talqîn berasal dari bahasa Arab, yaitu “tafhîm” artinya
memahamkan atau memberi faham 18 , arti yang lain adalah pengajaran atau
peringatan 19 , makna yang lebih luas adalah memberi peringatan dengan mulut
secara berhadap-hadapan. 20 Sedangkan dalam konteks religious talqîn berarti
pengajaran atau peringatan spiritual. Dalam komunitas sufi, kegiatan pengajaran
18
Firuzabadi, Qâmus al-Muhît (Kairo: Husainiyah, 1344.H) Juz IV, h.268 Mahmud Yunus., Kamus Arab-Indonesia (Jakarta, Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsiran Al-Qur’an),h. 400 20
Darul Masriq, Qâmus Munjid (Beirut, Libanon: Matba’ah Katolik, Cet.XVII) h.780 19
18 terkadang disebut talqîn sebagai padanan dari ta’lim pada dunia pengajaran yang
lebih umum. 21
b. Menurut Istilah
Secara Istilah talqîn memiliki dua makna (arti), pertama; adalah
mengajarkan kepada orang yang akan meninggal dengan kalimat tauhid, yaitu “Lâ
ilâha Illallâh”, Yang kedua; adalah mengingatkan kepada orang yang sudah
meninggal dan baru saja dimakamkan akan beberapa hal yang penting baginya
untuk mengadapi Malaikat Munkar dan Nakir yang akan datang menanyainya 22 .
Kegiatan ini didasarkan antara lain atas hadis riwayat Muslim, Nasa’i dan
Tirmidzi yang berbunyi:
‫ ﻟﻘﻨﻮا ﻣﻮﺗﺎآﻢ ﻻ‬:‫ﻋﻦ أﺑﻲ ﺳﻌﻴﺪ ﻗﺎل ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬
‫إﻟﻪ إﻻ اﷲ‬
“Ajarilah orang-oranng mati di antara kamu dengan kalimat Lâ
ilâha Illallâh (tiada tuhan selain Allah)”.
Terdapat dua pemahaman utama terhadap kata mauta dalam hadis tersebut
di atas. 23 Ada yang menganggapnya berarti orang yang dekat atau menjelang
kematian. Ada pula yang mengambil makna literalnya, yakni orang mati, dan
berpandangan bahwa orang yang sudah wafat pun masih mungkin diberi
pengajaran, yaitu talqîn. Inilah yang menjadi landasan praktek membacakan atau
membisikan kalimat syahadat ke telinga orang yang sedang sakit keras dan
menjelang kematian. Tujuannya tentu saja ingin mengingatkan kepada orang yang
21
Syahrin Harahap, Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam (Jak-Tim, Prenada
Media, cet.1, 2003), h.425 22
Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama (Jakarta, Pustaka Tarbiyah, Cet.25, 2006),h.71 23
Syahrin Harahap, Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam, h.425 19 menjelang kematian tersebut hakikat paling mendasar dari keimanan , yaitu
pengakuan akan keesaan Allah SWT. Bagi mereka yang meyakini bahwa talqîn
masih mungkin dilakukan bahkan setelah kematian, ada yang mempraktekkan
melakukan hal tersebut setelah jenazah dikuburkan 24 Dan inilah yang akan penulis
bahas saat ini.
B.
Sejarah Perkembangan Talqîn
1. Pada Masa Rasulullah dan Para Sahabat
Salah satu langkah yang ditempuh oleh para Muhadisin untuk melakukan
penelitian matan hadis adalah dengan cara mengetahui sejarah yang
melatarbelakangi munculnya suatu hadis. 25 Oleh karena itu pada bab ini penulis
akan menyoroti permasalahan talqîn dari sudut pandang sejarah. Kendatipun
sebenarnya disini penulis belum mendapatkan data yang akurat tentang sejarah
perkembangan talqîn mayit pada masa Rasulullah dan para sahabat, akan tetapi
penulis mencoba mengutip salah satu perkataan salah seorang ulama yaitu Iman
Al-Suyûtî dalam salah satu bukunya Al-Hawî li al-Fatâwâ al-Suyûtî 26 ,
menurutnya: “Teks lengkap mengenai talqîn ini seperti dalam salah satu riwayat,
bahwa Rasulullah pada saat menguburkan anaknya, Ibrâhîm, beliau mengatakan:
“Katakanlah: Allah Tuhanku….. sampai kata-kata: Hal itu menunjukan atas
benarnya apa yang aku ucapkan, apa yang diriwayatkan dari Nabi Saw.,
sesungguhnya saat beliau menguburkan anaknya, Ibrâhîm, beliau berdiri diatas
24
Syahrin Harahap, Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedi Aqidah Islam, h.425 Bustamin, M.Isa H.A Salâm, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), h.85 26
Al-Suyûtî, Al-Hawî li al-Fatâwa al-Suyûtî, Juz: 2, h.176-177 25
20 kubur dan bersabda: “Hai anakku, hati ini sedih, mata ini mencucurkan air mata,
dan aku tidak akan berkata yang menyebabkan Allah marah kepadaku. Wahai
anakku, katakanlah Allah itu Tuhanku, Islam agamaku, dan Rasulullah itu
bapakku!”. Para sahabat ikut menangis, bahkan ‘Umâr bin Khattab menangis
sampai mengeluarkan suara yang keras. 27
Ibn Taimiyyah pernah ditanya tentang permasalahan talqîn dalam salah
satu bukunya Al-Fatâwâ al-Kubrâ, maka beliau berkomentar bahwa talqîn ini
benar-benar pernah dilakukan oleh sebagian kelompok para sahabat, dan mereka
pernah memerintahkan agar berbuat demikian, seperti Abû Umâmah al-Bâhilî r.a
dan sahabat-sahabat yang lainnya. 28
Seorang pakar tafsir dan hukum Islam, Imam al-Qurtubî, beliau berkata
juga dalam bukunya al-Tadzkirah. Menurutnya, ada riwayat yang bersumber dari
sahabat Nabi Saw., yaitu Abû Umâmah al-Bahîlî, yang berkata bahwa Rasulullah
Saw pernah bersabda: Apabila ada salah seorang diantara kamu meninggal dunia
dan dikuburkan lalu telah tertutupi oleh tanah, maka hendaklah salah seorang
berdiri di arah kepala orang yang meninggal itu dan berkata: “Hai si’ fulan putra
si’ fulan,” Ketika itu ia mendengar tetapi tidak dapat menjawab, Kemudian sekali
lagi ia memanggilnya, Ketika itu ia dalam keadaan duduk, Kemudian
ia
memanggilnya kembali untuk yang ketiga kalinya, maka ketika itu ia akan
berkata: Berilah aku tuntunan semoga Allah merahmati kamu,” Dia berkata
demikian walau kamu tidak mendengarnya. Maka hendaklah kamu berkata:
27
Munawir Abdul Fatah, Tradisi Orang-orang NU, (Yogyakarta, Pustaka Pesantren, cet.
VI, 2008), h.257 28
Taqiy al-Dîn Abû al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abd al-Him bin Taimiyyah, Al-Fatâwa alKubrâ (Dâr al-Kitâb al-‘Ilmiyyah, 1987) Juz.3, h.25 21 “Ingatlah saat engkau keluar meninggalkan dunia, tentang kesaksian bahwa lâ
Ilâha illallâh, Muhammad Rasûlullâh (Tiada Tuhan melainkan Allah dan
Muhammad adalah Pesuruh Allah) dan bahwa engkau telah rela (menerima
dengan tulus) Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai Agama, Muhammad sebagai
Nabi, al-Qur’an sebagai Imam (pedoman),” karena jika demikian, ketika itu
malaikat Munkar dan Nakir, masing-masing mundur dan berkata: “Ayo kita
meninggalkannya, untuk apa kita duduk disini, sedang ia telah dibisikan
jawabannya.” 29
Betapapun, persoalan ini menjadi salah satu yang ramai diperselisihkan
oleh para ulama dikarenakan lemah sanadnya. Kendati demikian, diperkuat oleh
riwayat lain yang terdapat dalam Kitab Sunan Abû Dâwud bahwa: Sahabat Nabi
Saw., Utsmân bin Affân ra., meriwayatkan bahwa apabila telah selesai
penguburan seseorang, Nabi Muhammad Saw. berdiri sejenak dan bersabda:”
Mohonlah pengampunan untuk saudara kalian, mohonlah untuknya kiranya Allah
memantapkan jiwanya, karena saat-saat ini ia ditanya.” 30
Dari beberapa riwayat di atas nampaknya sudah dapat diambil kesimpulan
bahwa permasalahan talqîn mayit tersebut sebenarnya telah ada sejak masa
Rasulullah dan para sahabat beliau, akan tetapi karena sudah terlalu jauh waktu
yang terlewat antara masa Rasulullah dengan masa sekarang seolah-olah
permasalahan talqîn itu adalah sesuatu yang baru muncul, bahkan termasuk
kegiatannya pun seperti Hanya berlaku dinegara kita saja, tidak ada dinegara lain,
ternyata kenyataannya tidak demikian.
29
M.Qurais Sihab, , Kehidupan Setelah Kematian (Ciputat, Tangerang, Lentera Hati,
2008), h.86 30
M.Qurais Sihab, , Kehidupan Setelah Kematian, h.90 22 2. Perkembangan Talqîn Pada Masa Kini
Berbicara tentang sejarah perkembangan talqîn di Indonesia, pada
dasarnya penulis belum mendapatkan informasi yang valid dari beberapa sumber
buku yang penulis dapatkan, khususnya mengenai kapan dan pada tahun berapa
awal mulanya talqîn di Indonesia itu mulai berkembang, akan tetapi disini penulis
akan mencoba mengambil beberapa data dan informasi yang ada yang sudah
penulis temukan dari berbagai macam sumber.
Bila kita mempelajari sejarah, maka kita dapatkan bahwa dalam kurun
waktu yang panjang, ajaran Islam telah dipentaskan diatas panggung dunia dengan
berbagai macam keragaman dan konpleksitasnya. Tercatat dalam sejarah
semenjak masa Nabi Muhammad Saw., sampai dengan sekarang bahwa
pelaksanaan dari ajaran Islam tidak mengambil dari satu bentuk tetapi secara
dinamis berkembang dan berimprovisasi. Islam Hanya memberikan prinsipprinsip saja sedangkan tatanan operasional diserahkan sepenuhnya pada umat
Islam dengan tetap berpegang pada semangat al-Qur’an dan hadîs. Islam telah
memberikan hukum yang konprehensif untuk membimbing umat manusia.
Hukum ini secara aktual dan dominan telah mengontrol dan membimbing
kehidupan berbudaya diatas dunia lebih dari seribu lima ratus tahun lamanya dan
sampai saat ini masih memberikan bimbingan kepada lebih dari satu milyar
penduduk dunia. 31
31
Mustafa, “Tradisional atau Modern adalah rahmat” (Sebuah Pengatar)dalam Syarif
Rahmat, Menimbang Amalan Tradisional, (Jakarta: CBA Cahaya Bintang Suara,, 2006) h.vii 23 Dalam kehidupan sehari-hari kaum muslimin khususnya di Indonesia,
banyak kita temukan tradisi keberagamaan yang sudah begitu memasyarakat,
sehingga kita terkadang sulit membedakan antara tradisi yang diberi nilai-nilai
syari’at dengan syari’at yang sudah menjadi tradisi kehidupan masyarakat 32 , salah
satu contoh misalnya talqîn mayit setelah acara penguburan, yang sampai
sekarang masih diamalkan oleh masyarakat kita, bahkan hampir semua pelosok
daerah di Indonesia melakukannya ketika ada salah seorang dari keluarga mereka
meninggal dunia.
Sebagian besar masyarakat Muslim Indonesia sudah mengenal dan mereka
mempraktikkan
acara
talqîn
setelah
penguburan
tersebut.
Acara
itu
diselenggarakan oleh sebagian besar masyarakat Muslim sebagai salah satu
bentuk kepedulian dan kasih sayang mereka terhadap saudaranya yang telah
mendahuluinya. Tetapi tidak Hanya itu, bagi mereka, acara ini juga merupakan
salah satu bentuk ibadah untuk menuntun dan mendo’akan orang yang baru
meninggal agar mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan diakhirat kelak.
Pada perkembangan berikutnya, acara ini mendapat tanggapan keras dari
sebagian Muslim Indonesia yang lain karena dianggap sebagai satu bentuk
penyimpangan dari aqidah dan syari’at Islam yang tidak seharusnya diamalkan
oleh segenap kaum Muslimin di Indonesia, akan tetapi tanggapan tersebut telah
mendapat jawaban dari sebagian ulama dari kaum Nahdiyyîn, bahwa sebetulnya
Umat Islam di Indonesia sudah mendapatkan referensi sekaligus justifikasi atas
32
M. Siddiq Fauzie “Kata Sambutan Ketua Majelis Ulama Indonesia Kota Madya Jakarta
Selatan” dalam Syarif Rahmat, Menimbang Amalan Tradisional, (Jakarta: CBA Cahaya Bintang
Suara,, 2006) h.v
24 model perjumpaan antara tradisi dan ajaran Islam dalam bentuk dalil-dalil yang
sudah disepakati oleh para ulama, terutama kalangan Ahli sunnah wa al-Jamâ’ah,
sebagai mayoritas muslim di Indonesia dan dunia. 33 Dan akhirnya sampai
sekarang pun hampir semua masyarakat kita masih tetap mengamalkan acara
talqîn tersebut.
C.
Pendapat Ulama Tentang Talqîn
Ibn Taimiyyah berkata dalam bukunya Al-Fatâwâ al-Kubrâ, 34 bahwa:
“Pendapat para ulama tentang talqîn itu dibagi menjadi tiga, yaitu: Pertama
sunnah, kedua makruh, ketiga mubah (boleh).
Kemudian Beliau menegaskan lagi dalam buku yang sama, bahwa diantara
para Ulama yang berpendapat bahwa talqîn itu sunnah, diantara mereka adalah
Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syâfi’î, dan Imam Abû Hanîfah dan juga para
sahabat-sahabat dan pengikut mereka, berdasarkan dalil dari hadis Nabi Saw.,
‫ل "اﺳْ َﺘﻐْ ِﻔﺮُوا ِﻟَﺄﺧِﻴ ُﻜﻢْ واﺳﺄﻟﻮا ﻟﻪ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َﻓﻘَﺎ‬
َ ‫ﻒ‬
َ ‫ﺖ َو َﻗ‬
ِ ‫ﻦ اﻟْ َﻤ ﱢﻴ‬
ِ ْ‫غ ِﻣﻦْ َدﻓ‬
َ ‫ن إذَا َﻓ َﺮ‬
َ ‫آَﺎ‬
35
‫ل‬
ُ ‫ن ُﻳﺴَْﺄ‬
َ ‫اﻟﺘﺜﺒﺖ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ اﻟْﺂ‬
“Adalah Nabi Saw., apabila selesai menguburkan mayit berhenti
sebentar dan berkata (kepada sahabat-sahabat beliau) :”Mintakanlah
ampun saudaramu ini kepada Tuhan, dan mohonkanlah supaya ia tetap dan
tabah, karena bahwasannya ia sekarang sedang ditanya”
33
Anisah Mahfudz “Perjumpaan Islam dan Tradisi Lokal Sebagai Media Dakwah” dalam
Muhyiddin Abdussamad, Hujjah NU. (Surabaya: Khista dan LTN NU Jawa Timur, 2008), h.viii 34
Taqiy al-Dîn Abû al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abd al-Him bin Taimiyyah, Al-Fatâwa alKubrâ, (Dâr al-Kitâb al-‘Ilmiyah, 1987) Juz.3, h.25 35
Abî Dâwud Sulaimân bin al-Asy’ats, al-Sijistanî, Sunan Abû Dâwud, (Beirut, Dar alFikr, 2003.M/1424.H) Juz.3, h.166. 25 . Dan yang menganggap bahwa talqîn itu makruh adalah pendapat Imam
Malik, 36 sedangkan yang berpendapat bahwa talqîn itu mubah (boleh) adalah
pendapat beliau (Ibn Taimiyah) sendiri, dengan alasan itulah pendapat yang paling
adil. 37
Imam al-Nawâwi berkomentar dalam bukunya al-Adzkar 38 , bahwa:
“Adapun membaca talqîn pada orang yang meninggal setelah penguburannya,
maka dikatakan oleh pengikut Abû Hanîfah kebanyakan dari sahabat-sahabat
kami bahwasannya hal tersebut disunnahkan, diantara mereka yang bernas akan
disunnahkannya hal tersebut adalah Al-Qâdli Husein dalam komentarnya,
kawannya Abû Sa’ad al-Mutawalli dalam kitabnya al-Tatimmah, Syaikh Imam alZahid Abû Fatah Nasr bin Ibrâhîm bin Nasr al-Maqdisi, dan Imam Abû Qâsim arRifa’î dan lain sebagainya. Al-Qâdi Husein menukil dari sahabat-sahabat, adapun
lafadznya, Syaikh Nasr berkata, “Bila dia telah selesai memakamkan jenazah,
hendaklah ia berdiri disisi kepala mayat tersebut lantas berdoa, “Wahai fulan bin
fulan, ingatlah yang perjanjian dengannya Engkau keluar dari dunia: Kesaksian
bahwasannya tiada Tuhan selain Allah, yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya,
bahwasannya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, bahwasannya waktu
kiamat akan datang, tidak ada keraguan didalamnya, bahwasannya Allah
membangkitkan siapapun yang berada dalam kubur, katakanlah aku rela Allah
sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad Saw., sebagai Nabiku,
Ka’bah sebagai kiblat, Al-Qur’an sebagai imam, Kaum Muslimin sebagai saudara,
36
Ibn Taimiyyah, Al-Fatâwâ al-Kubrâ, h.24 Ibn Taimiyyah, Al-Fatâwâ al-Kubrâ, h.25 38
Imam Nawâwi, Al-Adzkar, Pntrjmh Gafur Saub, Irfanuddin Rafiuddin (Jakarta, Pustaka
As-Sunnah, cet.1, 2007), h. 438 37
26 Tuhanku adalah Allah tiada Tuhan selain Dia, Ia adalah Tuhan pemilik Arasy
yang agung, ini adalah lafadz Syaikh Al-Maqdisi dalam kitabnya al-Tahdzîb,
lafadz yang lain adalah seperti lafadz tersebut, sebagian daripada mereka memiliki
lafadz yang lebih pendek, kemudai diantara mereka ada yang berkata, “Wahai
hamba Allah bin umat Allah, “diantara mereka ada yang berkata, “Wahai
‘Abdullâh anak Hawa, diantara mereka ada yang berkata, :Wahai fulan-dengan
menyebut namanya,-bin umat Allah, atau wahai fulan bin Hawa, semuanya
memiliki makna yang sama.
Syeikh Abû ‘Umâr bin Saleh ditanya tentang talqîn ini 39 , ia berkata dalam
fatwa-fatwanya, “Membaca talqîn adalah yang kami pilih dan kami amalkan,
disebutkan oleh sekelompok sahabat-sahabat kami yang berasal dari Khurasan, ia
berkata: “Kami telah meriwayatkan didalamnya suatu hadis dari hadis Abû
Umâmah, isnad-nya tak dapat diluruskan, namun dapat ditolong dengan
kesaksian-kesaksian lain, penduduk Syam mengamalkannya dimasa lalu, ia
berkata: “Adapun talqîn yang diucapkan oleh anak-anak yang masih dalam buaian
tak dapat dijadikan pegangan, dan kami melihat hal itu perlu dilakukan.
Sebagian Ulama ahli hadis berpendapat, bahwa mengenai talqîn yang
berbunyi “Laqqinû…..dst”, maka perkataan “mautakum” tersebut diartikan
dengan “orang yang sudah mati”, meskipun ada makna majazi dengan arti “orang
yang hampir mati”. Mereka berpendapat pula bahwa hadis yang diriwayatkan
Muslim itu sebenarnya telah memperkuat isi hadis mengenai talqîn ini karena
39
Imam Nawâwi, Al-Adzkar, Pntrjmh Gafur Saub, Irfanuddin Rafiuddin, , h.438 27 perkataan seperti (yang disebutkan dalam hadis Damrah), itu tidak ada jalan untuk
diijtihadi 40 .
Demikian pula halnya dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abû Dâwud,
telah pula memperkuat isi hadis mengenai talqîn tersebut. Meskipun dalam hadis
ini dimaksudkan adalah “do’a” akan tetapi dengan isyaratnya menunjukan dan
menyuruh agar kita mengerjakan sesuatu yang menjadikan ketabahan bagi si
mayit karena pada waktu itu kita benar-benar diperlukan.
Ibn Qayyim dalam bukunya RUH, berkata: “Bahwa hadis talqîn itu
berturut-turut diamalkan tanpa diingkari dan cukuplah untuk dikerjakan. Bagi kita
tidak ada larangan untuk mengucapkan sesuatu perkataan yang menjadikan
manfaat bagi si mayit. Berkata pula Imam Nawâwi di dalam Syarh Muhadzdzâb
dan bagi hadis mengenai talqîn itu banyak hadis-hadis yang menguatkannya. 41
Ibn Syaibah berkata: “Ibu saya pernah berwasiat kepada saya saat dia
mengadapi kematian agar saya berdiri disamping pemakamannya setelah selesai
ditanamkan dengan mengucapkan: “Hai Ibu, katakanlah olehmu Lâ Ilâha illallâh,
setelah itu pulanglah engkau”. Pada waktu malam saya bermimpi berjumpa
beliau, dan ibu saya itu berkata kepada saya,: “Ya Syaibah, hampir saja saya
celaka seandainya engkau tidak mengingatkan saya dengan kalimat Lâ Ilâha
illallâh” 42
Talqîn itu pada hakikatnya bukanlah dimaksudkan memberi pelajaran pada
orang-orang yang sudah mati (mayit), melainkan sekedar memberi ketenangan
atau ketabahan didalam kubur, seperti tersebut dalam al-Qur’an:
40
M.Syarwani Abdan, Al-Dzakhirah al-Minah. h.86 M.Syarwani Abdan, Al-Dzakhirah al-Minah, h.86 42
Abd Wahab Asy-Sya’rany, Maut dan Dialog Suci, (Jawa Timur, CV.Amin), h.124 41
28 ☺
⌧
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya
peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin” 43 (Q.S.AdzDzariyat: 55)
Seorang ulama hadis kontemporer yang bernama Nasîruddîn al-Albânî
berkata: “Sanad hadis ini lemah sekali, saya tidak mengenal mereka kecuali
‘Utbah bin Sakan, dia dikatakan oleh ad-Daruqutnî: Ditinggalkan hadisnya. AlHaitsami mengatakan: Diriwayatkan al-Tabrânî dalam al-Kabîr, dalam sanadnya
ada beberapa rawi yang tidak saya kenal.”
Kemudian al-Albânî berkomentar lagi: “Hal ini jangan dibantah dengan
pendapat yang populer bahwa hadis lemah bisa digunakan dalam fadâil a’mal,
karena hal tersebut merupakan kaidah dalam masalah-masalah yang disyariatkan
al-Qur’an dan Sunnah al-Sihah. Adapun bila tidak demikian maka tidak boleh
diamalkan karena itu merupakan syariat dengan hadis lemah. Hendaknya hal ini
diperhatikan oleh orang yang menginginkan keselamatan dalam agamanya karena
kebanyakan orang lalai.” 44
Beliau juga mengatakan: “Talqîn setelah mati, di samping bid’ah dan tidak
ada hadisnya yang sahih, juga tidak ada faedahnya karena hal itu keluar dari
kampung taklîf (beban) kepada kampung pembalasan dan mayit tidak menerima
peringatan karena peringatan itu bagi orang yang masih hidup.”
43
DEPAG. RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h.756 Nasîruddîn al-Albânî Silsilah Ahâdits ad-Da’ifah, (Riyad, Dar al-Ma’arif, Juz. 2,
1992), h.65
44
29 Menurut hemat penulis pendapat Nasîruddîn al-Albânî tersebut diatas
bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama hadis terdahulu, sebagaimana
yang dikatakan oleh Imam an-Nawâwi dalam muqadimah salah satu bukunya AlArba’in al-Nawâwiyyah 45 bahwa para ulama sepakat mengenai diperbolehkannya
mengamalkan hadis da’if dalam hal fadail a’mal
Oleh sebab itu, dari beberapa pendapat para ulama diatas tentang talqîn
mayit setelah dikuburkan, para ulama berselisih pendapat menjadi tiga pendapat:
1. Sunnah. Berdasarkan hadis diatas dan amalan sebagian ulama. Ibn Salah
rahimahullah berkata: “Adanya talqîn, itulah yang kami pilih dan kami
amalkan, kami meriwayatkan suatu hadis tentangnya dari Abû Umâmah,
namun sanadnya tidak kuat, tetapi dikuatkan oleh beberapa penguat dan
diamalkan oleh penduduk Syam.”
2. Mubah (boleh). Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Dalam hal ini ada tiga pendapat: Sunnah, Makruh dan Mubah, inilah
pendapat yang paling adil.”
3. Haram. Hal itu karena hadisnya tidak sahih dari Nabi sallallahu ‘alaihi
wasallam, maka mengamalkannya termasuk kebid’ahan dalam agama. AsSan’ani rahimahullah berkata: “Kesimpulan komentar para ulama ahli
hadis bahwa hadis ini lemah dan mengamalkannya merupakan kebid’ahan,
maka janganlah tertipu dengan banyaknya orang yang melakukannya.”
45
Yahyâ bin Syarifuddin al-Nawâwi, Al-Arba’in al-Nawâwiyyah, (Jakarta, Al-‘Idrus),h.4 30 BAB III
ANALISIS HADIS-HADIS TENTANG TALQÎN MAYIT SETELAH
PENGUBURAN
Dalam menganalisis suatu hadis diperlukan kegiatan men-takhrîj 46 . Ada
empat 47 metode dalam melakukan kegiatan takhrîj, tetapi di sini penulis Hanya
menggunakan tiga metode dari empat metode tersebut. Pertama, penulis
menggunakan metode yang terambil dari kata-kata atau lafaz fi’îl, kedua,
menggunakan metode awal matan hadis, dan ketiga, melalui tema.
A. Hadis Pertama
46
Takhrîj secara bahasa berarti berkumpulnya dua perkara yang berlawanan pada sesuatu
yang satu. Kata takhrîj sering dimutlakkan pada beberapa macam pengertian, dan pengertianpengertian yang popular untuk kata takhrîj ialah, al-istinbat (h mengelurkan), al-tadrîb (h melatih
atau h pembiasaan), dan al-taûjih (h memperhadapkan). Menurut istilah kata takhrîj mempunyai
beberapa arti, yakni : (1) Menunjukkan asal-usul hadis dan mengemukakan sumber
pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang di susun oleh para mukharrij-nya langsung (yakni
para periwayat yang juga sebagai pengimpun bagi hadis yang mereka riwayatkan. (2)
Mengemukakan hadis berdasarkan sumbernya atau berbagai sumbernya, yakni kitab-kitab hadis,
yang di dalamnya disertakan metode periwayatannya dan sanad-nya masing-masing, serta
diterangkan keadaan para periwayatnya dan kualitas hadis-nya. (3) Ulama hadis mengemukakan
berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh para guru hadis, atau berbagai kitab, atau lainnya,
yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayatnya sendiri, atau para gurunya, atau temannya,
atau orang lain, dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau karya tulis
yang dijadikan sumber pengambilan. Lih : M. Syuhudi Ismâ’îl, Metodologi Penelitian Hadis Nabi
(Jakarta : Bulan Bintang, 2007), cet ke-2, h. 39. 47
Pertama, melalui nama sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut, kedua, melalui awal
matan hadis, ketiga, melalui kata-kata fi’il atau terambil dari fi’il yang jarang digunakan, dan yang
keempat melalui tema. Lihat : Bustamin dan M. Isa H.A. Salâm, Metodelogi Kritik Hadis (Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), cet ke-1, h. 28. ‫‪31 ‬‬
‫‪ ‬‬
‫ت‬
‫ﺷ ِﻬﺪْ ُ‬
‫ل‪َ :‬‬
‫ﷲ اﻟْﺄوْدِي ﻗَﺎ َ‬
‫ﻋﺒْ ِﺪ ا ِ‬
‫ﻦ َ‬
‫ﺳ ِﻌﻴْ ِﺪ ﺑْ ِ‬
‫ﻋﻦْ َ‬
‫ﻦ َأ ِﺑﻲْ آَﺜِﻴْﺮ َ‬
‫ﻋﻦْ َﻳﺤْﻴَﻰ ﺑْ ِ‬
‫َ‬
‫ل ‪ِ :‬إذَا ُﻣﺖﱡ ﻓَﺎﺻْﻨَ ُﻌﻮْا ِﺑﻲْ َآﻤَﺎ أَﻣَﺮَﻧَﺎ‬
‫ع َﻓﻘَﺎ َ‬
‫َأ ُﺑﻮْ ُأﻣَﺎ َﻣ َﺔ َو ُه َﻮ ِﻓﻲْ اﻟ ﱠﻨ َﺰ ِ‬
‫ﷲ‬
‫لا ِ‬
‫ﺳﻮْ ُ‬
‫ن َﻧﺼْ َﻨ َﻊ ِﺑ َﻤﻮْﺗَﺎﻧَﺎ أَﻣَﺮَﻧَﺎ َر ُ‬
‫ﺳﱠﻠ َﻢ َأ ﱠ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ‬
‫ﷲ َ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ا ِ‬
‫ﷲ َ‬
‫لا ِ‬
‫ﺳﻮْ ُ‬
‫َر ُ‬
‫ﺴﻮﱠ ْﻳ ُﺘ ُﻢ‬
‫ﺣ ٌﺪ ِﻣﻦْ ِإﺧْﻮَا ِﻧ ُﻜﻢْ َﻓ َ‬
‫ت َأ َ‬
‫ل ‪ِ :‬إذَا ﻣَﺎ َ‬
‫ﺳﱠﻠ َﻢ َﻓﻘَﺎ َ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ‬
‫ﷲ َ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ا ُ‬
‫َ‬
‫ﻦ‬
‫ن ﺑْ ُ‬
‫س َﻗﺒْ ِﺮ ِﻩ ُﺛﻢﱠ ﻟْ َﻴ ُﻘﻞْ ‪ :‬ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ‬
‫ﻋﻠَﻰ َرأْ ِ‬
‫ﺣ ُﺪ ُآﻢْ َ‬
‫ﻋﻠَﻰ َﻗﺒْ ِﺮ ِﻩ َﻓﻠْ َﻴ ُﻘﻢْ َأ َ‬
‫ب َ‬
‫اﻟ ﱡﺘﺮَا َ‬
‫ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳﺴْ َﺘﻮِي‬
‫ن ﺑْ ُ‬
‫ل ‪ :‬ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ‬
‫ﺐ ُﺛﻢﱠ َﻳ ُﻘﻮْ ُ‬
‫ﺠﻴْ ُ‬
‫ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳﺴْ َﻤ ُﻌ ُﻪ وَﻟَﺎ ُﻳ ِ‬
‫ﷲ َوَﻟ ِﻜﻦْ‬
‫ﻚا ُ‬
‫ﺣ ُﻤ َ‬
‫ﺷﺪْﻧَﺎ َر ِ‬
‫ل ‪َ :‬أرْ ِ‬
‫ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓ ِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳ ُﻘﻮْ ُ‬
‫ن ﺑْ ُ‬
‫ل ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ‬
‫ﻋﺪًا ُﺛﻢﱠ َﻳ ُﻘﻮْ ُ‬
‫ﻗَﺎ ِ‬
‫ﺷﻬَﺎ َد َة ﻟَﺎ ِإَﻟ َﻪ إِﻟﱠﺎ‬
‫ﻦ اﻟ ﱡﺪﻧْﻴَﺎ َ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ ِﻣ َ‬
‫ﺖ َ‬
‫ﺧ َﺮﺟْ َ‬
‫ن َﻓﻠْ َﻴ ُﻘﻞْ ‪ُ :‬اذْ ُآﺮْ ﻣَﺎ َ‬
‫ﻟَﺎ َﺗﺸْ ُﻌ ُﺮوْ َ‬
‫ﷲ رَﺑًّﺎ َوﺑِﺎﻟِْﺈﺳْﻠَﺎ ِم ِدﻳْﻨًﺎ‬
‫ﺖ ﺑِﺎ ِ‬
‫ﺿﻴْ ُ‬
‫ﻚ َر ِ‬
‫ﺳﻮُْﻟ ُﻪ َوَأ ﱠﻧ َ‬
‫ﻋﺒْ ُﺪ ُﻩ َو َر ُ‬
‫ﺤ ﱠﻤﺪًا َ‬
‫ن ُﻣ َ‬
‫ﷲ َوَأ ﱠ‬
‫ا ُ‬
‫ﺧ ُﺬ وَاﺣِﺪ ِﻣﻨْ ُﻬﻤَﺎ ِﺑ َﻴ ٍﺪ‬
‫ن ُﻣﻨْ َﻜﺮًا َو َﻧ ِﻜﻴْﺮًا ﻳَﺄْ ُ‬
‫ن ِإﻣَﺎﻣًﺎ َﻓِﺈ ﱠ‬
‫ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ ﱠﻧﺒِﻴًّﺎ َوﺑِﺎﻟْ ُﻘﺮْﺁ ِ‬
‫َو ِﺑ ُﻤ َ‬
‫ن اﷲ‬
‫ﺣﺠﱠ ُﺘ ُﻪ َﻓ َﻴ ُﻜﻮْ ُ‬
‫ﻦ ُ‬
‫ﻋﻨْ َﺪ َﻣﻦْ َﻗﺪْ ُﻟ ِّﻘ ُ‬
‫ﻄِﻠﻖْ ِﺑﻨَﺎ ﻣَﺎ ُﻧﻘْ ِﻌ ُﺪ ِ‬
‫ل ‪ِ :‬اﻧْ َ‬
‫ﺣ ُﺒ ُﻪ َو َﻳ ُﻘﻮْ ُ‬
‫ﺻَﺎ ِ‬
‫ل‪:‬‬
‫ن َﻟﻢْ َﻳﻌْ ِﺮفْ ُأﻣﱡ ُﻪ ﻗَﺎ َ‬
‫ﷲ َﻓِﺈ ﱠ‬
‫لا ِ‬
‫ﺳﻮْ َ‬
‫ﺟﻞٌ ‪ :‬ﻳَﺎ َر ُ‬
‫ل رَ ُ‬
‫ﺣﺠﻴﺠﻪ ُدوْﻧَ ُﻬﻤَﺎ َﻓﻘَﺎ َ‬
‫‪48‬‬
‫ﺣﻮﱠا َء‬
‫ﻦ َ‬
‫ن ﺑْ ُ‬
‫ﺣﻮﱠا َء ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ‬
‫ﺴ ُﺒ ُﻪ ِإﻟَﻰ َ‬
‫َﻓ ُﻴﻨْ ِ‬
‫)اﻟﻤﻌﺠﻢ اﻟﻜﺒﻴﺮ ‪ :‬اﻟﻄﺒﺮاﻧﻲ(‬
‫‪a. Melalui awal matan‬‬
‫‪Dalam melakukan penelitian melalui awal matan, penulis menggunakan‬‬
‫‪referensi kitab Mausû’ah al-Atrâf al-Hadis al-Nabawî al-Syarîf. Karya‬‬
‫‪Muhammad al-Sa’di Ibn Basyûnî Zaglûl. Dari kitab tersebut penulis dapatkan‬‬
‫‪informasi sebagai berikut:‬‬
‫إذا ﻣﺎت أﺣﺪ ﻣﻦ إﺧﻮﻧﻜﻢ ﻓﺴﻮﻳﺘﻢ اﻟﺘﺮاب‬
‫ﻃﺐ = ‪ ،٢٤٩:٨ ‬ﺗﻠﺨﻴﺺ = ‪ ،١٣٥ :٢ ‬ﻣﺠﻤﻊ = ‪ ،٤٥:٣ ‬آﻨﺰ ‪ ‬‬
‫=‪٤٢٩٣٤ ٤٢٤٠٦‬‬
‫__________‬
‫ﻃﺐ = اﻟﻤﻌﺠﻢ اﻟﻜﺒﻴﺮ )اﻟﻄﺒﺮاﻧﻲ( ‪ ‬‬
‫‪ ‬‬
‫‪48‬‬
‫‪Sulaimân bin Ahmad bin Ayyûb Abû al-Qâsim al-Tabrânî, Al-Mu’jam al-Kabîr,‬‬
‫‪(Maktabah al-‘Ulûm al-Hukm, 1983.M/1404.H ), Juz.8, h.249. ‬‬
‫‪ ‬‬
32 ‫ﺗﻠﺨﻴﺺ = اﻟﺘﻠﺨﻴﺺ اﻟﺤﺒﻴﺮ ﻓﻲ ﺗﺨﺮﻳﺞ أﺣﺎدﻳﺚ اﻟﺮاﻓﻌﻲ اﻟﻜﺒﻴﺮ‬
‫ﻣﺠﻤﻊ = ﻣﺠﻤﻊ اﻟﺰواﺋﺪ وﻣﻨﺒﻊ اﻟﻔﻮاﺋﺪ‬
‫آﻨﺰ = آﻨﺰ اﻟﻌﻤﺎل ﻓﻲ ﺳﻨﻦ اﻷﻗﻮال واﻷﻓﻌﺎل‬
Berdasarkan keterangan di atas, maka jelas bahwa matan tersebut terdapat
pada :
1. al-Mu’jâm al-Kabîr, Juz 8, halaman 249, 6 sanad
2. al-Talkhîs al-Khabîr fi al-Takhrîj, Juz 2, halaman 315, 1 sanad
3. Majmu’ al-Zawâ’id, Juz 3 ,halaman 163, 1 sanad
4. Kanz al-‘Ummâl, Juz 15 , halaman 737, 1 sanad
b. Melalui fi’il pada matan
Dalam menelusuri lafadz hadis yang terdapat pada matan, di sini penulis
menggunakan al-Mu’jam al-Mufahras li alfâz al-Hadtîs al-Nabawî karangan A.J.
Wensinck. Dan penggalan kata yang ditelusuri adalah :
‫ ﻗﺎم‬,‫ ﺻﻨﻌﻮا‬,‫ﻣﺎت‬
.
Penulis tidak menemukan hadis yang diteliti dalam kitab Mu’jam tersebut.
c. Penelusuran Hadis Melalui Tema
Untuk men-takhrîj hadis melalui tema, penulis menggunakan rujukan
kitab Miftâh Kunûz al-Sunnah karangan Muhammad Fu’âd al-Bâqi. 49 . Dan dari
penelitian yang dilakukan penulis tidak menemukan hadis yang di teliti.
a. Penelitian Sanad Hadis Pertama
49
Muhammad Fu’âd al-Bâqi, Miftâh Kunûz al-Sunnah (al-Qahirah: Dâr al-Hadis, 1411 H
/ 1991 M), Cet ke-1, h. 351. 33 Berdasarkan penelitian di atas bahwa jelas matan hadis pertama, terdapat
dalam kitab-kitab hadis di antaranya:
Al-Mu’jâm al-Kabîr
‫ﻦ ِإﺑْﺮَا ِهﻴْ َﻢ ﺑْﻦ اﻟْ ُﻌﻠَﺎ ِء‬
ُ ْ‫ﺤﻤﱠ ُﺪ ﺑ‬
َ ‫ﺨﻮْﻟَﺎ ِﻧﻲْ َﺛﻨَﺎ ُﻣ‬
َ ْ‫ﺳِّﻠﻢْ اﻟ‬
َ ‫ﻦ‬
ِ ْ‫ﺲ ﺑ‬
ِ ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َأ ُﺑﻮْ ﻋَﻘِﻴْﻞ َأ َﻧ‬
َ
‫ﻋﻦْ َﻳﺤْﻴَﻰ‬
َ ‫ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ اﻟْ ُﻘﺮْﺷِﻲ‬
َ ‫ﻦ ُﻣ‬
ِ ْ‫ﷲ ﺑ‬
ِ ‫ﻋﺒْ ُﺪ ا‬
َ ‫ﻋﻴَﺎش َﺛﻨَﺎ‬
ِ ‫ﻞ ﺑْﻦ‬
َ ْ‫ﻋﻴ‬
ِ ‫اﻟْﺤَﻤْﺼِﻲ َﺛﻨَﺎ ِإﺳْﻤَﺎ‬
ْ‫ت َأ ُﺑﻮْ ُأﻣَﺎ َﻣ َﺔ َو ُه َﻮ ِﻓﻲ‬
ُ ْ‫ﺷ ِﻬﺪ‬
َ :‫ل‬
َ ‫ﷲ اﻟَْﺄوْدِي ﻗَﺎ‬
ِ ‫ﻋﺒْ ِﺪ ا‬
َ ‫ﻦ‬
ِ ْ‫ﺳ ِﻌﻴْ ِﺪ ﺑ‬
َ ْ‫ﻋﻦ‬
َ ‫ﺑْﻦ َأ ِﺑﻲْ َآ ِﺜﻴْ ِﺮ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﷲ‬
ِ ‫ﺻﻠﱠﻰ ا‬
َ ‫ﷲ‬
ِ ‫لا‬
ُ ْ‫ﺳﻮ‬
ُ ‫ ِإذَا ُﻣﺖﱡ ﻓَﺎﺻْﻨَ ُﻌﻮْا ِﺑﻲْ َآﻤَﺎ أَﻣَﺮَﻧَﺎ َر‬: ‫ل‬
َ ‫ع َﻓﻘَﺎ‬
ِ ‫اﻟ ﱠﻨ َﺰ‬
‫ ِإذَا‬: ‫ل‬
َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ َﻓﻘَﺎ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﺻﻠﱠﻰ ا‬
َ ‫ﷲ‬
ِ ‫لا‬
ُ ْ‫ﺳﻮ‬
ُ ‫ن َﻧﺼْ َﻨ َﻊ ِﺑ َﻤﻮْﺗَﺎﻧَﺎ أَﻣَﺮَﻧَﺎ َر‬
‫ﺳﱠﻠ َﻢ َأ ﱠ‬
َ
‫س‬
ِ ْ‫ﻋﻠَﻰ َرأ‬
َ ْ‫ﺣ ُﺪ ُآﻢ‬
َ ‫ﻋﻠَﻰ َﻗﺒْ ِﺮ ِﻩ َﻓﻠْ َﻴ ُﻘﻢْ َأ‬
َ ‫ب‬
َ ‫ﺴﻮﱠ ْﻳ ُﺘ ُﻢ اﻟ ﱡﺘﺮَا‬
َ ‫ﺣ ٌﺪ ِﻣﻦْ ِإﺧْﻮَا ِﻧ ُﻜﻢْ َﻓ‬
َ ‫ت َأ‬
َ ‫ﻣَﺎ‬
‫ﻦ‬
ُ ْ‫ن ﺑ‬
ُ ‫ ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ‬: ‫ل‬
ُ ْ‫ﺐ ُﺛﻢﱠ َﻳ ُﻘﻮ‬
ُ ْ‫ﺠﻴ‬
ِ ‫ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓ ِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳﺴْ َﻤ ُﻌ ُﻪ وَﻟَﺎ ُﻳ‬
ُ ْ‫ن ﺑ‬
ُ ‫ ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ‬: ْ‫َﻗﺒْ ِﺮ ِﻩ ُﺛﻢﱠ ﻟْ َﻴ ُﻘﻞ‬
‫ أَرْﺷِﺪْﻧَﺎ‬: ‫ل‬
ُ ْ‫ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓ ِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳ ُﻘﻮ‬
ُ ْ‫ن ﺑ‬
ُ ‫ل ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ‬
ُ ْ‫ﻋﺪًا ُﺛﻢﱠ َﻳ ُﻘﻮ‬
ِ ‫ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳﺴْ َﺘﻮِي ﻗَﺎ‬
‫ﻦ اﻟ ﱡﺪﻧْﻴَﺎ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ ِﻣ‬
َ ‫ﺖ‬
َ ْ‫ﺧ َﺮﺟ‬
َ ‫ ُاذْ ُآﺮْ ﻣَﺎ‬: ْ‫ن َﻓﻠْ َﻴ ُﻘﻞ‬
َ ْ‫ﷲ َوَﻟ ِﻜﻦْ ﻟَﺎ َﺗﺸْ ُﻌ ُﺮو‬
ُ ‫ﻚا‬
َ ‫ﺣ ُﻤ‬
ِ ‫َر‬
‫ﷲ رَﺑًّﺎ‬
ِ ‫ﺖ ﺑِﺎ‬
ُ ْ‫ﺿﻴ‬
ِ ‫ﻚ َر‬
َ ‫ﺳﻮُْﻟ ُﻪ َوَأﱠﻧ‬
ُ ‫ﻋﺒْ ُﺪ ُﻩ َو َر‬
َ ‫ﺤ ﱠﻤﺪًا‬
َ ‫ن ُﻣ‬
‫ﷲ َوَأ ﱠ‬
ُ ‫ﺷﻬَﺎ َد َة ﻟَﺎ ِإَﻟ َﻪ إِﻟﱠﺎ ا‬
َ
‫ﺧ ُﺬ وَاﺣِﺪ‬
ُ ْ‫ن ُﻣﻨْ َﻜﺮًا َو َﻧ ِﻜﻴْﺮًا ﻳَﺄ‬
‫ن ِإﻣَﺎﻣًﺎ َﻓِﺈ ﱠ‬
ِ ‫ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ ﱠﻧﺒِﻴًّﺎ َوﺑِﺎﻟْ ُﻘﺮْﺁ‬
َ ‫َوﺑِﺎﻟِْﺈﺳْﻠَﺎ ِم ِدﻳْﻨًﺎ َو ِﺑ ُﻤ‬
‫ن‬
ُ ْ‫ﺣﺠﱠ ُﺘ ُﻪ َﻓ َﻴ ُﻜﻮ‬
ُ ‫ﻦ‬
ُ ‫ﻋﻨْ َﺪ َﻣﻦْ َﻗﺪْ ُﻟ ِّﻘ‬
ِ ‫ﻄِﻠﻖْ ِﺑﻨَﺎ ﻣَﺎ ُﻧﻘْ ِﻌ ُﺪ‬
َ ْ‫ ِاﻧ‬: ‫ل‬
ُ ْ‫ﺣ ُﺒ ُﻪ َو َﻳ ُﻘﻮ‬
ِ ‫ِﻣﻨْ ُﻬﻤَﺎ ِﺑ َﻴ ٍﺪ ﺻَﺎ‬
:‫ل‬
َ ‫ن َﻟﻢْ َﻳﻌْ ِﺮفْ ُأﻣﱡ ُﻪ ﻗَﺎ‬
‫ﷲ َﻓِﺈ ﱠ‬
ِ ‫لا‬
َ ْ‫ﺳﻮ‬
ُ ‫ ﻳَﺎ َر‬: ٌ‫ﺟﻞ‬
ُ َ‫ل ر‬
َ ‫اﷲ ﺣﺠﻴﺠﻪ ُد ْو َﻧ ُﻬﻤَﺎ َﻓﻘَﺎ‬
َ ‫ﻦ‬
ُ ْ‫ن ﺑ‬
ُ ‫ﺣﻮﱠا َء ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ‬
َ ‫ﺴ ُﺒ ُﻪ ِإﻟَﻰ‬
ِ ْ‫َﻓ ُﻴﻨ‬
(‫ اﻟﻄﺒﺮاﻧﻲ‬: ‫ )اﻟﻤﻌﺠﻢ اﻟﻜﺒﻴﺮ‬50‫ﺣﻮﱠا َء‬
“Dari Yahyâ bin Abî Katsîr dari Sa’îd bin ‘Abdillâh al-Awdî,
berkata: “Aku menyaksikan Abû Umâmah r.a, ketika itu beliau dalam
keadaan naza’ ( menjelang kematiannya). Beliau berkata:”Apabila aku
wafat maka hendaklah urus aku sebagaimana yang diperintahkan Nabi
Saw., dalam mengurus orang kita yang meninggal. Beliau (Nabi Saw)
berkata: “Apabila meninggal salah seorang diantaramu (maksudnya orang
Islam) dan telah didatarkan tanah diatas perkuburannya, maka hendaklah
salah seorang diantaramu berhenti sebentar dihadapan kepala si mayit itu,
hendaklah ia berkata: “Hai fulan anak wanita fulan, maka si mayit
mendengar tetapi ia tidak bisa menjawab. Kemudian dikatakan lagi: “Hai
fulan anak wanita fulan! Maka ia menjawab: “Berilah petunjuk kepada
kami semoga Tuhan memberi rahmat kepadamu. Tetapi kamu tidak
50
h.249 Sulaimân bin Ahmad bin Ayyûb bin Abû al-Qasim Al-Tabrânî, Al-Mu’jam al-Kabîr,
‫‪34 ‬‬
‫‪ ‬‬
‫‪mendengar ucapannya itu. Kemudian katakan lagi: “Ingatlah hal ketika‬‬
‫‪engkau keluar dari dunia, yaitu pengakuan bahwa tiada Tuhan selain‬‬
‫‪Allah, Muhammad itu hamba-Nya dan Rasul-Nya, dan bahwasannya‬‬
‫‪engkau telah rida bahwa Allah Tuhanmu, Islam agamamu, Muhammad‬‬
‫‪Nabimu, Al-Qur’an Imammu. Ketika itu malaikat Munkar dan Nakir‬‬
‫‪saling memegang tangan kawannya dan berkata : “Mari kita kembali saja,‬‬
‫‪apa gunanya kita duduk dihadapan orang yang telah di-talqîn-kan‬‬
‫‪jawabannya. Berkata Abû Umâmah r.a,: Seorang sahabat bertanya kepada‬‬
‫)‪Nabi Saw.,: “Wahai Rasulullah, kalau (orang yang men-talqîn-kan itu‬‬
‫‪tidak tahu nama ibunya, bagaimana?. Jawab Nabi Saw,: “Dibangsakan saja‬‬
‫] ‪ia kepada ibunya Siti Hawa” (H.R.Tabrânî, Mu’jam al-Kabîr) 51‬‬
‫‪Al-Talkhîs al-Khabîr fi al-Takhrîj‬‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ‬
‫ﻒ َ‬
‫ﺖ َو َﻗ َ‬
‫ﻦ اﻟْ َﻤ ﱢﻴ ِ‬
‫غ ِﻣﻦْ َدﻓْ ِ‬
‫ن إذَا َﻓ َﺮ َ‬
‫ﺳﱠﻠ َﻢ آَﺎ َ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ‬
‫ﺚ َأﻧﱠ ُﻪ َ‬
‫ﺣﺪِﻳ ُ‬
‫َ‬
‫ل" أَﺑُﻮ دَاوُد‬
‫ن ُﻳﺴَْﺄ ُ‬
‫ل "اﺳْ َﺘﻐْ ِﻔﺮُوا ِﻟَﺄﺧِﻴ ُﻜﻢْ واﺳﺄﻟﻮا ﻟﻪ اﻟﺘﺜﺒﺖ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ اﻟْﺂ َ‬
‫َوﻗَﺎ َ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ‬
‫ﻲ َ‬
‫ﻋﻦْ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ‬
‫ل ا ْﻟ َﺒﺰﱠا ُر ﻟَﺎ ُﻳﺮْوَى َ‬
‫ن ﻗَﺎ َ‬
‫ﻋﺜْﻤَﺎ َ‬
‫ﻋﻦْ ُ‬
‫وَاﻟْﺤَﺎآِ ُﻢ وَا ْﻟ َﺒﺰﱠا ُر َ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ‬
‫َ‬
‫ﺳﱠﻠ َﻢ إﻟﱠﺎ ِﻣﻦْ َهﺬَا اﻟْ َﻮﺟْ ِﻪ‪.3‬‬
‫ﻦ َأ َﻣ ِﺔ اﻟﱠﻠ ِﻪ‬
‫ﻋﺒْ َﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ﻳَﺎ اﺑْ َ‬
‫ل ﻳَﺎ َ‬
‫ﻦ َﻓ ُﻴﻘَﺎ ُ‬
‫ﺖ َﺑﻌْ َﺪ اﻟ ﱠﺪﻓْ ِ‬
‫ﻦ اﻟْ َﻤﻴﱢ ُ‬
‫ﺐ َأنْ ُﻳَﻠ ﱠﻘ َ‬
‫ﺤ ﱡ‬
‫َﻗﻮُْﻟ ُﻪ َو ُﻳﺴْ َﺘ َ‬
‫ل‬
‫ﺤ ﱠﻤﺪًا َرﺳُﻮ ُ‬
‫ن ُﻣ َ‬
‫ﺷﻬَﺎ َد َة َأنْ ﻟَﺎ إَﻟ َﻪ إﻟﱠﺎ اﻟﱠﻠ ُﻪ َوَأ ﱠ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ ِﻣﻦْ اﻟ ﱡﺪﻧْﻴَﺎ َ‬
‫ﺧ َﺮﺟْﺖ َ‬
‫ُاذْ ُآﺮْ ﻣَﺎ َ‬
‫ﻋ َﺔ ﺁ ِﺗ َﻴ ٌﺔ ﻟَﺎ‬
‫ن اﻟﺴﱠﺎ َ‬
‫ﻖ َوَأ ﱠ‬
‫ﺣﱞ‬
‫ﺚ َ‬
‫ن اﻟْ َﺒﻌْ َ‬
‫ﻖ َوَأ ﱠ‬
‫ﺣﱞ‬
‫ن اﻟﻨﱠﺎ َر َ‬
‫ﻖ َوَأ ﱠ‬
‫ﺣﱞ‬
‫ﺠ ﱠﻨ َﺔ َ‬
‫ن اﻟْ َ‬
‫اﻟﱠﻠ ِﻪ َوَأ ﱠ‬
‫ﺐ ﻓﻴﻬﺎ وأن اﷲ ﻳﺒﻌﺚ َﻣﻦْ ﻓِﻲ اﻟْ ُﻘﺒُﻮ ِر وَأَﻧﱠﻚ َرﺿِﻴﺖ ﺑِﺎَﻟﻠﱠﻪِ رَﺑًّﺎ َوﺑِﺎﻟِْﺈﺳْﻠَﺎ ِم‬
‫َرﻳْ َ‬
‫ﺧﻮَاﻧًﺎ َو َر َد ِﺑ ِﻪ‬
‫ﻦإْ‬
‫ن إﻣَﺎﻣًﺎ َوﺑِﺎﻟْ َﻜﻌْ َﺒ ِﺔ ِﻗﺒَْﻠ ًﺔ َوﺑِﺎﻟْ ُﻤﺆْ ِﻣﻨِﻴ َ‬
‫ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ َﻧﺒِﻴًّﺎ َوﺑِﺎﻟْ ُﻘﺮْﺁ ِ‬
‫دِﻳﻨًﺎ َو ِﺑ ُﻤ َ‬
‫ﻋﻦْ َأﺑِﻲ ُأﻣَﺎ َﻣ َﺔ "إذَا أَﻧَﺎ‬
‫ﻲ َ‬
‫ﻄ َﺒﺮَا ِﻧ ﱡ‬
‫ﺳﱠﻠ َﻢ اﻟ ﱠ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ‬
‫ﻲ َ‬
‫ﻋﻦْ اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ‬
‫ﺨ َﺒ ُﺮ َ‬
‫اﻟْ َ‬
‫ﺳﱠﻠ َﻢ َأنْ َﻧﺼْ َﻨ َﻊ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ‬
‫ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ‬
‫ﺖ ﻓَﺎﺻْ َﻨﻌُﻮا ﺑِﻲ آَﻤَﺎ أَﻣَﺮَﻧَﺎ َرﺳُﻮ ُ‬
‫ِﻣ ﱡ‬
‫ﺣ ٌﺪ ِﻣﻦْ‬
‫ت َأ َ‬
‫ل "إذَا ﻣَﺎ َ‬
‫ﺳﱠﻠ َﻢ َﻓﻘَﺎ َ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ‬
‫ل اﻟﱠﻠ ِﻪ َ‬
‫ِﺑ َﻤﻮْﺗَﺎﻧَﺎ أَﻣَﺮَﻧَﺎ َرﺳُﻮ ُ‬
‫س َﻗﺒْ ِﺮ ِﻩ ُﺛﻢﱠ ﻟْ َﻴ ُﻘﻞْ ﻳَﺎ‬
‫ﻋﻠَﻰ َرأْ ِ‬
‫ﺣ ُﺪ ُآﻢْ َ‬
‫ﻋﻠَﻰ َﻗﺒْ ِﺮ ِﻩ َﻓﻠْ َﻴ ُﻘﻢْ َأ َ‬
‫ب َ‬
‫ﺴ ﱠﻮﻳْ ُﺘﻢْ اﻟ ﱡﺘﺮَا َ‬
‫إﺧْﻮَا ِﻧ ُﻜﻢْ َﻓ َ‬
‫ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳﺴْ َﺘﻮِي‬
‫ن ﺑْ ُ‬
‫ل ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ‬
‫ﺐ ُﺛﻢﱠ َﻳﻘُﻮ ُ‬
‫ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳﺴْ َﻤ ُﻌ ُﻪ وَﻟَﺎ ُﻳﺠِﻴ ُ‬
‫ن ﺑْ ُ‬
‫ُﻓﻠَﺎ ُ‬
‫ﻚ اﻟﱠﻠ ُﻪ َوَﻟ ِﻜﻦْ ﻟَﺎ‬
‫ﺣﻤْ َ‬
‫ﺷ ْﺪﻧَﺎ َﻳﺮْ َ‬
‫ل َأ ْر ِ‬
‫ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳﻘُﻮ ُ‬
‫ن ﺑْ ُ‬
‫ل ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ‬
‫ﻋﺪًا ُﺛﻢﱠ َﻳﻘُﻮ ُ‬
‫ﻗَﺎ ِ‬
‫ﺷﻬَﺎ َد َة َأنْ ﻟَﺎ إَﻟ َﻪ إﻟﱠﺎ اﻟﱠﻠ ُﻪ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ ِﻣﻦْ اﻟ ﱡﺪﻧْﻴَﺎ َ‬
‫ﺧ َﺮﺟْﺖ َ‬
‫ﺗَﺸْ ُﻌﺮُونَ َﻓﻠْ َﻴ ُﻘﻞْ ُاذْ ُآﺮْ ﻣَﺎ َ‬
‫ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ‬
‫ﻋﺒْ ُﺪ ُﻩ َو َرﺳُﻮُﻟ ُﻪ وَأَﻧﱠﻚ َرﺿِﻴﺖ ﺑِﺎَﻟﻠﱠﻪِ رَﺑًّﺎ َوﺑِﺎﻟِْﺈﺳْﻠَﺎ ِم دِﻳﻨًﺎ َو ِﺑ ُﻤ َ‬
‫ﺤ ﱠﻤﺪًا َ‬
‫ن ُﻣ َ‬
‫َوَأ ﱠ‬
‫‪ ‬‬
‫‪Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama (Jakarta, Pustaka Tarbiyah, Cet.25, 2006),h.91 ‬‬
‫‪51‬‬
‫‪ ‬‬
‫‪35 ‬‬
‫‪ ‬‬
‫‪Majmu’ al-Zawâ’id‬‬
‫ت َأﺑَﺎ ُأﻣَﺎ َﻣ َﺔ اﻟْﺒَﺎ ِهِﻠﻲْ َو ُه َﻮ ِﻓﻲْ‬
‫ﺷ ِﻬﺪْ ُ‬
‫ل‪َ :‬‬
‫ﷲ اﻟْﺄوْدي ﻗَﺎ َ‬
‫ﻋﺒْ ِﺪ ا ِ‬
‫ﻦ َ‬
‫ﺳ ِﻌﻴْ ِﺪ ﺑْ ِ‬
‫ﻋﻦْ َ‬
‫َ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو‬
‫ﷲ َ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ا ِ‬
‫ﷲ َ‬
‫لا ِ‬
‫ﺳﻮْ ُ‬
‫ل ‪ :‬إِذَا ُﻣﺖﱡ ﻓَﺎﺻْﻨَ ُﻌﻮْا ِﺑﻲْ َآﻤَﺎ أَﻣَﺮَﻧَﺎ َر ُ‬
‫ع َﻓﻘَﺎ َ‬
‫اﻟ ﱠﻨ َﺰ ِ‬
‫ل ‪ِ :‬إذَا‬
‫ﺳﱠﻠ َﻢ َﻓﻘَﺎ َ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ‬
‫ﷲ َ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ا ُ‬
‫ﷲ َ‬
‫لا ِ‬
‫ﺳﻮْ ُ‬
‫ن َﻧﺼْ َﻨ َﻊ ِﺑ َﻤﻮْﺗَﺎﻧَﺎ أَﻣَﺮَﻧَﺎ َر ُ‬
‫ﺳﱠﻠ َﻢ َأ ﱠ‬
‫َ‬
‫س‬
‫ﻋﻠَﻰ َرأْ ِ‬
‫ﺣ ُﺪ ُآﻢْ َ‬
‫ﻋﻠَﻰ َﻗﺒْ ِﺮ ِﻩ َﻓﻠْ َﻴ ُﻘﻢْ َأ َ‬
‫ب َ‬
‫ﺴﻮﱠ ْﻳ ُﺘ ُﻢ اﻟ ﱡﺘﺮَا َ‬
‫ﺣ ٌﺪ ِﻣﻦْ ِإﺧْﻮَا ِﻧ ُﻜﻢْ َﻓ َ‬
‫ت َأ َ‬
‫ﻣَﺎ َ‬
‫ﻦ‬
‫ن ﺑْ ُ‬
‫ل ‪ :‬ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ‬
‫ﺐ ُﺛﻢﱠ َﻳ ُﻘﻮْ ُ‬
‫ﺠﻴْ ُ‬
‫ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳﺴْ َﻤ ُﻌ ُﻪ وَﻟَﺎ ُﻳ ِ‬
‫ن ﺑْ ُ‬
‫َﻗﺒْ ِﺮ ِﻩ ُﺛﻢﱠ ﻟْ َﻴ ُﻘﻞْ ‪ :‬ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ‬
‫ﺷﺪْﻧَﺎ‬
‫ل ‪َ :‬أرْ ِ‬
‫ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳ ُﻘﻮْ ُ‬
‫ن ﺑْ ُ‬
‫ل ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ‬
‫ﻋﺪًا ُﺛﻢﱠ َﻳ ُﻘﻮْ ُ‬
‫ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳﺴْ َﺘﻮِي ﻗَﺎ ِ‬
‫ﻦ اﻟ ﱡﺪﻧْﻴَﺎ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ ِﻣ َ‬
‫ﺖ َ‬
‫ﺧ َﺮﺟْ َ‬
‫ن َﻓﻠْ َﻴ ُﻘﻞْ ‪ُ :‬اذْ ُآﺮْ ﻣَﺎ َ‬
‫ﷲ َوَﻟ ِﻜﻦْ ﻟَﺎ َﺗﺸْ ُﻌ ُﺮوْ َ‬
‫ﻚا ُ‬
‫ﺣ ُﻤ َ‬
‫َر ِ‬
‫ﷲ رَﺑًّﺎ‬
‫ﺖ ﺑِﺎ ِ‬
‫ﺿﻴْ ُ‬
‫ﻚ َر ِ‬
‫ﺳﻮُْﻟ ُﻪ َوَأﱠﻧ َ‬
‫ﻋﺒْ ُﺪ ُﻩ َو َر ُ‬
‫ﺤ ﱠﻤﺪًا َ‬
‫ن ُﻣ َ‬
‫ﷲ َوَأ ﱠ‬
‫ﺷﻬَﺎ َد َة ﻟَﺎ ِإَﻟ َﻪ إِﻟﱠﺎ ا ُ‬
‫َ‬
‫ﺧ ُﺬ وَاﺣِﺪ‬
‫ن ُﻣﻨْ َﻜﺮًا َو َﻧ ِﻜﻴْﺮًا ﻳَﺄْ ُ‬
‫ن ِإﻣَﺎﻣًﺎ َﻓِﺈ ﱠ‬
‫ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ ﱠﻧﺒِﻴًّﺎ َوﺑِﺎﻟْ ُﻘﺮْﺁ ِ‬
‫َوﺑِﺎﻟِْﺈﺳْﻠَﺎ ِم ِدﻳْﻨًﺎ َو ِﺑ ُﻤ َ‬
‫ﺣﺠﱠُﺘ ُﻪ‬
‫ﻦ ُ‬
‫ﻋﻨْ َﺪ َﻣﻦْ َﻗﺪْ ُﻟ ِّﻘ ُ‬
‫ﻄِﻠﻖْ ِﺑﻨَﺎ ﻣَﺎ ُﻧﻘْ ِﻌ ُﺪ ِ‬
‫ل‪ِ : :‬اﻧْ َ‬
‫ﺣ ُﺒ ُﻪ َو َﻳ ُﻘﻮْ ُ‬
‫ِﻣﻨْ ُﻬﻤَﺎ ِﺑ َﻴ ٍﺪ ﺻَﺎ ِ‬
‫ن َﻟﻢْ َﻳﻌْ ِﺮفْ ُأﻣﱡ ُﻪ‬
‫ﷲ َﻓِﺈ ﱠ‬
‫لا ِ‬
‫ﺳﻮْ َ‬
‫ﺟﻞٌ ‪ :‬ﻳَﺎ َر ُ‬
‫ل رَ ُ‬
‫ن اﷲ ﺣﺠﻴﺠﻪ ُد ْو َﻧ ُﻬﻤَﺎ َﻓﻘَﺎ َ‬
‫َﻓ َﻴ ُﻜﻮْ ُ‬
‫ﺣﻮﱠا َء‬
‫ﻦ َ‬
‫ن ﺑْ ُ‬
‫ﺣﻮﱠا َء ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ‬
‫ﺴ ُﺒ ُﻪ ِإﻟَﻰ َ‬
‫ل ‪َ :‬ﻓ ُﻴﻨْ ِ‬
‫ﻗَﺎ َ‬
‫‪Kanz al-‘Ummal‬‬
‫ل ِﻟﻲْ ‪ :‬ﻳَﺎ‬
‫ع َﻓﻘَﺎ َ‬
‫ت َأﺑَﺎ ُأﻣَﺎ َﻣ َﺔ َو ُه َﻮ َﻓﻲْ اﻟ ﱠﻨﺰَا ِ‬
‫ﺷ ِﻬﺪْ ُ‬
‫ل‪َ :‬‬
‫ﺳ ِﻌﻴْ ِﺪ اﻟَْﺎﻣْﻮَي ﻗَﺎ َ‬
‫ﻋﻦْ َ‬
‫َ‬
‫ﺳﱠﻠ َﻢ ‪،‬‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ‬
‫ﷲ َ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ا ُ‬
‫ﷲ َ‬
‫لا ِ‬
‫ﺳﻮْ ُ‬
‫ﺳ ِﻌﻴْﺪ ! ِإذَا َأﻧَﺎ ُﻣﺖﱡ ﻓَﺎ ْﻓ َﻌُﻠﻮْا ِﺑﻲْ َآﻤَﺎ أَﻣَﺮَﻧَﺎ َر ُ‬
‫َ‬
‫ﺣ ٌﺪ ِﻣﻦْ ِإﺧْﻮَا ِﻧ ُﻜﻢْ‬
‫ت َأ َ‬
‫ﺳﱠﻠ َﻢ ‪ِ : :‬إذَا ﻣَﺎ َ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ‬
‫ﷲ َ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ا ُ‬
‫ﷲ َ‬
‫لا ِ‬
‫ﺳﻮْ ُ‬
‫ل َﻟﻨَﺎ َر ُ‬
‫ﻗَﺎ َ‬
‫ﻦ‬
‫ن ﺑْ ُ‬
‫س َﻗﺒْ ِﺮ ِﻩ ُﺛﻢﱠ ﻟْ َﻴ ُﻘﻞْ ‪ :‬ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ‬
‫ﻋﻠَﻰ َرأْ ِ‬
‫ﺣ ُﺪ ُآﻢْ َ‬
‫ﻋﻠَﻰ َﻗﺒْ ِﺮ ِﻩ َﻓﻠْ َﻴ ُﻘﻢْ َأ َ‬
‫ب َ‬
‫ﺴﻮﱠ ْﻳ ُﺘ ُﻢ اﻟ ﱡﺘﺮَا َ‬
‫َﻓ َ‬
‫ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳﺴْ َﺘﻮِي ﻗَﺎﻋِﺪًا‬
‫ن ﺑْ ُ‬
‫ل ‪ :‬ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ‬
‫ﺐ ُﺛﻢﱠ َﻳ ُﻘﻮْ ُ‬
‫ﺠﻴْ ُ‬
‫ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳﺴْ َﻤ ُﻌ ُﻪ وَﻟَﺎ ُﻳ ِ‬
‫ن‬
‫ﷲ َوَﻟ ِﻜﻦْ ﻟَﺎ َﺗﺸْ ُﻌ ُﺮوْ َ‬
‫ﻚا ُ‬
‫ﺣ ُﻤ َ‬
‫ﺷ ْﺪﻧَﺎ َر ِ‬
‫ل ‪َ :‬أ ْر ِ‬
‫ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳ ُﻘﻮْ ُ‬
‫ن ﺑْ ُ‬
‫ل ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ‬
‫ُﺛﻢﱠ َﻳ ُﻘﻮْ ُ‬
‫ﺤ ﱠﻤﺪًا‬
‫ن ُﻣ َ‬
‫ﷲ َوَأ ﱠ‬
‫ﺷﻬَﺎ َد َة ﻟَﺎ ِإَﻟ َﻪ إِﻟﱠﺎ ا ُ‬
‫ﻦ اﻟ ﱡﺪﻧْﻴَﺎ َ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ ِﻣ َ‬
‫ﺖ َ‬
‫ﺧ َﺮﺟْ َ‬
‫َﻓﻠْ َﻴ ُﻘﻞْ ‪ُ :‬اذْ ُآﺮْ ﻣَﺎ َ‬
‫‪ ‬‬
36 b. I’tibar Sanad
Kata al-i’tibar (‫ )اﻹﻋﺘﺒﺎر‬merupakan masdar dari kata (‫ )اﻋﺘﺒﺮ‬yang menurut
bahasa adalah: peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat
diketahui sesuatunya yang jelas. 52 Sedangkan menurut istilah ilmu hadis, ali’tibar berarti menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu,
yang hadis itu pada bagian sanad-nya tampak Hanya seorang perawi saja; dan
dengan menyertakan sanad-sanad lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada
periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari sanad hadis yang
dimaksud. 53 Melalui I’tibar ini pula, akan diketahui apakah hadis yang di teliti ini
memiliki syahîd atau mutabi’ dari jalur lain.
Dalam hal ini hadis-hadis talqîn mayit setelah penguburan, i’tibar sanad
akan jelas terlihat pada skema sanad yang tertera pada lampiran. Namun disini
akan diuraikan terlebih dahulu keadaan sanad tersebut secara rinci.
Melalui penelitian yang dilakukan dengan menelusuri kitab-kitab induk
hadis, nampak bahwa hadis Rasulullah Saw meriwayatkan hadis hadis-hadis
talqîn mayit setelah penguburan memiliki satu riwayat yang berakhir pada jalur
sahabat Abî Umâmah.
52
53
Totok Sumantoro, Kamus Ilmu Hadis Nabi (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), Cet, I, h. 91. Syuhudi Ismâ’îl, metodologi Penelitian Hadis (Jakarta: Bulan Ibntang, 2007), h. 49. 37 Hadis ini tidak memiliki syahîd dan mutabi’. Namun sebelumnya, penulis
akan menjelaskan sanad-sanad yang memerlukan uraian pada jalur periwayatan,
sehingga skema akan mudah dipahami.
Periwayat hadis dalam kitab al-Mu’jam al-Kabîr.
Periwayat I: Abî Umâmah
Nama Abî Umâmah setelah penulis melakukan penelitian nama Abî
Umâmah yang di maksud ialah Sada ibn ‘Ajlan ibn Wahhâb, ibn ‘Umâr, Abî
Umâmah al-Bâhili. Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan Abî
Umâmah.
Periwayat II: Sa’îd ibn Abdillâh
Sedangkan yang di maksud dengan Sa’îd ibn Abdillâh setelah nama Abî
Umâmah, nama lengkapnya ialah Sa’îd ibn Abdillâh. Dalam skema nama tersebut
akan di tulis dengan Sa’îd ibn Abdillâh.
Periwayat III: Yahyâ ibn Abî Katsîr
Kemudian yang di maksud dengan Yahyâ ibn Abî Katsîr setelah nama
Sa’îd ibn Abdillâh ialah Yahyâ ibn Abî Katsîr. Dalam skema nama tersebut akan
di tulis dengan Yahyâ ibn Abî Katsîr.
Periwayat IV: ‘Abdullâh ibn Muhammad al-Qudsyî
Nama ‘Abdullâh ibn Muhammad al-Qudsyî, setelah penulis melakukan
penelitian nama yang di maksud ialah ‘Abdullâh ibn Muhammad al-Qudsyî.
Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan ‘Abdullâh ibn Muhammad alQudsyî.
38 Periwayat V: Ismâ’îl ibn ‘Iyâsy
Sedangkan yang di maksud dengan Ismâ’îl ibn ‘Iyâsy setelah nama
‘Abdullâh ibn Muhammad al-Qudsyî ialah Ismâ’îl ibn ‘Iyâsy. Dalam skema nama
tersebut akan di tulis dengan Ismâ’îl ibn ‘Iyâsy.
Periwayat VI: Muhammad Ibrâhîm ibn al-‘Ulâ al-Hamsî.
Nama lengkapnya ialah Muhammad Ibrâhîm ibn al-‘Ulâ al-Hamsî. Dalam
skema nama tersebut akan di tulis dengan Muhammad Ibrâhîm ibn al-‘Ulâ alHamsî.
Periwayat VII: Abû ‘Uqail Anas ibn Salâm
Nama lengkapnya ialah Abû ‘Uqail Anas ibn Salâm. Dalam skema nama
tersebut akan di tulis dengan Abû ‘Uqail Anas ibn Salâm.
Periwayat VIII: al-Tabrânî
Nama lengkapnya ialah Sulaimân ibn Ahmad ibn Ayyûb Abû al-Qasim alTabrânî. Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan al-Tabranî.
c. Kritik Sanad
Dalam kegiatan penelitian kritik sanad ini, penulis memulainya dari
periwayat terakhir (mukharij), yaitu al-Tabranî, yakni yang melalui jalur Abî
Umâmah. Kemudian diikuti oleh periwayat-periwayat sesudahnya dan seterusnya
sampai periwayat pertama (sahabat).
1. al-Tabranî
Nama lengkapnya ialah Sulaiman ibn Ahmad ibn Ayyûb Abû al-Qasim alTabrânî,
39 2. Abû ‘Uqail Anas ibn Salâm
Setelah melakukan penelitian dari berbagai macam kitab al-Rijâl, penulis
tidak menemukan identitas nama tersebut diatas.
3. Muhammad Ibrâhîm ibn al-‘Alâ al-Hamsî
Nama: Muhammad bin Ibrâhîm bin al-‘Ala al-Syâmî al-Damasyqî, Abû
‘Abdillâh al-Zâhid al-Sâ’ih
Tingkatan ke-9 termasuk Atba’it Tabi’in kecil
Yang meriwayatkan hadis darinya: Ibn Mâjah
Pendapat Para Ulama:
Manurut Ibn Hajar: Munkar hadisnya
Menurut Al-Dzahabî: al-Dâruqutni mendustakannya
4. Ismâ’îl ibn ‘Iyâsy
Nama: Ismâ’îl bin ‘Iyâsy bin Salîm al-‘Ansî, Abû ‘Utbah al-‘Hamsî
Tingkatan ke-8 dari pertengahan Atbâ’it Tabi’in
Wafat: tahun 181/182. H
Yang meriwayatkan hadis darinya: al-Bukhari (Juz Raf’ulyadain) Abû
Dâwud, al-Tirmidzi, al-Nasâ’i, Ibn Majah)
Pendapat para Ulama:
Menurut Ibn Hajar: Sadûq
40 Menurut Al-Dzahabî: Dia termasuk Ulama Syam pada zamannya, Yazîd
bin Hârûn berkata: Saya tidak melihat seseorang yang paling hafidz selain Ismâ’îl
bin Iyâsy,
5. ‘Abdullâh ibn Muhammad al-Qudsyî
Setelah melakukan analisis dari berbagai macam kitab al-Rijâl, penulis
tidak menemukan identitas nama tersebut diatas.
6. Sa’îd ibn Abdillâh
Setelah melakukan penelitian dari berbagai macam kitab al-Rijâl, penulis
tidak menemukan identitas nama tersebut diatas.
7. Abî Umâmah. 54
Nama lengkapnya ialah Sada ibn ‘Ajlan ibn Wahhâb, ibn ‘Umâr, Abî
Umâmah al-Bâhili. Beliau wafat pada tahun 86 H di Syam.
Guru-gurunya ialah Nabi Saw, Ustman ibn Affân, Ali ibn Abî Tâlib,
‘Umâr ibn Khattab, Muaz ibn Jabâl, Abû Dardâ, dll.
Murid-muridnya ialah Makhûl al-syami, al-Qâsim Abî Abdurrahman,
Lukman ibn Âmar, Yazîd ibn Yazîd ibn Jabir, dll.
Komentar kritikus tentang beliau:
Ibn Barqi berkata dia ahli hadis bukan ahli sejarah.
Al-Waqda dari Khalid ibn Da’laj dari Qatadah dari al-Hasan berkata akhir
dari sahabat yang wafat adalah Abî Umâmah.
Dari pendapat para kritikus di atas nampaknya jelas bahwa Abî Umâmah
adalah sahabat Nabi Saw. periwayatan bahwa dirinya telah meriwayatkan dari
54
SyihAbûddîn Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-Asqalanî, Tahdzib al-Tahdzib, jilid 4, h.368. 41 Setelah sanad dari kitab Al-Mu’jam al-Kabîr, al-Talkhîs al-Khabîr fi alTakhrîj, Majmu’ al-Zawâ’id, dan Kanz al-‘Ummâl, ternyata semuanya memiliki
satu jalur yang sama yaitu melalui jalur Abî Umâmah, kemudian setelah penulis
teliti dari beberapa kitab al-Rijâl al-Hadîts maupun kitab al-Takhrîj al-Hadîts,
dapat dikatakan sanad-nya da’if, karena banyak para perawi hadis yang penulis
tidak temukan identitasnya dengan jelas. Dan untuk mengetahui apakah bisa
meningkat kualitasnya, maka diperlukan penelitian dari jalur lain.
B. Hadis Kedua
‫ﻦ‬
ِ ْ‫ﺤﻴْ ِﺮ ﺑ‬
َ ‫ﻦ ُﺑ‬
ِ ْ‫ﷲ ﺑ‬
ِ ‫ﻋﺒْ ِﺪ ا‬
َ ْ‫ﻋﻦ‬
َ ٌ‫ﺣ َﺪ َﺛﻨَﺎ هِﺸَﺎم‬
َ ‫ئ‬
‫ﻦ ُﻣﻮْﺳَﻰ اﻟﺮﱠا ِز ﱡ‬
ُ ْ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ِإﺑْﺮَا ِهﻴْ ُﻢ ﺑ‬
َ
‫ﻲ‬
‫ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬
َ ‫ آَﺎ‬: ‫ل‬
َ ‫ن ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻋﻔﱠﺎ‬
َ ‫ﻦ‬
ِ ْ‫ن ﺑ‬
َ ‫ﻋﺜْﻤَﺎ‬
ُ ْ‫ﻋﻦ‬
َ ‫ن‬
َ ‫ﻋﺜْﻤَﺎ‬
ُ ‫ﺊ َﻣﻮْﻟَﻰ‬
ٍ ‫ﻋﻦْ هَﺎ ِﻧ‬
َ ‫ن‬
َ ‫َرﻳْﺴَﺎ‬
‫ل‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َﻓﻘَﺎ‬
َ ‫ﻒ‬
َ ‫ﺖ َو َﻗ‬
ِ ‫ﻦ اﻟْ َﻤ ﱢﻴ‬
ِ ْ‫غ ِﻣﻦْ َدﻓ‬
َ ‫ن إذَا َﻓ َﺮ‬
َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ آَﺎ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ‬
َ
55
‫ل‬
ُ ‫ن ُﻳﺴَْﺄ‬
َ ‫"اﺳْ َﺘﻐْ ِﻔﺮُوا ِﻟَﺄﺧِﻴ ُﻜﻢْ واﺳﺄﻟﻮا ﻟﻪ اﻟﺘﺜﺒﺖ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ اﻟْﺂ‬
(‫ أﺑﻮ داود‬: ‫ﺳﻨﻦ أﺑﻲ داود‬
Dari ‘Utsmân ibn Affân berkata: Adalah Nabi Saw., apabila selesai
menguburkan mayit berhenti sebentar dan berkata: Mintakanlah ampun
saudaramu ini kepada Allah, dan mohonkanlah supaya ia tetap tabah,
karena ia sekarang akan ditanya.
a. Melalui fi’il pada matan
Dalam menelusuri lafadz hadis yang terdapat pada matan, di sini penulis
menggunakan al-Mu’jam al-Mufahras li alfâz al-Hadîts al-Nabawî karangan A.J.
55
Abû Dâwud Sulaimân bin al-Asy’ats, al-Sijistanî, Sunan Abî Dâwud, (Beirut, Dar alFikr, 2003.M/1424.H) Juz.3, h.166. 42 Wensinck. Dan penggalan kata yang ditelusuri adalah :
‫ وﻗﻒ‬,‫ دﻓﻦ‬,‫ ﻓﺮغ‬Penulis
tidak menemukan hadis yang di teliti.
b. Melalui awal matan
Dalam melakukan penelitian melalui awal matan, penulis
menggunakan referensi kitab Mausû’ah al-Atrâf al-Hadîts al-Nabawî alSyarîf. Karya Muhammad al-Sa’di Ibn Basyûnî Zaglûl. Dari kitab tersebut
penulis dapatkan informasi sebagai berikut:
٤:٥٦ = ‫هﻖ‬
٢٠٩:٣ = ‫د‬
‫د = ﺳﻨﻦ أﺑﻲ داود‬
‫هﻖ = ﺳﻨﻦ اﻟﻜﺒﺮى ﻟﻠﺒﻴﻬﻘﻰ‬
Berdasarkan keterangan di atas, maka jelas bahwa matan tersebut terdapat
pada :
1. Sunan Abî Dâwud, Juz 3, halaman 209, 6 sanad
2. Sunan al-Kubrâ al-Baihaqî, Juz 4, halaman 56, 9 sanad
c. Penelusuran Hadis Melalui Tema
Untuk men-takhrîj hadis melalui tema, penulis menggunakan rujukan
kitab Miftâh Kunûz al-Sunnah karangan Muhammad Fu’âd al-Bâqi. 56 . Dan dari
penelitian yang dilakukan penulis tidak menemukan hadis yang di teliti.
a. Penelitian Sanad Hadis Kedua
56
Muhammad Fu’âd al-Bâqi, Miftâh Kunûz al-Sunnah (al-Qahirah: Dâr al-Hadis, 1411 H
/ 1991 M), Cet ke-1 ‫‪43 ‬‬
‫‪ ‬‬
‫‪Berdasarkan penelitian di atas bahwa jelas matan hadis Kedua, terdapat dalam‬‬
‫‪kitab-kitab hadis di antaranya:‬‬
‫‪Sunan al-Kubrâ al-Baihaqî‬‬
‫ﻋ َﺒﻴْ ٍﺪ‬
‫ﻦ ُ‬
‫ن َأﺧْ َﺒ َﺮﻧَﺎ َأﺣْ َﻤ ُﺪ ﺑْ ُ‬
‫ﻋﺒْﺪَا َ‬
‫ﻦ َ‬
‫ﻦ َأﺣْ َﻤ َﺪ ﺑْ ِ‬
‫ﻰ ﺑْ ُ‬
‫ﻋِﻠ ﱡ‬
‫ﻦ ‪َ :‬‬
‫ﺴِ‬
‫ﺤَ‬
‫أَﺧْﺒَﺮَﻧَﺎ أَﺑُﻮ اﻟْ َ‬
‫ﻆ‬
‫ﻋﺒْ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ وَاﻟﱠﻠﻔْ ُ‬
‫ﻦ َ‬
‫ب َوِإﺑْﺮَاهِﻴ ُﻢ ﺑْ ُ‬
‫ﺣﺮْ ٍ‬
‫ﻦ َ‬
‫ﺐ ﺑْ ِ‬
‫ﻦ ﻏَﺎِﻟ ِ‬
‫ﺤﻤﱠ ُﺪ ﺑْ ُ‬
‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ُﻣ َ‬
‫ﺼﻔﱠﺎ ُر َ‬
‫اﻟ ﱠ‬
‫ﻋﻦْ‬
‫ﻒ َ‬
‫ﺳ َ‬
‫ﻦ ﻳُﻮ ُ‬
‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ِهﺸَﺎ ُم ﺑْ ُ‬
‫ﺟﻌْ َﻔ ٍﺮ َ‬
‫ﻦ َ‬
‫ﻋﺒْ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ﺑْ ِ‬
‫ﻦ َ‬
‫ﻰ ﺑْ ُ‬
‫ﻋِﻠ ﱡ‬
‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨِﻰ َ‬
‫ل َ‬
‫ِﻟ َﺘﻤْﺘَﺎ ٍم ﻗَﺎ َ‬
‫ن‬
‫ﻋﺜْﻤَﺎ ُ‬
‫ن ُ‬
‫ل ‪ :‬آَﺎ َ‬
‫ن ﻗَﺎ َ‬
‫ﻋﻔﱠﺎ َ‬
‫ﻦ َ‬
‫ن ﺑْ ِ‬
‫ﻋﺜْﻤَﺎ َ‬
‫ﺊ َﻣﻮْﻟَﻰ ُ‬
‫ﻋﻦْ هَﺎ ِﻧ ٍ‬
‫ﻦ َﺑﺤِﻴ ٍﺮ َ‬
‫ﻋﺒْ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ﺑْ ِ‬
‫َ‬
‫ل َﻟ ُﻪ ‪:‬‬
‫ل َﻓ ُﻴﻘَﺎ ُ‬
‫ﻞ ِﻟﺤْ َﻴ َﺘ ُﻪ ﻗَﺎ َ‬
‫ﻋﻠَﻰ َﻗﺒْ ٍﺮ َﺑﻜَﻰ ﺣﺘﱠﻰ َﻳ َﺒ ﱠ‬
‫ﻒ َ‬
‫ﻋﻨْ ُﻪ ِإذَا َو َﻗ َ‬
‫ﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ َ‬
‫ﺿَ‬
‫َر ِ‬
‫ل‬
‫ﺖ َرﺳُﻮ َ‬
‫ﺳ ِﻤﻌْ ُ‬
‫ل ‪ِ :‬إﻧﱢﻰ َ‬
‫ل َﻓﻘَﺎ َ‬
‫ﻼ ﺗَﺒْﻜِﻰ َو َﺗﺒْﻜِﻰ ِﻣﻦْ َهﺬَا ﻗَﺎ َ‬
‫ﺠﻨﱠ ُﺔ وَاﻟﻨﱠﺎ ُر َﻓ َ‬
‫ُﺗﺬْ َآ ُﺮ اﻟْ َ‬
‫ﺧ َﺮ ِة ‪َ ،‬ﻓ َﻤﻦْ َﻧﺠَﺎ‬
‫ل اﻵ ِ‬
‫ل َﻣﻨَﺎ ِز ِ‬
‫ن اﻟْ َﻘﺒْ َﺮ َأوﱠ ُ‬
‫ل ‪ِ »:‬إ ﱠ‬
‫اﻟﱠﻠ ِﻪ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ َﻳﻘُﻮ ُ‬
‫ل‬
‫ل َوﻗَﺎ َ‬
‫ﺷ ﱡﺪ ِﻣﻨْ ُﻪ «‪ .‬ﻗَﺎ َ‬
‫ﺞ ِﻣﻨْ ُﻪ َﻓﻤَﺎ َﺑﻌْ َﺪ ُﻩ َأ َ‬
‫ﺴ ُﺮ ِﻣﻨْ ُﻪ ‪َ ،‬و َﻣﻦْ َﻟﻢْ َﻳﻨْ ُ‬
‫ِﻣﻨْ ُﻪ َﻓﻤَﺎ َﺑﻌْ َﺪ ُﻩ َأﻳْ َ‬
‫ﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ‬
‫ﺿَ‬
‫ن َر ِ‬
‫ﻋﺜْﻤَﺎ ُ‬
‫ل ُ‬
‫ﻈ ُﻊ ِﻣﻨْ ُﻪ ﻗَﺎ َ‬
‫ﻻ وَاﻟْ َﻘﺒْ ُﺮ َأﻓْ َ‬
‫ﻂ ِإ ﱠ‬
‫ﻈﺮًا َﻗ ﱡ‬
‫ﺖ َﻣﻨْ َ‬
‫ن ‪ :‬ﻣَﺎ َرَأﻳْ ُ‬
‫ﻋﺜْﻤَﺎ ُ‬
‫ُ‬
‫ل ‪»:‬‬
‫ﺖ ﻗَﺎ َ‬
‫ﻦ اﻟْ َﻤ ﱢﻴ ِ‬
‫غ ِﻣﻦْ َدﻓْ ِ‬
‫ﻰ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‪ِ -‬إذَا َﻓ َﺮ َ‬
‫ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬
‫ﻋﻨْ ُﻪ ‪َ :‬وآَﺎ َ‬
‫َ‬
‫ﻋﻦْ‬
‫ﻏ ِﻴ ُﺮ ُﻩ َ‬
‫ل «‪ .‬زَا َد ﻓِﻴ ِﻪ َ‬
‫ن ُﻳﺴَْﺄ ُ‬
‫ﺳﻠُﻮا َﻟ ُﻪ اﻟ ﱠﺘﺜْﺒِﻴﺖَ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ اﻵ َ‬
‫اﺳْ َﺘﻐْ ِﻔﺮُوا ِﻟ َﻤ ﱢﻴ ِﺘ ُﻜﻢْ َو َ‬
‫ﻈﺮًا إِﻟَﻰ‬
‫ﺖ َﻣﻨْ َ‬
‫ل ‪ »:‬اﺳْ َﺘﻐْ ِﻔﺮُوا «‪َ .‬وَأﺳْ َﻨ َﺪ َﻗﻮَْﻟ ُﻪ ﻣَﺎ َرَأﻳْ ُ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َﻓﻘَﺎ َ‬
‫ﻒ َ‬
‫ِهﺸَﺎ ٍم َو َﻗ َ‬
‫ﻰ ‪-‬ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‪.‬‬
‫اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱢ‬
‫‪Sunan Abî Dâwud‬‬
‫ﻋﻦْ‬
‫ﻦ َﺑﺤِﻴ ٍﺮ َ‬
‫ﻋﺒْ ِﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ ﺑْ ِ‬
‫ﻋﻦْ َ‬
‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ هِﺸَﺎمٌ َ‬
‫ى َ‬
‫ﻦ ﻣُﻮﺳَﻰ اﻟﺮﱠا ِز ﱡ‬
‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ِإﺑْﺮَاهِﻴ ُﻢ ﺑْ ُ‬
‫َ‬
‫ﻰ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ‬
‫ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬
‫ل آَﺎ َ‬
‫ن ﻗَﺎ َ‬
‫ﻋﻔﱠﺎ َ‬
‫ﻦ َ‬
‫ن ﺑْ ِ‬
‫ﻋﺜْﻤَﺎ َ‬
‫ﻋﻦْ ُ‬
‫ن َ‬
‫ﻋﺜْﻤَﺎ َ‬
‫ﺊ َﻣﻮْﻟَﻰ ُ‬
‫هَﺎ ِﻧ ٍ‬
‫ﺳﻠُﻮا‬
‫ﻷﺧِﻴ ُﻜﻢْ َو َ‬
‫ل » اﺳْ َﺘﻐْ ِﻔﺮُوا َ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َﻓﻘَﺎ َ‬
‫ﻒ َ‬
‫ﺖ َو َﻗ َ‬
‫ﻦ اﻟْ َﻤ ﱢﻴ ِ‬
‫غ ِﻣﻦْ َدﻓْ ِ‬
‫وﺳﻠﻢ ِإذَا َﻓ َﺮ َ‬
‫ن‪.‬‬
‫ﻦ َرﻳْﺴَﺎ َ‬
‫ل أَﺑُﻮ دَا ُو َد َﺑﺤِﻴ ُﺮ ﺑْ ُ‬
‫ل «‪ .‬ﻗَﺎ َ‬
‫ن ُﻳﺴَْﺄ ُ‬
‫َﻟ ُﻪ اﻟ ﱠﺘﺜْﺒِﻴﺖَ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ اﻵ َ‬
‫‪b. I’tibar Sanad‬‬
‫‪Melalui penelitian yang dilakukan dengan menelusuri kitab-kitab induk‬‬
‫‪hadis, nampak bahwa hadis Rasulullah Saw meriwayatkan hadis hadis-hadis‬‬
‫‪ ‬‬
44 talqîn mayit setelah penguburan memiliki satu riwayat yang berakhir pada jalur
sahabat Ustmân ibn Affân.
Hadis ini tidak memiliki syahîd dan mutabi’. Namun sebelumnya, penulis
akan menjelaskan sanad-sanad yang memerlukan uraian pada jalur periwayatan,
sehingga skema akan mudah dipahami.
Periwayat hadis dalam kitab 1. Sunan al-Kabîr al-Baihaqî.
1. Periwayat I: Ustmân ibn Affân
Nama lengkapnya ialah Utsman ibn ‘Affân ibn Abî al-‘As ibn Umayyah
al-Qursîi al-Amwa Abû ‘Amru, Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan
Ustmân ibn Affân .
1. Periwayat II: Hânî Maulâ Ustmân
Sedangkan yang di maksud dengan Hânî Maulâ Ustmân setelah nama
Ustmân ibn Affân, nama lengkapnya ialah Hani al-Barbara, ada yang mengatakan
Abû Sa’îd, Maula ‘Utsmân ibn ‘Affân. Dalam skema nama tersebut akan di tulis
dengan Hânî Maulâ Ustmân.
1. Periwayat III: Abdillâh ibn Bahir
Kemudian yang di maksud dengan Abdillâh ibn Bahîr setelah nama Hânî
Maulâ Ustmân ialah ‘Abdillâh ibn Bahîr ibn Risan al-Maradi. Dalam skema nama
tersebut akan di tulis dengan Abdillâh ibn Bahir.
1. Periwayat IV: Hisyâm ibn Yûsuf
45 Nama Hisyâm ibn Yûsuf, setelah penulis melakukan penelitian nama yang
di maksud ialah Hisyâm ibn Yusuf al-San’ani. Dalam skema nama tersebut akan
di tulis dengan Hisyâm ibn Yûsuf.
1. Periwayat V: ‘Alî ibn Abdillâh ibn Ja’far
Sedangkan yang di maksud dengan ‘Alî ibn Abdillâh ibn Ja’far setelah
nama Hisyâm ibn Yûsuf ialah ‘Ali ibn ‘‘Abdullâh ibn Ja’far ibn Najih al-Sa’di.
Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan ‘Alî ibn Abdillâh ibn Ja’far.
1.
a. Periwayat VI: Ibrâhîm ibn ‘Abdillâh
Nama lengkapnya ialah Ibrâhîm ibn ‘Abdillâh. Dalam skema nama
tersebut akan di tulis dengan Ibrâhîm ibn ‘Abdillâh.
1.b. Periwayat VI: Muhammad ibn Galîb ibn Harb
Nama lengkapnya ialah Muhammad ibn Galîb ibn Harb. Dalam skema
nama tersebut akan di tulis dengan Muhammad ibn Galîb ibn Harb.
1. Periwayat VII: Ahmad ibn ‘Abid al-Saffâr
Nama lengkapnya ialah Ahmad ibn ‘Abid al-Saffâr. Dalam skema nama
tersebut akan di tulis dengan Ahmad ibn ‘Abid al-Saffâr.
1. Periwayat VIII: ‘Alî ibn Ahmad ibn Abdân
Nama lengkapnya ialah ‘Alî ibn Ahmad ibn Abdân. Dalam skema nama
tersebut akan di tulis dengan ‘Alî ibn Ahmad ibn Abdân.
1. Periwayat IX: Sunan al-Baihaqî
Nama lengkapnya ialah Abû Bakar Ahmad ibn al-Husain ibn Ali alBaihaqî Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan 1.Sunan al-Baihaqî.
46 Periwayat hadis dalam kitab 1. Sunan Abû Dâwud.
2. Periwayat I: Ustmân ibn Affân
Nama lengkapnya ialah Utsman ibn ‘Affân ibn Abî al-‘As ibn Umayyah
al-Qursîi al-Amwa Abû ‘Amru, Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan
Ustmân ibn Affân .
2. Periwayat II: Hânî Maulâ Ustmân
Sedangkan yang di maksud dengan Hânî Maulâ Ustmân setelah nama
Ustmân ibn Affân, nama lengkapnya ialah Hani al-Barbara, ada yang mengatakan
Abû Sa’îd, Maula ‘Utsmân ibn ‘Affân. Dalam skema nama tersebut akan di tulis
dengan Hânî Maulâ Ustmân.
2. Periwayat III: Abdillâh ibn Bahîr
Kemudian yang di maksud dengan Abdillâh ibn Bahîr setelah nama Hânî
Maulâ Ustmân ialah ‘Abdillâh ibn Bahîr ibn Risan al-Maradi. Dalam skema nama
tersebut akan di tulis dengan Abdillâh ibn Bahîr.
2. Periwayat IV: Hisyâm ibn Yûsuf
Nama Hisyâm ibn Yûsuf, setelah penulis melakukan penelitian nama yang
di maksud ialah Hisyâm ibn Yusuf al-San’ani. Dalam skema nama tersebut akan
di tulis dengan Hisyâm ibn Yûsuf.
2. Periwayat V: Ibrâhîm ibn Mûsâ al-Razî
Sedangkan yang di maksud dengan Ibrâhîm ibn Mûsâ al-Razî setelah
nama Hisyâm ibn Yûsuf ialah Ibrâhîm ibn Mûsâ ibn Yazîd ibn Zadzan al-Tamîmî.
Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan Ibrâhîm ibn Mûsâ al-Razî.
2. Periwayat VI: Sunan Abû Dâwud
47 Nama lengkapnya ialah Abû Dâwud Sulaiman bin As’ab al-Sajastânî alAzdî. Dalam skema nama tersebut akan di tulis dengan 1.Sunan Abû Dâwud.
c. Kritik Sanad
1. Sunan al-Baihaqî
Dalam kegiatan penelitian kritik sanad ini, penulis memulainya dari
periwayat terakhir (mukharij), yaitu 1.Sunan al-Baihaqî, yakni yang melalui jalur
Ustmân ibn Affân. Kemudian diikuti oleh periwayat-periwayat sesudahnya dan
seterusnya sampai periwayat pertama (sahabat).
1. Al-Baihaqî
Nama lengkapnya ialah Abû Bakar Ahmad ibn al-Husain ibn Ali alBaihaqî. Beliau adalah seorang ulama besar dari Khurasan (desa kecil di pinggiran
kota Baihaq) dan seorang penulis buku terkenal. Al-Baihaqî meninggal dunia di
NaisAbûr, Iran, tanggal 10 Jumadilawal 458 H (9 April 1066). Dia lantas dibawa
ke tanah kelahirannya dan dimakamkan di sana. Penduduk kota Baihaq
berpendapat, bahwa kota merekalah yang lebih patut sebagai tempat peristirahatan
terakhir seorang pecinta hadisdan fikih, seperti Imam Baihaqî.
Guru-gurunya: Imam Abû al-Hassan Muhammad ibn Al-Hussein Al Alawi, Abû
Tahir Al-Ziyadi, Abû ‘Abdullâh Al-Hakim, penulis kitab "Al Mustadrik of Sahîh Muslim
and Sahîh Al-Bukhari", Abû Abdur-Rahman Al-Sulami, Abû Bakr ibn Furik, Abû Ali AlRutabari, Halal ibn Muhammad Al-Hafâr, dan Ibn Busran.
Pendapat Ulama:
As-Subkî menyatakan: "Imam Baihaqî merupakan satu di antara sekian
banyak imam terkemuka dan memberi petunjuk bagi umat Muslim. Dialah pula
48 yang sering kita sebut sebagai 'Tali Allah' dan memiliki pengetahuan luas
mengenai ilmu agama, fikih serta pengafal hadis".
Abdul Gaffâr Al-Farsi Al-Naisaburi dalam bukunya "Tail Tarîkh
Naisaburi": Abû Bakr Al-Baihaqî Al Hafidz, Al Usul al-Din, mengabiskan
waktunya untuk mempelajari beragam ilmu agama, dan ilmu pengetahuan lainnya.
Dia belajar ilmu aqidah dan bepergian ke Irak serta Hijaz (Arab Saudi) kemudian
banyak menulis buku.
2. ‘Ali ibn Ahmad ibn ‘Abdan
Setelah melakukan analisis dari berbagai macam kitab al-Rijâl, penulis
tidak menemukan identitas nama tersebut diatas.
3. Ahmad ibn ‘Ubaid al-Saffar
Setelah melakukan analisis dari berbagai macam kitab al-Rijâl, penulis
tidak menemukan identitas nama tersebut diatas.
4. Ibrâhîm ibn ‘Abdillâh
Setelah melakukan analisis dari berbagai macam kitab al-Rijâl, penulis
tidak menemukan identitas nama tersebut diatas.
5. Muhammad ibn Gâlib ibn Harbi
Setelah melakukan analisis dari berbagai macam kitab al-Rijâl, penulis
tidak menemukan identitas nama tersebut diatas.
6. ‘Alî ibn Abdillâh ibn Ja’far
Nama lengkapnya: ‘Alî ibn ‘‘Abdullâh ibn Ja’far ibn Najih al-Sa’di, Nama
lainnya adalah Abû al-Hasan ibn al-Madini al-Basri, Maula ‘Urwah ibn ‘Atiyah
al-Sa’di. Beliau lahir di Basrah pada tahun 261. H, dan wafat pada tahun 234.H
49 Guru-gurunya: Azhâr ibn Sa’d al-Saman, Ismâ’îl ibn ‘Aliyah, al-Aswad
ibn ‘Amir Syadzan, Hisyâm ibn Yûsuf al-San’ani, Umayyah ibn Khâlid. Abî
Dhamrah Anas ibn ‘Iyadh.
Murid-murid: Bukhâri, Abû Dâwud, Ibrâhîm ibn al-Harits al-Bagdadi,
Ibrâhîm ibn Ya’qûb al-Juzjani, Ahmad ibn Hanbal, Ahmad ibn Mansur alRumadi.
Pendapat Ulama:
Ibn Hajar berkata: Tsiqah tsabit.
Berkata Abû Hatim al-Razi bahwa: “Ali adalah seorang Ulama pada
zamannya, yang ahli dalam bidang hadisdan kecacatannya.
Adz-Zahabî berkata: al-Bukhari pernah berkata, bahwa: Dia adalah
gurunya Ibn Mahdi, dan Ali adalah termasuk salah seorang yang paling Alim
tantang hadispada zamannya.
Ibrâhîm ibn ‘Abdillâh
Dari pendapat para kritikus di atas nampaknya tidak ada seorangpun yang
mencela dirinya, periwayatan bahwa dirinya telah meriwayatkan dari Hisyâm ibn
Yûsuf dapat di percaya. Ada hubungan murid dan guru antara ‘Alî ibn ‘‘Abdullâh
ibn Ja’far dengan Hisyâm ibn Yûsuf. Karena dapat di lihat dari sanad ini bahwa di
antara mereka memang bertemu dan bersambung.
7. Hisyâm ibn Yûsuf
Nama lengkapnya:"Hisyâm ibn Yûsuf al-San’ani, Dan nama lainnya Abû
‘Abdurrahmân al-Abnawa, al-Qâdhi, beliau tegolong Tabi’in kecil, wafat pada
tahun 197.H.
50 Guru-gurunya: Ibrâhîm ibn ‘Amr ibn Kisan, ‘Umayah ibn Syibl, Bakar ibn
‘Abdillâh ibn Wahhâb ibn Munabbih, Dâwud ibn Qais, ‘Abdullâh ibn Bahîr ibn
Risan, Rabbah ibn ‘‘Abdullâh ibn ‘Amr al-‘Umri.
Murid-muridnya: Ibrâhîm ibn Mu’awiyah al-Nasri, Ibrâhîm ibn Mûsâ alRâzi, Ishâq ibn Abî Isrâ’îl, Ishâq ibn Rahawaih,
Pendapat Ulama:
Ibn Hajar berkata: Tsiqah
al-Dzahabî ketika beliau ditanya, tidak berkomentar
Berkata al-Husain ibn al-Hasan al-Râzi: “Aku telah bertanya kepada
Yahyâ ibn Mu’în tentangnya, Maka beliau berkomentar: “Tidak ada masalah, dan
dia termasuk Dabit, menurut Ibn Juraij dari ‘Abd al-Razzâq.
Dari pendapat para kritikus di atas nampaknya tidak ada seorangpun yang
mencela dirinya, periwayatan bahwa dirinya telah meriwayatkan dari ‘‘Abdullâh
ibn Bahîr dapat di percaya. Ada hubungan murid dan guru antara Hisyâm ibn
Yûsuf dengan ‘‘Abdullâh ibn Bahîr. Karena dapat di lihat dari sanad ini bahwa di
antara mereka memang bertemu dan bersambung.
8. ‘‘Abdullâh ibn Bahîr
Nama lengkapnya: ‘Abdillâh ibn Bahîr ibn Risan al-Maradi, Nama lainnya
adalah Abû Wa’il al-Qas, Nama lainnya juga al-Yamâni al-San’ani
Guru-gurunya: ‘Abdurrahman ibn Yâzid al-Qas, ‘Urwah ibn Muhammad
al-Sa’di, Hani Maula ‘Utsmân .
Murid-muridnya: Ibrâhîm ibn Khâlid, Rabbah ibn Zaid, ‘Abd al-Razzâq
ibn Hamam, Muhammad ibn al-Hasan ibn Atasy, Hisyâm ibn Yûsuf al-San’ani.
51 Pendapat Ulama:
Ibn Hajar mengatakan tsiqah menurut pendapat Ibn Mu’în
al-Dzahabî berkata: Tsiqah dan tidak ada masalah.
Ishâq ibn Mansûr berkata dari Yahyâ ibn Mu’în: Tsiqah
Dan Ibn Hibbân menyebutkan dalam kitabnya: Tsiqah
Dari pendapat para kritikus di atas nampaknya tidak ada seorangpun yang
mencela dirinya, periwayatan bahwa dirinya telah meriwayatkan dari Hâni Maula
‘Utsmân ibn Affân dapat di percaya. Ada hubungan murid dan guru antara
‘‘Abdullâh ibn Bahîr dengan Hâni Maula ‘Utsmân ibn Affân. Karena dapat di
lihat dari sanad ini bahwa di antara mereka memang bertemu dan bersambung.
9. Hâni Maula ‘Utsmân ibn ‘Affân
Nama lengkapnya: Hâni al-Barbara, ada yang mengatakan Abû Sa’îd,
Maula ‘Utsmân ibn ‘Affân, beliau termasuk pertengahan tabi’in.
Guru-gurunya: Jara ibn al-Harits Maula ‘‘Umâr ibn al-Khattab, ‘Utsmân
ibn ‘Affân (Maulanya),
Murid-muridnya: Sulaimân ibn Yatsribi, ‘Amr ibn Yatsribi, Abû Wa’il
‘‘Abdullâh ibn Bahîr Risan al-Qas,
Pendapat Ulama
Ibn Hajar berkata: Saduq
al-Dzahabi berkata : Tsiqah
al-Nasa’i berkata: Tidak ada masalah
Ibn Hibbân dalam kitabnya: Tsiqah
52 Dari pendapat para kritikus di atas nampaknya tidak ada seorangpun yang
mencela dirinya, periwayatan bahwa dirinya telah meriwayatkan dari ‘Utsmân ibn
Affân dapat di percaya. Ada hubungan murid dan guru antara Hâni Maula
‘Utsmân ibn Affân dengan ‘Utsmân ibn Affân. Karena dapat di lihat dari sanad
ini bahwa di antara mereka memang bertemu dan bersambung.
10. ‘Utsmân ibn ‘Affân
Nama lengkapnya ‘Utsmân ibn ‘Affân ibn Abî al-‘As ibn Umayyah alQursîi al-Amwa Abû ‘Amru, dan ada yang menyebutnya Abû ‘Abdillâh, dan ada
juga mengatakan Abû Laila, Dzu al-Nurin. Beliau wafat pada tahun 35.H di
Madinah.
Guru-guru beliau diantaranya: Nabi Muhammad Saw, Abî Bakar alSiddîq, ‘Abdillâh ibn Abî Quhafah dan ‘Umâr ibn al-Khattab.
Sedangkan Murid-murid beliau diantaranya; Abân ibn ‘Utsmân ibn ‘Affân,
al-Ahnif ibn Qaisy, Abû Umâmah As’ad ibn Sahl ibn Hanif, Anas ibn Mâlik dan
Hânni al-Barbara maula ‘Utsmân
Pendapat Ulama
Berkata Abû Hilâl al-Rasibi, Qatadah telah bercerita kepada kami, ia
berkata: “Ketika terjadi peristiwa Jaisy al-‘Usra Utsmân membawa seribu unta
dan tujuh puluh kuda untuk kaum Muslimin.
Abû Hilal al-Rasibi berkata lagi bahwa Muhammad ibn Sirin suatu ketika
pernah berkata: ‘Utsmân selalu mengidupkan waktu malamnya dengan membaca
al-Qur’an dalam dua rakaat salâtnya.
53 Dari pendapat para kritikus di atas nampaknya jelas bahwa ‘Utsmân ibn
Affân adalah sahabat Nabi Saw. periwayatan bahwa dirinya telah meriwayatkan
dari Nabi Saw. Ada hubungan murid dan guru antara keduanya. Dapat di lihat dari
sanad ini bahwa di antara mereka memang bertemu dan bersambung.
2. Sunan Abû Dâwud
Dalam kegiatan penelitian kritik sanad ini, penulis memulainya dari
periwayat terakhir (mukharij), yaitu 1. Sunan Abû Dâwud, yakni yang melalui
jalur Ustmân ibn Affân. Kemudian diikuti oleh periwayat-periwayat sesudahnya
dan seterusnya sampai periwayat pertama (sahabat).
1. Sunan Abû Dâwud
Nama lengkapnya ialah Abû Dâwud Sulaiman bin As’ab al-Sajastânî alAzdî
2. Ibrâhîm ibn Mûsâ al-Râzi
Nama lengkapnya: Ibrâhîm ibn Mûsâ ibn Yazîd ibn Zadzan al-Tamîmî,
Nama lainnya adalah Abû Ishâq al-Fara’ al-Râzi, itu gelar ketika beliau masih
kecil. Beliau wafat pada tahun 220.H.
Guru-gurunya: Ibrâhîm ibn Mûsâ al-Ziyat al-Musilî, Ahmad ibn Basyîr,
Baqiyah ibn Walid, Jarir ibn Abd al-Hamîd, Hisyâm ibn Yûsuf al-San’ani, Hatim
ibn Ismâ’îl. Syuaib ibn Ishâq al-Damasyqi
Murid-muridnya: al-Bukhârî, Muslim, Abû Dâwud, Ismâ’îl ibn ‘Amr, Abû
Hatim ibn Muhammad ibn Idrîs, Abû Haitsam Khâlid ibn Yazîd al-Râzi
Pendapat Ulama:
54 Ibn Hajar berkata: Tsiqah Hafidz
al-Dzahabi berkata:Beliau seorang hafidz, berkata Abû Zar’ah bahwa: Aku
telah menulis hadis darinya sekitar seratus ribu hadis
Abû Hâtim berkata: Tsiqah
Abû Zar’ah berkata: hadisyang diriwayatkan darinya termasuk hadis sahih,
dan saya termasuk orang yang hafal hadis darinya kira-kira lima puluh hadis.
Dari pendapat para kritikus di atas nampaknya tidak ada seorangpun yang
mencela dirinya, periwayatan bahwa dirinya telah meriwayatkan dari Hisyâm ibn
Yûsuf dapat di percaya. Ada hubungan murid dan guru antara Ibrâhîm ibn Mûsâ
al-Râzi dengan Hisyâm ibn Yûsuf. Karena dapat di lihat dari sanad ini bahwa di
antara mereka memang bertemu dan bersambung.
3. Hisyâm ibn Yûsuf
Nama lengkapnya:"Hisyâm ibn Yûsuf al-San’ani, Dan nama lainnya Abû
‘Abdurrahmân al-Abnawa, al-Qâdhi, beliau tergolong Tabi’in kecil, wafat pada
tahun 197.H.
Guru-gurunya: Ibrâhîm ibn ‘Amr ibn Kisan, ‘Umayah ibn Syibl, Bakar ibn
‘Abdillâh ibn Wahhâb ibn Munabbih, Dâwud ibn Qais, ‘Abdullâh ibn Bahîr ibn
Risan, Rabbah ibn ‘‘Abdullâh ibn ‘Amr al-‘Umri.
Murid-muridnya: Ibrâhîm ibn Mu’awiyah al-Nasri, Ibrâhîm ibn Mûsâ alRâzi, Ishâq ibn Abî Isrâ’îl, Ishâq ibn Rahawaih,
Pendapat Ulama:
55 Ibn Hajar berkata: Tsiqah
al-Dzahabî ketika beliau ditanya, tidak berkomentar
Berkata al-Husain ibn al-Hasan al-Râzi: “Aku telah bertanya kepada
Yahyâ ibn Mu’în tentangnya, Maka beliau berkomentar: “Tidak ada masalah, dan
dia termasuk Dabit, menurut Ibn Juraij dari ‘Abd al-Razzâq.
Dari pendapat para kritikus di atas nampaknya tidak ada seorangpun yang
mencela dirinya, periwayatan bahwa dirinya telah meriwayatkan dari ‘‘Abdullâh
ibn Bahîr dapat di percaya. Ada hubungan murid dan guru antara Hisyâm ibn
Yûsuf dengan ‘‘Abdullâh ibn Bahir. Karena dapat di lihat dari sanad ini bahwa di
antara mereka memang bertemu dan bersambung.
4. ‘‘Abdullâh ibn Bahir
Nama lengkapnya: ‘Abdillâh ibn Bahîr ibn Risan al-Maradi, Nama lainnya
adalah Abû Wa’il al-Qas, Nama lainnya juga al-Yamâni al-San’ani
Guru-gurunya: ‘Abd ar-Rahman ibn Yâzid al-Qas, ‘Urwah ibn
Muhammad al-Sa’di, Hani Maula ‘Utsmân .
Murid-muridnya: Ibrâhîm ibn Khâlid, Rabbah ibn Zaid, ‘Abd al-Razzâq
ibn Hamam, Muhammad ibn al-Hasan ibn Atasy, Hisyâm ibn Yûsuf al-San’ani.
Pendapat Ulama:
Ibn Hajar mengatakan tsiqah menurut pendapat Ibn Mu’în
al-Dzahabî berkata: Tsiqah dan tidak ada masalah.
Ishâq ibn Mansûr berkata dari Yahyâ ibn Mu’în: Tsiqah
Dan Ibn Hibbân menyebutkan dalam kitabnya: Tsiqah
56 Dari pendapat para kritikus di atas nampaknya tidak ada seorangpun yang
mencela dirinya, periwayatan bahwa dirinya telah meriwayatkan dari Hâni Maula
‘Utsmân ibn Affân dapat di percaya. Ada hubungan murid dan guru antara
‘‘Abdullâh ibn Bahîr dengan Hâni Maula ‘Utsmân ibn Affân. Karena dapat di
lihat dari sanad ini bahwa di antara mereka memang bertemu dan bersambung.
5. Hâni Maula ‘Utsmân ibn ‘Affân
Nama lengkapnya: Hâni al-Barbara, ada yang mengatakan Abû Sa’îd,
Maula ‘Utsmân ibn ‘Affân, beliau termasuk pertengahan tabi’in.
Guru-gurunya: Jara ibn al-Harîts Maula ‘‘Umâr ibn al-Khattab, ‘Utsmân
ibn ‘Affân (Maulanya),
Murid-muridnya: Sulaimân ibn Yatsribi, ‘Amr ibn Yatsrîbi, Abû Wa’il
‘‘Abdullâh ibn Bahîr Risan al-Qas,
Pendapat Ulama
Ibn Hajar berkata: Saduq
al-Dzahabî berkata : Tsiqah
al-Nasa’i berkata: Tidak ada masalah
Ibn Hibbân dalam kitabnya: Tsiqah
Dari pendapat para kritikus di atas nampaknya tidak ada seorangpun yang
mencela dirinya, periwayatan bahwa dirinya telah meriwayatkan dari ‘Utsmân ibn
Affân dapat di percaya. Ada hubungan murid dan guru antara Hâni Maula
‘Utsmân ibn Affân dengan ‘Utsmân ibn Affân. Karena dapat di lihat dari sanad
ini bahwa di antara mereka memang bertemu dan bersambung.
6. ‘Utsmân ibn ‘Affân
57 Nama lengkapnya ‘Utsmân ibn ‘Affân ibn Abî al-‘As ibn Umayyah alQursîi al-Amwa Abû ‘Amru, dan ada yang menyebutnya Abû ‘Abdillâh, dan ada
juga mengatakan Abû Laila, Dzu al-Nurin. Beliau wafat pada tahun 35.H di
Madinah.
Guru-guru beliau diantaranya: Nabi Muhammad Saw, Abî Bakar alSiddîq, ‘Abdillâh ibn Abî Quhafah dan ‘Umâr ibn al-Khattab.
Sedangkan Murid-murid beliau diantaranya; Abân ibn ‘Utsmân ibn ‘Affân,
al-Ahnif ibn Qaisy, Abû Umâmah As’ad ibn Sahl ibn Hanif, Anas ibn Mâlik dan
Hânni al-Barbara maula ‘Utsmân
Pendapat Ulama
Berkata Abû Hilâl al-Rasibi, Qatadah telah bercerita kepada kami, ia
berkata: “Ketika terjadi peristiwa Jaisy al-‘Usra Utsmân membawa seribu unta
dan tujuh puluh kuda untuk kaum Muslimin.
Abû Hilal al-Rasibi berkata lagi bahwa Muhammad ibn Sirin suatu ketika
pernah berkata: ‘Utsmân selalu mengidupkan waktu malamnya dengan membaca
al-Qur’an dalam dua rakaat salâtnya.
Dari pendapat para kritikus di atas nampaknya jelas bahwa ‘Utsmân ibn
Affân adalah sahabat Nabi Saw. periwayatan bahwa dirinya telah meriwayatkan
dari Nabi Saw. Ada hubungan murid dan guru antara keduanya. Dapat di lihat dari
sanad ini bahwa di antara mereka memang bertemu dan bersambung.
Setelah sanad Abû Dâwud yang melalui ‘Ustmân ibn Affân di teliti, dapat
dikatakan sanad-nya bersambung (mutasil), karena bila di lihat dari faktor waktu,
58 memungkinkan bagi periwayat untuk berjumpa, terlebih di dukung oleh faktor
pendidikan (guru dan murid) ternyata semua periwayat berkaitan.
Setelah penulis teliti hadis Kedua, melalui jalur 1. Sunan al-Baihaqî
terdapat sanad yang Majhul. Karena setelah diteliti ada beberapa perawi yang
penulis tidak temukan identitasnya baik di kitab al-Rijâl al-Hadis maupun kitab
al-Takhrîj al-Hadis. Dan melalui jalur 2. Sunan Abû Dâwud terdapat sanad yang
Sahîh, karena secara keseluruhan sanad antara perawi satu dengan perawi yang
lain tersambung, dengan kata lain mereka ada hubungan antara guru dan murid
dan juga pernah hidup satu zaman.
Kesimpualn dari análisis sanad terhadap hadis talqîn mayit setelah
penguburan yang penulis lakukan ketika menggAbûngkan dari jalur hadispertama
dan jalur hadis kedua ternyata kualitas hadisnya adalah hasan ligairihi, dengan
alasan bahwa walaupun penelitian dari jalur hadispertama itu da’if
ternyata
diperkuat melalui penelitian dari jalur hadisyang kedua yang diriwayatkan dari
Abî Dâwud yang berkualitas sahîh, kemudian diperkuat lagi oleh hadisyang
diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab sahîh-nya, yang sengaja penulis
tidak teliti karena mengikuti kesepakatan ulama hadisyang bermadzhab Sunni
bahwa semua hadisyang termuat dalam kitab sahîh Muslim itu sudah diakui kesahîh-annya. Oleh karena itu dari sini sudah jelas bahwa kualitas hadis talqîn
mayit setelah penguburan adalah hasan ligairihi.
C. Kritik Matan
59 Kata matan atau al-matn menurut bahasa berarti mairtafa’a min al-ardi
(tanah yang meninggi). Sedangkan menurut istilah ialah suatu kalimat tempat
berakhirnya sanad, Atau dengan redaksi lain; Lafal-lafal hadis yang didalamnya
mengandung makna-makna tertentu. Dan ada juga redaksi yang lebih sederhana
lagi, yang menyebutkan bahwa matan adalah ujung sanad (gayah as-sanad).
Semua pengertian diatas menunjukan bahwa yang dimaksud dengan matan ialah
materi hadis atau lafal hadis itu sendiri. 57
Dalam menentukan kriteria ke-sahîh-an matan hadis menurut muhadisin
tampaknya beragam. Perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh perbedaan latar
belakang, keahlian alat bantu dan persoalan serta masyarakat yang dihadapi oleh
mereka. Ibnu Jawzî misalnya, memberikan tolak ukur ke-sahîh-an matan hadis
secara singkat, yaitu setiap hadis yang bertentangan dengan akal ataupun
berlawanan dengan ketentuan pokok agama , pasti hadistersebut tergolong hadis
mawdu’.
Salahuddin al-Adabi menyimpulkan bahwa tolak ukur untuk penelitian
matan (ma’ayir naqdil- matn) ada empat macam 58 , yakni:
Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an;
Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat;
Tidak bertentangan dengan akal sehat, indra dan sejarah;
Dan susunan pernyataannya menunjukan ciri-ciri sabda kenabian;
57
Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung : CV.PUSTAKA SETIA, 2005), cet ke-2, hal.62-63 M. Syuhudi Ismâ’îl, Metodologi Penelitian Hadis Nabi. (Jakarta: Bulan Bintang, 2007),
cet-2, h.120 58
‫‪60 ‬‬
‫‪ ‬‬
‫‪Hadis ke-1‬‬
‫ﻦ ِإﺑْﺮَا ِهﻴْ َﻢ ﺑْﻦ اﻟْ ُﻌﻠَﺎ ِء‬
‫ﺤﻤﱠ ُﺪ ﺑْ ُ‬
‫ﺨﻮْﻟَﺎ ِﻧﻲْ َﺛﻨَﺎ ُﻣ َ‬
‫ﺳِّﻠﻢْ اﻟْ َ‬
‫ﻦ َ‬
‫ﺲ ﺑْ ِ‬
‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ َأ ُﺑﻮْ ﻋَﻘِﻴْﻞ َأ َﻧ ِ‬
‫َ‬
‫ﻋﻦْ َﻳﺤْﻴَﻰ‬
‫ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ اﻟْ ُﻘﺮْﺷِﻲ َ‬
‫ﻦ ُﻣ َ‬
‫ﷲ ﺑْ ِ‬
‫ﻋﺒْ ُﺪ ا ِ‬
‫ﻋﻴَﺎش َﺛﻨَﺎ َ‬
‫ﻞ ﺑْﻦ ِ‬
‫ﻋﻴْ َ‬
‫اﻟْﺤَﻤْﺼِﻲ َﺛﻨَﺎ ِإﺳْﻤَﺎ ِ‬
‫ت َأ ُﺑﻮْ ُأﻣَﺎ َﻣ َﺔ َو ُه َﻮ ِﻓﻲْ‬
‫ﺷ ِﻬﺪْ ُ‬
‫ل‪َ :‬‬
‫ﷲ اﻟَْﺄوْدِي ﻗَﺎ َ‬
‫ﻋﺒْ ِﺪ ا ِ‬
‫ﻦ َ‬
‫ﺳ ِﻌﻴْ ِﺪ ﺑْ ِ‬
‫ﻋﻦْ َ‬
‫ﺑْﻦ َأ ِﺑﻲْ َآ ِﺜﻴْ ِﺮ َ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو‬
‫ﷲ َ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ا ِ‬
‫ﷲ َ‬
‫لا ِ‬
‫ﺳﻮْ ُ‬
‫ل ‪ِ :‬إذَا ُﻣﺖﱡ ﻓَﺎﺻْﻨَ ُﻌﻮْا ِﺑﻲْ َآﻤَﺎ أَﻣَﺮَﻧَﺎ َر ُ‬
‫ع َﻓﻘَﺎ َ‬
‫اﻟ ﱠﻨ َﺰ ِ‬
‫ل ‪ :‬إِذَا‬
‫ﺳﱠﻠ َﻢ َﻓﻘَﺎ َ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ‬
‫ﷲ َ‬
‫ﺻﻠﱠﻰ ا ُ‬
‫ﷲ َ‬
‫لا ِ‬
‫ﺳﻮْ ُ‬
‫ن َﻧﺼْ َﻨ َﻊ ِﺑ َﻤﻮْﺗَﺎﻧَﺎ أَﻣَﺮَﻧَﺎ َر ُ‬
‫ﺳﱠﻠ َﻢ َأ ﱠ‬
‫َ‬
‫س‬
‫ﻋﻠَﻰ َرأْ ِ‬
‫ﺣ ُﺪ ُآﻢْ َ‬
‫ﻋﻠَﻰ َﻗﺒْ ِﺮ ِﻩ َﻓﻠْ َﻴ ُﻘﻢْ َأ َ‬
‫ب َ‬
‫ﺴﻮﱠ ْﻳ ُﺘ ُﻢ اﻟ ﱡﺘﺮَا َ‬
‫ﺣﺪٌ ِﻣﻦْ ِإﺧْﻮَا ِﻧ ُﻜﻢْ َﻓ َ‬
‫ت َأ َ‬
‫ﻣَﺎ َ‬
‫ﻦ‬
‫ن ﺑْ ُ‬
‫ل ‪ :‬ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ‬
‫ﺐ ُﺛﻢﱠ َﻳ ُﻘﻮْ ُ‬
‫ﺠﻴْ ُ‬
‫ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳﺴْ َﻤ ُﻌ ُﻪ وَﻟَﺎ ُﻳ ِ‬
‫ن ﺑْ ُ‬
‫َﻗﺒْ ِﺮ ِﻩ ُﺛﻢﱠ ﻟْ َﻴ ُﻘﻞْ ‪ :‬ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ‬
‫ل ‪ :‬أَرْﺷِﺪْﻧَﺎ‬
‫ﻦ ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳ ُﻘﻮْ ُ‬
‫ن ﺑْ ُ‬
‫ل ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ‬
‫ﻋ ًﺪا ُﺛﻢﱠ َﻳ ُﻘﻮْ ُ‬
‫ُﻓﻠَﺎ َﻧ َﺔ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ َﻳﺴْ َﺘﻮِي ﻗَﺎ ِ‬
‫ﻦ اﻟ ﱡﺪﻧْﻴَﺎ‬
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ ِﻣ َ‬
‫ﺖ َ‬
‫ﺧ َﺮﺟْ َ‬
‫ن َﻓﻠْ َﻴ ُﻘﻞْ ‪ُ :‬اذْ ُآﺮْ ﻣَﺎ َ‬
‫ﷲ َوَﻟ ِﻜﻦْ ﻟَﺎ َﺗﺸْ ُﻌ ُﺮوْ َ‬
‫ﻚا ُ‬
‫ﺣ ُﻤ َ‬
‫َر ِ‬
‫ﷲ رَﺑًّﺎ‬
‫ﺖ ﺑِﺎ ِ‬
‫ﺿﻴْ ُ‬
‫ﻚ َر ِ‬
‫ﺳﻮُْﻟ ُﻪ َوَأﱠﻧ َ‬
‫ﻋﺒْ ُﺪ ُﻩ َو َر ُ‬
‫ﺤ ﱠﻤﺪًا َ‬
‫ن ُﻣ َ‬
‫ﷲ َوَأ ﱠ‬
‫ﺷﻬَﺎ َد َة ﻟَﺎ ِإَﻟ َﻪ إِﻟﱠﺎ ا ُ‬
‫َ‬
‫ﺧ ُﺬ وَاﺣِﺪ‬
‫ن ُﻣﻨْ َﻜﺮًا َو َﻧ ِﻜﻴْﺮًا ﻳَﺄْ ُ‬
‫ن ِإﻣَﺎﻣًﺎ َﻓِﺈ ﱠ‬
‫ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ ﱠﻧﺒِﻴًّﺎ َوﺑِﺎﻟْ ُﻘﺮْﺁ ِ‬
‫َوﺑِﺎﻟِْﺈﺳْﻠَﺎ ِم ِدﻳْﻨًﺎ َو ِﺑ ُﻤ َ‬
‫ن‬
‫ﺣﺠﱠ ُﺘ ُﻪ َﻓ َﻴ ُﻜﻮْ ُ‬
‫ﻦ ُ‬
‫ﻋﻨْ َﺪ َﻣﻦْ َﻗﺪْ ُﻟ ِّﻘ ُ‬
‫ﻄِﻠﻖْ ِﺑﻨَﺎ ﻣَﺎ ُﻧﻘْ ِﻌ ُﺪ ِ‬
‫ل ‪ِ :‬اﻧْ َ‬
‫ﺣ ُﺒ ُﻪ َو َﻳ ُﻘﻮْ ُ‬
‫ِﻣﻨْ ُﻬﻤَﺎ ِﺑ َﻴ ٍﺪ ﺻَﺎ ِ‬
‫ل‪:‬‬
‫ن َﻟﻢْ َﻳﻌْ ِﺮفْ ُأﻣﱡ ُﻪ ﻗَﺎ َ‬
‫ﷲ َﻓِﺈ ﱠ‬
‫لا ِ‬
‫ﺳﻮْ َ‬
‫ﺟﻞٌ ‪ :‬ﻳَﺎ َر ُ‬
‫ل رَ ُ‬
‫اﷲ ﺣﺠﻴﺠﻪ ُد ْو َﻧ ُﻬﻤَﺎ َﻓﻘَﺎ َ‬
‫ﻦ َ‬
‫ن ﺑْ ُ‬
‫ﺣﻮﱠا َء ﻳَﺎ ُﻓﻠَﺎ ُ‬
‫ﺴ ُﺒ ُﻪ ِإﻟَﻰ َ‬
‫َﻓ ُﻴﻨْ ِ‬
‫ﺣﻮﱠا َء‪) 59‬اﻟﻤﻌﺠﻢ اﻟﻜﺒﻴﺮ ‪ :‬اﻟﻄﺒﺮاﻧﻲ(‬
‫‪“Telah bercerita kepada kami Abû ‘Uqail Anas ibn Sallim al‬‬‫‪Khaulânî, bercerita kepada kami Muhammad ibn Ibrâhîm ibn al-‘Ulâ’i al‬‬‫‪Hamsî, bercerita kepada kami ‘Iyâsy, bercerita kepada kami ‘‘Abdullâh‬‬
‫‪ibn Muhammad al-Qursî dari Yahyâ bin Abî Katsîr dari Sa’îd bin‬‬
‫‪‘Abdillâh al-Awdî, berkata: “Aku menyaksikan Abû Umâmah r.a, ketika‬‬
‫‪itu beliau dalam keadaan nazza’ ( menjelang kematiannya). Beliau‬‬
‫‪ ‬‬
‫‪Sulaimân bin Ahmad bin Ayyûb bin Abû al-Qasim Al-Tabrânî, Al-Mu’jam al-Kabîr,‬‬
‫‪59‬‬
‫‪h.249 ‬‬
‫‪ ‬‬
61 berkata:”Apabila aku wafat maka hendaklah urus aku sebagaimana yang
diperintahkan Nabi Saw., dalam mengurus orang kita yang meninggal.
Beliau (Nabi Saw) berkata: “Apabila meninggal salah seorang diantaramu
(maksudnya orang Islam) dan telah didatarkan tanah diatas perkuburannya,
maka hendaklah salah seorang diantaramu berhenti sebentar dihadapan
kepala si mayit itu, hendaklah ia berkata: “Hai fulan anak wanita fulan,
maka si mayit mendengar tetapi ia tidak bisa menjawab. Kemudian
dikatakan lagi: “Hai fulan anak wanita fulan! Maka ia menjawab: “Berilah
petunjuk kepada kami semoga Tuhan memberi rahmat kepadamu. Tetapi
kamu tidak mendengar ucapannya itu. Kemudian katakan lagi: “Ingatlah
hal ketika engkau keluar dari dunia, yaitu pengakuan bahwa tiada Tuhan
selain Allah, Muhammad itu hamba-Nya dan Rasul-Nya, dan
bahwasannya engkau telah ridha bahwa Allah Tuhanmu, Islam agamamu,
Muhammad Nabimu, Al-Qur’an Imammu. Ketika itu malaikat Munkar
dan Nakir saling memegang tangan kawannya dan berkata : “Mari kita
kembali saja, apa gunanya kita duduk dihadapan orang yang telah ditalqîn-kan jawabannya. Berkata Abû Umâmah r.a,: Seorang sahabat
bertanya kepada Nabi Saw.,: “Wahai Rasulullah, kalau (orang yang mentalqîn-kan itu) tidak tahu nama ibunya, bagaimana?. Jawab Nabi Saw,:
“Dibangsakan saja ia kepada ibunya Siti Hawa” (H.R.Tabrânî, Mu’jam alKabîr) 60
Biasanya dalam melakukan analisa hadis apabila sudah diketahui ke-da’ifan sanadnya maka tidak perlu lagi melakukan kritik matan, akan tetapi untuk
mendapatkan pemahaman yang komprehensif maka penulis akan tetap mencoba
melakukannya
Tidak diragukan lagi bahwa hadis ini memiliki beberapa kejanggalan,
diantaranya:
1. Tidak ada penukilan dari para sahabat dengan sanad yang sahih bahwa
mereka melakukannya, padahal mereka adalah generasi yang paling
semangat dalam mengamalkan perintah Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam.
2. Ucapannya “Ya fulan bin fulanah” menyelisihi praktik Nabi Saw. dan para
sahabat dalam memberikan nama kepada manusia dan menisbatkan
mereka kepada bapak-bapak mereka, bukan kepada ibu mereka.
60
Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama (Jakarta, Pustaka Tarbiyah, Cet.25, 2006),h.91 62 3. Ucapannya “karena dia mendengarnya” menurut penulis menyelisihi
terhadap hadis sahih yang mengatakan bahwa, si’mayit tidak mendengar
kecuali apabila manusia sudah berpaling darinya dan dia mendengar suara
sandal
mereka
untuk
persiapan
menjawab
pertanyaan
Malaikat.
Sebagaimana dalam sebuah hadis:
‫ل اﻟْ َﻌﺒْ ُﺪ‬
َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ‬
َ ‫ﻲ‬
‫ﻋﻨْ ُﻪ ﻋﻦ اﻟﱠﻨ ِﺒ ﱢ‬
َ ‫ﻲ اﻟﱠﻠ ُﻪ‬
َ‫ﺿ‬
ِ ‫ﺲ َر‬
ٍ ‫ﻋﻦ َأ َﻧ‬
‫ع‬
َ ْ‫ﺣﺘﱠﻰ ِإﻧﱠ ُﻪ َﻟ َﻴﺴْ َﻤ ُﻊ َﻗﺮ‬
َ ‫ﺐ َأﺻْﺤَﺎ ُﺑ ُﻪ‬
َ ‫ﻲ َو َذ َه‬
َ ‫ﺿ َﻊ ﻓِﻲ َﻗﺒْ ِﺮ ِﻩ َو ُﺗ ُﻮﻟﱢ‬
ِ ‫ِإذَا ُو‬
‫ﻞ‬
ِ‫ﺟ‬
ُ ‫ل ﻓِﻲ َهﺬَا اﻟ ﱠﺮ‬
ُ ‫ﺖ َﺗﻘُﻮ‬
َ ْ‫ن َﻟ ُﻪ ﻣَﺎ ُآﻨ‬
ِ ‫ن َﻓَﺄﻗْ َﻌﺪَا ُﻩ َﻓ َﻴﻘُﻮﻟَﺎ‬
ِ ‫ِﻧﻌَﺎِﻟ ِﻬﻢْ َأﺗَﺎ ُﻩ َﻣَﻠﻜَﺎ‬
‫ل‬
ُ ‫ﻋﺒْ ُﺪ اﻟﱠﻠ ِﻪ َو َرﺳُﻮُﻟ ُﻪ َﻓ ُﻴﻘَﺎ‬
َ ‫ل َأﺷْ َﻬ ُﺪ َأﻧﱠ ُﻪ‬
ُ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ َﻓ َﻴﻘُﻮ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ‬
َ ‫ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ‬
َ ‫ُﻣ‬
‫ﻲ‬
‫ل اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬
َ ‫ﺠ ﱠﻨ ِﺔ ﻗَﺎ‬
َ ْ‫ﻚ اﻟﱠﻠ ُﻪ ِﺑ ِﻪ َﻣﻘْ َﻌﺪًا ِﻣﻦْ اﻟ‬
َ ‫ك ﻓﻲ اﻟﻨﱠﺎ ِر َأﺑْ َﺪَﻟ‬
َ ‫ﻈﺮْ ِإﻟَﻰ َﻣﻘْ َﻌ ِﺪ‬
ُ ْ‫اﻧ‬
‫ل‬
ُ ‫ﻖ َﻓ َﻴﻘُﻮ‬
ُ ‫ﺟﻤِﻴﻌًﺎ َوَأﻣﱠﺎ اﻟْﻜَﺎ ِﻓ ُﺮ َأوْ اﻟْ ُﻤﻨَﺎ ِﻓ‬
َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ َﻓ َﻴﺮَا ُهﻤَﺎ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ‬
َ
‫ﺖ ُﺛﻢﱠ‬
َ ْ‫ﺖ وَﻟَﺎ َﺗَﻠﻴ‬
َ ْ‫ل ﻟَﺎ َد َرﻳ‬
ُ ‫س َﻓ ُﻴﻘَﺎ‬
ُ ‫ل اﻟﻨﱠﺎ‬
ُ ‫ل ﻣَﺎ َﻳﻘُﻮ‬
ُ ‫ﺖ َأﻗُﻮ‬
ُ ْ‫ﻟَﺎ َأدْ ِري ُآﻨ‬
‫ﺤ ًﺔ َﻳﺴْ َﻤ ُﻌﻬَﺎ‬
َ ْ‫ﺻﻴ‬
َ ‫ﺢ‬
ُ ‫ﻦ ُأ ُذ َﻧﻴْ ِﻪ َﻓ َﻴﺼِﻴ‬
َ ْ‫ﺿﺮْ َﺑ ًﺔ َﺑﻴ‬
َ ‫ﺣﺪِﻳ ٍﺪ‬
َ ْ‫ب ِﺑ ِﻤﻄْ َﺮ َﻗ ٍﺔ ِﻣﻦ‬
ُ ‫ُﻳﻀْ َﺮ‬
61
‫ﻦ‬
ِ ْ‫َﻣﻦْ َﻳﻠِﻴ ِﻪ إِﻟﱠﺎ اﻟ ﱠﺜ َﻘَﻠﻴ‬
”Dari Anas ra. Dari Nabi Muhammad Saw. Beliau berkata:
Apabila hamba Allah telah diletakan dalam kuburnya dan ia telah
ditinggalkan, dan sahabat-sahabatnya telah kembali pulang
sehingga ia mendengar derap sandal mereka, datanglah ketika itu
dua orang malaikat lalu keduanya memerintahkan supaya mayit itu
duduk. Keduanya bertanya: Apa pendapatmu tentang Muhammad?
Adapun orang mu’min maka ia menjawab: Saya mengakui bahwa
beliau adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Maka kedua malaikat
itu berkata: Lihatlah tempatmu yang mulanya dalam neraka sudah
ditukar tempat dalam syurga. Semua melihat kearah itu. Adapun
orang kafir dan munafiq ketika mereka ditanya hal yang serupa,
lantas mereka menjawab: Saya tidak tahu, saya Hanya mengikuti
kata orang. Lalu para malaikat berkata kepadanya: Wah, apa
engkau tidak tahu dan engkau tidak membaca? Kemudian ia
dipukul dengan palu besi antara dua telinganya, sehingga ia
61
Muhammad ibn Ismâ’îl Abû ‘Abdillah al-Bukhari, Sahîh al-Bukhârî (Beirut: Dar Ibn
Katsîr, 1987),h.448 63 menjerit dan memekik kesakitan, yang mana teriakannya itu dapat
terdengar oleh semua makhluk, kecuali oleh manusia dan jin”
4. Konsekuensi hadis ini seolah-olah meniadakan amalan dua malaikat yang
ditugaskan untuk memberi pertanyaan kepada mayit selagi si mayit sudah
ditalqin! Wallahu a’lam
Hadis ke-2
‫ﻦ‬
ِ ْ‫ﺤﻴْ ِﺮ ﺑ‬
َ ‫ﻦ ُﺑ‬
ِ ْ‫ﷲ ﺑ‬
ِ ‫ﻋﺒْ ِﺪ ا‬
َ ْ‫ﻋﻦ‬
َ ٌ‫ﺣ َﺪ َﺛﻨَﺎ هِﺸَﺎم‬
َ ‫ئ‬
‫ﻦ ُﻣﻮْﺳَﻰ اﻟﺮﱠا ِز ﱡ‬
ُ ْ‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ ِإﺑْﺮَا ِهﻴْ ُﻢ ﺑ‬
َ
‫ﻲ‬
‫ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱡ‬
َ ‫ آَﺎ‬: ‫ل‬
َ ‫ن ﻗَﺎ‬
َ ‫ﻋﻔﱠﺎ‬
َ ‫ﻦ‬
ِ ْ‫ن ﺑ‬
َ ‫ﻋﺜْﻤَﺎ‬
ُ ْ‫ﻋﻦ‬
َ ‫ن‬
َ ‫ﻋﺜْﻤَﺎ‬
ُ ‫ﺊ َﻣﻮْﻟَﻰ‬
ٍ ‫ﻋﻦْ هَﺎ ِﻧ‬
َ ‫ن‬
َ ‫َرﻳْﺴَﺎ‬
‫ل‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َﻓﻘَﺎ‬
َ ‫ﻒ‬
َ ‫ﺖ َو َﻗ‬
ِ ‫ﻦ اﻟْ َﻤ ﱢﻴ‬
ِ ْ‫غ ِﻣﻦْ َدﻓ‬
َ ‫ن إذَا َﻓ َﺮ‬
َ ‫ﺳﱠﻠ َﻢ آَﺎ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﺻﻠﱠﻰ اﻟﱠﻠ ُﻪ‬
َ
‫ن ُﻳﺴْﺄَل‬
َ ‫"اﺳْ َﺘﻐْ ِﻔﺮُوا ِﻟَﺄﺧِﻴ ُﻜﻢْ واﺳﺄﻟﻮا ﻟﻪ اﻟﺘﺜﺒﺖ َﻓِﺈ ﱠﻧ ُﻪ اﻟْﺂ‬
“Telah bercerita kepada kami Ibrâhîm ibn Mûsâ al-Râzî, telah
bercerita kepada kami Hisyâm dari ‘Abdillâh ibn Buhair ibn Raisân dari
Hânî Maula ‘Utsmân dari ‘Utsmân ibn ‘Affân, Ia berkata: Adalah Nabi
Saw., apabila selesai menguburkan mayit berhenti sebentar dan berkata:
Mintakanlah ampun saudaramu ini kepada Allah, dan mohonkanlah
supaya ia tetap tabah, karena ia sekarang akan ditanya.
Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam melakukan
penelitian matan yaitu dengan menggunakan berbagai tolak ukur diatas, yakni
bahwa:
Tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an;
Menurut penulis hadis ke-dua yang tentang talqin ini tidak bertentangan
dengan petunjuk al-Qur’an, bahkan sejalan dengan firman Allah :
64 ☺
”Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan
ucapan yang teguh (dalam kehidupan) didunia dan diakhirat; dan Allah
menyesatkan orang-orang yang zalim dan Allah berbuat apa yang Dia
kehendaki” (Q.S Ibrâhîm : 27)
Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat;
Menurut penulis tidak ada masalah, komentarnya sama seperti hadis yang
pertama dan perbandingannya pun sama seperti hadis yang kedua
Tidak bertentangan dengan akal sehat, indra dan sejarah;
Komentar penulis sama seperti hadis yang pertama tidak ada masalah
Dan susunan pernyataannya menunjukan ciri-ciri sabda kenabian;
Hadis tentang talqin mayit menurut penulis sudah jelas bahwa dalam
pernyataannya itu menunjukan ciri-ciri bahwa itu benar-benar sabda Rasulullah
Saw.
Kesimpulannya setelah penulis melakukan penelitin terhadap matan hadis
yang pertama dan yang ke-dua tersebut diatas maka penulis menyimpulkan bahwa
kedua matan hadis tersebut berkualitas sahîh.
65 BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan yang telah penulis uraikan dalam skripsi ini, maka
dapat disimpulkan bahwa:
1. Hadis-Hadis yang penulis teliti tentang talqîn mayit setelah penguburan
terdapat dua hadis antara lain: hadis pertama terdapat dalam kitab al-
66 Mu’jam al-Kabîr setelah ditelusuri terdapat didalam kitab-kitab hadis
al-Mu’jâm al-Kabîr, al-Talkhîs al-Khabîr fi al-Takhrîj, Majmu’ alZawâ’id, dan Kanz al-‘Ummâl. Hadis kedua dalam kitab Sunan Abû
Dâwud setelah ditelusuri melalui kamus hadis Mausû’ah al-Atrâf alHadîts al-Nabawî al-Syarîf. Ada di kitab-kitab hadis Sunan Abû Dâwud
dan Sunan al-Baihaqî.
2. Hadis pertama setelah diteliti melalui jalur Abû Umâmah sanad-nya
Daif, sedangkan hadis kedua setelah diteliti melalui jalur ‘Ustmân ibn
Affân sanad-nya Sahîh
3. Walaupun awalnya kualitas hadis ini da’if, tetapi telah mendapat
dukungan dan bantuan dari hadis-hadis sahîh. Ia berjalin menjadi satu
dengan hadis-hadis yang sahîh, sehingga derajatnya menjadi naik
kepada Hasan Ligairihi.
4. Dari segi matan penulis menyimpulkan bahwa hadis yang pertama
berkualitas da’if karena ada beberapa kejanggalan. Akan tetapi hadis
yang kedua berkualitas sahih karena telah memenuhi kriteria ke-Sahîhan matan.
5. Sebagian besar Ulama hadis sepakat bahwa hadis yang memiliki
kualitas hasan ligairihi boleh dijadikan sebagai dalil syar’î, apalagi
untuk fadâil a’mâl seperti halnya talqîn mayit, itu akan lebih mustahâb
lagi. Wallahu a’lam
67 B. Saran-saran
1. Hendaknya dalam melakukan kritik hadis, kaidah ke-sahîh-an hadis
perlu diperhatikan secara mendalam dengan merujuk kepada metode
yang telah dibuat oleh para ulama hadis. Sehingga gambaran ke-sahîhan hadis menjadi cukup jelas dan benar-benar memenuhi kriteria kesahîh-an hadis.
2. Hendaknya di dalam melakukan pen-takhrîj-an suatu hadis diperlukan
kesabaran, ketekunan dan ketelitian, sebab di dalam pelaksanaannya
sering
terlambat
karena
minimnya
perangkat
referensi
yang
menunjang aktivitas ini dalam satu wadah.
3. Dan juga dalam menjalankan ibadah dan mengamalkan hukum syari’at
kita tidak cukup Hanya dengan berlandaskan adat istiadat semata,
tetapi harus ada sumber yang jelas agar ibadah yang kita jalankan
dapat diterima oleh Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Abdan M.Syarwani, Al-Dzakhirah al-Minah. Bangil: Yayasan Pendidikan Islam
“DARUSSALAM” , Cet.III, 1988
Abdussamad Muhyiddîn, Hujjah NU. Surabaya: Khalista Surabaya dan LTN NU
Jawa Timur, 2008
Al-Adabi, Salah Al-Din bin Ahmad. Manhaj Naqd al-Matn, Beirut: Dar al-Afaq alJadîdah, 1403 H.
al-Asqalanî, Syihabuddîn Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar .Tahdzîb al-Tahdzîb al-Maktab
al-Tijariyah Mustafa Ahmad al-Baz. T.th
------------,Terjamah Bulûg al-Maram. Jakarta: AKBAR, 2007 Yunus, Mahmud.,
Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/
Pentafsiran Al-Qur’an
Ahmad bin Hanbal, Musnâd al-Imam Ahmad bin Hanbal, T. tp: Mu’assasatu alRisâlah, 1999.M
al-Bukhari, Muhammad ibn Ismaîl Abû ‘Abdillah, Sahîh al-Bukhârî. Beirut: Dar Ibn
Katsir, 1987
al-Bâqi, Muhammad Fu’âd. Miftâh Kunûz al-Sunnah. al-Qahirah: Dâr al-Hadîts, Cet
ke-1, 1411 H / 1991 M,
Bustamin dan H.A Salam, M.Isa. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004.
al-Dzahabî, Syamsuddîn Muhammad ibn Ahmad ibn Utsmân. Sîrul A’lâm Al-Nubalâ.
Beirut : Mua’asasah al-Risalah, 1996
-------------, Tadzkirah al-Huffâz al-Dzahabî. Beirut : Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah,
1998.M/1419.H
DEPAG. RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: Duta ‘Ilmu, 2005
Endang, Soetari. Ilmu Hadîts : Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung : Mimbar
Pustaka, 2005.
Firuzabadi, Qamus al-Muhith. Kairo: Husainiyah, 1344.H
al-Gazâlî, Muhammad. Studi Kritis Atas Hadis Nabî Saw Antara pemahaman
Tekstual dan Kontekstual. Bandung: Mizan, 1991.
Harahap, Syahrin dan Nasution, Hasan Bakti. Ensiklopedi Aqidah Islam, Jak-Tim:
Prenada Media, cet.1, 2003
al-Haitsamî, Nûruddîn ‘Alî ibn Abî Bakr. Majma’u al-Jawâid wa Manba’u alFawâid. Beirut: Dâr al-Kitab al-‘Ilmiyah, 1988
Ismâ’il, M.Syuhûdi. Hadis Nabî Menurut Pembela dan Pengingkar Pemalsunya.
Jakarta: Gema Insani Press,1995
Kamal, Muchtar. Usûl Fiqh. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995.
U
al-Malibari, Zainuddîn bin Abdul Azîz, Alih bahasa: Abûl Hiyadh, Terjemah Fath alMu’in, Surabaya: Al-Hidayah, T.th
Masriq Dârul, Qamus Munjid. Beirut, Libanon: Matba’ah Katolik, T.th
al-Mizzî, Abû Hajjâj Yûsuf ibn Zakki. Tahzîb al-Kamâl. Beirut : Dâr al-Fikr, 1994
Mudasir, Ilmu Hadîts. Bandung : CV.PUSTAKA SETIA, cet ke-2, 2005
Munawir, Abdul Fatah. Tradisi Orang-orang NU. Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
cet. VI, 2008
Muslim Abû al-Husain, Sahîh Muslim. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, T.th
-------------, trjmh. Ma’mur Dawûd, Terjemah Sahîh Muslim. Malaysia: KLANG
BOOK CENTRE, 1997
al-Muttaqi ibn Hisyâm al-Din al-Hindi al-Burhan, ‘Alauddîn. Kanzul ‘Umâl fi alAqwâl wa al-Af’âl. Beirut: Muasasah al-Risalah. T.th
Nawir, Yuslem. Ulûmul Hadîts. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001.
Nata, Abûdin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.
al-Nawâwî, Pntrjmh Gafur Saub dan Irfanuddin Rafiuddin. Trjmh Al-Adzkar. Jakarta:
Pustaka As-Sunnah, cet.1, 2007
Qardâwî, Yûsuf. Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw. Bandung: Karisma, 1994.
al-Rahman bin ‘Ali bin Al-Jauzî, Abdul. Al-Maudû’at. Beirut: Dar al-Fikr,
1403H/1983.M
Rahmat Syarif, Menimbang Amalan Tradisional. Jakarta: CBA Cahaya Bintang
Suara,, 2006
al-Razî, Ibn Abû Khâtim al-Jarh wa al-Ta’dîl. Beirut : Dâr al-Fikr, 1952
Sihab, M.Qurais, Kehidupan Setelah Kematian. Ciputat, Tangerang: Lentera Hati,
2008
al-Sijistany, Abî Dawûd Sulaiman bin al-Asy’ats. Sunan Abî Dawûd, Beirut: Dar alFikr, 2003.M/1424.H
al-Sya’ranî, Abd Wahab, Maut dan Dialog Suci. Jawa Timur: CV.Amin
Syahminan, Zaini. Tuntunan Penyelenggaraan Jenazah. Jakarta: Kalam Mulia, cet.
VI, 2006
al-Sa’îd Basyunî Zaglûl, Abû Hajar Muhammad. Mausû’at al-Atrâf al-Hadîts anNabawî al-Syarîf. Beirut : Dâr al-Fikr, 1410 H / 1918 M
Sulaimân bin Ahmad bin Ayyûb Abû al-Qâsim al-Thabrany, Al-Mu’jam al-Kabîr,
Maktabah al-‘Ulûm al-Hukm, 1983.M/1404.H .
Taqiy al-Din Abû al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abd al-Halim bin Taimiyyah. Al-Fatâwâ alKubrâ , Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, 1987
Totok Sumantoro, Kamus Ilmu Hadîts NAbî. Jakarta: Bumi Aksara, 1997, Cet, I
Wensink, Arnold Jhon. al-Mu’jam al-Mufahras li alfâz al-Hadîts al-Nabawî. Leiden :
E.J Brill, 1969
‫‪Lampiran I‬‬
‫‪Skema Sanad Hadîts Pertama‬‬
‫اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ‬
‫َأ َﻣ َﺮﻧَﺎ‬
‫َأﺑَﺎ ُأﻣَﺎ َﻣ َﺔ‬
‫ت‬
‫ﺷ ِﻬﺪْ ُ‬
‫َ‬
‫ﷲ اﻟْ َﺄوْدِي‬
‫ﻋﺒْ ِﺪ ا ِ‬
‫ﻦ َ‬
‫ﺳ ِﻌﻴْ ِﺪ ﺑْ ِ‬
‫‪َ ‬‬
‫ﻋﻦْ‬
‫َ‬
‫‪َ ‬ﻳﺤْﻴَﻰ ﺑْﻦ َأ ِﺑﻲْ َآ ِﺜﻴْ ِﺮ‪. ‬‬
‫ﻋﻦْ‬
‫َ‬
‫ﺤ ﱠﻤ ٍﺪ اﻟْ ُﻘﺮْﺷِﻲ‬
‫ﻦ ُﻣ َ‬
‫ﷲ ﺑْ ِ‬
‫ﻋﺒْ ُﺪ ا ِ‬
‫َ‬
‫َﺛﻨَﺎ‬
‫ﻋﻴْ َﻞ ﺑْﻦ‬
‫‪ِ ‬إﺳْﻤَﺎ ِ‬
‫ﻋﻴَﺎش‪W. 182. H. ‬‬
‫ِ‬
‫َﺛﻨَﺎ‬
‫ﻦ ِإﺑْﺮَا ِهﻴْ َﻢ ﺑْﻦ‬
‫ﺤﻤﱠ ُﺪ ﺑْ ُ‬
‫ُﻣ َ‬
‫‪W. 201 H.‬‬
‫َﺛﻨَﺎ‬
‫ﺳِّﻠ ْﻢ‬
‫ﻦ َ‬
‫ﺲ ﺑْ ِ‬
‫َأ ُﺑﻮْ ﻋَﻘِﻴْﻞ َأ َﻧ ِ‬
‫‪W. 245 H. ‬‬
‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ‬
‫َ‬
‫ﻣﻌﺠﻢ اﻟﻜﺒﻴﺮ‬
‫اﻟﺘﻠﺨﻴﺺ‬
‫ﻣﺠﻤﻊ اﻟﺰواﺋﺪ‬
‫آﻨﺰ اﻟﻌﻤﺎل‬
‫‪Lampiran II‬‬
‫‪Skema Sanad Hadis Kedua‬‬
‫ن‬
‫‪ ‬آَﺎ َ‬
‫ﺖ‬
‫ﺳ ِﻤﻌْ ُ‬
‫‪َ ‬‬
‫ﻋﻦْ‬
‫‪َ ‬‬
‫ن‬
‫‪ ‬آَﺎ َ‬
‫ﻋﻦْ‬
‫َ‬
‫ﻋﻦْ‬
‫َ‬
‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ‬
‫َ‬
‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ‬
‫‪َ ‬‬
‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ‬
‫َ‬
‫ﺣ ﱠﺪ َﺛ ِﻨ‬
‫َ‬
‫ﺣ ﱠﺪ َﺛﻨَﺎ‬
‫‪َ ‬‬
‫ﺼﻔﱠﺎ ُر‬
‫ﻋ َﺒﻴْ ٍﺪ اﻟ ﱠ‬
‫ﻦ ُ‬
‫‪َ ‬أﺣْ َﻤ ُﺪ ﺑْ ُ‬
‫‪َ ‬أﺧْ َﺒ َﺮﻧَﺎ‬
‫‪َ ‬أﺧْ َﺒ َﺮﻧَﺎ‬
‫َ‬
‫‪ ‬ﺳﻨﻦ اﻟﺒﻴﻬﻘﻲ‬
‫‪W. 458 H.‬‬
Download