Isolasi polisakarida Mannan dari bungkil inti sawit sebagai oral

advertisement
27
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahap I. Proses Isolasi Polisakarida Mengandung Mannan dari Bungkil Inti
Sawit
Kandungan Total Gula Terekstrak
Hasil isolasi polisakarida BIS sebelum dan setelah dipisahkan proteinnya
dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Kandungan total gula, mannosa dan rendemen mannosa polisakarida
BIS yang dihasilkan dari 100 gram BIS1
Kandungan
Polisakarida BIS kasar Polisakarida mannan BIS
total gula (g)
8.35-8.59
5.70-7.61
2
mannosa (g)
6.14-6.31
4.19-5.59
rendemen mannosa3 (%)
45.38-46.63
30.96-41.32
Keterangan :
1
2
3
Kandungan mannosa 56.4% (Daud & Jarvis 1992) dari total serat kasar.
Kandungan SK BIS 24% (Hasil analisis Lab. Makanan Ternak IPB 2007)
Kandungan mannosa BIS 73.54% dari total gula (Tafsin 2007)
Rendemen mannosa dari 100 g BIS
Kandungan total gula (Tabel 7) yang dihasilkan dari 100 g BIS sebelum
dipisahkan proteinnya berkisar antara 8.35-8.59 g dengan jumlah mannosa yang
terambil sebanyak 6.14-6.31 g atau sebanyak 45.38-46.63% dari serat kasar BIS.
Penelitian sebelumnya memperoleh total gula berkisar antara 1.22-3.20 g dari 100
g BIS (Tafsin 2007). Kandungan total gula yang lebih tinggi diduga disebabkan
oleh penggunaan asam asetat 0.05 N sebagai pengganti air dan peningkatan
konsentrasi NaOH dari 0.05 N (penelitian sebelumnya) menjadi 1 N.
Secara umum hasil diperoleh dari isolasi polisakarida BIS memberikan
gambaran bahwa total gula yang dihasilkan cukup tinggi yaitu berkisar antara
5.70-7.61 g dengan rendemen mannosa mencapai 30.96-41.32% dari serat kasar
BIS. Dengan demikian masih ada sekitar 7.94-9.34 g mannosa dari 13.53 g/100 g
BIS atau 58-69% yang belum terambil. Kuat dugaan sebagian besar fraksi
karbohidrat tersebut ada dalam ampas, sehingga sangat terbuka kemungkinan
untuk mengeksplorasi nutrien tersebut pada proses ekstraksi kembali.
Profil Polisakarida Bungkil Inti Sawit (BIS)
Kajian profil polisakarida dilakukan dengan menyuntikkan sampel
polisakarida dari BIS ke dalam kolom gel Sephadex G-50 (Ramli et al. 2008a).
Sephadex G-50 dibuat dari polisakarida dextram yang memiliki batas eksklusi
pada BM 10 000 dan variasi fraksinasi BM 500-10 000 (Adnam 1997). Dengan
28
menggunakan pelarut air gel sephadex (deret G) dapat memisahkan campuran
berdasarkan ukuran molekul, dimana molekul besar terelusi lebih dulu (Markham
1988). Profil produk campuran fraksi karbohidrat dan protein (sebelum
pengendapan protein) pada gel Sephadex G-50 dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9
Profil produk campuran fraksi karbohidrat dan protein hasil ekstrak
BIS pada Sephadex G-50
Gambar 9 menunjukkan bahwa komponen polisakarida dengan ekstraksi
menggunakan asam asetat yang diikuti dengan perendaman dengan NaOH 1 N
pada Sephadex G-50 (135x630 mm) mulai muncul pada fraksi ke-7 dan berakhir
pada fraksi ke-73. Komponen tersebut secara umum terbagi menjadi 2 peak
besar. Peak pertama muncul pada fraksi 23-45, peak kedua dari fraksi 47-73.
Gambaran absorbansi protein terlihat hanya satu peak besar yang terbentuk dan
muncul lebih awal pada fraksi ke-6 dan berakhir pada fraksi ke-23. Hal ini
mengindikasikan bahwa fraksi protein yang berikatan dengan fraksi karbohidrat
sebagian besar sudah terputus. Selain itu sebagian besar fraksi protein yang ada
pada ekstrak BIS memiliki bobot molekul yang lebih tinggi dibandingkan fraksi
karbohidrat. Metode ekstraksi kombinasi fisik dan kimia tersebut menghasilkan
bobot molekul yang hampir seragam. Ekstraksi menggunakan NaOH 0.05 N
menunjukkan bahwa fraksi protein dan karbohidrat membentuk satu peak besar
dari fraksi 18-108 dan mempunyai bobot molekul seragam (Ramli et al. 2008a).
Hal ini menunjukkan bahwa ekstraksi yang dilakukan dengan mengkombinasikan
kaca dan bahan kimia (asetat 0.05 N dan NaOH 1 N) dapat memudahkan dalam
pemisahan protein dari fraksi karbohidratnya, selain itu metode ini mampu
menghasilkan total gula yang lebih tinggi (8.35-8.59 vs 1.22-3.12 g/100 g BIS).
29
Kajian berikutnya profil polisakarida mengandung mannan yang telah
diisolasi dengan cara pengendapan proteinnya menggunakan HCl 0.1 N disajikan
pada Gambar 10.
Gambar 10 Profil Polisakarida mannan BIS hasil isolasi pada Sephadex G-50
Gambar 10 menunjukkan bahwa komponen polisakarida mulai muncul pada
fraksi ke 13 dan terbentuk 4 peak besar yaitu, peak pertama muncul pada fraksi
ke 13-35, peak kedua pada fraksi ke 37-57, peak ketiga pada fraksi ke 59-67 dan
peak ke empat
pada fraksi ke 69-79. Gambaran absorbansi protein terlihat
seragam dan tidak terbentuk peak besar maupun kecil. Artinya komponen
karbohidrat yang berikatan dengan protein dalam bentuk glikoprotein sebagian
besar sudah terpisah. Yatno et al. (2008) melaporkan bahwa ekstraksi kombinasi
fisik kimia (kaca + asam asetat 0.05 N + NaOH 1 N) yang dilanjutkan dengan
pengendapan
protein menggunakan HCl 0.1 N menghasilkan protein kasar
45.56% dengan rendemen 12.18% dan protein recovery 50.38% dari protein kasar
BIS.
Gambar 10 dapat dilihat bahwa peak yang terbentuk dari fraksi ke-13-35
diasumsikan sebagai fraksi karbohidrat yang memiliki bobot molekul lebih berat,
sedangkan fraksi ke-37-80 diasumsikan sebagai fraksi karbohidrat yang
mempunyai bobot molekul lebih ringan. Profil ini menunjukkan bahwa pemisahan
fraksi karbohidrat dan protein menghasilkan bobot molekul fraksi karbohidrat
lebih beragam terbukti bahwa peak besar lebih dominan terbentuk pada fraksi
yang lebih tinggi yang mengindikasikan bahwa profil polisakarida mannan BIS
memiliki bobot molekul yang beragam. Komponen gula dari polisakarida BIS
tersusun dari gula glukosa, mannosa dan galaktosa yang terdiri atas ikatan alfa
dan beta. Dibandingkan dengan galaktosa, ikatan beta yang dimiliki mannosa
30
pada BIS diduga lebih banyak, sehingga dapat diartikan bahwa ikatan galaktosa
pada polisakarida BIS mempunyai ikatan kimia yang lebih labil dari ikatan
mannosa (Ramli et al. 2008a). Lebih lajut dijelaskan bahwa kandungan mannosa
pada BIS adalah sebesar 68,9%. Hal yang sama dilaporkan oleh Tafsin (2007)
bahwa komponen gula polisakarida dari BIS tersusun atas glukosa, galaktosa dan
mannosa. Komponen gula yang terdeteksi berupa galaktomannan dengan rasio
antara galaktosa dan mannosa mencapai 1:3. Selanjutnya dilaporkan bahwa
ekstraksi BIS didominasi oleh mannosa dengan kandungan mencapai 73.54% dari
total gulanya. Carre (2002) melaporkan bahwa komponen utama dari dinding sel
bungkil kelapa dan bungkil inti sawit (BIS) adalah linier (1-4)- β
D-Manp dan
menunjukkan kesamaan dengan guar gum, tetapi dengan rasio galaktomannan
yang berbeda. Kennedy dan White (1988) menyebutkan bahwa struktur
polisakarida mannan bervariasi tergantung sumber bahan. Rasio komponen
monosakarida antara galaktosa : mannosa berkisar antara 1:1 sampai 1:5, akan
tetapi keseluruhannya mempunyai kesamaan struktur yaitu ikatan (1→4) β-Dmannopyranosil dengan rantai cabang berisi gugus tunggal α-D-galactopyranosil
dengan ikatan (1→6). Gambaran struktur mannan dari guaran disajikan pada
Gambar berikut :
→4)- β-D-manp-(1→4)- β-D-manp-(1→4)- β-D-manp-(1→4)- β-D-manp-(1→4)- (1→
6
6
↑
↑
α-D-galp
α-D-galp
Gambar 11 Struktur mannan dari guaran (Kennedy dan White 1988)
Gambar 11 menunjukkan struktur mannan dari guaran dengan rasio
komponen galaktosa : mannosa yaitu 1:2. Struktur mannan dari BIS tampaknya
hampir sama dengan dari guaran, hanya rasio komponen gulanya berbeda. Dugaan
struktur dominan galaktomannan dari dinding sel BIS adalah sebagai berikut :
→4)- β-D-manp-(1→4)- β-D-manp-(1→4)- β-D-manp-(1→4)- β-D-manp-(1→4)- (1→
6
6
↑
↑
α-D-galp
α-D-galp
Gambar 12 Dugaan struktur galaktomannan dari bungkil inti sawit (Tafsin 2007)
Gambar 12 menunjukkan dugaan struktur mannan yang ada pada BIS. Rasio
antara komponen galaktosa : mannosa dari analisis komponen gula yaitu
mendekati angka 1:3 yang tercermin pada Gambar 11 (Tafsin 2007).
31
Secara umum ekstrak bungkil inti sawit sebelum maupun setelah
diendapkan proteinnya didominasi oleh peak besar yang terkoleksi pada fraksi
yang lebih tinggi dalam sephadex G-50. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
produk tersebut didominasi oleh bobot molekul yang lebih ringan dan beragam.
Polisakarida mannan BIS ini adalah merupakan salah satu hasil dari diversifikasi
produk dari bungkil inti sawit yang digunakan sebagai bahan adjuvan vaksin pada
tahapan selanjutnya pada penelitian ini.
Tahap II. Penggunaan Polisakarida Mannan dari Bungkil Inti Sawit sebagai
Oral Adjuvan Vaksin Avian Influenza (AI) pada Ayam dan Itik
Pertambahan Bobot Badan dan Bobot Akhir Ayam dan Itik
Pertambahan Bobot Badan dan Bobot Badan Akhir Ayam Broiler
Pengamatan terhadap bobot badan mingguan ayam broiler selama lima
minggu pengamatan ditunjukkan pada Gambar 13.
Gambar 13 Bobot badan mingguan ayam broiler selama penelitian (umur 1-6
minggu)
Gambar 13 menunjukkan bahwa penggunaan polisakarida mannan sebagai
oral adjuvan vaksin AI inaktif menunjukkan adanya pertumbuhan. Umur 1-2
minggu (satu minggu setelah vaksinasi pertama) menunjukkan rataan bobot badan
yang masih rendah. Selanjutnya pada umur 4-5 minggu atau dua minggu setelah
vaksinasi kedua (booster) semua perlakuan memperlihatkan peningkatan rataan
bobot badan yang lebih tinggi.
32
Pengaruh penggunaan polisakarida mannan dari BIS sebagai oral adjuvan
vaksin AI inaktif terhadap pertambahan bobot badan (PBB) dan bobot akhir ayam
broiler umur 7-42 hari dapat dilihat pada Gambar berikut.
(a)
(b)
Gambar 14 Pengaruh PM sebagai oral adjuvan vaksin AI inaktif terhadap
pertambahan bobot badan fase starter dan finisher (a), dan bobot
badan akhir ayam broiler (b)
Perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap pertambahan bobot
badan ayam broiler broiler fase starter (umur 7-21 hari) maupun fase finisher
(umur 21-42 hari) (Gambar 14a). Demikian juga terhadap bobot badan akhir ayam
broiler (Gambar 14b). Namun demikian perlakuan R1 (50 µg PM) selama lima
minggu pengamatan memperlihatkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan
yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa polisakarida mannan (PM) sebagai oral
adjuvan vaksin tidak menurunkan bobot badan atau tidak bersifat toksik.
Perlakuan tidak mempengaruhi PBB maupun bobot badan akhir ayam
broiler. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh pengaruh antigen bersama PM
lebih banyak untuk merangsang imunogenisitas. Kemungkinan lain yaitu
kebutuhan zat-zat nutrisi terbagi untuk pertumbuhan dan perkembangan organ
kekebalan sehingga pengaruhnya terhadap bobot badan tidak tampak. Takahashi
et al. (2000) menjelaskan bahwa respon cekaman akibat perangsangan sistem
kekebalan akan menimbulkan efek tambahan terhadap penampilan ternak karena
lebih banyak nutrien yang terbagi untuk pembentukan antibodi dan perkembangan
organ kekebalan sehingga menurunkan ketersediaan nutrien untuk pertumbuhan.
Sebaliknya, Klasing (1998) menjelaskan bahwa efek perangsangan sistem
kekebalan tidak mempengaruhi pertumbuhan karena kebutuhan jumlah nutrien
33
untuk sistem kekebalan relatif lebih kecil dibanding untuk pertumbuhan. Stress
kekebalan yang diakibatkan efek imunostimulan berbeda dengan stress yang
diakibatkan infeksi yang dapat menyebabkan reaksi keseluruhan dari tubuh yang
meliputi perubahan fisiologis dan metabolis seperti demam, menurunnya
konsumsi dan menigkatnya katabolisme nutrien.
Beberapa
peneliti
yang
menggunakan
bahan
yang
sejenis
yaitu
mannanoligosakarida (MOS), penggunaan 0.05% MOS (Flemming et al. 2004),
dan 0.3% MOS (Shafey et al. 2001) menunjukkan tidak adanya pengaruh
terhadap pertambahan bobot badan. Selanjutnya Waldroup et al. (2003)
menyebutkan penambahan Bio-MOS 1 g/kg pada ransum broiler umur 1-42 hari
yang dilanjutkan dengan 0.75 g/kg sampai umur 63 hari tidak mempengaruhi
pertumbuhan, tetapi dapat memperbaiki konversi ransum. Sebaliknya, Tafsin
(2007) melaporkan bahwa penggunaan PM dari BIS sampai tingkat 3 000 ppm
dalam ransum dapat meningkatkan PBB ayam broiler, pengaruh penggunaan
bahan yang mengandung komponen mannosa (MOS atau PM) terhadap
pertumbuhan tergantung pada kadar yang digunakan.
Pertambahan Bobot Badan (PBB) dan Bobot Badan Akhir Ayam Petelur
Pengamatan terhadap bobot badan mingguan ayam petelur selama lima
minggu pengamatan ditunjukkan pada Gambar 15.
Gambar 15 Bobot badan mingguan ayam petelur selama penelitian (umur 16-21
minggu)
Gambar 15 menunjukkan bahwa analisis mingguan bobot badan
ayam
petelur pada semua perlakuan rata-rata mengalami peningkatan sampai pada umur
34
19 minggu. Sebaliknya, penurunan bobot badan mulai terlihat pada umur 20 dan
21 kecuali R0B (antigen H5N1 tanpa PM).
Pengaruh perlakuan terhadap pertambahan bobot badan dan bobot badan
akhir ayam petelur disajikan pada Gambar 16.
(a)
(b)
Gambar 16 Pengaruh PM sebagai oral adjuvan vaksin AI inaktif terhadap
pertambahan bobot badan (a) dan bobot badan akhir ayam petelur (b)
Perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap pertambahan bobot
badan ayam petelur (Gambar 16a). Demikian juga perlakuan tidak berpengaruh
nyata (P>0.05) terhadap bobot badan akhir ayam petelur (Gambar 16b). Namun
demikian penggunaan PM sebagai oral adjuvan vaksin AI inaktif menunjukkan
adanya sedikit peningkatan terhadap bobot badan selama penelitian, yang
menunjukkan bahwa PM tidak bersifat toksik.
Penurunan bobot badan ayam petelur pada umur 20 minggu dikarenakan
ayam-ayam tersebut sebagian besar mulai berproduksi (bertelur). Namun
demikian peningkatan terhadap PBB masih terlihat dari umur 16-21 minggu.
Amrullah (2004) melaporkan bahwa seekor ayam dara akan bertambah bobot
badannya sebanyak 350 hingga 454 g selama satu tahun masa produksinya, jenis
petelur medium akan bertambah bobot badannya sebanyak 454 hingga 570 g.
Ayam petelur yang sudah berproduksi cenderung mempertahankan bobot
badannya, karena kebutuhan zat-zat nutrisi sebagian besar dibutuhkan untuk
produksi telur selain dari kebutuhan hidup pokok. Faktor lain yang dapat
menurunkan bobot badan adalah pengaruh stress. Ayam mengalami tiga tipe
stress yaitu (1) stress sosial akibat terlalu padatnya populasi ayam dalam kandang,
(2) stress biologis akibat reaksi pembentukan antibodi karena vaksinasi
35
merupakan tindakan memasukkan bahan asing ke dalam tubuh dan infeksi
penyakit sehingga menyebabkan stress dan mengalami penurunan bobot badan
(3) stress perlakuan akibat penanganan ayam pada saat melakukan vaksinansi
(Anonim 2005).
Suplementasi mannanoligosakarida 0.05 dan 0.1% pada pakan kalkun tidak
mempengaruhi bobot badan, tetapi penambahan antibiotik (bacitracin methylene
disalicylate) dan 0.1% Bio-MOS nyata memperbaiki konversi ransum (Fritts dan
Waldroup 2003).
Pertambahan Bobot Badan (PBB) dan Bobot Badan Akhir Itik
Pengamatan terhadap bobot badan mingguan itik selama lima minggu
pengamatan ditunjukkan pada Gambar 17.
Gambar 17 Bobot badan mingguan itik selama penelitian (umur 14-19 minggu)
Gambar 17 menunjukkan bahwa semua perlakuan mengalami peningkatan
terhadap rataan bobot badan itik selama dua minggu (umur 15 dan 16 minggu).
Sebaliknya, mengalami penurunan bobot badan pada umur 17 dan 18 minggu,
tetapi meningkat kembali pada akhir penelitian (umur 19 minggu). Tampaknya
penggunaan PM tidak konsisten mempengaruhi bobot badan itik, hal ini terlihat
dari rataan bobot badan mingguan yang berfluktuasi.
36
Data pengaruh perlakuan terhadap pertambahan bobot badan dan bobot
badan akhir itik disajikan pada Gambar 18.
(a)
Gambar 18
(b)
Pengaruh PM sebagai oral adjuvan vaksin AI inaktif terhadap
pertambahan bobot badan (a) dan bobot badan akhir (b) itik.
Analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata
(P>0.05) terhadap pertambahan bobot badan itik (Gambar 18a), demikian juga
pelakuan tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap bobot badan akhir itik
(Gambar 18b). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan PM tidak dapat
meningkatkan bobot badan itik, namun demikian PM dari BIS tidak bersifat
toksik. Hal ini terlihat masih terdapat sedikit peningkatan terhadap rataan PBB itik
umur 14-19 minggu.
Peningkatan bobot badan yang sangat kecil diduga itik mengalami stress
akibat pengambilan sampel darah yang dilakukan setiap minggu, stress terhadap
vaksinasi, stress terhadap perubahan ransum dan perubahan lingkungan. Respon
stress merupakan respon normal bagi hewan secara alamiah dalam rangka
beradaptasi dengan perubahan situasi yang terjadi secara internal maupun
eksternal. Respon stress yang berlebih sering kali dapat mengakibatkan beberapa
efek negatif. Dampak tersebut berupa gangguan pada penampilan akhir (gangguan
pertumbuhan atau produksi telur).
37
Titer Antibodi AI dan Imunoglobulin A (IgA) Serum Ayam Broiler
Pengaruh perlakuan terhadap titer antibodi AI H5N1 pada ayam broiler
disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Pengaruh penggunaan polisakarida mannan (PM) dari BIS sebagai oral
adjuvan vaksin AI inaktif terhadap titer antibodi (HI log2) broiler
Minggu setelah
Minggu setelah
vaksinasi pertama
vaksinasi kedua
1
2
1
2
3
c
R0A
3.33 ±1.15 2.00 ±0.00 3.33 ±0.58
3.33±0.58
3.33 ±0.58 3.00 ±1.41
b
R0B
4.00 ±0.00 4.00 ±1.00 4.33 ±0.58
3.67 ±1.15
4.66 ±1.53 4.33 ±1.15
a
R1
4.00 ±1.41 5.00 ±0.00 4.00 ±1.00
4.33±0.58
4.33 ±0.58 5.67 ±2.08
a
R2
3.33 ±0.58 4.67 ±0.58 4.00 ±0.00
5.00 ±1.00
3.67 ±0.58 5.67 ±1.53
a
R3
3.33 ±0.58 5.00 ±0.00 4.33 ±0.58
4.33±0.58
4.00 ±0.00 5.33 ±0.58
Keterangan :
Superskrip dengan huruf yang berbeda kearah kolom menunjukkan perbedaan
nyata (P<0.05) R0A (tidak divaksinasi), R0B (vaksinasi dengan antigen H5N1 + 0
µg PM), R1 (vaksinasi dengan antigen H5N1 + 50 µg PM), R2 (vaksinasi dengan
antigen H5N1 + 100 µg PM), R3 (vaksinasi dengan antigen H5N1 + 200 µg PM).
Perlakuan
sebelum
vaksinasi
Selanjutnya pengaruh perlakuan terhadap OD IgA serum ayam broiler
disajikan pada Gambar 19.
Gambar 19 Pengaruh penggunaan PM dari BIS sebagai oral adjuvan vaksin AI
inaktif terhadap optical density (OD) IgA serum ayam broiler umur
1-6 minggu.
Pengaruh penggunaan PM sebagai oral adjuvan vaksin AI inaktif terhadap
titer HI (Tabel 8) menunjukkan bahwa satu minggu setelah vaksinasi pertama,
perlakuan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap titer HI ayam broiler. Titer
antibodi ayam yang terdapat pada perlakuan R1, R2 dan R3 nyata (P<0.05) (20%)
lebih tinggi dibandingkan R0B dengan nilai titer berturut-turut sebagai berikut:
38
5.00; 4.67; 5.00 vs 4.00 log2. Vaksinasi secara oral juga berpengaruh nyata
(P<0.05) terhadap titer HI dibandingkan dengan titer HI ayam yang tidak
divaksinasi. Selanjutnya dua minggu setelah vaksinasi pertama perlakuan tidak
berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap titer antibodi ayam broiler.
Perlakuan memiliki kecenderungan meningkatkan titer HI. Hal ini
menunjukkan bahwa komponen mannan dari BIS sebagai oral adjuvan vaksin AI
inaktif dapat meningkatkan atau menimbulkan efek yang merangsang sistem
kekebalan lebih aktif untuk pembentukan antibodi. Mekanisme bagaimana PM ini
dapat menstimulasi pembentukan antibodi belum diketahui secara pasti, namun
diduga bahwa sel pertahanan tubuh mendeteksi kehadiran mikroba akibat adanya
molekul unik yang disebut PAMP (pathogen-associated molecular pattern) yang
selanjutnya akan mengaktifkan sistem kekebalan seperti fagositosis dan jalur
lektin. Komponen gula mannosa mempengaruhi sistem kekebalan dengan jalan
merangsang sekresi protein pengikat mannosa, dan dikenal dengan istilah
mannosa binding lectin (MBL). MBL disintesa di hati dan disekresikan ke dalam
serum sebagai komponen dengan fase respon yang bersifat akut. MBL dapat
berikatan dengan karbohidrat dari dinding sel bakteri, ragi atau virus (Janeway et
al. 2005).
Vaksin AI inaktif yang baik akan menimbulkan kekebalan yang tinggi dan
berlangsung lama, yakni dalam waktu tiga minggu setelah vaksinasi akan
menghasilkan titer antibodi minimal 4 log2, seperti yang direkomendasikan oleh
organisasi kesehatan hewan (OIE 2004). Respon perlakuan dalam penelitian ini
sesuai yang direkomendasikan OIE yaitu dapat mempertahankan titer antibodi
protektif selama lima minggu pengamatan. Namun demikian pada penelitian ini
tidak dilakukan uji tantang dengan infeksi virus H5N1 karena tidak punya fasilitas
kandang bioseptik yang memenuhi persyaratan keamanan, mengingat virus H5N1
amat patogen. Dalam penelitian ini titer antibodi yang terbentuk yaitu berkisar
antara 3.67 log2 - 5.67 log2.
Penggunaan bahan sejenis dengan PM yaitu mannanoligosakarida (MOS)
telah dilaporkan oleh Pietersz et al. (2008) bahwa vaksinasi dengan antigen H5N1
ditambah mannosa dari Saccharomyces cerevisiae secara intranasal pada tikus,
39
titer antibodi HI lebih tinggi dibandingkan vaksinasi dengan antigen H5N1 sendiri
(HI titer 80 vs 40) 12 hari setelah vaksinasi pertama.
Gambar 19 menunjukkan bahwa satu sampai dua minggu setelah vaksinasi
pertama, semua perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap IgA
serum. Satu minggu setelah vaksinasi kedua (booster), vaksinasi dengan antigen
H5N1 secara oral nyata (P<0.05) meningkatkan IgA serum dibandingkan ayam
broiler yang tidak divaksinasi (R0A). Hal ini menunjukkan bahwa vaksinasi
dengan antigen H5N1 secara oral mampu merespon peningkatan IgA serum
setelah vaksinasi kedua. Dua minggu setelah vaksinasi kedua berlangsung,
perlakuan R3 (200 µg PM) dapat meningkatkan IgA serum lebih tinggi
dibandingkan R0B (OD; 0.137 ± 0.040 vs 0.085 ± 0.026). Hal ini menunjukkan
bahwa PM sebagai oral adjuvan dapat meningkatkan IgA serum broiler. Namun
demikian respon PM terhadap peningkatan titer antibodi terlihat lebih cepat (satu
minggu setelah vaksinasi pertama) dibandingkan peningkatan IgA serum.
Nilai optical density (OD) IgA serum ayam broiler yang diperoleh mencapai
0.137, hasil ini hampir sama yang dilaporkan oleh Worrall et al. (2009) bahwa
vaksinasi sebanyak 0.03 ml secara intranasal dengan sialidase/neuraminidase dari
Clostridium perfringens tipe A 107 dan citosan sebagai adjuvan vaksin AI H5N1
memberikan nilai OD IgA mukosa berkisar antara 0.12-0.18 selama lima minggu
pengamatan.
Mekanisme
bagaimana
PM
ini
dapat
menstimulasi
pembentukan
immunoglobulin belum diketahui secara pasti. Diduga sel-sel limfosit
dipermukaan sel epitel usus teraktivasi oleh antigen H5N1 bersama PM
dipermukaan mukosa, selanjutnya bersirkulasi ke seluruh tubuh dan mengaktifkan
respon imun sistemik atau sistem imun keseluruhan. Pada umumnya, permukaan
luar mukosa dipenuhi oleh folikel yang terorganisir, elemen limfoid yang tersebar
dan bersifat antigen reaktif, termasuk sel B, limfosit T, sel T dan sel plasma dan
berbagai elemen seluler yang terlibat dalam induksi dan terjadinya respon
kekebalan (Sudarisman 2006).
Penggunaan bahan sejenis dengan PM yaitu MOS sebagai immunostimulan
hasilnya bervariasi. Savage et al. (1996) melaporkan bahwa penambahan BioMOS 1-2 kg/ton pada pakan kalkun starter dapat meningkatkan respon imun
40
tercermin dari meningkatnya IgG serum dan IgA cairan empedu. Selain itu dapat
meningkatkan pertambahan bobot badan serta menurunkan konversi ransum.
Sebaliknya Spearman (2004) melaporkan bahwa suplementasi Bio-MOS 10
g/ekor/hari tidak dapat meningkatkan konsentrasi IgA serum pada kuda.
Titer Antibodi AI dan Imunoglobulin A (IgA) Serum Ayam Petelur
Pengaruh perlakuan terhadap titer antibodi AI H5N1 ayam petelur disajikan
pada Tabel 9.
Tabel 9 Pengaruh penggunaan polisakarida mannan (PM) dari BIS sebagai oral
adjuvan vaksin AI inaktif terhadap titer antibodi (HI log2) petelur
Minggu setelah
Minggu setelah
vaksinasi pertama
vaksinasi kedua
1
2
1
2
3
R0A
3.67±0.58 4.33±0.58 4.67±1.15
6.50±0.71 4.33±0.58
5.50ab±0.71
R0B
5.00±0.00 6.33±1.15 4.67±1.15
5.33±0.58 3.67 ±1.15
4.33b ±0.58
R1
4.33±0.58 6.33±0.58 5.67±0.58
6.67±1.53 5.00±2.00
6.00ab±1.73
R2
0.00±0.00 5.33±1.53 4.67±0.58
6.33±1.15 6.33 ±0.58
7.00a ±0.00
R3
4.00±1.00 5.50±0.71 4.67±1.15
5.00±0.00 5.00 ±1.00
4.33b ±1.15
Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda kearah kolom menunjukkan perbedaan nyata
(P<0.05) R0A (tidak divaksinasi), R0B (vaksinasi dengan antigen H5N1 + 0 µg
PM), R1 (vaksinasi dengan antigen H5N1 + 50 µg PM), R2 (vaksinasi dengan
antigen H5N1 + 100 µg PM), R3 (vaksinasi dengan antigen H5N1 + 200 µg PM).
Perlakuan
Sebelum
vaksinasi
Selanjutnya pengaruh perlakuan terhadap OD IgA serum ayam petelur
disajikan pada Gambar 20.
Gambar 20 Pengaruh penggunaan PM dari BIS sebagai oral adjuvan vaksin AI
inaktif terhadap optical density (OD) IgA serum ayam petelur umur
16-21 minggu.
41
Pengaruh penggunaan PM sebagai oral adjuvan vaksin AI inaktif terhadap
titer HI (Tabel 9) menunjukkan bahwa satu sampai dua minggu setelah vaksinasi
pertama maupun kedua semua perlakuan tidak memberikan perbedaan yang nyata
terhadap titer antibodi ayam petelur. Namun demikian tiga minggu setelah
vaksinasi kedua, titer antibodi ayam pada perlakuan R2 (100 µg PM) nyata
(P<0.05) lebih tinggi dibandingkan R0B (7.00 log2 vs 4.33 log2), tetapi secara
statistik tidak berbeda nyata dibandingkan R0A. Hal ini juga terlihat dari nilai titer
yang meningkat selama lima minggu pengamatan. Tampaknya komponen mannan
dari BIS dapat meningkatkan imunogenisitas antigen H5N1 inaktif atau
memainkan peran untuk merangsang sistem kekebalan lebih aktif untuk
pembentukan antibodi pada ayam petelur.
Rataan titer HI pada penelitian ini cukup tinggi dibandingkan vaksinasi
secara intramuskuler yang telah dilakukan oleh Indriani et al. (2004) bahwa
respon titer antibodi ayam buras yang divaksinasi dengan vaksin cair
A/Jatim/2003 (H5N1) inaktif setelah tiga minggu pasca vaksinasi, dengan rataan
respon titer 3.94 log2 atau titer 15.78. Selanjutnya Indriani et al. (2005)
melaporkan bahwa vaksinasi pada ayam petelur umur 3 minggu menggunakan
isolat lokal AI subtipe H5N1 inaktif A/Chicken/West Java/67-2/2003 dengan
adjuvan Drakeol 6 VR (10% arlacel 80 (sorbitan monooleate) dan 1% tween 80)
dan vaksin komersial dengan dosis 0.5 ml/ekor. Pada saat 8 minggu setelah
vaksinasi memiliki rataan titer antibodi 4.04 log2 dan 4.14 log2 secara berurutan
dan mampu memberikan proteksi 90% terhadap virus tantang.
Penggunaan bahan yang sama yaitu PM dari BIS telah dilaporkan oleh
Tafsin (2007) bahwa titer antibodi ND tidak dipengaruhi oleh perlakuan
penggunaan PM. Sebaliknya, penggunaan PM pada tingkat 1 000; 3 000; dan
4 000 ppm dalam ransum titer IBD nyata lebih tinggi dibandingkan kontrol. Hasil
tersebut menunjukkan adanya aktivitas immunostimulan dari PM pada ternak
ayam.
Gambar 20 menunjukkan bahwa penggunaan PM sebagai oral adjuvan
vaksin AI inaktif berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap peningkatan IgA
serum ayam petelur, satu minggu setelah vaksinasi pertama dan tiga minggu
setelah vaksinasi kedua. Uji kontras ortogonal menunjukkan bahwa perlakuan R2
42
(100 µg PM) meningkat sangat nyata 3.21 kali lebih tinggi dibandingkan R0B
(OD: 0.215 ± 0.078 vs 0.067 ± 0.004). Selanjutnya perlakuan R2 meningkat
kembali sangat nyata 4.07 kali lebih tinggi dibandingkan R0B (OD: 0.334 ± 0.001
vs 0.082 ± 0.013), demikian juga perlakuan R1 (50 µg PM) meningkat sangat
nyata 1.89 kali lebih tinggi dibandingkan R0B (OD: 0.155 ± 0.044 vs 0.082 ±
0.013) tiga minggu setelah vaksinasi kedua berlangsung. Namun demikian secara
statistik perlakuan R2 (100 µg PM) dianggap lebih baik, karena dapat
meningkatkan IgA serum dua kali periode mingguan. Hal ini mengindikasikan
bahwa PM sebagai oral adjuvan vaksin AI inaktif dapat merespon peningkatan
IgA ayam petelur, tercermin dari nilai OD yang sangat tinggi. Vaksinasi antigen
H5N1 tanpa PM secara oral tidak dapat meningkatkan IgA serum ayam petelur
dibandingkan ayam yang tidak divaksinasi selama penelitian berlangsung.
Nilai optical density (OD) IgA serum ayam petelur pada penelitian ini
berkisar antara 0.215-0.334 lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Worrall et
al. (2009) bahwa penggunaan vaksinasi sebanyak 0.03 ml secara intranasal
dengan
sialidase/neuraminidase dari Clostridium perfringens tipe A 107 dan
citosan sebagai adjuvan vaksin AI H5N1 memberikan nilai OD IgA mukosa
berkisar antara 0.12-0.18. Hal ini menunjukkan bahwa PM dari BIS dapat
digunakan sebagai bahan adjuvan vaksin.
Tampaknya penggunaan pada tingkat 100 µg PM konsisten meningkatkan
IgA ayam petelur. Dugaan yang muncul menjelaskan fenomena ini yaitu sel-sel
plasma di dalam jaringan limfoid yang berhubungan dengan usus dapat
menanggapi rangsangan antigen H5N1 bersama PM di permukaan mukosa.
Sehingga komponen mannan dari BIS mampu memainkan peran untuk
merangsang sistem kekebalan lebih aktif untuk pembentukan imunoglobulin A.
Induksi kekebalan mukosa dimulai ketika antigen kontak atau berhubungan
dengan sel limfoid dalam atau di bawah epitelium (Mayhofer 1994). Respon
saliva IgA terhadap antigen oral dapat diinduksi oleh dua mekanisme. Pertama
antigen oral dapat menstimulasi proliferasi dan diferensiasi sel limfoid secara
lokal di kelenjar saliva. Antigen oral masuk dan ditangkap oleh makrofag dibawa
ke sel T dan sel B. Mekanisme kedua melibatkan migrasi antigen-sensitized IgA
prekursor sel B dari GALT (gut-associated lymphoid tissue) ke kelenjar saliva.
43
Sel microfold (sel M) yang mengambil dan mentransportasikan antigen dari
lumen intestinal ke jaringan limfoid di bawahnya. Setelah antigen dipresentasikan
oleh sel aksesori maka sel B dan prekursor IgA dan sel T meninggalkan GALT
lewat limfatik eferen dan mencapai darah perifer melalui thoracic duct (Marcotte
et al. 1998; Van Ginkel et al. 2000). Kekebalan pada permukaan mukosa terutama
terdiri atas CD4+ sel, secretory Imunoglobulin A (S-IgA), dan T lymphocytes
yang bersifat antigen spesifik sitotoksik atau cytotoxic T lymphocytes (CTLs)
(Van Ginkel et al. 2000).
Peningkatan IgA serum juga dapat meningkatkan IgA sekretori di
permukaan mukosa. Tizard (1982) menjelaskan bahwa sebagian besar dari IgA
berdifusi langsung ke dalam lumen usus, sewaktu berdifusi bergabung dengan
komponen sekretori yang dibuat oleh sel epitel usus. Tetapi dalam jumlah yang
cukup juga berdifusi ke dalam sirkulasi porta dan dibawa ke hati. Hepatosit
membuat komponen sekretori dan menggabungkannya ke dalam membrannya
yang berlaku sebagai reseptor IgA.
Konsentrasi IgA di dalam serum maupun mukosa (IgA sekretori) ayam
belum diketahui secara pasti tingkat yang protektif terhadap suatu penyakit
tertentu.
Namun
demikian
Tizard
(1982)
menjelaskan
bahwa
tingkat
imunoglobulin serum masing-masing: IgG; 300-700 mg/100 ml serum, IgM; 120250 mg/100 ml serum dan IgA; 30-60 mg/100 ml serum.
Penggunaan bahan yang sejenis dengan PM yaitu MOS sebagai adjuvan
telah dilaporkan oleh Pietersz et al. (2008) bahwa vaksinasi menggunakan 10 µg
antigen H5N1 + mannan dari Saccharomyces cerevisiae dengan rasio 1:10 secara
intranasal pada tikus, dapat meningkatkan level IgA dengan nilai OD 1.75-3.5.
Hasil ini sangat tinggi jika dibandingkan dengan OD IgA serum ayam yang
diperoleh pada penelitian ini. Hal ini disebabkan karena jenis ternak yang
digunakan berbeda.
44
Titer Antibodi AI dan Imunoglobulin A (IgA) Serum Itik
Pengaruh perlakuan terhadap titer antibodi AI H5N1 pada itik disajikan
pada Tabel 10.
Tabel 10 Pengaruh penggunaan polisakarida mannan (PM) dari BIS sebagai oral
adjuvan vaksin AI inaktif terhadap titer antibodi (HI log2) itik
Minggu setelah
Minggu setelah
vaksinasi pertama
vaksinasi kedua
1
2
1
2
3
a
R0A
2.50±0.70 3.33 ±0.58
2.50±0.70
0.00±0.00 0.00±0.00 0.00±0.00
b
R0B
3.00±1.41 0.00 ±0.00
0.00±0.00
0.00±0.00 0.00±0.00 0.00±0.00
a
R1
0.00±0.00 4.00 ±1.73
1.50±0.71
0.00±0.00 0.00±0.00 0.00±0.00
b
R2
3.00±0.00 0.00 ±0.00
0.00±0.00
0.00±0.00 0.00±0.00 0.00±0.00
a
R3
3.50±0.70 2.50 ±0.70
3.00±0.00
0.00±0.00 0.00±0.00 0.00±0.00
Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda kearah kolom menunjukkan perbedaan nyata
(P<0.05) R0A (tidak divaksinasi), R0B (vaksinasi dengan antigen H5N1 + 0 µg
PM), R1 (vaksinasi dengan antigen H5N1 + 50 µg PM), R2 (vaksinasi dengan
antigen H5N1 + 100 µg PM), R3 (vaksinasi dengan antigen H5N1 + 200 µg PM).
Perlakuan
Sebelum
vaksinasi
Selanjutnya pengaruh perlakuan terhadap IgA serum itik disajikan pada
Gambar 21.
Gambar 21 Pengaruh penggunaan PM dari BIS sebagai oral adjuvan vaksin AI
inaktif terhadap optical density (OD) IgA serum itik umur 14-19
minggu.
Pengamatan mingguan (Tabel 10) menunjukkan bahwa sebelum vaksinasi
rataan titer HI itik antara 0.00-3.50 log2 yang berada
dibawah titer protektif
(4 log2). Pengamatan satu minggu setelah vaksinasi pertama, perlakuan
berpengaruh nyata terhadap titer antibodi AI. Uji lanjut menggunakan kontras
ortogonal menunjukkan bahwa perlakuan R1 nyata (P<0.05) lebih tinggi
45
dibandingkan R0B. Sebaliknya, dua minggu setelah vaksinasi pertama perlakuan
maupun kontrol memiliki nilai titer HI yang semakin rendah. Hal ini
menunjukkan bahwa antigen H5N1 bersama PM hanya mampu merespon
pembentukan antibodi selama satu periode mingguan saja dan tidak konsisten
meningkatkan titer antibodi itik. Bahkan setelah vaksinasi kedua berlangsung
semua perlakuan maupun kontrol tidak memiliki nilai titer (0). Hal ini disebabkan
karena kandungan antibodi pada sampel serum tersebut sedikit sekali. Pada
penelitian ini virus standar yang digunakan 4 HAU (setara dengan 4 x 106 partikel
virus), jika antibodi yang ada pada serum tidak dapat menetralisir semua virus
standar maka virus yang tidak ternetralisasi akan mengaglutinasi sel darah merah.
Titer antibodi AI yang sangat rendah dan bahkan nol pada itik, hal ini
kemungkinan disebabkan antigen H5N1 yang digunakan bukan isolat dari itik
melainkan dari ayam. Kemungkinan lain vaksinasi secara oral tidak cukup untuk
menginduksi atau meningkatkan respon imun spesifik IgG, diduga akibat
terjadinya pengenceran antigen didalam saluran pencernaan dan pada saat
memasuki sirkulasi darah. Pastoret et al. (1997) menjelaskan bahwa saat
memasuki sirkulasi darah, virus AI inaktif menjadi terencerkan oleh volume darah
dan di dalam sirkulasi darah banyak ditemukan makrofag yang akan memfagosit
virus AI inaktif sehingga tidak semua mencapai target organ limfoid. Namun
demikian diduga dapat meningkatkan respon imun spesifik IgA pada permukaan
mukosa (IgA sekretori). Hal tersebut tercermin dari peningkatan IgA serum itik
pada penggunaan 50 dan 200 µg PM.
Hasil penelitian yang dilakukan pada itik memberikan gambaran bahwa
vaksinasi dengan antigen H5N1 + PM secara oral hanya meningkatkan titer
antibodi dalam waktu singkat. Sebaliknya, Mahardika et al. (2008) melaporkan
bahwa titer antibodi pada itik Bali yang divaksinasi secara injeksi dengan
menggunakan dua kali dosis anjuran memiliki titer antibodi yang sangat tinggi
daripada menggunakan satu dan setengah dosis. Akan tetapi titer antibodi pada
itik dengan menggunakan satu dan setengah dosis tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata.
Itik sebaiknya divaksinasi walaupun virus AI tidak menyebabkan penyakit
yang nyata pada unggas air (asymptomatic). Namun demikian jika terinfeksi virus,
46
pencemaran virus dari kotoran unggas ini dapat dikurangi. Karena unggas air
merupakan reservoir semua subtipe virus influenza A, tetapi infeksi pada spesies
ini secara umum tidak menunjukkan gejala klinis, namun dapat menularkan virus
ke ayam dan menyebabkan akibat yang fatal (Tumpey et al. 2002). Virus
bereplikasi di gastrointestinal itik, sehingga shedding virus bersama feses
ditransmisikan ke unggas atau mamalia lain melalui fecal-oral (Sturm-Ramirez et
al. 2004). Wabah avian influenza di Kabupaten Pandeglang pada bulan Oktober
2004 dan di Kabupaten Sukabumi Februari 2005. Dimana wabah AI telah
membunuh hampir semua ayam kampung dalam suatu populasi yang dipelihara
bersama itik, tetapi itik tersebut masih hidup dan sehat tanpa menunjukkan gejala
sakit (Dharmayanti et al. 2004; 2005a; 2005b).
Gambar 21 memperlihatkan bahwa dua minggu setelah vaksinasi pertama
berlangsung
semua
perlakuan
belum
memperlihatkan
respon
terhadap
peningkatan IgA serum itik. Respon perlakuan mulai terlihat satu minggu setelah
vaksinasi kedua, dimana perlakuan R3 (200 µg PM) cenderung berpengaruh
(P=0.09) terhadap konsentrasi IgA serum dibandingkan R0B (OD: 0.149 ± 0.099
vs 0.056 ± 0.005). Selanjutnya dua minggu setelah vaksinasi kedua, perlakuan R1
(50 µg PM) nyata (P<0.05) meningkatkan IgA serum itik dibandingkan R0B (OD:
0.157 ± 0.076 vs 0.064 ± 0.018). Vaksinasi antigen H5N1 tanpa PM secara oral
tidak dapat meningkatkan IgA serum itik dibandingkan itik yang tidak divaksinasi
selama penelitian berlangsung.
Tampaknya penggunaan 50 dan 200 µg PM dapat menigkatkan IgA serum
itik pada periode mingguan yang berbeda. Namun demikian secara statistik
perlakuan R1 (50 µg PM) dianggap lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa
komponen mannan dari BIS sebagai adjuvan dapat merangsang sistem kekebalan
lebih aktif untuk pembentukan imunoglobulin A.
Fungsi IgA pada permukaan mukosa seperti yang dijelaskan oleh
Shashidara et al. (2003) bahwa sel pertahanan tubuh pada saluran pencernaan
yang dikenal dengan GALT (gut associated lymphoid tissue) mendeteksi
kehadiran mikroba akibat adanya molekul unik yang disebut PAMP (pathogenassociated molecular pattern) yang selanjutnya akan mengaktifkan sistem
kekebalan seperti fagositosis dan jalur lektin. Studi lain menyebutkan bahwa
47
kekebalan mukosa dimediasi oleh IgA dan mengaktifkan sistem komplemen
melalui jalur lektin. IgA disekresikan ke seluruh permukaan mukosa tubuh dan
memainkan
peranan
penting
dalam
mekanisme
pertahanan
terhadap
mikroorganisme yang masuk (Ross et al. 2001). Ig A berperan sebagai proteksi
terhadap mikroorganisme dan benda asing pada jaringan mukosa mulut melalui
berbagai mekanisme, yaitu membunuh mikroorganisme secara langsung (direct
killing), aglutinasi, inhibisi perlekatan dan penetrasi mikroorganisme, inaktivasi
enzim bakteri dan toksin, netralisasi virus, aktivasi komplemen, fungsi IgAdependent cell-mediated (Marcotte & Lovie 1998).
Penggunaan bahan immunostimulan dari polisakarida dan kompleks
polisakarida-protein karena kemampuan bioaktif
bahan tersebut untuk
merangsang beragam sel sistem kekebalan diakibatkan variabilitas dan
beragamnya struktur dari makromolekul ini. Berbeda dengan protein dan asam
nukleat, polisakarida mengandung struktur yang berulang yang merupakan
polimer dari monosakarida dan mempunyai kapasitas yang tinggi untuk membawa
informasi biologis karena mempunyai variasi struktur yang lebih besar (Ooi dan
Liu 2000).
Polisakarida mengandung mannan yang diperoleh dari BIS dengan cara
ekstraksi tidak dikhawatirkan adanya efek kontaminasi dengan mikroorganisme.
Dibandingkan dengan komponen mannan yang diperoleh dengan cara melakukan
fermentasi dibutuhkan suatu bioreaktor atau tabung fermentor dengan suhu dan
waktu tertentu, selain itu pengaruh kontaminasi dengan mikrooganisme yang tidak
diharapkan cukup tinggi.
Informasi penggunaan polisakarida mannan dari BIS sebagai oral adjuvan
belum pernah dilakukan, namun penggunannya sebagai imbuhan pakan telah
dilakukan tetapi masih sangat terbatas. Berbeda dengan mannanoligosakarida
(MOS) dari ekstrak dinding sel ragi S cerevisiae dan produknya berupa Bio-MOS
secara komersil sudah banyak digunakan. MOS dari S cerevisiae juga dapat
digunakan sebagai bahan adjuvan vaksin (Apostolopoulos et al. 1995; Pietersz et
al. 2008).
Penggunaan polisakarida selain dari PM dan MOS telah dilaporkan oleh
Porporatto et al. (2005) bahwa pemberian antigen bersama polisakarida citosan
48
dari citin atau enkapsulasi dengan polisakarida citosan menunjukkan perbaikan
pada sistem mukosa dan respon kekebalan humoral, namun mekanismenya belum
sepenuhnya diketahui. Studi lain menyebutkan bahwa penggunaan Japanese
herbal (Kampo) dengan vaksin influenza dalam bentuk oral yang diberikan secara
intranasal, secara nyata dapat meningkatkan IgA spesifik dan titer antibodi IgG
pada tikus (Kiyohara et al. 2006).
Hasil-hasil penelitian sampai saat ini yang menunjukkan bahwa vaksin
mukosal merupakan vaksin yang potensial digunakan dimasa mendatang untuk
dapat melindungi hewan dan juga manusia dari penyakit virus, terutama yang
ditularkan melalui mukosa (Sudarisman 2006). Strategi vaksinasi yang
mengandung
tidak
hanya
virus
yang
sudah
dilemahkan
tetapi
dapat
dikombinasikan dengan adjuvan mukosal yang kuat, seperti QS-21 yaitu saponin
yang diturunkan dari kulit kayu pohon di Amerika Selatan (Quillaja saponaria
Molina) (Van Ginkel et al. 2000). Penggunaan vaksin mukosal guna pencegahan
penyakit AI telah banyak dipelajari dan telah terbukti keefektifannya. Untuk
pengembangan vaksin guna pencegahan avian influenza (AI) pada unggas, Chen
et al. (2001) telah mengembangkan vaksin inaktif dengan adjuvan cholera toxin
(CT), dan juga suatu
oligodeoxynucleotide sintetik yang mengandung
imunostimulan CpG motif (CpG DNA) yang dibuat dalam bentuk serbuk dan
mampu menimbulkan antibodi dalam serum dan antibodi mukosa. Tumpey et al.
(2001) melaporkan bahwa vaksin AI H3N2 dengan menggunakan modified E. coli
head labile sebagai adjuvan dapat melindungi mencit 100% terhadap tantangan
dengan virus highly pathogenic AI H5N1, sedangkan jika vaksin diberikan secara
subkutan tidak dapat melindungi dan tidak menunjukkan adanya penurunan virus
pada jaringan paru-paru 5 hari setelah ditantang.
Download