27 HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap I. Proses Isolasi Polisakarida Mengandung Mannan dari Bungkil Inti Sawit Kandungan Total Gula Terekstrak Hasil isolasi polisakarida BIS sebelum dan setelah dipisahkan proteinnya dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Kandungan total gula, mannosa dan rendemen mannosa polisakarida BIS yang dihasilkan dari 100 gram BIS1 Kandungan Polisakarida BIS kasar Polisakarida mannan BIS total gula (g) 8.35-8.59 5.70-7.61 2 mannosa (g) 6.14-6.31 4.19-5.59 rendemen mannosa3 (%) 45.38-46.63 30.96-41.32 Keterangan : 1 2 3 Kandungan mannosa 56.4% (Daud & Jarvis 1992) dari total serat kasar. Kandungan SK BIS 24% (Hasil analisis Lab. Makanan Ternak IPB 2007) Kandungan mannosa BIS 73.54% dari total gula (Tafsin 2007) Rendemen mannosa dari 100 g BIS Kandungan total gula (Tabel 7) yang dihasilkan dari 100 g BIS sebelum dipisahkan proteinnya berkisar antara 8.35-8.59 g dengan jumlah mannosa yang terambil sebanyak 6.14-6.31 g atau sebanyak 45.38-46.63% dari serat kasar BIS. Penelitian sebelumnya memperoleh total gula berkisar antara 1.22-3.20 g dari 100 g BIS (Tafsin 2007). Kandungan total gula yang lebih tinggi diduga disebabkan oleh penggunaan asam asetat 0.05 N sebagai pengganti air dan peningkatan konsentrasi NaOH dari 0.05 N (penelitian sebelumnya) menjadi 1 N. Secara umum hasil diperoleh dari isolasi polisakarida BIS memberikan gambaran bahwa total gula yang dihasilkan cukup tinggi yaitu berkisar antara 5.70-7.61 g dengan rendemen mannosa mencapai 30.96-41.32% dari serat kasar BIS. Dengan demikian masih ada sekitar 7.94-9.34 g mannosa dari 13.53 g/100 g BIS atau 58-69% yang belum terambil. Kuat dugaan sebagian besar fraksi karbohidrat tersebut ada dalam ampas, sehingga sangat terbuka kemungkinan untuk mengeksplorasi nutrien tersebut pada proses ekstraksi kembali. Profil Polisakarida Bungkil Inti Sawit (BIS) Kajian profil polisakarida dilakukan dengan menyuntikkan sampel polisakarida dari BIS ke dalam kolom gel Sephadex G-50 (Ramli et al. 2008a). Sephadex G-50 dibuat dari polisakarida dextram yang memiliki batas eksklusi pada BM 10 000 dan variasi fraksinasi BM 500-10 000 (Adnam 1997). Dengan 28 menggunakan pelarut air gel sephadex (deret G) dapat memisahkan campuran berdasarkan ukuran molekul, dimana molekul besar terelusi lebih dulu (Markham 1988). Profil produk campuran fraksi karbohidrat dan protein (sebelum pengendapan protein) pada gel Sephadex G-50 dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9 Profil produk campuran fraksi karbohidrat dan protein hasil ekstrak BIS pada Sephadex G-50 Gambar 9 menunjukkan bahwa komponen polisakarida dengan ekstraksi menggunakan asam asetat yang diikuti dengan perendaman dengan NaOH 1 N pada Sephadex G-50 (135x630 mm) mulai muncul pada fraksi ke-7 dan berakhir pada fraksi ke-73. Komponen tersebut secara umum terbagi menjadi 2 peak besar. Peak pertama muncul pada fraksi 23-45, peak kedua dari fraksi 47-73. Gambaran absorbansi protein terlihat hanya satu peak besar yang terbentuk dan muncul lebih awal pada fraksi ke-6 dan berakhir pada fraksi ke-23. Hal ini mengindikasikan bahwa fraksi protein yang berikatan dengan fraksi karbohidrat sebagian besar sudah terputus. Selain itu sebagian besar fraksi protein yang ada pada ekstrak BIS memiliki bobot molekul yang lebih tinggi dibandingkan fraksi karbohidrat. Metode ekstraksi kombinasi fisik dan kimia tersebut menghasilkan bobot molekul yang hampir seragam. Ekstraksi menggunakan NaOH 0.05 N menunjukkan bahwa fraksi protein dan karbohidrat membentuk satu peak besar dari fraksi 18-108 dan mempunyai bobot molekul seragam (Ramli et al. 2008a). Hal ini menunjukkan bahwa ekstraksi yang dilakukan dengan mengkombinasikan kaca dan bahan kimia (asetat 0.05 N dan NaOH 1 N) dapat memudahkan dalam pemisahan protein dari fraksi karbohidratnya, selain itu metode ini mampu menghasilkan total gula yang lebih tinggi (8.35-8.59 vs 1.22-3.12 g/100 g BIS). 29 Kajian berikutnya profil polisakarida mengandung mannan yang telah diisolasi dengan cara pengendapan proteinnya menggunakan HCl 0.1 N disajikan pada Gambar 10. Gambar 10 Profil Polisakarida mannan BIS hasil isolasi pada Sephadex G-50 Gambar 10 menunjukkan bahwa komponen polisakarida mulai muncul pada fraksi ke 13 dan terbentuk 4 peak besar yaitu, peak pertama muncul pada fraksi ke 13-35, peak kedua pada fraksi ke 37-57, peak ketiga pada fraksi ke 59-67 dan peak ke empat pada fraksi ke 69-79. Gambaran absorbansi protein terlihat seragam dan tidak terbentuk peak besar maupun kecil. Artinya komponen karbohidrat yang berikatan dengan protein dalam bentuk glikoprotein sebagian besar sudah terpisah. Yatno et al. (2008) melaporkan bahwa ekstraksi kombinasi fisik kimia (kaca + asam asetat 0.05 N + NaOH 1 N) yang dilanjutkan dengan pengendapan protein menggunakan HCl 0.1 N menghasilkan protein kasar 45.56% dengan rendemen 12.18% dan protein recovery 50.38% dari protein kasar BIS. Gambar 10 dapat dilihat bahwa peak yang terbentuk dari fraksi ke-13-35 diasumsikan sebagai fraksi karbohidrat yang memiliki bobot molekul lebih berat, sedangkan fraksi ke-37-80 diasumsikan sebagai fraksi karbohidrat yang mempunyai bobot molekul lebih ringan. Profil ini menunjukkan bahwa pemisahan fraksi karbohidrat dan protein menghasilkan bobot molekul fraksi karbohidrat lebih beragam terbukti bahwa peak besar lebih dominan terbentuk pada fraksi yang lebih tinggi yang mengindikasikan bahwa profil polisakarida mannan BIS memiliki bobot molekul yang beragam. Komponen gula dari polisakarida BIS tersusun dari gula glukosa, mannosa dan galaktosa yang terdiri atas ikatan alfa dan beta. Dibandingkan dengan galaktosa, ikatan beta yang dimiliki mannosa 30 pada BIS diduga lebih banyak, sehingga dapat diartikan bahwa ikatan galaktosa pada polisakarida BIS mempunyai ikatan kimia yang lebih labil dari ikatan mannosa (Ramli et al. 2008a). Lebih lajut dijelaskan bahwa kandungan mannosa pada BIS adalah sebesar 68,9%. Hal yang sama dilaporkan oleh Tafsin (2007) bahwa komponen gula polisakarida dari BIS tersusun atas glukosa, galaktosa dan mannosa. Komponen gula yang terdeteksi berupa galaktomannan dengan rasio antara galaktosa dan mannosa mencapai 1:3. Selanjutnya dilaporkan bahwa ekstraksi BIS didominasi oleh mannosa dengan kandungan mencapai 73.54% dari total gulanya. Carre (2002) melaporkan bahwa komponen utama dari dinding sel bungkil kelapa dan bungkil inti sawit (BIS) adalah linier (1-4)- β D-Manp dan menunjukkan kesamaan dengan guar gum, tetapi dengan rasio galaktomannan yang berbeda. Kennedy dan White (1988) menyebutkan bahwa struktur polisakarida mannan bervariasi tergantung sumber bahan. Rasio komponen monosakarida antara galaktosa : mannosa berkisar antara 1:1 sampai 1:5, akan tetapi keseluruhannya mempunyai kesamaan struktur yaitu ikatan (1→4) β-Dmannopyranosil dengan rantai cabang berisi gugus tunggal α-D-galactopyranosil dengan ikatan (1→6). Gambaran struktur mannan dari guaran disajikan pada Gambar berikut : →4)- β-D-manp-(1→4)- β-D-manp-(1→4)- β-D-manp-(1→4)- β-D-manp-(1→4)- (1→ 6 6 ↑ ↑ α-D-galp α-D-galp Gambar 11 Struktur mannan dari guaran (Kennedy dan White 1988) Gambar 11 menunjukkan struktur mannan dari guaran dengan rasio komponen galaktosa : mannosa yaitu 1:2. Struktur mannan dari BIS tampaknya hampir sama dengan dari guaran, hanya rasio komponen gulanya berbeda. Dugaan struktur dominan galaktomannan dari dinding sel BIS adalah sebagai berikut : →4)- β-D-manp-(1→4)- β-D-manp-(1→4)- β-D-manp-(1→4)- β-D-manp-(1→4)- (1→ 6 6 ↑ ↑ α-D-galp α-D-galp Gambar 12 Dugaan struktur galaktomannan dari bungkil inti sawit (Tafsin 2007) Gambar 12 menunjukkan dugaan struktur mannan yang ada pada BIS. Rasio antara komponen galaktosa : mannosa dari analisis komponen gula yaitu mendekati angka 1:3 yang tercermin pada Gambar 11 (Tafsin 2007). 31 Secara umum ekstrak bungkil inti sawit sebelum maupun setelah diendapkan proteinnya didominasi oleh peak besar yang terkoleksi pada fraksi yang lebih tinggi dalam sephadex G-50. Hasil tersebut menunjukkan bahwa produk tersebut didominasi oleh bobot molekul yang lebih ringan dan beragam. Polisakarida mannan BIS ini adalah merupakan salah satu hasil dari diversifikasi produk dari bungkil inti sawit yang digunakan sebagai bahan adjuvan vaksin pada tahapan selanjutnya pada penelitian ini. Tahap II. Penggunaan Polisakarida Mannan dari Bungkil Inti Sawit sebagai Oral Adjuvan Vaksin Avian Influenza (AI) pada Ayam dan Itik Pertambahan Bobot Badan dan Bobot Akhir Ayam dan Itik Pertambahan Bobot Badan dan Bobot Badan Akhir Ayam Broiler Pengamatan terhadap bobot badan mingguan ayam broiler selama lima minggu pengamatan ditunjukkan pada Gambar 13. Gambar 13 Bobot badan mingguan ayam broiler selama penelitian (umur 1-6 minggu) Gambar 13 menunjukkan bahwa penggunaan polisakarida mannan sebagai oral adjuvan vaksin AI inaktif menunjukkan adanya pertumbuhan. Umur 1-2 minggu (satu minggu setelah vaksinasi pertama) menunjukkan rataan bobot badan yang masih rendah. Selanjutnya pada umur 4-5 minggu atau dua minggu setelah vaksinasi kedua (booster) semua perlakuan memperlihatkan peningkatan rataan bobot badan yang lebih tinggi. 32 Pengaruh penggunaan polisakarida mannan dari BIS sebagai oral adjuvan vaksin AI inaktif terhadap pertambahan bobot badan (PBB) dan bobot akhir ayam broiler umur 7-42 hari dapat dilihat pada Gambar berikut. (a) (b) Gambar 14 Pengaruh PM sebagai oral adjuvan vaksin AI inaktif terhadap pertambahan bobot badan fase starter dan finisher (a), dan bobot badan akhir ayam broiler (b) Perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap pertambahan bobot badan ayam broiler broiler fase starter (umur 7-21 hari) maupun fase finisher (umur 21-42 hari) (Gambar 14a). Demikian juga terhadap bobot badan akhir ayam broiler (Gambar 14b). Namun demikian perlakuan R1 (50 µg PM) selama lima minggu pengamatan memperlihatkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa polisakarida mannan (PM) sebagai oral adjuvan vaksin tidak menurunkan bobot badan atau tidak bersifat toksik. Perlakuan tidak mempengaruhi PBB maupun bobot badan akhir ayam broiler. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh pengaruh antigen bersama PM lebih banyak untuk merangsang imunogenisitas. Kemungkinan lain yaitu kebutuhan zat-zat nutrisi terbagi untuk pertumbuhan dan perkembangan organ kekebalan sehingga pengaruhnya terhadap bobot badan tidak tampak. Takahashi et al. (2000) menjelaskan bahwa respon cekaman akibat perangsangan sistem kekebalan akan menimbulkan efek tambahan terhadap penampilan ternak karena lebih banyak nutrien yang terbagi untuk pembentukan antibodi dan perkembangan organ kekebalan sehingga menurunkan ketersediaan nutrien untuk pertumbuhan. Sebaliknya, Klasing (1998) menjelaskan bahwa efek perangsangan sistem kekebalan tidak mempengaruhi pertumbuhan karena kebutuhan jumlah nutrien 33 untuk sistem kekebalan relatif lebih kecil dibanding untuk pertumbuhan. Stress kekebalan yang diakibatkan efek imunostimulan berbeda dengan stress yang diakibatkan infeksi yang dapat menyebabkan reaksi keseluruhan dari tubuh yang meliputi perubahan fisiologis dan metabolis seperti demam, menurunnya konsumsi dan menigkatnya katabolisme nutrien. Beberapa peneliti yang menggunakan bahan yang sejenis yaitu mannanoligosakarida (MOS), penggunaan 0.05% MOS (Flemming et al. 2004), dan 0.3% MOS (Shafey et al. 2001) menunjukkan tidak adanya pengaruh terhadap pertambahan bobot badan. Selanjutnya Waldroup et al. (2003) menyebutkan penambahan Bio-MOS 1 g/kg pada ransum broiler umur 1-42 hari yang dilanjutkan dengan 0.75 g/kg sampai umur 63 hari tidak mempengaruhi pertumbuhan, tetapi dapat memperbaiki konversi ransum. Sebaliknya, Tafsin (2007) melaporkan bahwa penggunaan PM dari BIS sampai tingkat 3 000 ppm dalam ransum dapat meningkatkan PBB ayam broiler, pengaruh penggunaan bahan yang mengandung komponen mannosa (MOS atau PM) terhadap pertumbuhan tergantung pada kadar yang digunakan. Pertambahan Bobot Badan (PBB) dan Bobot Badan Akhir Ayam Petelur Pengamatan terhadap bobot badan mingguan ayam petelur selama lima minggu pengamatan ditunjukkan pada Gambar 15. Gambar 15 Bobot badan mingguan ayam petelur selama penelitian (umur 16-21 minggu) Gambar 15 menunjukkan bahwa analisis mingguan bobot badan ayam petelur pada semua perlakuan rata-rata mengalami peningkatan sampai pada umur 34 19 minggu. Sebaliknya, penurunan bobot badan mulai terlihat pada umur 20 dan 21 kecuali R0B (antigen H5N1 tanpa PM). Pengaruh perlakuan terhadap pertambahan bobot badan dan bobot badan akhir ayam petelur disajikan pada Gambar 16. (a) (b) Gambar 16 Pengaruh PM sebagai oral adjuvan vaksin AI inaktif terhadap pertambahan bobot badan (a) dan bobot badan akhir ayam petelur (b) Perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap pertambahan bobot badan ayam petelur (Gambar 16a). Demikian juga perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap bobot badan akhir ayam petelur (Gambar 16b). Namun demikian penggunaan PM sebagai oral adjuvan vaksin AI inaktif menunjukkan adanya sedikit peningkatan terhadap bobot badan selama penelitian, yang menunjukkan bahwa PM tidak bersifat toksik. Penurunan bobot badan ayam petelur pada umur 20 minggu dikarenakan ayam-ayam tersebut sebagian besar mulai berproduksi (bertelur). Namun demikian peningkatan terhadap PBB masih terlihat dari umur 16-21 minggu. Amrullah (2004) melaporkan bahwa seekor ayam dara akan bertambah bobot badannya sebanyak 350 hingga 454 g selama satu tahun masa produksinya, jenis petelur medium akan bertambah bobot badannya sebanyak 454 hingga 570 g. Ayam petelur yang sudah berproduksi cenderung mempertahankan bobot badannya, karena kebutuhan zat-zat nutrisi sebagian besar dibutuhkan untuk produksi telur selain dari kebutuhan hidup pokok. Faktor lain yang dapat menurunkan bobot badan adalah pengaruh stress. Ayam mengalami tiga tipe stress yaitu (1) stress sosial akibat terlalu padatnya populasi ayam dalam kandang, (2) stress biologis akibat reaksi pembentukan antibodi karena vaksinasi 35 merupakan tindakan memasukkan bahan asing ke dalam tubuh dan infeksi penyakit sehingga menyebabkan stress dan mengalami penurunan bobot badan (3) stress perlakuan akibat penanganan ayam pada saat melakukan vaksinansi (Anonim 2005). Suplementasi mannanoligosakarida 0.05 dan 0.1% pada pakan kalkun tidak mempengaruhi bobot badan, tetapi penambahan antibiotik (bacitracin methylene disalicylate) dan 0.1% Bio-MOS nyata memperbaiki konversi ransum (Fritts dan Waldroup 2003). Pertambahan Bobot Badan (PBB) dan Bobot Badan Akhir Itik Pengamatan terhadap bobot badan mingguan itik selama lima minggu pengamatan ditunjukkan pada Gambar 17. Gambar 17 Bobot badan mingguan itik selama penelitian (umur 14-19 minggu) Gambar 17 menunjukkan bahwa semua perlakuan mengalami peningkatan terhadap rataan bobot badan itik selama dua minggu (umur 15 dan 16 minggu). Sebaliknya, mengalami penurunan bobot badan pada umur 17 dan 18 minggu, tetapi meningkat kembali pada akhir penelitian (umur 19 minggu). Tampaknya penggunaan PM tidak konsisten mempengaruhi bobot badan itik, hal ini terlihat dari rataan bobot badan mingguan yang berfluktuasi. 36 Data pengaruh perlakuan terhadap pertambahan bobot badan dan bobot badan akhir itik disajikan pada Gambar 18. (a) Gambar 18 (b) Pengaruh PM sebagai oral adjuvan vaksin AI inaktif terhadap pertambahan bobot badan (a) dan bobot badan akhir (b) itik. Analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap pertambahan bobot badan itik (Gambar 18a), demikian juga pelakuan tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap bobot badan akhir itik (Gambar 18b). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan PM tidak dapat meningkatkan bobot badan itik, namun demikian PM dari BIS tidak bersifat toksik. Hal ini terlihat masih terdapat sedikit peningkatan terhadap rataan PBB itik umur 14-19 minggu. Peningkatan bobot badan yang sangat kecil diduga itik mengalami stress akibat pengambilan sampel darah yang dilakukan setiap minggu, stress terhadap vaksinasi, stress terhadap perubahan ransum dan perubahan lingkungan. Respon stress merupakan respon normal bagi hewan secara alamiah dalam rangka beradaptasi dengan perubahan situasi yang terjadi secara internal maupun eksternal. Respon stress yang berlebih sering kali dapat mengakibatkan beberapa efek negatif. Dampak tersebut berupa gangguan pada penampilan akhir (gangguan pertumbuhan atau produksi telur). 37 Titer Antibodi AI dan Imunoglobulin A (IgA) Serum Ayam Broiler Pengaruh perlakuan terhadap titer antibodi AI H5N1 pada ayam broiler disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Pengaruh penggunaan polisakarida mannan (PM) dari BIS sebagai oral adjuvan vaksin AI inaktif terhadap titer antibodi (HI log2) broiler Minggu setelah Minggu setelah vaksinasi pertama vaksinasi kedua 1 2 1 2 3 c R0A 3.33 ±1.15 2.00 ±0.00 3.33 ±0.58 3.33±0.58 3.33 ±0.58 3.00 ±1.41 b R0B 4.00 ±0.00 4.00 ±1.00 4.33 ±0.58 3.67 ±1.15 4.66 ±1.53 4.33 ±1.15 a R1 4.00 ±1.41 5.00 ±0.00 4.00 ±1.00 4.33±0.58 4.33 ±0.58 5.67 ±2.08 a R2 3.33 ±0.58 4.67 ±0.58 4.00 ±0.00 5.00 ±1.00 3.67 ±0.58 5.67 ±1.53 a R3 3.33 ±0.58 5.00 ±0.00 4.33 ±0.58 4.33±0.58 4.00 ±0.00 5.33 ±0.58 Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda kearah kolom menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05) R0A (tidak divaksinasi), R0B (vaksinasi dengan antigen H5N1 + 0 µg PM), R1 (vaksinasi dengan antigen H5N1 + 50 µg PM), R2 (vaksinasi dengan antigen H5N1 + 100 µg PM), R3 (vaksinasi dengan antigen H5N1 + 200 µg PM). Perlakuan sebelum vaksinasi Selanjutnya pengaruh perlakuan terhadap OD IgA serum ayam broiler disajikan pada Gambar 19. Gambar 19 Pengaruh penggunaan PM dari BIS sebagai oral adjuvan vaksin AI inaktif terhadap optical density (OD) IgA serum ayam broiler umur 1-6 minggu. Pengaruh penggunaan PM sebagai oral adjuvan vaksin AI inaktif terhadap titer HI (Tabel 8) menunjukkan bahwa satu minggu setelah vaksinasi pertama, perlakuan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap titer HI ayam broiler. Titer antibodi ayam yang terdapat pada perlakuan R1, R2 dan R3 nyata (P<0.05) (20%) lebih tinggi dibandingkan R0B dengan nilai titer berturut-turut sebagai berikut: 38 5.00; 4.67; 5.00 vs 4.00 log2. Vaksinasi secara oral juga berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap titer HI dibandingkan dengan titer HI ayam yang tidak divaksinasi. Selanjutnya dua minggu setelah vaksinasi pertama perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap titer antibodi ayam broiler. Perlakuan memiliki kecenderungan meningkatkan titer HI. Hal ini menunjukkan bahwa komponen mannan dari BIS sebagai oral adjuvan vaksin AI inaktif dapat meningkatkan atau menimbulkan efek yang merangsang sistem kekebalan lebih aktif untuk pembentukan antibodi. Mekanisme bagaimana PM ini dapat menstimulasi pembentukan antibodi belum diketahui secara pasti, namun diduga bahwa sel pertahanan tubuh mendeteksi kehadiran mikroba akibat adanya molekul unik yang disebut PAMP (pathogen-associated molecular pattern) yang selanjutnya akan mengaktifkan sistem kekebalan seperti fagositosis dan jalur lektin. Komponen gula mannosa mempengaruhi sistem kekebalan dengan jalan merangsang sekresi protein pengikat mannosa, dan dikenal dengan istilah mannosa binding lectin (MBL). MBL disintesa di hati dan disekresikan ke dalam serum sebagai komponen dengan fase respon yang bersifat akut. MBL dapat berikatan dengan karbohidrat dari dinding sel bakteri, ragi atau virus (Janeway et al. 2005). Vaksin AI inaktif yang baik akan menimbulkan kekebalan yang tinggi dan berlangsung lama, yakni dalam waktu tiga minggu setelah vaksinasi akan menghasilkan titer antibodi minimal 4 log2, seperti yang direkomendasikan oleh organisasi kesehatan hewan (OIE 2004). Respon perlakuan dalam penelitian ini sesuai yang direkomendasikan OIE yaitu dapat mempertahankan titer antibodi protektif selama lima minggu pengamatan. Namun demikian pada penelitian ini tidak dilakukan uji tantang dengan infeksi virus H5N1 karena tidak punya fasilitas kandang bioseptik yang memenuhi persyaratan keamanan, mengingat virus H5N1 amat patogen. Dalam penelitian ini titer antibodi yang terbentuk yaitu berkisar antara 3.67 log2 - 5.67 log2. Penggunaan bahan sejenis dengan PM yaitu mannanoligosakarida (MOS) telah dilaporkan oleh Pietersz et al. (2008) bahwa vaksinasi dengan antigen H5N1 ditambah mannosa dari Saccharomyces cerevisiae secara intranasal pada tikus, 39 titer antibodi HI lebih tinggi dibandingkan vaksinasi dengan antigen H5N1 sendiri (HI titer 80 vs 40) 12 hari setelah vaksinasi pertama. Gambar 19 menunjukkan bahwa satu sampai dua minggu setelah vaksinasi pertama, semua perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap IgA serum. Satu minggu setelah vaksinasi kedua (booster), vaksinasi dengan antigen H5N1 secara oral nyata (P<0.05) meningkatkan IgA serum dibandingkan ayam broiler yang tidak divaksinasi (R0A). Hal ini menunjukkan bahwa vaksinasi dengan antigen H5N1 secara oral mampu merespon peningkatan IgA serum setelah vaksinasi kedua. Dua minggu setelah vaksinasi kedua berlangsung, perlakuan R3 (200 µg PM) dapat meningkatkan IgA serum lebih tinggi dibandingkan R0B (OD; 0.137 ± 0.040 vs 0.085 ± 0.026). Hal ini menunjukkan bahwa PM sebagai oral adjuvan dapat meningkatkan IgA serum broiler. Namun demikian respon PM terhadap peningkatan titer antibodi terlihat lebih cepat (satu minggu setelah vaksinasi pertama) dibandingkan peningkatan IgA serum. Nilai optical density (OD) IgA serum ayam broiler yang diperoleh mencapai 0.137, hasil ini hampir sama yang dilaporkan oleh Worrall et al. (2009) bahwa vaksinasi sebanyak 0.03 ml secara intranasal dengan sialidase/neuraminidase dari Clostridium perfringens tipe A 107 dan citosan sebagai adjuvan vaksin AI H5N1 memberikan nilai OD IgA mukosa berkisar antara 0.12-0.18 selama lima minggu pengamatan. Mekanisme bagaimana PM ini dapat menstimulasi pembentukan immunoglobulin belum diketahui secara pasti. Diduga sel-sel limfosit dipermukaan sel epitel usus teraktivasi oleh antigen H5N1 bersama PM dipermukaan mukosa, selanjutnya bersirkulasi ke seluruh tubuh dan mengaktifkan respon imun sistemik atau sistem imun keseluruhan. Pada umumnya, permukaan luar mukosa dipenuhi oleh folikel yang terorganisir, elemen limfoid yang tersebar dan bersifat antigen reaktif, termasuk sel B, limfosit T, sel T dan sel plasma dan berbagai elemen seluler yang terlibat dalam induksi dan terjadinya respon kekebalan (Sudarisman 2006). Penggunaan bahan sejenis dengan PM yaitu MOS sebagai immunostimulan hasilnya bervariasi. Savage et al. (1996) melaporkan bahwa penambahan BioMOS 1-2 kg/ton pada pakan kalkun starter dapat meningkatkan respon imun 40 tercermin dari meningkatnya IgG serum dan IgA cairan empedu. Selain itu dapat meningkatkan pertambahan bobot badan serta menurunkan konversi ransum. Sebaliknya Spearman (2004) melaporkan bahwa suplementasi Bio-MOS 10 g/ekor/hari tidak dapat meningkatkan konsentrasi IgA serum pada kuda. Titer Antibodi AI dan Imunoglobulin A (IgA) Serum Ayam Petelur Pengaruh perlakuan terhadap titer antibodi AI H5N1 ayam petelur disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Pengaruh penggunaan polisakarida mannan (PM) dari BIS sebagai oral adjuvan vaksin AI inaktif terhadap titer antibodi (HI log2) petelur Minggu setelah Minggu setelah vaksinasi pertama vaksinasi kedua 1 2 1 2 3 R0A 3.67±0.58 4.33±0.58 4.67±1.15 6.50±0.71 4.33±0.58 5.50ab±0.71 R0B 5.00±0.00 6.33±1.15 4.67±1.15 5.33±0.58 3.67 ±1.15 4.33b ±0.58 R1 4.33±0.58 6.33±0.58 5.67±0.58 6.67±1.53 5.00±2.00 6.00ab±1.73 R2 0.00±0.00 5.33±1.53 4.67±0.58 6.33±1.15 6.33 ±0.58 7.00a ±0.00 R3 4.00±1.00 5.50±0.71 4.67±1.15 5.00±0.00 5.00 ±1.00 4.33b ±1.15 Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda kearah kolom menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05) R0A (tidak divaksinasi), R0B (vaksinasi dengan antigen H5N1 + 0 µg PM), R1 (vaksinasi dengan antigen H5N1 + 50 µg PM), R2 (vaksinasi dengan antigen H5N1 + 100 µg PM), R3 (vaksinasi dengan antigen H5N1 + 200 µg PM). Perlakuan Sebelum vaksinasi Selanjutnya pengaruh perlakuan terhadap OD IgA serum ayam petelur disajikan pada Gambar 20. Gambar 20 Pengaruh penggunaan PM dari BIS sebagai oral adjuvan vaksin AI inaktif terhadap optical density (OD) IgA serum ayam petelur umur 16-21 minggu. 41 Pengaruh penggunaan PM sebagai oral adjuvan vaksin AI inaktif terhadap titer HI (Tabel 9) menunjukkan bahwa satu sampai dua minggu setelah vaksinasi pertama maupun kedua semua perlakuan tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap titer antibodi ayam petelur. Namun demikian tiga minggu setelah vaksinasi kedua, titer antibodi ayam pada perlakuan R2 (100 µg PM) nyata (P<0.05) lebih tinggi dibandingkan R0B (7.00 log2 vs 4.33 log2), tetapi secara statistik tidak berbeda nyata dibandingkan R0A. Hal ini juga terlihat dari nilai titer yang meningkat selama lima minggu pengamatan. Tampaknya komponen mannan dari BIS dapat meningkatkan imunogenisitas antigen H5N1 inaktif atau memainkan peran untuk merangsang sistem kekebalan lebih aktif untuk pembentukan antibodi pada ayam petelur. Rataan titer HI pada penelitian ini cukup tinggi dibandingkan vaksinasi secara intramuskuler yang telah dilakukan oleh Indriani et al. (2004) bahwa respon titer antibodi ayam buras yang divaksinasi dengan vaksin cair A/Jatim/2003 (H5N1) inaktif setelah tiga minggu pasca vaksinasi, dengan rataan respon titer 3.94 log2 atau titer 15.78. Selanjutnya Indriani et al. (2005) melaporkan bahwa vaksinasi pada ayam petelur umur 3 minggu menggunakan isolat lokal AI subtipe H5N1 inaktif A/Chicken/West Java/67-2/2003 dengan adjuvan Drakeol 6 VR (10% arlacel 80 (sorbitan monooleate) dan 1% tween 80) dan vaksin komersial dengan dosis 0.5 ml/ekor. Pada saat 8 minggu setelah vaksinasi memiliki rataan titer antibodi 4.04 log2 dan 4.14 log2 secara berurutan dan mampu memberikan proteksi 90% terhadap virus tantang. Penggunaan bahan yang sama yaitu PM dari BIS telah dilaporkan oleh Tafsin (2007) bahwa titer antibodi ND tidak dipengaruhi oleh perlakuan penggunaan PM. Sebaliknya, penggunaan PM pada tingkat 1 000; 3 000; dan 4 000 ppm dalam ransum titer IBD nyata lebih tinggi dibandingkan kontrol. Hasil tersebut menunjukkan adanya aktivitas immunostimulan dari PM pada ternak ayam. Gambar 20 menunjukkan bahwa penggunaan PM sebagai oral adjuvan vaksin AI inaktif berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap peningkatan IgA serum ayam petelur, satu minggu setelah vaksinasi pertama dan tiga minggu setelah vaksinasi kedua. Uji kontras ortogonal menunjukkan bahwa perlakuan R2 42 (100 µg PM) meningkat sangat nyata 3.21 kali lebih tinggi dibandingkan R0B (OD: 0.215 ± 0.078 vs 0.067 ± 0.004). Selanjutnya perlakuan R2 meningkat kembali sangat nyata 4.07 kali lebih tinggi dibandingkan R0B (OD: 0.334 ± 0.001 vs 0.082 ± 0.013), demikian juga perlakuan R1 (50 µg PM) meningkat sangat nyata 1.89 kali lebih tinggi dibandingkan R0B (OD: 0.155 ± 0.044 vs 0.082 ± 0.013) tiga minggu setelah vaksinasi kedua berlangsung. Namun demikian secara statistik perlakuan R2 (100 µg PM) dianggap lebih baik, karena dapat meningkatkan IgA serum dua kali periode mingguan. Hal ini mengindikasikan bahwa PM sebagai oral adjuvan vaksin AI inaktif dapat merespon peningkatan IgA ayam petelur, tercermin dari nilai OD yang sangat tinggi. Vaksinasi antigen H5N1 tanpa PM secara oral tidak dapat meningkatkan IgA serum ayam petelur dibandingkan ayam yang tidak divaksinasi selama penelitian berlangsung. Nilai optical density (OD) IgA serum ayam petelur pada penelitian ini berkisar antara 0.215-0.334 lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Worrall et al. (2009) bahwa penggunaan vaksinasi sebanyak 0.03 ml secara intranasal dengan sialidase/neuraminidase dari Clostridium perfringens tipe A 107 dan citosan sebagai adjuvan vaksin AI H5N1 memberikan nilai OD IgA mukosa berkisar antara 0.12-0.18. Hal ini menunjukkan bahwa PM dari BIS dapat digunakan sebagai bahan adjuvan vaksin. Tampaknya penggunaan pada tingkat 100 µg PM konsisten meningkatkan IgA ayam petelur. Dugaan yang muncul menjelaskan fenomena ini yaitu sel-sel plasma di dalam jaringan limfoid yang berhubungan dengan usus dapat menanggapi rangsangan antigen H5N1 bersama PM di permukaan mukosa. Sehingga komponen mannan dari BIS mampu memainkan peran untuk merangsang sistem kekebalan lebih aktif untuk pembentukan imunoglobulin A. Induksi kekebalan mukosa dimulai ketika antigen kontak atau berhubungan dengan sel limfoid dalam atau di bawah epitelium (Mayhofer 1994). Respon saliva IgA terhadap antigen oral dapat diinduksi oleh dua mekanisme. Pertama antigen oral dapat menstimulasi proliferasi dan diferensiasi sel limfoid secara lokal di kelenjar saliva. Antigen oral masuk dan ditangkap oleh makrofag dibawa ke sel T dan sel B. Mekanisme kedua melibatkan migrasi antigen-sensitized IgA prekursor sel B dari GALT (gut-associated lymphoid tissue) ke kelenjar saliva. 43 Sel microfold (sel M) yang mengambil dan mentransportasikan antigen dari lumen intestinal ke jaringan limfoid di bawahnya. Setelah antigen dipresentasikan oleh sel aksesori maka sel B dan prekursor IgA dan sel T meninggalkan GALT lewat limfatik eferen dan mencapai darah perifer melalui thoracic duct (Marcotte et al. 1998; Van Ginkel et al. 2000). Kekebalan pada permukaan mukosa terutama terdiri atas CD4+ sel, secretory Imunoglobulin A (S-IgA), dan T lymphocytes yang bersifat antigen spesifik sitotoksik atau cytotoxic T lymphocytes (CTLs) (Van Ginkel et al. 2000). Peningkatan IgA serum juga dapat meningkatkan IgA sekretori di permukaan mukosa. Tizard (1982) menjelaskan bahwa sebagian besar dari IgA berdifusi langsung ke dalam lumen usus, sewaktu berdifusi bergabung dengan komponen sekretori yang dibuat oleh sel epitel usus. Tetapi dalam jumlah yang cukup juga berdifusi ke dalam sirkulasi porta dan dibawa ke hati. Hepatosit membuat komponen sekretori dan menggabungkannya ke dalam membrannya yang berlaku sebagai reseptor IgA. Konsentrasi IgA di dalam serum maupun mukosa (IgA sekretori) ayam belum diketahui secara pasti tingkat yang protektif terhadap suatu penyakit tertentu. Namun demikian Tizard (1982) menjelaskan bahwa tingkat imunoglobulin serum masing-masing: IgG; 300-700 mg/100 ml serum, IgM; 120250 mg/100 ml serum dan IgA; 30-60 mg/100 ml serum. Penggunaan bahan yang sejenis dengan PM yaitu MOS sebagai adjuvan telah dilaporkan oleh Pietersz et al. (2008) bahwa vaksinasi menggunakan 10 µg antigen H5N1 + mannan dari Saccharomyces cerevisiae dengan rasio 1:10 secara intranasal pada tikus, dapat meningkatkan level IgA dengan nilai OD 1.75-3.5. Hasil ini sangat tinggi jika dibandingkan dengan OD IgA serum ayam yang diperoleh pada penelitian ini. Hal ini disebabkan karena jenis ternak yang digunakan berbeda. 44 Titer Antibodi AI dan Imunoglobulin A (IgA) Serum Itik Pengaruh perlakuan terhadap titer antibodi AI H5N1 pada itik disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Pengaruh penggunaan polisakarida mannan (PM) dari BIS sebagai oral adjuvan vaksin AI inaktif terhadap titer antibodi (HI log2) itik Minggu setelah Minggu setelah vaksinasi pertama vaksinasi kedua 1 2 1 2 3 a R0A 2.50±0.70 3.33 ±0.58 2.50±0.70 0.00±0.00 0.00±0.00 0.00±0.00 b R0B 3.00±1.41 0.00 ±0.00 0.00±0.00 0.00±0.00 0.00±0.00 0.00±0.00 a R1 0.00±0.00 4.00 ±1.73 1.50±0.71 0.00±0.00 0.00±0.00 0.00±0.00 b R2 3.00±0.00 0.00 ±0.00 0.00±0.00 0.00±0.00 0.00±0.00 0.00±0.00 a R3 3.50±0.70 2.50 ±0.70 3.00±0.00 0.00±0.00 0.00±0.00 0.00±0.00 Keterangan : Superskrip dengan huruf yang berbeda kearah kolom menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05) R0A (tidak divaksinasi), R0B (vaksinasi dengan antigen H5N1 + 0 µg PM), R1 (vaksinasi dengan antigen H5N1 + 50 µg PM), R2 (vaksinasi dengan antigen H5N1 + 100 µg PM), R3 (vaksinasi dengan antigen H5N1 + 200 µg PM). Perlakuan Sebelum vaksinasi Selanjutnya pengaruh perlakuan terhadap IgA serum itik disajikan pada Gambar 21. Gambar 21 Pengaruh penggunaan PM dari BIS sebagai oral adjuvan vaksin AI inaktif terhadap optical density (OD) IgA serum itik umur 14-19 minggu. Pengamatan mingguan (Tabel 10) menunjukkan bahwa sebelum vaksinasi rataan titer HI itik antara 0.00-3.50 log2 yang berada dibawah titer protektif (4 log2). Pengamatan satu minggu setelah vaksinasi pertama, perlakuan berpengaruh nyata terhadap titer antibodi AI. Uji lanjut menggunakan kontras ortogonal menunjukkan bahwa perlakuan R1 nyata (P<0.05) lebih tinggi 45 dibandingkan R0B. Sebaliknya, dua minggu setelah vaksinasi pertama perlakuan maupun kontrol memiliki nilai titer HI yang semakin rendah. Hal ini menunjukkan bahwa antigen H5N1 bersama PM hanya mampu merespon pembentukan antibodi selama satu periode mingguan saja dan tidak konsisten meningkatkan titer antibodi itik. Bahkan setelah vaksinasi kedua berlangsung semua perlakuan maupun kontrol tidak memiliki nilai titer (0). Hal ini disebabkan karena kandungan antibodi pada sampel serum tersebut sedikit sekali. Pada penelitian ini virus standar yang digunakan 4 HAU (setara dengan 4 x 106 partikel virus), jika antibodi yang ada pada serum tidak dapat menetralisir semua virus standar maka virus yang tidak ternetralisasi akan mengaglutinasi sel darah merah. Titer antibodi AI yang sangat rendah dan bahkan nol pada itik, hal ini kemungkinan disebabkan antigen H5N1 yang digunakan bukan isolat dari itik melainkan dari ayam. Kemungkinan lain vaksinasi secara oral tidak cukup untuk menginduksi atau meningkatkan respon imun spesifik IgG, diduga akibat terjadinya pengenceran antigen didalam saluran pencernaan dan pada saat memasuki sirkulasi darah. Pastoret et al. (1997) menjelaskan bahwa saat memasuki sirkulasi darah, virus AI inaktif menjadi terencerkan oleh volume darah dan di dalam sirkulasi darah banyak ditemukan makrofag yang akan memfagosit virus AI inaktif sehingga tidak semua mencapai target organ limfoid. Namun demikian diduga dapat meningkatkan respon imun spesifik IgA pada permukaan mukosa (IgA sekretori). Hal tersebut tercermin dari peningkatan IgA serum itik pada penggunaan 50 dan 200 µg PM. Hasil penelitian yang dilakukan pada itik memberikan gambaran bahwa vaksinasi dengan antigen H5N1 + PM secara oral hanya meningkatkan titer antibodi dalam waktu singkat. Sebaliknya, Mahardika et al. (2008) melaporkan bahwa titer antibodi pada itik Bali yang divaksinasi secara injeksi dengan menggunakan dua kali dosis anjuran memiliki titer antibodi yang sangat tinggi daripada menggunakan satu dan setengah dosis. Akan tetapi titer antibodi pada itik dengan menggunakan satu dan setengah dosis tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Itik sebaiknya divaksinasi walaupun virus AI tidak menyebabkan penyakit yang nyata pada unggas air (asymptomatic). Namun demikian jika terinfeksi virus, 46 pencemaran virus dari kotoran unggas ini dapat dikurangi. Karena unggas air merupakan reservoir semua subtipe virus influenza A, tetapi infeksi pada spesies ini secara umum tidak menunjukkan gejala klinis, namun dapat menularkan virus ke ayam dan menyebabkan akibat yang fatal (Tumpey et al. 2002). Virus bereplikasi di gastrointestinal itik, sehingga shedding virus bersama feses ditransmisikan ke unggas atau mamalia lain melalui fecal-oral (Sturm-Ramirez et al. 2004). Wabah avian influenza di Kabupaten Pandeglang pada bulan Oktober 2004 dan di Kabupaten Sukabumi Februari 2005. Dimana wabah AI telah membunuh hampir semua ayam kampung dalam suatu populasi yang dipelihara bersama itik, tetapi itik tersebut masih hidup dan sehat tanpa menunjukkan gejala sakit (Dharmayanti et al. 2004; 2005a; 2005b). Gambar 21 memperlihatkan bahwa dua minggu setelah vaksinasi pertama berlangsung semua perlakuan belum memperlihatkan respon terhadap peningkatan IgA serum itik. Respon perlakuan mulai terlihat satu minggu setelah vaksinasi kedua, dimana perlakuan R3 (200 µg PM) cenderung berpengaruh (P=0.09) terhadap konsentrasi IgA serum dibandingkan R0B (OD: 0.149 ± 0.099 vs 0.056 ± 0.005). Selanjutnya dua minggu setelah vaksinasi kedua, perlakuan R1 (50 µg PM) nyata (P<0.05) meningkatkan IgA serum itik dibandingkan R0B (OD: 0.157 ± 0.076 vs 0.064 ± 0.018). Vaksinasi antigen H5N1 tanpa PM secara oral tidak dapat meningkatkan IgA serum itik dibandingkan itik yang tidak divaksinasi selama penelitian berlangsung. Tampaknya penggunaan 50 dan 200 µg PM dapat menigkatkan IgA serum itik pada periode mingguan yang berbeda. Namun demikian secara statistik perlakuan R1 (50 µg PM) dianggap lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa komponen mannan dari BIS sebagai adjuvan dapat merangsang sistem kekebalan lebih aktif untuk pembentukan imunoglobulin A. Fungsi IgA pada permukaan mukosa seperti yang dijelaskan oleh Shashidara et al. (2003) bahwa sel pertahanan tubuh pada saluran pencernaan yang dikenal dengan GALT (gut associated lymphoid tissue) mendeteksi kehadiran mikroba akibat adanya molekul unik yang disebut PAMP (pathogenassociated molecular pattern) yang selanjutnya akan mengaktifkan sistem kekebalan seperti fagositosis dan jalur lektin. Studi lain menyebutkan bahwa 47 kekebalan mukosa dimediasi oleh IgA dan mengaktifkan sistem komplemen melalui jalur lektin. IgA disekresikan ke seluruh permukaan mukosa tubuh dan memainkan peranan penting dalam mekanisme pertahanan terhadap mikroorganisme yang masuk (Ross et al. 2001). Ig A berperan sebagai proteksi terhadap mikroorganisme dan benda asing pada jaringan mukosa mulut melalui berbagai mekanisme, yaitu membunuh mikroorganisme secara langsung (direct killing), aglutinasi, inhibisi perlekatan dan penetrasi mikroorganisme, inaktivasi enzim bakteri dan toksin, netralisasi virus, aktivasi komplemen, fungsi IgAdependent cell-mediated (Marcotte & Lovie 1998). Penggunaan bahan immunostimulan dari polisakarida dan kompleks polisakarida-protein karena kemampuan bioaktif bahan tersebut untuk merangsang beragam sel sistem kekebalan diakibatkan variabilitas dan beragamnya struktur dari makromolekul ini. Berbeda dengan protein dan asam nukleat, polisakarida mengandung struktur yang berulang yang merupakan polimer dari monosakarida dan mempunyai kapasitas yang tinggi untuk membawa informasi biologis karena mempunyai variasi struktur yang lebih besar (Ooi dan Liu 2000). Polisakarida mengandung mannan yang diperoleh dari BIS dengan cara ekstraksi tidak dikhawatirkan adanya efek kontaminasi dengan mikroorganisme. Dibandingkan dengan komponen mannan yang diperoleh dengan cara melakukan fermentasi dibutuhkan suatu bioreaktor atau tabung fermentor dengan suhu dan waktu tertentu, selain itu pengaruh kontaminasi dengan mikrooganisme yang tidak diharapkan cukup tinggi. Informasi penggunaan polisakarida mannan dari BIS sebagai oral adjuvan belum pernah dilakukan, namun penggunannya sebagai imbuhan pakan telah dilakukan tetapi masih sangat terbatas. Berbeda dengan mannanoligosakarida (MOS) dari ekstrak dinding sel ragi S cerevisiae dan produknya berupa Bio-MOS secara komersil sudah banyak digunakan. MOS dari S cerevisiae juga dapat digunakan sebagai bahan adjuvan vaksin (Apostolopoulos et al. 1995; Pietersz et al. 2008). Penggunaan polisakarida selain dari PM dan MOS telah dilaporkan oleh Porporatto et al. (2005) bahwa pemberian antigen bersama polisakarida citosan 48 dari citin atau enkapsulasi dengan polisakarida citosan menunjukkan perbaikan pada sistem mukosa dan respon kekebalan humoral, namun mekanismenya belum sepenuhnya diketahui. Studi lain menyebutkan bahwa penggunaan Japanese herbal (Kampo) dengan vaksin influenza dalam bentuk oral yang diberikan secara intranasal, secara nyata dapat meningkatkan IgA spesifik dan titer antibodi IgG pada tikus (Kiyohara et al. 2006). Hasil-hasil penelitian sampai saat ini yang menunjukkan bahwa vaksin mukosal merupakan vaksin yang potensial digunakan dimasa mendatang untuk dapat melindungi hewan dan juga manusia dari penyakit virus, terutama yang ditularkan melalui mukosa (Sudarisman 2006). Strategi vaksinasi yang mengandung tidak hanya virus yang sudah dilemahkan tetapi dapat dikombinasikan dengan adjuvan mukosal yang kuat, seperti QS-21 yaitu saponin yang diturunkan dari kulit kayu pohon di Amerika Selatan (Quillaja saponaria Molina) (Van Ginkel et al. 2000). Penggunaan vaksin mukosal guna pencegahan penyakit AI telah banyak dipelajari dan telah terbukti keefektifannya. Untuk pengembangan vaksin guna pencegahan avian influenza (AI) pada unggas, Chen et al. (2001) telah mengembangkan vaksin inaktif dengan adjuvan cholera toxin (CT), dan juga suatu oligodeoxynucleotide sintetik yang mengandung imunostimulan CpG motif (CpG DNA) yang dibuat dalam bentuk serbuk dan mampu menimbulkan antibodi dalam serum dan antibodi mukosa. Tumpey et al. (2001) melaporkan bahwa vaksin AI H3N2 dengan menggunakan modified E. coli head labile sebagai adjuvan dapat melindungi mencit 100% terhadap tantangan dengan virus highly pathogenic AI H5N1, sedangkan jika vaksin diberikan secara subkutan tidak dapat melindungi dan tidak menunjukkan adanya penurunan virus pada jaringan paru-paru 5 hari setelah ditantang.