MEREKA BICARA

advertisement
MEREKA BICARA
MEREKA BICARA
Tags :
Author : : Administrator
Terakhir disunting : : Feb 13, 2013
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sudah merilis peraturan baru mengenai sistem tarif (feed in tariff) listrik
panas bumi dari pengembang swasta kepada PT PLN (Persero).
Revisi tarif itu tertuang dalam Peraturan Menteri No 22 tahun 2012. Selain menaikkan harga jual listrik, beleid itu masih
memberi peluang negoisasi business to business bagi pengembang yang telah menandatangani perjanjian jual beli listrik
(power purchase agreement/PPA) dengan PLN.
Regulasi baru ini disambut oleh sebagian pelaku bisnis energi sebagai stimulus untuk mengembangkan IPP dari energi
terbarukan. Namun demikian, ada juga yang mempertanyakan mengapa revisi dilakukan hanya untuk panas bumi saja
tidak mencakup mikro hydro. Inilah tugas pemerintah selanjutnya, bagaimana membuat aturan FiT menjadi lebih
kompetitif untuk semua pengusaha energi dengan memberikan jaminan kepastian hukum dan sistem harga yang
berbasis insentif dan jaminan resiko bersama.
Kami mencoba merangkum tanggapan dari beberapa narasumber terkait revisi feed in tariff ini. Berikut petikan
tanggapannya.
Salam,
Irwadhi Marzuki
Fazil E.Alfitri
CEO Medco Power Indonesia
Harus ada Kepastian Hukum
Di negara maju dan berkembang seperti negara tetangga Singapore, perusahaan pengembang IPP mikro hydro
berbasis teknologi bersih mendapatkan insentif fiskal. Sementara di Indonesia hal ini masih sangat jauh dilakukan
karena regulator masih berkutat di kebijakan masalah feed in tariff.
Menurut CEO Medco Power Fazil E.Alfitri, revisi feed in tariff untuk microhydro dan geothermal merupakan regulasi
yang sangat ditunggu oleh pengusaha energi, tetapi pengaturan tentang masalah resiko up stream seharusnya juga
terkait sehingga menjadi stimulus bagi pengusaha untuk terlibat membangun pembangkit dari kedua jenis energi
terbarukan ini.
Investasi untuk drilling panas bumi itu sangat riskan, dari 10 titik pengeboran mungkin hanya 2 titik yang bisa
menghasilkan steam untuk pembangkit. Selama ini aturan untuk menanggung dampak akibat kegagalan ini belum diatur
oleh pemerintah, sehingga ujing-ujungnya investorlah yang harus menanggung beban pendanaan dan property.
Kendala lain terkait dengan pengembangan energi panas bumi dan microhydro menurut Fazil adalah rentannya geo
teknik, padahal pengembangan EBT sangat baik untuk nilai keekonomian, terutama untuk daerah remote dimana listrik
tidak terjangkau oleh PLN.
“Dengan di rilisnya feed in tariff sudah cukup bagus apalagi disertai pemberian insentif. Kepastian hukum harus
diperkuat sehingga tidak merugikan investor. Jangan sampai PPA sudah ditandatangani sesuai harga baru, tetapi
ditengah perjalanan terjadi perubahan kebijakan,― kata Fazil. (DH)
Moh.Manthovani
GMBD Geotermal Rekind  Â
Cost Recovery Harus Dipikirkan
Adanya revisi harga feed in tariff sangat menarik bagi investor. Dilihat dari sisi hilirnya FIT menarik bagi investor, tetapi
di hulu tentunya harus ada insentif karena pada saat drilling sangat menentukan resiko bagi penanam modal terkait
dengan kondisi steem yang dihasilkan. Regulator harus memikirkan cost recovery, seperti pada pengeboran oil and gas,
karena biaya untuk satu titik panas bumi biayanya sangat mahal sekitar USD 8 juta .
Menurut GMBD Geothermal & Solar Rekind, selama ini pemerintah tidak pernah menyentuh sisi ini sehingga investor
akan sangat hati-hati pada tahapan drilling. Investor sudah melakukan pendekatan kepada pemerintah untuk mengcover cost recovery berupa pemberian insentif. Jika hal ini diberikan, maka kesempatan bagi perusahaan energi
menengah akan terangsang untuk ikut berpartisipasi dalam mengembangkan listrik dari panas bumi.
http://www.listrikindonesia.com/
Power By Fisip.net
Created Feb 12, 2013
MEREKA BICARA
“Selama ini hanya investor besar yang mampu melakukan eksplorasi panas bumi karena mereka mempunyai dana yang
kuat,― ungkap Manthovani
Kesempatan untuk terjun ke bisnis ini masih terbuka lebar kalau semua stakeholder memberi jalan untuk pengusaha
energi dengan menanggung biaya drilling bersama. Apalagi saat ini USAID telah berkomitment membantu study
kelayakan bagi pengembangan listrik dari EBT, termasuk geothermal. Hal ini tentu sangat menguntungkan dan investor
akan lebih profent. (DH)
Agus Darmadi
Pengamat Kelistrikan
Kapan FiT Mikrohidro dan Fotofoltaik dirilis?
Feed In Tariff (FiT) untuk Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro(PLTMH) dan fotopoltaik (solar sel) saat ini belum
dikeluarkan oleh pemerintah, padahal pihak regulator sudah berkali-kali menjanjikan untuk memberlakukan harga listrik
EBT ini. Contohnya microhydro sampai 10 MW FIT-nya adalah Rp.656 /kWh tarif ini untuk di Jawa sudah tidak
kompetitif, sehingga perlu revisi .
“Mengapa peraturan untuk 2 jenis EBT ini belum dikeluarkan, sementara itu revisi FiT untuk panas bumi dan mini hydro
sudah dikeluarkan dan itu sangat bagus untuk mendorong pertumbuhan investasi, tetapi untuk hydro dan solar cel
belum dikeluarkan. Akibatnya banyak investor menunggu―, paparnya.
Pengamat energi ini lebih jauh mengungkapkan, di negara maju seperti di Jerman dan di dunia berkembang lainnya FiT
di bidang EBT cukup sehingga sangat atraktif bagi investor, pemerintah yang menerbitkan FiT menyadari bahwa energiÂ
fosil itu suatu saat habis sementara sumber energi terbarukan melimpah.
Pengembangan energi terbarukan bila dilihat dengan terbitnya peraturan FiT sebenarnya sudah langkah maju dibanding
terdahulu. Hal ini sudah memotong halangan birokrasi atau administrasi bagi PLN untuk membuat kontrak di bidang
EBT karena sifat dari FiT itu adalah memberi kewajiban pada PLN untuk membeli listrik dengan harga tertentu tanpa
melalui tender.
Menyinggung kendala pengembangan EBT, mantan karyawan PLN ini menambahkan, secara teknis yang
mempengaruhi harga dalam pengembangan energi terbarukan adalah kondisi Indonesia sebagai negara khatulistiwa
tetapi sinar matahari yang bisa dimanfaatkan kurang efektif tidak lebih dari 12 Jam. Kemudian Mikro/mini hydro,
Indonesia memang negara yang punya sumber daya air tetapi potensinya kurang maksimal karena kita negara
kepulauan. Lain dengan China, sungainya luas sehingga kapasitas pembangitnya bisa dimanfaatkan lebih besar. Hal ini
tentu bisa disiasati, untuk kapasitas 10 MW itu banyak sekali bisa dikembangkan. investasi jadi semakin mahal karenaÂ
Indonesia adalah daerah gempa. Dampaknya adalah pembangunan civil work menguras 70% biaya infrasruktur untuk
jenis PLTH-PLTMH dan hanya 30% digunakan untuk mechanical electrical.
Panas bumi juga masih ada persoalan meskipun Indonesia itu dikenal sebagai ring of fire tetapi sumber panas bumi
berada di luar jangkauan pusat beban, jadi harus harus dibangun transmisi, jenis uapnya bervariasi yang paling
berbahaya adalah uap yang mengandung belerang (sulfur) hal ini akan meningkatkan jumlah biaya investasi karena
semuanya harus antikorosi. Resiko lainnya adalah biaya pengeboran panas bumi yang mencapai USD 5-8 juta satu titik
dengan hasil yang belum pasti.(DH)
Rizqa Derfiora,
Pakar Teknologi Bidang Energi dan Mobilitas Jerman
Perlu UU EBT yang Transparan
Regulasi Feed in Tarif (FiT) di Indonesia, sejauh ini hanya berupa Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
(Permen ESDM). menurut hemat saya, tetap memiliki kekuatan hukum.
Alasan pemerintah Indonesia mengeluarkan aturan FIT untuk Energi terbaharukan melalui peraturan menteri, mungkin
karena alasan efisiensi dan efektifitas. Kalau melalui Undang-Undang (UU) prosesnya akan lebih lama dengan segala
kendala teknis dalam proses di lembaga legislatif.
Di lain sisi, jika pemerintah Indonesia serius dan konsisten dengan visi "25% EBT pada tahun 2025", seyogyanya wajib
diupayakan UU Energi terbarukan yang transparan dan stabil sebagai aturan main "Ekonomi Energi terbarukan". Â Hal
tersebut akan memberikan sinyal positif baik secara nasional maupun internasional. Sekaligus menegaskan kesiapan
Indonesia sebagai bangsa untuk merealisasikan proyek besar "25% EBT pada tahun 2025".
Sebagai benchmark, Indonesia bisa mempelajari apa yang telah dijalankan di Jerman dengan EEG (UU Energi
terbarukan Jerman), kemudian menyelaraskannya sesuai dengan realitas di Indonesia. Dengan visi "25% EBT pada
http://www.listrikindonesia.com/
Power By Fisip.net
Created Feb 12, 2013
MEREKA BICARA
tahun 2025" yang dicetuskan pada akhir  tahun 2010, logisnya UU Energi terbarukan dan FIT telah diimplementasikan
sejak awal 2011. Â
Saya juga berpandangan, regulasi mengenai FIT di Indonesia yang umumnya hanya berdasarkan sistem kontrak
dengan harga konstan selama 20 tahun, bukanlah sebuah kelemahan, dengan catatan harga konstan FIT itu
menguntungkan semua pihak, termasuk investor.
Dari sisi tantangan, menurut saya ke depan yang harus disikapi adalah bagaimana menghapus subsidi listrik dan
subsidi BBM, tetapi tetap pro rakyat. Untuk itu, perlu terobosan-terobosan baru dan kebijakan yang inovatif. Misalnya
untuk daerah pedalaman yang sulit dijangkau jaringan listrik, bisa diaplikasikan sistem hybrid yang mensinergikan genset
diesel yang telah ada dengan sistem PV dan sistem baterai. Dengan sistem hybrid konsumsi diesel bisa dihemat hingga
80%. Pada awalnya kita harus investasi. Namun dalam jangka waktu kurang dari 10 tahun sistem ini akan bebas subsidi.
Plus pro lingkungan hidup dan pada akhirnya pro rakyat. (AB)
http://www.listrikindonesia.com/
Power By Fisip.net
Created Feb 12, 2013
Download