perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB V PEMBAHASAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada anak-anak di SDN Barengan, Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali pada bulan November 2014 didapatkan prevalensi infeksi kecacingan STH sebesar 47,3%. Terdapat peningkatan prevalensi infeksi kecacing STH dibandingkan penelitian sebelumnya yang dilakukan Zulkarnain (2004) pada anak-anak di SDN Salakan II, Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali sebesar 15,68%. Jika dibandingkan dari jenis cacing yang menginfeksi, pada penelitian yang dilakukan penulis didapatkan hasil infeksi kecacingan Ascaris lumbricoides sebesar 25,7%, Hookworm sebesar 13,5%, Trichuris trichiura sebesar 1,3%, dan infeksi ganda Ascaris lumbricoides dengan Hookworm sebesar 6,8%. Sedangkan pada penelitian Zulkarnain (2004), infeksi kecacingan Ascaris lumbricoides sebesar 4,9%, Hookworm sebesar 3,92%, dan Trichuris trichiura sebesar 6,86%. Hasil tersebut terlihat pada penelitian penulis, cacing yang paling dominan menginfeksi adalah cacing Ascaris lumbricoides, sama halnya seperti penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ginting (2009); Osazuwa (2011); Jaya dan Romadilah (2013). Sedangkan pada penelitiaan Zulkarnain (2004) yang paling dominan menginfeksi adalah cacing Trichuris trichiura. Intensitas infeksi kecacingan STH dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu iklim dan kelembapan, sanitasi pribadi maupun lingkungan dan kondisi sosio-ekonomi demografi masyarakatnya (Palgunadi, 2010). Kecamatan Teras memiliki iklim dan kelembapan yang sesuai bagi cacing commit to user 60 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 61 STH untuk tumbuh, terbukti dengan tingginya angka infeksi kecacingan STH. Namun, pemahaman mengenai sanitasi pribadi maupun lingkungan dan kondisi sosio-ekonomi demografi masyarakat antar daerah mungkin tidaklah sama sehingga meyebabkan perbedaan intensitas infeksi kecacingan STH. Pada hasil pemeriksaan hemoglobin, didapatkan prevalensi anemia pada anak-anak di SDN Barengan, Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali sebesar 14,9%. Kemudian antara infeksi kecacingan STH dengan anemia dilakukan analisis bivariat dengan uji Chi Square, didapatkan hasil bahwa kedua variabel yang dinilai tidak berhubungan secara statistik. Analisis bivariat dilanjutkan secara spesifik cacing penyebabnya dengan anemia, didapatkan hasil yang seluruhnya menunjukkan bahwa tidak memiliki hubungan yang signifikan secara statistik. Hasil tersebut sama seperti penelitian yang dilakukan Jaya dan Romadilah (2013) pada 68 anak di SDN 51 Cakranegara, Kota Mataram, bahwa tidak ada hubungan antara infeksi kecacingan STH dengan anemia. Namun, jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Osazuwa (2011) pada 316 anak di Edo, Nigeria, menunjukkan hasil yang signifikan antara infeksi kecacingan Ascaris lumbricoides, dan Hookworm dengan anemia. Faktor yang mempengaruhi kejadian anemia pada orang yang terinfeksi kecacingan STH, diantaranya karena lamanya infeksi, cadangan besi tubuh, asupan makanan, dan kebutuhan besi untuk proses fisiologi tubuh (Bethony et al., 2006). Tahap terjadinya anemia defisiensi besi terbagi menjadi 3 tahap, yaitu tahap Iron Depleted, tahap Iron Deficient erythropoiesis, dan tahap Iron Deficient merupakan tahap terakhir yang dapat menunjukkan manifestasi berkurangnya commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 62 kadar hemoglobin (Muhammad dan Sianipar, 2005). Perbedaan hasil penelitian Osazuwa et al. (2011) dengan penelitian penulis mungkin dikarenakan perbedaan dalam pemeriksaan anemia yang digunakan dan karakteristik status gizi subjek penelitian. Peneliti menggunakan pemeriksaan cyanmethemoglobin yang memberikan hasil kadar hemoglobin yang merupakan indikator anemia tahap Iron Deficient, sedangkan serum ferittin dapat digunakan untuk indikator anemia tahap awal yaitu Iron Depleted sehingga lebih sensitif untuk deteksi dini anemia. Selain itu, pada penelitian Osazuwa et al. (2011) dilakukan pemeriksaan status gizi dan didapatkan hasil malabsorbsi yang nyata pada anak-anak di Edo, Nigeria dengan 37% mengalami stunted, 19,3% mengalami wasted, dan 44% underweight. Diyakini bahwa dengan kondisi status gizi yang buruk sebagai indikator lamanya infeksi kecacingan STH dan akan mempengaruhi kejadian anemia yang dialami. Namun pada penelitian penulis tidak dilakukan pemeriksaan status gizi, hanya dilakukan pemeriksaan asupan nutrisi dengan foodrecall sehingga mungkin mempengaruhi hasil yang tidak signifikan antara infeksi STH dengan anemia pada anak-anak di SDN Barengan, Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali. Pada penelitian Jaya dan Romadilah (2013) hasil yang tidak signifikan antara infeksi kecacingan STH dengan anemia dikarenakan pola makan anak-anak yang bergizi dan seimbang sehingga walaupun terinfeksi kecacingan namun dengan pola makan yang sehat, bergizi, dan seimbang menyebabkan kadar hemoglobin > 12 gr/dl. Berbeda dengan Jaya dan Romadilah (2013), jika pada penelitian penulis hasil yang tidak signifikan antara infeksi kecacingan STH dengan anemia mungkin dikarenakan tahapan terjadinya anemia defisiensi besi pada anak-anak di commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 63 SDN Barengan belum sampai pada tahap akhir yaitu tahap Iron Deficient, sehingga dari hasil pemeriksaan kadar hemoglobin sebagian besar anak dengan infeksi kecacingan STH masih terlihat normal. Mungkin saat ini cadangan besi untuk membuat hemoglobin masih tercukupi, namun tidak menutup kemungkinan anak-anak yang terinfeksi kecacingan STH dengan berjalannya waktu dapat mengalami anemia defisiensi besi jika infeksi kecacingan STH-nya tidak diobati. Selain itu, pada penelitian ini tidak dilakukan hitung kuantitatif telur per gram sehingga tidak bisa menilai lamanya infeksi yang dialami. Mungkin infeksi yang dialami belum mencapai kronis sehingga belum memperlihatkan manifestasi anemia. Berdasarkan analisis bivariat faktor yang mempengaruhi infeksi STH di SDN Barengan, Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali, diantaranya sosial-ekonomi demografi dan sanitasi pribadi menunjukkan bahwa pada hasil sosio-ekonomi demografi tidak ada yang berpengaruh secara signifikan namun secara data, UMK baik ayah maupun ibu lebih banyak dengan penghasilan < UMK. Kelompok masyarakat dengan sosial-ekonomi rendah akan kesulitan untuk menyediakan sanitasi pribadi, sehingga dapat mempengaruhi terjadinya infeksi kecacingan STH (Palganudi, 2010). Sedangkan pada hasil sanitasi pribadi yang berpengaruh diantaranya diperoleh dari hasil kebiasaan menggunakan alas kaki dan penilaian sanitasi pribadi secara keseluruhan. Faktor sanitasi pribadi memang memegang peranan yang penting dalam infeksi kecacingan STH pada anak, diantaranya perilaku tidak mencuci tangan setelah buang air besar, setiap kali mandi tidak menggunakan sabun, tidak mencuci kaki dan tangan dengan sabun setelah commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 64 bermain di tanah, tidak menggunakan alas kaki ketika bermain dan keluar dari rumah, kebersihan kuku tidak dijaga dengan baik, kondisi air yang tidak baik dan sering mengkonsumsi air yang belum matang (Ginting, 2009). Perilaku anak di SDN Barengan, Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali dengan sanitasi yang kurang terutama saat bermain tanpa menggunakan alas kaki menjadi faktor penting dalam penularan rantai infeksi kecacingan STH. Analisis bivariat faktor yang mempengaruhi anemia di SDN Barengan, Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali, menunjukan hasil yang berhubungan secara signifikan pada asupan protein namun tidak signifikan pada asupan energi. Asupan protein dari daging merah merupakan sumber asupan zat besi yang penting dalam pembentukan hemoglobin (Price and Wilson, 2003). Anemia yang terjadi pada anak-anak di SDN Barengan bukan dikarenakan infeksi kecacingan STH, melainkan sesuai dengan analisis mungkin karena asupan protein yang kurang tercukupi. commit to user