BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka
1.
Tinjauan Studi Terdahulu
Penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan aspek pandangan yaitu
pada tahun 2000 oleh Chatarina dari Fakultas Ilmu Budaya UGM berupa tesis
berjudul Aspek-aspek Linguistis Pengungkapan Pandangan Masyarakat
Lewolema terhadap Kesehatan. Tesis ini merupakan inspirasi bagi peneliti.
Tesis tersebut mengkaji pandangan masyarakat Lewolema terhadap kesehatan
yang ditempuh dengan tiga ranah semantik dasar. Penelitian Chatarina ini
membahas
‘pandangan
sehat’,
‘pandangan
sakit’
dan
‘pandangan
penyembuhan’. Chatarina pertama-tama menjelaskan konsep sakit, sehat, dan
penyembuhannya secara linguistik, setelah itu dihubungkan dengan budaya yang
ada di Lewolema.
Selain Tesis Chatarina, ditemukan pula skripsi mahasiswa Sastra Daerah
Fakultas Ilmu Budaya UNS tahun 2008 yang berjudul Istilah-istilah Unsurunsur Sesaji dalam Tradisi Bersih
Desa Gondang,
Kecamatan Gondang,
Kabupaten Sragen oleh Watari dan Istilah-istilah Upacara Jamasan Pusaka di
Waduk Gajah Mungkur Wonogiri oleh Fauza. Skripsi ini mengkaji
istilah
menggunakan monofemis, polifermis, frasa, makna leksikal, makna gramatikal,
dan makna kultural. penulis membagi kajian ini menjadi tiga yaitu bentukbentuk istilah sesaji, makna leksikal unsur-unsur sesaji dan makna kultural dari
sesaji tersebut. Kedua skripsi tersebut hanya mengkaji dari sisi linguistik belum
1
dihubungkan dengan budaya yang ada di tempat penelitian. Hal ini belum sesuai
dengan maksud dari etnolinguistik.
Selain penelitian etnolinguistik dari mahasiswa Sastra Daerah, peneliti
juga menemukan penelitian yang dilakukan mahasiswa Sastra Indonesia
Fakultas Ilmu Budaya UGM, tahun 2012, skripsi berjudul Nama Makanan Kecil
dalam Bahasa Jawa: Sebuah Kajian Etnolinguistik disusun oleh Sari. Skripsi
ini mengkaji nama makanan kecil dalam bahasa Jawa. Makanan kecil ini
difokuskan pada jajanan pasar. Skripsi ini belum menghubungkan etnologi dan
linguistik, tetapi masih memisahkan antara linguistik dan etnologi. Pengkajian
linguistik dilakukan dengan cara menjelaskan pengertian jajanan pasar seperti
arem-arem, apem, srabi, dan clorot, serta mengelompokkan jajanan pasar
berdasarkan bahan dasarnya menggunakan morfologi dan semantik.
Sementara untuk etnologi hanya dijelaskan dari segi budaya seperti
kepercayaan dalam makanan, status sosial yang berhubungan dengan makanan,
kreatifitas dalam pengolahan jajanan pasar, selera makanan, keunikan makanan.
Skripsi ini belum sesuai dengan etnolinguistik karena belum menggabungkan
etnologi dengan linguistik.
Penelitian lainnya yang dilakukan mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas
Ilmu Budaya UNS, tahun 2014, skripsi berjudul Aspek-aspek Lingual
Pengungkap Pandangan
Masyarakat Karangbolong dan Karangduwur
terhadap Ritual Pengunduhan Sarang Burung “Lawet” Kajian Etnolinguistik
oleh Maharani. Skripsi ini mendeskripsikan aspek-aspek lingual (kata, frasa,
kalimat), satuan lingual berdasarkan konteks sosial dan budaya, dan wacana
yang
menjadi
pengungkap
pandangan
2
masyarakat
Karangbolong
dan
Karangduwur terhadap ritual pengunduhan sarang burung lawet. Penelitian
Haniffah ini mengkaji aspek-aspek lingual mantra dan sambutan-sambutan pada
saat ritual pengunduhan sarang burung Lawet, skripsi ini juga mendeskripsikan
pandangan masyarakat Karangbolong dan Karangduwur terhadap ritual
pengunduhan sarang burung lawet dari bahasa yang digunakan. Skripsi ini
sesuai dengan etnolinguistik karena sudah menggabungkan linguistik dengan
etnologi.
Pengkajian etnolinguistik skripsi tersebut yaitu menjelaskan aspek-aspek
lingual berupa kata, frasa, kalimat, dan satuan lingual terdapat pada mantra dan
sambutan-sambutan yang menjadi pengungkap pandangan masyarakat dengan
menggunakan semantik. Satuan lingual yang telah dijelaskan itu kemudian
dihubungkan dengan konteks sosial dan budaya yang ada di Desa Karangbolong
dan Karangduwur.
Selain penelitian berupa skripsi, Penulis juga menemukan penelitian yang
berhubungan dengan RBDM yang berupa tugas akhir (TA) oleh Priabada yang
berjudul Potensi dan Pengembangan Wisata Budaya Mandhasiya di
Tawangmangu. Penelitian ini menitikberatkan pada sejarah adanya RBDM,
Potensi upacara adat Mandhasiya, pengembangan obyek wisata budaya
Mandhasiya, dan kendala pengembangan obyek wisata Mandhasiya. Pada TA
Priabada terdapat data-data tentang RBDM yaitu sejarah adanya ritual bersih
desa Mandhasiya lengkap dengan tata cara dan urut-urutan pelaksanaan RBDM.
Sealin TA milik Dimas Priabada peneliti juga menemukan penelitian yang
dilakukan oleh mahasiswa Program Pasca Sarjana UNS oleh Purwanto, dkk
yang berjudul Mondosio Relevansinya dengan Kebudayaan dan Lingkungan.
3
Penelitian ini dilakukan di dua desa yaitu Blumbang dan Pancot. Penelitian ini
membahas relevansi Mondosio dengan kebudayaan, Mondosio dengan
lingkungan, dan Mondosio dengan kebudayaan dan lingkungan. Penelitian ini
membantu peneliti dalam melengkapi data skripsi.
Penulis juga menemukan penelitian yang dilakukan Dosen Ilmu Sejarah
FIB UNS oleh Agus berjudul Tradisi Lisan pada Upacara Tradisi Bersih Desa
Mandhasia di Tawangmangu Karanganyar Jawa Tengah. Penelitian ini
mendeskripsikan cerita di balik adanya RBDM dan penelitian ini difokuskan
pada pendeskripsian urutan diselenggarakannya RBDM. Penelitian ini
membantu peneliti dalam melengkapi data skripsi.
2.
Landasan Teori
Duranti menyatakan, antropologi linguistik (linguistic anthrapalogy) dan
linguistik antropologi (anthrapalogical linguistic) adalah ilmu yang berbeda. hal
ini terlihat pada pendapatnya “I will suggest that the difference between the
names „linguistic anthrapalogy‟ and „anthrapalogical linguistic‟ has to do with
different histories, professional identities, and theoretical interests” artinya
‘menurut pendapat saya perbedaan antropologi linguistik dan linguistik
antropologi berkenaan dengan perbedaan sejarah, identitas profesional, dan
kepentingan teoretis’ (Duranti, 2001:2).
Selain itu, Duranti juga memaparkan antropologi linguistik yang
merupakan salah satu dari banyaknya disiplin ilmu yang didedikasikan untuk
peran ilmu bahasa dan pada bidang lain antropologi linguistik berperan dalam
membentuk kehidupan sosial para individu dan masyarakat (2001:1).
Berdasarkan uraian tersebut antropologi linguistik bukanlah sinonim dari
4
linguistik antropologi. Guna memahami dua konsep tersebut, dipaparkan
konsep-konsep teoretis dan istilah-istilah berkaitan.
a.
Pengertian Etnolinguistik
Banyak ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai etnolinguistik. Di
bawah ini akan dijelaskan tentang etnolinguistik.
Menurut Widiarto, istilah etnolinguistik atau antropologi linguistik yaitu
suatu ilmu yang asal mulanya bersangkutan erat dengan ilmu antropologi.
Seiring dengan berjalannya waktu, antrapalinguistik atau etnolinguistik meneliti
bahasa-bahasa suku bangsa yang masih sederhana (primitif) dan belum ditulis,
yang artinya berbentuk bahasa lisan (2000:4-5).
Antropolinguistik menurut Sibarani adalah cabang linguistik yang
mempelajari variasi dan penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan
perkembangan waktu, perkembangan tempat komunikasi, sistem kekerabatan,
pengaruh kebiasaan etnik, kepercayaan, etika berbahasa, adat istiadat,, dan polapola kebudayaan lain dari suku bangsa (2004:50).
Ahimsa berpendapat bahwa istilah etnolinguistik muncul ketika para ahli
melakukan penelitian lapangan dengan lebih serius dan professional pada awal
abad 20. Penelitian lapangan ini di pelapari oleh ahli antropologi Inggris,
Bronislaw Malinowski di Pulau Trobiand. Malinowski tinggal dengan orang
Trobiand selama dua tahun lebih. Malinowski hidup dengan orang-orang
Trobiand dan belajar bahasa mereka agar dapat bercakap-cakap dan mengetahui
budaya serta pandangan hidup mereka dengan baik
Kelahiran etnolinguistik sangat erat hubungannya dengan hipotesis
‘Sapir-Whorf’, Hipotesis ini dikembangkan oleh Benyamin L. Whorf. Whorf
5
berpendapat bahwa cara orang memandang, memahami, serta menjelaskan
berbagai macam gejala atau peristiwa yang dihadapinya, sebenarnya sangat
dipengaruhi bahasa yang digunakannya. Bahasa yang dimiliki oleh masyarakat,
tanpa
disadari
mempengaruhi
cara
masyarakat
tersebut
memandang
lingkungannya (1997:2-3).
Menurut Kooij dan S. C. Dik, selain hipotesis Sapir-Whorf, terdapat
pandangan lain bahwa bahasa itu menunjukkan bangsa, maksud budaya dan
kekayaan budaya suatu kelompok etnik tertentu tersusun di dalam bahasanya
khususnya leksikon, misalnya masyarakat Indonesia yang tergolong agraris
memiliki leksikal yang berkaitan dengan padi, beras, nasi, menir, dan lain
sebagainya. Etnolinguistik atau linguistik antropologi ialah nama bagi telaah
hubungan antara bahasa, masyarakat, dan kebudayaan (1994:50).
b.
Kajian Etnolinguistik
Menurut Ahimsa etnolinguistik dapat dikaji menjadi dua golongan, yaitu
pertama, kajian linguistik yang memberikan sumbangan bagi etnologi.
Sumbangan itu berupa pandangan hidup suatu masyarakat yang tercermin dari
bahasa mereka. Selain tentang pandangan hidup, kajian tentang bahasa dan
maknanya akan memungkinkan kita mengetahui cara memandang kenyataan
yang ada di kalangan pendukung bahasa yang kita teliti, artinya kita dapat
mengetahui dimensi-dimensi kenyataan mana yang mereka anggap penting dan
relevan dalam kehidupan mereka, dan dari sini kita dapat merngetahui tempat
unsure kenyataan tertentu dalam kehidupan mereka. Bahasa juga mencerminkan
struktur yang ada dalam pemikiran manusia, walaupun belum atau bukan
merupakan keseluruhan struktur. Dari struktur
6
pemikiran ini kita dapat
memgetahui perubahan dalam masyarakat. Perubahan dalam masyarakat dapat
diketahui dari frekuensi penggunaan suatu kata dalam kehidupan sehari-hari dan
juga dari bertambah atau berkurangnya kosa kata yang ada dalam suatu bahasa.
Kajian kedua menurut Ahimsa yaitu kajian etnologi yang memberikan
sumbangan untuk
linguistik. Sumbangan tersebut berkaitan dengan sejarah
kebudayaan suatu suku bangsa yang direkontruksi oleh seorang ahli antropologi
yang akan bermanfaat bagi seorang ahli bahasa yang tertarik pada persebaran
bahasa dan sejarah persebaran tersebut. Dari sejarah kebudayaan itu kita dapat
mengetahui kebudayaan yang hidup dalam masyarakat, melalui kebudayaan itu
akan lebih mudah untuk mengetahui makna kebahasaan. Konteks kebahasaan
yang terkait erat dengan konteks sosial budaya masyarakat pemilik bahasa
sangat beragam, dan seorang ahli bahasa tidak selalu mampu menggali berbagai
dimensi semantis dari suatu kata (1997:4-9).
Ahimsa juga menjelaskan bahwa dari sejarah kebudayaan dapat diketahui
kebudayaan yang ada dalam masyarakat. Kebudayaan tidak dapat dilepaskan
dari bahasa, inilah asal muasal etnolinguistik. Untuk meneliti bahasa yang ada di
masyarakat, tidak dapat dilepaskan dari budaya masyarakat tersebut. Melalui
budaya kita dapat mengetahui makna bahasa. Hal ini penting dalam studi
bahasa yaitu semantik atau studi mengenai makna-makna yang ada dalam
sebuah bahasa (1997-9).
Para ahli bahasa sering kali mampu menyusun suatu kamus yang berisi
kata bahasa asing-nasional maupun lokal dengan lengkap, tetapi tidak banyak
yang mampu menyusun suatu kamus dengan kata-kata dan makna yang lengkap
karena suatu kata seringkali mempunyai makna yang berbeda-beda, yang
7
ditentukan oleh konteks di mana kata tersebut muncul dengan konteks
sosial budaya masyarakat pemilik bahasa tersebut, sangat beraneka ragam,
dan ahli bahasa tidak selalu mampu menggali berbagai dimensi semantis dari
suatu karena memerlukan penelitian lapangan dengan waktu yang cukup lama.
Dalam konteks ini etnologi dapat memberikan sumbangan pada linguistik
(Ahimsa, 1997:9-10).
c.
Masyarakat Bahasa
Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut
suatu sistem adat-istiadat yang bersifat kontinyu dan terikat oleh rasa identitas
bersama
(Koentjaraningrat,
1990:146-147).
Menurut
Poerwadarminta,
masyarakat merupakan pergaulan hidup, sehimpunan orang yang hidup
bersama di suatu tempat dengan ikatan-ikatan atau aturan tertentu. Dapat
dikatakan bahwa masyarakat merupakan sekelompok manusia yang hidup
bersama
untuk berinteraksi
dalam
suatu aturan yang bersifat kontinyu
(1976:636).
Masyarakat yang menggunakan bahasa yang relatif sama dan penilaian
yang sama terhadap norma-norma serta pemakaian bahasa yang dipergunakan
dalam suatu masyarakat itu, dapat dikatakan dengan masyarakat bahasa.
Masyarakat
bahasa di dalam
KBB1 mempunyai arti kelompok
yang
mempunyai bahasa yang sama atau yang merasa termasuk dalam kelompok
itu, atau yang berpegang pada bahasa yang sama (2007:721). Chaer menjelaskan
bahwa masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang merasa menggunakan
bahasa yang sama (2007:59-60).
8
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat
bahasa adalah masyarakat yang hidup berdampingan dan menggunakan bahasa
yang sama dalam berkomunikasi atau setidak-tidaknya dapat dipahami antara
satu dan lainnya.
d.
Hubungan Bahasa dan Kebudayaan
Sibarani menjelaskan hubungan bahasa dan kebudayaan, bahasa berperan
sebagai alat atau sarana kebudayaan, baik untuk perkembangan, transmisi
maupun pengiventarisannya. Pengembangan konsep-konsep budaya selalu
digunakan dengan bantuan bahasa. Pola pikir, tingkah laku, adat istiadat, dan
unsur kebudayaan lainnya hanya bisa disampaikan dan diterangkan melalui
bahasa. Bahasa ini sebagai sarana ekspresi nilai-nilai budaya yang mana bahasa
berfungsi sebagai jalur penerus kebudayaan.
Selain itu, bahasa sebagai suatu sistem komunikasi merupakan wujud
kebudayaan yang termasuk sistem sosial yang mendasari tindakan berpola
manusia. Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Bahasa dimasukkan
sebagai unsur kebudayaan karena hakikatnya bahasa mengikuti kebudayaan.
Bahasa merupakan hasil kebudayaan, artinya bahasa yang digunakan atau
diucapkan oleh suatu kelompok masyarakat adalah suatu refleksi atau cermin
keseluruhan kebudayaan masyarakat tersebut (2004:57-62).
Sibarani juga mengemukakan bahwa bahasa selain bagian dari kebudayaan
juga merupakan hasil dari kebudayaan. Hal ini terlihat pada pelaksanaan upacara
ritual dalam suatu kebudayaan tertentu, misalnya, selalu ada interaksi manusia
yang membutuhkan komunikasi dan juga ada ungkapan ritual, yang masing-
9
masing menggunakan bahasa. Peristiwa budaya semacam ini akan menghasilkan
bahasa (2004:62).
e.
Makna
Subroto berpendapat bahwa makna adalah arti yang dimiliki oleh sebuah
kata (baca: leksem) karena hubungannya dengan makna leksem lain dalam
bentuk tuturan (2011:23), sedangkan makna dalam kamus linguistik adalah (1)
maksud pembicara, (2) pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi atau
perilaku manusia atau kelompok manusia, (3) hubungan dalam arti kesepadanan
atau ketidaksepadanan antara bahasa dan alam diluar bahasa atau antara ujaran
dan semua hal yang ditunjuknya, (4) cara menggunakan lambang-lambang. Ada
beberapa jenis makna, peneliti akan menggunakan makna leksikal, makna
gramatikal, dan makna kultural (2008:148) .
Menurut Kridalaksana, makna leksikal adalah makna unsur-unsur bahasa
sebagai lambang benda, peristiwa, dan lain-lain; makna leksikal ini dipunyai
unsur-unsur bahasa lepas dari penggunaanya atau konteksnya (2001:133).
Pengertian makna leksikal dalam penelitian ini tidak terbatas pada tataran kata
tetapi dalam tataran kata, frasa, maupun kalimat. Makna leksikal merupakan
makna kata yang berdiri sendiri tanpa adanya imbuhan atau turunan.
Terakhir, makna kultural menurut Subroto (1998) semantik kultural adalah
makna yang dimiliki bahasa sesuai dengan konteks budaya penuturnya (dalam
Abdullah, 2013:94). Semantik adalah subdisiplin linguistik yang membicarakan
makna. Dengan kata lain semantik berobjekkan makna (Pateda, 2001:7). Jadi
semantik kultural sama dengan makna kultural. Abdullah juga menjelaskan
bahwa dalam memahami makna kultural dari ekspresi verbal dan nonverbal
10
masyarakat yaitu untuk mengetahui pandangan hidup, pandangan dunia, serta
pola pikir (2013:94).
11
B. Kerangka Pikir
Kerangka pikir adalah sebuah cara kerja yang dilakukan peneliti untuk
menyelesaikan permasalahan yang akan diteliti. Kerangka pikir yang berkaitan
dengan penelitian ini digambarkan dengan bagan dibawah ini.
Bahasa Masyarakat Pancot Kalisoro Tawangmangu
Masyarakat Pancot Kalisoro Tawangmangu
Satuan Lingual dalam RBDM
Analisis
Aspek-Aspek Lingual dalam RBDM
1.
2.
3.
Etnolinguistik
Pandangan Masyarakat Pancot
dalam RBDM
Kata
Frasa
Kalimat
Prosesi RBDM
Perlengkapan sesaji dan peralatan
RBDM
Prosesi RBDM
Sistem Kepercayaan
Mantra, Doa dan Ungkapan
Pantangan
12
Bagan di atas menggambarkan objek penelitian adalah bahasa masyarakat
Pancot dalam RBDM. Sumber data penelitian adalah masyarakat Pancot,
Kelurahan Kalisoro, Kecamatan Tawangmangu, dan Kabupaten Karanganyar.
Data yang didapatkan dari sumber data berupa satuan lingual dalam RBDM yang
berupa data lisan dan data tulis kemudian dari data yang didapat, penulis
melakukan analisis menggunakan pendekatan etnolinguistik untuk menjawab
masalah yang ada, yaitu bagaimanakah aspek-aspek lingual dalam RBDM? dan
bagaimanakah pandangan masyarakat Pancot dalam RBDM ?
Setelah dilakukan pengkajian, dari satuan lingual dalam RBDM
ditemukan kata, frasa, dan kalimat. Satuan lingual tersebut ditentukan artinya dan
ditemukan fungsi satuan lingual dalam pemakaianya untuk mengetahui pandangan
masyarakat Pancot. Sementara dari pandangan masyarakat Pancot ditemukan
prosesi RBDM, perlengkapan RBDM, sistem kepercayaan, mantra dan doa, dan
pantangan saat menjalankan RBDM.
13
14
Download