TINJAUAN PUSTAKA Tephrosia vogelii Deskripsi Tumbuhan Kacang babi (T. vogelii) merupakan tumbuhan asli Afrika Barat, termasuk Nigeria, dan wilayah Afrika tropis pada umumnya, tetapi sekarang ditemukan di India, Asia dan daerah-daerah tropis lain (Dalziel 1937; Gaskin et al 1972; Heyne 1987). T. vogelii merupakan tanaman perdu tahunan, tumbuh tegak, bercabang banyak, dan dapat mencapai tinggi 3-5 m. Tanaman ini dapat tumbuh pada ketinggian 300-1200 m dpl dan berumur tidak lebih dari 1 tahun (Heyne 1987). Daun berwarna hijau dan bermanfaat untuk pupuk hijau. Bijinya kecil, keras, dan berwarna hitam. T. vogelii memiliki perakaran tunggang, bunga terdiri atas dua warna, yaitu ungu dan putih (Gaskins et al. 1972; Kardinan 2002). Perbanyakan T. vogelii dapat dilakukan dengan biji. Tanaman ini termasuk tanaman yang menyerbuk sendiri (Gaskins et al. 1972), mudah dibudidayakan di berbagai ketinggian tempat dan tidak memerlukan pemeliharaan yang khusus. Barnes dan Freyre (1969) menyarankan bahwa untuk produksi komersial rotenon, yang sebagian besar berasal dari daun, T. vogelii perlu ditanam pada lahan seluas 30.000 sampai 37.000 hektar dengan jarak tanam 1,0-8,9 m. Hasil biji per tanaman berkisar dari 1,1 sampai 8,9 g, dengan produksi maksimum 70 kg biji / ha. Sifat Insektisida T. vogelii dapat digunakan sebagai insektisida, moluskisida, rodentisida, dan sebagai racun ikan. Pada konsentrasi 11 mg/g bobot tubuh larva, ekstrak T. vogelii yang diaplikasikan sebagai racun kontak terhadap P. xylostella mampu menyebabkan kematian sebesar 50% (Morallo-Rejesus 1986). Penelitian Delobel dan Malonga (1987) yang menguji T. vogelii pada serangga hama gudang Caryedon serratus (Ol.) (Coleoptera: Bruchidae) menunjukkan bahwa aplikasi ekstrak daun T. vogelii yang dicampur dengan kacang tanah pada konsentrasi 1:40 w/w menyebabkan kematian sebesar 98,8% dalam waktu 13 hari, dan menyebabkan imagonya gagal menghasilkan telur pada 30 hari setelah aplikasi. Koona dan Dorn (2005) mengekstrak daun T. vogelii secara bertahap dengan pelarut yang bersifat nonpolar sampai polar, yaitu heksana, aseton, dan etanol. Setiap ekstrak dicampur dengan kacang tanah pada dosis 10 g/kg biji kemudian diaplikasikan terhadap kumbang Acanthoscelides obtectus Say, Callosobruchus maculatus (F.), dan C. chinensis (L.) (Coleoptera: Bruchidae). Rata-rata mortalitas imago tertinggi yang terjadi pada ketiga serangga uji berkisar 18,3%-23,3%. Selain itu, imago betina dari ketiga spesies serangga tersebut menunjukkan penurunan peletakan telur sehingga hanya dalam satu generasi populasi kumbang menurun sebesar 3,0%-8,2%. Wulan (2008) melaporkan bahwa aktivitas insektisida ekstrak daun T. vogelii bervariasi bergantung pada jenis pelarut yang digunakan saat ekstraksi dan metode pengujian yang digunakan. Pada pengujian dengan metode residu pada daun, fraksi yang aktif terhadap larva Crocidolomia pavonana adalah fraksi heksana (LC50 0,14%), fraksi etil asetat (LC50 0,45%), dan ekstrak metanol langsung (LC50 0,30%), sedangkan dengan metode kontak fraksi yang aktif hanya fraksi heksana (LC50 1,1%). Fraksi metanol bertahap 0,5% dan ekstrak air 10% tidak aktif terhadap larva C. pavonana. Selain mengakibatkan kematian, fraksi/ekstrak yang aktif juga berpengaruh terhadap perkembangan larva dan fraksi heksananya juga memiliki efek antifeedant (penghambat makan). T. vogelii memiliki komponen aktif berupa rotenon dan senyawa rotenoid lain seperti deguelin, rotenolon, dan tefrosin (Gambar 1) (Delfel et al. 1970; Hagemann et al. 1972; Lambert et al. 1993). Rotenolon dan tefrosin masingmasing diyakini sebagai produk oksidasi rotenon dan deguelin. Meskipun rotenon dianggap senyawa dari T. vogelii yang paling aktif (insektisida), ekstraktif yang lain juga memiliki keaktifan yang cukup (Matsumura 1985). Daun T. vogelii mengandung lebih banyak deguelin daripada rotenon. Rotenon lebih banyak tersebar di daun daripada di tangkai daun dan batang, sedangkan jumlah yang paling sedikit terdapat di akar (Delfel et al. 1970; Hagemann et al. 1972). Analisis kromatografi terhadap ekstrak kasar T. vogelii menunjukkan bahwa T. vogelii mengandung 1,20% rotenon sedangkan bentuk pasta yang diperoleh dari ekstrak dan daun masing-masing mengandung 3% dan 0,7% rotenon (Morallo-Rejesus 1986). Sementara itu, Cabizza et al. (2004) melaporkan bahwa komposisi rotenon, deguelin, tefrosin, dan rotenolon masing-masing 44%, 21,2%, 3,5%, dan 3,0% yang diperoleh dari ekstrak Lonchocarpus nicou yang termasuk dalam famili yang sama dengan T. vogelii. Rotenon tidak berwarna dan tidak berbau, memiliki rumus empiris C23H22O6 dan bobot molekul 394,41. Titik lelehnya adalah 165-166 °C (Watt & BreyerBrandwijk 1962; Ware 1983). Rotenon umumnya tidak stabil dan mudah terurai dengan cepat, bergantung pada berbagai faktor termasuk cahaya, suhu, dosis, dan keberadaan limbah organik (Copping 1998). a b c d Gambar 1 Struktur kimia rotenolon (a), tefrosin (b), rotenon (c), dan deguelin (d). Sumber: Lambert et al. ( 1993). Piper cubeba Deskripsi Tumbuhan Kemukus (P. cubeba) merupakan tanaman perdu merambat dengan tinggi mencapai 15 m, berakar serabut kuning kecokelatan, dan berbunga majemuk dengan bentuk bulir yang panjangnya 3 - 10 cm. Buah yang akan tumbuh dari bulir itu berupa buah buni yang bertangkai. Batang tanaman ini berbuku-buku dan daunnya berbentuk bulat berujung runcing, mirip daun sirih dan berwarna hijau gelap. Buah kemukus berbentuk hampir bulat, umumnya bergaris tengah 5 mm, pada bagian pangkal terdapat tonjolan 5 mm sampai 10 mm, terkadang bagian pangkal di daerah tonjolan agak cekung. Tumbuhan ini telah lama dibudidayakan sebagai bahan ramuan obat tradisional untuk mengobati gangguan pernafasan, gangguan pencernaan, dan penyakit kelamin (Heyne 1987; YSBD 2007). Sifat Insektisida Harmatha dan Nawrot (2002) di Ceko melaporkan bahwa empat senyawa lignan yang juga terdapat dalam buah P. cubeba, yaitu hinokinin, kubebin, yatein, dan dihidrokubebin pada konsentrasi 10 mg/ml dapat menghambat makan (feeding deterrent) terhadap kumbang gudang Sitophilus granarius L. (Coleoptera: Curculionidae), Tribolium confusum Duv. (Coleoptera: Tenebrionideae), dan Trogoderma granarium Ev. (Coleoptera: Dermestridae). Pada metode dengan pilihan, penghambatan makan oleh hinokinin terhadap imago S. granarius, imago dan larva T. confusum, dan larva T. granarium berturut-turut 94,5%, 100%, 82,2%, dan 64%; penghambatan oleh kubebin 100%, 74,2%, 100%, dan 92,2%; penghambatan oleh yatein 100%, 100%, 83%, dan 100%; dan penghambatan makan oleh dihidrokubebin 75,7%, 84%, 89,3%, 54,4%. Baru baru ini, Nugroho (2008) melaporkan bahwa ekstraksi bertahap buah P. cubeba menghasilkan fraksi heksana padatan, fraksi heksana minyak, fraksi etil asetat, dan fraksi metanol P. cubeba. Pada pengujian dengan metode celup daun dan konsentrasi tertinggi 0,5%, hanya fraksi heksana padatan P. cubeba (LC50 0,421%) yang aktif terhadap larva C. pavonana. Bernard et al. (1989) melaporkan bahwa kubebin dapat menghambat aktivitas sitokrom P450 dari saluran pencernaan ulat penggerek batang O. nubilalis. Buah kemukus mengandung senyawa lignan seperti kubebin, yatein, hinokinin, dan dihidrokubebin (Gambar 2), yang memiliki gugus metilendioksifenil (Harmatha & Nawrot 2002; Usia et al 2005). Senyawa lignan tersebut dilaporkan dapat menghambat aktivitas enzim sitokrom P450 3A4 (CYP3A4) yang dapat menurunkan daya racun senyawa asing termasuk insektisida (Usia et al. 2005). Gugus metilendioksifenil merupakan ciri penting dari sejumlah sinergis insektisida yang dapat menghambat aktivitas enzim sitokrom P450 (Matsumura 1985). a X=H c R = H, OH b R=O d Gambar 2 Struktur kimia yatein (a), hinokinin (b), kubebin (c), dan dihidrokubebin (d). Sumber: Harmatha dan Nawrot (2002) Dengan memperhatikan potensi senyawa aktif P. cubeba yang dapat menghambat enzim penurun daya racun senyawa asing, ekstrak P. cubeba diharapkan memiliki potensi sinergis jika dicampurkan dengan ekstrak lainnya. Penggunaan campuran insektisida botani yang bersifat sinergis dapat menghemat pemakaian bahan baku insektisida karena komponen dalam campuran akan digunakan dalam konsentrasi yang lebih rendah daripada konsentrasi masingmasing komponen secara terpisah. Hasil penelitian Nugroho (2008) menunjukkan bahwa campuran fraksi heksana padatan P.cubeba dan fraksi heksana T. vogelii memiliki aktivitas insektisida yang kuat (LC50 0,112%) terhadap larva C. pavonana dan bersifat sinergistik lemah. Penelitian ini berbeda dengan penelitian Nugroho (2008) karena daun T. vogelii bunga ungu dan buah P. cubeba diekstraksi langsung dengan pelarut etil asetat dengan harapan dapat melarutkan senyawa aktif lebih banyak dan memiliki tingkat toksisitas yang lebih baik daripada ekstraksi menggunakan heksana. Permasalahan Hama Crocidolomia pavonana Arti Ekonomi Crocidolomia pavonana merupakan hama penting pada tanaman Brassicaceae seperti kubis, brokoli, lobak, sawi, petsai, dan selada air. Daerah persebaran hama ini meliputi Afrika Selatan, Asia Tenggara, Australia, dan Kepulauan Pasifik (Kalshoven 1981). Kerusakan yang disebabkan oleh larva C. pavonana pada kubis dapat menjadi masalah serius karena pada fase larva serangga ini hidup berkelompok dan membutuhkan banyak makanan untuk melangsungkan hidupnya. Larva C. pavonana biasanya memakan habis daun tanaman dan hanya meninggalkan tulang-tulang daun. Larva instar awal umumnya mengonsumsi daun pada permukaan bawah. Ketika instar III, serangannya menembus bagian batang daun (membuat terowongan). Pada kubis, serangan lanjut dapat mencapai krop atau titik tumbuh, akibatnya kerusakan tanaman yang ditimbulkan dapat mencapai 100% bila tidak dilakukan pengendalian karena populasinya dapat meningkat dengan cepat dan menyerang secara berkelompok, terutama pada musim kemarau (Sastrosiswojo & Setiawati 1993). Siklus Hidup Telur biasanya diletakkan pada permukaan bawah daun kubis. Sebelum menetas, warna telur berubah menjadi oranye, cokelat kekuningan dan cokelat gelap. Kelompok telur yang diletakkan terdiri atas sekitar 9-120 butir telur dengan rata-rata 48 butir. Ukuran kelompok telur berkisar dari 1,0 mm x 2,0 mm sampai 3,5 mm x 6,0 mm dengan rata-rata 2,6 mm x 4,3 mm. Masa inkubasi telur rata-rata 4 hari pada suhu 26,0-33,2 °C. Persentase penetasan telur 92,4% (Othman 1982). Larva instar I berwarna kuning kehijauan dengan kepala cokelat tua dan lama stadium rata-rata sekitar 2 hari. Instar II berwarna hijau muda, dengan panjang 5,5-6,1 mm dan lama stadium rata-rata sekitar 2 hari. Instar III berwarna hijau, dengan panjang 1,1-1,3 cm dan lama stadium rata-rata 1,5 hari. Larva instar IV berwarna hijau dengan tiga titik hitam dan tiga garis memanjang pada bagian dorsal serta satu lainnya di sisi lateral (Prijono & Hassan 1992). Warna pupa cokelat kekuningan dan kemudian menjadi cokelat gelap. Lebar pupa sekitar 3 mm dan panjang 10 mm dengan lama stadium rata-rata 10 hari pada suhu 26,0-33,2 °C dan kelembapan (RH) 54,1-87,8% (Othman 1982). Lama perkembangan keseluruhan dari telur hingga menjadi imago betina berkisar 23-28 hari, sedangkan untuk imago jantan berkisar 24-29 hari (Prijono & Hassan 1992). Pengendalian Pengendalian terhadap hama C. pavonana dapat dilakukan dengan berbagai metode, di antaranya pengendalian secara kultur teknis, fisik mekanis, hayati, dan kimiawi. Pengendalian kultur teknis dapat dilakukan dengan pergiliran tanaman, sistem tumpang sari, pengaturan waktu tanam, dan penanaman tanaman perangkap seperti rape (Brassica campestris var. oleifera Metzg.) dan sawi jabung (Brassica juncea L. Czern). Cara mekanis dilakukan dengan menghancurkan telur dan mematikan larva dengan tangan. Penggunaan musuh alami hama C. pavonana masih kurang karena belum dapat menekan populasi hama secara efektif. Untuk melestarikan peran musuh alami, insektisida selektif yang dapat digunakan untuk mengendalikan C. pavonana adalah Bacillus thuringiensis, insektisida golongan asilurea (menghambat sintesis kitin), dan senyawa mikroba seperti abamektin (Sastrosiswojo & Setiawati 1992). Cara yang sering dilakukan petani adalah pengendalian secara kimiawi menggunakan insektisida sintetik yang dapat menimbulkan berbagai dampak negatif (Rauf et al. 2005). Insektisida botani merupakan salah satu alternatif pengendalian yang cukup aman dan sesuai dengan konsep PHT. Ekstrak tumbuhan yang dilaporkan efektif terhadap hama C. pavonana antara lain ekstrak ranting Aglaia odorata (Meliaceae), rimpang Alpinia galanga (Zingiberaceae), biji Annona squamosa (Annonaceae), buah Piper retrofractum (Piperaceae), biji Swietenia mahogani (Meliaceae), kulit batang Calophyllum saoulatri (Clusiaceae), buah P. cubeba (Piperaceae), dan daun T. vogelii (Leguminosae) (Dadang et al. 2007; Syahputra et al. 2007; Nugroho 2008; Wulan 2008).