1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anemia merupakan masalah kesehatan global pada negara maju maupun negara yang sedang berkembang serta berdampak pada kesehatan, sosial dan ekonomi. Prevalensi anemia terbesar pada anak dan ibu hamil. Penyebab anemia bervariasi berdasarkan usia, sebagian besar disebabkan oleh defisiensi besi, sehingga prevalensi defisiensi besi sering digunakan untuk mewakili prevalensi anemia defisiensi besi (ADB). Pada tahun 2002, ADB merupakan faktor terpenting yang memberi kontribusi global burden of disease (Janus dan Moerschel 2010; WHO, 2008). Estimasi prevalensi anemia pada anak pra sekolah (0-4,99 tahun) di Asia berdasarkan data WHO dari tahun 1993 -2005 sebesar 47,7 %, di Asia Tenggara 65,5%, sedangkan di Indonesia 44,5% (WH0, 2008). Prevalensi ADB pada anak pra sekolah di Amerika Serikat sekitar 9-11% , defisiensi besi pada anak usia pra sekolah berkisar antara 18% dan 35% (Beard et al., 2007). Prevalensi anemia pada balita berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 sebesar 40,5%; SKRT tahun 2001 sebesar 48%, sedangkan berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 sebesar 27,7%. Dokter Anak I ndonesia cabang Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2003 di dua sekolah dasar di Kotamadya menunjukkan 40% anak menderita anemia mikrositik hipokromik (Muhammad dan Sianipar, 2005). Ringoringo (2009) mendapatkan prevalensi ADB pada bayi berusia 0-12 bulan di Banjar baru Kalimantan Selatan sebesar 47,4%. Syaiful (2012) memperoleh prevalensi 2 defisiensi besi pada balita di Yogyakarta sebesar 42,78% sedangkan Apriyanti (2012) menggunakan baku emas soluble transferrin receptor memperoleh prevalensi defisiensi besi pada anak usia 6 bulan sampai 59 bulan di Puskesmas wilayah Yogyakarta dan Bantul sebesar 32,2%. Mayoritas anak dengan anemia asimptomatik, dan kondisi ini terdeteksi hanya pada pemeriksaan skrining laboratorium. Sebagian anak menunjukkan iritabilitas atau pica (pada defisiensi besi), kekuningan (hemolisis), nafas pendek, atau palpitasi. Pucat memiliki sensitivitas yang rendah untuk memprediksi anemia ringan namun berkorelasi baik dengan anemia berat ( Janus dan Moerschel, 2010). Tes skrining bertujuan untuk mendeteksi secara dini suatu kondisi sebelum muncul gejala klinis pada populasi yang memiliki risiko tertentu terhadap munculnya kondisi yang akan di skrining (Straus et al., 2005). Tes skrining merupakan bagian dari secondary prevention. Secondary prevention mengidentifikasi dan melakukan terapi pada populasi yang asimptomatik secara klinis dan memiliki faktor risiko tertentu terhadap suatu penyakit (Seballos, 2011). Uji diagnostik untuk skrining harus mempunyai sensitivitas yang sangat tinggi meskipun spesifisitasnya rendah (Sastroasmoro dan Ismael, 2008). Fungsi besi pada fase kritis anak dalam proses mielinisasi. Perkembangan syaraf yang cepat di usia 0-4 tahun merupakan periode pembentukan sirkuit syaraf dan mielinisasi di otak baik pada sistem sensorik, pembelajaran dan sikap berinteraksi. Dopaminergic neurotransmiter system yang berhubungan dengan perkembangan perilaku sangat sensitif terhadap perubahan status besi tubuh. Besi 3 juga merupakan kofaktor enzim yang mensintesis neurotransmiter. Defisiensi besi berhubungan dengan perubahan pada metabolisme neuron di hipokampus dan proyeksi frontal dimana terjadi prosesing memori. Beberapa penelitian menyatakan bahwa masa kritis untuk terjadi kerusakan di atas terutama pada umur 9-18 bulan. Kerusakan ini mungkin tidak selalu reversibel meskipun cadangan besi diperbaiki pada tahap awal defisiensi besi. Defisiensi besi juga menyebabkan abnormalitas kulit dan mukosa, berat badan rendah berdasarkan umur, penurunan respon imun, membahayakan perkembangan kognitif dan bahasa, fisik,motorik, psikologikal anak (Brugnara, 2000; Hadler et al., 2002; Brugnara et al., 2003; Batra dan Sood, 2005). Parameter laboratorium untuk mendiagnosis ADB terdiri dari parameter hematologi yaitu hemoglobin (Hb), hematokrit (Hmt), indeks eritrosit berupa Mean Corpuscular Volume (MCV), Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC), Red Cell Distribution Width (RDW) dan parameter biokimiawi yaitu ferritin, besi serum, Total Iron Binding Capacity (TIBC), persen saturasi, dan serum soluble transferrin receptor (sTfR) serta zinc protoporphyrin (Thomas dan Thomas 2002; Hadler et al., 2002; Brugnara, 2002). Keterbatasan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan di negara berkembang menyebabkan parameter biokimiawi tidak tersedia di semua tingkat pelayanan kesehatan (WHO, 2001). Ferritin merupakan protein fase akut, kadar ferritin meningkat dua sampai empat kali pada kondisi infeksi dan inflamasi sehingga menurunkan nilai diagnostiknya (Hadler et al., 2002). Kadar besi serum sangat dipengaruhi oleh 4 variasi diurnal, asupan makanan, suplementasi besi. Kadar TIBC menggambarkan status besi hanya bila cadangan besi telah habis dan kadar besi plasma <40–60μg/dl, sehingga tidak dapat mendiagnosis defisiensi besi sebelum terjadinya eritropoiesis inefektif. Kadar soluble transferrin reseptor meningkat pada defisiensi besi dan pada berbagai kondisi yang menyebabkan peningkatan laju eritropoiesis (WHO, 2007). Indikator status besi sulit di interpretasikan pada bayi dan anak karena perubahan fisiologis dan metabolisme selama pertumbuhan dan perkembangan (Agget et al., 2002). Pemeriksaan parameter biokimiawi membutuhkan sarana dan biaya yang lebih mahal. Sebagai contoh pemeriksaan status besi di RSUP Dr. Sardjito berdasarkan Tarif Pelayanan tahun 2012 meliputi kadar besi serum Rp 27.000,00; TIBC dan persen saturasi untuk kelas tiga memerlukan biaya Rp 66.000,00; kadar ferritin serum seharga Rp 130.500,00 dan CRP Rp 97.000,00. Parameter hematologi yang murah dan dapat tersedia di berbagai sarana kesehatan tidak spesifik untuk mendiagnosis defisiensi besi. Penurunan kadar Hb, MCV dan MCH tidak hanya disebabkan oleh ADB, tapi juga karena proses infeksi, inflamasi dan hemoglobinopathi serta thalassemia (WHO, 2007). Parameter hematologi menunjukkan perubahan pada ADB sehingga tidak dapat digunakan untuk mendeteksi defisiensi besi tahap awal (Wu et al., 2002). Baku emas status besi adalah pengecatan besi di sumsum tulang yaitu hemosiderin dengan Prussian Blue, namun metode ini invasif, prosedur pemeriksaan dan interpretasi sulit (subyektifitas tinggi) sehingga jarang digunakan (Brugnara, 2002 ; Perkins, 2006). Penerapan metode flowcytometry pada alat 5 hematologi otomatik memungkinkan pemeriksaan jumlah dan indeks retikulosit yang lebih akurat. Pemeriksaan jumlah dan indeks retikulosit tidak membutuhkan persiapan khusus, seperti puasa; tidak dipengaruhi variasi diurnal; dan menggunakan sampel darah yang sama untuk pemeriksaan darah rutin. Indeks retikulosit yang dapat diukur berupa Mean Cell Volume of reticulocyte (MCVr), Cellular Hemoglobin Concentration Mean in reticulocyte (CHCMr), Content Hemoglobin reticulocyte (CHr) yang setara dengan RET-He (Reticulocyte Hemoglobin Equivalent) dan Reticulocyte Cell Distribution Width (RDWr) (Brugnara, 1998; Goodnough et al., 2000; Anonim, 2004, Brugnara et al., 2003; Miwa et al., 2010). Retikulosit secara normal dilepaskan dari sumsum tulang 18 sampai 36 jam (±1-2 hari) sebelum maturasi akhir menjadi eritrosit, sehingga menggambarkan kondisi aktual dari eritropoiesis dan dapat mendeteksi defisiensi besi pada tahap awal dibandingkan indeks eritrosit (Goodnough et al., 2000; Brugnara et al., 2003; Miwa et al., 2010). Penelitian mengenai penampilan diagnostik CHr dan RET-He untuk defisiensi besi memperoleh hasil sensitivitas dan spesifisitas yang bervariasi (Brugnara et al., 1999; Mast et al., 2002; Ulrich et al., 2005; Miwa et al., 2010; Pramantik, 2012). Nilai MCVr bervariasi sesuai dengan umur dan jenis penyakit (Clarkson dan Moore, 1976; d’Ofnorio et al., 1995; Brugnara, 2000; Lamchiagdhase et al., 2000; Buttarello et al., 2004; Bovy et al., 2005 ). Butarello et al. (2004) mendapatkan nilai MCVr pada orang dewasa sehat dengan rerata 110,8 fL; median 111,3 fL; 2,5 percentile 104,5 fL dan 97,5 percentile 119,6 fL. Piva et al. 6 (2010) memperoleh nilai MCVr pada dewasa sehat dengan interval 98-115 fL. Nilai referensi MCVr pada bayi baru lahir tanpa anemia dari cord blood dengan rerata 124±6 fL; median 124 fL; 2,5% percentile 115 fL ; 97,5% percentile 136 fL (Ervasti, 2008). Brugnara (2000) memperoleh nilai CHCMr pada 110 anak sehat 25,4-31 g/dL dan nilai RDWr 10,3-18,3%. Da Costa et al. (2001) memperoleh nilai CHCMr pada dewasa sehat 24,5-29,5 g/dL. Nilai MCVr dan CHCMr pada ADB lebih rendah daripada kelompok kontrol sehat. Penelitian d’Ofnorio et al. (1995) pada populasi dewasa dengan ADB memperoleh nilai MCVr 100,1±4,9 fL; sedangkan Ceylan et al. (2007) memperoleh nilai MCVr 92,9±7,5 fL. Penelitian mengenai manfaat MCVr, CHCMr dan RDWr dalam diagnosis defisiensi besi masih sedikit. Penelitian Ceylan et al. (2007) pada subyek dewasa nilai MCVr dengan cut off ≤89,7 fL memiliki sensitivitas 39%, spesifisitas 97,1%, nilai ramal positif 94,1% dan nilai ramal negatif 56,9% untuk diagnosis ADB. Buttarello et al. (2004) mendapatkan nilai MCVr dengan cut off 104,5 fL memiliki sensitivitas 96,6%; spesifisitas 97,5%; nilai ramal negatif 98,7% (CI 91,6-99,9) dan nilai ramal positif 93,3%(CI 71,8-99,0) untuk diagnosis ADB. Penelitian lebih lanjut mengenai manfaat MCVr dan CHCMr serta RDWr untuk skrining defisiensi besi perlu dilakukan sehingga dapat dilakukan pencegahan dampak buruk defisiensi besi terhadap tumbuh kembang balita. 7 B. Permasalahan Berdasarkan fakta-fakta yang telah disebutkan, dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Angka kejadian ADB yang masih tinggi di dunia termasuk Indonesia. 2. Skrining defisiensi besi perlu untuk mencegah efek defisiensi besi yang irreversibel terhadap tumbuh kembang anak. 3. Baku emas pemeriksaan status besi merupakan metode yang invasif dan tidak sesuai diterapkan untuk skrining defisiensi besi pada balita. 4. Parameter biokimiawi untuk skrining defisiensi besi terkendala keterbatasan sarana, harga, dan dipengaruhi faktor-faktor seperti variasi diurnal dan asupan makanan. 5. Parameter hematologi untuk skrining defisiensi besi hanya dapat mendeteksi defisiensi besi pada tahap lanjut yaitu ADB. 6. Penerapan metode flowcytometry pada alat hematology analyzer memungkinkan pengukuran ukuran dan kandungan retikulosit secara akurat. Retikulosit menggambarkan kondisi aktual eritropoiesis sehingga lebih dini dalam mendeteksi defisiensi besi. 7. Indeks retikulosit yaitu MCVr, CHCMr dan RDWr belum jelas peranannya dalam skrining defisiensi besi dan belum pernah diteliti di Indonesia, sehingga penampilan analitik dan diagnostik pada kondisi defisiensi besi balita belum diketahui. 8 C. Pertanyaan Penelitian Bagaimanakah penampilan diagnostik MCVr, CHCMr dan RDWr untuk skrining defisiensi besi pada anak sehat usia 6 bulan sampai 5 tahun di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan penampilan diagnostik MCVr, CHCMr dan RDWr untuk skrining defisiensi besi secara dini pada anak sehat berusia 6 bulan sampai 5 tahun di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis - Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti ilmiah mengenai peran MCVr, CHCMr dan RDWr untuk skrining defisiensi besi pada anak usia 6 bulan-5 tahun. 2. Manfaat Praktis - Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi dasar dalam skrining defisiensi besi pada anak usia 6 bulan-5 tahun serta memperbaiki tatalaksana klinis sehingga dapat mencegah dampak buruk defisiensi besi terhadap tumbuh kembang anak. F. Keaslian Penelitian Penelitian Buttarello et al. (2004) memperoleh nilai MCVr pada orang dewasa sehat bervariasi dengan rerata 110,8 fL; median 111,3 fL; interval 2,5 percentile 104,5 fL dan 97,5 percentile 119,6 fL. Pasien ADB dengan rerata nilai MCVr 95,9 fL dan interval 84-104,8 fL. Baku emas untuk menentukan ADB 9 adalah respon terhadap terapi besi intravena (kadar Hb mengalami peningkatan minimal 0,75 g/dL pada hari ke 11). Setelah pemberian terapi besi intra vena rerata nilai MCVr pada hari 11 meningkat dengan rerata nilai MCVr 109,9 fL dengan interval 98,7-119,4 fL. Nilai MCVr dengan cut off 104,5 fL memiliki sensitivitas 96,6%; spesifisitas 97,5%; nilai ramal negatif 98,7% (CI 91,6-99,9) dan nilai ramal positif 93,3%(CI 71,8-99,0) serta AUC 0,997 menggunakan Bayer ADVIA 120 untuk diagnosis ADB. Penelitian Ceylan et al. (2007) pada subyek dewasa pada kelompok normal nilai MCVr 98,0±7,7 fL; pada kelompok ADB nilai MCVr menurun (98,0±7,7 fL); pada kelompok thalassemia minor (86,7±8,8fL) dan kelompok anemia defisiensi vitamin B12 (117,4±17,7fL). Nilai CHCMr pada kelompok normal 29,1±2,1 g/dL, kelompok ADB 24,2±3,4 g/dL, kelompok thalassemia minor 24,4±2,4 g/dL, kelompok dengan anemia defisiensi vitamin B12 27,8±3,4 g/dL. Penelitian pada populasi dewasa dengan ADB menggunakan baku emas saturasi transferin <15% dan feritin serum <13µg/dL untuk wanita dan ferritin serum <30µg/dL untuk laki-laki. Nilai MCVr dengan cut off ≤89,7 fL dengan AUC 0,696±0,06 memiliki sensitivitas 39%, spesifisitas 97,1%, nilai ramal positif 94,1% dan nilai ramal negatif 56,9% untuk diagnosis ADB. Nilai CHCMr dengan cut off ≤26,6 g/dL dengan sensitivitas 82,9%; spesifisitas 94,1%; nilai ramal positif 94,4%; nilai ramal negatif 82,1% dan AUC 0,872±0,04. Penelitian yang sudah dilakukan mengenai peran MCVr dan CHCMr dalam diagnosis ADB pada populasi dewasa, sedangkan penelitian yang akan 10 dilakukan peneliti untuk mengetahui peran MCVr, CHCMr dan RDWr dalam skrining defisiensi besi pada anak sehat usia 6 bulan-5 tahun.