Hamka: Pesilat, Ulama, Sastrawan, dan Politisi DI antara banyak tokoh ataupun pahlawan nasional negeri ini, nama Hamka (HAJI Abdul Malik Karim Amrullah) tersisip. Secara spesifik, agak sulit mendefinisikan sosok kelahiran 17 Februari 1908 ini. Kemampuan yang dia miliki begitu kompleks. Didapatkannya dari pengalaman dan tempaan mental sejak zaman sebelum kemerdekaan hingga pergantian rezim demi rezim republik. Melalui buku berjudul Ayah… Kisah Buya Hamka yang dikarang anak kelimanya, Irfan Hamka, masyarakat disuguhi sekelumit cerita tentang pribadi bersahaja ini. Tentu saja, sebuah buku tak mungkin sanggup menampung kisah pejuang yang beberapa kali bersilang opini secara frontal dengan pemerintah ini. Namun paling tidak, pelajaran hidup dari ayah dua belas anak yang dirangkum di sini cukup untuk menambah wawasan pembaca. Di masa sebelum kemerdekaan, Hamka adalah prajurit. Dia bergabung dengan sejumlah angkatan perang semisal Front Kemerdekaan Sumatera Barat, Tentara Keamanan Rakyat, Front Pertahanan Nasional, dan Barisan Pengawas Negari dan Kota. Bahkan, beberapa kali dia didapuk sebagai pemimpin di gerakan tersebut (Hal: 17). Sebagai tentara, dia tak bisa mengelak dari kebiasaan masukkeluar hutan. Kemampuan silat Minang pun menjadi wajib dimiliki. Irfan menuturkan, ayahnya termasuk salah satu pendekar di kampung. Irfan juga mengaku kalau pernah diajari ilmu silat Minang oleh Hamka. Totalitas Hamka di medan perang terbukti dari apresiasi yang diberikan Jenderal Nasution. Pada 1960, sang Jenderal berniat memberikannya pangkat kehormatan Mayor Jenderal Tituler. Meski demikian, dengan kerendahan hati dan atas saran istrinya, Siti Raham Rasul, Hamka menolak pangkat kehormatan tersebut (hal: 199). Mungkin tak banyak orang tahu kalau Hamka adalah pesilat atau tentara yang ikut turun di medan tempur. Masyarakat mungkin hanya paham kalau dia adalah ulama Islam. Hal itu tak lepas dari predikatnya sebagai salah satu tokoh Muhammadiyah yang kharismatik. Apalagi, dia juga tergolong satu dari tak begitu banyak ulama Indonesia yang membuat tafsir Al Qur’an. Al Azhar, itulah nama tafsir Al Qur’an yang dibuatnya saat meringkuk di balik terali besi. Ya, selama sekitar dua tahun, lelaki yang sempat belajar agama Islam secara “nekat” ke Arab Saudi sementara belum terlalu mahir bahasa Arab ini, harus rela tidur di ubin penjara Sukabumi. Sejak sekitar 1964, mantan politisi partai Masyumi ini dijebloskan rezim dengan alasan politis. Tanpa peradilan, Hamka dan beberapa temannya mesti terpisah dari keluarga. Tapi toh, penjara membuatnya malah bersyukur. Dengan demikian, tafsir monumental yang dia impikan akhirnya terwujud. Pengarang puluhan judul buku ini tidak sekali itu saja “bersitegang” dengan pemerintah. Ketika menjadi ketua MUI di era Soeharto, dia sempat menuai protes saat mengeluarkan fatwa haram bagi umat muslim merayakan natal bersama. Pemerintah juga agak tak sejalan dengan pendapatnya. Mungkin karena merasa bertanggungjawab dan ingin memberi pemahaman bahwa dia teguh memegang prinsip, mundur dari jabatan dijadikan jawaban. Dia tidak menyesal. Ini bukan persoalan prokontra terkait fatwa tersebut. Tapi lihatlah betapa sosok Hamka tidak mau terpengaruh “intervensi” pemerintah dalam memutuskan suatu perkara. Lebih baik lepas sama sekali dari kestrukturan yang ada, dari pada mesti melangkah tapi bukan pada pendirian sendiri. Perselisihan Hamka tidak hanya terjadi terhadap pemerintah. Penulis Di Bawah Lindungan Ka’bah ini juga sempat berseberangan dengan sesama sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Hal itu dapat diketahui melalui kata pengantar Taufiq Ismail di buku ini. Taufiq menyisipkan tentang kondisi seberang pendapat antara Pram dan Hamka. Betapa dulu Pram kerap melontarkan kritikan keras pada karya dan pemikiran Hamka. Semisal, saat halaman Lentera yang diasuh Pram di harian Bintang Timur melansir tudingan plagiat untuk karya Hamka berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Seberapapun keras dan bertolak belakang pemikiran dua sastrawan besar tersebut, ternyata di masa tua, Pram menyuruh calon menantunya belajar agama pada Hamka. Ulama besar yang sempat rutin mengisi pengajian di RRI dan TVRI itu pun tidak keberatan. Taufiq yang bisa dibilang salah satu saksi hidup “pertikaian” mereka di masa lalu, kini bersaksi pula kalau sejatinya mereka sudah “berdamai”. Meskipun disebut sebagai buku yang berisi tindak-tanduk atau kisah-kisah Buya Hamka, beberapa bab Ayah… justru tidak fokus pada peraih Doktor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar tersebut. Terdapat tulisan yang hanya memotret pengalaman hidup Irfan dan atau keluarganya. Irfan menyebut kondisi ini sebagai suatu hal yang wajar. Dia menilai, benang merah dalam tiap bab di buku ini tetap Hamka. Sosok yang merupakan sumbu semua gerakan keluarganya. (*) Buku Judul Penulis Penerbit Tahun Tebal : Ayah… Kisah Buya Hamka : Irfan Hamka : Republika Penerbit, Jakarta : Cetakan III, Agustus 2013 : xxviii + 324 Halaman Mewaspadai Sindrom Kekuasaan Situasi politik akhir-akhir ini nampak jauh dari cita-cita reformasi. Mereka yang dulu kelihatan begitu reformis, kini justru ikut-ikutan memburu kekuasaan. Fenomena macam ini dalam ranah politik, boleh disebut sebagai sindrom kekuasaan. Kalau diamati, sedikitnya ada tiga jenis sindrom seperti ini. Yaitu sindrom atau penyakit pasca-kuasa (Post-Power Syndrome) dan penyakit pra-kuasa (Pre-Power Syndrome) serta Penyakit orang yang sedang berkuasa (In-Power Syndrome). Istilah Post-Power Syndrome digunakan untuk menggambarkan seseorang yang berprilaku aneh-aneh setelah tidak lagi memegang jabatan kekuasaan, termasuk misalnya gemar mengkritik pemerintahan yang kadang malah nampak berlebihan dan sok reformis. Pre-Power Syndrome diistilahkan untuk orang yang sebelum berkuasa begitu gemar memromosikan diri untuk meraih kekuasaan. Sedangkan In-Power Syndrome adalah gambaran bagi orang yang sebelum berkuasa perilaku dan ucapannya seperti ‘orang bener’, tapi ketika berkuasa ia mulai lupa diri dan mati-matian mempertahankan kekuasaannya dengan cara apapun. Yang jelas, apapun jenisnya, penyakit tersebut bertujuan menggerogoti individu dengan iming-iming kekuasaan, hingga pada akhirnya, dia menjadi ‘budak’ atau tawanan kekuasaan. Ada satu contoh menarik berkisar tentang penyakit kekuasaan yang bersumber dari negeri seberang. Tersebutlah seorang profesor sejarah dari Harvard University bernama Henry Kissinger. Dulu, sebelum diangkat presiden Richard Nixon menjadi penasehat pemerintah dan ketua NSC (National Security Council), dia adalah sosok yang selalu mengkritik pemerintah. Nah, ketika dia memangku jabatan tersebut di atas, dia pun mulai membela pemerintah. Setelah itu, Nixon mempromosikannya menjadi menteri luar negeri. Maka bertambahlah pekerjaannya untuk membela setiap kebijakan pemerintah. Tetapi, begitu dia turun jabatan dan tak lagi menjadi orang pemerintahan, mulailah lagi dia kritis pada pemerintahan (Hal:144). Penyakit atau sindrom kekuasan bisa terjadi di mana pun. Sindrom tersebut bukan monopoli salah satu atau beberapa tempat atau negara tertentu saja. Semua manusia mempunyai kemungkinan dan kelemahan untuk terjerumus ke dalam jurang itu. Bila sudah terkubang di sana, seseorang akan sulit untuk berkata jujur dan benar. Sebab dasar perbuatannya adalah subyektifitas semata untuk mencari dan atau memertahankan kekuasaan pribadi. Di situlah pentingnya manusia untuk senantiasa waspada. Maka ada baiknya bila setiap orang mengamalkan uzlah-nya Imam Ghazali. Uzlah di sini bukan berarti menyepi atau bertapa, melainkan mengambil jarak dari persolan yang mengitari, agar mampu melihat keadaan yang sesungguhnya secara obyektif. Dalam islam, shalat dimulai dengan takbiratul ihram dan ketika mengucap “Allahu Akbar”, seorang muslim harus fokus dan konsentrasi hanya pada Allah SWT, yang berarti meninggalkan segala hal di sekelilingnya. Di sinilah uzlah, melupakan semua hal yang mengandung beragam kepentingan pribadi atau golongan, menuju ke satu titik mutlak, kebenaran sejati, agar dari sana mendapat petunjuk yang lurus. Serupa salah satu do’a dalam bacaan shalat “Ihdina al-shirat al mustaqim (Tunjukanlah kami (Ya Allah) ke jalan yang lurus)”. *** Nurcholish Madjid adalah seorang intelektual kondang dan jenius asal kota santri, Jombang. Selain dikenal sebagai agamawan alumnus pondok pesantren Gontor, dia juga tercatat sebagai lulusan Chicago University. Melihat almamaternya, khalayak seharusnya tak perlu heran jika pria yang lebih akrab dipanggil Cak Nur ini memiliki daya jelajah analisa yang jauh di atas rata-rata. Buku Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi ini sudah menjalani dua kali cetak. Sebelum catakan kedua di awal tahun 2009, buku ini sudah cetak di 2002. Buku ini boleh dibilang merupakan hasil ketekunan beberapa orang yang dengan sukarela menukil-sarikan dialog-dialog selepas shalat Jum’at antara Cak Nur dan jamaah di masjid Yayasan Paramadina. Orang-orang yang berjasa itu di antaranya adalah: Iwan Himmawan, Syamsul Muin, dan Yayan Hendrayani. Dialog-dialog jumat yang terjadi dilakukan dengan sangat bersahaja. Artinya, segala konsep pemikiran Cak Nur yang disampaikannya saat diskusi, sangatlah erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, khususnya dengan isu yang pada waktu itu berkembang. Meski demikian, Cak Nur juga kerap menyinggung sejarah-sejarah, baik yang sifatnya umum sampai yang berlatar khusus perorangan. Cak Nur sempat membahas sekaligus menganalisa tentang Bung Karno (Hal: 131). Bahwasannya Bung Karno adalah seorang priyayi karena anak seorang raden dan beribu bangsawan Bali. Dia adalah putra Blitar sehingga unsur jawa tidak boleh dilepaskan bila ingin menelaah kepribadiannya secara kultursentris. Dia dibesarkan di Surabaya, sempat dititipkan pada HOS Cokroaminoto dan sempat pula mengenyam pendidikan di suatu sekolah eropa. Kebetulan, pada jaman Proklamator itu beranjak dewasa, Marxisme sedang didengungdengungkan. Bertolok dari berbagai fakta historis tersebut, maka tak heran jika banyak jargon atau falsafah Bung Karno yang dipetik dari hikayat pewayangan jawa. Tak usah heran pula bila dia menjadi Marxis tapi sekaligus tulus pada Islam. Dan tak perlu merasa aneh ketika dia dengan yakin memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa banyak persiapan, hanya bermodal nekad, salah satu karakteristik orang Surabaya. Bondo nekad, BONEK!.— Buku Judul : Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi (Kumpulan dialog Jum’at di Paramadina) Penulis : Nurcholish Madjid Penerbit : Dian Rakyat, Jakarta Tahun : Cetakan kedua, Januari 2009 Tebal : xii + 231 Halaman Belajar Menapak Kesederhanaan Jalan Orang Maiyah adalah mereka yang tahan selama lima sampai tujuh jam, mulai sekitar pukul 20.00 hingga 03.00, duduk bareng berbagi ilmu di forum Maiyah. Tanpa ada yang mengundang, mengajak, atau mewajibkan. Forum yang dalam terjemahan bebas berarti kebersamaan, dilaksanakan satu bulan sekali di sejumlah kota. Namanya Surabaya Mbulan, disebut Makassar berbeda-beda sesuai kearifan lokal. Misalnya, di disebut Bang-Bang Wetan, di Jombang disebut Padhang di Yogyakarta disebut Mocopat Syafaat, di Jakarta Kenduri Cinta, di Malang disebut Obor Ilahi, di disebut Paparandeng Ate, dan sebagainya. Maiyahan digelorakan oleh budayawan Emha Ainun Nadjib. Namun, pria yang akrab disapa Cak Nun itu menegaskan, Maiyah tidak bergantung pada sosok. Maiyah tidak berkiblat pada ketokohan tertentu. Tidak ada takzim berlebihan dan tidak proporsional pada manusia. Karena sejatinya, seluruh insan sedang meniti rentang usia untuk memburu kebenaran. Yang kata Nurcholish Madjid, tak pernah absolut di tangan makhluk. Orang-orang Maiyah bukan kelompok yang di permulaan berkedok organisasi kemasyarakatan atau keagamaan, ujung-ujungnya berkoalisi dengan kutub politik tertentu. Menjadi gaduh dan loba tiap ada hajatan KPU. Selebihnya, hanya cermin nafsu tak terbendung. Dalam perjalanan yang sudah lebih dari satu dekade, Maiyah tidak bertendensi kekuasaan apalagi kapital. Tidak ada keinginan untuk menjadi unggul dari yang lain. Justru, di sinilah tempat berbaur. Siapapun boleh bergabung untuk mendengar pencerahan multi disiplin. Siapapun boleh bicara. Dalam Kafir Liberal (Progress, 2005) Cak Nun mencatat tentang seseorang yang mengaku berasal dari Jaringan Kafir Liberal. Pria itu diberikan kesempatan melontarkan pendapat tentang kebenaran dan ketuhanan di Kenduri Cinta. Fakta itu menjadi bukti, meski mayoritas hadirin beragama Islam, bukan berarti non-Islam terpinggirkan. Pluralisme dengan analogi: biarkan kambing mengembik dan biarkan ayam berkokok dalam satu kandang, dipegang dengan seksama. Bukankah perbedaan adalah sunatullah dan hukum alam yang mutlak? Bukankah tidak ada yang bisa menjamin seorang manusia akan tetap memegang teguh suatu agama, ideologi, pandangan, hingga dia mati kelak? Semua bisa berubah, bahkan menjadi sesuatu yang awalnya sangat dibenci. Kemerdekaan berpikir yang menyasar pada perdamaian adalah keniscayaan. Manusia sangat mungkin berbeda pandangan dan keyakinan tak bisa dipaksakan. Namun, semua manusia ingin merdeka dan berdamai, bukan? Menjadi Jelata Seperti Nabi Buku yang pernah terbit pada 2007 ini diramu dengan bahasa sehari-hari. Namun, dibutuhkan kedalaman perenenungan untuk memahaminya. Secara umum, Cak Nun seperti merangkum cerita pribadi para penikmat Maiyahan. Dalam pengantar, pria kelahiran Jombang itu mengklaim dirinya sekadar “editor” dalam kumpulan artikel inspiratif ini. Secara prinsip, gagasan yang ingin disampaikan adalah bagaimana menjadi manusia yang baik dan sederhana. Tidak rakus dan sombong. Karena secara hakikat, sehebat apapun hidup, berkalang tanah jua akhirnya. Dengan kesederhanaan, manusia tidak akan bingung di saat sedih dan tidak akan heboh kala bahagia. Nabi Muhammad pun memilih jelata dan sederhana. Meskipun sebenarnya, bisa saja hidup berlimpah harta. Orang Maiyah mengerti persis Nabi Muhammad Saw. justru memilih menjadi orang miskin. Ia ditawari Allah Swt. apakah akan menjadi “mulkannabiyya”, nabi yang juga raja nan kaya raya? Allah Swt. sudah menyediakan harta berupa gunung emas. Tetapi, Kanjeng Nabi memilih “abdannabiyya”, nabi yang rakyat jelata. Rakyat jelata bukanlah orang kaya. (hal. 86). Dari waktu ke waktu, gelombang gerakan Maiyah semakin tinggi. Aktifitas itu berlangsung secara konsisten, signifikan, penuh keikhlasan, tanpa banyak perhatian dari media massa mainstream. Tak hanya dapat dilihat dari peningkatan jumlah hadirin di masing-masing lokasi. Juga, dari makin menjalarnya cakupan di banyak wilayah tanah air. Maiyahan jauh dari sikap tertutup atau eksklusif. Inilah yang membuatnya selalu dinantikan saban bulan. Forum ini secara tegas menempatkan manusia sebagaimana seharusnya manusia: sekadar makhluk Tuhan di muka bumi.(*) Resensi Buku Judul Penulis Penerbit Cetakan Tebal : Orang Maiyah : Emha Ainun Nadjib : Bentang, Yogyakarta : Pertama, November 2015 : viii + 100 halaman Pemimpin Bukan Peminta Pemimpin bukan peminta. Tersebutlah seorang pemimpin agung dari jazirah arab yang pengangkatannya diwarnai perdebatan sengit dengan pemimpin yang terdahulu. “Jangan Kawan! Aku tidak memerlukan jabatan itu.” tukas pemimpin agung yang pada waktu itu masih berstatus calon pemimpin. “Tetapi kepemimpinan memerlukanmu. Aku khawatir maut menjemputku dan meninggalkan rakyat tanpa pemimpin lalu terjadi hal yang tidak baik seperti di masa-masa lalu.” “Carilah pengganti selain aku, si fulan, misalnya. Dia Amienul Ummah, kepercayaan umat.” Si calon berkelit. “Aku juga sempat memikirkannya. Tapi krisis multidimensi membuat rakyat kita membutuhkan seorang kuat yang terpercaya. Al-qawiyyul amien!” sang pemimpin berdalih. “Bagaimana kau bisa memilihku, wahai Kawan, sedang aku sering berbeda pendapat denganmu?” “Justru itu yang memperkuat pilihanku. Aku ingin seseorang yang bila mengatakan tidak, ia mengatakannya dengan sepenuh hati: bila mengatakan ya, dia mengatakannya dengan sepenuh hati.” Mereka saling berdebat dan bertukar argumentasi. Yang satu bersikeras meminta, yang satu bersikeras menolak. Didesak terus, si calon pemimpin yang terkenal perkasa itu pun menangis. “Sahabatku, dalam urusan kekuasaan, ada dua golongan yang celaka. Pertama, golongan orang yang berambisi menjadi penguasa padahal dia tahu bahwa ada orang lain yang lebih pantas dan lebih mampu daripada dirinya. Kedua, orang yang menolak ketika diminta dan dipilih padahal dia tahu dirinyalah yang paling pantas dan paling mampu.” “Sahabatku, demi persahabatan dan kecintaanku padamu, jauhkanlah aku dari beratnya hisab di hari kiamat kelak!” si calon pemimpin berusaha merayu pemimpin yang menunjuknya. “Kau lupa, Kawan. Pemimpin yang adil kelak, akan dipayungi Allah di hari tiada payung kecuali payung-Nya.” “Pemimpin yang adil, ya. Tapi aku?” si calon pemimpin semakin keras menangis. “Kau juga, Kawan! Kau juga!” Akhir kisah, perdebatan itu dimenangkan oleh keduanya. Dengan berbagai pemaparan yang objektif, sang pemimpin berhasil meyakinkan si calon pemimpin tentang keniscayaannya menjadi pemimpin selanjutnya. Si calon pemimpin tak lupa menyarankan sang pemimpin untuk bermusyawarah dulu dengan tokoh-tokoh lain. Sang pemimpin menyanggupi. Dalam sejarah, si calon pemimpin yang kemudian menjadi pemimpin agung tersebut terbukti sanggup membawa rakyatnya menyinari dunia dengan kepemimpinan dan peradaban yang luhur. Pemimpin hebat yang dimaksud adalah Umar bin Khaththab, dan pemimpin terdahulu Ashshiddiq. yang menunjuknya adalah Abu Bakar Cerita diatas dinukil-sarikan oleh A.Mustofa Bisri alias Gus Mus dari kitab Malhamah Umar-nya Ali Ahmad Baktsier. Di buku kumpulan esai Kompensasi, cerita ini termaktub dengan judul Abu Bakar dan Umar. Dituturkan dengan bahasa yang lugas dan cerdas, cerita ini terasa hidup dan menggugah. Ada banyak topik yang dihadirkan dalam buku ini. Selain tentang kepemimpinan, terdapat pula tentang saling pengertian dan rendah hati. Seperti pada artikel bertitel Kisah Nyata atau Dongeng? Suatu ketika datang seorang tua miskin pada seorang ulama bernama Syiekh Sa’id bin Salim, hendak menyampaikan sesuatu keperluan meminta tolong pada orang yang sangat disegani itu. Serupa dengan kebanyakan orang tua yang senantiasa berdiri dengan bertelekan tongkat, orang itu pun bertelekan tongkat sebagai penopang ketuaanya. Tanpa disadari, ujung tongkat itu menghujam di kaki Syiekh sampai berdarah-darah. Seperti tidak merasakan apa-apa, Syiekh Sa’id bi Salim mendengarkan dan mengabulkan curahan hati dan permintaan orang tua itu. Selepas si wong cilik berlalu pergi, orang-orang yang kebetulah melihat kejadian itu, dengan heran bertanya. “Kenapa Syiekh diam saja, tidak menegur, ketika orang tua tadi tanpa sengaja menghujamkan tongkatnya di kaki syiekh?” “Kalian kan tahu sendiri, dia datang kepadaku untuk menyampaikan keperluannya, kalau aku mengaduh atau apalagi menegurnya, aku khawatir dia akan merasa bersalah dan tidak jadi menyampaikan hajatnya.” Gus Mus memang piawai menyampaikan kisah-kisah inspiratif. Wawasan dan pergaulan yang luas, nampaknya turut mengasah kelihaian bertutur. Pemimpin dan pembina pondok pesantren Roudlotul Thalibien Rembang yang juga pengasuh situs internet Mata Air gusmus.net ini dikenal pula sebagai orang yang tidak gila jabatan. Dia pernah meletakkan kesempatan menjadi anggota DPD jawa tengah pada pemilu 2004 lalu. Dia juga menolak tawaran menjadi pegawai musim haji di Arab Saudi meski jabatan itu memungkinkan dia berhaji tiap tahun dengan mudah. Bahkan dia pernah pula mengundurkan diri dari bursa calon ketua umum PBNU walaupun dia mengaku sempat tergiur dengan posisi itu. Penolakan-penolakan itu dilatarbelakangi kepandaian Gus Mus bercermin menilai diri. Bukan karena ingin lari dari tanggung jawab atau enggan mengemban beban mulia, namun lebih disebabkan kejujuran dan kesadaran diri. Rasulullah SAW, tokoh idola Gus Mus dan seluruh umat muslim, pernah berpesan, agar umatnya senantiasa jujur menakar kapasitas diri, celakalah orang-orang yang tak kenal dirinya sendiri.— sebab Buku Judul : Kompensasi; Kumpulan Tulisan A. Mustofa Bisri ISBN : 978-979-25153-5-0 Penulis : A. Mustofa Bisri (Gus Mus) Penerbit : Mata Air Publishing Tanggal Terbit : 27/07/2011 Halaman : x + 286 halaman Sumbangan Inspiratif Awardee LPDP UNAIR dari Lagi-lagi, komunitas Awardee LPDP UNAIR membuat langkah apik. Setelah sukses dengan beragam kegiatan di Scholarship Corner (SC) Perpustakaan Pusat Kampus B, kali ini mereka meluncurkan buku kumpulan esai. Terdapat tak kurang dari 30 esai dari para penerima beasiswa plat merah tersebut. Kontennya, seputar trik, tips, dan cerita menarik di balik pengalaman mereka meraih prestasi itu. Kenapa prestasi? Karena, untuk mencapainya, seseorang harus banyak berdoa dan bekerja keras. Dalam buku tersebut, ada esai yang bercerita tentang jatuhbangunnya seorang calon Awardee. Sebab, dia pernah gagal mencari beasiswa. Meski akhirnya, seperti biasa, takdir berpihak pada mereka yang pantang menyerah. Ada pula cerita tentang anak Pramuwisma yang sukses meraih beasiswa LPDP. Di tengah segala kekurangan, mimpi itu berhasil dicapainya. Yang jelas, tulisan-tulisan yang bergaya populer ini dapat dijadikan teman bersantai. Khususnya, bagi para pemburu kuliah S2 dan S3 gratis. Karena memang, LPDP secara teknis, setidaknya sampai saat ini, hanya menggelontorkan beasiswa magister dan doktor. Juga, beasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis. Dari kumpulan ini dapat diketahui, penerima beasiswa LPDP beragam latar belakang. Baik dari segi asal, maupun profesi. Ada yang dari Papua, Sulawesi, Nusa Tenggara, Jawa, Kalimantan, Sumatera, dan lain sebagainya. Ada yang PNS, dokter, wartawan, staf perusahaan, maupun fresh graduate sarjana. Artinya, siapapun orangnya, memiliki kesempatan yang sama untuk mendapat beasiswa ini. Buku ini sudah dicetak dan bakal diedarkan secara masif pada Jum’at (29/7) mendatang. Rencananya, dalam waktu dekat, para awardee LPDP juga bakal bersilaturahmi dengan Rektor UNAIR. Sekaligus, menghadiahkan buku ini pada orang nomor satu di kampus Airlangga. Apresiasi rektorat UNAIR Ada sejumlah testimoni positif dari sejumlah guru besar UNAIR di buku ini. Bahkan, Rektor UNAIR Prof. Dr. H. Mohammad Nasih, MT., SE., Ak., CMA menyempatkan diri memberi pengantar. “Karya yang berupa kumpulan esai penerima beasiswa LPDP di Unair tersebut bisa dibilang terobosan para awardee untuk bersumbangsih pada sekitar. Mereka berbagi pengalaman melalui catatan atau kisah lika-liku memburu beasiswa ini. Seru, kadang jenaka, sarat tips dan trik, serta penuh inspirasi!” catat Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis tersebut. Wakil Rektor III Prof. Mochammad Amin Alamsjah, Ir., M.Si., Ph.D, juga memberikan apresiasi. “Tulisan di buku ini sangat penting sebagai bagian dari pencerdasan & peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas. Mari dibaca, dipahami, sehingga bisa menjadi inspirasi bagi kita semua,” katanya dalam testimoni. Kepala Perpustakaan UNAIR Prof. Dr. I Made Narsa, SE., M.Si., Ak yang selama ini banyak mendukung kegiatan Awardee pun menganggap penerbitan ini sebagai langkah yang luar biasa. “Kehadiran LPDP telah membuka nuansa baru bagi generasi penerus bangsa kelak. Jangan pernah kehilangan asa, karena asa akan muncul dari setiap usaha & doa. Itulah inspirasi dahsyat dari buku ini, sehingga wajib dibaca, bahkan oleh siapapun. Saya berharap buku ini bisa tersebar & dibaca seluas-luasnya untuk memberikan pencerahan & pelajaran berharga dari pengalaman sukses para Awardee,” papar dia. (*) Buku Judul Penulis Penerbit Cetakan Tebal : Menggapai Asa Bersama LPDP : Awardee LPDP UNAIR : Pustaka Saga : I, Juni 2016 : 248 halaman Gali Inspirasi dari Negeri Sakura Tak salah bila banyak anggapan menyebut Jepang adalah sebuah negara yang berkarakter kuat dan memiliki ciri khas yang mencolok. Dari segi seni, cara berpakaian, dan kreatifitas bahkan jargon, Negeri Matahari Terbit memunyai sisi-sisi yang menarik nan berbeda dengan negeri-negeri lain. Dengarkan lagu beraliran rock dari jepang. Selalu kental dengan cabikan bass yang melompat-lompat di setiap ketukan. Musik popnya, penuh dengan irama melodik tuts keyboard dan dentingan gitar yang mendayu tajam. Siapa saja yang mendengar lagu atau nada-nada asal negeri Sakura, akan dengan mudah mengidentifikasi kelahiran lagu tanpa harus mendengar suara vokalis mendendangkan lirik lagu berlafal huruf kanji. Di sisi lain, lihatlah para remaja jepang yang berkumpul dan bercengkrama di kawasan Harajuku, sekitar Stasiun JR Harajuku, Distrik Shibuya, Tokyo. Dandanan dan warna asal tubruk yang mungkin akan lebih terkesan norak serupa orang gila bila dipakai di negara lain, justru menjadi pusaran idola di sana. Bahkan, karakter unik tersebut sedikit demi sedikit menjangkit ke wilayah lain di Jepang bahkan dunia. Perkara kreatifitas, Jepang tak perlu diragukan. Entah sudah berapa ribu judul komik manga yang banyak di antaranya menjadi tren dengan cerita variatif. Sebut saja Dragon Ball yang imajinatif dan telah diterbitkan versi bahasa inggrisnya, Slam Dunk dan Doraemon yang inspiratif, Samurai X yang sarat nilainilai kehidupan, serta Kapten Tsubasa yang fenomenal. Konon, komik karya Yoichi Takahashi yang disebut terakhir tadi menjadi motivasi tersendiri bagi tim Samurai Biru dalam meraih sukses merebut posisi di pentas sepak bola dunia. Bila ditanya tentang jargon, Soichiro Honda si intelektual sangat brilian dengan ungkapan populernya: percayalah pada kekuatan mimpi (the power of dream). Pria kelahiran Iwatagun (kini Tenrryu City) tersebut telah menjadi simbol tersendiri di ranah otomotif dan bisnis level internasional. Kekhasan Salah satu kekhasan Jepang adalah bunga Sakura, yang memang identik dengan negeri tersebut. Pada Sakura, terkandung nilainilai luhur sebuah identitas dan semangat. Hal-hal itu ingin dipetik oleh Imam Robandi, penulis buku The Ethos of Sakura yang diterbitkan Penerbit Andi Yogyakarta. Melalui buku tersebut, guru besar teknik elektro ITS ini menjelaskan betapa kuatnya sakura mempengaruhi pandangan dan pemikiran orang Jepang. Ketika musim Sakura mekar, sang pohon membiarkan daun-daun gagah berjatuhan untuk kemudian digantikan dengan bunga yang jauh lebih indah dan mempesona. Pohon sakura tidak cukup puas dengan memiliki daun gagah dan batang kukuh. Bila memang bisa melakukan yang lebih mempesona, mengapa harus bangga dengan kebiasa-biasaan? Mungkin demikianlah yang ada dalam pikiran pohon sakura di seluruh penjuru Nippon andai pohon tersebut memiliki otak. Semua warga Jepang sangat antusias meluangkan waktu untuk menyaksikan kejadian tersebut di taman-taman atau pelataran depan rumah mereka. Seluruh penduduk berusaha menggali hikmah dari tumbuh, kuncup, dan mengembang eloknya bunga yang bernama lain Japan Cherry Blossom tersebut. Menghargai Waktu Hidup memang tidak begitu lama. Tak ada yang abadi. Demikian pula bunga Sakura yang hanya hidup selama musim semi sekitar bulan April tiap tahunnya. Namun dalam keterbatasan tersebut, Sakura berusaha memberikan yang terbaik dari hidupnya. Orang Jepang tak ingin membuang waktu dengan berjalan pelahanlahan. Bila melangkah, mereka tampak seperti setengah berlari. Waktu berharga bagi mereka walau hanya beberapa detik ayunan kaki kanan dan kiri. Imam Robandi sering menemui penundaan dan keterlambatan jamjam penerbangan. Namun penundaan tersebut disikapinya sebagai anugerah, bukan musibah. Waktu yang molor digunakannya untuk melakukan hal yang bermanfaat. Dalam sebuah diskusi, pria yang mengambil program doctoral di Jepang ini mengatakan, buku yang berisi 75 artikel dan kisah pendek ini nyaris semua ditulis dengan cara mencuri-curi waktu dan kesempatan di balik kemelesatan jadwal bandara. Semua artikel dan kisah merupakan sari pati dari pengalaman pria kelahiran Kebumen Jawa Tengah tersebut selama menjalani pendidikan S2 dan program doktoral di negeri Sakura. Ada juga yang murni bersumber dari penelaahan terhadap nilai-nilai kehidupan di negara itu. Manusia yang sukses memang dia yang menghargai waktu. Pelajaran mengenai waktu tak hanya bisa dipetik melalui bangsa Jepang. Ungkapan dalam bahasa Inggris berbunyi, Time is Money (waktu adalah uang atau waktu sangat berharga). Maestro asal Jazirah Arab Muhammad bin Abdullah pernah berkata, jagalah sempatmu sebelum sempitmu. Maksudnya, manusia harus memanfaatkan waktu dan kesempatan, sekecil apapun itu guna melakukan hal-hal yang bermanfaat. Sebab bila masa sempit telah tiba, seseorang tidak akan bisa melakukan apapun. Buku Judul: The Ethos Of Sakura, Bacaan strategik pribadi sukses Penulis: Imam Robandi Penerbit: Penerbit Andi Cetakan: 2010 Yogyakarta Tebal: 254 Halaman Menghirup Kearifan Agama di Dunia Agama- Secara subyektif, tiap pemeluk agama pasti merasa ajaran yang dianutnya paling benar. Ini soal keyakinan. Jadi, tidak perlu diperdebatkan. Sebaliknya, bila secara serampangan seseorang menganggap semua agama benar, agama pun tak ubahnya seperti baju. Sehingga, bisa diganti-ganti sesuka hati. Dalihnya, semua sama benarnya. Tinggal pilih, yang mana yang disuka pagi ini, siang, atau sore nanti. Di titik ini, hilanglah kesakralan agama. Punahlah keintiman makhluk untuk menyembah Tuhan dengan segala ritual yang diklaim sebagai “kepasrahan” tertinggi. Di sisi lain, mesti diakui pula bahwa ada misi perdamaian yang dibawa oleh semua agama. Bila kemudian dalam ajaran masingmasing ada celah: sebut saja penonjolan aspek “superioritas”, itu hal lain. Yang jelas, tiap agama memiliki kearifan atau kebijaksanaan universal. Semua agama memfatwakan tentang perlunya manusia saling berbuat baik. Tak hanya pada manusia lain, namun juga pada makhluk hidup yang telah diciptakan. Termasuk, hewan, tumbuhan, dan segala kreasi lain umat manusia. Semua mesti dimanfaatkan untuk kemaslahatan peradaban. Bukan demi kerakusan dan kenikmatan sesaat. Agama mengajarkan bagaimana saling menjaga, bukan saling menghancurkan. Bahkan, terhadap mereka yang berbeda pandangan. Setidaknya, ungkapan di paragraf-paragraf awal tadi menjadi salah satu butir kesimpulan buku Agama-Agama Manusia yang disusun oleh Huston Smith. Lelaki kelahiran Tiongkok ini meringkas poin-poin luhur tiap agama yang ada dunia. Setidaknya, ada delapan agama yang kena sorot. Yakni, Hindu, Budha, Taoisme, Islam, Konfusianisme, Yahudi, Kristen, dan Agama-Agama Primal (Purba). Bahwa agama ingin membawa perubahan yang baik di dunia, merupakan kunci klise benang merah semua agama di dunia. Walau demikian, tak sedikit pula kemiripan agama satu dengan yang lain. Misalnya, saat Yesus Kristus yang dianggap sebagai Tuhan oleh umat Kristiani, berkata, “Perlakukanlah orang lain sebagaimana kau ingin orang lain memperlakukanmu,”. Sementara Nabi Muhammad SAW pernah berpesan, yang termaktub dalam satu riwayat hadist dan diterjemahkan bebas: tidak sempurna keimanan seseorang sampai dia mencintai sesama selayaknya mencintai dirinya sendiri. Pada bagian lain, terdapat pula kesamaan karakteristik sosok panutan sejumlah agama. Bodhisatva, contohnya. Dia pernah digambarkan sebagai penggembala yang baik. Tak ubahnya Yesus Kristus. Bertolak dari sini, dapat dimaknai, kesamaan Kristen dan Budhisme sejatinya lebih kompleks dari pada yang kasat mata (Hal. 351). Belajar Sejarah Yang tak kalah menarik dari buku ini adalah dipaparkannya sejarah dan seluk beluk agama di dunia. Termasuk, soal Konfusianisme yang berawal dari “pengkultusan” seorang bernama Kung fu-Tzu atau Kung Sang Guru. Masyarakat Tiongkok, yang “mensucikan” orang ini, memuja namanya sebagai Guru Pertama. Bukan berdasar kronologi waktu. Karena sebelumnya, sudah banyak guru-guru yang lain. Melainkan, dari aspek kualitas. Dia adalah manusia biasa yang memiliki ajaran lintas bidang. Khususnya, di ranah kebijaksanaan. Pemerintah Tiongkok saat ini pun sudah dipengaruhi pemikiran Konfisius dengan begitu dalam. Tidak ada tokoh lain yang merasuk dalam perspektif tata kelola pemerintahan lelaki asal provinsi Shantung tersebut (hal. 172). Tak ayal, banyak pemikir yang menobatkannya sebagai salah satu intelektual penting dunia. Disinggung pula tentang Yahudi yang berkiblat pada sosok Nabi Musa. Selain soal sejarahnya, disampaikan pula keunikan dari agama monoteisme ini. Umpamanya, seperti terkutip pada salah satu ayat di kitabnya. Di sana, digambarkan betapa Maha Kasihnya Tuhan. Tuhan yang mereka yakini sangat mencintai ciptaannya. Maka itu, manusia dianggap sebagai “anak-anak” kesayangan (hal. 317). Aku-lah yang mengajari Efraim berjalan. Aku menggendong mereka dibuaianku; Aku membimbing meeka dengan tali kebaikan manusia, dengan balutan-balutan cinta (Hosea, 11:3) Tak ketinggalan, dijabarkan tentang ragam dalam agama atau ajaran tertentu. Tak hanya soal Kristen yang memiliki sejumlah macam: Katholik, Orthodok, dan Protestan. Namun juga, soal varian dan metode umat Islam mendekatkan diri pada Tuhan. Di dalamnya, ada paham sufisme. Idiom sufisme yang mengacu pada perspektif para sufi ini memiliki akar kata “Suf”. Artinya, kain wol dari kulit binatang. Bahan dasar pakaian yang bersahaja atau sederhana. Golongan sufi, konon, memilih pakaian wol sebagai bentuk protes pada para pejabat di masanya yang suka memakai kain sutra dan satin: yang dianggap simbol kemewahan. Para sufi memilih untuk zuhud: tidak suka bermewah-mewah. Sebab, kemegahan duniawi kerap menipu dan membuat penyukanya mabuk. Dalam banyak kasus, sukses membuat manusia menjadi zalim. (*) Buku Judul: Agama-Agama Manusia Penulis: Huston Smith Penerjemah: FX Dono Sunardi dan Satrio Wahono Penerbit: Serambi Ilmu Semesta Tahun: Desember 2015 Tebal: 433 Halaman