Hamka: Pesilat, Ulama, Sastrawan, dan Politisi

advertisement
Hamka:
Pesilat,
Ulama,
Sastrawan, dan Politisi
DI antara banyak tokoh ataupun pahlawan nasional negeri ini,
nama Hamka (HAJI Abdul Malik Karim Amrullah) tersisip. Secara
spesifik, agak sulit mendefinisikan sosok kelahiran 17
Februari 1908 ini. Kemampuan yang dia miliki begitu kompleks.
Didapatkannya dari pengalaman dan tempaan mental sejak zaman
sebelum kemerdekaan hingga pergantian rezim demi rezim
republik.
Melalui buku berjudul Ayah… Kisah Buya Hamka yang dikarang
anak kelimanya, Irfan Hamka, masyarakat disuguhi sekelumit
cerita tentang pribadi bersahaja ini. Tentu saja, sebuah buku
tak mungkin sanggup menampung kisah pejuang yang beberapa kali
bersilang opini secara frontal dengan pemerintah ini. Namun
paling tidak, pelajaran hidup dari ayah dua belas anak yang
dirangkum di sini cukup untuk menambah wawasan pembaca.
Di masa sebelum kemerdekaan, Hamka adalah prajurit. Dia
bergabung dengan sejumlah angkatan perang semisal Front
Kemerdekaan Sumatera Barat, Tentara Keamanan Rakyat, Front
Pertahanan Nasional, dan Barisan Pengawas Negari dan Kota.
Bahkan, beberapa kali dia didapuk sebagai pemimpin di gerakan
tersebut (Hal: 17).
Sebagai tentara, dia tak bisa mengelak dari kebiasaan masukkeluar hutan. Kemampuan silat Minang pun menjadi wajib
dimiliki. Irfan menuturkan, ayahnya termasuk salah satu
pendekar di kampung. Irfan juga mengaku kalau pernah diajari
ilmu silat Minang oleh Hamka.
Totalitas Hamka di medan perang terbukti dari apresiasi yang
diberikan Jenderal Nasution. Pada 1960, sang Jenderal berniat
memberikannya pangkat kehormatan Mayor Jenderal Tituler. Meski
demikian, dengan kerendahan hati dan atas saran istrinya, Siti
Raham Rasul, Hamka menolak pangkat kehormatan tersebut (hal:
199).
Mungkin tak banyak orang tahu kalau Hamka adalah pesilat atau
tentara yang ikut turun di medan tempur. Masyarakat mungkin
hanya paham kalau dia adalah ulama Islam. Hal itu tak lepas
dari predikatnya sebagai salah satu tokoh Muhammadiyah yang
kharismatik. Apalagi, dia juga tergolong satu dari tak begitu
banyak ulama Indonesia yang membuat tafsir Al Qur’an. Al
Azhar, itulah nama tafsir Al Qur’an yang dibuatnya saat
meringkuk di balik terali besi.
Ya, selama sekitar dua tahun, lelaki yang sempat belajar agama
Islam secara “nekat” ke Arab Saudi sementara belum terlalu
mahir bahasa Arab ini, harus rela tidur di ubin penjara
Sukabumi. Sejak sekitar 1964, mantan politisi partai Masyumi
ini dijebloskan rezim dengan alasan politis.
Tanpa peradilan, Hamka dan beberapa temannya mesti terpisah
dari keluarga. Tapi toh, penjara membuatnya malah bersyukur.
Dengan demikian, tafsir monumental yang dia impikan akhirnya
terwujud.
Pengarang puluhan judul buku ini tidak sekali itu saja
“bersitegang” dengan pemerintah. Ketika menjadi ketua MUI di
era Soeharto, dia sempat menuai protes saat mengeluarkan fatwa
haram bagi umat muslim merayakan natal bersama. Pemerintah
juga agak tak sejalan dengan pendapatnya.
Mungkin karena merasa bertanggungjawab dan ingin memberi
pemahaman bahwa dia teguh memegang prinsip, mundur dari
jabatan dijadikan jawaban. Dia tidak menyesal.
Ini bukan persoalan prokontra terkait fatwa tersebut. Tapi
lihatlah betapa sosok Hamka tidak mau terpengaruh “intervensi”
pemerintah dalam memutuskan suatu perkara. Lebih baik lepas
sama sekali dari kestrukturan yang ada, dari pada mesti
melangkah tapi bukan pada pendirian sendiri.
Perselisihan Hamka tidak hanya terjadi terhadap pemerintah.
Penulis Di Bawah Lindungan Ka’bah ini juga sempat
berseberangan dengan sesama sastrawan Pramoedya Ananta Toer.
Hal itu dapat diketahui melalui kata pengantar Taufiq Ismail
di buku ini.
Taufiq menyisipkan tentang kondisi seberang pendapat antara
Pram dan Hamka. Betapa dulu Pram kerap melontarkan kritikan
keras pada karya dan pemikiran Hamka. Semisal, saat halaman
Lentera yang diasuh Pram di harian Bintang Timur melansir
tudingan plagiat untuk karya Hamka berjudul Tenggelamnya Kapal
Van der Wijck.
Seberapapun keras dan bertolak belakang pemikiran dua
sastrawan besar tersebut, ternyata di masa tua, Pram menyuruh
calon menantunya belajar agama pada Hamka. Ulama besar yang
sempat rutin mengisi pengajian di RRI dan TVRI itu pun tidak
keberatan. Taufiq yang bisa dibilang salah satu saksi hidup
“pertikaian” mereka di masa lalu, kini bersaksi pula kalau
sejatinya mereka sudah “berdamai”.
Meskipun disebut sebagai buku yang berisi tindak-tanduk atau
kisah-kisah Buya Hamka, beberapa bab Ayah… justru tidak fokus
pada peraih Doktor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar
tersebut. Terdapat tulisan yang hanya memotret pengalaman
hidup Irfan dan atau keluarganya. Irfan menyebut kondisi ini
sebagai suatu hal yang wajar. Dia menilai, benang merah dalam
tiap bab di buku ini tetap Hamka. Sosok yang merupakan sumbu
semua gerakan keluarganya. (*)
Buku
Judul
Penulis
Penerbit
Tahun
Tebal
: Ayah… Kisah Buya Hamka
: Irfan Hamka
: Republika Penerbit, Jakarta
: Cetakan III, Agustus 2013
: xxviii + 324 Halaman
Mewaspadai Sindrom Kekuasaan
Situasi politik akhir-akhir ini nampak jauh dari cita-cita
reformasi. Mereka yang dulu kelihatan begitu reformis, kini
justru ikut-ikutan memburu kekuasaan. Fenomena macam ini dalam
ranah politik, boleh disebut sebagai sindrom kekuasaan. Kalau
diamati, sedikitnya ada tiga jenis sindrom seperti ini. Yaitu
sindrom atau penyakit pasca-kuasa (Post-Power Syndrome) dan
penyakit pra-kuasa (Pre-Power Syndrome) serta Penyakit orang
yang sedang berkuasa (In-Power Syndrome).
Istilah Post-Power Syndrome digunakan untuk menggambarkan
seseorang yang berprilaku aneh-aneh setelah tidak lagi
memegang jabatan kekuasaan, termasuk misalnya gemar mengkritik
pemerintahan yang kadang malah nampak berlebihan dan sok
reformis. Pre-Power Syndrome diistilahkan untuk orang yang
sebelum berkuasa begitu gemar memromosikan diri untuk meraih
kekuasaan. Sedangkan In-Power Syndrome adalah gambaran bagi
orang yang sebelum berkuasa perilaku dan ucapannya seperti
‘orang bener’, tapi ketika berkuasa ia mulai lupa diri dan
mati-matian mempertahankan kekuasaannya dengan cara apapun.
Yang jelas, apapun jenisnya, penyakit tersebut bertujuan
menggerogoti individu dengan iming-iming kekuasaan, hingga
pada akhirnya, dia menjadi ‘budak’ atau tawanan kekuasaan.
Ada satu contoh menarik berkisar tentang penyakit kekuasaan
yang bersumber dari negeri seberang. Tersebutlah seorang
profesor sejarah dari Harvard University bernama Henry
Kissinger. Dulu, sebelum diangkat presiden Richard Nixon
menjadi penasehat pemerintah dan ketua NSC (National Security
Council), dia adalah sosok yang selalu mengkritik pemerintah.
Nah, ketika dia memangku jabatan tersebut di atas, dia pun
mulai membela pemerintah. Setelah itu, Nixon mempromosikannya
menjadi menteri luar negeri. Maka bertambahlah pekerjaannya
untuk membela setiap kebijakan pemerintah. Tetapi, begitu dia
turun jabatan dan tak lagi menjadi orang pemerintahan,
mulailah lagi dia kritis pada pemerintahan (Hal:144).
Penyakit atau sindrom kekuasan bisa terjadi di mana pun.
Sindrom tersebut bukan monopoli salah satu atau beberapa
tempat atau negara tertentu saja. Semua manusia mempunyai
kemungkinan dan kelemahan untuk terjerumus ke dalam jurang
itu. Bila sudah terkubang di sana, seseorang akan sulit untuk
berkata jujur dan benar. Sebab dasar perbuatannya adalah
subyektifitas semata untuk mencari dan atau memertahankan
kekuasaan pribadi.
Di situlah pentingnya manusia untuk senantiasa waspada. Maka
ada baiknya bila setiap orang mengamalkan uzlah-nya Imam
Ghazali. Uzlah di sini bukan berarti menyepi atau bertapa,
melainkan mengambil jarak dari persolan yang mengitari, agar
mampu melihat keadaan yang sesungguhnya secara obyektif. Dalam
islam, shalat dimulai dengan takbiratul ihram dan ketika
mengucap “Allahu Akbar”, seorang muslim harus fokus dan
konsentrasi hanya pada Allah SWT, yang berarti meninggalkan
segala hal di sekelilingnya. Di sinilah uzlah, melupakan semua
hal yang mengandung beragam kepentingan pribadi atau golongan,
menuju ke satu titik mutlak, kebenaran sejati, agar dari sana
mendapat petunjuk yang lurus. Serupa salah satu do’a dalam
bacaan shalat “Ihdina al-shirat al mustaqim (Tunjukanlah kami
(Ya Allah) ke jalan yang lurus)”.
***
Nurcholish Madjid adalah seorang intelektual kondang dan
jenius asal kota santri, Jombang. Selain dikenal sebagai
agamawan alumnus pondok pesantren Gontor, dia juga tercatat
sebagai lulusan Chicago University. Melihat almamaternya,
khalayak seharusnya tak perlu heran jika pria yang lebih akrab
dipanggil Cak Nur ini memiliki daya jelajah analisa yang jauh
di atas rata-rata.
Buku Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa
Transisi ini sudah menjalani dua kali cetak. Sebelum catakan
kedua di awal tahun 2009, buku ini sudah cetak di 2002. Buku
ini boleh dibilang merupakan hasil ketekunan beberapa orang
yang dengan sukarela menukil-sarikan dialog-dialog selepas
shalat Jum’at antara Cak Nur dan jamaah di masjid Yayasan
Paramadina. Orang-orang yang berjasa itu di antaranya adalah:
Iwan Himmawan, Syamsul Muin, dan Yayan Hendrayani.
Dialog-dialog jumat yang terjadi dilakukan dengan sangat
bersahaja. Artinya, segala konsep pemikiran Cak Nur yang
disampaikannya saat diskusi, sangatlah erat kaitannya dengan
kehidupan sehari-hari, khususnya dengan isu yang pada waktu
itu berkembang. Meski demikian, Cak Nur juga kerap menyinggung
sejarah-sejarah, baik yang sifatnya umum sampai yang berlatar
khusus perorangan.
Cak Nur sempat membahas sekaligus menganalisa tentang Bung
Karno (Hal: 131). Bahwasannya Bung Karno adalah seorang
priyayi karena anak seorang raden dan beribu bangsawan Bali.
Dia adalah putra Blitar sehingga unsur jawa tidak boleh
dilepaskan bila ingin menelaah kepribadiannya secara kultursentris. Dia dibesarkan di Surabaya, sempat dititipkan pada
HOS Cokroaminoto dan sempat pula mengenyam pendidikan di suatu
sekolah eropa. Kebetulan, pada jaman Proklamator itu beranjak
dewasa, Marxisme sedang didengungdengungkan.
Bertolok dari berbagai fakta historis tersebut, maka tak heran
jika banyak jargon atau falsafah Bung Karno yang dipetik dari
hikayat pewayangan jawa. Tak usah heran pula bila dia menjadi
Marxis tapi sekaligus tulus pada Islam. Dan tak perlu merasa
aneh ketika dia dengan yakin memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia tanpa banyak persiapan, hanya bermodal nekad, salah
satu karakteristik orang Surabaya. Bondo nekad, BONEK!.—
Buku
Judul
: Atas Nama Pengalaman Beragama dan
Berbangsa di Masa Transisi
(Kumpulan dialog Jum’at di
Paramadina)
Penulis
: Nurcholish Madjid
Penerbit
: Dian Rakyat, Jakarta
Tahun
: Cetakan kedua, Januari 2009
Tebal
: xii + 231 Halaman
Belajar
Menapak
Kesederhanaan
Jalan
Orang Maiyah adalah mereka yang tahan selama lima sampai tujuh
jam, mulai sekitar pukul 20.00 hingga 03.00, duduk bareng
berbagi ilmu di forum Maiyah. Tanpa ada yang mengundang,
mengajak, atau mewajibkan. Forum yang dalam terjemahan bebas
berarti kebersamaan, dilaksanakan satu bulan sekali di
sejumlah kota.
Namanya
Surabaya
Mbulan,
disebut
Makassar
berbeda-beda sesuai kearifan lokal. Misalnya, di
disebut Bang-Bang Wetan, di Jombang disebut Padhang
di Yogyakarta disebut Mocopat Syafaat, di Jakarta
Kenduri Cinta, di Malang disebut Obor Ilahi, di
disebut Paparandeng Ate, dan sebagainya.
Maiyahan digelorakan oleh budayawan Emha Ainun Nadjib. Namun,
pria yang akrab disapa Cak Nun itu menegaskan, Maiyah tidak
bergantung pada sosok. Maiyah tidak berkiblat pada ketokohan
tertentu. Tidak ada takzim berlebihan dan tidak proporsional
pada manusia. Karena sejatinya, seluruh insan sedang meniti
rentang usia untuk memburu kebenaran. Yang kata Nurcholish
Madjid, tak pernah absolut di tangan makhluk.
Orang-orang Maiyah bukan kelompok yang di permulaan berkedok
organisasi kemasyarakatan atau keagamaan, ujung-ujungnya
berkoalisi dengan kutub politik tertentu. Menjadi gaduh dan
loba tiap ada hajatan KPU. Selebihnya, hanya cermin nafsu tak
terbendung.
Dalam perjalanan yang sudah lebih dari satu dekade, Maiyah
tidak bertendensi kekuasaan apalagi kapital. Tidak ada
keinginan untuk menjadi unggul dari yang lain. Justru, di
sinilah tempat berbaur. Siapapun boleh bergabung untuk
mendengar pencerahan multi disiplin. Siapapun boleh bicara.
Dalam Kafir Liberal (Progress, 2005) Cak Nun mencatat tentang
seseorang yang mengaku berasal dari Jaringan Kafir Liberal.
Pria itu diberikan kesempatan melontarkan pendapat tentang
kebenaran dan ketuhanan di Kenduri Cinta. Fakta itu menjadi
bukti, meski mayoritas hadirin beragama Islam, bukan berarti
non-Islam terpinggirkan. Pluralisme dengan analogi: biarkan
kambing mengembik dan biarkan ayam berkokok dalam satu
kandang, dipegang dengan seksama.
Bukankah perbedaan adalah sunatullah dan hukum alam yang
mutlak? Bukankah tidak ada yang bisa menjamin seorang manusia
akan tetap memegang teguh suatu agama, ideologi, pandangan,
hingga dia mati kelak? Semua bisa berubah, bahkan menjadi
sesuatu yang awalnya sangat dibenci. Kemerdekaan berpikir yang
menyasar pada perdamaian adalah keniscayaan. Manusia sangat
mungkin berbeda pandangan dan keyakinan tak bisa dipaksakan.
Namun, semua manusia ingin merdeka dan berdamai, bukan?
Menjadi Jelata Seperti Nabi
Buku yang pernah terbit pada 2007 ini diramu dengan bahasa
sehari-hari. Namun, dibutuhkan kedalaman perenenungan untuk
memahaminya. Secara umum, Cak Nun seperti merangkum cerita
pribadi para penikmat Maiyahan. Dalam pengantar, pria
kelahiran Jombang itu mengklaim dirinya sekadar “editor” dalam
kumpulan artikel inspiratif ini.
Secara
prinsip,
gagasan
yang
ingin
disampaikan
adalah
bagaimana menjadi manusia yang baik dan sederhana. Tidak rakus
dan sombong. Karena secara hakikat, sehebat apapun hidup,
berkalang tanah jua akhirnya. Dengan kesederhanaan, manusia
tidak akan bingung di saat sedih dan tidak akan heboh kala
bahagia.
Nabi Muhammad pun memilih jelata dan sederhana. Meskipun
sebenarnya, bisa saja hidup berlimpah harta.
Orang Maiyah mengerti persis Nabi Muhammad Saw. justru memilih
menjadi orang miskin. Ia ditawari Allah Swt. apakah akan
menjadi “mulkannabiyya”, nabi yang juga raja nan kaya raya?
Allah Swt. sudah menyediakan harta berupa gunung emas. Tetapi,
Kanjeng Nabi memilih “abdannabiyya”, nabi yang rakyat jelata.
Rakyat jelata bukanlah orang kaya. (hal. 86).
Dari waktu ke waktu, gelombang gerakan Maiyah semakin tinggi.
Aktifitas itu berlangsung secara konsisten, signifikan, penuh
keikhlasan, tanpa banyak perhatian dari media massa
mainstream. Tak hanya dapat dilihat dari peningkatan jumlah
hadirin di masing-masing lokasi. Juga, dari makin menjalarnya
cakupan di banyak wilayah tanah air. Maiyahan jauh dari sikap
tertutup atau eksklusif. Inilah yang membuatnya selalu
dinantikan saban bulan. Forum ini secara tegas menempatkan
manusia sebagaimana seharusnya manusia: sekadar makhluk Tuhan
di muka bumi.(*)
Resensi Buku
Judul
Penulis
Penerbit
Cetakan
Tebal
: Orang Maiyah
: Emha Ainun Nadjib
: Bentang, Yogyakarta
: Pertama, November 2015
: viii + 100 halaman
Pemimpin Bukan Peminta
Pemimpin bukan peminta. Tersebutlah seorang pemimpin agung
dari jazirah arab yang pengangkatannya diwarnai perdebatan
sengit dengan pemimpin yang terdahulu.
“Jangan Kawan! Aku tidak memerlukan jabatan itu.” tukas
pemimpin agung yang pada waktu itu masih berstatus calon
pemimpin.
“Tetapi kepemimpinan memerlukanmu. Aku khawatir maut
menjemputku dan meninggalkan rakyat tanpa pemimpin lalu
terjadi hal yang tidak baik seperti di masa-masa lalu.”
“Carilah pengganti selain aku, si fulan, misalnya. Dia Amienul
Ummah, kepercayaan umat.” Si calon berkelit.
“Aku juga sempat memikirkannya. Tapi krisis multidimensi
membuat rakyat kita membutuhkan seorang kuat yang terpercaya.
Al-qawiyyul amien!” sang pemimpin berdalih.
“Bagaimana kau bisa memilihku, wahai Kawan, sedang aku sering
berbeda pendapat denganmu?”
“Justru itu yang memperkuat pilihanku. Aku ingin seseorang
yang bila mengatakan tidak, ia mengatakannya dengan sepenuh
hati: bila mengatakan ya, dia mengatakannya dengan sepenuh
hati.”
Mereka saling berdebat dan bertukar argumentasi. Yang satu
bersikeras meminta, yang satu bersikeras menolak. Didesak
terus, si calon pemimpin yang terkenal perkasa itu pun
menangis.
“Sahabatku, dalam urusan kekuasaan, ada dua golongan yang
celaka. Pertama, golongan orang yang berambisi menjadi
penguasa padahal dia tahu bahwa ada orang lain yang lebih
pantas dan lebih mampu daripada dirinya. Kedua, orang yang
menolak ketika diminta dan dipilih padahal dia tahu dirinyalah
yang paling pantas dan paling mampu.”
“Sahabatku, demi persahabatan dan kecintaanku padamu,
jauhkanlah aku dari beratnya hisab di hari kiamat kelak!” si
calon pemimpin berusaha merayu pemimpin yang menunjuknya.
“Kau lupa, Kawan. Pemimpin yang adil kelak, akan dipayungi
Allah di hari tiada payung kecuali payung-Nya.”
“Pemimpin yang adil, ya. Tapi aku?” si calon pemimpin semakin
keras menangis.
“Kau juga, Kawan! Kau juga!”
Akhir kisah, perdebatan itu dimenangkan oleh keduanya. Dengan
berbagai pemaparan yang objektif, sang pemimpin berhasil
meyakinkan si calon pemimpin tentang keniscayaannya menjadi
pemimpin selanjutnya. Si calon pemimpin tak lupa menyarankan
sang pemimpin untuk bermusyawarah dulu dengan tokoh-tokoh
lain. Sang pemimpin menyanggupi.
Dalam sejarah, si calon pemimpin yang kemudian menjadi
pemimpin agung tersebut terbukti sanggup membawa rakyatnya
menyinari dunia dengan kepemimpinan dan peradaban yang luhur.
Pemimpin hebat yang dimaksud adalah Umar bin Khaththab, dan
pemimpin terdahulu
Ashshiddiq.
yang
menunjuknya
adalah
Abu
Bakar
Cerita diatas dinukil-sarikan oleh A.Mustofa Bisri alias Gus
Mus dari kitab Malhamah Umar-nya Ali Ahmad Baktsier. Di buku
kumpulan esai Kompensasi, cerita ini termaktub dengan judul
Abu Bakar dan Umar. Dituturkan dengan bahasa yang lugas dan
cerdas, cerita ini terasa hidup dan menggugah.
Ada banyak topik yang dihadirkan dalam buku ini. Selain
tentang kepemimpinan, terdapat pula tentang saling pengertian
dan rendah hati. Seperti pada artikel bertitel Kisah Nyata
atau Dongeng?
Suatu ketika datang seorang tua miskin pada seorang ulama
bernama Syiekh Sa’id bin Salim, hendak menyampaikan sesuatu
keperluan meminta tolong pada orang yang sangat disegani itu.
Serupa dengan kebanyakan orang tua yang senantiasa berdiri
dengan bertelekan tongkat, orang itu pun bertelekan tongkat
sebagai penopang ketuaanya. Tanpa disadari, ujung tongkat itu
menghujam di kaki Syiekh sampai berdarah-darah. Seperti tidak
merasakan apa-apa, Syiekh Sa’id bi Salim mendengarkan dan
mengabulkan curahan hati dan permintaan orang tua itu.
Selepas si wong cilik berlalu pergi, orang-orang yang
kebetulah melihat kejadian itu, dengan heran bertanya.
“Kenapa Syiekh diam saja, tidak menegur, ketika orang tua tadi
tanpa sengaja menghujamkan tongkatnya di kaki syiekh?”
“Kalian
kan
tahu
sendiri,
dia
datang
kepadaku
untuk
menyampaikan keperluannya, kalau aku mengaduh atau apalagi
menegurnya, aku khawatir dia akan merasa bersalah dan tidak
jadi menyampaikan hajatnya.”
Gus Mus memang piawai menyampaikan kisah-kisah inspiratif.
Wawasan dan pergaulan yang luas, nampaknya turut mengasah
kelihaian bertutur. Pemimpin dan pembina pondok pesantren
Roudlotul Thalibien Rembang yang juga pengasuh situs internet
Mata Air gusmus.net ini dikenal pula sebagai orang yang tidak
gila jabatan.
Dia pernah meletakkan kesempatan menjadi anggota DPD jawa
tengah pada pemilu 2004 lalu. Dia juga menolak tawaran menjadi
pegawai musim haji di Arab Saudi meski jabatan itu
memungkinkan dia berhaji tiap tahun dengan mudah. Bahkan dia
pernah pula mengundurkan diri dari bursa calon ketua umum PBNU
walaupun dia mengaku sempat tergiur dengan posisi itu.
Penolakan-penolakan itu dilatarbelakangi kepandaian Gus Mus
bercermin menilai diri. Bukan karena ingin lari dari tanggung
jawab atau enggan mengemban beban mulia, namun lebih
disebabkan kejujuran dan kesadaran diri. Rasulullah SAW, tokoh
idola Gus Mus dan seluruh umat muslim, pernah berpesan, agar
umatnya senantiasa jujur menakar kapasitas diri,
celakalah orang-orang yang tak kenal dirinya sendiri.—
sebab
Buku
Judul
: Kompensasi; Kumpulan Tulisan A. Mustofa
Bisri
ISBN
: 978-979-25153-5-0
Penulis
: A. Mustofa Bisri (Gus Mus)
Penerbit
: Mata Air Publishing
Tanggal Terbit : 27/07/2011
Halaman
: x + 286 halaman
Sumbangan Inspiratif
Awardee LPDP UNAIR
dari
Lagi-lagi, komunitas Awardee LPDP UNAIR membuat langkah apik.
Setelah sukses dengan beragam kegiatan di Scholarship Corner
(SC) Perpustakaan Pusat Kampus B, kali ini mereka meluncurkan
buku kumpulan esai. Terdapat tak kurang dari 30 esai dari para
penerima beasiswa plat merah tersebut. Kontennya, seputar
trik, tips, dan cerita menarik di balik pengalaman mereka
meraih prestasi itu. Kenapa prestasi? Karena, untuk
mencapainya, seseorang harus banyak berdoa dan bekerja keras.
Dalam buku tersebut, ada esai yang bercerita tentang jatuhbangunnya seorang calon Awardee. Sebab, dia pernah gagal
mencari beasiswa. Meski akhirnya, seperti biasa, takdir
berpihak pada mereka yang pantang menyerah. Ada pula cerita
tentang anak Pramuwisma yang sukses meraih beasiswa LPDP. Di
tengah segala kekurangan, mimpi itu berhasil dicapainya.
Yang jelas, tulisan-tulisan yang bergaya populer ini dapat
dijadikan teman bersantai. Khususnya, bagi para pemburu kuliah
S2 dan S3 gratis. Karena memang, LPDP secara teknis,
setidaknya sampai saat ini, hanya menggelontorkan beasiswa
magister dan doktor. Juga, beasiswa Program Pendidikan Dokter
Spesialis.
Dari kumpulan ini dapat diketahui, penerima beasiswa LPDP
beragam latar belakang. Baik dari segi asal, maupun profesi.
Ada yang dari Papua, Sulawesi, Nusa Tenggara, Jawa,
Kalimantan, Sumatera, dan lain sebagainya. Ada yang PNS,
dokter, wartawan, staf perusahaan, maupun fresh graduate
sarjana. Artinya, siapapun orangnya, memiliki kesempatan yang
sama untuk mendapat beasiswa ini.
Buku ini sudah dicetak dan bakal diedarkan secara masif pada
Jum’at (29/7) mendatang. Rencananya, dalam waktu dekat, para
awardee LPDP juga bakal bersilaturahmi dengan Rektor UNAIR.
Sekaligus, menghadiahkan buku ini pada orang nomor satu di
kampus Airlangga.
Apresiasi rektorat UNAIR
Ada sejumlah testimoni positif dari sejumlah guru besar UNAIR
di buku ini. Bahkan, Rektor UNAIR Prof. Dr. H. Mohammad Nasih,
MT., SE., Ak., CMA menyempatkan diri memberi pengantar. “Karya
yang berupa kumpulan esai penerima beasiswa LPDP di Unair
tersebut bisa dibilang terobosan para awardee untuk
bersumbangsih pada sekitar. Mereka berbagi pengalaman melalui
catatan atau kisah lika-liku memburu beasiswa ini. Seru,
kadang jenaka, sarat tips dan trik, serta penuh inspirasi!”
catat Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis tersebut.
Wakil Rektor III Prof. Mochammad Amin Alamsjah, Ir., M.Si.,
Ph.D, juga memberikan apresiasi. “Tulisan di buku ini sangat
penting sebagai bagian dari pencerdasan & peningkatan sumber
daya manusia yang berkualitas. Mari dibaca, dipahami, sehingga
bisa menjadi inspirasi bagi kita semua,” katanya dalam
testimoni.
Kepala Perpustakaan UNAIR Prof. Dr. I Made Narsa, SE., M.Si.,
Ak yang selama ini banyak mendukung kegiatan Awardee pun
menganggap penerbitan ini sebagai langkah yang luar biasa.
“Kehadiran LPDP telah membuka nuansa baru bagi generasi
penerus bangsa kelak. Jangan pernah kehilangan asa, karena asa
akan muncul dari setiap usaha & doa. Itulah inspirasi dahsyat
dari buku ini, sehingga wajib dibaca, bahkan oleh siapapun.
Saya berharap buku ini bisa tersebar & dibaca seluas-luasnya
untuk memberikan pencerahan & pelajaran berharga dari
pengalaman sukses para Awardee,” papar dia. (*)
Buku
Judul
Penulis
Penerbit
Cetakan
Tebal
: Menggapai Asa Bersama LPDP
: Awardee LPDP UNAIR
: Pustaka Saga
: I, Juni 2016
: 248 halaman
Gali Inspirasi dari Negeri
Sakura
Tak salah bila banyak anggapan menyebut Jepang adalah sebuah
negara yang berkarakter kuat dan memiliki ciri khas yang
mencolok. Dari segi seni, cara berpakaian, dan kreatifitas
bahkan jargon, Negeri Matahari Terbit memunyai sisi-sisi yang
menarik nan berbeda dengan negeri-negeri lain.
Dengarkan lagu beraliran rock dari jepang. Selalu kental
dengan cabikan bass yang melompat-lompat di setiap ketukan.
Musik popnya, penuh dengan irama melodik tuts keyboard dan
dentingan gitar yang mendayu tajam. Siapa saja yang mendengar
lagu atau nada-nada asal negeri Sakura, akan dengan mudah
mengidentifikasi kelahiran lagu tanpa harus mendengar suara
vokalis mendendangkan lirik lagu berlafal huruf kanji.
Di sisi lain, lihatlah para remaja jepang yang berkumpul dan
bercengkrama di kawasan Harajuku, sekitar Stasiun JR Harajuku,
Distrik Shibuya, Tokyo. Dandanan dan warna asal tubruk yang
mungkin akan lebih terkesan norak serupa orang gila bila
dipakai di negara lain, justru menjadi pusaran idola di sana.
Bahkan, karakter unik tersebut sedikit demi sedikit menjangkit
ke wilayah lain di Jepang bahkan dunia.
Perkara kreatifitas, Jepang tak perlu diragukan. Entah sudah
berapa ribu judul komik manga yang banyak di antaranya menjadi
tren dengan cerita variatif. Sebut saja Dragon Ball yang
imajinatif dan telah diterbitkan versi bahasa inggrisnya, Slam
Dunk dan Doraemon yang inspiratif, Samurai X yang sarat nilainilai kehidupan, serta Kapten Tsubasa yang fenomenal. Konon,
komik karya Yoichi Takahashi yang disebut terakhir tadi
menjadi motivasi tersendiri bagi tim Samurai Biru dalam meraih
sukses merebut posisi di pentas sepak bola dunia.
Bila ditanya tentang jargon, Soichiro Honda si intelektual
sangat brilian dengan ungkapan populernya: percayalah pada
kekuatan mimpi (the power of dream). Pria kelahiran Iwatagun
(kini Tenrryu City) tersebut telah menjadi simbol tersendiri
di ranah otomotif dan bisnis level internasional.
Kekhasan
Salah satu kekhasan Jepang adalah bunga Sakura, yang memang
identik dengan negeri tersebut. Pada Sakura, terkandung nilainilai luhur sebuah identitas dan semangat. Hal-hal itu ingin
dipetik oleh Imam Robandi, penulis buku The Ethos of Sakura
yang diterbitkan Penerbit Andi Yogyakarta. Melalui buku
tersebut, guru besar teknik elektro ITS ini menjelaskan betapa
kuatnya sakura mempengaruhi pandangan dan pemikiran orang
Jepang.
Ketika musim Sakura mekar, sang pohon membiarkan daun-daun
gagah berjatuhan untuk kemudian digantikan dengan bunga yang
jauh lebih indah dan mempesona. Pohon sakura tidak cukup puas
dengan memiliki daun gagah dan batang kukuh. Bila memang bisa
melakukan yang lebih mempesona, mengapa harus bangga dengan
kebiasa-biasaan? Mungkin demikianlah yang ada dalam pikiran
pohon sakura di seluruh penjuru Nippon andai pohon tersebut
memiliki otak.
Semua warga Jepang sangat antusias meluangkan waktu untuk
menyaksikan kejadian tersebut di taman-taman atau pelataran
depan rumah mereka. Seluruh penduduk berusaha menggali hikmah
dari tumbuh, kuncup, dan mengembang eloknya bunga yang bernama
lain Japan Cherry Blossom tersebut.
Menghargai Waktu
Hidup memang tidak begitu lama. Tak ada yang abadi. Demikian
pula bunga Sakura yang hanya hidup selama musim semi sekitar
bulan April tiap tahunnya. Namun dalam keterbatasan tersebut,
Sakura berusaha memberikan yang terbaik dari hidupnya.
Orang Jepang tak ingin membuang waktu dengan berjalan pelahanlahan. Bila melangkah, mereka tampak seperti setengah berlari.
Waktu berharga bagi mereka walau hanya beberapa detik ayunan
kaki kanan dan kiri.
Imam Robandi sering menemui penundaan dan keterlambatan jamjam penerbangan. Namun penundaan tersebut disikapinya sebagai
anugerah, bukan musibah. Waktu yang molor digunakannya untuk
melakukan hal yang bermanfaat. Dalam sebuah diskusi, pria yang
mengambil program doctoral di Jepang ini mengatakan, buku yang
berisi 75 artikel dan kisah pendek ini nyaris semua ditulis
dengan cara mencuri-curi waktu dan kesempatan di balik
kemelesatan jadwal bandara.
Semua artikel dan kisah merupakan sari pati dari pengalaman
pria kelahiran Kebumen Jawa Tengah tersebut selama menjalani
pendidikan S2 dan program doktoral di negeri Sakura. Ada juga
yang murni bersumber dari penelaahan terhadap nilai-nilai
kehidupan di negara itu.
Manusia yang sukses memang dia yang menghargai waktu.
Pelajaran mengenai waktu tak hanya bisa dipetik melalui bangsa
Jepang. Ungkapan dalam bahasa Inggris berbunyi, Time is Money
(waktu adalah uang atau waktu sangat berharga).
Maestro asal Jazirah Arab Muhammad bin Abdullah pernah
berkata, jagalah sempatmu sebelum sempitmu. Maksudnya, manusia
harus memanfaatkan waktu dan kesempatan, sekecil apapun itu
guna melakukan hal-hal yang bermanfaat. Sebab bila masa sempit
telah tiba, seseorang tidak akan bisa melakukan apapun.
Buku
Judul: The Ethos Of Sakura, Bacaan strategik pribadi sukses
Penulis: Imam Robandi
Penerbit: Penerbit Andi
Cetakan: 2010 Yogyakarta
Tebal: 254 Halaman
Menghirup Kearifan
Agama di Dunia
Agama-
Secara subyektif, tiap pemeluk agama pasti merasa ajaran yang
dianutnya paling benar. Ini soal keyakinan. Jadi, tidak perlu
diperdebatkan. Sebaliknya, bila secara serampangan seseorang
menganggap semua agama benar, agama pun tak ubahnya seperti
baju. Sehingga, bisa diganti-ganti sesuka hati. Dalihnya,
semua sama benarnya. Tinggal pilih, yang mana yang disuka pagi
ini, siang, atau sore nanti. Di titik ini, hilanglah
kesakralan agama. Punahlah keintiman makhluk untuk menyembah
Tuhan dengan segala ritual yang diklaim sebagai “kepasrahan”
tertinggi.
Di sisi lain, mesti diakui pula bahwa ada misi perdamaian yang
dibawa oleh semua agama. Bila kemudian dalam ajaran masingmasing ada celah: sebut saja penonjolan aspek “superioritas”,
itu hal lain. Yang jelas, tiap agama memiliki kearifan atau
kebijaksanaan universal.
Semua agama memfatwakan tentang perlunya manusia saling
berbuat baik. Tak hanya pada manusia lain, namun juga pada
makhluk hidup yang telah diciptakan. Termasuk, hewan,
tumbuhan, dan segala kreasi lain umat manusia. Semua mesti
dimanfaatkan untuk kemaslahatan peradaban. Bukan demi
kerakusan dan kenikmatan sesaat. Agama mengajarkan bagaimana
saling menjaga, bukan saling menghancurkan. Bahkan, terhadap
mereka yang berbeda pandangan.
Setidaknya, ungkapan di paragraf-paragraf awal tadi menjadi
salah satu butir kesimpulan buku Agama-Agama Manusia yang
disusun oleh Huston Smith. Lelaki kelahiran Tiongkok ini
meringkas poin-poin luhur tiap agama yang ada dunia.
Setidaknya, ada delapan agama yang kena sorot. Yakni, Hindu,
Budha, Taoisme, Islam, Konfusianisme, Yahudi, Kristen, dan
Agama-Agama Primal (Purba). Bahwa agama ingin membawa
perubahan yang baik di dunia, merupakan kunci klise benang
merah semua agama di dunia.
Walau demikian, tak sedikit pula kemiripan agama satu dengan
yang lain. Misalnya, saat Yesus Kristus yang dianggap sebagai
Tuhan oleh umat Kristiani, berkata, “Perlakukanlah orang lain
sebagaimana kau ingin orang lain memperlakukanmu,”. Sementara
Nabi Muhammad SAW pernah berpesan, yang termaktub dalam satu
riwayat hadist dan diterjemahkan bebas: tidak sempurna
keimanan seseorang sampai dia mencintai sesama selayaknya
mencintai dirinya sendiri.
Pada bagian lain, terdapat pula kesamaan karakteristik sosok
panutan sejumlah agama. Bodhisatva, contohnya. Dia pernah
digambarkan sebagai penggembala yang baik. Tak ubahnya Yesus
Kristus. Bertolak dari sini, dapat dimaknai, kesamaan Kristen
dan Budhisme sejatinya lebih kompleks dari pada yang kasat
mata (Hal. 351).
Belajar Sejarah
Yang tak kalah menarik dari buku ini adalah dipaparkannya
sejarah dan seluk beluk agama di dunia. Termasuk, soal
Konfusianisme yang berawal dari “pengkultusan” seorang bernama
Kung fu-Tzu atau Kung Sang Guru. Masyarakat Tiongkok, yang
“mensucikan” orang ini, memuja namanya sebagai Guru Pertama.
Bukan berdasar kronologi waktu. Karena sebelumnya, sudah
banyak guru-guru yang lain. Melainkan, dari aspek kualitas.
Dia adalah manusia biasa yang memiliki ajaran lintas bidang.
Khususnya, di ranah kebijaksanaan. Pemerintah Tiongkok saat
ini pun sudah dipengaruhi pemikiran Konfisius dengan begitu
dalam. Tidak ada tokoh lain yang merasuk dalam perspektif tata
kelola pemerintahan lelaki asal provinsi Shantung tersebut
(hal. 172). Tak ayal, banyak pemikir yang menobatkannya
sebagai salah satu intelektual penting dunia.
Disinggung pula tentang Yahudi yang berkiblat pada sosok Nabi
Musa. Selain soal sejarahnya, disampaikan pula keunikan dari
agama monoteisme ini. Umpamanya, seperti terkutip pada salah
satu ayat di kitabnya. Di sana, digambarkan betapa Maha
Kasihnya Tuhan. Tuhan yang mereka yakini sangat mencintai
ciptaannya. Maka itu, manusia dianggap sebagai “anak-anak”
kesayangan (hal. 317).
Aku-lah yang mengajari Efraim berjalan. Aku menggendong mereka
dibuaianku; Aku membimbing meeka dengan tali kebaikan manusia,
dengan balutan-balutan cinta (Hosea, 11:3)
Tak ketinggalan, dijabarkan tentang ragam dalam agama atau
ajaran tertentu. Tak hanya soal Kristen yang memiliki sejumlah
macam: Katholik, Orthodok, dan Protestan. Namun juga, soal
varian dan metode umat Islam mendekatkan diri pada Tuhan. Di
dalamnya, ada paham sufisme.
Idiom sufisme yang mengacu pada perspektif para sufi ini
memiliki akar kata “Suf”. Artinya, kain wol dari kulit
binatang. Bahan dasar pakaian yang bersahaja atau sederhana.
Golongan sufi, konon, memilih pakaian wol sebagai bentuk
protes pada para pejabat di masanya yang suka memakai kain
sutra dan satin: yang dianggap simbol kemewahan.
Para sufi memilih untuk zuhud: tidak suka bermewah-mewah.
Sebab, kemegahan duniawi kerap menipu dan membuat penyukanya
mabuk. Dalam banyak kasus, sukses membuat manusia menjadi
zalim. (*)
Buku
Judul: Agama-Agama Manusia
Penulis: Huston Smith
Penerjemah: FX Dono Sunardi dan Satrio Wahono
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta
Tahun: Desember 2015
Tebal: 433 Halaman
Download